You are on page 1of 33

Model Pengembangan Perangkat 

Pembelajaran
Posted on 16 August 2008 by Andy

Andi Rusdi

Pengembangan perangkat pembelajaran adalah serangkaian proses atau kegiatan


yang dilakukan untuk menghasilkan suatu perangkat pembelajaran berdasarkan
teori pengembangan yang telah ada.

Menurut van den Akker dan Plomp (Hadi, 2001: 4) mendeskripsikan penelitian
pengembangan berdasarkan dua tujuan yaitu (1) pengembangan untuk
mendapatkan prototipe produk, (2) perumusan saran-saran metodologis untuk
pendesainan dan evaluasi prototipe tersebut.

Richey and Nelson (Hadi, 2001: 4) mendefiniskan Penelitian pengembangan


sebagai suatu pengkajian sistematis terhadap pendesainan, pengembangan dan
evaluasi program, proses dan produk pembelajaran yang harus memenuhi kriteria
validitas, praktikalitas dan efektivitas.

Suatu produk atau program dikatakan valid apabila ia merefleksikan jiwa


pengetahuan (state-of-the-art knowledge). Ini yang kita sebut sebagai validitas isi;
sementara itu komponen-komponen produk tersebut harus konsisten satu sama
lain (validitas konstruk). Selanjutnya suatu produk dikatakan praktikal apabila
produk tersebut menganggap bahwa ia dapat digunakan (usable). Kemudian suatu
produk dikatakan efektif apabila ia memberikan hasil sesuai dengan tujuan yang
telah ditetapkan oleh pengembang.

Berikut akan diuraikan model-model pengembangan dari berbagai ahli sebagai


berikut:

a.      Model Pengembangan Perangkat menurut Kemp

Menurut Kemp (dalam, Trianto, 2007: 53) Pengembangan perangkat merupakan


suatu lingkaran yang kontinum. Tiap-tiap langkah pengembangan berhubungan
langsung dengan aktivitas revisi. Pengembangan perangkat ini dimulai dari titik
manapun sesuai di dalam siklus tersebut.

Pengembangan perangkat model Kemp memberi kesempatan kepada para


pengembang untuk dapat memulai dari komponen manapun. Namun karena
kurikulum yang berlaku secara nasional di Indonesia dan berorientasi pada tujuan,
maka seyogyanya proses pengembangan itu dimulai dari tujuan.

Secara umum model pengembangan model Kemp ditunjukkan pada gambar 


berikut:
Gambar 2.

Model pengembangan sistem pembelajaran ini memuat pengembangan perangkat


pembelajaran. Terdapat sepuluh unsur rencana perancangan pembelajaran.
Kesepuluh unsur tersebut adalah:

1. Identifikasi masalah pembelajaran, tujuan dari tahapan ini adalah


mengidentifikasi antara tujuan menurut kurikulum yang berlaku dengan
fakta yang terjadi di lapangan baik yang menyangkut model, pendekatan,
metode, teknik maupun strategi yang digunakan guru.
2. Analisis Siswa, analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkah laku awal
dan karateristik siswa yang meliputi ciri, kemampuan dan pengalaan baik
individu maupun kelompok.
3. Analisis Tugas, analisis ini adalah kumpulan prosedur untuk menentukan
isi suatu pengajaran, analisis konsep, analisis pemrosesan informasi, dan
analisis prosedural yang digunakan untuk memudahkan pemahaman dan
penguasaan tentang tugas-tugas belajar dan tujuan pembelajaran yang
dituangkan dalam bentuk Rencana Program Pembelajaran (RPP) dan
lembar kegiatan siswa (LKS)
4. Merumuskan Indikator,  Analisis ini berfungsi sebagai (a) alat untuk
mendesain kegiatan pembelajaran, (b) kerangka kerja dalam
merencanakan mengevaluasi hasil belajar siswa, dan (c) panduan siswa
dalam belajar.
5. Penyusunan Instrumen Evaluasi,  Bertujuan untuk  menilai hasil belajar,
kriteria  penilaian yang digunakan adalah penilaian acuan patokan, hal ini
dimaksudkan untuk mengukur ketuntasan pencapaian kompetensi dasar
yang telah dirumuskan.
6. Strategi Pembelajaran,  Pada tahap  ini pemilihan strategi belajar mengajar
yang sesuai dengan tujuan. Kegiatan ini meliputi: pemilihan model,
pendekatan, metode, pemilihan format, yang dipandang mampu
memberikan  pengalaman yang berguna untuk mencapai tujuan
pembelajaran.
7. Pemilihan media atau sumber belajar,  Keberhasilan pembelajaran sangat
tergantung pada penggunaan sumber pembelajaran atau media yang
dipilih, jika sumber-sumber pembelajaran dipilih dan disiapkan dengan
hati-hati, maka dapat memenuhi tujuan pembelajaran.
8. Merinci pelayanan penunjang yang diperlukan untuk mengembangkan dan
melaksanakan dan melaksanakan semua kegiatan dan untuk memperoleh
atau membuat bahan.
9. Menyiapkan evaluasi hasil belajar dan hasil program.
10. Melakukan kegiatan revisi perangkat pembelajaran, setiap langkah
rancangan pembelajaran selalu dihubungkan dengan revisi. Kegiatan ini
dimaksudkan untuk mengevaluasi dan memperbaiki rancangan yang
dibuat.

b.    Model Pengembangan Pembelajaran Menurut Dick & Carey

Perancangan pengajaran menurut sistem pendekatan model Dick & Cerey, yang
dikembangkan oleh Walter Dick & Lou Carey (dalam, Trianto, 2007: 61). Model
pengembangan ini ada kemiripan dengan model yang dikembangkan Kemp, tetapi
ditambah dengan komponen melaksanakan analisis pembelajaran, terdapat
beberapa komponen yang akan dilewati di dalam proses pengembangan dan
perencanaan tersebut. Urutan perencanaan dan pengembangan ditunjukkan pada
gambar 4 berikut:
Gambar2. Model Perancangan dan Pengembangan Pengajaran Menurut Dick &
Carey (dalam Trianto, 2007a: 62)

Dari model di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Identifikasi Tujuan (Identity Instruyctional Goals). Tahap awal model ini


adalah menentukan apa yang diinginkan agar siswan dapat melakukannya
ketika mereka telah menyelesaikan program pengajaran. Definisi tujuan
pengajaran mungkin mengacu pada kurikulum tertentu atau mungkin juga
berasal dari daftar tujuan sebagai hasil need assesment.,  atau dari
pengalaman praktek dengan kesulitan belajar siswa di dalam kelas.
2. Melakukan Analisis Instruksional (Conducting a goal Analysis). Setelah
mengidentifikasi tujuan pembelajaran, maka akan ditentukan apa tipe
belajar yang dibutuhkan siswa. Tujuan yang dianalisis untuk
mengidentifikasi keterampilan yang lebih khusus lagi yang harus
dipelajari. Analisis ini akan menghasilkan carta atau diagram tentang
keterampilan-keterampilan/ konsep dan menunjukkan keterkaitan antara
keterampilan konsep tersebut.
3. Mengidentifikasi Tingkah Laku Awal/ Karakteristik Siswa (Identity Entry
Behaviours, Characteristic) Ketika melakukan analisis terhadap
keterampilan-keterampilan yang perlu dilatihkan dan tahapan prosedur
yang perlu dilewati, juga harus dipertimbangkan keterampilan apa yang
telah dimiliki siswa saat mulai mengikuti pengajaran. Yang penting juga
untuk diidentifikasi adalah karakteristik khusus siswa yang mungkin ada
hubungannya dengan rancangan aktivitas-aktivitas pengajaran
4. Merumuskan Tujuan Kinerja (Write Performance Objectives) Berdasarkan
analisis instruksional dan pernyataan tentang tingkah laku awal siswa,
selanjutnya akan dirumuskan pernyataan khusus tentang apa yang harus
dilakukan siswa setelah menyelesaikan pembelajaran.
5. Pengembangan Tes Acuan Patokan (developing criterian-referenced test
items). Pengembangan Tes Acuan Patokan didasarkan pada tujuan yang
telah dirumuskan, pengebangan butir assesmen untuk mengukur
kemampuan siswa seperti yang diperkirakan dalam tujuan
6. Pengembangan strategi Pengajaran (develop instructional strategy).
Informasi dari lima tahap sebelumnya, maka selanjutnya akan
mengidentifikasi yang akan digunakan untuk mencapai tujuan akhir.
Strategi akan meliputi aktivitas preinstruksional, penyampaian informasi,
praktek dan balikan, testing, yang dilakukan lewat aktivitas.
7. Pengembangan atau Memilih Pengajaran (develop and select instructional
materials). Tahap ini akan digunakan strategi pengajaran untuk
menghasilkan pengajaran yang meliputi petunjuk untuk siswa, bahan
pelajaran, tes dan panduan guru.
8. Merancang dan Melaksanakan Evaluasi Formatif (design and conduct
formative evaluation). Evaluasi dilakukan untuk mengumpulkan data yang
akan digunakan untuk mengidentifikasi bagaimana meningkatkan
pengajaran.
9. Menulis Perangkat (design and conduct summative evaluation). Hasil-hasil
pada tahap di atas dijadikan dasar untuk menulis perangkat yang
dibutuhkan. Hasil perangkat selanjutnya divalidasi dan diujicobakan di
kelas/ diimplementasikan di kelas.
10. Revisi Pengajaran (instructional revitions). Tahap ini mengulangi siklus
pengembangan perangkat pengajaran. Data dari evaluasi sumatif yang
telah dilakukan pada tahap sebelumnya diringkas dan dianalisis serta
diinterpretasikan untuk diidentifikasi kesulitan yang dialami oleh siswa
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Begitu pula masukan dari hasil
implementasi dari pakar/validator.

c.    Model Pengembangan 4-D

Model pengembangan 4-D (Four D) merupakan model pengembangan perangkat


pembelajaran. Model ini dikembangkan oleh S. Thagarajan, Dorothy S. Semmel,
dan Melvyn I. Semmel. Model pengembangan 4D terdiri atas 4 tahap utama yaitu:
(1) Define (Pembatasan), (2) Design (Perancangan), (3) Develop (Pengembangan)
dan Disseminate (Penyebaran), atau diadaptasi Model 4-P, yaitu Pendefinisian,
Perancangan, Pengembangan, dan Penyebaran seperti pada gambar 5 berikut:
Gambar 3. Model Pengembangan Perangkat Pembelajaran 4-D Thigarajan
(Trianto, 2007a: 66)

Secara garis besar keempat tahap tersebut sebagai berikut (Trianto, 2007 : 65 –
68).

1. Tahap Pendefinisian (define). Tujuan tahap ini adalah menentapkan dan


mendefinisikan syarat-syarat pembelajaran di awali dengan analisis tujuan
dari batasan materi yang dikembangkan perangkatnya. Tahap ini meliputi
5 langkah pokok, yaitu: (a) Analisis ujung depan, (b) Analisis siswa, (c)
Analisis tugas. (d) Analisis konsep, dan (e) Perumusan tujuan
pembelajaran.
2. Tahap Perencanaan (Design ). Tujuan tahap ini adalah menyiapkan
prototipe perangkat pembelajaran. Tahap ini terdiri dari empat langkah
yaitu, (a) Penyusunan tes acuan patokan, merupakan langkah awal yang
menghubungkan antara tahap define dan tahap design. Tes disusun
berdasarkan hasil perumusan Tujuan Pembelajaran Khusus (Kompetensi
Dasar dalam kurikukum KTSP). Tes ini merupakan suatu alat mengukur
terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa setelah kegiatan belajar
mengajar, (b) Pemilihan media yang sesuai tujuan, untuk menyampaikan
materi pelajaran, (c) Pemilihan format. Di dalam pemilihan format ini
misalnya dapat dilakukan dengan mengkaji format-format perangkat yang
sudah ada dan yang dikembangkan di negara-negara yang lebih maju.
3. Tahap Pengembangan (Develop). Tujuan tahap ini adalah untuk
menghasilkan perangkat pembelajaran yang sudah direvisi berdasarkan
masukan dari pakar. Tahap ini meliputi: (a) validasi perangkat oleh para
pakar diikuti dengan revisi, (b) simulasi yaitu kegiatan
mengoperasionalkan rencana pengajaran, dan (c) uji coba terbatas dengan
siswa yang sesungguhnya. Hasil tahap (b) dan (c) digunakan sebagai dasar
revisi. Langkah berikutnya adalah uji coba lebih lanjut dengan siswa yang
sesuai dengan kelas sesungguhnya.
4. Tahap penyebaran (Disseminate). Pada tahap ini merupakan tahap
penggunaan perangkat yang telah dikembangkan pada skala yang lebih
luas misalnya di kelas lain, di sekolah lain, oleh guru yang lain. Tujuan
lain adalah untuk menguji efektivitas penggunaan perangkat di dalam
KBM.

d.    Model PPSI (Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional)

Model pengembangan PPSI dilakukan untuk rancangan pembelajaran


sebagaimana bagan berikut:
Gambar  8. Model pengembangan PPSI     (Mudhofir dalam Sasongko, 2004:57)
Secara garis besar, model pengembangan PPSI mengikuti pola dan siklus
pengembangan yang mencakup: (1) perumusan tujuan, (2) pengembangan alat
evaluasi, (3) kegiatan belajar, (4) pengembangan program kegiatan, (5)
pelaksanaan pengembangan. Sesuai bagan di atas, perumusan tujuan menjadi
dasar bagi penentuan alat evaluasi pembelajaran dan rumusan kegiatan belajar.
Rumusan kegiatan belajar lebih lanjut menjadi dasar pengembangan program
kegiatan, yang selanjutnya adalah pelaksanaan pengembangan. Hasil pelaksanaan
tentunya dievaluasi, dan selanjutnya hasil evaluasi digunakan untuk merevisi
pengembangan program kegiatan, rumusan kegiatan belajar, dan alat  evaluasi.

Dari ketiga model pengembangan sistem pembelajaran dan satu model


pengembangan perangkat pembelajaran yang telah dibahas, menunjukkan bahwa
keempatnya memiliki beberapa perbedaan, namun juga memiliki persamaan.
Justru dengan adanya perbedaan itu menyebabkan masing-masing  memiliki
kelebihan dan kekurangan.

Persamaan dari keempat model tersebut antara lain bahwa pada dasarnya
ketiganya terdiri atas empat tahap pengembangan, yaitu: (a) pendefinisian,  (b)
perancangan, (c) pengembangan dan (d) penyebaran.
Kelebihan dari model Kemp antara lain: (a) Diagram pengembangannya
berbentuk bulat telur yang tidak memiliki titik awal tertentu, sehingga dapat
memulai perancangan secara bebas, (b) Bentuk bulat telur itu juga menunjukkan
adanya saling ketergantungan di antara unsur-unsur yang terlibat, (c) Dalam setiap
unsur ada kemungkinan untuk dilakukan revisi, sehingga memungkinkan
terjadinya sejumlah perubahan dari segi isi maupun perlakuan terhadap semua
unsur tersebut selama pelaksanaan program.

Keunggulan model Dick dan Carey ini terletak pada analisis tugas yang tersusun
secara terperinci dan tujuan pembelajaran khusus secara hirarkis. Disamping itu
adanya uji coba yang berulang kali menyebabkan hasil yang diperoleh sistem
dapat diandalkan.

Kelemahan model ini adalah  uji coba tidak diuraikan secara jelas kapan harus
dilakukan dan kegiatan revisi baru dilaksanakan setelah diadakan tes formatif.
Sedangkan pada tahap-tahap pengembangan tes hasil belajar, strategi
pembelajaran maupun pada pengembangan dan penilaian bahan pembelajaran
tidak nampak secara jelas ada tidaknya penilaian pakar (validasi)

Kelebihan dari model 4-D dan PPSI antara lain: (a) lebih tepat digunakan sebagai
dasar untuk mengembangkan perangkat pembelajaran bukan untuk
mengembangkan sistem pembelajaran, (b) uraiannya tampak lebih lengkap dan
sistematis, (c) dalam pengembangannya melibatkan penilaian ahli, sehingga
sebelum dilakukan uji coba di lapangan perangkat pembelajaran telah dilakukan
revisi berdasarkan penilaian, saran dan masukan para ahli.

Kekurangan model Kemp bila dibandingkan dengan model 4-D antara lain: (1) 
Kedua  model  itu  merupakan  pengembangan  sistem  pembelajaran, (2) kedua
model itu kurang lengkap dan kurang sistematis, terutama model Kemp dan (3)
kedua model itu tidak melibatkan penilaian ahli, sehingga ada kemungkinan
perangkat pembelajaran yang dilaksanakan terdapat kesalahan.

Namun demikian pada model 4-D ini juga terdapat kekurangan, salah satunya
adalah tidak ada kejelasan mana yang harus didahulukan antara analisis konsep
dan analisis tugas.

Modifikasi dilakukan antara lain dengan cara: (a)  Memperjelas urutan kegiatan
yang semula tidak jelas urutannya,  (b) Mengganti istilah yang memiliki
jangkauan lebih luas dan biasa digunakan oleh guru di lapangan, (c)
Menambahkan kegiatan yang dianggap perlu dalam pengembangan perangkat
pembelajaran dan instrumen penelitian yang akan dilakukan, (d) Mengurangi
tahap atau kegiatan yang dianggap tidak perlu.

Daftar Pustaka:

Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Surabaya:
Pustaka Ilmu
Trianto. 2007. Model Pembelajaean Inovatif Berorientasi Konstrutivistik.
Surabaya: Pustaka Ilmu

Sasongko. Luddy Bambang. 2004. Pengembangan Perangkat Pembelajaran


Kooperatif Tipe STAD Pada Materi Relasi dan Grafik di Kelas 2 SMP. Tesis tidak
diterbitkan. Surabaya: PPs. Unesa

MODEL PENGEMBANGAN
SISTEM INTRUKSIONAL
A. MODEL PENGEMBANGAN SISTEM INTRUKSIONAL

Pengembangan sistem intruksional ialah proses menciptakan situasi dan kondisi


tertentu yang memungkinkan siswa berinteraksi sehingga terjadi perubahan
perilaku pengembangan sistem ini memerlukan pemantauan interaksi siswa.
Pengembangan senantiasa didasarkan pada pengalaman. Pengamatan yang
sesama dan percobaan yang terkendali.

Ada dua proses pengembangan, pertama ialah pendekatan secara empiris yang
menggunakan dasar-dasar teori, bahan pengajaran disusun berdasarkan
pengalaman pengembang. Pendekatan kedua ialah dengan pendekatan model.
Dalam penyusunan rancangan pengajaran ada langkah-langkah secara sistem :
cara mencapainya dipilihkan cara-cara tertentu, kondisi tertentu, dan perubahan
tertentu. Hasil uji coba memberi informasi tertentu yang dapat dijadikan bahan
penilaian perihal tingkat kesulitan suatu program.

Model ialah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan suatu


proses melaksanakan pengembangan sistem pengajaran seperti penentuan
suatu kebutuhan.

Ada beberapa model pengembangan intruksional :

1. Model Bella Banathy


Model ini ada 6 langkah :

1.Merumuskan tujuan

2.Mengembangkan test

3.Menganalisis kegiatan belajar

4.Mendesain sistem intruksioanal

5.Melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil

6.Mengadakan perbaikan

2. Model Kemp

Langkah-langkahnya :

1. Penetuan Tujuan Intruksional Umum (TIU)

2. Menganalisis Karakteristik siswa

3. Menentukan Tujuan Itruksioanal Khusus (TIK)

4. Mnenetukan materi pelajaran yang sesuai dengan TIK yang ditetapkan

5. Mengadakan penjajakan awal

6. Menentukan starategi belajar yang relevan : Efisiensi, keefektifan,


ekonomis, kepraktisan

7. Mengkoordinasikan sarana penunjang yang dibutuhkan : Biaya, fasilitas,


peralatan, waktu dan tenaga.

8. Mengadakan evaluasi

3. Model IDI (Intruksional Development Institute)


Langkah-langkahnya :

1. Pembatasan : Ada 3 hal yang perlu dipertimbangkan : Karakteristik Siswa,


Kondisi, Sumber-sumber yang relevan

2. Pengembangan : Tujuan yang hendak dicapai, TIK merupakan penjabaran


yang lebih rinci dibandingkan dengan TIU. Ini karena TIK : Dapat
memehami secara jelas, Building block dari pengajaran yang diberikan,
sebagai penenda tingkah laku yang harus diperhatikan

3. Penilaian.

4. Model PPSI

Langkah-langkahnya :

1. Perumusan Tujuan, ialah tujuan yang berbentuk tingkah laku atau


kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa setelah proses belajar
mengajar. Disini ada dua tujuan TIU dan TIK.

2. Menyusun alat evaluasi

3. Menentukan kegiatan belajar dan materi

4. Menetapkan program kegiatan

5. melaksanakan program

B. PRINSIP-PRINSIP PENGAJARAN

Konsep Belajar dan Mengajar, belajar mempunyai pengertian menurut psikologis


adalah proses perubahan atau usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku atau penampilan yang baru secara keseluruhan.
Mengajar adalah suatu aktifitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan
sebaik-baiknya dan menghubungkan anak.

Menurut Bloom status abilitas ada 3 :


a. kognitif Domain : Knowledge, Conprehension, Analysis, Synthesis,
Evaluation, application.

b. Affektive Domain : Receiving, Responding, Valving, Organization,


Characteriszation.

c. Psychomotor Domain : Initiatori Level, Pre-routine Level, Rountizet Level.

Tujuan belajar ada 3 : Untuk mendapatkan pengetahuan, Peranan konsep dan


keterampilan, pembentukan sikap.

Jenis-jenis Proses belajar

1.Belajar bagian (part learning, fractioned learning)

2.Belajar dengan wawasan

3.Belajar diskriminatif

4.Belajar global

5.Belajar insedental

6.Belajar instrumental

7.Belajar intensional

8.Belajar laten

9.Belajar Mental

10. Belajar produktif

11. Belajar verbal

Adapun hasil pengajaran itu dikatakan baik, bila proses tersebut dapat
membangkitkan kegiatan belajar yang efektif. Dan juga punya ciri-ciri :
a.Hasil itu bertahan lama dapat digunakan oleh siswa dalam kehidupannya.

b.Hasil itu merupakan pengetahuan asli/otentik.

Belajar pada hakikatnya menyangkut potensi manusia dan kelakuannya,


memerlukan proses dan pentahapan serta kematangan diri pada siswa, belajar
itu proses kontinyu, belajar akan lebih mantap dan efektif bila didorong oleh
motivasi terutama motivasi dari dalam, belajar adalah proses organisasi, adaftasi,
eksplorasi, dan discovery, belajar memerlukan sarana yang cukup, sehingga
siswa dapat belajar dengan tenang, belajar perlu interaksi siswa dengan
lingkungannya. Dalam banyak hal belajar merupakan proses percobaan dan
conditioning atau pembiasaan.

C. Satuan Pelajaran

Satuan pelajaran adalah rencana pelajaran yang meliputi periode pengajaran


yang melebihi satu pelajaran; biasanya satu minggu atau lebih. Kompetensi yang
diharus dimiliki atau dikuasai oleh siswa tersebut berupa tujuan yang termasuk
kawasan kognitif, affektif, dan psikomotor.

Hubungan Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional) adalah suatu cara atau


langkah-langkah yang harus ditempuh didalam mengembangkan program
pengajaran. Dan Satpel adalah program pengajaran itu sendiri. Satpel terdiri dari
beberapa komponen :

Merumuskan tujuan intruksional khusus

Mengembangkan alat penilaian

Menetapkan kegiatan belajar/materi pelajaran

Merencanakan program kegiatan

Pelaksanaan program di kelas setelah terbentuk suatu satuan pelajaran.

Kerangka Satpel terdiri dari :


Merupakan bagian-bagian yang menunjukkan ciri-ciri atau pengenalan
(identitas) dari Satpel, yang meliputi : nomor satuan pelajaran, bidang
studi, sub bidang studi, satuan bahasan, kelas, caturwulan, waktu,
banyaknya/jumlah pertemuan.

Komponen-komponen yang membentuk satuan pelajaran sebagai suatu


sistem : Tujuan Intruksional Khusus, kegiatan belajar mengajar, penilaian.

Tujuan Intruksional Umum diambil dari rumusan GBPP yang dipakai guru
sebagai pedoman mengajar. Sedangkan rumusan TIK merupakan
penjabaran dari TIU.

Dalam penyusunan TIK perlu diperhatikan agar terbentuk keseimbangan antara


aspek ingatan, pemahaman, dan aplikasi. Bahkan TIK dititik beratkan pada
pemahaman aplikasi/keterampilan.

Contoh satpel yang dikembangkan dari program alokasi waktu dengan pola 6
komponen

SATUAN PELAJARAN

Nomor : 1

1. Bidang studi : Pendidikan Agama Islam

2. Satuan bahasan : 1.1 Bimbingan Shalat lima waktu

(Arti dan nama-nama shalat lima waktu)

3. Kelas : III (Tiga)

4. Cawu : 1 (satu)

5. Waktu : 2 x 40 menit

6. Pertemuan : 1x pertemuan

I. TUJUAN INTRUKSIONAL UMUM (TIU)

1. Siswa mampu mempraktekkan gerakan dan bacaan shalat serta mengetahui ketentuan-
ketentuannya melalui pengamatan,penerapan, klasifikasi, dan komunikasi.

II. TUJUAN INTRUKSIONAL KHUSUS (TIK)


1. Setelah mendengar penjelasan dari guru murid dapat menyebutkan arti shalat fardhu.

2. Setelah mendapat informasi dan pengarahan guru, melalui kerjasama kelompok, murid dapat :

A. Menuliskan nama-nama shalat lima waktu secara berurutan.


B. Melukiskan shalat lima waktu secara berurutan dengan menggunakan gambar jam.
C. Menghitung banyaknya rakaat pada setiap shalat lima waktu.

III. MATERI PELAJARAN

Bimibingan shalat lima waktu:

Arti shalat lima waktu

Nama-nama shalat lima waktu

Waktu-waktu shalat lima waktu

Rakaat-rakaat shalat lima waktu

IV. KEGIATAN BELAJAR MENGAJAR

1. Pendekatan dan methode

a) Pendekatan : keterampilan proses

b) Metde : – Tanya jawab

- Penugasan

c) Strategi : CBSA

2. Pokok-pokok kegiatan (langkah-langkah pelaksanaan)

a. 15 menit :

Mengingat kembali pelajaran kelas I dan II tentang hafalan-hafalan surat al Qur’an dan
wudhu dalam kaitannya dengan shalat melalui tanya jawab.

Melalui tanya jawab murid mendengarkan keterangan guru tentang arti shalat fardhu.

Murid mendengarkan informasi dan pengarahan guru mengenai pengerjaan lembar


kerjaan.

b. 25 menit :
 Murid mengerjakan tugas dengan acuan lembar kerja dalam kelompk-kelompok kecil
 Mengumpulkan hasil tugas kelompok.

c. 25 menit :

 Kelompok dengan kelompok melalui juru bicara masing-masing dan saling tukar info
mengenai temuannya.
 Mulai tanya jawab,guru membimbing sehingga menemukan dan menyimpulkan hasil
belajar yang diharapkan.
 Murid mencatat,memperbaiki dan atau memantapkan hasilnya.

d. 15 menit :

 Murid mencatat kesimpulan yang benar setelah menjawab tes lisan maupun tulisan
 Murid mencatat/menyalin lembar tugas rumah untuk umpan balik.

3. Lembar kerja dan lembar tugas rumah untuk umpan balik.

V. ALAT/SUMBER PELAJARAN

1. Alat : lima buah jam tiruan untuk menunjukkan waktu.

2. Sumber : Buku PAI SD, jilid 3a, Drs. Syarief Ali cs, Erlangga, Jakarta, 1990, hal I

Buku PAI SD, jilid 3a, Tarmizi S, dkk. La Tansa, Jakarta, 1989, hal I

VI. PENILAIAN

1. Prosedur, tes awal ,tes akhir, lembar pengamatan

2. soal dan lembar pengamatan terlampir.

A. Karakteristik PAI

Ciri-ciri umum pendidikan agama islam : tujuan Pendidikan Agama Islam


yaitu menghambakan diri kepada Allah untuk keridhaan-Nya. Sumber pokok dan
kandungannya adalah al Qur’an dan al Hadist. Kandungannya : mengandung
hukum halal dan haram, suruhan dan perintah yang mesti atau yang dianjurkan.
Bersangkutan dengan akidah atau kepercayaan, bersangkutan dengan cerita-
cerita zaman dahulu. Kebudayaan islam dan ajaran islam. Sifat-sifat pengajaran
agama islam yang meliputi pengetahuan agama islam dan sejarah islam.

Unsur strategi pengembangan agama islam : konsep agama islam yang luas,
panggila islam sebagai tugas suci, berpusat pada tauhid, berpangkal pada
pengendalian diri. Nilai-nilai pengajaran agama islam : nilai material,formal,
fungsional, essensial. Ciri-ciri khusus pendidikan agama islam : landasan, arti
dan tujuan pendidikan agama islam yaitu UU No 2 Tahun 1989. pendidikan
agama islam di Sekolah Dasar adalah GBPP, pendidikan agama islam di
madrasah Ibtidaiyah SK meneg No 99 tahun 1984. Kriiteria isi bahan pengajaran,
sumber-sumber bahan pengajaran dan penerapan pendekatan keteramplan
proses.

Teori Belajar Konstruktivisme
Posted on 20 Agustus 2008 by AKHMAD SUDRAJAT

Oleh: Hamzah*)

A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan
teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa
juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam
tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu
pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau
perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru,
sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian
tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema
baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung
pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan
tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu
berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme,


Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan
siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi
secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan
melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari,
melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk
mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan
bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan
mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi
melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya,
setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama,
(2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui
tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses
pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan
struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang


dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih
mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam
penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah
interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial
dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan
masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah
dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai
mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,


pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak
diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan
sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya
membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga
adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua,
fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman
nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan
melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa
seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa
yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang
baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya
proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara
mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna
karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai
kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan
dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)


mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan
kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk
memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang


mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.

Teori Belajar Konstruktivisme

by Agus on October 21, 2010

A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme


Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori
belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini
biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan
kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar,
yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.
Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri
tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori
motor anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989:


159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak
melalui asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru
dalam pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran
karena adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat
(Ruseffendi 1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses
mental yang meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan
baru atau memodifikasi skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan
itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif
oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan
proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu
berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan


konstruktivisme, Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222)
mengajukan karakteristik sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai
sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan
seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang
datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran
bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas,
(5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran,
materi, dan sumber.

Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses
aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan
jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga
disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1)
perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi
dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-
urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut
didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan,
pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap
tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan
yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang


dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi,
1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak


(Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori
belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki
kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2)
kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta
didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar
kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3)
peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang
sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan
teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi
pengetahuan pada diri peserta didik.

B. Hakikat Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,


pengertahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran
siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata
lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif
siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah
pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara
bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang
diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur
kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu
pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak


secara aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu
pengetahuan melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4)
mengatakan bahwa seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar
itu didasari kepada apa yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk
mempelajari suatu materi yang baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang
akan mempengaruhi terjadinya proses belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori
belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam
kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan
dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi
lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4)
siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman
dan ilmu pengetahuan dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996:


20) mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran,
sebagai berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan
gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk
berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3)
memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi
pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5)
mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6)
menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang


mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada
kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan
kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan
oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi
sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi.akhmadsudrajat.wordpress.com
*) Dr. Hamzah, M.Ed. adalah dosen pada FMIPA Universitas Negeri Makassar

Kata Kunci Untuk Artikel Ini:

teori belajar konstruktivisme,teori belajar konstruktivistik,teori


Konstruktivistik,konstruktivistik,teori belajar,pengertian teori belajar
konstruktivisme,TEORI BELAJAR KONTRUKTIVISME,pengertian teori
belajar,pengertian konstruktivisme,teori belajar konstruktivis,teori pembelajaran
konstruktivisme,teori pembelajaran konstruktivis,konstruktivisme,teori
pembelajaran,teori belajar konstrultivisme,teori belajar dan pembelajaran,teori
belajar dan pembelajaran konstruktivisme,ciri-ciri belajar menurut teori,teori
belajar konstruktifisme,teori pembelajaran piaget

Teori Belajar Konstruktivisme

Akhmad Sudrajat: Tentang Pendidikan

Oleh: Hamzah*) A. Hakikat Anak Menurut Pandangan Teori Belajar


Konstruktivisme Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan
dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget.
Teori ini biasa juga disebut teori... [Read Post]
20 Aug 2008, 19:11 |
More from Akhmad Sudrajat: Tentang Pendidikan :
Peran Guru sebagai Fasilitator
Oleh: Akhmad Sudrajat Dalam konteks pendidikan, istilah fasilitator semula lebih
banyak diterapkan untuk kepentingan pendidikan orang dewasa (andragogi),
khususnya dalam lingkungan pendidikan non formal. Namun sejalan dengan
perubahan makna pengajaran yan...
18 Aug 2008 14:35
5 Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis
Berdasarkan hasil analisisnya terhadap sejumlah kriteria dan pendapat sejumlah
ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam lingkungan
pembelajaran yang konstruktivis, yaitu: 1. Memperhatikan dan memanfaatkan
pengetahuan awal siswa...
18 Aug 2008 14:28
Kumpulan Makalah dan Artikel tentang Pendidikan
Selamat Datang di Let?s Talk About Education! Dalam situs ini disajikan
berbagai tulisan tentang opini, issue, trend, dan teori seputar Bimbingan dan
Konseling, Psikologi Pendidikan, Kurikulum dan Pembelajaran, Manajemen
Pendidikan, dan Filsafat-Sosial Bu...
15 Aug 2008 18:38
 Pembelajaran Pengayaan dalam KTSP
 Pengembangan Indikator dalam KTSP
 Penilaian Psikomotorik
 Peranan Kepala Sekolah, Guru dan Wali Kelas dalam Bimbingan dan
Konseling
 Pembelajaran Remedial dalam KTSP
 Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (PBKL)
 Konferensi Kasus untuk Membantu Mengatasi Masalah Siswa

Teori Konstruktivisme
OPINI | 06 October 2010 | 11:55 1504 1 Nihil

A. Pandangan Teori Belajar Konstruktivisme

Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja
memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun
pengetahuan dalam pikiran mereka. Tokoh yang berperan pada teori ini adalah
Jean Piaget dan Vygotsky. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai
pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari
apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat
belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun
atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya
sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan
gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan
seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan
konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:

1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.


2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan
mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui
proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan
pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya
secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan
pemahamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama.
Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak
konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai perkaitan dengan
pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari
teori kognitif juga. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori
perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk
belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.
Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri
tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor
anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).

Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan
teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam
pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skemata yang dimilikinya. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam
pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena
adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi
1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).

Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun
penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif
anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61).

Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu
berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya
dalah siswa harus memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara
tepat. Menurut C. Asri Budiningsih menjelaskan bahwa ada dua macam proses adapatasi
yaitu adaptasi bersifat autoplastis, yaitu proses penyesuaian diri dengan cara mengubah
diri sesuai suasana lingkungan, lalu adaptasi yang bersifat aloplastis yaitu adaptasi
dengan mengubah situasi lingkungan sesuai dengan keinginan diri sendiri.

Berkaitan dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme,


Driver dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan
siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi
secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan
melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum bukanlah sekedar dipelajari,
melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber. Belajar merupakan proses
aktif untuk mengembangkan skema sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-
laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).

Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.

Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang
sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan
urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari
operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan
penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak
melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses
pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan
struktur kognitif yang timbul (akomodasi).

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang


dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih
mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62). Dalam
penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis Vigotsky adalah
interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya pada lingkungan sosial
dalam belajar.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan
masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah
dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai
mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
B. Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa menurut teori belajar konstruktivisme,


pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru ke pikiran siswa.
Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak
diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan
sesuai dengan kehendak guru.

Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya
membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga
adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.

Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif
siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.

Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara


aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan
melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa
seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari pada apa yang
telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang baru,
pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya proses
belajar tersebut.

Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara
mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna
karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai
kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan
dengan temannya.

Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20)


mengajukan beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai
berikut: (1) memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya
dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang
pengalamannya sehingga menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan
kepada siswa untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa, (5) mendorong siswa untuk
memikirkan perubahan gagasan mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang
kondusif. Selain itu Slavin menyebutkan strategi-strategi belajar pada teori
kontruktivisme adalah top-down processing( siswa belajar dimulai dengan masalah yang
kompleks untuk dipecahkan, kemudian menemukan ketrampilan yang dibutuhkan,
cooperative learning(strategi yang digunakan untuk proses belajar, agar siswa lebih
mudah dalam menghadapi problem yang dihadapi dan generative learning(strategi yang
menekankan pada integrasi yang aktif antara materi atau pengetahuan yang baru
diperoleh dengan skemata.

Dari beberapa pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang


mengacu kepada teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan
siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam
refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain,
siswa lebih diutamakan untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi.

Unsur Penting dalam Lingkungan Pembelajaran Konstruktivis

Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat
sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam
lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:

1. Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa

Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi


pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan
memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu pembelajaran
harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk
mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.

2. Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna

Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa


sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar
siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan
pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran
dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan
juga penerapan konsep.
3. Adanya lingkungan sosial yang kondusif,

Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa
maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam
berbagai konteks sosial.

4. Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri

Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena
itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan
belajarnya.

5. Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah.

Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses
dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan
memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.

pembelajaran kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana siswa


dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti
pembelajaran bihavioristik. Misalnya saja pada pelajaran pkn, tentang tolong menolong
dan siswa di tugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati suatu lingkungan
bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu guru memberi
pengarahan yang lebih lanjut. Siswa lebih mamahami makna ketimbang konsep

Kesimpulan

Jadi teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau
pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah
teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga.
Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk
menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru
dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau
moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir
yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.

Berbeda dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang


dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi
dengan lingkungan sosial maupun fisik. bahwa pembelajaran yang mengacu kepada
teori belajar konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam
mengorganisasikan pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa
yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru.

« Teori -Teori Belajar (Piaget, Bruner, Vygotsky)


Metode Pembelajaran Discovery (Penemuan) »

Teori Belajar Konstruktivisme
Mei 27, 2010 oleh Herdian,S.Pd., M.Pd.

Teori Belajar Konstruktivisme

Teori konstruktivisme didasari oleh ide-ide Piaget, Bruner,


Vygotsky dan lain-lain. Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu
sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya
sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan
menjadi pengetahuan yang bermakna; sedangkan pengetahuan yang hanya
diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang
bermakna, pengetahuan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu
dilupakan.

Dalam kelas kontruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana
menyelesaikan persoalan, namun mempresesentasikan masalah dan mendorong
siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan.
Hal ini berarti siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan
objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.

Hal yang sama juga diungkapkan Wood dan Coob, para ahli kontruksivisme
mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas,
maka pengetahuan matematika dikontruksi secara aktif, dan mereka setuju bahwa
belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya
bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak paham bahwa matematika
dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap tahap dari pembelajaran
melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian
keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan
menggunakan keterampilan inteligennya dalam setting matematika.
Beberapa prinsip pembelajaran dengan kontruksivisme diantaranya dikemukakan
oleh Steffe dan Kieren yaitu observasi dan mendengar aktifitas dan pembicaraan
matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar. Lebih
jauh dikatakan bahwa dalam kontruksivisme aktivitas matematika mungkin
diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil dan diskusi
kelas. Disebutkan pula bahwa dalam kontruksivisme proses pembelajaran
senantiasa “problem centered approach”, dimana guru dan siswa terikat dalam
pembicaraan yang memiliki makna matematika.

Dari prinsip di atas terlihat bahwa ide pokok dari teori konstruktivisme adalah
siswa aktif membangun pengetahuannya sendiri. Dalam hal ini guru berfungsi
sebagai fasilitator. Belajar menurut paham konstruktivisme adalah mengkontruksi
pengetahuan yang dilakukan baik secara individu maupun secara sosial.
Sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan guru kepada siswa,
melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuan, dengan menginkuiri suatu permasalahan dan kemudian
memecahkan permasalahan.

Pembelajaran dengan pendekatan inkuiri merupakan salah satu pendekatan


konstruktivisme dapat diterapkan antara lain dalam pembelajaran kooperatif,
dimana siswa diberi kesempatan untuk berinteraksi secara sosial dan
berkomunikasi dengan sesamanya untuk mencapai tujuan pembelajaran dan guru
bertindak sebagai fasilitator dan motivator.

You might also like