You are on page 1of 99

A.

Penjelasan
Allah SWT melalui ketiga ayat tersebut --yang kesemuanya termaktub dalam surat an-Nisa'--
menegaskan dan merinci nashih (bagian) setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya. Ayat-ayat
tersebut juga dengan gamblang menjelaskan dan merinci syarat-syarat serta keadaan orang yang berhak
mendapatkan warisan dan orang-orang yang tidak berhak mendapatkannya. Selain itu, juga
menjelaskan keadaan setiap ahli waris, kapan ia menerima bagiannya secara "tertentu", dan kapan pula
ia menerimanya secara 'ashabah.
Perlu kita ketahui bahwa ketiga ayat tersebut merupakan asas ilmu faraid, di dalamnya berisi aturan dan
tata cara yang berkenaan dengan hak dan pembagian waris secara lengkap. Oleh sebab itu, orang yang
dianugerahi pengetahuan dan hafal ayat-ayat tersebut akan lebih mudah mengetahui bagian setiap ahli
waris, sekaligus mengenali hikmah Allah Yang Maha Bijaksana itu.
Allah Yang Maha Adil tidak melalaikan dan mengabaikan hak setiap ahli waris. Bahkan dengan aturan
yang sangat jelas dan sempurna Dia menentukan pembagian hak setiap ahli waris dengan adil serta
penuh kebijaksanaan. Maha Suci Allah. Dia menerapkan hal ini dengan tujuan mewujudkan keadilan
dalam kehidupan manusia, meniadakan kezaliman di kalangan mereka, menutup ruang gerak para
pelaku kezaliman, serta tidak membiarkan terjadinya pengaduan yang terlontar dari hati orang-orang
yang lemah.
Imam Qurthubi dalam tafsirnya mengungkapkan bahwa ketiga ayat tersebut merupakan salah satu
rukun agama, penguat hukum, dan induk ayat-ayat Ilahi. Oleh karenanya faraid memiliki martabat yang
sangat agung, hingga kedudukannya menjadi separo ilmu. Hal ini tercermin dalam hadits berikut, dari
Abdullah Ibnu Mas'ud bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Pelajarilah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada orang lain, serta pelajarilah faraid dan
ajarkanlah kepada orang lain. Sesungguhnya aku seorang yang bakal meninggal, dan ilmu
ini pun bakal sirna hingga akan muncul fitnah. Bahkan akan terjadi dua orang yang akan
berselisih dalam hal pembagian (hak yang mesti ia terima), namun keduanya tidak
mendapati orang yang dapat menyelesaikan perselisihan tersebut. " (HR Daruquthni)

Lebih jauh Imam Qurthubi mengatakan, "Apabila kita telah mengetahui hakikat ilmu ini, maka betapa
tinggi dan agung penguasaan para sahabat tentang masalah faraid ini. Sungguh mengagumkan
pandangan mereka mengenai ilmu waris ini. Meskipun demikian, sangat disayangkan kebanyakan
manusia (terutama pada masa kini) mengabaikan dan melecehkannya."1
Perlu kita ketahui bahwa semua kitab tentang waris yang disusun dan ditulis oleh para ulama
merupakan penjelasan dan penjabaran dari apa yang terkandung dalam ketiga ayat tersebut. Yakni
penjabaran kandungan ayat yang bagi kita sudah sangat jelas: membagi dan adil. Maha Suci Allah
Yang Maha Bijaksana dalam menetapkan hukum dan syariat-Nya.
Di antara kita mungkin ada yang bertanya-tanya dalam hati, adakah ayat lain yang berkenaan dengan
waris selain dari ketiga ayat tersebut?
Di dalam Al-Qur'an memang ada beberapa ayat yang menyebutkan masalah hak waris bagi para
kerabat (nasab), akan tetapi tentang besar-kecilnya hak waris yang mesti diterima mereka tidak
dijelaskan secara rinci. Di antaranya adalah firman Allah berikut:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetaplan. " (an-Nisa': 7)
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

"... Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-
mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmin dan orang-orang Muhajirin,
kecuali kalau kamu mau berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang
demikian itu telah tertulis di dalam Kitab (Allah)." (al-Ahzab: 6)

Itulah ayat-ayat dalam Al-Qur'an yang berkenaan dengan masalah hak waris, selain dari ketiga ayat
yang saya sebutkan pada awal pembahasan.
Pada ayat kedua dan ketiga (al-Anfal: 75 dan al-Ahzab: 6) ditegaskan bahwa kerabat pewaris (sang
mayit) lebih berhak untuk mendapatkan bagian dibandingkan lainnya yang bukan kerabat atau tidak
mempunyai tali kekerabatan dengannya. Mereka lebih berhak daripada orang mukmin umumnya dan
kaum Muhajirin.
Telah masyhur dalam sejarah permulaan datangnya Islam, bahwa pada masa itu kaum muslim saling
mewarisi harta masing-masing disebabkan hijrah dan rasa persaudaraan yang dipertemukan oleh
Rasulullah saw., seperti kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Pada permulaan datangnya Islam, kaum
Muhajirin dan kaum Anshar saling mewarisi, namun justru saudara mereka yang senasab tidak
mendapatkan warisan. Keadaan demikian berjalan terus hingga Islam menjadi agama yang kuat, kaum
muslim telah benar-benar mantap menjalankan ajaran-ajarannya, dan kaidah-kaidah agama telah begitu
mengakar dalam hati setiap muslim. Maka setelah peristiwa penaklukan kota Mekah, Allah me-
mansukh-kan (menghapuskan) hukum pewarisan yang disebabkan hijrah dan persaudaraan, dengan
hukum pewarisan yang disebabkan nasab dan kekerabatan.
Adapun dalam ayat pertama (an-Nisa': 7) Allah SWT dengan tegas menghilangkan bentuk kezaliman
yang biasa menimpa dua jenis manusia lemah, yakni wanita dan anak-anak. Allah SWT menyantuni
keduanya dengan rahmat dan kearifan-Nya serta dengan penuh keadilan, yakni dengan mengembalikan
hak waris mereka secara penuh. Dalam ayat tersebut Allah dengan keadilan-Nya memberikan hak
waris secara imbang, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar, laki-laki ataupun wanita.
Juga tanpa membedakan bagian mereka yang banyak maupun sedikit, maupun pewaris itu rela atau
tidak rela, yang pasti hak waris telah Allah tetapkan bagi kerabat pewaris karena hubungan nasab.
Sementara di sisi lain Allah membatalkan hak saling mewarisi di antara kaum muslim yang disebabkan
persaudaraan dan hijrah. Meskipun demikian, ayat tersebut tidaklah secara rinci dan detail menjelaskan
jumlah besar-kecilnya hak waris para kerabat. Jika kita pakai istilah dalam ushul fiqh ayat ini disebut
mujmal (global), sedangkan rinciannya terdapat dalam ayat-ayat yang saya nukilkan terdahulu (an-
Nisa': 11-12 dan 176).
Masih tentang kajian ayat-ayat tersebut, mungkin ada di antara kita yang bertanya-tanya dalam hati,
mengapa bagian kaum laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita, padahal kaum wanita jauh lebih
banyak membutuhkannya, karena di samping memang lemah, mereka juga sangat membutuhkan
bantuan baik moril maupun materiil?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu saya utarakan beberapa hikmah adanya syariat yang telah
Allah tetapkan bagi kaum muslim, di antaranya sebagai berikut:
1. Kaum wanita selalu harus terpenuhi kebutuhan dan keperluannya, dan dalam hal nafkahnya
kaum wanita wajib diberi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya, anaknya, atau siapa saja yang
mampu di antara kaum laki-laki kerabatnya.
Kaum wanita tidak diwajibkan memberi nafkah kepada siapa pun di dunia ini. Sebaliknya, kaum
lelakilah yang mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah kepada keluarga dan kerabatnya, serta
siapa saja yang diwajibkan atasnya untuk memberi nafkah dari kerabatnya.
Nafkah (pengeluaran) kaum laki-laki jauh lebih besar dibandingkan kaum wanita. Dengan demikian,
kebutuhan kaum laki-laki untuk mendapatkan dan memiliki harta jauh lebih besar dan banyak
dibandingkan kaum wanita.
Kaum laki-laki diwajibkan untuk membayar mahar kepada istrinya, menyediakan tempat tinggal
baginya, memberinya makan, minum, dan sandang. Dan ketika telah dikaruniai anak, ia berkewajiban
untuk memberinya sandang, pangan, dan papan.
2. Kebutuhan pendidikan anak, pengobatan jika anak sakit (termasuk istri) dan lainnya, seluruhnya
dibebankan hanya pada pundak kaum laki-laki. Sementara kaum wanita tidaklah demikian.
Itulah beberapa hikmah dari sekian banyak hikmah yang terkandung dalam perbedaan pembagian
antara kaum laki-laki --dua kali lebih besar-- dan kaum wanita. Kalau saja tidak karena rasa takut
membosankan, ingin sekali saya sebutkan hikmah-hikmah tersebut sebanyak mungkin. Secara logika,
siapa pun yang memiliki tanggung jawab besar --hingga harus mengeluarkan pembiayaan lebih
banyak-- maka dialah yang lebih berhak untuk mendapatkan bagian yang lebih besar pula. Kendatipun
hukum Islam telah menetapkan bahwa bagian kaum laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada bagian
kaum wanita, Islam telah menyelimuti kaum wanita dengan rahmat dan keutamaannya, berupa
memberikan hak waris kepada kaum wanita melebihi apa yang digambarkan. Dengan demikian,
tampak secara jelas bahwa kaum wanita justru lebih banyak mengenyam kenikmatan dan lebih enak
dibandingkan kaum laki-laki. Sebab, kaum wanita sama-sama menerima hak waris sebagaimana halnya
kaum laki-laki, namun mereka tidak terbebani dan tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah
keluarga. Artinya, kaum wanita berhak untuk mendapatkan hak waris, tetapi tidak memiliki kewajiban
untuk mengeluarkan nafkah.
Syariat Islam tidak mewajibkan kaum wanita untuk membelanjakan harta miliknya meski sedikit, baik
untuk keperluan dirinya atau keperluan anak-anaknya (keluarganya), selama masih ada suaminya.
Ketentuan ini tetap berlaku sekalipun wanita tersebut kaya raya dan hidup dalam kemewahan. Sebab,
suamilah yang berkewajiban membiayai semua nafkah dan kebutuhan keluarganya, khususnya dalam
hal sandang, pangan, dan papan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya:
"... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma'ruf ..." (al-Baqarah: 233)

Untuk lebih menjelaskan permasalahan tersebut perlu saya ketengahkan satu contoh kasus supaya
hikmah Allah dalam menetapkan hukum-hukum-Nya akan terasa lebih jelas dan nyata. Contoh yang
dimaksud di sini ialah tentang pembagian hak kaum laki-laki yang banyaknya dua kali lipat dari bagian
kaum wanita.
Seseorang meninggal dan mempunyai dua orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Ternyata
orang tersebut meninggalkan harta, misalnya sebanyak Rp 3 juta. Maka, menurut ketetapan syariat
Islam, laki-laki mendapatkan Rp 2 juta sedangkan anak perempuan mendapatkan Rp 1 juta.
Apabila anak laki-laki tersebut telah dewasa dan layak untuk menikah, maka ia berkewajiban untuk
membayar mahar dan semua keperluan pesta pernikahannya. Misalnya, ia mengeluarkan semua
pembiayaan keperluan pesta pernikahan itu sebesar Rp 20 juta. Dengan demikian, uang yang ia terima
dari warisan orang tuanya tidak tersisa. Padahal, setelah menikah ia mempunyai beban tanggung jawab
memberi nafkah istrinya.
Adapun anak perempuan, apabila ia telah dewasa dan layak untuk berumah tangga, dialah yang
mendapatkan mahar dari calon suaminya. Kita misalkan saja mahar itu sebesar Rp 1 juta. Maka anak
perempuan itu telah memiliki uang sebanyak Rp 2 juta (satu juta dari harta warisan dan satu juta lagi
dari mahar pemberian calon suaminya). Sementara itu, sebagai istri ia tidak dibebani tanggung jawab
untuk membiayai kebutuhan nafkah rumah tangganya, sekalipun ia memiliki harta yang banyak dan
hidup dalam kemewahan. Sebab dalam Islam kaum laki-lakilah yang berkewajiban memberi nafkah
istrinya, baik berupa sandang, pangan, dan papan. Jadi, harta warisan anak perempuan semakin
bertambah, sedangkan harta warisan anak laki-laki habis.
Dalam keadaan seperti ini manakah di antara kaum laki-laki dan kaum wanita yang lebih banyak
menikmati harta dan lebih berbahagia keadaannya? Laki-laki ataukah wanita? Inilah logika keadilan
dalam agama, sehingga pembagian hak laki-laki dua kali lipat lebih besar daripada hak kaum wanita.
1

B. Hak Waris Kaum Wanita sebelum Islam


Sebelum Islam datang, kaum wanita sama sekali tidak mempunyai hak untuk menerima warisan dari
peninggalan pewaris (orang tua ataupun kerabatnya). Dengan dalih bahwa kaum wanita tidak dapat ikut
berperang membela kaum dan sukunya. Bangsa Arab jahiliah dengan tegas menyatakan, "Bagaimana
mungkin kami memberikan warisan (harta peninggalan) kepada orang yang tidak bisa dan tidak pernah
menunggang kuda, tidak mampu memanggul senjata, serta tidak pula berperang melawan musuh."
Mereka mengharamkan kaum wanita menerima harta warisan, sebagaimana mereka mengharamkannya
kepada anak-anak kecil.
Sangat jelas bagi kita bahwa sebelum Islam datang bangsa Arab memperlakukan kaum wanita secara
zalim. Mereka tidak memberikan hak waris kepada kaum wanita dan anak-anak, baik dari harta
peninggalan ayah, suami, maupun kerabat mereka. Barulah setelah Islam datang ada ketetapan syariat
yang memberi mereka hak untuk mewarisi harta peninggalan kerabat, ayah, atau suami mereka dengan
penuh kemuliaan, tanpa direndahkan. Islam memberi mereka hak waris, tanpa boleh siapa pun
mengusik dan menentangnya. Inilah ketetapan yang telah Allah pastikan dalam syariat-Nya sebagai
keharusan yang tidak dapat diubah.
Ketika turun wahyu kepada Rasulullah saw. --berupa ayat-ayat tentang waris-- kalangan bangsa Arab
pada saat itu merasa tidak puas dan keberatan. Mereka sangat berharap kalau saja hukum yang
tercantum dalam ayat tersebut dapat dihapus (mansukh). Sebab menurut anggapan mereka, memberi
warisan kepada kaum wanita dan anak-anak sangat bertentangan dengan kebiasaan dan adat yang telah
lama mereka amalkan sebagai ajaran dari nenek moyang.
Ibnu Jarir ath-Thabari meriwayatkan sebuah kisah yang bersumber dari Abdullah Ibnu Abbas r.a.. Ia
berkata: "Ketika ayat-ayat yang menetapkan tentang warisan diturunkan Allah kepada RasulNya --yang
mewajibkan agar memberikan hak waris kepada laki-laki, wanita, anak-anak, kedua orang tua, suami,
dan istri-- sebagian bangsa Arab merasa kurang senang terhadap ketetapan tersebut. Dengan nada
keheranan sambil mencibirkan mereka mengatakan: 'Haruskah memberi seperempat bagian kepada
kaum wanita (istri) atau seperdelapan.' Memberikan anak perempuan setengah bagian harta
peninggalan? Juga haruskah memberikan warisan kepada anak-anak ingusan? Padahal mereka tidak
ada yang dapat memanggul senjata untuk berperang melawan musuh, dan tidak pula dapat andil
membela kaum kerabatnya. Sebaiknya kita tidak perlu membicarakan hukum tersebut. Semoga saja
Rasulullah melalaikan dan mengabaikannya, atau kita meminta kepada beliau agar berkenan untuk
mengubahnya.' Sebagian dari mereka berkata kepada Rasulullah: 'Wahai Rasulullah, haruskah kami
memberikan warisan kepada anak kecil yang masih ingusan? Padahal kami tidak dapat memanfaatkan
mereka sama sekali. Dan haruskah kami memberikan hak waris kepada anak-anak perempuan kami,
padahal mereka tidak dapat menunggang kuda dan memanggul senjata untuk ikut berperang melawan
musuh?'"
Inilah salah satu bentuk nyata ajaran syariat Islam dalam menyantuni kaum wanita; Islam telah mampu
melepaskan kaum wanita dari kungkungan kezaliman zaman. Islam memberikan hak waris kepada
kaum wanita yang sebelumnya tidak memiliki hak seperti itu, bahkan telah menetapkan mereka sebagai
ashhabul furudh (kewajiban yang telah Allah tetapkan bagian warisannya). Kendatipun demikian,
dewasa ini masih saja kita jumpai pemikiran yang kotor yang sengaja disebarluaskan oleh orang-orang
yang berhati buruk. Mereka beranggapan bahwa Islam telah menzalimi kaum wanita dalam hal hak
waris, karena hanya memberikan separo dari hak kaum laki-laki.
Anggapan mereka semata-mata dimaksudkan untuk memperdaya kaum wanita tentang hak yang
mereka terima. Mereka berpura-pura akan menghilangkan kezaliman yang menimpa kaum wanita
dengan cara menyamakan hak kaum wanita dengan hak kaum laki-laki dalam hal penerimaan warisan.
Mereka yang memiliki anggapan demikian sama halnya menghasut kaum wanita agar mereka menjadi
pembangkang dan pemberontak dengan menolak ajaran dan aturan hukum dalam syariat Islam.
Sehingga pada akhirnya kaum wanita akan menuntut persamaan hak penerimaan warisan yang sama
dan seimbang dengan kaum laki-laki.
Yang sangat mengherankan dan sulit dicerna akal sehat ialah bahwa mereka yang berpura-pura prihatin
tentang hak waris kaum wanita, justru mereka sendiri sangat bakhil terhadap kaum wanita dalam hal
memberi nafkah. Subhanallah! Sebagai bukti, mereka bahkan menyuruh kaum wanita untuk bekerja
demi menghidupi diri mereka, di antara mereka bekerja di ladang, di kantor, di tempat hiburan, bar,
kelab malam, dan sebagainya.
Corak pemikiran seperti ini dapat dipastikan merupakan hembusan dari Barat yang banyak diikuti oleh
orang-orang yang teperdaya oleh kedustaan mereka. Kultur seperti itu tidak menghormati kaum wanita,
bahkan tidak menempatkan mereka pada timbangan yang adil. Budaya mereka memandang kaum
wanita tidak lebih sebagai pemuas syahwat. Mereka sangat bakhil dalam memberikan nafkah kepada
kaum wanita, dan mengharamkan wanita untuk mengatur harta miliknya sendiri, kecuali dengan seizin
kaum laki-laki (suaminya). Lebih dari itu, budaya mereka mengharuskan kaum wanita bekerja guna
membiayai hidupnya. Kendatipun telah nyata demikian, mereka masih menuduh bahwa Islam telah
menzalimi dan membekukan hak wanita.

C. Asbabun Nuzul Ayat-ayat Waris


Banyak riwayat yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat-ayat waris, di antaranya yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Suatu ketika istri Sa'ad bin ar-Rabi' datang
menghadap Rasulullah saw. dengan membawa kedua orang putrinya. Ia berkata, "Wahai Rasulullah,
kedua putri ini adalah anak Sa'ad bin ar-Rabi' yang telah meninggal sebagai syuhada ketika Perang
Uhud. Tetapi paman kedua putri Sa'ad ini telah mengambil seluruh harta peninggalan Sa'ad, tanpa
meninggalkan barang sedikit pun bagi keduanya." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Semoga Allah
segera memutuskan perkara ini." Maka turunlah ayat tentang waris yaitu (an-Nisa': 11).
Rasulullah saw. kemudian mengutus seseorang kepada paman kedua putri Sa'ad dan memerintahkan
kepadanya agar memberikan dua per tiga harta peninggalan Sa'ad kepada kedua putri itu. Sedangkan
ibu mereka (istri Sa'ad) mendapat bagian seperdelapan, dan sisanya menjadi bagian saudara kandung
Sa'ad.
Dalam riwayat lain, yang dikeluarkan oleh Imam ath-Thabari, dikisahkan bahwa Abdurrahman bin
Tsabit wafat dan meninggalkan seorang istri dan lima saudara perempuan. Namun, seluruh harta
peninggalan Abdurrahman bin Tsabit dikuasai dan direbut oleh kaum laki-laki dari kerabatnya. Ummu
Kahhah (istri Abdurrahman) lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw., maka turunlah ayat waris
sebagai jawaban persoalan itu.
Masih ada sederetan riwayat sahih yang mengisahkan tentang sebab turunnya ayat waris ini. Semua
riwayat tersebut tidak ada yang menyimpang dari inti permasalahan, artinya bahwa turunnya ayat waris
sebagai penjelasan dan ketetapan Allah disebabkan pada waktu itu kaum wanita tidak mendapat bagian
harta warisan.

D. Kajian terhadap Ayat-ayat Waris


Pertama:
Firman Allah yang artinya "bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan," menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
1. Apabila pewaris (orang yang meninggal) hanya mempunyai seorang anak laki-laki dan seorang
anak perempuan, maka harta peninggalannya dibagi untuk keduanya. Anak laki-laki mendapat
dua bagian, sedangkan anak perempuan satu bagian.
Apabila ahli waris berjumlah banyak, terdiri dari anak laki-laki dan anak perempuan, maka bagian
untuk laki-laki dua kali lipat bagian anak perempuan.
Apabila bersama anak (sebagai ahli waris) ada juga ashhabul furudh, seperti suami atau istri, ayah atau
ibu, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah ashhabul furudh. Setelah itu barulah sisa harta
peninggalan yang ada dibagikan kepada anak. Bagi anak laki-laki dua bagian, sedangkan bagi anak
perempuan satu bagian.
Apabila pewaris hanya meninggalkan satu anak laki-laki, maka anak tersebut mewarisi seluruh harta
peninggalan. Meskipun ayat yang ada tidak secara sharih (tegas) menyatakan demikian, namun
pemahaman seperti ini dapat diketahui dari kedua ayat yang ada. Bunyi penggalan ayat yang dikutip
sebelumnya (Butir 1) rnenunjukkan bahwa bagian laki-laki adalah dua kali lipat bagian anak
perempuan. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat (artinya) "jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separo harta". Dari kedua penggalan ayat itu dapat ditarik kesimpulan bahwa bila
ahli waris hanya terdiri dari seorang anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta peninggalan
pewaris.
2. Adapun bagian keturunan dari anak laki-laki (cucu pewaris), jumlah bagian mereka sama
seperti anak, apabila sang anak tidak ada (misalnya meninggal terlebih dahulu). Sebab
penggalan ayat (artinya) "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu", mencakup keturunan anak kandung. Inilah ketetapan yang telah menjadi ijma'.
Kedua:
Hukum bagian kedua orang tua. Firman Allah (artinya): "Dan untuk dua orang ibu-hapak, bagi masing-
masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika
orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya
mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam." Penggalan ayat ini menunjukkan hukum-hukum sebagai berikut:
1. Ayah dan ibu masing-masing mendapatkan seperenam bagian apabila yang meninggal
mempunyai keturunan.
Apabila pewaris tidak mempunyai keturunan, maka ibunya mendapat bagian sepertiga dari harta yang
ditinggalkan. Sedangkan sisanya, yakni dua per tiga menjadi bagian ayah. Hal ini dapat dipahami dari
redaksi ayat yang hanya menyebutkan bagian ibu, yaitu sepertiga, sedangkan bagian ayah tidak
disebutkan. Jadi, pengertiannya, sisanya merupakan bagian ayah.
2. Jika selain kedua orang tua, pewaris mempunyai saudara (dua orang atau lebih), maka ibunya
mendapat seperenam bagian. Sedangkan ayah mendapatkan lima per enamnya. Adapun
saudara-saudara itu tidaklah mendapat bagian harta waris dikarenakan adanya bapak, yang
dalam aturan hukum waris dalam Islam dinyatakan sebagai hajib (penghalang). Jika misalnya
muncul pertanyaan apa hikmah dari penghalangan saudara pewaris terhadap ibu mereka
--artinya bila tanpa adanya saudara (dua orang atau lebih) ibu mendapat sepertiga bagian,
sedangkan jika ada saudara kandung pewaris ibu hanya mendapatkan seperenam bagian?
Jawabannya, hikmah adanya hajib tersebut dikarenakan ayahlah yang menjadi wali dalam
pernikahan mereka, dan wajib memberi nafkah mereka. Sedangkan ibu tidaklah demikian. Jadi,
kebutuhannya terhadap harta lebih besar dan lebih banyak dibandingkan ibu, yang memang
tidak memiliki kewajiban untuk membiayai kehidupan mereka.
Ketiga:
Utang orang yang meninggal lebih didahulukan daripada wasiat. Firman Allah (artinya) "sesudah
dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya." Secara zhahir wasiat harus
didahulukan ketimbang membayar utang orang yang meninggal. Namun, secara hakiki, utanglah yang
mesti terlebih dahulu ditunaikan. Jadi, utang-utang pewaris terlebih dahulu ditunaikan, kemudian
barulah melaksanakan wasiat bila memang ia berwasiat sebelum meninggal. Inilah yang diamalkan
Rasulullah saw..
Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib: "Sesungguhnya kalian telah membaca firman Allah [tulisan
Arab] dan Rasulullah telah menetapkan dengan menunaikan utang-utang orang yang meninggal, lalu
barulah melaksanakan wasiatnya."
Hikmah mendahulukan pembayaran utang dibandingkan melaksanakan wasiat adalah karena utang
merupakan keharusan yang tetap ada pada pundak orang yang utang, baik ketika ia masih hidup
ataupun sesudah mati. Selain itu, utang tersebut akan tetap dituntut oleh orang yang mempiutanginya,
sehingga bila yang berutang meninggal, yang mempiutangi akan menuntut para ahli warisnya.
Sedangkan wasiat hanyalah suatu amalan sunnah yang dianjurkan, kalaupun tidak ditunaikan tidak
akan ada orang yang menuntutnya. Di sisi lain, agar manusia tidak melecehkan wasiat dan jiwa
manusia tidak menjadi kikir (khususnya para ahli waris), maka Allah SWT mendahulukan
penyebutannya.
Keempat:
Firman Allah (artinya) "orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka
yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu." Penggalan ayat ini dengan tegas memberi isyarat
bahwa Allah yang berkompeten dan paling berhak untuk mengatur pembagian harta warisan. Hal ini
tidak diserahkan kepada manusia, siapa pun orangnya, cara ataupun aturan pembagiannya, karena
bagaimanapun bentuk usaha manusia untuk mewujudkan keadilan tidaklah akan mampu
melaksanakannya secara sempurna. Bahkan tidak akan dapat merealisasikan pembagian yang adil
seperti yang telah ditetapkan dalam ayat-ayat Allah.
Manusia tidak akan tahu manakah di antara orang tua dan anak yang lebih dekat atau lebih besar
kemanfaatannya terhadap seseorang, tetapi Allah, Maha Suci Dzat-Nya, Maha Bijaksana lagi Maha
Mengetahui. Pembagian yang ditentukan-Nya pasti adil. Bila demikian, siapakah yang dapat membuat
aturan dan undang-undang yang lebih baik, lebih adil, dan lebih relevan bagi umat manusia dan
kemanusiaan selain Allah?
Kelima:
Firman Allah (artinya) "Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-
istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau
(dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika
kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu." Penggalan ayat tersebut menjelaskan tentang hukum waris bagi suami dan istri. Bagi
suami atau istri masing-masing mempunyai dua cara pembagian.
Bagian suami:
1. Apabila seorang istri meninggal dan tidak mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat
bagian separo dari harta yang ditinggalkan istrinya.
2. Apabila seorang istri meninggal dan ia mempunyai keturunan (anak), maka suami mendapat
bagian seperempat dari harta yang ditinggalkan.
Bagian istri:
1. Apabila seorang suami meninggal dan dia tidak mempunyai anak (keturunan), maka bagian istri
adalah seperempat.
2. Apabila seorang suami meninggal dan dia mempunyai anak (keturunan), maka istri mendapat
bagian seperdelapan.
Keenam:
Hukum yang berkenaan dengan hak waris saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu. Firman-Nya
(artinya): "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan
tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi
jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu,
sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi
mudarat (kepada ahli waris). "
Yang dimaksud ikhwah (saudara) dalam penggalan ayat ini (an-Nisa': 12) adalah saudara laki-laki atau
saudara perempuan "seibu lain ayah". Jadi, tidak mencakup saudara kandung dan tidak pula saudara
laki-laki atau saudara perempuan "seayah lain ibu". Pengertian inilah yang disepakati oleh ulama.
Adapun yang dijadikan dalil oleh ulama ialah bahwa Allah SWT telah menjelaskan --dalam firman-
Nya-- tentang hak waris saudara dari pewaris sebanyak dua kali. Yang pertama dalam ayat ini, dan
yang kedua pada akhir surat an-Nisa'. Dalam ayat yang disebut terakhir ini, bagi satu saudara mendapat
seperenam bagian, sedangkan bila jumlah saudaranya banyak maka mendapatkan sepertiga dari harta
peninggalan dan dibagi secara rata.
Sementara itu, ayat akhir surat an-Nisa' menjelaskan bahwa saudara perempuan, jika sendirian,
mendapat separo harta peninggalan, sedangkan bila dua atau lebih ia mendapat bagian dua per tiga.
Oleh karenanya, pengertian istilah ikhwah dalam ayat ini harus dibedakan dengan pengertian ikhwah
yang terdapat dalam ayat akhir surat an-Nisa' untuk meniadakan pertentangan antara dua ayat.
Sementara itu, karena saudara kandung atau saudara seayah kedudukannya lebih dekat --dalam urutan
nasab-- dibandingkan saudara seibu, maka Allah menetapkan bagian keduanya lebih besar
dibandingkan saudara seibu. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa pengertian kata ikhwah dalam
ayat tersebut (an-Nisa': 12) adalah 'saudara seibu', sedangkan untuk kata yang sama di dalam akhir
surat an-Nisa' memiliki pengertian 'saudara kandung' atau 'saudara seayah'.

Rincian Beberapa Keadaan Bagian Saudara Seibu


1. Apabila seseorang meninggal dan mempunyai satu orang saudara laki-laki seibu atau satu orang
saudara perempuan seibu, maka bagian yang diperolehnya adalah seperenam.
2. Jika yang meninggal mempunyai saudara seibu dua orang atau lebih, mereka mendapatkan dua
per tiga bagian dan dibagi secara rata. Sebab yang zhahir dari firman-Nya [tulisan Arab]
menunjukkan adanya keharusan untuk dibagi dengan rata sama besar-kecilnya. Jadi, saudara
laki-laki mendapat bagian yang sama dengan bagian saudara perempuan.

Makna Kalaalah
Pengertian kalaalah ialah seseorang meninggal tanpa memiliki ayah ataupun keturunan; atau dengan
kata lain dia tidak mempunyai pokok dan cabang. Kata kalaalah diambil dari kata al-kalla yang
bermakna 'lemah'. Kata ini misalnya digunakan dalam kalimat kalla ar-rajulu, yang artinya 'apabila
orang itu lemah dan hilang kekuatannya'.
Ulama sepakat (ijma') bahwa kalaalah ialah seseorang yang mati namun tidak mempunyai ayah dan
tidak memiliki keturunan. Diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a., ia berkata: "Saya mempunyai
pendapat mengenai kalaalah. Apabila pendapat saya ini benar maka hanyalah dari Allah semata dan
tidak ada sekutu bagi-Nya. Adapun bila pendapat ini salah, maka karena dariku dan dari setan, dan
Allah terbebas dari kekeliruan tersebut. Menurut saya, Kalaalah adalah orang yang meninggal yang
tidak mempunyai ayah dan anak. "
Ketujuh:
Firman Allah (artinya) "sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sudah dibayar utangnya
dengan tidak membebani mudarat (kepada ahli waris)". Ayat tersebut menunjukkan dengan tegas
bahwa apabila wasiat dan utang nyata-nyata mengandung kemudaratan, maka wajib untuk tidak
dilaksanakan. Dampak negatif mengenai wasiat yang dimaksudkan di sini, misalnya, seseorang yang
berwasiat untuk menyedekahkan hartanya lebih dari sepertiga. Sedangkan utang yang dimaksud
berdampak negatif, misalnya seseorang yang mengakui mempunyai utang padahal sebenamya ia tidak
berutang. Jadi, baik wasiat atau utang yang dapat menimbulkan mudarat (berdampak negatif) pada ahli
waris tidak wajib dilaksanakan.

Hukum Keadaan Saudara Kandung atau Seayah


Firman Allah SWT dalam surat an-Nisa': 176 mengisyaratkan adanya beberapa keadaan tentang bagian
saudara kandung atau saudara seayah.
1. Apabila seseorang meninggal dan hanya mempunyai satu orang saudara kandung perempuan
ataupun seayah, maka ahli waris mendapat separo harta peninggalan, bila ternyata pewaris
(yang meninggal) tidak mempunyai ayah atau anak.
Apabila pewaris mempunyai dua orang saudara kandung perempuan atau seayah ke atas, dan tidak
mempunyai ayah atau anak, maka bagian ahli waris adalah dua per tiga dibagi secara rata.
Apabila pewaris mempunyai banyak saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan atau
seayah, maka bagi ahli waris yang laki-laki mendapatkan dua kali bagian saudara perempuan.
2. Apabila seorang saudara kandung perempuan meninggal, dan ia tidak mempunyai ayah atau
anak, maka seluruh harta peninggalannya menjadi bagian saudara kandung laki-lakinya.
Apabila saudara kandungnya banyak --lebih dari satu-- maka dibagi secara rata sesuai jumlah
kepala. Begitulah hukum bagi saudara seayah, jika ternyata tidak ada saudara laki-laki yang
sekandung atau saudara perempuan yang sekandung.
II. WARIS DALAM PANDANGAN ISLAM
SYARIAT Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya
ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara
yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal
dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan
perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan
tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai
kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman,
cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan
ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat
sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an yang
merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan
kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di
samping bahwa harta merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat

A. Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-
miiraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain',
atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian
pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)

"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)

Selain itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:


'Ulama adalah ahli waris para nabi'.

Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak
kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.

Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh orang yang meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan
dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta yang
berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan
(misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum diberikan kepada istrinya).
Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan
Dari sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta
miliknya, dengan catatan tidak boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut
menyangkut segala sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya.
Di antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan sebagainya
hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir.

Satu hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan tersebut
akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi kemampuannya
maupun dari jenis kelaminnya.

2. Hendaklah utang piutang yang masih ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu.
Artinya, seluruh harta peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli
warisnya sebelum utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:

"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga ditunaikan."

Maksud hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia.
Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat,
atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan
ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat
bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama
berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta
peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.

Kalangan ulama mazhab Hanafi beralasan bahwa menunaikan hal-hal tersebut merupakan
ibadah, sedangkan kewajiban ibadah gugur jika seseorang telah meninggal dunia. Padahal,
menurut mereka, pengamalan suatu ibadah harus disertai dengan niat dan keikhlasan, dan
hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh orang yang sudah meninggal. Akan tetapi,
meskipun kewajiban tersebut dinyatakan telah gugur bagi orang yang sudah meninggal, ia
tetap akan dikenakan sanksi kelak pada hari kiamat sebab ia tidak menunaikan kewajiban
ketika masih hidup. Hal ini tentu saja merupakan keputusan Allah SWT. Pendapat mazhab
ini, menurut saya, tentunya bila sebelumnya mayit tidak berwasiat kepada ahli waris untuk
membayarnya. Namun, bila sang mayit berwasiat, maka wajib bagi ahli waris untuk
menunaikannya.

Sedangkan jumhur ulama yang menyatakan bahwa ahli waris wajib untuk menunaikan
utang pewaris terhadap Allah beralasan bahwa hal tersebut sama saja seperti utang kepada
sesama manusia. Menurut jumhur ulama, hal ini merupakan amalan yang tidak memerlukan
niat karena bukan termasuk ibadah mahdhah, tetapi termasuk hak yang menyangkut harta
peninggalan pewaris. Karena itu wajib bagi ahli waris untuk menunaikannya, baik pewaris
mewasiatkan ataupun tidak.

Bahkan menurut pandangan ulama mazhab Syafi'i hal tersebut wajib ditunaikan sebelum
memenuhi hak yang berkaitan dengan hak sesama hamba. Sedangkan mazhab Maliki
berpendapat bahwa hak yang berhubungan dengan Allah wajib ditunaikan oleh ahli
warisnya sama seperti mereka diwajibkan menunaikan utang piutang pewaris yang
berkaitan dengan hak sesama hamba. Hanya saja mazhab ini lebih mengutamakan agar
mendahulukan utang yang berkaitan dengan sesama hamba daripada utang kepada Allah.
Sementara itu, ulama mazhab Hambali menyamakan antara utang kepada sesama hamba
dengan utang kepada Allah. Keduanya wajib ditunaikan secara bersamaan sebelum seluruh
harta peninggalan pewaris dibagikan kepada setiap ahli waris.

3. Wajib menunaikan seluruh wasiat pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari
seluruh harta peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi
orang yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh ahli
warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta tersebut
diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk membayar
utangnya.

Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkannya,
maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan kesepakatan semua ahli warisnya.
Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi
Waqash r.a. --pada waktu itu Sa'ad sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang
dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih
baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada
orang."

4. Setelah itu barulah seluruh harta peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya sesuai ketetapan Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma').
Dalam hal ini dimulai dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris
yang telah ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta waris
--jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).

Catatan:
Pada ayat waris, wasiat memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara
syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru kemudian melaksanakan
wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat tentu mengandung hikmah, diantaranya
agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak ada yang menuntut
hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini tentu saja berbeda dengan utang
piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.

B. Derajat Ahli Waris


Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan. Berikut ini
akan disebutkan berdasarkan urutan dan derajatnya:
1. Ashhabul furudh. Golongan inilah yang pertama diberi bagian harta warisan. Mereka adalah
orang-orang yang telah ditentukan bagiannya dalam Al-Qur'an, As-Sunnah, dan ijma'.
Ashabat nasabiyah. Setelah ashhabul furudh, barulah ashabat nasabiyah menerima bagian. Ashabat
nasabiyah yaitu setiap kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang telah dibagikan.
Bahkan, jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya, ia berhak mengambil seluruh harta peninggalan.
Misalnya anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris, paman
kandung, dan seterusnya.
Penambahan bagi ashhabul furudh sesuai bagian (kecuali suami istri). Apabila harta warisan yang telah
dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa, maka hendaknya diberikan kepada ashhabul
furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan. Adapun suami atau istri tidak
berhak menerima tambahan bagian dari sisa harta yang ada. Sebab hak waris bagi suami atau istri
disebabkan adanya ikatan pernikahan, sedangkan kekerabatan karena nasab lebih utama mendapatkan
tambahan dibandingkan lainnya.
Mewariskan kepada kerabat. Yang dimaksud kerabat di sini ialah kerabat pewaris yang masih memiliki
kaitan rahim --tidak termasuk ashhabul furudh juga 'ashabah. Misalnya, paman (saudara ibu), bibi
(saudara ibu), bibi (saudara ayah), cucu laki-laki dari anak perempuan, dan cucu perempuan dari anak
perempuan. Maka, bila pewaris tidak mempunyai kerabat sebagai ashhabul furudh, tidak pula 'ashabah,
para kerabat yang masih mempunyai ikatan rahim dengannya berhak untuk mendapatkan warisan.
Tambahan hak waris bagi suami atau istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk
ashhabul furudh dan 'ashabah, juga tidak ada kerabat yang memiliki ikatan rahim, maka harta warisan
tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri. Misalnya, seorang suami meninggal tanpa memiliki
kerabat yang berhak untuk mewarisinya, maka istri mendapatkan bagian seperempat dari harta warisan
yang ditinggalkannya, sedangkan sisanya merupakan tambahan hak warisnya. Dengan demikian, istri
memiliki seluruh harta peninggalan suaminya. Begitu juga sebaliknya suami terhadap harta
peninggalan istri yang meninggal.
Ashabah karena sebab. Yang dimaksud para 'ashabah karena sebab ialah orang-orang yang
memerdekakan budak (baik budak laki-laki maupun perempuan). Misalnya, seorang bekas budak
meninggal dan mempunyai harta warisan, maka orang yang pernah memerdekakannya termasuk salah
satu ahli warisnya, dan sebagai 'ashabah. Tetapi pada masa kini sudah tidak ada lagi.
Orang yang diberi wasiat lebih dari sepertiga harta pewaris. Yang dimaksud di sini ialah orang lain,
artinya bukan salah seorang dan ahli waris. Misalnya, seseorang meninggal dan mempunyai sepuluh
anak. Sebelum meninggal ia terlebih dahulu memberi wasiat kepada semua atau sebagian anaknya agar
memberikan sejumlah hartanya kepada seseorang yang bukan termasuk salah satu ahli warisnya.
Bahkan mazhab Hanafi dan Hambali berpendapat boleh memberikan seluruh harta pewaris bila
memang wasiatnya demikian.
2. Baitulmal (kas negara). Apabila seseorang yang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun
kerabat --seperti yang saya jelaskan-- maka seluruh harta peninggalannya diserahkan kepada
baitulmal untuk kemaslahatan umum.

C. Bentuk-bentuk Waris
A. Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
Hak waris secara 'ashabah (kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
Hak waris secara tambahan.
B. Hak waris secara pertalian rahim.
Pada bagian berikutnya butir-butir tersebut akan saya jelas secara detail.

D. Sebab-sebab Adanya Hak Waris


Ada tiga sebab yang menjadikan seseorang mendapatkan hak waris:
1. Kerabat hakiki (yang ada ikatan nasab), seperti kedua orang tua, anak, saudara, paman, dan
seterusnya.
Pernikahan, yaitu terjadinya akad nikah secara legal (syar'i) antara seorang laki-laki dan perempuan,
sekalipun belum atau tidak terjadi hubungan intim (bersanggama) antar keduanya. Adapun pernikahan
yang batil atau rusak, tidak bisa menjadi sebab untuk mendapatkan hak waris.
2. Al-Wala, yaitu kekerabatan karena sebab hukum. Disebut juga wala al-'itqi dan wala an-ni'mah.
Yang menjadi penyebab adalah kenikmatan pembebasan budak yang dilakukan seseorang.
Maka dalam hal ini orang yang membebaskannya mendapat kenikmatan berupa kekerabatan
(ikatan) yang dinamakan wala al-'itqi. Orang yang membebaskan budak berarti telah
mengembalikan kebebasan dan jati diri seseorang sebagai manusia. Karena itu Allah SWT
menganugerahkan kepadanya hak mewarisi terhadap budak yang dibebaskan, bila budak itu
tidak memiliki ahli waris yang hakiki, baik adanya kekerabatan (nasab) ataupun karena adanya
tali pernikahan.

E. Rukun Waris
Rukun waris ada tiga:
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta
peninggalannya.
Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris
dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
2. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik
berupa uang, tanah, dan sebagainya.

F. Syarat Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris) baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya
dianggap telah meninggal).
Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
2. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah
bahwa seseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka,
atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya. Sebagai
contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim
memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
Hal ini harus diketahui secara pasti, karena bagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup
tetap dianggap mampu untuk mengendalikan seluruh harta miliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat
diganggu gugat oleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.
Syarat Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat
benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam
satu peristiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu
meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih
hidup. Hal seperti ini oleh kalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal
dalam suatu kecelakaan kendaraan, tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan, mereka
adalah golongan orang yang tidak dapat saling mewarisi.
Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat,
dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan
kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan
akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan bahwa
seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara
kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada
yang berhak menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang
terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.

G. Penggugur Hak Waris


Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi
gugur, dalam hal ini ada tiga:

1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik
budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya
meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya,
dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis budak merupakan
penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik.

2. Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia
tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya. "

Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha yang
sekaligus dijadikan sebagai kaidah: "Siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum
waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya."
Ada perbedaan di kalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi
menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan
yang wajib membayar kafarat.
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan
yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang
dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan
pelakunya diqishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai
penggugur hak waris.
Sedangkan menurut mazhab Syafi'i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi
penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman
rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qishash atau
hukuman mati pada umumnya. Menurut saya, pendapat mazhab Hambali yang paling adil. Wallahu
a'lam.

3. Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apa pun agamanya. Hal
ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:
"Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir
mewarisi muslim." (Bukhari dan Muslim)

Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan
pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu'adz bin Jabal r.a. yang
mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada
orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya'lu walaayu'la 'alaihi (unggul, tidak ada yang
mengunggulinya).
Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi, yakni murtad.
Orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat
kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karenanya orang murtad tidak
dapat mewarisi orang Islam.
Sementara itu, di kalangan ulama terjadi perbedaan pandangan mengenai kerabat orang yang murtad,
apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta
kerabatnya yang telah murtad?
Menurut mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak
mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka, orang yang murtad berarti telah
keluar dari ajaran Islam sehingga secara otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti
ditegaskan Rasulullah saw. dalam haditsnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling
mewarisi.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang
murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan: "Seluruh harta peninggalan
orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim." Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar
ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan lainnya.
Menurut penulis, pendapat ulama mazhab Hanafi lebih rajih (kuat dan tepat) dibanding yang lainnya,
karena harta warisan yang tidak memiliki ahli waris itu harus diserahkan kepada baitulmal. Padahal
pada masa sekarang tidak kita temui baitulmal yang dikelola secara rapi, baik yang bertaraf nasional
ataupun internasional.

Perbedaan antara al-mahrum dan al-mahjub


Ada perbedaan yang sangat halus antara pengertian al-mahrum dan al-mahjub, yang terkadang
membingungkan sebagian orang yang sedang mempelajari faraid. Karena itu, ada baiknya saya
jelaskan perbedaan makna antara kedua istilah tersebut.
Seseorang yang tergolong ke dalam salah satu sebab dari ketiga hal yang dapat menggugurkan hak
warisnya, seperti membunuh atau berbeda agama, di kalangan fuqaha dikenal dengan istilah mahrum.
Sedangkan mahjub adalah hilangnya hak waris seorang ahli waris disebabkan adanya ahli waris yang
lebih dekat kekerabatannya atau lebih kuat kedudukannya. Sebagai contoh, adanya kakek bersamaan
dengan adanya ayah, atau saudara seayah dengan adanya saudara kandung. Jika terjadi hal demikian,
maka kakek tidak mendapatkan bagian warisannya dikarenakan adanya ahli waris yang lebih dekat
kekerabatannya dengan pewaris, yaitu ayah. Begitu juga halnya dengan saudara seayah, ia tidak
memperoleh bagian disebabkan adanya saudara kandung pewaris. Maka kakek dan saudara seayah
dalam hal ini disebut dengan istilah mahjub.
Untuk lebih memperjelas gambaran tersebut, saya sertakan contoh kasus dari keduanya.
Contoh Pertama
Seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri, saudara kandung, dan anak --dalam
hal ini, anak kita misalkan sebagai pembunuh. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat
bagian seperempat harta yang ada, karena pewaris dianggap tidak memiliki anak. Kemudian sisanya,
yaitu tiga per empat harta yang ada, menjadi hak saudara kandung sebagai 'ashabah
Dalam hal ini anak tidak mendapatkan bagian disebabkan ia sebagai ahli waris yang mahrum. Kalau
saja anak itu tidak membunuh pewaris, maka bagian istri seperdelapan, sedangkan saudara kandung
tidak mendapatkan bagian disebabkan sebagai ahli waris yang mahjub dengan adanya anak pewaris.
Jadi, sisa harta yang ada, yaitu 7/8, menjadi hak sang anak sebagai 'ashabah.
Contoh Kedua
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan ayah, ibu, serta saudara kandung. Maka saudara
kandung tidak mendapatkan warisan dikarenakan ter- mahjub oleh adanya ahli waris yang lebih dekat
dan kuat dibandingkan mereka, yaitu ayah pewaris

H. Ahli Waris dari Golongan Laki-laki


Ahli waris (yaitu orang yang berhak mendapatkan warisan) dari kaum laki-laki ada lima belas: (1) anak
laki-laki, (2) cucu laki-laki (dari anak laki-laki), (3) bapak, (4) kakek (dari pihak bapak), (5) saudara
kandung laki-laki, (6) saudara laki-laki seayah, (7) saudara laki-laki seibu, (8) anak laki-laki dari
saudara kandung laki-laki, (9) anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu, (10) paman (saudara kandung
bapak), (11) paman (saudara bapak seayah), (12) anak laki-laki dari paman (saudara kandung ayah),
(13) anak laki-laki paman seayah, (14) suami, (15) laki-laki yang memerdekakan budak.
Catatan
Bagi cucu laki-laki yang disebut sebagai ahli waris di dalamnya tercakup cicit (anak dari cucu) dan
seterusnya, yang penting laki-laki dan dari keturunan anak laki-laki. Begitu pula yang dimaksud
dengan kakek, dan seterusnya.

I. Ahli Waris dari Golongan Wanita


Adapun ahli waris dari kaum wanita ada sepuluh: (1) anak perempuan, (2) ibu, (3) anak perempuan
(dari keturunan anak laki-laki), (4) nenek (ibu dari ibu), (5) nenek (ibu dari bapak), (6) saudara
kandung perempuan, (7) saudara perempuan seayah, (8) saudara perempuan seibu, (9) istri, (10)
perempuan yang memerdekakan budak.
Catatan
Cucu perempuan yang dimaksud di atas mencakup pula cicit dan seterusnya, yang penting perempuan
dari keturunan anak laki-laki. Demikian pula yang dimaksud dengan nenek --baik ibu dari ibu maupun
ibu dari bapak-- dan seterusnya.
III. PEMBAGIAN WARIS MENURUT AL-QUR'AN
JUMLAH bagian yang telah ditentukan Al-Qur'an ada enam macam, yaitu setengah (1/2), seperempat
(1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Kini mari kita kenali
pembagiannya secara rinci, siapa saja ahli waris yang termasuk ashhabul furudh dengan bagian yang
berhak ia terima.

A. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Setengah


Ashhabul furudh yang berhak mendapatkan separo dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu
dari golongan laki-laki dan empat lainnya perempuan. Kelima ashhabul furudh tersebut ialah suami,
anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, dan saudara
perempuan seayah. Rinciannya seperti berikut:
1. Seorang suami berhak untuk mendapatkan separo harta warisan, dengan syarat apabila
pewaris tidak mempunyai keturunan, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik
anak keturunan itu dari suami tersebut ataupun bukan. Dalilnya adalah firman Allah:

"... dan bagi kalian (para suami) mendapat separo dari harta yang ditinggalkan
istri-istri kalian, bila mereka (para istri) tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa':
12)

2. Anak perempuan (kandung) mendapat bagian separo harta peninggalan pewaris, dengan
dua syarat:

a. Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki (berarti anak perempuan tersebut tidak
mempunyai saudara laki-laki, penj.).
b. Apabila anak perempuan itu adalah anak tunggal. Dalilnya adalah firman Allah:
"dan apabila ia (anak perempuan) hanya seorang, maka ia mendapat separo harta
warisan yang ada". Bila kedua persyaratan tersebut tidak ada, maka anak perempuan
pewaris tidak mendapat bagian setengah.

3. Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan mendapat bagian separo, dengan tiga
syarat:

a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-laki).
Apabila hanya seorang (yakni cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tersebut
sebagai cucu tunggal).

b. Apabila pewaris tidak mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.

Dalilnya sama saja dengan dalil bagian anak perempuan (sama dengan nomor 2). Sebab
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung
perempuan bila anak kandung perempuan tidak ada. Maka firman-Nya "yushikumullahu fi
auladikum", mencakup anak dan anak laki-laki dari keturunan anak, dan hal ini telah
menjadi kesepakatan para ulama.

4. Saudara kandung perempuan akan mendapat bagian separo harta warisan, dengan tiga
syarat:

a. Ia tidak mempunyai saudara kandung laki-laki.


Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara perempuan).

b. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan,
baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan.

Dalilnya adalah firman Allah berikut:

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah


memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaituj: jika seorang meninggal
dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka
bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkannya ...'" (an-Nisa': 176)

5. Saudara perempuan seayah akan mendapat bagian separo dari harta warisan peninggalan
pewaris, dengan empat syarat:

a. Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki.


Apabila ia hanya seorang diri.

Pewaris tidak mempunyai saudara kandung perempuan.

b. Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakak, dan tidak pula anak, baik anak laki-laki
maupun perempuan.

Dalilnya sama dengan Butir 4 (an-Nisa': 176), dan hal ini telah menjadi kesepakatan ulama.

. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperempat


Adapun kerabat pewaris yang berhak mendapat seperempat (1/4) dari harta peninggalannya hanya ada
dua, yaitu suami dan istri. Rinciannya sebagai berikut:
1. Seorang suami berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan istrinya
dengan satu syarat, yaitu bila sang istri mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan
anak laki-lakinya, baik anak atau cucu tersebut dari darah dagingnya ataupun dari suami
lain (sebelumnya). Hal ini berdasarkan firman Allah berikut:

"... Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat
dari harta yang ditinggalkannya É" (an-Nisa': 12)

2. Seorang istri akan mendapat bagian seperempat (1/4) dari harta peninggalan suaminya
dengan satu syarat, yaitu apabila suami tidak mempunyai anak/cucu, baik anak tersebut
lahir dari rahimnya ataupun dari rahim istri lainnya. Ketentuan ini berdasarkan firman
Allah berikut:

"... Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu
tidak mempunyai anak ..." (an-Nisa': 12)
Ada satu hal yang patut diketahui oleh kita --khususnya para penuntut ilmu-- tentang
bagian istri. Yang dimaksud dengan "istri mendapat seperempat" adalah bagi seluruh istri
yang dinikahi seorang suami yang meninggal tersebut. Dengan kata lain, sekalipun seorang
suami meninggalkan istri lebih dari satu, maka mereka tetap mendapat seperempat harta
peninggalan suami mereka. Hal ini berdasarkan firman Allah di atas, yaitu dengan
digunakannya kata lahunna (dalam bentuk jamak) yang bermakna 'mereka perempuan'.
Jadi, baik suami meninggalkan seorang istri ataupun empat orang istri, bagian mereka tetap
seperempat dari harta peninggalan.

C. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Seperdelapan


Dari sederetan ashhabul furudh yang berhak memperoleh bagian seperdelapan (1/8) yaitu istri. Istri,
baik seorang maupun lebih akan mendapatkan seperdelapan dari harta peninggalan suaminya, bila
suami mempunyai anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain.
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
"... Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang
kamu tinggalkan sesudah dipenuh, wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar
utang-utangmu ..." (an-Nisa': 12)

D. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Dua per Tiga


Ahli waris yang berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3) dari harta peninggalan pewaris ada empat,
dan semuanya terdiri dari wanita:
1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih.
Dua orang cucu perempuan keturunan anak laki-laki atau lebih.
Dua orang saudara kandung perempuan atau lebih.
2. Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.
Ketentuan ini terikat oleh syarat-syarat seperti berikut:
1. Dua anak perempuan (kandung) atau lebih itu tidak mempunyai saudara laki-laki, yakni
anak laki-laki dari pewaris. Dalilnya firman Allah berikut:

"... dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
dua per tiga dari harta yang ditinggalkan ..." (an-Nisa': 11)

Ada satu hal penting yang mesti kita ketahui agar tidak tersesat dalam memahami hukum
yang ada dalam Kitabullah. Makna "fauqa itsnataini" bukanlah 'anak perempuan lebih dari
dua', melainkan 'dua anak perempuan atau lebih', hal ini merupakan kesepakatan para
ulama. Mereka bersandar pada hadits Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Imam Muslim yang mengisahkan vonis Rasulullah terhadap pengaduan istri
Sa'ad bin ar-Rabi' r.a. --sebagaimana diungkapkan dalam bab sebelum ini.

Hadits tersebut sangat jelas dan tegas menunjukkan bahwa makna ayat itsnataini adalah
'dua anak perempuan atau lebih'. Jadi, orang yang berpendapat bahwa maksud ayat tersebut
adalah "anak perempuan lebih dari dua" jelas tidak benar dan menyalahi ijma' para ulama.
Wallahu a'lam.
2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian dua
per tiga (2/3), dengan persyaratan sebagai berikut:

a. Pewaris tidak mempunyai anak kandung, baik laki-laki atau perempuan.


Pewaris tidak mempunyai dua orang anak kandung perempuan.

b. Dua cucu putri tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki.

3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan
persyaratan sebagai berikut:

a. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki maupun perempuan), juga tidak
mempunyai ayah atau kakek.
Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) itu tidak mempunyai saudara laki-laki
sebagai 'ashabah.

b. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan, atau cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki. Dalilnya adalah firman Allah:

"... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua per tiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)

4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) akan mendapat bagian dua per tiga dengan
syarat sebagai berikut:

a. Bila pewaris tidak mempunyai anak, ayah, atau kakek.


Kedua saudara perempuan seayah itu tidak mempunyai saudara laki-laki seayah.

b. Pewaris tidak mempunyai anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan
anak laki-laki, atau saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan).

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi dua saudara perempuan seayah untuk mendapatkan bagian dua
per tiga hampir sama dengan persyaratan dua saudara kandung perempuan, hanya di sini (saudara
seayah) ditambah dengan keharusan adanya saudara kandung (baik laki-laki maupun perempuan). Dan
dalilnya sama, yaitu ijma' para ulama bahwa ayat "... tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua per tiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal ..." (an-Nisa': 176)
mencakup saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan
seibu tidaklah termasuk dalam pengertian ayat tersebut. Wallahu a'lam.

E. Ashhabul furudh yang Berhak Mendapat Bagian Sepertiga


Adapun ashhabul furudh yang berhak mendapatkan warisan sepertiga bagian hanya dua, yaitu ibu dan
dua saudara (baik laki-laki ataupun perempuan) yang seibu.
Seorang ibu berhak mendapatkan bagian sepertiga dengan syarat:
1. Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki.
2. Pewaris tidak mempunyai dua orang saudara atau lebih (laki-laki maupun perempuan), baik
saudara itu sekandung atau seayah ataupun seibu. Dalilnya adalah firman Allah:
"... dan jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga..." (an-Nisa': 11)

Juga firman-Nya:
"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat
seperenam..." (an-Nisa': 11)

Catatan:
Lafazh ikhwatun bila digunakan dalam faraid (ilmu tentang waris) tidak berarti harus bermakna 'tiga
atau lebih', sebagaimana makna yang masyhur dalam bahasa Arab --sebagai bentuk jamak. Namun,
lafazh ini bermakna 'dua atau lebih'. Sebab dalam bahasa bentuk jamak terkadang digunakan dengan
makna 'dua orang'. Misalnya dalam istilah shalat jamaah, yang berarti sah dilakukan hanya oleh dua
orang, satu sebagai imam dan satu lagi sebagai makmum. Dalil lain yang menunjukkan kebenaran hal
ini adalah firman Allah berikut:
"Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah
condong (untuk menerima kebaikan) É" (at-Tahrim: 4)

Kemudian saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih, akan mendapat bagian
sepertiga dengan syarat sebagai berikut:
1. Bila pewaris tidak mempunyai anak (baik laki-laki ataupun perempuan), juga tidak mempunyai
ayah atau kakak.
2. Jumlah saudara yang seibu itu dua orang atau lebih.
Adapun dalilnya adalah firman Allah:
"... Jika seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu
lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu ..." (an-Nisa':
12)

Catatan
Yang dimaksud dengan kalimat "walahu akhun au ukhtun" dalam ayat tersebut adalah 'saudara seibu'.
Sebab Allah SWT telah menjelaskan hukum yang berkaitan dengan saudara laki-laki dan saudara
perempuan sekandung dalam akhir surat an-Nisa'. Juga menjelaskan hukum yang berkaitan dengan
bagian saudara laki-laki dan perempuan seayah dalam ayat yang sama. Karena itu seluruh ulama
sepakat bahwa yang dimaksud dengan "akhun au ukhtun" dalam ayat itu adalah saudara laki-laki dan
saudara perempuan seibu.
Selain itu, ada hal lain yang perlu kita tekankan di sini yakni tentang firman "fahum syurakaa 'u fits
tsulutsi" (mereka bersekutu dalam yang sepertiga). Kata bersekutu menunjukkan kebersamaan. Yakni,
mereka harus membagi sama di antara saudara laki-laki dan perempuan seibu tanpa membedakan
bahwa laki-laki harus memperoleh bagian yang lebih besar daripada perempuan. Kesimpulannya,
bagian saudara laki-laki dan perempuan seibu bila telah memenuhi syarat-syarat di atas ialah sepertiga,
dan pembagiannya sama rata baik yang laki-laki maupun perempuan. Pembagian mereka berbeda
dengan bagian para saudara laki-laki/perempuan kandung dan seayah, yang dalam hal ini bagian
saudara laki-laki dua kali lipat bagian saudara perempuan.
Masalah 'Umariyyatan
Pada asalnya, seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta peninggalan pewaris bila
ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak --seperti telah saya jelaskan--- berdasarkan pemahaman
bagian ayat (artinya) "jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-
bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga".
Akan tetapi, berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan fuqaha, yakni
'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua hal ini dilakukan oleh Umar bin
Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna
'dua bintang cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya diberi
sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya dikurangi bagian suami atau istri.
Agar lebih jelas, saya sertakan contohnya.

Contoh Pertama
Seorang istri wafat dan meninggalkan suami, ibu, dan ayah. Suami mendapat bagian setengah (1/2) dari
seluruh harta warisan yang ada. Ibu mendapat sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil bagian suami.
Kemudian ayah mendapat seluruh sisa yang ada. Untuk lebih jelas lagi saya berikan tabelnya:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Suami 1/2
3

Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian suami


1

Ayah Seluruh sisa peninggalan sebagai 'ashabah


2
Dalam contoh kasus ini ibu mendapatkan bagian sepertiga dari sisa setelah diambil bagian suami
pewaris, sebab bila ia memperoleh sepertiga dari seluruh harta yang ada maka ia akan mendapat bagian
dua kali lipat bagian ayah. Hal ini tentunya bertentangan dengan kaidah dasar faraid yang telah
ditegaskan dalam Al-Qur'an dalam bagian ayat "lidzdzakari mitslu hazhzhil untsayain". Karenanya
untuk tetap menegakkan kaidah dasar tersebut, ibu mendapat bagian sepertiga dari harta warisan
setelah diambil hak suami pewaris. Dengan demikian, hak ayah menjadi dua kali lipat dari bagian yang
diterima ibu.

Contoh Kedua
Seorang suami meninggal dunia dan ia meninggalkan istri, ibu, dan ayah. Istri mendapat bagian
seperempat (1/4) dari seluruh harta peninggalan suaminya, sedangkan ibu mendapat bagian tiga per
empat dari sisa setelah diambil hak istri. Sedangkan bagian ayah adalah sisa harta yang ada sebagai
'ashabah.
Pokok masalahnya dari 4
Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Isteri 1/4 1
Ibu 1/3 dari sisa setelah dikurangi bagian isteri
1

Ayah Mendapat bagian seluruh sisa peninggalan yang ada sebagai 'ashabah
2
Dari kedua contoh tersebut tampak oleh kita bahwa pada hakikatnya bagian ibu pada tabel pertama
adalah seperenam (1/6), sedangkan pada tabel kedua adalah seperempat (1/4). Adapun penyebutannya
dengan istilah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri adalah karena menyesuaikan adab
qur'ani.
Masalah 'umariyyatan ini pernah terjadi pada masa sahabat, tepatnya masa Umar bin Khathab r.a..
Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang terkenal. Pendapat pertama dintarakan oleh Zaid bin
Tsabit r.a. yang kemudian diambil oleh jumhur ulama serta dikokohkan oleh Umar bin Khathab dengan
menyatakan bahwa bagian ibu adalah sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri.
Sedangkan pendapat yang kedua diutarakan oleh Ibnu Abbas r.a.. Menurutnya, ibu tetap mendapat
bagian sepertiga (1/3) dari seluruh harta yang ditinggalkan suami atau istri (anaknya). Bahkan Ibnu
Abbas menyanggah pendapat Zaid bin Tsabit: "Apakah memang ada di dalam Al-Qur'an istilah
sepertiga dari sisa setelah diambil hak suami atau istri?" Zaid menanggapinya dengan mengatakan: "Di
dalam Kitabullah juga tidak disebutkan bahwa bagian ibu sepertiga dari seluruh harta peninggalan yang
ada bila ibu bersama-sama mewarisi dengan salah satu suami atau istri. Sebab yang disebutkan di
dalam Al-Qur'an hanya "wawaritsahu abawahu".
Jadi, menurut hemat saya, apa yang dipahami Zaid dan dipilih oleh jumhur ulama serta ditetapkan oleh
Umar bin Khathab itulah pendapat yang sahih. Wallahu a'lam.

F. Asbhabul Furudh yang Mendapat Bagian Seperenam


Adapun asbhabul furudh yang berhak mendapat bagian seperenam (1/6) ada tujuh orang. Mereka
adalah (1) ayah, (2) kakek asli (bapak dari ayah), (3) ibu, (4) cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
(5) saudara perempuan seayah, (6) nenek asli, (7) saudara laki-laki dan perempuan seibu.
1. Seorang ayah akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris mempunyai anak, baik
anak laki-laki atau anak perempuan. Dalilnya firman Allah (artinya): "... Dan untuk dua
orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak ..." (an-Nisa': 11)

2. Seorang kakek (bapak dari ayah) akan mendapat bagian seperenam (1/6) bila pewaris
mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki dari keturunan anak --dengan
syarat ayah pewaris tidak ada. Jadi, dalam keadaan demikian salah seorang kakek akan
menduduki kedudukan seorang ayah, kecuali dalam tiga keadaan yang akan saya rinci
dalam bab tersendiri.

3. Ibu akan memperoleh seperenam (1/6) bagian dari harta yang ditinggalkan pewaris,
dengan dua syarat:

a. Bila pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan atau cucu laki-laki
keturunan anak laki-laki.
b. Bila pewaris mempunyai dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki
ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu. Dalilnya firman Allah
(artinya):

"... jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam ..." (an-Nisa': 11).

4. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian
seperenam (1/6), apabila yang meninggal (pewaris) mempunyai satu anak perempuan.
Dalam keadaan demikian, anak perempuan tersebut mendapat bagian setengah (1/2), dan
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris mendapat seperenam (1/6), sebagai
pelengkap dua per tiga (2/3). Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari
dalam sahihnya bahwa Abu Musa al-Asy'ari r.a. ditanya tentang masalah warisan seseorang
yang meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-
lakinya, dan saudara perempuan. Abu Musa kemudian menjawab: "Bagi anak perempuan
mendapat bagian separo (1/2), dan yang setengah sisanya menjadi bagian saudara
perempuan."

Merasa kurang puas dengan jawaban Abu Musa, sang penanya pergi mendatangi Ibnu
Mas'ud. Maka Ibnu Mas'ud berkata: "Aku akan memutuskan seperti apa yang pernah
diputuskan Rasulullah saw., bagi anak perempuan separo (1/2) harta peninggalan pewaris,
dan bagi cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6)
sebagai pelengkap 2/3, dan sisanya menjadi bagian saudara perempuan pewaris."

Mendengar jawaban Ibnu Mas'ud, sang penanya kembali menemui Abu Musa al-Asy'ari
dan memberi tahu permasalahannya. Kemudian Abu Musa berkata: "Janganlah sekali-kali
kalian menanyaiku selama sang alim ada di tengah-tengah kalian."

Catatan

Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki akan mendapatkan bagian seperenam (1/6)
dengan syarat bila pewaris tidak mempunyai anak laki-laki. Sebab bila ada anak laki-laki,
maka anak tersebut menjadi penggugur hak sang cucu. Selain itu, pewaris juga tidak
mempunyai anak perempuan lebih dari satu orang. Sebab jika lebih dari satu orang, anak-
anak perempuan itu berhak mendapat bagian dua per tiga (2/3), dan sekaligus menjadi
penggugur (penghalang) hak waris cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki pewaris.

5. Saudara perempuan seayah satu orang atau lebih akan mendapat bagian seperenam (1/6),
apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama
denga keadaan jika cucu perempuan keturunan anak laki-laki bersamaan dengan adanya
anak perempuan. Jadi, bila seseorang meninggal dunia dan meninggalkan saudara
perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah atau lebih, maka saudara perempuan
seayah mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna dari dua per tiga (2/3).
Sebab ketika saudara perempuan kandung memperoleh setengah (1/2) bagian, maka tidak
ada sisa kecuali seperenam (1/6) yang memang merupakan hak saudara perempuan seayah.

6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu akan mendapat bagian masing-masing


seperenam (1/6) bila mewarisi sendirian. Dalilnya adalah firman Allah (artinya) "jika
seseorang mati baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta". Dan persyaratannya adalah bila pewaris tidak mempunyai pokok (yakni
kakek) dan tidak pula cabang (yakni anak, baik laki-laki atau perempuan).

7. Nenek asli mendapatkan bagian seperenam (1/6) ketika pewaris tidak lagi mempunyai
ibu. Ketentuan demikian baik nenek itu hanya satu ataupun lebih (dari jalur ayah maupun
ibu), yang jelas seperenam itu dibagikan secara rata kepada mereka. Hal ini berlandaskan
pada apa yang telah ditetapkan di dalam hadits sahih dan ijma' seluruh sahabat.

Ashhabus Sunan meriwayatkan bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. untuk
menuntut hak warisnya. Abu Bakar menjawab: "Saya tidak mendapati hakmu dalam Al-Qur'an maka
pulanglah dulu, dan tunggulah hingga aku menanyakannya kepada para sahabat Rasulullah saw."
Kemudian al-Mughirah bin Syu'bah mengatakan kepada Abu Bakar: "Suatu ketika aku pernah
menjumpai Rasulullah saw. memberikan hak seorang nenek seperenam (1/6)." Mendengar pernyataan
al-Mughirah itu Abu Bakar kemudian memanggil nenek tadi dan memberinya seperenam (1/6).
Wallahu a'lam.

IV. DEFINISI 'ASHABAH


KATA 'ashabab dalam bahasa Arab berarti kerabat seseorang dari pihak bapak. Disebut demikian,
dikarenakan mereka --yakni kerabat bapak-- menguatkan dan melindungi. Dalam kalimat bahasa Arab
banyak digunakan kata 'ushbah sebagai ungkapan bagi kelompok yang kuat. Demikian juga di dalam
Al-Qur'an, kata ini sering kali digunakan, di antaranya dalam firman Allah berikut:
"Mereka berkata: 'Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang kami golongan (yang kuat),
sesungguhnya kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi.'" (Yusuf: 14)

Maka jika dalam faraid kerabat diistilahkan dengan 'ashabah hal ini disebabkan mereka melindungi dan
menguatkan. Inilah pengertian 'ashabah dari segi bahasa.
Sedangkan pengertian 'ashabah menurut istilah para fuqaha ialah ahli waris yang tidak disebutkan
banyaknya bagian di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan tegas. Sebagai contoh, anak laki-laki,
cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-laki dan saudara laki-laki seayah, dan
paman (saudara kandung ayah). Kekerabatan mereka sangat kuat dikarenakan berasal dari pihak ayah.
Pengertian 'ashabah yang sangat masyhur di kalangan ulama faraid ialah orang yang menguasai harta
waris karena ia menjadi ahli waris tunggal. Selain itu, ia juga menerima seluruh sisa harta warisan
setelah ashhabul furudh menerima dan mengambil bagian masing-masing.

A. Dalil Hak Waris Para 'Ashabah


Dalil yang menyatakan bahwa para 'ashabah berhak mendapatkan waris kita dapati di dalam Al-Qur'an
dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah (artinya): "dan untuk dua orang ibu bapak, bagi
masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak;
jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga" (an-Nisa': 11).
Dalam ayat ini disebutkan bahwa bagian kedua orang tua (ibu dan bapak) masing-masing mendapatkan
seperenam (1/6) apabila pewaris mempunyai keturunan. Tetapi bila pewaris tidak mempunyai anak,
maka seluruh harta peninggalannya menjadi milik kedua orang tua. Ayat tersebut juga telah
menegaskan bahwa bila pewaris tidak mempunyai anak, maka ibu mendapat bagian sepertiga (1/3).
Namun, ayat tersebut tidak menjelaskan berapa bagian ayah. Dari sini dapat kita pahami bahwa sisa
setelah diambil bagian ibu, dua per tiganya (2/3) menjadi hak ayah. Dengan demikian, penerimaan
ayah disebabkan ia sebagai 'ashabah.
Dalil Al-Qur'an yang lainnya ialah (artinya) "jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak." (an-Nisa': 176).
Pada ayat ini tidak disebutkan bagian saudara kandung. Namun, yang disebutkan justru saudara
kandung akan menguasai (mendapatkan bagian) seluruh harta peninggalan yang ada bila ternyata
pewaris tidak mempunyai keturunan. Kemudian, makna kalimat "wahuwa yaritsuha" memberi isyarat
bahwa seluruh harta peninggalan menjadi haknya. Inilah makna 'ashabah.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah apa yang disabdakan Rasulullah saw.:
"Bagikanlah harta peninggalan (warisan) kepada yang berhak, dan apa yang tersisa menjadi
hak laki-laki yang paling utama. " (HR Bukhari)

Hadits ini menunjukkan perintah Rasulullah saw. agar memberikan hak waris kepada ahlinya. Maka
jika masih tersisa, hendaklah diberikan kepada orang laki-laki yang paling utama dari 'ashabah.
Ada satu keistimewaan dalam hadits ini menyangkut kata yang digunakan Rasulullah dengan menyebut
"dzakar" setelah kata "rajul", sedangkan kata "rajul" jelas menunjukkan makna seorang laki-laki. Hal
ini dimaksudkan untuk menghindari salah paham, jangan sampai menafsirkan kata ini hanya untuk
orang dewasa dan cukup umur. Sebab, bayi laki-laki pun berhak mendapatkan warisan sebagai 'ashabah
dan menguasai seluruh harta warisan yang ada jika dia sendirian. Inilah rahasia makna sabda
Rasulullah saw. dalam hal penggunaan kata "dzakar".

B. Macam-macam 'Ashabah
'Ashabah terbagi dua yaitu: 'ashabah nasabiyah (karena nasab) dan 'ashabah sababiyah (karena sebab).
Jenis 'ashabah yang kedua ini disebabkan memerdekakan budak. Oleh sebab itu, seorang tuan (pemilik
budak) dapat menjadi ahli waris bekas budak yang dimerdekakannya apabila budak tersebut tidak
mempunyai keturunan.
Sedangkan 'ashabah nasabiyah terbagi tiga yaitu: (1) 'ashabah bin nafs (nasabnya tidak tercampur unsur
wanita), (2) 'ashabah bil ghair (menjadi 'ashabah karena yang lain), dan (3) 'ashabah ma'al ghair
(menjadi 'ashabah bersama-sama dengan yang lain).
Catatan
Dalam dunia faraid, apabila lafazh 'ashabah disebutkan tanpa diikuti kata lainnya (tanpa dibarengi bil
ghair atau ma'al ghair), maka yang dimaksud adalah 'ashabah bin nafs.

'Ashabah bin nafs


'Ashabah bin nafs, yaitu laki-laki yang nasabnya kepada pewaris tidak tercampuri kaum wanita,
mempunyai empat arah, yaitu:
1. Arah anak, mencakup seluruh laki-laki keturunan anak laki-laki mulai cucu, cicit, dan
seterusnya.
Arah bapak, mencakup ayah, kakek, dan seterusnya, yang pasti hanya dari pihak laki-laki, misalnya
ayah dari bapak, ayah dari kakak, dan seterusnya.
Arah saudara laki-laki, mencakup saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki
keturunan saudara kandung laki-laki, anak laki-laki keturunan saudara laki-laki seayah, dan seterusnya.
Arah ini hanya terbatas pada saudara kandung laki-laki dan yang seayah, termasuk keturunan mereka,
namun hanya yang laki-laki. Adapun saudara laki-laki yang seibu tidak termasuk 'ashabah disebabkan
mereka termasuk ashhabul furudh.
2. Arah paman, mencakup paman (saudara laki-laki ayah) kandung maupun yang seayah,
termasuk keturunan mereka, dan seterusnya.
Keempat arah 'ashabah bin nafs tersebut kekuatannya sesuai urutan di atas. Arah anak lebih
didahulukan (lebih kuat) daripada arah ayah, dan arah ayah lebih kuat daripada arah saudara.

Hukum 'Ashabah bin nafs


Telah saya jelaskan bahwa 'ashabah bi nafsihi mempunyai empat arah, dan derajat kekuatan hak
warisnya sesuai urutannya. Bila salah satunya secara tunggal (sendirian) menjadi ahli waris seorang
yang meninggal dunia, maka ia berhak mengambil seluruh warisan yang ada. Namun bila ternyata
pewaris mempunyai ahli waris dari ashhabul furudh, maka sebagai 'ashabah mendapat sisa harta setelah
dibagikan kepada ashhabul furudh. Dan bila setelah dibagikan kepada ashhabul furudh ternyata tidak
ada sisanya, maka para 'ashabah pun tidak mendapat bagian. Sebagai misal, seorang istri wafat dan
meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, saudara laki-laki seayah.
Sang suami mendapat bagian setengah (1/2), saudara perempuan mendapat bagian setengah (1/2).
Saudara seayah tidak mendapat bagian disebabkan ashhabul furudh telah menghabiskannya.
Adapun bila para 'ashabah bin nafs lebih dari satu orang, maka cara pentarjihannya (pengunggulannya)
sebagai berikut:
Pertama: Pertarjihan dari Segi Arah
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa 'ashabah bin nafsih, maka
pengunggulannya dilihat dari segi arah. Arah anak lebih didahulukan dibandingkan yang lain. Anak
akan mengambil seluruh harta peninggalan yang ada, atau akan menerima sisa harta waris setelah
dibagikan kepada ashhabul furudh bagian masing-masing. Apabila anak tidak ada, maka cucu laki-laki
dari keturunan anak laki-laki dan seterusnya. Sebab cucu akan menduduki posisi anak bila anak tidak
ada. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak laki-laki, ayah, dan saudara kandung. Dalam
keadaan demikian, yang menjadi 'ashabah adalah anak laki-laki. Sebab arah anak lebih didahulukan
daripada arah yang lain. Sedangkan ayah termasuk ashhabul furudh dikarenakan mewarisi bersama-
sama dengan anak laki-laki. Sementara itu, saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan waris
dikarenakan arahnya lebih jauh. Pengecualiannya, bila antara saudara kandung laki-laki maupun
saudara laki-laki seayah berhadapan dengan kakak. Rinciannya, insya Allah akan saya paparkan pada
bab tersendiri.
Kedua: Pentarjihan secara Derajat
Apabila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat beberapa orang 'ashabah bi nafsihi, kemudian
mereka pun dalam satu arah, maka pentarjihannya dengan melihat derajat mereka, siapakah di antara
mereka yang paling dekat derajatnya kepada pewaris. Sebagai misal, seseorang wafat dan
meninggalkan anak serta cucu keturunan anak laki-laki. Dalam hal ini hak warisnya secara 'ashabah
diberikan kepada anak, sedangkan cucu tidak mendapatkan bagian apa pun. Sebab, anak lebih dekat
kepada pewaris dibandingkan cucu laki-laki.
Contoh lain, bila seseorang wafat dan meninggalkan saudara laki-laki seayah dan anak dari saudara
kandung, maka saudara seayahlah yang mendapat warisan. Sebab ia lebih dekat kedudukannya dari
pada anak saudara kandung. Keadaan seperti ini disebut pentarjihan menurut derajat kedekatannya
dengan pewaris.
Ketiga: Pentarjihan Menurut Kuatnya Kekerabatan
Bila dalam suatu keadaan pembagian waris terdapat banyak 'ashabah bi nafsihi yang sama dalam arah
dan derajatnya, maka pentarjihannya dengan melihat manakah di antara mereka yang paling kuat
kekerabatannya dengan pewaris. Sebagai contoh, saudara kandung lebih kuat daripada seayah, paman
kandung lebih kuat daripada paman seayah, anak dari saudara kandung lebih kuat daripada anak dari
saudara seayah, dan seterusnya.
Catatan
Perlu untuk digarisbawahi dalam hal pentarjihan dari segi kuatnya kekerabatan di sini, bahwa kaidah
tersebut hanya dipakai untuk selain dua arah, yakni arah anak dan arah bapak. Artinya, pentarjihan
menurut kuatnya kekerabatan hanya digunakan untuk arah saudara dan arah paman.

Mengapa Anak Lebih Didahulukan daripada Bapak?


Satu pertanyaan yang sangat wajar dan mesti diketahui jawaban serta hikmah di dalamnya. Sebab,
keduanya memiliki posisi sederajat dari segi kedekatan nasab pada seseorang, ayah sebagai pokok dan
anak merupakan cabang. Berdasarkan posisi ini sebaiknya garis anak tidak didahulukan daripada garis
ayah.
Namun demikian, ada dua landasan mengapa garis anak lebih didahulukan. Landasan pertama berupa
dalil Al-Qur'an, sedangkan yang kedua berupa dalil aqli. Firman-Nya (artinya) "dan untuk dua orang
ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu
mempunyai anak." (an-Nisa: 11).
Dalam ayat tersebut Allah SWT menjadikan ayah sebagai ashhabul furudh bila pewaris mempunyai
anak, sedangkan bagian anak tidak disebutkan. Dengan demikian, jelaslah bahwa anak akan
mendapatkan seluruh sisa harta peninggalan pewaris, setelah masing-masing dari ashhabul furudh telah
mendapatkan bagiannya. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa garis anak lebih didahulukan daripada
garis bapak.
Sedangkan secara aqli, manusia pada umumnya merasa khawatir terhadap anak (keturunannya), baik
dalam hal keselamatannya maupun kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, orang tua berusaha
bekerja keras untuk memperoleh harta dan berhemat dalam membelanjakannya, semuanya demi
kesejahteraan keturunannya. Bahkan, tidak sedikit orang tua yang bersikap bakhil, sangat kikir dalam
membelanjakan hartanya, demi kepentingan masa depan anaknya. Maka sangat tepat apa yang
disabdakan Rasulullah saw. dalam sebuah haditsnya "al-waladu mabkhalah majbanah" (anak dapat
membuat seseorang berlaku bakhil dan pengecut).
Makna hadits tersebut sangat jelas bahwa orang tua menjadi kikir --bahkan pengecut-- karena sangat
khawatir terhadap masa depan anaknya. Karena itu mereka tidak segan-segan menimbun harta dan
kekayaan demi menyenangkan keturunan pada masa mendatang. Tidak sedikit orang tua yang menjadi
pengecut hanya disebabkan menjaga kemaslahatan keturunannya pada hari depannya. Dengan
demikian, mereka takut berhadapan dengan musuh atau siapa pun yang mengganggu kemudahan jalan
rezekinya. Inilah alasan bahwa hati seseorang cenderung lebih dekat kepada anaknya dibandingkan
kepada ayahnya. Wallahu a'lam.
Catatan
Satu hal yang mesti kita ketahui bahwa 'ashabah bi nafsihi harus dari kalangan laki-laki, sedangkan dari
kalangan wanita hanyalah wanita pemerdeka budak. Jika demikian berarti wanita tersebut sebagai
'ashabah bi nafsihi, bila budak yang dibebaskannya tidak mempunyai keturunan (kerabat).

'Ashabah bi Ghairihi dan Hukumnya


'Ashabah bi ghairihi hanya terbatas pada empat orang ahli waris yang kesemuanya wanita:
1. Anak perempuan, akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya (yakni
anak laki-laki).
Cucu perempuan keturunan anak laki-laki akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-
lakinya, atau anak laki-laki pamannya (yakni cucu laki-laki keturunan anak laki-laki), baik sederajat
dengannya atau bahkan lebih di bawahnya.
Saudara kandung perempuan akan menjadi 'ashabah bila bersama saudara kandung laki-laki.
2. Saudara perempuan seayah akan menjadi 'ashabah bila bersamaan dengan saudara laki-lakinya,
dan pembagiannya, bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.

Syarat-syarat 'Ashabah bi Ghairihi


'Ashabah bi Ghairihi tidak akan terwujud kecuali dengan beberapa persyaratan berikut:
Pertama: haruslah wanita yang tergolong ashhabul furudh. Bila wanita tersebut bukan dari ashhabul
furudh, maka tidak akan menjadi 'ashabah bi ghairih. Sebagai contoh, anak perempuan dari saudara
laki-laki tidak dapat menjadi 'ashabah bi ghairih dengan adanya saudara kandung laki-laki dalam
deretan ahli waris. Sebab dalam keadaan demikian, anak perempuan saudara laki-laki bukanlah
termasuk ashhabul furudh.
Kedua: laki-laki yang menjadi 'ashabah (penguat) harus yang sederajat. Misalnya, anak laki-laki tidak
dapat menjadi pen-ta'shih (penguat) cucu perempuan, dikarenakan anak laki-laki tidak sederajat dengan
cucu perempuan, bahkan ia berfungsi sebagai pen-tahjib (penghalang) hak waris cucu. Begitu juga
anak laki-laki keturunan saudara laki-laki, tidaklah dapat menguatkan saudara kandung perempuan
disebabkan tidak sederajat.
Ketiga: laki-laki yang menjadi penguat harus sama kuat dengan ahli waris perempuan shahibul fardh.
Misalnya, saudara laki-laki seayah tidak dapat men-ta'shih saudara kandung perempuan. Sebab saudara
kandung perempuan lebih kuat kekerabatannya daripada saudara laki-laki seayah.
Catatan
Setiap perempuan ahli waris berhak mendapat bagian setengah (1/2) jika sendirian, ia berhak
mendapatkan bagian dua per tiga (2/3) bila menerima bersama saudara perempuannya, dan akan
menjadi 'ashabah bila mempunyai saudara laki-laki. Kaidah ini hanya berlaku bagi keempat ahli waris
dari kalangan wanita yang saya sebutkan (yakni anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-
laki, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seayah).

Dalil Hak Waris 'Ashabah bi Ghairihi


Dalil bagi hak waris para 'ashabah bi ghairih adalah firman Allah (artinya): "bagian seorang anak lelaki
sama dengan bagian dua orang anak perempuan" (an-Nisa': 11). Dan juga berlandaskan firman-Nya
(artinya): "dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian
seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan" (an-Nisa': 176).
Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dengan "ikhwatan" dalam ayat tersebut adalah saudara laki-
laki dan saudara kandung perempuan dan yang seayah. Mereka berpendapat bahwa kata ikhwatan tidak
mencakup saudara laki-laki atau perempuan yang seibu, disebabkan hak waris mereka berdasarkan
fardh (termasuk ashhabul furudh) bukan sebagai 'ashabah. Selain itu, hak waris mereka pun antara laki-
laki dan perempuan-- sama rata, berdasarkan firman-Nya (artinya): "maka mereka bersekutu dalam
yang sepertiga itu" (an-Nisa': 12).

Sebab Penamaan 'Ashabah bi Ghairihi


Adapun sebab penamaan 'ashabah bi ghairihi adalah karena hak 'ashabah keempat wanita itu bukanlah
karena kedekatan kekerabatan mereka dengan pewaris, akan tetapi karena adanya 'ashabah lain
('ashabah bi nafsihi), seperti saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah mereka. Bila
para 'ashabah bi nafsihi itu tidak ada, maka keempat wanita tersebut mendapat hak warisnya secara
fardh.

'Ashabah ma'al Ghair


'Ashabah ma'al Ghair ini khusus bagi para saudara kandung perempuan maupun saudara perempuan
seayah apabila mewarisi bersamaan dengan anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki.
Jadi, saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah bila berbarengan dengan anak
perempuan --atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki dan seterusnya-- akan menjadi 'ashabah.
Jenis 'ashabah ini di kalangan ulama dikenal dengan istilah 'ashabah ma'al ghair.
Satu hal yang perlu diketahui dalam masalah ini, seperti yang ditegaskan dalam kitab Hasyiyatul Bajuri
(hlm. 108): "Adapun saudara perempuan (kandung dan seayah) menjadi 'ashabah jika berbarengan
dengan anak perempuan adalah agar bagian saudara perempuan terkena pengurangan, sedangkan
bagian anak perempuan tidak terkena pengurangan. Sebab bila kita berikan hak waris saudara
perempuan secara fardh, maka akan naiklah pokok pembagiannya dan hak bagian anak perempuan
akan berkurang. Kemudian, di segi lain tidaklah mungkin hak saudara perempuan itu digugurkan,
karena itu dijadikanlah saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah
agar terkena pengurangan."

Dalil 'Ashabah ma'al Ghair


Yang menjadi landasan bagi hak waris 'ashabah ma'al ghair adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan lainnya, bahwa Abu Musa al-Asy'ari ditanya tentang hak waris anak perempuan, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, dan saudara perempuan (sekandung atau seayah). Abu Musa
menjawab: "Bagian anak perempuan separo, dan bagian saudara perempuan separo."
Penanya itu lalu pergi menanyakannya kepada Ibnu Mas'ud r.a., dan dijawab: "Aku akan memvonis
seperti apa yang diajarkan Rasulullah saw., bagian anak perempuan setengah (1/2) dan bagian cucu
perempuan keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3),
sedangkan sisanya menjadi hak saudara perempuan kandung atau seayah."
Penanya itu pun kembali kepada Abu Musa al-Asy'ari dan menceritakan apa yang telah diputuskan
Ibnu Mas'ud. Lalu Abu Musa berkata: "Janganlah kalian menanyakannya kepadaku selama sang alim
(Ibnu Mas'ud) berada bersama kalian."
Dari penjelasan Ibnu Mas'ud dapat disimpulkan bahwa hak saudara perempuan bila mewarisi bersama-
sama dengan anak perempuan mengambil sisa harta pembagian yang ada. Hal ini berarti saudara
kandung perempuan atau saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair.
Catatan
Sangat penting untuk diketahui bersama bahwa bila seorang saudara kandung perempuan menjadi
'ashabah ma'al ghair, maka ia menjadi seperti saudara kandung laki-laki sehingga dapat menghalangi
hak waris saudara seayah, baik yang laki-laki maupun yang perempuan. Selain itu, dapat pula
menggugurkan hak waris yang di bawah mereka, seperti anak keturunan saudara (keponakan), paman
kandung ataupun yang seayah.
Begitu juga saudara perempuan seayah, apabila menjadi 'ashabah ma'al ghair ketika mewarisi bersama
anak perempuan pewaris, maka kekuatannya sama seperti saudara laki-laki seayah hingga menjadi
penggugur keturunan saudaranya dan seterusnya.
Untuk lebih menjelaskan masalah tersebut saya sertakan contoh seperti berikut:

Contoh Pertama
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan anak perempuan, saudara perempuan, dan saudara laki-
laki seayah, maka pembagiannya adalah sebagai berikut:
Pokok masalahnya dari 2
Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Anak perempuan
1/2 1

Saudara kandung perempuan 'ashabah ma'al ghair


1/2 1

Saudara laki-laki seayah


gugur 0
Keterangan
Bagian anak perempuan adalah setengah secara fardh, dan sisanya merupakan bagian saudara kandung
perempuan disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair, yang kekuatannya seperti saudara kandung
laki-laki. Sedangkan saudara laki-laki seayah terhalang karena saudara kandung perempuan menjadi
'ashabah.

Contoh Kedua
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, cucu perempuan dari keturunan anak laki-
laki, dua orang saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah. Maka pembagiannya seperti
dalam tabel berikut:
Pokok masalahnya dari 4
Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Suami
1/4 1

Cucu perempuan
1/2 2

Saudara kandung perempuan


'ashabah ma'al ghair 1

Saudara laki-laki seayah mahjub 0


Keterangan
Suami memperoleh seperempat bagian karena pewaris mempunyai cabang ahli warisnya. Sedangkan
cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian setengah secara fardh, kemudian sisanya
yaitu seperempat-- menjadi hak dua saudara kandung perempuan pewaris sebagai 'ashabah ma'al ghair.
Sedangkan bagian saudara laki-laki seayah gugur karena adanya dua saudara kandung.

Contoh Ketiga
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan dua orang anak perempuan, saudara perempuan seayah,
dan anak laki-laki saudara laki-laki (kemenakan). Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 3
Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Dua anak perempuan


2/3 2

Saudara perempuan seayah


'ashabah ma'al ghair 1

Anak saudara laki-laki


mahjub 0
Keterangan
Dua orang anak perempuan mendapatkan dua per tiga dan sisanya untuk saudara perempuan seayah
disebabkan ia menjadi 'ashabah ma'al ghair. Sedangkan anak saudara laki-laki ter-mahjub oleh saudara
perempuan seayah.

Contoh Keempat
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang anak perempuan, cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, seorang ibu, saudara perempuan seayah, dan paman kandung (saudara dari ayah
kandung). Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 6
Keterangan Jumlah Bagian Nilai

Anak perempuan
1/2 3

Cucu perempuan
1/6 1

Ibu
1/6 1

Saudara perempuan seayah


'ashabah ma'al ghair 1
Keterangan
Anak perempuan mendapat bagian setengah sebagai fardh, cucu perempuan keturunan anak laki-laki
mendapat seperenam bagian sebagai penyempurna dua per tiga, dan ibu mendapatkan seperenam.
Sedangkan sisanya untuk saudara perempuan seayah sebagai 'ashabah ma'al ghair, karena kekuatannya
seperti saudara laki-laki seayah sehingga ia menggugurkan paman kandung. Begitulah seterusnya.
Catatan
Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tidak berhak menjadi ahli waris bila pewaris
mempunyai anak perempuan. Bahkan anak perempuan pewaris menjadi penggugur hak saudara (laki-
laki/perempuan) seibu sehingga tidak dapat menjadi 'ashabah.

C. Perbedaan 'Ashabah bil Ghair dengan 'Ashabah ma'al Ghair


Dari uraian sebelumnya dapat kita ketahui bahwa 'ashabah bil ghair adalah setiap wanita ahli waris
yang termasuk ashhabul furudh, dan akan menjadi 'ashabah bila berbarengan dengan saudara laki-
lakinya. Misalnya, anak perempuan menjadi 'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya (yakni anak
laki-laki pewaris). Saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan seayah menjadi 'ashabah
bil ghair dengan adanya saudara kandung laki-laki ataupun saudara laki-laki seayah. Dalam hal ini bagi
yang laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.
Adapun 'ashabah ma'al ghair adalah para saudara kandung perempuan ataupun saudara perempuan
seayah bila berbarengan dengan anak perempuan, dan dalam hal ini mereka mendapatkan bagian sisa
seluruh harta peninggalan sesudah ashhabul furudh mengambil bagian masing-masing. Tampak
semakin jelas perbedaan antara dua macam 'ashabah itu, pada 'ashabah bil ghair selalu ada sosok
'ashabah bi nafsih, seperti anak laki-laki, cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, saudara kandung laki-
laki dan saudara laki-laki seayah. Sedangkan dalam 'ashabah ma'al ghair tidak terdapat sosok 'ashabah
bi nafsih.
Jadi, secara ringkas, pada 'ashabah bil ghair para 'ashabah bi nafsih menggandeng kaum wanita
ashhabul furudh menjadi 'ashabah dan menggugurkan hak fardh-nya. Sedangkan 'ashabah ma'al ghair
tidaklah demikian. Seorang saudara perempuan sekandung atau seayah tidak menerima bagian seperti
bagian anak perempuan atau cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Akan tetapi, anak
perempuan atau cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian secara fardh, kemudian
saudara perempuan sekandung atau seayah mendapatkan sisanya. Inilah perbedaan keduanya.

Dapatkah Seseorang Mewarisi dari Dua Arah?


Kita mungkin sering mendengar pertanyaan seperti itu, dan tentu saja hal ini memerlukan jawaban.
Maka dapat ditegaskan bahwa seseorang bisa saja mendapatkan warisan dari dua arah yang berlainan,
misalnya ia sebagai ashhabul furudh dan juga sebagai 'ashabah, atau satu dari arah fardh dan yang
kedua dari arah karena rahim. Agar persoalan ini lebih jelas, saya sertakan contoh:
Seseorang meninggal dunia dan meninggalkan seorang nenek, saudara laki-laki seibu, dan seorang
suami, yang juga merupakan anak paman kandung pewaris. Maka pembagiannya sebagai berikut:
Untuk nenek seperenam (1/6), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), suami setengah (1/2) sebagai
fardh-nya, dan sisanya untuk suami sebagai 'ashabah karena ia anak paman kandung.
Contoh lain: seorang suami meninggal dunia dan meninggalkan dua anak perempuan, bibi (saudara
ibu) yang salah satunya menjadi istrinya. Maka pembagiannya seperti berikut: sang istri mendapat
bagian seperempat sebagai fardh-nya karena adanya ikatan perkawinan, dan hak lainnya ialah ikut
mendapat bagian sisa yang ada karena ikatan rahim.
V. PENGHALANG HAK WARIS (AL-HUJUB)
A. Definisi al-Hujub
Al-hujub dalam bahasa Arab bermakna 'penghalang' atau 'penggugur'. Dalam Al-Qur'an Allah SWT
berfirman:
"Sekali-kali tidak sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)
Tuhan mereka" (al-Muthaffifin: 15)

Yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum kuffar yang benar-benar akan terhalang, tidak dapat melihat
Tuhan mereka di hari kiamat nanti.
Selain itu, dalam bahasa Arab juga kita kenal kata hajib yang bermakna 'tukang atau penjaga pintu',
disebabkan ia menghalangi orang untuk memasuki tempat tertentu tanpa izin guna menemui para
penguasa atau pemimpin.
Jadi, bentuk isim fa'il (subjek) untuk kata hajaba adalah hajib dan bentuk isim maf'ul (objek) ialah
mahjub. Maka makna al-hajib menurut istilah ialah orang yang menghalangi orang lain untuk
mendapatkan warisan, dan al-mahjub berarti orang yang terhalang mendapatkan warisan.
Adapun pengertian al-hujub menurut kalangan ulama faraid adalah menggugurkan hak ahli waris untuk
menerima waris, baik secara keseluruhannya atau sebagian saja disebabkan adanya orang yang lebih
berhak untuk menerimanya.

B. Macam-macam al-Hujub
Al-hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena
orang lain).
Al-hujub bil washfi berarti orang yang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris
secara keseluruhan, misalnya orang yang membunuh pewarisnya atau murtad. Hak waris mereka
menjadi gugur atau terhalang.
Sedangkan al-hujub bi asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang dikarenakan adanya orang
lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub bi asy-syakhshi terbagi dua: hujub hirman dan
hujub nuqshan. Hujub hirman yaitu penghalang yang menggugurkan seluruh hak waris seseorang.
Misalnya, terhalangnya hak waris seorang kakek karena adanya ayah, terhalangnya hak waris cucu
karena adanya anak, terhalangnya hak waris saudara seayah karena adanya saudara kandung,
terhalangnya hak waris seorang nenek karena adanya ibu, dan seterusnya.
Adapun hujub nuqshan (pengurangan hak) yaitu penghalangan terhadap hak waris seseorang untuk
mendapatkan bagian yang terbanyak. Misalnya, penghalangan terhadap hak waris ibu yang seharusnya
mendapatkan sepertiga menjadi seperenam disebabkan pewaris mempunyai keturunan (anak).
Demikian juga seperti penghalangan bagian seorang suami yang seharusnya mendapatkan setengah
menjadi seperempat, sang istri dari seperempat menjadi seperdelapan karena pewaris mempunyai anak,
dan seterusnya.
Satu hal yang perlu diketahui di sini, dalam dunia faraid apabila kata al-hujub disebutkan tanpa diikuti
kata lainnya, maka yang dimaksud adalah hujub hirman. Ini merupakan hal mutlak dan tidak akan
dipakai dalam pengertian hujub nuqshan.
Ahli Waris yang Tidak Terkena Hujub Hirman
Ada sederetan ahli waris yang tidak mungkin terkena hujub hirman. Mereka terdiri dan enam orang
yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah anak kandung laki-laki, anak
kandung perempuan, ayah, ibu, suami, dan istri. Bila orang yang mati meninggalkan salah satu atau
bahkan keenamnya, maka semuanya harus mendapatkan warisan.

Ahli Waris yang Dapat Terkena Hujub Hirman


Sederetan ahli waris yang dapat terkena hujub hirman ada enam belas, sebelas terdiri dari laki-laki dan
lima dari wanita. Adapun ahli waris dari laki-laki sebagai berikut:
1. Kakek (bapak dari ayah) akan terhalang oleh adanya ayah, dan juga oleh kakek yang lebih dekat
dengan pewaris.
Saudara kandung laki-laki akan terhalang oleh adanya ayah, dan keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit,
dan seterusnya).
Saudara laki-laki seayah akan terhalang dengan adanya saudara kandung laki-laki, juga terhalang oleh
saudara kandung perempuan yang menjadi 'ashabah ma'al Ghair, dan terhalang dengan adanya ayah
serta keturunan laki-laki (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Saudara laki-laki dan perempuan yang seibu akan terhalangi oleh pokok (ayah, kakek, dan seterusnya)
dan juga oleh cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik anak laki-laki maupun anak perempuan.
Cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki. Demikian juga para
cucu akan terhalangi oleh cucu yang paling dekat (lebih dekat).
Keponakan laki-laki (anak saudara kandung laki-laki) akan terhalangi dengan adanya ayah dan kakek,
anak laki-laki, cucu kandung laki-laki, serta oleh saudara laki-laki seayah.
Keponakan laki-laki (anak dari saudara laki-laki seayah) akan terhalangi dengan adanya orang-orang
yang menghalangi keponakan (dari anak saudara kandung laki-laki), ditambah dengan adanya
keponakan (anak laki-laki dari keturunan saudara kandung laki-laki).
Paman kandung (saudara laki-laki ayah) akan terhalangi oleh adanya anak laki-laki dari saudara laki-
laki, juga terhalangi oleh adanya sosok yang menghalangi keponakan laki-laki dari saudara laki-laki
seayah.
Paman seayah akan terhalangi dengan adanya sosok yang menghalangi paman kandung, dan juga
dengan adanya paman kandung.
Sepupu kandung laki-laki (anak paman kandung) akan terhalangi oleh adanya paman seayah, dan juga
oleh sosok yang menghalangi paman seayah.
2. Sepupu laki-laki (anak paman seayah) akan terhalangi dengan adanya sepupu laki-laki (anak
paman kandung) dan dengan adanya sosok yang menghalangi sepupu laki-laki (anak paman
kandung).
Sedangkan lima ahli waris dari kelompok wanita adalah:
1. Nenek (baik ibu dari ibu ataupun dari bapak) akan terhalangi dengan adanya sang ibu.
Cucu perempuan (keturunan anak laki-laki) akan terhalang oleh adanya anak laki-laki, baik cucu itu
hanya seorang ataupun lebih. Selain itu, juga akan terhalangi oleh adanya dua orang anak perempuan
atau lebih, kecuali jika ada 'ashabah.
Saudara kandung perempuan akan terhalangi oleh adanya ayah, anak, cucu, cicit, dan seterusnya
(semuanya laki-laki).
Saudara perempuan seayah akan terhalangi dengan adanya saudara kandung perempuan jika ia menjadi
'ashabah ma'al ghair. Selain itu, juga terhalang oleh adanya ayah dan keturunan (anak, cucu, cicit, dan
seterusnya, khusus kalangan laki-laki) serta terhalang oleh adanya dua orang saudara kandung
perempuan bila keduanya menyempurnakan bagian dua per tiga (2/3), kecuali bila adanya 'ashabah.
2. Saudara perempuan seibu akan terhalangi oleh adanya sosok laki-laki (ayah, kakek, dan
seterusnya) juga oleh adanya cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya) baik laki-laki ataupun
perempuan.

Saudara Laki-laki yang Berkah


Apabila anak perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3), gugurlah hak waris cucu
perempuan dari keturunan anak laki-laki. Kecuali bila ia mempunyai saudara laki-laki (yakni cucu laki-
laki keturunan anak laki-laki) yang sederajat ataupun yang lebih rendah dari derajat cucu perempuan,
maka cucu laki-laki dapat menyeret cucu perempuan itu sebagai 'ashabah, yang sebelumnya tidak
mendapat fardh. Keadaan seperti ini dalam faraid disebut sebagai kerabat yang berkah atau saudara
laki-laki yang berkah. Disebut demikian karena tanpa cucu laki-laki, cucu perempuan tidak akan
mendapat warisan.
Kemudian, apabila saudara kandung perempuan telah sempurna mendapat bagian dua per tiga (2/3),
gugurlah hak waris para saudara perempuan seayah, kecuali bila ada saudara laki-laki seayah. Sebab
saudara laki-laki seayah itu akan menggandengnya menjadi 'ashabah. Keadaan seperti ini dinamakan
sebagai saudara yang berkah, sebab tanpa keberadaannya para saudara kandung perempuan itu tidak
akan menerima hak waris mereka.

Saudara Laki-laki yang Merugikan


Kalau sebelumnya saya jelaskan tentang saudara laki-laki yang membawa berkah, maka kini saya akan
menjelaskan kebalikannya, yakni saudara laki-laki yang merugikan. Disebut saudara laki-laki yang
merugikan karena keberadaannya menyebabkan ahli waris dari kalangan wanita tidak mendapatkan
warisan. Padahal, apabila saudara laki-laki itu tidak ada, ahli waris wanita itu akan mendapatkan waris.
Agar lebih jelas saya berikan beberapa contoh kasus.
Pertama:
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, bapak, anak perempuan, dan cucu
perempuan dari anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami seperempat (1/4) bagian, ibu
seperenam (1/6) bagian, ayah juga seperenam (1/6) bagian, anak perempuan setengah, dan cucu
perempuan keturunan anak laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham
dua per tiga (2/3) karena merupakan bagian wanita.
Seandainya dalam kasus ini terdapat cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, maka gugurlah hak cucu
perempuan tersebut. Oleh sebab itu, keberadaan saudara laki-laki dari cucu perempuan keturunan anak
laki-laki itu merugikannya. Inilah rahasia mengapa ulama faraid mengistilahkannya sebagai "saudara
laki-laki yang merugikan".
Kedua:
Untuk lebih memperjelas, dalam contoh berikut saya sertakan saudara laki-laki yang merugikan.
Seorang wanita meninggal dunia dan meninggalkan suami, ibu, ayah, anak perempuan, serta cucu laki-
laki dan perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami
memperoleh seperempat (1/4) bagian karena istri mempunyai anak (keturunan), ibu seperenam (1/6)
bagian, ayah seperenam (1/6) bagian, sedangkan anak perempuan mendapat setengah (1/2) bagian
karena tidak ada pen-ta'shih, sedangkan cucu laki-laki dan perempuan tidak mendapat bagian.
Itulah contoh tentang saudara laki-laki yang merugikan. Contoh pertama tidak merugikan karena
memang tidak ada cucu laki-laki keturunan anak laki-laki, sehingga cucu perempuan keturunan anak
laki-laki mendapat bagian seperenam (1/6) sebagai penyempurna saham dua per tiga (2/3). Sedangkan
dalam contoh kedua, cucu perempuan dirugikan --tidak mendapat waris-- karena ia mempunyai saudara
laki-laki yang sederajat, yakni adanya cucu laki-laki keturunan dari anak laki-laki.
Ilustrasi seperti itu dapat kita ubah susunan ahli warisnya, misalnya posisi cucu perempuan keturunan
anak laki-laki diganti dengan saudara perempuan seayah dan posisi cucu laki-laki keturunan anak laki-
laki diganti dengan saudara laki-laki seayah. Maka, saudara perempuan seayah akan mendapat waris
bila tidak mempunyai saudara laki-laki seayah yang masih hidup. Namun, bila mempunyai saudara
laki-laki seayah, maka saudara perempuan seayah tidak mendapat bagian apa-apa

C. Tentang Kasus Kolektif


Menurut kaidah yang biasa dikenal dan dipakai ulama faraid, pembagian harta waris dimulai dengan
ashhabul furudh, kemudian baru kepada para 'ashabah. Para ulama menyandarkan kaidah ini pada
hadits Rasulullah saw. (artinya): "Berikanlah hak waris kepada ashhabul furudh, dan sisanya diberikan
kepada kerabat laki-laki yang lebih dekat."
Namun demikian, dalam masalah ini ternyata terjadi sesuatu yang kontradiktif, sesuatu yang keluar dan
menyimpang dari kaidah aslinya. Masalah ini dikenal juga dengan istilah "kasus musytarakah" (kasus
kolektif). Sementara itu, di sisi lain masalah ini telah memancing perbedaan pendapat sejak masa para
sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin.
Contoh permasalahannya sebagai berikut; seorang wanita wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu,
dua saudara laki-laki seibu (atau lebih dari dua orang), dan dua orang saudara kandung laki-laki (atau
lebih dari dua orang). Pembagiannya adalah seperti berikut: suami mendapat setengah (1/2) bagian
dikarenakan pewaris tidak mempunyai anak secara fardh, ibu mendapat seperenam (1/6) bagian
disebabkan pewaris mempunyai dua orang saudara laki-laki atau lebih, dan dua orang saudara seibu
mendapat bagian sepertiga (1/3). Sedangkan saudara kandung laki-laki tidak mendapatkan bagian
karena ia sebagai 'ashabah --sedangkan harta waris yang dibagikan telah habis.
Berdasarkan kaidah yang berlaku, saudara kandung laki-laki sebenamya memiliki kekerabatan lebih
kuat dibandingkan saudara laki-laki seibu, tetapi pada kasus ini justru terjadi sebaliknya. Karena,
masalah ini merupakan kasus kolektif, selain sebagai masalah yang menyimpang dari kaidah aslinya,
juga karena para sahabat, tabi'in, serta para imam mujtahidin --dalam contoh kasus seperti ini--
menyatakan bahwa saudara kandung laki-laki disamakan dengan saudara laki-laki yang seibu, hingga
mereka mendapat sepertiga (1/3) bagian dan dibagikan secara rata di antara mereka (termasuk saudara
kandung laki-laki). Di samping itu, masalah ini juga menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di
kalangan ulama, sejak masa para sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin.

Perbedaan Pendapat Para Fuqaha


Dalam masalah musytarakah (kolektif) ini ada dua kubu pendapat yang masyhur dalam hal membagi
hak waris sebagaimana contoh kasus tersebut. Pendapat pertama menyatakan bahwa hak waris saudara
kandung digugurkan sebagaimana mengikuti kaidah yang ada. Pendapat ini pernah dilakukan oleh Abu
Bakar, Ali, Ibnu Abbas, dan lainnya.
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa hak waris pada saudara kandung dikolektifkan dengan
hak waris para saudara laki-laki seibu. Pendapat ini dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, Utsman, Ibnu
Mas'ud, dan lainnya. Pendapat pertama dianut dan diikuti oleh mazhab Hanafi dan Hambali, sedangkan
pendapat yang kedua diikuti dan dianut oleh mazhab Maliki dan Syafi'i.
Selain itu, masalah ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan "umariyah", karena Umar bin
Khathab pernah memvonis masalah ini --juga pernah dikenal dengan sebutan Himariyah, Hajariyah,
dan Yammiyah.
Diriwayatkan bahwa masalah musytarakah ini pernah diajukan ke hadapan Umar bin Khathab r.a..
Umar baru pertama kali menjumpai kasus seperti ini dan memvonis: saudara kandung tidak mendapat
bagian hak waris sedikit pun. Kemudian pada tahun berikutnya, masalah ini diajukan kembali
kepadanya. Ketika ia hendak memvonis seperti tahun lalu, proteslah salah seorang ahli warisnya:
"Wahai Amirul Mukminin, sungguh mustahil bila ayah kami dianggap keledai atau batu yang terbuang
di sungai. Bukankah kami ini anak dari seorang ibu?" Umar menyimak perkataan orang itu dan berpikir
bahwa apa yang diucapkannya benar dan tepat. Maka ia memvonis dengan memberi hak kepada
mereka (saudara seibu dan saudara sekandung) secara bersamaan dan dibagi sama rata. Contohnya
adalah sebagai berikut:
Asal masalah dari enam 6 naik menjadi 18
Suami 1/2 harta waris yang ada secara fardh
3 9

Ibu 1/6 harta waris yang ada secara fardh


1 3

Saudara seibu 1/3 secara fardh dan dibagi merata dengan saudara kandung
2 4

Saudara kandung dapat hak waris, karena dianggap seperti saudara seibu dengan mendapat
bagian sepertiga (1/3) dibagi adil - 2

Persyaratan Masalah Kolektif


1. Jumlah saudara seibu dua orang atau lebih, baik laki-laki atau perempuan.
Saudara yang ada benar-benar saudara kandung, sebab bila saudara seayah maka gugurlah haknya
secara ijma'. Dan dalam hal ini tidak berbeda apakah hanya satu orang atau banyak.
2. Saudara kandung itu harus saudara laki-laki. Sebab bila perempuan, maka akan mewarisi secara
fardh, dan masalahnya pun akan naik, serta kekolektifan ini akan batal.

Beberapa Kaidah Penting


Hak waris banul a'yan (saudara kandung laki-laki/perempuan), dan banul 'allat (saudara laki-
laki/perempuan seayah), serta banul akhyaf (saudara laki-laki/perempuan seibu) akan gugur
(terhalangi) oleh adanya anak laki-laki pewaris, cucu laki-laki (keturunan anak laki-laki), dan ayah. Hal
ini merupakan kesepakatan seluruh ulama.
Menurut mazhab Abu Hanifah hak mereka juga digugurkan oleh adanya kakek pewaris. Sedangkan
menurut ketiga imam mazhab yang lain tidaklah demikian. Masih menurut mazhab Hanafi, hak waris
banul akhyaf digugurkan dengan adanya anak perempuan pewaris, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki pewaris, dan seterusnya.
Kaidah yang lain ialah bahwa banul akhyaf mendapatkan hak waris secara merata pembagiannya antara
yang laki-laki dengan yang perempuan. Hal ini berdasarkan firman Allah (artinya) "mereka bersekutu
dalam yang sepertiga."

VI HAK WARIS KAKEK DENGAN SAUDARA


A. Pengertian Kakek yang Sahih
Makna kakek yang sahih ialah kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri jenis wanita,
misalnya ayah dari bapak dan seterusnya. Sedangkan kakek yang berasal garis wanita disebut sebagai
kakek yang rusak nasabnya, misalnya ayahnya ibu, atau ayah dari ibunya ayah. Hal ini didasarkan
sesuai dengan kaidah yang ada di dalam faraid: "bilamana unsur wanita masuk ke dalam nasab laki-
laki, maka kakek menjadi rusak nasabnya. Namun bila tidak termasuki unsur wanita, itulah kakek yang
sahih."

B. Hukum Waris antara Kakek dengan Saudara


Baik Al-Qur'an maupun hadits Nabawi tidak menjelaskan tentang hukum waris bagi kakek yang sahih
dengan saudara kandung ataupun saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas sahabat sangat berhati-
hati dalam memvonis masalah ini, bahkan mereka cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang
berkenaan dengan masalah ini. Ibnu Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: "Bertanyalah kalian
kepada kami tentang masalah yang sangat pelik sekalipun, namun janganlah kalian tanyakan kepadaku
tentang masalah warisan kakak yang sahih dengan saudara."
Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Ali bin Abi Thalib:
"Barangsiapa yang ingin diceburkan ke dalam neraka Jahanam, maka hendaklah ia
memvonis masalah waris antara kakek yang sahih dengan para saudara."

Ketakutan dan kehati-hatian para sahabat dalam memvonis masalah hak waris kakek dan saudara itu
tentu sangat beralasan, karena tidak ada nash Al-Qur'an atau hadits Nabi yang menjelaskannya. Dengan
demikian, menurut mereka, masalah ini memerlukan ijtihad. Akan tetapi di sisi lain, ijtihad ini sangat
mengkhawatirkan mereka, karena jika salah berarti mereka akan merugikan orang yang sebenarnya
mempunyai hak untuk menerima warisan, dan memberikan hak waris kepada orang yang sebenamya
tidak berhak. Terlebih lagi dalam masalah yang berkenaan dengan materi, atau hukum tentang hak
kepemilikan, mereka merasa sangat takut kalau-kalau berlaku zalim dan aniaya.
Perlu saya tekankan bahwa masalah waris sangatlah berbahaya dan sensitif. Karena itu Allah SWT
tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah hak kepemilikan materi ini. Dia
menjelaskannya di dalam Al-Qur'an dengan detail agar tidak terjadi kezaliman dan perbuatan aniaya di
kalangan umat manusia, khususnya para ahli waris.
Namun demikian, masalah yang sangat dikhawatirkan itu hilang setelah munculnya ijtihad para salaf
ash-shalih dan para imam mujtahidin. Ijtihad dan pendapat tersebut dijaga serta dibukukan secara
lengkap dan detail beserta dalil-dalilnya. Hal ini akan memudahkan setiap orang yang ingin
mengetahuinya sambil bersandar kepada ijtihad yang dianggapnya lebih rajih (kuat dan tepat) serta
dapat dijadikannya sandaran dalam berfatwa.

C. Perbedaan Pendapat Mengenai Hak Waris Kakek


Para imam mazhab berbeda pendapat mengenai hak waris kakak bila bersamaan dengan saudara, sama
seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Perbedaan tersebut dapat
digolongkan ke dalam dua mazhab.
Mazhab pertama: mereka menyatakan bahwa para saudara --baik saudara kandung, saudara seayah,
ataupun seibu-- terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. Mereka beralasan bahwa kakek
akan mengganti kedudukan ayah bila telah tiada, karena kakek merupakan bapak yang paling 'tinggi'.
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqaha, seperti yang telah
saya sebutkan sebelumnya. Yakni, bila ternyata 'ashabah banyak arahnya, maka yang lebih didahulukan
adalah arah anak (keturunan), kemudian arah ayah, kemudian saudara, dan barulah arah paman. Sekali-
kali arah itu tidak akan berubah atau berpindah kepada arah yang lain, sebelum arah yang lebih dahulu
hilang atau habis. Misalnya, jika 'ashabah itu ada anak dan ayah, maka yang didahulukan adalah arah
anak. Bila 'ashabah itu ada arah saudara dan arah paman maka yang didahulukan adalah arah saudara,
kemudian barulah arah paman.
Lebih lanjut golongan yang pertama ini menyatakan bahwa arah ayah --mencakup kakek dan
seterusnya-- lebih didahulukan daripada arah saudara. Karena itu hak waris para saudara akan
terhalangi karena adanya arah kakek, sama seperti gugurnya hak waris oleh saudara bila ada ayah.
Mazhab ini merupakan pendapat Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar. Pendapat ini
diikuti oleh mazhab Hanafi.
Mazhab kedua: berpendapat bahwa para saudara kandung laki-laki/perempuan dan saudara laki-laki
seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak
waris para saudara kandung dan yang seayah, sama seperti halnya ayah.
Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan saudara dan kakek
dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian juga saudara.
Kakek merupakan pokok dari ayah, sedangkan saudara adalah cabang dari ayah, karena itu tidaklah
layak untuk mengutamakan yang satu dari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila kita
mengutamakan yang satu dan mencegah yang lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang
dapat diterima. Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara kandung kemudian di
antara mereka ada yang tidak diberi.
Alasan lain yang dikemakakan mazhab ini ialah bahwa kebutuhan para saudara --yang jelas lebih muda
daripada kakek--terhadap harta jauh lebih besar ketimbang para kakek. Sebagai gambaran, misalnya
saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan kepada para kakek, kemudian ia wafat, maka harta
peninggalannya akan berpindah kepada anak-anaknya yang berarti paman para saudara. Dengan
demikian para paman menjadi ahli waris, sedangkan para saudara tadi hanya kebagian tangis, tidak
mendapat warisan dari saudaranya yang meninggal.
Pendapat ini dianut oleh ketiga imam, yaitu Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad bin Hambal,
dan diikuti oleh kedua orang murid Abu Hanifah, yaitu Muhammad dan Abu Yusuf. Inilah pendapat
yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud,
asy-Syi'bi, dan Ahli Madinah ridhwanullah 'alaihim.

D.Tentang Mazhab Jumhur


Untuk lebih menjelaskan pendapat yang rajih --yakni pendapat jumhur ulama-- maka saya perlu
mengatakan bahwa sesungguhnya jika kakak mewarisi bersamaan dengan saudara, maka ia mempunyai
dua keadaan, dan masing-masing memiliki hukum tersendiri.
Keadaan pertama: kakek mewarisi hanya bersamaan dengan para saudara, tidak ada ahli waris lain
dari ashhabul furudh, seperti istri atau ibu, atau anak perempuan, dan sebagainya.
Keadaan kedua: kakak mewarisi bersama para saudara dan ashhabul furudh yang lain, seperti ibu,
istri, dan anak perempuan.

Hukum Keadaan Pertama


Bila seseorang wafat dan meninggalkan kakek serta saudara-saudara tanpa ashhabul furudh yang lain,
maka bagi kakek dipilihkan perkara yang afdhal baginya --agar lebih banyak memperoleh harta
warisan-- dari dua pilihan yang ada. Pertama dengan cara pembagian, dan kedua dengan cara
mendapatkan sepertiga (1/3) harta warisan. Mana di antara kedua cara tersebut yang lebih baik bagi
kakek, itulah yang menjadi bagiannya. Bila pembagian lebih baik baginya maka hendaklah dengan cara
pembagian, dan bila mendapatkan 1/3 harta warisan lebih baik maka itulah yang menjadi haknya.

Makna Pembagian
Makna pembagian menurut ulama faraid adalah kakek dikategorikan seperti saudara kandung, ia
mendapatkan bagian yang sama dengan bagian saudara kandung laki-laki. Apabila kakek berhadapan
dengan saudara perempuan kandung, maka ia menempati posisi yang sama seperti saudara kandung
laki-laki. Berarti kakek mendapatkan bagian dua kali lipat bagian para saudara perempuan sekandung.
Bila cara pembagian tersebut kemungkinan merugikan kakek, maka diberikan dengan memilih cara
mendapat sepertiga (1/3) harta waris yang ada.

Pembagian yang Lebih Menguntungkan Kakek


Ada lima keadaan yang lebih menguntungkan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kelima
keadaan tersebut sebagai berikut:
1. Kakek dengan saudara kandung perempuan.
Kakek dengan dua orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan tiga orang saudara kandung perempuan.
Kakek dengan saudara kandung laki-laki.
2. Kakek dengan saudara kandung laki-laki dan saudara kandung perempuan.
Adapun penjelasannya seperti berikut:
Pada keadaan pertama kakak mendapat dua per tiga (2/3).

Pada keadaan kedua kakek mendapat setengah (1/2).

Pada keadaan ketiga kakek mendapat dua per lima (2/5).

Pada keadaan keempat kakek mendapat setengah (1/2).

Pada keadaan kelima kakek mendapat dua per lima (2/5).

Kelima keadaan itu lebih menguntungkan kakek jika menggunakan cara pembagian.

Pembagian dan Jumlah 1/3 yang Berimbang


Ada tiga keadaan yang menyebabkan kakek mendapatkan bagian yang sama baik secara pembagian
ataupun dengan mengambil sepertiga harta waris yang ada. Ketiga keadaan itu sebagai berikut:
1. Kakek dengan dua orang saudara kandung laki-laki.
Kakek dengan empat orang saudara kandung perempuan.
2. Kakek dengan seorang saudara kandung laki-laki dan dua orang saudara kandung perempuan.

Pembagian Sepertiga Lebih Menguntungkan Kakek


Selain dari delapan keadaan yang saya kemukakan itu, maka pemberian sepertiga (1/3) kepada sang
kakek lebih menguntungkannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang kakek dan tiga
orang saudara, atau seorang kakek dan lima saudara kandung perempuan atau lebih. Dalam hal ini
kakek mendapat sepertiga (1/3), dan sisanya dibagikan kepada para saudara, yang laki-laki mendapat
dua kali lipat bagian wanita.
Kalau saja dalam keadaan seperti itu kita gunakan cara pembagian, maka kakek akan dirugikan karena
akan menerima kurang dari sepertiga harta warisan.
Catatan
Hukum tentang hak waris saudara laki-laki dan perempuan seayah ketika bersama dengan kakek
--tanpa saudara kandung laki-laki atau perempuan-- maka hukumnya sama dengan hukum yang saya
jelaskan di atas.

Hukum Keadaan Kedua


Bila kebersamaan antara kakek dengan para saudara dibarengi pula dengan adanya ashhabul furudh
yang lain --yakni ahli waris lainnya-- maka bagi kakek dapat memilih salah satu dari tiga pilihan yang
paling menguntungkannya. Yaitu, dengan pembagian, menerima sepertiga (1/3), atau menerima
seperenam (1/6) dari seluruh harta waris yang ditinggalkan pewaris. Dan hal ini pun dengan syarat
bagiannya tidak kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Kalau jumlah harta waris
setelah dibagikan kepada ashhabul furudh tidak tersisa kecuali seperenam atau bahkan kurang, maka
tetaplah kakek diberi bagian seperenam (1/6) secara fardh, dan para saudara kandung digugurkan atau
dikurangi haknya. Ketetapan ini telah menjadi kesepakatan bulat imam mujtahid.
Adapun bila cara pembagian --setelah para ashhabul furudh mengambil bagiannya-- bagian sang kakek
lebih menguntungkannya, maka hendaknya dibagi dengan cara itu. Dan jika sepertiga (1/3) sisa harta
waris yang ada malah lebih menguntungkannya, maka itulah bagian kakek. Yang pasti, bagian kakek
tidaklah boleh kurang dari seperenam (1/6) bagaimanapun keadaannya. Sebab bagian tersebut adalah
bagiannya yang telah ditentukan syariat.

Contoh Keadaan Kedua


Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan suami, kakak, dan saudara kandung laki-laki.
Maka pembagiannya seperti berikut: suami faradh-nya setengah (1/2) karena pewaris tidak mempunyai
anak, dan sisanya dibagi dua, yakni kakak seperempat dan saudara kandung laki-laki juga seperempat.
Pada contoh kasus ini kakek lebih beruntung untuk menerima warisan dengan cara pembagian. Sebab
dengan pembagian ia mendapatkan bagian lebih dari seperenam (1/6).
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, dua saudara kandung laki-laki dan dua
saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu mendapat seperenam (1/6)
bagian, kakek mendapat sepertiga (1/3) dari sisa harta yang ada, dan sisanya dibagikan kepada saudara
laki-laki dan perempuan, dengan ketentuan bagi laki-laki mendapat dua kali lipat bagian perempuan.
Dalam contoh kedua ini bagian kakek lebih menguntungkan, ia mendapatkan sepertiga dari sisa harta
setelah diambil hak sang ibu. Berarti kakek mendapat sepertiga (1/3) dari lima per enam (5/6).
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan, nenek, kakek, dan tiga
saudara kandung perempuan. Pembagiannya sebagai berikut: bagi anak perempuan setengah (1/2),
nenek seperenam (1/6), kakek seperenam (1/6), dan sisanya dibagikan kepada para saudara kandung
perempuan sesuai jumlah orangnya secara rata.
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan lima anak perempuan, suami, kakek, dan empat
saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat seperempat (1/4), lima
anak perempuan mendapat dua per tiga (2/3), dan kakek mendapat seperenam (1/6), sedangkan empat
saudara laki-laki tidak mendapatkan apa-apa. Hal ini telah disepakati ulama mujtahid.
Contoh kelima: seseorang wafat dan meninggalkan dua orang istri, seorang anak perempuan, seorang
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, kakek, ibu, dan sepuluh saudara kandung perempuan.
Maka pembagiannya sebagai berikut: untuk kedua orang istri seperdelapan (1/8), anak perempuan
setengah (1/2), dan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dua per tiga (2/3), ibu mendapatkan seperenam (1/6), dan sang kakek juga seperenam.
Sedangkan sepuluh saudara kandung perempuan tidak mendapatkan apa-apa sebab ashhabul furudh
telah menghabiskan bagian yang ada.

E. Bila Saudara Kandung dan Seayah Mewarisi bersama Kakek


Persoalan yang saya jelaskan sebelumnya berkisar mengenai bagian kakek bila hanya bersamaan
dengan saudara kandung. Pada bagian ini akan dijelaskan bagian kakek jika ia tidak hanya bersama
dengan saudara kandung, tetapi sekaligus bersama dengan saudara seayah. Untuk keadaan seperti ini,
ulama faraid menyatakan bahwa para saudara seayah dikategorikan sama dengan saudara kandung,
mereka dianggap satu jenis.
Apabila pemberian dilakukan secara pembagian, keberadaan saudara seayah dalam keadaan seperti ini
dikategorikan sebagai merugikan kakek. Meskipun setelah kakek mendapatkan bagian, seluruh sisa
harta waris yang ada hanya menjadi hak para saudara kandung -- sebab jika saudara kandung dan
seayah bersama-sama, maka saudara seayah mahjub, haknya menjadi gugur.
Akan tetapi, jika saudara seayah mewarisi bersama kakek dan seorang saudara kandung perempuan,
maka para saudara laki-laki seayah akan mendapatkan bagian sisa harta yang ada, setelah diambil hak
saudara kandung perempuan (1/2) dan hak kakek (1/3).
Agar persoalan ini tidak terlalu kabur dan membingungkan saya sertakan beberapa contoh kasus.
Contoh pertama: seseorang wafat dan meninggalkan kakek, saudara kandung laki-laki dan saudara
laki-laki seayah. Maka pembagiannya sebagai berikut: kakek mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan
saudara kandung laki-laki memperoleh dua per tiga (2/3) bagian, sedangkan saudara laki-laki seayah
mahjub (terhalangi) karena adanya saudara kandung laki-laki.
Dalam contoh pertama, saudara laki-laki dikategorikan sebagai ahli waris, karena itu bagian kakek
sepertiga (1/3), hak saudara kandung laki-laki dua per tiga (2/3), sedangkan saudara laki-laki seayah
terhalangi oleh adanya ahli waris yang lebih kuat dan dekat, yakni saudara kandung laki-laki.
Jumlah sepertiga (1/3) bagi kakek dalam contoh kasus ini sesuai dengan kaidah yang ada: "hendaklah
kakek diberi dengan salah satu dari dua cara yang paling menguntungkannya, mendapat sepertiga harta
waris atau dengan cara pembagian". Kebetulan dalam kasus ini kedua cara pemberian waris bagi kakek
menghasilkan bagian yang sama, yaitu sepertiga.
Contoh kedua: seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung perempuan, kakek,
seorang saudara laki-laki seayah, dan dua orang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya
seperti berikut: saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, kakek mendapat
sepertiga (1/3) bagian, sedangkan sisanya diberikan kepada para saudara laki-laki dan perempuan
seayah --dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.
Pada contoh kedua ini, saya langsung memberikan hak kakek sepertiga (1/3), tanpa menggunakan cara
pembagian. Karena sebagaimana telah saya kemukakan bahwa keberadaan para saudara laki-
laki/perempuan seayah sebagai perugi, yakni merugikan kakek pada cara pembagian. Kalaulah
pemberian kepada kakak dalam contoh ini menggunakan cara pembagian, tentu hal ini akan
merugikannya karena ia akan menerima bagian kurang dari sepertiga (1/3) harta waris yang ada. Oleh
sebab itu, saya berikan haknya dengan cara yang paling menguntungkannya, yaitu sepertiga (1/3).
Setelah itu saya berikan hak waris saudara kandung perempuan setengah secara fardh, karena ia lebih
kuat dan lebih dekat kekerabatannya terhadap pewaris dibandingkan para saudara laki-laki/perempuan
seayah. Sisanya barulah untuk mereka.
Contoh ketiga: seseorang wafat dan meninggalkan ibu, kakek, seorang saudara kandung laki-laki, dan
seorang saudara perempuan seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu mendapat seperenam
(1/6) bagian, kakek memperoleh dua per enam (2/6) bagian, dan sisanya diberikan kepada saudara
kandung laki-laki. Dalam hal ini saudara perempuan seayah gugur sebab ada saudara kandung, dan
keberadaannya hanya merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian.
Catatan
Pada contoh ketiga --seperti telah diutarakan-- keberadaan saudara laki-laki/perempuan seayah
merugikan kakek bila menggunakan cara pembagian. Kemudian, dalam masalah ini kita berikan nasib
(bagian) saudara perempuan seayah sebanyak dua per enam (2/6), dan itu menjadi bagian saudara laki-
laki kandung, sebab saudara perempuan seayah gugur haknya oleh adanya saudara laki-laki kandung.
Bila kita lihat secara seksama akan tampak oleh kita bahwa yang lebih menguntungkan kakek dalam
hal ini adalah cara pembagian, bukan dengan cara menerima sepertiga (1/3) sisa harta waris setelah
diambil ashhabul furudh -- dalam contoh ini adalah ibu.
Barangkali untuk lebih memperjelas masalah ini perlu pula saya sertakan tabelnya.

Masalahnya 12
Bagian ibu 1/6 secara fardh
2

Bagian kakek 2/6 secara pembagian dengan saudara kandung laki-laki


4

Bagian saudara kandung (sisanya)


6

Bagian saudara perempuan seayah mahjub


0
Contoh keempat: seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, kakek, saudara kandung
perempuan, dan dua orang saudara seayah. Maka pembagiannya seperti berikut: ibu memperoleh
seperenam (1/6) bagian, kakek sepertiga (1/3), dan saudara kandung perempuan mendapat setengah
(1/2), sedangkan bagian dua orang saudara seayah sisanya. Tabelnya sebagai berikut:
Masalahnya 12 dan naik menjadi 36
Bagian ibu 1/6
6

Bagian kakek 1/3 (sisa setelah diambil ibu)


10

Bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2)


18

Bagian dua orang saudara laki-laki seayah (sisanya)


2
Catatan
Apabila pewaris hanya meninggalkan kerabat seperti kakek dan saudara-saudara laki-laki/perempuan
seibu saja, maka seluruh warisan merupakan bagian kakek. Sebab, seperti yang telah disepakati seluruh
imam mujtahid, kakek dapat menggugurkan hak waris saudara seibu. Dan hak waris saudara seibu
hanyalah bila pewaris sebagai kalalah, yakni tidak mempunyai pokok (ayah dan seterusnya) dan tidak
pula mempunyai cabang (anak, cucu, cicit, dan seterusnya).
Di samping itu, hal lain yang telah menjadi ijma' seluruh fuqaha ialah bahwa hak waris dari keturunan
para saudara kandung ataupun seayah menjadi gugur karena adanya kakek. Misalnya, bila seseorang
meninggal dan hanya meninggalkan kakek serta anak saudaranya, maka seluruh warisannya menjadi
hak kakek.

F. Masalah al-Akdariyah
Istilah al-akdariyah muncul karena masalah ini berkaitan dengan salah seorang wanita dari bani Akdar.
Sedangkan sebagian ulama mengatakan bahwa penyebutan masalah ini dengan istilah al-akdariyah
--yang artinya 'kotor' atau 'mengotori'-- disebabkan masalah ini cukup mengotori mazhab Zaid bin
Tsabit (sosok sahabat yang sangat dipuji Rasulullah akan kemahirannya dalam faraid, penj.). Dia
pernah menghadapi masalah waris dan memvonisnya dengan melakukan sesuatu yang bertentangan
(menyimpang) dari kaidah-kaidah faraid yang masyhur.
Permasalahannya seperti berikut: bila seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, ibu, kakek,
dan seorang saudara kandung perempuan. Apabila berpegang pada kaidah yang telah disepakati seluruh
fuqaha --termasuk di dalamnya Zaid bin Tsabit sendirimaka pembagiannya adalah dengan
menggugurkan hak saudara kandung perempuan. Sebab, suami mendapat setengah (1/2), bagian, ibu
mendapat sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya hanya seperenam (1/6) yang tidak lain sebagai bagian
kakek yang tidak mungkin digugurkan --karena merupakan haknya secara fardh. Oleh sebab itu, sudah
semestinya bagian saudara kandung perempuan digugurkan karena tidak ada sisa harta waris.
Akan tetapi, dalam kasus ini Zaid bin Tsabit r.a. memvonis dengan menyalahi kaidah yang ada. Dia
memberi saudara kandung setengah (1/2) bagian, dan menaikkan masalahnya dari enam (6) menjadi
sembilan (9). Kemudian ia menyatukan hak saudara kandung perempuan dengan saham kakak, dan
membaginya menjadi bagian laki-laki dua kali lipat bagian wanita. Setelah ditashih, masalahnya
menjadi dua puluh tujuh (27), dan pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan (9) bagian,
ibu enam (6) bagian, kakek delapan (8) bagian, dan saudara kandung perempuan empat (4) bagian.
Dalam hal ini Imam Malik dan Imam Syafi'i mengikuti apa yang pernah dilakukan Zaid bin Tsabit,
sehingga menjadikannya sebagai keputusan ijtihad dalam fiqih kedua imam tersebut.
Berikut ini saya sertakan tabelnya, dari mulai yang sesuai dengan kaidah aslinya hingga setelah
ditashih.

Masalahnya adalah dari enam (6)


Suami mendapat setengah (1/2) secara fardh
3

Ibu mendapat sepertiga (1/3) secara fardh


2

Kakek mendapat seperenam (1/6) sisanya/fardh-nya


1

Saudara kandung perempuan mahjub


0
Adapun tabel setelah ditashih menurut al-akdariyah seperti berikut:

Masalahnya naik dari enam (6) menjadi dua puluh tujuh (27)
Bagian suami menjadi
9

Bagian ibu menjadi


6

Bagian kakek menjadi


8

Bagian saudara kandung perempuan menjadi


4
Catatan
Dalam masalah al-akdariyah ini sosok ahli waris mutlak tidak dapat diubah. Bila ada salah satu yang
diubah, maka berarti telah keluar dari hukum tersebut. Wallahu a'lam.

VII. MASALAH AL 'AUL DANAR-RADD


A. Definisi al-'Aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna azh-zhulm (aniaya) dan
tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (an-Nisa': 3)

Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa irtafa'a yang artinya 'air yang
naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti 'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan
yang berarti 'berat timbangannya'.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah bagian fardh dan
berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal
di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam keadaan seperti ini kita harus menaikkan
atau menambah pokok masalahnya sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul
furudh yang ada -- meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat berubah menjadi
sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok masalahnya dinaikkan dari semula enam (6)
menjadi sembilan (9). Maka dalam hal ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6
(setengah) hanya memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang lain,
bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.

B. Latar Belakang Terjadinya 'Aul


Pada masa Rasulullah saw. sampai masa kekhalifahan Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. kasus 'aul atau
penambahan --sebagai salah satu persoalan dalam hal pembagian waris-- tidak pernah terjadi. Masalah
'aul pertama kali muncul pada masa khalifah Umar bin Khathab r.a.. Ibnu Abbas berkata: "Orang yang
pertama kali menambahkan pokok masalah (yakni 'aul) adalah Umar bin Khathab. Dan hal itu ia
lakukan ketika fardh yang harus diberikan kepada ahli waris bertambah banyak."
Secara lebih lengkap, riwayatnya dituturkan seperti berikut: seorang wanita wafat dan meninggalkan
suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faraid, bagian yang mesti
diterima suami adalah setengah (1/2), sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per tiga
(2/3). Dengan demikian, berarti fardh-nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian, suami
tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri,
begitupun dua orang saudara kandung perempuan, mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi
hak waris keduanya.
Menghadapi kenyataan demikian Umar kebingungan. Dia berkata: "Sungguh aku tidak mengerti,
siapakah di antara kalian yang harus didahulukan, dan siapa yang diakhirkan. Sebab bila aku berikan
hak suami, pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya.
Begitu juga sebaliknya, bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan
pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami." Umar kemudian mengajukan persoalan ini
kepada para sahabat Rasulullah saw.. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan menganjurkan kepada
Umar agar menggunakan 'aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata: "Tambahkanlah hak para
ashhabul furudh akan fardh-nya." Para sahabat menyepakati langkah tersebut, dan menjadilah hukum
tentang 'aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi saw.

C. Pokok Masalah yang Dapat dan Tidak Dapat Di-'aul- kan


Pokok masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga di antaranya dapat di-'aul-kan, sedangkan
yang empat tidak dapat.
Ketiga pokok masalah yang dapat di-'aul-kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat
(24). Sedangkan pokok masalah yang tidak dapat di-'aul-kan ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat
(4), dan delapan (8).
Sebagai contoh pokok yang dapat di-'aul-kan: seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang
saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua (2).
Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah, berarti
mendapat bagian satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan 'aul.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu. Pembagiannya: ibu mendapat sepertiga
(1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam contoh ini pokok masalahnya tiga (3), jadi ibu
mendapat satu bagian, dan ayah dua bagian.
Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki-laki, dan saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari empat (4), bagian istri
seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian, sedangkan sisanya (yakni 3/4) dibagi dua antara saudara
kandung laki-laki dengan saudara kandung perempuan, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali
bagian perempuan.
Contoh kasus yang lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan, dan saudara
kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari delapan (8), bagian
istri seperdelapan (1/8) berarti satu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan
saudara kandung perempuan menerima sisanya, yakni tiga per delapan (3/8).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok masalah dalam contoh-contoh yang saya kemukakan
semuanya tidak dapat di-'aulkan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para
ashhabul furudh.

Pokok Masalah yang Dapat Di-'aul-kan


Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, angka-angka pokok masalah yang dapat di-'aul-kan
ialah angka enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24). Namun, ketiga pokok masalah itu
masing-masing berbeda dan mempunyai sifat tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat
di-'aul-kan hingga angka sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi tujuh, delapan, sembilan, atau
sepuluh. Lebih dari angka itu tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat
kali saja.
Kemudian pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17), namun hanya
untuk angka ganjilnya. Lebih jelasnya, pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan ke tiga
belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua belas (12)
hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja.
Sedangkan pokok masalah dua puluh empat (24) hanya dapat di-'aul-kan kepada dua puluh tujuh (27)
saja, dan itu pun hanya pada satu masalah faraid yang memang masyhur di kalangan ulama faraid
dengan sebutan "masalah al-mimbariyyah".
Untuk lebih menjelaskan dan memantapkan pemahaman kita terhadap pokok-pokok masalah yang
di-'aul-kan, perlu kita simak contoh-contohnya.

Beberapa Contoh Masalah 'Aul


1. Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan keturunan
anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian
ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian
anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga-- berarti satu
bagian. Dalam contoh ini tidak ada 'aul, sebab masalahnya sesuai dengan fardh yang ada.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2)
berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan bagian saudara
perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada
melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan
demikian, jumlah bagian (fardh-nya) cocok dengan pokok masalahnya.
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan, dan seorang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami
setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan
setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian.
Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah, yaitu delapan per enam (8/6).
Oleh karena itu, asal pokok masalah enam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan
ulama faraid dikenal dengan istilah al-mubahalah.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung perempuan, dan dua
orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagianya seperti berikut: pokok masalahnya enam (6). Bagian
suami setengah (1/2) berarti tiga bagian. Sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua per
tiga (2/3) berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua
bagian.
Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu pokok masalahnya
di-'aul-kan menjadi sembilan, sehingga jumlah bagian sesuai dengan pokok masalahnya. Masalah ini
dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah, dan dua
orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya enam.
Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang
saudara seayah dua per tiga (2/3) berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan
seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh tersebut jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu enam banding
sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula enam menjadi
sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah syuraihiyah.

Contoh 'Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)


Seperti telah saya kemukakan bahwa pokok masalah dua belas hanya dapat di-'aul-kan tiga kali saja,
yaitu menjadi tiga belas (13), lima belas (15), atau tujuh belas (17). Berikut ini saya berikan contoh-
contohnya:
1. Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung perempuan. Maka
pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian istri seperempat
(1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang
saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3) berarti delapan bagian.
Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas.
Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian
yang ada.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara kandung perempuan, seorang
saudara perempuan seayah, dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai
berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat
seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti
enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua
pertiga-- berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua
bagian.
Jumlah bagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu
pokok masalahnya di-'aul-kan menjadi lima belas (15).
2. Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan orang saudara
perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dua belas (12). Bagian ketiga orang istri adalah seperempat (1/4)
berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti dua
bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah dua per tiga (2/3)-nya, berarti delapan
bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam contoh ini tampak dengan jelas bahwa jumlah bagian ashhabul furudh telah melampaui pokok
masalahnya, yakni tujuh belas berbanding dua belas. Karena itu pokok masalahnya harus di-'aul-kan
dari dua belas menjadi tujuh belas.

Contoh 'Aul Dua Puluh Empat (24)


Pokok masalah dua puluh empat (24) --sebagaimana telah saya jelaskan-- hanya dapat di-'aul-kan
menjadi angka dua puluh tujuh (27). Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus yang oleh
ulama faraid dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Mereka menyebutnya demikian karena Ali bin
Abi Thalib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar (podium).
Contoh masalah ini seperti berikut: seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak
perempuan, dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti ini: pokok
masalahnya dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu
memperoleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti tiga
bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempuan
keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) --sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)--
berarti empat bagian.
Dalam contoh tersebut tampak sangat jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau yang menjadi hak
ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-'aul-kan pokok
masalahnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada para ashhabul furudh.
Sekali lagi ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyyah ini pokok masalah dua puluh empat hanya bisa
di-'aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.
Catatan
1. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan
bagian setengah (1/2) dari harta waris, kemudian yang lain berhak mendapatkan sisanya, atau
dua orang ahli waris yang masing-masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2), maka
pokok masalahnya dari dua (2), dan tidak dapat di-'aul-kan.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian
sepertiga (1/3) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat bagian
sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua per tiga (2/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3), dan tidak ada
'aul.
Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian
seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat
seperempat (1/4) dan yang lain berhak mendapat setengah (1/2), maka pokok masalahuya dari empat
(4), dan dalam hal ini tidak ada 'aul.
2. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat
bagian seperdelapan (1/8) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak
mendapat seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pokok masalahnya dari delapan, dan
tidak ada 'aul.

D. Definisi ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna 'berpaling/palingkan'.
Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak
mereka semula. " (al-Kahfi: 64)

"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan
..." (al-Ahzab: 25)

Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya Allah, palingkanlah/halaulah
tipu daya mereka terhadapku).
Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok masalah dan
bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd merupakan kebalikan dari al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para ashhabul furudh telah
menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak
ada sosok kerabat lain sebagai 'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi
kepada para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.

E. Syarat-syarat ar-Radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat seperti di bawah ini:
1. adanya ashhabul furudh
tidak adanya 'ashabah
2. ada sisa harta waris.
Bila dalam pembagian waris tidak ada ketiga syarat tersebut maka kasus ar-radd tidak akan terjadi.

F. Ahli Waris yang Berhak Mendapat ar-Radd


Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Artinya, suami
atau istri bagaimanapun keadaannya tidak mendapat bagian tambahan dari sisa harta waris yang ada.
Adapun ashhabul furudh yang dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang:
1. anak perempuan
cucu perempuan keturunan anak laki-laki
saudara kandung perempuan
saudara perempuan seayah
ibu kandung
nenek sahih (ibu dari bapak)
saudara perempuan seibu
2. saudara laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah dan kakek, sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa
keadaan tertentu, mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila
dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya --ayah atau kakek-- -maka tidak mungkin ada ar-
radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai 'ashabah.

G. Ahli Waris yang Tidak Mendapat ar-Radd


Adapun ahli waris dari ashhabul furudh yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri.
Hal ini disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena kekerabatan
sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan kekerabatan ini akan putus karena
kematian, maka dari itu mereka (suami dan istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya
mendapat bagian sesuai bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan
pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri tidak mendapatkan
bagian sebagai tambahan.

H. Macam-macam ar-Radd
Ada empat macam Ar-radd, dan masing-masing mempunyai cara atau hukum tersendiri. Keempat
macam itu:
1. adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami atau istri
adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan tanpa suami atau istri
adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
2. adanya pemilik bagian yang berbeda-beda, dan dengan adanya suami atau istri

Hukum Keadaan Pertama


Apabila dalam suatu keadaan ahli warisnya hanya terdiri dari sahib fardh dengan bagian yang sama
--yakni dari satu jenis saja (misalnya, semuanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat,
dan seterusnya)-- dan dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara pembagiannya
dihitung berdasarkan jumlah ahli waris. Hal ini bertujuan untuk menghindari sikap bertele-tele dan agar
lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah.
Sebagai misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok
masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga
(2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai
jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.
Contoh lain, bila seseorang wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara kandung perempuan, maka
pokok masalahnya dari sepuluh. Dan pembagiannya pun secara fardh dan ar-radd.
Misal lain, seseorang wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka
pokok masalahnya dari dua, disebabkan bagiannya sama.

Hukum Keadaan Kedua


Apabila dalam suatu keadaan terdapat bagian ahli waris yang beragam --dan tidak ada salah satu dari
suami atau istri-- maka cara pembagiannya dihitung dan nilai bagiannya, bukan dari jumlah ahli waris
(per kepala). Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara
laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu seperenam (1/6), untuk kedua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3). Di sini tampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka yang dijadikan pokok masalah,
yakni tiga.

Contoh-contoh keadaan kedua


1. Seseorang wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan
keturunan anak lak-laki. Maka pokok masalahnya dari empat, karena jumlah bagiannya ada
empat.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu, saudara kandung perempuan, serta saudara laki-laki
seibu. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
Seseorang wafat dan meninggalkan seorang nenek, anak perempuan, serta seorang cucu perempuan
dari keturunan anak laki-laki. Maka jumlah bagiannya adalah lima, dan itulah pokok masalahnya.
Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan serta saudara perempuan seayah.
Maka pokok masalahnya empat, karena jumlah bagiannya empat.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah,
dan saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya lima, karena jumlah bagiannya adalah
lima.
Begitu seterusnya, yang penting tidak ada salah satu dari suami atau istri.

Hukum keadaan Ketiga


Apabila para ahli waris semuanya dari sahib fardh (bagian) yang sama, disertai salah satu dari suami
atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pokok masalahnya dari sahib fardh yang tidak
dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per
kepala.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami
mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat) dibagikan kepada anak secara
merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan
seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan
dan dibagi secara rata.
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta
seorang saudara perempuan seibu. Maka pokok masalahnya dari empat, karena angka itu diambil dari
sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri, yang bagiannya dalam keadaan demikian
seperempat (1/4).
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Pokok
masalahnya adalah delapan, angka ini diambil dari sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan (tidak
berhak untuk ditambah). Maka istri mendapatkan seperdelapan (1/8) bagian, berarti mendapat satu
bagian, sedangkan sisanya tujuh per delapan (7/8) merupakan bagian kelima anak perempuan dan
dibagi secara merata di antara mereka. Hitungan ini perlu pentashihan, dan setelah ditashih pokok
masalahnya menjadi empat puluh, hitungan (bagiannya) sebagai berikut: ibu mendapatkan
seperdelapan dari empat puluh, berarti lima bagian, sedangkan sisanya --tiga puluh lima bagian--
dibagikan secara merata kepada kelima anak perempuan pewaris, berarti masing-masing menerima
tujuh bagian.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri dan empat anak perempuan. Dalam hal ini
pokok masalahnya dari empat, diambil dari istri sebagai sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan.
Pembagiannya: istri mendapatkan seperempat (1/4) bagian, sedangkan sisanya --tiga per empat (3/4)--
dibagi secara merata untuk keempat anak perempuan pewaris.
Dalam contoh ini juga harus ada pentashihan pada pokok masalahnya. Oleh karena itu, pokok masalah
yang mulanya empat (4) naik menjadi enam belas (16). Sehingga pembagiannya seperti berikut: bagian
istri seperempat (1/4) dari enam belas berarti empat bagian. Sedangkan sisanya dua belas bagian
dibagikan secara merata kepada keempat anak perempuan pewaris. Dengan demikian, setiap anak
memperoleh tiga bagian.
Hukum keadaan Keempat
Apabila dalam suatu keadaan terdapat ashhabul furudh yang beragam bagiannya, dan di dalamnya
terdapat pula suami atau istri, maka menurut kaidah yang berlaku kita harus menjadikannya dalam dua
masalah. Pada persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau istri, dan pada persoalan kedua
kita menyertakan suami atau istri. Kemudian kita buat diagramnya secara terpisah. Setelah itu barulah
kita lihat kedua ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga kriteria yang ada, mana yang paling tepat.
Sedangkan ketiga kriteria yang dimaksud ialah tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan
tabaayun (perbedaan).
Untuk lebih memperjelas masalah yang rumit ini perlu saya sertakan contoh kasusnya:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:


Pokok masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari jumlah bagian
yang ada).

Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian.

Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.

Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:


Pokok masalahnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu
istri.
Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian.
Sisanya, yakni tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat kedua ilustrasi tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian
dua saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam
kedua ilustrasi.
Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga
bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi
memerlukan tashih, dan cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.
Contoh lain: seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu.
Pada ilustrasi pertama --tanpa menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari enam, dan dengan
ar-radd menjadi dari lima, karena itulah jumlah bagian yang ada.
Sedangkan dalam ilustrasi kedua --menyertakan suami/istri-- asal pokok masalahnya dari delapan,
karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di-radd-kan, yakni istri.
Apabila istri mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanya tujuh per delapan (7/8),
dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secara fardh dan radd.
Seperti kita ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian langkah berikutnya
kita kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok masalah pertama (lima). Maka hasil
perkalian antara kedua pokok masalah itu adalah pokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut.
Kini, setelah kita kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, maka bagian istri adatah
seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada, berarti ia mendapat lima (5) bagian.
Bagian kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri --yang tersisa tiga puluh
lima (35) bagian. Maka pembagiannya sebagai berikut: bagian kedua anak perempuan adalah hasil
perkalian antara empat (bagiannya dalam ilustrasi pertama) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian
pada ilustrasi kedua) berarti dua puluh delapan (28) bagian.
Adapun bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama (satu bagian)
dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian dalam ilustrasi kedua) berarti tujuh (7) bagian.
Jadi, dari jumlah keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak perempuan, ditambah
bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40. Lihat tabel berikut:

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami/istri


Pokok masalahnya aslinya dari 65, dengan radd, menjadi 5

Bagian kedua anak perempuan 2/3


berarti 4

Bagian ibu seperenam (1/6)


berarti 1

Jumlah bagian
5
Ilustrasi kedua dengan menyertakan suami/istri
Pokok masalah dari delapan, diambil dari ahlul fardh yang tak dapat
setelah tashih
di-radd 40
menjadi

Bagian istri 1/8, berarti


1 setelah tashih 5

Bagian dua anak perempuan dan ibu


7

setelah tashih bagian anak perempuan


4x7 28

bagian ibu
4x7 7

VIII. PENGHITUNGAN DAN PENTASHIHAN


MENGETAHUI pokok masalah merupakan suatu keharusan bagi kita yang mengkaji ilmu faraid. Hal
ini agar kita dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar
adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di
kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok
masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian
hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak
mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka
pecahan, penj.).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya.
Artinya, kita harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau
semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per
kepala --jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang
anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara
kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki
kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah:
bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per
kepala.
Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan.
Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan
dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah
pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung
perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian
saudara kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris
semuanya sama --misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6)-- maka pokok
masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3).
Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau
delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian --yakni tidak dari
satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya-- kita harus mengalikan dan
mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau
yang mutadaakbilah (saling berpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, baiklah kita simak kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu
faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah kita untuk memahami pokok masalah ketika
ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi dua bagian:
Pertama: bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
Kedua: bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti
pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya
dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).
Misal lain, bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2),
seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) --atau hanya seperempat dengan seperdelapan-- maka pokok
masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib
fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka
pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam
hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama
(1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk
mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) --yang merupakan kelompok pertama--
bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok masalahnya
dari enam (6).
Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan kelompok pertama--
bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas
(12).
2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok
pertama-- bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka pokok
masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, perlu saya utarakan beberapa contoh. Misalnya, seseorang
wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya
sebagai berikut: suami mendapat setengah (1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga
(1/3), sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh
menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3)
dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah
pada contoh tersebut dari enam. Lihat diagram:

Pokok masalah dari enam (6)


Suami setengah (1/2)
3

Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)


1

Ibu sepertiga (1/3)


2

Paman kandung, sebagai 'ashabah


0

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan
seorang saudara laki-laki kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: bagian istri seperempat (1/4),
ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai
'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) --yang termasuk kelompok
pertama-- dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok masalahnya
dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian
istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu). Tabelnya tampak berikut ini:

Pokok masalah dari dua belas (12)


Istri seperempat (1/4))
3

Ibu seperenam (1/6)


2
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
4

Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya)


3

Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya sebagai berikut: istri mendapat
seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu perempuan keturunan anak laki-laki
mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6).
Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta waris bila
ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan
seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada
contoh ini dari dua pulah empat (24). Berikut ini tabelnya:

Pokok masalah dari 24


Bagian istri seperdelapan (1/8)
berarti 3

Bagian anak perempuan setengah (1/2)


berarti 12

Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)


berarti 4

Bagian ibu seperenam (1/6)


berarti 4

Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)


1

Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian
antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni
empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut
(yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi,
kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.

A. Tentang Tashih
Agar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, maka kita harus
mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat istilah perhitungan. Yaitu, at-tamaatsul
(kemiripan/kesamaan), at-tadaakhul (saling terkait/saling bercampur), at-tawaafuq (saling bertautan),
dan at-tabaayun (berbeda/saling berjauhan).
Apabila pokok masalah --harta waris-- dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai) dengan jumlah
bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan cara-cara yang berbelit dan
memusingkan. Namun, bila harta waris tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap
ahli waris, atau jumlah bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini
memerlukan pentashihan pokok masalahnya.
Definisi Tashih
Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut ulama ilmu faraid
berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli waris tanpa pecahan dalam
pembagiannya.

Definisi at-Tamaatsul
At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'. Sedangkan menurut
ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang satu tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari
yang lain. Misalnya, angka tiga berarti sama dengan tiga, dan lima sama dengan lima, dan seterusnya.

Definisi at-Tadaakhul
At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan kata dari "keluar".
Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang besar oleh angka yang lebih kecil,
sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8)
dengan angka empat (4), angka delapan belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27)
dengan angka sembilan (9).

Definisi at-Tawaafuq
At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah ilmu faraid ialah setiap
dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga menurut mereka di antara kedua bilangan itu ada
tadaakhul. Misalnya, angka 8 dengan 6 keduanya dapat dibagi oleh angka 2. Angka 12 dengan angka
30 sama-sama dapat dibagi oleh angka 6. Angka 8 dengan 20 sama-sama dapat dibagi oleh angka 4,
demikian seterusnya.

Definisi at-Tabaayun
At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau saling berbeda.
Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap bilangan yang satu dengan lainnya tidak
dapat membagi, dan tidak pula dapat dibagi oleh bilangan lain (ketiga). Misalnya angka 7 dengan
angka 4, angka 8 dengan 11, angka 5 dengan 9.
Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, kita bandingkan pengertiannya dengan istilah
lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu tadaakhul.
Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angka yang kecil --tetapi dibagi angka yang lain-- maka
kedua bilangan itu ada tawaafuq. Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain,
maka disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama, maka di antara kedua bilangan tersebut
adalah mutamaatsilan.

B. Cara Mentashih Pokok Masalah


Setelah kita ketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun,
maka kita perlu mengetahui kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah?
Dan apa tujuannya,
Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali
dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan, penj.). Hal ini dimaksudkan agar dapat
mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan
mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak
mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama
faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang
dikehendaki ad-Din al-Islam.
Cara pentashihan yang biasa dilakukan para ulama faraid seperti berikut: langkah pertama, melihat
bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas
dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna
dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli
waris yang ada --jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat
bagian-- maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada
kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak
mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala
dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan
bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok
masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah
sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.
Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan
mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian
khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah.
Untuk lebih memperjelas masalah ini, perlu saya kemukakan contoh kasus sehingga pembaca dapat
lebih memahaminya.

Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah


Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan
keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6). Bagian
keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti
satu bagian, dan sang ibu juga seperenam berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang,
penj.).
Dalam contoh tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka
peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang
mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-
pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima satu
bagian.
Contoh lain yang at-tamaatsul. Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu,
dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian,
kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian
keempat saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.
Bila kita perhatikan baik-baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak memerlukan
pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara
perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung
perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian
tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, tahulah kita bahwa contoh
masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at-tamaatsul.
Contoh masalah yang at-tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan,
ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahuya dari enam (6).
Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6)
berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.
Kita lihat dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan
jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid
sebagai bagian dari bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok
masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua
orang saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari enam (6),
kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan
bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua
saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.
Dalam contoh di atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara kandung
perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per
kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka
sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok
masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan bagian
(9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu
mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok
masalahnya dari 12. Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam
(6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2
bagian, dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi. Inilah
tabelnya:
3
12 36
Suami 1/4
3 9

Anak perempuan 1/2


6 18

Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6


2 6

Saudara kandung laki-laki ('ashabah)


1 3
Berdasarkan tabel tersebut kita lihat antara bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki dengan
jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka
3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil
pentashihan.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara
kandung laki-laki. Maka bagian masing-masing seperti berikut: pokok masalahnya dari 24, kemudian
di-'aul-kan menjadi 27. Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti
16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara
kandung laki-laki mahjub (terhalang). Inilah tabelnya:
5
24
27 135

Istri 1/8
3 15

Lima anak perempuan 2/3


16 80

Ayah 1/6
4 20

Ibu 1/6
4 20

Saudara kandung laki-laki (mahjub)


- -
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagi oleh jumlah per
kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok
masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135.
Angka itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan
juz'us sahm.
Misal lain, seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek,
empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu. Pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24. Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya =
16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu 1 sebagai 'ashabah,
sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan tabel berikut:
28
24 672
3 istri bagiannya 1/8
3 84

7 anak perempuan 2/3


16 448

2 orang nenek 1/6


4 112

saudara kandung laki-laki ('ashabah)


1 28

Saudara laki-lah seibu (mahjub


- -
Dalam tabel tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per kepala mereka
(7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian keempat saudara kandung yang hanya satu
bagian, dan jumlah per kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari
contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara
kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian
juz'us sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya itulah yang
menjadi pokok masalah setelah pentashihan. Pentashihan seperti ini dapat diterapkan dalam contoh-
contoh yang lain.

C. Pembagian Harta Peninggalan


At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan yang ditinggalkan
pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada
ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian yang harus mereka terima.
Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa cara yang harus
ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua -- dalam hal yang berkenaan
dengan harta yang dapat ditransfer.
Cara pertama: kita ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan dengan jumlah bagian
tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian masing-masing ahli waris.
Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh. Hal ini kita
lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan
yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya
merupakan bagian dari masing-masing ahli waris.

Contoh Cara Pertama


Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta
peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan 1/2 berarti 12
bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah
sebagai 'ashabah.
Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada (480 dinar) dibagi
pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per bagian.
Jadi, bagian istri 3 bagian 20 dinar 60 dinar
x =
Anak perempuan 12 bagian 20 dinar 240 dinar
x =
Ibu 4 bagian 20 dinar 80 dinar
x =
Ayah ('ashabah) 5 bagian 20 dinar 100 dinar
x =
Total 480 dinar
=
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu, suami, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada sebanyak 960 dinar. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24. Cucu
perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan
ibu memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung
perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair. Tabelnya seperti berikut:
2
12 24
24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
1/2 6 12

Suami 1/4
1/4 3 6

Ibu 1/6
1/6 2 4

2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair)


1 2
Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing ahli waris:
Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki 12 40 dinar 480 dinar
x =
Suami 6 40 dinar 240 dinar
x =
Ibu 4 40 dinar 160 dinar
x =
Dua saudara kandung perempuan 2 40 dinar 80 dinar
x =
Total 960 dinar
=
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak laki-laki, ayah, ibu,
dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya 3.000 dinar. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12. Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2
bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan
ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian
(masing-masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian (masing-masing 2 bagian),
sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub. Simak tabel berikut:
2
6 12
Empat anak perempuan
4 4

Dua anak laki-laki


3 4

Ayah
1/6 1 2

Ibu
1/6 1 2

Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub)


- -
Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar
Jadi, Jadi bagian 4 anak perempuan 4 250 dinar 1.000 dinar
x =
dua anak laki-laki 4 x 250 dinar = 1.000 dinar
ibu 2 250 dinar 500 dinar
x =
ayah 2 250 dinar 500 dinar
x =
Total 3.000 dinar
=
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dua saudara laki-
laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya 9.900 dinar. Maka pembagiannya
seperti berikut: pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9. Suami mendapat
1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh
1/3 berarti 2, sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu (1). Perhatikan tabel berikut:
6 9
Suami
1/2 3

Saudara kandung perempuan


1/2 3

Saudara laki-laki seibu


1/3 2

Nenek
1/6 1
Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar
Jadi, Suami 3 1.100 dinar 3.300 dinar
x =
Saudara perempuan kandung 3 1.100 dinar 3.300 dinar
x =
Dua saudara laki-laki seibu 2 1.100 dinar 2.200 dinar
x =
Nenek 1 1.100 dinar 2.200 dinar
x =
Total 9.000 dinar
=
Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu perempuan keturunan
anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan
sejumlah 585 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13. Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3
bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).
Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh
bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul furudh. Perhatikan tabel berikut:
12 13
Suami 1/4 3
Ibu
1/6 2

Dua anak perempuan


2/3 8

Tiga cucu perempuan


Dua cucu perempuan 'ashabah -

Jadi, Suami 3 585:13 dinar 135 dinar


x =
Ibu 2 585:13 dinar 90 dinar
x =
Dua anak perempuan 8 585:13 dinar 360 dinar
x =
Total 585 dinar
=
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240 dinar. Maka pembagiannya seperti
berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami
mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.
12 24
Cucu pr. ket. anak laki-laki
1/2 6 12

Ibu
1/6 2 4

Suami
1/4 3 6

Dua saudara kandung ('ashabah)


1 2

Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 240:24 dinar 120 dinar


x =
Ibu 4 240:24 dinar 40 dinar
x =
Suami 6 240:24 dinar 60 dinar
x =
Dua saudara kandung ('ashabah) 2 240:24 dinar 20 dinar
x =
Total 240 dinar
=
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan
harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari
6, ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian), dan sisanya --dua
bagian-- menjadi hak kedua saudara perempuan kandung sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang
lain ter- mahjub. Inilah tabelnya:
6
Ibu
1/6 1

Cucu pr. ket. anak laki-laki


1/2 3

Dua saudara kandung pr. ('ashabah)


2

Saudara perempuan seayah,


Dua saudara laki-laki seayah (mahjub) -

Masalah Dinariyah ash-Shughra


Ada dua masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyah ash-shughra dan
ad-dinariyah al-kubra. Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas
kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.
Contoh masalahnya, seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang nenek,
delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya:
17 dinar. Adapun pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan
menjadi 17. Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6
(berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan
keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta peninggalannya
ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat
satu dinar. Maka kasus seperti ini disebut ad-dinariyah ash-shughra. Berikut ini tabelnya:
12 17
Ke-3 istri masing-masing 1 bagian = 1 dinar
1/4 3

Kedua nenek masing-masing 1 bagian = 1 dinar


1/6 2

Ke-8 sdr. pr. seayah masing-masing 1 bagian = 1 dinar


2/3 8

Ke-4 sdr. pr. seibu masing-masing 1 bagian = 1 dinar


1/3 4

Masalah Dinariyah al-Kubra


Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada sebagian terdiri
dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada
yang hanya mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan
sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut ad-
dinariyah al-kubra.
Contoh masalah ini sebagai berikut: misalnya, seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak
perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan
harta peninggalannya 600 dinar. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari 24
kemudian setelah ditashih menjadi 600. Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6
(berarti 4 bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian
merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan sebagai
'ashabah.
Jadi, bagian Istri 3 600:24 dinar 75 dinar
x =
Ibu 4 600:24 dinar 100 dinar
x =
Kedua anak perempuan 16 600:24 dinar 400 dinar
x =
Total 575 dinar
=
Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan mendapat
sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian
perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan
masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung perempuan.
Berikut ini tabelnya:
25
24 600
Istri
1/8 3 75

Ibu
1/6 4 100

Kedua anak perempuan


2/3 16 100

12 saudara kandung laki-laki 1 24


1 saudara kandung perempuan ('ashabah) 1

Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih (seseorang mengajukan
masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan memberikan hak saudara kandung
perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak
warisnya hingga memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima warisan,
namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu
yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan
kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan
tidak kurang."
Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim Syuraih telah
berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya. Wallahu a'lam bish shawab.
IX. HUKUM MUNASAKHAT
A. Definisi Munasakhat
Al-munasakhat dalam bahasa Arab berarti 'memindahkan' dan 'menghilangkan', misalnya dalam
kalimat nasakhtu al-kitaba yang bermakna 'saya menukil (memindahkan) kepada lembaran lain';
nasakhat asy-syamsu ash-zhilla yang berarti 'sinar matahari menghilangkan bayang-bayang'.
Makna yang pertama --yakni memindahkan/menukil-- sesuai dengan firman Allah SWT berikut:
"... Sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan." (al-
Jatsiyah: 29)

Sedangkan makna yang kedua sesuai dengan firman berikut:


"Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya,
Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" (al-
Baqarah: 106)

Adapun pengertian al-munasakhat menurut istilah ulama faraid ialah meninggalnya sebagian ahli waris
sebelum pembagian harta waris sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. Bila
salah seorang ahli waris meninggal, sedangkan ia belum menerima hak warisnya (karena memang
belum dibagikan), maka hak warisnya berpindah kepada ahli warisnya. Karenanya di sini akan timbul
suatu masalah yang oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan sebutan al-jami'ah.

Al-munasakhat mempunyai tiga macam keadaan:


Keadaan pertama: sosok ahli waris yang kedua adalah mereka yang juga merupakan sosok ahli waris
yang pertama. Dalam kasus seperti ini masalahnya tidak berubah, dan cara pembagian warisnya pun
tidak berbeda. Misalnya, ada seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak. Kemudian salah
seorang dari kelima anak itu ada yang meninggal, tetapi yang meninggal itu tidak mempunyai ahli
waris kecuali saudaranya yang empat orang, maka seluruh harta waris yang ada hanya dibagikan
kepada keempat anak yang tersisa, seolah-olah ahli waris yang meninggal itu tidak ada dari awalnya.
Keadaan kedua: para ahli waris dari pewaris yang kedua adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama,
namun ada perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab mereka terhadap pewaris. Misalnya, seseorang
mempunyai dua orang istri. Dari istri yang pertama mempunyai keturunan seorang anak laki-laki.
Sedangkan dari istri kedua mempunyai keturunan tiga anak perempuan. Ketika sang suami meninggal,
berarti ia meningalkan dua orang istri dan empat anak (satu laki-laki dan tiga perempuan). Kemudian,
salah seorang anak perempuan itu meninggal sebelum harta waris peninggalan ayahnya dibagikan.
Maka ahli waris anak perempuan ini adalah sosok ahli waris dari pewaris pertama (ayah). Namun,
dalam kedua keadaan itu terdapat perbedaan dalam hal jauh-dekatnya nasab kepada pewaris. Pada
keadaan yang pertama (meninggalnya ayah), anak laki-laki menduduki posisi sebagai anak. Tetapi
dalam keadaan yang kedua (meninggalnya anak perempuan), anak laki-laki terhadap yang meninggal
berarti merupakan saudara laki-laki seayah, dan yang perempuan sebagai saudara kandung perempuan.
Jadi, dalam hal ini pembagiannya akan berbeda, dan mengharuskan kita untuk mengamalkan suatu cara
yang disebut oleh kalangan ulama faraid sebagai masalah al-jami'ah.
Keadaan ketiga: para ahli waris dari pewaris kedua bukan ahli waris dari pewaris pertama. Atau
sebagian ahli warisnya termasuk sosok yang berhak untuk menerima waris dari dua arah, yakni dari
pewaris pertama dan dari pewaris kedua. Dalam hal seperti ini kita juga harus melakukan teori al-
jama'iyah, sebab pembagian bagi tiap-tiap ahli waris yang ada berbeda dan berlainan.

B. Rincian Amaliah al-Munasakhat


Sebelum kita melakukan rincian tentang amaliah al-munasakhat, kita terlebih dahulu harus melakokan
langkah-langkah berikut:
1. Mentashihkan masalah pewaris yang pertama dengan memberikan hak waris kepada setiap
ahlinya, termasuk hak ahli waris yang meninggal.
Merinci masalah baru, khususnya yang berkenaan dengan kematian pewaris kedua, tanpa
mempedulikan masalah pertama.
Membandingkan antara bagian pewaris kedua dalam masalah pertama, dengan pentashihan masalah
dan para ahli warisnya dalam masalah kedua.
2. Perbandingan antara keduanya itu dalam kecenderungannya terhadap ketiga nisbat, yaitu al-
mumatsalah, al-muwafaqah, dan al-mubayanah. Bila antara keduanya --yakni antara bagian
pewaris yang kedua dan masalah ahli warisnya yang lain-- ada mumatsalah (kesamaan), maka
dibenarkan kedua masalah hanya dengan tashih yang pertama (lihat tabel).
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan tiga anak perempuan, dua saudara kandung
perempuan, dan seorang saudara kandung laki-laki. Kemudian salah seorang saudara kandung
perempuan itu meninggal. Berarti ia meninggalkan seorang saudara kandung perempuan dan seorang
saudara kandung laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dari tiga (3). Ketiga
anak perempuan mendapat 2/3 (2 bagian). Dan sisanya (satu bagian) merupakan hak para 'ashabah
(yakni dua saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki).
Kemudian kita lihat jumlah per kepalanya ada tabayun (perbedaan), maka 3 x 4 = 12. Kemudian angka
ini kita kaLikan dengan pokok masalahnya, berarti 3 x 12 = 36. Bilangan inilah yang kemudian
menjadi pokok masalah hasil pentashihan. Jadi, pembagiannya seperti berikut: ketiga anak perempuan
mendapat 2/3 (24 bagian), dan sisanya (12 bagian) dibagikan untuk dua orang saudara kandung
perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali bagian
anak perempuan, jadi setiap saudara kandung perempuan mendapat tiga (3) bagian, dan saudara laki-
laki kandung enam (6) bagian.
Kemudian, kita lihat antara bagian pewaris kedua (yaitu 3) dengan pokok masalahnya (juga dari 3) ada
kesamaan (tamatsul). Karena itu, al-jami'ah di sini sama dengan hasil pentashihan pada masalah yang
pertama (yakni dari 36).
Kemudian, hak waris/bagian saudara kandung perempuan yang meninggal (3 bagian) hanya dibagikan
kepada ahli waris, yaitu seorang saudara kandung perempuan dan seorang saudara kandung laki-laki.
Kemudian, hasil pembagian itu ditambahkan pada hasil bagian mereka yang pertama. Maka, bagian
saudara kandung perempuan menjadi empat (4): tiga (3) bagian --yang diperolehnya dari masalah
pertama-- ditambah dengan bagian yang berasal dari saudara kandung perempuan yang meninggal,
yaitu satu (1) bagian (3 + 1 = 4).
Sedangkan saudara kandung laki-laki mendapatkan dua (2) bagian, yang kemudian ditambahkan
dengan perolehannya dari peninggalan pada masalah pertama, yaitu enam (6) bagian. Maka saudara
laki-laki kandung memperoleh delapan (8) bagian.
Adapun tiga anak perempuan pewaris pertama, dalam masalah kedua ini tidak mendapatkan hak waris,
disebabkan kedudukannya hanyalah sebagai keponakan pewaris kedua, yakni anak perempuan dari
saudara laki-laki pewaris kedua. Karena itu, mereka mahjub. Berikut ini saya sertakan tabelnya:
Jumlah kepala Tashih masalah ke I
al-Jami'ah

12 3 36 3 36
3 anak pr. 2/3 2 24 - 24
Sdr. kandung pr. 3 meninggal - -
Sdr. kandung pr. 1 3 Sdr. kandung pr. 1 3+1=4

Sdr. kandung lk. 6 Sdr. kandung lk. 2 6+2=8


Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, ibu, cucu perempuan keturunan anak laki-
laki. Kemudian cucu tersebut meninggal dengan meninggalkan suami, ibu, tiga anak perempuan, dan
dua anak laki-laki. Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24). Istri mendapatkan 1/4 (3 bagian), ibu 1/6 (4 bagian),
cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/2 (12 bagian), sedangkan sisanya (lima bagian) merupakan
bagian ayah sebagai jumlah 'ashabah. Jumlah semuanya adalah dua puluh empat (24) bagian.
Kemudian, kita lihat al-jami'ah dalam masalah ini sama dengan pokok masalah pertama, yaitu dua
puluh empat (24). Hal ini karena kita dapati bagian pewaris kedua (cucu perempuan keturunan anak
laki-laki) dalam masalah pertama ada tamatsul (kesamaan) dengan pokok masalah yang kedua. Dalam
keadaan demikian, kaidah yang berlaku di kalangan ulama faraid adalah kita menjadikan pokok
masalah pertama sebagai al-jami'ah, yang berarti bagian pewaris kedua hanya dibagikan kepada ahli
warisnya. Oleh sebab itu, kita tidak lagi membuat al-jami'ah yang baru, tetapi cukup menjadikan al-
jami'ah yang pertama itu berlaku pada masalah kedua. Berikut ini tabelnya:
Pokok Masalah I Pokok Masalah II al-Jami'ah
24 12 24
Istri 1/8
3 3

Ibu 1/6
4 - 4

Ayah ('ashabah)
5 - 5

Cucu pr. keturunan anak lk. 1/2


12 meninggal -

Suami 1/4
3 3
Contoh yang memiliki kasus al-mubayanah: seseorang wafat dan meninggalkan suami, ayah, ibu, dan
dua anak perempuan. Kemudian suami wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, ibu, istri,
dan saudara laki-laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari dua belas (12) kemudian di-'aul-kan menjadi lima belas (15). Sedangkan pokok
masalah yang kedua dari dua belas (12) yang di-'aul-kan menjadi tiga belas (13).
Suami mendapatkan seperempat (1/4) berarti tiga bagian. Ayah mendapatkan seperenam (1/6) berarti
dua bagian, begitu juga dengan bagian ibu yakni seperenam (1/6), berarti dua bagian.
Kemudian dua anak perempuan mendapatkan dua per tiga (2/3) berarti delapan (8) bagian. Jumlahnya
lima belas (15) bagian.
Kemudian, antara masalah yang pertama dengan masalah yang kedua ada mubayanah (perbedaan),
karenanya kita kalikan pokok masalah pertama (yakni 15) dengan pokok masalah yang kedua (yakni
13). Maka hasil dari perkalian itu (yakni 15 x 13 = 195) merupakan al-jami'ah (penyatuan) antara dua
masalah.
Lalu kita tempatkan bagian pewaris yang kedua (suami, yang mendapat tiga bagian) di atas pokok
masalah kedua, dan ini merupakan juz'us sahm (bagian dari bagian hak waris). Juz'us sahm ini
kemudian kita kalikan dengan bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka akan merupakan hasil bagian
ahli waris dari al-jami'ah (penyatuan dari dua masalah). Untuk lebih meyakinkan kebenaran masalah
kedua ini, kita lihat hasil perkaliannya: perkalian antara juz'us sahm yaitu tiga (3) dengan pokok
masalahnya setelah di-'aul-kan, berarti 3 x 13 = 39. Maka angka 39 ini merupakan jumlah bagian
seluruh ahli waris dalam masalah kedua. Lihat tabel berikut:
13 3
12 15 12 13 39
Suami 1/4
3 meninggal - -

Ayah 1/6
2 - 26

Ibu 1/6
2 - 26

2 anakperempuan (2/3)
8 - 104

Sdr. Kandung perempuan (2/3)


6 18

Ibu 1/6
2 6

Istri 1/4
3 9

Sdr. laki-laki seibu 1/6


2 6
Catatan
Kemungkinan besar dapat pula terjadi adanya al-jami'ah lebih dari satu. Misalnya, dalam suatu keadaan
pembagian waris salah seorang ahli warisnya wafat sebelum pembagian, kemudian ada lagi yang
meninggal, dan seterusnya. Maka jika terjadi hal seperti ini, kita tetap harus menempuh cara seperti
yang telah kita tempuh dalam al-munasakhat, takni kita tempatkan tashih kedua pada posisi pertama,
dan tashih ketiga pada posisi kedua, dan seterusnya. Dan hasilnya dinamakan al-jami'ah kedua, al-
jami'ah ketiga, dan seterusnya.
Untuk menjelaskan hal ini perlu kiranya saya kemukakan contoh tentang bentuk al-jami'ah yang lebih
dari satu ini. Misalnya, seseorang wafat meninggalkan suami, saudara perempuan seibu, dan paman
kandung (saudara ayah). Kemudian suami wafat dan meninggalkan anak perempuan, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki, ayah, dan ibu. Kemudian anak perempuan juga meninggal, dan meninggalkan
nenek, dua saudara kandung perempuan, dan dua saudara laki-laki seibu. Perhatikan tabel berikut:
2 1 7 3 8
6 6 12 6 7 84
Suami 1/2
3 meninggal -

Sdr.pr. seibu 1/6


1 2 14

Paman ('ashabah)
2 4 28

Anak perempuan 1/2 meninggal


3 3

Cucu pr. 1/6


1 1 - 7

Ayah 1/6
1 1 - 7

Ibu 1/6
1 1 - 7

Nenek 1/6
1 3

2 sdr. kandung pr. 2/3


4 12

2 sdr. lk. saudara seibu 1/3


2 6

C. At-Takharuj min at-Tarikah


Yang dimaksud dengan at-takharuj min at-tarikah ialah pengunduran diri seorang ahli waris dari hak
yang dimilikinya untuk mendapatkan bagian (secara syar'i). Dalam hal ini dia hanya meminta imbalan
berupa sejumlah uang atau barang tertentu dari salah seorang ahli waris lainnya ataupun dari harta
peninggalan yang ada. Hal ini dalam syariat Islam dibenarkan dan diperbolehkan.
Syariat Islam juga memperbolehkan apabila salah seorang ahli waris menyatakan diri tidak akan
mengambil hak warisnya, dan bagian itu diberikan kepada ahli waris yang lain, atau siapa saja yang
ditunjuknya. Kasus seperti ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah "pengunduran diri" atau
"menggugurkan diri dari hak warisnya".
Diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf r.a. adalah seorang sahabat yang mempunyai empat orang
istri. Ketika ia wafat, salah seorang istrinya, Numadhir binti al-Asbagh, menyatakan bahwa dirinya
hanya akan mengambil hak waris sekadar seperempat dari seperdelapan yang menjadi haknya. Jumlah
yang diambilnya --sebagaimana disebutkan dalam riwayat-- ialah seratus ribu dirham.

Tata Cara Pelaksanaannya


Apabila salah seorang ahli waris ada yang menyatakan mengundurkan diri, atau menyatakan hanya
akan mengambil sebagian saja dari hak warisnya, maka ada dua cara yang dapat menjadi pilihannya.
Pertama, ia menyatakannya kepada seluruh ahli waris yang ada, dan cara kedua, ia hanya
memberitahukannya kepada salah seorang dari ahli waris yang ditunjuknya dan bersepakat bersama.
Cara pertama: kenalilah pokok masalahnya, kemudian keluarkanlah bagian ahli waris yang
mengundurkan diri, sehingga seolah-olah ia telah menerima bagiannya, dan sisanya dibagikan kepada
ahli waris yang ada. Maka jumlah sisa bagian yang ada itulah pokok masalahnya.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan ayah, anak perempuan, dan istri. Kemudian sebagai
misal, pewaris meninggalkan sebuah rumah, dan uang sebanyak Rp 42 juta. Kemudian istri
menyatakan bahwa dirinya hanya akan mengambil rumah, dan menggugurkan haknya untuk menerima
bagian dari harta yang berjumlah Rp 42 juta itu. Dalam keadaan demikian, maka warisan harta tersebut
hanya dibagikan kepada anak perempuan dan ayah. Lalu jumlah bagian kedua ahli waris itulah yang
menjadi pokok masalahnya. Rincian pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari dua puluh empat (24), kemudian kita hilangkan (ambil) hak istri, yakni
seperdelapan dari dua puluh empat, berarti tiga (3) saham. Lalu sisanya (yakni 24 - 3 = 21) merupakan
pokok masalah bagi hak ayah dan anak perempuan. Kemudian dari pokok masalah itu dibagikan untuk
hak ayah dan anak perempuan. Maka, hasilnya seperti berikut:
Nilai per bagian adalah 42.000.000: 21 = 2.000.000
Bagian anak perempuan adalah 12 x 2.000.000 = 24.000.000
Bagian ayah 9 x 2.000.000 = 18.000.000
Total = 24.000.000 + 18.000.000 = 42.000.000

Cara kedua: apabila salah seorang ahli waris menyerahkan atau menggugurkan hakuya lalu
memberikannya kepada salah seorang ahli waris lainnya, maka pembagiannya hanya dengan cara
melimpahkan bagian hak ahli waris yang mengundurkan diri itu kepada bagian orang yang diberi.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang isteri, seorang anak perempuan, dan dua anak
laki-laki. Kemudian anak perempuan itu menggugurkan haknya dan memberikannya kepada salah
seorang dari saudara laki-lakinya, dengan imbalan sesuatu yang telah disepakati oleh keduanya.
Dengan demikian, warisan itu hanya dibagikan kepada istri dan kedua anak laki-laki, sedangkan bagian
anak perempuan dilimpahkan kepada salah seorang saudara laki-laki yang diberinya hak bagian.
Perhatikan tabel berikut:
Pokok masalah 8
Tashih 40 40

Isteri 1/8
1 5 5

Anak laki laki ('ashabah)


14 14

Anak laki laki ('ashabah)


7 14 14+14

Anak perempuan ('ashabah)


7 -
Maka, pokok masalahnya dari delapan, dan setelah ditashih menjadi empat puluh. Istri mendapat
seperdelapan (1/8) berarti lima (5) bagian, dan bagian setiap anak laki-laki empat belas (14) bagian,
dan sisanya --yakni tujuh bagian-- adalah bagian anak perempuan. Kemudian, hak anak perempuan itu
diberikan kepada salah seorang saudara laki-lakinya yang ia tunjuk sebelumnya.

X. HAK WARIS DZAWIL ARHAM


A. Definisi Dzawil Arham
Arham adalah bentuk jamak dari kata rahmun, yang asalnya dalam bahasa Arab berarti 'tempat
pembentukan/menyimpan janin dalam perut ibu'. Kemudian dikembangkan menjadi 'kerabat', baik
datangnya dari pihak ayah ataupun dari pihak ibu. Pengertian ini tentu saja disandarkan karena adanya
rahim yang menyatukan asal mereka. Dengan demikian, lafazh rahim tersebut umum digunakan dengan
makna 'kerabat', baik dalam bahasa Arab ataupun dalam istilah syariat Islam. Allah berfirman:
"... Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu. " (an-Nisa': 1)

"Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi
dan memutuskan hubungan kekeluargaan?" (Muhammad: 22)

Rasulullah saw. bersabda:


"Barangsiapa yang berkehendak untuk dilapangkan rezekinya dan ditangguhkan ajalnya,
maka hendaklah ia menyambung silaturrahmi (HR Bukhari, Muslim, dan lainnya)

Adapun lafazh dzawil arham yang dimaksud dalam istilah fuqaha adalah kerabat pewaris yang tidak
mempunyai bagian/hak waris yang tertentu, baik dalam Al-Qur'an ataupun Sunnah, dan bukan pula
termasuk dari para 'ashabah. Maksudnya, dzawil arham adalah mereka yang bukan termasuk ashhabul
furudh dan bukan pula 'ashabah. Jadi, dzawil arham adalah ahli waris yang mempunyai tali kekerabatan
dengan pewaris, namun mereka tidak mewarisinya secara ashhabul furudh dan tidak pula secara
'ashabah. Misalnya, bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), paman (saudara laki-laki ibu), keponakan
laki-laki dari saudara perempuan, cucu laki-laki dari anak perempuan, dan sebagainya.

B. Pendapat Beberapa Imam tentang Dzawil Arham


Para imam mujtahid berbeda pendapat dalam masalah hak waris dzawil arham, sama halnya dengan
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah saw.. Dalam hal ini ada dua
pendapat:
Pertama: golongan ini berpendapat bahwa dzawil arham atau para kerabat tidak berhak mendapat
waris. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa bila harta waris tidak ada ashhabul furudh atau 'ashabah
yang mengambilnya, maka seketika itu dilimpahkan kepada baitulmal kaum muslim untuk disalurkan
demi kepentingan masyarakat Islam pada umumnya. Dengan demikian, tidak dibenarkan jika harta
tersebut diberikan kepada dzawil arham. Di antara mereka yang berpendapat demikian ialah Zaid bin
Tsabit r.a. dan Ibnu Abbas r.a. dalam sebagian riwayat darinya, dan juga merupakan pendapat dua
imam, yaitu Malik dan Syafi'i rahimahumullah.
Kedua: golongan kedua ini berpendapat bahwa dzawil arham (kerabat) berhak mendapat waris, bila
tidak ada ashhabul furudh, ataupun 'ashabah yang menerima harta pewaris. Lebih jauh golongan kedua
ini mengatakan bahwa dzawil arham adalah lebih berhak untuk menerima harta waris dibandingkan
lainnya, sebab mereka memiliki kekerabatan dengan pewaris. Karena itu mereka lebih diutamakan
untuk menerima harta tersebut daripada baitulmal. Pendapat ini merupakan jumhur ulama, di antaranya
Umar bin Khathab, Ibnu Mas'ud, dan Ali bin Abi Thalib. Juga merupakan pendapat Imam Abu Hanifah
dan Ahmad bin Hambal rahimahumullah.
Adapun dalil yang dijadikan landasan oleh Imam Malik dan Syafi'i (golongan pertama) ialah:
1. Asal pemberian hak waris atau asal penerimaan hak waris adalah dengan adanya nash
syar'i dan qath'i dari Al-Qur'an atau Sunnah. Dan dalam hal ini tidak ada satu pun nash
yang pasti dan kuat yang menyatakan wajibnya dzawil arham untuk mendapat waris. Jadi,
bila kita memberikan hak waris kepada mereka (dzawil arham) berarti kita memberikan hak
waris tanpa dilandasi dalil pasti dan kuat. Hal seperti ini menurut syariat Islam adalah batil.
2. Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris bibi --baik dari garis ayah maupun dari
ibu-- beliau saw. menjawab: "Sesungguhnya Jibril telah memberitahukan kepadaku bahwa
dari keduanya tidak ada hak menerima waris sedikit pun."

Memang sangat jelas betapa dekatnya kekerabatan saudara perempuan ayah ataupun
saudara perempuan ibu dibandingkan kerabat lainnya. Maka jika keduanya tidak berhak
untuk menerima harta waris, kerabat lain pun demikian. Sebab, tidak mungkin dan tidak
dibenarkan bila kita memberikan hak waris kepada kerabat lain, sedangkan bibi tidak
mendapatkannya. Hal demikian dalam dunia fiqih dikenal dengan istilah tarjih bilaa
murajjih yang berarti batil. Dengan dasar ini dapat dipetik pengertian bahwa karena
Rasulullah saw. tidak memberikan hak waris kepada para bibi, maka tidak pula kepada
kerabat yang lain.

3. Harta peninggalan, bila ternyata tidak ada ahli warisnya secara sah dan benar --baik dari
ashhabul furudh-nya ataupun para 'ashabahnya-- bila diserahkan ke baitulmal akan dapat
mewujudkan kemaslahatan umum, sebab umat Islam akan ikut merasakan faedah dan
kegunaannya. Namun sebaliknya, bila diserahkan kepada kerabatnya, maka kegunaan dan
faedahnya akan sangat minim, dan hanya kalangan mereka saja yang merasakannya.
Padahal dalam kaidah ushul fiqih telah ditegaskan bahwa kemaslahatan umum harus lebih
diutamakan daripada kemaslahatan pribadi. Atas dasar inilah maka baitulmal lebih
diutamakan untuk menyimpan harta waris yang tidak ada ashhabul furudh dan 'ashabahnya
ketimbang para kerabat.

Adapun golongan kedua, yakni Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, menyatakan bahwa dzawil
arham atau para kerabat berhak mendapatkan waris, mereka mendasari pendapatnya itu dengan Al-
Qur'an, As-Sunnah, dan logika. Dalil Al-Qur'an yang dimaksud ialah:
"... Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap
sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu." (al-Anfal: 75)

Makna yang mendasar dari dalil ini ialah bahwa Allah SWT telah menyatakan atau bahkan
menegaskan dalam Kitab-Nya bahwa para kerabat lebih berhak untuk mendapatkan atau menerima hak
waris daripada yang lain. Di sini, lafazh arham yang berarti kerabat adalah umum, termasuk ashhabul
furudh, para ''ashabah, serta selain keduanya. Pendek kata, makna kata itu mencakup kerabat yang
mempunyai hubungan rahim atau lebih umumnya hubungan darah.
Ayat tersebut seolah-olah menyatakan bahwa yang disebut kerabat --siapa pun mereka, baik ashhabul
furudh, para 'ashabah, atau selain dari keduanya-- merekalah yang lebih berhak untuk menerima hak
waris ketimbang yang bukan kerabat. Bila pewaris mempunyai kerabat dan kebetulan ia meninggalkan
harta waris, maka berikanlah harta waris itu kepada kerabatnya dan janganlah mendahulukan yang lain.
Jadi, atas dasar inilah maka para kerabat pewaris lebih berhak untuk menerima hak waris ketimbang
baitulmal.
Hal ini juga berdasarkan firman-Nya yang lain:
"Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi
wanita ada hak bagian (pula) dan harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit
atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan." (an-Nisa': 7)

Melalui ayat ini Allah SWT menyatakan bahwa kaum laki-laki dan wanita mempunyai hak untuk
menerima warisan yang ditinggalkan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak. Seperti yang disepakati
oleh jumhur ulama bahwa yang dimaksud dengan dzawil arham adalah para kerabat. Dengan demikian,
mereka (dzawil arham) berhak untuk menerima warisan.
Kemudian sebagaimana dinyatakan oleh mayoritas ulama bahwa ayat di atas me-mansukh
(menghapus) kebiasaan pada awal munculnya Islam, pada masa itu kaum muslimin saling mewarisi
disebabkan menolong dan hijrah. Dengan turunnya ayat ini, maka yang dapat saling mewarisi hanyalah
antara sesama kerabat (dzawil arham). Oleh karena itu, para kerabatlah yang paling berhak untuk
menerima harta peninggalan seorang pewaris.
Adapun dalil dari Sunnah Nabawiyah adalah seperti yang diberitakan dalam sebuah riwayat masyhur,
dalam riwayat ini dikisahkan. Ketika Tsabit bin ad-Dahjah meninggal dunia, maka Rasulullah saw.
bertanya kepada Qais bin Ashim, "Apakah engkau mengetahui nasab orang ini?" Qais menjawab,
"Yang kami ketahui orang itu dikenal sebagai asing nasabnya, dan kami tidak mengetahui kerabatnya,
kecuali hanya anak laki-laki dari saudara perempuannya, yaitu Abu Lubabah bin Abdul Mundir.
Kemudian Rasul pun memberikan harta warisan peninggalan Tsabit kepada Abu Lubabah bin Abdul
Mundzir.
Keponakan laki-laki dari anak saudara perempuan tidak lain hanyalah merupakan kerabat, yang bukan
dari ashhabul furudh dan bukan pula termasuk 'ashabah. Dengan pemberian Rasulullah saw. akan hak
waris kepada dzawil arham menunjukkan dengan tegas dan pasti bahwa para kerabat berhak menerima
harta waris bila ternyata pewaris tidak mempunyai ashhabul furudh yang berhak untuk menerimanya
atau para 'ashabah.
Dalam suatu atsar diriwayatkan dari Umar bin Khathab r.a. bahwa suatu ketika Abu Ubaidah bin Jarrah
mengajukan persoalan kepada Umar. Abu Ubaidah menceritakan bahwa Sahal bin Hunaif telah
meninggal karena terkena anak panah yang dilepaskan seseorang. Sedangkan Sahal tidak mempunyai
kerabat kecuali hanya paman, yakni saudara laki-laki ibunya. Umar menanggapi masalah itu dan
memerintahkan kepada Abu Ubaidah untuk memberikan harta peninggalan Sahal kepada pamannya.
Karena sesungguhnya aku telah mendengar bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"(Saudara laki-laki ibu) berhak menerima waris bagi mayit yang tidak mempunyai
keturunan atau kerabat yang berhak untuk menerimanya."

Atsar ini --yang di dalamnya Umar al-Faruq memberitakan sabda Rasulullah saw.--- merupakan dalil
yang kuat bahwa kerabat lebih berhak menerima harta waris peninggalan pewaris ketimbang baitulmal.
Kalaulah baitulmal lebih berhak untuk menampung harta peninggalan pewaris yang tidak mempunyai
ahli waris dari ashhabul furudh dan 'ashabah-nya, maka Umar bin Khathab pasti tidak akan
memerintahkan kepada Abu Ubaidah Ibnul Jarrah r.a. untuk memberikan kepada paman Sahal tersebut.
Sebab, Umar bin Khathab r.a adalah seorang khalifah Islam yang dikenal sangat mengu tamakan
kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. Dan hal ini terbukti seperti yang banyak dikisahkan
dalam kitab-kitab tarikh.
Adapun dalil logikanya seperti berikut: sesungguhnya para kerabat jauh lebih berhak untuk menerima
harta warisan daripada baitulmal. Alasannya, karena ikatan antara baitulmal dan pewaris hanya dari
satu arah, yaitu ikatan Islam --karena pewaris seorang muslim. Berbeda halnya dengan seseorang yang
memiliki hubungan kekerabatan dengan pewaris, dalam hal ini ia mempunyai dua ikatan: ikatan Islam
dan ikatan rahim.
Oleh sebab itu, ikatan dari dua arah sudah barang tentu akan lebih kuat dibandingkan ikatan satu arah.
Permasalahan ini sama seperti dalam kasus adanya saudara kandung laki-laki dengan saudara laki-laki
seayah dalam suatu keadaan pembagian harta waris, yang dalam hal ini seluruh harta waris menjadi hak
saudara kandung laki-laki. Sebab, ikatannya dari dua arah, dari ayah dan dari ibu, sedangkan saudara
seayah hanya dari ayah.
Di samping itu, kelompok kedua (jumhur ulama) ini menyanggah dalil yang dikemukakan oleh Imam
Malik dan Imam Syafi'i bahwa hadits itu kemungkinannya ada sebelum turunnya ayat di atas. Atau,
mungkin juga bahwa bibi (baik dari ayah atau ibu) tidak berhak mendapat waris ketika berbarengan
dengan ashhabul furudh atau para 'ashabah.
Jadi, yang jelas --jika melihat konteks hadits yang pernah dikemukakan-- jawaban Rasulullah saw.
tentang hak waris bibi ketika itu disebabkan ada ashhabul furudh atau ada 'ashabah-nya. Inilah usaha
untuk menyatukan dua hadits yang sepintas bertentangan.
Setelah membandingkan kedua pendapat itu, kita dapat menyimpulkan bahwa pendapat jumhur ulama
(kelompok kedua) lebih rajih (kuat dan akurat), karena memang merupakan pendapat mayoritas
sahabat, tabi'in, dan imam mujtahidin. Di samping dalil yang mereka kemukakan lebih kuat dan akurat,
juga tampak lebih adil apalagi jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan dewasa ini.
Sebagai contoh, kelompok pertama berpendapat lebih mengutamakan baitulmal ketimbang kerabat,
sementara di sisi lain mereka mensyaratkan keberadaan baitulmal dengan persyaratan khusus. Di
antaranya, baitulmal harus terjamin pengelolaannya, adil, dan amanah; adil dalam memberi kepada
setiap yang berhak, dan tepat guna dalam menyalurkan harta baitulmal.
Maka muncul pertanyaan, dimanakah adanya baitulmal yang demikian, khususnya pada masa kita
sekarang ini. Tidak ada jawaban lain untuk pertanyaan seperti itu kecuali: "telah lama tiada". Terlebih
lagi pada masa kita sekarang ini, ketika musuh-musuh Islam berhasil memutus kelangsungan hidup
khilafah Islam dengan memporakporandakan barisan, persatuan dan kesatuan muslimin, kemudian
membagi-baginya menjadi negeri dan wilayah yang tidak memiliki kekuatan. Sungguh tepat apa yang
digambarkan seorang penyair dalam sebuah bait syairnya: "Setiap jamaah di kalangan kita mempunyai
iman, namun kesemuanya tidak mempunyai imam."
Melihat kenyataan demikian, para ulama dari mazhab Maliki dan mazhab Syafi'i mutakhir memberikan
fatwa dengan mendahulukan para kerabat ketimbang baitulmal, khususnya setelah abad ketiga Hijriah,
ketika pengelolaan baitulmal tidak lagi teratur sehingga terjadi penyalahgunaan. Dengan demikian,
dapat kita katakan bahwa kedua kelompok ulama tersebut pada akhirnya bersepakat untuk lebih
mengutamakan pemberian harta waris kepada kerabat ketimbang baitulmal. Hal ini dapat terlihat
tentunya dengan melihat dan mempertimbangkan kemaslahatan yang ada, dari mulai akhir abad ketiga
Hijriah hingga masa kita dewasa ini.

C. Cara Pembagian Waris Para Kerabat


Di antara fuqaha terjadi perbedaan pendapat mengenai tata cara memberikan hak waris kepada para
kerabat, dan dalam hal ini terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.

1. Menurut Ahlur-Rahmi
Mengenai cara pembagian hak waris para kerabat, ahlur-rahmi menyatakan bahwa semua kerabat
berhak mendapat waris secara rata, tanpa membedakan jauh-dekatnya kekerabatan, dan tanpa
membeda-bedakan antara laki-laki dengan perempuan.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang cucu perempuan keturunan anak perempuan,
seorang keponakan perempuan dari saudara perempuan, bibi (saudara perempuan ayah), bibi (saudara
perempuan ibu), dan keponakan laki-laki keturunan saudara laki-laki seibu. Maka dalam hal ini mereka
mendapatkan bagian waris secara rata, tanpa melebihkan atau mengurangi salah seorang dari ahli waris
yang ada.
Mazhab ini dikenal dengan sebutan ahlur-rahmi disebabkan orang-orang yang menganut pendapat ini
tidak mau membedakan antara satu ahli waris dengan ahli waris yang lain dalam hal pembagian,
mereka juga tidak menganggap kuat serta lemahnya kekerabatan seseorang. Yang menjadi landasan
mereka ialah bahwa seluruh ahli waris menyatu haknya karena adanya ikatan kekerabatan.
Mazhab ini tidak masyhur, bahkan dhaif dan tertolak. Karenanya tidak ada satu pun dari ulama atau
para imam mujtahid vang mengakuinya apalagi mengikuti pendapat ini dengan alasan telah sangat
nyata bertentangan dengan kaidah syar'iyah yang masyhur dalam disiplin ilmu mawarits.

2. Menurut Ahlut-Tanzil
Golongan ini disebut ahlut-tanzil dikarenakan mereka mendudukkan keturunan ahli waris pada
kedudukan pokok (induk) ahli waris asalnya. Mereka tidak memperhitungkan ahli waris yang ada
(yang masih hidup), tetapi melihat pada yang lebih dekat dari ashhabul furudh dan para 'ashabahnya.
Dengan demikian, mereka akan membagikan hak ahli waris yang ada sesuai dengan bagian ahli waris
yang lebih dekat, yakni pokoknya. Inilah pendapat mazhab Imam Ahmad bin Hambal, juga merupakan
pendapat para ulama mutakhir dari kalangan Maliki dan Syafi'i.
Untuk memperjelas pemahaman tentang mazhab ini perlu saya kemukakan contoh-contoh seperti
berikut:
1. Bila seseorang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak perempuan,
keponakan laki-laki keturunan saudara kandung perempuan, dan keponakan perempuan
keturunan saudara laki-laki seayah. Maka keadaan ini dapat dikategorikan sama dengan
meninggalkan anak perempuan, saudara kandung perempuan, dan saudara laki-laki seayah.
Oleh karena itu, pembagiannya seperti berikut: anak perempuan mendapat setengah (1/2)
bagian, saudara kandung perempuan mendapat setengah (1/2) bagian, sedangkan saudara laki-
laki seayah tidak mendapat bagian (mahjub) disebabkan saudara kandung perempuan di sini
sebagai 'ashabah, karena itu ia mendapatkan sisanya. Inilah gambarannya:

Anak kandung pr. 1/2, Sdr. kandung pr. 1/2, Sdr. laki-laki seayah mahjub.
2. Seseorang wafat dan meninggalkan keponakan perempuan keturunan saudara kandung
perempuan, keponakan perempuan keturunan saudara perempuan seayah, keponakan laki-laki
keturunan saudara perempuan seibu, dan sepupu perempuan keturunan paman kandung (saudara
laki-laki seayah). Maka pembagiannya seperti berikut: keponakan perempuan keturunan saudara
kandung perempuan mendapatkan setengah (1/2) bagian, keponakan perempuan keturunan dari
saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3),
keponakan laki-laki keturunan saudara perempuan seibu mendapatkan seperenam (1/6) bagian
secara fardh, dan sepupu perempuan anak dari paman kandung juga mendapatkan seperenam
(1/6) bagian sebagai 'ashabah. Hal demikian dikarenakan sama saja dengan pewaris
meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara perempuan
seibu, dan paman kandung. Inilah gambarnya:

Sdr. kand. Pr. 3/6, sdr. pr. seayah 1/6, sdr. pr. 1/6, seibu paman kand. 1/6
Begitulah cara pembagiannya, yakni dengan melihat kepada yang lebih dekat derajat kekerabatannya
kepada pewaris.
Adapun yang dijadikan dalil oleh mazhab ahlut-tanzil ini ialah riwayat yang marfu' (sampai sanadnya)
kepada Rasulullah saw.. Ketika beliau memberi hak waris kepada seorang bibi (saudara perempuan
ayah) dan bibi (saudara perempuan ibu) kebetulan saat itu tidak ada ahli waris lainnya-- maka beliau
memberi bibi (dari pihak ayah) dengan dua per tiga (2/3) bagian, dan sepertiga lagi diberikannya
kepada bibi (dari pihak ibu).
Selain itu, juga berlandaskan fatwa Ibnu Mas'ud r.a. ketika ia menerima pengaduan tentang pembagian
waris seseorang yang wafat dan meninggalkan cucu perempuan keturunan anak wanita, dan keponakan
perempuan keturunan saudara kandung perempuan. Maka Ibnu Mas'ud memberikan setengah bagian
untuk cucu perempuan dan setengah bagian lainnya untuk keponakan perempuan. Lebih jauh mazhab
ini menyatakan bahwa hadits Rasulullah saw. dan keputusan yang dilakukan Ibnu Mas'ud menunjukkan
betapa kuatnya pendapat mereka.
Adapun dalih orang-orang yang memperkuat mazhab kedua ini, yang tampak sangat logis, adalah
bahwa memberikan hak waris kepada dzawil arham tidak dibenarkan kecuali dengan berlandaskan
pada nash-nash umum --yang justru tidak memberikan rincian mengenai besarnya bagian mereka
masing-masing dan tidak ada pentarjihan secara jelas. Oleh karena itu, dengan mengembalikan kepada
pokoknya --karena memang lebih mendekatkan posisinya kepada pewaris-- jauh lebih utama dan
bahkan lebih berhak. Sebab, rincian besarnya bagian ashhabul furudh dan para 'ashabah telah
dijelaskan. Maka, sekali lagi saya tegaskan bahwa tidak ada jalan lain untuk mengenali dan
menuntaskan masalah ini kecuali dengan mengembalikan atau menisbatkannya kepada pokok ahli
waris yang lebih dekat kekerabatannya kepada pewaris.

3. Menurut Ahlul Qarabah


Adapun mazhab ketiga menyatakan bahwa hak waris para dzawil arham ditentukan dengan melihat
derajat kekerabatan mereka kepada pewaris. Hal ini, menurut mereka, dilakukan dengan
mengqiyaskannya pada hak para 'ashabah, berarti yang paling berhak di antara mereka (para 'ashabah)
adalah yang paling dekat kepada pewaris dari segi dekat dan kuatnya kekerabatan.
Sebagaimana telah diungkapkan, dalam hal melaksanakan pembagian waris untuk dzawil arham
mazhab ini membaginya secara kelompok. Dalam prakteknya sama seperti membagi hak waris para
'ashabah, yaitu melihat siapa yang paling dekat hubungan kekerabatannya dengan pewaris, kemudian
barulah yang lebih kuat di antara kerabat yang ada. Selain itu, pelaksanaannya tetap mengikuti kaidah
umum pembagian waris: bagian laki-laki adalah dua kali bagian wanita.
Mazhab ini merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib r.a. dan diikuti oleh para ulama mazhab Hanafi.
Di samping itu, mazhab ketiga ini telah mengelompokkan dan membagi dzawil arham menjadi empat
golongan, kemudian menjadikan masing-masing golongan mempunyai cabang dan keadaannya. Lebih
jauh akan dijelaskan hak masing-masing golongan dan cabang tersebut akan hak warisnya. Keempat
golongan tersebut adalah:
1. Orang-orang (ahli waris) yang bernisbat kepada pewaris.
Orang-orang yang dinisbati kekerabatan oleh pewaris.
Orang-orang yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris.
2. Orang-orang yang bernisbat kepada kedua kakek pewaris atau kedua nenek pewaris.
Yang bernisbat kepada pewaris sebagai berikut:
a. Cucu laki-laki keturunan anak perempuan, dan seterusnya, baik laki-laki ataupun perempuan.
b. Buyut laki-laki dari keturunan cucu perempuan dan keturunan anak laki-laki, dan seterusnya,
baik laki-laki ataupun perempuan.
Yang dinisbati oleh pewaris:
a. Kakek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ayah dari ibu, ayah dari ayahnya ibu (kakek
dari ibu).
b. Nenek yang bukan sahih, dan seterusnya seperti ibu dari ayahnya ibu, ibu dari ibu ayahnya ibu.
Yang bernisbat kepada kedua orang tua pewaris:
a. Keturunan saudara kandung perempuan, atau yang seayah, atau yang seibu, baik keturunan laki-
laki ataupun perempuan.
Keturunan perempuan dari saudara kandung laki-laki, atau seayah, seibu, dan seterusnya.
b. Keturunan dari saudara laki-laki seibu dan seterusnya.
Yang bernisbat kepada kedua kakek atau nenek dari pihak ayah ataupun ibu:
a. Bibi (saudara perempuan ayah) pewaris, baik bibi kandung, seayah, atau seibu. Kemudian
paman (saudara laki-laki ibu) pewaris, dan bibi (saudara perempuan ibu), dan paman (saudara
ayah) ibu.
Keturunan dari bibi (saudara perempuan ayah), keturunan dari pamannya (saudara laki-laki ibu),
keturunan bibinya (saudara perempuan ibu), keturunan paman (saudara laki-laki ayah) yang seibu, dan
seterusnya.
Bibi dari ayah pewaris, baik yang kandung, seayah, ataupun seibu. Juga semua pamannya dan bibinya
(paman dan bibi dari ayah). Juga pamannya (saudara ayah) yang seibu (mencakup semua paman dan
bibi dari ibu, baik yang kandung maupun yang seayah).
Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan itu dan seterusnya, misalnya keturunan laki-laki dan
perempuan dari bibi sang ayah.
Paman kakak yang seibu, dan juga paman nenek. Kemudian paman dan bibi --baik dari ayah maupun
ibu-- dari kakek dan nenek.
b. Seluruh keturunan kelompok yang saya sebutkan di atas (Butir e) dan seterusnya.
Itulah keenam kelompok yang bernisbat kepada kedua kakek dan kedua nenek pewaris.

Perbedaan antara Ahlut-tanzil dengan Ahlul Qarabah


Dari uraian-uraian sebelumnya, ternyata kita menemukan beberapa perbedaan yang jelas antara mazhab
ahlut-tanzil dengan ahlul qarabah:
1. Ahlut-tanzil tidak menyusun secara berurutan kelompok per kelompok, dan tidak pula
mendahulukan antara satu dari yang lain. Sedangkan ahlul qarabah menyusun secara berurutan
dan mendahulukan satu dari yang lain sebagai analogi dari 'ashabah bi nafsihi..
2. Dasar yang dianggap oleh ahlut-tanzil dalam mendahulukan satu dari yang lain adalah
"dekatnya keturunan" dengan sang ahli waris shahibul fardh atau 'ashabah. Sedangkan oleh
ahlul qarabah yang dijadikan anggapan ialah "dekatnya dengan kekerabatan", dan bagian anak
laki-laki dua kali lipat bagian kaum wanita sebagaimana yang berlaku pula dalam kalangan
ahlul 'ashabah.

Cara Pembagian Waris Menurut Ahlul Qarabah


Telah saya kemukakan bahwa ahlul qarabah ini mengelompokkan dan memberikan urutan --dalam
pembagian hak waris-- dengan mengqiyas pada jalur 'ashabah. Dengan demikian, menurut ahlul
qarabah, yang pertama kali berhak menerima waris adalah keturunan pewaris (anak, cucu, dan
seterusnya). Bila mereka tidak ada, maka pokoknya: ayah, kakek, dan seterusnya. Jika tidak ada juga,
maka barulah keturunan saudara laki-laki (keponakan). Bila mereka tidak ada, maka barulah keturunan
paman (dari pihak ayah dan ibu). Jika tidak ada, maka barulah keturunan mereka yang sederajat dengan
mereka, seperti anak perempuan dari paman kandung atau seayah. Dengan demikian, berdasarkan
urutan tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok ahli waris yang lebih awal disebutkan dapat
menggugurkan kelompok berikutnya.

D. Syarat-syarat Pemberian Hak Waris bagi Dzawil Arham


1. Tidak ada shahibul fardh. Sebab, jika ada shahibul fardh, mereka tidak sekadar mengambil
bagiannya, tetapi sisanya pun akan mereka ambil karena merupakan hak mereka secara radd.
Sedangkan kita ketahui bahwa kedudukan ahli waris secara ar-radd dalam penerimaan waris
lebih didahulukan dibandingkan dzawil arham.
2. Tidak ada penta'shib ('ashabah). Sebab 'ashabah akan mengambil seluruh hak waris yang ada,
bila ternyata tidak ada shahibul fardh. Dan bila ada shahibul fardh, maka para 'ashabah akan
menerima sisa harta waris yang ada, setelah diambil hak para shahibul fardh.
Namun, apabila shahibul fardh hanya terdiri dari suami atau istri saja, maka ia akan menerima hak
warisnya secara fardh, dan sisanya diberikan kepada dzawil arham. Sebab kedudukan hak suami atau
istri secara radd itu sesudah kedudukan dzawil arham. Dengan demikian, sisa harta waris akan
diberikan kepada dzawil arham.

Beberapa Catatan Penting:


Apabila dzawil arham (baik laki-laki maupun perempuan) seorang diri menjadi ahli waris, maka ia
akan menerima seluruh harta waris. Sedangkan jika dia berbarengan dengan salah satu dari suami atau
istri, maka ia akan menerima sisanya. Dan bila bersamaaan dengan ahli waris lain, maka pembagiannya
sebagai berikut:
1. Mengutamakan dekatnya kekerabatan. Misalnya, pewaris meninggalkan ahli waris cucu
perempuan dari keturunan anak perempuan, dengan anak cucu perempuan dari keturunan anak
perempuan, maka yang didahulukan adalah cucu perempuan dari anak perempuan. Begitu
seterusnya.
Apabila ada kesamaan pada kedekatan derajat kekerabatan, maka yang lebih berhak untuk dintamakan
adalah yang paling dekat dengan pewaris lewat shahibul fardh atau 'ashabah. Misalnya, seseorang
wafat dan meninggalkan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari
keturunan anak perempuan, maka yang lebih didahulukan adalah cucu perempuan dari keturunan anak
laki-laki.
Dalam contoh ini, tampak ada kesamaan derajat di antara kedua ahli waris, keduanya memiliki
hubungan kekerabatan dengan pewaris sama-sama sebagai cucu. Hanya saja, cucu perempuan
keturunan anak laki-laki bernasab kepada pewaris lewat ahli waris, sedangkan cucu laki-laki dari
keturunan anak perempuan melalui dzawil arham.
Apabila segi derajat dan kedekatannya kepada pewaris sama, maka haruslah mengutamakan mana yang
lebih kuat kedekatan kekerabatannya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan anak perempuan
dari saudara kandung laki-laki (yakni keponakan kandung) dengan anak perempuan dari saudara laki-
laki seayah (keponakan bukan kandung), maka dalam keadaan seperti ini kita harus mengutamakan
keponakan kandung, dan berarti seluruh harta waris menjadi haknya. Yang demikian itu disebabkan
keponakan kandung lebih kuat kekerabatannya. Begitulah seterusnya.
2. Apabila dalam suatu keadaan terjadi persamaan, maka pembagiannya dilakukan secara merata.
Artinya, semua ahli waris dari dzawil arham berhak menerima bagian. Misalnya, seseorang
wafat dan meninggalkan seorang anak perempuan dari anak paman kandung, seorang anak
perempuan dari anak paman yang lain (kandung), dan seorang anak perempuan dari anak paman
kandung yang lain. Atau dengan redaksi lain, orang yang wafat ini meninggalkan tiga putri
keturunan anak paman kandung. Maka harta warisnya dibagi secara merata di antara mereka,
karena ketiganya memiliki derajat yang sama dari segi kekerabatan.

Catatan lain
Di antara persoalan yang perlu saya kemukakan di sini ialah bahwa dalam pemberian hak waris
terhadap para dzawil arham , bagian laki-laki dua kali lebih besar bagian perempuan, seperti halnya
dalam pembagian para 'ashabah, sekalipun dzawil arham itu keturunan saudara laki-laki atau saudara
perempuan seibu.

Penutup
Itulah sekelumit mengenai hak waris para dzawil arham menurut mazhab ahlul qarabah yang
merupakan mazhab imam Ali bin Abi Thalib r.a. dan para ulama mazhab Hanafi. Pendapat ini banyak
diterapkan di sebagian negara Arab dan negara Islam lainnya.
Sebenamya, di kalangan ulama mazhab ini banyak dijumpai perbedaan tentang cara pembagian
masing-masing kelompok tadi, terutama antara Imam Abi Yusuf dan Imam Muhammad (keduanya
murid dan teman dekat Abu Hanifah, penj.). Namun, saya tidak mengemukakannya di sini sebab akan
bertele-tele dan menjenuhkan. Oleh karenanya, bagi yang menghendaki pengetahuan lebih luas dalam
masalah ini dapat merujuknya pada kitab-kitab fiqih. Selain itu, pada prinsipnya yang banyak
diamalkan adalah pandangan mazhab ahlut-tanzil sebagai mazhab Imam Ahmad, yang kemudian dianut
oleh ulama muta'akhirin mazhab Maliki dan Syafi'i ---karena dari segi pengamalannya memang lebih
mudah.

XI. HAK WARIS BANCI DAN WANITA HAMIL


A. Definisi Banci
Pengertian al-khuntsa (banci) dalam bahasa Arab diambil dari kata khanatsa berarti 'lunak' atau
'melunak'. Misalnya, khanatsa wa takhannatsa, yang berarti apabila ucapan atau cara jalan seorang laki-
laki menyerupai wanita: lembut dan melenggak-lenggok. Karenanya dalam hadits sahih dikisahkan
bahwa Rasulullah saw. bersabda:
"Allah SWT melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-
laki."

Adapun makna khanatsa menurut para fuqaha adalah orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki dan
kelamin wanita (hermaphrodit), atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali. Keadaan yang
kedua ini menurut para fuqaha dinamakan khuntsa musykil, artinya tidak ada kejelasan. Sebab, setiap
insan seharusnya mempunyai alat kelamin yang jelas, bila tidak berkelamin laki-laki berarti berkelamin
perempuan.
Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas status hukumnya sehingga ia berhak menerima
harta waris sesuai bagiannya.
Oleh karena itu, adanya dua jenis kelamin pada seseorang --atau bahkan sama sekali tidak ada--
-disebut sebagai musykil. Keadaan ini membingungkan karena tidak ada kejelasan, kendatipun dalam
keadaan tertentu kemusykilan tersebut dapat diatasi, misalnya dengan mencari tahu dari mana ia
membuang "air kecil". Bila urinenya keluar dari penis, maka ia divonis sebagai laki-laki dan
mendapatkan hak waris sebagaimana kaum laki-laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari
vagina, ia divonis sebagai wanita dan memperoleh hak waris sebagai kaum wanita. Namun, bila ia
mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan vagina) secara berbarengan, maka inilah
yang dinyatakan sebagai khuntsa munsykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.
Di samping melalui cara tersebut, dapat juga dilakukan dengan cara mengamati pertumbuhan
badannya, atau mengenali tanda-tanda khusus yang lazim sebagai pembeda antara laki-laki dengan
perempuan. Misalnya, bagaimana cara ia bermimpi dewasa (maksudnya mimpi dengan mengeluarkan
air mani, penj.), apakah ia tumbuh kumis, apakah tumbuh payudaranya, apakah ia haid atau hamil, dan
sebagainya. Bila tanda-tanda tersebut tetap tidak tampak, maka ia divonis sebagai khuntsa musykil.
Dikisahkan bahwa Amir bin adz-Dzarb dikenal sebagai seorang yang bijak pada masa jahiliah. Suatu
ketika ia dikunjungi kaumnya yang mengadukan suatu peristiwa, bahwa ada seorang wanita melahirkan
anak dengan dua jenis kelamin. Amir kemudian memvonisnya sebagai laki-laki dan perempuan.
Mendengar jawaban yang kurang memuaskan itu orang-orang Arab meninggalkannya, dan tidak
menerima vonis tersebut. Amir pun menjadi gelisah dan tidak tidur sepanjang malam karena
memikirkannya. Melihat sang majikan gelisah, budak wanita yang dimiliki Amir dan dikenal sangat
cerdik menanyakan sebab-sebab yang menggelisahkan majikannya. Akhirnya Amir memberitahukan
persoalan tersebut kepada budaknya, dan budak wanita itu berkata: "Cabutlah keputusan tadi, dan
vonislah dengan cara melihat dari mana keluar air seninya."
Amir merasa puas dengan gagasan tersebut. Maka dengan segera ia menemui kaumnya untuk
mengganti vonis yang telah dijatuhkannya. Ia berkata: "Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air
seni. Bila keluar dari penis, maka ia sebagai laki-laki; tetapi bila keluar dari vagina, ia dinyatakan
sebagai perempuan." Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi.
Ketika Islam datang, dikukuhkanlah vonis tersebut. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa
Rasulullah saw. ketika ditanya tentang hak waris seseorang yang dalam keadaan demikian, maka beliau
menjawab dengan sabdanya: "Lihatlah dari tempat keluarnya air seni."

B. Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Banci


Ada tiga pendapat yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci
musykil ini:
1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih) sedikit
bagiannya di antara keadaannya sebagai laki-laki atau wanita. Dan ini merupakan salah satu
pendapat Imam Syafi'i serta pendapat mayoritas sahabat.
Mazhab Maliki berpendapat, pemberian hak waris kepada para banci hendaklah tengah-tengah di
antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula-mula permasalahannya dibuat dalam dua keadaan,
kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua, maka hasilnya menjadi hak/bagian banci.
2. Mazhab Syafi'i berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam jumlah yang
paling sedikit. Karena pembagian seperti ini lebih meyakinkan bagi tiap-tiap ahli waris.
Sedangkan sisanya (dari harta waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing-
masing ahli waris hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap
paling rajih (kuat) di kalangan mazhab Syafi'i.

C. Hukum Banci dan Cara Pembagian Warisnya


Untuk banci --menurut pendapat yang paling rajih-- hak waris yang diberikan kepadanya hendaklah
yang paling sedikit di antara dua keadaannya --keadaan bila ia sebagai laki-laki dan sebagai wanita.
Kemudian untuk sementara sisa harta waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi
jelas, atau sampai ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris, atau sampai banci itu meninggal hingga
bagiannya berpindah kepada ahli warisnya.
Makna pemberian hak banci dengan bagian paling sedikit menurut kalangan fuqaha mawarits
mu'amalah bil adhar-- yaitu jika banci dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris
yang diberikan kepadanya adalah hak waris wanita; dan bila dinilai sebagai laki-laki dan bagiannya
ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki. Bahkan, bila ternyata dalam keadaan di antara
kedua status harus ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak mendapatkan hak waris.
Bahkan dalam mazhab Imam Syafi'i, bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur
haknya dikarenakan adanya banci dalam salah satu dari dua status (yakni sebagai laki-laki atau wanita),
maka gugurlah hak warisnya.

Beberapa Contoh Amaliah Hak Waris Banci


1. Seseorang wafat dan meninggalkan seorang anak laki-laki, seorang anak perempuan, dan
seorang anak banci. Bila anak banci ini dianggap sebagai anak laki-laki, maka pokok
masalahnya dari lima (5), sedangkan bila dianggap sebagai wanita maka pokok masalahnya
dari empat (4). Kemudian kita menyatukan (al-jami'ah) antara dua masalah, seperti dalam
masalah al-munasakhat. Bagian anak laki-laki adalah delapan (8), sedangkan bagian anak
perempuan empat (4), dan bagian anak banci lima (5). Sisa harta waris yaitu tiga (3) kita
bekukan untuk sementara hingga keadaannya secara nyata telah terbukti.

2. Seseorang wafat meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara laki-laki banci. Pokok
masalahnya dari enam (6) bila banci itu dikategorikan sebagai wanita, kemudian di-'aul-kan
menjadi delapan (8). Sedangkan bila sang banci dianggap sebagai laki-laki, maka pokok
masalahnya dari enam (6) tanpa harus di- 'aul-kan. Dan al-jami'ah (penyatuan) dari
keduanya, menjadilah pokok masalahnya dua puluh empat (24).

Sedangkan pembagiannya seperti berikut: suami sembilan (9) bagian, ibu enam (6) bagian,
saudara laki-laki banci tiga (3) bagian, dan sisanya kita bekukan. Inilah tabelnya:

6 8 6 24

Suami 1/2 Suami 1/2


3 3 9

Ibu 1/3 Ibu 1/3


2 2 6

Banci Banci kandung


3 1 4
Pada tabel tersebut sisa harta yang ada yaitu lima (5) bagian dibekukan sementara, dan akan
dibagikan kembali ketika keadaan yang sebenamya telah benar-benar jelas.

3. Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara
laki-laki seayah banci. Maka pembagiannya seperti berikut:

Bila banci ini dikategorikan sebagai laki-laki, maka pokok masalahnya dua (2), sedangkan
bila dikategorikan sebagai perempuan maka pokok masalahnya dari tujuh (7), dan
penyatuan dari keduanya menjadi empat belas (14).

Bagian suami enam (6), saudara kandung perempuan enam (6) bagian, sedangkan yang
banci tidak diberikan haknya. Adapun sisanya, yakni dua (2) bagian dibekukan. Ini
tabelnya:

2 6 7 14

Suami 1/2 Suami 1/2


1 3 6

Sdr. kdg. pr. 1/2 Sdr. kdg. pr. 1/2


1 3 6

Banci lk. Sdr. pr. seayah 1/6


- 1 -

D. Definisi Hamil
Al-hamlu (hamil) dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata hamalat. Dikatakan:
"al-mar'atu haamil ma haamilatun idsaa kaanat hublaa" (wanita itu hamil apabila ia sedang
mengandung janin).
Allah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula) ..." (al-Ahqaf: 15)

Sedangkan menurut istilah fuqaha, yaitu janin yang dikandung dalam perut ibunya, baik laki-laki
maupun perempuan.
Dalam masalah hamil ini ada beberapa hukum yang berkaitan dengan hak waris, dan pada kesempatan
ini saya hanya akan utarakan secara global. Hanya kepada Allah saya memohon pertolongan.
Pada pembahasan sebelumnya --tentang persyaratan hak waris/mewarisi-- telah saya kemukakan bahwa
salah satu syarat yang harus terpenuhi oleh ahli waris adalah keberadaannya (hidup) ketika pewaris
wafat. Dengan demikian, bagi janin yang masih di dalam kandungan ibunya belum dapat ditentukan
hak waris yang diterimanya, karena belum dapat diketahui secara pasti keadaannya, apakah bayi
tersebut akan lahir selamat atau tidak, laki-laki atau perempuan, dan satu atau kembar. Setelah bayi
tersebut lahir dalam keadaan hidup, maka kita nyatakan bahwa ahli waris dalam keadaan hidup pada
saat pewaris wafat; demikian juga jika ia lahir dalam keadaan mati, maka kita nyatakan bahwa ahli
waris tidak ada ketika pewaris wafat.
Secara ringkas dapat dikatakan, selama janin yang dikandung belum dapat diketahui dengan pasti
keadaannya, maka mustahil bagi kita untuk menentukan jumlah bagian waris yang harus diterimanya.
Karena itu, untuk mengetahui secara pasti kita harus menunggu setelah bayi itu lahir.
Namun demikian, tidak tertutup kemungkinan kita dihadapkan pada keadaan darurat --menyangkut
kemaslahatan sebagian ahli waris-- yang mengharuskan kita untuk segera membagi harta warisan
dalam bentuk awal. Setelah itu, barulah kita bagikan kepada masing-masing ahli waris secara lengkap
setelah kelahiran bayi. Berkaitan dengan hal ini, para pakar faraid menjelaskan hukum-hukum khusus
secara rinci dengan menyertakan berbagai pertimbangan demi menjaga kemaslahatan ahli waris yang
ada.

E. Syarat Hak Waris Janin dalam Kandungan


Janin dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
1. Janin tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika pewaris
wafat.
2. Bayi dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan sebagai
anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya bayi dari
dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan itu
anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun
berada dalam falkah mighzal."

Pernyataan Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah saw.. Pernyataan
ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat
tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para
ulama mazhab Hambali.
Sedangkan persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyata-nyata hidup.
Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut menangis,
bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa
ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya
dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan.
Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai
bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka
hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)

Namun, apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo
badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka
tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.

F. Keadaan Janin
Ada lima keadaan bagi janin dalam kaitannya dengan hak mewarisi. Kelima keadaan tersebut:
1. Bukan sebagai ahli waris dalam keadaan apa pun, baik janin tersebut berkelamin laki-laki
ataupun perempuan.
Sebagai ahli waris dalam keadaan memiliki kelamin (laki-laki atau perempuan), dan bukan sebagai ahli
waris dalam keadaan berkelamin ganda (banci).
Sebagai ahli waris dalam segala keadaannya baik sebagai laki-laki maupun perempuan.
Sebagai ahli waris yang tidak berbeda hak warisnya, baik sebagai laki-laki ataupun perempuan.
2. Sebagai ahli waris tunggal, atau ada ahli waris lain namun ia majhub (terhalang) hak warisnya
karena adanya janin.

Keadaan Pertama
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yangada secara langsung, tanpa harus
menunggu kelahiran janin yang ada di dalam kandungan, disebabkan janin tersebut tidak termasuk ahli
waris dalam segala kondisi.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ayah, dan ibu yang sedang hamil dari ayah tiri
pewaris. Berarti bila janin itu lahir ia menjadi saudara laki-laki seibu pewaris. Dalam keadaan demikian
berarti mahjub hak warisnya oleh adanya ayah pewaris. Karenanya harta waris yang ada hanya
dibagikan kepada istri seperempat (1/4), ibu sepertiga (1/3) dari sisa setelah diambil hak istri, dan
sisanya menjadi bagian ayah sebagai 'ashabah. Pokok masalahnya dari empat (4).

Keadaan Kedua
Seluruh harta waris yang ada dibagikan kepada ahli waris yang ada dengan menganggap bahwa janin
yang dikandung adalah salah satu dari ahli waris, namun untuk sementara bagiannya dibekukan hingga
kelahirannya. Setelah janin lahir dengan selamat, maka hak warisnya diberikan kepadanya. Namun,
bila lahir dan ternyata bukan termasuk dari ahli waris, maka harta yang dibekukan tadi dibagikan lagi
kepada ahli waris yang ada.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan istri, paman (saudara ayah), dan ipar perempuan
yang sedang hamil (istri saudara kandung laki-laki), maka pembagiannya seperti berikut: istri mendapat
seperempat (1/4), dan sisanya yang dua per tiga (2/3) dibekukan hingga janin yang ada di dalam
kandungan itu lahir. Bila yang lahir anak laki-laki, maka dialah yang berhak untuk mendapatkan sisa
harta yang dibekukan tadi. Sebab kedudukannya sebagai keponakan laki-laki (anak laki-laki keturunan
saudara kandung laki-laki), oleh karenanya ia lebih utama dibanding kedudukan paman kandung.
Namun, apabila yang lahir anak perempuan, maka sisa harta waris yang dibekukan itu menjadi hak
paman. Sebab keponakan perempuan (anak perempuan keturunan saudara laki-laki) termasuk dzawil
arham.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, tiga saudara perempuan seibu, dan istri ayah
yang sedang hamil. Pembagiannya seperti berikut: apabila istri ayah tersebut melahirkan bayi laki-laki,
berarti menjadi saudara laki-laki seayah. Maka dalam keadaan demikian ia tidak berhak mendapatkan
waris, karena tidak ada sisa dari harta waris setelah diambil para ashhabul furudh yang ada.
Namun, bila ternyata bayi tersebut perempuan, berarti ia menjadi saudara perempuan seayah, maka
dalam hal ini ia berhak mendapat bagian separo (1/2), dan pokok masalahnya dari enam (6) di-'aul-kan
menjadi sembilan (9). Setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing, kita lihat sisanya
yang menjadi bagian bayi yang masih dalam kandungan. Bila yang lahir bayi perempuan, maka sisa
bagian yang dibekukan menjadi bagiannya, namun bila ternyata laki-laki yang lahir, maka sisa harta
waris yang dibekukan tadi diberikan dan dibagikan kepada ahli waris yang ada. Tabelnya seperti
berikut:
6 9
Suami 1/2
3
Ibu 1/6
1

3 sdr. pr. seibu 1/3


1

Sdr.pr.seayah (hamil) 1/2


1
Sisanya tiga (3), untuk sementara dibekukan hingga janin telah dilahirkan.

Keadaan Ketiga
Apabila janin yang ada di dalam kandungan sebagai ahli waris dalam segala keadaannya --hanya saja
hak waris yang dimilikinya berbeda-beda (bisa laki-laki dan bisa perempuan)-- maka dalam keadaan
demikian hendaknya kita berikan dua ilustrasi, dan kita bekukan untuk janin dari bagian yang
maksimal. Sebab, boleh jadi, jika bayi itu masuk kategori laki-laki, ia akan lebih banyak memperoleh
bagian daripada bayi perempuan. Atau terkadang terjadi sebaliknya. Jadi, hendaknya kita berikan
bagian yang lebih banyak dari jumlah maksimal kedua bagiannya, dan hendaknya kita lakukan
pembagian dengan dua cara dengan memberikan bagian ahli waris yang ada lebih sedikit dari bagian-
bagian masing-masing.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ibu, dan ayah. Dalam
keadaan demikian, bila janin dikategorikan sebagai anak laki-laki, berarti kedudukannya sebagai anak
laki-laki pewaris, dan pembagiannya seperti berikut: ibu seperenam (1/6), ayah seperenam (1/6), dan
bagian istri seperdelapan (1/8), dan sisanya merupakan bagian anak laki-laki sebagai 'ashaloub.
Agar keadaan ketiga ini lebih jelas maka perlu saya kemukakan contoh tabel dalam dua kategori (laki-
laki dan perempuan).
24 24 24
Istri 1/8 Istri 1/8
3 3 3

Ayah 1/6 Ayah 'ashabah


4 5 4

Ibu 1/6 Ibu 1/6


4 4 4

Janin lk. sbg. 'ashabah Janin pr. 1/2


13 12 12
Sisanya satu (1), dibekukan.
Keadaan Keempat
Bila bagian janin dalam kandungan tidak berubah baik sebagai laki-laki maupun perempuan, maka kita
sisihkan bagian warisnya, dan kita berikan bagian para ahli waris yang ada secara sempurna.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung perempuan, saudara perempuan
seayah, dan ibu yang hamil dari ayah lain (ayah tiri pewaris). Apabila janin telah keluar dari rahim
ibunya, maka bagian warisnya tetap seperenam (1/6), baik ia laki-laki ataupun perempuan. Sebab
kedudukannya sebagai saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu dengan pewaris. Dengan
demikian, kedudukan bayi akan tetap mendapat hak waris seperenam (1/6), dalam kedua keadaannya,
baik sebagai laki-laki ataupun sebagai perempuan. Inilah tabelnya.
6 6
Sdr. kdg. pr. 1/2 Sdr. kdg. pr. 1/2
3 3

Sdr. pr. seayah 1/6 Sdr. pr. seayah 1/6


1 1

Ibu (hamil) 1/6 Ibu


1 1

(Janin) sdr. seibu 1/6 (Janin) sdr. seibu 1/6


1 1

Keadaan Kelima
Apabila tidak ada ahli waris lain selain janin yang di dalam kandungan, atau ada ahli waris lain akan
tetapi mahjub haknya karena adanya janin, maka dalam keadaan seperti ini kita tangguhkan pembagian
hak warisnya hingga tiba masa kelahiran janin tersebut. Bila janin itu lahir dengan hidup normal, maka
dialah yang akan mengambil hak warisnya, namun jika ia lahir dalam keadaan mati, maka harta waris
yang ada akan dibagikan kepada seluruh ahli waris yang berhak untuk menerimanya.
Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan menantu perempuan yang sedang hamil (istri dan
anak laki-lakinya) dan saudara laki-laki seibu. Maka janin yang masih dalam kandungan merupakan
pokok ahli waris, baik kelak lahir sebagai laki-laki atau perempuan. Karenanya, akan menggugurkan
hak waris saudara laki-laki pewaris yang seibu tadi. Sebab, bila janin tadi lahir sebagai laki-laki berarti
kedudukannya sebagai cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, dengan begitu ia akan mengambil
seluruh sisa harta waris yang ada karena ia sebagai 'ashabah. Dan bila janin tadi lahir sebagai
perempuan, maka ia sebagai cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan akan mendapat bagian
separo (1/2) harta \varis yang ada, dan sisanya akan dibagikan sebagai tambahan (ar-radd) bila ternyata
tidak ada 'ashabah.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan istri yang sedang hamil dan saudara kandung laki-laki.
Maka bagian istri adalah seperdelapan (1/8), dan saudara laki-laki tidak mendapat bagian bila janin
yang dikandung tadi laki-laki. Akan tetapi, bila bayi tersebut perempuan maka istri mendapatkan
seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan setengah (1/2) bagian, dan sisanya merupakan bagian
saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

XII HAK WARIS ORANG YANG HILANG, TENGGELAM,


DAN TERTIMBUN
A. Definisi
Al-mafqud dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna 'hilang'. Dikatakan faqadtu asy-syai'a idzaa
adha'tuhu (saya kehilangan bila tidak mengetahui di mana sesuatu itu berada). Kita juga bisa simak
firman Allah SWT berikut:
"Penyeru-penyeru itu berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya." (Yusuf: 72)

Sedangkan menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputus beritanya, dan
tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah mati.

Hukum Orang yang Hilang


Para fuqaha telah menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang hilang/menghilang,
di antaranya: istrinya tidak boleh dinikahi/dinikahkan, hartanya tidak boleh diwariskan, dan hak
kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai benar-benar diketahui keadaannya dan jelas apakah ia
masih hidup atau sudah mati. Atau telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum
-- telah mati, dan hakim pun telah memvonisnya sebagai orang yang dianggap telah mati.
Kadang-kadang bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan asalnya, hingga
benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang demikian itu
berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang wanita yang suaminya hilang dan tidak diketahui
rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan
tidak halal untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian suaminya."

B. Batas Waktu untuk Menentukan bahwa Seseorang Hilang atau Mati


Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini terutama para ulama dari mazhab yang
empat.
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa orang yang hilang dan tidak dikenal rimbanya dapat dinyatakan
sebagai orang yang sudah mati dengan melihat orang yang sebaya di wilayahnya --tempat dia tinggal.
Apabila orang-orang yang sebaya dengannya sudah tidak ada, maka ia dapat diputuskan sebagai orang
yang sudah meninggal. Dalam riwayat lain, dari Abu Hanifah, menyatakan bahwa batasnya adalah
sembilan pulah tahun (90).
Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa batasnya adalah tujuh puluh tahun (70). Hal ini
didasarkan pada lafazh hadits secara umum yang menyatakan bahwa umur umat Muhammad saw.
antara enam puluh hingga tujuh puluh tahun.
Dalam riwayat lain, dari Imam Malik, disebutkan bahwa istri dari orang yang hilang di wilayah Islam
--hingga tidak dikenal rimbanya-- dibolehkan mengajukan gugatan kepada hakim guna mencari tahu
kemungkinan-kemungkinan dan dugaan yang dapat mengenali keberadaannya atau mendapatkan
informasi secara jelas melalui sarana dan prasarana yang ada. Apabila langkah tersebut mengalami
jalan buntu, maka sang hakim memberikan batas bagi istrinya selama empat puluh tahun untuk
menunggu. Bila masa empat puluh tahun telah usai dan yang hilang belum juga diketemukan atau
dikenali rimbanya, maka mulailah ia untuk menghitung idahnya sebagaimana lazimaya istri yang
ditinggal mati suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari. Bila usai masa idahuya, maka ia
diperbolehkan untuk menikah lagi.
Sedangkan dalam mazhab Syafi'i dinyatakan bahwa batas waktu orang yang hilang adalah sembilan
puluh tahun, yakni dengan melihat umur orang-orang yang sebaya di wilayahnya. Namun, pendapat
yang paling sahih menurut anggapan Imam Syafi'i ialah bahwa batas waktu tersebut tidak dapat
ditentukan atau dipastikan. Akan tetapi, cukup dengan apa yang dianggap dan dilihat oleh hakim,
kemudian divonisnya sebagai orang yang telah mati. Karena menurut Imam Syafi'i, seorang hakim
hendaknya berijtihad kemudian memvonis bahwa orang yang hilang dan tidak lagi dikenal rimbanya
sebagai orang yang sudah mati, sesudah berlalunya waktu tertentu --kebanyakan orang tidak hidup
melebihi waktu tersebut.
Sementara itu, mazhab Hambali berpendapat bahwa bila orang yang hilang itu dalam keadaan yang
dimungkinkan kematiannya seperti jika terjadi peperangan, atau menjadi salah seorang penumpang
kapal yang tenggelam-- maka hendaknya dicari kejelasannya selama empat tahun. Apabila setelah
empat tahun belum juga diketemukan atau belum diketahui beritanya, maka hartanya boleh dibagikan
kepada ahli warisnya. Demikian juga istrinya, ia dapat menempuh masa idahnya, dan ia boleh menikah
lagi setelah masa idah yang dijalaninya selesai.
Namun, apabila hilangnya orang itu bukan dalam kemungkinan meninggal, seperti pergi untuk
berniaga, melancong, atau untuk menuntut ilmu, maka Imam Ahmad dalam hal ini memiliki dua
pendapat. Pertama, menunggu sampai diperkirakan umurnya mencapai sembilan puluh tahun Sebab
sebagian besar umur manusia tidak mencapai atau tidak melebihi sembilan puluh tahun. Kedua,
menyerahkan seluruhnya kepada ijtihad hakim. Kapan saja hakim memvonisnya, maka itulah yang
berlaku.
Menurut hemat penulis, pendapat mazhab Hambali dalam hal ini lebih rajih (lebih tepat), dan pendapat
inilah yang dipilih az-Zaila'i (ulama mazhab Hanafi) dan disepakati oleh banyak ulama lainnya. Sebab,
memang tidak tepat jika hal ini hanya disandarkan pada batas waktu tertentu, dengan alasan
berbedanya keadaan wilayah dan personel. Misalnya, orang yang hilang pada saat peperangan dan
pertempuran, atau banyak perampok dan penjahat, akan berbeda halnya dengan orang yang hilang
bukan dalam keadaan yang demikian. Karena itu, dalam hal ini ijtihad dan usaha seorang hakim sangat
berperan guna mencari kemungkinan dan tanda-tanda kuat yang dapat menuntunnya kepada vonis:
masih hidup atau sudah mati. Inilah pendapat yang lebih mendekatkan kepada wujud kemaslahatan.

C. Hak Waris Orang Hilang


Apabila seseorang wafat dan mempunyai ahli waris, dan di antara ahli warisnya ada yang hilang tidak
dikenal rimbanya, maka cara pemberian hak warisnya ada dua keadaan:
1. Ahli waris yang hilang sebagai hajib hirman bagi ahli waris yang lain.
2. Bukan sebagai hajib (penghalang) bagi ahli waris yang ada, tetapi bahkan sama berhak
mendapat waris sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yakni termasuk ashhabul fardh)
Pada keadaan pertama: seluruh harta warisan peninggalan pewaris dibekukan --tidak diberikan kepada
ahli waris-- untuk sementara hingga ahli waris yang hilang muncul atau diketahui tempatnya. Bila ahli
waris yang hilang ternyata masih hidup, maka dialah yang berhak untuk menerima atau mengambil
seluruh harta warisnya. Namun, bila ternyata hakim telah memvonisnya sebagai orang yang telah mati,
maka harta waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli waris yang ada dan masing-masing mendapatkan
sesuai dengan bagian atau fardh-nya.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan meninggalkan seorang saudara kandung laki-laki, saudara
kandung perempuan, dan anak laki-laki yang hilang. Posisi anak laki-laki dalam hal ini sebagai
"penghalang" atau hajib hirman apabila masih hidup. Karena itu, seluruh harta waris yang ada untuk
sementara dibekukan hingga anak laki-laki yang hilang telah muncul. Dan bila ternyata telah divonis
oleh hakim sebagai orang yang telah meninggal, maka barulah harta waris tadi dibagikan untuk ahli
waris yang ada.
Misal lain, seseorang wafat dan meninggalkan saudara kandung laki-laki, saudara laki-laki seayah, dan
dua saudara perempuan seayah. Posisi saudara kandung bila masih hidup adalah sebagai haiib bagi
seluruh ahli waris yang ada. Karenanya untuk sementara harta waris yang ada dibekukan hingga
hakikat keberadaannya nyata dengan jelas.
Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang ada berhak untuk menerima bagian yang paling sedikit
di antara dua keadaan orang yang hilang (sebagai ahli waris yang hidup atau yang mati, atau mirip
dengan pembagian hak waris banci). Maksudnya, bila ahli waris yang ada --siapa saja di antara
mereka-- yang dalam dua keadaan orang yang hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia
diberi hak waris secara sempurna (tanpa dikurangi atau dilebihkan, atau tanpa ada yang dibekukan).
Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang hilang
tadi (yakni keadaan hidup dan matinya), maka mereka diberi lebih sedikit di antara kedua keadaan tadi.
Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untuk mendapatkan waris dalam dua keadaan orang yang
hilang, dengan sendirinya tidak berhak untuk mendapatkan harta waris sedikit pun.
Sebagai contoh, seseorang wafat dan maninggalkan istri, ibu, saudara laki-laki seayah, dan saudara
kandung laki-laki yang hilang. Dalam keadaan demikian, bagian istri adalah seperempat (1/4), ibu
seperenam (1/6), dan sisanya (yakni yang seperenam) lagi untuk sementara dibekukan hingga ahli
waris yang hilang telah nyata benar keadaannya, atau telah divonis sebagai orang yang sudah
meninggal. Sedangkan saudara laki-laki yang sesyah tidak mendapat hak waris apa pun.
Dalam contoh tersebut, tampak ada penyatuan antara ahli waris yang tidak berbeda bagian warisnya
dalam dua keadaan orang yang hilang --yaitu bagian istri seperempat (1/4)--dengan ahli waris yang
berbeda hak warisnya di antara dua keadaan ahli waris yang hilang tadi, yaitu bagian ibu seperenam
(1/6). Sebab bila ahli waris yang hilang tadi telah divonis hakim sebagai orang yang telah meninggal,
maka ibu akan mendapat bagian sepertiga (1/3).

Contoh-contoh Kasus
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dan saudara kandung laki-laki
yang hilang, maka pembagiannya sebagai berikut:
Dalam hal ini kita harus memboat dua cara pembagian, yang pertama dalam kategori orang yang hilang
tadi masih hidup, dan yang kedua dalam kategori sudah meninggal. Kemudian kita menggunakan cara
al-jami'ah (menyatukan) kedua cara tadi. Dari sinilah kita keluarkan hak waris masing-masing,
kemudian membekukan sisanya. Tabelnya sebagai berikut:
4 7 8
Anggapan msh. hdp. Anggapan sdh. mati
2 8 6 7 56

Suami 1/2 Suami 1/2


1 4 3 24

yang dibekukan 4

Sdr. kdg. pr Sdr. kdg. pr


1 2 16

yang dibekukan 9

2/3

Sdr. kdg. pr Sdr. kdg. pr


1 1 2 16

yang dibekukan 9

Sdr. kdg. lk. hlg Sdr. kdg. lk. hlg


1 - -
Misal lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, saudara kandung, dan cucu laki-laki dari
keturunan anak laki-laki, maka bagian masing-masing ahli waris itu seperti berikut:
1 2
Anggapan msh. hdp. Anggapan sdh. mati
24 12 24

Istri 1/8 Istri 1/4


3 3 6

yang dibekukan 3

Ibu 1/6 Ibu 1/3


4 4 8

yang dibekukan 4

Sdr. lk. mahjub Sdr.lk.kdg.'ashabah


- 5 10

yang dibekukan 10

Cucu lk. (hilang) Cucu lk. (hilang)


17

Jumlah yang dibekukan 17

Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki,
saudara kandung perempuan, dan anak laki-laki yang hilang, maka bagian masing-masing seperti
berikut:
Anggapan msh. hdp. Anggapan sdh. mati
4 4 4

Suami 1/4 Suami 1/4


1 1 1

Cucu pr.dr.anak.lk. (mahjub) Cucu pr.dr.anak.lk. 1/2


- 2 2

yang dibekukan 2

Sdr.kdg.pr. (mahjub) Sdr.kdg.pr. 'ashabah 1


- 1

yang dibekukan 1

Anak lk. (hilang) Anak lk. (hilang)


3 - -
Contoh lain: seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara laki-laki seibu, anak paman kandung
(sepupu), dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Maka rincian pembagiannya seperti berikut:
Anggapan msh. hdp. Anggapan sdh. mati
8 12 24
Istri 1/8 Istri 1/4 3
1 6

yang dibekukan 3

Sdr.lk.seibu (mahjub) Sdr.lk. seibu 1/6


- 2 4

yang dibekukan 4

Sepupu. lk. 'ashabah Sepupu. lk. 'ashabah


3 7 14

yang dibekukan 5

Cucu pr. (hilang) Cucu pr. (hilang)


4 - -

yang dibekukan 12

Demikianlah beberapa contoh tentang hak waris yang di antara ahli warisnya ada yang hilang atau
belum diketahui keadaannya.

D. Hak Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun


Betapa banyak kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini. Sayangnya, sangat
sedikit di antara kita yang mau mengambil i'tibar (pelajaran). Terkadang kejadian dan musibah itu tiba-
tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal ini sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak
berdaya, bahkan sebagian manusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran
dalam menghadapinya.
Hanya orang-orang mukmin yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah, ujian, dan
cobaan, karena mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, dan berpegang teguh pada salah
satu rukunnya --yaitu iman kepada qadha dan qadar-Nya. Semua yang menimpa mereka terasa sebagai
sesuatu yang ringan, sementara lisan mereka --jika menghadapi musibah-- senantiasa mengucapkan:
"sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".
Begitulah kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadangkadang manusia tertawa dan merasa
lapang dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya. Oleh karenanya tidak ada sikap
yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah diri kepada-Nya. Perhatikan firman Allah SWT
berikut:
"... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang
yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'un.'"
(al-Baqarah: 155-156)

Bukan sesuatu yang mustahil jika dalam suatu waktu dua orang bersaudara bepergian bersama-sama
menggunakan pesawat terbang atau kapal laut, lalu mengalami kecelakaan. Atau mungkin saja terjadi
bencana alam yang mengakibatkan rumah yang mereka huni runtuh, sehingga sebagian anggota
keluarga mereka menjadi korban. Maka jika di antara mereka ada yang mempunyai keturunan, tentulah
akan muncul persoalan dalam kaitannya dengan kewarisan. Misalnya, bagaimana cara pelaksanaan
pemberian hak waris kepada masingmasing ahli waris?
Kaidah Pembagian Waris Orang yang Tenggelam dan Tertimbun
Kaidah yang berlaku dalam pembagian hak waris orang yang tenggelam dan tertimbun yaitu dengan
menentukan mana di antara mereka yang lebih dahulu meninggal. Apabila hal ini telah diketahui
dengan pasti, pembagian waris lebih mudah dilaksanakan, yakni dengan memberikan hak waris kepada
orang yang meninggal kemudian. Setelah orang kedua (yang meninggal kemudian) meninggal, maka
kepemilikan harta waris tadi berpindah kepada ahli warisnya yang berhak. Begitulah seterusnya.
Sebagai contoh, apabila dua orang bersaudara tenggelam secara bersamaan lalu yang seorang
meninggal seketika dan yang seorang lagi meninggal setelah beberapa saat kemudian, maka yang mati
kemudian inilah yang berhak menerima hak waris, sekalipun masa hidup yang kedua hanya sejenak
setelah kematian saudaranya yang pertama. Menurut ulama faraid, hal ini telah memenuhi syarat hak
mewarisi, yaitu hidupnya ahli waris pada saat kematian pewaris.
Sedangkan jika keduanya sama-sama tenggelam atau terbakar secara bersamaan kemudian mati tanpa
diketahui mana yang lebih dahulu meninggal, maka tidak ada hak waris di antara keduanya atau
mereka tidak saling mewarisi. Hal ini sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama faraidh
yang menyebutkan: "Tidak ada hak saling mewarisi bagi kedua saudara yang mati karena tenggelam
secara bersamaan, dan tidak pula bagi kedua saudara yang mati karena tertimbun reruntuhan, serta yang
meninggal seketika karena kecelakaan dan bencana lainnya."
Hal demikian, menurut para ulama, disebabkan tidak terpenuhinya salah satu persyaratan dalam
mendapatkan hak waris. Maka seluruh harta peninggalan yang ada segera dibagikan kepada ahli waris
dari kerabat yang masih hidup.
Sebagai contoh, dua orang bersaudara mati secara berbarengan. Yang satu meninggalkan istri, anak
perempuan, dan anak paman kandung (sepupu); sedangkan yang satunya lagi meninggalkan dua anak
perempuan, dan anak laki-laki paman kandung (sepupu yang pertama disebutkan). Maka
pembagiannya seperti berikut: istri mendapat seperdelapan (1/8) bagian, anak perempuan yang pertama
setengah (1/2), dan sisanya untuk bagian sepupu sebagai 'ashabah.
Adapun bagian kedua anak perempuan (dari yang kedua) adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya
merupakan bagian sepupu tadi sebagai 'ashabah.
Misal lain, suami-istri meninggal secara bersamaan dan mempunyai tiga anak laki-laki. Suami-istri itu
masing-masing mempunyai harta. Kemudian sang istri pernah mempunyai anak laki-laki dari suaminya
yang dahulu, begitupun sang suami telah mempunyai istri lain dan mempunyai anak laki-laki. Maka
pembagiannya seperti berikut:
Harta istri yang meninggal untuk anaknya, sedangkan harta suami yang meninggal seperdelapannya
(1/8) merupakan bagian istrinya yang masih hidup, dan sisanya adalah untuk anak laki-lakinya dari istri
yang masih hidup itu. Kemudian, harta ketiga anak laki-laki, seperenamnya (1/6) diberikan atau
merupakan bagian saudara laki-laki mereka yang seibu, dan sisanya merupakan bagian saudara laki-
lakinya yang seayah dengan mereka.
Pembahasan tentang hak waris-mewarisi bagi orang-orang yang mati tenggelam atau tertimbun
reruntuhan atau musibah lainnya merupakan bagian terakhir dari buku ini. Semoga apa yang saya
lakukan dapat memberikan banyak manfaat bagi para penuntut ilmu faraid, amin. Allahlah yang
memberi taufik dan petunjuk kepada kita, dan saya akhiri pembahasan ini dengan pujian kepada Rabb
semesta alam.

MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah, pengatur alam semesta, seluruh isi langit dan bumi. Dialah Yang Maha Kekal,
tidak akan rusak dan tidak akan mati, yang telah berfirman dalam Al-Qur'an:
"Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang yang ada di atasnya, dan hanya
kepada Kamilah mereka dikembalikan." (Maryam: 40)

Semoga shalawat dan salam tetap Allah anugerahkan kepada sang pembawa cahaya, perintis
kemanusiaan dan penunjuk jalan, junjungan kita Muhammad saw. Dengannyalah Allah SWT
menghilangkan kesesatan dan kegelapan, dan dengannyalah Allah mengeluarkan umat manusia dari
kegelapan kepada alam yang terang benderang.
Semoga shalawat dan salam juga Allah berikan kepada seluruh kerabatnya, para sahabatnya, dan siapa
pun yang mengikuti jejaknya.
Buku ini merupakan kumpulan materi perkuliahan untuk mata kuliah waris yang pernah saya berikan
kepada para mahasiswa Fakultas Syari'ah di Mekah al-Mukarramah. Kemudian saya tergerak untuk
mengumpulkan dan menyatukannya hingga menjadi buku dengan harapan dapat dimanfaatkan secara
lebih luas. Buku ini saya susun dengan sistematika yang sangat sederhana dan tidak bertele-tele.
Saya bermohon kepada Allah semoga buku ini dapat bermanfaat khususnya bagi para mahasiswa, dan
umumnya bagi seluruh kaum muslim yang memiliki keinginan untuk mengetahui dengan pasti
mengenai faraid (ilmu yang mengatur pembagian harta pusaka).
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar semua doa dan Maha Mampu untuk memenuhinya.
Mekah, Jumadil Akbir 1389 H
Muhammad Ali ash-Shabuni

I. AYAT-AYAT WARIS
ALLAH SWT berfirman
"Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu,
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika
anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan
untuk dua orang ibu-bapak bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan,
jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang
meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)
sesudah dibayar utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini
adalah ketetapan dari Allah. SesungguhnyaAllah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
(an-Nisa': 11)

"Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika
mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang
mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para istri memperoleh seperempat harta
yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka
para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi
wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati,
baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan
anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara
perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam
harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu
dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah
dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan
yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Penyantun." (an-Nisa': 12)

"Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: 'Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meningal dunia, dan ia tidak mempunyai
anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu
seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai
(seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara
perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan
oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara laki-laki dan
perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara
perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu." (an-Nisa': 176)

You might also like