You are on page 1of 23

SEJARAH PERKEMBANGAN STRUKTUR RUANG

KOTA SEMARANG, JAWA TENGAH

Makalah ini Diajukan untuk Memenuhi

Tugas Mata Kuliah Geografi Perkotaan

Disusun oleh :

Aulia Ayu Riandini Bulkia (0806328266)

Junita Cahyawati (0806328493)

Nurul Farhanah. H (0806328644)

Risha Aisyah (080645

Stevani Anggina (0806328770)

Departemen Geografi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

Universitas Indonesia
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


1.2. Tujuan Penelitian
1.3. Sistematika Penulisan
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsepsi Kota, Tata Kota dan Permukiman
2.2.Teori dan Faktor-Faktor Perkembangan Kota
2.3. Pra-Kondisi dari Perkembangan Perkotaan
2.4. Teori Asal Perkotaan
BAB III. PEMBAHASAN
3.1. Sejarah Pertumbuhan Kota Semarang
3.2. Sejarah Perkembangan Kota Semarang
3.2.1. Kota Semarang Masa Penjajahan
3.2.2. Kota Semarang Pasca Kemerdekaan
3.2.3. Kota Semarang Masa Kini
3.3. Diagram Sejarah Perkembangan Kota Semarang
BAB IV. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Terbentuknya struktur ruang kota, cepat atau lambat, terjadi melalui proses yang bervariasi
selama kurun waktu tertentu. Kota merupakan hasil karya peradaban manusia, sejalan dengan
peradaban tersebut, kota mengalami pertumbuhan dan perkembangan sehingga menghasilkan
suatu bentuk struktur kota yang ditemui sekarang. Wujud perkembangan struktur kota,
sebagaimana yang dikemukakan Budihardjo (1996), pada hakekatnya merupakan jejak
peradaban yang ditampilkan sepanjang sejarah kota sebagaimana perwujudan proses yang
panjang, identias tidak bisa diciptakan pada suatu saat saja (seketika) seperti budaya dadakan,
jadi perwujudan struktur suatu kota merupakan manifestasi dari berbagai kegiatan masyarakat,
sehingga kota mencerminkan suatu bentuk simbol kehidupan ekonomi, sosial, budaya dan politik
masyarakat.
Struktur kota dibentuk oleh elemen-elemen yang mempunyai sifat tertentu yang merupakan
suatu kekuatan yang dapat mempercepat atau memperlambat proses perkembangan suatu kota.
Mempelajari elemen-elemen pembentuk kota pada perkembangan kota-kota masa sekarang
sangat penting bagi upaya pemahaman karakter dari kota-kota tersebut, dalam pemahaman
karakter suatu kota, seperti yang dikemukakan oleh Todaro (2000), kondisi geografis merupakan
penentuan awal berdirinya suatu kota yang akan menentukan bentuk fisik, fungsi dan karakter
kota. Adanya potensi tertentu yang berkembang menonjol pada gilirannya akan meningkatkan
fungsi kota, tidak saja dalam satu sektor belaka, melainkan kompleksitas kegiatan manusia di
dalamnya.
Perkembangan dan bentuk struktur fisik suatu kota dapat diketahui melalui perubahan
elemen-elemen kota sebagai pembentuk ruang kota. Elemen tersebut merupakan elemen fisik
dan non fisik. Elemen fisik meliputi sarana transportasi, pasar, pusat pemerintahan, ruang
terbuka, pusat peribadatan, tempat permukiman dan sebagainya, sedangkan elemen non fisik
adalah manusia dengan segala aktivitasnya (Wongso, 2001).
Kota Semarang, adalah salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah yang mengalami
perkembangan setelah pendudukan Kolonial Balanda tahun 1918, terletak di pantai Utara Jawa
Tengah, tepatnya pada garis 6º 5’ - 7º 10’ Lintang Selatan dan 110º 35’ Bujur Timur. Luas
wilayah mencapai 37.366.838 Ha atau 373,7 Km2. Letak geografi Kota Semarang yang strategis
menjadikan Kota Semarang sebagai koridor pembangunan Jawa Tengah yang menjadi salah satu
pintu gerbang Jawa Tengah merupakan simpul empat pintu gerbang, yakni koridor pantai utara,
koridor selatan ke arah kota-kota dinamis seperti Kabupaten Magelang, Kota Surakarta yang
dikenal dengan koridor Merapi-Merbabu, koridor timur ke arah Kabupaten Demak/Kabupaten
Grobogan dan barat menuju Kabupaten Kendal.
Sejarah perencanaan Kota Semarang dalam kurun waktu 1900-1970, menurut Pratiwo
(2004) merupakan bagian penting dari sejarah perencaaan kota Indonesia. Kota Semarang
dijadikan kota yang menjadi eksperimen perencaaan kota modern di Eropa.
Perkembangan Kota Semarang dapat kita lihat pada kawasan pusat kota, dimana terjadinya
peningkatan perkembangan fisik spasial kota, pemanfaatan ruang kota maupun aktivitas-aktivitas
kota seperti pada sektor perdagangan dan industri. Berakumulasinya berbagai fungsi utama kota
dikawasan pusat kota ini, tidak hanya didukung oleh letak Kota Semarang secara geografis,
tetapi juga didukung oleh berfungsinya elemen-elemen kota seperti pelabuhan, yaitu Pelabuhan
Tanjung Emas yang menempati peringkat keempat terbesar dalam arus bongkar muat. Selain
pelabuhan, jaringan transport darat (jalur kereta api dan jalan) serta transport udara, adanya
Bandara Ahmad Yani yang merupakan potensi bagi simpul transport Regional Jawa Tengah dan
kota transit Regional Jawa Tengah.
Aktivitas perdagangan dan perindustrian di Kota Semarang dalam hal ini telah memberikan
pengaruh yang sangat besar dalam perubahan fisik spasial kota, seperti terbentuknya pusat kota
yang dikenal dengan Alun-alun sebagai pusat administrasi Kolonial Belanda dan pusat
perdagangan yang sampai sekarang masih ada dan menunjukan perubahan baik dari segi
intensitas kegiatan maupun perubahan fisiknya. Sesuai dengan fungsi kota, yang ada yaitu
sebagai koleksi dan ditsribusi barang dan jasa, maka keberadaan pusat perdagangan dan jasa
komersial diharapkan mampu melayani seluruh kawasan permukiman wilayah kota, baik yang
telah berkembang atau kawasan yang baru atau akan berkembang.
Berdasarkan fakta dan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sejarah pertumbuhan struktur ruang Kota
Semarang dan perkembangan yang terjadi hingga saat ini melalui fenomena-fenomena yang ada.

1.2. Tujuan Penelitian


Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mendeskripsikan sejarah pertumbuhan struktur ruang Kota Semarang
2. Mengidentifikasi fenomena-fenomena yang membentuk perkembangan struktur ruang
Kota Semarang

1.3. Sistematika Penulisan

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


1.2. Tujuan Penelitian
1.3. Sistematika Penulisan
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsepsi Kota, Tata Kota dan Permukiman
2.2.Teori dan Faktor-Faktor Perkembangan Kota
2.3. Pra-Kondisi dari Perkembangan Perkotaan
2.4. Teori Asal Perkotaan
BAB III. PEMBAHASAN
3.1. Sejarah Pertumbuhan Kota Semarang
3.2. Sejarah Perkembangan Kota Semarang
3.2.1. Kota Semarang Masa Penjajahan
3.2.2. Kota Semarang Pasca Kemerdekaan
3.2.3. Kota Semarang Masa Kini
3.3. Diagram Sejarah Perkembangan Kota Semarang
BAB IV. KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsepsi Kota, Tata Kota dan Permukiman


Penelusuran kota dari aspek kesejahteraan dan permukiman yang dilakukan oleh
Wiryoamartono (1995) pada aspek fisik diketahui bahwa permukiman negara berkaitan erat
dengan peradaban Hindu, Islam, hingga modern yang menghasilkan bangunan seperti candi,
masjid, keraton, makam, dan pasar. Suatu permukiman urban dibentuk oleh struktur-struktur
yang tetap yaitu pusat kegiatan perdagangan (pasar), pusat pemerintahan, dan pusat peribadatan.
Karakter yang paling menonjol dari kota terlihat pada kawasan pusat kotanya karena
perkembangan kota diawali pada inti (core) kota yang memiliki beberapa fungsi kegiatan kota
seperti pusat jasa, perdagangan, pusat rekreasi dan sosial budaya. Pola penggunaan lahan kota-
kota di Indonesia tidak seragam. Pulau Jawa memiliki pola lahan di pusat perkotaan dengan
tanah lapang atau alun-alun yang dikelilingi bangunan penting (Jayadinata, 1992). Sarana dan
prasarana yang ada di sekeliling alun-alun seperti bangunan kantor, kabupaten, masjid, gereja,
penjara, dan pasar.

2.2. Teori dan Faktor-Faktor Perkembangan Kota


Sebagian besar terjadinya kota berawal dari desa yang mengalami perkembangan secara
pasti (Ilhami, 1990). Faktor yang mendorong desa menjadi kota adalah keberhasilan desa
menjadi pusat kegiatan tertentu, misalnya menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat
pertambangan, pusat pergantian transportasi, dan sebagainya.
Pengertian kota menurut Dickison (dalam Jayadinata, 1990) adalah suatu permukiman yang
bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan pertanian. Kota umumnya
mempunyai rumah-rumah yang mengelompok atau terpusat.
Pengertian kota menurut Branch (1995) adalah sebagai tempat tinggal dari beberapa ribu
penduduk atau lebih. Perkotaan diartikan sebagai area terbangun dengan struktur dan jalan-jalan,
pemukiman yang terpusat pada suatu area dengan kepadatan tertentu yang membutuhkan sarana
dan pelayanan pendukung yang lebih lengkap dibandingkan dengan desa.
Mayer (dalam Daldjoeni, 1968) melihat kota sebagai tempat bermukim penduduknya, yang
terpenting bukan rumah tinggal, jalan raya, rumah ibadah, kantor, dan sebagainya. Melainkan
penghuni yang menciptakan segalanya itu. Kota sebagai permukiman dan wadah komunikasi.
Perkembangan kota adalah suatu proses perubahan perkotaan dalam waktu yang berbeda.
Perbedaan didasarkan pada waktu yang berbeda dalam analisis ruang yang sama. Proses dapat
berjalan secara alami atau secara artificial, dimana tercapat campur tangan manusia.
Perkembangan pola dan struktur ruang fisik kota dapat ditinjau dari aspek kehidupan perkotaan,
seperti kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya (Yunus, 1994).
Bintarto (1986) menyatakan bahwa proses perkembangan kota tergantung pada kondisi alam
dan sumber daya binaan yang ada di daerah kota dan sekitarnya yang membawa implikasi
terhadap perubahan peruntukan guna lahan, baik struktur maupun polanya.
Rahardjo (1980), dalam Yunus (1994) menyebutkan terdapat tiga pola klasik yang
menggambarkan perkembangan kota dalam memanfaatkan penggunaan tanah yaitu: (1) Pola
Konsentrik (Concentric Zone Model) oleh Ernest W. Burgess (1925) menyatakan bahwa pola
pemanfaatan ruang kota berhubungan dengan nilai ekonomi, sehingga kota terbagi atas ; (a)
pusat kota (Central Busines District) yang terdapat pada lingkaran dalam, terdiri atas bangunan
kantor, hotel, bank, bioskop, pasar, toko dan pusat perbelanjaan; (b) jalur peralihan (transition
zone) terdapat pada lingkaran tengah, terdiri atas rumah sewaan, kawasan industri, perumahan
buruh; (c) jalur perumahan para buruh (zone of-working men's homes) terdapat pada lingkaran
tengah kedua, terdiri atas kawasan perumahan untuk tenaga kerja pabrik; (d) jalur permukiman
yang lebih baik (zone of better residences) terdapat pada lingkaran luar, terdiri atas kawasan
perumahan yang luas untuk tenaga kerja halus dan kaum madya; (e) jalur para penglaju (zone of
commuters) terdapat pada luar lingkaran, dan terdiri dari masyarakat golongan madya dan
golongan atas di sepanjang jalan besar.
Pola ini beranggapan bahwa suatu kota mempunyai kecenderungan berkembang ke arah luar
di semua bagian-bagiannya. Masing-masing zone tumbuh sedikit demi sedikit ke arah luar dan
karena semua bagian-bagiannya berkembang ke segala arah, maka pola keruangan yang
dihasilkan berbentuk seperti lingkaran yang berlapis-lapis dengan pusat kegiatan (CBD) sebagai
intinya.
(2) Pola Sektor (Sector Model) oleh Homer Hoyt (1939); mengatakan bahwa kota tersusun
sebagai: (a) lingkaran pusat yang relative terletak di tengah kota, (b) pada sektor tertentu terdapat
kawasan industri ringan dan kawasan perdagangan, di atas pada bagian sebelah menyebelahnya
terdapat kawasan tempat tinggal kaum buruh, (d) agak jauh dari pusat kota dan sektor industri
serta perdagangan terdapat sektor permukiman yang lebih baik, (e) lebih jauh lagi terdapat sektor
permukiman kelas tinggi, sebagai kawasan tempat tinggal golongan atas.
(3) Pola Pusat Ganda (Multiple Nucley Model) oleh C.D. Harris dan F.L. Ullman (1945).
menyatakan bahwa kota tersusun atas: (a) pusat kota, (b) kawasan niaga atau industri ringan, (c)
kawasan tempat tinggal berkualitas rendah, (d) kawasan tempat tinggal berkualitas menengah,
(e) kawasan tempat tinggal berkualitas tinggi, (f) kawasan industri berat, (g) pusat
perbelanjaan/niaga lain di pinggiran, (h) kawasan permukiman kelas menengah dan kelas tinggi,
(i) kawasan industri di pinggiran. Pola ini menyatakan bahwa suatu kota dibentuk oleh pusat-
pusat kegiatan fungsional kota yang mempunyai peranan yang penting di dalam kota.

Tiga model kota menurut Burges, Homer Hoyt


dan Harris Ullman. Sumber : N. Daldjoeni (1968)

Perkembangan satu kota tidak akan sama dengan perkembangan kota lain. Kota dapat
berkembang secara alamiah ataupun secara teratur dan terarah sesuai dengan rencana kota.
Faktor-faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerjapada suatu kota dapat
mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu arah tertentu.
Perkembangan kota secara umum menurut Branch (1995) sangat dipengaruhi oleh situasi
dan kondisi internal yang menjadi unsur terpenting dalam perencanaan kota secara
komprehensif. Unsur eksternal yang menonjol juga dapat mempengaruhi perkembangan kota.
Faktor internal yang mempengaruhi perkembangan kota adalah:
1. Keadaan geografis yang mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota yang
berfungsi sebagai simpul distribusi, perlu terletak di simpul jalur transportasi, di
pertemuan jalur transportasi regional atau dekat pelabuhan laut.
2. Tapak (site) merupakan faktor-faktor kedua yang mempengaruhi perkembangan suatu
kota. Salah satu yang dipertimbangkan dalam kondisi tapak adalah topografi. Kota yang
berlokasi di dataran yang rata akan mudah berkembang ke semua arah, sedangkan yang
berlokasi di pegunungan biasanya mempunyai kendala topografi. Kondisi tapak lainnya
berkaitan dengan kondisi geologi. Daerah patahan geologis biasanya dihindari oleh
perkembangan kota.
3. Fungsi kota juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kota-kota
yang memiliki banyak fungsi, biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan akan
berkembang lebih pesat daripada kota berfungsi tunggal, misalnya kota pertambangan,
kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, biasanya juga berkembang lebih pesat
daripada kota berfungsi lainnya. Short (1984) mengemukakan terdapat lima fungsi kota
yang dapat mencerminkan karakteristik struktur ruang suatu kota, yaitu: (a) kota sebagai
tempat kerja, (b) kota sebagai tempat tinggal, (c) pergerakan dan transportasi, (d) kota
sebagai tempat investasi, (e) kota sebagai arena politik.
4. Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karakteristik fisik dan sifat masyarakat kota.
Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu kota kerajaan akan berbeda dengan
perkembangan kota yang sejak awalnya tumbuh secara organisasi. Kepercayaan dan
kultur masyarakat juga mempengaruhi daya perkembangan kota. Terdapat tempat-tempat
tertentu yang karena kepercayaan dihindari untuk perkembangan tertentu.
5. Unsur-unsur umum, misalnya jaringan jalan, penyediaan air bersih berkaitan dengan
kebutuhan masyarakat luas, ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik kota ke arah
tertentu.

2.3. Pra-Kondisi dari Perkembangan Perkotaan


Penekanan pada perubahan institusional menghubungan pertumbuhan kota-kota dengan
restrukturisasi sosial-politik utama masyarakat, yang dianggap sebagai elemen kunci
perkembangan peradaban.

Childe dalam Pacione (2005) menentukan sepuluh karakteristik dari peradaban perkotaan
sebagai berikut :

Karakteristik primer
1. Ukuran dan kepadatan kota. Penambahan jumlah populasi berarti perluasan level dari
integrasi sosial.
2. Spesialisasi pekerjaan. Pembagian pekerjaan yang jelas diantara pekerja, sebagai suatu
sistem distribusi dan pertukaran.
3. Konsentrasi surplus. Ada arti sosial untuk pekerjaan mengumpulkan dan mengelola
kelebihan (surplus) produksi petani dan pekerjaan tangan yang lainnya.
4. Masyarakat yang terstruktur secara kelas. Kelas istimewa penguasa agama, politikus
dan militer merupakan pejabat yang terstruktur dan mengatur masyarakat.
5. Pengaturan negara. Ada pengaturan baik yang terstruktur dengan anggota masyarakat
yang berdasarkan satu wilayah tempat tinggal. Hal ini menggantikan identifikasi politik
yang berdasrkan hubungan kekerabatan.

Karakteristik sekunder

6. Pekerjaan umum monumental. Ada sejumlah pembangunan bersama dalam bentuk


candi, istana, gudang, dan sistem irigasi.
7. Perdagangan jarak jauh. Spesialisasi dan pertukaran mengalami perluasan melebihi kota
dalam pengembangan perdagangan.
8. Standardisasi, pekerjaan seni monumental. Pembangunan pesat bentuk-bentuk seni
memberikan ekspresi kepada identifikasi simbolik dan estetika dari bentuk seni.
9. Penulisan. Seni menulis terbentuk ketika proses organisasi sosial dan manajemen.
10. Aritmatika geometri dan astronomi. Persis, ilmu prediktif dan rekayasa yang dimulai.

Duncan dalam Pacione (2005) menjabarkan pra-kondisi dari perkembangan perkotaan masa
pra-industri, yaitu sebagai berikut :

Populasi

Kehadiran populasi ukuran tertentu yang berada permanen di satu tempat adalah
syarat utama. Lingkungan, tingkat teknologi dan organisasi sosial semua membatasi
seberapa besar populasi akan tumbuh. Terutama yang penting adalah sejauh mana basis
pertanian menciptakan surplus makanan untuk mempertahankan kota populasi. Kota-kota
awal relatif kecil dalam bila dibandingkan dengan kota modern sekarang, yaitu sekitar
kurang lebih 25.000 jiwa.
Lingkungan

Kunci pengaruh lingkungan, termasuk topografi, iklim, kondisi sosial dan sumber
daya alam terhadap pertumbuhan perkotaan awal diilustrasikan dengan lokasi kota-kota
Timur Tengah awal di Sungai Tigris dan Efrat, yang menyediakan pasokan air, ikan dan
tanah subur yang bisa dibudidayakan dengan teknologi sederhana.

Teknologi
Selain pengembangan keterampilan pertanian, tantangan utama bagi masyarakat
perkotaan awal Timur Tengah adalah untuk mengembangkan teknologi pengelolaan
sungai untuk mengeksploitasi manfaat air dan meminimalkan resiko banjir.

Organisasi sosial
Pertumbuhan penduduk dan perdagangan menuntut struktur organisasi yang lebih
kompleks termasuk infrastruktur politik, ekonomi dan sosial, birokrasi dan
kepemimpinan, disertai dengan stratifikasi sosial.

2.4. Teori Asal Perkotaan


1. Teori Hidraulic
Karakteristik utama dari ‘masyarakat hidraulik’ yaitu:
 Intensifikasi pertanian
 melibatkan pembagian kerja tertentu
 membutuhkan kerjasama dalam skala besar
2. Teori Ekonomi
Pengembangan kompleks jaringan perdagangan skala besar memacu pertumbuhan
masyarakat perkotaan. Kebutuhan untuk menambah produksi untuk tujuan perdagangan
seperti untuk menghidupi populasi yang bertambah akan mengacu pada spesialisasi dan
intensifikasi, dan bagi penduduk yang bermukim tetap akan membentuk pasar produksi
local dan juga perdagangan.
3. Teori Militer
Beberapa teori mengatakan bahwa asal mula kota terletak pada kebutuhan orang untuk
berkumpul bersama untuk perlindungan terhadap ancaman eksternal, aglomerasi awal
menuju perluasan kota selanjutnya. Wheatley dalam Pacione (2005) percaya bahwa
peperangan mungkin telah memberi kontribusi pada intensifikasi pembangunan
perkotaan di beberapa tempat dengan menginduksi konsentrasi penduduk untuk tujuan
defensif.
4. Teori Religius
Teori Agama berfokus pada pentingnya struktur kekuasaan baik dikembangkan untuk
pembentukan dan pelestarian tempat perkotaan dan, khususnya, bagaimana kekuasaan
disesuaikan ke dalam tangan seorang elit agama yang mengontrol pembagian surplus
hasil produksi yang disediakan sebagai persembahan. Ada bukti yang jelas tentang
tempat-tempat suci dan kuil di lokasi kota kuno dan bisa ada sedikit keraguan bahwa
agama memainkan peran penting dalam proses transformasi sosial yang dibuat kota.
Namun, hal ini tidak mungkin menjadi satu-satunya faktor tunggal.
5. Teori Konsesus
Proses perkotaan bukan suatu penyusunan linier di mana salah satu faktor yang
menyebabkan perubahan dalam faktor kedua, yang kemudian menyebabkan perubahan
dalam ketiga, dan seterusnya. Sebaliknya, munculnya peradaban harus
dikonseptualisasikan sebagai rangkaian proses interaksi yang dipicu oleh kondisi ekologi
dan budaya yang menguntungkan dan yang terus berkembang melalui interaksi yang
saling menguatkan.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Sejarah Pertumbuhan Kota Semarang

Periode ini adalah kira-kira sebelum tahun 900. Pada masa ini wilayah Semarang masih
tetmasuk kaki Gunung Ungaran di pantai Utara. Adapun garis pantai Semarang pada masa itu
meliputi daerah Mrican, Mugas, Gunung Sawo, sebelah barat Gajahmungkur, Karang Kumpul
Bagian atas, Sampangan di batas sungai Kaligarang, terus menyeberang ke Wotgaleh,
Simongan (wilayah Gedung batu dan Karang Nongko, membelok kearah Barat sepanjang
perbukitan Krapyak sampai Jerakah. Masa ini merupakan awal terbentuknya dataran alluvial /
sedimen kwarter. Sedimentasi dibentuk berdasarkan endapan yang berasal dari muara Kali 
Kreo, Kali Kripik, Kali Garang serta merupakan jalur aktivitas transportasi utama. Kerajaan
yang ada pada masa itu adalah Medang Kawulan ( hasil integrasi Kerajaan Bhumi Mataram dan
Cailendra ) yang pada masa 924 memindahkan ibukotanya ke Waharu di Jawa Timur. Dari
masa Medang Kawulan sampai Majapahit kawasan Semarang tak dikenal sama sekali. Baru
setelah Demak - Pajang, Semarang berfungsi lagi dan dikenal luas. Pada masa Demak - 
Pajang dikenal beberapa wilayah Semarang yang merupakan pedukuhan terbesar antara lain : 
Inderono (Gisik Drono ), Tirang Amper, Jurang Suru, Lebuapi, Tinjomoyo, Wotgalih
( Wotgaleh ), Gajahmungkur, Sejonilo dan Gedung Batu.Pedukuhan - pedukuhan ini
merupakan pemukiman yang dikuasai Ajar - Ajar ( pimpinan ritus Hindu ) dan terletak kira-
kira disepanjang kali Semarang sampai hulunya. Pada masa permulaan pemerintahan kerajaan
Demak, Kyai Pandang Arang ( Sunan Tembayat ) ditunjuk menjadi Bupati Semarang Pertama
dan meresmikan Tirang Amper menjadi pusat kegiatan penyiaran agama Islam di kawasan
Semarang berikut tempat tinggalnya pada tahun 1418, ( Mukti Ningrat Catur Bhumi ). Fungsi
kawasan Semarang pada waktu itu sebagai kawasan perniagaan kerajaan Demak dan pusat
penyiaran Agama Islam di kawasannya.

Pada waktu itu di Jawa Tengah terdapat 2 Kerajaan Hindia yaitu Bhumi Mataram dan
Cailendra yang terletak di pedalaman yang mempunyai pelabuhan - pelabuhan laut antara lain:
Ujung Negara (Batang), Semarang, Keling, Jepara dan Juwono. Melalui pelabuhan - pelabuhan
tersebut, Kerajaan Hindia Mataram tersebut mampu mencapai puncak zaman keemasannya,
terbukti dengan peninggalan yang berupa candi - candi besar yang tidak ternilai harganya. Di
masa dulu, ada seorang dari kesultanan Demak bernama pangeran Made Pandan bersama
putranya Raden Pandan Arang, meninggalkan Demak menuju ke daerah Barat Disuatu tempat
yang kemudian bernama Pulau Tirang, membuka hutan dan mendirikan pesantren dan
menyiarkan agama Islam. Semarang merupakan kota nomor 3 di Jawa Tengah. Menurut
Penyelidikan beberapa penulis bangsa barat, antara lain C. Lekkerkerker, acrhivaris dari
Nederland Java en Bali instituut, nama semarang diambil dari perkataan asem-arang. Menurut
C. Lekkerkerker di semarang banyak terdapat pohon asem yang daunnya jarang-jarang, maka
kemudian tempat ini berubah sebutan menjadi Semarang untuk memudahkan penyebutan atau
pengucapan.

Pada masa itu, semarang masih berupa tegalan dengan beberapa rumah pribumi dan sangat
tidak sehat karena letaknya berdampingan dengan rawa-rawa dan comberan. Orang tionghoa
banyak yang mengembara ke semarang. Mereka memilih menempati Gedong Batu. Pada tahun
1672 jumlah orang Tionghoa di Semarang sudah jauh lebih besar. Beberapa rumah mereka
mulai dibangun dari tembok dan berpayon genteng. Rumah-rumah tembok yang lebih dulu
didirikan di Semarang ialah di Pacinan Lord an Pacinan Wetan atau sekarang yang lebih
dikenal disebut Gang Warung dan Gang Pinggir. Pada tanggal 9 Juni 1702, Semarang ditunjuk
sebagai ibukota dari Mataram atau pesisir Java. Pada tahun 1724, ketika itu, Semarang masih
dalam keadaan masih dalam dan tidak cetek seperti sekarang, kalau musim hujan tidak jarang
sekali sungainya meluap. Sementara jembatan yang ada di Pecinan Lor ( Yaitu di kali Pakojan )
sering hanyut, lantaran jembatan yang melintasi kali di sana terbuat dari glugu ( batang pohon
kelapa ), lebarnya kira-kira dua setengah meter dan di kedua tepinya dipasang alingan
(penghalang) bambu. Pada waktu itu, kendaraan belum ada. Orang-Orang tionghoa semakin
lama, bertambah banyak dan bertambah maju. Kebanyakan mereka adalah saudagar, pedagang
yang mempunyai perusahaan. Mereka banyak membawa masuk barang-barang dari Tiongkok.
Setiap kali mereka kembali ke tanah airnya , mereka selalu membawa lada, pala, kayu manis
dan rempah-rempah lainnya. Mereka juga mempunyai perusahaan, perusahaannya antara lain
perusahaan lilin dan minyak kacang. Minyak kacang selain digunakan untuk memasak, pada
waktu itu juga digunakan untuk penerangan. Kemajuan perusahaan lilin pada waktu itu sangat
mengagumkan. Rata-rata penduduk bangsa Tionghoa di Pecinan Lord an Pecinan Weta
membuat lilin. Kemakmuran dari perdagangan orang Tionghoa ini telah menarik perhatian
public untuk membangun sebuah rumah berhala atau rumah Toapekong, karena anggapan
orang Tionghoa pada masa itu, untuk setiap kemakmuran dan keselamatan yang mereka
dapatkan mereka tidak boleh melupakan penunggu bumi atau Thouw Tee Kong ( Toapekong
Tanah atau Toapekong Bumi ). Maka beberapa orang yang telah membangun rumah berhala,
biayanya ditanggung secara gotong royong oleh warga Tionghoa. Inilah klenteng yang
pertama di Semarang dan sebagai tempat beribadah, letaknya telah dipilih di ujung Say Kee
atau jalan barat yang sekarang menjadi klenteng Tjap Kauw King, Klenteng ini mempunyai erf
atau halaman yang luas.
3.2. Sejarah Perkembangan Kota Semarang
3.2.1. Kota Semarang Masa Penjajahan
Kondisi kota Semarang di bawah kolonialisme Belanda cukup pesat perkembangannya
dengan dibangunnya berbagai kepentingan Belanda. Misalnya sarana dan prasarana perkotaan
seperti jalan, transportasi kereta api, pasar-pasar dan sebagainya. Hal ini terbukti pada tanggal
16 Juni 1864 dibangun jalan kereta api (rel) pertama di Indonesia. Dimulai dari Semarang
menuju Kota Solo dan Kedungjati, Surabaya dan ke Magelang serta Yogyakarta kemudian
dibangun 2 stasiun kereta api yang masih ada sekarang yaitu Tawang dan Poncol.
Pada abad ke XIV, Belanda juga mendirikan Pelabuhan Tanjung Emas. Pelabuhan Tanjung
Emas ini dikatakan memiliki fungsi strategis sebagai pusat perdangangan nasional dan
internasional (The World Market 1870-1900). Pelabuhan Tanjung Emas bukan hanya sebagai
pusat perdagangan import-ekspor, tetapi juga sebagai jalur masuk barang-barang dari Eropa
yang dipasarkan akan dipasarkan di Jawa dan Indonesia.
Pada sekitar abad 18, Kota Semarang menjadi pusat perdagangan. Kawasan tersebut pada
masa sekarang disebut Kawasan Kota Lama. Pada masa itu, untuk mengamankan warga dan
wilayahnya, maka kawasan itu dibangun benteng, yang dinamai benteng VIJHOEK.Untuk
mempercepat jalur perhubungan antar ketiga pintu gerbang dibenteng itu maka dibuat jalan-
jalan perhubungan, dengan jalan utamanya dinamai HEEREN STRAAT. Saat ini bernama Jl.
Let. Jen Soeprapto. Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan
Berok, yang disebut DE ZUIDERPOR.
Selanjutnya secara berturut-turut muncul pula perkembangan lainnya seperti pada tahun
1857 layanan telegram antara Batavia - Semarang - Ambarawa - Surabaya mulai dibuka,
tahun 1884 Semarang mulai melakukan hubungan telepon jarak jauh (Semarang-Jakarta dan
Semarang-Surabaya), dibukanya kantor pos pertama di Semarang pada tahun 1862.
Sesuai dengan aspek yang mempengaruhi perkembangan kota, faktor internal yaitu
aktivitas perdagangan dan perindustrian di kota Semarang telah memberikan pengaruh dalam
perubahan fisik spasial kota, dengan terbentuknya pusat kota yang dikenal dengan nama
Alun-alun. Ketika masa kolonialisme, Alun-alun dijadikan pusat administrasi Kolonial
Belanda dan pusat perdagangan.

3.2.2. Kota Semarang Pasca Kemerdekaan Indonesia


Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan dengan keberhasilan bangsa Indonesia
melenyapkan penjajahan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka
tahun 1950 Kota Semarang menjadi Kotapraja di Propinsi Jawa Tengah. Irama kehidupan
Semarang tak banyak berbeda dengan kota-kota lain di Indonesia. Bahkan pada saat negeri ini
masih terns menghadapi ujian dan keprihatinan selama 20 tahun setelah kemerdekaan, maka
Semarang mengalami situasi dan dalam kondisi yang sama. Pecahnya pemberontakan G.30.S
PKI mempakan salah satu upaya memecah sistem kehidupan dan tata negara Indonesia.
Semarang juga mengalami masa-masa penuh teror dan traumatis. Setelah berbagai
pemberontakan berhasil ditumpas, maka sekarang bertahap masyarakat dan bangsa ini mulai
membenahi kehidupannya.Pada tahun 1976 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
(PP) No. 16 tahun 1976 wilayah Semarang mengalami pemekaran sampai ke Mijen,
Gunungpati dan Tembalang di wilayah Selatan, Genuk di wilayah Timur dan Tugu di wilayah
Barat. Seluruh wilayah Semarang meliputi 273,7 Km2. Dari semula 5 Kecamatan menjadi 9
Kecamatan.
Adanya perkembangan dan perluasan wilayah ini maka pertumbuhan kawasan
diperhatikan. Pusat-pusat industri, perdagangan, pendidikan, pennukiman, pertahanan
keamanan mulai diatur dalam lokasi-lokasi yang tepat dan strategis. Kota bawah cepat
berkembang menjadi pusat perdagangan, jasa dan pemerintahan. Wilayah perluasan atau
pinggiran menjadi pusat pendidikan. Ini juga dimaksudkan penyebaran pusat-pusat aktivitas
bisa merata di semua kawasan sehingga semua wilayah mengalami peitumbuhan yang sama.
Perkembangan selanjutnya yang tampak menonjol adalah industri dan pernukiman penduduk.
Industri dikembangkan di wilayah Kaligawe-Terboyo, Bugangan (Genuk) dan Tugu, s
edangkan permukiman banyak dikembangkan di daerah Selatan.

3.2.3. Kota Semarang Masa Kini


Perkembangan kota adalah proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke
keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Sehubungan dengan hal ini, tinjauan
perkembangan akan ditinjau dari kehidupan ekonomi, politik dan budaya.

Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang terletak pada posisi strategis di jalur
pantai utara dan sebagai simpul regional dan nasional. Sebagai simpul nasional, karena
Semarang memiliki bandar udara dan pelabuhan serta dilewati arus lalu lintas menuju ibukota
negara Jakarta, sedangkan sebagai simpul regional, karena Semarang memiliki hinterland
atau daerah belakang yang meliputi kawasan Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran, dan
Purwodadi). Daerah Kedungsapur tersebut merupakan simpul strategis. Wilayah Kabupaten
Semarang dengan ibukota di Ungaran merupakan penyangga air bersih, sedangkan daerah
Demak dan Purwodadi merupakan daerah penyangga permukiman dan penyedia tenaga kerja
bagi berlangsungnya kegiatan industri di Semarang. Berbagai industri yang tumbuh di
Semarang yang meliputi kawasan Tugu, Genuk maupun di sekitar Jalan Kaligawe, merupakan
potensi besar yang kemudian menjadikan Semarang tumbuh sebagai kota besar.

Mulai kaburnya garis batas non-administratif tersebut seakan menyatukan wilayah


Semarang dengan kota-kota di sekitarnya, sehingga membentuk suatu ''megaurban''. Sudah
pasti, banyak akibat yang harus ditanggung oleh Semarang berkaitan dengan semakin
besarnya kota ini, di antaranya masalah lingkungan, lalu lintas, permukiman, sampai ke
masalah-masalah sosial lainnya. Keseimbangan ekologis, tata lingkungan, dan pertumbuhan
kota memerlukan perencanaan yang komprehensif. Masalah spesifik di Jalan Kaligawe adalah
soal lingkungan hidup, yakni banjir dan rob yang hingga saat ini belum dapat dipecahkan.
Tampaknya proses pertumbuhan kota masih lepas dari kontrol pemerintah sebagaimana telah
dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Kota. Dengan kata lain, permasalahan yang dihadapi
Semarang sangat kompleks karena tidak hanya menyangkut masalah ekologis, namun juga
masih lemahnya manajemen pembangunan kota. Apalagi dengan jumlah penduduk lebih dari
1,5 juta jiwa, sudah pasti Semarang menghadapi berbagai permasalahan yang serius.
Persoalan yang lain adalah berkaitan dengan peluang kerja. Menurut Terry McGee (1971) ada
dua kenyataan yang menyolok di negara-negara Dunia Ketiga. Pertama, kota-kota di negara-
negara Dunia Ketiga tumbuh luar biasa.

Pertumbuhan Kota Semarang yang demikian pesat tersebut pada akhirnya memerlukan
perencanaan strategis untuk diimplementasikan guna menunjang pembangunan kota yang
berkelanjutan.
3.3. Diagram Sejarah Perkembangan Kota Semarang
BAB IV
KESIMPULAN

Perkembangan Kota Semarang sesuai dengan teori Branch (1995), yakni perkembangan kota
yang sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi internal. Kondisi geografis Semarang dengan
Pelabuhan Tanjung Emas yang merupakan simpul jalur transportasi regional menjadikan
Semarang merupakan kota yang strategis di jalur pantai utara Jawa sejak masa penjajahan
kolonial hingga kini. Topografi Semarang yang juga merupakan dataran alluvial menjadikan
Kota Semarang subur sehingga dapat berkembang dengan pesat dan adanya pergerakan massa
untuk mencari penghidupan. Perkembangan Kota Semarang juga melalui proses panjang hingga
terbentuk saat ini. Perkembangan Kota Semarang kini dapat kita lihat pada kawasan pusat kota,
dimana terjadinya peningkatan perkembangan fisik spasial kota, pemanfaatan ruang kota
maupun aktivitas-aktivitas kota seperti pada sektor perdagangan dan industri.
DAFTAR PUSTAKA

Pacione, Michael. 2005. Urban Geography : A Global Perspective. Routledge: New York.

Kurniawati, Feri. 2010. Skripsi Perkembangan Struktur Ruang Kota Semarang Periode 1960-
2007. UMY : Surakarta.

Thian, Joe. Liem.2004. Riwayat Semarang. Jakarta: Hasta Wahana

http://www.dephub.go.id/files/media/file/25%20pelabuhan/Tanjung%20Emas.pdf (diunduh pada


tanggal 26 Februari pukul 16.32 WIB)

http://www.ftsl.itb.ac.id/wp-content/uploads/2007/05/Technical%20and%20Socio-
Economics.pdf (diunduh pada tanggal 26 Februari 2011 pukul 16.49 WIB)

http://eprints.undip.ac.id/5945/1/73-adji_m.pdf (diunduh pada tanggal 26 Februari 2011 pukul


17.00 WIB)

You might also like