Professional Documents
Culture Documents
DAN
PERJANJIAN INTERNASIONAL
Oleh: DR. Saharuddin Daming, SH.MH
Komisioner Sub Komisi Pendidikan dan Penyuluhan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
A. Pendahuluan
Seiring dengan terjadinya langkah reformasi yang dilancarkan oleh para
komisioner baru dalam tubuh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
menyusul adanya badai kritik dan ketidakpuasan terhadap kinerja lembaga negara
tersebut selama ini, maka segala upaya peningkatan kualitas sumber daya lembaga kini
menjadi skala prioritas untuk digalakkan demi mendorong akselerasi dinamika Komnas
HAM merebut kembali reputasi dan kepercayaan publik. Salah satu wujud reformasi
fundamental dimaksud adalah perubahan pada sub komisi yang semula dibentuk
berdasarkan tematik, kini diorientasikan justru pada fungsi Komnas HAM sendiri
sebagaimana yang diatur pada pasal 76 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam Komnas HAM, maka dalam sidang
paripurna tertanggal 6 September 2007 para komisioner telah menetapkan empat sub
komisi yang akan menjadi basis pergerakkan pelaksanaan fungsi Komnas HAM dalam
mencapai tujuan, setidaknya untuk periode 2007 - 2012. Ke empat sub komisi yang kini
menjadi titik sentral aktivitas Komnas HAM dalam mempromosikan, memajukan,
melindungi dan menegakkan hak asasi manusia yaitu sub komisi pengkajian dan
penelitian, pendidikan dan penyuluhan, pemantauan dan penyelidikan serta sub komisi
mediasi. Ke empat sub komisi dimaksud masing-masing telah mempunyai program dan
mekanisme kerja yang disusun berdasarkan job discription dari strategi planning yang
dibreakdown oleh peraturan tata tertib Komnas HAM.
Sesuai dengan maksud dari ketentuan pasal 89 (1) UU No. 39 Tahun 1999
khususnya mengenai fungsi Komnas HAM dalam bidang pengkajian dan penelitian,
maka sub komisi ini setidaknya mempunyai tugas dan tanggung jawab antara lain:
a. Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia
dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau
ratifikasi.
b. Pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang-undangan untuk
memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan dan pencabutan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
c. Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian.
d. Studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai hak
asasi manusia.
e. Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan. Penegakkan
dan pemajuan hak asasi manusia.
f. Kerja sama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak
lainnya, baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak
asasi manusia.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka salah satu tugas dan kewenangan
Komnas HAM dalam bidang pengkajian dan penelitian adalah melakukan pengkajian dan
penelitian berbagai instrumen internasional hak asasi manusia dengan tujuan memberikan
saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi. Untuk mencapai hal
tersebut, maka seluruh jajaran Komnas HAM terutama para komisioner dan staf dalam
sub komisi pengkajian dan penelitian, perlu mempunyai pengetahuan dan pemahaman
praktis tentang pranata ratifikasi dan perjanjian internasional.
Hal ini penting sekali dilakukan demi menempatkan jajaran Komnas HAM pada
tingkat kemahiran, keterampilan dan kemampuan yang signifikan untuk melakukan
berbagai prakarsa, usaha dan langkah terobosan terhadap kemungkinan aksesi dan atau
ratifikasi berbagai perjanjian internasional tentang HAM. Untuk itulah, maka penulis
sebagai salah seorang komisioner Komnas HAM memandang perlu menyusun makalah
ini untuk menjelaskan ala kadarnya tentang paranata ratifikasi dan perjanjian
internasional.
B. Pengertian Ratifikasi dan Ruang Lingkupnya
Menurut M. Afif Hasbullah (2005: 15) secara etimologi ratifikasi berasal dari
bahasa latin yaitu ”ratificare” yang terbentuk dari kata ratus yang berarti dimantapkan
(fixed) dan facto yang berarti dibuat atau dibentuk (made). Jadi secara harfiah ratifikasi
dapat berarti dibuat mantap atau disahkan melalui persetujuan (make valid by approving),
dalam hal ini jika suatu perjanjian internasional telah ditandatangani, maka diperlukan
suatu kekuatan secara hukum agar dapat berlaku secara mantap melalui persetujuan yang
dilakukan dengan lembaga ratifikasi. Ratifikasi itu sendiri dalam bahasa latin mempunyai
dua arti, pertama, ratum babare dan ratum ducere, ratifikasi dalam hal ini bersifat
deklarator karena hanya mengesahkan suatu perjanjian yang telah disepakati oleh wakil-
wakil negara, kedua, ratum facare dan ratum alicui esse, ratifikasi dalam hal ini bersifat
konstitutif karena merupakan pengesahan semua ketentuan yang tercantum dalam
perjanjian, yang berarti dapat mengikat bagi negara peserta.
Hal serupa juga diterangkan dalam oxford dictionary (1995: 964). Ratification (n)
berasal dari asal kata ratify (v) yang berarti to make an agreement, a contract, etc
officially valid, usually by signing it. Selanjutnya dalam black’s law dictionary (1999:
1268) dijelaskan lebih rinci, ratification (n). 1. Confirmation and acceptance of a
previous act, thereby making the act valid from the moment it was done <the board of
directors ratification of the president’s resolution>. 2. Contracts. A person’s binding
adoption of an act already completed but either not done in a way that orginally
pruduced a legal obligation or done by a third party having at the time no authority to
act as the person’s agent <an adult’s ratification of a contract signed during childhood is
necessary to make contract enforceable>. ”Ratification may take place by express words
indicating an intention to confirm the contract. These words may consist of a new
express promise, or such words as ‘I do ratify and confirm.’ A more acknowledgment
that the contract was in fact made and that it has not been performed is not sufficient as
a ratification. It is sometimes said that a ratification is ineffective unless made wiyh
knowledge of the possession of a legal power to disaffirm, but the cases holding the
contrary seem to have the better reason.” William R.Anson, Principles of the law of
contract 179-80 (Arthur L. Corbin ed., 3d Am. ed. 1919). 3. Int’l law. The final
establishment of consent by the parties to a treaty to be bound by it usually including the
exchange or deposit of instruments of ratification <the ratification of the nuclear-
weapons treaty>. – ratify, vb. Cf. CONFIRMATION. Dalam KBBI (Tahun 2002: 934)
ratifikasi adalah pengesahan suatu dokumen negara oleh parlemen, khususnya
pengesahan undang-undang, perjanjian antar negara, dan persetujuan hukum
internasional. Dalam artikel 2 (1a) Konvensi Wina 1969 menentukan, Ratification means
in each case the international act so named whereby a state establishes on the
international plan its consent to be bound by treaty.
Berdasarkan deskripsi dikemukakan di atas dapatlah dipahami bahwa ratifikasi
tidak lain merupakan suatu bentuk persetujuan oleh otoritas negara atas suatu perjanjian
yang bersifat bilateral, multirateral maupun internasional. Sebagai perbuatan hukum
(handling), ratifikasi mempunyai akibat hukum yaitu daya mengikat bagi siapa yang
melakukannya. Bahkan jika ada suatu instrumen hukum internasional yang diratifikasi
oleh mayoritas otoritas dunia khususnya negara-negara anggota PBB, maka instrumen
tersebut juga bersifat mengikat otoritas negara lain sekalipun tidak ikut meratifikasinya.
Dilekatkannya daya mengikat pada suatu perjanjian intenasional yang telah diratifikasi
tidak lain adalah untuk berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap penggunaan
wewenang yang telah diberikan kepada treaty making power tidak melampaui batas.