You are on page 1of 3

MAKRO EKONOMI

Deflasi Gejala Mengkhawatirkan

Sri Adiningsih, Ekonom Universitas Gadjah Mada.

Rabu, 4 Februari 2009

JAKARTA (Suara Karya): Deflasi dalam dua bulan terakhir bukan dampak penurunan harga bahan
bakar minyak (BBM). Sebab, hingga saat ini tarif angkutan dan harga barang tidak turun signifikan.
Faktor pendorong deflasi adalah turunnya permintaan sebagai dampak krisis global.
Permintaan menurun akibat merosotnya daya beli masyarakat. Faktor terakhir ini juga diakibatkan
oleh pemutusan hubungan kerja (PHK) dan tidak meningkatnya pendapatan masyarakat.
Demikian pendapat ekonom Universitas Gadjah Mada Sri Adiningsih, Wakil Ketua Panitia Anggaran
DPR Harry Azhar Azis, dan Managing Director Econit Hendri Saparini. Mereka mengemukakan
pendapatnya secara terpisah di Jakarta, kemarin (3/2).
"Deflasi bukanlah prestasi pemerintah. Tetapi, karena permintaan melemah," kata Adiningsih. Apalagi
pada saat yang sama juga terjadi penurunan ekspor dan investasi.
Karena itu, deflasi justru merupakan indikator yang mengkhawatirkan. Adiningsih mengatakan,
kehati-hatian masyarakat menyangkut konsumsi sangat jelas terlihat dari penurunan permintaan.
"Daya beli memang masih tinggi di golongan masyarakat kelas menengah dan atas, tapi orang tidak
langsung belanja. Sebaliknya, masyarakat hati-hati berbelanja," ucapnya.
Sementara itu, Harry Azhar Azis mengatakan, pemerintah jangan buru-buru menyatakan deflasi
Desember 2008 dan Januari 2009 merupakan prestasi.
"Deflasi ini ternyata juga tidak ada pengaruhnya pada penurunan harga. Lalu, dilihat dari daya beli,
sektor mana yang meningkat," kata Harry.
Dia mengatakan, hingga saat ini tidak terjadi penurunan harga barang dan tarif angkutan secara
signifikan seperti saat harga BBM dinaikkan. "Penurunan harga BBM tidak otomatis berdampak pada
penurunan tarif transportasi. Juga misalnya untuk sektor produksi, seperti barang elektronik, yang
juga tidak turun harganya. Sehingga deflasi tidak terasa manfaatnya oleh rakyat," ucapnya.
Menurut Harry, penurunan harga dan tarif angkutan justru tidak menjadi faktor pendorong deflasi.
Permintaan yang menurun justru berdampak pada merosotnya produksi.
"Padahal, masyarakat membutuhkan penurunan harga kebutuhan pokok dan tarif angkutan yang riil.
Dilihat dari rakyat di level menengah ke atas, penurunan harga itu juga memberi manfaat karena
berbagai kebutuhan sekunder bisa dijangkau. Namun, penurunan itu tidak signifikan. Memang untuk
sementara, pemerintah bisa mengklaim bahwa saat ini terjadi peningkatan daya beli, tetapi tidak
diikuti dengan terjadinya peningkatan produksi," kata Harry.
Di tempat terpisah, Hendri Saparini menilai, deflasi justru merupakan bentuk kegagalan pemerintah
untuk menciptakan permintaan. Sebab, penurunan harga barang saat ini lebih karena pasokan yang
berlebih dan permintaan yang menurun. Pengusaha berlomba-lomba menurunkan harga barang yang
dijualnya untuk menciptakan pasar bagi produk mereka sendiri.
"Jika pemerintah menyatakan deflasi yang terjadi merupakan prestasi yang harus dibanggakan,
seharusnya ada penjelasan spesifik dari pemerintah akibat dari terjadinya deflasi tersebut. Artinya,
pemerintah harus menjelaskan produk-produk apa saja yang mengalami penurunan, sehinga
menyebabkan deflasi," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah juga jangan membodohi masyarakat dan dunia usaha mengenai deflasi
dan harus ada penjelasan konkret tentang turunnya harga barang. Ini karena lebih besar akibat
penurunan permintaan.
"Penurunan harga juga bisa dipengaruhi turunnya permintaan. Kalau demikian yang terjadi, bukan
keadaan yang sebenarnya bisa dibangga-banggakan pemerintah. Seharusnya pemerintah bisa
menjelaskan dengan sebenar-benarnya mengenai daya beli masyarakat saat ini," ucapnya.
Dia menyebutkan, produk garmen yang harganya turun dan terlihat perang diskon besar-besaran di
pusat belanja. Namun, semua karena memang permintaan menurun, sehingga berlomba-lomba untuk
menekan harga agar barangnya bisa terjual. (Indra/Bayu)
Memperkuat Sendi Mikroekonomi
Senin, 4 Januari 2010 - 11:11 wib

Pembeli melihat-lihat hasil produk UMKM. (Foto: Koran SI)

Perekonomian Indonesia pada 2009 memiliki banyak warna. Paling pokok, krisis ekonomi global tanpa ampun
juga menghajar ekonomi nasional, sehingga sebagian aktivitas ekonomi mengalami pengerutan yang tajam.

Kegiatan investasi, ekspor (impor), fluktuasi nilai tukar,dinamika tingkat bunga, dan lain-lain mengalami
guncangan yang cukup berarti sehingga secara akumulatif membuat pertumbuhan ekonomi merosot menjadi
sekitar 4,3 persen. Di luar itu, jika dikomparasikan dengan kinerja ekonomi negaranegara tetangga dan negara
maju, Indonesia masih beruntung karena tidak sedikit negara-negara tersebut yang pertumbuhan ekonominya
minus.

Sebagian analisis ekonomi menyimpulkan bahwa Indonesia diselamatkan oleh variabel konsumsi rumah tangga
dan kontribusi ekspor yang tidak terlalu besar dalam perekonomian. Sebaliknya, stimulus fiskal yang
diharapkan berperan lebih besar malah tidak efektif dalam implementasinya.

Refleksi Ekonomi 2009

Indonesia pada 2009 menjadi kisah penting bahwa kegiatan ekonomi yang substantif sebetulnya lebih banyak
dipikul oleh para pelaku usaha kecil dan sektor pertanian. Lebih dari itu, pada saat sebagian besar inisiatif
kebijakan pemerintah gagal diimplementasikan, aktivitas ekonomi pada level mikro tetap menunjukkan geliat
yang nyata. Ini tentu berbeda dengan realitas yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan besar, di mana
begitu kebijakan pemerintah gagal menjangkau kepentingannya sontak kinerja ekonominya menjadi ambruk.

Secara telanjang tahun ini kita diberi deskripsi yang nyata bahwa pertumbuhan ekonomi sebesar 4,3 persen
merupakan aktivitas “genuine” yang dimiliki masyarakat, yang akan tetap bergerak dengan atau tanpa
kebijakan pemerintah.

Dengan kata lain, jika mengasumsikan pemerintah tidak bekerja pun, modal tetap yang telah dimiliki oleh
bangsa ini adalah pencapaian pertumbuhan ekonomi dalam kisaran 4 persen tersebut. Terdapat beberapa
argumentasi yang dapat disampaikan untuk menunjukkan kegagalan pemerintah dalam menjalankan kebijakan
secara efektif.

Pertama, kebijakan stimulus fiskal yang diluncurkan pemerintah gagal mencapai sasaran, baik dalam
pengertian jumlah dana yang diserap maupun program-program yang didesain. Sejak awal kritik yang
mengemuka adalah desain stimulus lebih condong kepada “tax saving” yang implikasinya terhadap
peningkatan konsumsi sangat diragukan.

Analisis inilah yang kemudian terbukti di lapangan, ketika tax saving tersebut tidak berkontribusi terhadap
pengeluaran konsumsi individu maupun badan. Sementara itu, dari sisi penyerapan, stimulus fiskal yang
diharapkan bergerak sejak Triwulan I malah berjalan seperti keong sehingga baru berjalan mulai Triwulan III.
Sehingga, stimulus fiskal sebagai “papan luncur” yang akan mendorong perekonomian menjadi tidak tidak
terbukti. Kedua, dari sisi moneter boleh dikatakan pemerintah dan otoritas moneter berhasil menjaga
stabilitas makroekonomi, di antaranya ditunjukkan dengan nilai tukar yang berhasil diturunkan di bawah
Rp10.000/USD, inflasi yang “super rendah” (sekitar tiga persen sampai akhir tahun), dan neraca pembayaran
yang tetap positif.Namun, otoritas moneter gagal total berperan menggerakkan sektor riil karena perbankan
tidak mau menurunkan tingkat bunga (deposito dan kredit) sehingga biaya investasi menjadi mahal.

Sulit dipahami,kebijakan bank sentral yang telah menurunkan BI rate hingga tinggal 6,5 persen tidak diikuti
dengan penurunan bunga bank.Di sini,kredibilitas BI benarbenar jatuh karena tidak lagi dihormati oleh sektor
perbankan.Pada situasi inilah kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat benarbenar akibat usaha sendiri
dan bukan oleh fasilitas yang didesain pemerintah dan otoritas moneter.

Prospek Ekonomi 2010

Meskipun tidak ada kepastian dalam kegiatan ekonomi, tetapi dapat diprediksi kegiatan ekonomi pada 2010
lebih cerah ketimbang 2009. Krisis keuangan global ternyata “berakhir” lebih cepat dari yang diperkirakan.
Pernyataan ini tentu hanya menunjukkan pada level makro saja, namun belum bertumpu kepada pemahaman
pada level mikro yang lebih detail. Secara umum, makroekonomi global banyak berpihak kepada pilihan untuk
berpendapat “optimis” pada 2010.

Pasar komoditas global telah bergerak karena negara-negara maju dan emerging countries sudah membaik
daya belinya, sehingga ekspor berpeluang untuk meningkat. Demikian pula dari sisi investasi, dana-dana asing
kemungkinan besar akan merayap mencari peluang yang paling menguntungkan. Tentu saja, seperti tahun-
tahun sebelumnya, Indonesia masih merupakan salah satu negara tujuan investasi yang prospektif bagi para
investor tersebut.

Sungguh pun begitu,pekerjaan rumah Indonesia yang paling nyata bukanlah meningkatkan ekspor dan
mendatangkan investasi asing. Sebab,jika itu memang tujuannya, pemerintah tidak perlu bekerja secara serius
karena dua sasaran itu akan bergulir secara otomatis seiring pemulihan ekonomi global.

Agenda terpenting pemerintah sebetulnya berada pada level mikroekonomi yang menjamin peluang berusaha
bagi setiap masyarakat terpenuhi. Pertama, secara umum “pasar distribusi” untuk banyak komoditas masih
sangat terkonsentrasi (misalnya pada barang pertanian) sehingga keseimbangan harga pasar tidak pernah
terjadi.

Tentu saja ini merugikan pelaku ekonomi di sektor hulu (petani) dan konsumen. Kedua, proyek legalisasi usaha
mikro dan kecil mesti diprioritaskan agar kelompok usaha tersebut memperoleh kepastian usaha dan
kemudahan berhubungan dengan lembaga keuangan formal (bank maupun nonbank).

Ketiga, persaingan usaha menjadi medan pertarungan yang sengit karena di balik kasus kakap yang melibatkan
korporasi-korporasi asing maupun domestik (misalnya semen, telekomunikasi, dan perdagangan) tersimpan
kasus serupa pada level usaha skala menengah dan kecil.

Praktek kartel wilayah maupun penutupan ruang berusaha tetap marak di lapangan akibat adanya mafia
ekonomi. Ini bukan sekadar pekerjaan rumah pemerintah pusat (KPPU), tetapi juga menjadi fokus pemerintah
daerah.

Keempat, infrastruktur ekonomi di luar Jawa harus segera dibangun, khususnya yang memfasilitasi UMKM dan
sektor pertanian/ perkebunan. Apabila langkah-langkah ini dilakukan, maka kinerja makroekonomi yang cerah
pada 2010 akan diikuti dengan perbaikan kinerja pada level mikroekonomi.

Impian inilah yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama, namun selama ini selalu gagal dihadirkan pemerintah
dalam dunia nyata. (*)

Ahmad Erani Yustika


Direktur Indef, Wakil Dekan (Akademik) FE Universitas Brawijaya
(Koran SI/Koran SI/rhs)

You might also like