You are on page 1of 31

Kenakalan remaja meliputi semua perilaku yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana

yang dilakukan oleh remaja. Perilaku tersebut akan merugikan dirinya sendiri dan orang-orang di
sekitarnya.

Para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia 13-18 tahun. Pada
usia tersebut, seseorang sudah melampaui masa kanak-kanak, namun masih belum cukup matang
untuk dapat dikatakan dewasa. Ia berada pada masa transisi.

Definisi kenakalan remaja menurut para ahli

 Kartono, ilmuwan sosiologi


Kenakalan Remaja atau dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah juvenile delinquency
merupakan gejala patologis sosial pada remaja yang disebabkan oleh satu bentuk
pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang
menyimpang".

 Santrock
"Kenakalan remaja merupakan kumpulan dari berbagai perilaku remaja yang tidak dapat
diterima secara sosial hingga terjadi tindakan kriminal."

Sejak kapan masalah kenakalan remaja mulai disoroti?

Masalah kenakalan remaja mulai mendapat perhatian masyarakat secara khusus sejak
terbentuknya peradilan untuk anak-anak nakal (juvenile court) pada 1899 di Illinois, Amerika
Serikat.

Jenis-jenis kenakalan remaja

 Penyalahgunaan narkoba
 Seks bebas
 Tawuran antara pelajar

Penyebab terjadinya kenakalan remaja

Perilaku 'nakal' remaja bisa disebabkan oleh faktor dari remaja itu sendiri (internal) maupun
faktor dari luar (eksternal). Faktor internal:

1. Krisis identitas
Perubahan biologis dan sosiologis pada diri remaja memungkinkan terjadinya dua bentuk
integrasi. Pertama, terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya. Kedua,
tercapainya identitas peran. Kenakalan ramaja terjadi karena remaja gagal mencapai masa
integrasi kedua.
2. Kontrol diri yang lemah
Remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan tingkah laku yang dapat diterima
dengan yang tidak dapat diterima akan terseret pada perilaku 'nakal'. Begitupun bagi
mereka yang telah mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa
mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.

Faktor eksternal:

1. Keluarga
Perceraian orangtua, tidak adanya komunikasi antar anggota keluarga, atau perselisihan
antar anggota keluarga bisa memicu perilaku negatif pada remaja. Pendidikan yang salah
di keluarga pun, seperti terlalu memanjakan anak, tidak memberikan pendidikan agama,
atau penolakan terhadap eksistensi anak, bisa menjadi penyebab terjadinya kenakalan
remaja.
2. Teman sebaya yang kurang baik
3. Komunitas/lingkungan tempat tinggal yang kurang baik.

Hal-hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kenakalan remaja:

1. Kegagalan mencapai identitas peran dan lemahnya kontrol diri bisa dicegah atau diatasi
dengan prinsip keteladanan. Remaja harus bisa mendapatkan sebanyak mungkin figur
orang-orang dewasa yang telah melampaui masa remajanya dengan baik juga mereka
yang berhasil memperbaiki diri setelah sebelumnya gagal pada tahap ini.
2. Adanya motivasi dari keluarga, guru, teman sebaya untuk melakukan point pertama.
3. Kemauan orangtua untuk membenahi kondisi keluarga sehingga tercipta keluarga yang
harmonis, komunikatif, dan nyaman bagi remaja.
4. Remaja pandai memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua memberi arahan
dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus bergaul.
5. Remaja membentuk ketahanan diri agar tidak mudah terpengaruh jika ternyata teman
sebaya atau komunitas yang ada tidak sesuai dengan harapan.

HAL – HAL YANG MEMPENGARUHI TIMBULNYA KENAKALAN REMAJA


Posted: Januari 14, 2008 by h4b13 in INFO

113

Kenakalan remaja dapat ditimbulkan oleh beberapa hal, sebagian di antaranya adalah:

1. PENGARUH KAWAN SEPERMAINAN


Di kalangan remaja, memiliki banyak kawan adalah merupakan satu bentuk prestasi tersendiri.
Makin banyak kawan, makin tinggi nilai mereka di mata teman-temannya. Apalagi mereka dapat
memiliki teman dari kalangan terbatas. Misalnya, anak orang yang paling kaya di kota itu, anak
pejabat pemerintah setempat bahkan mungkin pusat atau pun anak orang terpandang lainnya.
Di jaman sekarang, pengaruh kawan bermain ini bukan hanya membanggakan si remaja saja
tetapi bahkan juga pada orangtuanya. Orangtua juga senang dan bangga kalau anaknya
mempunyai teman bergaul dari kalangan tertentu tersebut. Padahal, kebanggaan ini adalah
semu sifatnya. Malah kalau tidak dapat dikendalikan, pergaulan itu akan menimbulkan
kekecewaan nantinya. Sebab kawan dari kalangan tertentu pasti juga mempunyai gaya hidup
yang tertentu pula. Apabila si anak akan berusaha mengikuti tetapi tidak mempunyai modal
ataupun orangtua tidak mampu memenuhinya maka anak akan menjadi frustrasi. Apabila timbul
frustrasi, maka remaja kemudian akan melarikan rasa kekecewaannya itu pada narkotik, obat
terlarang, dan lain sebagainya.Pengaruh kawan ini memang cukup besar. Dalam Mangala Sutta,
Sang Buddha bersabda: “Tak bergaul dengan orang tak bijaksana, bergaul dengan mereka yang
bijaksana, itulah Berkah Utama”. Pengaruh kawan sering diumpamakan sebagai segumpal
daging busuk apabila dibungkus dengan selembar daun maka daun itupun akan berbau busuk.
Sedangkan bila sebatang kayu cendana dibungkus dengan selembar kertas, kertas itu pun akan
wangi baunya. Perumpamaan ini menunjukkan sedemikian besarnya pengaruh pergaulan dalam
membentuk watak dan kepribadian seseorang ketika remaja, khususnya. Oleh karena itu,
orangtua para remaja hendaknya berhati-hati dan bijaksana dalam memberikan kesempatan
anaknya bergaul. Jangan biarkan anak bergaul dengan kawan-kawan yang tidak benar. Memiliki
teman bergaul yang tidak sesuai, anak di kemudian hari akan banyak menimbulkan masalah bagi
orangtuanya.

Untuk menghindari masalah yang akan timbul akibat pergaulan, selain mengarahkan
untuk mempunyai teman bergaul yang sesuai, orangtua hendaknya juga memberikan
kesibukan dan mempercayakan sebagian tanggung jawab rumah tangga kepada si remaja.
Pemberian tanggung jawab ini hendaknya tidak dengan pemaksaan maupun mengada-
ada. Berilah pengertian yang jelas dahulu, sekaligus berilah teladan pula. Sebab dengan
memberikan tanggung jawab dalam rumah akan dapat mengurangi waktu anak ‘kluyuran’
tidak karuan dan sekaligus dapat melatih anak mengetahui tugas dan kewajiban serta
tanggung jawab dalam rumah tangga. Mereka dilatih untuk disiplin serta mampu
memecahkan masalah sehari-hari. Mereka dididik untuk mandiri. Selain itu, berilah
pengarahan kepada mereka tentang batasan teman yang baik.

Dalam Digha Nikaya III, 188, Sang Buddha memberikan petunjuk tentang kriteria teman
baik yaitu mereka yang memberikan perlindungan apabila kita kurang hati-hati, menjaga
barang-barang dan harta kita apabila kita lengah, memberikan perlindungan apabila kita
berada dalam bahaya, tidak pergi meninggalkan kita apabila kita sedang dalam bahaya
dan kesulitan, dan membantu sanak keluarga kita.

Sebaliknya, dalam Digha Nikaya III, 182 diterangkan pula kriteria teman yang tidak baik.
Mereka adalah teman yang akan mendorong seseorang untuk menjadi penjudi, orang
yang tidak bermoral, pemabuk, penipu, dan pelanggar hukum.

2. PENDIDIKAN
Memberikan pendidikan yang sesuai adalah merupakan salah satu tugas orangtua kepada anak
seperti yang telah diterangkan oleh Sang Buddha dalam Digha Nikaya III, 188. Agar anak dapat
memperoleh pendidikan yang sesuai, pilihkanlah sekolah yang bermutu. Selain itu, perlu
dipikirkan pula latar belakang agama pengelola sekolah. Hal ini penting untuk menjaga agar
pendidikan Agama Buddha yang telah diperoleh anak di rumah tidak kacau dengan agama yang
diajarkan di sekolah. Berilah pengertian yang benar tentang adanya beberapa agama di dunia.
Berilah pengertian yang baik dan bebas dari kebencian tentang alasan orangtua memilih agama
Buddha serta alasan seorang anak harus mengikuti agama orangtua, Agama Buddha.Ketika anak
telah berusia 17 tahun atau 18 tahun yang merupakan akhir masa remaja, anak mulai akan
memilih perguruan tinggi. Orangtua hendaknya membantu memberikan pengarahan agar masa
depan si anak berbahagia. Arahkanlah agar anak memilih jurusan sesuai dengan kesenangan dan
bakat anak, bukan semata-mata karena kesenangan orang tua. Masih sering terjadi dalam
masyarakat, orangtua yang memaksakan kehendaknya agar di masa depan anaknya memilih
profesi tertentu yang sesuai dengan keinginan orangtua. Pemaksaan ini tidak jarang justru akan
berakhir dengan kekecewaan. Sebab, meski memang ada sebagian anak yang berhasil mengikuti
kehendak orangtuanya tersebut, tetapi tidak sedikit pula yang kurang berhasil dan kemudian
menjadi kecewa, frustrasi dan akhirnya tidak ingin bersekolah sama sekali. Mereka malah pergi
bersama dengan kawan-kawannya, bersenang-senang tanpa mengenal waktu bahkan mungkin
kemudian menjadi salah satu pengguna obat-obat terlarang.

Anak pasti juga mempunyai hobi tertentu. Seperti yang telah disinggung di atas,
biarkanlah anak memilih jurusan sekolah yang sesuai dengan kesenangan ataupun bakat
dan hobi si anak. Tetapi bila anak tersebut tidak ingin bersekolah yang sesuai dengan
hobinya, maka berilah pengertian kepadanya bahwa tugas utamanya adalah bersekolah
sesuai dengan pilihannya, sedangkan hobi adalah kegiatan sampingan yang boleh
dilakukan bila tugas utama telah selesai dikerjakan.

3. PENGGUNAAN WAKTU LUANG


Kegiatan di masa remaja sering hanya berkisar pada kegiatan sekolah dan seputar usaha
menyelesaikan urusan di rumah, selain itu mereka bebas, tidak ada kegiatan. Apabila waktu
luang tanpa kegiatan ini terlalu banyak, pada si remaja akan timbul gagasan untuk mengisi
waktu luangnya dengan berbagai bentuk kegiatan. Apabila si remaja melakukan kegiatan yang
positif, hal ini tidak akan menimbulkan masalah. Namun, jika ia melakukan kegiatan yang negatif
maka lingkungan dapat terganggu. Seringkali perbuatan negatif ini hanya terdorong rasa iseng
saja. Tindakan iseng ini selain untuk mengisi waktu juga tidak jarang dipergunakan para remaja
untuk menarik perhatian lingkungannya. Perhatian yang diharapkan dapat berasal dari
orangtuanya maupun kawan sepermainannya. Celakanya, kawan sebaya sering menganggap
iseng berbahaya adalah salah satu bentuk pamer sifat jagoan yang sangat membanggakan.
Misalnya, ngebut tanpa lampu dimalam hari, mencuri, merusak, minum minuman keras, obat
bius, dan sebagainya.Munculnya kegiatan iseng tersebut selain atas inisiatif si remaja sendiri,
sering pula karena dorongan teman sepergaulan yang kurang sesuai. Sebab dalam masyarakat,
pada umunya apabila seseorang tidak mengikuti gaya hidup anggota kelompoknya maka ia akan
dijauhi oleh lingkungannya. Tindakan pengasingan ini jelas tidak mengenakkan hati si remaja,
akhirnya mereka terpaksa mengikuti tindakan kawan-kawannya. Akhirnya ia terjerumus.
Tersesat.

Oleh karena itu, orangtua hendaknya memberikan pengarahan yang berdasarkan cinta
kasih bahwa sikap iseng negatif seperti itu akan merugikan dirinya sendiri, orangtua,
maupun lingkungannya. Dalam memberikan pengarahan, orangtua hendaknya hanya
membatasi keisengan mereka. Jangan terlalu ikut campur dengan urusan remaja. Ada
kemungkinan, keisengan remaja adalah semacam ‘refreshing’ atas kejenuhannya dengan
urusan tugas-tugas sekolah. Dan apabila anak senang berkelahi, orangtua dapat
memberikan penyaluran dengan mengikutkannya pada satu kelompok olahraga beladiri.

Mengisi waktu luang selain diserahkan kepada kebijaksanaan remaja, ada baiknya pula
orangtua ikut memikirkannya pula. Orangtua hendaknya jangan hanya tersita oleh
kesibukan sehari-hari. Orangtua hendaknya tidak hanya memenuhi kebutuhan materi
remaja saja. Orangtua hendaknya juga memperhatikan perkembangan batinnya. Remaja,
selain membutuhkan materi, sebenarnya juga membutuhkan perhatian dan kasih sayang.
Oleh karena itu, waktu luang yang dimiliki remaja dapat diisi dengan kegiatan keluarga
sekaligus sebagai sarana rekreasi. Kegiatan keluarga ini hendaknya dapat diikuti oleh
seluruh anggota keluarga. Kegiatan keluarga dapat berupa pembacaan Paritta bersama di
Cetiya dalam rumah ataupun melakukan berbagai bentuk permainan bersama, misalnya
scrabble, monopoli, dan lain sebagainya. Kegiatan keluarga dapat pula berupa tukar
pikiran dan berbicara dari hati ke hati. Misalnya, dengan makan malam bersama atau
duduk santai di ruang keluarga. Pada hari Minggu seluruh anggota keluarga dapat diajak
kebaktian di Vihãra setempat. Mengikuti kebaktian, selain memperbaiki pola pikir agar
lebih positif sesuai dengan Buddha Dhamma juga dapat menjadi sarana rekreasi. Hal ini
dapat terjadi karena di Vihãra kita dapat berjumpa dengan banyak teman dan juga dapat
berdiskusi Dhamma dengan para Bhikkhu maupun pandita yang dijumpai. Selain itu,
dihari libur, seluruh anggota keluarga dapat bersama-sama pergi berenang, jalan-jalan ke
taman ria atau mal, dan lain sebagainya.

4. UANG SAKU
Orangtua hendaknya memberikan teladan untuk menanamkan pengertian bahwa uang hanya
dapat diperoleh dengan kerja dan keringat. Remaja hendaknya dididik agar dapat menghargai
nilai uang. Mereka dilatih agar mempunyai sifat tidak suka memboroskan uang tetapi juga tidak
terlalu kikir. Anak diajarkan hidup dengan bijaksana dalam mempergunakan uang dengan selalu
menggunakan prinsip hidup ‘Jalan tengah’ seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha.Ajarkan pula
anak untuk mempunyai kebiasaan menabung sebagian dari uang sakunya. Menabung bukanlah
pengembangan watak kikir, melainkan sebagai bentuk menghargai uang yang didapat dengan
kerja dan semangat.

Pemberian uang saku kepada remaja memang tidak dapat dihindarkan. Namun, sebaiknya
uang saku diberikan dengan dasar kebijaksanaan. Jangan berlebihan. Uang saku yang
diberikan dengan tidak bijaksana akan dapat menimbulkan masalah. Yaitu:

1. Anak menjadi boros


2. Anak tidak menghargai uang, dan
3. Anak malas belajar, sebab mereka pikir tanpa kepandaian pun uang gampang.
5. PERILAKU SEKSUAL
Pada saat ini, kebebasan bergaul sudah sampai pada tingkat yang menguatirkan. Para remaja
dengan bebas dapat bergaul antar jenis. Tidak jarang dijumpai pemandangan di tempat-tempat
umum, para remaja saling berangkulan mesra tanpa memperdulikan masyarakat sekitarnya.
Mereka sudah mengenal istilah pacaran sejak awal masa remaja. Pacar, bagi mereka,
merupakan salah satu bentuk gengsi yang membanggakan. Akibatnya, di kalangan remaja
kemudian terjadi persaingan untuk mendapatkan pacar. Pengertian pacaran dalam era
globalisasi informasi ini sudah sangat berbeda dengan pengertian pacaran 15 tahun yang lalu.
Akibatnya, di jaman ini banyak remaja yang putus sekolah karena hamil. Oleh karena itu, dalam
masa pacaran, anak hendaknya diberi pengarahan tentang idealisme dan kenyataan. Anak
hendaknya ditumbuhkan kesadaran bahwa kenyataan sering tidak seperti harapan kita,
sebaliknya harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Demikian pula dengan pacaran. Keindahan
dan kehangatan masa pacaran sesungguhnya tidak akan terus berlangsung selamanya.Dalam
memberikan pengarahan dan pengawasan terhadap remaja yang sedang jatuh cinta, orangtua
hendaknya bersikap seimbang, seimbang antar pengawasan dengan kebebasan. Semakin muda
usia anak, semakin ketat pengawasan yang diberikan tetapi anak harus banyak diberi pengertian
agar mereka tidak ketakutan dengan orangtua yang dapat menyebabkan mereka berpacaran
dengan sembunyi-sembunyi. Apabila usia makin meningkat, orangtua dapat memberi lebih
banyak kebebasan kepada anak. Namun, tetap harus dijaga agar mereka tidak salah jalan.
Menyesali kesalahan yang telah dilakukan sesungguhnya kurang bermanfaat.

Penyelesaian masalah dalam pacaran membutuhkan kerja sama orangtua dengan anak.
Misalnya, ketika orangtua tidak setuju dengan pacar pilihan si anak. Ketidaksetujuan ini
hendaknya diutarakan dengan bijaksana. Jangan hanya dengan kekerasan dan kekuasaan.
Berilah pengertian sebaik-baiknya. Bila tidak berhasil, gunakanlah pihak ketiga untuk
menengahinya. Hal yang paling penting di sini adalah adanya komunikasi dua arah antara
orangtua dan anak. Orangtua hendaknya menjadi sahabat anak. Orangtua hendaknya
selalu menjalin dan menjaga komunikasi dua arah dengan sebaik-baiknya sehingga anak
tidak merasa takut menyampaikan masalahnya kepada orangtua.

Dalam menghadapi masalah pergaulan bebas antar jenis di masa kini, orangtua
hendaknya memberikan bimbingan pendidikan seksual secara terbuka, sabar, dan
bijaksana kepada para remaja. Remaja hendaknya diberi pengarahan tentang kematangan
seksual serta segala akibat baik dan buruk dari adanya kematangan seksual. Orangtua
hendaknya memberikan teladan dalam menekankan bimbingan serta pelaksanaan latihan
kemoralan yang sesuai dengan Buddha Dhamma. Sang Buddha telah memberikan
pedoman untuk bergaul yang tentunya juga sesuai untuk pegangan hidup para remaja.
Mereka hendaknya dididik selalu ingat dan melaksanakan Pancasila Buddhis. Pancasila
Buddhis atau lima latihan kemoralan ini adalah latihan untuk menghindari pembunuhan,
pencurian, pelanggaran kesusilaan, kebohongan, dan mabuk-mabukan. Dengan memiliki
latihan kemoralan yang kuat, remaja akan lebih mudah menentukan sikap dalam bergaul.
Mereka akan mempunyai pedoman yang jelas tentang perbuatan yang boleh dilakukan
dan perbuatan yang tidak boleh dikerjakan. Dengan demikian, mereka akan menghindari
perbuatan yang tidak boleh dilakukan dan melaksanakan perbuatan yang harus dilakukan.
pengertian kenakalan remaja  

Dalam kehidupan para remaja sering kali diselingi hal hal yang negative
dalam rangka penyesuaian dengan lingkungan sekitar baik lingkungan dengan teman temannya di
sekolah maupun lingkungan pada saat dia di rumah. Hal hal tersebut dapat berbentuk positif hingga
negative yang serng kita sebut dengan kenakalan remaja. Kenakalan remaja itu sendiri merupakan
perbuatan pelanggaran norma-norma baik norma hukum maupun norma sosial. Sedangkan Pengertian
kenakalan remaja Menurut Paul Moedikdo,SH adalah :

1. Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan bagi anak-anak
merupakan kenakalan jadi semua yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri,
menganiaya dan sebagainya.
2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu untuk menimbulkan keonaran
dalam masyarakat.
3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial.

Adapun gejala-gejala yang dapat memperlihatkan hal-hal yang mengarah


kepada kenakalan remaja :

1. Anak-anak yang tidak disukai oleh teman-temannya sehingga anak tersebut menyendiri. Anak
yang demikian akan dapat menyebabkan kegoncangan emosi.
2. Anak-anak yang sering menghindarkan diri dari tanggung jawab di rumah atau di sekolah.
Menghindarkan diri dari tanggung jawab biasanya karena anak tidak menyukai pekerjaan yang
ditugaskan pada mereka sehingga mereka menjauhkan diri dari padanya dan mencari
kesibukan-kesibukan lain yang tidak terbimbing.
3. Anak-anak yang sering mengeluh dalam arti bahwa mereka mengalami masalah yang oleh dia
sendiri tidak sanggup mencari permasalahannya. Anak seperti ini sering terbawa kepada
kegoncangan emosi.
4. Anak-anak yang mengalami phobia dan gelisah dalam melewati batas yang berbeda dengan
ketakutan anal-anak normal.
5. Anak-anak yang suka berbohong.
6. Anak-anak yang suka menyakiti atau mengganggu teman-temannya di sekolah atau di rumah.
7. Anak-anak yang menyangka bahwa semua guru mereka bersikap tidak baik terhadap mereka
dan sengaja menghambat mereka.
8. Anak-anak yang tidak sanggup memusatkan perhatian.

Dengan sedikit pengertian kenalan remaja diatas membuat kita akan lebih mengerti akan sikap dan
perilaku remaja kita apakah baik baik saja ataukah sudah mengarah pada suatu kenakalan remaja.
KENAKALAN REMAJA SEBAGAI PERILAKU MENYIMPANG HUBUNGANNYA
DENGAN KEBERFUNGSIAN SOSIAL KELUARGA.

KENAKALAN REMAJA SEBAGAI PERILAKU


MENYIMPANG HUBUNGANNYA DENGAN
KEBERFUNGSIAN SOSIAL KELUARGA
Kasus Di Pondok Pinang Pinggiran Kota Metropolitan Jakarta

Masngudin HMS

Abstrak

Masalah sosial yang dikategorikan dalam perilaku menyimpang diantaranya adalah kenakalan
remaja. Untuk mengetahui tentang latar belakang kenakalan remaja dapat dilakukan melalui dua
pendekatan yaitu pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan individual,
individu sebagai  satuan pengamatan sekaligus sumber masalah. Untuk  pendekatan sistem, individu
sebagai satuan pengamatan sedangkan sistem sebagai sumber masalah. Berdasarkan  penelitian
yang dilakukan diperoleh hasil bahwa ternyata ada hubungan negative antara kenakalan remaja
dengan keberfungsian keluarga. Artinya semakin meningkatnya keberfungsian sosial  sebuah
keluarga dalam melaksanakan tugas kehidupan, peranan, dan fungsinya maka akan semakin rendah
tingkat kenakalan anak-anaknya atau kualitas kenakalannya semakin rendah. Di samping itu
penggunaan waktu luang yang tidak terarah merupakan sebab yang sangat dominan bagi remaja
untuk melakukan perilaku menyimpang.

I.        PENDAHULUAN

Kenakalan remaja dalam studi masalah sosial dapat dikategorikan ke dalam


perilaku menyimpang.  Dalam perspektif perilaku menyimpang masalah sosial
terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagai aturan-aturan sosial
ataupun dari nilai dan norma social yang berlaku. Perilaku menyimpang dapat
dianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem
sosial. Penggunaan konsep perilaku menyimpang secara tersirat mengandung
makna bahwa ada jalur baku yang harus ditempuh. Perilaku yang tidak melalui  jalur
tersebut berarti telah menyimpang.

Untuk mengetahui latar belakang perilaku menyimpang perlu membedakan


adanya perilaku menyimpang yang tidak disengaja dan yang disengaja, diantaranya
karena si pelaku kurang memahami aturan-aturan yang ada. Sedangkan perilaku
yang menyimpang yang disengaja, bukan karena si pelaku tidak mengetahui aturan.
Hal yang relevan untuk memahami bentuk perilaku tersebut, adalah mengapa
seseorang melakukan penyimpangan, sedangkan ia tahu apa yang dilakukan
melanggar aturan. Becker (dalam Soerjono Soekanto,1988,26), mengatakan bahwa
tidak ada alasan untuk mengasumsikan hanya mereka yang menyimpang
mempunyai dorongan untuk berbuat demikian. Hal ini disebabkan karena pada
dasarnya setiap manusia pasti mengalami dorongan untuk melanggar pada situasi
tertentu, tetapi mengapa pada kebanyakan orang tidak menjadi kenyataan yang
berwujud penyimpangan, sebab orang dianggap normal biasanya dapat menahan
diri dari dorongan-dorongan untuk
menyimpang.                                                                

Masalah sosial perilaku menyimpang dalam tulisan tentang “Kenakalan Remaja”


bisa melalui pendekatan individual dan pendekatan sistem. Dalam pendekatan
individual melalui pandangan sosialisasi. Berdasarkan pandangan sosialisasi,
perilaku akan diidentifikasi sebagai masalah sosial apabila ia tidak berhasil dalam
melewati belajar sosial (sosialisasi). Tentang perilaku disorder di kalangan anak dan
remaja (Kauffman , 1989 : 6) mengemukakan bahwa perilaku menyimpang juga
dapat dilihat sebagai perwujudan dari konteks sosial. Perilaku disorder tidak dapat
dilihat secara sederhana sebagai tindakan yang tidak layak, melainkan lebih dari itu
harus dilihat sebagai hasil interaksi dari transaksi yang tidak benar antara seseorang
dengan lingkungan sosialnya. Ketidak berhasilan belajar sosial atau “kesalahan”
dalam berinteraksi dari transaksi sosial tersebut dapat termanifestasikan dalam
beberapa hal.

Proses sosialisasi terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui interaksi sosial


dengan menggunakan media atau lingkungan sosial tertentu. Oleh sebab itu, kondisi
kehidupan lingkungan tersebut akan sangat mewarnai dan mempengaruhi input dan
pengetahuan yang diserap. Salah satu variasi dari teori yang menjelaskan
kriminalitas di daerah perkotaan, bahwa beberapa tempat di kota mempunyai sifat
yang kondusif bagi tindakan kriminal oleh karena lokasi tersebut mempunyai
karakteristik tertentu, misalnya (Eitzen, 1986 : 400), mengatakan tingkat kriminalitas
yang tinggi dalam masyarakat kota pada umumnya berada pada bagian wilayah
kota yang miskin, dampak kondisi perumahan di bawah standar, overcrowding,
derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil.
Penelitian inipun dilakukan di daerah pinggiran kota yaitu di Pondok Pinang Jakarta
Selatan tampak ciri-ciri seperti disebutkan Eitzen diatas. Sutherland dalam
(Eitzen,1986) beranggapan bahwa seorang belajar untuk menjadi kriminal melalui
interaksi. Apabila lingkungan interaksi cenderung devian, maka seseorang akan
mempunyai kemungkinan besar untuk belajar tentang teknik dan nilai-nilai devian
yang pada gilirannya akan memungkinkan untuk menumbuhkan  tindakan kriminal.

Mengenai pendekatan sistem, yaitu perilaku individu sebagai masalah sosial


yang bersumber dari sistem sosial terutama dalam pandangan disorganisasi sosial
sebagai sumber masalah. Dikatakan oleh (Eitzen, 1986:10) bahwa seorang dapat
menjadi buruk/jelek oleh karena hidup dalam lingkungan masyarakat yang buruk.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya pada masyarakat yang mengalami
gejala disorganisasi sosial, norma dan nilai sosial menjadi kehilangan kekuatan
mengikat. Dengan demikian kontrol sosial menjadi lemah, sehingga memungkinkan
terjadinya berbagai bentuk penyimpangan perilaku. Di dalam masyarakat yang
disorganisasi sosial, seringkali yang terjadi bukan sekedar ketidak pastian dan
surutnya kekuatan mengikat norma sosial, tetapi lebih dari itu, perilaku menyimpang
karena tidak memperoleh sanksi sosial kemudian dianggap sebagai yang biasa dan
wajar.

II.      TUJUAN PENELITIAN

1. Mengidentifkasi dan memberikan gambaran bentuk-bentuk kenakalan yang


dilakukan remaja di pinggiran kota metropolitan Jakarta, yaitu di kelurahan

       Pondok Pinang.

2.   Untuk mengetahui hubungaanan aaantara kenakalan remaja dengan


keberfungsian sosial keluarga

 3.  Penelitian ini ingin memberikan sumbangan bagi pemecahan masalah


kenakalan   remaja dengan memanfaatkan keluarga sebagai basis dalam
pemecahan masalah.

  

III.    METODE PENELITIAN

 
Metode  yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Pemilihan
metode ini karena penelitian yang dilakukan ingin mempelajari masalah-masalah
dalam suatu masyarakat, juga hubungan antar fenomena, dan membuat gambaran
mengenai situasi atau kejadian yang ada.

Cara pemilihan sampel yang dilakukan pertama memilih wilayah yang


mempunyai kategori miskin, dengan cara melihat kondisi mereka yang
perumahannya di bawah standar, dengan kondisi penduduk yang sangat padat,
lingkungan yang tidak teratur dan perkiraan tingkat kesehatan masyarakatnya yang
buruk. Setelah itu konsultasi dengan ketua RW dan ketua-ketua RT untuk mencari
informasi tentang warganya yang dianggap telah melakukan kenakalan, dengan
perspektif labeling. Dari informasi tersebut data pada tiga RT. Berdasarkan data
tersebut kita jadikan populasi dengan jumlah 40 remaja dan keluarga yang akan
dijadikan unit dalam analisis. Dari jumlah tersebut dibuat listing dan tiap RT diambil
10 sampel (remaja dan keluarga) sehingga mendapat 30 responden. Pengambilan
sample ini dengan cara random.Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara dipandu dengan daftar pertanyaan.

Responden remaja dalam penelitian ini ditentukan bagi mereka yang berusia 13
tahun-21 tahun. Mengingat pengertian anak dalam Undang-undang no 4 tahun 1979
anak adalah mereka yang berumur sampai 21 tahun. Dengan pertimbangan pada
usia tersebut, terdapat berbagai masalah dan krisis diantaranya; krisis identitas,
kecanduan narkotik, kenakalan, tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah, konflik
mental dan terlibat kejahatan (lihat transaksi individu-individu dan keluarga-keluarga
dengan sistem kesejahteraan sosial).

IV.   KERANGKA KONSEP

1. Konsep Kenakalan Remaja

Pada dasarnya kenakalan remaja menunjuk pada suatu bentuk perilaku


remaja yang tidak sesuai dengan norma-norma yang hidup di dalam
masyarakatnya. Kartini Kartono (1988 : 93) mengatakan remaja yang nakal itu
disebut pula sebagai anak cacat sosial. Mereka menderita cacat mental
disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat, sehingga
perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dan disebut
“kenakalan”. Dalam Bakolak inpres no: 6 / 1977 buku pedoman 8, dikatakan
bahwa kenakalan remaja adalah kelainan tingkah laku / tindakan remaja yang
bersifat anti sosial, melanggar norma sosial, agama serta ketentuan hukum yang
berlaku dalam masyarakat.                                              

Singgih D. Gumarso (1988 : 19), mengatakan dari segi hukum kenakalan


remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma
hukum yaitu : (1) kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diantar
dalam undang-undang sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai
pelanggaran hukum ; (2) kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan
penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama
dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan orang dewasa. Menurut
bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja kedalam tiga
tingkatan ; (1) kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran,
membolos sekolah, pergi dari rumah tanpa pamit (2) kenakalan yang menjurus
pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil tanpa SIM,
mengambil barang orang tua tanpa izin (3) kenakalan khusus seperti
penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pemerkosaan dll.
Kategori di atas yang dijadikan ukuran kenakalan remaja dalam penelitian.

Tentang normal tidaknya perilaku kenakalan atau perilaku menyimpang,


pernah dijelaskan dalam pemikiran Emile Durkheim (dalam Soerjono Soekanto,
1985 : 73). Bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas
tertentu dianggap sebagai fakta sosial  yang normal dalam bukunya “ Rules of
Sociological Method” dalam batas-batas tertentu kenakalan adalah normal
karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas, dengan demikian perilaku
dikatakan normal sejauh perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam
masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat
pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Jadi kebalikan dari perilaku yang
dianggap normal yaitu perilaku nakal/jahat yaitu perilaku yang disengaja
meninggalkan keresahan pada masyarakat.

2. Keberfungsian sosial

Istilah keberfungsian sosial mengacu pada cara-cara yang dipakai oleh


individu akan kolektivitas seperti keluarga dalam bertingkah laku agar dapat
melaksanakan tugas-tugas kehidupannya serta dapat memenuhi kebutuhannya.
Juga dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dianggap penting dan
pokok bagi penampilan beberapa peranan sosial tertentu yang harus
dilaksanakan oleh setiap individu sebagai konsekuensi dari keanggotaannya
dalam masyarakat. Penampilan dianggap efektif diantarannya jika suatu
keluarga mampu melaksanakan tugas-tugasnya, menurut (Achlis, 1992)
keberfungsian sosial adalah kemampuan seseorang dalam melaksanakan tugas
dan peranannya selama berinteraksi dalam situasi social tertentu berupa adanya
rintangan dan hambatan dalam mewujudkan nilai dirinnya mencapai kebutuhan
hidupnya.

Keberfungsian sosial kelurga mengandung pengertian pertukaran dan


kesinambungan, serta adaptasi resprokal antara keluarga dengan anggotannya,
dengan lingkungannya, dan dengan tetangganya dll. Kemampuan berfungsi
social secara positif dan adaptif bagi sebuah keluarga salah satunnya jika
berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupan, peranan dan fungsinya
terutama dalam sosialisasi terhadap anggota keluarganya.

                                                             

V.     HASIL PENELITAN

A.     Bentuk Kenakalan Yang Dilakukan Responden

Berdasarkan data di lapangan dapat disajikan hasil penelitian tentang


kenakalan remaja sebagai salah satu perilaku menyimpang hubungannya
dengan keberfungsian sosial keluarga di Pondok Pinang pinggiran kota
metropolitan Jakarta. Adapun ukuran yang digunakan untuk mengetahui
kenakalan seperti yang disebutkan dalam kerangka konsep yaitu (1) kenakalan
biasa  (2) Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan dan (3)
Kenakalan Khusus. Responden dalam penelitian ini berjumlah 30 responden,
dengan jenis kelamin laki-laki 27 responden, dan perempuan 3 responden.
Mereka berumur antara 13 tahun-21 tahun. Terbanyak mereka yang berumur
antara 18 tahun-21 tahun.

Bentuk Kenakalan Remaja Yang Dilakukan Responden (n=30)

 
Bentuk Kenakalan f %

 
1.      Berbohong 30 100
30 100
2.      Pergi keluar rumah tanpa pamit 28 93,3
26 98,7
3.      Keluyuran 7 23,3
17 56,7
4.      Begadang 2 6,7
10 33,3
5.      membolos sekolah 5 16,7
7 23,3
6.      Berkelahi dengan teman 5 16,7
21 70,0
7.      Berkelahi antar sekolah 19 63,3
25 83,3
8.      Buang sampah sembarangan 5 16,7
12 40,0
9.      membaca buku porno 14 46,7
8 26,7
10. melihat gambar porno 3 10,0
2 6,7
11. menontin film porno 1 3,3
10 33,3
12. Mengendarai kendaraan bermotor tanpa SIM 22 73,3
1 3,3
13. Kebut-kebutan/mengebut

14. Minum-minuman keras

15. Kumpul kebo

16. Hubungan sex diluar nikah

17. Mencuri

18. Mencopet

19. Menodong

20. Menggugurkan Kandungan

21. Memperkosa
22. Berjudi

23. Menyalahgunakan narkotika

24. Membunuh

                                          

Bahwa seluruh responden pernah melakukan kenakalan, terutama pada


tingkat kenakalan biasa seperti berbohong, pergi ke luar rumah tanpa pamit
pada orang tuanya, keluyuran, berkelahi dengan teman, membuang sampah
sembarangan dan jenis kenakalan biasa lainnya. Pada tingkat kenakalan
yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai
kendaraan tanpa SIM, kebut-kebutan, mencuri,minum-minuman keras, juga
cukup banyak dilakukan oleh responden. Bahkan pada kenakalan khususpun
banyak dilakukan oleh responden seperti hubungan seks di luar nikah,
menyalahgunakan narkotika, kasus pembunuhan, pemerkosaan, serta
menggugurkan kandungan walaupun kecil persentasenya. Terdapat cukup
banyak dari mereka yangkumpul kebo. Keadaan yang demikian cukup
memprihatinkan. Kalau hal ini tidak segera ditanggulangi akan
membahayakan baik bagi pelaku, keluarga, maupun masyarakat. Karena
dapat menimbulkan masalah sosial di kemudian hari yang semakin
kompleks.  

B. Hubungan Antara Variabel Independen dan Dependen

a. Hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan

Salah satu hubungan variabel yang disajikan disini adalah hubungan


antara jenis kelamin dengan tingkat kenakalan. Hal ini untuk mengetahui
apakah anak laki-laki lebih nakal dari anak perempuan atau probalitasnya
sama. Berdasarkan tabel hubungan diperoleh data sebagai berikut; Anak
laki-laki yang melakukan kenakalan biasa 3 responden (10%), kenakalan
yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan  2 responden, dan
kenakalan khusus 22   responden (73,3%). Sedangkan anak perempuan
yang melakukan kenakalan biasa 2 responden (2,7%) dan kenakalan
khusus 1 responden (3,3%). Kenyataan tersebut menunjukkan  bahwa
sebagian besar yang melakukan kenakalan khusus  adalah anak laki-laki
(73,3%), namun terdapat juga anak perempuannya. Kalau dibandingkan
diantara 27 responden anak laki-laki 22 responden (81,5%) diantaranya
melakukan kenakalan khusus, sedangkan dari 3 responden perempuan 1
responden  (33,3%) yang melakukan kenakalan khusus, berarti
probababilitas anak laki-laki lebih besar kecenderungannya untuk
melakukan kenakalan khusus. Demikian juga yang melakukan kenakalan
yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan,  anak perempuan tidak
ada yang melakukannya. Dengan demikian maka anak laki-laki
kecenderungannya akan melakukan kenakalan yang menjurus pada
pelanggaran dan kejahatan lebih dibandingkan dengan anak perempuan.

b. Hubungan antara pekerjaan responden dengan tingkat kenakalan yang


dilakukan

Berdasarkan data yang ada, pekerjaan responden adalah sebagai pelajar


dan  tidak bekerja (menganggur) masing-masing 13 responden (43,3%),
sebagai buruh dan berdagang  masing-masing 2 responden (6,7%). Dari
tabel  korelasi persebaran datanya sebagai berikut; Pelajar yang
melakukan kenakalan biasa 5 responden (16,7%), kenakalan yang
menjurus pada pelanggaran dan kejahatan 2 responden (6,7%),  dan
kenakalan khusus 6 responden (20%) . Sedangkan mereka yang tidak
bekerja (menganggur) semuanya 13 responden melakukan kenakalan
khusus, juga mereka yang bekerja sebagai pedagang dan buruh
semuanya melakukan kenakalan khusus. Dari  data tersebut dapat
disimpulkan bahwa kecenderungan untuk melakukan kenakalan khusus
ataupun jenis kenakalan lainnya adalah mereka yang tidak sibuk, atau
banyak waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk kegiatan positif.

2.      Hubungan antara tingkat pendidikan dengan tingkat kenakalan yang


dilakukan

Seharusnya semakin tinggi tingkat pendidikan akan semakin rendah 


melakukan kenakalan. Sebab dengan pendidikan yang semakin tinggi,
nalarnya semakin baik. Artinya mereka tahu aturan-aturan ataupun norma
sosial mana yang seharusnya tidak boleh dilanggar. Atau mereka tahu
rambu-rambu mana yang harus dihindari dan mana yang harus dikerjakan.
Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Mereka yang tamat SLTA justru
yang paling banyak melakukan tindak kenakalan 17 responden (56,7%) yang
berarti separoh lebih,  dengan terbanyak 12 responden (40%) melakukan
kenakalan khusus, 2 responden (6,7%) melakukan kenakalan yang menjurus
pada pelanggaran dan kejahatan, dan 4 responden (13,3%) melakukan
kenakalan biasa. Demikian juga mereka yang pendidikan terakhirnya SLTP,
dari 12 responden, 11 responden (36,7%) melakukan kenakalan khusus.
Sedang mereka yang hanya tamat SD 1 responden juga melakukan
kenakalan khusus. Dengan demikian maka tidak ada hubungan antara
tingkatan pendidikan dengan  kenakalan yang dilakukan, artinya semakin
tinggi pendidikannya tidak bisa dijamin untuk tidak melakukan kenakalan.
Artinya di lokasi penelitian kenakalan remaja yang dilakukan bukan karena
rendahnya tingkat pendidikan mereka, karena disemua tingkat pendidikan
dari SD sampai dengan SLTA  proporsi untuk melakukan kenakalan sama
kesempatannya. Dengan demikian faktor yang kuat adalah seperti yang
disebutkan di atas, yaitu adanya waktu luang yang tidak dimanfaatkan untuk
kegiatan positif, dan adanya pengaruh buruk dalam sosialisasi dengan teman
bermainnya atau faktor lingkungan sosial yang besar pengaruhnya.

  

                                                          

C. Hubungan Antara Kenakalan Remaja Dengan Keberfungsian Sosial Keluarga

  

Dalam kerangka konsep telah diuraikan tentang keberfungsian sosial


keluarga, diantaranya   adalah kemampuan berfungsi sosial secara positif dan
adaptif bagi keluarga  yaitu jika berhasil dalam melaksanakan tugas-tugas
kehidupan, peranan, dan fungsinya serta mampu memenuhi kebutuhannya.

1.      Hubungan antara pekerjaan orang tuanya dengan tingkat kenakalan

      Untuk mengetahui apakah kenakalan juga ada hubungannya dengan


pekerjaan orangtuanya, artinya tingkat pemenuhan kebutuhan hidup. Karena
pekerjaan orangtua dapat dijadikan ukuran kemampuan ekonomi, guna
memenuhi kebutuhan keluarganya. Hal ini perlu diketahui karena dalam
keberfungsian sosial, salah satunya adalah mampu memenuhi
kebutuhannya. Berdasarkan data yang ada mereka yang pekerjaan
oangtuanya sebagai pegawai negeri 5 responden (16,7%), berdagang 4
responden (13,3%), buruh 5 responden (16,6%), tukang kayu 2 responden
(6,7%), montir/sopir 6 responden (20%), wiraswasta 5 responden (16,6%),
dan pensiunan 1 responden (3,3%).

                             7

Dari tabel korelasi diketahui bahwa kecenderungan anak pegawai negeri


walaupun melakukan kenakalan, namun pada tingkat kenakalan biasa. Lain
halnya bagi mereka yang orang tuanya mempunyai pekerjaan dagang, buruh,
montir/sopir, dan wiraswasta yang kecendrungannya melakukan kenakalan
khusus. Hal ini berarti pekerjaan orang tua berhubungan dengan tingkat
kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Keadan yang demikian karena
mungkin bagi pegawai negeri lebih memperhatikan anaknya untuk mencapai
masa depan yang lebih baik, ataupun kedisiplinan yang diterapkan serta nilai-
nilai yang disosisalisasikan lebih efektif. Sedang bagi mereka yang bukan
pegawai negeri  hanya sibuk mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya, sehingga kurang ada perhatian pada sosialisasai penanaman
nilai dan norma-norma sosial kepada anak-anaknya. Akibat dari semua itu
maka anak-anaknya lebih tersosisalisasi oleh kelompoknya yang kurang
mengarahkan pada kehidupan yang normative.

2.      Hubungan antara keutuhan keluarga dengan tingkat kenakalan

         Secara teoritis keutuhan keluarga dapat berpengaruh terhadap kenakalan


remaja. Artinya banyak terdapat anak-anak remaja yang nakal datang dari
keluarga yang tidak utuh, baik dilihat dari struktur keluarga maupun dalam
interaksinya di keluarga

Dilihat dari keutuhan struktur keluarga, 21 responden (70%) dari keluarga


utuh, dan 9 responden dari keluarga tidak utuh. Berdasarkan data pada tabel
korelasi ternyata struktur keluarga ketidak utuhan struktur keluarga bukan
jaminan bagi anaknya untuk melakukan kenakalan, terutama kenakalan
khusus. Karena ternyata mereka yang berasal dari keluarga utuh justru lebih
banyak yang melakukan kenakalan khusus.

Namun jika dilihat dari keutuhan dalam interaksi, terlihat jelas bahwa
mereka  yang melakukan kenakalan khusus berasal dari keluarga yang
interaksinya kurang dan tidak serasi sebesar 76,6%. Perlu diketahui bahwa
keluarga yang interaksinya serasi berjumlah 3 responden (10%), sedangkan
yang interaksinya kurang serasi 14 responden (46,7%), dan yang tidak serasi
13 responden (43,3%). Jadi ketidak berfungsian keluarga untuk menciptakan
keserasian dalaam interaksi mempunyai kecenderungan anak remajanya
melakukan kenakalan. Artinya semakin tidak serasi hubungan atau interaksi
dalam keluarga tersebut tingkat kenakalan yang dilakukan semakin berat,
yaitu pada kenakalan khusus. 

3.      Hubungan antara kehidupan beragama keluarganya dengan tingkat


kenakalan

Kehidupan beragama kelurga juga dijadikan salah satu ukuran untuk


melihat keberfungsian sosial keluarga. Sebab dalam konsep keberfungsian
juga dilihat dari segi rokhani. Sebab keluarga yang menjalankan kewajiban
agama secara baik, berarti mereka akan menanamkan nilai-nilai dan norma
yang baik. Artinya secara teoritis bagi keluarga yang menjalankan kewajiban
agamanya secara baik, maka anak-anaknyapun akan melakukan hal-hal
yang baik sesuai dengan norma agama. Berdasarkan data yang ada mereka
yang keluarganya taat beragama 6 responden (20%), kurang taat beragama
15 responden (50%), dan tidak taat beragama 9 responden (30%). Dari tabel
korelasi diketahui 70% dari responden yang keluarganya kurang dan tidak
taat beragama melakukan kenakalan khusus.

      Dengan demikian ketaatan dan tidaknya beragama bagi  keluarga sangat
berhubungan dengan kenakalan yang dilakukan oleh anak-anaknya. Hal ini
berarti bahwa bagi keluarga yang taat menjalankan kewajiban agamanya
kecil kemungkinan anaknya melakukan kenakalan, baik kenakalan yang
menjurus pada pelanggaran dan kejahatan maupun kenakalan khusus,
demikian juga sebaliknya.

4.      Hubungan antara sikap orang tua dalam pendidikan anaknya dengan tingkat
kenakalan

      Salah satu sebab kenakalan yang disebutkan pada kerangka konsep di
atas adalah sikap orang tua dalam mendidik anaknya. Mereka yang orang
tuanya otoriter sebanyak 5 responden (16,6%), overprotection 3 responden
(10%), kurang memperhatikan 12 responden (40%), dan tidak
memperhatikan sama sekali 10 responden (33,4%). Dari tabel korelasi
diperoleh data seluruh responden yang orang tuanya tidak memperhatikan
sama sekali melakukan kenakalan khusus dan yang kurang memperhatikan
11 dari 12 responden melakukan kenakalan khusus.  Dari kenyataan tersebut
ternyata peranan keluarga dalam pendidikan sangat besar pengaruhnya
terhadap kehidupan anak.

5.      Hubungan antara interaksi keluarga dengan lingkungannya dengan tingkat


kenakalan

Keluarga merupakan unit terkecil dalam masyarakat, oleh karena itu mau
tidak mau harus berhubungan dengan lengkungan sosialnya. Adapun yang
diharapkan dari hubungan tersebut adalah serasi, karena keserasian akan
menciptakan kenyamanan dan ketenteraman. Apabila hal itu dapat
diciptakan, hal itu meruapakan proses sosialisasi yang baik bagi anak-
anaknya. Mereka yang berhubungan serasi dengan lingkungan sosialnya
berjumlah 8 responden (26,6%), kurang serasi 12 responden (40%), dan
tidak serasi 10 responden (33,4%). Dari data yang ada terlihat bagi keluarga
yang kurang dan tidak serasi hubungannya dengan tetangga atau lingkungan
sosialnya mempunyai kecenderungan anaknya melakukan kenakalan pada
tingkat yang lebih berat yaitu kenakalan khusus. Keadaan tersebut dapat
dilihat dari 23 responden yang melakukan kenakalan khusus   19 responden
dari dari keluarga yang interaksinya dengan tetangga kurang atau tidak
serasi.

6. Pernah tidaknya responden ditahan dan dihukum hubungannya dengan 


keutuhan struktur dan interaksi keluarga, serta ketaatan keluarga dalam
menjalankan kewajiban beragama 

                          

Data tentang responden yang pernah ditahan berjumlah 15 responden,


dari jumlah tersebut 3 responden (20%) karena kasus perkelaian, masing-
masing 1 responden (6,7%) karena kasus penegeroyokan dan pembunuhan,
5 responden (33,3%) karena kasus obat terlarang (narkotika) dan 8
responden (53,3%) karena kasus pencurian.                 

 
      Sedangkan responden yang pernah dihukum penjara berjumlah 10
responden dengan rincian 7 responden karena kasus pencurian, masing-
masing 1 responden karena ksus pengeroyokan, pembunuhan, dan
narkotika. Adapun lamanya mereka dihukum antara 1 bulan-3 tahun, dengan
rincian sebagai berikut 4 responden (40%) dihukum penjara selama 1 bulan,
3 responden (30%) dihukum 3 bulan, masing-masing 1 responden (10%)
dihukum 7 bulan, 2 tahun, dan 3 tahun . Dari responden yang pernah ditahan
dan di hukum semuanya dari keluarga yang struktur keluarganya utuh, tetapi
interaksinya kurang dan tidak serasi. Hal ini menunjukkan bahwa masalah
interaksi dalam keluarga merupakan sebab utama seorang remaja sampai
ditahan dan dihukum penjara. Sedangkan dari sudut ketaatan dalam
menjalankan kewajiban agam bagi keluarganya masih terdapat 1 responden
yang pernah ditahan dan dihukum karena kasus pencurian. Artinya bahwa
ketaatan beragama dari keluarganya belum menjamin anaknya bebas dari
kenakalan dan ditahan serta dihukum.

D. Analisis Hubungan Antara Keberfungsian Sosial Keluarga dengan Kenakalan

      Remaja

          Setelah dianalisis secara bivariat antara beberapa variabel, maka untuk


melengkapinya dianalisis secara statistik dengan rumus product moment guna 
melihat keeratan hubungan tersebut. Berdasarkan tabel distribusi koefisiensi
korelasi product moment diperoleh data sebagai berikut; nilai x = 510   y = 322 x2 =
9.010    y2 = 3.752     xy = 5.283    hasil perhitungan yang diperoleh = - 0,6022.
Sedang nilai r yang diperoleh dalam tabel dengan taraf significansi 5%, dengan
sampel 30 adalah 0,361   Berdasarkan data tersebut karena nilai r yang diperoleh
dari hasil penelitian jauh dari batas significansi nilai r yang diperolehnya  berarti ada
hubungan negative antara keberfungsian keluarga dengan kenakalan remaja yang
dilakukan. Artinya semakin tinggi tingkat berfungsi sosial keluarga, akan semakin
rendah tingkat kenakalan remajanya, demikian sebaliknya semakin rendah
keberfungsian sosial keluarga maka akan semakin  tinggi tingkat kenakalan
remajanya.

     

      Dari uraian di atas bisa dilihat bahwa secara jenis kelamin terlihat remja pria
lebih cenderung melakukan kenakalan pada tinglat khusus, walaupun demilikan juga
remaja perempuan yang melakukan kenakalan khusus. Dari sudut pekerjaan atau
kegiatan sehari-hari remaja ternyata yang menganggur mempunyai kecenderungan
tinggi melakukan kenakalan khusus demikian juga mereka yang  berdagang dan
menjadi buruh juga tinggi kecenderungannya untuk melakukan kenakalan khusus.
Pemenuhan kebutuhan keluarga juga berpengaruh pada tingkat kenakalan
remajanya, artinya bagi keluarga yang tiap hari hanya berpikir untuk memenuhi
kebutuhan keluarganya seperti yang orang tuanya bekerja sebagai buruh, tukang,
supir dan sejenisnya ternyata anaknya kebanyakan melakukan kenakalan khusus.
Demilian juga bagi keluarga yang interaksi sosialnya kurang dan tidak serasi anak-
anaknya melakukan kenakalan khusus. Kehidupan beragama keluarga juga
berpengaruh kepada tingkat kenakalan remajanya, artinya dari keluarga yang taat
menjalankan agama anak-anaknya hanya melakukan kenakalan biasa, tetapi bagi
keluarga yang kurang dan tidak taat menjalankan ibadahnya anak-anak mereka
pada umumnya melakukan kenakalan khusus.Hal lain yang dapat dilihat bahwa
sikap orang orang tua dalam sosialisasi terhadap anaknya juga sangat berpengaruh
terhadap tingkat kenakalan yang dilakukan, dari data yang diperoleh bagi keluarga
yang kurang dan masa bodoh dalam pendidikan (baca sosialisasi) terhadap
anaknya maka umumnya anak mereka melakukan kenakalan khusus. Dan akhirnya
keserasian hubungan antara keluarga dengan lingkungan sosialnya juga
berpengaruh pada kenakalan anak-anak mereka. Mereka yang hubungan sosialnya
dengan lingkungan serasi anak-anaknya walaupun melakukan kenakalan tetapi
pada tingkat kenakalan biasa, tetapi mereka yang kurang dan tidak serasi hubungan
sosialnya dengan lingkungan anak-anaknya melakukan kenakalan khusus.   

VI.               Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, ditemukan bahwa remaja yang memiliki


waktu luang banyak seperti mereka yang tidak bekerja atau menganggur dan masih
pelajar kemungkinannya lebih besar untuk melakukan kenakalan atau perilaku
menyimpang. Demikian juga dari keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya
rendah maka kemungkinan besar anaknya akan melakukan kenakalan pada tingkat
yang lebih berat.Sebaliknya bagi keluarga yang tingkat keberfungsian sosialnya
tinggi maka kemungkinan anak-anaknya melakukan kenakalan sangat kecil, apalagi
kenakalan khusus. Dari analisis statistik (kuantitatif) maupun kualitatif dapat ditarik
kesimpulan umum  bahwa ada hubungan negatif antara keberfungsian sosial
keluarga dengan kenakalan remaja, artinya bahwa semakin tinggi keberfungsian
social keluarga akan semakin rendah kenakalan yang dilakukan oleh remaja.
Sebaliknya semakin ketidak berfungsian sosial suatu keluarga maka semakin tinggi
tingkat kenakalan remajanya (perilaku menyimpang yang dilakukanoleh remaja.
Berdasarkan kenyataan di atas, maka untuk memperkecil tingkat kenakalan remaja
ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu meningkatkan keberfungsian sosial
keluarga melalui program-program kesejahteraan sosial yang berorientasi pada
keluarga dan pembangunan social yang programnya sangat berguna bagi
pengembangan masyarakat secara keseluuruhan Di samping itu untuk memperkecil
perilaku menyimpang remaja dengan memberikan program-program untuk mengisi
waktu luang, dengan meningkatkan program di tiap karang taruna. Program ini
terutama diarahkan pada peningkatan sumber daya manusianya yaitu program
pelatihan yang mampu bersaing dalam pekerjaan yang sesuai dengan kebutuhan.
 

 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kecenderungan Kenakalan Remaja
1. Definisi Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah Juvenile berasal dari bahasa
Latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa
muda, sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquent berasal dari
bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian
diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan,
pembuat ribut, pengacau peneror, durjana dan lain sebagainya. Juvenile
delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anakanak
muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan
remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka
mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang. Istilah kenakalan remaja
mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat
diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.(Kartono, 2003).
Mussen dkk (1994), mendefinisikan kenakalan remaja sebagai perilaku
yang melanggar hukum atau kejahatan yang biasanya dilakukan oleh anak remaja
yang berusia 16-18 tahun, jika perbuatan ini dilakukan oleh orang dewasa maka
akan mendapat sangsi hukum. Hurlock (1973) juga menyatakan kenakalan remaja
adalah tindakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh remaja, dimana tindakan
tersebut dapat membuat seseorang individu yang melakukannya masuk penjara.
10
Sama halnya dengan Conger (1976) & Dusek (1977) mendefinisikan kenakalan
remaja sebagai suatu kenakalan yang dilakukan oleh seseorang individu yang
berumur di bawah 16 dan 18 tahun yang melakukan perilaku yang dapat dikenai
sangsi atau hukuman.
Sarwono (2002) mengungkapkan kenakalan remaja sebagai tingkah laku
yang menyimpang dari norma-norma hukum pidana, sedangkan Fuhrmann (1990)
menyebutkan bahwa kenakalan remaja suatu tindakan anak muda yang dapat
merusak dan menggangu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Santrock
(1999) juga menambahkan kenakalan remaja sebagai kumpulan dari berbagai
perilaku, dari perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai tindakan
kriminal.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kecenderungan
kenakalan remaja adalah kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan yang
melanggar aturan yang dapat mengakibatkan kerugian dan kerusakan baik
terhadap dirinya sendiri maupun orang lain yang dilakukan remaja di bawah umur
17 tahun.
2. Bentuk dan Aspek-Aspek Kenakalan Remaja
Menurut Kartono (2003), bentuk-bentuk perilaku kenakalan remaja dibagi
menjadi empat, yaitu :
11
a. Kenakalan terisolir (Delinkuensi terisolir)
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya
mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal mereka
didorong oleh faktor-faktor berikut :
1) Keinginan meniru dan ingin konform dengan gangnya, jadi tidak ada
motivasi, kecemasan atau konflik batin yang tidak dapat diselesaikan.
2) Mereka kebanyakan berasal dari daerah kota yang transisional sifatnya
yang memiliki subkultur kriminal. Sejak kecil remaja melihat adanya
gang-gang kriminal, sampai kemudian dia ikut bergabung. Remaja merasa
diterima, mendapatkan kedudukan hebat, pengakuan dan prestise tertentu.
3) Pada umumnya remaja berasal dari keluarga berantakan, tidak harmonis,
dan mengalami banyak frustasi. Sebagai jalan keluarnya, remaja
memuaskan semua kebutuhan dasarnya di tengah lingkungan kriminal.
Gang remaja nakal memberikan alternatif hidup yang menyenangkan.
4) Remaja dibesarkan dalam keluarga tanpa atau sedikit sekali mendapatkan
supervisi dan latihan kedisiplinan yang teratur, sebagai akibatnya dia tidak
sanggup menginternalisasikan norma hidup normal. Ringkasnya,
delinkuen terisolasi itu mereaksi terhadap tekanan dari lingkungan sosial,
mereka mencari panutan dan rasa aman dari kelompok gangnya, namun
pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal ini meninggalkan perilaku
kriminalnya, paling sedikit 60 % dari mereka menghentikan perilakunya
pada usia 21-23 tahun. Hal ini disebabkan oleh proses pendewasaan
12
dirinya sehingga remaja menyadari adanya tanggung jawab sebagai orang
dewasa yang mulai memasuki peran sosial yang baru.
b. Kenakalan neurotik (Delinkuensi neurotik)
Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang
cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa
bersalah dan berdosa dan lain sebagainya. Ciri - ciri perilakunya adalah :
1) Perilaku nakalnya bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat
dalam, dan bukan hanya berupa adaptasi pasif menerima norma dan nilai
subkultur gang yang kriminal itu saja.
2) Perilaku kriminal mereka merupakan ekspresi dari konflik batin yang
belum terselesaikan, karena perilaku jahat mereka merupakan alat pelepas
ketakutan, kecemasan dan kebingungan batinnya.
3) Biasanya remaja ini melakukan kejahatan seorang diri, dan
mempraktekkan jenis kejahatan tertentu, misalnya suka memperkosa
kemudian membunuh korbannya, kriminal dan sekaligus neurotik.
4) Remaja nakal ini banyak yang berasal dari kalangan menengah, namun
pada umumnya keluarga mereka mengalami banyak ketegangan emosional
yang parah, dan orangtuanya biasanya juga neurotik atau psikotik.
5) Remaja memiliki ego yang lemah, dan cenderung mengisolir diri dari
lingkungan.
6) Motif kejahatannya berbeda-beda.
7) Perilakunya menunjukkan kualitas kompulsif (paksaan).
13
c. Kenakalan psikotik (Delinkuensi psikopatik)
Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari
kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal
yang paling berbahaya. Ciri tingkah laku mereka adalah :
1) Hampir seluruh remaja delinkuen psikopatik ini berasal dan dibesarkan
dalam lingkungan keluarga yang ekstrim, brutal, diliputi banyak pertikaian
keluarga, berdisiplin keras namun tidak konsisten, dan orangtuanya selalu
menyia-nyiakan mereka, sehingga mereka tidak mempunyai kapasitas
untuk menumbuhkan afeksi dan tidak mampu menjalin hubungan
emosional yang akrab dan baik dengan orang lain.
2) Mereka tidak mampu menyadari arti bersalah, berdosa, atau melakukan
pelanggaran.
3) Bentuk kejahatannya majemuk, tergantung pada suasana hatinya yang
kacau dan tidak dapat diduga. Mereka pada umumnya sangat agresif dan
impulsif, biasanya mereka residivis yang berulang kali keluar masuk
penjara, dan sulit sekali diperbaiki.
4) Mereka selalu gagal dalam menyadari dan menginternalisasikan normanorma
sosial yang umum berlaku, juga tidak peduli terhadap norma
subkultur gangnya sendiri.
5) Kebanyakan dari mereka juga menderita gangguan neurologis, sehingga
mengurangi kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri. Psikopat
merupakan bentuk kekalutan mental dengan karakteristik sebagai berikut:
tidak memiliki pengorganisasian dan integrasi diri, orangnya tidak pernah
14
bertanggung jawab secara moral, selalu mempunyai konflik dengan
norma sosial dan hukum. Mereka sangat egoistis, anti sosial dan selalu
menentang apa dan siapapun. Sikapnya kasar, kurang ajar dan sadis
terhadap siapapun tanpa sebab.
d. Kenakalan defek moral (Delinkuensi defek moral)
Defek (defect, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat,
kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri: selalu melakukan
tindakan anti sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan,
namun ada disfungsi pada inteligensinya. Kelemahan para remaja delinkuen
tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya
yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu
ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa
kemanusiaannya sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi
ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional. Terdapat kelemahan pada
dorongan instinktif yang primer, sehingga pembentukan super egonya sangat
lemah. Impulsnya tetap pada taraf primitif sehingga sukar dikontrol dan
dikendalikan. Mereka merasa cepat puas dengan prestasinya, namun perbuatan
mereka sering disertai agresivitas yang meledak. Remaja yang defek moralnya
biasanya menjadi penjahat yang sukar diperbaiki. Mereka adalah para residivis
yang melakukan kejahatan karena didorong oleh naluri rendah, impuls dan
kebiasaan primitif, di antara para penjahat residivis remaja, kurang lebih 80 %
mengalami kerusakan psikis, berupa disposisi dan perkembangan mental yang
15
salah, jadi mereka menderita defek mental. Hanya kurang dari 20 % yang
menjadi penjahat disebabkan oleh faktor sosial atau lingkungan sekitar.
Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi kenakalan remaja menjadi empat
bentuk yaitu:
a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian,
perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain- lain.
b. Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian,
pencopetan, pemerasan dan lain- lain.
c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain:
pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas.
d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai
pelajar dengan cara membolos, minggat dari rumah, membantah perintah.
Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja
terbagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.
b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas,
mencuri, dan mencopet.
c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi orangtua
dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa surat izin,
dan kabur dari rumah.
d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti mengendarai
motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan menggunakan senjata tajam.
16
Dari beberapa bentuk kenakalan pada remaja dapat disimpulkan bahwa
semuanya menimbulkan dampak negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri dan
orang lain, serta lingkungan sekitarnya. Adapun aspek-aspeknya diambil dari
pendapat Hurlock (1973) & Jensen (dalam Sarwono, 2002). Terdiri dari aspek
perilaku yang melanggar aturan dan status, perilaku yang membahayakan diri
sendiri dan orang lain, perilaku yang mengakibatkan korban materi, dan perilaku
yang mengakibatkan korban fisik.
3. Karakteristik Remaja Nakal
Menurut Kartono (2003), remaja nakal itu mempunyai karakteristik umum
yang sangat berbeda dengan remaja tidak nakal. Perbedaan itu mencakup :
a. Perbedaan struktur intelektual
Pada umumnya inteligensi mereka tidak berbeda dengan inteligensi remaja
yang normal, namun jelas terdapat fungsi- fungsi kognitif khusus yang berbeda
biasanya remaja nakal ini mendapatkan nilai lebih tinggi untuk tugas-tugas
prestasi daripada nilai untuk ketrampilan verbal (tes Wechsler). Mereka
kurang toleran terhadap hal-hal yang ambigius biasanya mereka kurang
mampu memperhitungkan tingkah laku orang lain bahkan tidak menghargai
pribadi lain dan menganggap orang lain sebagai cerminan dari diri sendiri.
b. Perbedaan fisik dan psikis
Remaja yang nakal ini lebih “idiot secara moral” dan memiliki perbedaan ciri
karakteristik yang jasmaniah sejak lahir jika dibandingkan dengan remaja
normal. Bentuk tubuh mereka lebih kekar, berotot, kuat, dan pada umumnya
17
bersikap lebih agresif. Hasil penelitian juga menunjukkan ditemukannya
fungsi fisiologis dan neurologis yang khas pada remaja nakal ini, yaitu:
mereka kurang bereaksi terhadap stimulus kesakitan dan menunjukkan
ketidakmatangan jasmaniah atau anomali perkembangan tertentu.
c. Ciri karakteristik individual
Remaja yang nakal ini mempunyai sifat kepribadian khusus yang
menyimpang, seperti :
1) Rata-rata remaja nakal ini hanya berorientasi pada masa sekarang,
bersenang-senang dan puas pada hari ini tanpa memikirkan masa depan.
2) Kebanyakan dari mereka terganggu secara emosional.
3) Mereka kurang bersosialisasi dengan masyarakat normal, sehingga tidak
mampu mengenal norma-norma kesusilaan, dan tidak bertanggung jawab
secara sosial.
4) Mereka senang menceburkan diri dalam kegiatan tanpa berpikir yang
merangsang rasa kejantanan, walaupun mereka menyadari besarnya risiko
dan bahaya yang terkandung di dalamnya.
5) Pada umumnya mereka sangat impulsif dan suka tantangan dan bahaya.
6) Hati nurani tidak atau kurang lancar fungsinya.
7) Kurang memiliki disiplin diri dan kontrol diri sehingga mereka menjadi
liar dan jahat.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa remaja nakal biasanya
berbeda dengan remaja yang tidak nakal. Remaja nakal biasanya lebih
ambivalen terhadap otoritas, percaya diri, pemberontak, mempunyai kontrol
18
diri yang kurang, tidak mempunyai orientasi pada masa depan dan kurangnya
kemasakan sosial, sehingga sulit bagi mereka untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kenakalan Remaja
Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (1996) lebih rinci
dijelaskan sebagai berikut :
a. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam
Santrock, 1996) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus
difusi identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan
terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja: (1)
terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan (2)
tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan
motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran
yang dituntut dari remaja.
Erikson percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan
kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan
aspek-aspek peran identitas. Ia mengatakan bahwa remaja yang memiliki masa
balita, masa kanak-kanak atau masa remaja yang membatasi mereka dari
berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka
merasa tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebankan pada mereka,
mungkin akan memiliki perkembangan identitas yang negatif. Beberapa dari
19
remaja ini mungkin akan mengambil bagian dalam tindak kenakalan, oleh
karena itu bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu
identitas, walaupun identitas tersebut negatif.
b. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk
mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa
anak gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah
dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan remaja telah
mempelajari perbedaan antara tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah
laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan
tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku
yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka
sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal
mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu
untuk membimbing tingkah laku mereka. Hasil penelitian yang dilakukan
baru-baru ini Santrock (1996) menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri
mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua
yang efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat
pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri
oleh anak. Selanjutnya, dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut
internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.
20
c. Usia
Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan
penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua
anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan,
seperti hasil penelitian dari McCord (dalam Kartono, 2003) yang
menunjukkan bahwa pada usia dewasa, mayoritas remaja nakal tipe terisolir
meninggalkan tingkah laku kriminalnya. Paling sedikit 60 % dari mereka
menghentikan perbuatannya pada usia 21 sampai 23 tahun.
d. Jenis kelamin
Remaja laki- laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada
perempuan. Menurut catatan kepolisian Kartono (2003) pada umumnya
jumlah remaja laki- laki yang melakukan kejahatan dalam kelompok gang
diperkirakan 50 kali lipat daripada gang remaja perempuan.
e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang
rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak
begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka
terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk
sekolah. Riset yang dilakukan oleh Janet Chang dan Thao N. Lee (2005)
mengenai pengaruh orangtua, kenakalan teman sebaya, dan sikap sekolah
terhadap prestasi akademik siswa di Cina, Kamboja, Laos, dan remaja
Vietnam menunjukkan bahwa faktor yang berkenaan dengan orangtua secara
umum tidak mendukung banyak, sedangkan sikap sekolah ternyata dapat
21
menjembatani hubungan antara kenakalan teman sebaya dan prestasi
akademik.
f. Proses keluarga
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap
aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih
sayang orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.
Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam
Santrock, 1996) menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak
memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak
efektif dan tidak sesua i merupakan faktor keluarga yang penting dalam
menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau
stress yang dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan. Faktor
genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun
persentasenya tidak begitu besar.
g. Pengaruh teman sebaya
Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan
risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian Santrock (1996)
terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan
kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada
remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang
melakukan kenakalan.
22
h. Kelas sosial ekonomi
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas
sosial ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal
di antara daerah perkampungan miskin yang rawan dengan daerah yang
memiliki banyak privilege diperkirakan 50 : 1 (Kartono, 2003). Hal ini
disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk
mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka
mungkin saja merasa bahwa mereka akan mendapatkan perhatian dan status
dengan cara melakukan tindakan anti sosial. Menjadi “tangguh” dan
“maskulin” adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang
lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja
dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan
kenakalan.
i. Kualitas lingkungan sekitar tempat tinggal
Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja.
Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja
mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan
memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka.
Masyarakat seperti ini sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan
perasaan tersisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan
pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor- faktor
lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja.
23
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang paling
berperan menyebabkan timbulnya kecenderungan kenakalan remaja adalah faktor
keluarga yang kurang harmonis dan faktor lingkungan terutama teman sebaya
yang kurang baik, karena pada masa ini remaja mulai bergerak meninggalkan
rumah dan menuju teman sebaya, sehingga minat, nilai, dan norma yang
ditanamkan oleh kelompok lebih menentukan perilaku remaja dibandingkan

dengan norma, nilai yang ada dalam keluarga dan masyarakat.

Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah apakah ada peran persepsi keharmonisan keluarga dan

konsep diri terhadap kecenderungan kenakalan remaja. 

Masa remaja adalah masa yang paling berseri

A.    LATAR BELAKANG KENAKALAN REMAJA

Telah kita ketahui bahwa kenakalan remaja itu sangat menurunkan moral pada diri kita dan lebih-lebih
pada bangasa kita ini,oleh sebab itu kita sebagai calon mahasiswa baru peduli dan tanggap akan moral-
moral remaja yang sangat bertolak belakang dengan apa yang telah ditentukan oleh sang maha
pencipta, seperti halnya penyalah gunaan obat-obatan terlarang, peraukan bebas yang tidak bisa
meminit pada diri kit masing-masimg shingga munculah benih-benih kenakalan remaja yang tumbuh
pada diri remaja itu sendiri.

B.    PENYEBAB KENAKALAN REMAJA

Sesuatu hal dalam hidup ini yang dapat menjadikan diri kita semakin terbelakang dan tertinggal untuk
menjadikan atau membangun negara yang baik dan maju yaitu adanya penyabab dari kenakalan remaja
dan salah satu dari penyebab kenakalan remaja (Interen) adalah:
1.    adanya orang tua yang kurang memperhatikan pada anaknya
2.    danya pertengkaran atau perselisihan antara Bapak dengan Ibu, Bapak dengan anak dan ibu dengan
Anak
3.     orang tua terlalu membebaskan kepada anaknya dalam hal apapun
4.    terjadinya kesalahan dalam mendidik anak
5.    orang tua terlalu menekan keinginan anaknya
Begitu juga penyebab salah satu dari kenakalan remaja (exteren) adalah:
1.    ketidak cocokan atau ketidak nyamana terhadap lingkungan yang ia tempati
2.    salah memilih teman untuk bermaian
3.    nudah tergiur terhadap hal-hak yang bersipat Negatif
4.    kurangnya pendidikan yang ia dapat sewaktu masih muda atau kanak-kanak.

C.    CIRI-CIRI KENEKALAN REMAJA 

Dalam hal ini terdapat beberapa macam ciri-ciri tenteng kenakalan remaja adalah sebagai berikut :
1.    pemarah, apabila menghadapi suatu permasalahan dan masalah itu terasa tidak cocok maka
seketika itu bisa langsung marah.
2.    pemalas, biasanya kalau seseorang apabila sudah terjerumus kedalam hal yang negatif biasanya
akan menjedi seorang yang pemalas dalam segala hal-hal yang bersifat baik.
3.    tidak memiliki rasa belas kasih yang besar.
4.    mudah putus asa atau tidak sabaran.
5.    apabila dilihat dari segipakaiannya tidakpernah memakai pakaian yang rajin atau sering memakai
pakaian yang tidak pantas untk dipakai, seperti laki-laki memakai pakaian perempuan atau sebaliknya.
6.    potngan rambut atau keadaan tubuhnya tidak pernah diperhatikan.
7.    tidak mengenal yang namanya dosa.
8.    dan tidak pernah merasa takut terhadap siapapun.
9.    dan lain-lain.

D.  AKIBAT DARI KENAKALAN REMAJA

Setelah seseorang melakukan sebuah usaha baik itubaik atau tidak baik yang pasti pasti akan menerima
atau mendapatkan manfaat, dan apabila yang dikerjakannya itu selalu bersimpangan dengan ajaran
agama maupun peraturan dari negara maka juga pasti akan mendapatkan akibatnya. Akibat dari
kenakalan remaja antara lain adalah sebagai berikut yang diantaranya :
1.    apabiala bertempat dimasyarakat akan mendapatkan teguran atau gunjingan dari masyarakat
setempat.
2.   Akan dibenci dan di musuhi banyak orang.
3.    tentunta akan dijauhi banyak orang.
4. Tidak disukai oleh khalayak

You might also like