You are on page 1of 18

POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA DARI AWAL KEMERDEKAAN

HINGGA SEKARANG (PERIODE KEDUA MASA PEMERINTAHAN SBY


2010-2015)

Disusun untuk memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah


Politik Luar Negeri

Dosen:
Dr. Sumarna, MA

Oleh:
Randy Brahmantyo
170210080110

UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
JATINANGOR

2011
BAB I

Pendahuluan

Setiap negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan
dunia internasional, baik dengan negara maupun komunitas intenasional lainnya. Kebijakan
tersebut nerupakan bagian dari politik luar negeri yang dijalankan negara dan merupakan
pencerminan dari kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga
menjalankan politik luar negeri yang senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan.
dalam negeri dan perubahan situasi internasional. Ini adalah sebiuh manuver penting sebagai
bentuk power selain ekonomi dan militer yang membuat sebuah negara diperhitungkan.

Politik luar negeri dapat diartikan sebagai strategi da taktik yang digunakan suatu
Negara dalam hubungannya dengan negara-negara lain. Dalam arti luas, politik luar negeri
adalah pola perilaku yang digunakan oleh suatu Negara dalam hubungannya dengan negara-
negara lain. Politik luar negeri berhubungan dengan proses pembuatan keputusan untuk
mengikuti pilihan jalan tertentu. Menurut buku Rencana Strategi Pelaksanaan Politik Luar
Negeri Republik Indonesia (1984-1988), politik luar negeri diartikan sebagai “suatu
kebijksanaan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka hubungannya dengan dunia
internasional dalam usaha untuk mencapai tujuan nasional, atau dapat juga kita artikan bahwa
politik luar negeri adalah sebuah alat bagi negara untuk memenuhi national interestnya”.

Pengertian Politik Luar Negeri RI dapat ditemui didalam pasal 1 ayat 2, Undang-Undang
No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri yang menjelaskan bahwa Polugri Republik
Indonesia adalah : “kebijakan, sikap dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil
dalam melakukan hubungan dengan negara lain, Organisasi Internasional, dan subjek hukum
internasional lainnya dalam menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional”

Indonesia sebagai negara yang besar telah mengalami pasang surut dalam politik luar
negerinya. Berbagai peristiwa yang mewarnai perkembangan negara ini membawa Indonesia
semakin matang dalam pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan dari politik luar negeri
itu sendiri. Indonesia sebelum kemerdekaannya, telah menggunakan diplomasi sebagai cara
atau alat untuk memperoleh kemerdekaan tersebut. Bahkan, pengakuan secara de facto atas
keberadaan Indonesia bukanlah diperoleh melalui angkat senjata tetapi negosiasi yang alot di
meja perundingan. Sungguh, diplomasi telah menjadi cara utama untuk mencapai tujuan-tujuan
dari politik luar negeri Indonesia dengan hubungannya terhadap negara-negara lain.

Dengan semakin berkembangnya Indonesia, kebijakan politik luar negeri yang muncul
juga semakin kompleks. Bagaimanapun juga, dengan perubahan-perubahan kapabilitas negara
dan stabilitas politik dalam negeri memberikan pengaruh yang sangat besar demi tercapainya
tujuan tersebut. Namun, terlihat jelas, tidak hanya dipengaruhi oleh dinamika politik domestik,
Politik luar negeri Indonesia sekarang ini juga dipengaruhi oleh fenomena-fenomena yang
muncul dalam hubungan internasional. Ia tidak sekedar berubah karena adanya pergantiaan
Orde, dari Orde Kemerdekaan hingga Reformasi, tetapi kekuatan tersebut juga dipengaruhi
oleh dinamika sistem internasional itu sendiri.

Untuk mengkaji lebih dalam saya akan membagi perkembangan Politik Luar Negeri
Indonesia ini dalam pembagian berdasarkan orde, yakni sejak Orde awal kemerdekaan hingga
reformasi dan era demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini.
BAB II

Pembahasan
Selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia, ia mengalami berbagai dinamika yang
menimbulkan pasang-surut dari diplomasi dan politik luar negeri. Pergantian kepemimpinan
yang telah berlangsung enam kali menandakan maju mundurnya proses demokrasi di
Indonesia yang juga mempengaruhi kebijakan negara dalam mencapai tujuan dari diplomasi.
Pada setiap periode pemerintahan juga terjadi pemaknaan yang bervariasi terhadap prinsip-
prinsip yang menjadi landasan dalam perumusan dan pelaksanaan politik luar negeri indonesia.
Perbedaan interpretasi tersebut diantaranya dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang terjadi di
dalam negeri maupun di luar negeri. sementara itu, terdapat prinsip atau landasan yang tetap
dipertahankan, namun mengalami persoalan dalam relevansi dan dilema karena dianggap
sudah tidak sesuai dengan perkembangan dan perubahan situasi yang demikian cepat.

Untuk memahaminya lebih lanjut, kekuatan diplomasi dan politik Indonesia jelas terlihat
melalui pembagian-pembagian periode Orde yang menyertainya

A. Politik Luar Negeri Indonesia pada masa awal Kemerdekaan

Periode awal kemerdekaan Indonesia yang dimulai sejak Soekarno dan Moh. Hatta
memproklamirkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah pada 17 agustus 1945,
bagaimanapun juga telah membawa bangsa ini menuju suatu Era yang baru dimana Indonesia
resmi menjadi sebuah Negara. Sebagai sebuah negara yang baru tentu saja Indonesia
membutuhkan pengakuan dari Negara lain bahwa negara Indonesia sudah berdiri dan siap
untuk menjadi anggota dari komunitas Internasional.

Landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia dinyatakan melalui maklumat
dan pidato-pidato Presiden Soekarno yang dikeluarkan beberapa saat setelah kemerdekaan,
Maklumat politik pemerintah tanggal 1 November 1945, yang diantaranya memuat hal-hal
sebagai berikut:1

1. Politik damai dan hidup berdampingan secara damai.

2. Politik Tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.

3. Politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi,
politik dan lain-lain.

4. Politik berdasarkan piagam PBB.

1
Anonymous. 2009. Diplomasi Soekarno Hingga SBY Prinsip Politik Luar Negeri.
Melalui http://masniam.wordpress.com/2009/04/02/landasan-politik-luar-negeri-
indonesia/ [04/05/10]
Berdasarkan maklumat tersebut sesungguhnya telah jelas prinsip yang digunakan
Indonesia dalam pelaksanaan Politik Luar Negerinya, yaitu kebijakan untuk bertetangga baik
dengan semua negara-negara di kawasan, kebijakan tidak turut campur tangan urusan
domestik negara lain dan mengacu pada Piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan
negara lain.

Tetapi, kedatangan sekutu yang berniat melucuti senjata Tentara Jepang menimbulkan
ancaman bagi kemerdekaan yang baru diraih karena sekutu ternyata ditunggangi oleh NICA
(Netherlands Indies Civil Administration). Tindakan ini jelas memperlihatkan sikap Pemerintah
Belanda yang tidak mengakui kemerdekaan Republik Indonesia dan berniat menanamkan
kembali kekuasaannya atas Indonesia. Kedatangan Belanda ini semakin memperparah situasi
pasca kemerdekaan. Ditengah kondisi membangun negeri ini mlai dari NOL, Indonesia harus
melawan pasukan sekutu dan NICA demi mempertahanlan kemerdekaan yang telah diraih.

Pada masa pasca kemerdekaan (1945-1950), keadaan ekonomi indonesia sangatlah


buruk dan militer Indonesia hanya mengandalkan sisa-sisa dari penjajah Jepang. Keputusan
untuk melawan Belanda secara frontal adalah keputusan yang salah, sehingga diplomasi
dianggap sebagai cara yang tepat untuk memperoleh pengakuan dari dunia luas. Pihak-pihak
yang mendukung jalur diplomasi seperti Sutan Sjahrir beranggapan bahwa diplomasi adalah
jalan keluar yang paling realistis agar Republik Indonesia di akui secara de facto oleh dunia
internasional khususnya pengakuan kedaulatan dari Belanda. Hal ini perlu dilakukan karena
pada saat itu, Belanda adalah pihak yang termasuk dalam pemenang Perang Dunia II
sedangkan Indonesia sama sekali belum dikenal di dunia internasional. Pada saat itu,
proklamasi kemerdekaan pun belum banyak diketahui oleh orang karena keterbatasan
teknologi komunikasi. Sehingga, pengakuan dunia internasional menjadi penting sebagai modal
awal menghadapi kolonialisme Belanda.

Pada bulan November 1945, Belanda menutup pintu perdagangan luar negeri RI
sehingga menghambat ekspor Indonesia. Kondisi ekonomi yang parah semakin memburuk
dengan banyaknya barang yang bertumpuk di dalam negeri. Berbagai peperanganpun terjadi
antara sekutu dan Indonesia dalam perebutan kekuasaan. Untuk mengupayakan pengakuan
Indonesia dari negara lain, pada Agustus 1946, Soekarno mengirimkan beras sebagai bantuan
Indonesia untuk rakyat India yang sedang dilanda bencana kelaparan. Diplomasi ini dikenal
dengan diplomasi beras. Pemerintah India membalas dengan mengirimkan obat-obatan,
pakaian, dan mesin yang dibutuhkan Indonesia. Ini dinilai sebagai keberhasilan awal dari
proses diplomasi Indonesia menuju NKRI.

Baru, pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke
Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7
Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-
Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan
gencatan senjata pada 14 Oktober dan mencanangkan perundingan Linggarjati yang dimulai
tanggal 11 November 1946.4 Dalam perundingan ini, Indonesia diwakili oleh Kabinet Sjahrir III
yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan tiga anggota: Mohammad Roem,
Susanto Tirtoprodjo, dan AK Gani. Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan
dipimpin oleh Schermenhorn dengan anggota Max Van Poll, F de Boer, dan HJ Van Mook. Lord
Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Perjanjian Linggarjati dianggap sebagai kekalahan diplomasi Indonesia karena Belanda


mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia yang terdiri dari Jawa, Sumatera dan
Madura. Terlebih, Indonesia diakui bukan sebagai NKRI tetapi RIS dengan Ratu Yuliana
sebagai kepala perserikatan. Kekalahan ini dianggap sebagai hasil dari lemahnya kekuatan
diplomasi Indonesia pada saat itu hingga menghasilkan pergolakan dan menguatkan upaya
revolusi. Jenderal Sudirman dan Tan Malaka beranggapan bahwa berunding dengan
Pemerintahan Belanda tidak ada gunanya karena hanya merugikan Republik saja, tuntutan
Merdeka 100% serta slogan-slogan “merdeka atau mati” menjadi tujuan perjuangan
revolusioner.

Perjanjian Linggarjati akhirnya dilanggar oleh pihak Belanda dengan melakukan Agresi
Militer I. Kemudian perjanjian Renville yang mulai melibatkan pihak ketiga mengalami
kegagalan akibat ketidak patuhan Belanda terhadap isi perjanjian. Kegagalan yang terus
berlangsung dari pihak yang berdiplomasi menimbulkan banyak kecaman dari dalam negeri
terutama bagi mereka yang menuntut gerakan-gerakan revolusioner dan konfrontasi karena
kecewa atas hasil-hasil yang dicapai selama ini.

Hal tersebut yang kemudian membawa Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri RI
Mohammad Hatta menyampaikan prinsip-prinsip kebijakan luar negeri RI yang bebas dan aktif
di hadapan Sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 2 September
1948. Pada pidatonya yang berjudul “Mendayung di Antara Dua Karang”, menegaskan perlu
adanya sikap rasional dalam menanggapi permasalahan yang muncul pada bangsa Indonesia
saat itu.5 Perjuangan melawan kekuatan Belanda yang kala itu mendapat dukungan dari pihak
Barat tidak serta merta harus dilawan melalui peperangan yang menggunakan media fisik tetapi
juga perlu adanya perjuangan diplomasi. Tindakan ini yang kemudian ditekankan oleh Bung
Hatta melalui slogan politik luar negerinya yaitu Politik Bebas Aktif dimana frase tersebut tidak
hanya sebuah retorika tetapi ada makna penting yang tersimpan di baliknya.

Makna Politik Bebas Aktif

Perkataan bebas dapat diberi makna yang kurang baik, apabila dengan bebas
dimaksudkan perbuatan yang sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab. Dalam
penjelasan ciri-ciri politik luar negeri Indonesia, kiranya perkataan bebas dalam konotasi yang
kurang baik itu dapat sedini mungkin dikesampingkan, mengingat politik luar negeri Indonesia
memang bukan politik yang tidak bertanggung jawab.

Jadi, bebas dapat didefinisikan sebagai “berkebebasan politik untuk menentukan dan
menyatakan pendapat sendiri terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya
masing-masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok”.

A.W Wijaya merumuskan: Bebas berarti tidak terikat oleh suatu ideologi atau oleh suatu
politik negara asing atau oleh blok negara-negara tertentu, atau negara-negara adikuasa (super
power). Aktif artinya dengan sumbangan realistis giat mengembangkan kebebasan
persahabatan dan kerjasama internasional dengan menghormati kedaulatan negara lain.
Sementara itu Mochtar Kusumaatmaja merumuskan bebas aktif sebagai berikut: Bebas dalam
pengertian bahwa Indonesia tidak memihak pada kekuatan-kekuatan yang pada dasarnya tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa sebagaimana dicerminkan dalam Pancasila. Aktif : berarti
bahwa di dalam menjalankan kebijaksanaan luar negerinya, Indonesia tidak bersifat pasif-reaktif
atas kejadiankejadian internasionalnya, melainkan bersifat aktif .

B.A Urbani menguraikan pengertian bebas sebagai berikut : perkataan bebas dalam politik
bebas aktif tersebut mengalir dari kalimat yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945
sebagai berikut : supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas. Jadi menurut pengertian ini,
dapat diberi definisi sebagai “berkebebasan politik untuk menentukan dan menyatakan
pendapat sendiri, terhadap tiap-tiap persoalan internasional sesuai dengan nilainya masing-
masing tanpa apriori memihak kepada suatu blok”.

Politik bebas aktif sejak lahirnya sudah ditakdirkan aktif. Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 aline pertama menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa, dan oleh sebab itu, harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan perikeadilan.” Kemudian dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
alinea keempat dicanangkan pula bahwa Indonesia berkewajiban untuk “ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan social.” Bagaimana gerangan dapat “menghapuskan penjajahan di atas bumi” dan
bagaimana pula mungkin “ikut serta melaksanakan ketertiban dunia,” apabila Indonesia
menjalankan politik yang tidak aktif.

Pada Desember 1948, Belanda menggelar agresi militer untuk kedua kalinya terhadap
Indonesia. Presiden Soekarno, Wapres Moh. Hatta dan Menteri Luar Negeri Agus Salim
ditangkap Belanda di ibukota Yogyakarta dan kemudian diasingkan ke Pulau Bangka, Sumatra.
Sidang Kabinet Darurat RI kemudian menunjuk Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara
agar membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). A.A. Maramis yang saat itu
sedang berada di New Delhi menjadi Menteri Luar Negeri PDRI. Ini menimbulkan kecaman bagi
masyarakat internasional karena Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar Belanda
dan Indonesia segera menghentikan segala aktifitas militer. Belanda diminta DK PBB untuk
segera melepaskan semua tahanan politik yang ditahan sejak awal Agresi Militer II. Pada masa-
masa ini, mulai terlihat buah dari hasil perjuangan diplomasi Indonesia.

Untuk membantu Indonesia yang sedang diserang Belanda, India dengan dukungan
Birma menyelenggarakan Konferensi Asia mengenai Indonesia di New Delhi. Konferensi
dipimpin langsung oleh PM India Jawaharlal Nehru. Terselenggaranya KKA menjadi poin utama
munculnya simpati dari dunia internasional terhadap perjuangan bangsa Indonesia dengan
pengakuan kedaulatan dari kebanyakan negara-negara di Afrika maupun Asia. Selain itu,
semua delegasi yang hadir saat itu, mulai dari negara-negara Asia hingga Australia dan
Selandia Baru dari Pasifik, mengutuk Agresi Militer II Belanda. Indonesia juga mendapat
bantuan dari negara tetangga Birma yang memberikan dukungan bagi perjuangan Indonesia
melawan Belanda dengan mengizinkan pesawat “Indonesian Airways” Dakota RI-001 Seulawah
untuk beroperasi di Birma. Pesawat Seulawah adalah hadiah dari rakyat Aceh kepada Presiden
Soekarno.
Semakin menuju titik kemenangan, kemudian Konferensi Inter-Indonesia
diselenggarakan diantara “negara-negara federal” di Hindia Belanda, seperti: Jawa Tengah,
Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar. Dalam Konferensi tersebut, negara-
negara tersebut mendukung penyerahan tanpa syarat kedaulatan mereka kepada Republik
Indonesia. Lalu, barulah dengan ditandatanganinya Persetujuan Meja Bundar di Den Haag
pada 27 Desember 1949, konflik diantara Indonesia dan Belanda berakhir. Di hari yang sama,
Wakil Kerajaan Belanda menyerahkan kekuasaan formal kepada Pemerintah Republik
Indonesia Serikat (RIS) di Jakarta, yang diwakili oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku
Penjabat Perdana Menteri RIS.

Keberhasilan Indonesia dalam merebut kemerdekaan melalui meja perundingan ini


menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai kepentingannya. Betapa pada
masa ini, kekuatan diplomasi Indonesia disegani oleh negara-negara lain. Pada kondisi
kapabilitas militer dan ekonomi yang kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik
internasional dan memperoleh kemerdekaannya dengan diplomasi

B. Politik Luar Negeri Indonesia Pada masa Orde Lama

Setelah berakhirnya Konferensi Meja Bundar. berlangsung aksi besar-besaran menuntut


dibentuknya NKRI menggantikan Republik Indonesia Serikat. Hal ini ditanggapi dengan
diadakannya perjanjian oleh tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia
Timur, dan Negara Sumatera Timur pada 17 Agustus 1950. Sejak itu, Negara Indonesia
diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950
yang menganut sistem kabinet parlementer dan mulai berlangsungnya Orde Lama.

Orde lama menandakan jalan baru bagi Indonesia untuk membangun negaranya
terbebas dari ancaman-ancaman sekutu untuk melakukan invasi. Orde ini berlangsung dari 17
Agustus 1950 sampai 6 Juli 1959. Dengan terbentuknya NKRI, Indonesia mulai terlibat secara
aktif dengan hubungan-hubungan antarnegara baik dalam high politics atau low politics. Pada
dasawarsa 1950-an landasan operasional dari prinsip bebas aktif mengalami perluasan makna.
Hal ini dinyatakan oleh Presiden Soekarno dalam pidatonya berjudul “Jalannya Revolusi Kita”
pada 17 Agustus 1960. Dalam pandangan Presiden Soekarno, pendirian Indonesia yang bebas
aktif itu, secara aktif pula harus dicerminkan dalam hubungan ekonomi dengan luar negerinya
yang tidak berat sebelah ke barat atau ke timur”.

Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno ini Indonesia terkenal mendapat sorotan
tajam oleh dunia internasional. Bukan hanya keaktifannya dan juga peranannya di kancah
internasional tetapi ide-ide serta kebijakan luar negerinya yang menjadi panutan beberapa
negara pada saat itu. Masa orde lama merupakan titik awal bagi Indonesia dalam menyusun
strategi dan kebijakan luar negerinya. Dasar politik luar negeri Indonesia digagas oleh Hatta
dan beliau juga yang mengemukakan tentang gagasan pokok non-Blok. Gerakan non-Blok
merupakan ide untuk tidak memihak antara blok Barat yang diwakili oleh Amerika Serikat dan
blok Timur yang diwakili oleh USSR. Perang ideologi anatara kedua negara tersebut merebah
ke negara-negara lain termasuk ke negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia merupakan
negara pencetus non-Blok dan menjadi negara yang paling aktif dalam menyuarakan anti
memihak antara kedua blok tersebut. Indonesia juga menegaskan bahwa politik luar negerinya
independen (bebas) dan aktif yang hingga kini kita kenal dengan politik luar negeri bebas aktif.
Indonesia merupakan salah satu negara yang berani keluar dari PBB dalam menyatakan
keseriusan sikapnya.

Kemudian inti dari politik luar negeri indonesia kembali dinyatakan oleh presiden
soekarno dalam “perincian pedoman pelaksanaan manifesto politik republik indonesia”
sekaligus merupakan garis-garis besar politik luar negei indonesia dengan Keputusan Dewan
Pertimbangan Agung NP.2/ KPTS/ SD/ I/ 61 tanggal 19 Januari 1961. inti kebijakan tersebut
antara lain berisi tentang sifat politik luar negeri republik indonesia yang bebas aktif, anti
imperalisme dan kolonialisme, dan memiliki tujuan sebagai berikut:

1. mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional indonesia.

2. mengabdi pada perjuangan untuk kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa di dunia.

3. mengabdi pada perjuangan untuk membela perdamaian di dunia.

ketiga tujuan politik luar negeri tersebut pada kenyataannya tidak bisa dipisah-pisah satu dari
yang lain, khususnya dalam perjuangannya untuk membengun dunia kembali yang aman, adil,
dan sejahtera.

Tetapi, pada masa ini, Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno memiliki kecenderungan
untuk menjalin hubungan yang hangat dengan Uni Soviet yang berhaluan komunis daripada
tetangganya yang berlandaskan demokrasi. Sejumlah monumen persahabatan Indonesia dan
Uni Soviet bertebaran di berbagai wilayah Indonesia yang antara lain, Stadion Utama Bung
Karno, Pabrik Baja Krakatau Steel, dan jalan raya di Kalimantan dari Palangkaraya ke Sampit.
Pembangunan Stadion Utama Bung Karno mendapatkan bantuan lunak dari Uni Soviet
sejumlah 12,5 juta Dollar AS. Stadion dibangun mulai tahun 1958 dan pembangunan tahap
pertama selesai pada tahun 1962

Secara jelas terlihat Indonesia pada saat itu cenderung berporos ke Timur dan dekat
dengan negara-negara komunis seperti Cina dan USSR dibandingkan dengan negara-negara
Barat seperti Amerika Serikat. Presiden Soekarno juga menetapkan politik luar marcusuar
dimaana dibuat poros Jakarta-Peking-Phyongyang. Hal ini menyulut kontrofersi dimata dunia
internasional, karena Indonesia yang awalnya menyatakan sikap sebagai negara non-Blok
menjadi berpindah haluan. Hal ini membuat tidak berjalan dengan efektifnya politik luar negeri
bebas aktif saat itu.

Hubungan Indonesia dengan Barat tidaklah harmonis. Indonesia pada masa


kepemimpinan Soekarno memperlihatkan sifat-sifat militan dan cenderung konfrontatif terhadap
segala unsur yang diidentifikasi sebagai imperialisme. Dalam hal ekonomi, Soekarno mengatur
segala rencana pembangunan ekonomi dan memiliki semboyan BERDIKARI yang
merefleksikan pendirian anti-Barat. Karena inilah, secara umum hubungan Indonesia dengan
negara – negara Barat bisa dikatakan tidak harmonis.
C. Politik Luar Negeri Indonesia pada masa Orde Baru

Pergantian kekuasaan dari rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno menuju rezim
Orde Baru yang dipimpin Soeharto memberikan perubahan yang cukup mendasar dalam sifat
diplomasi Indonesia. Soekarno dengan haluan politik luar negeri yang revolusioner dan anti-
imperialisme bersifat sangat konfrontatif. Sebaliknya, setelah memasuki rezim Orde Baru, sifat
politik luar negeri Indonesia yang konfrontatif tersebut berganti dengan politik yang bersifat
kooperatif. Pada rezim Orde Baru, hubungan yang tidak baik dengan Barat mulai diperbaiki. Hal
ini dilakukan terutama karena orientasi politik luar negeri Indonesia berubah haluan menjadi
pembangunan ekonomi dalam negeri melalui kerja sama dengan negara-negara lain.

Walaupun Orde Baru dianggap bobrok, namun kekuatan diplomasi Indonesia dianggap
kembali pada kejayaannya dengan kembali diperhitungkannya keberadaan Indonesia dalam
kancah politik dan ekonomi. Indonesia dipandang sebagai negara tempat berinvestasi yang
menjanjikan dan suara Indonesia didengarkan di kawasan Asia Tenggara. Pada masa orde
baru, landasan operasional politik luar negeri indonesia kemudian semakin dipertegas dengan
beberapa peraturan formal, diantaranya adalah ketetapan MPRS no. XII/ MPRS/1966 tanggal 5
Juli 1966 tentang penegasan kembali landasan kebijaksanaan politik luar negeri indonesia. TAP
MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri indonesia adalah:

1. Bebas aktif, anti-imperealisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya


dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

2. Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.

Pemerintah Orde Baru menyadari bahwa untuk melakukan pembangunan, Indonesia


membutuhkan dana yang sangat besar. Karenanya kerja sama dengan negara-negara lain ini
mulai dibuka untuk mendapatkan bantuan luar negeri demi melaksanakan pembangunan
ekonomi dalam negeri. Diplomasi yang dilakukan oleh Orde Baru banyak disebut sebagai
”Diplomasi Pembangunan” (Diplomacy For Development). Salah satu hasil diplomasi
pembangunan Orde Baru terkait dengan upaya untuk mendapatkan bantuan luar negeri adalah
Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI/Kelompok Antarpemerintah Mengenai
Indonesia).

Usaha untuk membentuk IGGI tersebut mulai dilakukan pada bulan September 1966
dalam pertemuan antara 12 negara kreditor yang dilaksanakan di Tokyo untuk mengetahui
rencana Indonesia dalam memperbaiki keadaan ekonomi dan evaluasi IMF akan rencana
tersebut. Dalam forum ini, Indonesia berhasil menggalang dukungan dan menegosiasikan
utangnya kepada para kreditur dalam forum Paris Club dan dirasakan perlunya forum antar
pemerintah untuk membantu pembangunan di Indonesia, baik berupa dana maupun pemikiran.
Kesepakatan untuk membentuk sebuah forum formal dalam rangka membantu perekonomian
Indonesia dicapai pada pertemuan ini. Hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah keberhasilan
diplomasi pembangunan waktu itu. Pada tanggal 20 Februari 1967, IGGI dibentuk melalui
pertemuan formal di Amsterdam yang dihadiri oleh sejumlah negara kreditor utama dan
lembaga Internasional.

Diplomasi pembangunan Indonesia pada masa awal Orde Baru tersebut dapat
dikatakan berhasil dalam memperoleh bantuan luar negeri. Hal ini sesuai dengan tujuan dari
diplomasi ekonomi, yaitu mengamankan resources ekonomi yang berasal dari luar negeri untuk
pembangunan ekonomi luar negeri. Dalam hal ini, resources ekonomi utama yang berusaha
diamankan adalah bantuan luar negeri yang berasal dari negara – negara maju. Pembentukan
IGGI ini dapat kita anggap sebagai pelaksanaan dari teori containment untuk mencegah
Indonesia kembali memihak blok Timur seperti pada masa Demokrasi Terpimpin. Indonesia
dinilai sebagai sebuah negara yang sangat strategis dalam pelaksanaan teori containment ini
karena merupakan negara Asia Tenggara yang cukup terkemuka. Karena itu, penanaman
pengaruh blok Barat pada Indonesia dinilai sangat penting untuk menjaga dan meningkatkan
pengaruh blok Barat di kawasan Asia Tenggara. Masuknya bantuan luar negeri tersebut juga
bertujuan untuk mengendalikan berbagai kebijakan dalam negeri Indonesia. Hal ini bertujuan
untuk mengamankan kepentingan para negara kreditor tersebut di Indonesia, terutama
kepentingan ekonomi.

Sesuai dengan perspektif realis yang menyatakan bahwa pemberian bantuan luar negeri
pada dasarnya dilakukan atas dasar kepentingan negara pemberi bantuan tersebut. Pemberian
bantuan dengan tujuan seperti ini membuat Indonesia terjebak dalam kondisi dependensi.
Indonesia menjadi sangat tergantung dengan bantuan asing tersebut, yang terlihat dari
dimasukkannya hutang luar negeri dalam daftar sumber dana APBN. Ketergantungan terhadap
sumber pendanaan asing ini memungkinkan intervensi pihak asing terhadap berbagai kebijakan
pemerintah. Dengan begitu, lewat bantuan luar negeri, maka negara – negara Barat dapat
mengontrol kehidupan politik dan ekonomi dalam negeri. Hal ini terlihat dari penguasaan pihak
asing terhadap sumber daya alam di Indonesia, kemudahan masuknya barang impor dari
negara – negara Barat, dan berbagai kebijakan Pemerintah yang selalu memihak terhadap
perusahaan asing jika terjadi konflik antara buruh lokal dan perusahaan asing tersebut.
Indonesia dalam hal ini berada dalam posisi sebagai negara perifer yang selalu bergantung
pada negara – negara sentral. Indonesia diposisikan sebagai pemasok tenaga kerja yang
murah serta bahan mentah dalam pembagian kerja global tersebut.

Kondisi dependensia ini menjadi sebuah ”bom waktu” bagi Indonesia. Terbukti, setelah
Perang Dingin berakhir dan nilai strategis Indonesia dalam teori containment hilang, maka
berbagai akses terhadap sumber pendanaan luar negeri tersebut menjadi sulit. Stabilitas
ekonomi dan politik dalam negeri menjadi terganggu dan akhirnya berpuncak pada terjadinya
Krisis Moneter tahun 1998. Pihak asing pun telah menguasai banyak sumber daya strategis
dalam negeri melalui berbagai perusahaan multinasional.

Meski begitu, di luar berbagai efek negatif yang disebabkan oleh bantuan luar negeri
yang masuk ke Indonesia, terbentuknya IGGI tetap dapat dilihat sebagai keberhasilan diplomasi
pembangunan pertama Indonesia, karena merupakan bentuk kepercayaan luar negeri yang
dilembagakan. Hal lain yang menjadi sasaran politik luar negeri indonesia dijelaskan secara
lebih spesifik dan rinci pada TAP MPR RI No. II/ MPR/ 1983 yang menandakan bahwa
indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional yang berkembang saat itu.
Indonesia berusaha untuk mengangkat hubungan yang lebih akrab dengan tetangga-
tetangganya yang satu kawasan melalui peningkatan hubungan ASEAN. Dengan demikian,
Soeharto mengalihkan prioritas politik luar negeri Indonesia dari lingkungan geografis yang
lebih luas, yakni dari Gerakan Asia-Afrika dan Non Blok, ke lingkungan geografis yang lebih
kecil.

Soeharto berusaha untuk mengangkat regionalisme Asia Tenggara sebagai landasan


politik luar negeri Indonesia. Ia memberikan prioritas yang paling utama kepada hubungan yang
dekat dan harmonis melalui penggalangan kerja sama yang lebih mantap dengan negara-
negara tetangga karena di sinilah terletak kepentingan nasional kita yang paling vital.
Karenanya penciptaan kestabilan dan kerja sama regional di Asia Tenggara mendapatkan
prioritas yang tinggi". Asia Tenggara yang diidam-idamkan Jenderal Soeharto adalah suatu
Asia Tenggara yang terintegrasi, ia menjadi benteng dan pangkalan paling kuat untuk
menghadapi pengaruh ataupun intervensi dari luar. Ia juga harus mampus menghadapi
imperialisme dan kolonialisme dalam bentuk apa pun dan dari pihak mana pun.

Untuk mencapai peningkatan stabilitas dan pengembangan itulah Indonesia


memprakarsai pembentukan ASEAN yang lebih terintegrasi melalui pembukaanpembukaan
jalan menuju Komunitas ASEAN yang diharapkan dapat memupuk dan membina kerja sama
yang lebih erat dan berguna bagi pengembangan ketahanan masing-masing.

D. Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Reformasi

B.J. Habibie

Pemerintahan pasca-orde baru ini setidaknya secara substansif dalam landasan politik
luar negerinya berusaha untuk menuju kembali kepada masa kejayaan pada masa dulu.
Indonesia yang tengah meniti jalan menuju demokrasi yang menyeluruh. Dalam kaitannya
dengan kondisi dalam negeri, politik luar negeri Indonesia sejak kejatuhan pemerintahan Orde
Baru pada tahun 1998 tidak dapat dilepaskan dari perubahan politik secara besar-besaran yang
mengikuti kejatuhan pemerintahan otoritarian tersebut. Pemerintahan Habibie, yang
menggantikan Soeharto, merupakan salah satu contoh tepat untuk menggambarkan pertautan
antara proses demokratisasi dan kebijakan luar negeri dari sebuah pemerintahan di masa
transisi.

Di awal masa pemerintahannya, Habibie menghadapi persoalan legitimasi yang cukup


serius. Tidak hanya menangani masalah ekonomi yang akut, ia juga harus menyelesaikan
masalah HAM yang dihasilkan oleh pemerintahan terdahulu. Untuk hal ini, Habibie berusaha
mendapatkan dukungan internasional melalui beragam cara. Diantaranya, pemerintahan
Habibie menghasilkan dua Undang- Undang (UU) yang berkaitan dengan perlindungan atas
hak asasi manusia antara lain:

1. UU no.5/1998 mengenai Pengesahan Convention against Torture and other Cruel,


Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
2. UU no.29/1999 mengenai Pengesahan Convention on the Elimination of All Forms of
Racial Discrimination 1965.

Selain itu, pemerintahan Habibie pun berhasil mendorong ratifikasi empat konvensi
internasional dalam masalah hak-hak pekerja. Pembentukan Komnas Perempuan juga
dilakukan pada masa pemerintahan Habibie yang pendek tersebut.

Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Habibie menaikkan kembali derajat kepercayaan


internasional terhadap Indonesia. Habibie mampu memperoleh simpati dari IMF dan Bank
Dunia dengan keputusan kedua lembaga tersebut untuk mencairkan program bantuan untuk
mengatasi krisis ekonomi sebesar 43 milyar dolar dan bahkan menawarkan tambahan bantuan
sebesar 14 milyar dolar. Hal ini memperlihatkan bahwa walaupun basis legitimasi dari kalangan
domestik tidak terlampau kuat, namun dukungan internasional yang diperoleh melalui
serangkaian kebijakan untuk memberi citra positif kepada dunia internasional memberikan
dukungan bagi keberlangsungan pemerintahan Habibie saat periode transisi menuju demokrasi
dimulai.

Tetapi, Pemerintahan Habibie pula yang memberi pelajaran penting bahwa kebijakan
luar negeri, sebaliknya, juga dapat memberi dampak negatif bagi kelangsungan pemerintahan
transisi. Kebijakan Habibie dalam persoalan Timor-Timur menunjukan hal ini dengan jelas.
Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor-Timur pada bulan Juni 1998
dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi
Timor Timur. Hingga pada akhirnya Indonesia harus kehilangan Timor- Timur melalui jajak
pendapat. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional
maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam
pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum,
namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di
Timor Timur setelah referendum.

Abdurrahman Wahid

Pemilu pada 1999 membawa Abdurrahman Wahid sebagai presiden terpilih periode
1999-2004. Tidak banyak kemajuan yang terjadi pada masa pemerintahannya, terutama dalam
politik luar negeri. Terlepas dari perjalanan transisi menuju demokrasi, kepercayaan
internasional masih terasa rendah terhadap Indonesia. Hubungan sipil militer menjadi salah
satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan
sipil militer ini terutama terlihat dalam isu separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor
Timur seperti menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik
(hubungan sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri).

Hubungan sipil militer merupakan salah satu isu utama dalam perjalanan transisi menuju
demokrasi di Indonesia. Dinamika hubungan sipil militer ini terutama terlihat dalam isu
separatisme, baik di Aceh maupun Papua. Isu Timor Timur seperti di uraikan diatas juga
menjadi contoh penting yang memperlihatkan keterkaitan antara faktor domestik (hubungan
sipil militer) dan faktor eksternal (diplomasi dan politik luar negeri). Bila dalam periode Habibie
terjadi hubungan saling ketergantungan antara pemerintahan Habibie dengan TNI, pada masa
Abdurrahman Wahid terjadi power struggle yang intensif antara presiden Wahid dengan TNI
sebagai akibat dari usahanya untuk menerapkan kontrol sipil atas militer yang subyektif
sifatnya.

Pasca reformasi, ketika Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia, politik luar negeri
Indonesia cenderung mirip dengan politik luar negeri Indonesia yang dijalankan oleh Soekarno
pada masa orde lama, dimana lebih menekankan pada peningkatan citra Indonesia pada dunia
internasional. Pada masa pemerintahannya, politik internasional RI menjadi tidak jelas arahnya.
Hubungan RI dengan dunia Barat mengalami kemunduran setelah lepasnya Timor Timur. Salah
satu yang paling menonjol adalah memburuknya hubungan antara RI dengan Australia. Wahid
memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional, untuk itu dia melakukan
banyak kunjungan ke luar negeri selama satu tahun awal pemerintahannya sebagai bentuk
implementasi dari tujuan tersebut. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif selama
masa pemerintahannya yang singkat, Abdurrahman Wahid secara konstan mengangkat isu-isu
domestik dalam pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk
dalam hal ini, selain isu Timor Timur, adalah soal integritas teritorial Indonesia seperti dalam
kasus Aceh dan isu perbaikan ekonomi. Namun, sebagian besar kunjungan – kunjungannya itu
tidak memiliki agenda yang jelas. Bahkan, dengan alasan yang absurd, Wahid berencana
membuka hubungan diplomatik dengan Israel, sebuah rencana yang mendapat reaksi keras di
dalam negeri. Dan dengan tipe politik luar negeri Indonesia yang seperti ini membuat politik luar
negeri Indonesia menjadi tidak fokus yang pada akhirnya hanya membuat berbagai usaha yang
telah dijalankan oleh Gus Dur menjadi sia-sia karena kurang adanya implementasi yang konkrit.

E. Politik Luar Negeri Indonesia pada masa Demokrasi Hingga saat ini.

Megawati Soekarnoputri

Setelah Presiden Wahid diberhentikan pada tahun 2001, ia digantikan oleh Presiden
Megawati yang menjabat sebagai wakil presiden pada saat itu. Sebagai presiden, Megawati
secara ekstensif melakukan kunjungan ke luar negeri untuk memperoleh dukungan
internasional. Megawati antara lain mengunjungi Rusia, Jepang, Malaysia, New York untuk
berpidato di depan Majelis Umum PBB, Rumania, Polandia, Hungaria, Bangladesh, Mongolia,
Vietnam, Tunisia, Libya, Cina dan juga Pakistan.

Tetapi, Presiden Megawati menuai kritik dalam berbagai kunjungannya tersebut, baik
mengenai frekuensi ataupun substansi dari berbagai lawatan tersebut. Mengingat, seringnya
beliau berada di luar negeri untuk kunjungan kenegaraan padahal seorang presiden tidak
diperbolehkan untuk berlama-lama ke luar negeri. Diantara kontroversi tersebut adalah
pembelian pesawat tempur Sukhoi dan helikpoter dari Rusia yang merupakan buah dari
kunjungan Megawati ke Moskow. Terlepas dari berbagai kunjungan formal tersebut, politik luar
negeri Indonesia selama masa pemerintahan Megawati juga dipengaruhi beragam peristiwa
nasional maupun internasional. Peristiwa serangan teroris 11 September 2001 di Amerika
Serikat, pemboman di Bali 2002 dan hotel JW Marriott di Jakarta tahun 2003, penyerangan ke
Irak yang dipimpin Amerika Serikat dan Ingrris dan juga operasi militer di Aceh untuk
menghadapi GAM merupakan beberapa variabel yang mewarnai dinamika internal dan
eksternal Indonesia. Variabel tersebut membawa persoalan turunan yang rumit. Misalnya,
perang melawan terorisme di satu sisi mengharuskan Indonesia untuk membuka diri dalam
kerjasama internasional. Di sisi lain, peristiwa ini juga menjadi isu besar mengenai perlindungan
terhadap kebebasan sipil di tengah proses demokratisasi, seiring dengan meningkatnya
kekhawatiran bahwa negara akan mendapatkan momentum untuk mengembalikan prinsip
security approach di dalam negeri.

Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa diplomasi Indonesia kembali menjadi aktif
pada masa pemerintahan Megawati. Dalam pengertian bahwa pelaksanaan diplomasi di masa
pemerintahan Megawati kembali ditopang oleh struktur yang memadai dan substansi yang
cukup. Bahkan Departemen Luar Negeri mengalami restrukturisasi guna memperbaiki
kinerjanya. Restrukturisasi ini sangat tepat waktu mengingat perubahan global terjadi begitu
cepat, terutama setelah peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat. Perubahan cepat ini
memaksa setiap negara untuk mampu beradaptasi dan mengelola arus perubahan tersebut.

Susilo Bambang Yudhoyono

Dengan kemenangan pada pemilu 2004, membawa Susilo Bambang Yudhoyono dan
Jusuf Kalla memangku jabatan presiden dan wakil presiden. Kabinet ini meletakkan landasan
operasional politik luar negerinya dalam tiga program utama nasional kebijakan luar negeri,
yang termuat dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) tahun 2004-2009, yaitu:

1. pemantapan politik luar negeri dan optimalisasi diplomasi indonesia dalam penyelenggaraan
hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri. tujuan pokok dari upaya tersebut
adalah meningkatkan kapasitas dan kinerja politik luar negeri dan diplomasi dalam memberikan
kontribusi bagi proses demokratisasi, stabilitas politik dan persatuan nasional. langkah ini
sejalan dengan pidato bung hatta pada 15 desember 1945, yang menyatakan bahwa “politik
luar negeri yang dijalankan oleh negara mestilah sejalan dengan politik dalam negeri”. seluruh
rakyat harus berdiri dengan tegak dan rapat dibelakang pemerintah republik indonesia.
sebagaimana lebih lanjut disampaikan oleh hatta, bahwa “persatuan yang sekuat-kuatnya harus
ada, barulah pemerintah dapat mencapai hasil yang sebaik-baiknya dalam diplomasi yang
dijalankan”.

2. peningkatan kerjasama internasional yang bertujuan memanfaatkan secara optimal berbagai


peluang dalam diplomasi dan kerja sama internasional, terutama kerjasama ASEAN dalamn
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri merupakan
aktualisasi dari pendekatan ASEAN sebagai concentric circle utama politik luar negeri
indonesia.

3. penegasan komitmen perdamaian dunia yang dilakukan dalam rangka membengun dan
mengembangkan semangat multilateralisme yang dilandasi dengan penghormatan terhadap
hukum internasional dipandang sebagai cara yang lebih dapat diterima oleh subjek hukum
internasional dalam mengatasi masalah keamanan internasional. komitmen terhadap
perdamaian internasional relevan dengan tujuan hidup bernegara dan berbangsa, sebagaimana
dituangkan dalam alinea IV pembukaan undang-undang dasar 1945.
Hal yang cukup mengejutkan mengenai politik luar negeri Indonesia adalah
digalakkannya politik luar negeri dari “Bebas-Aktif yang menuju Dinamis- Proaktif”. Dalam
pidato bersejarah, “Mendayung di Antara Dua Karang”, Bung Hatta mengatakan:

“...mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara
kita hanya harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika?

Beliau kemudian menggariskan bahwa Indonesia tidak boleh sekadar menjadi objek dalam
percaturan internasional. Indonesia harus menjadi subjek yang dapat menentukan kebijakannya
sendiri.

Dalam pandangan Presiden Yudhoyono, prinsip bebas-aktif tidak berarti menjadikan


Indonesia tidak berani bersikap. Dengan prinsip itu, Indonesia berjuang sebagai pelopor
membebaskan bangsa-bangsa dari segala macam penjajahan dan aktif mendorong
mewujudkan tata dunia baru yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan.
Presiden Yudhoyono menyatakan bahwa sudah waktunya Indonesia memiliki kebijakan luar
negeri baru sesuai dengan perubahan dunia saat ini. Indonesia harus menegakkan harga
dirinya dan tidak mengedepankan sikap emosional dalam menghadapi masalah internasional.
Melihat realitas yang ada, dalam bersikap kita juga harus dapat memadukan aturan, nilai
hubungan internasional, kondisi pasar dunia, demokrasi, dan rasionalitas.

Karena itu, strategi polugri mendatang harus akomodatif agar mampu menghadapi
berbagai perubahan dunia kontemporer. Indonesia harus dapat menentukan skala prioritas,
apakah fokus pada masalah multilateral, regional, ataukah bilateral. Selain itu, harus berani
berpihak pada masalah-masalah yang tak kenal batas negara, seperti hak asasi manusia,
lingkungan, gender, dan kemiskinan. Indonesia juga dituntut untuk menyelaraskan kemampuan
dan kapasitasnya sendiri dan mendefinisikan kepentingan nasionalnya dengan jelas. Paralel
dengan itu, Indonesia tampaknya perlu prioritas kepada masalah regional dan bilateral yang
secara langsung berdampak pada kepentingan nasional dan mampu meningkatkan bargaining
position Indonesia di dunia.

Sekarang ini, berdasarkan pandangan Menlu Marty Natalagawa, pemerintahan


Indonesia saat ini tampak tegas dalam menjalankan politik luar negerinya karena Indonesia bisa
dengan tegas mengambil keputusannya sendiri dengan tidak ingin ikut-ikutan membentuk atau
bergabung dalam aliansi tertentu sehingga Indonesia tidak memiliki musuh dalam konteks
hubungan internasional. Selain itu pula, katanya, Indonesia juga tidak pernah menganggap
negara mana pun sebagai ancaman sehingga semua negara sebetulnya mempunyai tataran
yang sama dan setara.

Posisi Indonesia dalam menjalankan politik luar negeri bebas aktif menjadikan Indonesia
bisa memainkan peranannya dalam kancah dunia internasional, khususnya dalam menciptakan
perdamaian dunia. Demikian juga untuk pelaksanaan politik di dalam negeri, pemerintah tetap
menganut asas demokratis dalam upaya untuk menunjang politik luar negeri yang bebas aktif.
Presiden Yudhoyono menegaskan bahwa Indonesia akan tetap menjalankan prinsip politik luar
negeri yang bebas dan aktif. Tetapi, Indonesia perlu membangun sebuah jangkar yang lebih
kuat untuk peran regional dan globalnya dimasa depan memang diperlukan, tetapi tidak cukup
jika kita ingin mendapatkan perspektif yang lebih baik mengenai bagaimana politik luar negeri
Indonesia dapat menjadi jangkar untuk membantu Indonesia dalam menghadapi tantangan
yang lebih berat di tahun-tahun berikutnya yang jelas keputusan luar negeri Indonesia dibuat
dan dipengaruhi oleh faktor-faktor domestik dan internasional. Jika PLNRI yang diterjemahkan
Bung Hatta adalah ‘bagaikan mendayung di antara 2 karang’, maka Pak Banto mengatakan
bahwa PLNRI di masa SBY adalah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani
2 karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani
pihak-pihak yang sedang bermasalah.

Kemudian, terdapat aktivisme baru dalam PLNRI masa SBY. Ini dilihat pada: komitmen
Indonesia dalam reformasi DK PBB, atau gagasan SBY untuk mengirim pasukan perdamaian
di Irak yang terdiri dari negara-negara Muslim (gagasan ini belum terlaksana hingga kini).

Selain itu, terdapat ciri-ciri khas PLNRI di masa SBY, yaitu:

• terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China,


India, dll).

• terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia pada perubahan-perubahan domestik dan


perubahan-perubahan di luar negeri.

• ‘prakmatis kreatif’ dan ‘oportunis’, artinya Indonesia mencoba menjalim hubungan


dengan siapa saja yang bersedia membantu dan menguntungkan pihak Indonesia.

• TRUST, yaitu: membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Yakni: unity,


harmony, security, leadership, prosperity.2

Menjadikan TRUST sebagai sasaran berarti politik luar negeri Indonesia itu tegas,
efektif, konsisten, tetapi fleksibel dan adaptif. Oleh sebab itu, Indonesia, dalam menjalankan
politik luar negerinya membutuhkan kepercayaan dari publik domestik dan masyarakat
internasional. Jangkar yang lebih kuat terhadap politik luar negeri Indonesia dapat membangun
kepercayaan yang membawanya kepada kemitraan yang ekstensif. Keputusan politik luar
negeri harus dibuat berdasarkan prioritas dan berdasarkan perkiraan mengenai apa yang dapat
diberikan oleh mitra Indonesia untuk pembangunan Indonesia. Disinilah pentingnya sebuah
kemitraan. Karena tantangan politik luar negeri Indonesia yang akan semakin keras di masa
depan, maka politik luar negeri Indonesia harus dirancang sedemikian rupa sehingga ia
merefleksikan kebutuhan-kebutuhan Indonesia sekarang maupun di masa depan.

Bagi Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa sendiri, TRUST sesungguhnya adalah bagian
penting dari kepentingan nasional yang mencakup ruang domestik dan internasional.
Karenanya, pemerintah Indonesia akan tetap memilih pendekatan diplomasi multilateral dalam
pelaksanaan politik luar negeri dan kerjasama internasional pada 2010 dan seterusnya.

BAB III

2
http://frenndw.wordpress.com/2010/01/13/politik-luar-negeri-indonesia-pasca-orde-baru
diakses pada 26 februari 2010
Kesimpulan

You might also like