You are on page 1of 8

BAB I

GAGASAN DASAR

1. Pendahuluan
Walaupun pragmatik merupakan bidang ilmu yang tergolong masih mudah akan
tetapi, bidang ilmu ini cenderung tumpah ke dalam semua pemikiran linguistik. Karena
itu, sebelum menjawab tentang apa saja yang dibahasa pragmatik ada baiknya kita
memahami terlebih dahulu apa itu pragmatik? Pragmatik merupakan bagian dari ilmu
bahasa (linguistic) yang mempelajari dan membahas makna tuturan (speaker’s
meaning), makna yang berhubungan dengan konteks (contextual meaning), menelaah
maksud penutur yang lebih banyak dari pada apa yang dituturkan oleh penutur
(implicature), memahami manipulasi bahasa untuk kesopanan (politeness), memahami
anggapan dalam tuturan dan kalimat (presupposition and entailment), bagaimana
manusia bertindak dengan menggunakan medium bahasa (speech act) dan kesemuanya
itu bertumpu pada satu makna yang memungkinkan akan diragukan oleh para linguis
dan pragmatisis, yaitu “ilmu yang mempelajari makna, menciptakan makna dan
mengubah makna realitas yang terkandung pada tiap-tiap tuturan, tindakan dan
peristiwa bahasa.”
Substansi dari Pragmatik adalah “makna bahasa”; bagaimana manusia
menciptakan, mengubah dan menelaah sesuatu dan membuatnya menjadi bermakna.
Kehadiran Pragmatik dianggap sebagai pelengkap dari elemen-elemen linguistik yang
lain, yang dipandang masih belum sempurna, yaitu sintaks dan semantik. Sintak dan
Semantik sama-sama merupakan ilmu konstruksi dan konkretisasi kalimat; dalam
pandangan yang simpel bisa kita asumsikan bahwa ”makna kalimat ditentukan oleh
struktur kalimat” dan secara paradoksal bisa juga diasumsikan bahwa “makna kalimat
menentukan struktur kalimat”. Misalnya, jawaban peramal kuno di Delphi kepada Raja
Epirus saat ia ditanya “apa yang akan terjadi jika ia menyerang bangsa romawi.
Jawabnya adalah bahwa raja akan menghancurkan kerajaan yang besar; dimana ia
memulai peperangan, namun kalah perang, dan dengan demikian secara tidak langsung
menghancurkan kerajaannya sendiri, atau jika, anda ingin menyampaikan bahwa anda
sedang lapar dan ingin makan, secara sintaksis dan sematis anda harus merancang
kalimat seperti ini “Saya lapar, saya ingin mencari makan”. Tetapi, dalam
kenyataannya, kita tidak selalu menggunakan ekspresi yang sedemikian rupa, untuk
menyatakan hal tersebut, bisa saja kita berkata “Waduh, dimana warung terdekat ya?”,
atau “Udah jam makan siang nih”, atau dengan ekspresi lain. Ini memang menunjukkan
bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) tidak terikat oleh strukturasi-
strukturasi sintaktik dan Semantik. Hal ini sejalan dengan pandangan teori tata bahasa
transformasi generative yang dipopulerkan oleh Chomsky. Jika ekspresi seperti
“waduh, dimana warung terdekat” ini ditelaah secara sintaktik atau Semantik,
kemungkinan besar akan terjadi miskonsepsi terhadap makna yang ingin disampaikan
oleh penutur, oleh karena itu Pragmatik diperkenalkan dan dikembangkan pada
masyarakat dunia oleh para pakar-pakar dari barat.

1
2. Tindak Pragmatik
Tindak pragmatik secara umum yang amat penting untuk dipahami adalah
‘penolakan implisit’. dapat kita cermati saat George Bush memberikan ceramah yang
memuji perhatian presiden terhadap orang-orang yang mengidap penyakit AIDS.
Artinya bahwa tidakk boleh menghakimi sendiri masalah AIDS sebagai hukuman dari
dosa-dosa manusia
Kemudian secara eksplisit wanita tersebut menolak apa yang telah
diungkapkannya secara implisit. Dengan dasar berpikir bahwa seseorang yang terjangkit
imfeksi itu bukanlah karena ia melakukannya dengan melalui jalan yang tidak
sah(melanggar hukum), akan tetapi suaminyalah yang menularkannya kepadanya.

3. Mengapa Kita Membutuhkan Pragmatik


Karena paragmatik memberikan jawaban, penjelasan yang lebih penuh atau
sempurna dan lebih mendalam serta masuk akal tentang prilaku manusia. Oleh karena
itu banyak ahli bahasa yang menegaskan bahwa ‘kontekslah’ yang harus diperhatikan
untuk menentukan apa yang dimaksudkan oleh kalimat, atau tuturan tertentu, akan
tetapi perlu dipahami pula bahwa ‘konteks’ merupakan konsep yang terkenal sulitnya
untuk diketahui (konsep yang dimaksud di sini yang benar-benar statis), yang sedikit
menyerupai eksperimen terkotrol dalam kelas fisika atau dalam laboratorium.
Selanjutnya konteks bersifat ‘dinamis’ yakni, lingkunganlah yang selalu berkembang
dengan mantap, yang didorong oleh interaksi yang terus-menerus antara orang-orang
yang terlibat dalam pengguanaan bahasa, para pengguna bahasa. Konteks merupakan
konsep pragmatic yang hakiki(bersifat proaktif seperti dengan manusia) untuk hidup ‘di
sini dan sekarang’).

4. Kegunaan Pragmatik
Pragmatik digunakan untuk menyelamatkan kepunahan bahasa,dengan
menyingkirkan pengkatalogan ,pendeskripsian dari suatu bahasa. Karena bahasa pada
dasarnya bukan hanya sekedar untuk diuaraikan atau dideskripsikan akan tetapi,bahasa
haruslah dipraktek dalam kehidupan yang nyata. Dengan kata lain , ketika bahasa masih
masih digunakan oleh panuturnya maka kelestariannya pasti akan terjaga dan dipastikan
jauh dari ambang kepunahan.
Prakmatik juga dianggap tempat untuk menampung pertanyaan-pertanyaan
yang terus-menerus menganggu para ahli linguistik, seperti pengaruh-pengaruh yang
ditimbulkan bahasa, tanpa mengetahui secara rinci berkenaan dengan apa, dan faktor-
faktor apa yang mendorong orang-orang untuk menggunakan bahasa dan kapan mereka
menganggap penggunaan bahasa mereka berhasil dan kapan tidak. Pragmatik bertumpu
pada pemahaman dan bahkan lebih pada kerja sama sedemikian rupa. Sandaran utama
pragmatik disebut ‘cooperative principle’ dengan mengikuti filsup H.Paul Grice.
Mengungkap makna-makna yang terkandung dalam adalah salah satu cabang dari
linguistik yang secara khusus mengkaji hubungan antara bahasa dan konteks yang

2
mendasari penjelasan pengertian bahasa. Di sini, “pengertian/ pemahaman bahasa”
menghunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti suatu ungkapan/ ujaran diperlukan
juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya
dengan konteks pemakainya. Sehingga dengan demikian pendekatan pragmatik sangat
relevan digunakan untuk mengungkap makna-makna yang dikandung oleh al-Qur’an.
Di dalam ilmu pragmatik terdapat berbagai macam fenomena salah satunya adalah
tindak tutur. Teori tindak tutur bisa dijadikan sebagai piranti dalam mengungkap fungsi
kalimat perintah dalam al-Qur’an. Tindak tutur adalah gejala individual yang bersifat
psikologis dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan penutur dalam
menghadapi situasi tertentu. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh John Austin
(1911-1960). Dalam teori ini, Austin membedakan tindak tutur menjadi tiga bagian,
yaitu: tndak lokusioner.
Ada pertanyaan yang tiba-tiba mencuat akhir-akhir ini, apakah Pragmatik sudah sangat
sempurna? Karena dalam kajiannya, saya secara pribadi, menemukan beberapa kejanggalan di
dalam literatur Pragmatik itu sendiri, misalnya buku Pragmatik karya George Yule, kemudian
judul yang sama dengan penulis dan organisasi topik yang berbeda oleh Yan Huang, dan
kemudian bukunya Jenny Thomas yang berjudul Meaning in Interaction. Beberapa kejanggalan
itulah yang akan saya paparkan dalam tulisan kali ini, semoga anda tindak lanjuti kemudian
hari. Beberapa persoalan di dalam kajian Pragmatik adalah berhubungan dengan penggunaan
istilah, konsepsi dan percontohan yang tidak realistis, pengelompokan fungsi bahasa yang
membuang-buang waktu dan beberapa persoalan kecil lainnya. Pentingnya hal ini dibicarakan
adalah untuk membuka wacana baru, mengajak kita berpikir lebih kritis dan tentu saja
menjaga kita dari kesesatan. Dalam tulisan ini, saya berlandaskan pengalaman berbahasa kita
sehari-hari yang tentu saja tidak jauh berbeda. Saya berharap ada respon yang menarik dan
konstruktif dari pembaca demi pengembangan pemikiran kita mengenai bagian hidup kita
yang satu ini, yakni kesadaran berbahasa yang lebih baik.

Kata dan Rujukan (Deiksis, Referensi dan Inferensi)


Deiksis adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti “penunjukan”.
Sehingga ungkapan yang menunjukan kepada suatu objek disebut dengan ungkapan
deiksis (Yule, 1996). Misalnya kita menggunakan ungkapan yang mengandung kata
“ini”, “itu”, “-mu”, “-ku”, “-nya”, “disini”, “disana”, “sekarang”, “tadi”, “kemudian”,
maka ungkapan itu menjadi ungkapan deiksis. Deiksis, di dalam Pragmatik dibagi
menjadi deiksis persona (jika merujuk pada kepunyaan atau kedirian), deiksis
jarak/spasial (jika menunjukan jarak), deiksis waktu (jika ungkapan itu menggambarkan
waktu atau tenses), deiksis tempat (jika ,merujuk pada suatu tempat) yang sebenarnya
bisa saja dimerger menjadi satu dengan deiksis spasial. Adapun variabel-variabel yang
bermain dalam deiksis adalah referensi dan inferensi. Referensi adalah rujukan yang
dimaksud oleh penutur deiksis, sementara itu inferensi konsep yang kurang lebih harus
sama dengan referensi tetapi ada dalam pikiran pendengar. Setiap kata atau ungkapan
deiksis yang dituturkan itu merujuk pada objek atau pengertian tertentu (reference)
dan pendengar harus memiliki pengetahuan mengenai apa yang dirujuk oleh tuturan

3
itu (inference). Dalam upaya untuk mencerna referensi penutur, pendengar harus
memperhatikan pilihan kata yang digunakan oleh penutur sekaligus mensingkronkan
makna kata tersebut dengan gestur penutur (Huang, 2007). Misalnya penutur
menggunakan deiksis spasial “itu” seraya menggunakan jari telunjuk, wajah, mata atau
yang lain untuk membantu pendengar mengetahui referensi yang dimaksud. Akan
tetapi, dapatkah itu terjadi jika ungkapan deiksis itu digunakan atau diproduksi lewat
alat komunikasi tak langsung seperti telepon, surat, SMS, dan sebagainya? Huang
(2007:134) menyebutkan bahwa gestur merupakan penggunaan dasar dan simbol
seperti kata merupakan penggunaan yang lebih luas. Kedua (gestur dan simbol)
memang saling membantu satu sama lain, agar ungkapan dapat dimengerti. Tetapi
satu hal yang dilupakan oleh kedua pakar ini adalah kondisi skemata pendengar
(addressee) yang juga bermain peran sangat penting dalam penelaahan inferensi.
Skemata pendengar yang berasal dari pengalaman dialogis (pengalaman-pengalaman
yang saling berhubungan)seharusnya mendapatkan perhatian yang lebih penting
daripada sekedar membahas bagaimana memproduksi ungkapan deiksis. Anda bisa
saja mengatakan berulang-ulang “the goheba then flies crossing the mountain” kepada
seorang teman Australia, tetapi jangan harap kata “goheba” itu memberikan sebuah
arti kepada teman anda, hingga teman anda memahami bahwa “goheba” adalah
“burung” berkat frase “flies crossing the mountain”. Teman anda pasti mempunyai
pengalaman bahwa burung bisa terbang, tetapi pesawat juga bisa terbang. Bagaimana
bisa dia menentukan bahwa “goheba” itu burung dan bukan pesawat?, disinilah teman
anda membutuhkan pengalaman yang lebih dari sekedar mencerna kalimat-kalimat
anda. Skemata pengetahuannya harus dibangun melalui pertanyaan “what do you
mean with goheba?” disini jelas bahwa skemata pengetahuan pendengar berperan
sangat penting dalam hal mencerna ungkapan deiksis. Buat apa ungkapan deiksis
digunakan atau dirumuskan, jika tidak dijelaskan variabel-variabel penting yang bisa
menjelaskan makna-makna ungkapan deiksis itu bisa dicerna?

4
Implikatur
Pada hakikatnya, implikatur adalah apa yang diciptakan oleh penutur untuk
menyampaikan sebuah maksud kepada pendengar, agar kiranya makna atau
pesan yang disampaikan itu jelas tanpa harus berpanjang-lebar dalam
membuat ungkapan. Implikatur adalah upaya “pengkompresan makna” agar
apa yang disampaikan tidak sepanjang atau sebanyak apa yang
diungkapkan. Setiap orang berbicara dengan menggunakan implikatur. Dan
implikatur menurut Yule (1996), Huang (2007)Thomas (1995) implikatur
merupakan hak milik penutur, dan bukan pendengar. Sah saja, karena
implikatur itu ada demi memuaskan harapan penutur agar dapat
menyampaikan pesan, makna atau informasi yang tidak memakan banyak
kata. Tetapi apakah benar bahwa setiap ungkapan yang kita sampaikan itu
disertai maksud atau kesadaran untuk “mengkompres makna”? apakah kita
benar-benar sadar bahwa “ah sebaiknya aku cuma menanyakan apakah ada
uang, dari pada aku mengatakan bahwa aku tidak ada uang” untuk
menyampaikan makna yang bisa memakan dua atau tiga kalimat? Saya rasa
tidak selamanya seperti itu. Dalam kondisi formal, atau kondisi tertentu
dimana kita dengan sengaja harus menciptakan implikatur, misalnya dalam
sebuah perbincangan dengan calon menantu anda. Mau tidak mau anda
harus merancang ungkapan anda agar secara tidak langsung menyampaikan
maksud anda secara jelas dan sopan, dan ini merupakan “ungkapan
terencana”. Mengapa tidak langsung? Karena ketidaklangsungan ini maka
disebut implikatur. Yaitu ungkapan yang memiliki makna implisit, tersirat.
Jika tersurat maka bukan implikatur lagi namanya. Selain ungkapan yang
terencana tadi, kita tentu saja berbicara dengan orang-orang dengan
menciptakan implikatur (demikian keyakinan pragmatics) padahal
ungkapan-ungkapan itu bukan ungkapan terencana, tetapi ungkapan yang
bersifat refleks, sudah menjadi kebiasaan dan sebagainya. Dan itu
merupakan “ungkapan normal”. Jadi, semua ungkapan itu memiliki makna
implicit, karena makna itu dibungkus oleh simbol-simbol. Tetapi tidak harus
semuanya itu disadari sebagai implikatur, dan setiap orang akan
menyangkal jika mereka berbicara dengan implikatur. Mereka juga akan
menyangkal bahwa alasan mereka mereka berpendek kata untuk
menciptakan implikatur. Justru itulah gaya bahasa normal manusia, yang
tidak harus kita “bekukan” dalam sebuah formula, karena semuanya itu
refleks dan fleksibel. Masyarakat pengguna bahasa hanya akan mengakui
bahwa mereka “berimplikatur” jika mereka memang merencanakannya,
degan kata lain, implikatur itu sebenarnya “ungkapan terencana”. Untuk
memahami implikatur penutur, atau ungkapan terencana, maka pendengar
harus memiliki inferensi yang sama, bersesuaaian dengan konteks,
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang ada seperti makna

5
intonasi, pilihan kata dan tentu saja ini menuntut pengetahuan dasar
mengenai referensi yang mungkin dimaksud oleh penutur.

Presuposisi
Presuposisi atau pra-anggapan menurut para pragmatisian adalah milik
penutur juga, dimana diberikan contoh sebagai berikut: “Jimmy lagi mencuci
sepeda motornya”, pra-anggapan yang ada dalam kalimat ini sangat banyak,
diantaranya adalah “Jimmy punya motor”, “Jimmy lagi mencuci sebuah
motor”. Anehnya, Yule (1996), Huang (2007), Thomas (1995) sepakat bahwa
pra-anggapan ini milik penutur, diciptakan oleh penutur. Padahal yang
dimiliki oleh penutur (dan juga pendengar) adalh realitas dari kalimat
tersebut, bukan pra-anggapan. Jika dia disebut pra-anggapan, maka sudah
semestinya itu milik pendengar. Dalam mengungkapkan kalimat “Jimmy
sedang mencuci motornya”, penutur ingin menyampaikan “aktivitas yang
sedang dilakukan jimmy” dan bukan “apa yang jimmy miliki”. Pendengarlah
yang beranggapan bahwa “jimmy punya motor”. Apa yang dilakukan oleh
pendengar tanpa sadar adalah mengikutsertakan (secara otomatis) segenap
realitas objektif mengenai jimmy, dan pendengarlah yang berperan dalam
menghadirkan anggapan-anggapan awal sebagai serpihan-serpihan realitas
objektif itu. Sehingga, menurut saya, adalah keliru mengatakan bahwa pra-
anggapan atau presuposisi itu milik penutur. Yang cocok adalah pra-
anggapan adalah milik pendengar.

6
Tindak Tutur
Tindak tutur, dalam bahasa Inggris disebut Speech Act. Saya meragukan
penggunaan istilah speech act, karena menurut saya tidak sesuai. Wacana
tindak tutur berorientasi pada “bagaimana orang menggunakan bahasa atau
ungkapan tertentu untuk melakukan sesuatu”. Misalnya seorang pendeta
yang menikahkan dua sejoli, hakim yang menjatuhkan hukuman dan para
pengusir hantu (exorcist) yang sedang mengobati orang kesurupan setan.
Jika memang orang melakukan sesuatu dengan menggunakan ungkapan,
maka sebenarnya siapakah yang bertindak, orang atau ungkapan? Jika orang
yang bertindak, maka istilahnya adalah “bertindak dengan tuturan” (acting
by speech) dan jika ungkapan yang bertindak, maka istilahnya adalah
“tindakan tuturan” (speech action). Hal berikut yang tidak dijelaskan dalam
kajian tindak tutur ini (saya terpaksa masih menggunakan istilah ini) adalah
“tuturan yang telah terinternalisasi” dalam kebiasaan bertutur seseorang.
Hal ini bisa anda temui jika anda berteman atau berpacaran dengan seorang
mahasiswa (i) psikologi. Kebanyakan tuturan mereka itu sudah
terinternalisasi, karena mereka “terbiasa” menggunakan tuturan untuk
menguji, menggali dan merefleksikan kepribadian seseorang. Meskipun
demikian, seringkali terdapat inkonsistensi dalam tuturan-tuturan mereka,
alhasil, sangat sulitlah berkomunikasi secara diharapkan dengan orang-
orang yang ungkapan-ungkapan mereka adalah ungkapan yang
terinternalisasi, yang menjadi bagian dari tuturan-tuturannya. Selama
kurang lebih 4 tahun saya melakukan observasi terhadap seseorang
(sebutlah Tita). Tita adalah seorang mahasiswi psikologi dalah satu
universitas ternama di Indonesia. Tita tergolong orang yang sangat obsesius
untuk meraih prestasi pengetahuan yang gemilang. Selama 4 tahun itu pula
dalam tuturan-tuturannya, jarang sekali terdapat tuturan yang otentik. Yaitu
tuturan yang memang berasal dari ide atau emosinya. Kadang tuturan
otentik dapat saya temukan disaat yang bersangkutan sedang menangis,
marah dan sebagainya. Akan tetapi dalam situasi normal, jangan harap saya
mendapatkan tuturan otentiknya. Ataukah mungkin sangat sulit
mendapatkan tuturan otentiknya. Celakanya, dia tidak dapat menyadari
bahwa tuturannya itu tidak otentik. Dalam kaitannya dengan tindak tutur,
jelas diketahui bahwa segala tuturan yang tidak otentik itu “dimaksudkan”
untuk melakukan atau mencapai sesuatu yang biasanya dan bisanya
dilakukan dengan sebuah tindakan konkret. Katakanlah menyakiti, menguji,
menakuti, mengintimidasi, dan sebagainya. Tetapi masih menjadi
pertanyaan, sebenarnya, siapakan yang melakukan tindakan-tindakan
tersebut, apakah penutur ataukah tuturan. Suatu tindak tutur akan berhasil
jika penutur (yang menciptakan tindak tutur) itu memenuhi persaratan
konteks dan otoritas, demikian menurut Pragmatik. Tetapi, sebenarnya yang

7
diharapkan dari tindak tutur adalah suatu efek. Dan meskipun suatu
harapan yang sebenanya tidak tercapai, tetapi efek dari setiap tuturan itu
selalu ada. Misalnya, Pragmatik memberikan contoh: seorang laki-laki tua
mengatakan pada anak temannya “Dengan ini saya menikahkan engkau
dengan anakku”. Jelas orang ini tidak memiliki otoritas untuk menikahkan
anak orang lain dengan anaknya. Pragmatik percaya bahwa dalam hal ini,
tindak tutur disebut “gagal”. Tetapi, jika dilihat respon yang mungkin terjadi,
jika anak (pendengar tuturan itu) merontak atau memberikan respon yang
lain, maka tuturan itu telah memberikan efek yang signifikan terhadap anak
itu. Dan itu bisa disebut bahwa tuturan itu telah melakukan sesuatu
terhadap anak itu, sehingga ada respon atau reaksi. Jika tindak tutur selalu
dinilai sukses jika memenuhi harapan penutur, maka sesungguhnya itu
bukan lagi tindak tutur. Karena baik memenuhi harapan penutur atau tidak,
jika tuturan itu menghasilkan reaksi, tentu saja sudah ada aksi yang
sebelumnya dilakukan oleh tuturan itu. Sehingga dengan demikian, tindak
tutur yang menyebabkan reaksi atau respon selalu disebut berhasil.

Dari kritik diatas, jelaslah bahwa banyak pertanyaan yang harus dijawab
oleh Pragmatik. Apakah itu dengan cara merevisinya menjadi neo-
pragmatics atau dengan cara apapun, itu terserah. Tetapi sepanjang
pertanyaan-pertanyaan fundamental diatas tidak dijawab, maka tetap saja
Pragmatik masih dinilai belum sempurna di dalam pikiran saya. Kemudian,
unsur penting dari bahasa yang hilang dari radar Pragmatik adalah
hubungan-hubungan mendasar yang tak bisa diputuskan antara ide dan
bahasa atau yang disebut Ideolonguistik. Hal ini seyogiyanya dipertanyakan
lagi, bagaimana Pragmatik bisa menjelaskan hubungan antara Ide dan
Bahasa. Pemikiran-pemikiran diatas orisinil merupakan keraguan yang
muncul pada saya setelah membaca dan mendalami bahan-bahan Pragmatik.
Ada kemungkinan bahwa saya lah yang keliru atau belum memahami
Pragmatik ini, tetapi sejauh yang saya perbincangkan dengan beberapa
rekan yang notabenenya adalah para Pragmatisian hasilnya masih nihil.

Bacaan:
Huang, Yan. 2007. Pragmatics. Oxford University Press
Thomas, Jenny. 1995. Meaning in Interaction. Longman. New York
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford University Press.

You might also like