Professional Documents
Culture Documents
Pembelajaran
Posted on 16 August 2008 by Andy
Andi Rusdi
Menurut van den Akker dan Plomp (Hadi, 2001: 4) mendeskripsikan penelitian
pengembangan berdasarkan dua tujuan yaitu (1) pengembangan untuk
mendapatkan prototipe produk, (2) perumusan saran-saran metodologis untuk
pendesainan dan evaluasi prototipe tersebut.
Perancangan pengajaran menurut sistem pendekatan model Dick & Cerey, yang
dikembangkan oleh Walter Dick & Lou Carey (dalam, Trianto, 2007: 61). Model
pengembangan ini ada kemiripan dengan model yang dikembangkan Kemp, tetapi
ditambah dengan komponen melaksanakan analisis pembelajaran, terdapat
beberapa komponen yang akan dilewati di dalam proses pengembangan dan
perencanaan tersebut. Urutan perencanaan dan pengembangan ditunjukkan pada
gambar 4 berikut:
Gambar2. Model Perancangan dan Pengembangan Pengajaran Menurut Dick &
Carey (dalam Trianto, 2007a: 62)
Secara garis besar keempat tahap tersebut sebagai berikut (Trianto, 2007 : 65 –
68).
Persamaan dari keempat model tersebut antara lain bahwa pada dasarnya
ketiganya terdiri atas empat tahap pengembangan, yaitu: (a) pendefinisian, (b)
perancangan, (c) pengembangan dan (d) penyebaran.
Kelebihan dari model Kemp antara lain: (a) Diagram pengembangannya
berbentuk bulat telur yang tidak memiliki titik awal tertentu, sehingga dapat
memulai perancangan secara bebas, (b) Bentuk bulat telur itu juga menunjukkan
adanya saling ketergantungan di antara unsur-unsur yang terlibat, (c) Dalam setiap
unsur ada kemungkinan untuk dilakukan revisi, sehingga memungkinkan
terjadinya sejumlah perubahan dari segi isi maupun perlakuan terhadap semua
unsur tersebut selama pelaksanaan program.
Keunggulan model Dick dan Carey ini terletak pada analisis tugas yang tersusun
secara terperinci dan tujuan pembelajaran khusus secara hirarkis. Disamping itu
adanya uji coba yang berulang kali menyebabkan hasil yang diperoleh sistem
dapat diandalkan.
Kelemahan model ini adalah uji coba tidak diuraikan secara jelas kapan harus
dilakukan dan kegiatan revisi baru dilaksanakan setelah diadakan tes formatif.
Sedangkan pada tahap-tahap pengembangan tes hasil belajar, strategi
pembelajaran maupun pada pengembangan dan penilaian bahan pembelajaran
tidak nampak secara jelas ada tidaknya penilaian pakar (validasi)
Kelebihan dari model 4-D dan PPSI antara lain: (a) lebih tepat digunakan sebagai
dasar untuk mengembangkan perangkat pembelajaran bukan untuk
mengembangkan sistem pembelajaran, (b) uraiannya tampak lebih lengkap dan
sistematis, (c) dalam pengembangannya melibatkan penilaian ahli, sehingga
sebelum dilakukan uji coba di lapangan perangkat pembelajaran telah dilakukan
revisi berdasarkan penilaian, saran dan masukan para ahli.
Kekurangan model Kemp bila dibandingkan dengan model 4-D antara lain: (1)
Kedua model itu merupakan pengembangan sistem pembelajaran, (2) kedua
model itu kurang lengkap dan kurang sistematis, terutama model Kemp dan (3)
kedua model itu tidak melibatkan penilaian ahli, sehingga ada kemungkinan
perangkat pembelajaran yang dilaksanakan terdapat kesalahan.
Namun demikian pada model 4-D ini juga terdapat kekurangan, salah satunya
adalah tidak ada kejelasan mana yang harus didahulukan antara analisis konsep
dan analisis tugas.
Modifikasi dilakukan antara lain dengan cara: (a) Memperjelas urutan kegiatan
yang semula tidak jelas urutannya, (b) Mengganti istilah yang memiliki
jangkauan lebih luas dan biasa digunakan oleh guru di lapangan, (c)
Menambahkan kegiatan yang dianggap perlu dalam pengembangan perangkat
pembelajaran dan instrumen penelitian yang akan dilakukan, (d) Mengurangi
tahap atau kegiatan yang dianggap tidak perlu.
Daftar Pustaka:
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Surabaya:
Pustaka Ilmu
Trianto. 2007. Model Pembelajaean Inovatif Berorientasi Konstrutivistik.
Surabaya: Pustaka Ilmu
MODEL PENGEMBANGAN
SISTEM INTRUKSIONAL
A. MODEL PENGEMBANGAN SISTEM INTRUKSIONAL
Ada dua proses pengembangan, pertama ialah pendekatan secara empiris yang
menggunakan dasar-dasar teori, bahan pengajaran disusun berdasarkan
pengalaman pengembang. Pendekatan kedua ialah dengan pendekatan model.
Dalam penyusunan rancangan pengajaran ada langkah-langkah secara sistem :
cara mencapainya dipilihkan cara-cara tertentu, kondisi tertentu, dan perubahan
tertentu. Hasil uji coba memberi informasi tertentu yang dapat dijadikan bahan
penilaian perihal tingkat kesulitan suatu program.
1.Merumuskan tujuan
2.Mengembangkan test
6.Mengadakan perbaikan
2. Model Kemp
Langkah-langkahnya :
8. Mengadakan evaluasi
3. Penilaian.
4. Model PPSI
Langkah-langkahnya :
5. melaksanakan program
B. PRINSIP-PRINSIP PENGAJARAN
3.Belajar diskriminatif
4.Belajar global
5.Belajar insedental
6.Belajar instrumental
7.Belajar intensional
8.Belajar laten
9.Belajar Mental
Adapun hasil pengajaran itu dikatakan baik, bila proses tersebut dapat
membangkitkan kegiatan belajar yang efektif. Dan juga punya ciri-ciri :
a.Hasil itu bertahan lama dapat digunakan oleh siswa dalam kehidupannya.
C. Satuan Pelajaran
Tujuan Intruksional Umum diambil dari rumusan GBPP yang dipakai guru
sebagai pedoman mengajar. Sedangkan rumusan TIK merupakan
penjabaran dari TIU.
Contoh satpel yang dikembangkan dari program alokasi waktu dengan pola 6
komponen
SATUAN PELAJARAN
Nomor : 1
4. Cawu : 1 (satu)
5. Waktu : 2 x 40 menit
6. Pertemuan : 1x pertemuan
1. Siswa mampu mempraktekkan gerakan dan bacaan shalat serta mengetahui ketentuan-
ketentuannya melalui pengamatan,penerapan, klasifikasi, dan komunikasi.
2. Setelah mendapat informasi dan pengarahan guru, melalui kerjasama kelompok, murid dapat :
- Penugasan
c) Strategi : CBSA
a. 15 menit :
Mengingat kembali pelajaran kelas I dan II tentang hafalan-hafalan surat al Qur’an dan
wudhu dalam kaitannya dengan shalat melalui tanya jawab.
Melalui tanya jawab murid mendengarkan keterangan guru tentang arti shalat fardhu.
b. 25 menit :
Murid mengerjakan tugas dengan acuan lembar kerja dalam kelompk-kelompok kecil
Mengumpulkan hasil tugas kelompok.
c. 25 menit :
Kelompok dengan kelompok melalui juru bicara masing-masing dan saling tukar info
mengenai temuannya.
Mulai tanya jawab,guru membimbing sehingga menemukan dan menyimpulkan hasil
belajar yang diharapkan.
Murid mencatat,memperbaiki dan atau memantapkan hasilnya.
d. 15 menit :
Murid mencatat kesimpulan yang benar setelah menjawab tes lisan maupun tulisan
Murid mencatat/menyalin lembar tugas rumah untuk umpan balik.
V. ALAT/SUMBER PELAJARAN
2. Sumber : Buku PAI SD, jilid 3a, Drs. Syarief Ali cs, Erlangga, Jakarta, 1990, hal I
Buku PAI SD, jilid 3a, Tarmizi S, dkk. La Tansa, Jakarta, 1989, hal I
VI. PENILAIAN
A. Karakteristik PAI
Unsur strategi pengembangan agama islam : konsep agama islam yang luas,
panggila islam sebagai tugas suci, berpusat pada tauhid, berpangkal pada
pengendalian diri. Nilai-nilai pengajaran agama islam : nilai material,formal,
fungsional, essensial. Ciri-ciri khusus pendidikan agama islam : landasan, arti
dan tujuan pendidikan agama islam yaitu UU No 2 Tahun 1989. pendidikan
agama islam di Sekolah Dasar adalah GBPP, pendidikan agama islam di
madrasah Ibtidaiyah SK meneg No 99 tahun 1984. Kriiteria isi bahan pengajaran,
sumber-sumber bahan pengajaran dan penerapan pendekatan keteramplan
proses.
Teori Belajar Konstruktivisme
Posted on 20 Agustus 2008 by AKHMAD SUDRAJAT
Oleh: Hamzah*)
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan
teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa
juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori
belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam
tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan
intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu
pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan atau
perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui asimilasi
dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam pikiran. Sedangkan,
akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi baru,
sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi 1988: 133). Pengertian
tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi pembentukan skema
baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema yang sudah ada
sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung
pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan
tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu
berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk
mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba dan
bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap perkembagan
mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan intelektual terjadi
melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang sama. Maksudnya,
setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan urutan yang sama,
(2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental
(pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan
kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui
tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses
pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan
struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan
masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah
dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai
mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya
membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga
adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama, pengetahuan
tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif siswa. Kedua,
fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman
nyata yang dimiliki anak.
Kedua pengertian di atas menekankan bagaimana pentingnya keterlibatan anak secara
aktif dalam proses pengaitan sejumlah gagasan dan pengkonstruksian ilmu pengetahuan
melalui lingkungannya. Bahkan secara spesifik Hudoyo (1990: 4) mengatakan bahwa
seseorang akan lebih mudah mempelajari sesuatu bila belajar itu didasari kepada apa
yang telah diketahui orang lain. Oleh karena itu, untuk mempelajari suatu materi yang
baru, pengalaman belajar yang lalu dari seseorang akan mempengaruhi terjadinya
proses belajar tersebut.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara
mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna
karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai
kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan
dengan temannya.
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif
oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak
bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan
proses berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan
keseimbangan (Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu
berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses
aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan
jaring laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap
perkembangan intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga
disebut tahap perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1)
perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi
dengan urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-
urutan tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut
didefinisikan sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan,
pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang
menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap
tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan
yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul (akomodasi).
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur
kognitif siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu
pengorganisasian melalui pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori
belajar konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam
kaitannya dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan
dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi
lebih bermakna karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4)
siswa mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman
dan ilmu pengetahuan dengan temannya.
Teori Konstruktivisme
OPINI | 06 October 2010 | 11:55 1504 1 Nihil
Salah satu prinsip psikologi pendidikan adalah bahwa guru tidak begitu saja
memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswa yang harus aktif membangun
pengetahuan dalam pikiran mereka. Tokoh yang berperan pada teori ini adalah
Jean Piaget dan Vygotsky. Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai
pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari
apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat
belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon,
kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun
atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya
sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan
gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan
seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan
konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
Salah satu teori atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar
konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari
teori kognitif juga. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan intelektual atau teori
perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan dengan kesiapan anak untuk
belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.
Setiap tahap perkembangan intelektual yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri
tertentu dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor
anak berpikir melalui gerakan atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989: 159)
menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk menemukan
teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru dalam
pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau moderator.
Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu pengetahuan
dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai
dengan skemata yang dimilikinya. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam
pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena
adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi
1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang meliputi
pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi skema
yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Lebih jauh Piaget mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh
seseorang, melainkan melalui tindakan. Belajar merupakan proses untuk membangun
penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan. Bahkan, perkembangan kognitif
anak bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya. Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses
berkesinambungan tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan
(Poedjiadi, 1999: 61).
Dari pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami
bahwa pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu
berbeda-beda berdasarkan kematangan intelektual anak. Pada teori ini konsekuensinya
dalah siswa harus memiliki ketrampilan unutk menyesuaikan diri atau adaptasi secara
tepat. Menurut C. Asri Budiningsih menjelaskan bahwa ada dua macam proses adapatasi
yaitu adaptasi bersifat autoplastis, yaitu proses penyesuaian diri dengan cara mengubah
diri sesuai suasana lingkungan, lalu adaptasi yang bersifat aloplastis yaitu adaptasi
dengan mengubah situasi lingkungan sesuai dengan keinginan diri sendiri.
Dari pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa juga disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan yang
sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan tersebut dan dengan
urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai suatu cluster dari
operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan, pembuatan hipotesis dan
penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak
melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses
pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan
struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang
sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan
keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan
masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah
dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat
menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai
mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
B. Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Sehubungan dengan hal di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan
dalam teori belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingnya
membuat kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga
adalah mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Wheatley (1991: 12) mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip
utama dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif oleh struktur kognitif
siswa. Kedua, fungsi kognisi bersifat adaptif dan membantu pengorganisasian melalui
pengalaman nyata yang dimiliki anak.
Selain penekanan dan tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar
konstruktivisme, Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya
dengan pembelajaran, yaitu (1) siswa mengkonstruksi pengetahuan dengan cara
mengintegrasikan ide yang mereka miliki, (2) pembelajaran menjadi lebih bermakna
karena siswa mengerti, (3) strategi siswa lebih bernilai, dan (4) siswa mempunyai
kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu pengetahuan
dengan temannya.
Berdasarkan hasil analisis Akhmad Sudrajat terhadap sejumlah kriteria dan pendapat
sejumlah ahli, Widodo, (2004) menyimpulkan tentang lima unsur penting dalam
lingkungan pembelajaran yang konstruktivis, yaitu:
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa
maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam
berbagai konteks sosial.
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena
itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan
belajarnya.
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses
dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan
memperkenalkan siswa tentang “kehidupan” ilmuwan.
Kesimpulan
Jadi teori kontruktivisme adalah sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Salah satu teori atau
pandangan yang sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah
teori perkembangan mental Piaget yang merupakan bagian dari teori kognitif juga.
Piaget menegaskan bahwa penekanan teori kontruktivisme pada proses untuk
menemukan teori atau pengetahuan yang dibangun dari realitas lapangan. Peran guru
dalam pembelajaran menurut teori kontruktivisme adalah sebagai fasilitator atau
moderator. Pandangan tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir
yang dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.
Teori Belajar Konstruktivisme
Mei 27, 2010 oleh Herdian,S.Pd., M.Pd.
Dalam kelas kontruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana
menyelesaikan persoalan, namun mempresesentasikan masalah dan mendorong
siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan.
Hal ini berarti siswa mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan
objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka.
Hal yang sama juga diungkapkan Wood dan Coob, para ahli kontruksivisme
mengatakan bahwa ketika siswa mencoba menyelesaikan tugas-tugas di kelas,
maka pengetahuan matematika dikontruksi secara aktif, dan mereka setuju bahwa
belajar matematika melibatkan manipulasi aktif dari pemaknaan bukan hanya
bilangan dan rumus-rumus saja. Mereka menolak paham bahwa matematika
dipelajari dalam satu koleksi yang berpola linear. Setiap tahap dari pembelajaran
melibatkan suatu proses penelitian terhadap makna dan penyampaian
keterampilan hafalan dengan cara yang tidak ada jaminan bahwa siswa akan
menggunakan keterampilan inteligennya dalam setting matematika.
Beberapa prinsip pembelajaran dengan kontruksivisme diantaranya dikemukakan
oleh Steffe dan Kieren yaitu observasi dan mendengar aktifitas dan pembicaraan
matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar. Lebih
jauh dikatakan bahwa dalam kontruksivisme aktivitas matematika mungkin
diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil dan diskusi
kelas. Disebutkan pula bahwa dalam kontruksivisme proses pembelajaran
senantiasa “problem centered approach”, dimana guru dan siswa terikat dalam
pembicaraan yang memiliki makna matematika.
Dari prinsip di atas terlihat bahwa ide pokok dari teori konstruktivisme adalah
siswa aktif membangun pengetahuannya sendiri. Dalam hal ini guru berfungsi
sebagai fasilitator. Belajar menurut paham konstruktivisme adalah mengkontruksi
pengetahuan yang dilakukan baik secara individu maupun secara sosial.
Sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan guru kepada siswa,
melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri
pengetahuan, dengan menginkuiri suatu permasalahan dan kemudian
memecahkan permasalahan.