Professional Documents
Culture Documents
1. PENDAHULUAN
Kata inovasi, sistem inovasi, dan kapasitas inovatif adalah di antara sekian
banyak istilah yang sering dikemukakan dalam beragam kesempatan, baik dalam
pembicaraan yang tidak formal hingga diskusi-diskusi akademis. Istilah-istilah
tersebut diartikan cukup bervariasi. Mengingat pengertian dari istilah yang
dimaksud akan menjadi penting bagi pembahasan selanjutnya, maka pengertian
beberapa istilah kunci akan mengawali diskusi yang disampaikan di sini.
Walaupun bagian ini disajikan sebagai suatu tinjauan tentang konsep/
pendekatan, namun ini tidak dimaksudkan sebagai pembahasan akademis yang
mendalam. Sejalan dengan maksud penulisan buku ini, maka diskusi yang
disampaikan lebih dimaksudkan untuk menyampaikan secara ringkas dan dalam
format yang diupayakan sesederhana mungkin tentang beberapa pandangan dan
untuk meningkatkan pemahaman atau setidaknya menyampaikan perspektif
pengertian tentang beberapa isu yang dipandang perlu untuk pembahasan
selanjutnya.
Tekanan bahasan di sini adalah sebagai pengenalan berkaitan dengan
pandangan dan beberapa “pergeseran” pandangan tentang inovasi, konsep/model
sistem inovasi dan beberapa kecenderungan perkembangannya, termasuk
urgensinya dalam konteks “daerah.”
2. INOVASI
Innovation is a locally driven process, succeeding where organizational conditions foster the
transformation of knowledge into products, processes, systems, and services. (Malecki, 1997;
Dikutip dari Jelinek dan Hurt, 2001);
Innovation is the successful production, assimilation and exploitation of novelty in the economic
and social spheres . . . In brief, innovation is:
the renewal and enlargement of the range of products and services and the associated
markets
the establishment of new methods of production, supply and distribution
the introduction of changes in management, work organisation, and the working
conditions and skills of the workforce
(European Commission, 1995: Green Paper on Innovation);
Inovasi adalah ciptaan-ciptaan baru (dalam bentuk materi ataupun intangible) yang memiliki
nilai ekonomi yang berarti (signifikan), yang umumnya dilakukan oleh perusahaan atau kadang-
kadang oleh para individu (Edquist, 2001, 1999);
Inovasi adalah aplikasi komersial yang pertama kali dari suatu produk atau proses yang baru
(lihat misalnya Clark dan Guy, 1997);
Inovasi merupakan suatu proses kreatif dan interaktif yang melibatkan kelembagaan pasar dan
non-pasar (OECD, 1999);
Inovasi adalah transformasi pengetahuan kepada produk, proses dan jasa baru; tindakan
menggunakan sesuatu yang baru (Rosenfeld, 2002);
Inovasi merupakan eksploitasi yang berhasil dari suatu gagasan baru (the successful
exploitation of a new idea; Mitra, 2001 dan the British Council, 2000), atau dengan kata lain
merupakan mobilisasi pengetahuan, keterampilan teknologis dan pengalaman untuk
menciptakan produk, proses dan jasa baru;
Inovasi adalah kegiatan penelitian, pengembangan, dan/atau perekayasaan yang bertujuan
mengembangkan penerapan praktis nilai dan konteks ilmu pengetahuan yang baru, atau cara
baru untuk menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah ada ke dalam produk atau
proses produksi (UU No. 18 tahun 2002).
Beberapa definisi yang disebutkan mengungkapkan bahwa inovasi tidak saja menyangkut
kreativitas dari gagasan (yang membuka dan/atau untuk memanfaatkan peluang baru), namun juga
berkaitan dengan (potensi) nilai komersial, ekonomi dan/atau sosial. Untuk menekankan
perbedaannya dari pembaruan/perbaikan yang sekedar “kreativitas biasa” (dalam arti tidak
memberikan manfaat atau dampak nyata), beberapa pihak terkadang menyebut “inovasi yang
diadopsi” atau terbukti “berhasil” secara komersial/ekonomi sebagai “inovasi produktif” (productive
innovation).
Dari beragam definisi yang berkembang, istilah inovasi pada dasarnya dapat diartikan sebagai:
“proses” dan/atau “hasil” pengembangan dan/atau pemanfaatan/mobilisasi pengetahuan,
keterampilan (termasuk keterampilan teknologis) dan pengalaman untuk menciptakan
(memperbaiki) produk (barang dan/atau jasa), proses, dan/atau sistem yang baru, yang
memberikan nilai (terutama ekonomi dan sosial) yang berarti (signifikan); atau
proses di mana gagasan, temuan tentang produk atau proses diciptakan, dikembangkan dan
berhasil disampaikan kepada pasar.
Dalam “pengertian teknokratik,” inovasi sering ditekankan sebagai proses di mana gagasan
bagi produk, proses atau jasa yang baru (atau yang diperbaiki) dikembangkan dan
dikomersialisasikan di pasar (ilustrasi Gambar 2.1).
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 15
Inovasi
Inovasi
Pengertian
Proses “Teknokratik” Produk Sistem
Gambar 2.1
Pengertian Inovasi.
Definisi yang “luas dikenal” (atau setidaknya lebih sering didengar) adalah yang bersifat
“teknokratik” tersebut, yang lebih mengedepankan inovasi teknologi dengan penekanan perspektif
teknis. Walaupun begitu, tentunya inovasi dalam pengertian lebih luas tidak hanya terbatas pada
proses dan/atau produk saja. Untuk diskusi tentang inovasi sosial dan beberapa isu terkait, lihat
misalnya Dedijer (1984) dan beberapa makalah lain dalam Heden dan King (ed.) (1984).
“Pandangan” tentang inovasi berkembang dari waktu ke waktu. Pemahaman sebagai “proses
sekuensial-linier” sangat mendominasi di masa lampau. Dorongan bahwa hasil temuan
(invention/discovery/ technical novelty) merupakan sumber dan bentuk inovasi sebagai sekuen (urut-
urutan) rangkaian riset dasar Æ riset terapan Æ litbang Æ manufaktur/produksi Æ distribusi (sering
disebut technology push) berkembang terutama pada periode 1960an hingga 1970an (ada sebagian
yang menyatakan periode pasca Perang Dunia II hingga tahun 1960an). Kemudian, pandangan
selanjutnya bahwa perubahan kebutuhan permintaanlah yang menjadi pemicu atau penarik dari
inovasi (sering disebut demand pull) berkembang pada periode selanjutnya sampai periode 1980an.
Namun pandangan “sekuensial-linier” push ataupun pull (atau ada kalanya disebut pipeline
linear model) demikian disadari tidak sepenuhnya benar. Bahwa dalam sebagian besar praktiknya,
inovasi lebih merupakan proses interaktif dan iteratif, proses pembelajaran (learning process) yang
merupakan bagian penting dalam proses sosial. Artinya, semakin dipahami bahwa inovasi pada
umumnya tidak terjadi dalam situasi yang terisolasi. Model ini sering juga disebut dengan model
feedback-loop atau chain-link atau model inovasi interaktif atau non-linier (Gambar 2.2 dan 2.3).
Tulisan Kline dan Rosenberg (1986) yang mengajukan model inovasi chain-link atau feedback-
loop, dan Dodgson dan Bessant (1996a,b) yang mendiskusikan model inovasi interaktif (non-linier)
merupakan dua di antara sumber literatur yang paling sering dirujuk oleh banyak pihak berkaitan
dengan “pergeseran” pandangan tentang pola inovasi.
16 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Gambar 2.2
Suatu Ilustrasi Model Inovasi Chain-Link.
MODEL LINIER
Technology Push
Sains Dasar
MODEL INOVASI
Pengembangan
Teknologi
Manufaktur Pemasaran Penjualan
Demand Pull
Kebutuhan
Pengembangan Manufaktur Penjualan
Konsumen
MODEL INTERAKTIF
Gagasan
Kebutuhan Masyarakat dan Pasar
Baru
Teknologi
Kemajuan Teknologi dan Produksi
Baru
Gambar 2.3
Model Inovasi Interaktif.
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 17
Dari beragam pengalaman banyak pihak, terutama negara-negara yang dinilai “berhasil” dalam
mendorong inovasi, dan diskusi-diskusi konsep di berbagai literatur, berkembang fenomena penting
tentang inovasi yang kini semakin tidak mungkin diabaikan. Beberapa di antaranya adalah seperti
berikut:
Inovasi seringkali bukan technology push (driven) atau demand pull (driven) secara “hitam –
putih” yang tegas, namun lebih merupakan proses di antaranya dan kombinasi keduanya.
Walaupun inovasi muncul sebagai kejadian (event) yang mengubah sesuatu secara signifikan,
inovasi bukan merupakan kejadian sesaat dan/atau tidak terjadi/muncul dengan sendirinya.
Inovasi merupakan suatu proses.
Inovasi lebih merupakan proses kompleks dan dinamis (dan adakalanya terkesan sporadis)
yang sering menunjukkan paradoks. Walaupun inovasi didorong oleh kompetisi (persaingan),
inovasi tidak berkembang tanpa kerjasama (co-operation), adakalanya bahkan antara
perusahaan yang saling bersaing. Inovasi tak lagi semata hanya bergantung pada bagaimana
perusahaan, perguruan tinggi dan para pembuat kebijakan bekerja, namun juga pada
bagaimana mereka bekerjasama.
Inovasi merupakan proses pembelajaran sosial (social learning). Para inovator dan adopters
(pengguna) sama-sama perlu melalui proses belajar, baik menyangkut isu teknis maupun
kemanfaatan dan hal penting lain, serta membutuhkan “interaksi” yang efektif bagi keberhasilan
inovasi.
Iklim persaingan yang sehat memberikan tekanan persaingan yang efektif dalam mendorong
kebutuhan akan inovasi dan keberhasilannya akan semakin bergantung pada bagaimana
berbagai elemen penting, baik pelaku usaha, lembaga litbang, perguruan tinggi dan pembuat
kebijakan berkolaborasi. Di sisi lain, sifat inovasi (serupa halnya dengan kegiatan iptek atau
litbang) yang mengandung “barang publik/public goods” (setidaknya “sebagian”) berpotensi
membawa kepada “kegagalan pasar” (market failures), bahkan kegagalan sistemik (systemic
failures). Karena itu, intervensi tertentu seringkali dipandang perlu untuk mendorong perbaikan
(mengatasi persoalan demikian).
Tak dapat dipungkiri bahwa berdasarkan berbagai telaahan konsepsi maupun dukungan
empiris dan perkembangannya dari waktu ke waktu, inovasi pada dasarnya merupakan hasil dari
kewirausahaan, kreativitas intelektual, dan upaya kolektif.
Beberapa faktor yang dinilai sebagai faktor generik penyebab (sumber bagi) inovasi (dan
biasanya juga saling terkait) antara lain adalah:
Perkembangan/kemajuan teknologi (technical novelty).
Perubahan kebutuhan/keinginan atau “selera” konsumen.
Perubahan dalam segmen pasar atau kemunculan segmen pasar yang baru.
Tekanan persaingan yang semakin ketat.
Perubahan atas faktor produksi (kelangkaan relatif) dan faktor ekonomi tertentu (misalnya nilai
tukar mata uang).
Peraturan/kebijakan pemerintah.
18 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Kemampuan inovasi merupakan faktor daya saing yang sangat penting, terutama dalam
menghadapi beberapa kecenderungan sebagai berikut:
1. Tekanan persaingan global terus meningkat;
2. Produk semakin kompleks dan memiliki siklus hidup yang semakin pendek karena cepatnya
kemajuan teknologi dan perubahan tuntutan konsumen;
3. Kedua keadaan tersebut juga mengakibatkan perubahan persaingan pasar yang semakin cepat
dan kompleks.
Kemampuan inovasi yang rendah akan memaksa perusahaan atau suatu industri bersaing
pada segmen pasar yang umumnya “konvensional,” pasar masa (mass market) yang sudah “jenuh”
dan cenderung menurun (melampaui growing & maturity period dan memasuki declining period dalam
siklus bisnis), lebih mengandalkan pada persaingan harga, dan biasanya bernilai tambah relatif
rendah.
Telah menjadi kecenderungan fenomena umum dalam banyak industri, bahwa pasar dan
teknologi berubah sangat cepat, tekanan atas biaya cenderung meningkat, pelanggan semakin
menuntut, dan siklus produk serta time-to-market cenderung semakin pendek. Tantangan utama bagi
perusahaan di tengah suatu lingkungan bisnis yang kompleks dan kecenderungan persaingan global
yang semakin ketat, seperti ditegaskan dalam EISDISR (2001), adalah mengembangkan dan
mempertahankan keunggulan daya saing (lihat ilustrasi Gambar 2.4). Dalam situasi demikian, sangat
logis ungkapan yang disampaikan Peter Drucker bahwa setiap organisasi harus mempunyai suatu
kompetensi, yaitu inovasi.
Kompleksitas Tekanan
teknologi/produk globalisasi
Industri
Regulasi Tuntutan
akan quick returns
dari stakeholder
Gambar 2.4
Perubahan, Kompleksitas, dan Persaingan.
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 19
3. SISTEM INOVASI
Untuk mengawali bahasan tentang sistem inovasi, berikut adalah beberapa definisi yang
berkembang tentang sistem inovasi dari beragam sudut pandang.
Freeman (1987): sistem inovasi adalah jaringan lembaga di sektor publik dan swasta yang
interaksinya memprakarsai, mengimpor (mendatangkan), memodifikasi dan mendifusikan
teknologi-teknologi baru. 5
Lundvall (1992): sistem inovasi merupakan elemen dan hubungan-hubungan yang berinteraksi
dalam menghasilkan, mendifusikan dan menggunakan pengetahuan yang baru dan bermanfaat
secara ekonomi . . . . suatu sistem nasional yang mencakup elemen-elemen dan hubungan-
hubungan bertempat atau berakar di dalam suatu batas negara. Pada bagian lain ia juga
menyampaikan bahwa sistem inovasi merupakan suatu sistem sosial di mana pembelajaran
(learning), pencarian (searching), dan penggalian/eksplorasi (exploring) merupakan aktivitas
sentral, yang melibatkan interaksi antara orang/masyarakat dan reproduksi dari pengetahuan
individual ataupun kolektif melalui pengingatan (remembering).
5
Freeman dalam Technology and Economic Performance: Lessons from Japan; Metcalfe dalam Stoneman P. (ed),
“Handbook of the Economics of Innovation and Technological Change.” Lihat http://www.sussex.ac.uk/Users/
sylvank/index.php
20 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Nelson dan Rosenberg (1993): Sistem inovasi merupakan sehimpunan aktor yang secara
bersama memainkan peran penting dalam mempengaruhi kinerja inovatif (innovative
performance).
Metcalfe (1995): Sistem inovasi merupakan sistem yang menghimpun institusi-institusi berbeda
yang berkontribusi, secara bersama maupun individu, dalam pengembangan dan difusi
teknologi-teknologi baru dan menyediakan kerangka kerja (framework) di mana pemerintah
membentuk dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan untuk mempengaruhi proses
inovasi. Dengan demikian, sistem inovasi merupakan suatu sistem dari lembaga-lembaga yang
saling berkaitan untuk menciptakan, menyimpan, dan mengalihkan (mentransfer) pengetahuan,
keterampilan dan artifacts yang menentukan teknologi baru.
OECD (1999): sistem inovasi merupakan himpunan lembaga-lembaga pasar dan non-pasar di
suatu negara yang mempengaruhi arah dan kecepatan inovasi dan difusi teknologi.
Edquist (2001): Sistem inovasi merupakan keseluruhan faktor ekonomi, sosial, politik,
organisasional dan faktor lainnya yang mempengaruhi pengembangan, difusi dan penggunaan
inovasi. . . Jadi, sistem inovasi pada dasarnya menyangkut determinan dari inovasi.
Arnold, et al. (2001) dan Arnold, et al. (2003) menggunakan istilah ”sistem riset dan inovasi
nasional” (national research and innovation system), yaitu keseluruhan aktor dan aktivitas
dalam ekonomi yang diperlukan bagi terjadinya inovasi industri dan komersial dan membawa
kepada pembangunan ekonomi.
Dari beragam uraian definisi tersebut dan perkembangan dalam literatur sistem inovasi, secara
“konsep” sejauh ini pada dasarnya ada beberapa hal penting yang “lekat (inherent)” dalam pengertian
sistem inovasi, yaitu:
Kata “sistem” dalam istilah sistem inovasi menunjukkan cara pandang yang secara sadar
memperlakukan suatu kesatuan menyeluruh (holistik) dalam konteks “inovasi dan difusi.”6
Dalam literatur sistem inovasi, konvensi yang umum tentang pengertian istilah “sistem inovasi”
pada dasarnya lebih luas dari (mencakup) ”sistem iptek” (dan bagian dari sistem relevan
lainnya). Istilah “sistem inovasi” juga meliputi konteks “inovasi dan difusinya.”7 Walaupun ada
yang menggunakan istilah “sistem riset dan inovasi”/research and innovation system (lihat
misalnya Arnold, et al. 2001), namun istilah “sistem inovasi dan difusi” tidak lajim digunakan.
Terdapat 5 (lima) tekanan perhatian yang umumnya diberikan pada bahasan tentang sistem
inovasi dalam literatur, yaitu:
1. Basis sistem sebagai tumpuan bagi proses inovasi beserta difusi inovasi. Hal ini
berkaitan misalnya dengan segi/aspek berikut (yang umumnya saling terkait satu dengan
lainnya):
Tingkat analisis: mikro, meso dan makro.
Segi/aspek teritorial dan/atau administratif: misalnya sistem inovasi pada tataran
supranasional (beberapa negara), nasional, dan sub-nasional (atau daerah). 8
6
Catatan: Tentang “sistem inovasi” ini, Edquist (2001) lebih condong menggunakan istilah “pendekatan” atau “kerangka”
ketimbang “teori.’ Sementara itu, beberapa pakar lain memilih menggunakan istilah “teori” (lihat misalnya Mytelka dan
Smith, 2001).
7
Difusi merupakan suatu proses di mana inovasi dikomunikasikan melalui suatu saluran komunikasi tertentu dalam waktu
tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial atau masyarakat (Rogers, 1995, 1997); Difusi teknologi adalah
kegiatan adopsi dan penerapan hasil inovasi secara lebih ekstensif oleh penemunya dan/atau pihak-pihak lain dengan
tujuan untuk meningkatkan daya guna potensinya (UU No. 18 tahun 2002); Lihat beberapa rujukan tentang pengertian
difusi dan istilah terkait lain seperti alih pengetahuan/teknologi dalam Daftar Pustaka.
8
Ada perbedaan istilah yang digunakan. Beberapa menyebut misalnya “sistem inovasi nasional/daerah (national/regional
innovation system)”, ada juga yang menggunakan istilah “sistem nasional/daerah inovasi (national/regional system of
innovation)” untuk maksud yang sama. Dalam hal ini, penulis lebih condong memilih menggunakan istilah “sistem
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 21
inovasi nasional/daerah.” Semata karena pertimbangan semantik dan kelajiman penggunaannya dalam sebagian besar
literatur tentang sistem inovasi.
22 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
dengan isu-isu kegagalan pasar dan sistemik yang sangat mempengaruhi keberhasilan
sistem inovasi.
4. Fungsionalitas, yaitu menyangkut fungsi-fungsi utama sistem inovasi (dari elemen,
interaksi dan proses inovasi dan difusi). Terkait dengan hal ini adalah isu proses
pembelajaran yeng terjadi dalam sistem, yang kini semakin menonjol dalam diskusi-
diskusi tentang sistem inovasi.
5. Aktivitas, yaitu menyangkut upaya/proses atau tindakan penting dari proses inovasi dan
difusi. Penadbiran inovasi yang baik dipandang semakin penting untuk mengembangkan
aktivitas komprehensif namun lebih fokus, yang semakin terkoordinasi, dan
dikembangkan bertahap sejalan dengan perkembangan dan konteksnya, serta diperbaiki
secara terus-menerus.
Menurut OECD (1999), analisis sistem inovasi nasional mencakup beberapa pendekatan yang
pada dasarnya saling melengkapi, yang secara singkat sebagai berikut:9
1. Tingkat mikro: Fokusnya adalah kapabilitas internal perusahaan dan keterkaitan yang
melingkupi satu atau beberapa perusahaan, serta menelaah hubungan pengetahuan
suatu perusahaan dengan perusahaan lainnya dan lembaga-lembaga non-pasar dalam
sistem inovasi, dengan pandangan untuk mengidentifikasi kelemahan keterkaitan dalam
rantai nilai (value chain). Analisis demikian paling relevan bagi perusahaan tertentu dan
biasanya dilakukan oleh perusahaan konsultan, namun akan memperkaya pemahaman
para pembuat kebijakan manakala temuan-temuannya cukup berkaitan dengan isu-isu
yang lebih luas.
2. Tingkat meso: Pada tingkat ini analisis berkaitan dengan penelaahan keterkaitan
pengetahuan antara perusahaan-perusahaan yang berinteraksi dengan karakteristik
umum dengan menggunakan tiga pendekatan klasterisasi yang utama, yaitu: sektoral,
spasial dan fungsional. Suatu “klaster sektoral (atau klaster industri)” meliputi pemasok,
lembaga litbang dan pelatihan, pasar, transportasi, dan lembaga pemerintah khusus/
tertentu, keuangan atau asuransi yang terorganisasi di sekitar basis pengetahuan umum
tertentu. Analisis “klaster daerah/regional” menekankan faktor-faktor lokal di balik
aglomerasi geografis yang berdaya saing tinggi dari aktivitas-aktivitas yang sarat
pengetahuan (knowledge-intensive). Analisis “klaster fungsional” menggunakan teknik-
teknik statistik untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok perusahaan yang memiliki
karakteristik tertentu yang serupa (misalnya gaya inovasi umum atau tipe tertentu
keterkaitan eksternal).
3. Tingkat makro: Analisis pada tingkatan ini menggunakan pendekatan klasterisasi-makro
dan analisis fungsional (macro-clustering and functional analysis) dari aliran
pengetahuan. “Klasterisasi-makro” melihat ekonomi sebagai suatu jaringan dari klaster-
klaster yang saling terkait. Sementara ”analisis fungsional” melihat ekonomi sebagai
jaringan-jaringan antarlembaga dan memetakan interaksi antara lembaga-lembaga
tersebut. Hal ini melibatkan pengukuran lima jenis aliran pengetahuan, yaitu:
a. interaksi antarperusahaan;
b. interaksi antara perusahaan, perguruan tinggi dan lembaga riset publik, termasuk
riset bersama (joint research), paten bersama, publikasi bersama, dan keterkaitan-
keterkaitan yang lebih informal;
9
Beberapa istilah teknis tentang analisis yang disampaikan di sini dalam praktiknya biasanya digunakan secara
bersamaan dan saling melengkapi, sebagian atau seluruhnya.
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 23
Gambar 2.5 − 2.9 berikut menunjukkan beragam contoh ilustratif perspektif/kerangka sistem
inovasi. Diskusi lebih detail tentang perkembangan historis dan teori/konsep mengenai sistem inovasi
dapat dilihat antara lain dalam Lundvall (beberapa terbitan), Lundvall dan Christensen (1999), Smith
(beberapa terbitan), dan Edquist (2001, 1999).
OECD (1999) mencermati beberapa kecenderungan perubahan yang secara bersama
mempengaruhi kondisi-kondisi bagi keberhasilan inovasi, yaitu:
Inovasi semakin bergantung pada interaksi yang efektif antara basis sains dan sektor bisnis.
Pasar yang lebih kompetitif dan perubahan iptek yang semakin cepat mendorong perusahaan-
perusahaan berinovasi semakin cepat pula.
Jaringan dan kolaborasi antarperusahaan kini semakin penting dibanding dengan di masa
lampau, dan semakin melibatkan jasa layanan yang semakin sarat pengetahuan (knowledge-
intensive).
Usaha kecil dan menengah (UKM), terutama perusahaan pemula (baru) berbasis
teknologi/PPBT (new technology-based firms/NTBFs) mempunyai peran yang semakin penting
dalam pengembangan dan difusi teknologi baru.
Globalisasi ekonomi membuat sistem inovasi berbagai negara menjadi semakin saling
bergantung (interdependent).
Secara keseluruhan, kinerja inovasi (innovation performance) bergantung bukan saja pada
bagaimana para aktor tertentu (seperti misalnya perusahaan, lembaga riset, perguruan tinggi) bekerja
melaksanakan perannya, tetapi juga pada interaksi satu dengan lainnya sebagai elemen dari suatu
sistem inovasi, baik pada tingkat lokal, nasional, maupun internasional. Sehubungan dengan ini,
OECD mengkonseptualisasikan suatu kerangka komprehensif para aktor dan keterkaitan penting
dalam sistem inovasi (Gambar 2.5).
Sementara itu, UNIDO (2002) mempublikasikan Industrial Development Report yang bertujuan
membantu pemerintah berbagai negara, sektor swasta, lembaga-lembaga pendukung, UNIDO dan
organisasi multilateral lainnya untuk:
mengkaji dan melakukan benchmark kinerja dan kapabilitas industri;
memahami dinamika inovasi dan pembelajaran industri dalam kondisi baru globalisasi dan
perubahan teknologi;
mengembangkan strategi, kebijakan dan program untuk meningkatkan inovasi, pengembangan
kapabilitas dan keterkaitan global.
24 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Sistem
Infrastruktur
Pendidikan dan
Pelatihan Jaringan Inovasi Global Komunikasi
Inovasi Daerah
Kapabilitas
Klaster Industri
& Jaringan
Kondisi
Sistem
Perusahaan
Lembaga
Sistem
Litbang
Sains
lain
Lembaga
Pendukung
KINERJA NEGARA
Pertumbuhan, penciptaan kerja, daya saing
Sumber : OECD (1999).
Gambar 2.5
Sistem Inovasi.
Dalam kaitan ini, kunci dalam upaya pembangunan industri yang berkelanjutan (sustainable
industrial development) adalah dengan bersaing melalui inovasi dan pembelajaran. Ini perlu dilakukan
dengan:
Mengembangkan keterkaitan (linking) dengan mitra dan sumber internasional teknologi dan
pengetahuan;
Mendongkrak (leveraging) teknologi dan pengetahuan asing yang ada (existing foreign
technology and knowledge) dengan sumber daya domestik yang langka;
Melakukan pembelajaran (learning) untuk memperbaiki/meng-upgrade kapabilitas dengan
menyesuaikan (adapting), menggunakan (using) dan memperbaiki (improving) teknologi yang
diperoleh;
Mengulangi ketiga siklus tersebut terus-menerus.
Untuk itu, UNIDO mencermati sistem inovasi dan pembelajaran industri (industrial innovation
and learning system) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.6.
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 25
Industri Global
Industri Lokal
Institusi Pendukung
Strategi, kebijakan dan program industri
Framework conditions
Gambar 2.6
Sistem Inovasi dan Pembelajaran Industri (UNIDO).
Walaupun bukan satu-satunya isu yang penting, inovasi teknologi merupakan ranah yang
menjadi fokus perhatian mayoritas diskusi tentang sistem inovasi. Di antara kajian yang berkembang
adalah yang didiskusikan oleh Meyer-Stamer. Meyer-Stamer (1998) memberikan perhatian pada
kapabilitas teknologi (technological capability) dalam sistem inovasi. Kapabilitas teknologi pada
dasarnya adalah kapasitas untuk memahami komponen teknologi dalam pasar, melakukan penilaian,
memilih teknologi yang dibutuhkan, memanfaatkannya, menyesuaikan dan memperbaikinya, serta
mengembangkan teknologi tersebut. Secara umum, kapabilitas teknologi dipengaruhi oleh:
1. Keterampilan produsen meniru dan berinovasi.
2. Kondisi ekonomi, politik, administratif dan hukum yang mempengaruhi ada-tidaknya insentif
bagi berkembangnya kapabilitas teknologi.
3. Dukungan langsung, baik lembaga pemerintah ataupun non pemerintah (tergantung tingkat
pembangunan, keadaan persaingan, dan karakteristik cabang teknologi di negara yang
bersangkutan).
4. Dukungan tak langsung, seperti misalnya sistem pendidikan.
Dalam kaitan tersebut, ia mengungkapkan empat pilar bagi kapabilitas teknologi (Gambar 2.7).
Keempat pilar tersebut adalah perusahaan, lembaga-lembaga teknologi, lembaga pendidikan, dan
framework conditions (terdiri atas bauran beragam tingkatan dan elemen-elemen yang saling
berkaitan dan mempengaruhi ketiga pilar lainnya).
26 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Perusahaan
Upaya internal perusahaan: Hubungan antar perusahaan:
* Pembelajaran teknologis * Pembelajaran interaktif
* Pengembangan keterampilan * Aliansi teknologi
* Penelitian dan pengembangan * Litbang bersama
Framework Conditions
Tingkat Internasional Kebijakan ekonomi Kebijakan industri Alih teknologi Anugerah alam
Pemerintah Nasional makro Promosi ekonomi internasional (resource endowment)
Pemerintah Propinsi Kebijakan fiskal Regulasi Pembeli asing Sikap dan nilai
Pemerintah Daerah Kebijakan pajak HKI Standar internasional Keterbukaan terhadap
Kebijakan perdagangan Infrastruktur pembelajaran dan
Kebijakan persaingan perubahan
Gambar 2.7
Sistem Inovasi: Empat Pilar Kapabilitas Teknologi.
Sementara itu, Arnold, et al. (2000) mengkonsepkan suatu kerangka sistem tentang proses
pengembangan teknologi industri (sistem inovasi) dalam studinya di Thailand. Menurut mereka,
esensi pandangan sistemik dalam hal ini menekankan pada hal berikut:
Kenyataan bahwa pengembangan teknologi biasanya melibatkan berbagai aktor dan aktivitas
organisasional, bukan sekedar perusahaan-perusahaan atau organisasi lainnya yang
berinovasi secara individual, dan bukan hanya litbang;
Pentingnya jaringan interaksi dan komplementaritas antara aktivitas-aktivitas dan aktor-aktor
tersebut;
Cara aktor dan interaksi tersebut dipengaruhi oleh sistem insentif, mekanisme kebijakan dan
sederet faktor lainnya yang berakar dalam organisasi, konteks legal, ekonomi, dan kultural dari
pengembangan teknologi.
Dalam kajiannya pada kasus Thailand, menurut mereka, terdapat tujuh elemen utama, yaitu
(Gambar 2.8):
1. Pelanggan akhir domestik dan asing untuk produk industri;
2. Kapabilitas dan aktivitas pengembangan teknologi dari perusahaan industri;
3. Kapabilitas dan aktivitas ”organisasi keterkaitan” yang membantu menghubungkan perusahaan
dengan sumber lain pengetahuan, atau membantu mereka menerapkan pengetahuan yang ada
dalam lingkungan khusus mereka masing-masing;
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 27
4. Sekelompok lembaga lain yang perhatian utamanya adalah menciptakan pengetahuan baru
melalui riset dan/atau menyediakan serangkaian aktivitas pendidikan dan pelatihan.
5. Sumber pengetahuan asing.
6. Aliran pengetahuan dan interaksi lainnya antara beragam aktor dan aktivitas.
7. Sehimpunan insentif, instrumen kebijakan dan aspek lainnya dari konteks kelembagaan untuk
pengembangan teknologi yang mempengaruhi keseluruhan kapabilitas, aktivitas dan aliran
pengetahuan.
SUMBER
PENGETAHUAN
PELANGGAN INDUSTRI KETERKAITAN LAIN
UKM Vocational
Training
Metrologi dan
Domestik Standar
Perusahaan
Pemula
(Start-Ups) Sumber
Teknologi
Asing
Gambar 2.8
Suatu Kerangka Sistem Pengembangan Teknologi Industri.
Dalam kajiannya di Norwegia dan delapan negara di Eropa, Arnold, et al. (2001) dan Arnold, et
al. (2003) menggunakan istilah dan menelaah ”sistem riset dan inovasi nasional” (national research
and innovation system) yaitu keseluruhan aktor dan aktivitas dalam ekonomi yang diperlukan bagi
terjadinya inovasi industri dan komersial dan membawa kepada pembangunan ekonomi (Gambar
2.9).
28 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Sistem
Sistem Industri Pendidikan dan Sistem Politik
Riset
Perusahaan
Pendidikan dan
Besar Pemerintah
Intermediaries Pelatihan Profesi
Lembaga Riset
UKM “Matang/ Pendidikan Tinggi Penadbiran
Brokers
Mapan” dan Riset (Governance)
Infrastruktur
Perbankan HKI dan Dukungan Inovasi Standar dan
Modal Ventura Informasi dan Bisnis Norma
Gambar 2.9
Model Sistem Riset dan Inovasi Nasional.
Dalam tulisan lain, Johnson (2001) mengungkapkan beberapa fungsi utama dari sistem inovasi,
yaitu:
1. Fungsi dasar yang langsung terkait dengan proses inovasi, terutama:
Mengidentifikasi persoalan; dan
Mengembangkan solusi atas persoalan yang dihadapi (menciptakan pengetahuan baru);
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 29
Galli dan Teubal (2000) mengelompokan fungsi dalam sistem inovasi kepada:
1. Fungsi “keras” (hard functions) beserta organisasi terkaitnya, yang meliputi:
Litbang, melibatkan perguruan tinggi dan lembaga publik (pemerintah, lokal dan bauran)
dan organisasi nirlaba;
Penyediaan jasa ilmiah dan teknis kepada pihak ketiga (sektor bisnis dan administrasi
publik) oleh perusahaan industrial, pusat-pusat teknologi, perusahaan jasa pelayanan
teknis,·laboratorium pemerintah dan organisasi ad hoc.
Elaborasi fungsi sistem inovasi untuk tujuan-tujuan khusus dapat dilihat dalam beragam
kajian/kasus. Rickne (2001) misalnya membahas fungsi yang dapat dilakukan oleh setiap aktor dalam
mendorong perkembangan perusahaan pemula berbasis teknologi/PPBT (new technology based
firms/NTBFs). Pelaksanaan fungsi tersebut dapat menjadi indikator kinerja sejauh mana sistem
inovasi tertentu mendukung pembentukan dan pertumbuhan PPBT. Beberapa fungsi tersebut adalah:
30 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Sementara itu, Liu dan White (2001) melakukan kajian tentang sistem inovasi dengan
menelaah “aktivitas” dalam sistem, yang terkait dengan “penciptaan (creation), difusi, dan eksploitasi
inovasi teknologi dalam suatu sistem.” Mereka berfokus pada bagaimana aktivitas mendasar
(fundamental activities) dari proses inovasi diorganisasikan, didistribusikan, dan dikoordinasikan.
Beberapa aktivitas mendasar tersebut adalah:
1. Riset (dasar, pengembangan, dan rekayasa);
2. Implementasi (manufaktur);
3. Penggunaan akhir/end-use (pelanggan dari produk atau output proses);
4. Keterkaitan/linkage (menyatukan pengetahuan yang saling komplementatif); dan
5. Pendidikan.
Liu dan White juga menekankan bahwa aktivitas tersebut lebih dari sekedar sistem litbang,
termasuk input terhadap riset dan penggunaan dari output riset.
Di antara yang mendiskusikan bentuk, pola dan implikasi aktivias inovatif pada tingkat
perusahaan adalah Smith (2000; lihat juga dalam DISR, 1998), yang menekankan ranah aktivitas
inovatif pada dua hal utama, yaitu:
Teknologi/produksi: Desain atau embodiment teknologi; Sistem/organisasi produksi;
Keterampilan (tenaga keja, manajerial dan teknis); Bahan (material) atau hubungan dengan
penyedia/pemasok; Peralatan/barang modal; dan Basis pengetahuan dan pengalaman.
Pasar/pelanggan: Hubungan dengan basis pelanggan; Aplikasi/penerapan terhadap pelanggan;
Saluran distribusi dan jasa layanan; Pengetahuan tentang pelanggan; Moda komunikasi
pelanggan.
Sementara OECD melalui beberapa proyek dan dokumen panduannya (lihat misalnya Frascati
Manual, OECD, 1993), yang mendefinisikan aktivitas inovatif sebagai serangkaian aktivitas ilmiah
(saintifik), teknologi, organisasional, finansial, dan komersial sebagai bagian dari proses inovasi
dan/atau yang menghasilkan inovasi, mengelompokkan kegiatan litbang dan enam bentuk aktivitas
lainnya dalam kategori aktivitas inovatif. Keenam aktivitas inovatif lain tersebut adalah (untuk lebih
detail, lihat beberapa dokumen panduan yang dikeluarkan oleh OECD, terutama dalam kategori
Frascati family):
Pengembangan peralatan dan teknik/rekayasa industri (tooling-up and industrial engineering);
Pemulaan manufaktur dan pengembangan pra-produksi (manufacturing start-up and
preproduction development);
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 31
4. BEBERAPA PERKEMBANGAN
Akhir tahun 1990an, Etzkowitz dan Leydesdorff memperkenalkan model Triple Helix dalam
membahas pengembangan inovasi (lihat misalnya Etzkowitz dan Leydesdorff, 2000; dan Leydesdorff
dan Etzkowitz, 1998). Beberapa “fitur” penting dari model ini terutama adalah:
Transformasi dalam hubungan perguruan tinggi-industri-pemerintah dalam menghasilkan
pengetahuan. Peran pihak yang terlibat lebih dalam hubungan yang terintegrasi ketimbang
dalam “aliran pengetahuan” melalui intermediaries.
Interaksi rekursif. Hubungan antarpihak lebih merupakan proses yang terus-menerus
berkembang.
Peran dan batasan yang “kabur” (fuzzy border) antara berbagai aktor. Perguruan tinggi
misalnya turut mengambil peran pengembangan kewirausahaan (entrepreneurial), sebaliknya
swasta juga turut berperan dalam dimensi akademis.
Tingkat analisis mikro dalam konteks kelembagaan (institusional). Kelembagaan dalam hal ini
bukan saja menyangkut “organisasi”, tetapi juga hubungan, interaksi, dan peraturan/kebijakan,
serta hal lain yang mempengaruhi seperti norma dan tradisi.
10
Beberapa kecenderungan perkembangan juga dapat dilihat pada bab-bab yang membahas beberapa contoh praktik.
32 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Melalui model ini, Etzkowitz dan Leydesdorff (2000), dan Leydesdorff dan Etzkowitz (1998)
berupaya menelaah tatanan baru dari kekuatan-kekuatan institusional yang muncul dalam sistem
inovasi (Gambar 2.10).
Hubungan/interaksi
Pemerintah antar kelembagaan
dalam “pusaran
spiral” sebagai
“proses transisi tanpa
akhir dan dinamis”
Akademia Industri
Gambar 2.10
Model Triple Helix Hubungan Perguruan Tinggi – Industri – Pemerintah.
Model Triple Helix mengidentifikasi empat proses yang terkait dengan perubahan-perubahan
penting dalam pengembangan, pertukaran, dan penggunaan pengetahuan, yaitu:
1. Terdapat transformasi internal dalam setiap “pusaran” (helix). Sebagai contoh misalnya:
perusahaan mengembangkan hubungan melalui aliansi strategis; perguruan tinggi menjadi
lebih “entrepreneurial” (Ini berkaitan dengan hipotesis Etzkowitz tentang masa the “second
academic revolution”). Dalam hal ini, “pasokan/penyediaan” pengetahuan/teknologi/inovasi juga
dapat terjadi dari lembaga litbang pemerintah.
2. Bulatan/lingkaran atau spiral institusional (institutional spheres) dapat meningkatkan
transformasi dalam bulatan lain. Contohnya adalah perubahan aturan pemerintah tentang hak
kekayaan intelektual/HKI (intellectual property rights/IPR).
3. Perpaduan baru tiga pihak dari keterkaitan, jaringan dan organisasi antara tiga pusaran
diciptakan untuk melembagakan antarmuka (interface) dan menstimulasi kreativitas organisasi
dan keterpaduan regional/daerah. Ini dipandang lebih sebagai proses transisi yang dinamis dan
“tanpa akhir” (endless transition). Satu contoh di antaranya adalah Joint Venture Silicon Valley
(di Negara Bagian California, Amerika Serikat) yang mendorong interaksi antara anggota dalam
ketiga pusaran spiral.
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 33
4. Jaringan antarlembaga mempunyai dampak berulang pada pusaran awal maupun masyarakat
yang lebih luas. Sebagai contoh: karena perguruan tinggi telah menjalankan misi pembangunan
ekonomi, maka “norma sains Mertonian”11 tak lagi berlaku sepenuhnya.
Di antara perkembangan penting dewasa ini, terdapat kecenderungan pergeseran fokus dari
tingkat “nasional” ke tingkat “daerah.” Ini antara lain terkait dengan:
Kesadaran bahwa kedekatan spasial (spatial proximity) memudahkan banyak pihak untuk
saling berbagi (sharing) pengetahuan yang tacit dan kapasitas untuk pembelajaran secara lebih
terlokalisasi.
Inovasi (selain berupa hal yang lebih bersifat teknokratik, juga organisasional dan institusional)
sering terjadi dalam konteks institusional, politis, dan sosial tertentu yang mendukung, yang
biasanya bersifat erat dengan lingkungan lokalitas tertentu.
Proses pembelajaran yang terlokalisasi (localized learning process) sangat erat terkait dengan
(ditentukan/dipengaruhi oleh) sehimpunan kelembagaan daerah/setempat (termasuk misalnya
keberadaan organisasi yang memperkuat jaringan, dan berkembangnya kualitas interaksi dan
kolaborasi serta kebijakan daerah yang mendukung).
Pembelajaran yang terlokalisasi terfasilitasi oleh sehimpunan kelembagaan daerah yang
serupa. Ini misalnya karena lebih kuatnya dukungan kelembagaan (dalam arti luas) dalam
mengembangkan agenda bersama (common agenda) dan kolaborasi yang meningkatkan
kapasitas untuk bertindak (collective/joint action). Ini tentu sangat penting dalam mendorong
sinergi positif dan eksternalitas ekonomi.
Inovasi merupakan proses sosial, yang sangat dipengaruhi oleh interaksi antarpihak.
Hubungan, jaringan dan kedekatan sosial umumnya lebih kuat pada tataran setempat (yang
lebih terlokalisasi). Situasi demikian tentu sangat penting bagi perkembangan atau penguatan
modal sosial (social capital), termasuk dalam bentuk hubungan dan rasa saling percaya,
komunikasi dan interaksi yang produktif, budaya berpikir terbuka, dan sebagainya.
11
Di tahun 1942, Robert K. Merton, seorang sosiolog, menjelaskan empat norma yang membentuk landasan preskriptif
tentang perilaku riset yang tepat bagi seluruh disiplin ilmu dan lembaga pendidikan, yaitu: 1) Universalisme: pemisahan
pengetahuan saintifik dari karakteristik personal ilmuwan; 2) Komunalitas: saling berbagi teknik dan temuan riset
dengan ilmuwan lain (collective ownership); 3) Disinterestedness: pemisahan riset dari motif personal demi kebenaran
dan kemajuan pengetahuan; dan 4) Organized Skepticism: sifat kritis, terbuka terhadap penyelidikan publik atas hasil
pekerjaan saintifik. Lihat juga diskusi tentang “Moda 2” Model Gibbons, et al. (1994) dalam Bab 7.
34 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Perusahaan yang berklaster di suatu daerah memiliki kesamaan budaya daerah yang
memudahkan proses pembelajaran. “Warisan budaya” (cultural heritage) yang positif dan
kecenderungan sifat path dependence tentang pengetahuan/teknologi dan inovasi turut
mempengaruhi proses interaksi yang lebih intensif di tingkat “lokal”.
Dalam konteks daya saing, keunggulan global semakin ditentukan/dipengaruhi oleh keunggulan
lokal. Seperti diungkapkan oleh Porter, bahwa: “keunggulan daya saing yang bertahan lama
dalam suatu ekonomi global akan semakin terletak pada ”hal-hal yang bersifat lokal”, yaitu
pengetahuan (knowledge), hubungan, dan motivasi, yang tidak dapat (sulit) disaingi oleh para
pesaing jauh (distant rivals).”12
Ini mendorong banyak pihak untuk “berprakarsa” mengembangkan “sistem inovasi” pada
“tingkat/konteks regional atau daerah atau lokal” yang sering disebut sistem inovasi (di) daerah.13
Dalam beberapa literatur, terdapat dua pengertian berbeda tentang regional innovation system
(RIS) atau sistem inovasi (di) daerah (SID) sebagai berikut:
Merupakan sistem inovasi (dengan pengertian seperti telah diuraikan pada bagian-bagian
sebelumnya) pada tataran ”regional” dalam arti gabungan beberapa negara (“supra-nasional”).
Sebagai contoh misalnya upaya-upaya yang dewasa ini dilakukan di Uni Eropa.14
Merupakan sistem inovasi (dengan pengertian seperti telah diuraikan pada bagian-bagian
sebelumnya) pada tataran daerah (atau area geografis tertentu) sebagai bagian integral dari
sistem inovasi nasional (“sub-nasional”).
Diskusi dalam buku ini berkaitan dengan pengertian yang kedua. Untuk menyederhanakannya,
sistem inovasi daerah (SID) yang dimaksud di sini adalah sistem inovasi, yaitu sehimpunan hubungan
ekonomi, politik dan kelembagaan, yang terjadi di suatu daerah atau area geografis tertentu yang
menghasilkan proses pembelajaran yang membawa kepada perkembangan inovasi, difusi
pengetahuan dan praktik terbaik (best practices) yang sesuai/tepat, khususnya bagi daerah yang
bersangkutan.15
Sejauh ini berkembang diskusi tentang perlu tidaknya SID dikembangkan. Bagi penulis jawaban
bagi pertanyaan ini lebih ditentukan oleh nilai pragmatis. Secara konsep, pandangan/pendekatan
sistem tentu memungkinkan, bukan saja bernilai bagi perbaikan pemahaman (understanding) tetapi
juga bagi upaya/proses perbaikan persoalan-persoalan dalam dunia nyata. Sehingga apabila sering
diungkapkan tentang sistem inovasi nasional atau sistem nasional inovasi (the national innovation
system atau the national system of innovation), maka pada dasarnya (secara konsep) terdapat sistem
lain yang terkait dengannya dan sistem lain yang menjadi bagian darinya atau sub-subsistem. SID
merupakan bagian integral dari SIN. Dengan demikian urgensi tentang SID kembali sebenarnya lebih
ditentukan oleh nilai pragmatis, yang tentunya bukan saja bagi SIN tetapi juga SID yang
bersangkutan. Serupa halnya dengan SIN, menurut hemat penulis ”batasan” sistem pada SID
sebenarnya akan lebih bersifat kontekstual ketimbang ”dogmatik/normatif.”
Salas, et al. (1999) mendiskusikan tentang peran inovasi dalam pembangunan ekonomi daerah
dan konteksnya bagi pembuatan kebijakan. Mereka juga menyampaikan tinjauan tentang sistem
inovasi daerah dalam konteks menelaah determinan keberhasilannya.
12
Pilar bagi keunggulan global pada dasarnya ditentukan oleh faktor-faktor keunggulan lokalitas (yang bersifat lokal).
13
Lihat misalnya prakrasa-prakarsa oleh Uni Eropa.
14
Catatan: Uni Eropa juga mengembangkan prakarsa terkait dengan sistem inovasi daerah, dalam arti bagian dari suatu
negara dan antara daerah(-daerah) dari di suatu negara dengan daerah(-daerah) lain di negara lainnya.
15
Ada juga yang menekankan kriteria “cepat” dalam hal ini. Diskusi lebih detail berkaitan dengan tinjauan teori mengenai
“sistem inovasi daerah (regional innovation system/RIS)” dapat dilihat antara lain dalam Hommen dan Doloreux (2003).
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 35
Selain dengan menganalogikan beberapa cara pandang sistem inovasi sebagaimana dijelaskan
sebelumnya pada tingkat daerah, suatu cara pandang tentang sistem inovasi nasional, daerah dan
sektoral juga dapat diungkapkan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.11 berikut.
Sektor I
Daerah Daerah Daerah
A B C Sektor II
Sektor III
Gambar 2.11
Suatu “Model/Perspektif” tentang Sistem Inovasi Daerah.
Ada beberapa upaya “pembedaan” antara konteks nasional dengan “daerah/lokal”. Namun hal
ini sebenarnya lebih terkait dengan konteks “cara pandang” (misalnya dalam perspektif kebijakan)
dan/atau “kewenangan” (misalnya otoritas kebijakan) serta jangkauan “kepengaruhan” (influence) dari
prakarsa. Sebagai contoh misalnya pada konteks nasional perhatian diberikan pada (banyak
menyangkut):
1. Kerangka legal/peraturan (legal/regulatory framework) nasional.
2. Lingkungan ekonomi makro (termasuk fiskal dan moneter) dan politik dalam konteks nasional.
3. Sistem pendidikan dan pelatihan.
4. Kerangka hubungan industri dan pengembangan ketenagakerjaan.
5. Struktur industri.
6. Sistem keuangan.
7. Kebijakan tertentu yang relevan (dan biasanya bersifat fungsional, dan lintas daerah), misalnya
tentang iptek, inovasi, “kebijakan industri” dan sejenisnya, termasuk misalnya tentang HKI (Hak
Kekayaan Intelektual), laboratorium nasional dan pengembangan technopreneurship secara
nasional (seperti pengembangan “perusahaan pemula berbasis teknologi/PPBT” atau new
technology-based firms/NTBF).
36 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Walaupun begitu, ini tidak berarti kesemuanya semata tanggung jawab pada tingkat nasional.
Tentu ada peran-peran tertentu yang juga perlu (bahkan akan lebih efektif jika) secara komplementatif
dan koheren dilakukan dan pada tataran daerah menyangkut hal tersebut.
Sementara itu, tekanan perhatian pada tingkat/konteks daerah biasanya lebih difokuskan pada
isu-isu kontekstual setiap (atau sehimpunan beberapa) daerah:
Bidang “spesialisasi” daerah. Ini terkait dengan perkembangan “sektor” ekonomi tertentu
terutama yang bertumpu pada potensi terbaik setempat.
Infrastruktur umum dan spesifik “klaster” daerah, seperti perguruan tinggi, pendidikan dan
pelatihan lain misalnya seperti pendidikan dasar hingga atas, politeknik, balai latihan kerja,
laboratorium dan fasilitas pendukung yang relevan (termasuk milik pemerintah).
Jaringan dan organisasi yang bergerak/terkait dengan inovasi, alih dan difusi teknologi serta
praktik-praktik baik/terbaik (good/best practices) dan peningkatan kapasitas (termasuk
keterampilan khusus).
Kebijakan khusus/spesifik yang relevan dengan perkembangan pengetahuan/inovasi dan difusi,
serta pemajuan industri/ekonomi daerah, termasuk misalnya untuk memberikan dukungan,
mempertahankan dan menarik investasi dan talenta yang penting bagi perkembangan inovasi
di daerah (contohnya adalah program reverse brain drain), memperbaiki/meng-upgrade bisnis
yang ada, dan lainnya.
Pergeseran dari cara pandang sektoral yang dinilai terlampau ”terfragmentasi’ kepada
pendekatan klaster berkembang pesat dewasa ini. Simplifikasi pergeseran pandangan akan
pentingnya pengembangan/penguatan klaster industri dalam konsep sistem inovasi diilustrasikan
pada Gambar 2.12 dan 2.13. Klaster industri, sebagai himpunan jalinan rantai nilai seringkali bersifat
multi dan lintas (sub) sektor dan lintas daerah (dalam arti melampaui batas administratif
pemerintahan).
SID SID
Sektor I
Gambar 2.12
Alternatif “Model/Perspektif” tentang Sistem Inovasi Daerah.
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 37
Sektor
t ri
us
Ind
ter
as
Kl
Klaster Industri
Gambar 2.13
Alternatif “Model/Perspektif” tentang Sistem Inovasi (di) Suatu Daerah.
Karena pendekatan sistem inovasi akan bermanfaat jika dapat diterjemahkan menjadi prakarsa
yang efektif, maka pragmatisasinya perlu mempertimbangkan antara lain:
Konsep dan konteksnya sesuai dengan karakteristik spesifik dan lingkungannya. Untuk tingkat
daerah, tentunya potensi terbaik dan karakteristik khusus daerah/setempat perlu menjadi
perhatian dalam mengembangkan prakarsa yang sesuai.
Setiap aktivitas ekonomi (industri) mempunyai karakteristik (dan mungkin juga tantangan) yang
beragam. Oleh karena itu, hal ini tentu tidak boleh diabaikan.
Karena aktivitas nilai tambah sebenarnya tidak dibatasi oleh kekakuan (rigiditas) pandangan
sektoral dan batasan “administratif” yang terlampau terkotak-kotak, maka perubahan paradigma
(pola pandang/pikir, pola sikap, dan pola tindak) sangatlah penting. Tanpa perbaikan
paradigma, pendekatan secanggih apapun hanya akan bermuara sebatas sebagai utopia.
Dalam konteks “daerah”, sistem inovasi ini juga dinilai sangat penting dalam menentukan
sumber keunggulan daya saing, misalnya:
Kesalingbergantungan (yang tak dapat ditukar) yang menghasilkan knowledge spillover:
Pengetahuan dan praktik yang dapat ditransfer antarperusahaan.
Dimensi tacit, yang akan efektif bagi alih pengetahuan jika “jarak” antarpihak dekat
(termasuk secara fisik) dan berkembang interaksi yang cukup intensif.
Alih pengetahuan melalui jaringan setempat.
38 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Berkembangnya jaringan, yang pada dasarnya akan efektif jika terbangun kondisi saling
percaya:
Saling berbagi informasi dalam kelompok perusahaan.
Berbasiskan ekonomi daerah, yang sesuai dengan potensi terbaik setempat.
Modal sosial (social capital), baik dalam pengertian faktor-faktor historis dan kultural daerah,
termasuk norma-norma (communitarian) maupun faktor positif yang berkembang karena
interaksi berbagai pihak dalam aktivitas sosial ekonomi yang saling terkait (performance based)
sehingga mendorong rasa saling percaya, saling mengerti, terbuka, dan lainnya:
Rasa saling percaya sebagai aset yang unik karena memiliki nilai namun “tidak”
mempunyai ”harga.”
Saling berbagi tanggung jawab dengan mitra kerja.
Memfasilitasi kerjasama antarperusahaan dan antarsektor.
Mempercepat pembelajaran dan aliran pengetahuan.
5. KAPASITAS INOVATIF
Tidak diketahui secara persis siapa yang memulai menggunakan istilah “kapasitas inovatif”
(innovative capacity) ini. Suatu sumber16 menyebutkan bahwa Suarez-Villa pada tahun 1990
memperkenalkan konsep “kapasitas inovatif” (innovative capacity) untuk mengukur “tingkat invensi
dan potensi bagi inovasi di setiap negara, wilayah geografis atau aktivitas ekonomi tertentu.” Invensi
dalam hal ini merujuk kepada penemuan baru (new discoveries) atau gagasan baru yang dipatenkan.
Menurutnya, manakala penemuan tersebut digunakan untuk maksud ekonomi atau sosial maka
mereka menjadi inovasi. Biasanya, semakin tinggi tingkat invensi, maka semakin meningkat pula
inovasi dan teknologi baru yang dapat diharapkan. Oleh karena itu, mengukur tingkat invensi
memberikan indikator penting bagi kapasitas atau potensi bagi inovasi dan introduksi teknologi baru.
16
Lihat http://www.innovativecapacity.com/
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 39
Porter dan Stern (2001) mendefinisikan “kapasitas inovatif nasional/KIN” (national innovative
capacity/NIC) sebagai “potensi suatu negara (sebagai entitas ekonomi maupun politik) untuk
menghasilkan aliran inovasi relevan yang komersial.” Hal ini tidak saja mencerminkan tingkat inovasi
yang terwujudkan, melainkan juga kondisi-kondisi fundamental, investasi, dan pilihan-pilihan kebijakan
yang menciptakan lingkungan yang mendukung bagi inovasi di lokasi tertentu (tingkat daerah/lokal)
atau suatu negara.
Menurut “klaim” mereka, model ini pada dasarnya merupakan kerangka yang mensintesiskan
dan memperluas tiga teori/konsep sebelumnya, yaitu:
1. ideas-driven endogenous growth yang diajukan oleh Romer (melalui makalahnya yang berjudul
Endogenous Technological Change, 1989, 1990),
2. cluster-based national industrial competitive advantage pemikiran Porter (dalam bukunya yang
berjudul The Competitive Advantage of Nations, 1990), dan
3. national innovation systems yang disampaikan oleh Nelson (dalam bukunya yang berjudul
National Innovation Systems: A Comparative Analysis, 1993).
Porter dan Stern menekankan tiga elemen luas yang mencerminkan bagaimana suatu lokasi
membentuk kemampuan perusahaan di suatu lokasi tertentu untuk berinovasi di tingkat global, yaitu:
infrastruktur inovasi umum (common innovation infrastructure), lingkungan spesifik-klaster untuk
inovasi (the cluster-specific environment for innovation), dan kualitas keterkaitan (the quality of
linkages) (lihat ilustrasi Gambar 2.14).
Tiga elemen luas yang mencerminkan bagaimana suatu lokasi membentuk kemampuan
perusahaan di suatu lokasi tertentu untuk berinovasi di tingkat global:
Sehimpunan
investasi dan the “four
Infrastruktur Kondisi diamond”
kebijakan Inovasi Umum Spesifik-
Spesifik-Klaster
“terobosan” yang framework.
mendukung inovasi
dalam keseluruhan
ekonomi.
Kualitas
Keterkaitan
Hubungan
timbal-balik
Gambar 2.14
Kapasitas Inovatif Nasional.
40 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Ketiga elemen dasar yang membentuk kapasitas inovatif tersebut secara singkat adalah
sebagai berikut:
1. Infrastruktur inovasi umum (common innovation infrastructure): yang merupakan sehimpunan
investasi dan kebijakan “terobosan” yang mendukung inovasi dalam keseluruhan ekonomi.
Beberapa contoh infrastruktur inovasi umum misalnya adalah:
a. Sumber daya inovasi:
i. Sumber daya manusia dan keilmuan (human and scientific resources atau science
& engineering workforce);
ii. Akses terhadap pendidikan tinggi;
iii. Ketersediaan permodalan/kapital berisiko (risk capital);
iv. Infrastruktur informasi berkualitas tinggi.
2. Lingkungan spesifik-klaster untuk inovasi (the cluster-specific environment for innovation): yang
tercerminkan dalam the “four diamond” framework.
3. Kualitas keterkaitan (the quality of linkages): Hubungan antara infrastruktur inovasi umum
dengan lingkungan klaster industri bersifat timbal-balik. Klaster yang kuat akan turut mendorong
berkembangnya infrastruktur dan mendapatkan manfaat darinya. Beragam organisasi dan
jaringan formal maupun informal (kelembagaan kolaborasi) dapat menghubungkan keduanya.
Dalam kerangka pikir yang serupa dengan konteks sistem inovasi, pengertian kapasitas inovatif
nasional (KIN), yang mencerminkan sistem inovasi pada tataran nasional ini juga pada dasarnya
esensinya dapat diterapkan bagi pengertian kapasitas inovatif daerah (KID), yang mencerminkan
sistem inovasi pada tataran daerah. Walaupun ini bukan berarti merupakan analogi secara linier.
Penulis mendefinisikan kapasitas inovatif daerah (KID) sebagai17
”potensi suatu daerah (sebagai entitas ekonomi maupun politik) untuk menghasilkan aliran
inovasi dan difusi yang relevan yang memiliki nilai kontribusi signifikan terhadap kemajuan
daerah yang bersangkutan.”
17
Pengertian ini adalah dalam perspektif sistemik/kesisteman tentang inovasi.
BAB 2 SISTEM INOVASI DAN KAPASITAS INOVATIF: TINJAUAN KONSEP/PENDEKATAN 41
Dengan demikian pengertian istilah “inovasi” dalam konteks ini memiliki arti luas terkait dengan
kerangka pendekatan “sistem inovasi,” yang mencakup “temuan atau invensi,” pengembangan dan
komersialisasi serta difusi pengetahuan/teknologi baru dan/atau praktik-praktik baik/terbaik (good/best
practices), beserta interaksi multipihak dan aspek proses pembelajaran (learning process) serta fungsi
pendukung lainnya.
Pada dasarnya, infrastruktur inovasi umum sangat berkaitan dengan kapasitas penyediaan
teknologi (pengetahuan) baru atau menghasilkan inovasi, menyampaikan (alih/transfer) dan
komersialisasinya sesuai dengan kebutuhan klaster-klaster industri setempat dan proyeksi/
kecenderungannya. Di sisi lain, perkembangan/kemajuan klaster industri sangat berkaitan dengan
kemampuan absorpsi teknologi (pengetahuan) yang baru (termasuk praktik baik) dan proses
penciptaan nilai tambah yang kompetitif dalam jaringan mata rantai nilai klaster industri tertentu serta
kualitas lingkungan bisnis ekonomi mikro yang mendukung bagi klaster industri yang bersangkutan.
Sementara itu, kualitas keterkaitan sangat berkaitan dengan interaksi dan kolaborasi produktif antar-
pihak (termasuk kolaborasi litbang industri-perguruan tinggi dan lembaga litbang, kemitraan publik-
swasta, dan kemitraan antarswasta, serta kolaborasi nasional dan internasional) dan dukungan
layanan dan sumber daya yang sesuai (termasuk misalnya ketersediaan dan kemudahan akses
pembiayaan seperti modal ventura, bank dan lainnya).
Walaupun pendekatan yang diajukan oleh Porter dan Stern bukanlah satu-satunya yang dapat
digunakan dalam meningkatkan pemahaman tentang kondisi sistem inovasi daerah atau kapasitas
inovatif daerah, namun pemikirannya dinilai sangat bermanfaat oleh banyak pihak.
Sebagai ilustrasi, Porter dan Stern menyampaikan bagaimana kerangka kapasitas inovatif dan
kerangka determinan daya saing (the four diamonds framework) digunakan dalam menganalisis
klaster industri tertentu, seperti diilustrasikan pada Gambar 2.15.
Konteks
Konteksuntuk
untuk
Strategi
Strategi
Perusahaan
Perusahaandandan
Persaingan
Persaingan
Gambar 2.15
Kapasitas Inovatif dan Kerangka Determinan Daya Saing.
42 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Kerangka pikir Porter dan Stern ini memberikan tekanan pentingnya konteks “lokalitas” dalam
kapasitas inovatif. Dalam model ini, ditekankan bahwa kepemimpinan inovasi global merupakan hasil
dari pengungkitan/pembangkitan (leveraging) kapasitas inovatif lokal/daerah terutama melalui operasi
dan strategi perusahaan yang efektif dan maju. Kapasitas inovatif nasional (ataupun daerah) dapat
menjadi sia-sia jika tidak ada manajemen inovasi yang efektif. Kepemimpinan inovasi di suatu daerah
merupakan hasil dari pengintegrasian antara sumber daya dan kapabilitas internal di daerah yang
bersangkutan, dan pemanfaatan atas sumber daya dan kapabilitas eksternal dari daerah lain sekitar,
pada tataran nasional, regional maupun internasional. Sebaliknya, produktivitas litbang sebenarnya
akan bergantung pada lokasi di mana perusahaan beroperasi. Dalam kaitan ini partisipasi klaster juga
berperan sangat penting bagi keberhasilan inovasi.
Dengan kerangka ini, Porter dan Stern juga menunjukkan keterkaitan kuat secara empiris
antara kapasitas inovatif dengan daya saing negara. Kajian yang dilakukan oleh Porter (lihat beberapa
sumber pada Daftar Pustaka), juga menelaah hal ini dalam konteks ”daerah.” Mengukur kapasitas
inovatif dari waktu ke waktu dapat memberikan pandangan tentang dinamika invensi dalam aktivitas
ekonomi, negara, atau wilayah geografis tertentu. Pandangan demikian dapat digunakan oleh
pembuat kebijakan, analis industri atau peneliti akademis untuk memahami perubahan dalam invensi,
teknologi dan daya saing dari aktivitas ekonomi.
Pada tingkat nasional ataupun daerah, kapasitas inovatif dapat memberikan perbandingan
tentang bagaimana aktivitas inventif dan difusi berubah sepanjang waktu, dan bagaimana
hubungannya dengan faktor-faktor pendorong utama invensi dan proses difusi seperti misalnya akses
terhadap pendidikan, perlindungan atas kekayaan intelektual (intellectual property), atau
pemberlakuan regulasi dan hukum atau peraturan perundangan serta komersialisasi ataupun alih dan
difusi teknologi secara umum. Perancangan kebijakan untuk membantu mendorong invensi, alih/difusi
teknologi ataupun menghindari hal-hal yang bersifat ”disinsentif” dapat memanfaatkan konsep ini.
Kapasitas inovatif menunjukkan tingkat invensi dan difusi pada periode tertentu atau perbedaan
antara beberapa lokasi dari aktivitas perekonomian atau industri tertentu. Perbandingan antara
aktivitas atau industri untuk menentukan kepemimpinan teknologi ataupun tingkat adopsi/difusi
teknologi merupakan salah satu kegunaan konsep ini. Kecenderungan menurunnya kapasitas inovatif
dari aktivitas atau industri tertentu dapat berfungsi sebagai peringatan dini tentang tantangan atau
kesulitan di masa depan.
Kapasitas inovatif juga menunjukkan kemampuan pembelajaran dari/dalam suatu sistem
inovasi. Perbaikan nilai tambah (atau pertambahan nilai) semakin ditentukan oleh inovasi dan difusi,
yang mau tidak mau ”melibatkan” dan karenanya semakin sarat pengetahuan (knowledge intensive),
dalam arti luas. Seperti banyak diungkapkan dalam literatur (lihat misalnya OECD, 1999), hal ini tidak
selalu berarti (atau diartikan) semakin sarat litbang (R&D intensive). Dinamika proses pembelajaran
antarpihak dan modal sosial lainnya yang berkembang dalam sistem merupakan elemen yang akan
sangat penting bagi perkembangan kapasitas inovatif atau pemajuan sistem inovasi yang
bersangkutan. Karena itu, interaksi produktif antarpihak semakin dipandang sebagai faktor yang
semakin menentukan keberhasilan sistem inovasi.
Untuk daerah/wilayah geografis tertentu seperti provinsi, kabupaten atau kota, ataupun lintas
daerah, kapasitas inovatif dapat menjadi indikasi penting tentang bagaimana kinerja atau kemajuan
daerah tersebut sebagai sumber invensi dan teknologi baru atau bagaimana daerah tersebut
mengelola sumber daya dan kapabilitasnya untuk memperoleh, mengembangkan dan memanfaatkan
pengetahuan/teknologi dan/atau keahlian dan keterampilan. Daerah dengan tingkat kapasitas inovatif
lebih tinggi sangat berpotensi untuk berkembang lebih cepat, menarik talenta, dan meningkatkan
perdagangan dan pendapatan masyarakatnya.
Bagi perekonomian modern seperti di negara-negara maju, paten merupakan jenis data penting
yang biasanya digunakan untuk menganalisis kapasitas inovatif. Bagi negara berkembang, data yang
berkaitan dengan ”difusi inovasi” mungkin lebih penting dibanding dengan kepentingannya bagi
negara maju. Konsep kapasitas inovatif juga akan berkaitan dengan pemanfaatan beragam data
ekonomi dan sosial lainnya, termasuk misalnya yang berkaitan dengan pekerjaan (lapangan kerja),
demografis, pendidikan, pendapatan, infrastruktur, perdagangan, dan lainnya.