You are on page 1of 30

Bab 3

KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT

1. PENDAHULUAN

Meningkatnya kesadaran akan semakin pentingnya sistem inovasi daerah


(SID) dan kapasitas inovatif daerah (KID) dalam peningkatan daya saing dan
dalam rangka pewujudan kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi dan adil,
tentu perlu diikuti dengan kesungguhan banyak pihak dalam mendorong
perkembangannya. Dalam banyak segi, hal ini tentu berkaitan dengan peran
pemerintah dalam berbagai tataran dan bagaimana memainkan peran tersebut
secara tepat.
Upaya-upaya tertentu dari pemerintah dalam “mencampuri” atau
mempengaruhi situasi dan kondisi yang dihadapi sering berkaitan dengan
kebijakan. Untuk itu, bagian ini akan mengangkat secara ringkas tinjauan tentang
kebijakan.
Istilah “kebijakan” (policy), walaupun sering digunakan, sebenarnya diartikan
dan/atau digunakan secara beragam. Karena itu, untuk menghindari/
meminimumkan kerancuan, penulis memandang perlu menyampaikan pengertian
dari beberapa istilah yang dimaksudkan dalam buku ini berkaitan dengan konteks
pengembangan sistem inovasi daerah.

2. PENGERTIAN DARI BEBERAPA ISTILAH

Istilah kebijakan secara umum dapat diartikan sebagai pernyataan politis


yang menyatakan kehendak, tujuan dan sasaran serta alasan perlunya
pencapaian tujuan. Dalam pengertian pragmatis/operasional, yang dimaksud
dengan kebijakan adalah intervensi (campur tangan) atau tindakan tertentu dari
pemerintah yang dirancang untuk mencapai suatu hasil tertentu (yang diharapkan).
Posisi kebijakan dipengaruhi/berkaitan dengan (dan karenanya tidak dapat
mengabaikan) beragam faktor, terutama (ilustrasi Gambar 3.1):
Š Fakta, menyangkut konteks realita yang secara faktual dihadapi;
Š Nilai-nilai (values) yang dianut, yang memberikan arah atau sebagai faktor
mendasar yang mempengaruhi pertimbangan tentang hal ideal, baik-buruk
ataupun atribut-atribut lain dalam suatu konteks sosial-budaya;
Š Keyakinan (beliefs) yang mencerminkan pandangan, konsepsi ideal dan
bersama-sama dengan nilai membentuk paradigma (cara pikir/pandang,
sikap dan tindakan) yang diyakini;
Š Tujuan yang hendak dicapai dengan memberikan dampak pengaruh melalui
proses intervensi (campur tangan) yang dilakukan.
44 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Posisi
Kebijakan

Tujuan
Keyakinan Nilai-nilai
(Beliefs) (Values)

Fakta

Gambar 3.1
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posisi Suatu Kebijakan.

Kesemua faktor tersebut secara bersama biasanya akan mempengaruhi posisi kebijakan,
termasuk misalnya menyangkut tataran peraturan perundangan, bentuk kebijakan sebagai campur
tangan dalam mengubah kondisi status-quo tertentu, respons dari kelompok yang dipengaruhi
(termasuk misalnya potensi “ancaman bahaya moral” atau moral hazard yang mungkin muncul dari
kelompok yang dipengaruhi maupun dari pembuat kebijakan itu sendiri), dan sebagainya.
Suatu kebijakan esensinya akan mencerminkan/menggambarkan strategi, prioritas, tujuan,
sasaran, dan hasil (outcome) yang diharapkan. Agar kebijakan berfungsi efektif, diperlukan
“instrumen/alat” kebijakannya (policy tools/instruments). Jadi, instrumen kebijakan adalah seperangkat
langkah atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk merealisasikan kebijakan yang
ditetapkan. Setiap (atau kombinasi beberapa) instrumen kebijakan biasanya melibatkan
(mengandung) setidaknya 3 (tiga) aspek, yaitu:
Š Piranti hukum (legal devices): menyangkut aspek legal/hukum yang mendukungnya
(melandasinya);
Š Tatanan kelembagaan (institutional setting): berkaitan dengan tatanan lembaga (organisasi)
yang terlibat, fungsi dan pengorganisasian (struktur dan hubungan atau interaksi antaraktor);
Š Mekanisme operasional (operational mechanism): berkaitan dengan pola, cara/metode dan
prosedur serta proses pelaksanaan dalam implementasi praktis.

Selain itu, hal yang juga penting dipertimbangkan berkaitan dengan perancangan instrumen
kebijakan adalah tatanan sosial (social arrangement) bagi konteks kebijakan tersebut.
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 45

Berdasarkan bentuk “tujuan utama” kebijakan, maka terdapat 6 (enam) kelompok tindakan
kebijakan (policy actions) yang paling mendasar, yaitu:
1. Regulasi (regulation): merupakan tindakan kebijakan yang bersifat penetapan pengaturan
(regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah membuat ketentuan dan
batasan atau “rambu-rambu” tertentu dalam konteks bidang/isu yang diatur.
2. Deregulasi (deregulation): merupakan tindakan kebijakan yang bersifat penetapan pengaturan
(regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah membuat penghapusan atau
pelonggaran ketentuan dan batasan tertentu (atau hal-hal yang sebelumnya dinilai membatasi)
dalam konteks bidang/isu yang diatur.
3. Insentif (incentives/rewards): merupakan tindakan kebijakan yang pada dasarnya bukan bersifat
penetapan pengaturan (non-regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah
merangsang, mendorong atau mempercepat proses tertentu atau pencapaian hal tertentu
dengan memberikan suatu bentuk rangsangan atau imbalan tertentu dalam konteks bidang/isu
tertentu.
4. Penyediaan infrastruktur (infrastructure provisions): merupakan tindakan kebijakan yang pada
dasarnya bukan bersifat penetapan pengaturan (non-regulatory), dengan esensi dan bentuk
tujuan utamanya adalah memberikan/menyediakan hal tertentu yang biasanya bersifat
infrastruktural dan barang publik (public goods) dalam konteks bidang/isu tertentu.
5. Informasi/pedoman (information/guidance): merupakan tindakan kebijakan yang pada dasarnya
bukan bersifat penetapan pengaturan (non-regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan
utamanya adalah memberikan/menyediakan dan menyampaikan hal tertentu yang berupa
informasi atau berfungsi sebagai pedoman (panduan) spesifik dalam konteks bidang/isu
tertentu.
6. Pengaruh (influence): merupakan tindakan kebijakan yang pada dasarnya bukan bersifat
penetapan pengaturan (non-regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah
mempengaruhi, atau mendorong terjadinya perubahan atau membantu proses perubahan pada
pihak tertentu (atau masyarakat umum) dalam konteks bidang/isu tertentu.

Bentuk 1 dan 2 umumnya sangat erat kaitannya dengan aspek legal (hukum/peraturan
perundangan) dan kerangka regulasi (regulatory framework) yang relevan, menyangkut hal/isu yang
dinilai mendasar, mempunyai implikasi hukum yang “kuat” dan bersifat mengikat. Sementara bentuk-
bentuk lainnya umumnya bersifat lebih “longgar.” Kesemua bentuk ini tentu dapat saling melengkapi.
Esensi kepentingannya pada dasarnya kontekstual dengan ketepatan/kesesuaiannya sebagai alat
dalam menjawab isu yang hendak diatasi (dan mencapai tujuan yang dikehendaki).18
Sebagai upaya untuk memudahkan cara pandang tentang kebijakan yang akan dibahas lebih
lanjut dalam buku ini, maka generalisasi dan simplifikasi dari struktur kebijakan secara umum pada
dasarnya adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2 berikut.

18
Solusi “regulasi” tidak selalu merupakan alat yang paling efektif dalam memecahkan isu kebijakan, bahkan dapat
berpotensi kontra produktif. Sebaliknya, kelemahan kerangka regulasi (regulatory framework) dapat menjadi “sumber”
kelemahan atau tidak efektifnya instrumen kebijakan lainnya.
46 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Kebijakan sebagai Regulasi


pernyataan, Piranti Hukum
penyikapan, dan (Legal devices)
Deregulasi
tindakan pemerintah
Alat Institusional /
untuk tujuan tertentu Penyediaan Infrastruktur
Organisasional
dengan mengubah / (Infrastructur Provisions)
(Institutional /
mempengaruhi
Organizational
faktor tertentu (atau
Devices) Insentif Keuangan /
menetapkan hal
Pembiayaan / Pajak Dampak
tertentu). Mekanisme (Incentives / Rewards) (Effects)
Operasional
• Bertujuan (Operational Informasi & Bimbingan
(purposive) Mechanisms) (Information &
• Kontekstual Guidance)
• Paradigma ~
norma ideal, Tatanan Sosial Prakarsa untuk
keyakinan, (Social Mempengaruhi
fakta Arrangements) (Influencing Initiatives)

“Aspek” Instrumen Kelompok “Bentuk”


Kebijakan Alat/Instrumen Kebijakan
(Forms of Policy Tools)

Gambar 3.2
Struktur Umum Kebijakan.

3. KELOMPOK KEBIJAKAN YANG TERKAIT DENGAN SISTEM INOVASI:


BEBERAPA PENGERTIAN DASAR

Dalam konteks sistem inovasi, kebijakan (instrumen kebijakan) seringkali “dikelompokkan” ke


dalam beberapa himpunan kebijakan berdasarkan kriteria atau sesuai dengan “karakteristik” tertentu.
Berikut ini disampaikan beberapa penjelasan tentang kelompok kebijakan, menurut bidang yang
ditangani, kelompok peran aktor dan hubungan yang terjadi, karakteristik pengaruh atau dampaknya
yang ingin ditimbulkannya, dan lingkup tujuan yang hendak dicapainya.
Perlu dipahami, pengertian pengelompokan kebijakan tersebut tentunya akan sangat
kontekstual dengan isu yang dibahas (sesuai dengan konteksnya) dan biasanya saling berkaitan serta
seringkali tidak bersifat mutually exclusive. Dalam hal ini, pengelompokan kebijakan berikut dilakukan
dalam konteks sistem inovasi.
Selain itu, seperti telah disampaikan, pergeseran paradigma tentang proses inovasi dari cara
pandang linier ke interaktif-rekursif, mempengaruhi pula pergeseran paradigma kebijakan (termasuk
orientasi dan pendekatan) yang diterapkan.

3.1 Kebijakan Berdasarkan Bidang yang Ditangani

Dalam kaitannya dengan sistem inovasi dan kapasitas inovatif, dijumpai beberapa kebijakan
“khusus” berdasarkan “bidangnya” yang seringkali dinilai penting, seperti misalnya kebijakan iptek,
kebijakan industri, dan kebijakan inovasi.
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 47

A. Kebijakan Iptek

Kebijakan iptek adalah kebijakan (pernyataan dan tindakan pemerintah) yang berkaitan dengan
perkembangan iptek serta pendekatan dan kerangka tindak untuk memperkuat penciptaan,
pengalihan, pemanfaatan dan difusi iptek. Karena itu, kebijakan iptek berkaitan terutama dengan
aktivitas dan perkembangan:
… penyediaan atau penciptaan dan pengembangan kemampuan korpus-korpus iptek dan
kapasitas absorptif pengguna (industri, sektor publik maupun masyarakat umum), baik
yang berkaitan dengan pendidikan (formal), maupun proses pembelajaran dalam arti
luas;
… penelitian dan pengembangan;
… pengalihan, pemanfaatan dan difusi iptek;
… penadbiran iptek (termasuk perlindungannya secara hukum dan standarisasi).

Pada umumnya, kebijakan iptek di suatu negara terdiri atas bidang-bidang yang saling terkait,
terutama ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi, sebagai berikut:
… Kebijakan sains (science policy): merupakan kelompok kebijakan yang bertujuan
memperkuat kemampuan dan percepatan perkembangan ilmu pengetahuan (sains) serta
kemampuan penelitian dan pengembangan.19
Contoh instrumen kebijakan demikian yang dikembangkan di lingkungan Kementerian
Riset dan Teknologi (KRT) misalnya adalah Riset Unggulan Terpadu (RUT), Riset
Unggulan Terpadu Internasional (RUTI), Riset Unggulan Bidang Kemasyarakatan dan
Kemanusiaan (RUKK).
… Kebijakan teknologi (technology policy): merupakan kelompok kebijakan yang pada
dasarnya bertujuan untuk menumbuhkembangkan kapasitas teknologi, membangun
kemampuan dan mempercepat kemajuan teknologi dalam cabang/bidang teknologi
tertentu, serta mendorong penciptaan/pengembangan, penerapan, pemanfaatan, difusi
teknologi untuk memperkuat/memperbaiki proses produktif (atau meningkatkan
penciptaan nilai tambah) dalam industri, sektor publik dan masyarakat secara umum, dan
mendukung perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan bagi kemajuan sosial-ekonomi
yang berkelanjutan.
Contoh kebijakan demikian misalnya adalah penguatan kelembagaan alih/difusi
teknologi, program-program internal (in-house) pengembangan teknologi (misalnya
peningkatan kesiapan teknologi), pengembangan inkubator teknologi-bisnis, skema-
skema percepatan difusi teknologi (seperti misalnya skema IPTEKDA dari beberapa
lembaga litbang non departemen/LPND di bawah koordinasi KRT), kebijakan impor
teknologi, pengembangan pemetarencanaan teknologi (technology roadmapping),
mendorong penggalian dan perumusan strategi jangka panjang pengembangan teknologi
(misalnya melalui prakarsa technology foresight).

19
Dalam hal aktivitas penelitian dan pengembangan (litbang) atau research and development (R&D), tanpa maksud
membuat “dikotomi” pengkotakan aktivitas, banyak pandangan menempatkan/memperlakukan bahwa kelompok
instrumen kebijakan sains biasanya lebih menekankan pada sisi “penelitiannya (R)” dan lebih “hulu” sedangkan
kebijakan teknologi biasanya lebih menekankan pada sisi “pengembangannya (D)” dan lebih berorientasi pada “hilir”.
48 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

B. Kebijakan Industri

Kebijakan industri (industrial policy) pada dasarnya merupakan kelompok kebijakan yang tujuan
utamanya adalah mendorong perkembangan industri (sektor ekonomi) tertentu. Pengertian industri
dalam hal ini adalah sebagai ”sektor ekonomi” (bukan semata industri pengolahan/manufaktur). Oleh
karena itu kelompok kebijakan ini dalam literatur juga sering disebut kebijakan sektoral.
Kebijakan industri/sektoral di berbagai negara pada umumnya berkembang lebih “pesat” (dalam
arti perhatian pemerintah atau upaya pemerintah yang diberikan, keragamannya, pengembangan
tataran/instrumen legalnya, dan keluasan implementasinya) dibanding kebijakan iptek. Kebijakan tarif
impor dan insentif ekspor komoditas tertentu, penetapan harga dasar, pengadaan oleh pemerintah
(government procurement), serta program-program pemerintah sektoral adalah di antara contoh
kelompok kebijakan industri.
Dalam sistem yang dianut di Indonesia sejak kemerdekaan, “kebijakan iptek secara sektoral”
sebenarnya lebih ditentukan oleh instansi sektoral pemerintah dalam setiap kabinet pemerintahan.
Sebagai contoh adalah menyangkut kelembagaan litbang. Kelembagaan litbang sektoral (misalnya
balitbang) beserta perangkat alih dan difusi hasil litbangnya (extention services) seperti puslitbang-
puslitbang, unit pelayanan teknis (UPT) atau balai-balai, sepenuhnya berada di bawah koordinasi
instansi sektoral terkait di tingkat “Pemerintah Pusat.”

C. Kebijakan Inovasi

Perkembangan paradigma kesisteman dalam memperlakukan “inovasi” di satu sisi memberikan


suatu landasan bagi pemahaman dan perbaikan kebijakan secara holistik dan terpadu. Namun di sisi
lainnya, hal ini menuntut beragam pihak untuk memahami kompleksitas sistem demikian beserta
dinamikanya dan memainkan peran masing-masing dengan tepat, termasuk bagaimana pemerintah
menyikapinya antara lain melalui kebijakan yang dikeluarkannya secara lebih baik. Hal demikian
mendorong berbagai negara mengembangkan kebijakan inovasi yang dinilai sesuai bagi konteksnya
masing-masing.
Keluasan maupun batasan pengertian kebijakan inovasi secara teknis dalam literatur
disampaikan agak berbeda, namun intinya secara umum sama. Beberapa sumber menafsirkan
kebijakan inovasi seperti berikut ini:
… Elemen-elemen kebijakan sains, teknologi dan industri yang secara eksplisit
dimaksudkan untuk mendorong pengembangan, penyebarluasan dan pemanfaatan
secara efisien produk, jasa layanan dan proses yang baru dalam pasar atau di dalam
organisasi-organisasi publik dan swasta. Fokus utamanya adalah pada dampak atas
kinerja ekonomi dan kohesi sosial. Kebijakan inovasi memiliki tujuan yang lebih luas dari
kebijakan sains dan teknologi atau kebijakan iptek (Lundvall dan Borras, 1997).
… Sehimpunan tindakan kebijakan (policy actions) untuk meningkatkan jumlah (kuantitas)
dan efisiensi aktivitas inovatif, yaitu penciptaan, adaptasi dan adopsi produk, proses atau
jasa yang baru atau yang lebih baik (Cowan dan van de Paal, 2000).
… Tindakan publik yang mempengaruhi perubahan teknis (technical change) dan bentuk
inovasi lainnya. Hal ini mencakup elemen-elemen kebijakan litbang, kebijakan teknologi,
kebijakan infrastruktur, kebijakan daerah, dan kebijakan pendidikan. Ini juga berarti
bahwa kebijakan inovasi lebih dari sekedar kebijakan iptek, yang utamanya berfokus
pada dorongan sains dasar sebagai barang publik dari sisi penyediaan/penawaran
(supply side). Kebijakan inovasi juga mencakup tindakan publik yang mempengaruhi
inovasi dari sisi permintaan (demand side) (Edquist, 2001).
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 49

Intinya, kebijakan inovasi (innovation policy) merupakan kelompok kebijakan yang


mempengaruhi kemajuan-kemajuan teknis dan bentuk inovasi lainnya, yang pada dasarnya bertujuan:
… Membangun/mengembangkan kapasitas inovatif setiap “simpul” (fungsi/ kegiatan/proses)
dalam sistem inovasi;
… Meningkatkan/memperlancar aliran pengetahuan dalam dan antarfungsi/kegiatan/proses
dalam sistem inovasi (ini juga berarti meningkatkan proses pembelajaran dalam sistem);
dan
… Memperkuat hubungan dan keterkaitan rantai nilai vertikal dan horisontal antar-
fungsi/kegiatan/proses produksi, litbang, adopsi dan difusi (termasuk komersialisasi) dan
fungsi/kegiatan/proses penunjang dalam sistem inovasi.

Kebijakan inovasi secara “konsep” bertumpu pada pendekatan sistem terhadap proses inovasi
(memanfaatkan pendekatan/kerangka sistem inovasi untuk menterjemahkan implikasi kebijakannya).
Dalam perkembangan praktiknya, kebijakan inovasi bukan saja menjadi kebijakan horisontal yang
terkait dengan bidang “tradisional” lainnya seperti kebijakan ekonomi (secara umum), kebijakan
industri (dalam arti sektoral) dan kebijakan iptek. Simplifikasi dari pengertian cakupan kelompok
kebijakan inovasi (dalam konteks sistem inovasi) adalah seperti diilustrasikan pada Gambar 3.3
berikut.

Kebijakan Ekonomi Makro


ƒ Moneter
Kebijakan Pendidikan ƒ Fiskal Kebijakan Industri
ƒ Pengetahuan dan ƒ Perdagangan ƒ Investasi
Keterampilan ƒ Perpajakan - Subsidi
ƒ Kreativitas ƒ Insentif
ƒ Profesionalisme ƒ Regulasi - Deregulasi
ƒ Kewirausahaan

Kebijakan Litbang Kebijakan Inovasi Kebijakan Daerah

Kebijakan Sains Kebijakan Teknologi

Kemajuan
KemajuanIndustri:
Industri:Daya
DayaSaing,
Saing,Kapasitas
KapasitasInovatif,
Inovatif,
Tingkat
TingkatDifusi,
Difusi,Pembelajaran,
Pembelajaran,Kewirausahaan
Kewirausahaan

Perbaikan Bisnis
yang Ada

Perkembangan
Perkembangan
Bisnis Pemula
Investasi
yang Inovatif

Gambar 3.3
Kerangka Kebijakan Inovasi.
50 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Beberapa contoh dari instrumen kebijakan inovasi adalah UU No. 18 tahun 2002 (tataran
legislasi), perundangan perlindungan HKI, beberapa skema insentif dari KRT seperti misalnya Riset
Unggulan Kemitraan (RUK), Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS), dan Start-Up Capital
Program (SUCP).
Di dalam literatur, tujuan kebijakan inovasi secara umum mencakup tujuan ekonomi (seperti
misalnya pertumbuhan ekonomi, produktivitas, perluasan dan peningkatan kualitas kesempatan kerja
dan berusaha, dan peningkatan daya saing), tujuan sosial (terutama peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat dan pembelajaran) dan tujuan sustainabilitas lingkungan.
Karakteristik inovasi beserta kecenderungan fenomena baru terkait dengan inovasi, dan
”pendekatan” sistem inovasi berimplikasi pula pada ”pergeseran” dalam kebijakan inovasi. Di antara
isu penting adalah menyangkut tiga ”dimensi” kebijakan inovasi.20 Pertama, dimensi ”penadbiran
kebijakan” (policy governance), bahwa kebijakan inovasi dapat ditentukan pada beragam tataran
(lokal, daerah, nasional dan internasional), di mana koherensi dan komplementasi satu dengan
lainnya sangatlah penting. Kedua, dimensi sektoral di mana terdapat beragam faktor yang akan
memberikan pengaruh umum serupa walaupun dengan tingkat yang berbeda dan pengaruh yang
mungkin bersifat spesifik sektor. Karenanya, respons kebijakan yang dikembangkan perlu
mempertimbangkan hal ini. Ketiga, interaksi dengan bidang kebijakan lainnya, di mana kebijakan
inovasi seringkali perlu diimplementasikan melalui kebijakan lainnya. Karenanya, konsepsi inovasi dan
sistem inovasi perlu semakin ”lekat/terpadu” dalam beragam kebijakan terkait lainnya.
Kebijakan inovasi esensinya bersifat horisontal, vertikal, temporal, dan sangat erat dengan
proses pembelajaran (learning process) untuk mendorong pengembangan kapasitas inovatif. Oleh
karena itu, kebijakan inovasi berkaitan erat dengan perubahan, fleksibilitas, dinamisme dan masa
depan. Dalam mayoritas literatur tentang sistem inovasi dan kebijakan inovasi, ranah (domain)
kebijakan inovasi mencakup atau berkaitan dengan kebijakan iptek (termasuk berkaitan dengan
aktivitas litbang), kebijakan industri, kebijakan daerah dan kebijakan pendidikan.
Sebagai suatu konsekuensi dari cara pandang sistemik tentang inovasi, maka ranah yang
sering menjadi fokus perhatian kebijakan inovasi sebenarnya demikian luas, menyangkut pendidikan
(formal) maupun proses pembelajaran dalam arti luas, penelitian dan pengembangan, komersialisasi,
alih dan difusi teknologi serta praktik baik/terbaik.

3.2 Kebijakan Berdasarkan Sisi Obyek (Kelompok Peran Aktor dan Hubungan yang Terjadi)
yang Dipengaruhinya

Dalam hal ini, instrumen-instrumen kebijakan inovasi dapat dikelompokkan kepada himpunan
jenis kebijakan sebagai berikut.

A. Kebijakan pada sisi penyediaan (supply-side policy)

Kebijakan pada sisi penyediaan (supply-side policy) pada dasarnya merupakan kebijakan yang
dampaknya diarahkan untuk mempengaruhi kondisi, fungsi dan struktur kegiatan yang berkaitan
dengan ketersediaan (atau “penciptaan/pengembangan”) dan kesesuaian pengetahuan/teknologi
(atau potensi inovasi) tertentu yang diperkirakan dibutuhkan oleh industri, sektor publik dan/atau
masyarakat umum, atau bagi aplikasi tertentu dalam sistem inovasi.

20
Antara lain lihat misalnya kajian dan/atau prakarsa Komisi Eropa dan/atau yang terkait dengan Uni Eropa pada Daftar
Pustaka.
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 51

B. Kebijakan pada sisi permintaan (demand-side policy)

Kebijakan pada sisi permintaan (demand-side policy) pada dasarnya merupakan kebijakan
yang dampaknya diarahkan untuk mempengaruhi kondisi, perilaku (behavior) dan pengambilan
keputusan serta struktur kegiatan/proses penciptaan nilai tambah (di sektor poduksi/industri, sektor
publik atau masyarakat umum) yang berkaitan dengan penyerapan (absorpsi), pemanfaatan dan
difusi inovasi di sisi penggunaan dalam sistem inovasi.

C. Kebijakan pada wilayah/segi keterkaitan (linkage-area policy)

Kebijakan pada wilayah atau segi keterkaitan (lingkage-area policy) pada dasarnya merupakan
kebijakan yang dampaknya diarahkan untuk mempengaruhi kondisi, perilaku (behavior) dan
pengambilan keputusan, struktur kegiatan/proses hubungan dan interaksi para pihak, serta
mekanisme alih dan transaksi aset intelektual (jenis potensi inovasi) antarpihak dalam sistem inovasi.

3.3 Kebijakan Berdasarkan Karakteristik Pengaruh atau Dampak yang Ingin Ditimbulkannya

A. Kebijakan eksplisit (explicit policy) atau direct measures

Yang dimaksud dengan instrumen kebijakan yang eksplisit (explicit policy) (atau sering juga
disebut sebagai direct measures) dalam hal ini adalah kebijakan yang ditujukan untuk memberikan
“dampak secara langsung” bagi (variabel-variabel yang berpengaruh langsung bagi) perkembangan
fungsi dan proses/aktivitas peningkatan aset intelektual (atau potensi inovasi) baik pada sisi
penyediaan, permintaan maupun keterkaitan antarpihak dalam sistem inovasi. Contoh bentuk ini
adalah instrumen kebijakan untuk meningkatkan/mendukung pembiayaan litbang (RUT/RUTI, RUK,
RUKK, RUSNAS), insentif perpajakan bagi kegiatan litbang, penjaminan risiko pemanfaatan hasil
litbang, pengembangan/pendirian taman iptek, pengembangan inkubator teknologi-bisnis.

B. Kebijakan implisit (implicit policy) atau indirect measures

Yang dimaksud dengan instrumen kebijakan yang implisit (implicit policy) (atau sering juga
disebut sebagai indirect measures) dalam hal ini adalah kebijakan yang ditujukan untuk memberikan
“dampak secara tidak langsung” (terkait dengan variabel-variabel yang berpengaruh tidak langsung)
bagi perkembangan fungsi dan proses/aktivitas peningkatan aset intelektual (atau potensi inovasi),
akan tetapi hasilnya dapat mendorong kemajuan/perkembangan inovasi, atau mengeliminasi
hambatan baik pada sisi penyediaan, permintaan maupun keterkaitan antarpihak dalam sistem
inovasi. Contoh bentuk ini misalnya adalah regulasi menyangkut standarisasi, HKI, kebijakan
menyangkut persaingan pasar (competition policy), regulasi atau bentuk kebijakan lain menyangkut
pembiayaan (misalnya modal ventura) dan pengadaan pemerintah (government procurements).

C. Kebijakan yang terkait dengan faktor-faktor kontekstual (contextual factors-related


policy)

Kebijakan ini pada dasarnya merupakan kelompok kebijakan yang memberikan dampak
pengaruh luas dalam aspek ekonomi, sosial, dan budaya, serta karakteristik kelembagaan yang
melingkungi perkembangan “penyediaan/pasokan, permintaan, dan bidang keterkaitan pemanfaatan
dan difusi” aset intelektual atau perkembangan inovasi secara umum.
52 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Dalam praktik, instrumen kebijakan dalam kelompok faktor kontekstual ini biasanya merupakan
instrumen-instrumen kebijakan implisit atau tidak langsung. Pada prinsipnya, suatu instrumen
kebijakan yang bersifat langsung/eksplisit dalam konteks tertentu dapat menjadi instrumen kebijakan
tak langsung/implisit dalam konteks yang berbeda, demikian sebaliknya.
Dalam kebijakan inovasi, kebijakan/regulasi berkaitan dengan penyediaan pembiayaan berisiko
(misalnya menyangkut perusahaan modal ventura beserta insentif perpajakannya) merupakan bentuk
instrumen tak langsung. Sistem pembiayaan secara umum (misalnya menyangkut perbankan dan
jasa keuangan berisiko dan/atau jasa keuangan lainnya) sekaligus juga sebenarnya merupakan faktor
kontekstual penting bagi perkembangan inovasi.

3.4 Kebijakan Berdasarkan Lingkup Tujuan

A. Kebijakan spesifik

Yang dimaksud dengan kebijakan spesifik adalah kebijakan dengan instrumen yang ditujukan
untuk memperkuat perkembangan inovasi bidang tertentu, pada suatu bidang iptek tertentu atau pada
bidang/sektor produksi (industri) tertentu, dengan pertimbangan atau kriteria pemilihan yang jelas.
Sebagai contoh kebijakan demikian adalah skema Program Riset Unggulan Strategis Nasional
(RUSNAS) dari KRT, dan pengembangan BUMNIS oleh pemerintah.

B. Kebijakan fungsional

Yang dimaksud dengan kebijakan fungsional dalam hal ini adalah kebijakan dengan instrumen
yang ditujukan untuk memperkuat fundamental kemampuan iptek, menstimulasi tarikan permintaan
pengetahuan atau pemanfaatan hasil litbang, mendorong hubungan dan interaksi antara penyedia
dan pengguna pengetahuan, atau mengembangkan kapasitas inovatif secara umum.
Contoh dari kebijakan demikian adalah kebijakan yang berkaitan dengan perlindungan HKI,
beberapa skema insentif dari KRT misalnya seperti RUT/RUTI, RUK, dan SUCP.

3.5 Simplifikasi Kelompok Kebijakan Inovasi Berdasarkan Karakteristik Instrumennya

Dari uraian yang telah disampaikan, suatu simplifikasi “arsitektur” kelompok instrumen
kebijakan inovasi berdasarkan beragam karakteristiknya ditunjukkan pada Gambar 3.4 berikut. Ini
merupakan upaya simplifikasi untuk memberikan pemahaman saja, mengingat dalam praktiknya
suatu instrumen dapat memiliki karakteristik/tujuan yang tidak tunggal, atau sebaliknya sehimpunan
instrumen kebijakan dapat memiliki karateristik/tujuan yang sama/serupa.
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 53

Sisi Obyek/Aktor yang Dipengaruhi

Sisi Bidang Sisi


Penyediaan Keterkaitan Permintaan
(Supply Side) (Linkage Area) (Demand Side)

Fungsional
Karakteristik Pengaruh/Dampak

Eksplisit

Spesifik
Implisit

an
ju
Faktor

Tu
Kontekstual

p
ku
ng
Li
Tatanan Kelembagaan
(Institutional Setting)

Gambar 3.4
Karakteristik Instrumen Kebijakan Inovasi.

4. MENGAPA PERLU “KEBIJAKAN”: BEBERAPA PERKEMBANGAN PANDANGAN

Alasan “klasik” dari perspektif ekonomi sebagai argumen bagi jastifikasi intervensi pemerintah
(kebijakan pemerintah) antara lain dibahas oleh Ken Arrow dalam perspektif neo-klasik. Pada
dasarnya, alasan ekonomi bagi intervensi pemerintah berkaitan dengan:
1. Kegagalan pasar (market failures): Hal ini terutama karena sifat non-rivalrous dan non-
excludable dari suatu “produk” (sepenuhnya atau sebagian):21
… Non-rivalrous berkaitan dengan konsumsi eksklusif atas suatu produk. Hal ini terjadi
manakala konsumsi produk oleh suatu pihak tidak membuat pihak lain yang berbeda
tidak dapat mengkonsumsi produk tersebut secara bersamaan.
… Non-excludable berkaitan dengan kendali kepemilikan/hak eksklusif atas suatu produk.
Hal ini terjadi apabila dalam praktik tidak dimungkinkan (akan sangat sulit) bagi suatu
pihak secara legal memperoleh hak eksklusif atau secara fisik memanfaatkannya secara
eksklusif.

21
Dalam pandangan ekonomi neo-klasik, pada dasarnya terdapat empat jenis kegagalan pasar, yaitu: barang publik
(public goods), eksternalitas (externalities), monopoli alamiah (natural monopoly), dan asimetri informasi (information
asymmetry / ignorance).
54 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

2. Kegagalan pemerintah (government failures): Hal ini berkaitan dengan ketidaktepatan upaya
pemerintah (yang mengakibatkan distorsi pasar atau membuat pasar semakin terdistorsi)
berkaitan dengan industri tertentu atau ekonomi keseluruhan.

Alasan atau argumen bagi jastifikasi intervensi pemerintah (kebijakan pemerintah) khususnya
dalam konteks inovasi atau iptek pada dasarnya berkaitan dengan isu berikut:
1. Iptek dan/atau inovasi itu sendiri sebagai “obyek”:22 Argumen klasik tentang ini berkaitan
dengan sifat barang publik (public goods) dari iptek (atau inovasi), sebagian atau sepenuhnya.
2. Aktivitas/proses dan/atau implikasi atau konsekuensi dari aktivitas iptek atau inovasi: Ini
terutama berkaitan dengan aktivitas litbang atau akvititas inovasi yang seringkali dinilai memiliki
sifat berikut:
… Indivisibility: karena perlunya skala efisien minimum bagi kegiatan litbang/inovasi;
… Inappropriability: karena tidak sepenuhnya imbalan (keuntungan) yang diperoleh dari
kegiatan litbang/inovasi dapat dinikmati oleh si pelaku kegiatan tersebut. Karena itu
terjadi perbedaan antara imbalan sosial (social returns) dan imbalan pribadi (private
returns). Hal ini yang biasa disebut ekonomi eksternal (yang positif), yang di satu sisi
biasanya menjadi disinsentif bagi pelaku swasta namun di pihak lain tentunya
dikehendaki oleh “masyarakat yang lebih luas” atau pemerintah;
… Uncertainty: berkembang karena sifat kegiatan litbang/inovasi itu sendiri memang
seringkali mengandung risiko kegagalan dalam memperoleh hasil yang semula
diharapkan, atau karena perbedaan persepsi risiko antara pelaku swasta dan publik
tentang litbang/inovasi tertentu.

Argumen ekonomi dari perspektif neo-klasik demikian menjadi dasar bagi keterlibatan tertentu
pemerintah (melalui kebijakan) dalam perekonomian hingga pertengahan 1980an, termasuk dalam
konteks iptek, kegiatan litbang atau inovasi. Kenyataan bahwa suatu perekonomian (atau suatu
industri) merupakan perkembangan dari waktu ke waktu (tidak terjadi sesaat) mendorong pula
argumen kegagalan sistemik, yang pada dasarnya berkaitan dengan kegagalan pasar maupun
kegagalan pemerintah yang akumulatif dan meluas kepada (atau disebabkan oleh) beragam
aspek/faktor.
Pergeseran pandangan dalam “arus utama ilmu ekonomi” (mainstream economics) tentang
iptek (inovasi) dan pesatnya kemajuan/perkembangan iptek membawa pada perkembangan
pandangan atas argumen perlunya kebijakan pemerintah dalam konteks pemajuan iptek atau sistem
inovasi. Kajian tentang imperfect competition, path dependence dan lainnya adalah di antara
perkembangan pandangan dalam konteks ini.
Beberapa hal yang disampaikan berikut ini berkaitan dengan beberapa “karakteristik” penting
dari pengetahuan (teknologi/ilmu pengetahuan) dan inovasi terutama karena implikasinya terhadap
kebijakan (dari perspektif ekonomi) sebagai berikut:23
1. Iptek dan/atau inovasi bersifat atau mempunyai karakteristik (setidaknya sebagian) sebagai
“barang publik” (public goods):

22
Dalam arti sebagai obyek yang ”dikonsumsi” Walaupun terdapat ketentuan hukum tentang hak kekayaan intelektual
(HKI) atau intellectual property rights (IPR), pengetahuan, inovasi atau kekayaan intelektual tidak sepenuhnya (secara
sempurna) terlindungi sebagai “barang pribadi” (private goods).
23
Ini juga sering dinilai “berlaku” bagi aktivitas litbang.
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 55

a. non-rivalrous: iptek atau inovasi dapat digunakan berulang kali dan untuk beragam
tujuan/maksud. Proses pembelajaran bahkan dapat dimanfaatkan oleh banyak pihak dari
kegiatan litbang atau inovasi, untuk meningkatkan kapabilitasnya secara langsung
ataupun tidak langsung.
b. umumnya/sebagian bersifat non-excludable: dalam arti bahwa sangat sulit untuk pihak
yang mengembangkan pengetahuan/inovasi untuk menikmati sendiri manfaatnya dan
mencegah pihak lain dari penggunaannya tanpa kompensasi kepadanya. Tidak
sepenuhnya kemajuan/perkembangan iptek atau inovasi dapat menjadi eksklusif dengan
perundangan HKI.
2. Investasi yang ditujukan bagi perolehan inovasi atau perkembangan iptek pada dasarnya
merupakan sunk costs.
3. Sifat increasing returns: karena merupakan non-rival goods dan sifatnya yang dapat mengubah
fundamental proses penciptaan nilai tambah, maka berbeda dengan “faktor produksi” lain,
pengetahuan memiliki sifat increasing returns (increasing returns to scale). Implikasi dari hal ini
antara lain adalah:
… Peluang yang “hampir tanpa batas” bagi pertumbuhan karena potensi penggunaan yang
besar dengan biaya marjinal “nol” (“sangat kecil”).
… Pasar akan cenderung under-invest dalam pengetahuan. Perbedaan antara private
benefits dengan social benefits mendorong terjadinya eksternalitas sehingga
menurunkan insentif bagi swasta untuk berinvestasi.
… Kecenderungan terjadinya “ketidaksempurnaan persaingan” (imperfect competition).
Karena penguasaan pengetahuan (atau inovasi) akan memberikan keunggulan bersaing
dan dengan sifat increasing returns biaya bagi “pendatang baru” (new entrants) dalam
pasar akan lebih tinggi, maka ini berpotensi “menghambat” masuk ke dalam pasar,
sehingga persaingan cenderung “monopolistik.”
… Sifat increasing returns juga mendorong berkembangnya path dependence dalam
perkembangan pengetahuan/teknologi. Contoh dari ini misalnya adalah dominant design
dalam inovasi seperti susunan abjad/huruf “QWERTY” pada papan kunci (keyboard)
komputer.24
4. Sifat non-rival dan non-excludable dari pengetahuan (walaupun sebagian) serta adanya
keterkaitan dan rangkaian rantai nilai aktivitas produktif mendorong terjadinya eksternalitas
ekonomi (positif) berupa knowledge spillover.
5. Pengembangan pengetahuan/inovasi merupakan proses kumulatif dan ini mempengaruhi pula
kecenderungan perubahan ekonomi dari masa ke masa. Gelombang perubahan ekonomi
terjadi karena didorong oleh perkembangan pengetahuan/inovasi dalam beberapa bidang.
6. Kelembagaan turut membentuk insentif bagi perkembangan pengetahuan/inovasi. Bagaimana
peraturan perundangan melindungi kekayaan intelektual, kelembagaan yang mendorong
interaksi antaraktor pengetahuan/inovasi dan lainnya turut mempengaruhi perkembangan
pengetahuan/inovasi. Asimetri informasi dan pengetahuan antara pengembang dan pengguna
pengetahuan/inovasi adalah di antara isu yang dinilai menentukan kemajuan
pengetahuan/inovasi. Selain itu, penyesuaian secara dinamis dari kelembagaan terhadap
perkembangan (dalam mengantisipasi perubahan) sangat diperlukan untuk kemajuan yang
berkelanjutan. Perkembangan pengetahuan/inovasi merupakan proses pembelajaran sosial,
yang membutuhkan interaksi efektif di antara berbagai aktor.

24
Dalam konteks kemajuan/perkembangan iptek atau inovasi, sifat path dependence bisa bermakna positif (jika menjadi
basis bagi peningkatan kinerja organisasi atau penguat bagi perkembangan iptek atau inovasi) ataupun negatif (bila
kecenderungannya justru menghambat kinerja organisasi, perkembangan iptek atau inovasi. Fenomena demikian sering
disebut locked-in).
56 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

7. Perkembangan iptek atau inovasi khususnya sangat erat terkait dengan “tempat.” Kedekatan
spasial (spatial proximity) memudahkan sharing pengetahuan dan kapasitas untuk
pembelajaran setempat oleh berbagai aktor, yang mendorong kepada inovasi. Perusahaan dan
pihak lain yang relevan yang “mengelompok” di suatu daerah dan berada dalam kultur daerah
serta kerangka kelembagaan serupa akan turut memfasilitasi proses pembelajaran dan
memperoleh peluang kemanfaatan dari pengetahuan/inovasi. Oleh karena itu semakin disadari
bahwa interaksi dan terkonsentrasinya berbagai pihak berpotensi mendorong peningkatan
kemanfaatan dan imbalan (returns) dari pengetahuan. Sebaliknya, kemanfaatan dan imbalan
yang diperoleh dapat menjadi insentif bagi berbagai pihak tertentu untuk mengelompok
(“berklaster”).
8. Pengetahuan merupakan kombinasi dari bentuk tacit knowledge dan explicit knowledge.
Semakin disadari bahwa tacit knowledge merupakan bagian yang sangat penting baik dalam
pengembangan pengetahuan maupun untuk kepentingan transfer/difusinya. Karena itu,
keterkaitan dan interaksi yang efektif antarpihak sangat penting bagi kemajuan pengetahuan
dan untuk mendorong dampak kemanfaatan yang lebih besar dari pengetahuan.

Berkaitan dengan uraian tersebut di atas, diskusi kebijakan juga sering mengangkat argumen
umum bagi kebijakan teknologi yang pada dasarnya menyangkut faktor yang saling berkaitan, yaitu
kegagalan pasar, penyediaan barang publik dan misi strategis pemerintah, yaitu:
1. Kegagalan pasar: ketidaksempurnaan (kesenjangan) informasi, perbedaan yang
melatarbelakangi para pihak (penyedia dan pengguna teknologi), persepsi risiko, dan lainnya
dapat menjadi faktor penghambat berkembangnya mekanisme pasar yang efektif bagi
teknologi. Walaupun teknologi disadari sebagai faktor yang semakin penting oleh para pelaku
bisnis, hal tersebut tidak selalu otomatis menjamin mekanisme pasar yang efektif. Oleh
karenanya, intervensi pemerintah yang terkait dengan pengetahuan (knowledge), teknologi,
inovasi, dan litbang seringkali dibutuhkan. Diskusi tentang ini dapat dilihat dalam banyak
rujukan.25 Tassey (2002, 1999) misalnya mengungkapkan salah satu bentuk kegagalan pasar
terkait dengan litbang adalah fenomena “investasi yang terlampau rendah” (underinvestment),
yang menurutnya terjadi dalam empat kategori:
… aggregate underinvestment oleh suatu industri (misalnya rendahnya litbang
keseluruhan);
… investasi yang terlampau rendah dalam litbang terapan di perusahaan-perusahaan
baru/pemula (misalnya tidak memadainya modal ventura);
… investasi yang terlampau rendah dalam pembaharuan teknologi yang ada (inkremental)
atau penciptaan teknologi baru (misalnya ketidak-memadaian riset teknologi generik);
… investasi yang terlampau rendah dalam mendukung infrastruktur teknologi (misalnya
kurangnya litbang infratechnology);
Karena proses pengembangan teknologi berlangsung secara siklus (cyclically), kegagalan
pasar yang mengarah kepada investasi yang terlampau rendah cenderung berulang terus.
Selain itu, beragam jenis kegagalan pasar yang berbeda biasanya terjadi dan membutuhkan
pola respons dari pemerintah atau industri-pemerintah yang berbeda pula.
2. Penyediaan barang publik: Bentuk lain yang juga sering menjadi perhatian pembuat kebijakan
adalah sifat “barang publik” (public goods) pengetahuan/teknologi (sepenuhnya ataupun
sebagian). Keterbatasan sumber daya dan kapabilitas para pelaku secara individual (dan juga
keterbatasan kemampuan pemerintah) di satu sisi dan semakin kompleksnya kebutuhan untuk
mengembangkan teknologi di sisi lainnya mempengaruhi ketersediaan faktor yang lebih bersifat
infrastruktural tidak/kurang berkembang (misalnya seperti fasilitas teknologi tertentu yang

25
Lihat misalnya Cortright (2001), Tassey (2002, 1999), Lipsey (1999).
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 57

penting dan yang memerlukan investasi cukup besar namun tidak langsung memberikan
“kemanfaatan” eksklusif kepada “pemilik”, media untuk berinteraksinya para stakeholders kunci
secara efektif bagi perkembangan inovasi, dan lainnya). Karena itu, dalam hal demikian
biasanya diperlukan campur tangan peran pemerintah tertentu untuk memperbaikinya.
3. Misi strategis: Misi mendorong perkembangan inovasi dan kesejahteraan ekonomi secara luas
merupakan di antara agenda penting pemerintah di berbagai negara. Dalam kaitan ini,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi akan sangat positif bagi masyarakat. Namun, tidak
seluruh potensi nilai/kemanfaatan dari kemajuan teknologi dan nilai/kemanfaatan dapat
sepenuhnya diperoleh pelaku (pengembangan iptek) yang bersangkutan. Karena itu dalam hal
demikian, maka peran pemerintah sangatlah penting dalam mendorong kemitraan teknologi
menjadi enabler bagi berkembangnya eksternalitas ekonomi (positif) dari aktivitas penciptaan,
pemanfaatan dan difusinya dalam aktivitas bisnis, dan memperluas knowledge spillover serta
peningkatan proses pembelajaran dalam masyarakat.
Isu yang berkembang dan dinilai perlu diatasi umumnya bersifat saling terkait. Karena itu,
bentuk kegagalan pemerintah, kegagalan pasar ataupun kegagalan sistemik yang terkait
dengan inovasi biasanya juga menjadi perhatian dan menjadi isu untuk diatasi oleh misi
strategis adanya kebijakan inovasi dari rejim pemerintah tertentu.

Seperti diungkapkan oleh Cornet dan Gelauff (2002), teori dan bukti empiris menunjukkan
bahwa perusahaan-perusahaan tidak berurusan dengan seluruh biaya dan manfaat sosial dari
inovasi. Karena itu maka pasar inovasi (the innovation market) gagal. Beberapa mekanisme
menggeser insentif swasta untuk berinovasi dari insentif yang optimal secara sosial:
Š knowledge spillovers: pengetahuan baru “bocor/menyebar” ke perusahaan lainnya tanpa
kompensasi bagi si inovator. Artinya, dalam penyebarannya, pihak inovator tidak sepenuhnya
dapat melindungi pemanfaatan konsep inovasi oleh pihak-pihak lain.
Š rent spillovers: inovator tidak dapat menarik imbalan dari pelanggannya atas nilai sepenuhnya
yang dihasilkan dari inovasi. Istilah knowledge spillovers dan rent spillovers pada dasarnya
terkait dengan sifat non rivalry and non excludability dari inovasi.
Š Kegagalan pasar asuransi (insurance market failure): risk-averse innovator26 tidak mampu
menanggung sehimpunan risiko inovasi;
Š Pencurian bisnis (business-stealing effects): inovasi berpotensi memperkuat posisi pelaku
bisnis mencuri bisnis pesaingnya. Dampak pencurian bisnis (business-stealing effect)
memperkuat insentif bagi pelaku bisnis, yang melampaui tingkat optimum sosial. Sementara itu,
jenis kegagalan pasar yang lain mengurangi insentif tersebut di bawah apa yang dikehendaki
oleh masyarakat.

Kegagalan pasar juga menghambat difusi inovasi dalam ekonomi, terutama menyangkut:
Š Informasi tak sempurna (imperfect information): pasar belum sepenuhnya memahami (terbiasa)
dengan keseluruhan inovasi dan karenanya enggan untuk mengadopsi inovasi tersebut serta
berinvestasi dalam perbaikan-perbaikan dari inovasi tersebut;
Š Eksternalitas jaringan (network externalities): nilai sosial dari inovasi bergantung pada jumlah
pengguna. Karena itu, ada insentif untuk menunggu untuk mengadopsi inovasi dan menunggu
berinvestasi dalam inovasi komplemennya;
Š Kekuatan pasar (market power): Para pengguna (pelanggan) akan berbeda dalam
kesediaannya membayar (willingness to pay) atas inovasi. Oleh karena itu, inovator

26
Inovator yang sikapnya lebih condong “menghindari risiko.”
58 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

memulainya dengan membebankan harga tinggi kepada pengguna yang paling awal
menghendaki inovasi, selanjutnya mengurangi harga secara bertahap untuk melayani
pengguna-pengguna yang berikutnya. Kecepatan adopsi biasanya relatif lambat;
Š Keunggulan pelopor (first-mover advantage): suatu inovasi yang kecil dapat mendorong produk-
produk yang ada menjadi tertinggal/kadaluarsa (obsolete). Oleh karena itu, difusi yang cepat
akan lebih menarik dari perspektif inovator, namun tidak terlampau menarik bagi masyarakat.

Sementara itu, OECD dalam dokumennya berkaitan dengan penadbiran sistem inovasi
nasional (lihat OECD, 1999: Managing NSI) menyoroti perkembangan penting dari perubahan iklim
dan kondisi bagi inovasi. Komplementaritas antara pasar dan pengorganisasian proses inovasi
misalnya, sangatlah penting untuk menentukan manfaat ekonomi dan sosial yang diperoleh dari
kemajuan pengetahuan. Manakala pasar tidak bekerja secara tepat, maka perusahaan akan
menghadapi insentif yang lebih rendah dan/atau terdistorsi (dari yang “semestinya”) untuk bersaing
dengan menambah himpunan pengetahuan (knowledge) yang sebenarnya berguna secara sosial.
Apabila lembaga-lembaga non-pasar yang menghasilkan pengetahuan juga tidak diterima
mendayagunakan sumber daya yang diperlukan untuk mendorong penyelidikannya di luar yang dapat
dilihat oleh pasar, maka muncul pula risiko penurunan (erosi) jangka panjang atas himpunan
pengetahuan (the stock of knowledge). Apabila institusi-institusi pasar dan non-pasar tidak
berinteraksi dengan baik, perubahan teknologi akan melambat dan sumbangannya terhadap
petumbuhan ekonomi dan kesejahteraan akan menurun.
Argumen “kegagalan pasar (market failure),” sejak tahun 1960-an, dalam kerangka ekonomi
neo-klasik telah digunakan sebagai dasar kebijakan. Namun tentunya perkembangan keilmuan patut
dicermati, terutama terkait dengan konteks pengetahuan (dan inovasi), menuntut perlunya peninjauan
atas landasan teoritis tentang ini. Seperti disampaikan dalam OECD (1999), berikut adalah beberapa
hal yang dinilai relevan:
Š New growth theory “mempertanyakan” beberapa hipotesis utama yang melandasi pandangan
neo-klasik tentang peranan perubahan teknologi terhadap pembangunan ekonomi (lihat
misalnya tulisan-tulisan Romer). Teori pertumbuhan baru menekankan pentingnya increasing
returns terhadap akumulasi pengetahuan dari investasi dalam teknologi baru dan human
capital.
Š Evolutionary and industrial economics mengungkapkan bahwa proses akumulasi tersebut
menunjukkan sifat path-dependent (mengikuti technological trajectories yang menunjukkan
suatu inertia), non-linier (melibatkan interaksi antara beragam tahapan riset dan inovasi) dan
terbentuk oleh hubungan/keterkaitan organisasi pasar dan non-pasar serta oleh beragam
kelembagaan (norma sosial, regulasi, dan sebagainya).
Š Institutional economics berurusan dengan isu yang terkait dengan desain dan koordinasi
kelembagaan dan prosedur yang terlibat dalam menangani kesaling-bergantungan yang lebih
kompleks, seperti pertumbuhan yang membawa kepada meningkatnya spesialisasi tugas dan
alat-alat produktif.

Berkaitan dengan perubahan iklim dan kondisi bagi inovasi, OECD (1999) mengungkapkan
beberapa hal yang secara ringkas sebagai berikut.
Inovasi hakikatnya merupakan kemampuan mengelola pengetahuan secara kreatif dalam
merespon pasar yang didorong oleh permintaan-permintaan dan kebutuhan sosial lainnya.
Perusahaan merupakan sumber utama dari inovasi, yang kinerjanya bergantung pada:
1. insentif yang diberikan oleh lingkungan ekonomi dan regulasi,
2. akses terhadap input-input penting (melalui pasar faktor produksi atau melalui interaksi dalam
jaringan dan klaster dari organisasi berbasis pengetahuan), dan
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 59

3. kapasitas internal untuk memanfaatkan peluang pasar dan teknologi.


Seperti telah disampaikan di Bab 2, studi OECD tersebut juga mengidentifikasi beberapa
kecenderungan berikut yang berbaur mengubah kondisi bagi keberhasilan inovasi, yaitu:
1. Inovasi semakin bergantung pada interaksi yang efektif antara basis sains dan sektor bisnis.
2. Semakin meningkatnya pasar kompetitif dan percepatan perubahan iptek mendorong
perusahaan untuk berinovasi semakin cepat pula.
3. Jaringan dan kolaborasi antarperusahaan kini semakin penting dibandingkan dengan di masa
lampau, dan semakin melibatkan jasa-jasa layanan yang semakin sarat pengetahuan
(knowledge-intensive).
4. Usaha kecil dan menengah (UKM), terutama perusahaan pemula berbasis teknologi (PPBT),
memiliki peran yang semakin penting dalam pengembangan dan difusi teknologi baru.
5. Globalisasi ekonomi membuat sistem inovasi antarnegara semakin saling bergantung.

Serupa dengan uraian OECD seperti yang telah disampaikan, berbagai pakar berpendapat
bahwa argumen bagi jastifikasi intervensi pemajuan inovasi (dan pengetahuan/teknologi) dalam
sistem ekonomi tidak semata berkaitan dengan alasan “klasik” kegagalan pasar, tetapi umumnya juga
karena kegagalan sistemik. Tidak adanya atau tidak berfungsinya elemen penting sistem inovasi,
bersamaan dengan kegagalan pasar, sering memerlukan intervensi tertentu dari pemerintah.
Smith (2000) menekankan empat jenis kegagalan sistemik yang mendasari perlunya intervensi
pemerintah berdasarkan kerangka pendekatan sistem inovasi, yaitu:
1. Kegagalan dalam penyediaan dan investasi infrastruktur (failures in infrastructural provision and
invetment): Ini misalnya menyangkut infrastruktur fisik (misalnya berkaitan dengan energi dan
komunikasi) maupun yang berkaitan dengan iptek seperti misalnya perguruan tinggi, lembaga
teknis yang didukung oleh pemerintah, lembaga kebijakan, perpustakaan dan bank data, atau
bahkan kementerian dalam pemerintah.
2. Kegagalan transisi (transition failures): Ini misalnya berkaitan dengan persoalan-persoalan
serius yang dihadapi oleh perusahaan atau sektor secara umum dalam menyesuaikan diri
terhadap berbagai transisi seperti perubahan teknologi. Menurut Smith, banyak kebijakan publik
yang dalam kenyataannya dimaksudkan untuk mengatasi isu-isu demikian namun seringkali
tanpa alasan yang eksplisit.
3. Lock-in failures: Ketidakmampuan perusahaan-perusahaan beralih dari teknologi yang
digunakannya berkaitan dengan ketidakmampuan industri dan sistem perekonomian secara
keseluruhan yang dapat “terkunci atau terperangkap” (locked-in) dalam paradigma teknologi
tertentu. Lembaga-lembaga eksternal, dengan kemampuan untuk membangkitkan insentif,
untuk mengembangkan alternatif-alternatif teknologi, dan untuk menumbuhkembangkan sistem-
sistem teknologi yang baru (emerging) sangat diperlukan.
4. Kegagalan institusional: sehimpunan terpadu dari lembaga publik dan swasta, sistem regulasi
(regulatory systems) dan sistem kebijakan yang turut mempengaruhi konteks ekonomi dan
perilaku teknis secara keseluruhan akan membentuk peluang teknologis dan kapabilitas
perusahaan. Kegagalan dalam sistem ini dapat membentuk “kemacetan” (bottlenecks) bagi
inovasi yang berperan sebagai alasan bagi tindakan kebijakan, seperti misalnya perubahan
dalam perundangan HKI.

Arnold dan Boekholt (2002), dan Arnold, et al. (2001) menyoroti perbedaan perspektif neoklasik
dengan pendekatan sistem riset dan inovasi nasional (SRIN) atau national research and innovation
system (NRIS), seperti ditunjukkan pada Tabel 3.1 dan 3.2.
60 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Tabel 3.1 Beberapa Perbedaan Asumsi Utama Neoklasik dan SRIN (NRIS)

Neo-klasik SRIN (NRIS)


Perilaku ƒ Umumnya dapat diprediksi ƒ Tidak sepenuhnya dapat
sistem ƒ Dapat diturunkan dari tingkat dideduksi dari tingkat mikro
mikro ƒ Bergantung pada waktu dan
tempat (time and place
dependent)
Interaksi ƒ Rasional, dengan kapabilitas dan ƒ Rasional dengan kapabilitas dan
informasi sempurna informasi tak sempurna
ƒ Faktor-faktor dan para aktor ƒ Pembelajaran, path dependency,
bersifat dapat disubstitusi co-evolution, dan karenanya para
(substitutable) aktor tidaklah dapat disubstitusi

Aktor ƒ Rational robots ƒ Rasionalitas terbatas,


ƒ Tidak memiliki masa lalu kemampuannya tidak sempurna
ƒ Memiliki masa lalu
Sumber : Arnold dan Boekholt (2002).

Tabel 3.2 Implikasi Perspektif Teoritis sebagai Perbandingan.

Neo-klasik SRIN (NRIS)


Keragaman ƒ Tidak menjadi persoalan, karena ƒ Setiap instrumen memiliki tujuan
kategori bersifat substitutable dan baik berbeda
instrumen biaya maupun manfaat dapat ƒ Banyak instrumen yang tidak
kebijakan diukur dengan nilai uang dapat digantikan oleh instrumen
lainnya begitu saja

Perbedaan ƒ Hingga batas tertentu dapat ƒ Para aktor bertindak karena


waktu (time dilakukan alasan keuntungan ekonomi
horizon) ƒ Para pelaku ekonomi bertindak jangka pendek maupun
dalam merespon peluang pengamanan manfaat jangka
ekonomi jangka pendek, namun panjang yang lebih “lunak”
bisa juga muncul dampak jangka seperti misalnya pembelajaran.
panjang. Lama periode bisa Perbandingan manfaat antar-
berbeda waktu karenanya juga dapat
berbeda.

Keragaman ƒ Tidak menjadi persoalan, karena ƒ Manfaat yang dapat dicapai


SRIN (NRIS) seluruh SRIN (NRIS) mengikuti dalam SRIN (NRIS) bisa
sehimpunan hukum ekonomi beragam, bergantung pada
umum kondisi awal saat intervensi
Sumber : Arnold dan Boekholt (2002).
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 61

Kompleksnya sistem inovasi turut mendorong argumen dengan perspektif (dan tekanan) yang
tak selalu persis sama yang diajukan berkaitan dengan perlunya kebijakan inovasi. Arnold dan
Boekholt (2002) misalnya lebih menekankan isu argumen berikut:
Š Kegagalan kapabilitas (capability failures): Hal ini berkaitan dengan kemampuan perusahaan
bertindak demi kepentingan terbaiknya karena keterbatasan manajerial, kurangnya
pemahaman teknologi, kelemahan kemampuan pembelajaran atau kapasitas absorpsi untuk
memanfaatkan teknologi yang berasal dari luar perusahaan.
Š Kegagalan dalam lembaga (failures in institutions): kegagalan dalam berbagai organisasi, baik
bisnis maupun non-bisnis dalam menyesuaikan diri dengan perubahan pengetahuan
menghambat perkembangan inovasi dan pertumbuhan. Demikian juga kegagalan berinvestasi
dalam lembaga-lembaga pengetahuan.
Š Kegagalan jaringan (network failures): Hal ini berkaitan dengan interaksi antaraktor, baik karena
jumlah dan kualitas keterkaitan yang rendah (misalnya karena tidak berkembangnya rasa saling
percaya atau keterisolasian para aktor dari konteks sosial), maupun transition failures dan lock-
in failures (di mana sistem inovasi ataupun klaster industri tidak mampu memanfaatkan peluang
teknologi baru atau terperangkap dalam teknologi yang lama).
Š Kegagalan kerangka kerja (framework failures): Inovasi yang efektif akan turut bergantung pada
kerangka regulasi dan kondisi lain yang melatarbelakangi inovasi (misalnya sofistikasi
konsumen, nilai-nilai sosial dan budaya).

Diskusi tentang kebijakan inovasi (termasuk keragaman argumen pro dan kontra kebijakan
inovasi) dapat dilihat lebih lanjut antara lain dalam Arnold dan Boekholt (2002), Arnold, et al. (2001),
Boekholt dan Larosse (2002), Cornet dan Gelauff (2002), Lundvall dan Borras (1997), Mytelka dan
Smith (2001), dan Smith (2000, 1996).

5. SIKLUS UMUM KEBIJAKAN

Proses pembuatan kebijakan sejak desain hingga implementasi dan evaluasinya, perlu
dipandang sebagai suatu siklus dari serangkaian kegiatan kebijakan, yang secara umum seperti
ditunjukkan pada Gambar 3.5 berikut.
Penetapan agenda (agenda setting) biasanya dipicu oleh kesadaran tentang urgensi suatu isu
publik tertentu, yang berkembang dari beragam bentuk pemicu seperti misalnya persoalan yang
semakin dirasakan dampaknya dalam masyarakat, wacana yang berkembang dan mengkristal atas
suatu isu tertentu, hasil proses pembelajaran (misalnya analisis atas kondisi yang ada, studi banding
atau suatu upaya benchmarking dengan negara/pihak lain), dan sebagainya. Karena itu, pemicuan
agenda kebijakan tidak selalu menjadi monopoli pembuat kebijakan. Seringkali bahkan, keprihatinan
para pelaku bisnis atau opini dan telaahan para analis kebijakan merupakan pemicu penting untuk
mengangkat suatu isu tertentu sebagai isu publik dan menjadi agenda kebijakan serta mengingatkan
para pembuat kebijakan untuk segera menyikapi dan menindaklanjutinya dengan segera dan tepat.
Analisis atau pengkajian kebijakan memegang peran sangat penting untuk mendalami agenda
kebijakan, dengan memahaminya lebih jauh berdasarkan fakta dan kajian dalam konteks kekinian
maupun perkiraan di masa datang, mengidentifikasi isu kebijakannya secara spesifik, menetapkan
tujuan spesifik kebijakan yang diperlukan, menggali berbagai alternatif solusi beserta variabel
sasarannya, dan merancang instrumen kebijakan yang diperlukan.
62 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Hasil analisis atau pengkajian kebijakan merupakan masukan bagi perancangan/desain atau
formulasi kebijakan. Proses ini terutama mencakup penetapan instrumen beserta aspek legal,
kerangka pengorganisasian (termasuk struktur kelembagaannya) dan mekanisme operasionalnya.
Proses formulasi kebijakan juga meliputi berbagai persiapan bagi implementasi operasionalnya.
Pembuatan dan penetapan kebijakan pada dasarnya merupakan “ranah” kewenangan pembuat
kebijakan (policy maker), walaupun pihak-pihak lain dapat berpartisipasi dalam penyiapannya.

Perbaikan melalui • Data


Evaluasi untuk • Praktik
Pengetahuan Tacit
Pengguna Lain baik, dsb.

Penetapan
Penghentian Agenda Perbaikan melalui
Kebijakan Pengetahuan
Terkodifikasi
• Data
• Analisis,
dsb.
Pemantauan
Pengkajian/
dan
Analisis
Evaluasi
Partisipasi
Pengawasan Stakeholder
Kunci

Indikator Instrumen
Kinerja Kebijakan
Formulasi
Implementasi
(Reformulasi)

Penetapan
Kebijakan

Gambar 3.5
Siklus Umum Penentuan Kebijakan.

Betapa pentingnya dalam setiap kebijakan yang dikeluarkan (terutama untuk kebijakan-
kebijakan yang di luar undang-undang), untuk dapat menetapkan indikator keberhasilannya (indikator
kinerja). Karena itulah, sistem pengukuran (metric system) yang jelas akan sangat penting bagi suatu
kebijakan. Atas dasar inilah semua pihak dapat memantau bagaimana capaian dari penetapan dan
implementasi suatu kebijakan.
Berhasil atau tidaknya suatu kebijakan pada akhirnya ditentukan pada tataran implementasinya.
Sering dijumpai bahwa proses perencanaan kebijakan yang baik sekalipun tidak dapat menjamin
keberhasilan dalam implementasinya. Berbagai aktivitas termasuk penyiapan pelaksanaan,
sosialisasi, peningkatan kapasitas (capacity building) pihak tertentu (seperti misalnya aparatur
pemerintah pelaksana tertentu), penadbirannya, dan sebagainya merupakan hal penting yang
biasanya “baku” dalam proses sebelum dan selama implementasi.
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 63

Namun yang tidak kalah pentingnya dalam implementasi kebijakan adalah kesungguhan dan
konsistensi dalam implementasi kebijakan. Sering dijumpai bahwa kebijakan tertentu, misalnya dalam
bentuk skema program pemerintah, yang sebenarnya telah dikaji dan dirancang dengan cukup baik,
dalam pelaksanaannya tidak berhasil karena ketidaksungguhan dan inkonsistensi pelaksanaan di
lapangan. Hal demikian (termasuk misalnya dalam bentuk moral hazard) dapat terjadi baik pada pihak
pemerintah, pelaku bisnis, atau bahkan keduanya. Dalam konteks demikian, fungsi
pengawasan/kontrol sangatlah penting. Ini tentu bukan semata fungsi eksternal (misalnya ada pihak
independen yang melakukan hal ini), tetapi juga fungsi internal dalam konteks kebijakan yang
bersangkutan.
Proses pemantauan (monitoring) dan evaluasi idealnya merupakan bagian integral dari proses
kebijakan. Melalui aktivitas inilah, berdasarkan umpan balik (feedback), maka upaya-upaya perbaikan
kebijakan terus dilakukan sesegera mungkin dan apakah suatu kebijakan perlu “diakhiri” atau tidak.

6. PENDEKATAN DAN KECENDERUNGAN PERGESERAN KEBIJAKAN

6.1 Dasar Pendekatan

Pada umumnya, “cara pandang” yang diperoleh dari disiplin ekonomi, yaitu kerangka supply-
demand (secara eksplisit ataupun tidak), dipergunakan sebagai alat utama pendekatan dalam
menelaah isu kebijakan dan/atau proses pembuatan kebijakan. Ini barangkali lebih dikarenakan
“kemudahan” alat ini (dalam arti membantu) dalam proses analisis hingga formulasi kebijakan. Namun
ini tidak berarti bahwa aspek lain diabaikan. Ilustrasi pada Gambar 3.6 merupakan simplifikasi dasar
pendekatan yang umumnya digunakan dalam ilmu ekonomi, termasuk dalam menelaah isu-isu
kebijakan.
Tentu saja patut diingat bahwa proses kebijakan, terutama kebijakan inovasi, pada dasarnya
bersifat multidisiplin. Pengetahuan, baik yang bersifat teknis misalnya enjinering, atau bidang
keilmuan iptek tertentu, dan yang terkait dengan bidang ekonomi, aspek hukum dan sosial serta
disiplin lainnya sering diperlukan dalam proses kebijakan.
Kerangka pendekatan apapun yang diambil intinya diharapkan membantu menggali kebijakan
yang efektif dan efisien untuk memberikan dampak positif intervensi. Tentu perlu diwaspadai juga oleh
para pembuat kebijakan, bahwa kegagalan kebijakan sangat mungkin akibat dari ketidaktepatan
proses “rekayasa sosial” (social engineering) dalam konteksnya. Antisipasi terhadap kemungkinan
“celah-celah” bagi potensi bahaya moral (moral hazard) adalah di antara hal yang juga perlu
dipertimbangkan dalam proses kebijakan.
64 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Lingkungan

Keterkaitan
Penawaran/ (Lingkage)
Permintaan
Penyediaan
(Demand)
(Supply)

S
¨ Esensi :
Kebijakan sebagai intervensi
untuk memperbaiki
D “kegagalan” tertentu
dengan mengubah /
mempengaruhi faktor-faktor
utamanya

Gambar 3.6
Ilustrasi Kebijakan dalam Kerangka Analisis Supply-Demand.

6.2 Prinsip Kebijakan (Intervensi)

Diskusi pada bagian-bagian sebelumnya merupakan elemen penting sebagai pertimbangan


dalam proses kebijakan. Menurut Edquist (2001), pada prinsipnya terdapat dua hal utama untuk dapat
melakukan intervensi, yaitu:
1. Muncul “persoalan atau isu” kebijakan: Artinya, apa yang menjadi tujuan penting (terkait dengan
“sistem inovasi”) dinilai tidak tercapai. Ini berkaitan dengan ”alasan/argumen” kebijakan seperti
telah dibahas pada bagian sebelumnya. Kebijakan inovasi pada prinsipnya adalah
mengkomplementasi perusahaan dan pasar, bukan menggantikan atau menduplikasinya.
Dalam hal ini, menurut Edquist, setidaknya terdapat empat kategori kegagalan sistem (yang
sebagian berhimpitan satu dengan lainnya), yaitu:
… Fungsi-fungsi dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada;
… Organisasi-organisasi yang ada tidak sesuai atau organisasi yang diperlukan tidak ada;
… Kelembagaan yang ada tidak sesuai atau kelembagaan yang diperlukan tidak ada; atau
… Interaksi atau keterkaitan antarelemen dalam sistem inovasi tidak sesuai atau tidak ada.
2. Adanya kemampuan lembaga publik mengatasi/memecahkan atau mengurangi persoalan yang
bersangkutan.
Kemampuan lembaga publik untuk melakukan intervensi perlu ada/dimiliki untuk dapat
melakukan perubahan atau memberikan pengaruh terjadinya perubahan ke arah yang
diharapkan. Tidak adanya atau lemahnya kemampuan lembaga publik dalam kaitan ini sangat
berpotensi mengakibatkan kegagalan pemerintah (government failures). Walaupun sebaliknya,
adanya kemampuan lembaga publik tidak menjamin sepenuhnya terhindar dari kegagalan
pemerintah. Setidaknya, kememadaian kemampuan memberikan peluang untuk sedapat
mungkin meminimumkan kegagalan tersebut.
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 65

Upaya untuk mengenali isu kebijakan merupakan langkah yang sangat penting dalam proses
kebijakan. Analisis kondisi yang dihadapi, studi perbandingan, dan benchmarking merupakan
pendekatan yang umumnya dilakukan untuk mengawali tahapan ini.
Kesadaran akan pentingnya penguatan sistem inovasi (di antara pembuat kebijakan maupun
analis), kelemahan ketersediaan data faktual yang relevan, dan masih terbatasnya upaya-upaya
kajian yang menyoroti hal ini merupakan kelemahan menonjol di Indonesia.
Mengenali “gejala” beragam kelemahan sistem inovasi daerah merupakan awal penting.
Namun tentu saja hal demikian belumlah cukup. Menelaah lebih mendalam akar-akar persoalannya
dan menganalisis isu kebijakan yang dinilai urgen untuk dipecahkan perlu dilakukan sebagai bahan
untuk mendesain langkah kebijakan yang perlu diambil. Walaupun bukan maksud buku ini untuk
mendiskusikan secara detail beragam kasus, namun penting untuk disampaikan di sini bahwa
intervensi pemerintah “secara langsung” tidak selalu otomatis menjadi solusi bagi suatu isu kebijakan.
“Solusi pasar dengan peran dan langkah tertentu dari pemerintah dan/atau pihak lain” adakalanya
merupakan alternatif solusi bagi isu kebijakan. Kemungkinan untuk hal demikian perlu selalu terbuka
dalam mengkaji isu kebijakan, selain sebagai upaya menggali alternatif solusi terbaik juga
menghindari atau meminimalisasi pengekangan atau tidak berkembangnya peran/partisipasi swasta
dan masyarakat akibat dari (sebagai dampak negatif dari) intervensi pemerintah dalam konteks
tertentu.27
Dalam kajian kebijakan, potensi intervensi perlu ditelaah lebih cermat untuk memberikan
gambaran langkah kebijakan yang sesuai. Tabel 3.3 berikut mengilustrasikan hal ini. Kerangka
generik ini secara konsep memang relatif lebih ”mudah” digunakan dalam analisis pasar. Namun tidak
selalu demikian halnya dalam menelaah isu-isu kegagalan sistemik.

Tabel 3.3 Mengenali Potensi Intervensi.


Permintaan
(Demand)
Tidak Ada Lemah Efektif
Penawaran
(Supply)
ƒ Intervensi sangat
ƒ Intervensi sulit,
sulit, potensi
potensi terbatas
sangat terbatas
Tidak Ada ƒ Basis untuk
ƒ Tak ada basis
pengembangan
untuk
lemah
pengembangan
ƒ Intervensi sulit,
potensi terbatas ƒ Potensi baik untuk intervensi.
ƒ Intervensi mempunyai kemampuan
Lemah ƒ Basis untuk untuk mengembangkan aktivitas yang
pengembangan ada
lemah
ƒ Potensi
intervensi
terbatas.
Efektif
ƒ Pasar efektif dan
sektor swasta
sangat aktif

27
Istilah teknis untuk kondisi demikian sering disebut crowding out.
66 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Walaupun bukan merupakan tolok ukur baku yang disepakati, beberapa kriteria berikut
dipandang penting dalam merancang kebijakan yang baik. Kriteria ini pada dasarnya juga merupakan
faktor yang saling terkait satu dengan lainnya:
1. Efektivitas: Instrumen yang digunakan idealnya merupakan alternatif alat terbaik (langsung
ataupun tidak langsung) sebagai solusi bagi pemecahan persoalan kebijakan yang hendak
diatasi. Beberapa hal yang setidaknya perlu diperhatikan berkaitan dengan hal ini adalah:
… Kesesuaian instrumen dengan akar persoalan kebijakan yang hendak diatasi merupakan
hal yang sangat menentukan hal ini.
… Dukungan kekuatan hukum (legal support): Basis atau dukungan peraturan perundang-
undangan yang sesuai seringkali diperlukan agar kebijakan pemerintah dapat
memberikan kepastian hukum dan mengikat berbagai pihak secara efektif. Walaupun
begitu, bentuk legal dari setiap instrumen kebijakan yang diperlukan tidak selalu sama,
dan perlu disesuaikan dengan kebutuhannya.
… Mekanisme: Terutama berkaitan dengan proses/prosedur, penadbiran, tata kelembagaan
(pengorganisasian), pemantauan dan pengawasan, dan hal teknis implementasi
operasional lainnya.
2. Efisiensi: Mengenali isu kebijakan mengindikasikan “biaya/kerugian atau potensi kerugian” pada
masyarakat akibat persoalan yang terkait. Upaya memecahkan persoalan tersebut akan
membutuhkan alokasi sumber daya. Efisiensi kebijakan berkaitan dengan hubungan antara
”pengorbanan” dengan kemanfaatan yang diperoleh/ditimbulkan dari langkah kebijakan yang
diambil. Hal ini tidak sederhana, sebab bukan saja menyangkut persoalan penilaian ekonomi
(manfaat dan biaya) tetapi juga aspek lain, terutama pada tataran implementasi operasionalnya.
Analisis pada tingkatan program/proyek biasanya mendalami dan memberikan gambaran yang
lebih jelas tentang hal ini.28
3. Memiliki daya bangkitan yang signifikan (significant leveraging effects): Instrumen kebijakan
yang dipilih idealnya adalah yang memiliki dampak bangkitan yang paling signifikan terhadap
persoalan yang ingin dipecahkan. Jika tidak, maka langkah kebijakan mungkin tidak akan
memberikan pengaruh perbaikan yang berarti, bahkan dapat berpotensi kontra produktif dan
sangat boleh jadi hanya menimbulkan pemborosan anggaran. Untuk itu, perancangan
kebijakan sebaiknya memberikan dampak sinergi dari masing-masing pengaruh yang
dihasilkan oleh setiap instrumen kebijakan.
4. Kelayakan cakupan (adequacy of scope): Kebijakan inovasi tidak cukup hanya dengan satu
instrumen kebijakan tunggal. Pemahaman dan penjabarannya melalui perspektif kesisteman
dari banyak pihak yang terkait sangatlah penting. Tindakan kebijakan yang diserahkan hanya
kepada salah satu instansi pemerintah saja misalnya, tidak akan memadai untuk dapat
memberikan pengaruh/dampak yang dikehendaki dalam sistem inovasi. Dalam hal ini,
kelengkapan instrumen-instrumen yang dipergunakan, dengan memperhatikan karakteristik
permasalahan pada sisi permintaan (demand), penyediaan (supply) dan keterkaitan (linkages)
secara seimbang penting untuk dikembangkan. Dalam sistem inovasi, berbagai kebijakan
”sektoral” (khususnya di sektor produksi dan perdagangan) memiliki efek implisit yang
mempengaruhi perkembangan sistem inovasi daerah. Oleh karena itu instrumen kebijakan itu
harus diupayakan agar dapat menstimulasi pengambilan keputusan di sektor produktif. Dampak
yang dihasilkan idealnya harus menstimulasi misalnya peningkatan kondisi yang kondusif bagi
inovasi, kondisi penyediaan teknologi, dan hubungan serta interaksi antara penyedia dan
pengguna teknologi atau praktik-praktik baik/terbaik. Koordinasi dan kerjasama antarpihak,
khususnya lembaga-lembaga pemerintah, dalam hal ini merupakan kunci penting.

28
Untuk pembaca yang berminat mendalami teknis mengenai beberapa metode analisis (dari perspektif ekonomi) terkait
dengan hal ini dapat mempelajari antara lain misalnya Gardner (1990); Tweeten (1992); dan Tweeten (ed.) (1989).
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 67

5. Memenuhi kaidah pasar (conforming to the market mechanisms): Instrumen kebijakan yang
ideal perlu sejalan dengan kaidah, atau mengarah kepada kondisi pasar yang sehat dan adil.
Instrumen kebijakan pada dasarnya juga memiliki potensi mendistorsi mekanisme pasar.
Karena itu, dampak yang dihasilkan oleh kumpulan instrumen kebijakan itu harus diusahakan
agar selaras dengan persyaratan pasar, meminimumkan potensi distorsi, dan mendorong
berkembangnya kondisi pasar yang semakin sehat (kompetitif) dan adil. Sebagian besar bentuk
intervensi pemerintah sifatnya sementara. Dalam perancangan instrumen kebijakan, hal ini juga
terkait dengan strategi “penghentian/pemberlakuan” instrumen kebijakan (exit strategy), yaitu
kriteria dan cara untuk membatasi intervensi pemerintah, sehingga secara bertahap
permasalahan yang dihadapi dapat dikembalikan pada mekanisme pasar yang “normal.”
6. Konsistensi: Langkah kebijakan yang konsisten (istiqomah) menjadi kunci bukan saja dalam
proses mengubah atau memberi pengaruh bagi perkembangan/kemajuan ke arah yang lebih
baik, tetapi juga sikap atau respons swasta dan stakeholders kunci lain terhadap tindakan
kebijakan terkait. Konsistensi kebijakan dalam hal ini setidaknya terkait dengan:
… ”Kepastian atas langkah/proses pencapaian tujuan yang dikehendaki” (constancy on
purpose), yaitu kepastian tujuan kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu, sehingga
para stakeholders kunci dapat memahami hasil yang ingin dicapai. Sangatlah penting
bagi pemerintah daerah untuk menciptakan lingkungan legislasi yang stabil dan
terprediksi (predictable) di daerahnya dalam membangun/memperkuat sistem inovasi
daerah.
… ”Konsistensi internal kebijakan” (internal consistency), yaitu keselarasan antara tujuan,
fokus, mekanisme implementasi dan pemantauan serta evaluasi efektivitas suatu
instrumen intervensi.
7. Koherensi: Koherensi kebijakan inovasi daerah menyangkut keterpaduan dan harmonisasi,
saling mengisi dan memperkuat terutama antarpola kebijakan ekonomi, industri dan teknologi,
baik ”di daerah” maupun ”antara pusat dan daerah,” sehingga tidak berbenturan, bertolak
belakang dan membingungkan.
Secara konsep, koherensi kebijakan pada dasarnya menyangkut (setidaknya) tiga dimensi,
yaitu:
… Koherensi horisontal yang menentukan bahwa masing-masing kebijakan yang terkait
atau kebijakan-kebijakan sektoral dikembangkan untuk saling mengisi dan/atau
memperkuat atau meminimumkan ketidakkonsistenan (”inkonsistensi”) dalam tujuan
yang (mungkin) saling bertentangan;
… Koherensi vertikal yang menentukan bahwa keluaran yang dicapai/diperoleh sesuai atau
konsisten dengan yang dimaksudkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan;
… Koherensi temporal yang berkaitan dengan keadaan bahwa kebijakan yang
diambil/ditetapkan saat ini akan tetap efektif di masa mendatang dengan membatasi
potensi ”inkoherensi” dan dapat memberikan semacam panduan bagi perubahan (dan
berkaitan dengan manajemen transisi).
Seperti disampaikan pula oleh Lundvall dan Borras (1997), bahwa ketika merancang kebijakan
inovasi, para pembuat kebijakan perlu mempertimbangkan tiga tindakan utama berikut:
1. Kebijakan yang mempengaruhi tekanan untuk berubah (misalnya kebijakan persaingan,
kebijakan perdagangan dan posisi kebijakan ekonomi secara umum);
2. Kebijakan yang mempengaruhi kemampuan berinovasi dan menyerap perubahan
(misalnya pengembangan sumber daya manusia/SDM);
3. Kebijakan yang dirancang untuk melindungi kelompok-kelompok yang “dirugikan” oleh
perubahan (misalnya kebijakan sosial dan daerah yang bertujuan pada redistribusi).
68 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Bidang kebijakan tersebut perlu disesuaikan dan dikoordinasikan sedemikian rupa sehingga
dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan tanpa mengabaikan kohesi sosial. Selain itu,
koordinasi vertikal juga sangatlah penting karena kesejalanan kebijakan pada berbagai tataran
pemerintahan yang berbeda akan mempengaruhi efektivitas dan efisiensi kebijakan.
8. Keterbukaan dan akuntabilitas: Karena intervensi pemerintah pada dasarnya merupakan
langkah/upaya memperbaiki keadaan status quo dan membutuhkan alokasi sumber daya
publik, maka keterbukaan (transparansi) dan akuntabilitas menyangkut apa, mengapa, dan
bagaimana langkah yang diambil oleh pemerintah dinilai sebagai faktor/kaidah yang semakin
penting tentang baik-tidaknya kebijakan dari segi kepentingan (pertanggung-jawaban) publik.
9. Komitmen kebijakan: Tidak ada instrumen yang dapat menghasilkan efek maksimal apabila
pelaksanaannya parsial dan terisolasi. Karena itu ke depan semakin diperlukan sinergi dengan
instrumen lain dan pendekatan yang lebih holistik. Namun juga perlu disadari bahwa dampak
instrumen kebijakan yang diarahkan untuk mempengaruhi proses perkembangan kapasitas
inovatif daerah dan faktor kontekstual dalam sistem inovasi daerah pada umumnya bersifat
jangka panjang. Oleh sebab itu, setiap pemerintah daerah setidaknya perlu
mendorong/memperkuat:
… Kepemimpinan/kepeloporannya dalam membangun sistem inovasi daerah, baik dalam
membangun kekuatan internal maupun mengembangkan kerjasama dengan daerah lain
dan kerjasama internasional;
… Komitmen dan kebijakan anggaran (budget policy) yang jelas;
… Kesungguhan untuk meningkatkan kualitas, kecepatan dan transparansi dalam
pemerintahan dan administrasi/birokrasi.

6.3 Struktur Instrumen Kebijakan

Seperti telah disampaikan sebelumnya dan ditunjukkan pada Gambar 3.4, pendekatan supply-
demand memberikan kerangka bagi penyusunan struktur instrumen kebijakan inovasi.
Penyederhanaan struktur instrumen kebijakan tersebut adalah seperti ditunjukkan pada Gambar 3.7
berikut.
Penyajian seperti ini tentu merupakan salah satu (dan bukan satu-satunya) bentuk
penyederhanaan tanpa maksud terlampau menyederhanakan persoalan kebijakan sebenarnya.
Proses kebijakan inovasi seringkali membutuhkan upaya inovasif pula. Karena itu, seperti juga
diingatkan antara lain oleh Koch, et al., (lihat STEP, 2003), bahwa kebijakan inovasi bukanlah suatu
proses rasional yang sederhana seperti misalnya transformasi sederhana dari riset kebijakan menjadi
instrumen-instrumen kebijakan dan reformasi kelembagaan. Proses berinovasi tersebut juga akan
berkaitan dengan kompleksitas dari sistem kebijakan (termasuk kebijakan inovasi) yang ada, baik
pada tataran nasional maupun daerah, bahkan perlu senantiasa mempertimbangkan penyelarasan
dengan perkembangan global. Proses tersebut akan dihadapkan pada beragam aspek, aturan sosial,
pandangan dan/atau kepentingan yang mungkin saling bertentangan, dan ketimpangan dalam
kompetensi maupun pendanaan.
Kritik Koch, et al., juga mengingatkan bahwa, dalam kenyataannya jarang ditemui para
pembuat kebijakan inovasi yang memiliki strategi eksplisit untuk pembelajaran kebijakan dan inovasi
kebijakan itu sendiri. Peringatan kehati-hatian juga disampaikan misalnya oleh banyak pihak tentang
potensi kegagalan pemerintah (government failures) karena beragam sebab, baik yang bersumber
dari kemampuan pembuat kebijakan itu sendiri maupun sistem ataupun proses kebijakan yang ada,
”inersia” terhadap perubahan/perbaikan kebijakan, ataupun faktor-fakor lainnya.
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 69

Fungsi, Aktivitas dan Aktor Inovasi dan Difusi


Karakteristik Permintaan
Penyediaan Bidang untuk
Kebijakan Iptek Keterkaitan Inovasi

Instrumen

Harus semakin jelas exit policy -nya


Eksplisit
Institutional Setting

Instrumen
Implisit

Faktor
Kontekstual

Dampak Efek

Fungsi dan Variabel Sistem Inovasi

Gambar 3.7
Simplifikasi Struktur Instrumen Kebijakan Inovasi.

6.4 Beberapa Kecenderungan Pergeseran dalam Kebijakan Inovasi

Dalam pendekatan kebijakan, kecenderungan perkembangannya menunjukkan beberapa hal


penting antara lain sebagai berikut:
1. Pergeseran dari pembuat (penentu) kebijakan secara tunggal ke banyak pihak. Di masa
lampau, pemerintah (atau instansi pemerintah) tertentu biasanya merupakan pihak tunggal
sebagai perencana pembangunan (single planner). Kesadaran bahwa proses pembangunan,
termasuk upaya kebijakan, bukan semata peran pemerintah mendorong keterlibatan aktif
banyak pihak sebagai stakeholders kunci dalam proses pembangunan dan proses pembuatan
kebijakannya (multidecision makers-multiplanners). Anggapan bahwa pemerintah merupakan
pihak yang serba tahu dan serba mampu perlu ditinggalkan. Di sisi lain, kecenderungan
semakin kompleksnya persoalan, khususnya isu kebijakan, menuntut kemampuan yang
semakin tinggi di kalangan pembuat kebijakan masing-masing dan dalam proses kolektif
penentuan dan implementasi kebijakan.
2. Proses partisipatif. Di masa lalu proses kebijakan sangat minimum melibatkan pihak di luar
otoritas pembuat kebijakan. Upaya ”sosialisasi” biasanya menjadi cara (dan seringkali bahkan
merupakan satu-satunya cara) untuk mengkomunikasikan kebijakan yang telah ditetapkan. Hal
ini disadari mengandung banyak kelemahan. Pemerintah bukanlah pihak yang serba tahu dan
satu-satunya penanggungjawab dan serba mampu atas pemecahan berbagai persoalan publik.
Karena itu keterlibatan segenap komponen masyarakat, terutama sebagai stakeholders kunci,
sedini mungkin dalam proses kebijakan sangatlah penting. Proses partisipatif dalam pembuatan
70 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

kebijakan kini juga dipandang sebagai suatu cara paling tepat dalam dinamika demokrasi dan
dalam meningkatkan peluang keberterimaan (acceptability) suatu kebijakan oleh ”kelompok
sasaran” ataupun masyarakat umum. Dengan demikian, respons para aktor terhadap kebijakan
yang ditetapkan juga diharapkan sejalan dengan apa yang diperkirakan dalam perancangan
kebijakan tersebut, dan karenanya meningkatkan peluang keberhasilan kebijakan yang
bersangkutan.
3. Proses kebijakan sebagai proses pembelajaran (learning process). Di tengah perkembangan
yang semakin kompleks dan dinamis, asumsi bahwa kesemuanya dapat diketahui dengan pasti
dan bahwa kebijakan merupakan suatu tindakan yang sempurna merupakan hal yang hampir
mustahil. Pembuat kebijakan beserta pihak lain, baik kelompok sasaran maupun stakeholders
kunci lain, perlu menyadari beragam keterbatasan, baik yang dihadapi oleh pembuat kebijakan
maupun masyarakat beserta konteks dinamika sosial-budaya dan politik yang berkembang.
Pandangan ”rasionalitas terbatas” (bounded rationality) tentang para aktor (pembuat kebijakan
maupun masyarakat) dalam bersikap dan bertindak, khususnya dalam konteks isu kebijakan,
tampaknya lebih merupakan realita umum yang dihadapi di daerah/negara manapun.
Karenanya, kesadaran bahwa upaya perbaikan secara terus-menerus atas suatu kebijakan
perlu senantiasa dikembangkan. Belajar dari pengalaman pihak lain yang disesuaikan dengan
konteks yang dihadapi dan belajar dari proses yang dijalani sendiri akan merupakan hal yang
saling melengkapi dalam proses pembelajaran dan perbaikan kebijakan. Fleksibilitas sebagai
ruang bagi pembelajaran dan proses perbaikan kebijakan secara terus-menerus semakin dinilai
penting dalam proses kebijakan. Pendekatan/model transformasi pengetahuan (lihat misalnya
Lundvall dan Borras, 1997, atau yang dikemukakan oleh Ijiro Nonaka) merupakan di antara
model yang juga dapat dikembangkan bagi proses pembelajaran kebijakan.
Seperti diungkapkan (Lundvall dan Borras, 1997), paradigma baru kebijakan inovasi berfokus
pada penciptaan/pengembangan sistem inovasi yang mampu beradaptasi. Hal ini mencakup
isu-isu yang saling terkait: pertama, menstimulasi lembaga-lembaga aktor ekonomi pembelajar
(learning institutions and economic actors); kedua, mengembangkan visi dan instrumen-
instrumen kebijakan yang terpadu dan terkoordinasi untuk meningkatkan inovasi; dan ketiga,
menciptakan kondisi proses pembuatan kebijakan yang juga belajar dan beradaptasi terhadap
kebutuhan-kebutuhan dan kondisi ekonomi yang baru secara terus-menerus.
4. Semakin pentingnya dimensi ”daerah.” Diskusi sebelumnya menunjukkan kecenderungan-
kecenderungan terkait dengan inovasi dan pendekatan (sistem inovasi) yang semakin erat
hubungannya dengan aspek ”daerah” sebagai dimensi yang semakin penting dan berimplikasi
pada kebijakan inovasi. Faktor-faktor kontekstual lokalitas merupakan faktor yang dinilai
semakin menentukan keberhasilan inovasi dan peningkatan daya saing. Karena itu, anggapan
pola sentralistik dalam kebijakan inovasi perlu diperbaiki. Sebaliknya, pola yang terlampau
condong pada ekstrim lainnya juga akan memiliki kelemahan. Keseimbangan dinamis antara
dimensi atau proses yang memerlukan keterpaduan/koordinasi kerangka dan alat kebijakan
melalui sentralisasi dan fleksibilitas bagi pemajuan yang kontekstual dengan faktor lokalitas
yang membutuhkan desentralisasi kebijakan kini dipandang semakin penting bagi keberhasilan
pengembangan inovasi.

Kebijakan inovasi yang dikembangkan/diterapkan di setiap negara senantiasa berkembang dari


masa ke masa. Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari pengalaman pihak lain, namun tentunya
praktik kebijakan inovasi yang perlu dikembangkan/diterapkan oleh setiap negara atau daerah
haruslah kontekstual, sesuai dengan kondisi dan perkembangan di daerah masing-masing.
Pada dasarnya, proses kebijakan inovasi di suatu negara umumnya berbeda dari negara
lainnya, sesuai konteksnya masing-masing. Namun sekedar untuk memberikan gambaran,
disampaikan skema tata organisasi “generik” terkait dengan perancangan dan penadbiran kebijakan
inovasi menurut pengamatan Boekholt dan Arnold (2002) seperti ditunjukkan pada Gambar 3.8
berikut.
BAB 3 KEBIJAKAN: TINJAUAN SINGKAT „ 71

Pemerintah
Pemerintah
Badan
BadanPenasihat
Penasihat

Kementerian
Kementerian
Departemen
Departemen Departemen
Departemen Negara
Negara

Koordinasi Lintas Departemen

Badan/
Badan/
Dewan
DewanRiset
Riset Lembaga
Lembaga Intermediaries
Intermediaries

Program
ProgramLitbang
Litbang

Pelaksana
PelaksanaRiset:
Riset:Perguruan
PerguruanTinggi,
Tinggi,Perusahaan,
Perusahaan,Organisasi
OrganisasiRiset
Riset

Sumber: Disesuaikan dari Boekholt dan Arnold (2002).

Gambar 3.8
Struktur Penadbiran (Governance) Inovasi Secara Umum:
Organisasi dalam Perancangan dan Implementasi Kebijakan.

Dalam studinya tentang delapan negara Eropa, Arnold, et al. (2003) menggunakan suatu model
konseptual seperti ditunjukkan pada Gambar 3.9 untuk mengkaji bagaimana organisasi dan
penadbiran riset dan inovasi di setiap negara tersebut. Dalam skema tersebut, terdapat empat tingkat
(level) koordinasi kebijakan, yaitu:
… Tingkat 1 merupakan tingkat tertinggi. Tingkatan ini berhubungan dengan penentuan
arah dan prioritas bagi keseluruhan sistem inovasi nasional. Hal ini dapat dicapai melalui
saran/advis kepada pemerintah atau dengan cara-cara yang lebih mengikat seperti
keputusan-keputusan dari suatu sub-komisi kabinet. Koordinasi di tingkat ini biasanya
berbentuk ”pemberian saran (advisory) dan penentuan kebijakan.”
… Tingkat 2 merupakan koordinasi antardepartemen/kementerian, yang jika diabaikan
maka tanggung jawab sektoralnya akan mendorong setiap departemen/kementerian
hanya mengupayakan kebijakan independen sektoralnya masing-masing. Dalam
praktiknya tingkat koordinasi ini mungkin melibatkan aspek-aspek administratif, isu
kebijakan ataupun keduanya. Kelompok lintas departemen/kementerian terkadang juga
berfungsi sebagai mekanisme koordinasi Tingkat 1.
… Tingkat 3 adalah tingkatan yang lebih operasional dalam upaya membuat tindakan
badan-badan pembiayaan (funding agencies) ke dalam suatu kesatuan yang koheren.
Tingkat ini juga dapat melibatkan koordinasi administratif maupun koordinasi yang lebih
substantif dari kegiatan-kegiatan pembiayaan, seperti misalnya program bersama.
… Tingkat 4 menyangkut koordinasi di antara pihak-pihak yang melaksanakan riset dan
inovasi yang sebenarnya. Koordinasi pada tingkatan ini cenderung dicapai melalui
pengorganisasian masing-masing ketimbang menggunakan mekanisme-mekanisme
formal.
72 „ PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN

Parlemen

Tingkat
Tingkat11
Kebijakan Pemerintah Dewan kebijakan
Kebijakanlintas
lintas
bidang
bidangtingkat
tingkat
tinggi
tinggi

Tingkat
Tingkat22 Departemen/ Departemen/ Departemen/
Koordinasi
Koordinasi Kementerian Kementerian Kementerian
yang
yangberpusat
berpusat Pendidikan Industri Sektoral
pada
padamisi
misi lainnya
kementerian
kementerian

Tingkat
Tingkat33 Dewan Riset Badan Badan-
Koordinasi
Koordinasi&& dan Teknologi badan
pengembangan
pengembangan Akademi dan Inovasi Program
kebijakan
kebijakanyang
yang Pendukung
lebih
lebihrinci
rinci

Tingkat
Tingkat44 Kontraktor
Pelaku
Pelakuriset
riset Program Produsen:
dan
daninovasi
inovasi Perusahaan,
Lembaga
Pertanian,
Litbang
Rumah
Perguruan sakit, dsb.
Tinggi

Keterangan:
Instruksi, sumber daya
Saran (advis)
Hasil
Koordinasi dan
integrasi horisontal

Sumber: Disesuaikan dari Arnold, et al. (2003).

Gambar 3.9
29
Struktur Organisasi Umum Kebijakan Riset dan Inovasi.

Penadbiran (governance) sistem inovasi esensinya berkaitan dengan beragam aspek (proses,
organisasi/lembaga dan pengorganisasian, aktivitas, fungsi, termasuk proses dan “muatan” kebijakan
yang mempengaruhi dan hal lainnya) yang membawa kepada perbaikan/pemajuan sistem inovasi. Ini
yang biasanya sangat spesifik konteks, sehingga suatu tatanan penadbiran (misalnya kelembagaan)
yang baik di suatu negara tidak selalu akan sesuai untuk negara lain yang berbeda. Karena itu,
pelajaran yang dapat dipetik dari praktik baik di negara lain perlu disesuaikan dengan konteksnya.

29
Arnold, et al. (2003) memodifikasi model ini dari Martin Bell (Knowledge Resources, Innovation Capabilities and
Sustained Competitiveness in Thailand: Transforming the Policy Process, report to the National Science and
Technology Development Agency, Bangkok, Brighton: SPRU, 2002).

You might also like