You are on page 1of 13

Etika Lingkungan Hidup

Sedih kita melihat alam Indonesia yang begitu luas dan kaya, makin habis dan rusak.
Bencana alam terjadi dimana-mana, meninggalkan sejuta tangis, derita, dan kenangan pahit
bagi anak cucu kita. Lingkungan menjadi tidak bersahabat lagi. Orang begitu cemas dengan
bencana alam, apalagi melihat dan mengingat bencana Tsunami di Aceh yang meninggalkan
berjuta tangis dan derita berkepanjangan hingga kini. Krisis lahan di Kalimantan Selatan,
akibat tambang yang membuat kota tersebut bagai kota mati. Kebakaran hutan di Kalimantan
Timur, yang mempengaruhi status hutan Kaltim sebagai salah satu paru-paru dunia.
Krisis banjir dimana-mana yang menyisakan derita dan tangis bagi banyak orang. Krisis
lingkungan hidup yang kita hadapi saat ini sebenarnya bersumber pada kesalahan
pemahaman manusia, yang berbasis pada cara pandang antroposentris. Pandangan ini
menempatkan manusia sebagai pusat dari alam semesta, sementara alam seisinya hanyalah
alat bagi pemuasan kepentingan mereka. Kesalahan cara pandang tersebut telah
menyebabkan kekeliruan manusia dalam menempatkan diri ketika berperilaku di dalam
ekosistemnya. Akibat dari kekeliruan tersebut telah menimbulkan berbagai bencana
lingkungan hidup yang akan mengancam kehidupan manusia itu sendiri. Menurut Keraf
(2002), kesalahan fundamental filosofis yang terjadi pada manusia adalah bahwa mereka
menempatkan posisi dirinya sebagai pusat dari alam semesta, sehingga mereka dapat
melakukan apa saja terhadap alam demi pemenuhan segala kebutuhannya. Dengan kata lain,
sumberdaya yang lain diposisikan sebagai sub-ordinatnya. Kesalahan cara pandang yang
demikian ternyata telah menyebabkan krisis lingkungan yang berkepanjangan, dan kita sadari
sumbernya terletak pada masalah moral manusia untuk mematuhi etika lingkungan.
Masalah lingkungan hidup adalah masalah moral, dan itu berkaitan dengan perilaku manusia
(Keraf, 2002). Dengan demikian krisis ekologi global yang kita alami dewasa ini adalah
persoalan moral, krisis moral secara global. Oleh karena itu perlu etika dan moralitas untuk
mengatasinya. Penanaman nilai moral tidak dapat dilakukan secara mendadak, tetapi harus
mengikuti perjalanan hidup manusia, mulai dari anak-dewasa hingga tua. Sutaryono (1999)
mengistilahkannya sebagai pendidikan sepanjang usia (life long education).
Krisis vs Etika Lingkungan
Etika diartikan sebagai kebiasaan hidup yang baik yang diwariskan dari satu generasi ke
generasi lain. Etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana
manusia harus hidup yang baik sebagai manusia. Etika merupakan ajaran yang berisikan
perintah dan larangan tentang baik buruknya perilaku manusia. Kaidah, norma dan aturan
tersebut sesungguhnya ingin mengungkapkan, menjaga, dan melestarikan nilai tertentu, yaitu
apa yang dianggap baik dan penting. Dengan demikian etika berisi prinsip-prinsip moral yang
harus dijadikan pegangan dalam menuntun perilaku. Secara luas, etika dipahami sebagai
pedoman bagaimana manusia harus hidup dan bertindak sebagai orang baik. Etika memberi
petunjuk, orientasi, dan arah bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia. Mengacu
pada pemahaman tersebut maka etika lingkungan hidup pada hakekatnya membicarakan
mengenai norma dan kaidah moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan
dengan alam, serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam
berhubungan dengan alam tersebut. Etika lingkungan hidup berbicara mengenai perilaku
manusia terhadap alam dan juga relasi di antara semua kehidupan alam semesta, yaitu antara
manusia dengan manusia yang mempunyai dampak pada alam, dan antara manusia dengan
makhluk hidup yang lain atau dengan alam secara keseluruhan, termasuk di dalamnya
kebijakan politik dan ekonomi yang mempunyai dampak langsung atau tidak langsung
terhadap alam.
Pendidikan Lingkungan
Penyelesaian terhadap krisis-krisis lingkungan tidak sekedar melalui pendekatan teknis saja,
tetapi juga melalui pendekatan moral. Dengan membangun moral yang baik, akan menjadi
modal utama bagi manusia untuk berperilaku etis dalam mengatur hubungan antara dirinya
dengan alam semesta. Penyelesaian masalah lingkungan tidak dapat dilakukan secara
sepihak. Hal ini disebabkan karena sifat interdependency yang melekat pada lingkungan
hidup menuntut kerjasama multipihak secara serentak dan menyangkut seluruh lapisan
masyarakat. Pentingnya kelestarian lingkungan hidup untuk masa sekarang hingga masa yang
akan datang, secara eksplisit menunjukkan bahwa perjuangan manusia untuk menyelamatkan
lingkungan hidup harus dilakukan secara berkesinambungan, dengan jaminan estafet
antargenerasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penanaman pondasi pendidikan lingkungan sejak dini menjadi solusi utama yang harus
dilakukan, agar generasi muda memiliki bekal pemahaman tentang lingkungan hidup yang
kokoh. Pendidikan Lingkungan diharapkan mampu menjembatani dan mendidik manusia
agar berperilaku bijak.
Waryono dan Didit (2001) menyatakan, masa anak-anak merupakan perjalanan yang kritis,
sebagai generasi bangsa di masa mendatang. Jika pengetahuan dan cara yang
ditanamankan pada masa kanak-kanak itu benar, dapat diharapkan ketika berubah ke masa
remaja dan dewasa, bekal pengetahuan, pembentukan perilaku serta sikap dalam dirinya
terhadap sesuatu akan positif.
Masa remaja dan dewasa pada dasarnya merupakan masa mencari identitas dan realisasi diri.
Pada masa ini sering sangat sulit untuk mengubah wawasan dasar yang telah terpola dan
melekat dalam dirinya sejak kecil.
Dengan demikian sangatlah strategis pembekalan pengetahuan dasar tentang lingkungan
hidup sejak dini melalui anak-anak secara terprogram dan berkelanjutan, hingga pada saatnya
akan tercipta insan-insan pribadi bangsa yang utuh. Lantas, bagaimana format pendidikan
lingkungan untuk generasi muda? Waryono dan Didit (2001) menyatakan bahwa pendidikan
lingkungan kepada generasi muda dapat dilakukan lewat jalur pendidikan formal dan
informal. Pendidikan Lingkungan secara formal dilakukan melalui kurikulum sekolah dan
pemanfaatan potensi lingkungan yang ada di sekitarnya. Bentuk materi dapat dikemas secara
integratif di dalam mata pelajaran sekolah, atau dikembangkan sebagai materi yang berdiri
sendiri sebagai mata ajaran muatan lokal. Penyelenggaraan paket pendidikan ini dapat
bersifat outdoor education menyatu dengan alam.
Pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi jangka pendek. Karena itu perlu ditetapkan strategi pengelolaan yang menjamin
keberlanjutan, keadilan dan berdaya guna tinggi. Upaya untuk meraih strategi tersebut
dijembatani dengan pembekalan para pelaku secara berkesinambungan. Program Pendidikan
Lingkungan menyangkut skala yang sangat luas, sehingga perlu partisipasi dan kerjasama
berbagai pihak, agar hasilnya optimal dan bebas konflik. Program ini bertujuan untuk
meningkatkan kepedulian anak terhadap lingkungan melalui kegiatan teori dan praktek dalam
bentuk teori, diskusi, permainan, serta observasi lapangan dan menanamkan nilai-nilai
konservasi alam dan lingkungan sedini mungkin pada siswa dan meningkatkan kepedulian
siswa terhadap konservasi alam dan lingkungan sejak dini.
Generasi muda menjadi asset pembangunan masa depan yang harus diprioritaskan. Dengan
membekali mereka tentang nilai-nilai etika lingkungan yang sangat penting untuk membekali
moralnya agar bijaksana dalam memperlakukan lingkungan hidupnya. Generasi muda,
sebagai aset pelaku pembangunan di masa mendatang, perlu mendapatkan prioritas utama
dalam menerima Pendidikan Lingkungan, agar sejak dini mereka paham akan hubungannya
dengan lingkungan hidupnya. Pendidikan Lingkungan akan menjamin terjadinya suasana
yang harmonis antara manusia dengan alamnya, sehingga di alam tidak
akan muncul kekhawatiran terhadap bencana yang akan melanda. Marilah kita pekakan hati
dan perilaku anak cucu kita, generasi muda bangsa kita pada etika lingkungan yang benar.
Biarlah hati mereka peka akan kelestarian lingkungan, agar kelak Indonesia boleh lestari
kembali dengan berjuta kekayaan alamnya yang luar biasa indahnya. Hutan adalah 'sahabat'
kita, yang harus selalu terjaga kebersamaannya dengan kita.
Teori Etika Lingkungan

Teori Etika Lingkungan Biosentrisme

Biosentrisme mengagungkan nilai kehidupan yang ada pada ciptaan, sehingga komunitas
moral tidak lagi dapat dibatasi hanya pada ruang lingkup manusia. Mencakup alam sebagai
ciptaan sebagai satu kesatuan komunitas hidup (biotic community).

Inti pemikiran biosentrisme adalah bahwa setiap ciptaan mempunyai nilai intrinsik dan
keberadaannya memiliki relevansi moral. Setiap ciptaan (makhluk hidup) pantas
mendapatkan keprihatinan dan tanggung jawab moral karena kehidupan merupakan inti
pokok dari konsern moral. Prinsip moral yang berlaku adalah “mempertahankan serta
memlihara kehidupan adalah baik secara moral, sedangkan merusak dan menghancurkan
kehidupan adalah jahat secara moral” (Light, 2003: 109).

Biosentrisme memiliki tiga varian, yakni, the life centered theory (hidup sebagai pusat), yang
dikemukakan oleh Albert Schweizer dan Paul Taylor, land ethic (etika bumi), dikemukakan
oleh Aldo Leopold, dan equal treatment (perlakuan setara), dikemukakan oleh Peter Singer
dan James Rachel.

The Life Centered Theory

The life centered theory adalah teori lingkungan yang berpusat pada lingkungan. Teori yang
dikemukakan oleh Albert Schweizer, mengajukan empat prinsip etis pokok, yaitu : manusia
adalah anggota dari komunitas hidup yang ada di bumi ini, bumi adalah suatu sistem organik
dimana manusia dan ciptaan lain saling berkaitan dan bergantung, setiap ciptaan dipersatukan
oleh tujuan bersama demi kebaikan dan keutuhan keseluruhan, dan menolak superioritas
manusia dihadapan makhluk ciptaan lain (Paul, dalam Light – Holmes Rolston III, 2003: 74-
84, BASIS: 12-14).

Semua makhluk hidup dalam bionsentrisme adalah anggota dari komunitas hidup, dalam arti
bahwa setiap ciptaan berhak diperlakukan dengan baik secaramoral. Manusia sebagai pelaku
atau subjek moral harus memperlakukan dengan baik dan tangging jawab moral terhadap
makhluk lainnya.

The Land Ethic (etika bumi)

The Land Ethic (etika bumi) Teori etika bumi yang dikemukakan oleh Aldo Leopold menjadi
teori etika lingkungan klasik pada abad ini. Etika bumi menekankan pentingnya keutuhan
ciptaan dan bahwa setiap ciptaan merupakan bagian integral dari komunitas kehidupan
(Light-Holmes III, 2003:39/BASIS:2007:edisi 05-06:12-13). Bumi dan segala isinya adalah
subjek moral yang harus dihargai, tidak hanya alat dan objek yang bisa dimanfaatkan
manusia sesuka hati karena bumi bernilai pada dirinya sendiri.

Teori etika bumi menekankan bahwa keutuhan seluruh makhluk ciptaan tidak bertentangan
dengan kepentingan masing-masing ciptaan. Aldo Leopold mengatakakan bahwa tugas
manusia untuk menata dan memelihara sehingga kepentingan manusia sebagai bagian dari
komunitas kehidupan bisa sejalan dan tidak bertentangan dengan kebaikan seluruh kebaikan
komunitas kehidupan. Prinsip moral menurut Leopold adalah bahwa setiap tindakan akan
banar secara moral jika melindungi dan mengupayakan keutuhan, keindahan, dan stabilitas
seluruh komunitas kehidupan (Palmer dalam Light, 2003:24, BASIS : 12-14). Manusia harus
berhenti mengeksploitasi, merusak makhluk ciptaan lain karena tindakan ini akan merusak
keutuhan, stabilitas, keindahan ciptaan alam.

Equal Treatment (perlakuan yang setara)

Equal treatment (perlakuan setara/sama) Equal treatment dikenal sebagai anti spesiesisme
yang dikemukakan oleh Peter Singer dan James Rachel. Anti spesiesme adalah sikap
membela kepentingan dan kelangsungan hidup semua spesies di bumi karena didasarkan
pada mempunyai hak hidup yang sama dan pantas mendapatkan perlindungan dan perhatian
yang sama.

Peter Singer mendasarkan teorinya kepada prinsip moral perlakuan yang sama dalam
kepentingan. Perlakuan yang sama dalam relasi anta manusia didasarkan pada pertimbangan
bahwa manusia mempunyai kepentingan yang sama. Kesadaran dan tanggung jawab moral
sangat penting terhadap makhluk ciptaan bukan manusia. Tanggung jawab dan pertimbangan
moral berlaku bagi seluruh komunitas kehidupan. Prinsip moral harus konsisten diterapkan
dalam seluruh komunitas kehidupan demi kebaikan keseluruhan komunitas kehidupan.

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang manusia sebagai pusat dari
sistem alam semesta cara pandang ini menyebabkan manusia mengekploitasi dan menguras
alam semesta demi memenuhi kebutuhan kepentingan manusia selain itu cara pandang ini
pula melahirkan sikap yang rakus dan tamak yang menyebabkan manusia mengambil semua
kebutuhan hidupnya dari alam tanpa memperhitungkan kelestariannya karena alam
dipandang hanya demi kepentingan manusia, sehingga sebagian pihak mengatakan krisis
lingkungan di anggap terjadi karena perilaku manusia yang dipengaruhi oleh cara pandang
antroposentris ini. Imanuel Kant adalah salah seorang penganut teori ini mengatakan hanya
manusia yang merupakan mahluk rasional, manusia di perbolehkan secara moral
menggunakan mahluk non rasional lainnya untuk mencapai suatu tatanan dunia yang
rasional.

Cara pandang kedua yaitu ekosentrisme yang merupakan kelanjutan teori biosentrisme (teori
yang menganggap bahwa setiap kehidupan dan mahluk hiudp mempunyai nilai dan berharga
pada dirinya sendiri sehingga teori ini menganggap serius setiap kehidupan dan mahluk hidup
di alam semesta.)bahkan sering disamakan begitu saja karena ada kesamaan diantara
keduanya, kedua cara pandang ini mendobrak cara pandang antroposentris, selanjutnya
ekosentrisme diperluas untuk mencakup komunitas ekologis seluruhnya, sekarang populer
dengan nama Deep Ecology yang pertama kali di kenalkan oleh Arne Naess Filsuf Norwegia
tahun 1973 yang kemudian di kenal dengan tokoh deep ecology sampai sekarang

Tiga Teori Etika Lingkungan: Egosentris, Homosentris, dan Ekosentris

Teori etika lingkungan hidup ini diharapkan mampu menimbulkan pemahaman baru terhadap
masalah lingkungan hidup yang tidak terpisah dari kosmologi tertentu yang dalam
kenyataannya tidak menumbuhkan sikap eksploitatif terhadap alam lingkungan.
Pengembangan etika lingkungan hidup diperlukan utuk mengendalikan adanya perubahan
secara mendasar dari pandangan kosmologi yang menumbuhkan sikap hormat dan bersahabat
dengan alam lingkungan (J. Sudriyanto, 1992:13).

Krisis ekologi dewasa ini telah meluas dan sangat berpengaruh pada pandangan kosmologi
yang menimbulkan eksploitasi terhadap lingkungan. Relevansi pemikiran untuk memberikan
landasan filosofis yang lebih mahal dan cocok semakin diperlukan. Semuanya ini terfokus
pada manusia, sebagai peletak dasar dari semua permasalahan ini, serta mencari
kedudukannya dalam seluruh keserasian alam yang menjadi lingkungan hidupnya. Maka,
suatu etika yang mampu memberi penjelasan dan pertanggungjawaban rasional tentang nilai-
nilai, asas dan norma-norma moral bagi perilaku manusia terhadap alam lingkungan ini akan
sulit didapatkan tanpa melibatkan manusia.

Masalah ekologi tidak cukup dihadapi dengan mengembangkan etika lingkungan hidup.
Kalau sudah menyangkut kesejahteraan masyarakat, pemikiran etis saja tidak akan berdaya
tanpa didukung oleh aturan-aturan hukum yang dapat menjamin pelaksanaan dan menindak
pelanggarnya. Untuk itu perlu diketahui berbagai teori yang membangun pemikiran tentang
etika lingkungan hidup (J. Sudriyanto, 1992:13).

Etika Egosentris

Etika yang mendasarkan diri pada berbagai kepentingan individu (self). Egosentris
didasarkan pada keharusan individu untuk memfokuskan diri dengan tindakan apa yang
dirasa baik untuk dirinya. Egosentris mengklaim bahwa yang baik bagi individu adalah baik
untuk masyarakat. Orientasi etika egosentris bukannya mendasarkan diri pada narsisisme,
tetapi lebih didasarkan pada filsafat yang menitikberatkan pada individu atau kelompok
privat yang berdiri sendiri secara terpisah seperti “atom sosial” (J. Sudriyanto, 1992:4)

Inti dari pandangan egosentris ini, Sonny Keraf (1990:31) menjelaskan:

Bahwa tindakan dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar kepentingan
pribadi dan memajukan diri sendiri

Dengan demikian, etika egosentris mendasarkan diri pada tindakan manusia sebagai
pelaku rasional untuk memperlakukan alam menurut insting “netral”. Hal ini
didasarkan pada berbagai pandangan “mekanisme” terhadap asumsi yang berkaitan dengan
teori sosial liberal.

1. Pengetahuan mekanistik didasarkan pada asumsi bahwa segala sesuatu merupakan


bagian yang berdiri sendiri secara terpisah. Atom-atom merupakan komponen riil dari
alam. Begitu juga manusia yang merupakan komponen riil dari masyarakat.
2. Keseluruhan adalah penjumlahan dari bagian-bagian. Hukum identitas logika (A=A)
mendasari penggambaran alam secara matematis. Demikian pula masyarakat, yang
tidak lain merupakan penjumlahan dari banyak pelaku rasional individu.
3. Mekanisme mempunyai asumsi bahwa banyak sebab eksternal berlaku dalam
berbagai bagian internal. Serupa dengan masyarakat, hukum dan berbagai aturan yang
dipaksakan oleh penguasa akan ditaati oleh rakyat secara positif.
4. Perubahan dapat terjadi dengan cara menyusun kembali bagian-bagiannya. Bangunan
tuntutan masyarakat ditentukan oleh bagian-bagiannya.
5. Ilmu mekanis selalu dualistik, seperti, pengetahuan mekanis menempatkan bagian
individu sebagai komponen utama dalam pembangunan timbul korporat. Etika
egosentris menempatkan manusia sebagai individu paling utama dalam pembangunan
lingkungan sosial (J. Sudriyanto, 1992:15).

Etika Homosentris

Etika homosentris mendasarkan diri pada kepentingan sebagian masyarakat. Etika ini
mendasarkan diri pada berbagai model kepentingan sosial dan pendekatan antara pelaku
lingkungan yang melindungi sebagian besar masyarakat manusia.

Etika homosentris sama dengan etika utilitarianisme, jadi, jika etika egosentris
mendasarkan penilaian baik dan buruk suatu tindakan itu pada tujuan dan akibat tindakan itu
bagi individu, maka etika utilitarianisme ini menilai baik buruknya suatu tindakan itu
berdasarkan pada tujuan dan akibat dari tindakan itu bagi sebanyak mungkin orang. Etika
homosentris atau utilitarianisme ini sama dengan universalisme etis. Disebut universalisme
karena menekankan akibat baik yang berguna bagi sebanyak mungkin orang dan etis karena
ia menekankan akibat yang baik. Disebut utilitarianisme karena ia menilai baik atau buruk
suatu tindakan berdasarkan kegunaan atau manfaat dari tindakan tersebut (Sonny Keraf,
1990:34).

Seperti halnya etika egosentris, etika homosentris konsisten dengan asumsi


pengetahuan mekanik. Baik alam mau pun masyarakat digambarkan dalam pengertian
organis mekanis. Dalam masyarakat modern, setiap bagian yang dihubungkan secara organis
dengan bagian lain. Yang berpengaruh pada bagian ini akan berpengaruh pada bagian
lainnya. Begitu pula sebaliknya, namun karena sifat uji yang utilitaris, etika utilitarianisme
ini mengarah pada pengurasan berbagai sumber alam dengan dalih demi kepentingan
dan kebaikan masyarakat (J. Sudriyanto, 1990:16).

Etika Ekosentris

Etika ekosentris mendasarkan diri pada kosmos. Menurut etika ekosentris ini,
lingkungan secara keseluruhan dinilai pada dirinya sendiri. Etika ini menurut aliran  etis
ekologi tingkat tinggi yakni deep ecology, adalah yang paling mungkin sebagai alternatif
untuk memecahkan dilema etis ekologis. Menurut ekosentrisme, hal yang paling penting
adalah tetap bertahannya semua yang hidup dan yang tidak hidup sebagai komponen
ekosistem yang sehat, seperti halnya manusia, semua benda kosmis memiliki tanggung
jawab moralnya sendiri (J. Sudriyanto, 1992:243)

Menurut etika ini, bumi memperluas berbagai ikatan komunitas yang mencakup “tanah,
air, tumbuhan dan binatang atau secara kolektif, bumi”. Bumi mengubah  perah “homo
sapiens” dari makhluk komunitas bumi, menjadi bagian susunan warga dirinya. terdapat rasa
hormat terhadap anggota yang lain dan juga terhadap komunitas alam itu sendiri (J.
Sudriyanto, 1992:2-13). Etika ekosentris bersifat holistik, lebih bersifat mekanis atau
metafisik. Terdapat lima asumsi dasar yang secara implisit ada dalam perspektif holistik ini,
J. Sudriyanto (1992:20) menjelaskan:

1. Segala sesuati itu saling berhubungan. Keseluruhan merupakan bagian, sebaliknya


perubahan yang terjadi adalah pada bagian yang akan mengubah bagian yang lain dan
keseluruhan. Tidak ada bagian dalam ekosistem yang dapat diubah tanpa mengubah
dinamika perputarannya. Jika terdapat banyak perubahan yang terjadi maka akan
terjadi kehancuran ekosistem.
2. Keseluruhan lebih daripada penjumlahan banyak bagian. Hal ini tidak dapat
disamakan dengan konsep individu yang mempunyai emosi bahwa keseluruhan sama
dengan penjumlahan dari banyak bagian. Sistem ekologi mengalami proses sinergis,
merupakan kombinasi bagian yang terpisah dan akan menghasilkan akibat yang lebih
besar daripada penjumlahan efek-efek individual.
3. Makna tergantung pada konteksnya, sebagai lawan dari “independensi konteks” dari
“mekanisme”. Setiap bagian mendapatkan artinya dalam konteks keseluruhan.
4. Merupakan proses untuk mengetahui berbagai bagian.
5. Alam manusia dan alam non manusia adalah satu. Dalam holistik tidak terdapat
dualisme. Manusia dan alam merupakan bagian dari sistem kosmologi organik yang
sama.

Uraian di atas akan mengantarkan pada sebuah pendapat Arne Naess, seorang filsuf
Norwegia bahwa kepedulian terhadap alam lingkungan dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu:

1. Kepedulian lingkungan yang “dangkal” (shallow ecology)


2. Kepedulian lingkungan yang “dalam” (deep ecology).
3. Kepedulian ekologis ini sering disebut altruisme platener holistik, yang beranggapan
bahwa hal ini memiliki relevansi moral hakiki, bukan tipe-tipe pengadu (termasuk
individu atau masyarakat), melainkan alam secara keseluruhan (J. Sudriyanto,
1992:22
Peraturan Yang Berkaitan Dengan Etika Lingkungan

Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945

“Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Isi ayat pasal di atas bermakna bahwa segala sesuatu mengenai sumber daya alam termasuk
di dalamnya air beserta kekayaan alam lainnya milik atau berada dalam wilayah teritori
NKRI berarti dikuasai, diatur, dikelola, dan didistribusikan oleh negara atau pemerintah
dengan segenap lembaga pengelolanya untuk dipergunakan bagi memakmurkan atau
mensejahterakan rakyat Indonesia seluruhnya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 23 TAHUN 1997

TENTANG

PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

Menimbang :

a. bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia dan rahmat Tuhan Yang Maha
Esa kepada rakyat dan bangsa Indonesia merupakan ruang bagi kehidupan dalam
segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara;
b. bahwa dalam rangka mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan
kesejahteraan umum seperti diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan
untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu dilaksanakan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup berdasarkan
kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh dengan memperhitungkan
kebutuhan generasi masa kini dan generasi masa depan;
c. bahwa dipandang perlu melaksanakan pengelolaan lingkungan hidup untuk
melestarikan dan mengembangkan kemampuan lingkungan hidup yang serasi, selaras,
dan seimbang guna menunjang terlaksananya pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan hidup;
d. bahwa penyelenggaraan pengelolaan lingkungan hidup dalam rangka pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus didasarkan pada norma
hukum dengan memperhatikan tingkat kesadaran masyarakat dan perkembangan
lingkungan global serta perangkat hukum internasional yang berkaitan dengan
lingkungan hidup;
e. bahwa kesadaran dan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan
lingkungan hidup telah berkembang demikian rupa sehingga pokok materi
sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982
Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215) perlu disempurnakan untuk
mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup;
f. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e di atas perlu
ditetapkan Undang-undang tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup;

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 1999


TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

a. bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta
makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk
pemeliharaan kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk
hidup lainnya;
b. bahwa agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi
lingkungan hidup, maka udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui
pengendalian pencemaran udara;
c. bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu
menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 27 TAHUN 1999
TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan lingkungan sebagai


upaya dasar dan berencana mengelola sumber daya secara bijaksana dalam
pembangunan yang berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mutu hidup,
perlu dijaga keserasian antar berbagai usaha dan/atau kegiatan;
b. bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan pada dasarnya menimbulkan dampak terhadap
lingkungan hidup yang perlu dianalisis sejak awal perencanaannya, sehingga langkah
pengendalian dampak negatif dan pengembangan dampak positif dapat dipersiapkan
sedini mungkin;
c. bahwa analisis mengenai dampak lingkungan hidup diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang pelaksanaan rencana usaha dan/atau kegiatan yang
mempunyai dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
d. bahwa dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu dilakukan penyesuaian terhadap Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan;
e. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 82 TAHUN 2001

TENTANG

PENGELOLAAN KUALITAS AIR DANPENGENDALIAN PENCEMARAN AIR

a. bahwa air merupakan salah satu sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi
kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga
merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan;

b. bahwa air merupakan komponen lingkungan hidup yang penting bagi kelangsungan hidup dan
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;

c. bahwa untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian
pencemaran air secara bijaksana dengan memperhatikan kepentingan generasi sekarang dan mendatang
serta keseimbangan ekologis;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta
untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air;

PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 150 TAHUN 2000
TENTANG
PENGENDALIAN KERUSAKAN TANAH UNTUK PRODUKSI BIOMASSA

    Menimbang        :

a. bahwa tanah sebagai salah satu sumber daya alam, wilayah hidup, media lingkungan,
dan faktor produksi biomassa yang mendukung kehidupan manusia serta makhluk
hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya;
b. bahwa meningkatnya kegiatan produksi biomassa yang memanfaatkan tanah maupun
sumber daya alam lainnya yang tak terkendali dapat mengakibatkan kerusakan tanah
untuk produksi biomassa, sehingga menurunkan mutu serta fungsi tanah yang pada
akhirnyadapat mengancam kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b serta
untuk melaksanakan ketentuan pasal 14 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Kerusakan Tanah untuk Produksi Biomassa;        

   
ARTIKEL PENDIDIKAN LINGKUNGAN HIDUP

ETIKA LINKUNGAN

Disusun Oleh

Agus Kartiwa

Kelas

XC

SMA NEGERI 17 GARUT


Jl. Raya Samarang Garut 44161 Tlp. 0262 - 542079

You might also like