You are on page 1of 15

PERAN DAN TELADAN WALI KELAS

DALAM MENDIDIK KARAKTER SISWA


KELAS BINAAN

DISUSUN
DALAM RANGKA IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

Oleh :
Nama : Drs. Nur Kholiq
NIP : 19630108 198703 1004

PEMERINTAH KABUPATEN JEPARA


DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA
UNIT PELAKSANA TEKNIS DINAS
SMA NEGRI 1 KEMBANG
Jl. Bangsri – Keling, Km 6 Kembang
 59453, Telp. (0291) 7730048

0
Abstrak

Kejujuran, kedisiplinan, sopan santun, etika, budaya menyapa, saling


mengasihi, saling menyayangi, mengutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi, berbicara dengan bahasa yang baik adalah nilai-nilai positif
yang harus ditanamkan dalam diri siswa. Nilai-nilai baik ini sering dikenal dengan
istilah “karakter”.
Pendidikan hendaknya tidak hanya terfokus pada penyampaian ilmu
pengetahuan dan teknologi semata melainkan menggabungkan unsur kognitif
(pengetahuan dan keterampilan), afektif (minat, bakat, kemampuan menyesuaikan
diri), psikomotor (keterampilan motorik), dan penanaman karakter positif.
Wali kelas adalah guru yang mendapat tugas sampiran untuk mendampingi
sebuah kelas tertentu. Wali kelas seperti halnya orang tua bagi siswa kelas binaan.
Wali kelas harus mengenal detail berbagai karakter siswa yang menjadi
binaannya. Komunikasi dan kedekatan emosional harus dibangun dan karena
kedekatan inilah, wali kelas dapat berperan lebih dalam menanamkan sikap-sikap
dan nilai-nilai baik (karakter positif) kepada siswa kelas binaan. Keberhasilan
penanaman karakter positif ini tidak terlepas dari keteladanan yang tercermin
dalam perilaku wali kelas itu sendiri. Penanaman karakter positif yang dibarengi
dengan keteladanan akan lebih banyak keberhasilannya.

Kata kunci: Wali kelas, keteladanan, dan pendidikan karakter.

0
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Siswa tuntas dalam belajar adalah harapan semua pihak, baik guru,
siswa yang bersangkutan, maupun sekolah secara umum. Permasalah yang
kemudian muncul adalah manakala siswa menempuh segala cara untuk
mencapai ketuntasan. Siswa setelah selesai ulangan umum, menceritakan
kepada teman bahwa saat ulangan umum berhasil membuka contekan yang
telah dipersiapkan. Perasaan menang dan puas telah berhasil mencontek tanpa
diketahui pengawas (Ulangan/Tes). Ulangan harian membuka buku,
mengerjakan tugas hanya tinggal menyalin pekerjaan teman, membeli kunci
jawaban ujian nasional, izin ke kamar mandi saat ujian untuk meninggalkan
kode-kode kepada teman, dan sebagainya. Bahkan saat nilai Ujian Nasional
(UN) suatu daerah menempati rating bawah secara nasional, berbagai
statement dilontarkan untuk bahan evaluasi dan perbaikan, tetapi
mengkhawatirkan apabila mempersalahkan pelaksanaan Ujian Nasional yang
jujur sehingga hasil ujian menjadi hancur. Terbiasa mengutamakan hasil dan
mengesampingkan proses inilah yang menghiasi ranah pendidikan karena
disadari atau tidak realita ini terjadi di beberapa tempat. Melemahnya
penanaman kejujuran dan penanaman sikap menghargai proses kepada
peserta didik merupakan latar belakang dari permasalahan ini.
Kondisi yang sangat mencengangkan dilapangan adalah tingginya
ketidakhadiran siswa tanpa keterangan (alpha) baik di sekolah negeri maupun
sekolah swasta. Penerapan poin pelanggaran tidak begitu memiliki andil besar
dalam mengurangi tingkat alpha siswa. Siswa tenang saja dan merasa hal ini
sebagai sesuatu yang biasa dan tidak membuat malu. Demikian juga dengan
orang tua siswa saat diberikan informasi data alpha siswa dari sekolah, tidak
sedikit dari orang tua siswa yang tidak melakukan tindak lanjut. Siswa
terlambat hadir secara berturut-turut, berseragam tidak semestinya,
kelengkapan seragam tidak terpenuhi, dan beberapa pelanggaran lainnya,

0
dilakukan siswa dengan sadar dan apabila diberikan perlakuan (ditegur atau
diingatkan) siswa hanya melakukan reaksi pada saat itu. Budaya malu jika
tidak tertib dan tidak disiplin inilah yang tidak nampak sekarang walaupun
tidak disemua sekolah.
Kelas merupakan organisasi kecil bagian dari sekolah dengan anggota
beberapa siswa yang memiliki keunikan dan karakteristik berbeda. Kegiatan
sekolah yang diperuntukkan bagi kelas baik agenda tahunan maupun kegiatan
insidentil dilakukan untuk memupuk rasa gotong royong, kerjasama, dan rasa
memiliki terhadap kelas, seperti lomba-lomba di hari ulang tahun sekolah,
lomba untuk memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia, lomba di
hari Kartini, jumat bersih, class meeting, dan lain sebagainya. Menyambut
kegiatan yang diperuntukkan bagi kelas, terdapat anak-anak yang tak acuh,
tidak peduli, tetapi ada juga anak yang sangat mendukung dan aktif
mengoordinir kelas untuk menyukseskan kegiatan kelas. Masih terdapatnya
anak-anak yang kurang peduli terhadap kegiatan kelas menunjukkan rasa
memiliki terhadap kelas rendah. Tujuan sekolah memupuk rasa gotong
royong dan kerjasama antarsiswa dalam kelas belum sepenuhnya tercapai.
Menjelang kegiatan, biasanya kelas akan melakukan koordinasi sepulang
sekolah. Siswa yang kurang merespon terkadang pulang awal dan tidak
mengikuti koordinasi maupun pembagian tugas di kelas atau bahkan
membuat gaduh suasana koordinasi. Rasa mengutamakan kepentingan
kelompok di atas kepentingan pribadinya, rasa memiliki terhadap kelas, dan
rasa gotong royong tidak lagi terasa di kelas.
Berkaitan dengan sikap dan sopan santun siswa di sekolah, terdapat
beberapa sikap yang kurang mencerminkan kearifan lokal. Siswa berpapasan
dengan bapak atau ibu guru tetapi tidak menyapa ataupun sekedar tersenyum;
berbicara dengan guru di kelas menggunakan bahasa campuran bahasa Jawa
dan bahasa Indonesia; saat melihat guru kerepotan membawa alat ataupun
media, siswa tidak dengan sukarela menawarkan bantuan; siswa tidak hafal
dengan nama bapak atau ibu guru yang membimbingnya dan bahkan
menyebutnya dengan Ibu PPKn, Bapak IPA, dan seterusnya; bercanda secara

0
berlebihan (sampai terlontar bahasa Jawa kasar/ “ngoko”), dan lunturnya
budaya cium tangan. Hal-hal seperti inilah yang membuat sangat prihatin dan
apabila tidak ditangani dari sekarang maka anak-anak didik akan semakin
jauh dari kearifan lokal.

B. Masalah

Berdasrkan pokok masalah pada latar belakang ini adalah tentang melemahnya

penanaman nilai-nilai kejujuran dan bagaimana cara penanaman sikap

menghargai proses kepada peserta didik ?.

0
BAB II
KAJIAN TEORI

Doni Koesoema Albertus (2007 : 247) menyatakan bahwa wali kelas


memiliki peranan yang sangat besar bagi pembentukan karakter siswa. Wali
kelas sesungguhnya menjadi semang bagi perkembangan kemajuan di dalam
kelas. Mereka bertanggung jawab atas berhasil tidaknya komunitas kelas
yang menjadi tanggung jawabnya. Hasil kinerja wali kelas ini terutama bisa
dilihat bagaimana ia dapat menjadi animator bagi kelas sebagai sebuah
komunitas pembelajaran bersama. Wali kelas biasanya juga menjadi guru
bidang studi tertentu namun mereka mendapat tugas lain sebagai penanggung
jawab dinamika pembelajaran di dalam kelas tertentu. Peranan wali kelas
yang paling menonjol adalah menjadi semacam kepala keluarga dalam kelas
tertentu, ini berarti ia bertanggung jawab terutama menciptakan kondisi dan
lingkungan yang kondusif satu sama lain sehingga kelas itu menjadi
komunitas belajar dapat maju bersama dalam proses pembelajaran.
Kesimpulannya tugas utama wali kelas adalah membuat kelas itu secara
bersama-sama berhasil menjalankan fungsi pembelajaran yang kriterianya
adalah semua siswa di kelas itu dapat naik kelas dengan nilai yang baik pada
akhir tahun. Wali kelas bekerjasama dengan pihak sekolah untuk
merencanakan program pendampingan bagi kelas perwaliannya. Program ini
harus terstruktur dalam kebijakan sekolah sehingga setiap program perwalian
wali kelas memiliki visi dan misi yang sama. Wali kelas secara periodik perlu
melakukan evaluasi terhadap kelasnya melalui pertemuan yang tidak formal
dan lebih rileks agar komunikasi lebih bisa terbangun. Momen pembinaan
perwalian kelas inilah yang sesungguhnya menjadi tempat penting bagi
penanaman nilai dan pembentukan karakter siswa.
Pendidikan menurut Niccolo Machiavelli dalam buku Doni Koesoema
Albertus, merupakan proses penyempurnaan diri manusia secara terus
menerus karena secara kodrati manusia memiliki kekurangan dan
ketidaklengkapan.

0
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh
menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya
membangun karakter bangsa sehingga pendidikan karakter mendesak untuk
diterapkan. Peringatan hari Pendidikan Nasional tahun 2010 mengangkat
tema “Pendidikan Karakter untuk Membangun Keberadaban Bangsa”.
Mohammad Nuh menyampaikan “diantara karakter yang ingin kita bangun
adalah karakter yang berkemampuan dan berkebiasaan memberikan yang
terbaik, giving the best, sebagai prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai
kejujuran”.
Howard Gardner, penulis buku "Multiple Intelligence" dalam
Suparlan.com, menjelaskan bahwa keberhasilan seseorang dipengaruhi oleh
Intelligence Quotient (IQ) hanya dua puluh persen, sementara delapan puluh
persen ditentukan oleh Emotional Intelligence (EI) dan Spiritual Intelligence
(SI). Karakter merupakan bagian dari kecerdasan ganda yang dijelaskan
Howard Gardner. Kecerdasan ganda meliputi tujuh macam kecerdasan yang
sering disingkat SLIM n BIL, yaitu: 1) spatial (keruangan), 2) language
(bahasa), 3) intrapersonal (intrapersonal), 4) music (musik), 5) naturalist
(naturalis – sayang kehidupan alam), bodily kinesthetics (olahraga – gerak
badan), logical mathematics (logikal –matematis).
Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Prof.
Suyanto, Ph.D dalam Suparlan.com menjelaskan bahwa karakter adalah cara
berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup
dan bekerjasama, baik dalam lingkup kehidupan keluarga, masyarakat,
bangsa, dan negara. Prof. Suyanto, Ph.D juga menyebutkan sembilan pilar
karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal manusia. Sembilan pilar
karakter itu adalah 1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; 2) kemandirian
dan tanggung jawab; 3) kejujuran/ amanah; 4) hormat dan santun; 5)
dermawan, suka tolong-menolong, gotong royong/ kerjasama; 6) percaya diri
dan pekerja keras; 7) kepemimpinan dan keadilan; 8) baik dan rendah hati; 9)
toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

0
Dr. Martin Luther King, tokoh spiritual kulit hitam di Amerika Serikat,
dalam Suparlan.com menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk
melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat atau intellegence plus
character, ”that is the goal of true education”. Itulah tujuan pendidikan yang
sebenarnya, yakni menciptakan manusia yang cerdas secara komprehensif
dari keseluruhan aspek kecerdasan ganda.
Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis spiritual
dalam proses pembentukan pribadi ialah seorang pedagog berkebangsaan
Jerman yaitu FW Foerster (1869-1966). Disebutkan oleh FW Foerster dalam
Jambi Ekspres bahwa pada hakekatnya tujuan pendidikan adalah untuk
pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek
dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Bagi Foerster, karakter
merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi. Ada empat ciri dasar
dalam pendidikan karakter. Pertama, keteraturan interior dimana setiap
tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Kedua, koherensi yang memberi
keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-
ambing pada situasi baru atau takut risiko. Ketiga, otonomi. Hal ini berarti,
seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai
bagi pribadi. Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya
tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik.
Ungkapan Dr. G.J. Nieuwenhuis dalam bataviase.co.id, "suatu bangsa
tidak akan maju, sebelum ada di antara bangsa itu segolongan guru yang suka
berkorban untuk keperluan bangsanya". Menurut rumus ini, dua kata kunci
kemajuan bangsa adalah guru dan pengorbanan. Maka itu, awal kebangkitan
bangsa harus dimulai dengan mencetak guru-guru yang suka berkorban. Guru
adalah teladan. Guru adalah digugu (didengar) dan ditiru (dicontoh). Guru
bukan sekadar terampil mengajar bagaimana menjawab soal Ujian Nasional,
tetapi diri dan hidupnya harus menjadi contoh bagi murid-muridnya. Ratna
Megawangi (2007), dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki
masa-masa yang sangat pelik. Kucuran dana besar disertai berbagai program
terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam

0
dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang
unggul, beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter. Menurut Ratna
Megawangi pendidikan karakter adalah untuk mengukir akhlak melalui
proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yakni, suatu
proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik sehingga
akhlak mulia bisa terukur menjadi habit of the mind, heart, and hands.
Banyak program pendidikan gagal, karena memang tidak serius untuk
diamalkan dan lebih penting lagi karena tidak ada contoh.

0
BAB III
PEMBAHASAN

Nilai-nilai kejujuran, senantiasa menghargai proses dan tidak semata-


mata berorientasi pada hasil, disiplin, merasa malu apabila melanggar aturan/
tidak tertib, sopan santun, budaya saling membantu, mengutamakan
kepentingan kelompok di atas kepentingan pribadi, gotong royong, mengasihi
sesama teman, budaya cium tangan, mulai luntur dalam kehidupan remaja
sekarang. Remaja tentu saja berkaitan dengan anak usia sekolah menengah
pertama sampai dengan menengah atas. Nilai-nilai luhur dan baik tidak lagi
kental menghiasi perilaku remaja, tentu saja hal ini dipengaruhi oleh faktor
yang sangat kompleks mulai dari pendidikan dalam keluarga, masyarakat
lingkungan tempat tinggal, dan pendidikan di sekolah. Pemaparan dalam
tulisan ini hanya akan dibatasai pada sisi pendidikan di sekolah.
Kenyataan yang membuat prihatin ini akan terus tumbuh subur apabila
kalangan pendidik tidak merubah pola pendidikannya. Pendidikan seharusnya
tidak semata-mata berorientasi pada aspek kognitif saja melainkan dilakukan
terpadu menyangkut tiga dimensi taksonomi pendidikan yaitu kognitif
(intelektual meliputi pengetahuan, keterampilan); afektif (aspek perasaan dan
emosi berupa minat, sikap, apresiasi, cara penyesuaian diri); dan psikomotor
(aspek keterampilan motorik); serta berbasis pada karakter positif.
Pendidikan bertujuan untuk membangun insan cerdas yang berkarakter
kuat seperti halnya disampaikan oleh Dr. Martin Luther King, tokoh spiritual
kulit hitam di Amerika Serikat. Guru semua mata pelajaran hendaknya
memasukkan unsur pendidikan karakter secara kontinue dalam mata pelajaran
yang diampunya.
Sekolah adalah rumah kedua bagi anak-anak usia sekolah. Selain bapak
dan ibu guru, di sekolah ada orang yang dianggap sebagai orang tua bagi
siswa di suatu kelas yang sering dikenal dengan nama wali kelas. Peran
sebagai orang tua bagi kelas perwalian atau kelas binaan seharusnya
menjadikan wali kelas tidak semata-mata menjalankan tugas sampiran sama

0
seperti yang tertuang dalam tugas pokok dan fungsi (tupoksi) wali kelas tetapi
wali kelas bekerja dengan profesional sesuai tupoksi, mengerjakannya tulus
dari hati, dan yang lebih penting lagi menjalin komunikasi dan kedekatan
personal emosional dengan warga kelas. Wali kelas harus mengetahui
karakter, ciri pribadi, kelebihan, dan kekurangan dari masing-masing anak
binaan di kelas. Wali kelas dapat bertindak sebagai guru, orang tua, teman,
yang bisa mengelola dan memanage kelas dalam suasana yang semestinya
(saat serius, kelas dikondisikan untuk bisa membawa diri, dan saat santaipun
kelas dapat menyesuaikannya).
Pada awal ketugasan sebagai wali kelas, merupakan bagian paling
penting, karena kesan pertama bagaimanapun juga akan berdampak bagi
kalangsungan hubungan berikutnya. Pada pertemuan awal, diskusikan dengan
kelas binaan, kelas kondusif seperti apa yang ingin diwujudkan bersama,
kemudian tetapkan visi dan misi kelas serta perangkat organisasi kelas.
Sepakati aturan main berkaitan dengan penanaman nilai misal tanamkan
kepada kelas binaan mengenai kedisiplinan hadir. Sampaikan kepada warga
kelas bahwa setiap individu di kelas punya keberartian bagi kelas sehingga
kalau tidak hadir wajib menginformasikan kepada wali kelas baik melalui
pesan singkat telepon genggam maupun melalui telepon, dan baru setelah
masuk di kemudian hari, siswa melengkapi izin dengan menyerahkan surat
izin langsung kepada wali kelas. Aturan main yang ditetapkan di awal ini
harus secara konsisten dilaksanakan. Apabila ditengah-tengah perjalanan
terdapat anak binaan yang alpha, harus dilakukan pendekatan sehingga
diketahui penyebabnya, dan harus telaten membina baik untuk siswa yang
bersangkutan maupun pembinaan klasikal. Biasakan pula wali kelas untuk
izin atau menginformasikan kepada kelas apabila wali kelas berhalangan
tidak dapat mendampingi siswa pada pertemuan kelas yang disepakati.
Sederhana tetapi ini akan dicontoh siswa.
Wali kelas biasanya adalah guru mata pelajaran tertentu bagi kelas
binaannya. Pada mata pelajaran yang diampunya tersebut, tanamkan
kebiasaan menghargai proses dan tidak semata-mata berorientasi hasil. Saat

0
nilai ulangan anak jelek, sampaikan betapa rasa bangga itu luar biasa karena
anak-anak telah berusaha sungguh-sungguh dan jujur, sebaliknya jika
menjumpai ketidakjujuran, tunjukkan bahwa hal itu benar-benar
mengecewakan, dan anak didik apabila memiliki kedekatan emosional
dengan wali kelasnya, ia akan merasa bersalah dan menyesal telah
mengecewakan orang yang mereka sayangi. Penanaman kejujuran ini juga
dilaksanakan dalam pembimbingan wali kelas setiap saat, dipantau, serta di
ingatkan terus menerus. Wali kelas ataupun guru juga harus jujur mengakui
bahwa belum bisa menjawab pertanyaan siswa dan baru akan mencari
referensi terlebih dahulu, jujur mengakui pada pertemuan kemarin terdapat
materi yang terlewatkan, dan sebagainya, hal ini secara tidak langsung
mengajari kepada anak untuk jujur mengakui kekurangan dan kesalahannya.
Senyum, menyapa, jabat tangan, cium tangan, adalah suatu kebiasaan
yang baik dan sangat indah apabila dapat tertanam dan menjadi bagian dari
hidup anak-anak. Hal ini tidak akan terbentuk dengan sendirinya. Mengharap
anak menjadi baik, tentu saja harus diajarkan dengan hal yang baik. Guru
berpapasan dengan siswa biasakan senyum dan menyapa atau mengucap
salam, maka di hari-hari seterusnya siswa akan otomatis senyum dan
menyapa saat berpapasan dengan guru. Ajak siswa berjabat tangan terlebih
dahulu maka di hari berikutnya pasti siswa yang akan mengulurkan
tangannya terlebih dahulu. Hal sederhana tetapi berdampak anak merasa
dihargai dan keberadaannya diakui adalah mengenal namanya. Guru ataupun
wali kelas penting untuk mengenal dan menghafal nama siswa, selain
membawa kedekatan tersendiri juga memudahkan di dalam komunikasi. Guru
yang mengenal dengan baik nama siswanya pasti akan dikenal juga oleh
siswanya. Siswa akan peduli dengan guru atau wali kelas tersebut sehingga
tidak akan ada siswa memanggil dengan Bapak IPA atau Ibu PPKn. Jika kita
amati, sebetulnya apa yang kita kehendaki dilakukan oleh siswa lebih baik
kita lakukan terlebih dahulu kepada siswa, maka siswa akan mengikuti.
Bimbing kelas binaan dengan kasih sayang, dekat, namun tetap disiplin, maka
anak-anak kelas binaan akan tumbuh menjadi anak-anak yang tidak brutal,

0
tidak keras hati, namun tumbuh menjadi anak yang dewasa, punya empati,
dan mampu mengembangkan kreatifitasnya dengan baik. Di kelas anak-anak
nyaman karena melihat kesabaran wali kelasnya dalam mengoordinir kelas,
sehingga mereka akan tumbuh menjadi remaja yang mampu mengendalikan
emosi. Jika wali kelas melihat perilaku yang tidak semestinya, semisal siswa
kelas binaan berbicara dengan bahasa Jawa “ngoko” kepada salah satu guru
maka seperti layaknya orang tua, memiliki tanggung jawab moral yang besar
untuk mengingatkan, namun cara mengingatkannya adalah dilain waktu dan
hanya dengan siswa yang bersangkutan (tidak didepan umum). Tidak pernah
berhenti untuk mengingatkan manakala melihat anak-anak melakukan
kesalahan baik kecil maupun besar.
Koordinasi dengan kelas harus sering dilakukan. Saat kelas ada
kegiatan lomba, sesibuk apapun wali kelas, alokasikan waktu untuk
mendampingi kelas binaan dalam koordinasi kelas. Tanamkan kepada kelas
binaan utamakan kepentingan kelas dari pada kepentingan pribadi, sehingga
di setiap pertemuan kelas, anak-anak wajib mengikuti, dan jika
berkepentingan wajib izin kepada wali kelas. Wali kelaspun mengutamakan
kepentingan kelas dari pada kepentingan pribadinya, karena seharusnya
pulang di akhir jam kerja tetapi bergabung dengan kelas dan melakukan
koordinasi. Akan berbeda apabila wali kelas tidak terlibat langsung dalam
setiap koordinasi kelas, pasti anggota kelas tidak lengkap dalam koordinasi
tersebut. Pertemuan pertama dan kedua kelas, mungkin menjadi suatu
keterpaksaan bagi salah satu atau sekelompok anak, akan tetapi jika di
biasakan untuk wajib hadir lengkap kecuali siswa berkepentingan maka ini
akan menjadi suatu kebiasaan positif untuk selalu terlibat dengan urusan
kelas.
Wali kelas adalah orang yang paling dekat dengan anak-anak kelas
binaan sehingga paling mudah untuk menanamkan suatu sikap dan nilai yang
baik kepada anak. Sikap nilai yang baik inilah yang sering dikenal dengan
pendidikan karakter. Syarat keberhasilannya adalah ketulusan, kedekatan,
konsistensi, dan keteladanan dari diri wali kelas itu sendiri.

0
BAB IV
PENUTUP

a. Simpulan
Pendidikan akan lebih bermakna jika tidak semata mata berada
pada ranah kognitif saja. Pengetahuan dan keterampilan didukung dengan
sikap dan perilaku yang positif akan menjadi sosok pribadi yang
berkarakter. Wali kelas sebagai orang tua bagi siswa di kelas binaan
memiliki hubungan kedekatan yang lebih sehingga dapat berperan yang
lebih pula dalam menanamkan nilai-nilai kebaikan di kelas binaannya.
Penanaman nilai akan efektif apabila diteladani atau diberikan contoh.
Keteladanan akan jauh lebih bermakna dari seribu perkataan.

b. Saran
Bagi wali kelas jalinlah kedekatan emosional dengan kelas binaan
sehingga mudah untuk menanamkan nilai-nilai kebaikan untuk siswa di
kelas binaan. Selain menanamkan nilai, yang tidak kalah penting adalah
melaksanakan terlebih dahulu nilai-nilai yang akan ditanamkan kepada
siswa.
Bagi pembaca, pergunakan tulisan ini sebagai bahan inspirasi untuk
tulisan ilmiah yang lain.

0
DAFTAR PUSTAKA

Koesoema Albertus, Doni. 2007. Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di


Zaman Global. PT Grasindo: Jakarta.

Megawangi, Ratna. 2007. Semua Berakar pada Karakter. Lembaga Penerbit


Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia: Jakarta.

Suparlan. 2004. Mencerdaskan Kehidupan Bangsa: dari Konsepsi sampai dengan


Implementasi. Hikayat Publising: Yogyakarta.

www.bataviase.co.id. Pendidikan Karakter. Opini republika. Diposting 14 Juni


2010.

www.penapendidikan.com. Mendiknas: Pendidikan Karakter Mendesak


Diterapkan. Sumber Media Center Diknas. Diposting 5 Mei 2010.

www.suparlan.com. Pendidikan Karakter dan Kecerdasan. Diposting 18 Juni


2010.

You might also like