You are on page 1of 7

Fisiologi Sistem Gastrointestinal

oleh Evan Regar, 0906508024

Pendahuluan fisiologi sistem gastrointestinal

Sistem gastrointestinal (selanjutnya disebut sistem GI) merupakan sistem organ yang berperan bagi tubuh
dalam penyediaan nutrisi, elektrolit, dan air. Proses ini mencakup proses pemrosesan makanan di rongga mulut,
pergerakan makanan sepanjang saluran cerna, sekresi oleh kelenjar cerna, hingga pada akhirnya penyerapan dan
pengeluaran sisa makanan.

Organ yang merupakan bagian dari sistem gastrointestinal memiliki berbagai peranan. Ada organ yang
memiliki kerja sederhana seperti hanya menghubungkan organ satu dengan organ lain, sementara organ lain
memiliki fungsi yang kompleks.

Dalam artikel ini, pembahasan akan dilakukan secara sistematika anatomis, mulai dari rongga mulut
hingga lambung, kemudian disertai dengan pembahasan organ pendukung sistem gastrointestinal, yakni hepar
beserta cairan empedu. Namun demikian sebelum melangkah lebih lanjut ada baiknya dibahas mengenai
mengenai dasar-dasar faal kontraksi otot polos.

Kontraksi Otot Polos1,2,3

Otot polos adalah jenis otot yang berukuran relatif kecil


dan biasanya berperan untuk melapisi rongga dari suatu organ.
Terdapat baik persamaan maupun perbedaan antara kontraksi
otot polos dengan otot rangka. Keseluruhan jenis otot,
termasuk otot polos, memiliki protein kontraktil yang
terbentuk dari filamen aktin dan miosin.Tidak seperti aktin
pada umumnya, aktin pada otot polos tidak memiliki protein
regulator troponin. Selain itu organisasi protein kontraktil
ini berbeda antara otot polos dengan otot rangka. Oleh karena
itu, struktur sarkomer tidak dapat ditemukan di otot polos
karena serabut protein kontraktilnya tidak membentuk
susunan miofibril. Struktur yang demikian menyebabkan
protein miosin dapat membentuk cross bridge sepanjang
filamen dan dapat menyebabkan pemendekkan otot yang Gambar 1 – Struktur mikroskopis otot polos
jauh lebih banyak (efektif) dibandingkan otot rangka. (Tortora, 2010)

Mekanisme kontraksi otot rangka diterangkan sebagai berikut. Ketiadaan troponin dalam otot polos
menyebabkan tropomiosin tidak berperan dalam menutupi tempat berikatan aktin. Dengan demikian, aktin dan
miosin dicegah untuk membentuk cross bridge melalui light chain miosin (yang selama ini kurang dianggap
penting dalam mempelajari mekanisme kontraksi otot rangka). Cross bridge hanya akan terbentuk apabila
light chain miosin terfosforliasi. Bagaimana light chain terfosfolirasi diatur melalui influks Ca2+ melalui
reseptor dihidropiridin ke dalam sitoplasma sel otot (sel otot polos tidak memiliki tubulus T dan retikulum
sarkoplasmanya tidak berkembang baik, sehingga sangat memerlukan Ca2+ dari lingkungan ekstrasel) yang
kemudian mengaktifkan kompleks MLC (myosin light chain) kinase. Jika diperhatikan, ion fosfat inorganik (Pi)
yang dibutuhkan untuk kontraksi ini memiliki dua tempat berikatan, yakni di light chain (unik bagi otot polos)
dan di situs ATPase miosin yang bermanfaat untuk penciptaan power stroke (juga ditemukan di otot rangka).

Berdasarkan peningkatan konsentrasi Ca2+ sitosolik otot polos terbagi menjadi otot polos fasik dan otot
polos tonik. Otot polos fasik pada keadaan normal sangat lemah kontraksinya, namun akan meningkat aktivitas
kontraksinya jika diinginkan. Sementara itu otot polos tonik sebagian besar masa hidupnya berlangsung
mengalami kontraksi parsial yang menetap (istilah ini disebut dengan tonus).

Gastrointestinal 2010-2011 / Pemicu 1 1


Sebagian besar otot polos dalam sistem GI merupakan single-unit (setiap otot polos bekerja secara
berkelompok, apabila satu serabut otot berkontraksi maka sel-sel tetangganya akan mengikuti), self-excitable
(eksitabilitas diri), serta miogenik. Dengan demikian adanya potensial aksi di salah satu sel dapat menyebabkan
timbulnya potensial aksi di sel-sel tetangga melalui penjalaran potensial aksi (gap junction). Struktur seperti ini
disebut dengan sinkitium fungsional. Sifat eksitabilitas diri yang dimiliki oleh otot polos jenis ini membuat
mereka tidak memerlukan perangsangan Sel seperti ini berada di tengah hamparan sel-sel otot polos lain yang
tidak memiliki sifat ekstabilitas diri, sehingga sel ini dapat disebut dengan sel pacu yang dapat menyebabkan
baik potensial depolarisasi (baik apabila diterjemahkan dari istilah pacemaker potential) maupun potensial
gelombang lambat (slow-wave potential), yang lagi-lagi tergantung jenis selnya. Potensial gelombang lambat
merupakan metode eksitabilitas diri yang sering ditemukan di sistem GI. Keberadaan persarafan di sistem GI
(seperti yang akan dibahas setelah ini) tidak menginisiasi, melainkan memodulasi kontraksi otot polos sistem
GI. Selain persarafan, kendali hormonal dan mekanik bekerja memodulasi kontraksi otot polos sistem GI
melalui kerjanya terhadap permeabilitas kanal ion Ca2+ otot polos.

Persarafan sistem gastrointestinal

Sistem GI memiliki sistem saraf enterik


yang berada di sepanjang dinding saluran
cerna, mulai dari esofagus hingga anus. Sistem
saraf ini memiliki jumlah neuron yang sangat
banyak, menyerupai jumlah neuron di korda
spinalis. Oleh karena itu sistem saraf enterik
sangatlah penting dalam pengaturan sistem GI.
Sistem saraf enterik terdiri atas pleksus
myenteric Auerbach (terletak di antara lapis
longitudinal dan sirkuler) serta pleksus
submukosa Meissner.1 Pleksus Auerbach
berperan dalam pengaturan motilitas sistem GI,
sedangkan pleksus Meissner lebih memilii
efek terhadap pengaturan sekresi dan
Gambar 2 – Skema persarafan sistem gastrointestinal
perdarahan sistem ini. (Guyton, 2006)

Hal yang unik dari sistem GI adalah


ditemukannya sel yang menyerupai sel pacu jantung, yang dapat mencetuskan suatu daya kontraksi sistem GI.
Sel ini disebut pula dengan sel interstisial Cajal (baca: caHal). Sel ini dapat mencetuskan suatu slow-wave
potential yang menjadi dasar dari aktivitas ritmis elektrik dasar dari sistem GI. Slow-wave potential bukanlah
suatu potensial aksi, melainkan menyerupai fluktuasi potensial membran secara teratur (siklik) yang
menyebabkan sel-sel kontraktil menjadi lebih mudah (atau justru lebih sulit) mencapai potensial ambang yang
dapat mencetuskan potensial aksi sehingga otot polos berkontraksi.2

Selain daripada sistem saraf tersendiri ini, sistem gastrointestinal juga mendapat pengaruh dari persarafan
simpatis dan parasimpatis. Kedua sistem saraf ini bekerja dengan cara memengaruhi kedua pleksus sistem
saraf enterik. Stimulasi simpatis akan menyebabkan penghambatan aktivitas sistem GI (melalui kerja
neurotransmiter norepinefrin). Kontras dengan simpatis, rangsangan parasimpatis meningkatkan aktivitas sistem
GI. Meskipun mempersarafi sistem GI, ketiadaan persarafan otonom ini tidak menyebabkan kelainan yang
berarti pada sistem GI, karena persarafan enterik sendiri sudah cukup mumpuni dalam hal menunjang aktivitas
sistem GI. Lebih lanjut lagi selain ditemukan persarafan otonom dapat pula ditemukan serabut saraf aferen
(sensori) yang berasal dari epitel sistem GI. Serabut aferen ini mengirimkan informasi ke kedua pleksus,
sistem saraf simpatis (melalui ganglia prevertebral), maupun ke sistem saraf parasimpatis (melalui n.vagus ke
batang otak).

Persarafan sistem GI berperan dalam refleks GI yang berperan dalam pengaturan kerja sistem GI. Saat ini
setidaknya dikenal tiga jenis refleks GI, yakni refleks yang hanya melibatkan sistem saraf enterik; refleks
yang melibatkan ganglia simpatis, serta refleks yang melibatkan pusat pengaturan sentral.

Gastrointestinal 2010-2011 / Pemicu 1 2


Selain kontrol melalui persarafan, sistem GI juga dapat dikendalikan melalui pengaruh hormonal. Hormon
dapat meningkatkan atau menurunkan motilitas saluran cerna, demikian pula sekresi saluran cerna. Pada
akhirnya, baik persarafan maupun hormon memberikan suatu mekanisme umpan balik (feedback) terhadap
sistem GI. Keseluruhan ini mengatur sistem GI melalui reseptor yang peka baik terhadap zat kimiawi, mekanik,
maupun osmolaritas.3

Proses awal yakni mengunyah dan sekresi saliva

Makanan yang dimakan akan dikunyah (proses mastikasi), yang tidak lain merupakan proses motilitas
yang terjadi di rongga mulut (cavum oris). Makanan dapat terkunyah karena adanya proses oklusi (merapatnya
susunan gigi geligi atas dengan bawah, yang mana pada orang-orang dengan kelainan maloklusi menyebabkan
makanan tidak terkunyah dengan baik).2 Mengunyah adalah proses yang penting karena menghancurkan
struktur dan kontur makanan menjadi halus dan mudah tertelan. Hal yang lebih penting lagi adalah dengan
penghancuran, permukaan makanan yang berkontak dengan enzim akan lebih luas sehingga lebih baik tercerna. 1
Pada dasarnya mengunyah merupakan proses volunter, walaupun pada akhirnya akan merupakan suatu proses
refleks yang melibatkan otot-otot rahang, pipi, dan lidah. Makanan akan dibahasi dengan air liur untuk
kemudian mengalami sedikit pencernaan. Zat-zat nutrien tidak ada yang diserap di organ ini, dan makanan
selanjutnya akan melanjutkan perjalanan ke faring.

Saliva (liur) adalah sekret yang dihasilkan oleh tiga kelenjar besar, yakni kelenjar submandibularis,
sublingualis, dan parotis, serta oleh kelenjar pipi (buccal) yang lebih kecil.1 Hampir seluruh komponen saliva
adalah H2O, dengan komposisi sisanya merupakan:

1. Elektrolit, yang sebagian besar tersusun atas ion K+, bikarbonat (HCO3-). Perlu diketahui bahwa
kandungan elektrolit saliva berbeda dengan cairan tubuh akibat proses transpor aktif ion-ion yang
terjadi di saluran keluar kelenjar liur;
2. Sekret serosa, berupa ptialin (suatu alfa-amilase) yang berperan dalam memecah pati (atau
polisakarida) menjadi maltosa (suatu disakarida);
3. Mucin, suatu sekresi mukus untuk melicinkan makanan dan melindungi mukosa oral;
4. Enzim proteolitik, berupa lisozim yang bekerja menyerang bakteri untuk memasukkan ion tiosianat
(SCN-) yang akan menjadi agen bakterisidal;
5. serta Imunoglobulin A yang merupakan bagian dari sistem imun humoral dan mencegah bakteri agar
tidak mempenetrasi epitelium maupun laktoferin yang dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan bagi
perkembangbiakan bakteri.

Setiap harinya sekitar 1-2 liter saliva dihasilkan


(dengan volume mulai dari 0,5 ml/menit hingga
maksimum 5 ml/menit).2 Variasi volume sekresi saliva
mengisyaratkan bahwa sekresi saliva adalah suatu proses
yang melibatkan pengaturan melalui persarafan baik
parasimpatis maupun simpatis. Rangsangan parasimpatis
akan menghasilkan saliva dengan jumlah yang cukup
banyak. Rangsangan parasimpatis dikendalikan oleh
nukleus salivatorius superior dan inferior yang terletak
di batang otak. Melalui n.glossofaringeal dan ganglion
otik-lah kelenjar parotis dipersarafi. Sementara itu kelenjar
submandibular melibatkan jaras persarafan n.fasialis dan
Gambar 3 – Pengaturan sekresi saliva ganglion submandibularis. Perangsangan parasimpatis
(Ganong, 2010) diakibatkan oleh rangsangan sensor rasa dan taktil dari
permukaan lidah dan sekitar faring.

Peranan pusat luhur (higher center) dari sistem saraf pusat dapat memengaruhi sekresi saliva. Oleh karena
itu, seseorang yang mencium aroma makanan kesukaannya dapat menghasilkan saliva yang lebih banyak

Gastrointestinal 2010-2011 / Pemicu 1 3


daripada apabila ia mendapati makanan yang ia tidak terlalu suka. Hal seperti demikian melibatkan appetite
area yang berkomunikasi dengan korteks serebri dan amigdala.

Jika memang demikian adanya proses pengeluaran saliva, dapat dikatakan bahwa proses pengeluaran
saliva merupakan suatu refleks yang dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni refleks sederhana dan refleks
terkondisi. Refleks sederhana terjadi ketika kemoreseptor dan baroreseptor di rongga mulut merespons
keberadaan makanan yang kemudian menyampaikan informasi melalui serabut saraf aferen ke pusat saliva.
Refleks terkondisi, secara kontras, tidak melibatkan stimulasi oral. Hanya dengan membayangkan atau mencium
aroma makanan dapat menginisiasi pengeluaran saliva melalui jenis refleks ini. Refleks terkondisi adalah suatu
refleks yang didapatkan (acquired) berdasarkan pengalaman sebelumnya (previous experience) dan melibatkan
korteks serebri dan fungsi luhur lainnya.4

Rangsangan simpatis akan menyebabkan pengeluaran saliva dengan karakteristik kental dan dalam jumlah
yang lebih sedikit. Oleh karena rangsang simpatis akan mengakibatkan rangsang parasimpatis menjadi tidak
ekstensif, mulut akan terasa lebih kering.

Proses penelanan, serta faring dan esofagus, tempat lewat makanan sebelum memasuki lambung

Makanan yang telah tercairkan dengan adanya saliva dari rongga mulut dan berbentuk seperti bola disebut
dengan nama bolus. Bolus akan meninggalkan rongga mulut menuju saluran cerna berikutnya (faring) melalui
suatu proses yang dinamakan menelan (deglutisi).

Proses menelan terbagi menjadi tiga tahap, yakni fase volunter, fase faringeal, dan fase esofageal. Fase
volunter ditandai dengan proses mengangkat lidah ke atas untuk kemudian mendorong bolus ke arah belakang.
Fase ini merupakan fase yang dapat dikendalikan. Setelah bolus melewati fase volunter, bolus akan mengikuti
fase involunter. Fase faringeal merupakan suatu refleks yang terpicu akibat bolus menyentuh area reseptor di
bukaan faring. Fase ini dimulai dengan penutupan trakea (melalui penutupan glottis, yakni bagian superior dari
laring), pembukaan esofagus, serta gelombang peristaltik cepat yang timbul di faring untuk menekan bolus ke
esofagus atas. Pusat pengendali dari proses penelanan merupakan pusat penelanan yang terletak di daerah
medulla dan pons bagian bawah yang berjalan melalui n.vagus.1 Saat menelan kerja sistem respirasi terhambat
akibat pusat menelan menghambat pusat respirasi di sekitarnya, namun hambatan ini tidak terlihat efeknya. Fase
terakhir adalah fase esofageal yang membawa bolus dari esofageal atas ke esofageal bawah, sebelum memasuki
gaster. Gerakan mendorong esofagus ini dilakukan oleh gerak peristaltik primer (yang merupakan kontinuasi
dari peristaltik faring) dan gerak peristaltik sekunder (yang muncul apabila bolus yang menyangkut di
esofagus meregang esofagus dan menimbulkan refleks ini).

Gambar 4 – Gambaran proses menelan makanan (Ganong, 2010)

Sebelum memasuki gaster ditemukan lagi struktur sfingter gastroesofageal yang berperan untuk
mencegah terjadinya refluks isi asam lambung naik ke atas melalui esofagus. Gerak peristaltik yang muncul dari
esofagus turun ke bawah dan menimbulkan relaksasi reseptif yang terjadi di sfingter ini. Tonus sfinger ini
berkurang, relaks, dan memperbolehkan bolus untuk masuk ke gaster.

Gastrointestinal 2010-2011 / Pemicu 1 4


Esofagus menghasilkan sekret berupa mukus yang berguna untuk melumasi bolus selama proses
penelanan. Bagian esofagus yang dekat dengan gaster memiliki kelenjar mukus yang khusus untuk melindungi
mukosa dari proses perusakan jika sampai terjadi refluks sekret asam dari gaster yang dapat saja mengiritasi
mukosa esofagus apabila berhasil melewati mekanisme proteksi sfingter gastroesofageal.

Gaster

Gaster merupakan organ yang berperan dalam penyimpanan makanan sementara (sebelum dialirkan ke
duodenum), tempat mencerna bolus melalui sekret yang dihasilkan olehnya (pencernaan karbohidrat
berlangsung, pencernaan protein pertama kali), mencampurkannya melalui gerakan yang terkoordinir, serta
berperan dalam penyerapan beberapa zat larut lemak seperti alkohol dan aspirin. 3

Sessat setelah bolus tiba di bagian atas gaster (kardia), gaster mengirimkan refleks (refleks vagovagal)
untuk menghambat tonus otot lambung sehingga lambung dapat menampung makanan. Mekanisme ini juag
merupakan suatu relaksasi reseptif. Selanjutnya muncul gerakan-gerakan peristaltik lemah yang dimulai
dari bagian atas lambung dan bergerak ke arah lambung. Sel-sel interstisial Cajal dapat ditemukan di bagian
fundus atas gaster yang menghasilkan potensial gelombang lambat (lihat bagian faal otot polos). Gelombang
ini bergerak dan semakin kuat di bagian akhir lambung mengakibatkan timbulnya potensial aksi berupa gerakan
peristaltik yang lebih kuat (bagian antrum memiliki otot yang lebih tebal dibandingkan bagian korpus dan
fundus). Sfingter pilori yang masih tertutup menyebabkan gerakan bolus dengan sekret lambung tidak dapat
melewati rongga yang sangat kecil ini. Dengan demikian, gerakan peristaltik lambung ini juga dapat bermanfaat
sebagai suatu gerakan mengaduk dan mencampur, yang sering disebut dengan gerakan retropulsi, serta
lebih dominan terjadi di bagian antrum gaster. Hasil dari pencampuran bolus dengan sekret gaster ini
menghasilkan suatu kim (chyme).

Sfinger pilori merupakan struktur yang terletak di ujung distal gaster, sebelum terdapat bukaan menuju
duodenum. Sfingter pilori beserta dengan bagian akhir gaster dapat disebut dengan istilah pompa pilori yang
berperan dalam regulasi pengosongan gaster. Banyaknya kim yang terdapat di gaster akan membuat gaster
teregang dan pada akhirnya merangsang gaster untuk meningkatkan motilitas dan pengosongan gaster. Gastrin
juga meningkatkan kerja pompa pilori.

Meskipun demikian, faktor yang lebih penting justru datang bukan dari gaster, melainkan dari duodenum.
Apabila kim yang terdapat di duodenum banyak mengandung lemak, bersifat asam, hipertonik (atau hipotonik),
serta mukosa duodenal teriritasi, terjadi respons refleks enterogastrik yang membuat sfingter pilori
meningkatkan tonusnya. Selain melalui persarafan, enterogastron, suatu hormon yang salah satunya memiliki
efek ke gaster akan menghambat kontraksi antrum dan meningkatkan tonus sfingter pilori. Contoh dari
enterogastron adalah GIP (gastric inhibitory peptide), sekretin, kolesistokinin (CCK). CCK dihasilkan oleh
mukosa jejenum akibat deteksi terhadap lemak (dan sedikit akibat asam amino) yang memiliki fungsi lain untuk
merangsang kantung empedu mengeluarkan isinya.

Di sepanjang dinding mukosa gaster terdapat sel-sel pensekresi mukus yang bermanfaat untuk melindungi
gaster dari suasana asam gaster. Sekret ini agaknya bersifat agak basa dan melapisi gaster cukup tebal (sekitar 1
mm). Sifat basa ini menjelaskan bahwa sifat asam cairan lambung tidak secara langsung mengiritasi mukosa
lambung karena terlindungi oleh sekret mukus ini. Selain itu dapat ditemukan pula kelenjar oksintik (disebut
pula kelenjar gastrik) dan kelenjar pilorik (PGA, pyloric gland area).1,4 Jumlah sekret dari keselurhan kelenjar
di gaster mencapai 2 liter setiap harinya. Sekret yang dihasilkan oleh kelenjar oksintik adalah:

1. Mukus oleh mucous neck cells;


2. Pepsinogen oleh chief cells (peptic cells) - pepsinogen berperan dalam pencernaan protein setelah
diaktifkan oleh asam klorida menjadi pepsin;
3. dan Asam klorida serta faktor intrinsik oleh sel parietal (atau sel oksintik). Faktor intrinsik berperan
dalam penyerapan vitamin B12 yang bermanfaat untuk proses pematangan sel darah merah.

Gastrointestinal 2010-2011 / Pemicu 1 5


Khusus mengenai sekresi asam klorida
(HCl) dapat dipelajari melalui gambar di
samping. Ion klorida ditranspor dari sitoplasma
sel parietal ke kanalikulus (juga bagian dari sel
parietal, namun mempunyai bukaan ke lumen
gaster). Adanya transpor ini mengakibatkan
kanalikulus bermuatan negatif dan menginisasi
difusi pasif ion kalium dan natrium keluar ke
kanalikulus. Di dalam sitoplasma sel ini
terdapat disosiasi molekul air menjadi ion
hidrogen (H+), yang kemudian dikeluarkan ke
kanalikulus untuk menggantikan K+ yang
masuk ke sitoplasma melalui pompa ion aktif,
serta ion hidroksil (OH-). yang akan bertemu
dengan CO2 sitoplasma sehingga membentuk ion Gambar 5 – Skema proses sekresi asam klorida (HCl) oleh
-
bikarbonat (HCO3 ) dan kembali ion H ). Ion+ sel parietal gaster (Ganong 2010)
bikarbonat kemudian keluar ke cairan
ekstraseluler untuk digantikan dengan ion klorida yang masuk ke dalam sitoplasma dari cairan ekstraselular.
Melimpahnya ion H+ dan Cl- di kanalikuli membentuk banyak molekul asam klorida yang dikeluarkan ke lumen
gaster. pH sekresi asam melalui mekanisme ini dapat mencapai 0,8. 2

Sementara itu sekresi oleh kelenjar pilorik terdiri atas sel-sel mukus yang hampir identik dengan hasil
sekret mucous neck cells dari kelenjar oksintik. Hormon penting yang disekresi oleh kelenjar ini adalah gastrin
yang akan mengatur sel parietal kelenjar oksintik dalam menghasilkan asam klorida. 1 Gastrin dihasilkan oleh sel
G (suatu sel endokrin, bukan eksokrin) di kelenjar pilorik bagian antrum akibat menerima makanan yang kaya
akan protein atau dirangsang oleh parasimpatis (asetilkolin). Gastrin kemudian merangsang sel ECL
(enterochromafin-like cells) yang kemudian menghasilkan histamin. Histamin selanjutnya merangsang sel
parietal untuk menserkesikan asam klorida melalui mekanisme yang telah dijelaskan di atas. 1

Hepar dan empedu1,3

Hepar terlibat dalam proses pencernaan melalui mekanisme penghasil empedu yang membantu mencerna
dan mengabsorpsi zat lemak. Hepatosit (sel hati) menghasillkan empedu dan dialirkan ke kanalikuli biliaris.
Beberapa kanalikulus biliaris akan berkumpul ke ductus hepaticus, sebelum bergabung dengan ductus cysticus
(yang dimiliki oleh kantung empedu) membentuk ductus biliaris communis. Saluran empedu yang menuju
duodenum dikawal oleh otot sfingter lain, yakni
sfingter Oddi. Apabila sfingter Oddi tertutup, empedu
yang dihasilkan akan dialirkan ke vesica biliaris
(fellea) atau kantung empedu yang berada dekat
dengan hepar. Oleh karena itu dikatakan bahwa
empedu tidak secara langsung dialirkan ke kantung
empedu. Kolesistokinin menyebabkan sfinter Oddi
terbuka dan mengalirkan isi empedu ke duodenum.

Empedu tersusun atas garam empedu, kolesterol,


lesitin, bilirubin, dan cairan basa (yang serupa dengan
natrium bikarbonat yang disekresi oleh pankreas).
Garam empedu merupakan struktur turunan kolesterol
yang kemduain direarsoprsi di ileum terminal). Garam
Gambar 6 – Skema pengaturan pengaliran empedu
empedu dikembalikan ke sistem porta hepatis dan
akibat berbagai pengaruh (Ganong 2010)
siap digunakan kembali untuk sekresi empedu
berikutnya. Garam empedu membantu proses
pencernaan lemak melalui sifatnya yang mengemulsi lemak. Jika tidak demikian, enzim lipase hanya dapat

Gastrointestinal 2010-2011 / Pemicu 1 6


mencerna trigliserida di permuksaan saja, padahal molekul trigliserida ini akan membentuk gumpalan yang
sangat besar akibat ketidaklarutannya dalam air. Garam empedu membantu penyerapan melalui pembentukan
misel. Bersama dengan lesitin, garam empedu membentuk struktur hidrofobik di bagian dalam sementara
struktur hidrofilik tampai di bagian luarnya. Oleh karena itu, misel merupakan struktur larut air yang dapat
menyelubungi emulsi lemak yang tidak larut air dan vitamin larut lemak.

Kepustakaan

1. Guyton AC, Hall JE. Textbook of medical physiology. 11th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2006.
2. Sherwood L. Human physiology: From cells to system. 7 th edition. Toronto: Brooks/Cole Cengage
Learning; 2010.
3. Barrett K, Brooks H, Bitano S, Barman S. Ganong’s review of medical physiology. 23th edition. New
York: McGraw Hill; 2010.
4. Tortora JG, Derrickson B. Principles of anatomy and physiology. 12th edition. Denver: John Wiley &
Sons; 2009.

Courtesy: nps.org.au

Gastrointestinal 2010-2011 / Pemicu 1 7

You might also like