Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Departemen Geografi
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan satu kota tidak akan sama dengan perkembangan kota lain. Kota dapat
berkembang secara alamiah ataupun secara teratur dan terarah sesuai dengan rencana kota.
Faktor-faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerjapada suatu kota dapat
mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu arah tertentu.
Perkembangan kota secara umum menurut Branch (1995) sangat dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi internal yang menjadi unsur terpenting dalam perencanaan kota secara
komprehensif. Unsur eksternal yang menonjol juga dapat mempengaruhi perkembangan kota.
Faktor internal yang mempengaruhi perkembangan kota adalah:
1. Keadaan geografis yang mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota yang
berfungsi sebagai simpul distribusi, perlu terletak di simpul jalur transportasi, di
pertemuan jalur transportasi regional atau dekat pelabuhan laut.
2. Tapak (site) merupakan faktor-faktor kedua yang mempengaruhi perkembangan suatu
kota. Salah satu yang dipertimbangkan dalam kondisi tapak adalah topografi. Kota yang
berlokasi di dataran yang rata akan mudah berkembang ke semua arah, sedangkan yang
berlokasi di pegunungan biasanya mempunyai kendala topografi. Kondisi tapak lainnya
berkaitan dengan kondisi geologi. Daerah patahan geologis biasanya dihindari oleh
perkembangan kota.
3. Fungsi kota juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota-kota
yang memiliki banyak fungsi, biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan akan
berkembang lebih pesat daripada kota berfungsi tunggal, misalnya kota pertambangan,
kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, biasanya juga berkembang lebih pesat
daripada kota berfungsi lainnya. Short (1984) mengemukakan terdapat lima fungsi kota
yang dapat mencerminkan karakteristik struktur ruang suatu kota, yaitu: (a) kota sebagai
tempat kerja, (b) kota sebagai tempat tinggal, (c) pergerakan dan transportasi, (d) kota
sebagai tempat investasi, (e) kota sebagai arena politik.
4. Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karakteristik fisik dan sifat masyarakat kota.
Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu kota kerajaan akan berbeda dengan
perkembangan kota yang sejak awalnya tumbuh secara organisasi. Kepercayaan dan
kultur masyarakat juga mempengaruhi daya perkembangan kota. Terdapat tempat-tempat
tertentu yang karena kepercayaan dihindari untuk perkembangan tertentu.
5. Unsur-unsur umum, misalnya jaringan jalan, penyediaan air bersih berkaitan dengan
kebutuhan masyarakat luas, ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik kota ke arah
tertentu.
Childe dalam Pacione (2005) menentukan sepuluh karakteristik dari peradaban perkotaan
sebagai berikut :
Karakteristik primer
1. Ukuran dan kepadatan kota. Penambahan jumlah populasi berarti perluasan level dari
integrasi sosial.
2. Spesialisasi pekerjaan. Pembagian pekerjaan yang jelas diantara pekerja, sebagai suatu
sistem distribusi dan pertukaran.
3. Konsentrasi surplus. Ada arti sosial untuk pekerjaan mengumpulkan dan mengelola
kelebihan (surplus) produksi petani dan pekerjaan tangan yang lainnya.
4. Masyarakat yang terstruktur secara kelas. Kelas istimewa penguasa agama, politikus
dan militer merupakan pejabat yang terstruktur dan mengatur masyarakat.
5. Pengaturan negara. Ada pengaturan baik yang terstruktur dengan anggota masyarakat
yang berdasarkan satu wilayah tempat tinggal. Hal ini menggantikan identifikasi politik
yang berdasrkan hubungan kekerabatan.
Karakteristik sekunder
Duncan dalam Pacione (2005) menjabarkan pra-kondisi dari perkembangan perkotaan masa
pra-industri, yaitu sebagai berikut :
Populasi
Kehadiran populasi ukuran tertentu yang berada permanen di satu tempat adalah
syarat utama. Lingkungan, tingkat teknologi dan organisasi sosial semua membatasi
seberapa besar populasi akan tumbuh. Terutama yang penting adalah sejauh mana basis
pertanian menciptakan surplus makanan untuk mempertahankan kota populasi. Kota-kota
awal relatif kecil dalam bila dibandingkan dengan kota modern sekarang, yaitu sekitar
kurang lebih 25.000 jiwa.
Lingkungan
Kunci pengaruh lingkungan, termasuk topografi, iklim, kondisi sosial dan sumber
daya alam terhadap pertumbuhan perkotaan awal diilustrasikan dengan lokasi kota-kota
Timur Tengah awal di Sungai Tigris dan Efrat, yang menyediakan pasokan air, ikan dan
tanah subur yang bisa dibudidayakan dengan teknologi sederhana.
Teknologi
Selain pengembangan keterampilan pertanian, tantangan utama bagi masyarakat
perkotaan awal Timur Tengah adalah untuk mengembangkan teknologi pengelolaan
sungai untuk mengeksploitasi manfaat air dan meminimalkan resiko banjir.
Organisasi sosial
Pertumbuhan penduduk dan perdagangan menuntut struktur organisasi yang lebih
kompleks termasuk infrastruktur politik, ekonomi dan sosial, birokrasi dan
kepemimpinan, disertai dengan stratifikasi sosial.
Periode ini adalah kira-kira sebelum tahun 900. Pada masa ini wilayah Semarang masih
tetmasuk kaki Gunung Ungaran di pantai Utara. Adapun garis pantai Semarang pada masa itu
meliputi daerah Mrican, Mugas, Gunung Sawo, sebelah barat Gajahmungkur, Karang Kumpul
Bagian atas, Sampangan di batas sungai Kaligarang, terus menyeberang ke Wotgaleh,
Simongan (wilayah Gedung batu dan Karang Nongko, membelok kearah Barat sepanjang
perbukitan Krapyak sampai Jerakah. Masa ini merupakan awal terbentuknya dataran alluvial /
sedimen kwarter. Sedimentasi dibentuk berdasarkan endapan yang berasal dari muara Kali
Kreo, Kali Kripik, Kali Garang serta merupakan jalur aktivitas transportasi utama. Kerajaan
yang ada pada masa itu adalah Medang Kawulan ( hasil integrasi Kerajaan Bhumi Mataram dan
Cailendra ) yang pada masa 924 memindahkan ibukotanya ke Waharu di Jawa Timur. Dari
masa Medang Kawulan sampai Majapahit kawasan Semarang tak dikenal sama sekali. Baru
setelah Demak - Pajang, Semarang berfungsi lagi dan dikenal luas. Pada masa Demak -
Pajang dikenal beberapa wilayah Semarang yang merupakan pedukuhan terbesar antara lain :
Inderono (Gisik Drono ), Tirang Amper, Jurang Suru, Lebuapi, Tinjomoyo, Wotgalih
( Wotgaleh ), Gajahmungkur, Sejonilo dan Gedung Batu.Pedukuhan - pedukuhan ini
merupakan pemukiman yang dikuasai Ajar - Ajar ( pimpinan ritus Hindu ) dan terletak kira-
kira disepanjang kali Semarang sampai hulunya. Pada masa permulaan pemerintahan kerajaan
Demak, Kyai Pandang Arang ( Sunan Tembayat ) ditunjuk menjadi Bupati Semarang Pertama
dan meresmikan Tirang Amper menjadi pusat kegiatan penyiaran agama Islam di kawasan
Semarang berikut tempat tinggalnya pada tahun 1418, ( Mukti Ningrat Catur Bhumi ). Fungsi
kawasan Semarang pada waktu itu sebagai kawasan perniagaan kerajaan Demak dan pusat
penyiaran Agama Islam di kawasannya.
Pada waktu itu di Jawa Tengah terdapat 2 Kerajaan Hindia yaitu Bhumi Mataram dan
Cailendra yang terletak di pedalaman yang mempunyai pelabuhan - pelabuhan laut antara lain:
Ujung Negara (Batang), Semarang, Keling, Jepara dan Juwono. Melalui pelabuhan - pelabuhan
tersebut, Kerajaan Hindia Mataram tersebut mampu mencapai puncak zaman keemasannya,
terbukti dengan peninggalan yang berupa candi - candi besar yang tidak ternilai harganya. Di
masa dulu, ada seorang dari kesultanan Demak bernama pangeran Made Pandan bersama
putranya Raden Pandan Arang, meninggalkan Demak menuju ke daerah Barat Disuatu tempat
yang kemudian bernama Pulau Tirang, membuka hutan dan mendirikan pesantren dan
menyiarkan agama Islam. Semarang merupakan kota nomor 3 di Jawa Tengah. Menurut
Penyelidikan beberapa penulis bangsa barat, antara lain C. Lekkerkerker, acrhivaris dari
Nederland Java en Bali instituut, nama semarang diambil dari perkataan asem-arang. Menurut
C. Lekkerkerker di semarang banyak terdapat pohon asem yang daunnya jarang-jarang, maka
kemudian tempat ini berubah sebutan menjadi Semarang untuk memudahkan penyebutan atau
pengucapan.
Pada masa itu, semarang masih berupa tegalan dengan beberapa rumah pribumi dan sangat
tidak sehat karena letaknya berdampingan dengan rawa-rawa dan comberan. Orang tionghoa
banyak yang mengembara ke semarang. Mereka memilih menempati Gedong Batu. Pada tahun
1672 jumlah orang Tionghoa di Semarang sudah jauh lebih besar. Beberapa rumah mereka
mulai dibangun dari tembok dan berpayon genteng. Rumah-rumah tembok yang lebih dulu
didirikan di Semarang ialah di Pacinan Lord an Pacinan Wetan atau sekarang yang lebih
dikenal disebut Gang Warung dan Gang Pinggir. Pada tanggal 9 Juni 1702, Semarang ditunjuk
sebagai ibukota dari Mataram atau pesisir Java. Pada tahun 1724, ketika itu, Semarang masih
dalam keadaan masih dalam dan tidak cetek seperti sekarang, kalau musim hujan tidak jarang
sekali sungainya meluap. Sementara jembatan yang ada di Pecinan Lor ( Yaitu di kali Pakojan )
sering hanyut, lantaran jembatan yang melintasi kali di sana terbuat dari glugu ( batang pohon
kelapa ), lebarnya kira-kira dua setengah meter dan di kedua tepinya dipasang alingan
(penghalang) bambu. Pada waktu itu, kendaraan belum ada. Orang-Orang tionghoa semakin
lama, bertambah banyak dan bertambah maju. Kebanyakan mereka adalah saudagar, pedagang
yang mempunyai perusahaan. Mereka banyak membawa masuk barang-barang dari Tiongkok.
Setiap kali mereka kembali ke tanah airnya , mereka selalu membawa lada, pala, kayu manis
dan rempah-rempah lainnya. Mereka juga mempunyai perusahaan, perusahaannya antara lain
perusahaan lilin dan minyak kacang. Minyak kacang selain digunakan untuk memasak, pada
waktu itu juga digunakan untuk penerangan. Kemajuan perusahaan lilin pada waktu itu sangat
mengagumkan. Rata-rata penduduk bangsa Tionghoa di Pecinan Lord an Pecinan Weta
membuat lilin. Kemakmuran dari perdagangan orang Tionghoa ini telah menarik perhatian
public untuk membangun sebuah rumah berhala atau rumah Toapekong, karena anggapan
orang Tionghoa pada masa itu, untuk setiap kemakmuran dan keselamatan yang mereka
dapatkan mereka tidak boleh melupakan penunggu bumi atau Thouw Tee Kong ( Toapekong
Tanah atau Toapekong Bumi ). Maka beberapa orang yang telah membangun rumah berhala,
biayanya ditanggung secara gotong royong oleh warga Tionghoa. Inilah klenteng yang
pertama di Semarang dan sebagai tempat beribadah, letaknya telah dipilih di ujung Say Kee
atau jalan barat yang sekarang menjadi klenteng Tjap Kauw King, Klenteng ini mempunyai erf
atau halaman yang luas.
3.2. Sejarah Perkembangan Kota Semarang
3.2.1. Kota Semarang Masa Penjajahan
Kondisi kota Semarang di bawah kolonialisme Belanda cukup pesat perkembangannya
dengan dibangunnya berbagai kepentingan Belanda. Misalnya sarana dan prasarana perkotaan
seperti jalan, transportasi kereta api, pasar-pasar dan sebagainya. Hal ini terbukti pada tanggal
16 Juni 1864 dibangun jalan kereta api (rel) pertama di Indonesia. Dimulai dari Semarang
menuju Kota Solo dan Kedungjati, Surabaya dan ke Magelang serta Yogyakarta kemudian
dibangun 2 stasiun kereta api yang masih ada sekarang yaitu Tawang dan Poncol.
Pada abad ke XIV, Belanda juga mendirikan Pelabuhan Tanjung Emas. Pelabuhan Tanjung
Emas ini dikatakan memiliki fungsi strategis sebagai pusat perdangangan nasional dan
internasional (The World Market 1870-1900). Pelabuhan Tanjung Emas bukan hanya sebagai
pusat perdagangan import-ekspor, tetapi juga sebagai jalur masuk barang-barang dari Eropa
yang dipasarkan akan dipasarkan di Jawa dan Indonesia.
Pada sekitar abad 18, Kota Semarang menjadi pusat perdagangan. Kawasan tersebut pada
masa sekarang disebut Kawasan Kota Lama. Pada masa itu, untuk mengamankan warga dan
wilayahnya, maka kawasan itu dibangun benteng, yang dinamai benteng VIJHOEK.Untuk
mempercepat jalur perhubungan antar ketiga pintu gerbang dibenteng itu maka dibuat jalan-
jalan perhubungan, dengan jalan utamanya dinamai HEEREN STRAAT. Saat ini bernama Jl.
Let. Jen Soeprapto. Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan
Berok, yang disebut DE ZUIDERPOR.
Selanjutnya secara berturut-turut muncul pula perkembangan lainnya seperti pada tahun
1857 layanan telegram antara Batavia - Semarang - Ambarawa - Surabaya mulai dibuka,
tahun 1884 Semarang mulai melakukan hubungan telepon jarak jauh (Semarang-Jakarta dan
Semarang-Surabaya), dibukanya kantor pos pertama di Semarang pada tahun 1862.
Sesuai dengan aspek yang mempengaruhi perkembangan kota, faktor internal yaitu
aktivitas perdagangan dan perindustrian di kota Semarang telah memberikan pengaruh dalam
perubahan fisik spasial kota, dengan terbentuknya pusat kota yang dikenal dengan nama
Alun-alun. Ketika masa kolonialisme, Alun-alun dijadikan pusat administrasi Kolonial
Belanda dan pusat perdagangan.
Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang terletak pada posisi strategis di jalur
pantai utara dan sebagai simpul regional dan nasional. Sebagai simpul nasional, karena
Semarang memiliki bandar udara dan pelabuhan serta dilewati arus lalu lintas menuju ibukota
negara Jakarta, sedangkan sebagai simpul regional, karena Semarang memiliki hinterland
atau daerah belakang yang meliputi kawasan Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran, dan
Purwodadi). Daerah Kedungsapur tersebut merupakan simpul strategis. Wilayah Kabupaten
Semarang dengan ibukota di Ungaran merupakan penyangga air bersih, sedangkan daerah
Demak dan Purwodadi merupakan daerah penyangga permukiman dan penyedia tenaga kerja
bagi berlangsungnya kegiatan industri di Semarang. Berbagai industri yang tumbuh di
Semarang yang meliputi kawasan Tugu, Genuk maupun di sekitar Jalan Kaligawe, merupakan
potensi besar yang kemudian menjadikan Semarang tumbuh sebagai kota besar.
Pertumbuhan Kota Semarang yang demikian pesat tersebut pada akhirnya memerlukan
perencanaan strategis untuk diimplementasikan guna menunjang pembangunan kota yang
berkelanjutan.
3.3. Diagram Sejarah Perkembangan Kota Semarang
BAB IV
KESIMPULAN
Perkembangan Kota Semarang sesuai dengan teori Branch (1995), yakni perkembangan kota
yang sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi internal. Kondisi geografis Semarang dengan
Pelabuhan Tanjung Emas yang merupakan simpul jalur transportasi regional menjadikan
Semarang merupakan kota yang strategis di jalur pantai utara Jawa sejak masa penjajahan
kolonial hingga kini. Topografi Semarang yang juga merupakan dataran alluvial menjadikan
Kota Semarang subur sehingga dapat berkembang dengan pesat dan adanya pergerakan massa
untuk mencari penghidupan. Perkembangan Kota Semarang juga melalui proses panjang hingga
terbentuk saat ini. Perkembangan Kota Semarang kini dapat kita lihat pada kawasan pusat kota,
dimana terjadinya peningkatan perkembangan fisik spasial kota, pemanfaatan ruang kota
maupun aktivitas-aktivitas kota seperti pada sektor perdagangan dan industri.
DAFTAR PUSTAKA
Pacione, Michael. 2005. Urban Geography : A Global Perspective. Routledge: New York.
Kurniawati, Feri. 2010. Skripsi Perkembangan Struktur Ruang Kota Semarang Periode 1960-
2007. UMY : Surakarta.
http://www.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2007/05/Technical%20and%20Socio-
Economics.pdf (diunduh pada tanggal 26 Februari 2011 pukul 16.49 WIB)