You are on page 1of 5

MATEMATIKA DAN STATISTIKA1

oleh: agus nurcholis saleh

A. Pendahuluan

Secara sederhana, ilmu dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang

telah teruji kebenarannya. Semua pernyataan ilmiah bersifat faktual, dimana

konsekuensinya dapat diuji baik dengan jalan mempergunakan panca indera,

maupun dengan mempergunakan alat-alat yang membantu panca indera

tersebut.2

Ditinjau dari perkembangannya, ilmu dapat dibagi dalam tiga tahap:

sistematika, komparatif, dan kuantitatif.3 Pada tahap pertama, ilmu mulai

menggolong-golongkan obyek empiris ke dalam kategori-kategori tertentu.

Pada tahap kedua, kita mulai melakukan perbandingan antara obyek (kategori)

yang satu dengan obyek/kategori yang lain. Kemudian, dari perbandingan

dicari hubungan diantara obyek tersebut. Sedangkan pada tahap ketiga, kita

mencari hubungan sebab akibat yang didasarkan pada pengukuran (eksak) dari

obyek yang sedang kita teliti.

Terkait dengan matematika dan statistika sebagai ilmu, berikut ini dua

cerita yang ikut memberikan pemahaman tentang kedua ilmu di atas:

“Suatu hari, seorang anak kecil disuruh ayahnya membeli sebungkus


korek api dengan pesan agar tidak terkecoh mendapatkan korek api yang
jelek. Tidak lama kemudian, anak kecil itu datang kembali dengan wajah
yang berseri-seri, menyerahkan kotak korek api yang kosong, dan

1 Resume dari Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2005), hlm. 189 – 225.
2 Ibid., h. 215
3 Ibid., h. 197
berkata: “Korek api ini benar-benar bagus pak, semua batangnya telah
saya coba dan ternyata menyala”.4

Di lain tempat, sebuah pasangan muda yang sedang berbulan madu,


karena soal yang sepele, bertengkar dan tidak mau berbicara satu sama
lain. Setiap kali dilakukan usaha untuk berdamai, maka usaha ini kandas
disebabkan komunikasi yang selalu menjurus kepada emosi yang sedang
peka, maklum telah tersinggung per-nya. Diam-diam kedua orang muda
datang kepada orang tua, satu-satunya tamu yang lain di hotel tempat
mereka berbulan madu, dan mengadukan halnya. Orang tua itu, yang
kebetulan adalah dosen filsafat ilmu, membuka buku indeks diktat yang
dikarangnya dan berfatwa, “Bicaralah dengan bahasa matematika!”.5

B. Sumbangan Matematika terhadap Ilmu

Matematika adalah bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari

pernyataan yang ingin kita sampaikan, tanpa (diberi) makna, matematika

hanya kumpulan rumus-rumus yang mati.6 Matematika merupakan bahasa

artifisial yang dikembangkan untuk menjawab kekurangan bahasa verbal yang

bersifat alamiah7 dimana bahasa verbal hanya mampu mengemukakan

pernyataan yang bersifat kualitatif, baik dalam penjelasan maupun ramalan.8

Untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada bahasa maka kita berpaling

kepada matematika.9

Matematika mempunyai kelebihan lain dibandingkan dengan bahasa

verbal10 yang bersifat kabur, majemuk, dan emosional.11 Bahasa verbal hanya

4 Ibid., hlm. 211.


5 Ibid., hlm. 189.
6 Ibid., h. 190
7 Ibid., h. 208
8 Ibid., h. 193
9 Ibid., h. 191
10 Ibid., h. 193
11 Ibid., h. 191
mampu mengemukakan pernyataan yang bersifat kualitatif.12

Sifat kuantitatif dari matematika ini meningkatkan daya prediktif dan

kontrol (tepat dan cermat) dari ilmu sehingga jawabannya lebih bersifat eksak

yang memungkinkan pemecahan masalah secara lebih tepat dan cermat.

Matematika membuat ilmu berkembang dari kualitatif menjadi kualitatif.13

C. Sejarah perkembangan matematika

Griffits dan Howson membagi sejarah perkembangan matematika

menjadi empat tahap. Pertama, matematika yang berkembang pada peradaban

Mesir Kuno dan daerah sekitarnya seperti Babylonia dan Mesopotamia. Saat

itu, matematika telah dipergunakan dalam perdagangan, pertanian, bangunan

dan usaha mengontrol alam seperti banjir.

Kedua, ketika matematika mendapatkan momentum baru dalam

peradaban Yunani yang sangat memperhatikan aspek estetik dari matematika.

Pada saat ini, matematika dijadikan sebagai cara berpikir rasional dengan

menetapkan berbagai langkah dan definisi tertentu.

Ketiga, perkembangan matematika di Timur sekitar tahun 1000

dimana bangsa Arab, India, dan Cina mengembangkan ilmu hitung dan

aljabar. Mereka mendapatkan angka nol dan cara penggunaan desimal

serta mengembangkan kegunaan praktis dari ilmu hitung dan aljabar

tersebut.

Ilmu sampai kepada pengetahuan yang dewasa melalui pengkajian

12 Ibid., h. 193
13 Ibid., h. 193
kualitatif dan kuantitatif (matematika).14 Namun demikian, angka tidak

bertujuan menggantikan kata-kata (kualitatif), pengukuran “sekadar” unsur

dalam menjelaskan persoalan yang menjadi pokok analisis utama.15

D. Statistika

Statistika merupakan sarana berpikir yang diperlukan untuk memproses

pengetahuan secara ilmiah. Sebagai bagian dari perangkat metode ilmiah,

maka statistika membantu kita untuk melakukan generalisasi dan

menyimpulkan karakteristik suatu kejadian secara lebih pasti dan bukan

terjadi secara kebetulan.16 Statistika merupakan pengetahuan yang

memungkinkan kita untuk menarik kesimpulan secara induktif berdasarkan

peluang tersebut.17

Statistika memberikan jalan keluar dengan memberikan cara untuk

menarik kesimpulan yang bersifat umum dengan jalan mengamati hanya

sebagian dari populasi yang diuji.18 Penarikan kesimpulan secara statistik

memungkinkan kita untuk melakukan kegiatan ilmiah secara ekonomis.19

Dasar dari teori statistika adalah teori peluang20

Statistika harus mendapat tempat yang sejajar dengan matematika agar

keseimbangan berpikir deduktif dan induktif yang merupakan ciri dari

14 Ibid., hlm. 209


15 Ibid., hlm. 210.
16 Ibid., h. 225
17 Ibid., h. 221
18 Ibid., h. 218
19 Ibid., h. 220
20 Ibid., h. 221
berpikir ilmiah dapat dilakukan dengan baik.

Ada beberapa kritikan terhadap statistika, misalnya yang dikemukakan

oleh Disraeli bahwa statistika itu adalah kebohongan yang ketiga setelah

dusta dan dusta besar. Statistika sebagai suatu disiplin keilmuan sering

dikacaukan dengan istilah “hanya pengumpulan data” yang membuka

peluang manipulasi data (disulap). Penyair W.H. Auden pun ikut bersajar:

“Jangan duduk dengan seorang ahli statistika”.21 Selain itu, filsuf

Schonpenhauer menganggap bahwa berhitung merupakan aktivitas mental

yang paling rendah.

21 Lihat h. 223.

You might also like