Professional Documents
Culture Documents
1. PENDAHULUAN
A. Kecenderungan Globalisasi
Kecenderungan global membawa kepada perubahan pada tata hubungan internasional. Bagi
konteks sistem inovasi misalnya, hal ini berkaitan dengan semakin pentingnya aspek teknis yang
mengemuka dalam perdagangan, seperti standarisasi dan HKI yang semakin menentukan. Walaupun
instrumen konvensional seperti tarif perdagangan tetap diperlukan oleh negara seperti Indonesia,
namun tidak bisa dipungkiri bahwa faktor yang terkait dengan pengetahuan/inovasi semakin
menentukan daya saing dan posisi tawar dalam perdagangan. Ini tentu menjadi tantangan yang tak
ringan bagi daerah.
Di sisi lain, kecenderungan global juga berpengaruh atas semakin berkembangnya peluang
bagi daerah untuk mengakses dan memanfaatkan sumber daya dan kapabilitas internasional.
Peluang bagi investasi, hubungan perdagangan, dan kerjasama internasional untuk meningkatkan
kapasitas inovatif daerah sesuai kebutuhannya masing-masing kini semakin terbuka. Investasi asing
di daerah akan terbatas dampaknya jika pola seperti di masa lalu tetap diterapkan. Daerah perlu
mengembangkan upaya-upaya agar investasi asing tersebut sesuai dengan kebutuhan daerah,
memiliki keterkaitan erat dengan bisnis/ekonomi lokal dan menjadi instrumen alih dan difusi
pengetahuan/teknologi bagi daerah.
Seperti diungkapkan oleh Archibugi dan Michie (1999), globalisasi teknologi mencakup tiga
kategori berbeda, yaitu eksploitasi internasional dari teknologi, kolaborasi teknologi dan pembangkitan
(generation) teknologi.
Investasi dari luar (inward investment) perlu dikembangkan lebih dari “sekedar” datangnya uang
dari luar tetapi menjadi sumber bagi perbaikan (upgrading) kapabilitas bisnis yang ada (terutama
UKM) dan bahkan mempengaruhi berkembangnya perusahaan pemula/baru yang inovatif di daerah.
119
Untuk lebih detail lihat misalnya Gibbons dan Nowotny (2001); dan Gibbons (2000). Lihat juga misalnya Agassi (1997)
di antara kritik atas buku Gibbons, et al. (1994).
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 247
Moda 1 Moda 2
Konteks akademik (academic context): Konteks aplikasi (context of application):
Persoalan dihimpun dan dipecahkan dalam Persoalan dihimpun dan dipecahkan dalam
konteks terutama oleh kepentingan konteks aplikasi;
akademik; Bersifat transdisciplinarity
Bersifat ”displiner” yang tunggal; (transgressiveness of knowledge), lebih
Adanya homogenitas dalam persepsi; dari sekedar kontribusi satu disiplin;
Kendali kualitas bersifat internal: kendali Bersifat heterogen dalam persepsi;
kualitas dan relevansi ditentukan oleh peers Kendali kualitas lebih ditentukan oleh
(“rekan sejawat”), yaitu dalam displin yang akuntabilitas sosial: para penentu eksternal
bersangkutan; menetapkan kualitas dan relevansi;
Struktur dan pengorganisasiannya bersifat Pengorganisasian lebih bersifat
hirarkis dan cenderung ”tetap”; “sementara” dan berstruktur datar (flat);
Akuntabilitas bersifat internal. Akuntabilitas bersifat eksternal, para
pengguna dan kepentingan lebih
menentukan agenda prioritas.
Sumber : Diadopsi dari Gibbons dan Nowotny (2001) dan Arnold, et al., (2001) berdasarkan
“Michael Gibbons, Camilla Limoges, Helga Nowotny, Schwartzman, S., Scott P. and Trow, M.
(1994). The New Production of Knowledge.” London: Sage, 1994.
Internal-
Aviation, Information
Information &
combustion Communication
Water Power, Steam, Rail, Petro- Communication
Technologies,
Engine,
Textiles, Iron Steel chemicals Technologies,
Biotechnology
Electricity,
& Electronics Biotechnology
Chemicals
Perkiraan durasi
Gambar 7.1
Gelombang Perubahan Ekonomi dan Teknologi Pendorong yang Utama.
Paradigma jaringan juga menuntut penyesuaian dari cara pandang yang terlampau kaku dalam
mengembangkan dan mengelola sumber daya dan kapabilitas pada batasan-batasan administratif
dan struktural. Kemampuan berjaringan para aktor dalam sistem inovasi daerah merupakan elemen
sangat penting. Hal ini juga berarti bahwa proses pembelajaran daerah perlu dikembangkan untuk
meningkatkan kapasitas daerah dalam hal ini.
120
EC (European Commission) (2000a) dan Cowan dan van de Paal (2000) menyarankan menggunakan istilah
knowledge-driven economy ketimbang knowledge-based economy. Karena seluruh ekonomi pada dasarnya berbasis
pengetahuan. Saat kini, semakin ditekankan bahwa kontribusi pengetahuan sangat menentukan dinamika ekonomi.
Catatan: di antara kritik tentang penggunaan istilah KBE ini dibahas oleh Smith (2002).
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 249
penciptaan/perluasan lapangan kerja di semua industri/sektor ekonomi. Sementara itu, the World
Bank Institute (lihat situs web http://www.worldbank.org/) menggunakan istilah ”ekonomi
pengetahuan/EP” (Knowledge Economy), yaitu suatu ekonomi yang membuat penggunaan
pengetahuan secara efektif untuk pembangunan ekonomi dan sosial. Ini mencakup
penghimpunan/akumulasi pengetahuan asing, adaptasi dan menciptakan pengetahuan untuk
kebutuhan-kebutuhan spesifik.
Identifikasi oleh Atkinson, et al. (1999) mengungkapkan beberapa ciri/karakteristik dari Ekonomi
Baru seperti ditunjukkan pada Tabel 7.2.
Lundvall dan Borras (1997) lebih menekankan ”ekonomi baru” sebagai ”ekonomi pembelajaran”
(learning economy). Menurut mereka, dalam ekonomi pembelajaran (learning economy) elemen-
elemen pengetahuan yang paling penting akan tetap bersifat spesifik dan tacit, serta berakar pada
organisasi dan lokasi spesifik. Ini merupakan alasan utama mengapa pola spesialisasi internasional
dalam perdagangan tetap relatif stabil sepanjang waktu dan mengapa kesenjangan teknologi tetap
ada antardaerah dan antarnegara. Perubahan dan pembelajaran merupakan dua sisi dari mata uang
logam yang sama. Perubahan yang makin cepat akan menghadapkan para pelaku dan organisasi
kepada persoalan-persoalan baru yang menuntut keterampilan baru. Proses seleksi pasar atas
perusahaan-perusahaan yang berorientasi perubahan akan mendorong lebih lanjut percepatan
inovasi dan perubahan. Nampaknya tidak ada tanda bahwa proses ini akan melambat dalam waktu
dekat ini. Sebaliknya, deregulasi pasar produk dan masuknya pesaing-pesaing baru ke dalam pasar
dunia akan memberi momentum baru terhadap proses tersebut.
Karena itu, menurut mereka kebijakan inovasi akan sangat penting bagi kinerja ekonomi.
Tujuan utama upaya pemerintah haruslah diarahkan untuk menyumbang kepada kemampuan
pembelajaran perusahaan, lembaga-lembaga pengetahuan dan masyarakat, dan bersamaan dengan
itu juga mengatasi dampak-dampak negatif yang mungkin muncul dari ekonomi pembelajaran dalam
bentuk polarisasi sosial dan daerah. Salah satu hasil dari konteks ekonomi baru ini adalah bahwa
kebijakan inovasi kini semakin penting dibanding di masa lalu. Globalisasi dan khususnya liberalisasi
pasar-pasar keuangan telah membatasi secara dramatis otonomi kebijakan ekonomi umum seperti
kebijakan anggaran dan moneter. Semakin pentingnya inovasi mencerminkan kenyataan bahwa hal
ini merepresentasikan respons utama atas semakin ketatnya persaingan dengan peningkatan
kemampuan pembelajaran perusahaan dan tenaga kerja. Tak ada satu pun perusahaan atau daerah
yang dapat membangun pertumbuhan berkelanjutan tanpa inovasi dan pembelajaran.
Bank Dunia menekankan empat elemen esensial bagi berkembangnya EBP (KBE), utamanya
menyangkut:
Insentif ekonomi dan rejim kelembagaan yang memberikan insentif untuk pemanfaatan
pengetahuan yang ada maupun yang baru secara efisien dan menumbuhkembangkan
kewirausahaan;
SDM yang terdidik, kreatif dan terampil;
Infrastruktur informasi yang dinamis;
Sistem inovasi nasional yang efektif.
Religi dan sosial-budaya: Religi yang dianut dan keragaman kekayaan sosial-budaya yang
telah berkembang turun-temurun, terutama berupa:
Nilai-nilai religi dalam masyarakat dan sosial-budaya yang khas bagi perkembangan
masyarakat di masing-masing daerah maupun menjadi basis dan jembatan sosial-
budaya bagi pola keterkaitan dalam suatu negara kesatuan dan hubungan dengan
negara tetangga maupun hubungan internasional;
Aset intelektual berupa pengetahuan/teknologi masyarakat (indigenous knowledge/
technology);
Peninggalan sejarah di berbagai daerah.
Kesemuanya merupakan ”modal”/basis bagi pengembangan masyarakat memasuki tata
kehidupan baru masyarakat di era sekarang dan membuka peluang sebagai ”pusat/model”
sosial-budaya secara internasional. Keterpaduan pemajuan dan harmonisasi merupakan suatu
tantangan dalam upaya membawa ke kondisi masyarakat yang lebih baik.
Letak geografis: Keluasan, keragaman jarak dan letak dalam dan antara daerah membuka
peluang bagi pengembangan pelayanan yang maju. Namun kesemuanya membutuhkan upaya-
upaya penggalian, baik oleh lembaga/organisasi riset ataupun perusahaan.
Yang tentunya tidak dapat diabaikan adalah bahwa faktor lokal yang semakin menentukan daya
saing bukanlah semata faktor ”alamiah” melainkan faktor-faktor lokal ”yang dikembangkan”
sehingga terspesialisasi dan memiliki keunggulan spesifik lokasional.
Dari diskusi tentang kecenderungan umum yang berkembang ini, intinya adalah bahwa kini
pengetahuan (dan proses pembelajaran) semakin diyakini sebagai faktor penentu (faktor yang
semakin penting) bagi kemajuan ekonomi. Mencermati perkembangan yang terjadi (setidaknya sejauh
ini), penulis lebih memaknakan ekonomi pengetahuan atau ekonomi baru sebagai ekonomi dengan
peningkatan pengetahuan/inovasi, kolaborasi, pembelajaran dan tumpuan pada potensi terbaik lokal
serta kesejalanan dengan perkembangan global sebagai pendorong utama bagi pemajuan ekonomi
yang adaptif secara seimbang. Ekonomi pengetahuan tidak sama dengan ”teknologi tinggi” atau
sekedar ”teknologi informasi dan komunikasi.” Ekonomi pengetahuan berlaku pula bagi aktivitas bisnis
”tradisional.” Apabila pengetahuan (penciptaan/pengembangan, distribusi dan pemanfaatannya)
mampu menjadi penggerak utama dan mendongkrak aktivitas bisnis dan non-bisnis di daerah
sehingga bernilai tambah tinggi, maka ini merupakan ciri (pertanda) bahwa daerah tersebut berada
pada (mulai memasuki) ekonomi pengetahuan.
Sine qua non, dalam kerangka ini, maka elemen penting dari ekonomi pengetahuan tersebut
secara ringkas terutama sebagai berikut:
1. “Pengetahuan” merupakan satu di antara sumber daya terpenting dalam pembangunan. Lihat
misalnya Gera dan Weir (2001); Cortright (2001).
2. “Kemampuan inovasi” semakin menentukan keberhasilan bisnis/ekonomi. Pengetahuan
beserta kemampuan memanfaatkannya menjadi kunci bagi inovasi. Pengetahuan dan inovasi
tentu tak terjadi serta-merta. Kemampuan pembelajaran (learning) menjadi kunci bagi hal ini.
Pentingnya pembelajaran ini menjadi tekanan bagi beberapa pakar sistem inovasi seperti
Lundvall dan Borras (1997); Cooke (beberapa terbitan); Dodgson dan Bessant (1996); Wolfe
(2000, terutama tentang modal sosial), dan lainnya;
3. ”Kompetensi” merupakan basis untuk fokus inovasi/aktivitas produktif yang kompetitif. Lihat
antara lain Barney (1995, 1991); Porter (beberapa terbitan); Smith (2000); Cooke (beberapa
terbitan); Maskell dan Malmberg (1995); Lundvall, et al. (2001).
4. ”Jaringan/keterkaitan rantai nilai” menjadi ”pola” aktivitas ekonomi terbaik. Lihat antara lain
publikasi OECD (beberapa terbitan); Roelandt dan den Hertog (eds.) (1999); Stern, et al.,
(2000); dan Porter (beberapa terbitan);
252 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
5. ”Faktor lokalitas” semakin menentukan keunggulan dalam persaingan global, atau dengan
kata lain keunggulan dalam tata persaingan global semakin ditentukan oleh kemampuan
bersaing dengan bertumpu pada potensi terbaik lokal. Untuk menyebut beberapa kajian, lihat
misalnya Anderssen, et al., (2004); Studi Porter (beragam terbitan); Bergman dan Feser (1999);
dan Saxenian (1994). Bagaimanapun, wilayah dan kedekatan merupakan dimensi penting
untuk mengawali dan mengembangkan terutama pengetahuan tacit serta kemampuan untuk
memanfaatkannya. Selain itu, modal sosial yang terbentuk dan kultur yang mendukung
kreativitas, inovasi dan kewirausahaan serta kekhususan kelembagaan yang kesemuanya
biasanya bersifat lokal merupakan faktor yang sangat penting bagi perkembangan inovasi, daya
saing dan kohesi sosial.
Walaupun bukan satu-satunya sumber/faktor penting, aktivitas litbang sangat penting bagi
pengembangan sistem inovasi dan pemajuan ekonomi daerah. Ini bukan sekedar ranah dari
komunitas litbang dan perguruan tinggi ataupun ”pemerintah pusat.” Untuk dapat memperoleh
kemanfaatan yang tinggi dari upaya litbang, daerah perlu berfokus pada bidang litbang yang paling
urgen bagi penggalian, pengembangan dan pemanfaatan potensi terbaik setempat, termasuk
mendukung aktivitas ekonomi yang telah berkembang.
Aktivitas Litbang
Keluaran yang
Keluaran
(Output)
Peningkatan
mempengaruhi
Hasil Litbang pengetahuan
aktivitas masa
dan keahlian
depan
Manfaat
Manfaat langsung –
Manfaat langsung – kompetensi – Manfaat sistem
Manfaat
karena penggunaan
karena penggunaan lain karena penggunaan
hasil litbang bagi tujuan
dari hasil litbang
inovasi – karena sistem
komersial dan kebijakan pengetahuan dan
inovasi yang lebih kuat
(penggunaan tidak keahlian bagi
pemerintah dan/atau lebih efisien
diketahui) pemberian advis dan
(penggunaan diketahui)
pemecahan masalah
• Peningkatan aktivitas
• Pengembangan
Contoh Manfaat
Sumber : Williams dan Rank (1998 ), diadopsi dari Advisory Council on Science and Technology
(http://acst-ccst.gc.ca/intel/report-web2/).
Gambar 7.2
Manfaat Ekonomi dari Upaya Litbang.
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 253
Dalam kaitan ini, tantangan yang dihadapi tidak saja perlu diletakkan dalam kerangka nasional
melainkan juga perspektif daerah. Sebagaimana semangat utama buku ini, tekanan diskusi diletakkan
pada dimensi daerah. Bagi Indonesia (terutama dari perspektif daerah dalam konteks nasional), kerja
yang lebih keras, cerdas dan sungguh-sungguh perlu semakin diarahkan untuk mendukung
pengembangan/penguatan:
Sistem inovasi yang efektif (baik pada tataran nasional dan daerah maupun sistem
inovasi sektoral) yang paling sesuai bagi potensi terbaik yang dimiliki dan pengembangan
relung bidang yang paling berprospek memiliki keunggulan daya saing yang khas;
SDM yang terdidik, kreatif dan terampil serta kultur adaptif dengan perkembangan jaman
dan sesuai dengan nilai-nilai religi dan sosial setempat yang positif;
Infrastruktur dinamis yang mendukung perbaikan pembelajaran, dan pengembangan
serta pemanfaatan pengetahuan yang ada maupun yang baru;
Iklim kondusif beserta kerangka kebijakan dan penadbiran (governance) yang
mendukung bagi perkembangan bisnis, kewirausahaan, dan pemajuan sistem inovasi;
Kesiapan dan penyelarasan terhadap perkembangan global.
254 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Walaupun setiap daerah pada dasarnya secara politis dan ekonomi merupakan bagian integral
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), namun keragaman multidimensional daerah
merupakan fakta yang tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, betapa penting daerah memiliki
konsensus strategi yang jelas antara lain bagaimana akan memposisikannya dalam peta/lanskap
perkembangan perekonomian global (nasional dan internasional), yang paling sesuai dengan potensi
terbaiknya dan tentunya tidak selalu harus sama dengan daerah lainnya.
Buku ini tentunya tidak dimaksudkan untuk membahas hal ini secara khusus, namun perlu
disampaikan bahwa banyak hal yang perlu dipertimbangkan dalam menggali beragam peluang,
termasuk misalnya bagaimana ”budaya” daerah dikembangkan sebagai akar bagi pengembangan
kompetensi daerah ke depan.
Karena inovasi pada dasarnya merupakan suatu proses sosial yang sifatnya lekat dengan
tempat (a place-based social process), maka para pemimpin di daerah dapat mendorong interaksi dan
mengarahkan bentuk lembaga-lembaga daerah (setempat) yang mempengaruhi proses inovasi.
Beberapa implikasi yang patut diperhatikan dalam proses kebijakan antara lain adalah seperti berikut:
Faktor-faktor sosial dan pengembangan institusional merupakan hal yang sangat penting.
Keterkaitan antara elemen-elemen sistem inovasi sangat menentukan kinerja sistem:
Infrastruktur riset dan klaster-klaster semakin perlu diperkuat;
Inovasi bukanlah semata fenomenon suppy-push.
Pentingnya sisi demand dalam sistem inovasi:
Kapasitas absorptif, baik pada tingkat perusahaan maupun daerah;
Pengetahuan bukanlah “barang yang dapat diperoleh secara cuma-cuma,”
melainkan harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh oleh daerah.
Kebijakan-kebijakan nasional akan berdampak pada tingkat lokal. Karena itu, interaksi
antara elemen pada skala spasial yang berbeda menjadi sangat penting.
Kecenderungan meningkatnya peran jaringan dan klaster:
Talenta sangat penting bagi kemajuan dan faktor daya tarik daerah, baik bagi
perkembangan “aset” intelektual, proses maupun kinerja keluaran inovasi, yang
tentunya sangat kunci bagi upaya bersaing dalam kreativitas;
Semakin perlunya kombinasi yang saling memperkuat antara sumber daya
pendidikan dan faktor-faktor kualitas hidup di daerah.
Upaya mendorong inovasi memerlukan bauran kebijakan yang tepat. Ini bukan saja
penting bagi efektivitas, tetapi juga kememadaian cakupan (adequacy of scope)
kebijakan. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dan upaya khusus daerah
antara lain:
Dukungan untuk meningkatkan/meng-upgrade kapasitas inovatif perusahaan
setempat;
Infrastruktur untuk mempercepat difusi inovasi/teknologi/praktik baik di daerah;
Dukungan perkembangan UKM melalui jaringan dan interaksi di daerah maupun
antara daerah dengan pihak luar;
Mengembangkan dan mempertahankan talenta yang dibutuhkan untuk menggali,
mengembangkan dan memanfaatkan potensi terbaik daerah;
Menstimulasi kedua sisi, baik supply maupun demand bagi pengetahuan/inovasi;
Mengembangkan sistem keuangan dan pendanaan yang mendukung inovasi di
daerah.
Peran penting dari perencanaan strategis daerah dan regional foresight/roadmapping.
Koordinasi kelembagaan (termasuk di lingkungan pemerintahan) di tingkat daerah/lokal
perlu terus diperbaiki.
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 255
Wong dan Brahmakulam (2002) mengungkapkan bahwa pada umumnya negara berkembang
menghadapi tantangan dalam membangun kapasitas iptek dan inovasi sebagai berikut:
Keterbatasan kapasitas iptek (kelembagaan dan SDM);
Keterbatasan sumber daya keuangan;
Sektor swasta yang tidak kompetitif di negara berkembang;
Kelemahan dalam kemauan politik (political will), kebijakan yang stabil, dan penegakan hukum
(law enforcement);
Kebutuhan jangka pendek yang selalu mendominasi investasi jangka panjang dalam iptek.
Ini merupakan tantangan yang sebenarnya juga dihadapi oleh Indonesia (secara nasional
maupun pada tataran daerah secara umum).
Merangkum diskusi yang telah disampaikan pada bagian-bagian sebelumnya, beberapa isu
yang menurut hemat penulis perlu mendapat perhatian bagi pemecahannya terutama adalah sebagai
berikut:
1. Rendahnya input inovasi. Ini ditunjukkan oleh:
a. Ketidakmemadaian pembiayaan iptek, termasuk rendahnya dana litbang. Pengeluaran
sebesar 0,05% dana litbang terhadap PDB merupakan rasio yang sangat rendah (bukan
saja dalam perbandingan internasional, tetapi juga perbandingan dengan negara-negara
anggota ASEAN tertentu seperti Singapura, Malaysia dan Thailand) dan merupakan
salah satu kendala bagi pencapaian masa kritis aktivitas pengetahuan/inovasi (dan
termasuk litbang) yang kompetitif dengan negara lain;121 Gambaran ini semakin
memprihatinkan jika melihat proporsi alokasi pendanaan iptek daerah pada umumnya
(khususnya yang bersumber dari APBD).
b. Kurang berkembangnya sistem pendanaan inovasi. Pembiayaan aktivitas inovasi
(terutama litbang) yang rendah yang sebagian besar masih didukung oleh pengeluaran
pemerintah “Pusat” belum mendorong perkembangan sumber pembiayaan lain terutama
pembiayaan berupa kapital berisiko (risk capital) bagi komersialisasi inovasi/teknologi
(hasil litbang) dan perkembangan perusahaan pemula (baru) yang inovatif.
c. Terbatasnya SDM bagi pemajuan inovasi dan difusi. Jumlah, kualitas dan sebaran
tenaga SDM yang terspesialisasi masih sangat terbatas. Ketidakmemadaian SDM ini
merupakan di antara persoalan serius yang dihadapi oleh setiap daerah umumnya di
Indonesia. Tenaga teknis terampil, pakar/ahli terspesialisasi sesuai dengan kebutuhan
daerah serta pewirausaha-pewirausaha inovatif adalah di antara kelompok yang sangat
kurang.
2. Kegiatan litbang yang sejauh ini masih didominasi oleh lembaga litbang pemerintah dan
perguruan tinggi, keluarannya masih belum memuaskan. Ini diindikasikan antara lain oleh:
a. Masih rendahnya keluaran HKI nasional dan publikasi ilmiah.
121
Proporsi pendanaan litbang Indonesia ini tentu masih demikian jauh dibanding dengan besaran yang direkomendasikan
UNESCO sebesar 2%. Menindaklanjuti the Lisbon Strategy, Uni Eropa (dikenal dengan European Council in Barcelona)
mentargetkan proporsi pengeluaran litbang terhadap PDB minimum sebesar 3% untuk setiap negara anggotanya pada
tahun 2010.
256 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
b. Kualitas keluaran yang beragam dan seringkali tidak terinformasikan dengan baik.
Termasuk dalam hal ini adalah belum berkembangnya informasi tentang sejauh mana
tingkat kesiapan teknologi/TKT (technology readiness level/TRL) yang dihasilkan/
dikembangkan oleh lembaga litbang dan/atau perguruan tinggi untuk diadopsi oleh
pengguna (calon pengguna).
c. Hasil litbang yang diadopsi oleh industri relatif masih terbatas.
3. Swasta belum menjadi pelaku inovasi yang dominan. Beberapa isu penting terkait antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Usaha kecil dan menengah (UKM), yang merupakan pelaku bisnis terbesar dalam
ekonomi nasional dan daerah pada umumnya belum mempunyai kemampuan inovasi
(jika pun ada, jumlah pelaku dan intensitasnya masih sangat terbatas) dan menghadapi
kendala untuk dapat melaksanakan sendiri kegiatan litbang.
b. Sementara itu, usaha skala besar (UB) Indonesia umumnya bukan industrialis, sumber
teknologi umumnya dari luar (impor), dan bukan saja belum menjadi sumber inovasi yang
signifikan, tetapi juga belum menjadi pengguna utama hasil-hasil litbang (mitra utama)
lembaga litbang atau perguruan tinggi nasional.
c. Investasi asing (FDI) walaupun tentu sangat penting bagi perkembangan perekonomian
(terutama penyediaan kesempatan kerja), namun sebenarnya belum menjadi sumber alih
dan difusi teknologi yang efektif, terutama bagi perkembangan aktivitas bisnis setempat/
sekitar (keterkaitan dengan ekonomi lokal rendah). Bentuk alih pengetahuan/teknologi
lebih berupa embodied knowledge/technology, dan belum ada bukti signifikan terjadi
dalam bentuk disembodied knowledge/technology. Walaupun beberapa telah menjalin
keterkaitan bisnis dengan perusahaan setempat, sebagian perusahaan demikian
(terutama yang berada di kawasan-kawasan industri) umumnya masih seperti enclave
industries yang ”terisolasi” bagi (dalam) perekonomian daerah.
4. Persoalan umum di sisi penyediaan teknologi. Di luar investasi asing, perusahaan pemasok dan
pengguna (terutama bagi UKM), atau bahkan para pesaing bisnis, maka penyediaan teknologi
biasanya berasal dari lembaga litbang dan perguruan tinggi. Namun sejauh ini biasanya pihak
penyedia ini menghadapi berbagai persoalan, yang umumnya adalah sebagai berikut:
a. Kompetensi yang masih relatif rendah. Terbatasnya sumber daya (terutama SDM dan
dana) dan kurang terfokusnya pengembangan bidang yang ditangani serta kendala masa
kritis di bidang yang ditangani menyulitkan terbangunnya kompetensi khas dan kompetitif
dari lembaga litbang dan perguruan tinggi.
b. Orientasi ke dalam (inward) yang terlampau menonjol dibanding terhadap kemanfaatan
bagi pengguna atau calon penggunanya (moda 1 dalam model Gibbons, et al.) menjadi
penghambat terbangunnya keterkaitan dengan komunitas pengguna dan bahkan untuk
terbangunnya jaringan knowledge pool yang komplementatif dan sinergis.
c. Knowledge pool yang berada di daerah, pada umumnya belum menjadi “penggerak”
signifikan bagi perkembangan bisnis/perekonomian setempat (walaupun beberapa
keterkaitan telah ada).122 Walaupun beberapa daerah telah mengembangkan ”Badan
Litbang Daerah (Balitbangda),” namun selain organisasi ini relatif masih baru, juga pada
umumnya memiliki SDM dengan kualifikasi peneliti dan keahlian terspesialisasi yang
relatif masih terbatas.
122
Catatan: dalam berbagai kesempatan, penulis memperoleh “keluhan” terutama dari kalangan UKM dan pembuat
kebijakan atas kurangnya perhatian dan/atau keterbatasan kemampuan perguruan tinggi setempat. Pembuat kebijakan
di daerah sering juga mengeluhkan masih “terlampau teoritisnya” hasil-hasil penelitian perguruan tinggi. Sebaliknya,
pihak perguruan tinggi setempat sering mengungkapkan pula “kekurangseriusan” para pembuat kebijakan di daerah
dan “terbatasnya kemampuan” pelaku UKM setempat pada umumnya. “Kesenjangan” klasik demikian tentu perlu
mendapat perhatian bagi pemecahannya.
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 257
5. Isu umum di sisi “pengguna”. Pengguna dalam sistem inovasi terutama adalah pihak swasta
(badan usaha) sebagai pelaku bisnis ataupun pemerintah baik sebagai pembuat kebijakan
ataupun pengguna jasa tertentu sesuai tugas/fungsi pemerintahannya. Detail persoalan
membutuhkan elaborasi untuk masing-masing pengguna secara kontekstual dan tentunya
bukan maksud buku ini mencakup hal demikian. Namun persoalan utama yang umumnya
dihadapi dapat disampaikan sebagai berikut:
a. “Keperdulian” (awareness) yang masih rendah. Ketertinggalan pelaku usaha (terutama
UKM), misalnya dalam memenuhi ketentuan perundangan tertentu, bidang teknologi,
manajemen atau bidang lain, sering terjadi karena keterbatasan ”kesadaran/pengetahuan
atau pemahaman” atas isu tertentu atau tuntutan penyikapan atas perkembangan
perubahan tertentu yang semestinya dilakukannya. Beberapa kasus pelanggaran HKI
dan keterbatasan pemanfaatan hasil litbang oleh UKM di beberapa daerah adalah di
antara contoh akibat hal ini. Serupa dengan hal tersebut, terbatasnya peran pembuat
kebijakan untuk memanfaatkan hasil litbang atau mengembangkan instrumen kebijakan
(program) yang sesuai, menindaklanjuti hasil litbang atau kajian kebijakan misalnya
sering terkendala hal ini. Perubahan/perkembangan yang terjadi, termasuk misalnya
urgensi pengembangan sistem inovasi yang terintegrasi dengan strategi pembangunan
daerah (dan bukan semata tugas “Pemerintah Pusat” atau KRT semata), menuntut
semua pihak menyadari dan meningkatkan pemahamannya akan hal ini.
b. Keterbatasan kemampuan absorpsi pelaku bisnis, terutama UKM. Sebagian besar pelaku
bisnis adalah UKM, yang sejauh ini harus diakui kemampuan absorpsinya terhadap hal-
hal yang baru baginya (misalnya teknologi atau praktik-praktik baik) masih relatif rendah.
Perbaikan-perbaikan dalam praktik bisnis pada umumnya membutuhkan kemampuan
menyerap dan memanfaatkan hal baru secara lebih baik dari sebelumnya. Aliran
pengetahuan, baik yang berupa tacit (tacit knowledge) ataupun yang terkodifikasi
(codified knowledge) membutuhkan kemampuan absorpsi yang sesuai pada si
penggunanya (selain elemen-elemen lain). Pengabaian pada perbaikan (upgrading)
kemampuan pengguna sering menjadi kendala atau faktor yang menentukan kegagalan
alih pengetahuan/teknologi dari lembaga litbang/perguruan tinggi kepada UKM.
258 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
c. Pelaku bisnis berskala besar umumnya belum berorientasi inovasi. Pernyataan ini
mungkin bernada ”kontroversial.” Tetapi sebenarnya ini juga bukan hal yang baru dan
telah cukup banyak diskusi menyoroti hal ini. Orientasi jangka pendek perusahaan yang
terlampau mendominasi strategi bisnis (yang juga umumnya terjadi di berbagai negara)
menyulitkan terbangunnya kemampuan inovatif perusahaan yang bersangkutan dan
mengembangkan kerjasama dengan lembaga litbang atau perguruan tinggi. Sama
dengan isu-isu lainnya, ini memang tidak berdiri sendiri. Beberapa hal mungkin patut
diberi catatan:
Kesenjangan ”orientasi dan kultur kerja” antara lembaga litbang/perguruan tinggi
dengan pelaku bisnis misalnya, sering dinilai sebagai faktor penghambat atau
mempengaruhi potensi kolaborasi antarpihak. Persepsi umum terhadap lembaga
litbang dan/atau perguruan tinggi nampaknya belum sebagai bagian penting bagi
perbaikan nilai tambah aktivitas bisnis;
”Keengganan” swasta berinvestasi dalam aktivitas inovasi (litbang) juga terkait
dengan tidak/belum adanya insentif yang efektif dibanding dengan di negara lain.
Aktivitas yang berpotensi memberikan imbalan tinggi tetapi juga berisiko demikian
lebih ”diserahkan” kepada mekanisme pasar.
Karenanya, ketika mekanisme pasar yang berkembang di Indonesia tidak memberikan
sinyal insentif yang efektif (artinya pelaku bisnis harus menanggung sendiri risiko
tersebut, walaupun berpotensi memberikan manfaat sosial yang besar), maka tentu saja
yang terjadi adalah ”kegagalan pasar” yang tidak terpecahkan. Ini menjadi isu umum,
berbeda dengan negara yang relatif maju, mengapa sejauh ini aktivitas ”inovasi”
(termasuk litbang) di swasta di Indonesia masih sangat underinvest.
6. Lemahnya keterkaitan antara penyediaan potensi inovasi dengan industri. Aliran pengetahuan
atau proses inovasi yang masih terbatas tidak saja karena kelemahan-kelemahan seperti
disampaikan, tetapi juga dihadapi berkaitan dengan keterkaitan dan/atau interaksi antarpihak.
Ini terutama berupa:
a. Belum berkembangnya antarmuka (interface) yang efektif antara penyedia dan pengguna
pengetahuan/inovasi atau praktik baik. Kemitraan/aliansi triple helix belum banyak
berkembang. Demikian juga jasa intermediasi inovasi yang masih lemah. Asosiasi bisnis,
profesi dan/atau intermediaries lainnya belum berperan signifikan dalam aktivitas terkait
dengan inovasi atau komersialisasi hasil litbang.
b. Sistem litbang dan industri (swasta), BUMN, BUMNIS, maupun militer belum saling
memperkuat. Industri yang semula diharapkan menjadi wahana alih teknologi (BUMNIS)
bahkan dapat dikatakan melemah sejak krisis ekonomi 1997.
c. Keragaman lembaga dalam aktivitas inovasi masih cenderung tersegmentasi/
terfragmentasi dan kerjasama/kolaborasi antarlembaga belum berkembang baik.
7. Kelemahan yang berkaitan dengan kondisi umum dan kerangka kebijakan inovasi:
a. Infrastruktur inovasi, seperti misalnya lembaga litbang, perguruan tinggi, dan lembaga
pendukung lainnya yang terspesialisasi relatif belum berkembang di seluruh daerah.
b. Kerangka regulasi penting yang masih lemah. Ini berupa regulasi yang menghambat,
yang masih sering dirasakan oleh para aktor dalam sistem inovasi (misalnya perijinan
bisnis, dan perundangan PNBP), maupun belum adanya instrumen kebijakan yang dinilai
diperlukan (misalnya insentif perpajakan bagi aktivitas inovasi oleh swasta).
c. Belum koherennya kebijakan inovasi. Ini merupakan isu kompleks terkait dengan
beragam isu lain seperti disebutkan sebelumnya dan juga beberapa hal berikut:
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 259
Merangkum isu seperti yang telah disampaikan pada bagian sebelumnya (termasuk bab-bab
sebelumnya), maka beberapa isu/tantangan utama kebijakan inovasi yang dipandang perlu untuk
dipecahkan dapat dikelompokkan seperti berikut.
5. Kelemahan fokus, rantai nilai, kompetensi dan sumber pembaruan ekonomi dan sosial.
Ini berupa kelemahan dalam bisnis maupun non bisnis yang saling terkait, yang sangat penting
bagi dinamika ekonomi dan sebagai landasan bagi pembentukan daya saing yang khas, yang
juga berkaitan dengan dan/atau disebabkan oleh;
Keragaman aktivitas bisnis yang belum mengarah pada, dan belum berkembangnya
kompetensi daerah yang penting bagi, pembentukan potensi keunggulan daya saing
yang lebih terfokus;
Struktur dan keterkaitan dalam bisnis beserta aktivitas non-bisnis pendukungnya yang
lemah;
Masih rendahnya kepemimpinan dan kepeloporan di daerah dalam pemajuan inovasi dan
difusinya;
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 261
6. Tantangan global.
Seperti telah didiskusikan, berbagai kelemahan yang dimiliki pada akhirnya mempengaruhi
tingkat kesiapan Indonesia (pada tataran nasional maupun daerah) berperan di arena global
beserta beragam kecenderungan perubahan yang berkembang untuk dapat meminimalisasi
dampak negatifnya dan memaksimumkan kemanfaatan bagi masyarakat.
4. PERAN PEMERINTAH
Diskusi pada bab-bab sebelumnya telah menyinggung tentang peran pemerintah dalam
mendorong pengembangan sistem inovasi. Di sini penulis ingin memberikan tekanan pada beberapa
hal agar pemerintah daerah semakin dapat menjalankan perannya dengan tepat dalam pemajuan
sistem inovasi. Pemerintah pada beragam tataran (nasional/pusat dan daerah), walaupun sama-sama
memiliki tanggung jawab atas pemajuan sistem inovasi, namun masing-masing tentu perlu melakukan
peran-peran tertentu sesuai dengan ranah kewenangan, jangkauan dan ketentuan tata pemerintahan
yang berlaku. Tetapi beberapa hal penting mendasar perlu memperoleh perhatian oleh seluruh
pemerintahan sebagai penentu/pembuat kebijakan maupun dalam melaksanakan tugas/fungsi
pelayanan publiknya. Hal ini terutama adalah menyangkut isu berikut.
1. Semakin perlunya perhatian pada pengetahuan dan inovasi dan pemahaman atas sistem
inovasi.
Daya saing menjadi landasan yang sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan
masyarakat yang semakin tinggi dan semakin adil.
Pengetahuan/inovasi senantiasa menjadi faktor penting bagi pembangunan. Namun kini
perannya semakin menentukan bagi perkembangan ekonomi dan sosial. Oleh karena itu,
semua pihak perlu semakin memberi perhatian dalam hal ini mengingat perkembangan
kontekstual di era percepatan penciptaan/pengembangan dan difusi pengetahuan.
Pemahaman atas inovasi bagi peningkatan daya saing, berkembang dalam tatanan yang
berubah dinamis, tidak sekedar karena dorongan teknologi atau tarikan permintaan
secara sekuensial-linier, melainkan interaksi dinamis keduanya. Membangun daya saing
memerlukan pendekatan bersistem, dan keterpaduan serta keserentakan gerak langkah
semua pihak dalam sistem. Perubahan yang terjadi antara lain juga menyangkut
bagaimana pengetahuan dihasilkan dan digunakan menunjukkan semakin perlunya
perhatian terhadap penataan penadbiran beragam pengetahuan/teknologi atau inovasi,
penyedia dan pengguna, baik yang bersifat dasar maupun terapan.
Tuntutan dunia usaha dan masyarakat secara umum agar pengetahuan/inovasi
memberikan kontribusi nyata dalam pemecahan persoalan nyata yang dihadapi sangat
penting untuk direspon dan menjadi bagian integral dalam pengembangan pola sistem
pengetahuan/inovasi. Telah menjadi fenomena kecenderungan umum bahwa
masyarakat semakin menuntut relevansi pengetahuan/teknologi atau inovasi terhadap
262 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
3. Pentingnya strategi inovasi. Pada tataran nasional maupun daerah, ”konsensus” para
pemangku kepentingan atas kejelasan arah, strategi (termasuk prioritas) dan langkah-langkah
utama kebijakan pembangunan sistem inovasi perlu dirumuskan sebagai pedoman dalam
membentuk keterpaduan dan keserentakan langkah para pihak serta melaksanakan peran
masing-masing. Ini juga terkait dengan dan sebagai implikasi dari perundangan yang ada
seperti UU No. 18 tahun 2002 (Sisnas P3Iptek), UU No. 25 tahun 2005 (SPPN), dan UU No. 32
tahun 2004 (Pemerintahan Daerah).
Pada tataran nasional, hal ini bukan hal baru walaupun perbaikan-perbaikan perlu terus
dilakukan. Pada tataran daerah, upaya ini relatif baru. Isu pengetahuan/teknologi dan
inovasi sebelumnya merupakan/dianggap ranah utama dari, dan sangat ditentukan oleh
kebijakan nasional. Namun kini semakin disadari bahwa peran daerah yang lebih besar
dan karenanya juga kebijakan daerah dalam pemajuan sistem inovasi sangatlah penting.
Hal ini tentu akan berimplikasi pada pergeseran “aturan main” dan kerangka serta siklus
kebijakan inovasi.
Pergeseran pandangan yang semakin menekankan sifat sistemik inovasi dalam
pembangunan ekonomi dan sosial semakin memerlukan upaya yang lebih baik yang
menuntut perbaikan kebijakan dan politik (di seluruh tataran) serta penadbiran dan
kinerja inovasi.
Transparansi, akuntabilitas dan efisiensi dalam pemanfaatan sumber daya (termasuk
penggunaan dana yang diperoleh dari pembayar pajak) semakin menjadi bagian penting
penadbiran publik yang baik (good public governance) yang tentu juga berlaku bagi
kebijakan inovasi.
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 263
123
Teknologi baru umumnya membutuhkan waktu yang lama untuk menjadi standar baru. Pengalaman di Amerika Serikat
menunjukkan misalnya lamanya waktu yang diperlukan oleh setiap teknologi untuk menjangkau 25% rumah tangga
antara lain sebagai berikut: Mobil = 56 tahun; Listrik = 45 tahun; Telepon = 36 tahun; Microwave = 31 tahun; Televisi =
26 tahun; Internet = 23 tahun; Cellular phone = 14 tahun.
124
Percepatan perkembangan iptek yang tidak disikapi dengan baik akan membuat negara/daerah semakin tertinggal dan
berpotensi mempertajam kesenjangan yang berkembang, baik antarnegara, antardaerah ataupun antarmasyarakat.
264 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Listrik
100 (1873) Telepon
Televisi (1876)
(1926)
90 Radio
(1905)
Mobil
VCR
80 (1886)
Persentase “Kepemilikan”
(1952)
70
Microwave
(Ownership) 60 (1953)
50
PC
40 (1975)
30 Cell Phone
(1983)
20
Internet
(1975)
10
0
1 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110
Lama (dalam Tahun) sejak Invensi
Gambar 7.3
Contoh Ilustatif Tingkat Adopsi Inovasi di Amerika Serikat.
Pemerintah pada dasarnya berperan dalam mengatasi tantangan kekinian berkaitan dengan
struktur administratif dan instrumen-instrumen kebijakan yang disusun sebagai respons terhadap
persoalan masa lampau. Dalam pengembangan sistem inovasi pola responsif demikian dinilai tidak
cukup. Pemerintah juga perlu semakin memperhatikan dinamika perubahan/perkembangan dan
berorientasi pada masa depan. Upaya-upaya antisipatif dipandang semakin penting dalam
menumbuhkembangkan sistem inovasi yang semakin mampu beradaptasi dengan perkembangan.
Peran pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya secara ”konvensional” biasanya
mengintervensi bidang pengetahuan/teknologi untuk mengatasi ”kegagalan pasar” (market failures).
Namun dalam pengembangan sistem inovasi, paradigma demikian dinilai tidak memadai. Dengan
sifat kompleksitas dan dinamika sistem inovasi, pemerintah juga perlu mengatasi kegagalan sistemik
(systemic failures) yang menghalangi berfungsinya sistem inovasi dan yang menghambat aliran
pengetahuan dan teknologi, yang dapat berakibat antara lain pada penurunan efisiensi upaya litbang,
efektivitas komersialisasi/pemanfaatan atau difusi hasil litbang atau praktik-praktik baik. Kegagalan
sistemik demikian dapat muncul dari ketidaksepadanan antara berbagai komponen sistem inovasi,
misalnya berupa insentif yang bertentangan bagi lembaga pasar dan non-pasar, atau karena
kekakuan kelembagaan (akibat terlampau sempitnya spesialisasi), informasi asimetrik dan
kesenjangan komunikasi, serta kelemahan jaringan atau mobilitas personil (lihat diskusi pada bagian-
bagian sebelumnya).
Pemerintah sering dipandang perlu untuk dapat memainkan peran mengintegrasikan dalam
penadbiran pengetahuan/inovasi berdasarkan konteks perekonomian secara luas dengan
mengembangkan kebijakan teknologi dan inovasi sebagai bagian integral dari kebijakan ekonomi
secara keseluruhan. Hal ini membutuhkan kontribusi yang terkoordinasi dari berbagai kebijakan,
antara lain dalam rangka:
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 265
Mengembangkan kerangka dasar yang kondusif bagi inovasi seperti misalnya lingkungan
ekonomi makro yang stabil, perpajakan dan lingkungan regulasi yang mendukung, dan
infrastruktur yang memadai, serta kebijakan pendidikan dan pelatihan yang sesuai.
Menghilangkan hambatan-hambatan tertentu terhadap inovasi dalam sektor bisnis dan
meningkatkan sinergi antara investasi publik dan swasta dalam inovasi.
Mengembangkan instrumen-instrumen ”tematik” tertentu yang dinilai urgen bagi
pemajuan sistem inovasi sesuai dengan konteksnya (dalam memecahkan isu-
isu/tantangan kebijakan yang mendesak), baik pada tataran nasional maupun daerah.
Seperti telah disinggung pada Bab 6, ketentuan tentang fungsi dan peran pemerintah dan
masyarakat yang secara spesifik berkaitan dengan bidang iptek dan telah digariskan oleh
perundangan dapat dilihat dalam UU No. 18 tahun 2002 Bab IV (Fungsi dan Peran Pemerintah, Pasal
18 – 23)) dan Bab V (Peran Serta Masyarakat, Pasal 24 dan 25).
Sesuai dengan semangat utama buku ini, penulis selanjutnya ingin menekankan beberapa
peran khusus pemerintah daerah yang dipandang penting (selain yang telah disampaikan di atas)
dalam pengembangan sistem inovasi daerah. Beberapa peran relevan pemerintah daerah terutama
adalah sebagai berikut:
1. Peran utama pemerintah daerah pada dasarnya adalah menciptakan iklim kondusif bagi
perkembangan inovasi di daerahnya. Untuk itu, pemerintah daerah beserta para pemangku
kepentingan di daerah antara lain perlu:
Menghilangkan/meminimalisasi hambatan-hambatan (terutama hambatan regulasi
daerah) bagi perkembangan inovasi secara umum dan perkembangan bisnis di daerah.
Mengembangkan kerangka regulasi (regulatory framework) yang sesuai dengan konteks
daerahnya masing-masing dan dinilai urgen, antara lain untuk mendorong peningkatan
sinergi antara investasi publik dan swasta dalam inovasi, perkembangan bisnis (baik
yang telah ada, yang baru dan investasi dari luar), dan insentif tertentu bagi pemajuan
sistem inovasi daerah.
Mengembangkan infrastruktur inovasi yang terspesialisasi sesuai dengan kebutuhan
daerah, dan investasi dalam pembelajaran, termasuk pengembangan pendidikan dan
keterampilan di daerah. Bentuk seperti ”taman teknologi, inkubator,” dan/atau lainnya
semakin dinilai penting bagi perkembangan sistem inovasi daerah.
Meningkatkan efektivitas dan efisiensi birokrasi, respons kebijakan yang tepat dan cepat.
Melakukan perbaikan-perbaikan terus menerus dalam penadbiran inovasi di daerahnya
dan koordinasi dengan daerah lain dan tataran nasional, maupun internasional.
Memahami kondisi setempat berkaitan dengan inovasi sebagai basis bagi penetapan
agenda yang tepat. Karena itu, pemerintah daerah bertanggung jawab atas
pengembangan ketersediaan data, analisis, tinjauan berkaitan dengan sistem inovasi di
daerahnya masing-masing.
Mengembangkan pembelajaran atas pengalaman daerah sendiri dan belajar dari pihak
lain. Upaya seperti benchmarking, studi banding, dan pemanfaatan praktik baik perlu
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan daerah, untuk selanjutnya melakukan
penyesuaian dengan konteks daerah masing-masing.
Mengembangkan pola penadbiran inovasi, termasuk kebijakan dan kelembagaannya,
yang dinilai sesuai dengan konteks daerah masing-masing.
Kebijakan inovasi pada dasarnya merupakan proses pembelajaran. Karena itu,
pemerintah daerah perlu mendorong partisipasi para pemangku kepentingan
(stakeholders) kunci sejak awal dan dalam formulasi instrumen kebijakan, termasuk
kemungkinan dalam penentuan indikator kinerja (keberhasilan) yang jelas, dan
pengawasan yang baik.
3. Pemerintah daerah perlu bersikap proaktif dalam pengembangan sistem inovasi daerah dan
mendukung munculnya potensi keunggulan daerah (termasuk misalnya bidang-bidang dan/atau
produk baru). Beberapa langkah yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah:
Mengembangkan kerangka dan instrumen-intrumen kebijakan inovasi yang penting bagi
daerah.
Memprakarsai langkah-langkah pengembangan/penguatan yang dinilai prioritas bagi
daerah. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan misalnya bentuk-bentuk seperti:
Menciptakan/memperkuat keterkaitan (hubungan) dalam sistem inovasi.
Pengembangan/penguatan sistem inovasi dan prakarsa pengembangan klaster
industri ibaratnya adalah mata uang logam bersisi ganda yang satu sama lain akan
saling berkaitan dan memperkuat, atau sebaliknya.
Meningkatkan kapabilitas teknologi dan manajemen pelaku bisnis di daerah. Fokus
utama adalah pada UKM setempat. Beberapa langkah penting adalah
meningkatkan kapabilitas teknologi UKM yang ada, mendorong perkembangan
perusahaan baru (pemula) yang inovatif, dan menumbuhkembangkan/memperkuat
keterkaitan dengan investasi dari luar (perusahaan besar, PMA) dengan UKM
setempat. Upaya mengembangkan talenta (dari daerah sendiri maupun dari luar)
sangat penting bagi pemajuan sistem inovasi daerah.
Inventarisasi, pengembangan dan perlindungan hukum serta pemanfaatan potensi
spesifik lokal seperti pengetahuan/teknologi masyarakat (indigenous knowledge/
technology) dan potensi lokal lainnya.
Pengembangan kapasitas daerah dalam pengelolaan pengetahuan (knowledge
management) yang penting bagi daerah.
Prakarsa kebijakan pengadaan pemerintah bagi inovasi lokal.
Pengembangan jaringan antara penyedia dan pengguna teknologi.
Pengembangan litbang kolaboratif, seperti dalam bentuk kerjasama, atau
konsorsia.
Kontrak litbang untuk mendukung perkembangan UKM setempat.
Program (formal dan informal) selektif dengan lembaga litbang dan perguruan
tinggi.
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 267
Berkaitan dengan peran pemerintah daerah khususnya dalam bidang iptek, lihat misalnya UU
No. 18 tahun 2002, terutama Pasal 20 dan 21.
Dalam pelaksanaan tugas pemerintahan atau penadbiran kebijakan publik (public policy
governance) khususnya, pembagian tugas, tanggung jawab dan kewenangan mutlak dilakukan.
Namun ini selalu mengandung risiko, yang bila tidak dikelola dengan baik justru berpotensi pada tidak
efektifnya peran yang dilaksanakan dan kebijakan yang diterapkan. Pembagian tanggung jawab
sektoral sering membawa kepada situasi di mana para aktor terjebak dengan cara pandang dan cara
kerja yang terlampau “myopic, sempit, terkotak-kotak” dan seolah mengakumulasi dinding penyekat
yang akhirnya terlampau sulit ditembus dalam membangun koordinasi dan kolaborasi sinergis dengan
pihak lain, terutama pembuat kebijakan dengan ranah kewenangan yang berbeda.
Belajar dari pengalaman praktik beberapa negara dan perkembangan yang dilalui sendiri oleh
Indonesia, penadbiran inovasi (innovation governance) di Indonesia (pada tataran nasional maupun
daerah) perlu memperhatikan antara lain beberapa isu yang berkaitan dengan berikut ini:
Penerapan pendekatan yang terpadu dalam mengembangkan kebijakan inovasi;
Pengambilan keputusan dan penetapan prioritas;
Mengarahkan kelembagaan (organisasi dan pengorganisasian) litbang/iptek,
intermediaries dan pendukung aktivitas inovasi lainnya;
Memperbaiki akuntabilitas para aktor;
Koordinasi kebijakan inovasi (nasional - daerah dan lintas-sektor).
Persoalan “fragmentasi” dalam lembaga pemerintah merupakan isu “klasik” yang sebenarnya
juga bukan hanya dihadapi oleh Indonesia. Pola penadbiran inovasi di tingkat nasional sendiri sejauh
ini lebih condong pada penadbiran sesuai dengan sektor kementerian/departemen masing-masing.
Sebelumnya (menurut Keppres No. 47 tahun 2003, yang digantikan dengan Perpres No. 9 tahun
2005), ”kewenangannya” (dan artinya juga koordinasinya) berada pada dan merupakan tanggung
jawab KRT. Tantangan yang dihadapi antara lain adalah bagaimana mengembangkan pola yang
sesuai bagi keterpaduan pemajuan sistem inovasi dan ranah kompetensi masing-masing aktor
(pembuat kebijakan maupun pelaksana aktivitas inovasi), mengatasi hambatan-hambatan untuk
tindakan bersama dan keserentakan, dan fenomena persoalan multilevel, yang berkaitan dengan
aspek politis dan operasional. Bagaimana membentuk kesinkronan antara ”Kebijakan Pembangunan
Industri Nasional” (yang dikembangkan oleh Departemen Perindustrian) dengan ”Kebijakan Strategis
Pembangunan Nasional Iptek” (yang menjadi ranah KRT) merupakan salah satu contoh isu
pengembangan keterpaduan dalam penadbiran inovasi. Dalam tataran daerah, hal serupa ini juga
merupakan salah satu isu yang perlu dipecahkan konteks pragmatisnya.
268 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
Desain kebijakan baru dalam penadbiran inovasi sering dinilai perlu mengingat beberapa
urgensi antara lain:
Paradigma baru dalam menghadapi pengetahuan/inovasi dalam cara pandang sistem;
Paradigma baru dalam intervensi pemerintah (misalnya semakin perlunya pola
kooperatif, perlunya sistem pemantauan dan/atau supervisi yang terintegrasi dalam
proses kebijakan, dan peran pemerintah yang lebih pada proses fasilitasi dan enabling
dalam pemajuan sistem inovasi);
Penadbiran publik (public governance) yang baru, yang lebih semakin menuntut efisiensi,
akuntabilitas, dan kebebasan operasional;
Merespon kompleksitas penadbiran sistemik (systemic governance), terutama berkaitan
dengan beberapa hal seperti:
Keterbatasan informasi menyangkut isu-isu kebijakan yang dihadapi;
Beragam variabel yang perlu dipertimbangkan;
Interaksi, feedback, dan siklus dalam proses kebijakan.
Respons untuk meningkatkan fleksibilitas, responsivitas/ketanggapan dan keserentakan;
Pengorganisasian interaksi, jaringan dan regulasi prosedural.
Koordinasi horisontal juga perlu dikembangkan yang sesuai dengan konteksnya (nasional
maupun daerah). Isu menyangkut desain kebijakan baru, pengembangan infrastruktur legal yang
sesuai, dan pengorganisasian batasan (boundary) antarorganisasi misalnya, merupakan beberapa di
antara yang perlu mendapat perhatian.
Reformasi fragmentasi kelembagaan/institusional merupakan hal yang sangat penting. Hal inti
terutama bertujuan untuk meningkatkan responsivitas/ketanggapan, mengembangkan pola berpikir
strategis untuk menghasilkan inovasi, dan berpikir sistemik dalam pengembangan kebijakan inovasi
yang sesuai. Dalam mengatasi fragmentasi kelembagaan, beberapa cara perlu dikaji/dikembangkan.
Namun pada dasarnya, para pihak perlu mendorong ”keterbukaan” atas inovasi kelembagaan
demikian. Untuk itu, upaya-upaya sebaiknya mempertimbangkan (tidak mengabaikan) antara lain:
langkah penting untuk menanamkan pola berpikir strategis dalam organisasi,
keterbukaan atas kemungkinan kelembagaan baru atau inovasi kelembagaan (selain
penguatan pola kelembagaan yang telah ada), dan
peningkatan kapasitas keserentakan bertindak.
Dalam kaitan ini, cara-cara yang sering dinilai ”klasik” sebenarnya tetap sangat penting,
termasuk misalnya
Mengorganisasikan pertemuan-pertemuan;
Memperkuat “jaringan”;
Menciptakan ruang interaksi produktif;
Mendorong perubahan sikap dan budaya secara terus-menerus.
BAB 7 BEBERAPA ISU PENTING DALAM PENGEMBANGAN SID 269
5. CATATAN PENUTUP
Pengembangan sistem inovasi semakin urgen dalam pembangunan ekonomi. Namun untuk
dapat mengembangkannya, para pihak perlu memahami beragam aspek dan tantangan yang
dihadapi. Penulis ingin menekankan bahwa dalam upaya pengembangan sistem inovasi perlu pula
dipahami beberapa hal berikut:
1. Penyediaan data dan informasi dasar (baseline data/information) merupakan hal sangat
mendasar yang penting dikembangkan pada tingkat nasional maupun daerah, sebagai pijakan
untuk melakukan langkah-langkah selanjutnya yang dinilai penting.
2. ”Belajar” dari pihak lain, termasuk melalui benchmark semakin dipandang penting selain untuk
meningkatkan pengetahuan tentang posisi sendiri dalam lingkungan baru beserta
perkembangannya juga memahami dan memetik pelajaran dari keberhasilan (misalnya praktik
baik/terbaik) maupun kegagalan pihak lain, dengan menyesuaikannya dengan konteks yang
dihadapi.
3. Membangun kapasitas inovasi merupakan proses jangka panjang dan kumulatif.
Pengembangan teknologi atau inovasi sering membutuhkan waktu yang lama dan investasi
sumber daya yang tidak sedikit. Sekalipun teknologi/inovasi dinilai cukup siap untuk
komersialisasi, seringkali dibutuhkan waktu adopsi yang tidak sebentar, terutama bagi inovasi
yang bersifat ”terobosan”. Karenanya, peran pemerintah selalu diperlukan dalam mendorong
pengembangan sistem inovasi.
4. Para penyedia pengetahuan/teknologi berperan penting dalam pemajuan sistem inovasi. Di
antara ”faktor” yang termasuk dinilai sering ”terabaikan” oleh para penyedia teknologi (peneliti
atau enjiner) adalah informasi dan/atau upaya penyiapan teknologi yang ”sesuai” dengan
konteks kebutuhan/permintaannya. Pihak penyedia teknologi sebaiknya mengembangkan
kesiapan teknologi sesuai dengan konteks kebutuhan dan menginformasikannya kepada
(menyediakan informasi bagi) para calon pengguna (adopter).
5. Penadbiran yang baik merupakan suatu keharusan. Sehubungan dengan itu, tidak saja
diperlukan aturan perundangan (hukum, regulasi), standar profesi dan etika yang mendukung,
tetapi juga upaya-upaya para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingannya untuk
senantiasa memperbaiki pola organisasi dan pengorganisasian, koordinasi dan interaksi
produktif satu dengan lainnya, selain perbaikan kompetensi dan peran masing-masing.
6. Pada dasarnya tidak ada suatu formula pasti bagi pengembangan kapasitas inovasi yang
“baku” yang menjamin pertumbuhan ekonomi. Pengembangan sistem inovasi merupakan suatu
proses, yang membutuhkan kepemimpinan, kepeloporan, dan komitmen dalam upaya
perbaikan yang terus-menerus, karena ini merupakan kunci bagi keberhasilan.
7. Kebijakan inovasi di Indonesia (pada tataran nasional dan daerah) perlu berfokus pada “relung”
(niche), lokasi, pasar dan prioritas yang sesuai dengan potensi terbaik nasional (dan daerah
masing-masing), dengan tidak mengabaikan potensi pasar nasional (setempat) yang besar.
8. Membangun kemampuan berinovasi dan kemampuan bersaing di daerah harus dibarengi
dengan perubahan sikap mental ”inferior” untuk senantiasa menghasilkan/memberikan yang
terbaik (contoh perubahan sikap mental demikian misalnya adalah bahwa produksi berkualitas
terbaik bukan sekedar untuk pasar ”ekspor,” tetapi justru untuk para konsumen pasar
setempat), memanfaatkan yang terbaik dan mencintai produksi sendiri.
Sebagaimana telah disampaikan, dengan kondisi yang dihadapi oleh Indonesia (secara
nasional maupun pada tataran daerah), maka pengembangan iptek, litbang dan pemajuan inovasi
perlu menjadi bagian integral dari agenda prioritas nasional dan daerah. Ini juga berarti bahwa
kebijakan iptek, litbang dan kebijakan inovasi perlu menjadi bagian integral dari prioritas kebijakan
270 PENGEMBANGAN SISTEM INOVASI DAERAH: PERSPEKTIF KEBIJAKAN
nasional dan daerah. Selain itu, pengembangan sistem inovasi perlu dikembangkan sesuai dengan
potensi terbaik sendiri dan relevan dengan pengembangan struktur ekonomi dan kelembagaan.
Upaya-upaya yang lebih intensif perlu dilakukan untuk meningkatkan difusi dan proses
pembelajaran, terutama di daerah dan di lingkungan UKM. Pemerintah juga perlu secara sungguh-
sungguh mengembangkan insentif (misalnya insentif perpajakan) yang kompetitif untuk mendorong
peningkatan dan percepatan inovasi oleh pelaku bisnis (swasta).
Mengingat bahwa kemajuan inovasi justru ditentukan oleh pelaku swasta, maka langkah-
langkah pemerintah juga perlu semakin diarahkan untuk mendorong/memperkuat keterkaitan,
komplementasi, dan kolaborasi sinergis antara investasi pemerintah dan swasta dalam aktivitas
inovasi, termasuk aktivitas litbang.