You are on page 1of 19

Muslim Negarawan dan Krisis

Kepemimpinan Nasional
Posted by: muslimnegarawan on: November 22, 2008

• In: Artikel
• Comment!

Oleh : Ngatifudin Firdaus*

Salah satu krisis besar yang melanda bangsa ini adalah kehilangan sosok pemimpin besar.
Rahim-rahim wanita Indonesia semakin minim melahirkan para pemimpin untuk bangsa ini.
Krisis kepemimpinan inilah yang menjadikan permasalahan bangsa ini semakin akut. Bayangkan
saja bangsa Indonesia sudah mengalami krisis sejak tahun 1998 namun sampai sekarang belum
ada perubahan yang berarti. Bandingkan dengan Thailand, Malaysia ataupun Singapura yang
sudah mengatasi krisis yang dialami sejak bebrapa tahun yang lalu.

Rangkaian masalah-masalah yang menimpa bangsa ini sebenarnya adalah akumulasi dari
berbagai hal. Krisis multidimensi yang pernah melanda sebenarnya adalah hasil dari proses
hitam yang dilakukan oleh sebuah rezim kala itu. Mematikan upaya pendidikan politik serta
membunuh benih-benih pemimpin adalah cara-cara kotor yang dilakukan oleh rezim pada
masaitu. Terbukti hingga hari ini, bangsa ini kehilangan orang-orang besar yang mampu
membawa kepada kebangkitan.

Kalau kita Flash Back pada masa lalu kita akan terlihat sekali upaya sistematis dari rezim kala itu
untuk mematikan setiap potensi kepemimpinan yang akan muncul. Sikap represif terhadap setiap
pengkritik mrupakan salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk menghambat
pertumbuhan calon-calon pemimpin. Sikap kritis merupakan salah satu ciri seorang pemimpin.
Selain itu kebijakan NKK/BKK yang diterapkan kepada Perguruan Tinggi adalah bukti nyata
bahwa pemerintah saat itu tidak menginginkan munculnya calon-calon pemimpin yang
berkualitas karena nantinya dapat menjadi amcaman begi mereka.
Kalau melihat kondisi saat ini sebenarnya ada sedikit perbaikan.

Namun tetap saja sistem pendidikan yang dipakai tidak mendukung untuk terbentuk calon-calon
pemimpin yang berkualitas. Sistem pendidikan yang dipakai di Indonesia masih berkiblat pada
Barat yang tentunya berpaham materialistik. Indikator yang dipakai dalam menentukan berhasil
atau tidaknya pendidkan yang telah dilakukan hanya pada aspek-aspek ilmiah saja. Seseorang
dikatakan telah berhasil apabila sudah menguasai ilmu tertentu walaupun secara moral masih
rusak. Akhlaq bukan menjadi indikator utama melainkan hanya sebagai formalitas belaka. Maka
tidaklah heran di Indonesia ini banyak orang pandai tetapi sedikit sekali orang yang bermoral.
Selain itu sikap-sikap seorang pemimpin tidak akan didapatkan dalam sistem pendidikan kita.

Oleh karena itulah dibutuhkan alternatif sistem untuk mengatasi permasalahan krisis
kepemimpinan ini. Salah satu sistem yang paling mendukung adalah sistem kaderisasi yang
diterapkan oleh organisasi-organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra kampus. Kaderisasi
kepemimpinan inilah yang diharapkan menjadi sarana penggemblengan untuk menghasilkan
calon-calon pemimpin yang tepat untuk Negara ini. Pertanyaannya adalah apakah selama ini pola
kaderisasi yang diterapkan oleh organisasi mahasiswa yang sekarang ada sudah berhasil
menghasilkan calon pemimpin bangsa yang berkualitas? atau hanya sekedar menghasilkan
kader-kader yang pragmatis.

Dilandasi oleh parmasalahan itulah KAMMI membentuk suatu orientasi kaderisasi yang berbasis
kepada kebutuhan Negara ini. Muslim Negarawan merupakan orientasi kaderisasi yang
diharapkan membentuk calon-calon pemimpin yang tepat bagi bangsa ini. Selain itu juga untuk
mengisi pos-pos birokrasi dan semua lini dalam kehidupan bangsa yang selama ini diisi oleh
orang-orang yang salah. Muslim Negarawan adalah kader KAMMI yang memiliki basis ideologi
Islam yang mengakar, basis pengetahun dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten,
berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat
komponen bangsa pada upaya perbaikan.Untuk menunjang itu semua maka dirumuskan enam
kompetensi kritis yang harus dimiliki oleh kader-kader KAMMI yaitu pengetahuan ke-Islam-an,
kredibilitas moral, wawasan ke-Indonesia-an, kepakaran dan profesionalisme, kepemimpinan
serta diplomasi dan jaringan. Dengan dua hal tersebut diatas serta didukung dengan perangkat-
perangkat kaderisasi yang ada maka diharapkan siistem kaderisasi KAMMI dapat menjadi solusi
bagi krisis kepemimpinan yang sedang menimpa bangsa ini. Muslim Negarawan tidak akan
dicapai dalam waktu yang singkat. Selain itu Muslim Negarawan juga bukan hanya sekedar
jargon ataupun simbol tetapi sebuah bentuk dari keprihatinan KAMMI terhadap kondisi bangsa
saat ini..

Waktu yang akan membuktikan apakah Muslim Negarwan ini mampu menjadi solusi pemimpin
masa depan Negara ini. Wallahu’alam

* Ketua Umum KAMMI Daerah Bandung

MUSLIM NEGARAWAN: WACANA ATAU IMPIAN?


9 07 2007
Prolog : Dahulu kala di negeri antah berantah, ada seorang Arab yang ingin mengunjungi
temannya di suatu kota yang sangat jauh letaknya dari kota si orang Arab. Orang Arab ini
sangat amat miskin. Ia bahkan terlalu miskin untuk menempuh sebagian saja dari perjalanan
yang pastinya memakan biaya besar. Akhirnya ia memutuskan untuk berjalan kaki menuju kota
sang teman.
Perjalanan ini memakan waktu berminggu-minggu karena ia harus melintas padang pasir, naik
turun gunung dan menyeberang beberapa sungai. Akhirnya, dengan kaki yang melepuh dan
badan yang sangat letih, sampailah juga ia ke rumah sang teman. Sambutan hangat, rindu
bercampur dengan rasa heran sang teman. “Bagaimana kau dapat menempuh perjalanan
sejauh ini?” Si orang Arab memberinya jawaban sederhana “Aku memulainya.” (unknown
author)

Kisah datar ini memberikan inspirasi yang sangat kuat bagi penulis untuk berpikir tentang
manifestasi konsep Muslim Negarawan. Konsep yang sangat ideal. Secara teori mampu menjadi
solusi bagi degradasi moral yang tidak pandang bulu melanda semua kalangan (contoh kasus:
DPR Gate dan PNS Gate).
Namun jika hal ini coba dikomparasikan dengan kualitas kader KAMMI sekarang, wajar jika
penulis lebih memilih opsi ragu demi melihat realita yang ada. Maka dari itu cerita diatas
seharusnya menjadi inspirator besar bagi kader-kader KAMMI untuk mulai mewujudkan konsep
tersebut. Ibda’ binafsik begitu kata pepatah.
Memang diskursus seputar Muslim negarawan saat ini menjadi primadona dalam wacana
internal KAMMI. Dari satu bahasan ke bahasan lainnya tidak jauh-jauh dari membicarakan topik
ini. Yah butuh waktu yang sangat panjang untuk menginternalisasikan nilai-nilai muslim
negarawan pada jiwa-jiwa kader. Dari sekedar wacana teoritis menjadi sebuah aplikasi praktis.
Sampai kapan? Entah setahun, dua tahun atau bertahun-tahun nilai tersebut memanusia dalam
diri kader.
Dalam Risalah Kaderisasi Manhaj 1427 H KAMMI, dinyatakan bahwa Kader KAMMI harus
mempunyai 39 citra kader yang merupakan kualitas khas. Subhanallah 39! Belum lagi kader
harus memenuhi kompetensi dasar kader KAMMI sebanyak 65 point. Apalagi (lagi) genap
disempurnakan dengan Grand Design Manhaj Kaderisasi 1427 H dengan profil Muslim
Negarawan. Tidak perlu ditulis. Kita bayangkan saja bersama. Selintas bayangan Insan Syamil
Mutakamil Jiddan pun tergambar dalam benak penulis. Pesimis? Tentu tidak. Hanya sekedar
penyentil sebagai tanda peringatan bagi orang yang melamun agar kakinya tetap berpijak di bumi
meskipun pemikirannya melangit.
Dalam Grand Design dijabarkan mengenai siapa yang dimaksud dengan Muslim Negarwan.
Muslim Negarawan adalah kader KAMMI yang memiliki basis ideologi Islam yang mengakar,
basis pengetahuan dan pemikiran yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada
pemecahan problematik umat dan bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada
upaya perbaikan. Dan ini semua ada dalam koridor Islam? Mari kita telaah bersama…
Memiliki basis ideologi – Warning!! Ideologi bukan sekedar pengetahuan – Islam yang
mengakar.
Apa yang mesti dilakukan kader KAMMI untuk mewujudkan pondasi pertama ini? Tentu saja
penanaman aqidah yang lurus, sehingga terbentuknya kesadaran dan kefahaman bahwa Islam
adalah way of life dan value of life yang menginternal. Bukan hanya sekedar simbol. Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah sejauh mana usaha yang telah dilakukan kader KAMMI untuk
memenuhi unsur ini? Terlalu dangkal rasanya jika hanya cukup mengandalkan MK (Madrasah
KAMMI) dan mendapat materi Ma’rifatullah saja. Kita kalkulasi bersama. Seberapa sering
durasi kajian aqidah dan manhaj diadakan? Lalu bagaimana dengan minat kader untuk
mendatanginya?
Memiliki basis pengetahuan dan pemikiran – tentunya Islam – yang mapan.
Merujuk unsur ini, maka semua buku-buku ke-Islaman merupakan kewajiban yang bersifat
fardhu ‘ain bagi kader. Referensi lain hanya bersifat sebagai pendukung saja. Tapi rupanya
kondisi sekarang sudah terbalik. Buku ke-Islaman harus cukup puas hanya dijadikan sebagai
pelengkap jika dibutuhkan sementara wacana yang menjadi trend di kalangan kader adalah yang
berbau kekiri-kirian. Bahkan sampai muncul opini bahwa KAMMI itu sebenarnya adalah kanan
yang kekiri-kirian atau kiri yang kekanan-kananan? Bisa jadi Syndrom Ashabus Syimal mulai
menyerang KAMMI.
Apakah hal ini salah? Atau tidak boleh? Tentu saja tidak salah. Justru bagus, untuk memperluas
cara pandang dan pengetahuan apalgi yang berkaitan dengan pola pemikiran dan gerakan lawan.
Tetapi ironis ketika kader belum mengkhatamkan Shiroh Nabawiyah, Tarikh Islam, Shiroh
Tabi’in, Kitab Fiqh, Kitab Tajwid plus tahsin, dan buku-pergerakan dan pemikiran Islam, tetapi
sudah tergoda untuk mencicipi buku-buku ashabus syimal sebagai referensi diskusi dan tulisan,
atau bahkan mulai dijadikan dasar pemikiran.
Tidak heran makanya ketika ada seorang kader yang begitu fasih menyebutkan pemikiran
Machiaveli, Adam Smith dan pemikir western lainnya tapi kelu saat harus menceritakan shiroh
Nabi dan shohabat, terlebih lagi menyebutkan pemikiran Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh,
dan sejumlah pemikir Islam lainnya.
Ironis juga rasanya melihat kader yang begitu lancar berdialektika dan beretorika dalam diskusi
dan orasi tapi seret dan tersendat-sendat saat tilawah. Lalu bagaimana misi KAMMI untuk
membentuk masyarakat Robbani bisa diwujudkan lah wong bakal generasi Robbani-nya jauh
panggang dari api. Bukankah Al Qur’an yang agung dengan sempurna telah menjelaskan kepada
kita siapa sebenarnya generasi Rabbani itu? Generasi Rabbani adalah yang mempelajari dan
mengajarkan Al Qur’an (QS 3:79). Bisa dibayangkan dengan tilawah yang masih terbata-bata,
dan mengkhatamkan sekali per bulan saja belum tentu wal’iyadz billah. Nastaghfirullah… (kalau
ini autokritik). Belum lagi kewajiban menghafal. Barangkali kita masuk kategori “Juz ‘ammanya
pun bolong sana-sini” (penggalan nasyid Gondes).

Idealis dan konsisten


Sebuah keniscayaan bahwa mahasiswa harus idealis. Mau jadi apa bangsa jika mahasiswanya
tidak idealis? Apalagi KAMMI yang genah-genah meletakkan Islam sebagai solusi permasalahan
harus senatiasa idealis, berjiwa heroik/dinamis dan senantiasa bermujahadah untuk konsisten.
Aneh rasanya melihat ada kader KAMMI kok melankolis, terkena VMJ atau sekarang yang
sedang ngetrend HTS. KAMMI terlalu banyak pekerjaan daripada hanya sekedar mengurusi hal-
hal yang yang tidak bermutu seperti itu. Hmm…, Muslim Negarawan rasanya terlalu jauh.
Berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa
Amal adalah bentuk implementasi dari iman. Dalam QS 9:105 dikatakan “Dan katakanlah,
beramallah kalian, maka Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin akan melihat amal kalian.”
Ketika kader berkontribusi pada masyarakat maka ia harus merupakan part of solution bukan
malah menjadi part of problem. Bukankah khoirunnas anfauhum linnas?
Menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan
Memfungsikan diri sebagai perekat, maka menjadi suatu keharusan bagi kader KAMMI untuk
masuk ke dalam berbagai lapisan masyarakat. Lepas dari baju ke-ekslusifan dan mulai
mengupayakan sebuah formula yang bagus dan efektif untuk merambah kalangan Gepeng dan
orang-orang pinggiran. Tidak hanya terpaku pada kalangan intelektual saja. Pastinya kita semua
mahfum siapa yang selama ini mampu menggerakkan arus bawah dengan mengangkat isu buruh,
HAM dan tema-tema sejenis lainnya.

Menjadi tugas agung bagi KAMMI, tentu saja Bidang Kaderisasi khususnya agar mampu
menginternalisasikan Muslim Negarawan pada pribadi kader. Ini merupakan – meminjam istilah
Anis Matta – Proyek Peradaban KAMMI. Saat ini yang harus diperbuat KAMMI adalah
LAKUKAN seperti apa kata orang Arab pada prolog diatas. Bukan hanya terpaku seputar
wacana saja. Ala kulli hal, semoga dengan melahirkan kader-kader Muslim Negarawan KAMMI
mampu menjawab tantangan Fayaz Aziz dalam bukunya Dicari! Pemimpin Peradaban Dunia.
Semoga tulisan ini bukanlah wujud kepesimisan tapi lebih sebagai sebuah harapan. Allahu a’lam.
Written By Helen

Oleh : AryantoAbidin
Kebijakan Publik KAMMI Daerah Sulsel

Dalam risalah kaderisasi manhaj 1427 H yang dirumuskankan oleh tim kaderisasi KAMMI
pusat, ada beberapa poin penting yang menjadi titik tekan dalam mendesain kader KAMMI.
Point penting tersebut adalah KAMMI mampu menciptakn kader yang berorientasi pada profil
muslim negarawan. Profil muslim negarawan dalam definisi risalah kaderisasi adalah kader
KAMMI yang memiliki basis idiologi islam yang mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran
yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan bangsa
serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan.

Dalam pandangan saya, profil muslim negarawan merupakan sebuah konsep ideal yang coba
ditawarkan sebagai solusi atas krisis kepemimpinan yang terjadi selama ini. Oleh karenanya,
profil muslim negarawan harus di praksiskan (diimplementasikan) secara ”radikal” di tingkatan
kader. Oleh karenanya, seorang kader KAMMI harus mampu menyesuaikan diri dengan konsep
tersebut, bahkan wajib hukumnya. Lalu perangkat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang
kader KAMMI dalam rangka mencapai tujuan tersebut?. Pertanyaan ini menarik untuk
dimunculkan dalam kepala kita. Tentu saja ketika kita mencoba membumikan profil muslim
negarawan tersebut, tentu kita harus punya modal untuk menuju ke arah tersebut.

Menurut saya, ada beberapa poin yang harus dimiliki oleh kader KAMMI untuk
mengejawantahkan profil muslim negarawan tersebut. Yang pertama adalah intelectual capital
atau modal intelektual, kedua spiritualitas sosial dan ketiga adalah peran KAMMI dalam politik
kampus dalam hal ini adalah keterlibatan kader dalam lembaga intra kampus. Oleh karenanya
tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang ketiga poin penting terebut.

Modal Intelektual
Salah satu modal terbesar yang harus-bahkan wajib-dimiliki oleh generasi muda termasuk kader
KAMMI adalah modal intelektual (intelectual capital). Untuk mengejawantahkan profil muslim
negarawan, maka kader KAMMI harus memiliki intelektual yang mapan. Tapi sebelumnya, rasa-
rasanya kita harus menyatukan pemahaman kita tentang makna intelektual. Karena kalau tidak
seperti itu, maka akan muncul multi pretasi atas itu, sehinga pemaknaan terhadap intelektual
akan bias. Untuk itu, pertanggungjawaban secara epistemologi (tentang bagaimana cara
mendapatkan pengetahuan) adalah mutlak hukumnya.

Jalaludin Rahmat mendefinisikan intelektual sebagai gabungan dari ilmuwan, teknokrat dan
moralis. Ilmuwan adalah orang yang bergelut dengan data dan gagasan analitis. Teknokrat adalah
orang yang bergelut dalam penerapan paktis, sedangkan moralis adalah orang yang berjuang
untuk menegakan dan menyebarakan gagasan normatif. Oleh karenanya, kalau kita mengacu
pada definisi tersebut, maka ketiga variabel tersebut harus dimiliki oleh kader KAMMI.
Sehingga KAMMI sebagai organisasi kader (harokatut tajnid) dan organisasi pergerakan
(harokatut amal) mampu menjadikan kadernya sebagai bangunan yang kokoh karena kemapanan
intelektualnya.

Dari uraian di atas, muncul pertanyaan, kenapa harus modal intelektual?. Jelas. Modal intelektual
mutlak dimiliki oleh anak bangsa sebagai perangkat untuk membaca dan menganalisa fenomena
yang terjadi di sekitarnya. Semakin banyak mengkaji wacana-wacana sosial maka akan semakin
peka dan semakin tinggi pembacaannya tentang kondisi kebangsaan yang terjadi hari ini.

Kadang-kadang kita mendikotomikan (memisahkan) bahwa wacana-wacana sosial hanyalah


milik segelintir orang yang bergelut dengan ilmu-ilmu sosial. Sehingga merekalah yang menjadi
pengguna yang sah atas ilmu tersebut. Padahal, ilmu-ilmu sosial merupakan perangkat analisa
yang paling tepat dalam menganalisa fenomena sosial yang terjadi di masyarakat kita. Di sisi
lain, ada ”pengkafiran” terhadap terhadap buku-buku tertentu, lantaran diangap ke-kiri-an atau
ke- kanan-an atau ekstrimlah. Bukankah ilmu adalah sesuatu yang bebas nilai?. Kenapa kita
takut bersentuhan dengan buku-buku yang terlanjur kita anggap sebagai buku ”kiri”. Walaupun
sebenanya saya tidak sepakat dengan pengelompokan seperti itu. Ada banyak alasan atau
justifikasi untuk tidak bersentuhan dengan buku yang terlanjur diangap kiri tersebut.

Alasan sederananya adalah takut terpengaruh oleh doktrin buku tersebut. Penulis berpendapat,
kalau demikian keadaannya, maka sebaiknya orientasi membaca buku itu yang perlu kita
luruskan. Jangan bukunya yang kita kafirkan atau dianggap kiri. Dalam pahaman penulis, tujuan
membaca buku adalah untuk menambah referensi tentang bacaan kita bukan untuk mengambil
mentah-mentah apa yang diajarkan atau doktrin buku tersebut. Pola pikir seperti ini harus
diruntuhan dalam alam pemikiran kader KAMMI, agar tidak ketinggalan dari kader-kader dari
elemen gerakan lain.

KAMMI dan Politik Kampus


Tidak bisa dipungkiri, bahwa kampus adalah tempat bersemayamnya cadangan pemimpin masa
depan bangsa. Sejarah telah membuktikan bahwa tokoh-tokoh besar dan berpengaruh pernah
digembleng di kampus. Soekarno-Hatta misalnya. Kedua tokoh ini menjadi founding father
bangsa ini dan menjadi tokoh sentral dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa indonesia.
Kampus sebagai miniatur suatu negara, menjadi tempat yang layak, karena di dalamnya terjadi
proses kaderisasi untuk menyemai benih-benih pemimpin bangsa.

KAMMI sebagai organisasi yang berbasis ekstra kampus harus mampu memanfaantkan potensi
ini. Untuk memainkan peran itu, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh KAMMI dalam
mengoptimalkan perannya di ranah politik kampus. Pertama, penguatan kaderisasi. Pembentukan
kader yang memiliki kualitas intelektual dan kepahaman sisah (politik) serta pengetahuan
organisasi yang mapan mutlak dilakukan dilakoni oleh KAMMI. Proses kaderisasi tidak lagi
terfokus atau bermain pada wilayah mushallah, sudah saatnya kaderisasi siyasah diserahkan
sepenuhnya kepada KAMMI.

Sebagai sebuah organisasi siasah, tentunya KAMMI harus mempertegas posisinya serta lebih
cerdas memainkan perannya dalam hal keterlibatanya pada tataran kebijakan kampus. Untuk itu,
penguatan basis kader adalah syarat mutlak untuk terlibat politik kampus termasuk dalam hal
keterlibatannya di struktur lembaga kemahasiswaan. Di lingkup Sulsel atau boleh dibilang
indonesia bagian timur ecara umum, bahwa penguatan kader di tingkat cultur (di fakultas) masih
belum optimal bahkan minim dari segi kuantitas. Maka jangan heran bila kader KAMMI selalu
dipersepsikan sebagai kader mushallah tulen.

Sehingga, ketika ada kepentingan yang ingin digolkan, tak jarang terjadi pertarungan wacana
antara kelompok yang anti mushalla. Bisa jadi, konflik tersebut dipicu karena style yang kita
bawa sangat eksklusif sehingga komunikasi tidak terbangun dengan kuat. Dalam bahasa
sederhananya adalah dakwah masih bersifat tertutup yakni masih berkutat pada mushallah dan
sejenisnya. Tyidak ada maksud untuk menjauhkan kader KAMMI dari rahim asalnya. Penulis
sadar betul, bahwa KAMMI lahir dari rahim masjid kampus. Namun sangat disayangkan untuk
kondisi sekarang ini, kita masih terlena pada wilayah tersebut. Sekarang, sudah saatnya KAMMI
hengkang dari mushallah dan berkonsentrasi secara total di wilayah siyasa untuk membangun
basis yang kuat di tingkat lembaga kemahasiswaan. Biarkanlah mereka yang diberi amanah
mengurus mushollah untuk mengawalnya. Sehingga akhirnya nanti hubungan yang terbangun
adalah hubungan koordinasi dan saling menguatkan.

Kedua, terlibat dalam struktur lembaga internal kemahasiswaan. Hal ini perlu, mengingat
kebutuhan dakwah kampus sebahagian besar sangat ditentukan oleh kebijakan-kebijakan yang
sifatnya birokratis atau berasal dari struktur kelembagaan. Oleh karenanya, membangun
komunikasi yang baik dan intens dengan tokoh-tokoh mahasiswa dan penentu kebijkan ditingkat
lembaga kemahasiswaan adalah suatu keharusan.

Ketiga, membangun komunikasi dan membuka jaringan dengan pihak pengambil kebijakan di
tingkat fakultas dan universitas. Dan yang tak kalah pentingnya juga adalah membangun
komunikasi dengan perangkat kampus yang lainnya seperti unit kegiatan mahasiswa (UKM) dan
penerbit kampus maupun radio kampus. Hal ini perlu, mengingat misi dakwah lewat jalur
siyasah yang kita bawa tersebat dengan cepat dan diterima oleh semua elemen kampus.

Keempat, membangun ketokohan. Disadari atau tidak, ketokohan merupakan suatu hal penting
yang dapat mempengaruhi tingkat penerimaan terhadap suatu oraganiasi yang representasikan.
Sehingga pencitraan terhadap oraganisasi yang diwakilinya juga akan semakin bagus. KAMMI
pun harus meakukan hal yang serupa. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk memunculkan
ketokohan. Misalnya melalui forum diskusi, bedah buku, seminar dan menyampaikan gagasan
sert ide-ide cerdas melalui media, baik di tingkat kampus maupun media massa atau bila perlu
dengan menulis dan menerbitkan buku.

Spiritualitas Sosial
Salah satu perdebatan yang menggairahkan dikalangan aktivis dakwah adalah bagaimana
mengejawantahkan nila-nilai ke-Tuhan-an dalam diri kita atau disebut dengan kesalehan pribadi.
Selama ini, orientasi dakwah hanya berkutat pada upaya mewujudkan kesalehan pribadi bukan
pada kesaehan social. Maka jangan heran, kalo ada kelompok dakwah yang mengklaim
merekalah yang paling benar. Kondisi ini sangat rentan dengan konflik internal. Misbah Sohim
Haris menegaskan bahwa makna dakwah yang lebih luas adalah upaya untuk menciptakan
sebuah komunitas yang meniti dan memegangi kebenaran dan kebaikan. Jadi, tujuan dakwah
yang paling tinggi adalah terciptanya sebuah tatanan masyarakat yang baik, indah, tinggi dan
luhur atau dalam terminologinya Fazlur Rahman disebut sebagai sebuah masyarakat yang imani
dan menjujung tinggi nilai kemanusiaan. Masyarakat yang bertauhid, egaliter dan berkeadilan.

Dalam apaya mewujudkan profil muslim negarawan maka kader KAMMI harus mampu
mendorong kearah terciptanya pribadi yang memiliki kesalehan sosial. Kesalehan sosial
merupakan modal utama dalam tataran praksisnya (proses implementasinya). Bukankah seorang
yang beriman adalah orang yang paling kritis terhadap situasi dan kondisi sosialnya?. Sehingga
ia dapat berbuat sesuatu untuk kondisi sosialnya dan berbuat sesuatu untuk mengubah kondsi
buruk menjadi kondisi yang kondusif sehingga dapat menjamin kehidupan bersama.

Dalam pandangan penulis modal intelektual, kampus dan spiritualitas sosial adalah pilar utama
dalam upaya mendorong ke arah profil muslim negarawan. Modal intelektual adalah perangkat
keras sebagai salah satu prasyarat untuk mendorong ke arah terwujudnya profil muslim
negarawan. Kampus adalah perangkat pendukung dalam menciptakan dan menumbuhkan modal
intelektual. Proses di kampus sifatnya temporal atau sementara.

Sedangkan spiritualitas sosial adalah kemestian yang harus dimiliki dalam rangka membumikan
nilai-nilai ketuhanan dalam suatu masyarakat. Proses yang berlangsung di dalam masyarakat
bersifat kontemporer. Oleh karenanya KAMMI sebagai organisasi kader (harokatut tajnid) dan
organisasi pergerakan (harokatut amal) harus mampu mengkondisikan kadernya untuk memiliki
ketiga pilar tersebut. Sebab kalau tidak, maka KAMMI tidak akan mampu melahirkan tokoh
yang mengakar. Kemudian lambat laun KAMMI mati secara mengenaskan .
Wallahulambishowaab.

Penulis beralamat di:


http//: aryantoabidin.blogspot.com
email: akh_arya81@yahoo.co.id, aryanto@eramuslim.com
IM : al_akh_mbojo81@yahoo.com
Ponsel: 081342 390 706 (aryanto81)

Tag: artikel

Oleh: Mochammad Iqbal*

Jargon sentral yang diusung KAMMI di seluruh nusantara yaitu Muslim


Negarawan. Banyak pendapat serta tanggapan dari kader-kader KAMMI terkait dengan jargon
tersebut. Jargon ini ada yang menanggapinya sebagai suatu konsep Nasionalisme versi KAMMI,
salah satunya adalah ketua KAMMI Komsat UM, akh Roni Utomo. Muslim Negarawan ini
dianggap sebagai kristalisasi konsep kenegaraan yang ditawarkan KAMMI untuk Bangsa
Indonesia.

Cita-cita bangsa Indonesia yang luhur perlu dikawal dan diluruskan, dengan apa? Tentu
saja dengan tawaran solusi Islam yang telah diusung oleh KAMMI.

Yang kedua, jargon Muslim Negarawan ini diartikan sebagai perwujudan salah satu visi
KAMMI yaitu untuk mencetak pemimpin-pemimpin masa depan. Yah.., kita sama-sama telah
memahami bagaimana pentingnya berdakwah, khusunya berdakwah melalui kepemimpinan,
yaitu kepemimpinan yang dipegang dan dikelola oleh kader dakwah, demi menegakkan amar
ma’ruf nahi munkar. Sebagaimana tertulis pada salah satu paradigma gerakan KAMMI yaitu;
Solusi Islam adalah tawaran perjuangan KAMMI.

OK, sekarang ada satu pertanyaan besar yang harus dijawab oleh KAMMI, yaitu; Sejak
dilahirkan pada 1998, seberapa jauh KAMMI telah mewujudkan salah satu visinya ini? (sebelum
antum melanjutkan membaca tulian ini, stop disini dulu, coba antum jawab dengan pemikiran
antum sendiri pertanyaan diatas!)

Pertanyaan tersebut pernah ana lontarkan kepada ketua KAMMI pusat, akh Taufik, jawaban
beliau cukup diplomatis, beliau mengatakan bahwa jika visi tersebut sudah dicapai tentunya
KAMMI akan merumuskan visi yang baru, dengan kata lain salah satu visi KAMMI ini belum
tercapai.

Memang kalau sekarang kita saksikan, coba saja cari pemimpin-pemimpin nasional atau
paling tidak tingkat regional yang merupakan kader KAMMI, kalaupun ada jumlahnya sedikit.,
berbeda ketika kita bandingkan dengan TNI yang acap kali kader-kadernya muncul sebagai
pemimpin bangsa ini. Atau paling tidak bandingkan dengan saudara kita sesama organisasi
pergerakan mahasiswa, HMI, PMII ataupun GMNI -yang memang lebih tua dari KAMMI-
kader-kader mereka sudah banyak yang tampil sebagai pemimpin-pemimpin bangsa ini.

Seharusnya ini dapat menjadi tambahan motivasi bagi kader-kader KAMMI untuk
kemudian serius mengembangkan kapasitas diri demi mewujudkan visi tersebut. Kader-kader
KAMMI harus berpandangan jauh kedepan sebagai calon pemimpin-pemimpin masa depan
bangsa ini. Kader KAMMI jangan sampai hanya menganggapnya angan-angan di langit yang
susah untuk dicapai atau sekedar iming-iming buat para kader baru. Visi ini sangat realistis dan
sangat mungkin untuk dicapai oleh kader KAMMI, bahkan oleh SETIAP KADER KAMMI !.

Sistem pengkaderan serta iklim keorganisasian di KAMMI sangat kompeten dalam


mencetak kader-kader sebagai calon pemimpin masa depan bangsa ini, ditambah lagi satu
kelebihan yang utama jika dibandingkan dengan organisasi pergerakan mahasiswa lainnya, yaitu
filosofi ketuhanan dan spirit jihadnya.

Satu lagi yang sangat penting dalam mendukung cita-cita besar ini, yaitu latihan !.
Latihan sangat penting dalam menciptakan suatu kompetensi tertentu. Seperti seorang yang
belajar mengemudikan mobil, tidak cukup hanya sekedar teori atau buku tutorial saja, perlu
latihan secara teratur dan bertahap untuk dapat lihai menguasai teknik mengemudikan mobil.
Seorang pemimpin besar juga perlu latihan, latihan secara teratur dan bertahap. Mulai dari
memimpin kelompok-kelompok kecil sampai organisasi besar, sebelum akhirnya dapat
memimpin bangsa ini.

Di KAMMI sebagaimana organisasi-organisasi pengkaderan lainnya, latihan-latihan


tersebut telah dibiasakan sejak awal, mulai dari seorang ketua panitia kegiatan, ketua
departemen, ketua komisariat, KAMDA dan seterusnya. Namun semua ini belum cukup, latihan
menghadapi dunia luar (luar organisasi), sangatlah penting dalam sisi lain pengembangan
kapasitas diri kader. Dalam konteks KAMMI, dapat dikatakan dunia luar tersebut adalah dunia
kampus, lengkap dengan adanya OMEK-OMEK lain selain KAMMI, serta orang-orang ‘netral’
di sana. Sebagai calon pemimpin, kader-kader KAMMI harus berani dan mampu berbenturan
(berbenturan disini, bukan hanya bermakna kontra saja, tetapi juga berhubungan, bekerjasama
dan berkompetisi, meskipun dimungkinkan juga untuk kontra atau terjadinya konflik).

Hal ini sangat perlu guna menempa kompetensi kader dalam memimpin. Kampus
merupakan ladang yang sempurna sebagai ajang latihan, disana ibarat meniatur negara. Apalagi
KAMMI sebagai OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus), disinilah fungsi dakwah yang
harus diperankan oleh kader KAMMI. OMEK, termasuk di dalamnya KAMMI, sebagai lembaga
aspiratif ekstra kampus, yang nota bene memiliki kaderisasi dan pewacanaan lebih, sangat
dibutuhkan demi dinamisasi gerakan mahasiswa di kampus-kampus, tak terkecuali di UM
tercinta.

Alfa Camp, 16/01/’08

* Penulis adalah Kadep Kastrat KAMMI UM, 2007/2008

Muslim Negarawan sebagai Model Pemimpin Bangsa


Masa Depan

September 24, 2007 oleh bizesha

(Salah satu artikel dalam penugasan DM 2 KAMMI Daerah Surabaya)

Segala yang terjadi, dimulai dengan khayalan. Segala yang kita capai, dimulai dengan angan-
angan di pikiran. Tidak ada batas bagi imajinasi. Khalayan kita tidak bisa dibatasi realitas fisik,
kesulitan keuangan, rasa takut, penolakan, dan apa saja. Bayangkanlah masa depan, dan biarkan
diri kita melaju dengannya. Tinggalkan segala kendala dan tampilkan apa yang ingin kita
jalankan. Sesuatu yang kita inginkan akan dimulai dari tangan-tangan kita sendiri. Ciptakanlah
angan-angan terbaik dan mulai bertindak untuk mewujudkannya.

Membincangkan angan-angan, KAMMI juga punya impian besar. Saat ini, Muslim Negarawan
menjadi sebuah wacana yang termasuk dalam box office papan atas di kalangan internal
KAMMI. Mulai dari pusat, KAMMI Daerah, hingga Komisariat pernah mendengar wacana
mengenai Muslim Negarawan. Meskipun sayup-sayup, wacana ini telah sampai juga dan akan
menjadi topik hangat dalam beberapa waktu ke depan. Topik ini dianggap menjadi konsep ideal
bagi seorang kader KAMMI, sehingga topik lain pun pembicaraannya tidak jauh dari topik
Muslim Negarawan. Mungkin saat ini hanya teori saja. Namun, dari sekadar wacana yang
bersifat teori, diharapkan Muslim Negarawan dapat diapliaksikan pada diri setiap kader.
Pertanyaannya adalah kapan?

Jika menilik kembali filosofi gerakan yang dimiliki KAMMI, sangat relevan dan memungkinkan
jika seorang Muslim Negarawanlah yang akan mewujudkan filosofi tersebut. Maka Muslim
Negarawan tidak hanya menjadi solusi atas kemerosotan moral di berbagai bidang, tetapi juga
dapat dijadikan sebagai konsep untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa masa depan.
Muslim Negarawan jelas merupakan model yang ideal sebagai karakter seorang pemimpin masa
depan. Sekali lagi kapankah hal itu akan terwujud? Atau siapkah kita mewujudkannya?

Sepertinya kita perlu merenungi sebuah kisah orang Arab di sebuah negri. Suatu ketika sang
Arab ini hendak pergi ke tempat saudaranya yang letaknya amat jauh. Dia bukanlah orang yang
berpunya bahkan untuk biaya transportasi saja. Akhirnya dia putuskan untuk berjalan saja.
Berminggu-minggu dia habiskan diperjalanan. Mendaki bukit, menuruni lembah bersama
panasnya gurun kala siang dan kejamnya dingin kala malam. Dengan kaki yang melepuh dan
tubuh yang lunglai akhirnya dia pun sampai pada temannya. Rasa heran pun langsung terlintas di
raut wajah temannya. Dia pun menanyakan bagaimana si Arab ini bisa sampai dengan berjalan
kaki. Si orang Arab memberinya jawaban sederhana “Aku memulainya.”

Sudah saatnya KAMMI memualainya, sudah waktunya nilai-nilai Muslim Negrawawan


terinjeksi ke dalam jiwa setiap kader KAMMI. Bukan saatnya lagi untuk berwacana, sudah
saatnya untuk menjadi seperti orang arab tersebut dan menuju pemimpin peradaban masa depan.
Tetaplah bergerak maju sekalipun lambat karena dalam pergerakan kita, kita menciptakan
kemajuan. Bukankah lebih baik bergerak maju, sekalipun pelan daripada tidak bergerak sama
sekali. Satu langkah kecil demi satu langkah kecil asalkan tidak berhenti adalah cukup, karena
kita masih memiliki hari esok dan masih ingin bergerak maju dan bukan berhenti. InsyaAllah
akan ada nilai-nilai Musim Negarawan pada diri seorang pemimpin kita ataupun kita memiliki
pemimpin yang berjiwa Muslim Negarawan.

Hal inilah yang akan menjadi sebuah gerakan masa depan bagi KAMMI. Memfokuskan diri pada
tujuan sebenarnya adalah lebih penting dan lebih efisien dalam mencapainya. Untuk mencapai
cita-cita besar KAMMI yang tertuang dalam sebuah visi besar diperlukan sebuah gerakan yang
mengarah kepada hal tersebut. Sebuah gerakan yang memfokuskan diri dalam pencapaiannya.
Sebuah gerakan yang tidak akan pernah berakhir dalam mencetak seorang insan Muslim
Negarawan sebagai benih dan akan menjadi karakter dari seorang pemimpin peradaban masa
depan.

Secara terperinci, model gerakan KAMMI yang diharapkan di masa depan adalah gerakan yang
lebih bertumpu pada kaderisasi. Gerakan bagaimana menanamkan nilai-nilai Muslim Negarawan
kepada setiap kader. Gerakan yang akan menempatkan kader pada lini-lini strategis. Gerakan
yang bertujuan akhir memiliki pemimpin berjiwa Muslim Negarawan di lini-lini strategis
tersebut.

Jika kita telaah bersama. Terdapat kesesuaian antara filosofi sebuah gerakan KAMMI dan grand
design tentang siapa Muslim Negarawan. Hal yang diharapkan adalah bagaimana sebuah misi
dijadikan patokan dalam bertindak untuk mencapai sebuah grand design Muslim Negarawan
yang diinginkan. Adapun unsur-unsur dalam Muslim Negarawan yang menjadi tujuan
diantaranya adalah Memiliki Basis Ideologi Islam yang Mengakar, hal yang perlu ditanamkan
secara mendalam tentu saja aqidah. Dengan aqidah yang lurus maka akan terbentuk kepahaman
bahwa Islam adalah jalan hidup kita. Selain itu aqidah juga merupakan pondasi bagi amalan-
amalan diatasnya. Namun, saat ini tidak cukup jika kita mengandalkan MK (Madrasah KAMMI)
saja karena selama ini hal ini kurang berjalan dengan baik. Belum lagi intensitas kajian aqidah
yang kurang dan rendahnya minat kader sendiri untuk mendatanginya. Oleh karena itu butuh
suatu pembelajaran yang berkualitas dan yang terpenting adalah rutinitas secara konstan bagi
kader KAMMI. Bukankah ini juga sesuai dengan misi KAMMI yang pertama.

Memiliki Basis Pengetahuan dan Pemikiran yang Mapan, perlu adanya sebuah gerakan cinta
buku dan diskusi dalam diri KAMMI. Hendaknya kader tidak hanya mempelajari agama saja
atau sebaliknya wacana-wacana saja yang cenderung kekirian. Buku-buku keislaman harus
diwajubkan bagi setiap kader dan perbanyak forum diskusi sehingga akan terbentuk kader yang
mempunyai pengetahuan luas, pemikiran kritis, namun masih alam koridor Islam. Dan
sebenarnya hal ini sudah tercantum dalam misi kedua, yaitu menggali, mengembangkan, dan
memantapkan potensi dakwah, intelektual, sosial, dan poltik mahasiswa.

Unsur ketiga adalah Idealis dan Konsisten. Idealis dalam hal ini adalah meletakkan Islam
sebagai solusi semua permasalahan. Seorang kader KAMMI memang dituntut untuk idealis.
Selain itu kader KAMMI juga dituntut untuk bergerak dinamis, yang dapat huga berarti
konsisten dalam menjaga keidealismeannya. Bukankah KAMMi juga memilki jargon “KAMMI
bergerak taktis, dinamis, strategis mendobrak pola pikir apatis.” Suatu jargon yang
keberadaannya mulai dilupakan. Tidak bisa tidak, idealisme harus betul-betul ditanamkan pada
setiap kader dan jangan lupa, harus berjalan secara konsisten walaupun perlahan.

Berbicara mengenai apatis, seorang Muslim Negarawan juga dituntut untuk memiliki unsur
keempat, yaitu Berkotribusi pada Pemecahan Permasalahan Umat dan Bangsa. Bagi kader
yang memahami betul misi KAMMI yang ketiga akan ada sebuah kecocokan disini. Seorang
kader dituntut untuk menjadi bagian dari solusi permasalahan, bukan bagian dari permasalahan
itu sendiri. Dengan kontribusi yang mencerahkan bukan tidak mungkin akan tercipta misi yang
ketiga. Sudah selayaknyalah manusia KAMMI dididik mulai dini untuk dapat berkontribusi
ditengah masyarakat.

Menjadi Perekat Komponen Bangsa sebagai Upaya Perbaikan. Inilah yang diingkan misi
KAMMI yang keempat. Terjalin dan terpeliharanya sebuah komunikasi, solidaritas, dan
kerjasama yang baik dengan masyarakat dalam upaya menyelesikan masalahnya. Dengan
demikian akan terbentuk sebuah perekat yang kuat antara KAMMI dan masyarakat.

Inilah sebuah gerakan yang diharapkan. Gerakan membentuk kader sebagai seorang Muslim
Negarawan dengan mengoptimalkan sebuah filosofi berupa misi-misi yang telah ada. Dengan
pelaksanana misi yang cerdas maka kita tidak akan melihat sebuah visi yang hanya digagas.

NB : Unsur-unsur MN didapat dari blog salah satu kader KAMMI Pusat

bizesha

seseorang yang semakin tersenyum

karena ketidaklulusannya

(kira-kira, masihkah saya seorang kader KAM

Muslim Negarawan dan Relevansinya dengan Masyarakat


Madani (Civil Society)
Muslim Negarawan dan Relevansinya dengan Masyarakat Madani (Civil Society)

Oleh: Aryanto Abidin


Kebijakan Publik KAMMI Daerah Sulsel

Cita-cita Masyarakat madani/beradab (civil society) merupakan cita-cita yang teramat mulia
untuk dipraksiskan dalam kehidupan bermasyarakat kita. Cita-cita ini sesungguhnya merupakan
cita-cita yang teramat renta untuk didambakan kehadirannya. Model masyarakat madani pernah
dicontohkan oleh Rasulullah Saw ketika memimpin Madinah. Dimana pada masa itu hubungan
antara rakyat dengan pemerintah (vertical) begitu mesra, serta hubungan antar masyarakat
(horizontal) dari berbagai latar belakang (suku, agama dan ras) juga begitu mesra. Hasilnya,
begitu mengagumkan. Kehidupan masyarkat pada masa itu terjalin begitu harmonis. Lalu
bagaimana posisi dan peran konsepsi masyarakat madani atau apapun varian padanan katanya,
sehingga ia begitu didambakan dalam menyelesaikan problem social dalam masyarakat kita?.
Adie Usman Musa memberikan batas yang jelas, bahwa makna substantif masyarakat madani
akan menjadi relevan, jika dalam masyarakat ada rasa saling menghargai yang namanya
pluralitas, perbedaan, dan saling percaya (trust) antar masyarakat. Masyarakat madani atau
masyarakat sipil, merupakan sisi lain dari upaya masyarakat untuk menemukan bentuknya yang
ideal dalam tataran lokal maupun global. Masih menurut Adie Usman Musa, bahwa masyarakat
madani hádala masyarakat yang juga toleran dan membuka diri terhadap berbagai pandangan
yang berbeda antar mereka di berbagai belahan dunia. Makna substantif inilah yang hingga kini
masih belum dilihat banyak pihak ketika memperdebatkan masalah masyarakat madani. Banyak
kalangan hingga kini masih curiga bahwa konsepsi civil society merupakan bentuk lain dari
sebuah hegemoni ideologi tunggal liberalisme-kapitalisme. Kecurigaan ini boleh-boleh saja
sebagai sebuah sikap kritis dan kehati-hatian. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana
warga dunia mampu merumuskan proses masa depan yang lebih baik bagi kemanusiaan.

Adi Usman Musa juga menegaskan bahwa masyarakat madani tentunya bukan hanya sebuah
gambaran ideal tentang cita praktek kehidupan bersama, tetapi lebih dari itu, ia merupakan
sesuatu “yang ada di sini”, yang dekat dengan kehidupan kita. Masyarakat madani dipenuhi oleh
berbagai penghampiran praksis kehidupan masyarakat. Artinya, ia harus mampu menjawab
berbagai kebutuhan praksis masyarakat seperti basis material, rasa keadilan, dan sebagainya.
Dengan demikian, ia pun bukanlah wacana yang hanya ada di dalam ide. Konsepsi ini juga
memberikan banyak kemungkinan bagi kita untuk melihat hal-hal yang bersifat keindonesiaan.
Masyarakat Indonesia terkenal sebagai masyarakat yang sangat majemuk, baik dari sisi budaya,
suku bangsa, dan agama. Keragaman ini merupakan sebuah potensi yang bisa kita gunakan untuk
membangun kapasitas masyarakat madani di tanah air. Namun demikian, ia juga menyimpan
potensi konflik yang bisa meledak setiap saat.

Atas dasar itulah, sampai hari ini semua orang masih menjadikan masyarakat madani sebagai
referensi ideal dalam membangun pola kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertanyaannya
sekarang, mampukah kita menciptakan masyarakat madani tersebut? Sehingga dengannya akan
tercipta hubungan yang saling menghargai atau saling toleransi. Pertanyaan tersebut sungguh
menggelitik dan terdengar sangat pesimistik. Sah-sah saja bila penulis menganggap pertanyaan
tersebut teramat pesimistis. Betapa tidak, kakacauan dan tindakan anarkis masih mewarnai
keseharian masyarakat kita. Seolah hal tersebut telah menjadi rutnitas yang lumrah. Hal ini-
mengutip pendapat Sigmund Freud-disebabkan karena manusia memiliki yang namanya id atau
nafsu al-amarah yang mengusik manusia untuk selalu berbuat jahat. Potensi id ini tentu tidak
hadir begitu saja. Dia bisa hadir dengan rupa yang begitu sangar (id negatif) juga hadir dalam
rupa yang ramah (id positif). Oleh karenanya Tuhan mengkombinasikannya dengan akal agar
manusia mampu berpikir. Hal ini sebagaimana yang dimaksud oleh Farhan Hilmi HS dan A.
Yohan MSDM bahwa kuncinya adalah tergantung pada: Apakah manusia mampu berfikir
rasional, sehingga muncul dari dirinya kesadaran untuk mengedepankan tugas kekhalifaan,
ataukah dia telah terkuburkan oleh id sehingga tugas untuk mencapaikan kebenaran menjadi
terkubur.

Oleh karenanya, setiap elemen-elemen civil society (Pemerintah, agama, tokoh masyarakat,
NGO, Student Movement) diharapkan mampu memainkan perannya masing guna
mengupayakan dan mengawal terciptanya nilai-nilai kearifan dalam masyarakat kita. Dalam
perspektif gerakan mahasiswa, terkhususnya yang mengatasnamakan KAMMI, telah
memformulasikan sebuah konsep yang dengannya diharapkan akan mampu memainkan peran
(sesuai dengan kompetensinyanya masing-masing) dalam menciptakan nilai-nilai kearifan dalam
masyarakat kita. Konsep tersebut adalah konsep Muslim Negarawan. Konsep ini disinyalir
mampu memberikan tawaran solusi terhadap lunturnya nilai kearifan dalam masyarakat kita
terkhususnya generasi muda kita. Walau sebenarnya dalam lingkup KAMMI konsep ini baru
merupakan tahap trial and error sebagai wujud sebuah ijtihad. Oleh karenanya, keberhasilan
konsep ini tentu tidak bisa kita harapkan dalam jangka waktu singkat. Hal ini tentu
membutuhkan evaluasi, sampai dimana tingkat keberhasilannya. Maka dari itu, tidaklah terlalu
berlebihan jika sekiranya konsep muslim negaram memiliki relevansi atau berkaitan dalam
upaya mewujudkan masyarakat madani/beradab.

Deskripsi Muslim Negarawan

Dalam risalah kaderisasi manhaj 1427 H yang dirumuskankan oleh tim kaderisasi KAMMI
pusat, ada beberapa poin penting yang menjadi titik tekan dalam mendesain kader KAMMI.
Point penting tersebut adalah KAMMI mampu menciptakan kader yang berorientasi pada profil
muslim negarawan. Profil muslim negarawan dalam definisi risalah tersebut adalah kader
KAMMI yang memiliki basis ideologi Islam yang mengakar, basis pengetahuan dan pemikiran
yang mapan, idealis dan konsisten, berkontribusi pada pemecahan problematika umat dan
bangsa, serta mampu menjadi perekat komponen bangsa pada upaya perbaikan. Ada tiga hal
yang merupakan syarat utama munculnya sosok Muslim Negarawan yang memiliki
keberpihakan pada kebenaran dan terlatih dalam proses perjuangannya diantaranya adalah
mereka yang terlahir dari gerakan Islam yang tertata rapi (quwwah al-munashomat), semangat
keimanan yang kuat (ghirah qawiyah) dan kompetensi yang tajam.

Dalam upaya membangun capasitas personal (personal capacity building) kader KAMMI, maka
perlu adanya pembangunan kompetensi kritis sebagaimana yang penulis kutip dalam panduan
kaderisasi KAMMI pusat. Secara aplikatif sosok kader muslim negarawan harus memiliki
kompetensi kritis yang harus dilatih sejak dini. Kompetensi kritis ini adalah kemampuan dasar
yang harus dimiliki kader yang dirancang sesuai kebutuhan masa depan sebagaimana yang
dirumuskan di dalam Visi Gerakan KAMMI. Terdapat lima kompetensi kritis yang harus
dimiliki kader KAMMI, sebagai berikut ini: 1) Pengetahuan Ke-Islam-an, Kader harus memiliki
ilmu pengetahuan dasar keislaman, ilmu alat Islam, dan wawasan sejarah dan wacana keislaman.
Pengetahuan ini harus dimiliki agar kader memiliki sistem berpikir Islami dan mampu
mengkritisi serta memberikan solusi dalam cara pandang Islam. 2)Kredibilitas Moral, Kader
memiliki basis pengetahuan ideologis, kekokohan akhlak, dan konsistensi dakwah Islam.
Kredibilitas moral ini merupakan hasil dari interaksi yang intensif dengan manhaj tarbiyah
Islamiyah serta implementasinya dalam gerakan (tarbiyah Islamiyah harakiyah). 3)Wawasan ke-
Indonesia-an, Kader memiliki pengetahuan yang berkorelasi kuat dengan solusi atas
problematika umat dan bangsa, sehingga kader yang dihasilkan dalam proses kaderisasi KAMMI
selain memiliki daya kritis, ilmiah dan obyektif juga mampu memberikan tawaran solusi dengan
cara pandang makro kebangsaan agar kemudian dapat memberikan solusi praktis dan
komprehensif. Wawasan ke-Indonesia-an yang dimaksud adalah penguasaan cakrawala ke-
Indonesia-an, realitas kebijakan publik, yang terintegrasi oleh pengetahuan interdisipliner.
5)Kepakaran dan profesionalisme, Kader wajib menguasai studi yang dibidanginya agar
memiliki keahlian spesialis dalam upaya pemecahan problematika umat dan bangsa.
Profesionalisme dan kepakaran adalah syarat mutlak yang kelak menjadikan kader dan gerakan
menjadi referensi yang ikut diperhitungkan publik. 6)Kepemimpinan,Kompetensi kepemimpinan
yang dibangun kader KAMMI adalah kemampuan memimpin gerakan dan perubahan yang lebih
luas. Hal mendasar dari kompetensi ini adalah kemampuan kader beroganisasi dan beramal
jama’i. Sosok kader KAMMI tidak sekedar ahli di wilayah spesialisasinya, lebih dari itu ia
adalah seorang intelektual yang mampu memimpin perubahan. Di samping mampu memimpin
gerakan dan gagasan, kader pun memiliki pergaulan luas dan jaringan kerja efektif yang
memungkinkan terjadi akselerasi perubahan.6)Diplomasi dan Jaringan, Kader KAMMI adalah
mereka yang terlibat dalam upaya perbaikan nyata di tengah masyarakat. Oleh karena itu ia harus
memiliki kemampuan jaringan, menawarkan dan mengkomunikasikan fikrah atau gagasannya
sesuai bahasa dan logika yang digunakan berbagai lapis masyarakat. Penguasaan skill diplomasi,
komunikasi massa, dan jaringan ini adalah syarat sebagai pemimpin perubahan.

Konsep Muslim Negarawan dan Relevansinya dengan Cita-cita civil society

Setelah kita memahami tentang deskripsi profil muslim negarawan, maka pertanyaan radikal
yang patut kita lontarkan adalah, dimana letak relevansinya antara muslim negarawan dengan
cita-cita civil society (masyarakat beradab)?. Relevansi antara keduanya memiliki keterkaitan
yang sangat kuat. Hal tersebut tertuang jelas dalam landasan filosofis gerakan KAMMI yang
terjabarkan dalam bentuk misi gerakan KAMMI yakni:
a.Membina keislaman, keimanan, dan ketaqwaan mahasiswa muslim Indonesia.
b.Menggali, mengembangkan, dan memantapkan potensi dakwah, intelektual, sosial, dan politik
mahasiswa.
c.Mencerahkan dan meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang
rabbani, madani, adil, dan sejahtera.
d.Memelopori dan memelihara komunikasi, solidaritas, dan kerjasama mahasiswa Indonesia
dalam menyelesaikan permasalahan kerakyatan dan kebangsaan.
e.Mengembangkan kerjasama antar elemen masyarakat dengan semangat membawa kebaikan,
menyebar manfaat, dan mencegah kemungkaran (amar ma`ruf nahi munkar).

Kelima poin di atas jelas memiliki relevansinya dengan cita-cita masyarakat madani-tentu saja
kalu kita mengacu pada posisi dan peran konsepsi masyarakat madani yakni masyarakat yang
menghargai pluralitas, perbedaan, dan saling percaya (trust) antar masyarakat. Posisi dan peran
tersebut, tentu tidak hadir dengan begitu saja dengan hanya membaca mantra sim salabim lalu
hadirlah peran tersebut. Menurut penulis, manusia butuh kearifan untuk menyadari peranya
dalam membumikan nilai-nilai ketuhanan tersebut (khalifah). Dalam kapsitas sebagai mahasiswa
islam, maka pada poin a tersebut tergambar secara implisit tentang hubungan person dengan sang
khalik guna melahirkan kearifan dalam setiap pribadi mahasiswa islam. Pun demikian halnya
dengan mereka yang berbasis gerakan di luar islam. Pada poin b jelas menunjukan kapasitas
personal yang berfungsi sebagai skill untuk melakukan perubahan dan pencerdasan kepada
masyarakat sehingga memiliki kesamaan visi akan perannya sebagai kalifah. Sedangkan pada
poin c lebih dititik beratkan pada peran KAMMI sebagai bagian dari civil society guna
mewujudkan nilai-nilai masyarakat beradab. Pada poin c merupakan upaya KAMMI dalam
upaya menghargai pluralitas, perbedaan dan saling percaya yakni dengan memelopori dan
memelihara komunikasi, solidaritas dan kerjasama antar sesama elemen mahasiswa indonesia.
Demikina juga dengan makna yang terkandung pada poin e dimana tersiat semangat perubahan
(quwwatut thaghiir) yang cukup kental.

Kesimpulan
Untuk mewujudkan masyarakat madani maka dibutuhkan kearifan setiap individu sehingga
mampu bersikap dan memainkan peran menghargai pluralitas, perbedaan, dan saling percaya
(trust) antar masyarakat. Kesadaran itu akan muncul jika sekiranya setiap pribadi memiliki visi
dan misi sebagai khalifah di muka bumi ini atau dengan kata lain mampu membumikan nilai-
nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Namun visi dan peran sebagai khalifah tidak akan
lahir begitu saja. Di sinilah peran berbagai elemen civil society (tokoh masyarakat, tokoh agama,
NGO, Student Movement) dalam memberikan pencerahan dan penyadaran kepada masyarakat,
akan arti pentingnya menghargai perbedaan dan saling percaya. Oleh karena itu, KAMMI
sebagai salah satu kekuatan civil society yang beridiologi islam juga harus mampu memainkan
peran tersebut. Sehingga dengannya, diharapkan akan mampu menciptakan tatanan masyarakat
yang beradab, yakni masyarakat yang menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kebenaran
universal. Wallahualambishawaab

Daftar Referensi

Adie Usman Musa, Mimpi Perubahan dan Cita Ideal Masyarakat Madani

Adi Suryadi Culla, Masyarakat Madani (pemikiran, teori dan relevansinya dengan cita-cita
reformasi), Rajawali Pers, Jakarta, 2002

Aryanto Abidin, Menuju Muslim Negarawan, Jurnal AKSI, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia (KAMMI) Daerah Sulsel, edisi maret 2006

Anen Sutianto, Reaktualisasi Masyarakat Madani Dalam Kehidupan

” href=”http://www.policy.hu/suharto/modul_a/makindo_16.htm”>Edi Suharto Msc, Dr,


Masyarakat Madani: Aktualisasi Profesionalisme Community Workers Dalam Mewujudkan
Masyarakat Yang Berkeadilan

KAMMI, Risalah Manhaj Kaderisasi 1427 H Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) Pusat, Jakarta, 2005

Farhan Hilmi HS dan A. Yohan MSDM dalam sebuah pengantar Spiritualitas Sosial Untuk
Masyarakat Beradab (Catatan di era Otoritarianisme,)YPSK, Yogyakarta, 1999

” href=”http://www.depdiknas%20go.id/”>Saefur Rochmat, Masyarakat Madani: Dialog Islam


dan Modernitas di Indonesia

Thans for your visit@http://aryantoabidin.blogspot.com/atom.xml

Masukan ini dipos pada Desember 20, 2006 4:46 pm dan disimpan pada Ke-KAMMI-an . Anda dapat mengikuti
semua aliran respons RSS 2.0 dari masukan ini Anda dapat memberikan tanggapan, atau trackback dari situs anda.

RI Butuh Muslim
Negarawan
21-08-2008
Jakarta - Muslim Negarawan. Begitulah kriteria utama bagi seorang pemimpin RI yang menurut
pemikiran PB KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) tepat dengan kebutuhan
NKRI di masa mendatang. Demikian disampaikan Ketua Umum PB KAMMI Taufik Amrullah
pada Presiden SBY dalam pertemuan di Wisma Negara, Jakarta, Kamis (21/8/2008).

"Kita membutuhkan negarawan yang bisa mengambil tanggung besar atas masalah bangsa. Bukan
sekadar politikus atau pemimpin parpol," jelas dia tentang negarawan.

Sedangkan untuk Muslim, menurutnya, karena agama Islam yang merupakan rahmat bagi umat manusia.
Maka dari itu besar harapan seorang pemimpin Muslim bisa membawa pembangunan Indonesia menuju
arah yang lebih sejahtera.

"Pemikiran ini akan kami tawarkan juga kepada capres lain yang sudah mendeklarasikan diri. Saya pikir
semua bisa menerima," imbuh Taufik sambil membantah bahwa pernyataan PB KAMMI ini merupakan
dukungan pada SBY untuk maju dalam Pilpres 2009.

Agenda utama kedatangan PB KAMMI siang ini adalah mengundang Presiden SBY untuk membuka
Muktamar VI KAMMI. Rencananya muktamar akan digelar 4 November 2008 di Makassar

You might also like