Professional Documents
Culture Documents
A. Pendahuluan
Aristoteles memulai metafisikanya dengan pernyataan “setiap manusia dari
kodratnya ingin tahu”.[1] Pernyataan ini tampak berbenturan dengan generasi
sebelumnya, Sokrates, yang menganggap “ia tahu bahwa ia tidak tahu”, sehingga Delphi
menginterpretasikan tidak ada manusia yang lebih bijaksana dari pada Sokrates dengan
pernyataan: “tidak ada manusia yang mempunyai pengetahuan, tetapi sementara orang
lain mengira bahwa mereka mempunyai pengetahuan, Sokrates sendiri yang mengetahui
bahwa ia tidak tahu”.[2]
Pandangan Aristoteles tentang keingintahuan manusia dan pandangan Sokrates
yang menganggap bahwa ketidaktahuan merupakan kenyataan kodrati manusia,
sesungguhnya bukan merupakan pandangan yang secara essensial harus dipertentangkan
satu sama lain. Akan tetapi pada prinsipnya dapat ditemukan relasi dari keduanya.
Langkah pertama menuju pengetahuan yang dibayangkan Aristoteles sejatinya
merupakan kesadaran Socratik bahwa manusia tahu bahwa ia tidak tahu, sehingga ada
keinginan untuk tahu dan keinginan tersebut dapat diwujudkan. Titik temu yang dapat
ditarik dari keduanya adalah eksistensi pengetahuan sebagai bagian penting yang pasti
ada pada diri manusia.
Pengetahuan bukanlah persoalan sederhana yang dengan mudah dapat
didefenisikan. Kenneth T. Gallagher, sebagaimana disadur P Hardono Hadi,
menyebutkan pengetahuan sebagai “sui genis”, artinya sesuatu yang berhubungan
dengan apa yang paling sederhana dan paling mendasar.[3] Sementara itu, upaya
mendefinisikan sesuatu berarti meletakkan sesuatu itu pada istilah-istilah yang paling
sederhana dan mudah dimengerti, dengan demikian tidak ada pertanyaan mengenai
“pengetahuan”.[4] Namun demikian, untuk mendapatkan hasil kajian yang lebih
sistematis dan terarah, sesederhana apapun istilah pengetahuan itu harus tetap diberikan
batasan.
Pengetahuan yang dimaksud pada tulisan ini adalah pengetahuan yang
dibicarakan dalam ranah filsafat, mengingat bahasan mengenai pengetahuan manusia
secara umum yang menjadi konsentrasi kajian pada tulisan ini bertujuan untuk
memahami fondasi dan metodologi penedekatan dalam studi Islam. Oleh karenanya,
kajian yang dipaparkan pada tulisan ini secara umum akan menggambarkan
pengetahuan dalam pendekatan filsafat pengetahuan (epistemologi) sebagai bagian
yang banyak dibicarakan pada kajian filsafat ilmu.
Seringkali pengetahuan dijadikan sebagai sesuatu untuk membedakan manusia
dengan binatang. Padahal secara essensial pengetahuan tidak dapat dijadikan sebagai
sesuatu yang membedakan keduanya, karena dalam faktanya pengetahuan merupakan
sesuatu yang juga dimiliki oleh binatang. Kambing misalnya, tentu akan menolak
disuguhkan daging karena dia tahu bahwa daging bukan makanannya, sebaliknya
harimau dapat dipastikan akan mengincar daging meski tanpa disuguhkan sebelumnya
daripada harus menikmati rerumputan yang tumbuh subur di sekitarnya. Analogi ini jelas
menunjukkan bahwa pengetahuan merupakan bagian yang selalu melekat pada
keduanya (manusia dan binatang).
Perbedaan manusia dan binatang dalam soal pengetahuan terletak pada taraf
perkembangannya. Penegasan ini akan lebih mudah dipahami dengan analogi yang
dikutip Jujun S. Suryasumantri dari ceramah seorang ilmuan bernama Andi Hakim
Nasution: “sekiranya binatang mempunyai kemampuan menalar, maka bukan harimau
Jawa yang sekarang ini akan dilestarikan supaya jangan punah, melainkan manusia
Jawa,…”. Jujun selanjutnya menegaskan bahwa kemampuan menalar yang dimiliki
manusia menyebabkan manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan
rahasia kekuasaan-kekuasaannya.[5] Binatang memang memiliki pengetahuan, namun
pengetahuan tersebut terbatas pada usaha untuk mempertahankan kelangsungan
hidupnya.
Jujun S. Suryasumantri lebih jauh menyebutkan penalaran merupakan proses
berpikir dalam menarik kesimpulan berupa pengetahuan. Penalaran ini akan
menghasilkan pengetahuan yang ditempuh melalui proses berpikir sebagai upaya untuk
menemukan pengetahuan yang benar.[6] Proses penalaran ini pula yang selanjutnya
dapat membedakan antara pengetahuan biasa dengan pengetahuan ilmiah.
Sebagaimana disebutkan C.A Van Peursen, pengetahuan dalam kajian filsafat memiliki
keluasan makna tidak hanya meliputi pengetahuan ilmiah, melainkan juga pengetahuan
biasa berupa pengalaman pribadi, melihat dan mendengar, perasaan dan intuisi, dugaan
dan suasana jiwa.[7] Proses perkembangan pengetahuan manusia dari pengetahuan
biasa ke arah pengetahuan ilmiah yang melibatkan metode dan sistem-sistem tertentu,
termasuk di dalamnya pengetahuan yang dihasilkan dengan jalan filsafat, sebagai
sebuah gambaran umum akan dipaparkan lebih jauh pada makalah ini.
Tesis
Antitesis
Pengetahuan
(Tesis)
Antitesis
Pengetahuan
(Tesis)
F.
Penutup
Makalah ini secara sederhana telah memaparkan sejarah perkembangan
pengetahuan manusia sebagai sebuah gambaran umum, sejak manusia mengenal
pengetahuan pada taraf yang paling rendah hingga pengetahuan tersebut dapat diproses
menjadi sebuah disiplin ilmu dalam waktu yang cukup panjang. Berdasarkan pemaparan-
pemaparan tersebut dapat dilihat bahwa manusia memiliki kemampuan untuk
mengembanngkan penalarannya guna menciptakan berbagai pengetahuan-pengetahuan
baru dengan melakukan berbagai penelitian terhadap pengetahuan-pengetahuan yang
telah ada.
Ilmu pengetahuan yang berhasil dilahirkan manusia sampai hari ini tentunya
bukan merupakan kesimpulan akhir dari adanya pengetahuan itu sendiri. Namun
demikian, pengetahuan tersebut dapat berkembang lebih jauh di masa-masa yang akan
datang mengikuti pola perkembangan pengetahuan tersebut. Kemampuan penalaran
manusia tentunya menjadi sebuah kekuatan untuk melakukan berbagai pengkajian tidak
saja pada persoalan-persoalan umum, melainkan juga persoalan-persoalan keagamaan
yang semakin problematis di dunia modern.
DAFTAR BACAAN
A. E. Affifi. 1995. Filsafat Mistis Ibn Arabi. (Cetakan II). Jakarta: Gaya Media Pratama
Cik Hasan Bisiri. 1998. "Pengembangan Ilmu Agama Islam Melalui Penelitian
Antardisiplin dan Multidisiplin", dalam: Mastuhu dan Deden Ridwan. Tradisi
Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu. Bandung:
Pusjarlit dan Nuansa
C.A. Van Peursen. 1983. Orientasi di Alam Filsafat. (Penerjemah: Dick Hartoko)
Cetakan ketiga. Jakarta: Gramedia
Irwandar. 2003. Dekonstruksi Pemikiran Islam, Idealitas Nilai dan Realitas Empiris.
Yogyakarta: Ar-Ruz Media
Harun Nasution. 1998. Klasifikasi Ilmu dan Tradisi Penelitian Islam: Sebuah Perpektif,
dalam: Mastuhu dan Deden Ridwan. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam,
Tinjauan Antar Disiplin Ilmu. Bandung: Pusjarlit dan Nuansa
Nur Ahmad Fadhil Lubis. 2001. Pengantar Filsafat Umum. Medan: IAIN Press
Philips Babcock Gove, et.al. (editor). 1966. Webster Third New International Dictionary.
Massachussets, USA: G & C Merriam Company Publisher
Sidi Gazalba. 1981. Sistematika Filsafat. (catakan ke 3). Jakarta: Bulan Bintang
Soetriono dan SRDm Hanafie. 2007. Epistemologi dan Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Penerbit Andi
U. Maman, Kh, et.al (editor). 2006. Metodologi Penelitian Agama, Teori dan Praktik.
Jakarta: Rajawali Press
Mengapa Manusia Perlu
Pengetahuan?
Written by Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si
Sunday, 11 April 2010 03:37
Kendati disadari pengetahuan itu penting masih sering juga muncul pertanyaan untuk apa
manusia memerlukannya? Bukankah tanpa pengetahuan manusia juga bisa hidup. Bagi
manusia, kegiatan mengetahui merupakan kegiatan yang secara hakiki melekat pada cara
beradanya sebagai manusia. Istilahnya dalam filsafat ilmu “knowing is a mode of being”.
Secara kodrati manusia memiliki hasrat untuk mengetahui. Ada yang hasratnya besar,
sehingga upaya pencarian pengetahuan sangat tinggi dan tidak kenal menyerah. Tetapi
ada pula yang hasratnya rendah atau biasa-biasa saja, sehingga tidak bermotivasi mencari
pengetahuan. Tetapi dapat dikatakan bahwa semua manusia punya keinginan untuk tahu.
Dalam arti sempit pengetahuan hanya dimiliki makhluk yang bernama manusia. Memang
ada yang berpendapat berdasarkan instingnya, binatang memiliki ‘pengetahuan’.
Misalnya, setiap binatang tahu akan ada bahaya yang mengancam dirinya, atau ada
makanan yang bisa disantap. Seekor harimau tahu persis apa ada binatang di sekitarnya
yang bisa dimangsa. Seekor tikus juga tahu bahwa di sekitarnya ada kucing yang siap
menerkan dirinya, sehingga berdasarkan instingnya dia segera mencari tempat yang aman.
Manusia tidak dapat hidup berdasarkan instingnya saja, walau kadang-kadang juga ada
manusia yang memiliki insting yang kuat. Manusia memiliki pengetahuan yang
didasarkan atas insting sangat terbatas. Tetapi karena manusia merupakan satu-satunya
makhluk ciptaan Allah yang diberi akal (kata “aql” tidak kurang dari lima puluh kali
disebut dalam kitab suci al Qur’an), maka ia dapat memperoleh pengetahuan tentang
segala hal. Hebatnya lagi, manusia tidak saja mampu memperoleh pengetahuan yang
diperlukan dalam hidupnya, tetapi juga mengembangkannya menjadi beraneka ragam
pengetahuan.
Berkat pengetahuannya, manusia dapat mengenali dan menguasai dan mengolah berbagai
daya isi dunia untuk kehidupannya. Jika binatang hidupnya akan sangat tergantung pada
keadaan habitatnya, maka sebaliknya manusia justru dapat mengubah kondisi dan keadaan
alam lingkungannya untuk disesuaikan dengan yang dikehendaki. Berkat pengetahuannya,
manusia bisa mengubah lingkungan alam (natural environment) menjadi lingkungan
budaya (cultural environment). Misalnya, manusia dapat mengubah bambu yang semula
tidak berharga menjadi kursi mewah dengan harga tinggi yang bisa dipajang di rumah-
rumah mewah. Barang-barang bekas pun juga bisa didaur ulang menjadi barang yang
bernilai tinggi.
Demikian pula, karena pengetahuannya, manusia juga bisa menyulap bukit terjal menjadi
kompleks perumahan mewah dengan tetap melestarikan struktur dan kontur tanah yang
ada. Karena itu, ketika manusia bisa mengubah alam dan lingkungannya menjadi sesuatu
yang lebih bernilai, maka pada saat itu pula dia melakukan proses memanusiawikan
dirinya. “Human beings are humanizing themselves”.
Saya yakin saking pentingnya peran akal bagi kehidupan manusia yang bisa melahirkan
pengetahuan, Allah mengabadikannya dalam kitab suci al Qur’an dengan menyebut kata
“al-aqlu” tidak kurang dari lima puluh kali di berbagai ayat. Dalam studi Content
Analysis, penyebutan kata atau istilah dengan berulang kali tidak mungkin tidak bermakna
apa-apa. Pengulangan berarti penegasan betapa pentingya arti kata itu. Semakin sering
diulang, maka semakin penting maknanya. Demikian salah satu cara Allah mengingatkan
manusia terhadap hal-hal tertentu yang dianggap penting. Memang pendekatan Content
Analysis belakangan memperoleh tandingan, yakni Discourse Analysis. Berbeda dengan
Content Analysis yang menekankan makna kata ditentukan oleh seberapa banyak kata itu
diulang, maka Discourse Analysis berpandangan makna kata ditentukan oleh konteks di
mana kata itu dipakai dan penafsiran terhadap kata atau kalimat dilakukan dengan cara
dialektik. .
Begitu juga ketika Allah mengulang ayat Fabiayyi Alairabbikuma Tukadziban (maka
nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan) dalam surat Ar-Rahman tidak
kurang dari tiga puluh kali. Ayat itu juga menegaskan betapa manusia merupakan
makhluk yang berpotensi kufur atas nikmat dan karunia Allah. Karena itu, malaikat
sempat mengajukan keberatan atas segala kelebihan yang diberikan Allah kepada
manusia. Tengara Allah itu kini terbukti. Walau punya akal, tetapi bisa kita saksikan
dalam kehidupan ini betapa banyak manusia ingkar dan tidak mau bersyukur atas nikmat
dan karunia Allah yang demikian melimpah. Mulai bangun tidur sampai tidur lagi setiap
hari sepanjang hidupnya bertaburan nikmat dan karunia Allah. Bahkan tidur itu sendiri
merupakan nikmat Allah. Bayangkan andai saja kita tidak bisa tidur! Betapa susahnya
hidup ini. Ada seorang kawan yang harus pergi ke Cina untuk dioperasi (baca: hanya
dibetulkan) salah satu bagian syarafnya yang tidak pas dengan beaya ratusan juta rupiah.
Karena itu, mengapa ketika sedang sehat dan bisa beraktivitas apa saja, manusia tidak
mau bersyukur.
Menutup tulisan ini, marilah kita sadari betapa melimpah karunia dan nikmat yang
diberikan Allah kepada kita untuk kita syukuri dengan tiada henti. Salah satu nikmat itu
ialah akal, dan lewat akal kita memperoleh dan menciptakan pengetahuan. Dan, karena
berpengetahuan itu, kita menjadi makhluk yang manusiawi. Betapa pentingya
pengetahuan bagi kita sebagai manusia. Karena itu, agar sifat manusiawi kita tetap
melekat pada kita, maka jangan pernah berhenti mencari pengetahuan kapan pun, di mana
pun, dan dari siapa pun.
Sesuatu dapat dikatakan ilmiah jika hal tersebut merupakan suatu hasil observasi yang
obyektif dan dapat diverifikasi secara empiris.
Ilmiah diartikan sebagai sesuatu yang memiliki unsur kebenaran, atau secara empiris
dapat dibuktikan kebenarannya. Sehingga dalam prakteknya sebuah karya dapat
dikatakan ilmiah seandainya karya tersebut merujuk kepada sumber-sumber atau kejadian
yang valid.
Di dalam prosesnya kadangkala sesuatu yg bersifat ilmiah dapat menjadi sebuah ilmu.
Contohnya, fakta ilmiah bahwa bumi ini bulat. Ketika seseorang mengelilingi bumi
dengan berjalan ke arah timur atau ke arah barat, pada akhirnya ia akan kembali ke titik
awal. Fakta ini bukan berdasarkan sudut pandang pribadi, atau pendirian dari kelompok
tertentu saja. Karena riset telah membuktikan dan memang telah terbukti 100%
(diverifikasi) bahwa bumi ini bulat. Fakta inipun menjadi sebuah teori yg ilmiah di dalam
ilmu pengetahuan.
Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang
letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat
bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah kiranya bahwa
kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan
mutlak. Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana kebebasan ini.
Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan untuk
memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya
terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar.
Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom,
tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan.
Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan
ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada
kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal .
Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan
“menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik
bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh
eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah
perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih
lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia
sekarang hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu
pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi
kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga
seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya
BAB III
PENUTUP
Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral atau susila, mempelajari
kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Penilaian
moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya, timbul pula perbedaan penafsiran.
Dari makalah yang telah saya jelaskan tadi kita dapat mengetahui bahwa etika itu sangat
penting bagi pengembangan ilmu.
Karena ilmu itu diciptakan kemaslahatan umat manusia, ketika pengembangan ilmu tidak
dibarengi dengan etika maka bayangkanlah risiko bahwa ilmu akan terkutuk menjadi
perkakas yang berbahaya, yang bergiat demi penghambaannya kepada jenderal-jenderal
yang gila perang dan gembong-gembong kekaisaran industri yang rakus. Etika
merupakan cabang filsafat yang membicarakan tingkah laku atau perbuatan manusia
dalam hubungannya dengan baik buruk.
Dengan belajar etika diharapkan kita dapat mengetahui dan memahami tingkah laku apa
yang baik menurut suatu teori-teori tertentu, dan sikap yang baik sesuatu dengan kaidah
etika.
DAFTAR PUSTAKA
Pendahuluan
Sejauh ini hampir semua kemampuan pemikiran (thought) manusia didominasi oleh
pendekatan filsafat. Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir selalu
digunakannya untuk menyingkap tabir ketidaktahuan dan mencari solusi masalah
kehidupan. Akan tetapi, sebelum sampai pada pembicaraan ilmu pengetahuan,
seharusnya yang harus dibicarakan terlebih dahulu ialah mengenai bagaimana proses
berpikir manusia (thinking process) sehingga dapat menghasilkan pengetahuan pada
manusia. Pengetahuan pada manusia secara garis besar terbagi kedalam dua bagian.
Pertama, konsepsi (tassawur) yaitu pengetahuan sederhana dan kedua, pembenaran
(thasdiq) yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian . Artinya, proses berpikir
yang manusia lakukan melalui dua tahapan yang saling melengkapi yaitu; pengetahuan
yang pertama kali muncul berupa konsepsi (tassawur) atau pengetahuan sederhana dan
seterusnya manusia melalui pikirannya melakukan pembenaran (thasdhiq) atau dari
pengetahuan sederhana (tassawur) sampai kepada ilmu pengetahuan, pengetahuan
sederhana itu diberi pembenaran sesuai dengan keyakinan manusia yang diyakininya.
Selanjutnya, untuk memahami pengetahuan sebagai sesuatu yang natural (alamiah) dari
sudut pandang manusia diperlukan uraian psikologi, yaitu penjelasan atau uraian tentang
proses mental yang bersifat subjektif yang dikaitkan dengan hal-hal empirik yang bersifat
objektif, dari hal itu diharapkan dapat berpengaruh pada penguasaan manusia terhadap
data konkrit sehingga dapat mendukung pada pembenaran pengetahuan .
Pergerakan yang dialami oleh pengetahuan sederhana menuju pada pembenaran ilmu
pengetahuan sehingga menjadi ilmu pengetahuan diperlukan sebuah landasan dan proses
sehingga ilmu pengetahuan (science atau sains) dapat dibangun. Landasan dan proses
pembangunan ilmu pengetahuan itu merupakan sebuah penilaian (judgement) yang
dilibatkan pada proses pembangunan ilmu pengetahuan. Dalam pembangungan ilmu
pengetahuan juga diperlukan beberapa tiang penyangga agar ilmu pengetahuan dapat
menjadi sebuah paham yang mengandung makna universalitas. Beberapa tiang
penyangga dalam pembangunan ilmu pengetahuan itu sebenarnya berupa penilaian yang
terdiri dari ontologi, epistemologi dan aksiologi . Perlunya penilaian dalam pembangunan
ilmu pengetahuan alasannya adalah agar pembenaran yang dilakukan terhadap ilmu
pengetahuan dapat diterima sebagai pembenaran secara umum. Sampai sejauh ini,
didunia akademik panutan pembenaran ilmu pengetahuan dilandaskan pada proses
berpikir secara ilmiah. Oleh karena itu, proses berpikir di dunia ilmiah mempunyai cara-
cara tersendiri sehingga dapat dijadikan pembeda dengan proses berpikir yang ada diluar
dunia ilmiah. Dengan alasan itu berpikir ilmiah dalam ilmu pengetahuan harus mengikuti
cara filsafat pengetahuan atau epistemologi, sementara dalam epistemologi dasar yang
menjiwai dinamika proses kegiatan memperoleh pengetahuan secara ilmiah disebut
filsafat ilmu.
Teori Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge atau ilmu) adalah bagian yang esensial- aksiden manusia,
karena pengetahuan adalah buah dari "berpikir ". Berpikir ( atau natiqiyyah) adalah
sebagai differentia ( atau fashl) yang memisahkan manusia dari sesama genus-nya, yaitu
hewan. Dan sebenarnya kehebatan manusia dan "barangkali" keunggulannya dari spesies-
spesies lainnya karena pengetahuannya. Kemajuan manusia dewasa ini tidak lain karena
pengetahuan yang dimilikinya. Lalu apa yang telah dan ingin diketahui oleh manusia ?
Bagaimana manusia berpengetahuan ? Apa yang ia lakukan dan dengan apa agar
memiliki pengetahuan ? Kemudian apakah yang ia ketahui itu benar ? Dan apa yang
mejadi tolak ukur kebenaran ?
Pertanyaan-pertanyaan di atas sebenarnya sederhana sekali karena pertanyaan-pertanyaan
ini sudah terjawab dengan sendirinya ketika manusia sudah masuk ke alam realita.
Namun ketika masalah-masalah itu diangkat dan dibedah dengan pisau ilmu maka tidak
menjadi sederhana lagi. Masalah-masalah itu akan berubah dari sesuatu yang mudah
menjadi sesuatu yang sulit, dari sesuatu yang sederhana menjadi sesuatu yang rumit
(complicated). Oleh karena masalah-masalah itu dibawa ke dalam pembedahan ilmu,
maka ia menjadi sesuatu yang diperselisihkan dan diperdebatkan. Perselisihan tentangnya
menyebabkan perbedaan dalam cara memandang dunia (world view), sehingga pada
gilirannya muncul perbedaan ideologi. Dan itulah realita dari kehidupan manusia yang
memiliki aneka ragam sudut pandang dan ideologi.
Atas dasar itu, manusia -paling tidak yang menganggap penting masalah-masalah diatas-
perlu membahas ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Dalam hal ini, ilmu tidak lagi menjadi
satu aktivitas otak, yaitu menerima, merekam, dan mengolah apa yang ada dalam benak,
tetapi ia menjadi objek. Para pemikir menyebut ilmu tentang ilmu ini dengan
epistemologi (teori pengetahuan atau nadzariyyah al ma'rifah).
Epistemologi menjadi sebuah kajian, sebenarnya, belum terlalu lama, yaitu sejak tiga
abad yang lalu dan berkembang di dunia barat. Sementara di dunia Islam kajian tentang
ini sebagai sebuah ilmu tersendiri belum populer. Belakangan beberapa pemikir dan
filusuf Islam menuliskan buku tentang epistemologi secara khusus seperti, Mutahhari
dengan bukunya "Syinakht", Muhammad Baqir Shadr dengan "Falsafatuna"-nya, Jawad
Amuli dengan "Nadzariyyah al Ma'rifah"-nya dan Ja'far Subhani dengan "Nadzariyyah al
Ma'rifah"-nya. Sebelumnya, pembahasan tentang epistemologi di bahas di sela-sela buku-
buku filsafat klasik dan mantiq. Mereka -barat- sangat menaruh perhatian yang besar
terhadap kajian ini, karena situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Dunia barat (baca:
Eropa) mengalami ledakan kebebasan berekspresi dalam segala hal yang sangat besar dan
hebat yang merubah cara berpikir mereka. Mereka telah bebas dari trauma intelektual.
Adalah Renaissance yang paling berjasa bagi mereka dalam menutup abad kegelapan
Eropa yang panjang dan membuka lembaran sejarah mereka yang baru. Supremasi dan
dominasi gereja atas ilmu pengetahuan telah hancur. Sebagai akibat dari runtuhnya gereja
yang memandang dunia dangan pandangan yang apriori atas nama Tuhan dan agama,
mereka mencoba mencari alternatif lain dalam memandang dunia (baca: realita). Maka
dari itu, bemunculan berbagai aliran pemikiran yang bergantian dan tidak sedikit yang
kontradiktif. Namun secara garis besar aliran-aliran yang sempat muncul adalah ada dua,
yakni aliran rasionalis dan empiris. Dan sebagian darinya telah lenyap. Dari kaum
rasionalis muncul Descartes, Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Dan dari kaum empiris
adalah Auguste Comte dengan Positivismenya, Wiliam James dengan Pragmatismenya,
Francis Bacon dengan Sensualismenya.
Berbeda dengan barat, di dunia Islam tidak terjadi ledakan seperti itu, karena dalam Islam
agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan, meskipun terdapat
beberapa friksi antara agama dan ilmu, tetapi itu sangat sedikit dan terjadi karena
interpretasi dari teks agama yang terlalu dini. Namun secara keseluruhan agama dan ilmu
saling mendukung. Malah tidak sedikit dari ulama Islam, juga sebagai ilmuwan seperti :
Ibnu Sina, al Farabi, Jabir bin al Hayyan, al Khawarizmi, Syekh al Thusi dan yang
lainnya. Oleh karena itu, ledakan intelektual dalam Islam tidak terjadi. Perkembangan
ilmu di dunia Islam relatif stabil dan tenang.
Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani yang telah di-Arabkan. Kata ini barasal dari dua kata
"philos" dan "shopia" yang berarti pecinta pengetahuan. Konon yang pertama kali
menggunakan kata "philoshop" adalah Socrates. Dia menggunakan kata ini karena dua
alasan, Pertama, kerendah-hatian dia. Meskipun ia seorang yang pandai dan luas
pengetahuannya, dia tidak mau menyebut dirinya sebagai orang yang pandai. Tetapi dia
memilih untuk disebut pecinta pengetahuan.
Kedua, pada waktu itu, di Yunani terdapat beberapa orang yang menganggap diri mereka
orang yang pandai (shopis). Mereka pandai bersilat lidah, sehingga apa yang mereka
anggap benar adalah benar. Jadi kebenaran tergantung apa yang mereka katakan.
Kebenaran yang riil tidak ada. Akhirnya manusia waktu itu terjangkit skeptis, artinya
mereka ragu-ragu terhadap segala sesuatu, karena apa yang mereka anggap benar belum
tentu benar dan kebenaran tergantung orang-orang shopis. Dalam keadaan seperti ini,
Socrates merasa perlu membangun kepercayaan kepada manusia bahwa kebenaran itu
ada dan tidak harus tergantung kepada kaum shopis. Dia berhasil dalam upayanya itu dan
mengalahkan kaum shopis. Meski dia berhasil, ia tidak ingin dikatakan pandai, tetapi ia
memilih kata philoshop sebagai sindiran kepada mereka yang sok pandai. Kemudian
perjuangannya dilanjutkan oleh Plato, yang dikembangkan lebih jauh oleh Aristoteles.
Aristoteles menyusun kaidah-kaidah berpikir dan berdalil yang kemudian dikenal dengan
logika (mantiq) Aristotelian.
Pada mulanya kata filsafat berarti segala ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia.
Mereka membagi filsafat kepada dua bagian yakni, filsafat teoritis dan filsafat praktis.
Filsafat teoritis mencakup: (1) ilmu pengetahuan alam, seperti: fisika, biologi, ilmu
pertambangan dan astronomi; (2) ilmu eksakta dan matematika; (3) ilmu tentang
ketuhanan dan methafisika. Filsafat praktis mencakup: (1) norma-norma (akhlak); (2)
urusa rumah tangga; (3) sosial dan politik.
Ilmu pengetahuan (dalam hal ini pengetahuan ilmiah) harus diperoleh dengan cara sadar,
melakukan sesuatu tehadap objek, didasarkan pada suatu sistem, prosesnya menggunakan
cara yang lazim, mengikuti metode serta melakukannya dengan cara berurutan yang
kemudian diakhiri dengan verifikasi atau pemeriksaan tentang kebenaran ilimiahnya
(kesahihan). Dengan demikian pendekatan filsafat ilmu mempunyai implikasi pada
sistematika pengetahuan sehingga memerlukan prosedur, harus memenuhi aspek
metodologi, bersifat teknis dan normatif akademik. Pada kenyataannya filsafat ilmu
mengalami perkembangan dari waktu ke waktu, perkembangannya seiring dengan
pemikiran tertinggi yang dicapai manusia. Oleh karena itu filsafat sains modern yang ada
sekarang merupakan output perkembangan filsafat ilmu terkini yang telah dihasilkan oleh
pemikiran manusia. Filsafat ilmu dalam perkembangannya dipengaruhi oleh pemikiran
yang dipakai dalam membangun ilmu pengetahuan, tokoh pemikir dalam filsafat ilmu
yang telah mempengaruhi pemikiran sains modern yaitu Rene Descartes (aliran
rasionalitas) dan John Locke (aliran empirikal) yang telah meletakkan dasar rasionalitas
dan empirisme pada proses berpikir.
Kemampuan rasional dalam proses berpikir dipergunakan sebagai alat penggali empiris
sehingga terselenggara proses “create” ilmu pengetahuan. Akumulasi penelaahan empiris
dengan menggunakan rasionalitas yang dikemas melalui metodologi diharapkan dapat
menghasilkan dan memperkuat ilmu pengetahuan menjadi semakin rasional. Akan tetapi,
salah satu kelemahan dalam cara berpikir ilmiah adalah justru terletak pada penafsiran
cara berpikir ilmiah sebagai cara berpikir rasional, sehingga dalam pandangan yang
dangkal akan mengalami kesukaran membedakan pengetahuan ilmiah dengan
pengetahuan yang rasional. Oleh sebab itu, hakikat berpikir rasional sebenarnya
merupakan sebagian dari berpikir ilmiah sehingga kecenderungan berpikir rasional ini
menyebabkan ketidakmampuan menghasilkan jawaban yang dapat dipercaya secara
keilmuan melainkan berhenti pada hipotesis yang merupakan jawaban sementara. Kalau
sebelumnya terdapat kecenderungan berpikir secara rasional, maka dengan meningkatnya
intensitas penelitian maka kecenderungan berpikir rasional ini akan beralih pada
kecenderungan berpikir secara empiris. Dengan demikian penggabungan cara berpikir
rasional dan cara berpikir empiris yang selanjutnya dipakai dalam penelitian ilmiah
hakikatnya merupakan implementasi dari metode ilmiah.
Berdasarkan terminologi, empiris mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan
pemerhatian atau eksperimen, bukan teori , atau sesuatu yang berdasarkan pengalaman
(terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan) .
Dengan demikian sesuatu yang empiris itu sangat tergantung kepada fakta (sesuatu yang
benar dan dapat dibuktikan), hanya saja fakta yang dibuktikan melalui penginderaan
dalam dunia nyata bukanlah fakta yang sudah sempurna telah diamati, melainkan
penafsiran dari sebagian pengamatan. Terjadinya sebagian pengamatan pada fakta
disebabkan oleh pengamatan manusia yang tidak sempurna sehingga mengakibatkan
semua penafsiran manusia mengandung penambahan yang mungkin berubah dengan
berubahnya pengamatan. Rasional mempunyai pengertian sesuatu yang berdasarkan
taakulan, menurut pertimbangan atau pikiran yang wajar, waras atau sesuatu yang
dihasilkan menurut pikiran dan timbangan yang logis, menurut pikiran yang sehat, cocok
dengan akal, menurut rasio, menurut nisbah (patut). Dengan demikian rasionalitas
mencakup dua sumber pengetahuan, yaitu; pertama, penginderaan (sensasi) dan kedua,
sifat alami (fitrah) . Implikasi dari sensasi dan fitrah di atas bisa berpengaruh pada bentuk
pemahaman rasional sebagai pandangan yang menyatakan bahwa pengetahuan tidak
hanya didapatkan dari proses penginderaan saja, karena proses penginderaan hanya
merupakan upaya memahami empirikal. Sementara, pemahaman rasional mengandung
makna bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan pengetahuan-
pengetahuan yang tidak muncul dari hasil penginderaan saja.
Kematangan berpikir ilmiah sangat ditentukan oleh kematangan berpikir rasional dan
berpikir empiris yang didasarkan pada fakta (objektif), karena kematangan itu
mempunyai dampak pada kualitas ilmu pengetahuan. Sehingga jika berpikir ilmiah tidak
dilandasi oleh rasionalisme, empirisme dan objektivitas maka berpikir itu tidak dapat
dikatakan suatu proses berpikir ilmiah. Karena itu sesuatu yang memiliki citra rasional,
empiris dan objektif dalam ilmu pengetahuan dipandang menjamin kebenarannya, dengan
demikian rasionalisme, empirisme dan objektivitas merupakan dogma dalam ilmu
pengetahuan.
Dogma yaitu kepercayaan atau sistem kepercayaan yang dianggap benar dan seharusnya
dapat diterima oleh orang ramai tanpa sebarang pertikaian atau pokok ajaran yang harus
diterima sebagai hal yang benar dan baik, tidak boleh dibantah dan diragukan. Paradigma
ialah lingkungan atau batasan pemikiran pada sesuatu masa yang dipengaruhi oleh
pengalaman, pengetahuan, kemahiran, dan kesadaran yang ada atau model dalam ilmu
pengetahuan, kerangka berpikir . Dari terminologi di atas dogma dan paradigma
sebenarnya mempunyai kaitan makna, karena paradigma merupakan kata lain dari
paradogma atau dogma primer. Dogma primer ialah prinsip dasar dan landasan aksiom
yang kadar kebenarannya sudah tidak dipertanyakan lagi, karena sudah self evident atau
benar dengan sendirinya. Akibatnya dari kebutuhan terhadap adanya paradigma dalam
membangun ilmu pengetahuan (sains) membawa dampak pada kebutuhan adanya
rasionalisme, empirisme dan objektivitas. Artinya, apabila pengetahuan yang dibangun
dan dikembangkan tidak memenuhi aspek rasional, empirikal dan objektif maka
kebenaran pengetahuannya perlu dipertanyakan lagi atau tidak mempunyai kesahihan.
Oleh karena itu membangun ilmu pengetahuan diperlukan konsistensi yang terus
berpegang pada paradigma yang membentuknya.
Kearifan memperbaiki paradigma ilmu pengetahuan nampaknya sangat diperlukan agar
ilmu pengetahuan seiring dengan tantangan zaman, karena ilmu pengetahuan tidak hidup
dengan dirinya sendiri, tetapi harus mempunyai manfaat kepada kehidupan dunia. Oleh
karena itu kita tidak bisa mengatakan ilmu pengetahuan dapat berkembang oleh dirinya
sendiri, jika kita memilih berpikir seperti itu maka sebenarnya kita telah berupaya
memperlebar jurang ketidakmampuan ilmu pengetahuan menjawab permasalahan
kehidupan. Hal ini perlu dipahami secara bijak karena permasalahan kehidupan saat ini
sudah mencapai pada suatu keadaan yang kritis, yaitu krisis yang kompleks dan
multidimensi (intlektual, moral dan spiritual) yang berdampak pada seluruh aspek
kehidupan. Dengan demikian jika kita mempertanyakan penyesuaian apa yang dapat
dilakukan ilmu pengetahuan dengan kenyataan kehidupan (realitas), maka perubahan
paradigma ilmu pengetahuan merupakan jawaban untuk mengatasi krisis yang cukup
serius.
Dalam filsafat ilmu, menurut Bertrand Russel, tahap ini disebut juga tahap manipulasi.
Dalam tahap ini, ilmu tidak saja bertujuan menjelaskan gejala-gejala alam untuk tujuan
pengertian dan pemahaman (ontologi dan epistemologi), melainkan juga untuk
memanipulasi faktor-faktor yang terkait dengan alam untuk mengontrol dan
mengarahkan proses-proses alam yang terjadi. Konsep ilmiah tentang gejala alam
sifatnya abstrak menjelma bentuk jadi kongkret berupa teknologi, misalnya.
Teknologi yang dapat diartikan sebagai penerapan konsep-konsep ilmiah untuk
memecahkan persoalan-persoalan praktis, dalam perjalan dan pencapaian-pencapaiannya,
justru menimbulkan masalah lain. Eksesnya yang dapat disebutkan misalnya
dehumanisasi, degradasi eksistensi kemanusiaan, dan pengrusakan lingkungan hidup.
Sejarah kehidupan manusia memang telah mencatatkan bahwa Perang Dunia I dan II
merupakan ajang pemanfaatan hasil temuan-temuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Penggunaannya secara destruktif ini menimbulkan kontroversi. Pada satu sisi hal itu
menimbulkan efek kehancuran pada manusia dan alam, sementara pada sisi lainnya
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kemudian banyak dimanfaatkan
dalam peperangan dan kehancuran alam adalah bagian dari rangkain perjalan ilmu untuk
mengunkap hakikat gejala alam dan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi sering melupakan faktor-faktor manusia. Misalnya, manusia mesti
menyesuaikan diri terhadap teknologi-teknologi baru. Akhirnya, eksistensi manusia
terpinggirkan dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bencana-bencana yang ditimbulkan oleh pamanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi
(science and technology) antara kerusakan ekologi. Banyak yang dapat disebutkan
tentang kehancuran ekologi: kontaminasi air, udara, tanah, dampak rumah kaca,
kepunahan spesies tumbuhan dan hewan, pengrusakan hutan, akumulasi limba-limba
toksik, penipisan laporan ozon pada atmosfir bumi, kerusakan ekosistem lingkungan
hidup, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, musuh kemanusiaan, yaitu perang. Perang Dunia I
dan II yang meluluhlantakkan Eropa dan sejumlah kawasan di Asia dan Pasifik
menggoreskan luka kemanusiaan. Berapa korban manusia berguguran akibat bom atom
yang dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki, Jepang. Atau kawasan Asia Tengah, yaitu
Afganistan yang menjadi ajang ujicoba penemuan mutakhir teknologi perang buatan
Amerika Serikat dan Uni Soviet (sekarang Rusia).
Pada akhirnya ilmuan memang tiba pada opsi-opsi: apakah ilmu pengetahuan netral dari
segala nilai atau justru batas petualangan dan prospek pengembangan ilmu pengetahuan
tidak boleh mengingkari suatu nilai, seperti nilai moral, religius, dan ideologi. Ilmu
pengetahuan sudah sangat jauh tumbuh dan berkembang untuk dirinya sendiri, sementara
teknologi atau ilmu pengetahuan terapan lain terus bergulir mengikuti logika dan
perspektifnya sendiri—dalam hal ini tak ada nilai-nilai lain yang diizinkan memberikan
kontribusi. Kecemasan tertinggi di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
terjadi ketika ilmu kedokteran berhasil menyelesaikan proyek eksperimennya
mengembangkan janin dengan metode yang disebut “bayi tabung”.
Lalu kemudian ternyata masih ada yang lebih mutakhir dari pada “bayi tabung” itu, yakni
suksesnya para ilmuan merampungkan eksperimen kloningnya. Yang terakhir ini
mengubah hakikat manusia secara dramatis; ilmu pengetahuan yang diciptakan oleh
manusia mampu menciptakan manusia juga. Bahkan, ilmu pengetahuan yang diproyeksi
untuk membantu dan memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya, justru
berkembang dimana ilmu pengetahuan dan atau teknologi itu sendiri mengkreasikan
tujuan-tujuan hidup itu sendiri.
Kalangan humanis kemudian mengajukan sejumlah pertanyaan etis yang penting. Antara
lain pertanyaan itu adalah: untuk apa sebenarnya ilmu harus dipergunakan? Dimanakah
batas ilmu harusnya berkembang? Namun pertanyaan ini tidak urgen bagi ilmuan dan
tidak merupakan tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Penelaahan tujuan ilmu pengetahuan itu dikembangkan dan diterapkan, untuk tulisan ini,
cukup penting. Karena ide dasar penerapan hasil-hasil ilmu pengetahuan adalah untuk
meningkatkan kesejahteraan dan penghidupan manusia. Seperti disebutkan sebelumnya,
ekspektasi besar manusia pada ilmu pengetahuan bahwa itu dapat membantu dan
memudahkan manusia mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Namun yang terjadi kemudian
adalah absuditas (paradoks): bahwa ilmu pengetahuan justru membiaskan kehancuran
dan malapetaka bagi alam dan manusia (kehancuran itu telah disebutkan pada pragraf
sebelumnya).
Adakah ini berarti bahwa gerak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
sebaiknya cukup sampai di sini? Atau boleh dilanjutkan tetapi menurut konsideran dari
otoritas-otoritas tertentu (bukan otoritas administratif dan institusi keagamaan atau
ideologi)? Akan tetapi, bila ruang gerak prospek ilmu pengetahuan dan teknologi ini
dipagari, berarti kita telah melangkah mundur hingga pada jamannya Galileo atau
Socrates. Konsekuensinya, kemandirian ilmu pengetahuan untuk berkembang terkebiri,
sementara problem yang muncul sesungguhnya tidak bersumber pada pencapaian ilmu
pengetahuan dan teknologi itu.
Untuk sementara, dasar ontologis, epistemologis dan aksiologis terbentuknya
pengetahuan perlu diungkit kembali untuk mempetakan persoalan yang ditimbulkan oleh
pencapaian-pencapaian ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut dasar-dasar ini, suatu
pengetahuan merupakan hasil kontemplasi yang menguak hakikat realitas alam dan
manusia sebagai suatu obyek empiris (tahap ontologis). Ketika realitas yang berbentuk
obyek itu berusaha dipahami dan dimengerti (diketahui), maka itulah tahap
epistemologis. Intervensi kepentingan manusia dan nilai-nilai etika, moral, dan agama
tidak ditemukan dalam tahap ini dan memang tidak relevan ditempatkan dalam proses itu.
Ketika ada pertanyaan tentang manfaat pengetahuan itu bagi kehidupan manusia, berarti
yang dimaksudkan adalah tahap aksiologis dari pengetahuan itu. Dalam tahap ini,
persitwa alam dan manusia tidak lagi bergerak secara orisinal menurut kecenderungan
alamiahnya, tetapi sudah merupakan proses yang artikulatif dan manipulatif. Dalam
artian bahwa, kepentingan manusia sudah dapat berinfiltrasi ke dalam penerapan
pengetahuan itu.
Tahap aksiologis inilah dari sejumlah rangkaian kegiatan keilmuan suatu pengetahuan
yang kerap menimbulkan kontroversi dan paradoks. Hal ini dimungkinkan karena adanya
kemampuan manusia melakukan artikulasi dan manipulasi terhadap kejadian-kejadian
alam untuk kepentingannya. Kepentingan manusia sangat ditentukan oleh motif dan
kesadaran yang pada manusia itu sendiri. Jadi, fokus persoalan ilmu pengetahuan pada
tingkat aksiologis ini ada pada manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang
manusia akan sangat membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana
sebaiknya ilmu pengatahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran
aksiologi. Sekaligus pula diperperterang kembali bahwa pertentangan antara kalangan
humanis dan ilmuan pada abad ini adalah berkisar pada tingkatan aksiologis itu. Berbeda
pada zamam Copernicus atau Galileo, di mana ilmuan bertentangan dan saling
mempertahankan keyakinan dengan kalangan gerja pada tataran ontologis. Oleh karena
itu, tuntutan kemanusiaan pada wilayah aksiologi ilmu pengetahuan dan teknologi ini
mendapat permakluman secara luas.
Kembali, kita akan fokus pada manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam
mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri daru
Freud yang dikenal dengan nama “id”, “ego” dan “super-ego”. “Id” adalah bagian
kepribadian yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama)
dan hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos
(destruktif dan agresif). “Ego” adalah penyelaras antara “id” dan realitas dunia luar.
“Super-ego” adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani. Dalam agama,
ada sisi destruktif manusia, yaitu sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis, mereka dapat saja
hanya memfungsikan “id”-nya, sehingga dapat dipastikan bahwa manfaat pengetahuan
mungkin diarahkan untuk hal-hal yang destruktif. Milsanya dalam pertarungan antara id
dan ego, dimana ego kalah sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—
atau juga nafsu angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan
dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan—amatlah nihil kebaikan yang diperoleh
manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang dunia, kerusakan
lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan “id” dari kepribadian manusia yang
mengalahkan “ego” maupun “super-ego”-nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai adalah hal yang
mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggungjawab manusia dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemaslahatan
manusia itu sendiri. Karena dalam penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias
negatif dan destruktif, maka diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan
potensi “id” (libido) dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan
pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika menjadi ketentuan mutlak, yang akan
menjadi well-supporting bagi pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan derajat hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat
moral, tempat ilmuan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya (ought to),
benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang baik atau good
dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian dengan hati nurani.
Bernaung di bawah filsafat moral . Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan
kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan
mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada
dasarnya adalah seperangkat kewajiban-kewajiban tentang kebaikan (good) yang
pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang subyek
berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban ekskutor dalam situasi
ini.
Peran Etika (Moral) Dan Dilema Yang Muncul
Peranan moral akan sangat kentara ketika perkembangan ilmu terjadi pada saat tahap
peralihan dari kontemplasi ke tahap manipulasi. Pada tahap kontemplasi, masalah moral
berkaitan dengan metafisik keilmuan, sedangkan pada tahap manipulasi masalah moral
berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah itu sendiri. Dengan kata lain
ketika ilmu dihadapkan pada kenyataan, maka yang dibicarakan adakah tentang aksiologi
keilmuan.
Sebelum menentukan sejauhmana peran moral dalam penggunaan ilmu atau teknologi,
ada dua kelompok yang memandang hubungan antara ilmu dan moral. Kelompok
pertama, memandang bahwa ilmu itu harus bersifat netral, bebas dari nilai-nilai ontologi
dan aksiologi. Dalam hal ini, fungsi ilmuwan adalah menemukan pengetahuan
selanjutnya terserah kepada orang lain untuk mempergunakan untuk tujuan baik atau
buruk. Kelompok pertama ini ingin melanjutkan tradisi kenetralannya secara total seperti
pada waktu Galileo. Kelompok kedua, berpendapat bahwa kenetralan terhadap nilai
hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan
pemilihan obyek penelitian, kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Hal
ini ditegaskan oleh Charles Darwin bahwa kesadaran kita akan moral dalam penggunakan
ilmu kita sejogyanya menggunakan pikiran kita .
Analisa perkembangan selanjutnya dengan apa yang sudah terjadi, kelompok yang
mengedepankan nilai moral mengkhawatrirkan terjadinya de-humanisasi, di mana
martabat manusia menjadi lebih rendah, manusia akan dijadikan obyek aplikasi teknologi
kelimuan. Hal ini berkaitan peristiwa yang terjadi selama ini, yaitu : (1) Secara faktual
telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya Perang
Dunia II. (2) Ilmu telah berkembang dengan pesat dan sangat esoterik (hanya diketahui
oleh orang-orang tertentu saja) sehingga kaum ilmuwan lebih mengetahui ekses-ekses
yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan. (3) Ilmu telah berkembang sedemikian
rupa dimana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaannya yang paling hakiki seperti pada revolusi genetika dan teknik perubahan
sosial.
Persoalan baru yang muncul saat menerapkan nilai moral ialah konflik yang
menimbulkan dilema nurani mana yang baik, benar, yang mana yang tidak dan mana
yang selayaknya. Disinilah, etika memainkan peranannya, etika berkaitan dengan “apa
yang seharusnya” atau terkait dengan apa yang baik dan tidak baik untuk kita lakukan
serta apa yang salah dan apa yang benar. Menurut J.Osdar, oleh filsuf Yunani kuno,
Aristoteles, kata etika dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Kata moral punya arti
sama dengan kosakata etika. Kata moral berasal dari bahasa Latin, yakni mos (jamaknya
mores). Artinya kebiasaan, adat. Di sini kata moral dan etika punya arti sama.
Dari pemahaman tersebut, maka etika menjadi acuan atau panduan bagi ilmu dalam
realisasi pengembangannya. Untuk mengatasi konflik batin dikemukakan teori-teori etika
yang bermaksud untuk menyediakan konsistensi dan koheren dalam mengambil
keputusan–keputusan moral. Teori–teori etika tersebut adalah :
1. Konsekuensialisme. Teori ini menjawab “apa yang harus kita lakukan”, dengan
memandang konsekuensi dari bebagai jawaban. Ini berarti bahwa yang harus dianggap
etis adalah konsekuensi yang membawa paling banyak hal yang menguntungkan,
melebihi segala hal merugikan, atau yang mengakibatkan kebaikan terbesar bagi jumlah
orang terbesar. Manfaat paling besar daru teori ini adalah bahwa teori ini sangat
memperhatikan dampak aktual sebuah keputusan tertentu dan memperhatikan bagaimana
orang terpengaruh. Kelemahan dari teori ini bahwa lingkungan tidak menyediakan
standar untuk mengukur hasilnya.
2. Deontologi, berasal dari kata Yunani deon yang berarti “kewajiban”. Teori ini
menganut bahwa kewajiban dalam menentukan apakah tindakannya bersifat etis atau
tidak, dijawab dengan kewajiban-kewajiban moral. Suatu perbuatan bersifat etis, bila
memenuhi kewajiban atau berpegang pada tanggungjawab, Jadi yang paling penting
adalah kewajiban-kewajiban atau aturan-aturan, karena hanya dengan memperhatikan
segi-segi moralitas ini dipastikan tidak akan menyalahkan moral. Manfaat paling besar
yang dibawakan oleh etika deontologis adalah kejelasan dan kepastian. Problem terbesar
adalah bahwa deontologi tidak peka terhadap konsekuensi-konsekuensi perbuatan.
Dengan hanya berfokus pada kewajiban, barangkali orang tidak melihat beberapa aspek
penting sebuah problem.
3. Etika Hak. Teori ini memandang dengan menentukan hak dan tuntutan moral yang ada
didalamnya, selanjutnya dilema-dilema ini dipecahkan dengan hirarkhi hak. Yang
penting dalam hal ini adalah tuntutan moral seseorang yaitu haknya ditanggapi dengan
sungguh-sungguh. Teori hak ini pantas dihargai terutama karena terkanannya pada nilai
moral seorang manusia dan tuntutan moralnya dalam suatu situasi konflik etis. Selain itu
teori ini juga menjelaskan bagiaman konflik hak antar individu. Teori ini menempatkan
hak individu dalam pusat perhatian yang menerangkan bagaimana memecahklan konflik
hak yang bisa timbul.
4. Intuisionisme, teori ini berusaha memecahkan dilema-dilema etis dengan berpijak pada
intuisi, yaitu kemungkinan yang dimiliki seseorang untuk mengetahui secara langsung
apakah sesuatu baik atau buruk. Dengan demikian seorang intuisionis mengetahui apa
yang baik dan apa yang buruk berdasarkan perasaan moralnya, bukan berdasarkan situasi,
kewajiban atau hak. Dengan intuisi kita dapat meramalkan kemungkinan-kemunginan
yang terjadi tetapi kita tidak dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut karena
kita tidak dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan.
Etika menjadi acuan bagi pengembangan ilmu pengetahuan karena penghormatan atas
manusia. Sebagaimana dikemukakan, fisuf Jerman, Imanuel Kant, penghormatan kepada
martabat manusia adalah suatu keharusan karena manusia adalah satu-satunya makhluk
yang merupakan tujuan pada dirinya, tidak boleh ditaklukkan untuk tujuan lain.
Kenyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh terpengaruh oleh nilai-nilai yang
letaknya di luar ilmu pengetahuan , dapat diungkapkan juga dengan rumusan singkat
bahwa ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas . Namun demikian jelaslah kiranya bahwa
kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan
mutlak. Patutlah kita menyelidiki lebih lajut bagaimana kebebasan ini.
Bila kata “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal: kemungkinan untuk
memilih dan kemampuan atau hak subjek bersangkutan untuk memilih sendiri. Supaya
terdapat kebebasan, harus ada penentuan sendiri dan bukan penentuan dari luar.
Etika memang tidak masuk dalam kawasan ilmu pengetahuan yang bersifat otonom,
tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan.
Tanggungjawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan
ilmu pengetahuan. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat
manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggungjawab pada
kepentingan umum, kepentingan pada generasi mendatang, dan bersifat universal .
Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan
memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Tanggungjawab etis ini bukanlah berkehendak mencampuri atau bahkan
“menghancurkan” otonomi ilmu pengetahuan, tetapi bahkan dapat sebagai umpan balik
bagi pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri, yang sekaligus akan memperkokoh
eksistensi manusia.
Pada prinsipnya ilmu pengetahuan tidak dapat dan tidak perlu di cegah
perkembangannya, karena sudah jamaknya manusia ingin lebih baik, lebih nyaman, lebih
lama dalam menikmati hidupnya. Apalagi kalau melihat kenyataan bahwa manusia
sekarang hidup dalam kondisi sosio-tekhnik yang semakin kompleks. Khususnya ilmu
pengetahuan – berbentuk tekhnologi – pada masa sekarang tidak lagi sekedar memenuhi
kebutuhan manusia, tetapi sudah sampai ketaraf memenuhi keinginan manusia. Sehingga
seolah-olah sekarang ini tekhnologilah yang menguasai manusia bukan sebaliknya.
Kita yakin adanya kenyataan bahwa antara ilmu pengetahuan theoria dengan penerapan
praksisnya sukar sekali dipisahkan. Tetapi jelas karena sudah menyangkut relasi antar
manusia yang bersifat nyata, dan bukan sekedar perbincangan teoritik “awang-awang”
harus dikendalikan secara moral. Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang – yang
berupa tekhnologi – apabila tidak tepat dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai
pembebas beban kerja manusia akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang
diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat
manusia justru direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan social yang
mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat
kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, pelacuran dan sebagainya.
Terjadi pula fenomena depersonalisasi, dehumanisasi, karena manusia kehilangan peran
dan fungsinya sebagai makhluk spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik sosial-
politik, karena menguasai ilmu pengetahuan (tekhnologi) dapat memperkuat posisi politik
atau sebaliknya orang yang berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan
tekhnologi. Semuanya mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur keseimbangan
antar ilmu pengetahuan dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan, antara
industriawan selaku produsen dengan konsumen. Dalam bahasa Jacob lebih lanjut
dikatakan bahwa ilu pengetahuan jangan sampai merugikan manusia dan lingkungan
serta tidak boleh menimbulkan konflik internal maupun politik.
Tanggungjawab ilmu pengetahuan menyangkut juga tanggungjawab terhadap hal-hal
yang akan dan telah diakibatkan ilmu pengetahuan dimasa lalu, sekarang, maupun apa
akibatnya bagi masa depan berdasar keputusan-keputusan bebas manusia dalam
kegiatannya. Penemuan-penemuan baru dalam ilmu pengetahuan terbukti ada yang dapat
mengubah sesuatu aturan baik alam maupun manusia. Hal ini tentu saja menuntut
tanggungjawab untuk selalu menjaga agar apa yang diwujudkan dalam perubahan
tersebut akan merupakan perubahan yang baik, yang seharusnya ; baik bagi
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi itu sendiri maupun bagi perkembangan
eksisitensi manusia secara utuh. Dalam bahasa Melsen : Tanggungjawab dalam ilmu
pengetahuan menyangkut problem etis karena menyangkut ketegangan-ketegangan antara
realitas yang ada dan realitas yang seharusnya ada.
Ilmu pengetahuan secara ideal seharusnya berguna dalam dua hal yaitu membuat manusia
rendah hati karena memberikan kejelasan tentang jagad raya, kedua mengingatkan bahwa
kita masih bodoh dan masih banyak yang harus diketahui dan dipelajari. Ilmu
pengetahuan tidak mengenal batas, asalkan manusia sendiri yang menyadari
keterbatasannya. Ilmu pengetahuan tidak dapat menyelesaikan masalah manusia secara
mutlak, namun ilmu pengetahuan sangat bergua bagi manusia.
Keterbatasan ilmu pengetahuan mengingatkan kepada manusia untuk tidak hanya
mengekor secara membabi buta kearah yang tak dapat dipanduinya, sebab ilmu
pengetahuan saja tidak cukup dalam menyelesaikan masalah kehidupan yang amat rumit
ini. Keterbatasan ilmu pengetahuan membuat manusia harus berhenti sejenak untuk
merenungkan adanya sesuatu sebagai pegangan.
Kemajuan ilmu pengetahuan, dengan demikian, memerlukan visi moral yang tepat.
Manusia dengan ilmu pengetahuan akan mampu untuk berbuat apa saja yang
diinginkannya, namun pertimbangan tidak hanya sampai pada “apa yang dapat diperbuat”
olehnya tetapi perlu pertimbangan “apakah memang harus diperbuat dan apa yang
seharusnya diperbuat” dalam rangka kedewasaan manusia yang utuh. Pada dasarnya
mengupayakan rumusan konsep etika dalam ilmu pengetahuan harus sampai kepada
rumusan normatif yang berupa pedoman pengarah konkret, bagaimana keputusan
tindakan manusia dibidang ilmu pengetahuan harus dilakukan. Moralitas sering
dipandang banyak orang sebagai konsep abstrak yang akan mendapatkan kesulitan
apabila harus diterapkan begitu saja terhadap masalah manusia konkret. Realitas
permasalahan manusia yang bersifat konkret-empirik seolah-olah mempunyai
“kekuasaan” untuk memaksa rumusan moral sebagai konsep abstrak menjabarkan
kriteria-kriteria baik buruknya sehingga menjadi konsep normatif, secara nyata sesuai
dengan daerah yang ditanganinya.
Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan. Tidak ada
pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, “apakah sesuatu itu baik
atau jahat”. “Apa” yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi “Bagaimana” dari
etika. Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang
memperbincangkan bagaimana tekhnik yang mengelola kelakuan manusia. Dengan
demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah dari
perorangan, mengenai yang halal dan yang haram. Tetapi berkembag menjadi sesuatu
etika makro yang mampu merencanakan masyarakat sedemikian rupa sehingga manusia
dapat belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya
sendiri.
Terkait dengan keterbukaan yang disebutkan diatas, maka etika hanya menyebut
peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan
pertanyaan, bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil tekhnologi
moderen dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan
kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar
memberikan isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam
peristiwa aktual dan factual manusia, sehingga terjadi hubungan timbale balik dengan apa
yang sebenarnya terjadi. Etika seperti itu berdasarkan “interaksi” antara keadaan etika
sendiri dengan masalah-masalah yang mem-“bumi”.
Penutup
Berbicara etika sama artinya dengan berbicara tentang moral atau susila, mempelajari
kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Penilaian
moral diukur dari sikap manusia sebagai pelakuknya, timbul pula perbedaan penafsiran.
Timbulnya dilema-dilema nurani yang mengakibatkan konflik berkembangnya ilmu
(pengetahuan) dengan moral, kemudian muncul teori etika, tetapi juga tidak bisa serta
merta menjadi pegangan untuk mempertanggungjawaban pengambilan keputusan. Meski
demikan, teori etika memberikan kerangka analisis bagi pengembangan ilmu agar tidak
melanggar penghormatan terhadap martabat kemanusiaan
Selain itu, pengembangan ilmu harus memperhitungkan perasaan moral dan bukannya
berdasarkan situasi, kewajiban dan hak. Pengembangan ilmu harus berpijak pada
proyeksi tentang kemungkinan yang secara etis dapat diterima oleh masyarakat atau
individu-individu manusia selaku pengguna atau penerima hasil pengembangan ilmu
(teknologi). Apa yang baik dan buruk dari hasil pengembangan ilmu harus dapat
dipertanggungjawabkan pihak yang mengembangkan ilmu (ilmuwan ataupun penemu).
Sebagaimana namanya, “intiusionisme” memang tidak bisa menjelaskan proses
pengambilan keputusan, karena berpijak pada intuisi. Ini dapat dimaknai, ilmuwan secara
pribadi, menjadi penentu pertimbangan moral dari pengembangan ilmu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Charis Zubeir, Ahmad. 2002. Kajian Filsafat Ilmu; Dimensi Etik dan Asketik Ilmu
Pengetahuan Manusia. Lembaga Studi Filsafat Islam; Yogyakarta
Van Melsen, A. G. M.1992. Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita Terj. Dr. K.
Bertens, PT Gramedia Pustaka Utama; Jakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1995. Ed. ke 2. Jakarta: Balai Pustaka
As-Shadr, Muhammad Baqir.1995. Falsafatuna. Terj. M. Nur Mufid bin Ali. Bandung:
Penerbit Mizan.
Kamus Dewan. 1994. Ed. ke 3. Kuala Lumpur: Dewan Pustaka dan Bahasa.
Rosenthal, Franz. 1997. Keagungan Ilmu Terj. Syed Muhamad Dawilah Syed Abdullah.
Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Jujun S, Suriasumantri.,2003, “Filsasfat Ilmu”, sebuah pengantar populer. Pustaka Sinar
Harapan: Jakarta
Soewardi, Herman, 1999, “Roda Berputar Dunia Bergulir” Kognisi Baru Tentang
Timbul-Tenggelamnya Sivilisasi, Bakti Mandiri, Bandung.