Professional Documents
Culture Documents
HUKUM LAUT
(PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN DI LAUT SULAWESI
(BLOK AMBALAT) DAN POSISI INDONESIA DI TINJAU
DARI ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL)
UNCLOS 1982
OLEH
RIFAI USMAN ( 2006 – 21 – 066 )
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2
2009
PENYELESAIAN SENGKETA PERBATASAN DI LAUT SULAWESI
(BLOK AMBALAT) DAN POSISI INDONESIA DI TINJAU DARI
ASPEK HUKUM LAUT INTERNASIONAL
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
DINAMIKA lingkungan strategis pada tatanan global, regional dan
nasional akan senantiasa berubah dan sulit diprediksi. Kecenderungan global
seperti ini akan mempengaruhi perkembangan lingkungan strategis regional yang
pada akhirnya berdampak pada kondisi nasional. Demikian juga dengan kondisi
saat sekarang ini pengaruh ekonomi global yang berimbas pada kenaikan harga
minyak dunia turut berpengaruh terhadap perekonomian bangsa Indonesia. Di
tingkat regional, sebagai dampak dari belum terselesainya status wilayah
perbatasan antar negara serta diwarnai dengan krisis energi dan sumber daya alam
yang tengah melanda. Hingga permasalahan perbatasan dan klaim atas wilayah
terutama yang memiliki kandungan potensi sumber daya alam mineral dan fosil
sangat potensial menjadi pemicu ketegangan antar negara yang saling bertetangga.
Beberapa wilayah laut perbatasan Indonesia yang banyak menyimpan
kekayaan minyak seperti Cela Timor, Natuna yang terletak di Laut Cina Selatan,
dan blok Ambalat yang berada di Laut Sulawesi tidak tertutup kemungkinan akan
gangguan kembali dan klaim wilayah oleh negara bertetangga yang langsung
berbatasan. Hal tersebut tidak terlepas dari semakin menipisnya krisis energi dan
sumberdaya alam yang tengah melanda dunia sehingga memaksa negara- negara
tetangga yang berbatasan wilayah Indonesia akan mengeksplorasi dan mengklaim
wilayah Indonesia sebagai wilayah mereka.
Negara Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah yang sangat
luas, terutama untuk wilayah perairannya. Kondisi yang sedemikian rupa,
3
tembak. Untung keduanya masih menahan diri. Seandainya salah satu pihak
menembak, niscaya perang terbuka akan meletus.
Kasus Ambalat secara tiba-tiba menyadarkan kita dari mabuk eforia dan
terlena oleh berbagai permasalahan dalam negeri yang belum menemukan
solusinya (inward looking) bahwa selain itu kita juga perlu menaruh perhatian kita
terhadap masalah yang datang dari luar (outward looking). Akibat dari
keterlambatan kita dalam menghadapi sesuatu akan memuat kita gelagapan dan
dengan setengah sadar menghadapinya. Seperti halnya apa yang sedang hangat
dewasa ini kita hadapi yaitu munculnya klaim Malaysia terhadap Blok Ambalat di
Laut Sulawesi.
Dari berbagai persengketaan yang mewarnai hubungan Malaysia dengan
Indonesia khususnya masalah Ambalat hendaknya diselesaikan secara damai.
Penyelesaian sengkete secara damai adalah cara yang dianjurkan oleh dunia
Internasional. Jika kita melihat kasus Ambalat ini, maka kasus ini dikategorikan
sebagai sengketa mengenai implementasi hukum laut Internasional. Unsur-unsur
yang mempengaruhi kasus tersebut sedikit banyak mengenai hukum laut
Internasional, dimana masalah penetapan batas wilayah teritorial laut antara
Indonesia dengan Malaysia menjadi inti dari kasus perebutan blok Ambalat.
Penerapan metode penyelesaian sengketa secara damai sesuai yang di
anjurkan dalam United Nations Conventions on The Law of the Sea 1982
(UNCLOS 1982) bisa diterapkan mengingat Indonesia telah merativikasi
konvensi hukum laut.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas , maka dalam tugas
makalah Hukum laut ini, penulis mengangkat masalahnya adalah “ Metode yang
digunakan Indonesia – Malaysia dalam menyelesaikan sengketa Ambalat sesuai
dengan UNCLOS 1982”
5
BAB II
PEMBAHASAN
diukur dari garis pangkalnya. Bahkan, untuk landas kontinen jarak bisa mencapai
350 mil laut, jika dapat dibuktikan adanya natural prolongation (kepanjangan
ilmiah) dari daratan negara pantai itu. Hal ini menyebabkan banyak negara
berlomba mengklaim teritori lautnya sesuai dengan hak yang diberikan hukum
laut. Jika Malaysia berargumentasi, "tiap pulau berhak mempunyai laut teritorial,
zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinennya sendiri", maka Pasal 121
UNCLOS 1982 dapat membenarkannya. Namun, rezim penetapan batas landas
kontinen mempunyai aturan khusus yang membuktikan keberadaan pulau-pulau
yang dianggap kecil (relatively small, socially and economically insignificant)
tidak akan dianggap sebagai keadaan spesial dalam penentuan garis batas landas
kontinen. Beberapa yurisprudensi hukum internasional telah membuktikan
dipakainya doktrin itu.
Dengan demikian, yang perlu ditentukan kini adalah garis pangkal masing-
masing negara. Jika situasi di Ambalat memanas dengan telah berhadap-
hadapannya kapal perang dan pesawat tempur kedua negara, Malaysia
mengatakan semua bisa dirundingkan, maka itu hanya akan mencapai deadlock
jika Malaysia bersikukuh untuk dipakainya peta wilayahnya tahun 1979. Peta itu
hanya tindakan unilateral yang tidak mengikat Indonesia. Dan peta yang dibuat
secara sepihak oleh Malaysia tersebut juga ditolak oleh Filipina dan Thailand
yang juga merupakan negara tetangga mereka. Indonesia telah menolak langsung
peta itu sejak diterbitkan, karenapenarikan baselines yang tidak jelas landasan
hukumnya. Ambalat jelas di bagian selatan Laut Sulawesi dan masuk wilayah
Indonesia. Jika kedua negara tetap dalam posisi berlawanan, maka untuk
mencegah konflik bersenjata, jalan keluar yang harus ditempuh adalah duduk
dalam perundingan garis batas landas kontinen kedua negara, yang sekaligus
berarti menyelesaikan kasus Ambalat dengan menerapkan prinsip equitable
solution, seperti digariskan UNCLOS 1982. Penyelesaian setiap sengketa yang
berkaitan dengan batas wilayah dalam hukum laut, haruslah diseslesaikan dengan
cara damai seperti yang diatur dalam Pasal 279 UNCLOS 1982 dimana
disebutkan bahwa :
8
Ambalat maka perlu dirujuk kembali Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang
ditandatangani oleh Belanda dan Inggris sebagai penguasa di daerah tersebut di
masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja menjadi salah satu acuan utama dalam
penentuan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti
apakah Konvensi tersebut secara eksplisit memuat/mengatur kepemilikan
Ambalat. Hal ini sama halnya dengan penggunaan Traktat 1904 dalam penegasan
perbatasan RI dengan Timor Leste.
B. Konfensi international
Salah satu sumber hukum yang bisa diacu, Konvensi 1891, nampaknya
tidak akan membantu banyak dalam penyelesaian kasus ini. Seperti halnya
Sipadan dan Ligitan, Konvensi ini kemungkinan besar tidak akan mengatur secara
tegas kepemilikan Ambalat. Hal ini terjadi karena Konvensi 1891 hanya
10
menyebutkan bahwa Inggris dan Belanda sepakat mengakui garis batas yang
berlokasi di garis lintang 4° 10’ ke arah timur memotong Pulau Sebatik tanpa
lebih rinci menyebutkan kelanjutannya. Tentu saja ini meragukan karena
Ambalat, seperti juga Sipadan dan Ligitan berada di sebelah timur titik akhir garis
yang dimaksud. Jika garis tersebut, sederhananya, diperpanjang lurus ke timur,
memang Ambalat, termasuk juga Sipadan dan Ligitan akan berada di pihak
Indonesia. Namun demikian, menarik garis batas dengan cara ini, tanpa dasar
hukum, tentu saja tidak bisa diterima begitu saja. Melihat kondisi di atas,
diplomasi bilateral memang nampaknya jalan yang paling mungkin. Meskipun
mengajukan kasus ini ke badan internasional seperti ICJ, adalah juga alternatif
yang baik, langkah ini tidak dikomendasikan. Mengacu pada gagasan Prescott,
ada tiga hal yang melandasi pandangan ini. Pertama, kasus-kasus semacam ini
biasanya berlangsung lama (bisa 4-5 tahun). Artinya, ini akan menyita biaya yang
sangat besar, sementara negosiasi antarnegara mungkin akan lebih produktif.
Kedua, pengadilan kadang-kadang memberikan hasil yang mengejutkan.
Keputusan the Gulf of Fonseca adalah contoh yang nyata.Ketiga, kadang-kadang
argumen pengadialan dalam membuat keputusan terkesan kabur sehingga sulit
dimengerti.
tidak dilakukan, Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau akan kehilangan satu per
satu pulaunya karena diklaim oleh bangsa lain tanpa bisa berbuat banyak.
Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa dasar sejarah saja tidak bisa
dijadikan pegangan dalam menelusuri kepemilikan sebuah wilayah. Lepasnya
Sipadan dan Ligitan adalah salah satu bukti nyata untuk hal ini. Diperlukan
adanya bukti hukum yang menunjukkan bahwa Indonesia telah melakukan upaya
sistematis untuk memelihara secara administrai daerah yang dipersoalkan. Hal ini,
salah satunya, dilakukan dengan menarik pajak bagi penduduk setempat, dan
mengeluarkan peraturan-peraturan lokal yang berkaitan dengan wilayah sengketa.
Didirikannya resor-resor wisata oleh Malaysia di Sipadan dan Ligitan adalah salah
satu kekuatan yang akhirnya mengantarkan Malaysia pada suatu kemenangan,
disamping isu pengelolaan lingkungan.
Apapun cara yang ditempuh, kedua belah pihak wajib saling menghormati
dengan menempuh cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik. Pemahaman
yang baik dari segi ilmiah, teknis dan hukum yang baik oleh kedua pihak
diharapkan akan mengurangi langkah-langkah provokatif yang tidak perlu.
Pemahan seperti ini tentu saja tidak cukup bagi pemerintah saja, melainkan juga
masyarakat luas untuk bisa memahami dan mendukung terwujudkannya
penyelesaian yang adil dan terhormat Banyak pihak di negeri ini
mengkhawatirkan tragedi lepasnya Sipadan-Ligitan terulang kembali di Ambalat
dan sengketa perbatasan lainnya. Sumber utama kekhawatiran ini adalah
terulangnya kekalahan di meja perundingan, kalah dalam bernegosiasi. Kekuatan
negosiasi terletak pada fokusnya, yaitu yang bertumpu pada pencapaian
kesepakatan yang saling menguntungkan.
Negosiasi membuka jalan baru yang membawa harapan baru pula bagi
semua pihak yang terlibat dengan cara yang unik, yaitu dengan motivasi. Jadi
kekuatan inti negosiator ulung adalah kemampuannya untuk memotivasi pihak
lain atau yang diajak berunding untuk menerima tujuan negosiasi. Atau dengan
kata lain, kekuatan negosiasi terletak pada kemampuan si negosiator untuk
memunculkankekuatan persuasi atau faktor intellectual nonaggressiveness yang
melekat dan menghindari crude power. Kenyataannya, tidak mudah untuk
12
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perbatasan Indonesia-Malaysia di Laut Sulawesi, di mana Ambalat berada,
memang belum terselesaikan secara tuntas. Ketidaktuntasan ini sesungguhnya
sudah berbuah kekalahan ketika Sipadan dan Ligitan dipersoalkan dan akhirnya
dimenangkan oleh Malaysia. Jika memang belum pernah dicapai kesepakatan
yang secara eksplisit berkaitan dengan Ambalat maka perlu dirujuk kembali
Konvensi Batas Negara tahun 1891 yang ditandatangani oleh Belanda dan Inggris
sebagai penguasa di daerah tersebut di masa kolinialisasi. Konvensi ini tentu saja
menjadi salah satu acuan utama dalam penentuan perbatasan antara Indonesia dan
Malaysia di Kalimantan. Perlu diteliti apakah Konvensi tersebut secara eksplisit
memuat/mengatur kepemilikan Ambalat. Cara terbaik adalah jika para pembuat
kebijakan, baik di Jakarta dan Kuala Lumpur maupun berbagai kelompok
masyarakat di kedua negara, bersedia menggunakan kerangka pemikiran holistik
untuk mengelola sengketa itu.
15
DAFTAR PUSTAKA