You are on page 1of 6

MAKALAH TUGAS KEPARIWISATAAN

”KERATON KASULTANAN YOGYAKARTA”

Disusun Oleh:
Aditya Bagaskara (01)
Aninda Pratiwi (03)
Arvinda Yuli Kristanti (05)
Daisyta Mega Sari (06)
Rio Bagos (27)
Rizal Nur Cholis (28)

Kelas XI IPS 2
SMA N 11 YOGYAKARTA
Kata Pengantar

Assalammu’alaiku wa rahmatullahi wa barakatuh,

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala karena


atas berkat dan rahmat-Nya, akhirnya kami berhasil menyelesaikan
makalah sederhana tentang “Keraton Kasultanan Yogyakartai” ini yang
juga kami buat sebagai tugas mata pelajaran Kepariwisataan. Semoga
makalah sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita.

Seperti yang telah kita ketahui bersama, bahwa Keraton Kasultanan


Yogyakarta ini termasuk sebagai salah satu objek wisata baik bagi para
wisatawan asing maupun domestik. Hal ini tentunya sangat berpengaruh
bagi dunia kepariwisataan pda masa sekarang ini. Seiring dengan
berkembangnya era globalisasi, banyak pula objek wisata yang telah
bersifat modern dan meninggalkan budaya asalnya. Namun, dengan adanya
Keraton Kasultanan Yogyakarta ini dapat memberikan banyak dampak
positif bagi masyarakat lokal untuk tetap melestarikan budaya daerah, serta
turut s serta mengenalkan kepada masyarakat luas begitu juga kepada
masyarakat di seluruh dunia tentang sejarah, filosofi, beserta kesenian atau
kebudayaan daerah Yogyakarta, khususnya.
Sesuai dengan kompetensi dasar, maka materi yang akan diuraikan
dalam makalah ini meliputi:
Sejarah Keraton Kasultanan Yogyakarta
Filosofi Keraton Kasultananan Yogyakarta
Kesenian Keraton Kasultanan Yogyakarta, dan juga
Denah Keraton Kasultanan Yogyakarta (dilihat dari kota Yogyakarta)
Maka, kami berusaha semaksimal mungkin untuk membuat makalah ini
menjadi jelas, lengkap, dan mudah untuk dipahami dalam mempelajari
dunia kepariwisataan khususnya Keraton Kasultanan Yogyakarta.

Akhir kata, tiada gading yang tak retak, demikian pula dengan makalah
ini, masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun tetap kami nantikan demi kesempurnaan karya tulis kami.

Wassalammu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.

Yogyakarta, September 2008

Penulis
A. Sejarah Keraton Kasultanan Yogyakarta
K
eraton Kesultanan Yogyakarta didirikan pada tahun 1756 M oleh Pangeran Mangkubumi,
yang kemudian bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pendirian Keraton yang
sekaligus menandai berdirinya Kota Yogyakarta ini diabadikan dengan ornamen simbolik
berupa candrasengkala berbunyi ”Dwi Naga Rasa Tunggal”, yang bermakna angka tahun
1682 Jawa. Ornamen berupa 2 ekor naga saling berlilitan ini, terdapat di pintu gerbang
atau Regol Kemagangan dan Regol Gadhung Mlati yang berada di dalam Keraton
Kasultanan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengku Buwono Idikenal sebagai arsitek yang banyak membangun
karya arsitektur megah. Selain Keraton Kasultanan, Sultan juga membangun
Pesanggrahan Tamansari, Benteng Vredeburg serta Tugu Pal Putih yang menjadi simbol
Kota Yogyakarta. Bahkan, bangunan Keraton KasunananSurakarta pun merupakan karya
arsitektur hasil rancangannya. Karya terbesar Sultan adalah landscape Kota Yogyakarta
yang berorientasi pada poros magis Pantai Selatan, Panggung Krapyak, Keraton, Tugu
Pal Putih, dan Gunung Merapi, dan berada di antara aliran 2 sungai, Sungai Code dan
Sungai Winogo. Konon, kedua sungai ini sempat dibelokkan arahnya untuk memberikan
ruang yang memadai untuk pembangunan Keraton berikut bentengnya. Letak Keraton
secara geografis digambarkan dalam sebuah tembang Mijil:

Kali Nanga pancingkok ing puri, Gunung Gamping kulon, Hardi Mrapi ler wetan
prenahe,

Candi Jonggrang mangungkang ing kali,

Palered Magiri, Girilaya Kidul.

Kota-kota kerajaan di Jawa pada umumnya memiliki empat komponen utama, yang
dikenal sebagai konsep Catur Gatra Tunggal atau empat komponen dalam satu kesatuan.
Komponen-komponen itu adalah Keraton, Masjid, Alun-alun, dan Pasar. Di yogyakarta
semua komponen itu masih terpelihara lestari dan menjadi bagian aktivitas kehidupan
warganya.
Sebagai situs pusaka budaya, Keraton Kasultanan Yogyakarta
masih mempertahankan dan melestarikan sebagian besar bentuk dan
fungsi bangunannya. Menelusuri halaman-halaman Keraton dengan
mengenali berbagai bentuk dan fungsi bangunannya adalah salah
satu cara untuk memahami sebuah tradisi budaya yang sudah
berlangsung selama dua setengah abad lamanya.

B. Filosofi Keraton Kasultanan Yogyakarta


Menurut filosofi Jawa, Keraton Yogyakarta adalah pusat dunia/pusat jagad
karena berada di lokasi yang strategis dengan diapit dua sungai. Selain itu, letaknya yang
berada di tengah-tengah antara Gunung Merapi dan laut selatan juga menambah
kesakralan dari Keraton Yogyakarta. Keberadaan dari Keraton, Tugu Yogyakarta,
Gunung Merapi dan Pantai Parangtritis yang berada di satu garis dari utara ke selatan
adalah juga simbol bahwa keberadaan keraton ini berada di satu kesatuan yang akan
menjadi kekuatan untuk mendampingi dan membimbing Sultan untuk menjalankan
pemerintahan.
Tata ruang dasar kota tua Yogyakarta berporoskan garis lurus Tugu, Keraton, dan
Panggung Krapyak serta diapit oleh S. Winogo di sisi barat dan S. Code di sisi timur.
Jalan P. Mangkubumi (dulu Margotomo), jalan Malioboro (dulu Maliyoboro), dan jalan
Jend. A. Yani (dulu Margomulyo) merupakan sebuah boulevard lurus dari tugu menuju
Keraton. Jalan D.I. Pandjaitan (dulu Ngadinegaran) merupakan sebuah jalan yang
luruskeluar dari Keraton melalui Plengkung Nirboyo menuju Panggung Krapyak.
Pengamatan citra satelit memperlihatkan Tugu,Keraton, dan Panggung Krapyak
berikut jalan yang menghubungkannya tersebut hampir segaris (hanya meleset beberapa
derajat). Tata ruang tersebut mengandung makna ”sangkan paraning dumadi” yaitu asal
mula manusia dan tujuan asasi terakhirnya.
Dari Panggung Krapyak menuju ke Keraton (Komplek Kedaton) menunjukkan
”sangkan” asal mula penciptaan manusia sampai manusia tersebut dewasa. Ini dapat
dilihat dari kampung sekitar Panggung Krapyak yang diberi nama kampung Mijen
(berasal dari kata ”wiji” yang artinya benih). Di sepanjang jalan D.I.Pandjaitan ditanami
pohon asam dan tanjung yang melambangkan masa kanak-kanak menuju remaja. Dari
Tugu menuju Keraton (Komplek Kedaton) menunjukkan ”paran” tujuan akhir manusia
yaitu menghadap penciptanya. Tujuh gerbang dari Gladhag sampai Donopratopo
melambangkan tujuh langkah/gerbang menuju surga (seven steps to heaven).
Tugu golong gilig (Tugu Yogyakarta) yang menjadi batas utara kota tua menjadi
simbl ”manunggaling” kawulo gusti” bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig).
Simbol ini juga dapat dilihat dari simbol mistis yaitu persatuan antara Khalik (Sang
Pencipta) dan makhluk. Sri Manganti berarti Raja sedang menanti atau menanti sang
Raja.
Pintu Gerbang Danupratopo berarti ”seseorang yang baik selalu memberikan
kepada orang lain dengan sukarela dan mampu menghilangkan hawa nafsu”. Dua
patung raksasa Dwarapala yang terdapat di samping gerbang, yang satu Balabuta,
menggambarkan kejahatan dan yang lain, Cinkarabala, menggambarkan kebaikan. Hal
ini berarti ”Anda harus dapat membedakan, mana yang baik dan mana yang jahat.”
Beberapa pohon yang ada di halaman komplek Keraton juga mengandung makna
tertentu. Pohon Beringin di Alun-alun Utara berjumlah 64 (atau 63) melambangkan usia
Nabi Muhammad. Dua pohon beringin di Alun-alun Utara menjadi lambang
makrokosmos (K. Dewodaru, Dewo=Tuahn) dan mikrokosmos (K. Janadaru,
jana=manusia). Selain itu, ada yang mengartikan Dewodaru adalah persatuan antara
Sultan dan Pencipta, sedangkan Janadaru adalah persatuan antara Sultan dan rakyatnya.
Pohon gayam bermakna ”ayem” (damai,tenang,bahagia)maupun ”gayuh” (cita-cita). Dan
pohon sawo kecik bermakna ”sarwo becik” (keadaan serba baik, penuh kebaikan).
C. Kesenian di Keraton Yogyakarta
Kesenian yang terkenal dan sering dipertunjukkan di lingkungan Keraton antara
lain adalah tari-tarian, wayang kulit, wayang orang, dan gamelan.
Tarian yang masih sering dipertunjukkan oleh Keraton adalah tari
Serimpi dan tari Bedoyo. Tari Serimpi dimainkan oleh dua pasang gadis
dan selalu dimainkan pada saat upacara perkawinan. Tari Bedoyo
dimainkan oleh delapan gadis.
Kesenian wayang kulit dapat dikatakan sebagai jiwa
dari orang Jawa. Cerita Hindu Ramayana dan Mahabarata tercermin
pada corak kehidupan klasik masyarakat Jawa. Semua karakter
wayang digerakkan oleh Dalang.
Koleksi gamelan dimiliki oleh Keraton meliputi berbagai jenis, seperti
Gamelan Sekati (Kyai Gunturmadi-Nagawilaga), Gamelan Monggang
(Kyai Kebonanggang), Gamelan Slendro-Pelog (Kyai Siratmadu-
Madukentir, Kyai Surak-Kancilbelik, Kyai Harjamulya-Harjanegara), dan lain-lain.
Semuanya berjumlah 18 perangkat (pangkon), tersebar di beberapatempat, Bangsal Sri
Maganti, Gedhong Gangsa, dan Pracimasana.
Terdapat pula berbagai macam upacara adat di Keraton, daiantaranya adalah:
1. Brokohan: upacara kelahiran bayi, sesaji yang disediakan yaitu dawet, gula jawa
(satu tangkep), kelapa, dan kembang setaman.
2. Selapanan: upacara pemberian nama pada bayi yang baru lahir, upacara itu
diadakan pada hari ke 35 setelah kelahirannya.
3. Tedhak siten: upacara yang diperuntukkan bagi bayi yang berusia 5-6 pada saat
pertama kali turun ke tanah (kekahan).
4. Tetesan: upacara khitanan untuk putri Raja yang berusia 8 tahun.
5. Tarapan: upacara inisiasi haid pertama bagi anak perempuan. Busana yang
dikenakan terdiri dari nyamping cindeh, lonthong kamus bludiran, udhet cindhe,
slepe, gelang kana, sangsangan sungsun, subang, dan cincin.

You might also like