You are on page 1of 10

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara pengekspor biji mete. Walaupun


peranan Indonesia masih kecil dibandingkan dengan negara-negara pemasok
lainnya, namun kondisinya terus meningkat. Meningkatnya ekspor selain adanya
pengembangan pasar juga bertambahnya permintaan negara importir seperti
Amerika Serikat, Hongkong, Jepang, Belanda, Inggris, Filipina dan Perancis.
Tanaman mete (Anacardium Oceidental Linn) mulai dikembangkan di Indonesia
pada tahun 70-an dalam rangka program reboisasi. Tanaman ini dipilih karena
mudah tumbuh dengan baik pada lahan kritis, tidak mudah diserang penyakit,
tidak memerlukan pemeliharaan yang rumit serta hasilnya mempunyai nilai
ekonomis yang cukup tinggi. Dari penelusuran Deptan, perkembangan luas areal
tanaman dan produksi mete terus menunjukkan pertumbuhan terutama tahun 1980
sampai 2003. Dalam road map Deptan, tanaman jambu mete masuk prioritas
pengembangan terutama pada industri hilir. Kebijakan pengembangan industri
hilir dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah agribisnis mete pada petani.
Sentra tanaman mete dalam ukuran besar terdapat di 10 provinsi yakni,
Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. dengan
sentra utama adalah Propinsi Jawa Tengah. Propinsi ini memiliki luas 27.881
hektar tanaman Kacang mete dan menghasilkan 8706 ton kacang mete per
tahunnya. 78 persen jumlah tersebut dihasilkan dari kabupaten Wonogiri.
Perkebunan kacang mete di kabupaten ini mencapai 21.658 hektar dan
menghasilkan 7259 ton setiap tahunnya. (Perum Perhutani: 2003)
Dari pohon mete dihasilkan buah jambu mete (cashew aple) dan biji mete
(cashew nut). Buah jambu mete umumnya dikonsumsi langsung atau dibuat sari
buah dan sirup. Sedangkan biji mete dibuat kacang mete atau minyak kulit mete
(Cashew Nut Shell Liquid/ CNSL). Kacang mete bisa menjadi makanan ringan
(snack food) maupun sebagai penyedap setelah dicampur dengan coklat atau roti
dan kue. Sedangkan buah mete tidak begitu diminati baik sebagai makanan untuk
dimakan langsung maupun setelah diolah menjadi sirup dan juice. Hal ini
disebabkan masih adanya rasa getir yang sejauh ini belum berhasil dihilangkan.
Minyak mete pada umumnya diolah menjadi minyak CNSL yang
bermanfaat untuk bahan industri cat, bahan anti karat, lecquer, bahan pembungkus
kabel, pembuatan kampas rem kendaraan bermotor serta sebagai bahan bakar
(yang renewable). Proses pembuatan minyak mete cukup sederhana. Kulit mete
yang sudah dibersihkan, dipanaskan diatas tungku yang berisi minyak goreng.
Sebenarnya, minyak itu hanya berfungsi untuk memancing keluarnya minyak
mete, sehingga komposisi minyak goreng yang dipakai hanya sedikit.
Sebagai gambaran, untuk lima hingga sepuluh kilogram limbah mete, dibutuhkan
minyak goreng yang berasal dari minyak kelapa sekitar satu liter. Dari hasil
olahannya itu, bisa dihasilkan minyak mete tiga sampai lima liter. Harga minyak
mentah mete per liter di pasaran mencapai Rp. 4.500. Minyak Mete ini biasanya
dikirim ke beberapa kota besar seperti Solo, Surabaya, Semarang dan Jakarta.
(Kalingga: 2004)
2

Namun, hingga saat ini penjualan minyak mete masih dinilai sangat
kurang. Kulit mete masih sering dijadikan limbah dan dibuang begitu saja,
padahal dari kulit mete tersebut dapat dihasilkan minyak mete yang memiliki nilai
jual cukup besar. Hal ini disebabkan karena para petani mete di Wonogiri tidak
mengetahui pasar yang dapat dituju untuk menjadi sasaran penjualan minyak
mete. Padahal apabila produksi minyak mete dikembangkan maka dapat menjadi
sebuah sektor industri yang baru yang dapat mengangkat kehidupan masyarakat
petani mete dan menjadi pembuka lapangan kerja baru yang dapat menyerap
banyak tenaga kerja.
Berdasarkan pemikiran tersebut, kami tertarik untuk mengangkat tema
tentang bagaimana mengoptimalkan minyak mete dan menjadikannya sebagai
sebuah lapangan kerja baru bagi masyarakat Wonogiri? serta bagaimana cara
mengelola industri minyak mete ini agar dapat memberikan keuntungan yang
besar bagi para petani mete.

Manfaat dan Tujuan

Manfaat dan tujuan dari diadakannya Program yang bernama ”Jembatan


Miyak Mete” ini antara lain:
1. Meningkatkan taraf hidup masyarakat di desa-desa Wonogiri
2. Menciptakan lapangan kerja baru berupa industri kecil minyak mete
3. Mengolah kulit kacang mete yang tadinya hanya menjadi limbah menjadi
sesuatu yang memiliki daya guna lebih
4. Memotivasi daerah penghasil kacang mete lain untuk dapat memanfaatkan
kulit kacang mete menjadi minyak mete.
5. Meningkatkan kreativitas mahasiswa dalam mengimplementasikan ilmu
yang didapat
6. Menambah pengalaman Mahasiswa bersosialisasi dengan masyarakat luas.

GAGASAN

Usaha Minyak Mete di Wonogiri memiliki potensi yang sangat besar.


Kabupaten ini memiliki lahan mete seluas 21.658 hektar dan menghasilkan 12.470
ton kacang mete setiap tahunnya (Departemen Pertanian: 2007). Produk mete dari
Wonogiri pada umumnya dikemas dalam bentuk kacang mete dan gelondongan
mete. Sedangkan kulitnya seringkali hanya dijadikan limbah karena dianggap
tidak memiliki nilai daya guna. Dalam satu tahun, limbah kulit mete di Kabupaten
Wonogiri 6.210 ton. Harga kulit mete Rp 15.000 per karung saat produksi
berlimpah. Di luar musim panen, harga kulit mete melonjak hingga Rp 28.000 per
karung dengan isi 8-9 kilogram. Limbah kulit mete tersebut pada umumnya hanya
digunakan sebagai kayu bakar. Padahal jika Limbah kulit mete tersebut diolah,
dapat menjadi minyak mete (Cashew Nut Shell Liquid atau CNSL) untuk
campuran bensin, cat genteng, hingga untuk kepentingan industri minyak rem.
Minyak mete juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan perekat kayu karena terdapat
senyawa kardanol sekitar 70%. Pemanfaatan minyak dari kulit jambu mete untuk
perekat kayu bisa menghemat devisa pada industri kayu lapis nasional karena
tidak perlu mengimpor fenol formaldehid. Selama 1998-2002 Indonesia
3

mengimpor fenol rata-rata 32.090 ton/tahun atau senilai 24.552.971 dolar AS dan
resin fenolik rata-rata 20.570 ton/tahun atau senilai 16.707.203 dolar AS. Sektor
industri kayu juga mengimpor 14.865 ton fenol/tahun. (ristek.go.id)
Pemanfaatan minyak kulit jambu mete sebagai perekat kayu juga lebih
memberikan jaminan keamanan karena tidak menimbulkan penyakit kulit dan
infeksi saluran nafas sebagaimana dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh
fenol. Penggunaan kulit minyak jambu mete sebagai perekat tripleks pernah diuji
coba oleh Biotrop Bogor. Fungsi lainnya adalah dapat dipakai sebagai bahan
pestisida nabati, pengawet kayu, serta oli rem mobil dan pesawat terbang.
(litbang.deptan.go.id)
Hasil olahan minyak mete biasanya dikirim ke pabrik kampas rem di
Jakarta, Semarang dan Pabrik cat di Surabaya. Dari Surabaya dan Jakarta, Minyak
Mete tersebut kemudian diekspor ke Filipina dengan harga Rp. 16 ribu/kg. Usaha
minyak mete tersebut memberi keuntungan yang sangat besar kepada para petani
namun sayangnya hal tersebut kurang dapat dimanfaatkan oleh para petani mete
di Wonogiri. Hal tersebut kemudian menjadi pertanyaan bagi kami terkait
masalah apakah yang terdapat pada minyak mete sehingga minyak mete kurang
dimanfaatkan untuk mendapat dana tambahan.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami mengadakan observasi ke
kecamatan Jatiroto yang terdapat di kabupaten Wonogiri. Kecamatan ini dipilih
karena merupakan penghasil Kacang Mete yang relatif besar di Wonogiri. Selain
itu, alasan dipilihnya kecamatan ini sebagai tempat observasi adalah tempatnya
yang cukup terpencil dengan masyarakat yang masih tergolong kedalam tingkat
pedesaan sehingga dapat menjadi kawasan percontohan terkait dengan usaha
pemanfaatan limbah kulit mete menjadi minyak mete (CNSL) dengan asumsi
apabila daerah sekelas Jatiroto dapat maju oleh pengolahan minyak mete, maka
teknik ini juga dapat diterapkan di daerah lain.

Gambar 1. Peta Kabupaten Wonogiri dan lokasi Kecamatan Jatiroto

Lokasi
Kecamatan
Jatiroto

Keterangan: Peta dalam kotak adalah Peta Jawa tengah, bagian yang berwarna
gelap menunjukkan lokasi kabupaten Wonogiri, sedangkan gambar
peta yang besar adalah peta Kabupaten Wonogiri, gambar yang
berwarna gelap menunjukkan lokasi kecamatan Jatiroto.

Kecamatan Jatiroto ini terletak di sebelah timur kabupaten Wonogiri,


letaknya yang cukup terpencil membuat Kecamatan ini tidak begitu dikenal oleh
masyarakat luar Kabupaten Wonogiri, jarak antara Kabupaten Wonogiri dengan
Kecamatan Jatiroto mencapai 100 Kilometer. Jalan yang dilalui untuk menuju
4

Kecamatan ini tergolong sedikit rusak, sebagian besar badan jalan masih
didominasi oleh jalan batu, hanya 23 % Jalan yang sudah berbentuk aspal (Data
Kecamatan Jatiroto: 2010). Namun hal itu masih tergolong baik jika dibandingkan
dengan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Wonogiri. Kecamatan Jatiroto
memiliki 15 Desa. Kecamatan ini memiliki luas 62,77 km2 dengan jumlah
penduduk 43.312 orang pada tahun 2009. Wilayah kecamatan Jatiroto ini
didominasi oleh hutan. Sebagian besar masyarakatnya bekerja sebagai petani.
(Kabupaten Wonogiri: 2007)

Dalam observasi yang kami lakukan pada tanggal 21 hingga 28 febuari


2009 di Kecamatan Jatiroto, pandangan awal yang kami dapatkan adalah pohon
mete begtu dekat dengan masyarakat kecamatan Jatiroto, hampir disetiap
perumahan penduduk terdapat pohon mete. Perkebunan Mete mendominasi
wilayah kecamatan Jatiroto. Untuk mempertajam hasil observasi tersebut, kami
melakukan survei terhadap masyarakat untuk mengetahui seberapa erat
keterkaitan antara pohon mete dengan masyarakat kecamatan Jatiroto, apa
manfaat pohon mete bagi masyarakat, apa yang membuat masyarakat tertarik ntuk
menanam pohon mete di sekitar rumahnya, apa saja yang dapat dihasilkan dari
pohon mete, serta sejauh mana pemanfaatan kulit mete oleh masyarakat. Hasil
survei tersebut antara lain sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Survei


Apa Manfaat Pohon Mete Bagi Masyarakat?
Penghasilan Tambahan Dapat Dimakan Tidak Tahu
84% 9% 7%
Berapa Pohon Mete yang dimiliki saat ini?
1 – 10 10 – 20 20 – 50 50 – 100 Lebih Dari 100
74% 17% 6% 3% 1%
Alasan Menanam Pohon Mete?
Kebutuhan Ikut Tetangga Tidak Tahu/Tumbuh Sendiri
12% 21% 67%
Bagian Pohon Mete yang Dapat Dijual
Kacang Mete Kayu/Kulit Mete Buah Mete
91% 8% 1%
Keterangan:
1. Penelitian ini melibatkan 1000 koresponden di kecamatan Jatiroto
2. Semua koresponden menanam pohon mete dirumahnya
3. Koresponden dipilih secara acak (50 – 100 orang tiap desa)
4. Penelitian dilakukan pada 21 hingga 28 Febuari 2010
5. Data diolah secara mandiri

Dari data survei diatas, dapat diketahui bahwa sebagian besar atau 74%
masyarakat Kecamatan Jatiroto memiliki setidaknya 1 – 10 pohon mete disekitar
pekarangan rumahnya. 67% dari koresponden sebenarnya tidak peduli atau
setidaknya kurang peduli terhadap pohon mete. Kesadaran masyarakat terhadap
manfaat pohon mete kurang besar sehingga mereka tidak dapat memanfaatkan
kelebihan mete secara optimal.
5

Memang, 84% koresponden mengatakan bahwa Pohon Mete memiliki


manfaat yang cukup besar terutama dalam menambah penghasilan sehari-hari.
Pada musim kering, mereka biasanya dapat memanen kacang mete sehingga dapat
memperoleh penghasilan tambahan, akan tetapi sebagian besar masyarakat
tersebut (91%) hanya memanfaatkan pada hasil kacang mete, adapun bagian
lainnya kurang begitu dimanfaatkan. Terdapat 8% Koresponden yang
menyatakan bahwa kulit dan kayu mete dapat dijual, akan tetapi penjualan kayu
dan kulit mete tersebut masih terbatas hanya digunakan untuk kayu bakar,
sedangkan terkait dengan usaha untuk mengubah kulit dan kayu mete menjadi
minyak mete (CNSL) belum pernah terpikirkan oleh masyarakat karena belum
terdapat sosialisasi dan penyuluhan terkait dengan cara pembuatan minyak mete
(CNSL) dari kulit mete.
Kesimpulan sementara yang dapat diambil dari kegiatan survei tersebut
adalah ketertarikan masyarakat Jatiroto, Wonogiri terhadap mete saat ini masih
tergolong rendah. Masyarakat masih terpaku pada kacang mete sebagai hasil
utama yang bisa diperoleh dari pohon mete, padahal selain kacang mete, bagian
lain dari pohon mete, seperti kulitnya masih dapat dimanfaatkan. Hanya saja
karena keterbatasan masyarakat Jatiroto dalam memperoleh informasi terkait
dengan cara mengolah kulit mete agar memiliki nilai lebih menjadi minyak mete
masih jarang, bahkan dapat dibilang tidak ada sama sekali.
Dari masalah tersebut, kami mencoba memberikan gagasan tentang
strategi yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan pengembangan
minyak mete di kecamatan Jatiroto. Setidaknya terdapat 4 teknik yang dapat
digunakan untuk mengembangkan minyak mete di kecamatan Jatiroto. Keempat
teknik tersebut antara lain:
1. Memperkenalkan Minyak Mete (CNSL) dan manfaatnya kepada
masyarakat Jatiroto selaku calon Produsen.
2. Memberikan Pelatihan Kepada Masyarakat Jatiroto terkait cara
pengolahan Kulit Mete menjadi Minyak Mete (CNSL)
3. Mempromosikan Minyak Mete (CNSL) hasil olahan Masyarakat Jatiroto
kepada para Pengusaha Industri.
4. Membentuk sebuah asosiasi ”Jembatan Minyak Mete” yang berfungsi
untuk menampung, mengelola dan mendistribusikan minyak mete hasil
olahan masyarakat Jatiroto kepada Pengusaha Industri.
Tahap pertama, memperkenalkan minyak mete kepada masyarakat
Jatiroto selaku calon produsen. Proses ini merupakan proses kampanye minyak
mete yang isinya antara lain menyangkut tentang keuntungan-keuntungan apabila
mengolah kulit mete menjadi minyak mete, potensi usaha dari pengolahan minyak
mete serta kemudahan dalam mengolah kulit mete menjadi minyak mete. Dalam
hal ini, kami telah berusaha mengampanyekan minyak mete kepada para kepala
desa yang terdapat di kecamatan Jatiroto.
Presentasi tersebut dilaksanakan pada tanggal 14 hingga 16 Maret 2010 di
6 rumah kepala desa, yakni desa Pingkuk, Mojopuro, Ngelo, Pengkol, Jatirejo dan
Duren. Dari hasil presentasi tersebut, kami mendapatkan respon yang sangat baik
dari para kepala desa. Dari keenam kepala desa yang kami kunjungi hanya satu
kepala desa yang sudah mengetahui manfaat kulit mete tersebut. Selebihnya sama
sekali baru mengetahui dan tertarik untuk mengembangkan kulit mete untuk
menjadi bahan baku industri tersebut. Kampanye minyak ini dikemas dalam
6

bentuk presentasi kecil dihadapan para kepala desa tentang minyak mete yang
dikemas dalam bagan sederhana sebagai berikut:

Tabel 2. Potensi Minyak Mete

Minyak Mete (CNSL)

Bahan Baku Industri Bahan Baku Industri

Cat, Vernis, Pelitur Pencelup Trafo

Damar, Tinta Pencelup Magnet

Karet Sintetis Pengikat Cairan


Minyak Pelumas Rem,
Anti Oksidan Bensin
Pengawet Kayu
Enamel, Kosmetik Pembuatan Malam

Deterjen Kalsium Anti Oksidan Minyak


Pemecah Emulsi
Pestisida, Insektisida

Sumber: Departemen Pertanian, 2007

Usaha yang kami lakukan saat ini, baru terbatas hingga tingkat
mengkampanyekan pembuatan minyak mete kepada enam kepala kelurahan dari
total 15 kelurahan yang ada di kecamatan Jatiroto. Hal ini dikarenakan
keterbatasan dalam beberapa hal seperti masalah dana dan waktu. Namun dari
tahap pertama yang sudah kami laksanakan ini, asumsi sementara kami
mengatakan bahwa dampak yang dihasilkan dari kampanye pembuatan minyak
mete kepada masyarakat Jatiroto. Hal ini dibuktikan dari antusias warga yang
sangat tinggi. Kepala Kelurahan Pingkuk sudah meminta kami untuk memberikan
pelatihan tentang teknis pembuatan minyak mete, sedangkan Kepala Kelurahan
Mojopuro, Ngelo, Pengkol, Jatirejo dan Duren saat dikonfirmasi 3 hari kemudian
mengatakan bahwa warga cukup tertarik namun masih mempertanyakan adakah
kemungkinan dampak dari pembuatan minyak mete tersebut misalnya terkait
dengan limbah yang dapat mencemari lingkungan serta berbagai macam
pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan lain yang akan dihadapi.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab saat kita mulai memasuki ke dalam
tahap selanjutnya.
Tahap Kedua, Memberikan Pelatihan kepada masyarakat Jatiroto terkait
cara pengolahan kulit mete menjadi minyak mete. Proses ini merupakan proses
pendidikan, ada dua jenis pendekatan yang harus dilakukan dalam tahap ini yatu
pendekatan teori dan pendekatan praktek. Pendekatan teori digunakan untuk
7

memberi pengetahuan dasar secara singkat kepada masyarakat tentang masalah-


masalah minyak mete, apa saja kandungan minyak mete, apa dampak dari
kandungan tersebut, seberapa bahaya dampak minyak mete tersebut terhadap
manusia dan lingkungan serta bagaimana cara mengatasinya.
Pendekatan teori ini sangatlah penting karena dapat menyangkut masalah
keselamatan kerja dan pencemaran lingkungan, tanpa adanya pendekatan teori ini
dikhawatirkan masyarakat saat menjalankan usaha pengolahan minyak mete ini
nantinya akan melakukan kesalahan kerja yang dapat mengakibatkan kecelakaan
kerja dan lingkungan. Kami sudah berusaha untuk melakukan sebuah usaha kecil
dengan membuat sebuah panduan sederhana yang berisi kandungan minyak mete
serta berbagai dampaknya. Panduan ini kami buat sesederhana mungkin dengan
bahasa yang sesuai dengan pola pikir masyarakat tanpa menyimpang dari inti
materi sesungguhnya sehingga diharapkan panduan tersebut dapat diterima oleh
masyarakat Jatiroto yang masih awam dengan istilah-istilah ilmiah.
Setelah dilakukan pendekatan secara teori seperti tersebut diatas, maka
selanjutnya keterampilan masyarakat ini perlu diasah melalui pendekatan praktik.
Masyarakat perlu diajak untuk berlatih secara nyata tentang proses pembuatan
minyak mete, dalam hal ini perlu diarahkan dari bahan mentah berupa kulit mete
hingga kedalam pengemasan. Untuk tahap pemula, masyarakat bisa diberikan
materi tentang pembuatan minyak mete secara sederhana.
Proses pembuatan minyak mete secara sederhana. Kulit mete yang sudah
dibersihkan, dipanaskan diatas tungku yang berisi minyak goreng. Sebenarnya,
minyak itu hanya berfungsi untuk memancing keluarnya minyak mete, sehingga
komposisi minyak goreng yang dipakai hanya sedikit. Sebagai gambaran, untuk
lima hingga sepuluh kilogram limbah mete, dibutuhkan minyak goreng yang
berasal dari minyak kelapa sekitar satu liter. Dari hasil olahannya itu, bisa
dihasilkan minyak mete tiga sampai lima liter. Di pasaran, harga minyak mete
mencapai Rp. 4.500 per liter.
Apabila masyarakat, sudah mulai terampil dalam mengolah minyak mete
menggunakan teknik sederhana, maka langkah selanjutnya adalah dengan
meningkatkan keterampilan ke tingkat penggunaan alat.masyarakat tidak lagi
mengolah minyak menggunakan minyak kelapa. Teknik lain yang dapat
digunakan dalam pembuatan minyak mete adalah dengan menggiling kulit mete
dengan mesin rakitan sederhana guna mengeluarkan minyaknya yang kemudian
dialirkan ke enam kolam tahap demi tahap untuk menghasilkan minyak yang
jernih. Perlu waktu dua minggu hingga seluruh proses selesai. Dari 5 ton kulit
mete dapat dihasilkan 600 kilogram minyak CNSL. Dengan alat sederhana ini,
proses pembuatan minyak mete menjadi lebih cepat dan menguntungkan karena
tidak memerlukan banyak biaya terutama untuk pembelian minyak kelapa. Hanya
saja untuk mencapai kedalam tingkat ini diperlukan biaya tambahan untuk
membangun kolam penjernih minyak.
Tahap Ketiga, Mempromosikan Minyak Mete (CNSL) hasil olahan
masyarakat Jatiroto kapada para pengusaha industri. Promosi ini dilaksanakan
setelah masyarakat Jatiroto berhasil membuat minyak mete dan menjadi sentra
pengolahan minyak mete. Promosi ini tentu saja sangat membutuhkan peran yang
sangat besar dari pihak Pemerintah Kabupaten Wonogiri, mengingat target dalam
promosi ini adalah pengusaha indutri sehingga apabila promosi dilakukan oleh
petani mete maka kemungkinan keberhasilan dijalinnya kerjasama diantara
8

keduanya. Seandainya terjalin kerjasama pun dikhawatirkan timbul masalah


karena perbedaan cara komunikasi.
Keuntungan yang didapat jika promosi ini dilaksanakan oleh pemerintah
daerah akan lebih maksimal daripada hanya dilaksanakan oleh swasta ataupun
secara mandiri. Baik pihak petani maupun pemerintah daerah akan memperoleh
keuntungan dengan stratgei ini. Bagi petani, keuntungan yang diperoleh adalah
terjalinnya kerjasama dengan pengusaha secara cepat karena pihak pemerintah
memiliki jaringan yang sangat luas terhadap para pengusaha industri di luar kota,
terutama kota-kota besar, selain itu, pihak pengusaha industri akan lebih dapat
menanam kepercayaan karena usaha pembuatan minyak mete tersebut sudah
diakui oleh pemerintah daerah, bahkan dipromosikan secara langsung oleh
pemerintah daerah.
Sedangkan bagi pemerintah daerah, promosi tersebut dapat menghasilkan
keuntungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Keuntungan secara
langsung dapat berupa pajak yang dihasilkan dari pajak penjualan minyak mete
dari para petani, dan meningkatkan arus perdagangan dari dan menuju ke
kabupaten Wonogiri. Adapun keuntungan secara tidak langsung yang dihasilkan
dari promosi minyak mete ini antara lain, turut membantu membuka lapangan
kerja baru sehingga jumlah pengangguran di Kabupaten Wonogiri dapat
terkurangi dan menyerap kembali tenaga kerja asal Wonogiri yang tersebar di
kota-kota besar, meningkatkan iklim investasi yang disebabkan oleh adanya
gairah usaha didalam tubuh masyarakatnya, mewujudkan cita-cita Kabupaten
Wonogiri untuk menjadi Sukses sesuai dengan slogannya. Hal-hal tersebut
merupakan keuntungan dalam jangka panjang bagi Kabupaten Wonogiri.
Secara teknis, promosi minyak mete (CNSL) ini dapat dilaksanakan dalam
berbagai bentuk, mulai dari kegiatan seminar, workshop, pameran terkait minyak
mete dengan peserta para pengusaha industri yang berkebutuhan minyak mete
(CNSL), teknik lain yang dapat digunakan adalah dengan mengundang sebanyak-
banyaknya perusahaan industri dari kota besar untuk melakukan study tour, dan
kunjungan kerja ke berbagai daerah pedesaan di Kabupaten Wonogiri yang
menjadi penghasil minyak mete. Apabila kedua teknik tersebut dapat
membuahkan hasil yang positif dan menjanjikan, maka teknik selanjutnya adalah
dengan melakukan promosi secara akbar.
Promosi secara akbar ini dapat dilaksanakan dengan cara membuat release
setiap hari kepada media massa baik cetak maupun elektronik sehingga minyak
mete (CNSL) dapat dikenal oleh kalangan luas. Lebih dari itu, kabupaten
Wonogiri dapat melakukan promosi yang lebih dahsyat lagi dengan cara
menumbuhkan sebuah ikon baru di Kabupaten Wonogiri seperti ”Wonogiri,
Minyak Mete” atau ”Wonogiri kota CNSL” dan sebagainya. Ikon baru seperti
terbukti sangat efektif dalam mempengaruhi pola pikir masyarakat, misalnya
adalah Kota Solo yang membuat ikon baru menjadi ”Solo, Ibukota Batik”
sehingga membuat masyarakat menjadi hafal dan mengidentikan kota Solo
dengan Batik. Hal ini tidak menutup kemungkinan, jika Kabupaten Wonogiri
berani untuk menambah ikon ”Wonogiri, Kota Minyak Mete” maka akan
menumbuhkan sebuah pola pikir baru pada masyarakat.
Tahap Keempat, Membentuk sebuah asosiasi ”Jembatan Minyak Mete”
yang berfungsi untuk menampung, mengelola dan mendistribusikan minyak mete
hasil olahan masyarakat Jatiroto kepada Pengusaha Industri. Asosiasi ini berfungsi
9

untuk menghimpun para petani yang mengolah minyak mete, menentukan harga
minyak mete di pasaran, membuat peraturan-peraturan terkait dengan batas-batas
yang boleh dan dilarang dalam pembuatan minyak mete, sertamemberikan baik
berupa bantuan modal maupun lainnya kepada sesama anggota asosiasi ”Jembatan
Minyak Mete”. Asosiasi ini bertujuan untuk menjaga stabilitas harga minyak mete
di pasaran agar kesejahteraan petani minyak mete dapat terjamin.
Istilah ”Jembatan Minyak Mete” ini diambil dengan harapan agar asosiasi
ini dapat membantu masyarakat menjadi alat penghubung dari masyarakat petani
mete di desa-desa Wonogiri kepada para pengusaha industri di kota-kota besar.
Makna lain dari istilah ”Jembatan Minyak Mete” ini adalah sebagai jalan
mengeluarkan masyarakat pedesaan di Kabupaten Wonogiri dari keterbelakngan
menuju ke arah lebih baik.
Ke depan, diharapkan asosiasi ini dapat berjalan dengan sangat baik,
sehingga pangsa pasar yang dituju bukan hanya dalam negeri, tetapi juga luar
negeri. Peluang ekspor CNSL masih sangat terbuka. Data International Trade
Center (ITC) menunjukkan bahwa kebutuhan Amerika Serikat mencapai 7.420
ton CNSL yang sebagian besar masih dipenuhi dari India dan Brazil (ikm.
deperrin.go.id). Ini merupakan tantangan bagi negara Indonesia agar mampu
bersaing dengan kedua negara tersebut, mengingat jumlah mete di Indonesia
sangat banyak sehinggperlu dioptimalkan dalam pengolahannya menjadi minyak
mete.

KESIMPULAN

Kabupaten Wonogiri merupakan penghasil mete terbesar di Indonesia.


Kabupaten ini memiliki lahan mete seluas 21.658 hektar dan menghasilkan 12.470
ton kacang mete setiap tahunnya. Selain menghasilkan kacang mete, sebenarnya
pohon mete juga dapat menghasilkan minyak mete atau Cashew Nut Shell Liquid
(CNSL) namun potensi ini belum digali oleh masyarakat Wonogiri dikarenakan
tidak adanya informasi terkait cara pembuatan minyak mete dan kepada saja
minyak mete tersebut dapat dijual. Padahal secara ekonomis, minyak mete
memiliki keuntungan yang sangat besar. Oleh karena itu diperlukan strategi-
strategi khusus agar dapat mengembangkan minyak mete dan menjadikannya
sebagai komoditas baru di kabupaten Wonogiri sehingga dapat mengangkat
perekonomian kabupaten Wonogiri.
Terdapat empat langkah yang dapat diambil untuk mengembangkan
minyak mete ini, yaitu
1. Memperkenalkan Minyak Mete (CNSL) dan manfaatnya kepada
masyarakat Jatiroto selaku calon Produsen.
2. Memberikan Pelatihan Kepada Masyarakat Jatiroto terkait cara
pengolahan Kulit Mete menjadi Minyak Mete (CNSL)
3. Mempromosikan Minyak Mete (CNSL) hasil olahan Masyarakat Jatiroto
kepada para Pengusaha Industri.
4. Membentuk sebuah asosiasi ”Jembatan Minyak Mete” yang berfungsi
untuk menampung, mengelola dan mendistribusikan minyak mete hasil
olahan masyarakat Jatiroto kepada Pengusaha Industri.
10

Keempat langkah tersebut sangat memungkinkan duterapkan didalam


masyarakat Kabupaten Wonogiri secara umum, karena sudah disesuaikan dengan
kondisi sosiologis masyarakat kabupaten Wonogiri. Langkah-langkah tersebut
sangat memerlukan dukungan dari berbagai pihak terutama dari kalangan
pemerintah daerah, petani minyak mete dan kalangan akademisi. Perpaduan
diantara ketiganya akan memberikan hasil yang sangat maksimal dalam proses
pengembangan minyak mete.

DAFTAR PUSTAKA

Buku:
Departemen Pertanian. 2007. Kacang Mete, Manfaat dan Khasiatnya. Jakarta.
Kabupaten Wonogiri. 2007. Statistika Kabupaten Wonogiri, Wilayah, Penduduk
dan Sumber Daya Alam. Wonogiri.
Kalingga, Dedi. 2004. Potensi Daerah dan Permasalahannya. Jakarta.
Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah, 2003. Rencana Pengelolaan dan
Konservasi Hutan, Bagian Prencanaan Hutan, Salatiga.
Perum Perhutani KPH Jatiroto. 2005. Rencana Pengelolaan dan Konservasi
Hutan 2005-2010, Bagian Prencanaan Hutan, Salatiga.

Website:
http://ristek.go.id
http://ikm.depperin.go.id/Publikasi/KumpulanArtikel/tabid/67/articleType/Article
View/articleId/19/Default.aspx
http://www.litbang.deptan.go.id/berita/one/792

You might also like