Professional Documents
Culture Documents
Penjelasan
Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam surat an-Nisa'--
menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat
tersebut juga dengan gamblang menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak
mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga
menjelaskan keadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula
ia menerimanya secara 'ashabah.
Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan
tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang
dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli
waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.
Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan
yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta
penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan
dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para
pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang
yang lemah.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut merupakan salah satu
rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang
sangat agung, hingga kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari
Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan
ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu
ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan
berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak
mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)
Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu ini, maka betapa
tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah faraid ini. Sungguh mengagumkan
pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun demikian, sangat disayangkan kebanyakan
manusia (terutama pada masa kini) mengabaikan dan melecehkannya."1
Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh para ulama
merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut. Yakni
penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah
Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum dan syariat-Nya.
Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yang berkenaan dengan
waris selain dari ketiga ayat tersebut?
Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para
kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak
dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-
mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin,
kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang
demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)
Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain dari ketiga ayat
yang saya sebutkan pada awal pembahasan.
Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang
mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak
mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan
kaum Muhajirin.
Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling
mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh
Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum
Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak
mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum
muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu
mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-
mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan
hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman
yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni
keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan
hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak
waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita.
Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau
tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab.
Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan
persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan
jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut
mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-
Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati,
mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih
banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan
bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya syariat yang telah
Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
1. Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya
kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang
mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum
lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta
siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian,
kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak
dibandingkan kaum wanita.
Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal
baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban
untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
2. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya
dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian
antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut
membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika,
siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih
banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun
hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian
kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa
memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian,
tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak
dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya
kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah
keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban
untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik
untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya.
Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab,
suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam
hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)
Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus supaya
hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang
dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian
kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Ternyata
orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat
Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk
membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua
pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima
dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab
memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang
mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak
perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi
dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab
untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan
hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah
istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan semakin
bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak
menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan
dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.
1
Makna Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun keturunan; atau dengan
kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil dari kata al-kalla yang
bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila
orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.
Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan
tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai
pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan
tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan
Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang meninggal yang
tidak mempunyai ayah dan anak. "
Ketujuh:
Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya
dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat tersebut menunjukkan dengan tegas
bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak
dilaksanakan. Dampak negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang
berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksud
berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak
berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli
waris tidak wajib dilaksanakan.
A. Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-
miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain',
atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian
pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan
dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang
berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan
(misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta
miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut
menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya.
Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya
hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.
Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut
akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya
maupun dari jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu.
Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli
warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia.
Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat,
atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan
ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat
bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta
peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan
ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal,
menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan
hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi,
meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia
tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban
ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab
ini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk
membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan
utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada
sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan
niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta
peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris
mewasiatkan ataupun tidak.
Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum
memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki
berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli
warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang
berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar
mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah.
Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba
dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh
harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari
seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi
orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli
warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut
diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar
utangnya.
Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya,
maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya.
Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi
Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang
dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih
baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada
orang."
4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris
yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris
--jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara
syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan
wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya
agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut
hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang
piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
C. Bentuk-bentuk Waris
A. Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
Hak waris secara tambahan.
B. Hak waris secara pertalian rahim.
Pada bagian berikutnya butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.
E. Rukun Waris
Rukun waris ada tiga:
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta
peninggalannya.
Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris
dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
2. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik
berupa uang, tanah, dan sebagainya.
F. Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya
dianggap telah meninggal).
Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
2. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah
bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka,
atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai
contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim
memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup
tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat
diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat
benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam
satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu
meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih
hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal
dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka
adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat,
dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan
kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan
akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa
seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara
kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada
yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang
terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik
budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya
meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya,
dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan
penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.
2. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia
tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang
sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum
waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi
menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan
yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan
yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang
dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan
pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai
penggugur hak waris.
Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi
penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman
rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau
hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu
a'lam.
3. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal
ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir
mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)
Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan
pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang
mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada
orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang
mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad.
Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat
kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak
dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad,
apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak
mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah
keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti
ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling
mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang
murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan
orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar
ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya,
karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal
pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional
ataupun internasional.
"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan
istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa':
12)
2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan
dua syarat:
a. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak
mempunyai saudara laki-laki, penj.).
b. Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah:
"dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separo harta
warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan
pewaris tidak mendapat bagian setengah.
3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga
syarat:
a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki).
Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut
sebagai cucu tunggal).
Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung
perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi
auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak, dan hal ini telah
menjadi kesepakatan para ulama.
4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga
syarat:
b. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan,
baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.
5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan
pewaris, dengan empat syarat:
b. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki
maupun perempuan.
Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.
"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12)
2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya
dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut
lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman
Allah berikut:
"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang
bagian istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi seluruh istri
yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang
suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat seperempat harta
peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan
digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'.
Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap
seperempat dari harta peninggalan.
"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)
Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum
yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari
dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para
ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri
Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelum ini.
Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah
'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut
adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama.
Wallahu a'lam.
2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua
per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:
3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan
persyaratan sebagai berikut:
a. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak
mempunyai ayah atau kakek.
Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki
sebagai 'ashabah.
b. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:
"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan
syarat sebagai berikut:
b. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan).
Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua
per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara
seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan
dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan
seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut. Wallahu a'lam.
Juga firman-Nya:
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam..." (an-Nisa': 11)
Catatan:
Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus bermakna 'tiga
atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun,
lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan
makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua
orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal
ini adalah firman Allah berikut:
"Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah
condong (untuk menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)
Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian
sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai
ayah atau kakak.
2. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.
Adapun dalilnya adalah firman Allah:
"... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa':
12)
Catatan
Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah 'saudara seibu'.
Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki dan saudara
perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan hukum yang berkaitan dengan
bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama
sepakat bahwa yang dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu.
Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum syurakaa 'u fits
tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni,
mereka harus membagi sama di antara saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan
bahwa laki-laki harus memperoleh bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya,
bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga,
dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda
dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian
saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.
Masalah 'Umariyyatan
Pada asalnya, seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta peninggalan pewaris bila
ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telah saya jelaskan--- berdasarkan pemahaman
bagian ayat (artinya) "jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga".
Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan fuqaha, yakni
'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal ini dilakukan oleh Umar bin
Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna
'dua bintang cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya diberi
sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian suami atau istri.
Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.
Contoh Pertama
Seorang istri wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat bagian setengah (1/2) dari
seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil bagian suami.
Kemudian ayah mendapat seluruh sisa yang ada. Untuk lebih jelas lagi saya berikan tabelnya:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan Jumlah Bagian Nilai
Suami 1/2
3
Contoh Kedua
Seorang suami meninggal dunia dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri mendapat bagian
seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya, sedangkan ibu mendapat bagian tiga per
empat dari sisa setelah diambil hak istri. Sedangkan bagian ayah adalah sisa harta yang ada sebagai
'ashabah.
Pokok masalahnya dari 4
Keterangan Jumlah Bagian Nilai
Isteri 1/4 1
Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian isteri
1
Ayah Mendapat bagian seluruh sisa peninggalan yang ada sebagai 'ashabah
2
Dari kedua contoh tersebut tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya bagian ibu pada tabel pertama
adalah seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua adalah seperempat (1/4). Adapun penyebutannya
dengan istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri adalah karena menyesuaikan adab
qur'ani.
Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin Khathab r.a..
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid bin
Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan
menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.
Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap mendapat
bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri (anaknya). Bahkan Ibnu
Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah memang ada di dalam Al-Qur'an istilah
sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di
dalam Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang
ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan di
dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu".
Jadi, menurut hemat saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama serta ditetapkan oleh
Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.
2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris
mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan
syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan
menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan saya rinci
dalam bab tersendiri.
3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris,
dengan dua syarat:
a. Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki.
b. Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki
ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah
(artinya):
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11).
4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian
seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan.
Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapat seperenam (1/6), sebagai
pelengkap dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari
dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang masalah warisan seseorang
yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-
lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa kemudian menjawab: "Bagi anak perempuan
mendapat bagian separo (1/2), dan yang setengah sisanya menjadi bagian saudara
perempuan."
Merasa kurang puas dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu
Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah
diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris,
dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6)
sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara perempuan pewaris."
Mendengar jawaban Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari
dan memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah sekali-kali
kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah kalian."
Catatan
Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam (1/6)
dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki,
maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris juga tidak
mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih dari satu orang, anak-
anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3), dan sekaligus menjadi
penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris.
5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6),
apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama
denga keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan dengan adanya
anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara
perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan
seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua per tiga (2/3).
Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak
ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.
7. Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi mempunyai
ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun
ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini berlandaskan
pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma' seluruh sahabat.
Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk
menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur'an maka
pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah saw."
Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu ketika aku pernah
menjumpai Rasulullah saw. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan
al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6).
Wallahu a'lam.
Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan
menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan
banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sebagai contoh, anak laki-laki,
cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan
paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta
waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan
setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.
Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka
jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut
"dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk
orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah
dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda
Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata "dzakar".
B. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab).
Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik
budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak
mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur
wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair
(menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
Catatan
Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil
ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.
Contoh Pertama
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-
laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Pokok masalahnya dari 2
Keterangan Jumlah Bagian Nilai
Anak perempuan
1/2 1
Contoh Kedua
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-
laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti
dalam tabel berikut:
Pokok masalahnya dari 4
Keterangan Jumlah Bagian Nilai
Suami
1/4 1
Cucu perempuan
1/2 2
Contoh Ketiga
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan seayah,
dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 3
Keterangan Jumlah Bagian Nilai
Contoh Keempat
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman kandung (saudara dari ayah
kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan Jumlah Bagian Nilai
Anak perempuan
1/2 3
Cucu perempuan
1/6 1
Ibu
1/6 1
Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat
Tuhan mereka di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu',
disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa izin guna menemui para
penguasa atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah
mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain untuk
mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk
menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih
berhak untuk menerimanya.
B. Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena
orang lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris
secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka
menjadi gugur atau terhalang.
Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang
lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan
hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang.
Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu
karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung,
terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk
mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya
mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak).
Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah
menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak,
dan seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti
kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan
dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.
Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang
yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah anak kandung laki-laki, anak
kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau
bahkan keenamnya, maka semuanya harus mendapatkan warisan.
Saudara seibu 1/3 secara fardh dan dibagi merata dengan saudara kandung
2 4
Saudara kandung dapat hak waris, karena dianggap seperti saudara seibu dengan mendapat
bagian sepertiga (1/3) dibagi adil - 2
Ketakutan dan kehati-hatian para sahabat dalam memvonis masalah hak waris kakek dan saudara itu
tentu sangat beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an atau hadits Nabi yang menjelaskannya. Dengan
demikian, menurut mereka, masalah ini memerlukan ijtihad. Akan tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat
mengkhawatirkan mereka, karena jika salah berarti mereka akan merugikan orang yang sebenarnya
mempunyai hak untuk menerima warisan, dan memberikan hak waris kepada orang yang sebenamya
tidak berhak. Terlebih lagi dalam masalah yang berkenaan dengan materi, atau hukum tentang hak
kepemilikan, mereka merasa sangat takut kalau-kalau berlaku zalim dan aniaya.
Perlu saya tekankan bahwa masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif. Karena itu Allah SWT
tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah hak kepemilikan materi ini. Dia
menjelaskannya di dalam Al-Qur'an dengan detail agar tidak terjadi kezaliman dan perbuatan aniaya di
kalangan umat manusia, khususnya para ahli waris.
Namun demikian, masalah yang sangat dikhawatirkan itu hilang setelah munculnya ijtihad para salaf
ash-shalih dan para imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebut dijaga serta dibukukan secara
lengkap dan detail beserta dalil-dalilnya. Hal ini akan memudahkan setiap orang yang ingin
mengetahuinya sambil bersandar kepada ijtihad yang dianggapnya lebih rajih (kuat dan tepat) serta
dapat dijadikannya sandaran dalam berfatwa.
Makna Pembagian
Makna pembagian menurut ulama faraid adalah kakek dikategorikan seperti saudara kandung, ia
mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara kandung laki-laki. Apabila kakek berhadapan
dengan saudara perempuan kandung, maka ia menempati posisi yang sama seperti saudara kandung
laki-laki. Berarti kakek mendapatkan bagian dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.
Bila cara pembagian tersebut kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan dengan memilih cara
mendapat sepertiga (1/3) harta waris yang ada.
Kelima keadaan itu lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian.
Masalahnya 12
Bagian ibu 1/6 secara fardh
2
F. Masalah al-Akdariyah
Istilah al-akdariyah muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita dari bani Akdar.
Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-akdariyah
--yang artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukup mengotori mazhab Zaid bin
Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah akan kemahirannya dalam faraid, penj.). Dia
pernah menghadapi masalah waris dan memvonisnya dengan melakukan sesuatu yang bertentangan
(menyimpang) dari kaidah-kaidah faraid yang masyhur.
Permasalahannya seperti berikut: bila seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu, kakek,
dan seorang saudara kandung perempuan. Apabila berpegang pada kaidah yang telah disepakati seluruh
fuqaha --termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit sendirimaka pembagiannya adalah dengan
menggugurkan hak saudara kandung perempuan. Sebab, suami mendapat setengah (1/2), bagian, ibu
mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya hanya seperenam (1/6) yang tidak lain sebagai bagian
kakek yang tidak mungkin digugurkan --karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebab itu, sudah
semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan karena tidak ada sisa harta waris.
Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi kaidah yang ada. Dia
memberi saudara kandung setengah (1/2) bagian, dan menaikkan masalahnya dari enam (6) menjadi
sembilan (9). Kemudian ia menyatukan hak saudara kandung perempuan dengan saham kakak, dan
membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita. Setelah ditashih, masalahnya
menjadi dua puluh tujuh (27), dan pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan (9) bagian,
ibu enam (6) bagian, kakek delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuan empat (4) bagian.
Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan Zaid bin Tsabit,
sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua imam tersebut.
Berikut ini saya sertakan tabelnya, dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinya hingga setelah
ditashih.
Masalahnya naik dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)
Bagian suami menjadi
9
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air yang
naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan
yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan
berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal
di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan
atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul
furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi
sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6)
menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6
(setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain,
bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
D. Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna 'berpaling/palingkan'.
Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak
mereka semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan
..." (al-Ahzab: 25)
Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah
tipu daya mereka terhadapku).
Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah
menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak
ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi
kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
E. Syarat-syarat ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
1. adanya ashhabul furudh
tidak adanya 'ashabah
2. ada sisa harta waris.
Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.
H. Macam-macam ar-Radd
Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat
macam itu:
1. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
2. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri
Jumlah bagian
5
Ilustrasi kedua dengan menyertakan suami/istri
Pokok masalah dari delapan, diambil dari ahlul fardh yang tak dapat
setelah tashih
di-radd 40
menjadi
bagian ibu
4x7 7
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan
seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4),
ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai
'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok
pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok masalahnya
dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian
istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat
seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu perempuan keturunan anak laki-laki
mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6).
Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta waris bila
ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan
seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada
contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini tabelnya:
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian
antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni
empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut
(yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi,
kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.
A. Tentang Tashih
Agar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, maka kita harus
mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat istilah perhitungan. Yaitu, at-tamaatsul
(kemiripan/kesamaan), at-tadaakhul (saling terkait/saling bercampur), at-tawaafuq (saling bertautan),
dan at-tabaayun (berbeda/saling berjauhan).
Apabila pokok masalah --harta waris-- dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai) dengan jumlah
bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan cara-cara yang berbelit dan
memusingkan. Namun, bila harta waris tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap
ahli waris, atau jumlah bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini
memerlukan pentashihan pokok masalahnya.
Definisi Tashih
Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut ulama ilmu faraid
berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli waris tanpa pecahan dalam
pembagiannya.
Definisi at-Tamaatsul
At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'. Sedangkan menurut
ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang satu tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari
yang lain. Misalnya, angka tiga berarti sama dengan tiga, dan lima sama dengan lima, dan seterusnya.
Definisi at-Tadaakhul
At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan kata dari "keluar".
Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang besar oleh angka yang lebih kecil,
sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8)
dengan angka empat (4), angka delapan belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27)
dengan angka sembilan (9).
Definisi at-Tawaafuq
At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah ilmu faraid ialah setiap
dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga menurut mereka di antara kedua bilangan itu ada
tadaakhul. Misalnya, angka 8 dengan 6 keduanya dapat dibagi oleh angka 2. Angka 12 dengan angka
30 sama-sama dapat dibagi oleh angka 6. Angka 8 dengan 20 sama-sama dapat dibagi oleh angka 4,
demikian seterusnya.
Definisi at-Tabaayun
At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau saling berbeda.
Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap bilangan yang satu dengan lainnya tidak
dapat membagi, dan tidak pula dapat dibagi oleh bilangan lain (ketiga). Misalnya angka 7 dengan
angka 4, angka 8 dengan 11, angka 5 dengan 9.
Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, kita bandingkan pengertiannya dengan istilah
lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu tadaakhul.
Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angka yang kecil --tetapi dibagi angka yang lain-- maka
kedua bilangan itu ada tawaafuq. Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain,
maka disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama, maka di antara kedua bilangan tersebut
adalah mutamaatsilan.
Istri 1/8
3 15
Ayah 1/6
4 20
Ibu 1/6
4 20
Suami 1/4
1/4 3 6
Ibu 1/6
1/6 2 4
Ayah
1/6 1 2
Ibu
1/6 1 2
Nenek
1/6 1
Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar
Jadi, Suami 3 1.100 dinar 3.300 dinar
x =
Saudara perempuan kandung 3 1.100 dinar 3.300 dinar
x =
Dua saudara laki-laki seibu 2 1.100 dinar 2.200 dinar
x =
Nenek 1 1.100 dinar 2.200 dinar
x =
Total 9.000 dinar
=
Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan
sejumlah 585 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3
bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).
Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh
bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel berikut:
12 13
Suami 1/4 3
Ibu
1/6 2
Ibu
1/6 2 4
Suami
1/4 3 6
Ibu
1/6 4 100
Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih (seseorang mengajukan
masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan memberikan hak saudara kandung
perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak
warisnya hingga memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima warisan,
namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu
yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan
kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan
tidak kurang."
Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim Syuraih telah
berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab.
IX. HUKUM MUNASAKHAT
A. Definisi Munasakhat
Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam
kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain';
nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.
Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
"... Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-
Jatsiyah: 29)
Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli waris
sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila
salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena memang
belum dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul
suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah.
12 3 36 3 36
3 anak pr. 2/3 2 24 - 24
Sdr. kandung pr. 3 meninggal - -
Sdr. kandung pr. 1 3 Sdr. kandung pr. 1 3+1=4
Ibu 1/6
4 - 4
Ayah ('ashabah)
5 - 5
Suami 1/4
3 3
Contoh yang memiliki kasus al-mubayanah: seseorang wafat dan meninggalkan suami, ayah, ibu, dan
dua anak perempuan. Kemudian suami wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, ibu, istri,
dan saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari dua belas (12) kemudian di-'aul-kan menjadi lima belas (15). Sedangkan pokok
masalah yang kedua dari dua belas (12) yang di-'aul-kan menjadi tiga belas (13).
Suami mendapatkan seperempat (1/4) berarti tiga bagian. Ayah mendapatkan seperenam (1/6) berarti
dua bagian, begitu juga dengan bagian ibu yakni seperenam (1/6), berarti dua bagian.
Kemudian dua anak perempuan mendapatkan dua per tiga (2/3) berarti delapan (8) bagian. Jumlahnya
lima belas (15) bagian.
Kemudian, antara masalah yang pertama dengan masalah yang kedua ada mubayanah (perbedaan),
karenanya kita kalikan pokok masalah pertama (yakni 15) dengan pokok masalah yang kedua (yakni
13). Maka hasil dari perkalian itu (yakni 15 x 13 = 195) merupakan al-jami'ah (penyatuan) antara dua
masalah.
Lalu kita tempatkan bagian pewaris yang kedua (suami, yang mendapat tiga bagian) di atas pokok
masalah kedua, dan ini merupakan juz'us sahm (bagian dari bagian hak waris). Juz'us sahm ini
kemudian kita kalikan dengan bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka akan merupakan hasil bagian
ahli waris dari al-jami'ah (penyatuan dari dua masalah). Untuk lebih meyakinkan kebenaran masalah
kedua ini, kita lihat hasil perkaliannya: perkalian antara juz'us sahm yaitu tiga (3) dengan pokok
masalahnya setelah di-'aul-kan, berarti 3 x 13 = 39. Maka angka 39 ini merupakan jumlah bagian
seluruh ahli waris dalam masalah kedua. Lihat tabel berikut:
13 3
12 15 12 13 39
Suami 1/4
3 meninggal - -
Ayah 1/6
2 - 26
Ibu 1/6
2 - 26
2 anakperempuan (2/3)
8 - 104
Ibu 1/6
2 6
Istri 1/4
3 9
Paman ('ashabah)
2 4 28
Ayah 1/6
1 1 - 7
Ibu 1/6
1 1 - 7
Nenek 1/6
1 3
Cara kedua: apabila salah seorang ahli waris menyerahkan atau menggugurkan hakuya lalu
memberikannya kepada salah seorang ahli waris lainnya, maka pembagiannya hanya dengan cara
melimpahkan bagian hak ahli waris yang mengundurkan diri itu kepada bagian orang yang diberi.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak
laki-laki. Kemudian anak perempuan itu menggugurkan haknya dan memberikannya kepada salah
seorang dari saudara laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah disepakati oleh keduanya.
Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri dan kedua anak laki-laki, sedangkan bagian
anak perempuan dilimpahkan kepada salah seorang saudara laki-laki yang diberinya hak bagian.
Perhatikan tabel berikut:
Pokok masalah 8
Tashih 40 40
Isteri 1/8
1 5 5
"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi
dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Muhammad: 22)
Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris yang tidak
mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah, dan bukan pula
termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul
furudh dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan
dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula secara
'ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan
laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.
Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun
saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak
untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak
dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak
mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa
murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena
Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, maka tidak pula kepada
kerabat yang lain.
3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik dari
ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmal akan dapat
mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan
kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan
faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang merasakannya.
Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih
diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal lebih
diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya
ketimbang para kerabat.
Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil
arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-
Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)
Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan
menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak
waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul
furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang
mempunyai hubungan rahim atau lebih umumnya hubungan darah.
Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun mereka, baik ashhabul
furudh, para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak
waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan
harta waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain.
Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang
baitulmal.
Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisa': 7)
Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk
menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati
oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian,
mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.
Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-mansukh
(menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi
disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah
antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk
menerima harta peninggalan seorang pewaris.
Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat masyhur,
dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw.
bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab,
"Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya,
kecuali hanya anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir.
Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul
Mundzir.
Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan
dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak
waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima
harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya
atau para 'ashabah.
Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah
mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah
meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai
kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan
memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya.
Karena sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai
keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya."
Atsar ini --yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.--- merupakan dalil
yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal.
Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai
ahli waris dari ashhabul furudh dan 'ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan
memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut.
Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengu tamakan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan
dalam kitab-kitab tarikh.
Adapun dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima
harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari
satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang
memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam
dan ikatan rahim.
Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah.
Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung laki-laki dengan saudara laki-laki
seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak
saudara kandung laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara
seayah hanya dari ayah.
Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam
Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau,
mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan
dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah.
Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawaban Rasulullah saw.
tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada 'ashabah-nya. Inilah usaha
untuk menyatukan dua hadits yang sepintas bertentangan.
Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama
(kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena memang merupakan pendapat mayoritas
sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat,
juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini.
Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal ketimbang kerabat,
sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal dengan persyaratan khusus. Di
antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya, adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada
setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal.
Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnya pada masa kita
sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu kecuali: "telah lama tiada". Terlebih
lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup
khilafah Islam dengan memporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian
membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan. Sungguh tepat apa yang
digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya: "Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai
iman, namun kesemuanya tidak mempunyai imam."
Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i mutakhir memberikan
fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah abad ketiga Hijriah,
ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian,
dapat kita katakan bahwa kedua kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih
mengutamakan pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat terlihat
tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada, dari mulai akhir abad ketiga
Hijriah hingga masa kita dewasa ini.
1. Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat
berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa
membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan,
seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara
perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka
mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris
yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini
tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian,
mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan
mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau
para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat
nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.
2. Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada
kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada
(yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya.
Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris
yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan
pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti
berikut:
1. Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan,
keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan
keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan
meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah.
Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2)
bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, sedangkan saudara laki-
laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan saudara kandung perempuan di sini
sebagai 'ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:
Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung
perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki
keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara
laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara
kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan perempuan keturunan dari
saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3),
keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian
secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam
(1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris
meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan
seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya:
Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6
Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya
kepada pewaris.
Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya)
kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan
ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau
memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya
kepada bibi (dari pihak ibu).
Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian
waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan
perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian
untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab
ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan
betapa kuatnya pendapat mereka.
Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah
bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan
pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka
masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada
pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan
bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah
dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan
menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli
waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris.
Catatan lain
Di antara persoalan yang perlu saya kemukakan di sini ialah bahwa dalam pemberian hak waris
terhadap para dzawil arham , bagian laki-laki dua kali lebih besar bagian perempuan, seperti halnya
dalam pembagian para 'ashabah, sekalipun dzawil arham itu keturunan saudara laki-laki atau saudara
perempuan seibu.
Penutup
Itulah sekelumit mengenai hak waris para dzawil arham menurut mazhab ahlul qarabah yang
merupakan mazhab imam Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama mazhab Hanafi. Pendapat ini banyak
diterapkan di sebagian negara Arab dan negara Islam lainnya.
Sebenamya, di kalangan ulama mazhab ini banyak dijumpai perbedaan tentang cara pembagian
masing-masing kelompok tadi, terutama antara Imam Abi Yusuf dan Imam Muhammad (keduanya
murid dan teman dekat Abu Hanifah, penj.). Namun, saya tidak mengemukakannya di sini sebab akan
bertele-tele dan menjenuhkan. Oleh karenanya, bagi yang menghendaki pengetahuan lebih luas dalam
masalah ini dapat merujuknya pada kitab-kitab fiqih. Selain itu, pada prinsipnya yang banyak
diamalkan adalah pandangan mazhab ahlut-tanzil sebagai mazhab Imam Ahmad, yang kemudian dianut
oleh ulama muta'akhirin mazhab Maliki dan Syafi'i ---karena dari segi pengamalannya memang lebih
mudah.
Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan
kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan yang
kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap
insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin
perempuan.
Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima
harta waris sesuai bagiannya.
Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekali tidak ada--
-disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam
keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia
membuang "air kecil". Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan
mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari
vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia
mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah
yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.
Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan
badannya, atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan
perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi dewasa (maksudnya mimpi dengan mengeluarkan
air mani, penj.), apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan
sebagainya. Bila tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.
Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu
ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan
anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan.
Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arab meninggalkannya, dan tidak
menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena
memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat
cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan
persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi, dan
vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya."
Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk
mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air
seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan
sebagai perempuan." Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi.
Ketika Islam datang, dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa
Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam keadaan demikian, maka beliau
menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempat keluarnya air seni."
2. Seseorang wafat meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara laki-laki banci. Pokok
masalahnya dari enam (6) bila banci itu dikategorikan sebagai wanita, kemudian di-'aul-kan
menjadi delapan (8). Sedangkan bila sang banci dianggap sebagai laki-laki, maka pokok
masalahnya dari enam (6) tanpa harus di- 'aul-kan. Dan al-jami'ah (penyatuan) dari
keduanya, menjadilah pokok masalahnya dua puluh empat (24).
Sedangkan pembagiannya seperti berikut: suami sembilan (9) bagian, ibu enam (6) bagian,
saudara laki-laki banci tiga (3) bagian, dan sisanya kita bekukan. Inilah tabelnya:
6 8 6 24
3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara
laki-laki seayah banci. Maka pembagiannya seperti berikut:
Bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dua (2), sedangkan
bila dikategorikan sebagai perempuan maka pokok masalahnya dari tujuh (7), dan
penyatuan dari keduanya menjadi empat belas (14).
Bagian suami enam (6), saudara kandung perempuan enam (6) bagian, sedangkan yang
banci tidak diberikan haknya. Adapun sisanya, yakni dua (2) bagian dibekukan. Ini
tabelnya:
2 6 7 14
D. Definisi Hamil
Al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata hamalat. Dikatakan:
"al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (wanita itu hamil apabila ia sedang
mengandung janin).
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula) ..." (al-Ahqaf: 15)
Sedangkan menurut istilah fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik laki-laki
maupun perempuan.
Dalam masalah hamil ini ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hak waris, dan pada kesempatan
ini saya hanya akan utarakan secara global. Hanya kepada Allah saya memohon pertolongan.
Pada pembahasan sebelumnya --tentang persyaratan hak waris/mewarisi-- telah saya kemukakan bahwa
salah satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris
wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masih di dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan
hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi
tersebut akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, dan satu atau kembar. Setelah bayi
tersebut lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalam keadaan hidup pada
saat pewaris wafat; demikian juga jika ia lahir dalam keadaan mati, maka kita nyatakan bahwa ahli
waris tidak ada ketika pewaris wafat.
Secara ringkas dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat diketahui dengan pasti
keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian waris yang harus diterimanya.
Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus menunggu setelah bayi itu lahir.
Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat --menyangkut
kemaslahatan sebagian ahli waris-- yang mengharuskan kita untuk segera membagi harta warisan
dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikan kepada masing-masing ahli waris secara lengkap
setelah kelahiran bayi. Berkaitan dengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukum-hukum khusus
secara rinci dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris yang
ada.
Pernyataan Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah saw.. Pernyataan
ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat
tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para
ulama mazhab Hambali.
Sedangkan persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyata-nyata hidup.
Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut menangis,
bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa
ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya
dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan.
Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai
bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka
hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo
badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka
tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.
F. Keadaan Janin
Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:
1. Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki
ataupun perempuan.
Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli
waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci).
Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun perempuan.
Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan.
2. Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya
karena adanya janin.
Keadaan Pertama
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yangada secara langsung, tanpa harus
menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli
waris dalam segala kondisi.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri
pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu pewaris. Dalam keadaan demikian
berarti mahjub hak warisnya oleh adanya ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya
dibagikan kepada istri seperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan
sisanya menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4).
Keadaan Kedua
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin
yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagiannya dibekukan hingga
kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun,
bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi
kepada ahli waris yang ada.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar perempuan
yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat
seperempat (1/4), dan sisanya yang dua per tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam
kandungan itu lahir. Bila yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa
harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-laki keturunan
saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibanding kedudukan paman kandung.
Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak
paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan saudara laki-laki) termasuk dzawil
arham.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuan seibu, dan istri ayah
yang sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istri ayah tersebut melahirkan bayi laki-laki,
berarti menjadi saudara laki-laki seayah. Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan
waris, karena tidak ada sisa dari harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada.
Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuan seayah, maka
dalam hal ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokok masalahnya dari enam (6) di-'aul-kan
menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing, kita lihat sisanya
yang menjadi bagian bayi yang masih dalam kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa
bagian yang dibekukan menjadi bagiannya, namun bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa harta
waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada. Tabelnya seperti
berikut:
6 9
Suami 1/2
3
Ibu 1/6
1
Keadaan Ketiga
Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya --hanya saja
hak waris yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki dan bisa perempuan)-- maka dalam keadaan
demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang
maksimal. Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh
bagian daripada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan
bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya kita lakukan
pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada lebih sedikit dari bagian-
bagian masing-masing.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam
keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki, berarti kedudukannya sebagai anak
laki-laki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan
bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai 'ashaloub.
Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka perlu saya kemukakan contoh tabel dalam dua kategori (laki-
laki dan perempuan).
24 24 24
Istri 1/8 Istri 1/8
3 3 3
Keadaan Kelima
Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan
tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian
hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka
dialah yang akan mengambil hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris
yang ada akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dan
anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam kandungan merupakan
pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Karenanya, akan menggugurkan
hak waris saudara laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti
kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu ia akan mengambil
seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai
perempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapat bagian
separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai tambahan (ar-radd) bila ternyata
tidak ada 'ashabah.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudara kandung laki-laki.
Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara laki-laki tidak mendapat bagian bila janin
yang dikandung tadi laki-laki. Akan tetapi, bila bayi tersebut perempuan maka istri mendapatkan
seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian
saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputus beritanya, dan
tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah mati.
Contoh-contoh Kasus
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara kandung laki-laki
yang hilang, maka pembagiannya sebagai berikut:
Dalam hal ini kita harus memboat dua cara pembagian, yang pertama dalam kategori orang yang hilang
tadi masih hidup, dan yang kedua dalam kategori sudah meninggal. Kemudian kita menggunakan cara
al-jami'ah (menyatukan) kedua cara tadi. Dari sinilah kita keluarkan hak waris masing-masing,
kemudian membekukan sisanya. Tabelnya sebagai berikut:
4 7 8
Anggapan msh. hdp. Anggapan sdh. mati
2 8 6 7 56
yang dibekukan 4
yang dibekukan 9
2/3
yang dibekukan 9
yang dibekukan 3
yang dibekukan 4
yang dibekukan 10
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan, dan anak laki-laki yang hilang, maka bagian masing-masing seperti
berikut:
Anggapan msh. hdp. Anggapan sdh. mati
4 4 4
yang dibekukan 2
yang dibekukan 1
yang dibekukan 3
yang dibekukan 4
yang dibekukan 5
yang dibekukan 12
Demikianlah beberapa contoh tentang hak waris yang di antara ahli warisnya ada yang hilang atau
belum diketahui keadaannya.
Bukan sesuatu yang mustahil jika dalam suatu waktu dua orang bersaudara bepergian bersama-sama
menggunakan pesawat terbang atau kapal laut, lalu mengalami kecelakaan. Atau mungkin saja terjadi
bencana alam yang mengakibatkan rumah yang mereka huni runtuh, sehingga sebagian anggota
keluarga mereka menjadi korban. Maka jika di antara mereka ada yang mempunyai keturunan, tentulah
akan muncul persoalan dalam kaitannya dengan kewarisan. Misalnya, bagaimana cara pelaksanaan
pemberian hak waris kepada masingmasing ahli waris?
Kaidah Pembagian Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun
Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris orang yang tenggelam dan tertimbun yaitu dengan
menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulu meninggal. Apabila hal ini telah diketahui
dengan pasti, pembagian waris lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada
orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal, maka
kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak. Begitulah seterusnya.
Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang seorang
meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat kemudian, maka yang mati
kemudian inilah yang berhak menerima hak waris, sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak
setelah kematian saudaranya yang pertama. Menurut ulama faraid, hal ini telah memenuhi syarat hak
mewarisi, yaitu hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris.
Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara keduanya atau
mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh
yang menyebutkan: "Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam
secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang
meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya."
Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam
mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli waris
dari kerabat yang masih hidup.
Sebagai contoh, dua orang bersaudara mati secara berbarengan. Yang satu meninggalkan istri, anak
perempuan, dan anak paman kandung (sepupu); sedangkan yang satunya lagi meninggalkan dua anak
perempuan, dan anak laki-laki paman kandung (sepupu yang pertama disebutkan). Maka
pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan yang pertama
setengah (1/2), dan sisanya untuk bagian sepupu sebagai 'ashabah.
Adapun bagian kedua anak perempuan (dari yang kedua) adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya
merupakan bagian sepupu tadi sebagai 'ashabah.
Misal lain, suami-istri meninggal secara bersamaan dan mempunyai tiga anak laki-laki. Suami-istri itu
masing-masing mempunyai harta. Kemudian sang istri pernah mempunyai anak laki-laki dari suaminya
yang dahulu, begitupun sang suami telah mempunyai istri lain dan mempunyai anak laki-laki. Maka
pembagiannya seperti berikut:
Harta istri yang meninggal untuk anaknya, sedangkan harta suami yang meninggal seperdelapannya
(1/8) merupakan bagian istrinya yang masih hidup, dan sisanya adalah untuk anak laki-lakinya dari istri
yang masih hidup itu. Kemudian, harta ketiga anak laki-laki, seperenamnya (1/6) diberikan atau
merupakan bagian saudara laki-laki mereka yang seibu, dan sisanya merupakan bagian saudara laki-
lakinya yang seayah dengan mereka.
Pembahasan tentang hak waris-mewarisi bagi orang-orang yang mati tenggelam atau tertimbun
reruntuhan atau musibah lainnya merupakan bagian terakhir dari buku ini. Semoga apa yang saya
lakukan dapat memberikan banyak manfaat bagi para penuntut ilmu faraid, amin. Allahlah yang
memberi taufik dan petunjuk kepada kita, dan saya akhiri pembahasan ini dengan pujian kepada Rabb
semesta alam.
MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah, pengatur alam semesta, seluruh isi langit dan bumi. Dialah Yang Maha Kekal,
tidak akan rusak dan tidak akan mati, yang telah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya, dan hanya
kepada Kamilah mereka dikembalikan." (Maryam: 40)
Semoga shalawat dan salam tetap Allah anugerahkan kepada sang pembawa cahaya, perintis
kemanusiaan dan penunjuk jalan, junjungan kita Muhammad saw. Dengannyalah Allah SWT
menghilangkan kesesatan dan kegelapan, dan dengannyalah Allah mengeluarkan umat manusia dari
kegelapan kepada alam yang terang benderang.
Semoga shalawat dan salam juga Allah berikan kepada seluruh kerabatnya, para sahabatnya, dan siapa
pun yang mengikuti jejaknya.
Buku ini merupakan kumpulan materi perkuliahan untuk mata kuliah waris yang pernah saya berikan
kepada para mahasiswa Fakultas Syari'ah di Mekah al-Mukarramah. Kemudian saya tergerak untuk
mengumpulkan dan menyatukannya hingga menjadi buku dengan harapan dapat dimanfaatkan secara
lebih luas. Buku ini saya susun dengan sistematika yang sangat sederhana dan tidak bertele-tele.
Saya bermohon kepada Allah semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi para mahasiswa, dan
umumnya bagi seluruh kaum muslim yang memiliki keinginan untuk mengetahui dengan pasti
mengenai faraid (ilmu yang mengatur pembagian harta pusaka).
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar semua doa dan Maha Mampu untuk memenuhinya.
Mekah, Jumadil Akbir 1389 H
Muhammad Ali ash-Shabuni
I. AYAT-AYAT WARIS
ALLAH SWT berfirman
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu,
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
(an-Nisa': 11)
"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12)
"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa': 176)