OLEH : NAMA : ASIAH RATU SESMA NIM : 2009 161 306.P KELAS : 4B DOSEN PENGASUH : HERMAWATI, M.Sn
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI SENDRATASIK UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG 2010 PRINSIP – PRINSIP SENI
DAN GAMBARAN KREATIFNYA
Konsep Seni berubh dari masa ke masa ; bangsa- bangsa
yang berbeda, masa – masa yang tidak sama, demikian juga sekolah – sekolah yang berlainan pada suatu waktu dan tempat, memiliki pemikirn yang berbeda tentang apa seni itu, dan oleh karena itu ada berbagai pendapat yang berbeda tentang apa yang diebut seni dan apa yang yang bukan seni ; dan akibatnya tak ada yang bisa mengatakan, sekaligus maupun yang mencakup keseluruhannya.
Konsep seni selengkap-lengkapnya dalam praktik adalah
- “apa yang rupa – rupanya diasumsikan oleh para seniman”- tidaklah beragam dari masa ke masa dan dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Dengan demikian semua seni itu merupakan ciptaan “bentuk ekspresi”, atau perwujudan bentuk yang mengekspresikan perasaan insani. Definisi ini berlaku untuk “venuses”yang bersahaja dan Venus dari Milo serta “Bird” karya Brancus, juga Masmur tentang Daud dan “Fair Daffodils”nya Herrick serta Ulysses karya Joyce, juga pada Sakuntala, dan tartuffle dan The Emperor Jones serta The Play’s The Thing, dan pada lukisan – lukisan goa yang terkenal, maupun potret – potret santun yang dilukis oleh Reynold dan Sargent, serta myanyian nenek moyang di kuil, musik gendang Afrika, Mozart, dan Warner.
Definisi seni memiliki makna yang luas, sekalipun
demikian definisi yang luas ini meniadakan beberapa hal yang kerap kali oleh para teoritikus telah dimasukkan dalam kategori “karya seni”. Irwin Edman mendefinisikan seni sebagai “ wilayah seluruh perlakuan pembatasan materi, perlakuan praktika atau lain-lainnya.” Ia tentunya berada pada kelompok yang baik; Plato berbicara tentang katering, pembuatan sepatu, dan obat-obatan sebagai “seni” dan menyebutkan kegiatan ekonomi sebagai “seni bayar – membayar”. Namun ucapan Plato tersebut mengandung kata yang secara jelas dipahami dalam dua pengertian. Bila Aristoteles menggolongkan Seni sebagai “utuh” dan “tidak Utuh”, ia beranggapan, perbedaan yang kita buat dengan istilah yang terasa kagok yaitu “seni mumi”, adalah seni yang ia maksud diatas, walaupun demikuan, Edman secara eksplisit mengingkari perbedaan tersebut. Ia berkata dalam Art and the man,” semata-mata karena alasan yang kebetulan bahwa seni murni dipilih menjadi satu-satunyayang mirip dengan seni (semua macam seni). Karena pada seni lukis dan patung, musik serat puisi, ada yang sedemikian baik sert terungkap dalam pemanfatan materi – materinya. Sehingga kita kembali pada contoh- contoh seni diatas karena seni dan yang ada didalamnya didapatkan pengalaman estetis yang lebih interns dan murni.
Seni adalah perihal keterampilan, namun untuk suatu
tujuan yang khusus: yang menciptakan bentuk ekspresi –secara visual, auditif, atau bisa juga bentuknya dirasakan secara citrawi menyajikan sifat-sifat dasar perasaan insani.
Konsepsi seni sebagai kreasi dari bentuk ekspresi yang
menyampaikan cita perasaan (atau apa yang kadang-kadang disebut “kehidupan batiniah”, “realitas subjectif”, “kesadaran”, ada banyak yng ditunjukkan untuk itu) adalah sesuatu yang konstan, tetapi perwujudan bentuknya begitu beragam sehingga hanya sedikit saja orang yang menyadari betapa banyak faktor dalam sejarah dan dalam kehidupan dewasa ini, secara kebetulan keadaannya berlaku.
Faktor- faktor perubahan tersebut adalah sebagai
berikut :
1. Cita yang ingin diekspresikan seniman;
2. Penemuan gambaran kreasi artistiknya; 3. Kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan fisik dan budayanya; dan 4. Tanggapan masyarakat.
Faktor yang pertama adalah faktor yang sangat penting
karen makna seni adalah perasaan dan emosi yang bisa dicitrakan, eksitensi subjektifnya bisa dicitrakan. Lalu kemudian penciptaan bentuk ekspresinya yang dapat dirasakan adalah suatu Prinsip seni, namun penggunan penggambarannya tidak menjadi soal betapapun pentingnya, merupakan prinsip kreasi seni. Aristoteles dalam Poetics; ia memiliki pengertian yang mendasar dan jelas dari prinsip – prinsip yang ada pada drama Yunani yang tersusun. Ia bisa pula melihat adanya suatu kesejajaran yang hampir nyata antara struktur dramatik dan struktur epik; didalam epik seseorang dapat menemukan semua bentuk – bentuknya yang khas (lirik, pastoral, ode, dan sebagainya) secara sambil lalu. Aristoteles tentang kreasi puisi dari yang diajukan Poe dalam ceramahnya yang terkenal “The poetic Principle” “sebuah sajak”, katanya “sepantasnya diberi judul lantaran membangkitkan gairah, dengan peningkatan kegairahannya. Namun semua yang membangkitakn gairah tersebut, melewati kebutuhan psikisnya, bersifat sementara. Teori normatif yang ketiga sepertinya muncul sevara alami dalam benak kita, karena walaupun teori ini muncul lebih kemudian dari karangan Poe, ini menyajikan salah satudari norma-norma Poe yang itu – itu saja, yang menentangnya sebagai sesuatu yang memalukan, yaitu pada sifat-sifat puisi dari Matthew Arnold. Arnold telah menyimpulkan dalam satu baris konsepsi puisinya, “sebagai kritik kehidupan dengan syarat-syarat perbaikan bagi semacam kritik dalam kaidah kebenaran dan keindahan puitis,”. Kritik tentang kehidupan ; sesungguhnya sangat bertentangan dengan pernyataan Poe: “saya akan membatasi secara singkat, bahwa puisi kata itu adalah Kreasi keindahan yang ritmis. Arnold dan kebanyakan orang tidak berurusan dengan definisi yang tak berujung pangkal: sekalipun begitu ia mendefinisikan puisisebagai kritik akan kehidupan yang dikontrolkan dengan kaidah kebenaran dan keindahan puitik. Apakah “sifat puitis” itu hanya dapat dirasakan secara langsung, Aritoteles menyebutkan bahwa Homer memahami kaidah kaidah serta komposisi organik dengan instink nya dan sebenarnya dengan cara yang sama ia melampaui ssemua penyair yang lain. Dan ditempat lain ia berkata bahwa yang paling hebat dalam puisi adalah “pokok metaforanya” yang tidak dapat dipelajari dari orang lain karena intuisi logisnya yang berbelit-belit. MENGENAI Poe, ia secara eksplisit berkata bahawa persepsi keindahan merupakan kemampuan tersendiri yang disebutnya “selera”. Serata kadang-kadang disebut sebagai “perasaan Puitis” dan digambarkan sebagai instink abadi, yang telah memebrikan dunianya “sedemikian rupa, untuk dapat dimungkinkannya sekaligus untuk mengerti dan untuk merasakannya sebagai puitis” Kata “selera” merupakan bagian yang cukup rawan. Ada pepatah lama yang mengatakan “De Gustibus non disputandum” telah memantapkan adanya keyakinan yang kuat bahwa keindahan itu awalnya adalah apa yang memuaskan selera dan sepertinya keindahan adalah nilai artistik, semacam nilai yang tergantung pada selera, persis seperti nilai kopi dn kembang gula; dan atas dasari ini tentunya nampak, sperti snobisme yang murni menyebabkan adanya selera atas beberapa hal menjadi lebih penting daripada kebanyakan hal-yaitu menjadikan apapun kecuali selera yang paling populer adalah ukuran seni yang baik. Louis Arnaud Reid dalam karangannya yang berjudul A Study in Aesthetics (1931) mengatakan : “keindahan itu tepatnya adalah masalah ekspresi” atas dasar itulah “seni adalah kreasi bentuk ekspresi dari perasaan insani”. Lalu kemudian apa yang menuntun citra seseorang dalam menggambar atau menggoreskan suatu garis, ataupun dalam menetapkan perbandingan pada sebuah bangunan kandang ayam atau perencanaan saebuah kuil, atau penggunaan kata kata untuk menciptakan citra dari suatu peritiwa (yang mungkin akan terjadidalam fikiran, atau ungkapan yang penuh gairah) adalah intuisi. Namun pemahaman yang menuntutnya tidaklah berada dalam motifnya sendiri untuk mewujudkan bentuk ekspresinya. Motif yang ada biasanya telah dipenuhi oleh kepentingan kepentingan yang lain. Ini membawa kita pada faktor perubahan ketiga pada kehidupan seni : yaitu kesempatan yang ditawarkan pada seniman oleh lingkungan budaya dan alamnya. Akhirnya, marilah kita coba untuk tidak mengabaikan adanya kenyataan, bahwa kebanyakan seni itu dibuat tanpa menunggu suatu peritiwa; yang setiap kali citranya berlanjut dalam karya. Kesempatan yang baik bagi seni puisi dewasa ini benar- benar muncul dengan adanya buku-buku cetakan serta penyelenggaraan baca puisi yang dikenal merata. Seniman umunya oportunis, seperti orang lain yang sibuk dengan urusannnya sendiri, namun dorongan artistiknya bisa disadarkan dan memotivasi karya itu sendiri. Meskipun begitu, adanya kenyataan bahwa mereka kerap kali tidak sadar, dan yang prinsip-prinsip artistiknya dikenal dan digunakan secara intuitif, sementara cita dialogi senimannya mengalihkan dirinya sendiri pada arah yang sungguh berbeda, nampak bagi saya menyebabkan adanya kenyataan, bahwa sebagaian besar seniman telah kerapkali memikirkan bahwa yang sedang mereka lakukan adalah hal – hal yang sangat ganjil. Faktor – faktor yang berubah di dalam seni termasuk semua prinsip-prinsip konstruksi, dan kemungkinan cara pemahamannya yang menuntun penggunaanya adalah begitu banyak sehingga mereka menawarkan bidang studi yang hampir-hampir tidak terbatas. Komentar : Dari sekian banyak materi pembahasan tentang Prinsip – prinsip Seni dan Gambaran Kreatifnya, saya akan sedikit mengomentari hal tentang keindahan menurut Louis Arnaud Reid dalam karangannya yang berjudul A Study in Aesthetics (1931) ia mengatakan : “keindahan itu tepatnya adalah masalah ekspresi” atas dasar itulah “seni adalah kreasi bentuk ekspresi dari perasaan insani”. Dari yang dikatakan oleh Louis Arnaud Reid tersebut dapat dimaknai bahwa seni hanya terbatas pada kreasi bentuk ekspresi dari perasaan insani, namun dewasa ini makna ini sudah banyak bergeser tanpa disadari seniman. Karya seni kenyataannya jarang lagi menggunakan intuisi dari seorang seniman melainkan berdasarkan permintaan ataupun tuntutan dari menikmat seni. Sehingga seniman tidak memakai intuisinya dalam menghasilkan karya seni ciptaanya. Faktor yang mempengaruhinya yaitu kesempatan yang ditawarkan oleh lingkungan budaya dan alamnya. Sehingga sedikit merubah pemikiran seniman untuk mengikuti permintaan dan mengabaikan intuisnya sebagai seniman.