You are on page 1of 91

BABAD TANAH SUNDA BABAD CIREBON.

PRAKATA

Yang disuguhkan dalam tulisan ini adalah terjemahan dari tulisan huruf
pegon/huruf Arab berbahasa Cirebon madya yang asli/otentik.

Semoga manfaat menjadi pegangan untuk menengah-nengahi Babad Tanah


Jawi dan Babad Cirebon dari luar yang simpang siur sejare-jare akibat
Nusantara/Indonesia, pulau Jawa khususnya di selang/ dijajah oleh Belanda
lebih-kurang 350 tahun.

Semoga ditemukan yang dicari biidnillah insya Allah s.w.t. Dan tiap-tiap
membaca Babad Tanah Sunda ini seyogya baca al-Fatihah terlebih dahulu
untuk Yang Sinuhun Susuhunan Cirebon, pula setelah membacanya.

Tsumma ila hadharati Sayyidina wa Maulana Sulthan Mahmud Syekh Syarif


Hidayatillah Awliya Allahu Taala Kutubizzaman khalifatur-Rasulillah s.a.w.
sailun lillahi al-Fatihah, baca Fatihah sekali sehingga selesai.

Semoga ada manfaatnya, insya Allah s.w.t.

Penyusun:
P.S. Sulendraningrat.

1. Negara Pejajaran.

Pertama-tama diceritakan perihal perjalanan hidup Pangeran


Walangsungsang, hingga datang kepada ceriatan Yang Sinuhun Susuhunan
Cirebon.

Adapun yang dibuka oleh serita ini adalah menceritakan suatu praja di
Pejajaran Ratu Agung di Tanah Sunda yang bernama Sri Sang Ratu Dewata
Wisera, mashur disebut Sri Mahaprabu Siliwangi. Beristri tiga orang, ialah
Ambetkasih, Aci Bedaya dan permaisuri Ratu Subanglarang. Sang Prabu
berputra empat puluh orang.
Sang Prabu bersabda: "Hai anakku Walangsungsang, aku lihat engkau
bermuram durja, semuanya prihatin tidak sama dengan sesama yang
berkumpul duduk. Apa yang jadi kesedihan engkau, bukankah engkau calon
Prabu Anom memangku negara? Atau putri yang engkau inginkan, beri tahu
saja mana yang engkau sukai, jangan engkau bersedih hati, tidak baik bagi
pribawa semuanya kraton."

Sang putra menjawab dengan khidmat sambil menundukkan kepala dan


mengeluarkan air mata. "Duhai Gusti, murka Dalem yang hamba mohon,
karena tadi malam hamba mimpi bertemu dengan seorang lelaki yang elok
danagung memberi wejangan agama Islam sarengat Jeng Nabi Muhammad
yang jadi Utusan Yang Widi, namun menyesal sekali belum tuntas hamba
sudah terjaga. Sekarang hamba rindu sekali kepada agama Islam, mengingat
tidak adanya guru untuk meneruskan pelajaran agama Isalam itu."

Sang Prabu berkata sambil senyum: "Walangsungsang, engkau orang muda


jangan terlanjur, engkau kena sihir, kena bius Muhammad yang mengaku
anutan, yang jadi dutanya Widi, sunguh dusta seenak nafsunya, karena
sesungguhnya anutan itu adalah Yuang Brahma Yuang Wisnu itu
sesungguhnya agama Dewa yang mulia. Yang Jagat Nata Pangerannya
orang setriloka. Sejak dahulu hingga sekarang para leluhur tidak
menghendaki dirubah."

Walangsungsang menjawab sambil menyembah: "Duhai Gusti mohon


ampunan Dalem, pengertian, kebijaksanaan dan pemaafan. Dalem yang
hamba mohonkan, karena hamba lebih condong/suka sarengat Jeng Nabi
Muhammad dan sesungguhnya Illahi yang wajib disembah itu melainkan
Allah yang tiada sekutu sesama yang baharu (makhluk)."

Sang Prabu murka, karena sang putra tidak patuh, bertentangan dengan
agamanya. Sang putra dimarahi diusir keluar dari praja Pejajaran.

Walangsungsang menjadi suka hati, segera pamit, menghindar dari hadapan


Sang Prabu, keluar dari Istana, terus berjalan masuk hutan keluar hutan naik
gunung turun gunung menuju ke arah timur. Ratu Mas Rarasantang sedang
rindu kepada kakaknya, ialah Walangsungsang, menangis siang malam
selama empat hari akhirnya Rarasantang, mimpi bertemu dengan seorang
lelaki pula yang berupa satria lagi berbau harum memberi pelajaran agama
Islam, menyuruh berguru sarengat Jeng Nabi Muhammad dan diramal kelak
mempunyai suami Ratu Islam dan akan mempunyai anak lelaki yang punjul.
Rarasantang segera terbangun, ingat kepada impiannya lalu keluar dari
keraton, menyusul kakaknya, Walangsungsang, terus berjalan.

Diceritakan di dalam kraton geger busekan/panik, karena sang putri


menghilang melolos tanpa bekas. Jeng Ratu Subanglarang sangat olehnya
menangis menyungkemi Sang Prabu karena kedua-dua putranya hilang.
Sang Prabu kaget sekali, segera memanggil menghadap seluruh para putra
sentara, patuh, bupati, para wadyabala dikumpulkan. Sang Prabu berkata:
"Hai Patih Argatala, Dipati Siput, sekarang carilah putraku, Dewi
Rarasantang hilang dari kraton dan Walangsungsang sisuruh pulang.
Sungguh jangan tidak teriring keduanya." Patih Argatala menjawab sandika.
Ia segera keluar dari kraton mengumumkan kepada seluruh para wadyabala
di Pejajaran geger panik lalu menyebar ke berbagai penjuru. Patih Argatala
mencarinya dengan berlaku betapa menuruti perjalanan pendeta. Dipati
Siput mencarinya memasuki hutan menuruti perjalanan khewan. Para putra
pada bertapa atau berlaku sebagai dukun, sebagian membangun kerajaan.
Pada wadyabala bubar ke masing-masing tujuannya, mereka takut, tidak
berani pulang sebelum mendapat karya.

2. GUNUNG MARAAPI.

Diceritakan Pangeran Walangsungsang telah datang di kaki runung Maraapi


(di Rajadesa, Ciamis Timur) sedang tafakur, tak lama kemudian datanglah
Sanghyang Danuwarsih, datang sudah di hadapannya. Sang Danuwarsih
berkata: "Hai siapa engkau, putra mana dan apa yang dikehendaki?"
Walangsungsang berkata: "Walangsungsang namanya, putra dari praja
Pejajaran yang beribu Ratu Subanglarang, yang hendak berguru agama
Islam." Berkata Sang Danuwarsih: "Baik sekarang turutlah dengan si Rama
di puncak gunung Meraapi, niscaya bertemu dengan jodoh engkau;
“Walangsungsang mematuhi. Segera turut bersama menuju kayuangannya
Sang Danuwarsih, datang sudah mereka berdua di puncaknya gunung
Maraapi.

Sang Danuwarsih berkata: “Hati putriku, nini Indangayu, sekarang lekas


bikin jamuan, jodoh engkau sudah datang.” Nyi Mas Indangayu telah
menghidangkan jamuan. Ayahnya bersuka cita. Segera ditari/didimai. “Hai
Walang sungsang Indangayu, sekarang aku kawinkan kamu kedua jadi satu,
karena tidak lain trah (turunan) dari Galuh.” Sang putra berdua menyetujui.
Segera telah kawin tetap catap (syah) perkawinannya pada tahun 1442 M.
Jeng Pangeran Walang sungsang pada waktu itu berusia 23 tahun.

Diceritakan Ratu Mas Rarasantang yang sedang dalam perjalanan berada


digunung Tangkubangprahu kelelahan beristirahat di bawah pohon beringin
dengan menggosok kakinya yang pada bengkak, pakaiannya cabik-cabik. Ia
menangis sambil menyebut-nyebut nama abangnya. Tak lama kemudian ada
datangnya Nyi Indang Sukati datang sudah di hadapannya. Nyi Indang
berkata: “Hai bayi, engkau siapa dan apa yang engkau cari sendirian berada
di sini tanpa kawan?” Sang Dewi Rarasantang menjawab: “Eyang, hamba
sesungguhnya putri Pejajaran dari ibu Subanglarang, Rarasantang nama
hamba, yang dituju menyusul saudara tua Walangsungsang, mohon
pertolongan Eyang, semoga lekas bertemu.”

Nyi Indang Sukati merasa kasihan: “Duhai bayi, terimalah baju Sang Dewa
mulya, berwatak cepat cepat berjalan seperti angin dan tidak panas di dalam
api dan tidak basah dalam air, rahayu dari bahaya.” Segera sudah dipakai
baju si Dewa Mulya, sang putri mengucap terima kasih dan mohon petunjuk
kakaknya ada dimana.

Berkata Nyi Indang Sukati: “Engkau datanglah terlebih dahulu di gunung


Liwang, temuilah Ajar Sakti, di situlah dapat petunjuk.” Segera Sang Dewi
menyembah pamit, terlaksana dengan sebentar Sang Putri telah datang di
gunung Liwang di hadapan Ki Ajar Sakti, menyungkemi kakinya sambil
mohon petunjuk kakaknya ada di mana. Ki Ajar waspada penglihatannya,
mengetahui maksud Sang Putri. Ia Berkata: “Bayi, kakak engkau,
Walangsungsang sudah punya istri, Indangayu namanya, putri Sanghyang
Danuwarsih yang berada di gunung Maraapi, baik engkau menyusul ke sana
dan aku memberi engkau nama Ratnaeling, kelak dipastikan mempunyai
putra lelaki yang punjul sebuana.”

Sang putri mengucap terima kasih, segera pamit, terus berjalan menuju
puncaknya gunung Maraapi, bahkan sebentar sudah datang.

Syahdan Pangeran Walangsungsang yang sedang tapakur di hadapan Sang


Danuwarsih. Berkata Sang Danuwarsih; “Hai putraku Walangsungsang
terimalah cincin pusaka turunan dari dipati Suryalaga sama turunan engkau.
Ini wataknya cincin Ampal kalau diterawangkan tahu isinya jagat bumi tujuh
langit tujuh bisa terlihat dan di dalam cincin Ampal dapat memuat laut dan
gunung, bisa untuk sebanyak simpanan, terkabul yang dikehendaki, namun
agama Islam si Rama tidak bisa, kelak seantara lagi engkau tahu, hanya itu
terimalah aji-aji dan kemenayan (melumpuhkan) pengabaran (menurut) dan
pengasihan (pekasih).” Walangsungsang mengucap terima kasih sambil
menerima semua pemberian Sang Ayahanda.

Sedangkan mereka berkumpul tak lama kemudian datanglah Sang Dewi


Rarasantang bertemu rangkul merangkul dengan kakaknya. Berkata
Walangsungsang sambil menangis: “Duhai bayi adikku, sungguh bahagia
engkau masih bisa bertemu dengan si kakak, apa sebabnya engkau
menyusul, tidakkah engkau lebih senang di dalam kraton. Dan engkau dapat
petunjuk jalan dari siapa?”

Sang Rarasantang berkata sambil menangis perihal perjalanannya dan awal


hingga akhir. Sedangkan mereka berdua bercakap-cakap, Sang Danuwarsih
mendekati dan berkata: “Hai putraku, itu bayi perempuan siapa berangkulan
bertangisan?” Menjawab Sang Putra: “Sungguh saudari kandung hamba
seayah seibu, Rarasantang namanya.” Segera Nyi Indangayu merangkul adik
iparnya.

3. GUNUNG CIANGKUP

Setelah antara sebulan lamanya Ki Sanghyang berkata: “Hai putraku semua


marilah berkumpul.” Para putra bertiga sudah di hadapan Sang Danuwarsih,
berkata: “Hai Walangsungsang, Indangayu dan Rarasantang, sekarang baik
berguru kepada Sanghyang Nanggo di gunung Ciangkup, mudah-mudahan
mendapat sihnya guru.”

Sang putra mematuhi perintah Jeng Rama, sang istri dan sang adik sudah
dimasukkan ke dalam cincin Ampal. Segera pamit terus berjalan akhirnya
telah datang di gunung Ciangkup bertemu di hadapan Sanghyang Nanggo. Ia
berkata: “Hai orang muda selamat datang, apa yang engkau kehendaki, asal
putra mana dan siapa nama engkau?” Dijawab oleh Walangsungsang: “Putra
Raja Pejajaran, Walangsungsang namanya, ingin berguru agama Islam.”
Sanghyang Nanggo berkata: “Hai Walangsungsang, aku tidak tahu agama
Islam, nanti seantara lagi engkau mendapatkannya, hanya si bapak memberi
ilmu kedewaan dan menghilang, kekuatan, kekebalan, terimalah sih
pemberian si bapak dan ini Golokcabang pusaka para leluhur terimalah. Ini
golok bisa bicara bahasa manusia dan bisa terbang dan bisa keluar api, tiap
yang terkena olehnya niscaya lebur, walaupun Dewa tidak tahan, gunung
ambruk dan laut kering.”

Walangsungsang mengucap terima kasih atas sih pemberian guru.

4. Gunung Kumbang

Setelah sebulan lamanya Sanghyang Nanggo berkata: “Hai Walangsungsang


sekarang engkau baik bergurulah lagi kepada Sanghyang Naga di gunung
Kumbang, mudah-mudahan ada sihnya guru.” Walangsungsang mematuhi
perintahnya guru, segera pamit terus berjalan menuju gunung Kumbang,
datang sudah di hadapan Sanghyang Naga. Berkata Sanghyang Naga: “Hai
orang muda, siapa engkau, asal putra mana dan apa yang engkau
kehendaki?” Sang Walangsungsang menjawab: “Hamba ingin berguru
agama Islam, Walangsungsang namanya putra Pejajaran.” Sanghyang Naga
berkata: “Hai Walangsungsang, agama Islam belum ada, kelak pada
kahirnya engkau yang punya, mungkin seantara lagi, hanya si bapak bisa
memberi ilmu kesaktian, aji dipa, mengetahui omongannya segala binatang,
kepewiraan, menghilang dan aji titimurti (Membesarkan tubuh hingga
segunung anakan). “Walangsungsang sudah menerima semua apa sih
pemberian guru. Sanghyang Naga berkata: “Dan ini pusaka yang tiga warna
kepunyaan Juwata sekarang dapat wangsit terimalah dari sih pemberian
Dewa, ialah peci waring, kalau dipakai tidak terlihat oleh semua penglihatan,
badong batok berwatak dianuti oleh sileman siluman, jin, setan pada sika
asih, umbul-umbul waring, berwatak rahayu dari senjata musuh dan
melemahkan musuh.” Diterima sudah, Walangsungsang mengucap terima
kasih, lalu jimat yang warna tiga itu disimpan di dalam cincin Ampal.

5. GUNUNG CANGAK

Sanghyang Naga berkata: “Engkau sekarang pergi bergurulah ke gunung


Cangak di situ engkau akan dapat petunjuk perihal agama Islam, namun
diakali dulu Ratunya Bangau hingga sampai tertangkap.” Setelah sebulan
lamanya Walangsungsang mohon pamit segera menuju ke gunung Cangak.

Diceritakan yang berada di gunung Cangak di pohon beringin besar


rombongan burung-burung bangau banyak sekali berhinggap.
Walangsungsang terheran-heran melihat sedemikian banyak burung burung
bangau berseliweran dan bingung mana yang jadi Ratunya. Segera ia
memakai peci waring dan mengeluarkan kesaktian sebuah wadah yang
berisikan ikan deleg diletakkan di pohon. Kena ampuhnya aji penurutan
Sang Nata Bangau segera temurun, bertubuh lebih besar dari sesama burung
bangau. Ikan deleg di dalam wadah/perangkap lalu dipatuknya. Cepat
Walangsungsang menangkap leher Sang nata Bangau sambil diancam
dengan Golok cabang di atas lehernya. Sang Nata Bangau berteriak tolong-
tolong minta hidup, nanti anda aku beri pusaka warna??? tiga, panjang,
pendil, bareng/bende.” Lalu Sang Nata Bangau dilepaskan, lalu ia terbang
sambil berkata: “Hai manusia susullah aku di puncak gunung ini yang
berada di pohon beringin.”

Walangsungsang segera menyusul, Sang Nata Bangau lenyap setelah datang


di pohon beringin di puncak gunung itu. Walangsungsang kebingungan. Tal
lama kemudian hilanglah ujud pohon beringin itu salin rupa menjadi sebuah
kraton yang indah sekali.

Walansungsang sedangnya melongo keheranan melihat ada kraton, tal lama


lalu ada 40 orang anak-anak bule yang menghidangkan jamuan sambil
menyilahkan duduk di sebuah permadani semas. Walangsungsang
sedangnya enak duduk sambil makan minum tak lama kemudian datanglah
Sang Pedeta Luhung duduk sejajar.

Walangsungsang berkata: “Hai Pendeta, anda siapa yang bertemu di


hadapan menjadikan terkejutnya hatiku?” Ki Pendeta menjawab:
“Sanghyang Bangau namaku yang membangun kayuwangan di gunung
Cangak, fardhu memenuhi janji memasrahkan jimat pusaka yang warga???
tiga, ialah panjang , pendil, dan bareng/bende. Piring panjang berwatak tidak
diisi lagi lalu mengisi sendiri lengkap segala-galanya, nasi kuning, lauk pauk
selalabnya dan sejuk pribawanya kepada kawula warganya, cukup sandang,
pangan, papan. Pendil berwatak kalau dikeruk nasinya bisa untuk memberi
makan dua tiga segara. Baren/bende wataknya keluar air banjir, suaranya
membungungkan mausuh.”

Diterima sudah jimat yang warga tiga. Walangsungsang mengucap terima


kasih dan berguru kepada Pendeta sebulan lamanya.

6. GUNUNG JATI
Walangsungsang mohon pamit hendak meneruskan mencari agama Islam
serengat Jeng Nabi Muhammad Ki Pendeta berkata: “ Hai putra, datanglah
di gunung Jati Syekh Nurjati namanya, asal dari Mekah, yang sedang
bertapa tidur dialah yang empunya agama Islam sarengat Jeng Nabi
Muhammad.”

Walangsungsang segera pamit menuju gunung Jati, datang sudah di hadapan


Syekh Nurjati.

Sang istri dan sang adik lalu dikeluarkan dari cincin Ampal disuruh sujud
menghaturkan hormat. Ki Syekh Nurjati segera terjaga melihat tiga orang
tamu. Sambil senyum ia berkata: “Hai tiga orang muda di hadapanku dengan
memberi hormat, apa kemauan kalian, asal dari mana, nama kalian siapa?”
Berakta Walangsungsang: “Hamba hendak berguru agama Islam sarengat
Jeng Nabi Muhammad, bersama adik kandung hamba Rarasantang, putra
Pejajaran, adapun istri hamba Indangayu namanya, putri gunung Maraapi
Sanghyang Danuwarsih, hamba bernama Walangsungsang.” Syekh Nurjati
berkata: “Bagaimana mulanya orang Budha dan putra Raja menghendaki
Islam dan dapat petunjuk dari siapa tahu kepada gunung Jati?”
Walangsungsang menceritakan sesungguhnya lantaran mau Islam dari awal
hingga akhir. Ki Syekh segera memberi wejangan kepada ketiga putra
ngucapkan sahadat kalimah dua, selawat dan dzikir. Zakat fitrah, dan naik
haji, puasa bulan Ramadhan, salat lima waktu dan diwejang Qur’an. Kitab
Fikih dan Tasawuf, sudah dipatuhi semua apa yang diwejangkan dan
diperintah oleh guru, Walangsungsang, Indangayu, Rarasantang sudah lama
olehnya berguru, suhud sekali, tetap patuh kepada Guru. Ki Syekh
memanggil: “Walangsungsang aku beri nama Somadullah.”

7. Kebon Pesisir Lemah Wungkuk

Antara lama kemudian Ki Syekh berkata: “Somadullah, sekarang aku beri


idzin babakyasa, membangun sebuah dukuh/pemukiman dimulai pada hari
Ahad tanggal 1 bulan Sura,” pada tahun babad jaman/Sakakala 1367/1445 M

Somadullah mematuhi perintah guru, tak lama kemudian segera pamit, ke


arah selatan perjalanannya menyusuri pinggir pantai bersama sang istri dan
sang adik. Sementara perjalanannya membelok ke arah barat menuju ke
Lemahwungkuk ada sebuah rumak Kaki Tua yang bernama Ki Gedeng
Alang Alang.
Diceritakan Somadullah istirahat di sana dan sembahyang dalam rumah Kaki
Tua itu. Sebakdanya salat. Kaki Tua heran sambil berkata: “Hai orang muda,
engkau siapa bertemu di sini dan sedang apa?”

Berkatalah Somadullah: “Hamba santri gunung Jati, Somadullah namanya,


dapat idzin dari guru disuruh berkebun membangun sebuah
dukuh/pemukiman. Hari esok dimulainya badad/menebang pepohonan besar
kecil dan kalau diidzinkan mohon mondok sementara waktu tiga orang
banyaknya.” Berkata Kaki Tua: “Hai Somadullah, si bapak tidak punya anak
dan kawan, sekarang kamu tiga orang aku akui sebagai anak, serah jiwa raga
dan tempat, engkau aku beri nama Cakrabumi.” Somadullah menerimanya.
Sekarang sudah diangkat anak, dan setelah datang pada waktunya pagi hari
Ahad lalu ia memasuki hutan rawa belukar menebangi pepohonan besar
kecil tiap hari, lama olehnya ia babad/membuka hutan yang sudah lapang
lalu ditanami palawija membangun perkebunan. Kaki Tua melihat hutan
sudah lapang dan banyak ditanami palawija ia suka cita sekali Cakrabumi
disuruh menangkap ikan dan rebon diberi waring/jala, suku/alat penangkap
ikan dan jakung/perahu kecil. Cakrabumi mematuhi perintah Kaki Tua, tiap
malam berkendaraan jakung itu pergi menangkap ikan dan rebon (rebon—
sebangsa udang kacil), paginya membabad hutan. Adapun palawija
sebanyaknya buah-buahan itu sudah dikulakan kepada tengkulak-tengkulak
Palimanan dan Rajagaluh laksana semut berkerumunan pada waktu itu orang
pegunungan yang telah datang. Rebon ditumbuk dibikin terasi. Berebutan
saling mendahului orang-orang yang membeli. Mereka memberitahukan
kepada tangga desa-desanya. Orang-orang pegunungan banyak turut
menanam, berkebun dan menetap. Cakrabumi bergenbira karena sudah
banyak tetangga/pendatang baru, mereka turut berkebun dan semua tanaman
serba jadi.

8. RAJA GALUH

Diceritakan Prabu Rajagaluh mengadakan sewaka/seba (jumpa pejabat-


pejabat pemerintahan), seluruh para Bupati, Sentana mantri dan para
Gegedeng sudak kumpul dihadapannya Sang Prabu segera memanggil Ki
Dipati Palimanan. Gedeng Kiban namanya. Berkata Sang Prabu: “Hai Dipati
Palimanan, sekarang bawahan engkau, tanah pantai yang jadi
dedukuh/pemukiman, banyak orang yang berkebun dan ada nelayan yang
menangkap ikan dan rebon, aku lebih terasih kepada tubukan ikan rebon,
agar diperiksa yang sampai terang dan ditetapkan pajak bagi nelayan rebon
itu dalam setahun sepikul bubukan rebon yang sudah halus gelondongan dan
ada berapa cacah jiwanya orang-orang yang bermukim di pantai.”
Ki Dipati mengucap sandika (siap menjalankan perintah), segera keluar
meninggalkan sidang, memanggil ponggawa penipu (pepitu???) (tujuh orang
mantri) sudah menghadap kepadanya. Ki Dipati berkata: “Hai ponggawa
pepitu, sekarang periksalah sesukuh baru di pinggir pantai, ada berapa cacah
jiwanya dan nelayan penangkap ikan rebon seyogya diberi ketetapan pajak
tiap tahun sepikul bubukan rebon yang sudah halus gelondongan. Harap
diperiksa yang sampai terang, karena Sang Prabu terasih sekali kepada
bubukan rebon yang sudah gelondongan (bulat panjang).”

Ki Mantri pepitu mengucap sandika. Segera menghindar dari hadapannya,


mereka terus berjalan menuju ke pantai.

Diceritakan Cakrabumi bersama sang istri dan sang adik sedang menumbuk
rebon di lumpang batu dengan halu batu. Orang yang mengkulak rebon
berebut saling mendahului, berdesak-desak sambil berceloteh” Oga age,
geura age, geura bebek (Cepat-cepatlah ditumbuk!) Jadi mashur pedukuhan
baru itu desebut nama Grage.

Tidak lama datanglah utusan Falimanan Mantri pepitu memeriksa,


dedukuh/pemukiman baru itu, sudah ada cacah jiwa 364 orang, Ki
Cakrabumi sudah bertemu di hadapan mereka. Berkata jubir Mantri pepitu:
“Hai tukang penangkap rebon, engkau oleh perintah Sang Prabu diharuskan
mengirim pajak tiap-tiap tahun datu pikul bubukan rebon gelondongan,
karena Sang Prabu lebih terasih dan aku beri nama bubukan gelondongan,
karena Sang Prabu Rajagaluh lebih terasih sekali minta keterangannya
bagaimana membikin terasi itu.”

Cakrabumi mengucap sandika. Adapun menangkapnya dengan jala tiap


malam, diambilnya pagi-pagi. Rebon lalu diuyahi seantara lalu diperas,
setelahnya lalu dijemur, setelah kering lalu ditumbuk digelondongi,
demikian. Adapun air perasannya dimasak dengan diberi bumbu-bumbu.
Masakan perasan air rebon lebih enak, diberi nama petis blendrang.” Ki
Mantri berkata: “Coba ingin tahu rasanya cai/air rebon itu.” Cakrabumi
segera menyuruh istrinya memasak air perasan rebon. Setelah masak lalu
dihidangkan kepada Ki Mantri pepitu. Mereka lalu makan bersama dengan
lauk pauk petis blendrang, sambisaling berkata, bahwa cai/air rebon lebih
enak ketimbang gragenya (trasinya). Karenanya Ki Mantri pepitu
mengumumkan kepada rakyat dedukuh baru itu, memberi nama Dukuh
Cirebon, kala waktu tahun 1447 M.

Pada tahun itu juga Mantri pepitu memanggil kumpul rakyat Dukuh Cirebon
untuk memilih seorang pikuat/Kuwu Dukuh Cirebon, semufakat rakyat
Dukuh Cirebon Kaki Tua Gedeng Alang Alang yang terpilih jadi
pikuat/Kuwu Dukuh Cirebon. Mantri pepitu menetapkan Ki Gedeng Alang
Alang yang jadi Kuwu dukuh Cirebon dan Ki Cakrabumi sebagai wakilnya,
setelah usai Ki Mantri pepitu lalu pulang kembali ke Palimanan untuk
memberi laporan kepada Ki Dipati Palimanan.

9. DUKUH CIREBON

Syahdan Ki Gedeng Alang Alang sudah masyhur sebagai Kuwu Cirebon,


antara lama kemudian ada seorang santri datang mampir di rumah Ki Kuwu.
Ia seorang santri gunung Jati menitipkan sebuah tas karena ia mau
menghadapi kepada Syekh Nurjati, tas diterima sudah Ki santri meneruskan
perjalanannya, lalu Ki Kuwu memanggil putri Rarasantang dan berkata:
“Bayi, ini tas simpanlah yang baik, ada seorang santri gunung Jati
menitipkan tas ini.” Tas itu sudah diterima, lalu Rarasantang masuk ke
kamarnya. Tas dibuka, ternyata ada sebuah cupu hijau yang berisi air
cahaya. Lalu isinya diminum oleh Rarasantang hingga habis, lalu cupu
ditutup kembali dan disimpan.

Diceritakan Kuwu Cirebon yang sedang tidur seantara lalu mimpi bertemu
dengan Jeng Nabi Muhammad memberi wejangan kepadanya sahabat
Mutaakhirah/ Sahabat kalimat dua. Setelah tamat Jeng Nabi berkata: “Hai
Kaki Tua, tas yang berisi tirta nur/air cahaya supaya dibawa sekarang, aku
ingin tahu.” Kaki Tua ingat kepada tas titipan santri, segera terjaga
menggerayangi sesuatu. Cepat sang putri dipanggil dan berkata: “Hai bayi,
tas titipan santri yang berisi cupu tirta nur sekarang diminta oleh Kanjeng
Nabi Muhammad dan aku diberi wejangan Sahada Mutaakhirah.”

Sang putri menjawab: “Sungguh tas itu berisi tirta nur, akan tetapi cupu itu
isinya sudah saya minum, harap ayahanda mengetahuinya.” Ki Kuwu
kebingungan sekali takut kepada Rasulullah dan kepada santri yang
empunya tas itu. Oleh karenanya Ki Kuwu gelisah dan menangis hingga
jatuh sakit. Antara lama kemudian Ki Gedeng Alang Alang Wafat.
Cakrabumi memanggil kumpul semua tetangga berniat mensucikan jenazah
Ki Gedeng Alang Alang sebagaimana cara bangsa Islam. Adapun para
tetangga seorangpun tidak ada yang mau mendekatinya karena memakai
cara bangsa Islam. Cakrabumi mengumumkan barangsiapa yang mau turut
mengurusi dan mengeduk kuburan akan diganjar tiap orang uang sebaru/35
sen dan nasi sebungkus dengan lauk pauk sepepes ikan.

Segera para tetangga mau turut mengurus mematuhi perintahnya Cakrabumi


karena ada ganjarannya. Terlaksana sudah jenazah Kaki Tua disalatkan,
sebakdanya lalu dikubur.

Akan tetapi jenazah Kaki Tua itu lenyap tanpa bekas hanya tinggal bungkus
putihnya saja dan berbau harum sekali.

Orang-orang Budha para tetangga sangat heran sekali melihat kejadian


jenazah Kaki Tua yang telah masuk Islam. Cakrabumi mengumumkan:
“Barangsiapa orang yang mati Islam niscaya seperti demikian itu lebih
sempurna patinya pula yang turut membantu niscaya mendapat berkah orang
yang Islam.”

Lalu para tetangga yang masih Budha pada tertarik masuk Islam turut
sarengat Jeng Nabi Muhammad.

Sebakdanya kubur para tetangga dihidangi makan semua, berkumpul lebih


suhud. Orang banyak berkata satu sama lain mufakat yang meneruskan jadi
Kuwu Cirebon ialah Cakrabumi ditetapkan sebagai Kuwu Cirebon, pada
tahun 1447 M.

10. NAIK HAJI

Cakrabumi sudah masyhur sebagai Kuwu Cirebon, bergelar Pangeran


Cakrabuana.

Rakyat Cirebon kebanyakan sudah Islam/permulaan ada pemerintahan Islam


di pulau Jawa, namun tidak ada paksaan dalam memeluk agama, ialah
agama resmi adalah Islam, dan bebas beragama pada tahun 1447 M.
Daerahnya diakui sebagai sebuah desa oleh negara berdaulat Rajagaluh.
Lain-lain daerah adalah bukan pemerintahan, hanya sebagai
pengguron/pesantren, seperti Ampeldenta, Gresik dan Krawang. /Sedangkan
Demak diakui sebagai sebuah desa oleh Majapahit baru pada tahun 1478 M.
Ki Kuwu bersuka hati desanya sudah luas/besar. Segera memanggil sang
istri dan sang adik untuk bersama menghadap kepada sang Guru. Syekh
Nurjati, datang sudah di hadapannya. Syekh Nurjati berkata: Somadullah,
oleh karena engkau sudah terlaksana membangun desa Cirebon dan
masyarakat sudah banyak turut mengamalkan/memeluk agama Islam, pada
akhirnya kelak menjadi negara besar dan jadi tempat berkumpulnya para
Wali. Sekarang engkau dan adik engkau pergi be’atlah kepada Syekh
Maulan Ibrahim, di negara Campa, patuhilah perintah Guru.” Cakrabuana
mengucap sandika (siap menjalankan perintah Guru), segera mohon pamit,
terus pergi berlayar menuju negara Campa, datang sudah di hadapan Syekh
Maulana Ibrahim. Ki Syekh segera berkata: “Hai orang muda, anda siapa
menghadapku dan apa kehendaknya.” Cakrabuana menjawab: “Hamaba
adalah santri gunung Jati. Cakrabuana namanya. Rarasantang adik hamba.
Fardhu hamba mohon be’at tabaruk Jeng maulana.

Permohonannya ditetima lalu Ki Ayekh memberi wejangan tarekat satariyah


kepada putra berdua itu berikut semua ilmu tarekat. Antara sepekan
Cakrabuana dan sang adik disuruh naik haji ke Baitullah dan dibawakan
surat untuk Syekh Bayan dan Syekh Absullah di tanah Mekah. Antara lam
kemudian mereka berdua datang sudah di hadapan Syekh Bayan dan Syekh
Abdullah menerimakan sepucuk surat dari Sang Guru Maulana Ibrahim.

Syekh Bayan bersuka cita. Cakrabuana dan Rarasantang diberi wejangan


ilmu sarengat, tarekat, hakikat dan ma’rifat.

Cakrabuana dan Rarasantang merasa senang bermukim di Mekah pagi dan


sore mengaji Qur’an dan Kitab.

11. BERTEMU JODOHNYA

Diceritakan di negara Mesir Jeng Sultan Maulana Mahmud Syarif Abdullah


sedang diseba/dihadap oleh seluruh para pejabat pemerintahan, Patih,
Penghulu dan Bupati sentana mantri kumpul semua di hadapan Sang Sultan.
Jeng Sultan lama bermuram durja setelah wafatnya Sang Permaisuri. Mohon
sih kemurahan Allah siang malam tekun dzikir memuji kepada Ilahi
menjernihkan cipta. Tidak antara lama kemudian ada hawatif/suara tanap
rupa terdengar: “Sesungguhnya jodoh anda sekarang berada di Mekah!”
Sanga Sultan ingat kepada wangsit segera kiyan Patih Lamalulail dipanggil
menghadap. Sang Sultan berkata: “Hai Patih, karena waktu haji anda
pergilah ke Mekah, carilah seorang perempuan yang pantas untuk jadi
permaisuri, semoga memperoleh seperti permaisuri almarhumah, selekasnya
anda berangkat, bawalah wadya empat puluh orang dan aku beri bekal 2,000
ringgit.” Kiyan Patih mengucap sandika.

Menghindar dari hadapan Sang Sultan, meneruskan perjalanan dengan


diiringi wadya/pengiring empat puluh orang berlayar mengendarai kapal.
Tidak antara lama kemudian mereka datanglah di Jedah. Ki Patih dan
rombongan lalu mendarat meneruskan perjalanannya menuju ke Mekah.
Kebetulan waktu haji, lelaki perempuan pada kumpul di Baitullah. Ki Patih
dan rombongan turut beribadah haji. Antara lama buburan haji Ki Patih
melihat seorang perempuan yang cantik sekali menggungguli orang
senegara, lalu dikuntit lalu bertemu di rumah Syekh Bayan. Berkata Ki
Patih: “Hai Syekh Bayan, itu santri perempuan yang punjul rupanya dari
negara nama dan anak siapa, karena sama rupanya dengan permaisuri Mesir
yang sudah meninggal.” Berkata Ki Syekh: “Ini adalah santri putri dari tanah
Pejajaran orang pulau Jawa, Rarasantang namanya, adik dari Cakrabuana,
fardhunya mengaji dan menetapi fardhu haji.” Ki Patih berkata: “Kalau
disetujui dan semufakat ahlinya itu putri Jawa akan dipinang oleh Jeng
Sultan Mesir, supaya hari ini juga turut bersama kami ke Mesir, karena
sekarang sudah lebaran haji.” Ki Syekh berkata: “ Hai bayi Rarasantang,
menurutlah kepada kamauan Ki Patih, di sana akan bertemu dengan jodoh
anda, ingatlah kepada impian anda, wangsit jodoh anda adalah Raja Islam.
Cakrabuana, harap jangan menghalangi, turutlah kemauan Ki Patih.”
Cakrabuana dan Rarasantang mematuhi perintahnya sang Guru. Segera turut
rombongan Ki Patih yang bergembira sekali, oleh karena memperoleh karya.
Lalu mereka berlayar menuju Mesir, datang sudah di praja Mesir. Kedua
putra Jawa diberi pondokan dalam rumah Ki Penghulu Jamaluddin.

Pada suatu hari Sang Sultan sewaka, berkumpul semua para pejabat di
hadapan Sang Sultan, Ki Patih dan Ki Penghulu tidak ketinggalan hadir.
Jeng Sultan berkata: “Hai Paman Patih, dahulu anda aku utus, mendapat
karya atau tidak?” Ki Patih menjawab: “Brekah Dalem , berhasil, serupa
dengan permaisuri paduka yang telah wafat, Rarasantang namanya, Putri
Pejajaran pulau Jawa bersama saudara tuanya Kaki Cakrabuana, ditemukan
di rumah Ki Syekh Bayan di Mekah setelah usai haji, dan sekarang
ditempatkan di rumah Ki Penghulu Jamaluddin.”
Sang Sultan berkata: “Hai Penghulu, lekas putri Jawa suruh datang di Masjid
Tursina, aku akan tanyanya sendiri.” Ki Penghulu secepatnya membawa
kedua putra Jawa ke dalam Mesjid Tursina, datang sudah Jeng Sultan
melihat kepada putri Jawa setuju sekali, mirip dengan permaisurinya yang
telah meninggal. Segera sang putri didekati dan berkata: “Hai putri Jawa,
siapa nama anda dan saudara anda siapa?” Saya menjawab: “Rarasantang
nama saya, saudara saya Abdullah Iman namanya. Jeng Sultan berkata: “Hai
Haji Abdullah Iman, oleh karena aku suka kepada adik anda Rarasantang,
sekarang aku memintanya untuk permaisuri.” Berkata Jeng Pangeran
Cakrabuana: “Duhai Gusti melainkan menyetujui, namun seyogya Paduka
tanyai pribadi karena adik sudah baligh.” Jeng Sultan berkata: “Hai
Rarasantang, setuju tidak kalau jadi permaisuri Mesir, anda akan dimuliakan
sebagai mustikanya kraton.” Rarasantang berkata: “Saya terima sekali
kehendak Paduka, kalau saya dikaruniai anak lelaki Waliyullah yang punjul
(unggul) sebuana, saya ridho.” Jeng Sultan anggleking manah/hatinya
masghul, bungkam tidak bisa bicara. Segera mengheningkan cipta
menyerahkan persoalannya kepada Yang Mahakuasa , mohon pertolongan.
Tidak lama kemudian ada terdengar hawatif: “Sesungguhnya itu perempuan
pasti jodoh anda dan punya anak lelaki Waliyullah yang punjul sebuana.”

Karenanya Jeng Sultan hatinya gembira, segera berkata: “Rarasantang, insya


Allah terkabul sekehendak anda. Aku muji syukur kepada Allah.” Jeng
Sultan sudah selesai berdamaian dengan Dewi Rarasantang. Malah
disaksikan oleh ketug/bebunyian alamiah, lindu/gempa, geter/gerak alamiah.
Gunung Tursina hingga bergerak tanda dibenarkan/dikabulkan kehendak
Jeng Sultan, pada tahun 1447 M.

12 AKAD NIKAH

Sudah selesai olehnya berdamaian, lalu Penghulu sekaumnya dipanggil


karena Jeng Sultan akan nikah. Ki Penghulu bergembira. Ki Patih bersuka
ria sewadya pada kumpul. Cakrabuana segera sudah menikahkan Sang
Sultan dengan Sang Adik. Adapun sebakdanya nikah Jeng Sultan
meninggalkan mesjid bersama permaisuri putri Jawa. Setelah berada kraton
Jeng Sultan sewaka mengundang saudara ipar tua H. Abdullah Iman, lalu H.
Abdullah Iman menghadap Sultan. Sang Sultan berkata: “Hai kakak
Abdullah Iman, ini destar harap kakak terima, pusaka dari Rasulullah, tiga
puluh depa, dan pula harap menjadi tahu kakak dan para wadyaku, sekarang
Dewi Rarasantang diganti namanya dengan nama H. Syarifah Mudaim.”
Cakrabuana mengucap terima kasih dan destar diterima.

H. Abdullah Iman antara setengah tahun lamanya, adapun sang adik


Syarifah Mudaim sudah mengandung tiga bulan, Cakrabuana lalu mohon
pamit pulang kembali ke Jawa. Jeng Sultan memberi izin dan memberinya
pesangon 1,000 dirham. H. Abdullah Iman segera pulang terus berjalan
mampir di Mekah menuju kepada sang Guru Syekh Bayan dan Syekh
Abdullah sudah pada berjumpa. Abdullah Iman memberi tahu, bahwa
Rarasantang sudah diperistri oleh Jeng Sultan Mesir, dan mohon izin mau
pulang ke Jawa. Ki Syekh Bayan memberinya nama Bayanullah, karena
Syekh Abdullah kala waktu dulu sudah memberinya nama Abdullah Iman.
Cakrabuana mengucap terima kasih, segera mohon pamit meneruskan
perjalanannya mampir kepada Jeng Sultan Aceh. Antara sebelum lamanya.
Bayanullah pulang dari Aceh mampir di Palembang. Kemudian antara tiga
bulan lamanya Bayanullah pulang dari Palembang menuju ke gunung Jati,
datang sudah ia di Cirebon. Seluruh masyarakat desa Cirebon pada kumpul
dan bersuka ria menerima kedatangan Ki Kuwunya, seterusnya H. Abdullah
Iman meneruskan memangku jabatannya sebagai Kuwu Cirebon.

13. ZHAHIRNYA WALI KUTUB

Diceritakan di negara Mesir Jeng Sultan Syarif Abdullah dan permaisuri


Syarifah Mudaim sudah mengandung tujuh bulan pergi ziarah ke mekah dan
Madinah. Segera sudah berangkat diiring wadyabala dua ribu orang berlayar
mengendarai kapal datang sudah di Jidah. Lalu menuju ke Mekah dan
meneruskan perjalanan ke Madinah, datang sudah Sultan dan rombongan di
hadapan kubur Jeng Nabi Muhammad Rasulullah. Setelah selesai ziarah
kemudian mereka pulang kembali ke Mekah.

Sang Permaisuri sudah cukup bulannya untuk bersalin. Adapun antara hari
bulan Mulud tanggal 12 Bakda Subuh Syarifah Mudaim melahirkan seorang
jabang lelaki yang elok sekali, cahayanya meredupkan cahaya matahari.
Jeng Sultan gembira sekali, lalu dibawa tawaf di Baitullah, dirubung oleh
para Ulama dan para mukmin, diberi nama Syarif Hidayatullah, bertepatan
pada tahun 1448 M. Antara 60 hari kemudian rombongan Jeng Sultan,
Permaisuri dan putra berlayar pulang kembali datang sudah di negeri Mesir.
Antara tahun Syarifah Mudaim mengandung lagi. Setelah datang kepada
waktunya lalu lahirlah seorang jabang lelaki pula dan diberi nama Syarif
Nurullah pada tahun 1450 M.

Tidak antara tahun Jeng Sultan Syarif Abdullah wafat. Setelah wafatnya
Jeng Sultan lalu Patih Jamalullail/Patih Ongka Jutra dilantik sebagai Pejabat
Sultan Mesir memolmaki/mewakili Syarif Hidayatullah selama belum
dewasa.

14. DIBANGUNNYA KRATON PAKUNGWATI

Diceritakan Ki Kuwu Cirebon H. Abdullah Iman, istrinya Dewi Indangayu


sudah melahirkan bayi perempuan diberi nama Ratu Mas Pakungwati.
Kemudian Ki Kuwu membangun kraton disebut kraton Pakungwati pada
tahun 1452 M. Pula di sebelah timurnya dibangun sebuah tajug jami’ di
pinggir pantai disebut kampung Grubugan/Sitimulnya). Antara tahun
istrinya yang kedua mengandung, setelah datang pada waktunya lalu
melahirkan seorang bayi lelaki diberi nama Pangeran Carbon pada tahun
1454 M.

Keraton Pakungwati diperlebar dan diperbesar pada tahun 1479 M. Setelah


membangun kraton Ki Kuwu Cakrabuana bergelar Sri Mangan (Cirebon
sejak tahun 1454 M. menjadi sebuah negara beragama Islam, namun tetap
tidak ada paksaan dalam memeluk agama. Kepala negaranya adalah
Pangeran Cakrabuana yang bersemayam di kraton Pakungwati, diakui oleh
Prabu Siliwangi Pejajaran sebagai Sri Mangan/Prabu Anom).

15. PANGERAN PANJURAN

Diceritakan di Baghdad (ibukota Irak) Sultan Maulana Sulaiman sudah lama


bersedih hati, karena sang putra, Syarif Abdurrahman bertentangan dengan
serengat agama Islam, tidak mengindahkan batal haram. Siang malam
membopong anjing, gegembyungan/menabuh trebang di jalan-jalan bersama
penganut-penganutnya. Adapun saudara-saudara mudanya, ialah Syarif
Abdurrahman, Syarif Kafi dan Syarifah Baghdad mengikuti tingkah lakunya
saudara tua. Antara dua bulan lamanya Syarif Abdurrahman tidak tidur,
tidak makan karena sedang majnun bilahi Ta’ala (cinta rindu mabuk
kepayang kepada Allah s.w.t.). Pada suatu hari Jeng Sultan Sulaiman sewaka
(jumpa pejabat-pejabat pemerintahan). Semua para pejabat pemerintahan
kumpul pula sang putra lelaki bertiga sudah berada di hadapannya. Adapun
Syarif Abdurrahman berlaku tinggal adat bukan adat yang lumrah. Jeng
Sultan berkata: “Hai Abdurrahman, putraku buanglah adat yang buruk,
jangan suka bertentangan dengan serengat agama Islam, karena aku adalah
menjabat sebagai Sultan penetap panata agama (Sultan yang berkuasa atas
agama dan politis). Syarif Abdurrahman tidak mematuhi perintah Sang
Ayahanda, bahkan bertambah meningkat ulahnya yang tidak wajar.

Oleh karenanya Jeng Sultan murka, sang putra sangat dimarahi, diusir keluar
dari negara Irak. Syarif Abdurrahman menghindar sudah dari hadapan Sang
Sultan. Syekh Junaid berkata kepada Syarif Abdurrahman: “Engkau jangan
berkelana ke lain negara, menujulah ke pulau Jawa, bermukimlah di
Cirebon, bergurulah kepada Syekh Nurjati yang berada di gunung Jati dan
engkau jangan syak dan ragu kepada apa yang aku wejangkan sebagai guru
engkau, sempurna ilmu engkau, yang tetap zhahir batin.”

Sang putra mengucap terima kasih, mematuhi perintah gurunya. Segera


mohon pamit meneruskan perjalanan, datang sudah di pinggir pantai.

Sang adik Siti Baghdad dan Syarif Abdurrahman disuruh mengendarai kapal
kepunyaan ayahandanya, empat kapal yang diminta. Satu kapal memuat tiga
ratus orang. Sudah selesai olehnya memuat, kapal satu putra seorang.
Semuanya ada kapal empat buah segera berlayar empat orang putra itu
menuju ke pulau Jawa, pada akhirnya mereka datang sudah di Cirebon.
Keempat putra dan rombongan lalu naik ke darat, yang dari empat buah
kapal itu berjumlah 1,200 orang.

Syarif Abdurrahman menuju ke gunung Jati, keempat putra itu lalu memberi
hormat. Segera Ki Syekh Nurjati berkata: “Hai para putra, kalian siapa dan
apa kehendaknya datang di hadapanku?” Menjawab sang putra Syarif
Abdurrahman: “Hamba sekalian adalah sungguh dari Baghdad hendak
berguru kepada Jeng Maulana Syekh Nurjati dan mohon diizinkan hamba
sekalian akan mukim di Cirebon/Jawa.” Ki Syekh sudah memberi wejangan
ilmu hak, selesailah sudah olehnya mereka berguru. Keempat putra mohon
izin akan menghadap kepada Ki Kuwu Cirebon. Lalu meneruskan
perjalanannya datanglah sudah di desa Cirebon. Syarif Abdurrahman sudah
bertemu dengan Ki Kuwu Cirebon. Ki Kuwu lebih kasih sayang, keempat
putra sudah diberi pemukiman di sebelah utara. Syarif Abdurrahman telah
membangun sedukuh/pemukiman semua wadyanya disebar. Adapun Syarif
Kafi, Siti Baghdad yang berdiam di gunung Jati siang malam memberi
wejangan kitab Qur’an kepada masyarakat, disebut Syekh Datuk Kafi.
Adapun Syarif Abdurrahman yang menjadi ayunaning orang/pemimpin dan
membikin barang-barang keramik dari tanah liat disebut Pangeran Panjunan,
pula pemukimannya disebut dukuh Panjunan pada tahun 1464 M.

Adapun Syarif Abdurrahman menjabat sebagai jaksa untuk mengurus agama


dan drigama (urusan duniawi) karenanya disebut Pangeran Kejaksaan, pula
dukuhnya/pemukimannya disebut dengan nama Kejaksaan. Adapun semua
wadyabala Baghdad (pengikut-pengikut keempat orang putra itu) sudah
menetap di berbagai tempat tanah Pasungan. Di antara mereka telah
berkarya sebuah bangunan mesjid di Jepura, pembesar-pembesar Jepura
semua tunduk. Adapun Jeng Pangeran Panjunan yang diamalkan itu adalah
ilmu hakiki dan setauhidan.

16. SYARIF HIDAYATULLAH BERTEMU DENGAN JENG NABI


MUHAMMAD s.a.w.

Diceritakan di negara Mesir Sang Raja Putra Hidayatullah sedang sendirian


dalam gedung peminatan/gedung perpustakaan membaca kitab Usulkalam
yang sangat terperinci/halus. Jeng Maulana sudah menerima/menangkap
surasaning/tersiratnya kitab yang dibaca itu, hingga sungguh-sungguh
berkehendak berguru kepada Jeng Rasulullah, walaupun menurut kabar dan
kenyataannya Jeng Rasulullah sudah tiada tetapi Gusti Allah lebih kuasa dan
yang bangsa rohaniah itu adalah abadi tidak berubah.

Jeng Maulana segera keluar dari gedung perpustakaan itu menghadap


kepada ibundanya, Jeng Ratu Rarasantang, datang sudah di hadapannya.
Segera berkata: “Duhai ibu, mohon izin akan berguru kepada Jeng
Rasulullah, hendak dicari di mana adanya. Sang Ibunda lalu merangkulnya
dan berkata: “Mas sayang putraku, seyogyanya anda tahu Jeng Rasulullah
sudah tiada, bahkan sudah turun ke-22 kepada anda. Baik bergurulah kepada
para Awliya, para ulama yang anda pilih yang anda sukai, janganlah anda
cari yang bangsa tiada.”

Jeng putra memaksa tidak kena ditahan, segera mohon pamit meneruskan
perjalanannya pada tanggal 5 bulan Jumadilawal tahun 1466 M. Sang Ibu
menangis gelisah ditinggal oleh sang putra. Antara malam mimpi bertemu
dengan sang suami almarhum, Jeng Sultan Mesir yang berkata: “Hai adik
Syarifah Mudaim, ikhlaskanlah, yang percaya kepada Allah, mudah-
mudahan putra anda karena inilah lantarannya menjadi punjul (unggul), baik
anda berdualah kepada Allah, oleh karena dahulu anda ingin mempunyai
putra Waliyullah yang punjul sebuana.” Syarifah Mudaim ingat kepada
mimpinya lalu bertobat kepada Allah tekun memuji.

Diceritakan Jeng Maulana Hidayatullah yang sedang berjalan naik gunung


turun gunung, masuk hutan keluar hutan. Tidak antara lama lalu bertemu
dengan Nagasaka yang besar sekali, bisanya menyala-nyala seperti api
menghadapi perjalanan Jeng Maulana sambil berkata: “Hai orang muda,
engkau siapa dan apa kehendak engkau makanya berjumpa denganku di
sini?” Jeng Maulana berkata: “Hai Naga, aku sungguh putra Mesir,
berkeinginan hendak berguru kepada Jeng Rasulullah dan engkau Naga apa
tidak sama dengan sesama engkau dan engkau bisa berkata bahasa manusia.”
Sang Naga mengucap: “Saya ini namanya Yamlika, asal dari neraka
kalawaktu jaman Nabiyullah Sulaiman dan engkau jangan terus ke Mekah
dan Madinah karena Jeng Rasulullah sudah sirna sempurna, kalau engkau
sungguh-sungguh, berjalanlah ke arah barat menuju pulau Mejeti dan ini
cupu manik waris engkau terimalah, kalau diterawangkan mengetahui yang
gaib dan berkhasiat seluruh obat-obatan walaupun sudah mati bisa hidup
kembali.” Cupu diterima sudah, Jeng Maulana mematuhi perkataan Naga.
Segera pamit meneruskan perjalanannya ke arah barat lebih mantap
kehendaknya serah diri kepada Allah Yang Mahakuasa.

Diceritakan Ki Pendeta Ampini sedang berada di pinggirnya pulau Maceti,


hendak ziarah, hanya kebingungan di jalannya. Tak lama kemudian
datanglah Jeng Maulana. Ki Pendeta gembira, segera berkata: “Hai orang
muda, siapa anda bertemu denganku di sini dan apa keinginannya?” Berkata
Jeng Maulana: “Saya putra Mesir. Hidayatullah namanya, berkeinginan
hendak berguru kepada Jeng Rasulullah.” Berkata Pendeta: “Apa anda
belum mengetahui kepada kabar bahwa Nabi Muhammad itu sudah sirna
sempurna berabad-abad, baik kita pada ziarah ke kuburnya Nabiyullah
Sulaiman di pulau Maceti.”

Jeng Maulana menuruti kehendak Pendeta ziarah bersama kepada kuburnya


Nabiyullah Sulaiman, terus berjalan.

Tidak antara lama kemudian ada datangnya Nata Ular Naga yang besar
sekali menghadangi di perjalanan. Ki Pendeta gemetar sambil berkata:
“Hidayatullah, bagaimana daya upaya anda?” Jeng Maulana berkata: “Hai
sang Naga sumingga sumingkira/harap minggir memberi jalan aku sungguh
putra Mesir dan hendak ziarah ke Nabiyullah Sulaiman.” Sang Naga berkata:
“Hai orang muda, saya izinkan, namun saya minta air susu tumbal/penolak
bisa dan rahayu dari bahaya.” Jeng Maulana dan Ki Pendeta lalu mencari air
susu mendapat sekaleng besar kemudian air susu itu diminumkan sudah.
Sang Naga lalu mabuk lalu menggelundung di tanah ternyata keluar dari
telinganya sesuatu seperti lawe/kanthe. Cepat Jeng Maulana mengambil
lawe itu dari telinganya Sang Nata Ular. Segera meneruskan perjalanannya
bersama Ki Pendeta, terlaksana sebanyak ular, jin, setan, tidak berani
mengadu biru selamat dari bahaya. Jeng Maulana dan Ki Pendeta telah
datang di hadapan kuburnya Jeng Nabiyullah Sulaiman. Jeng Maulana lebih
hormat dan khidmat. Ki Pendeta bersuka cita, banyak longok, yang
dikehendaki itu adalah cincin Maklumat Jeng Nabi Sulaiman. Jeng Nabi
Sulaiman memberi sasmita jari penunjuknya bergerak, tidak antara lama lalu
ada gelap seribu menyambar. Ki pendeta remuk hancur sirna sudah. Keng
Maulana terlempar ke angkasa hingga jatuh di puncaknya sebuah gunung.
Segera Jeng Maulana bertobat kepada Allah oleh karena menemani orang
yang berlaku durjana, karena kemurkaan Nabiyullah Sulaiman Jeng Maulana
merasa mati.

Setelah bertobat lalu meneruskan perjalanan berjumpa dengan seorang


petapa yang di sisinya ada sebuah kendi pertula.

Jeng Maulana berkata: “Hai Sang Tapa, itu kendi milik siapa, saya ingin
minum.” Sang Tapa membalas: “Wallahu a’lam, tatkala saya memulai
betapa, kendi itu sudah ada.”

Jeng Maulana berkata: “Hai kendi pertula, engkau siapa yang mempunyai
milik, karena saya ingin minum.” Kendi menjawab: “Saya kendi asal dari
surga, kalawaktu turun jamannya Nabiyullah Nuh, iya Tuan yang empunya
milik.” Lalu kendi airnya diminum tidak sampai habis, lalu kendi diletakkan.
Kendi segera mengucap: “Tuan pasti menjadi Nata/Raja keturunannya, akan
tetapi tidak sampai terus, diselang/direbut hingga terjajah.” Kendi lalu
diminum kembali hingga airnya habis. Pratula berkata: “Selanjutnya negara
Tuan abadi tidak terjajah, tetap, merdeka mulia negaranya, tidak berubah.”
Kendi Pertula berkata lagi: “Saya kelak mengabdi kalau Tuan sudah jadi
Raja.” Jeng Hidayatullah menjawab: “Iya, semoga terlaksana.”

Lalu kendi segera terbang ke angkasa pulang kembali ke asalnya. Jeng


Maulana merasa terang benderang, seluruh yang gaib terlihat dan tubuhnya
merasa sehat segar dan berbau harum. Sang Petapa terheran-heran tidak
disangka bahwa sebuah kendi bisa berkata seperti manusia dan bisa terbang
di angkasa. Sang Petapa ingat kepada sasmita, segera cincin Merbun
diberikannya yang berwatak terang yang bangsa gaib dan tujuh langit tujuh
bumi terlihat terang nyata dan bisa memuat seluruh isi alam. Jeng Maulana
mengucap terima kasih, lalu mohon pamit meneruskan perjalanannya.

Diceritakan ada seorang perempuan yang punjul sebuana ingin mengabdi,


akan tetapi Jeng Maulana tidak mau menerimanya, karena mengetahui dari
godaan ratu dunia. Segera meneruskan perjalanannya, tidak lama kemudian
dihadang oleh seorang lelaki ingin mengabdi pula dan mendengar suara di
angkasa yang indah merdu sekali. Jeng Maulana tidak mau menerimanya,
oleh karena mengetahui bahwa mereka itu adalah ratunya setan sewadiyanya
ingin menggodanya.

Jeng Maulana meneruskan perjalanannya lalu ditimpa oleh gelap gulita


merasa menderita sekali karenanya. Tidak lama kemudian ada datangnya
Nabiyullah Ilyas. Jeng Maulana segera menghaturi bakti hormat. Berkata
Nabiyullah Ilyas: Terimalah baju ini, sebagai pangruwating penangkal
badan/tubuh, berwatak kalau dipakai seperti Malaikat, bisa memasuki
barang keras/padat tanap berlubang, api tidak mendatangkan panas, di dalam
air tidak basah, kalau bepergian hanya sekecap mata.”

Baju sudah diterima dan dipakai sambil mengucap terima kasih. Jeng Nabi
Ilyas berkata: “Aku tuduhkan anda, sekarang naiklah di puncak sebuah bukti
berjumpa dengan seorang lelaki yang mengendarai kuda, anda seyogya
mohon pertolongan. Jeng Maulana mematuhi lalu mohon pamit meneruskan
perjalanannya datang di sebuah puncak gunung. Tidak lama kemudian
datanglah Nabiyullah Khidhir mengendarai kuda sembrani. Jeng Maulana
segera sungkem menghaturi bakti hormat. Jeng Nabi Khidhir lalu
memberinya sebuah buah-buahan yang hijau dari surga. Jeng Maulana
mengucap terima kasih, lalu dimakannya hingga habis, lebih nikmat sekali
dan keluar cahaya nurbuat teja kuwung-kuwung (seperti cahaya pelangi),
dan mengetahui seluruh bahasa sebanyak barang kumilik, jin, setan,
malaikat, manusia, hewan dan bangsa angin pun mengerti bahasanya semua,
dari khasiatnya buah-buahan tadi dan berkahnya menurun hingga tiga
turunan. Jeng Maulana mohon petunjuk semoga lekas berhasil apa yang
dikehendaki Jeng Nabi Khidhir suka menolongnya, disuruh bonceng
bersama mengendarai kuda. Segera terbang ke angkasa melerep seperti kilat
dan pada akhirnya telah datang di Ajrak. Jeng Maulana disuruh turun. Sang
Maulana lalu turun datang di kraton Ajrak bertemu di hadapan Sang Prabu
jin Islam Abdullah Safari. Prabu gembira sekali. Jeng Maulana dirangkul
lalu duduk sejajar. Berkata Sang Prabu: “Ya bahagia datangnya cucuku,
bahagia sekali anda bertemu di sini, apa yang dikehendaki datang di hadapan
Eyang/Kakek?” Berkata Jeng Maulana: “Cucunda hatur bertahu,
sesungguhnya saya sedang mencari Jeng Rasulullah, bermaksud sungguh-
sungguh berguru kepadanya, semoga Eyang berkenan memberi petunjuk.”
Sang Prabu berkata sambil senyum: “Kurang seantara waktu lagi akan bisa
bertemu dan buah-buahan pemberian Malaikat, sedunia tanpa tanding.”
Buah-buahan sudah diterima lalu dimakan hingga habis, rasanya seribu
nikmat, seribu khasiat, berkahnya menurun hingga sembilan turunan. Jeng
Maulana hingga pingsan karena nikmatnya. Sang Prabu lalu memanggil
Kiyan Patih Osad Asid: “Ini cucuku bawalah ke Damsik (ibukota negara jin
Islam Ajrak), masukkanlah di dalam mesjid Mirawulung.” Segera Sang
Maulana dibawa di dalam Masjid Mirawulung. Tidak antara lama Jeng
Maulana terjaga merasa lain jaman, melihat para arwah orang-orang yang
mati sabil dan orang-orang yang ahlul makrifat. Jeng Maulana bercakap-
cakap dengan semua arwah dan pada menduakan semoga lekas terlaksana
maksudnya.

Jeng Maulana segera semedi mengheningkan cipta menyerahkan diri kepada


kehendak Ilahi. Tidak lama kemudian ada terdengar suara: “Hai bahagia
sekali engkau orang muda diridai oleh Allah naik ke langit hingga tingkat
enam bertemu/terlaksana kemauan engkau dengan Nabi Muhammad s.a.w.”
Kala waktu 28 Rajab, tahun 1466 M. waktu mi’rajnya Jeng Maulana
Hidayatullah. Setelah Jeng Maulana mendengar suara yang mengawang lalu
menengadah ke langit melihat langit sudah terbuka, para Malaikat pada
melambai-lambai. Jeng Maulana segera terbang, datang sudah di dalam
langit yang pertama. Jeng Maulana uluk salam, dibalas oleh semua para
Malaikat dan semua para Malaikat itu bertindak menggembirakan Jeng
Maulana.

Jeng Maulana lalu naik ke langit ketiga, Jeng Maulana terus naik ke langit
ke enam. Para Anbiya dan para Malaikat yang berjumpa semua diuluki
salam, mereka bergembira sekali memuji syukur kepada Allah. Jeng
Maulana segera telah datang di langit ke enam.

Jeng Maulana terharu nikmat tiada lain yang terlihat hanya cahaya yang
lebih agung laksana meliputi tujuh dunia. Jeng Maulana lalu sujud, seribu
nikmat, seribu rahmat laksana lenyapnya papan dengan tulis. Maka lalu ada
suara yang terdengar: “Janganlah anda sujud kepada sesama yang baharu,
sujudlah kepada Yang Qadim!” Jeng Maulana mendengar suara itu lalu
mengangkat kepalanya ke atas melihat kepada Hak yang sesungguhnya.
Jeng Nabi Muhammad memberi wejangan sejatinya syahadat yang bangsa
lathifatusirri. Setelah usai olehnya wejang. Jeng Nabi berkata: “Aku beri
anda gelar Insankamil, menjabat sebagai Wali Kutub sebagai Wakil
mutlakku, tidak adanya Nabi ya adanya aku Wali Kutub, tidak ada aku ya
adanya anda, bahkan tidak ada wujud dua, dan anda gelarkanlah agama
Islam, rukunnya lima perkara, syahadat, salat, puasa, zakat fitrah, naik haji
bagi orang yang kuasa di jalannya dan patuhilah apa yang tersebut dalam
Qur’an dan ingat anda janganlah mengunggul-ungguli menghebat-hebati
yang tanpa amal kebajikan dan anda bergurulah apa adat biasa di dunia,
yang benar lakunya nasihati hati-hati yang sejatinya.”

Jeng Maulana mengucap terima kasih atas apa sih pemberian Rasul.
Insankamil lalu mohon pamit, segera turun ke langit kelima terus hingga
langit pertama. Insankamil sudah pamit uluk salam, dibahas oleh semua para
anbiya dan semua para malaikat, Alhamdulillah rabbil alamina dan tasbih.
Insankamil turun dengan mengendarai awan putih datang sudah di Kraton
Ajrak. Sang Prabu bertemu di hadapan dan bergembira sekali, dihormat-
hormat.

Tidak antara hari Insankamil mohon pamit meneruskan perjalanannya


mengendarai mahligai emas diiringi oleh jin Islam sedonasi (80 orang) dan
Patih Osad Asid turun serta. Tidak lama kemudian datanglah sudah
Insankamil di Kraton Mesir, kalawaktu nisfu Sya’ban pada tahun 1466 M.
lalu datang di hadapan Ibundanya. Segera dirangkul-rangkul oleh Sang Ibu,
sambil menangis, karena rindu sekali.

Geger orang senegara bersuka ria setelah datangnya Jeng Maulana


Insankamil. Kiyan Patih, Ki Penghulu dan Bupati sentara mantri pada
menghadap menghaturkan selamat datang. Jeng Maulana Insankamil sudah
menceritakan dari awal sampai akhir pengalaman perjalanannya yang
berhasil itu.

17. JENG MAULANA INSANKAMIL NAIK HAJI

Antara sebulan lamanya bakda bulan puasa Maulana Insankamil mohon izin
dari ibundanya akan pergi ke Baitullah dan ke Madinah untuk mengamalkan
ibadah haji. Sang Ibunda mengizinkannya dan memberi bekal uang 100
dirham. Jeng Insankamil pergi seharian tidak mau dengan pengiring,
meneruskan perjalanannya datang sudah dalam hutan besar. Tidak lama
kemudian ada datangnya para begal (perampok) sembilan orang Yahudi.
Maulana Insankamil berkata: “Hai orang Yahudi, kamu menghendaki
kepada dunia, terimalah dirham 100 dari pemberian Jeng Ibu.” Para Yahudi
itu menerimanya dengan berebutan. Akan tetapi dalam pikiran para begal itu
terlintas tentu ini masih banyak dalam kantongnya, karena mereka akan
menggumulinya lagi. Jeng Maulana berkata: “Hai begal, apa kamu belum
merasa cukup, ini ada lagi sebuah pohon emas bagilah di antara kawanmu.”
Orang-orang Yahudi jadi terheran-heran ada pohon ditunjuk jadi emas.
Dalam pikiran Yahudi itu ini tentu mempunyai ilmu keduniaan, tidak usah
adang atau membegal, kalau sudah mempunyai ilmu itu tentu senang. Orang
sembilan itu lalu sujud tobat mohon diwejang ilmu keduniaan. Jeng Maulana
lalu memberi wejangan syahadat kalimah dua. Sejak itulah para Yahudi itu
sudah Islam semua, berkah yang memberi wejangan sembilan orang Yahudi
itu keluar keramatnya, jadi sungguh-sungguh mereka bermaksud mengabdi
kepada Maulana Insankamil. Jeng Maulana Insankamil segera meneruskan
perjalanannya ke tanah Mekah diiring para Yahudi yang sembilan itu, pada
akhirnya mereka datanglah sudah di tanah Mekah yang pada waktu itu
sedang waktu haji. Jeng Maulana dan rombongan pada turut mengamalkan
ibadah haji, sebakdanya haji itu lalu pergi ke Madinah. Sebakdanya ziarah
kepada kubur Jeng Rasulullah lalu Jeng Maulana dan rombongan berguru di
tanah mazhab Hanafi, selesainya dari mazhab Hanafi lalu mereka berguru
kepada mazhab Hambali, selesainya mazhab Maliki lalu masuk guru kepada
mazhab Syafii. Setelah selesai olehnya berguru Jeng Maulana segera
kembali ke praja Mesir. Jeng Maulana dinobatkan menjadi Sultan Mesir
Maulana Mahmud, pada tahun 1468 M. Seluruh para wadya dan rakyat
Mesir semua bersuka ria karena Sang Gusti sudah menjabat sebagai Sultan.
Lebih aman pribawanya Awliya Allah Kutubijaman Khalifaur-Rasulullah
s.a.w.

18. JENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK MENUJU CIREBON


DI PULAU JAWA.

Diceritakan Ibunda Kanjeng Ratu Syarifah Mudaim pada suatu hari


mendekati Sang Putra Kanjeng Sultan Mahmud, Ratu berkata: “Hai Putraku,
karena sudah menjabat sebagai Sultan memangku negara, Ibu sekarang
menggugat perjanjian Ayahanda kelak kalau mempunyai anak lelaki yang
bertindak mengislamkan orang sepulau Jawa dan para kerabat di Pejajaran,
sekarang sudah sedang waktunya seyogya datanglah di pulau Jawa
menghadaplah kepada Pakde Kuwu Cirebon, serahlah anda kepada orang
tuwa apa yang seharusnya dituruti perintah Ibunda, segera memanggil Sang
Adil Nurullah dan berkata: “Hai adik, jadilah polmak/pejabat mewakili
kedudukanku, kakak hendak mematuhi perintah orang tuwa bertolak ke
pulau Jawa Cirebon yang dituju, sekarang serah negaraharap diurus dengan
baik.” Syarif Nurullah menyanggupinya.

Segera Jeng Maulana Insankamil mohon pamit, Jeng Ibu memberi izin lalu
meneruskan perjalanan. Jeng Maulana Insankamil datang sudah di Cirebon,
hatur beritahu sungguh seorang putra Rarasantang. Ki Kuwu bergembira
sekali sambil merangkulnya. Segera Sang Kemenakan dibawa masuk ke
dalam kraton Pakungwati, digembirakan dan dihormat-hormat. Orang
Cirebon setelah mengetahuinya geger bercerita satu sama lain dengan
gembira sekali, pada tahun 1479 M. Ki Kuwu bertanya: “Hai Putra,
bagaimana Ibu Dalem dan Putra apa yang dikehendaki mungkin mengemban
perintah Ibunda?” Menjawab Jeng Maulana Insankamil: “Sungguh ananda
diutus oleh Ibunda disuruh menghaturkan sembah baktinya dan pula disuruh
mengislamkan para kerabat di Pejajran, namun pesannya bahwa Ibunda
menyerahkan perkara ini kepada Pakde bagaimana seharusnya, ananda
tunduk,” Berkata Ki Kuwu: “Sekarang belum waktunya, sebaiknya Putra
berguru dulu kepada Ki Syekh Nurjati yang berpengguron di gunung Jati,
nanti bagaimana kehendak, Rama Guru.” Jeng Maulana segera berangkat
dengan Ki Kuwu menuju gunung Jati datang sudah di hadapan Syekh
Nurjati. Syekh Nurjati berkata: “Selamat datang Maulana Insankamil yang
jadi Khalifat-ur-Rasulullah, bagaimana yang dikehendaki, tidakkah Tuan
yang sudah dimuliakan.” Berkata Jeng Maulana: “Menurut suruhan Rasul
tidak boleh mengatas-atasi, disuruh berguru apa kebiasaan di dunia, saya
mohon berguru kepada Tuan.”

Segera Syekh Nurjati memberinya wejangan tarekat sempurnanya ilmu


hingga tamat semua. Berkata Syekh Nurjati: “Semoga Putra mau menghadap
kepada Sunan Ampel di Ampeldenta, bibitnya Wali di pulau Jawa, baik
mohon berguru kepadany: “Jeng Maulana Insankamil mematuhi perintah
Guru, segera mohon pamit meneruskan perjalanannya.

19. JENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK KE AMPELDENTA


Syahdan pada suatu hari Jeng Sinuhun Ampeldenta sedang
sinewaka/dihadap oleh para murid. Sang Putra Sunan Bonang, Sunan
Undang dan Sunan Giri, Syekh Magrib, Syekh Lemahabang, Syekh
Bentong, Syekh Majagung dan Pangeran Makdum, Pangeran Drajat,
Pangeran Welang, seluruh para murid pada kumpul. Jeng Sunan Ampel
berkata: “Hai adik Sunan Giri dan para murid semuanya harap menjadi tahu
kalian, nanti sebentar lagi akan ada datangnya Wali Kutub yang menjadi
Khalifah Rasulullah, tidak ada Nabi ya adanya Wali, derajatnya Wali yang
punjul.”

Tidak antara lama datanglah Jeng Maulana Insankamil berteja kuwung-


kuwung (bercahaya pelangi di atas kepalanya). Para Wali melihatnya dengan
terperanjat, disangka Jeng Rasulullah. Sudah pada bersalaman, para Wali
lebih hormat.

Berkata Jeng Sunan Ampel: “Selamat datang Putra, bagaimana


kehendaknya, tidaklah Tuan yang menjabat Wali Kutub.” Berkata Jeng
Maulana: “Betul perkataan Dalem, namun saya lebih dhaif, menurut suruhan
Rasul, saya disuruh berguru bagaimana lumrah adat dunia, saya mohon
berguru kepada Tuan.” Jeng Sunan Ampel segera memberinya wejangan
tarekat yang bangsa latifah. Jeng Maulana sudah selesai olehnya sabda guru,
lalu ditunjuk menjabat Imam di Cirebon dan diridhai menggelarkan agama
Islam mengislamkan yang belum Islam. Jeng Maulana mematuhi perintah
Guru, karena sudah ada izin untuk menggelarkan agama Islam, segera
mohon pamit meneruskan perjalanannya.

20. JENG MAULANA INSANKAMIL BERTOLAK KE NEGARA CINA.

Syahdan pada suatu waktu Jeng Maulana Insankamil bertolak ke negara


Cina, datang sudah di pinggir pantai. Jeng Maulana mendatangi tukang
keramik pembikin piring panjang. Setelah tukang keramik piring panjang itu
masuk Islam, Jeng Maulana meneruskan perjalanannya ke tukang bikin
penimbal poci. Setelah tukang bikin poci masuk Islam Jeng Maulana
meneruskan perjalanannya ke praja Tartar datang sudah di ibukota. Orang
Tartar dan pembesar-pembesarnya berturut-turut berhasil diislamkan. Jeng
Maulana sementara waktu lamanya bermukim di sana terdengar oleh
berbagai negara tetangga, bahkan empat negara sudah memeluk agama
Islam, termashur lebih bijaksana waspada penglihatannya (weruh sedurunge
winarah/tahu sebelum terjadi).

Diceritakan dalam kraton Sri Maharaja Ong Te ratu agung di negara Cina
sedang diseba oleh seluruh para wadya (jumpa para pejabat pemerintahan).
Berkata Sang Maharaja: “Hai patih, menurut khabar, bahwa di negara Tartar
ada pendeta baru termashur bijaksana waspada penglihatannya, sekarang
undanglah menghadap supaya bersama seperjalanan, harap jangan sampai
tidak terbawa.”

Kiyan Patih mengucap andika, segera Kiyan Patih berlalu sudah dari
hadapan Sang Raja, perjalanannya dipercepat dengan mengendarai kuda.

Antara hari kemudian datanglah ia di negara Tartar dan bertemu dengan


Jeng Maulana Insankamil lalu duduk sejajar. Berkata Jeng Maulana: “Hai
Patih, selamat datang, anda datang tergesa-gesa seperti ada keperluan yang
penting.” Berkata Kiyan Patih: “Apakah anda pendeta yang mashur itu,
siapa nama dan dari nama asalnya?”Dijawab: Dari pulau Jawa, Cirebon
tempatnya, Insankamil namaku.” Kiyan Patih berkata: “Sekarang juga
dipanggil menghadap oleh Sang Prabu Cina sungguh sekarang juga harap
bersama seperjalanan.” Berkata Jeng Maulana: “Hai Patih harap anda
terlebih dahulu nanti aku bertemu di dalam kraton tidak usah diiringkan.”
Kiyan Patih mematuhinya, segera pulang kembali ke ibukota lebih
dipercepat perjalanannya.

Diceritakan Raja Cina yang sedang diseba, tidak antara lama dantanglah
Kiyan Patih, Jeng Maulana sudah berada di hadapan Sang Raja Cina, Kiyan
Patih terheran-heran sekali bahwasanya Jeng Maulana itu telah datang
terlebih dahulu. Segera Sang Raja berkata: “Apakah itu orangnya pendeta
baru di negara Tartar, apakah nyata kebijaksanaannya?” Kiyan Patih
berkata: “sungguh menurut kabar bahwa pendeta baru itu bijaksana.”

Segera Sang Raja mengadakan percobaan. Sang Putra perempuan di atas


perutnya diletakkan sebuah bakor kuningan dihias sedemikian rupa hingga
sang putri terlihat sebagai sedang mengandung, lalu dikeluarkan menghadap
sang Ayahanda. Berkata Sang Raja: “Hai pendeta muda, lihatlah putriku itu
apakah ia mengandung oleh karena penyakit, atau apakah mengandung
sebenarnya, kalau kena penyakit apa obatnya, kalau mengandung dengan
siapa, supaya selekasnya anda memberi petunjuk.” Lalu membalas Jeng
Maulana: “Hai Raja Cina, itu anak anda mengandung karena kuasanya Allah
tanpa lawan jenis.” Oleh karenanya Ong te murka sekali. Jeng Maulana
sangat dimarahi dan diusir. Jeng Maulana segera pulang meneruskan
perjalanannya.

Diceritakan Sang Putri Cina bakor kuningan yang terletak di atas perutnya
itu lenyap, jadi mengandung sesungguhnya, Ong Te terbengong-bengong
dan heran sekali. Sang Putri jatuh cinta kepada Jeng Maulana siang malam
menangis tidak ada yang terlihat selain Jeng Maulana.

Segera Ong Te menyebar wadyabala untuk mencari Jeng Maulana di negara


Tartar sudak tidak ada, sang putri Cina sangat rindu dan berkata: “Duhai
Ayahanda Prabu, bunuhlah putra Paduka, serah jiwa raga, hidup tanpa guna
kalau tidak jadi satu dengan pendeta muda itu, kalau diridhai saya mau
menyusul sendiri ke pulau Jawa.” Sang Prabu kebingungan sekali, kalau
tidak dituruti niscaya sang putri mati.”

Sang Prabu segera memanggil Kiyan Patih: “Hai Patih, engkau iringilah
putriku Ong Tien bertolak kepada pendeta muda yang berada di pulau Jawa
dan bawalah seorang Bupati, wadyabala 1,500 orang dan kapal tiga, isilah
guci, panjang, kong, jembangan dan uang semilyun. Kelak kalau sudah
bertemu dengan pendeta muda itu dimohon pulang ke negara Tartar, lima
negara bagian yang aku akan memberikannya sungguh janganlah tidak
sampai terbawa dan barang-barang di dalam dua kapal dan orang-orang
sekapal itu berikanlah kepada pendeta muda. Kalau putri suka di pulau Jawa
supaya diserahkan tetap bermukim di pulau Jawa untuk mengabdi kepada
pendeta muda: “Kiyan Patih mengucap sandika. Segera putri meneruskan
perjalanannya diiring wadyabala 1,500 orang datang sudah di pinggir pantai,
Sang putri segera masuk kapal seperingiringnya, barang-barang sudah
dimuat. Segera berlayar menuju ke pulau Jawa, Cirebon tujuannya.

21. PATIH KELING BERSAMA PARA BAWAHANNYA MASUK


ISLAM.

Diceritakan Patih keling dan rombongannya berjumlah 99 orang sedang


mengadakan upacara tradisi merubung jenazah Rajanya di atas kapal layar di
tengah laut. Tidak lama kemudian kebetulan datanglah Jeng Maulana
Insankamil di hadapan mereka. Bertanyalah Jeng Maulana: “Ini adalah
prang apa ada bangkai dirubung dijaga-jaga, sebaiknya kamu sekalian
masuk agama Islam.”

Orang-orang Keling karenanya tersinggung dan marah, mata mereka


mendelik. Oleh karena kramatnya Jeng Maulana orang-orang Keling satu
per satu roboh tidak bisa bergerak. Segera orang-orang Keling mohon
ampun dan sembuh lagi seperti sedia kala. Jeng Maulana segera memberi
wejangan sahadat agama Islam, orang-orang Keling lalu waluya lagi/sembuh
lagi seperti semula. Ki Patih dan rombongan lalu mengabdi, robong jenazah
Taja diburak lalu ditinggalkan, mereka mengiring Jeng Maulana terus
berlayar menuju Cirebon.

Diceritakan Sri Mangana telah membangun pesanggrahan/petamanan di


gunung Sembung untuk Sang Putra ponakan. Sri Mangana sedangnya
berkumpul di Masjid Pejlagrahan tidak lama kemudian datanglah Sang Putra
Insankamil sudah di hadapannya dengan diiring oleh Ki Patih Keling dan
rombongannya. Sri Mangana bergembira sekali, Sang Putra dibahagiakan
dan dihormat-hormat. Antara hari lalu Ki Kuwu berkata: “Hai Putra
Insankamil, sekarang seyogyanya jadi Imam menggelarkan agama Islam,
pula di Rama menyerahkan kraton Pakungwati tanah Cirebon serakyatnya
dan si Rama menyediakan pesanggrahan di gunung Sembung.” Jeng
Maulana menjawab: “Terima kasih atas sih pemberian Pak De, pada waktu
sekarang belum dapat menerima negara, karena belum mempunyai karya,
namun gunung Sembung saya terima untuk pemukiman orang-orang
Keling.” Ki Kuwu menyetujui. Segera orang-orang Keling beberes di
gunung Sembung. Jeng Maulana lalu bermukim di pesanggahan Gunung
Sembung dan merasa senang.

22. CIREBON DISERAHKAN KEPADA JENG MAULANA


INSANKAMIL

Syahdan pada suatu hari para murid pada berkumpul, Ki Kuwu sudah
menghadap. Pangeran Panjutan, Pangeran Kejaksan, Syekh Datuk Khafid,
Syekh Majagung, Syekh Lemahabang, Syekh Bentong, Syekh Magrib dan
para Gegedeng sudah pada datang Ki Kuwu berkata: “Sekarang Rama
memasyrahkan putri saya nama Ratna Pakungwati dan kratonnya berikut
seluruh wilayah Cirebon yang dapat babakyasa/membangun si Rama
pribadi, terimalah semuanya, semoga Putra menjabat sebagai Nata/Raja
Cirebon memangku kraton Pakungwati.” Jeng Maulana menerimanya
menuruti kehendak Rama Uwa/Pak De. Berkata Pangeran Panjunan. “Pla si
Raka (kakak) menyerahka adik Siti Bagdad serombongannya berikut Dukuh
Panjunan serakyatnya, hanya semoga rakyat Panjunan diberi tanah untuk
penghidupannya (tanah liat untuk membikin keramik) seturunannya, oleh
karena si Raka mau pergi betapa.” Syekh Datuk Khafid dan Pangeran
Kejaksaan pula menyerahkan penganut-penganutnya. Jeng Maulana
menerimanya.

Ki Kuwu berkata: “Putra semoga memasuki kraton Pakungwati dan hari


besok dinobatkan.” Jeng Maulana menyetujuinya. Segera dari gunung Jati
Jeng Maulana diiring oleh rombongan segenap para murid, para Syekh, para
Pangeran, dan para Gegedeng, bertolak ke kraton Pakungwati, datang sudah
di dalam kraton. Ki Kuwu bergembira sekali menyelenggarakan hidangan
kehormatan, dan malam Juma’at Jeng Maulana lalu menikah dengan putra
Sir Mangana yang bernama Ratu Pakungwati.

Jeng Maulana Insankamil sebakdanya nikah pada waktu tengah malam pergi
ke gunung Jati salat hajat empat raka’at, semoga keridaan oleh Allah
menjadi Nata/Raja mohon terus langsung seketurunannya, dan ridhanya
bumi sukanya negara. Sebakdanya salat lalu ada datangnya seekor naga yang
lebih besar sekali, gurinyangnya pulau Jawa, membelit melata mohon
diterima mengabdi.

Jeng Maulana mengetahui kemauan Naga itu lalu berkata: “Hai sang Naga,
oleh karena engkau hewan yang lebih besar sekali mengabdi kepadaku,
bagaimana nantinya wadyabala manusia, niscaya tidak ada yang berani
dekat.” Sang Naga berucap: “Duhai Gusti, bagaimana kehendak Paduka,
karena hamba ingin mengabdi mohon diterima.” Jeng Maulana menjawab:
“Kalau engkau sungguh-sungguh mau mengabdi, jadilah sebuah keris untuk
agemamnya yang jadi Nata, lebih dekat pengabdi engkau ketimbang wadya
manusia.” Sekonyong-konyong Naga jadi keris dapur naga berluk sembilan.
Keris lekas dipegang disebut Kaki Naga Gede. Jeng Maulana sudah dikabul
hajatnya oleh Allah keridaan jadi Nata/Raja, lalu pulang ke kraton
Pakungwati terus salat Subuh dalam masjid Pejlagrahan. Seluruh para Wali
dan Para wadya Cirebon sudah berkumpul. Sebakdanya salat mereka tetap
pada berkumpul segenap para Syekh, para Pangeran, para Gegedeng dan Ki
Kuwu Sri Mangana, setelah Jeng Maulana dinobatkan oleh Wali Sanga
Jawadwipa sebagai kepala negara Cirebon, antara bakda Jum’ah
mengumumkan kepada khalayak ramai, bahwasanya Jeng Maulana
Insankamil menjabat sebagai Yang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba
Panetep Panata agama Awliya Allah Kutubijaman Khalifatur Rasulullah
s.a.w. pada tahun 1479 M. Patih Keling diangkat menjadi Patihnya disebut
Dipati Suranenggala, Pepatih Dalem Kanjeng Sinuhun Susuhunan Cirebon.
Jeng Maulana sesudah selesai dinobatkan sebagai Yang Sinuhun. Kanjeng
Susuhunan Cirebon yang bersemayam di kraton Pakungwati Cirebon. Antara
hari kemudian lalu membangun tembok keliling kraton. Susuhunan Cirebon
diakui pula oleh Wali Sanga Jawadwipa sebagai Panetep Panata Agama
seluruh Sunda. Sejak tahun ini pula Cirebon memberhentikan upeti
tahunannya kepada Pejajaran dan Rajagaluh. Pada tahun ini pula Wali Sanga
Jawadwipa mengakui Raden Patah sebagai Sultan Demak, namun Brawijaya
Majapahit masih mengakui Demak sebagai negara bagian Majapahit, hanya
Majapahit tidak mengadakan tindakan apa-apa.

23. SUNAN JATI BERTOLAK KE LURAGUNG

Pada suatu hari Ki Kuwu berkata: “Putra lekas bertolaklah ke Luragung


menyiarkan agama Islam dan melebarkan wilayah di tanah Luragung,
Rajanya masih belum Islam serakyatnya, karena dekat seyogyanya
dipercepat keislamannya.”

Jeng Sunan Jati mematuhi perintah Jeng Rama, terus bertolak datang sudah
di kraton Luragung. Sang Raja Luragung dan Jeng Sunan Jati sudah duduk
sejajar. Berkata Jeng Sunan Jati: “Hai Sang Raja, sebaiknya sekarang
anutilah agama Islam, anda dan seluruh rakyatnya.” Sang Raja Luragung
terkena pengabaran/penurutan hatinya lebih kasih. Segera ia memeluk
agama Islam dan seluruh para putra sentana Bupati pula para Gegedeng pada
anut agama Islam serakyat kota yang pada masuk agama Islam dan tetangga
negara para Gegedengnya pada menghadap.

Diceritakan Sang Putri Cina dan Ki Patih kapalnya sudah datang di pantai
Cirebon, pada tahun 1481 M. Orang Cina menanyakan kabar bahwa
Insankamil ada di mana. Orang Cirebon menjawab bahwasanya Jeng
Maulana sekarang sedang berada di Luragung. Sang Putri segera dengan
rombongannya bertolak ke Luragung, barang-barang sudah di darat diterima
oleh Patih Keling. Sang Putri meneruskan perjalanannya datang sudah di
Luragung.
Jeng Sunan Jati sedang duduk bersama dengan Gedeng Kemuning. Tidak
antara lama kemudian datanglah putri Cina lalu sujud menghaturkan bakti
memasrahkan jiwa raga kepada Jeng Sunan Jati, pula Patih Cina segera
berkata sambil sujud menerimakan perkataan Sang Prabu Cina dan
menyerahkan putri dan kapal tiga seisinya semoga diterima. Jeng Sunan Jati
sudah menerimanya Sang putri setelah datang pada waktunya tidak lama
kemudian lalu melahirkan bokor kuningan. Jeng Sunan Jati berkata: “Tidak
ada adatnya orang melahirkan bokor, kalu seorang manusia melahirkan tentu
keluar bayi.” Saksana/sekonyong-konyong bokor lenyap jadi bayi elok
warnanya semunya meejurit. Bayi diberi nama Pangeran Kuningan, Jeng
Sunan Jati berkata: “Hai Gedeng Kemuning, ini bayi akuilah sebagai anak
anda, peliharalah dengan baik, semua jajahanku yang sudah ada sekarang
serahkalah kepada Pangeran Kuningan, yang jadi wakilnya adalah Gedeng
Kwmuning.” Ki Gedeng mengucap sandika. Jeng Sunan Jati segera pulang
oleh Ki Gedeng Kemuning, kebetulan ia mempunyai anak pula yang masih
menyusu, karenanya Pangeran Kuningan disusukan bersama anaknya itu dan
Raja Putra Pangeran Kuningan dipelihara sebaik-baiknya. Adapun dukuh Ki
Gedeng Kemuning sejak itu disebut Kuningan, oleh karena Pangeran
Kuningan menetap di sana.

Diceritakan Jeng Sunan Jati sudah pulang di pesanggrahan gunung


Sembung. Sang putri Cina dan rombongannya sudah diislamkan semua.
Adapun putri Cina setelah masuk Islam lalu dinikahi disebut Nyi Mas
Rarasumanding. Antara lam kemudian Sang Putri wafat.Jeng Sunan Jati
karenanya merindukan sekali, atas wafatnya Putri Cina, lalu tafakur di
gunung Jati. Tidak antara hari kemudian Nyi Mas Rarakerta, seorang putri
Ki Gedeng Jatimera tatkala sedang berjalan di perkebunan, Jeng Sunan Jati
melihat betisnya tersingkap, lalu merasa sir, kelak di kemudian hari
menjadikan tumbuh bungnya bambu di tempat itu. Jeng Sunan Jati segera
bertolak ke pedesaan, dan pada waktu Ashar mampir di rumah Ke Gedeng
Babadan mau mandi dan wudu’. Bajunya disangkutkan pada dahan bunga
cempaka yang sudah mati meranggas daunnya.

Jeng Sunan Jati sebakdanya mengambil air wudu’ lalu bajunya dikenakan
kembali lalu pohon bunga cempaka hidup kembali seperti sediakala, segar
dan gemuk. Tidak lama kemudian Nyi Retna Babadan keluar dari rumahnya
melihat pepohonan bunganya sudah walunya/segar kembali seperti
sediakala, karenanya ia bergembira sekali. Nyi Mas segera berkata:
“Siapakah orangnya yang telah bisa menghidup-segarkan kembali
pepohonan bungaku ini dengan sekejap mata, apabila lelaki aku terimanya
sebagai suami, dan apabila perempuan aku terimanya sebagai saudara.”

Tidak lama kemudian Jeng Sunan Jati keluar setelah salat Ashar lalu
berkata: “Itu pepohonan bunga anda hidup segar kembali atas kehendak
Allah lantaran oleh bajuku, mudah-mudahan hidup segarnya pepohonan
bunga itu adalah menjadi segarnya hatiku lantaran anda.” Nyi Mas Retna
Babadan segera sujud memasrahkan jiwa raga oleh karena tunduk kepada
janjinya sendiri. Jeng Sunan Jati segera menerimanya. Ki Gedeng dipanggil
menghadap, segera lalu Nyi Mas Retna Babadan dinikah sudah. Tidak antara
hari lamanya Nyi Mas Retna Babadan sibawa pulang ke gunung Sembung.

24. BURAK PEJAJARAN

Pada suatu hari Ki Kuwu Sri Mangana menghadap kepada Jeng Sunan Jati
dan Sunan Jati berkata: “Ratna Uwa (Pak De) selamat datang dan apa yang
dikehendaki?” Berkata Sri Mangana: “Sekarang Jeng Rama Prabu Siliwangi
(Sri Sang Ratu Dewata Wisesa) sudah mengirim utusan enam puluh orang
yang dikepalai oleh Tumenggung Jagabaya untuk meninjau atas nama Sang
Prabu bagiamana keadaan anak cucunya (anak adalah Pangeran Cakrabuana
dan Ratu Mas Rarasantang dan cucu adalah Sunan Jati Purba dan Ratumas
Pakungwati), namun sekarang wadyabala Pejajaran yang enam puluh orang
itu dengan Ki Tumenggung Jagabaya sudah memeluk agama Islam, oleh
karena itu Sang Rama Prabu sudah waktunya demoga putra mau datang di
Pejajaran untuk mengislamkan Eyang/Kakek dan kerabat-kerabat, oleh
karena Eyang sekarang mungkin sudak agak ada condongnya/sukanya.”
Jeng Sunan Jati mematuhi kehendak Sang Rama Uwa. Segera Jeng Sunan
Jati dan Ki Kuwu Cakrabuana bertolak ke Pejajaran hendak mengislamkan
mengganti agama Sanghyang dengan agama Islam.

Diceritakan di kraton Pejajaran Sang Prabu Siliwangi dan semua istrinya dan
para swlir hendak datang meninjau Sang Prabu Cakrabuana dan Sang Cucu
Insankamil di Ceribon, orang Pejajaran sudah siap-siap. Tidak lama
kemudian ada datangnya Ki Buyut Talibarat sudah ada di hadapan Sang
Prabu. Sang Prabu berkata: “Eyang Talibarat selamat datang, datangnya
tergesa-gesa seperti ada perkara yang penting.” Berkata Ki Buyut Talibarat:
“Hai Sang Prabu, apa yang dikehendaki dengan takluk kepada sang cucu
hendak melakukan agama Islam, agama orang yang bosok bolong/busuk
berlubang, amoh ajur/rapuh remuk, sejak dahulu hingga sekarang
mongmonganku para leluhur yang menganut agama Desa Mulya, ialah
Sastrajendra Ayuningrat yang dipusti amalkan, apakah Sang Prabu silau
melihat kepada putra cucu, nanti ini kraton kutanami pusaka lidi lelaki
supaya kraton tidak tertampak dan Sang Prabu haraplah ngahyang sekarang
juga, oleh karena Sang Putra dan Sang Cucu sebentar lagi datang.”

Sang Prabu mematuhi saran Ki Buyut Talibarat Sengera Kraton ditanami


pusaka lidi lelaki. Para sang istri (ratu Subanglarang/permaisuri Pejajaran
Ibunda Pangeran Cakrabuana sudah wafat) dan pada sang selir dibawa
ngahyang lalu lenyap tanpa bekas. Kraton terlihat jadi hutan besar. Seluruh
para famili, para putra Sentara tidak dibawa tertinggal di kraton Pejajaran
pada tahun 1482 M.

Tidak antara lama kemudian datanglah Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu
Cirebon mengetahui bahwa Sang Prabu sudah tidak ada dalam kraton. Akan
tetapi Jeng Sunan Jati dan Ki Kuwu masih jelas melihat kraton Pejajaran itu
sebagai semula lalu masuk ke dalam kraton, menangkapi para penghuninya,
yang sebagian sudah bubar. Raja Sengara tertangkap dan para sentara, para
eyang sudah diislamkan. Ada yang tertangkap di angkasa, ada yang
tertangkap di dalam bumi. Adapun Arya Kebo Kamale sudah tertangkap
akan tetapi tidak mau Islam, berjanji nanti di akhir jaman. Lalu disuruh
kemit/jaga di Cirebon. Ki Patih Argatala sebawahannya pada bersembunyi
di pegunungan Jeng Sunan Jati dapat melihat mereka lalu berkata: “Patih
Argatala sebawahannya seperti siluman tidak bercampur dengan manusia.”
Ki Patih lalu sujud tobat namun agama Islam mohon nanti di akhir jaman.
Jeng Sunan Jati mengampuninya akan tetapi disuruh berkumpul jaga di
Cirebon. Jeng Sunan Jati lalu mendekati Dipati Siput sebawahannyayang
bersembunyi di hutan. Berkata Jeng Sunan Jati: “Dipati Siput sebawahannya
berlaku seperti hewan bersembunyi di hutan: “Saksama/sekonyong-konyong
Dipati Siput menjadi macan putih, para bahwahannya menjadi macan loreng.

Dipati lalu sujud bertobat namun mohon nanti di akhir jaman melaksanakan
agama Islam. Berkata Jeng Sunan Jati: “Barangsiapa yyang ikut kepada
agama tidak diperbolehkan campur dengan manusia, sebagai hewan dan
siluman.” Akan tetapi Dipati Siput sebawahannya diterima pengabdiannya
disuruh kemit/jaga di Cirebon.

Lalu Jeng Sunan Jati memasuki kraton Pejajaran lagi, mendekati para
pembesar dan para kerabat yang pada anut agama Islam. Jeng Sunan Jati
memanggil Sang Rama paman Raja Sengara dan berkata: “Rama
seyogyanya mengosongkan kraton Pejajaran.” Berkata Raja Sengara:
“Namun Rama Dalem Cakrabuana sudah bermukim di Cirebon Jeng akan
tetapi Rama Raja Sengara jangan berdiam di kraton, oleh karena Eyang
Prabu tidak mau Islam, semoga Sang Rama mau bermukim di lain tempat,
karena kraton Pejajaran sudah pasti menjadi hutan, hanya ini balai tempat
duduk Sang Rama Prabu saya mohon supaya dibawa ke Cirebon dan alat-
alat, pedang, keris, tumbak.” Raja Sengara mematuhi permintaan Sang
Putra.

Diceritakan masih ada seorang putra perempuan Prabu Siliwangi yang


tertinggal bernama Dewi Balilayaran dapat jodoh dengan satria trah/ turunan
Galuh kuna, kemudian membangun kraton lagi di luaribukota Pakwan,
disebut Sunan Kabuaran. Negaranya meneruskan nama Pejajaran yang kelak
di jaman Prabu Seda negaranya dibubarkan oleh bala tentara Banten Sultan
Maulana Yusuf dibantu oleh bala tentara Cirebon Sultan Panembahan Ratu.
Prabu Seda hingga seda/wafat pada tahun 1579 M. Seorang putra perempuan
Sunan kabuaran yang bernama Dewi Mendapa/Dewi Tanduran Gagang ialah
yang menjadi lantaran kelak ada raja menyelang/menjajah di jaman akhir.
Ada lah kraton pakwan Pejajaran setelah ngahyangnya Prabu Siliwangi itu
kosong menjadi hutan besar, tidak ada raja lagi, famili sunda bubar ke tujuan
masing-masing.

1. Sunan Pajengan bermukim di Kuningan.


2. Sunan Manyak bermukim di Traju.
3. Borongora bermukim di Panjalu.
4. Raden Teel bermukim di gunung Bandang.
5. Raden Lawean bermukim di Pasir Panjang.
6. Sanghyang Pandahan bermukim di Ukur menjadi Dipati Ukur.
7. Sanghyang Kartamana bermukim di Limbangan.
8. Sanghyang Sogol bermukim di Maleber.
9. Sanghyang Mayak bermukim di Cilutung.
10. Dalem Mayak bermukim di Cilutung.
11. Dalem Naya bermukim di Ender.
12. Sunan Ranjam bermukim di Cihaur.
13. Lumansanjaya bermukim di di Sundalarang.
14. Prabu Sedanglumu bermukim di Selaherang.
15. Sanghyang Jamsana bermukim di Batulayang.
16. Sanghyang Tubur bermukim di Panembong.
17. Sri Puaciputi bermukim di Kawali.
18. Taji Malela bermukim di Sumedang, kahyangan yang menurun kepada
menak-menak di Sumedang, di Ciasem, di Cianjur, di Bogor, di Krawang itu
semua adalah turunan Taji Makeka.

25. JENG SUNAN JATI DAN KI KUWU CIREBON BERTOLAK KE


BANTEN.

Jeng Sunan Jati bersama Ki Kuwu lalu bertolak terus ke arah barat tujuannya
ke Banten, datang sudah di Kegeng Kawunganten. Jeng Sunan Jati berhasil
mengislamkan Ki Gedeng Kawanganten seanak cucunya dan serakyat
Kawunganten sudah turut masuk Islam. Para gegedeng tetangganya sudak
pada suhud anut.

Syahdan Jeng Sunan Jati melihat putrinya Ki Gedeng Kawunganten yang


bernama Dewi Kawunganten merasa suka, lalu diminta untuk dijadikan istri.
Sebakdanya pernikahan kemudian antara sebulan lamanya lalu Jeng Sunan
Jati, Dewi kawunganten, datang sudah di pesanggrahan gunung Sembung.
Jeng Sunan Jati segera menggelarkan agama meneruskan sebagai Imam.
Para gegedeng pula para buyut, Syekh Magrib, Syekh Majagung, Syekh
Bentong, Syekh Lemahabang, dan Pangeran Panjunan, Pangeran Kejaksan
dan Syekh Datuk Khafid pada menghadap Jeng Sunan Jati siang malam
memberi wejangan kitab Qur’an, seluruh para murid pada berkumpul semua.

Dalam fikiran Pangeran Panjunan terlintas suatu pendapat, sayang yang jadi
Imam wejangannya hanya fikih saja, seyogya orang-orang muda yang pada
merubung, bukan seyogya tempatnya orang-orang tuwa. Karenanya
Pangeran Panjunan tidak mau menghadap lagi, seterusnya tafakur saja di
dalam masjid Panjunan. Tidak antara lama kemudian Jeng Sunan Jati
datanglah menemui Pangeran Panjunan, segeralah Pangeran Panjunan
memnubruk Jeng Sunan jati dikanti/dibimbing duduk sejajar. Pangeran
Panjunan berkata: “Selamat datang adik Sunan, tidak disangka maut datang
di Panjunan, bagaimana yang dikehendaki?” Berkata Jeng Sunan Jati:
“Mungkin adik tidak seyogya menjadi Imam yang digelarkan hanya kitab
Fikih dan Qur’an, untuk orang yang berilmu kurang condong/kurang suka,
karena adik adalah orang bodoh.” Berkata Pangeran Panjunan: “Dan apalah
bawaan adik dari Mesir, ilmu apakah yang jadi pegangan?” Jeng Sunan Jati
menjawab: “Si adik hanya membawa ilmu sahabat yang jadi pegangan,
sarengat yang digelarkan.” Berkata Pangeran Panjunan: “Adik. Sahadatdan
sarengat adalah untuk orang awam, umum sudah mengetahuinya, itu adalah
amalan sarengat untuk santri dan kaum agamanya, adapun ilmu
kemakrifatan dan ketauhidan, ilmu kesempurnaan seyogya adik yang
empunya.” Berkata Hidayatullah: “Semoga ada sih Jeng Kakak si adik diberi
wejangan ilmu kemakrifatan atau kesempurnaannya, ketauhidan, seledailah
sudah wejangannya. Jeng Sunan Jati mengucap terima kasih lalu berkata:
“Jeng Kakak seyogya jadi Raja Panetep Panata Agama, lebih seyogya Jeng
Kakak yang menjabatnya.” Berkata Pangeran Panjunan: “Sudah dipastikan
tidak boleh dirubah Jeng Adik yang menjadi Nata/Raja seturunannya dan
waris pemegang agama, si kakak tidak kejatuhan waris menjadi Ratu/Raja
dan menggelarkan sarengat agama, akan tetapi si Raka menyetujuinya.” Lalu
tidak antara lama Jeng Sunan mohon pamit, segera datang sudah di gunung
Sembang.

26. WALI SANGA JAWADWIPA

Yang terpilih menjadi Ketua/Kutub ialah Jeng Sunan Jati, Hanya untuk
memuliakan Guru dan sesepuh para Wali jabatan ketua sementara
diserahkan kepada Sunan Ampel. Setelah Sunan Ampel wafat jabatan
dipegang seterusnya oleh Jeng Sunan Jati.

Sunan Jati Syarif Hidayatullah sebagai Ketua/Kutub

1. Sunan Ampel almarhum/diteruskan oleh Sunan Giri.


2. Syekh Maulana Magrib.
3. Sunan Bonang.
4. Sunan Undang/ setelah gugur diteruskan oleh putranya, Sunan Kudus.
5. Sunan Muria.
6. Sunan Kalijaga.
7. Syekh Lemahabang/ setelah wafat tidak diteruskan.
8. Syekh Bentong.
9. Syekh Majagung.

Sunan Ampel almarhum tidak mengalami jatuhnya Majapahit dan zhahirnya


Kesultanan Demak.

27. BUNG CIKAL


Diceritakan pada suatu waktu bertepatan dengan hari Isnen Kanjeng Sunan
Jati sedang diseba oleh seluruh para murid, para pejabat pemerintahan dan
Patih Suranenggala suadh di hadapannya. Tidak lama kemudian datanglah
Ki Gedeng Jatimerta bersama sang cucu sudah menghadap di hadapan Jeng
Sunan Jati.

Jeng Sunan Jati berkata: “Gedeng Jatimerta menghadapnya dengan anak


kecil dan tergesa-gesa, bertemu di hadapanku, apa kemauan anda yang
penting?” Ki Gedeng segera berakta: “Duhai Gusti, mohon sih ampunan
Dalem hamba lancang menghadap, oleh karena membawa putra Dalem yang
telah lahir dari putri hamba, Rarakerta.” Berkata Jeng Sunan Jati: “Sebabnya
aku mempunyai putra bersatu denga Rarakerta karena aku belum merasa
nikah.” Ki Gedeng berkata: “Adapun waktu dulu anak hamba Rarakerta
sedang berjalan di perkebunan ia melihat sampeyan Dalem sedang berdiri,
tidak antara lama si Rarakerta pulang sambil menangis jatuh cinta kepada
sampeyan Dalem. Pada antara hari bekas sempayen Dalem berdiri
disungkemi oleh Rarakerta siang malam. Antara sebulan lamanya lalu
tumbuh bungnya bambu, lalu bungnya bambu itu dimakannya. Antara
sebulan lamanya kemudian Rarakerta mengandung, dan sesudah datang pada
waktunya lalu melahirkan seorang bayi lelaki, iya inilah yang hamba bawa
caos/menghadap di hadapan Paduka.” Jeng Sunan Jati lalu ingat kalawaktu
merasa sir waktu melihat seorang perempuan sedangnya beliau tafakur di
gunung jati. Segera Jeng Sunan Jati berkata: “Gedeng Jatimerta, itu nyatanya
anak termasuk anak sir seyogya peliharalah yang baik, akan tetapi itu anak
sekarang tidak dapat waris, wallahu a’lam kelak di akhir jaman, hanya aku
memberinya nama Bung Cikal. Namun Rarakerta sekarang aku pinta untuk
dijadikan istri.” Ki Gedeng mengucap sendika, lalu Bung Cikal dibawa
betapa. Nyi Mas Rarakerta sudah dinikah menjadi seorang istri Jeng Sunan
Jati.

28. LOKACAYA

Diceritakan Lokacaya putra Ki Wilatifka Tumenggung Tuban bermaksud


berguru kepada Sunan Jati Cirebon, datang sudah di kraton Pakungwati
Cirebon. Jeng Sinuhun sedang tiada karenanya Lokacaya menunggu
sedatangnya. Terlintas dalam fikirannya apakah beliau tidak mengetahui
bahwa aku di sini telah lama menunggu. Tidak lama kemudian ada cangkir
dari batu mirah sepasang penuh berisi, ia mengambil cangkir itu hendak
diminum istrinya. Cangkir mengucap: “Belum ada yang mengizinkan koq
berani akan dimunim isinya?” Lokacaya terkejut ada cangkir bisa bicara,
semuanya merasa malu lalu cangkir diletakkan kembali sungguh kramatnya
Sinuhun Cirebon. Karenanya Lokacaya lebih mantap kemauannya setia tuhu
kepada Guru. Tidak lama kemudian lalu Jeng Sunan Jati datang di hadapan
Lokacaya. Ia segera sungkem menghaturkan bakti. Jeng Sunan Jati melihat
bahwa Lokacaya itu adalah sungguh Waliyullah, segera datang adik
Lokacaya dan bagaimana di Ampel dan para saudara di Bonang dan
Undang. Berkata Lokacaya: “Berkah Dalem, semua para saudara sedang ada
sehat-sehat saja, namun hamba mohon sih kemurahan Dalem semoga diberi
wejangan sejatinya sahadat dan sempurnanya tauhid.” Jeng Sunan Jati
melihat dalem lauhil mahfuzh seharusnya Nabiyullah Khidir yang
memberinya wejangan itu. Lalu berkata: “Kalau sang adik sungguh-sungguh
keinginannya semoga di tempat yang sunyi.”

Segera Lokacaya bersama Jeng Sunan Jati bertolak ke hutan yang sunyi
datang sudah di hutan di pinggir sungai di bawah pohon andul. Berkata Jeng
Sunan Jati: “Ini buah kemiri seratus banyaknya untuk bilangan, seyogya
jangan pergi-pergi dari pinggir sungai ini, dan sang adik aku beri nama
Kalijaga.” Jeng Sunan Jati lalu pulang.

Lokacaya mematuhi perintah guru, kalau malam menaik dalam pohon andul,
kalau siang membangun perkebunan, jadi mashur deisebut kebun Kalijaga.
Pada suatu hari antara bulan kemudian buah kemiri yang seratus itu jatuh
dalam sungai. Lokacaya segera terjun ke dalam sungai untuk mengambil
buah kemiri-kemiri itu namun sekonyong-konyong ditimpa oleh banjir
besar. Lokacaya lalu hanyut akhirnya datang dalam dasar laut. Segera ia
ditangkap oleh Nabiyullah Khidir, lalu ingatlah sang Lokacaya kepada
terang benderang laksana di dalam sebuah negara, buah-buahan warna-
warni, bebungaan manca warna, dan ia sudah berada di hadapan Baginda
Khidir. Lokacaya segera menubruk sujud beraba-raba sambil berkata:
“Duhai Eyang mohon sih berkah Dalem, hamba ini bagaimana, melihat lain
jaman.” Nabiyullah Khidir berkata sambil tertawa: “Jabeng/tole Kalijaga,
sekarang aku beri anda sesuatu, terimalah, kantong dan panurat/ alat menulis
dan makanlah sekenyangnya, sebagai ganjaran orang yang mematuhi
perintah Guru.” Lalu Kalijaga segera makan, merasa seribu nikmat seribu
rahmat, setelah makan lalu diberinya wejangan sempurnanya tauhid oleh
Nabiyullah Khidir. Sudah selesai olehnya ia diwejang. Kalijaga lalu mohon
pamit, segera pulang datang sudah di darat terus masuk hutan keluar hutan
naik gunung turun gunung merantau sesukanya.

29. KANJENG SINUHUN CIREBON BERTOLAK KE NEGARA MESIR.

Diceritakan Kanjeng Sinuhun Cirebon bertolak ke negara Mesir hendak


menghadap kepada Ibundanya terus perjalanannya datang sudah di kraton
Mesir.

Diceritakan di tanah Pasundan di Maleber Babakan Cianjur. Dipati


Awangga dan sang adik Dipati Selalarang, putri Dewi Siliwati bersuami
dengan Sang Ngewalarang, seorang cucu dari Prabu Siliwangi. Berkata
Dipati Awangga: “Adik Selalarang, kakak tadi malam dapat sasmitanya
Dewa disuruh pergi ke laut, disuruh mencari udang lelaki perempuan yang
sedang beriringan, di situlah akan menemukan lantarannya kemuliaan lagi
perwira sakti, adik sekarang tinggallah di sini, tidak akan pulang kalau
belum trelaksana.” Segera Dipati Awangga berjalan terus ke laut, siang
malam merendam diri mencari udang lelaki perempuan.

Diceritakan di kraton Mesir Kanjeng Sunan Jati sudah datang duduk sejajar
dengan Ibundanya, Kanjeng Ratu Syarifah Mudaim dan adik Syarif
Nurullah. Berkata Jeng Sinuhun: “Semoga ibu mengetahui di Pejajaran
sudah pada Islam, pula para akrab, namun Eyang Prabu Siliwangi para istri
dan para selir tidak Islam ngahyang meninggalkan kraton, dan putra sudah
dapat jodoh, di antaranya Putri Cina, namun tidak lama lalu meninggal,
seorang putri Gedeng Babadan, seorang putri Ki Gedeng Kawunganten,
putri Rama Uwa, Sri Mangana, yang bernama Ratu Pakungwati berikut
diserahkan kratonnya, seorang putri Ki Gedeng Jatimerta bernama
Rarakerta, sudah empat istri yang dinikah. Pula putra sudah menjabat
sebagai Sinuhun di Cirebon diangkat oleh Rama Uwa Cakrabuana. Pula para
saudara dari Bagdad telah menyerahan seluruh pengikutnya dan para
gegedeng dan para tetangga negara pada tunduk. Berkah Ibunda di Cirebon
dan di Pasundan sudah terselenggara/berlaku agama Islam. Maka daripada
itu semoga Ibunda berkehendak bermukim di Cirebon karena putra senang
bermukim di Cirebon. Adapun negara Mesir diserahkan kepada sang adik
Nurullah.” Ibundanya menyetujui kehendak sang putra, lalu Jeng Sunan
berkata: “Adik Nurullah sejak sekarang tetap menjabat sebagai Sultan,
serahlah negara Mesir seketurunannya, yang benar mengurusnya,
berdasarkan hadits dalil.” Ibunda berkata: “Hai Putra Nurullah semoga adil
orang yang menjadi raja, Ibu hendak bermukim di Cirebon, cuma Ibu minta
sebagai waris kakak anda, berupa warna pusaka empat, ialah pedang jimat
selawat Nabi, kitab Usul kalam, destar pusaka dari Rasulullah dan Ibu minta
untuk kebawaan piring-piring panjang dan barang-barang dan orang empat
puluh dan kapal satu.” Sang Putra meluluruskannya.

Segera sebuah kapal sudah dimuati piring-piring panjang dan barang-barang


serta empat puluh orang, lalu segera berangkat terus menuju Cirebon.
Adapun Kanjeng Sinuhun bersama Kanjeng Ibu menghendaki berjalan di
atas air laut.

Di ceritakan Dipati Awangga yang sedang mencari urang/udang lelaki


perempuan hingga koyak-koyak pakaiannya untuk berendam di laut, akan
tetapi belum berhasil senantiasa kebingungan oleh warnanya. Tidak antara
lama kemudian datanglah Kanjeng Ratu Rarasantang sedang berjalan
beiringan dengan Sang Putra kanjeng Sinuhun di atas air laut. Terkejutlah
Dipati Awangga melihat ada orang lelaki perempuan beriringan di atas air
laut. Segera ia menegur: “Hai manusia lelaki perempuan, berhentilah
terlebih dahulu, kalian apakah sesungguhnya manusia atau jin mrekayangan
dan kalian asal dari mana?” Kanjeng Ratu Rarasantang berkata:
“Rarasantang namaku, permaisuri Mesir putra Siliwangi Pejajaran
negaranya.” Dipati Awangga segera menubruk menyungkemi sambil
berkata: “Duhai Ibu, bahagia bertemu di sini, sesungguhnya hamba adalah
putra adik Paduka Dewi Siliwati, Dipati Awangga namanya, lantarannya
putra ada di sini di laut, karena kalawaktu dulu ada sasmitanya Dewa
menyuruh mencari urang/udang lelaki perempuan yang sedang beriringan, di
sanalah lantarannya memperoleh kemuliaan lagi pewira sakti, akan tetapi
putra senantiasa kebingungan, karenanya hingga sekarang belum berhasil.”
Segera lalu dirangkul-rangkul oleh Kanjeng Ratu: Mas bopo ponakanku!”
Kanjeng Sunan berkata: “Adik Dipati Awangga supaya menjadi tahu perihal
sasmitanya Dewa yang dimaksud urang/udang lelaki perempuan di atas laut
yang sedang beriringan itu nyatanya adalah si kakak sebagai urang/udang
lelaki dan Kanjeng Ibu sebagai urang/udang perempuan. Baik sekarang
turutlah ke Cirebon bersama mengiring Jeng Ibu.”

Dipati Awangga mematuhi perkataan Kanjeng Sunan, mendadak bisa


bersama berjalan di atas air laut. Sang Dipati sangat setia tuhu. Tidak lama
kemudian lalu datanglah sudah di kraton Pakungwati.
Ki Kuwu bergembira sekali, karena sang adik Ratu Rarasantang sudah
datang. Para menantu pada menghadap menghaturkan bakti. Orang Cirebon
bergembira sekali ria, oleh karena Sang Gusti telah datang. Jeng Sunan
kemudian memanggil Dipati Awangga diwejang sahadat kalimah dua dan
agama Islam. Sang Dipati Awangga merasa senang dan suka kepada Agama
Islam hingga lupa kepada anak istri dan daerahnya. Jeng Sunan berkata:
“Adik seyogya bermukim di Kuningan mewakili Sang Putra Pangeran
Kuningan sebagai pejabat Adipati.”

Dipati Awangga mematuhi perintahnya Sang Kakak, Jeng Dipati lalu mohon
pamit terus berjalan datang sudah di Kuningan. Sang Dipati Awangga lebih
hati-hati olehnya mewakili dan mengurus para wadyabala dan negara.
Kemudian antara sebulan lalu Dipati Awangga membawa anak istrinya ke
Kuningan. Adiknya ialah Dipati Selalarang sudah memeluk agama Islam
pula, kemudian Dipati Awangga angempu/membikin alat-alat pedang,
tombak dan baris upacara.

30. PARA PUTRA YANG SINUHUN CIREBON

Diceritakan Yang Sinuhun Cirebon sudah mempunyai putra yang lahir dari
Nyi Mas Kawunganten itu adalah yang pertama Ratu Winaon, Pangeran
Moh. Hasanuddin, yang lahir dari Nyi Mas Rarakerta adalah Pangeran
Jayalelana, yang lahir dari Kanjeng Ratu Pakungwati ialah Ratu Ayu,
Pangeran Dipati Moh. Arifin lahir di liang lahat (karena Ibunya meninggal
sebelum melahirkannya), pada waktu itu barulah sebanyak itu putranya.

Diceritakan Sang Kalijaga merantau menuruti sekehendaknya kemudian


datanglah di kebun kalijaga dengan mengendarai kuda lumping. Kemudian
Jeng Sunan datang menemuinya. Sang Kalijaga ketawa dan menyungkumi.
Jeng Sunan berkata sambil senyum: “Rayi/adik Kalijaga bagaimana hasilnya
yang dimaksud, berhasil atau belum, akan tetapi rayi bercahaya anguwung
(seperti cahayanya pelangi) laksana pangrasuknya/akbatnya ilmu sejati.”
Berkata Sang Kalijaga: “Sungguh betul perkataan Paduka, sungguh Paduka
itu Wali Kutub, mengetahui jalannya kemuliaan, hamba lebih setia tuhu
menghadap kepada Paduka dan hamba mohon izin hendak bermukim di
tempat kebun Kalijaga ini.” Jeng Sunan meluluskannya.
Lokacaya/Sunan Kalijaga membuka perkebunan dan melakukan kelakuan
Jaya Sempurna, ialah mandi tiap malam waktu sepertiganya malam.
Termashur, tetangga desa banyak yang pada anut, Ki Kotim adalah murid
yang pertama.

Antara hari lalu Sunan Kalijaga menghadap kepada Sunan Cirebon datang
sudah di hadapannya. Berkata Jeng Sinuhunan: “Ada apa keperluannya.”
Berkata Sunan Kali: “Mohon diterangkan artinya mimpi, tadi malam hamba
bermimpi memanggul bulan.” Jeng Sunan mengetahui kehendaknya, segera
berkata: “Rayi/adik itu akan mendapat ganjaran putri Ratna Winaon, putraku
pasti jodoh dengan rayi, dan Jum’ah depan dititahkannya.” Sunan Kali
menyetujuinya. Setelah nikah Sunan Kalijaga lalu menjabat sebagai wakil
Imam.

31 DUKUH DEMAK

Diceritakan di Ampelgading Jeng Sinuhun Ampel sedang diseba. Seluruh


para murid, para kerabat dan putra pula Kanjeng Sultan Palembang,
Pangeran Patah rajin olehnya menghadap seperti ada keperluan yang
penting. Segera berkata Jeng Sultan Palembang: “Mohon berembugnya,
bagaimana karena Rama Prabu Brawijaya belum Islam diraakan tidak enak
dalam hati.” Berkata Jeng Sunan Ampel: “Betul Rama anda itu masih
belum Islam, akan tetapi beliau kasih sayang kepada orang-orang Islam,
camkanlah jangan dulu diganggu sebelum aku sirna meninggal, sebab sudah
pasti Pangeran Patah yang akan menggatikan kedudukan ayahandanya. Sang
Ratu Brawijaya, yang kelak akan mengkurat/memangku setanah Jawa
sebelah timur tanah Sunda, akan tetapi sekarang babakyasa terlebih dulu,
bangunlah sebuah duduk/pemukiman, carilah tanah yang ada rawa
harumnya, di sana bangunlah yasa/karya. Nanti kalau sudah
diluluti/disenangi oleh para Wali barulah apa yang dikehendaki, aku lebih
percaya.

Sultan Palembang Aryadila dan Pangeran Patah patuh kepada nasehatnya


Rama Guru. Segera mohon pamit hendak mencari tanah rawa harum,
meneruskan perjalanannya diiring bala tentara Palembang dua ratus orang.
Tidak antara bulan kemudian tanah rawa harum telah diketemukan. Segera
Pangeran Patah membangun perumahan, orang Palembang diperintah
membangun dukuh/pemukiman Aryadilah memndirikan pesantren. Tetangga
desanya pada anut, kemudian termashur disebut pedukunan Demak (dari
tanah demek/ berair). Kemudian seterusnya dengan keputusan Prabu
Majapahit Demak diumumkan menajdi dukuh Demak dalam kawasan
negara Majapahit, pada tahun 1475 M.

32. LAKU LAMPAH SUNAN JATI CIREBON

Diceritakan pada suatu hari Gedeng Penderesan yang sedang memahat


lahang/tuak, sedangkan getak getok sambil bernyanyi tidak lama kemudian
datanglah Sunan Jati. Berkata Jeng Sunan: “Gedeng Penderesan, anda
sedang membaca du’a apa sedemikian nyaringnya, baik pada saling tukar,
aku punya du’a yang lebih bagus dan tidak usah dengan suara nyaring lagi,
kalau tidak percaya cobalah terlebih dulu. Berkata Gedeng Penderesan: “Ini
orang lebih ngerekel (seenaknya sendiri saja), ada du’a pemahat mau
ditukar, coba berilah aku pelajaran terlebih dulu, kalau sekiranya menjadi
bagus kepada lahang tentu saya teruskannya.” Jeng Sunan segera memberi
wejangan sahadat kalimah dua. Ki Gedeng sudah menerimanya, lalu
dicobanya , segera lahang menjadi berhenti setetespun tidak keluar. Ki
Gedeng segera berkata: “Ini orang membohongi jadi mematikan pangan,
engkau orang apa. Buruk sekali hatinya dan engkau orang mana?” Berkata
Jeng Sunan: “Aku orang Cirebon membikin keuntungan kepada engkau,
akan tetapi engkau belum menerimanya.” Ki Gedeng menjawab:
“Untungnya dari mana?, sebab lahang jadi berhenti menetes, sekarang aku
tempuhkan/minta ganti harganya yang selodong/seuras bambu searu (35
sen).” Berkata Jeng Sunan: “Gedeng Penderesam, itu wataknya du’a tadi
lihatlah dalam ruas bambunya ada lebih dari harga sereal.” Bungbung/ruas
bambu segera dilihat, ternyata isinya penuh dengan pasir emas. Ki Gedeng
segera sujud lalu pulang menghormati Jeng Sunan dengan tumpeng
panggang ayam. Jeng Sunan lalu memegang panggang ayam,
saksana/sekonyong-konyong panggang ayam itu hidup lagi lalu terbang ke
petarangannya (tempat mengerami telurnya). Berkata Jeng Sunan:
“Sangkan-sangkan lantaran terjadi ayam mengeram bisa hidup kembali,
sekarang engkau aku alih namanya Gedeng Sangkanurip.”

Jeng Sunan lalu berlalu dari situ. Gedeng Penderesan sejak itu disebut
Gedeng Sangkanurip.
Ki Gedeng segera menyusul bermaksud bakti dengan sangkaannya mungkin
ini orangnya yang bernama Sunan Jati.

Jeng Sunan sedang beristirahat tidak lama kemudian datanglah Gedeng


Sangkanurip sujud meraba-raba sambil berkata: “Duhai Gusti lebih
bijaksana hamba mohon ampun dan ingin berguru, nuhun sih kemurahan
Dalem.” Lalu Jeng Sunan pulang ke Cirebon, Ki Gedeng mengiringi beliau
datang sudah di kraton Pakungwati, Seterusnya Ki Gedeng sudah memeluk
agama Islam.

33. RIUNGAN WALI SANGA JAWADWIPA

Diceritakan Kajeng Suna Ampelgading menghendaki mengumpulkan para


yang menjadi Wali Sanga Jawadwipa, sepuluh Kutub (Sunan Jati Cirebon).
Datang sudah di gunung Ciremi, Wali Sanga pada kumpul. Sunan Jati
sebagai Wali Kutub/Imam.

1. Sunan Ampel/Sunan Giri.


2. Syekh Maulana Magrib.
3. Sunan Bonang.
4. Sunan Undung/Pangeran Kudus.
5. Sunan Kalijaga.
6. Suana Muria.
7. Syekh Lemahabang.
8. Syekh Bentong.
9. Syekh Majagung.

Lalu berkata Sunan Bonang: “Di manakah yang menjadi Kutub, para kawan
Cuma sembilan.” Berkata Sunan Ampel: “Aku lihat di gunung ada cahaya
anguwung (sperti cahaya pelangi) hampir menyentuh langit, mungkin itulah
tandanya Kutub.” Segera para Wali lalu masuk ke dalam kawah. Suana Jati
Purba sudah berada di hadapan. Permulaan jadi caremnya/musyawarahnya
Wali Sanga, sebakdanya para Wali bermusyawarah Sunan Jati Purba
menyilahkan mengambil tempat musyawarah bagi seluruh para Wali Sanga
selanjutnya di gunung Jati, para Wali menyetujuinya. Lalu pada bubar, ada
yang mengedarai awan, ada yang mengendarai angin, ada yang mengendarai
kuda lumping, yang lain lagi terbang di angkasa, ada yang memasuki ke
dalam bumi dan ada yang menghilang. Adapun Sunan Jati Purba dan
Pangeran Kudus menghendaki berjalan kaki dari dalam kawah sampai ke
puncak. Berkata Pangeran Kudus: “Kaki Cirebon bagaimana perjalanan kita
nantinya, waktu kapankah kita akan datang di gunung Jati, mungkin para
Wali sudah pada datang.” Berkata Sunan Cirebon: “Seyogya Pangeran
Kudus mendahului untuk mengadakan gelaran di gunung Jati menyediakan
bagi para Wali yang telah datang.” Segera Pangeran Kudus mendahuluinya
mempercepat perjalanannya seperti kilat.

Diceritakan Sunan Jati telah datang di gunung jati dan sudah bersedia
gelaran di balai amparan. Tidak lama kemudian datanglah para Wali sudah
pada duduk lalu barulah Pangeran Kudus datang. Berkata Sunan jati:
“Pangeran Kudus rupanya terlambat datangnya, akan tetapi perjalanannya
terlebih dulu.” Pangeran Kudus segera tobat semunya malu. Seluruh para
Wali pada merasa jauhnya derajat terhadap Sunan Jati Purba. Segera pada
mohon ijazah. Jeng Sunan Jati Purba berkata: “Menurut wejangan Jeng Nabi
Muhammad s.a.w. janganlah menghebat-hebat, mengunggul-ungguli yang
tanpa amal kebajikan dan janganlah menduduki yang bukan makamnya.”
Seluruh para Wali pada menerima sungguh-sungguh wasiat Cirebon. Setelah
selesai musyawarah dengan kehendak Sunan Ampel dan semufakat para
Wali, Sunan Cirebon sejak itulah disebut Susuhanan Gunung Jati karena di
gunung Jati itulah waktu beliau dinilai lebih tinggi derajatnya melebihi
derajat para Wali lainnya oleh para Wali Sanga Jawadwipa. Setelahnya Jeng
Sunan Ampel pulang dan seluruh para Wali pada bubar.

34. PERANG DEMAK MAJAPAHIT

Tidak antara bulan kemudian diwartakan di Ampel Gading Jeng Sunan


Ampel meninggal. Seluruh para Wali, para putra, para akrab, para murid,
pada berkumpul. Sunan Giri, Sunan Cirebon dan Pangeran Cakrabuana,
Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, Sunan Undung, Pangeran Kudus,
Pangeran Makdum, Pangeran Drajat, Pangeran Welang, dan Ki Syekh
Magrib, Syekh Majagung, Syekh Bentong, Syekh Lemahabang dan Sultan
Palembang Aryadila dan Pangeran Patah sudah berkumpul.

Adapun jalannya jenazah kemudian sudah selesai sirna sempurna. Antara


hari kemudian Aryadila dan Pangeran Patah minta sangat seluruh para Wali
Sanga dimohon datangnya di pedukuhan Demak. Sunan Cirebon
mengabulkannya segera seluruh para Wali bertolak bersama-sama ke Demak
datang sudah di demak. Pageran patah dan Aryadila mengadakan jamuan
kehormatan. Adapun tidak antara hari lalu para Wali membangun masjid
Demak dimulai bakda Isya dan pada waktu Subuh selesai, akan tetapi
setelah mau diadakan salat Subuh para Wali merasa ragu-ragu perihal
kiblatnya. Para wali masih belum mufakat pada berempug arahnya kiblat.
Segera Sunan Kali bertindak, tangan kanan memegang Baitullah tangan kiri
memegang masjid, lalu disentuhkan sampai rapat. Para Wali barulah
mufakat kepada arahnya kiblat. Setelah selesainya mufakat Baitullah segera
pulang ke asalnya. Lalu para Wali mulai salat Subuh pada tahun 1411
Sakakala/1489 M. Selesainya salat Subuh lalu para Wali melihat ada
menggantungnya sebuah bungkusan berisi baju jubah yang dibungkus
dengan kulit dan ada tulisan yang dialamatkan kepada Sunan Bonang. Baju
jubah darih sih pemberian Jeng Nabi Muhammad s.a.w. semoga diberikan
kepada Jeng Sunan Kali karena yang mengesahkan kiblatnya masjid. Para
Wali pada muji syukuran kepada Allah. Baju jubah lalu diterima oleh Jeng
Sunan Kali segera dipakai sudah diberi nama Baju Antakusuma. Adapun
bungkusnya yang berupa kulit itu diberikan kepada Sunan Bonang, lalu
dibikin baju kutang diberi nama baju Ki Kundil. Selanjutnya berkumpulnya
para wali di masjid itu lalu dihidangkan jamuan makan dan berbagai warna
warni makanan. Adapun Sultan Palembang dan Pangeran Patah lalu mohon
berempungan karena Rama Prabu Majapahit masih belum Islam semoga
memeluk agama Islam serakyatnya semua.

Berkata Sunan Bonang: “Oleh karena Rama di Ampel sudah sirna sempurna
sejak sekarang Ratu di Majapahit dapat diganggu gugat, bagaimana
mufakatnya para saudara.”

Berkata Sunan Cirebon: “Raka Aryadila dan Pangeran Patah seyogya


mengirim surat terlebih dulu kepada Prabu Majapahit dimohon memeluk
Islam, kalau nanti Sang Prabu menolak dan murka karenanya barulah kita
hadapi.” Berkata Sunan Undung: “Seumpama Sang Prabu menolak dan
karenanya kita terpaksa mengadakan peperangan bolehlah orang Undung
yang ajdi Denapati ing ngalaga.”

Aryadila dan Pangeran Patah mematuhi nasehatnya Sunan Gunung Jati, lalu
menulis sebuah surat, ponggawa tujuh yang diutus yang diutus membawa
surat itu datang sudah di Majapahit, surat diterima sudah oleh Sang Prabu
Brawijaya. Sang Prabu telah mengetahui seluruh isi surat, segera duta tujuh
diusir, semuanya Sang Prabu murka lalu memanggil Dipati Teterung
diperintah mengumumkan seluruh para wadyabala bupati sentana mantri dan
tamtama diharuskan siap siaga seluruh alat perang, bedil, meriam, panah,
totog dan keris, pedang, tumbak, baris upacara supaya siap siaga penuh
untuk berperang.

Diceritakan yang sedang bermusyawarah tak lama kemudian duta tujuh


sudah datang. Lalu diputuskan oleh para Wali yang jadi Senopati itu adalah
Sunan Undung. Segera Sunan Undung mengenakan baju Ki Kundil dan
Antakusuma. Telah selesai olehnya mufakat dan penuh siap siaga keperluan
untuk berperang. Lalu Pangeran Kudus memukul tanda bende si Macan.
Segera barisan Demak, Palembang, Cirebon, Undung, Kudus, Bonang,
seluruh wadyabala Islam sudah disiap-siapkan terus maju jalan menuju
Majapahit datang sudah di medan peperangan. Bala tentara Majapahit sudah
siap siaga menghadang. Segera pecahlah perang besar, bedil, meriem, mimis
seperti hujan, panah totog tulup bandring brengkolan gegetuk ramai
berperang campur, surak gegap gempita laksana gemuruhnya daratan
longsor berbaurnya suara gong beri dan gendang bende laksana berhentinya
daratan.

Diceritakan Senapati ngalaga Kanjeng Sunan Undung maju di medan laga,


menantang gembar gembor: “Hai orang Majapahit, di mana Ratu kalian
Brawijaya kalau mau aku Islamkan kalau tidak aku potong lehernya.”
Berkata Dipati Teterung;”Siapa gembar gembor menantang tapi seperti setan
tidak terlihat, kalau engkau sesungguhnya Wali perlihatkanlah diri engkau,
hadapilah Senapati Dalem Majapahit. Dipati Teterung namanya.” Kanjeng
Sunan Undung mengetahui pastinya memperoleh derajat Awliya Sabilullah,
lalu Sunan Undung memperlihatkan dirinya, dilepaskannya baju Ki Kundil
dan Antakusuma lalu baju pulang dengan sendirinya dengan terbang
mendekati yang empunya. Segera cepat Dipati Teterung menombak tubuh
Sunan Undung dan jatuhlah ia di tanah gugur terbareng dengan terdesaknya
tentara Islam. Sunan Kali mengetahui bahwa Sunan Undung gugur lalu
jenazahnya diambil dibawa pulang Sunan Kudus yang mengganikan jadi
Senapati. Sunan Bonang segera maju di medan laga dan Sunan Gunung Jati
diiring oleh Ki Kuwu Cirebon. Aryadila sudah di tengah-tengah medan
perang membawa peti jimat lalu peti dibuka mengeluarkan gelap gulita
menyerang menyelimuti musuh. Sunan Bonang menghunus keris
mengeluarkan lebah ratusan ribuan menyerang menyengati musuh. Ki Kuwu
Cirebon mengusap badon batok lalu mengeluarkan tikus putih sepasang
terus mengamuk, menyerang wadyabala Malapahit. Seluruh wadyabala
Majapahit geger busekan/geger panik, diliputi gelap gulita, disengati oleh
ribuan lebah, banyak yang mati. Tikus dibunuh seekor menjadi dua, hilang
dua jadi empat hingga berketi-keti berjuta-juta. Alat-alat perang dan alat-alat
rumah tangga barang-barang benda kayu rusak semau digigiti oleh tikus.

Wadyabala dan rakyat Majapahit lari bubar ke tujuannya masing-masing,


yang sebagian turut Islam dan yang sebagian lari ke gunung-gunung. Dapati
Teterung sudah dibelenggu oelh Pangeran Kudus.

Diceritakan Sang Prabu Brawijaya merasa tidak tahan karena sangat


pribawanya para Wali lalu ngahyang/keluar dari kraton bersama istri dan
para putri dari Cempa, lalu Prabu Brawijaya dan pengiringnya lenyap sudah
dari pemandangan.

Seluruh para Bupati sentara mantri dan kraton sekekayaannya sudah


dijarahi/dirampas. Rakyat Majapahit sudah memeluk agama Islam. Tidak
antara lama kemudian Prabu Kediri, sebuah negara bagian Majapahit, yang
bernama Gridhra Wardhana mengumumkan Majapahit merdeka tidak takluk
kepada Demak beri kubu kota di Kediri.

Diceritakan para Wali mengadakan riungan di pesanggrahan Demak.


Pangeran Kudus sudah datang mengiringkan tawanannya tawanannya Dipati
Teterang dan para Bupati sentana mantri dan rampasan perang berupa
dunyabrana/emas picis dan lain-lain. Berkata Pangeran Kudus: “Semoga
diterima dengan hormat menyerahkan tawanan dan rampasan perang, namun
Dipati Teterung dimohon hukum mati, oleh karena telah membunuh
Ramanda Sunan Undung.” Berkata Sunan Gunung jati: “Dipati Teterung
diminta supaya memeluk agama Islam. Adapun gugurnya Sunan Undung itu
lebih sempurna derajatnya Awliya Sabilullah lantaran dari Dipati Teterung
dan sebanyak dunyabrana itu agar dibagikan sebagai ganjaran para prajurit
prajurit yang turut berperang. Adapun para Bupati sentara mantari seluruh
wadyabala Majapahit dan negara seluruh bawahan Majapahit supaya
diserahkan kepada rayi Pangeran Patah, sebab yang empunya waris yang
akan jadi Ratu menruskan kedudukannya Sang Prabu Brawijaya, akan tetapi
raka Sultan Palembang hendaknya mau menyetujuinya, oleh karena raka
sudah menjadi Sultan di Palembang.” Jeng Sultan Palembang sudah setuju
di tanah Jawa sang rayi Pangeran Patah yang menjadi Raja. Para Wali sudah
mufakat. Aryadila berkata: “Rayi Patah menjadi raja di tanah Jawa akan
tetapi para akrab yang sudah memeluk agama Islam seyogya diberi tanah
atau lainnya sebagai warisnya dari sih kemurahannya saudara dan yang adil
olehnya menjadi raja berpeganganlah kepada hukum Rasul apa yang disebut
di dalam Qur’an (ialah agama resmi adalah agama islam akan tetapi tidak
ada paksaan dalam memeluk agama/bebas beragama).

Sudah selesai olehnya bratayuda dan urusan tawanan dan rampasan, segera
Arya dila pulang ke kota Demak pula para Wali dan semua para wadyabala
Majapahit, bupati sentara mantri dan gegedeng/para pembesar sudah tunduk
Aryadila, Pangeran Patah dan para Wali sudah datang di kota Demak lalu
berkumpul dalam masjid. Segera Aryadila memanggil para wadya majapahit
diharuskan membangun kraton. Seluruh para wadya sudah bertindak.

Berkata Sunan Jati: “Rayi Patah sudah waktunya dinobatkan jadi Ratu/Raja
di pulau Jawa sebelah timur tanah Sunda bekas negara Majapahit menjabat
sebagai Susuhunan di kraton Demak.” Segera Sunan Kalijaga
mengumumkan kepada khalayak ramai bahwa Sunan Jati Purba dan para
Wali menetapkan Pangeran Patah dinobatkan menjadi Susuhunan di kraton
Demak yang mangkurat/memangku senusa jawa sebelah timur tanah Sunda
mengganti meneruskan Sang Ratu Majapahit. Seluruh rakyat Jawa Tengah,
Jawa Timur sudah mengakui bahwa Raden Patah itu termashur jadi Ratu
tanah Jawa bersemayam di kraton Demak disebut Sunan Bentara dan
Kanjeng Sultan Abdul Patah pada akhir tahun 1489 M. (bersamaan dengan
tahunnya pembangunan Masjid Demak ialah pada tahun 1411
Sakakala/1489 M.). Majapahit Grindhra Wardhana Kediri direbut oleh
Demak pada tahun 1517 M. Pula Prabu Udara Singosari (sesudah ibukota
Majapahit Wilwatika/Trowulan ambruk, Grindhra Wardhana raja negara
bagian Majapahit mengumumkan Majapahit merseka, ibukotanya Kediri,
dengan gelar Prabu Brawijaya VI dan Prabu Udara dengan gelar Prabu
Brawijaya VII).

Oleh karena Sunan Bentara sudah jadi Ratu/Raja tanah Jawa yang
bersemayam di kraton Demak, segera memberi ganjaran seluruh para Wali
dan para Pinangeran pula seluruh akrab dan para wadya sudah menerima
ganjaran. Semua Cirebon diberikan pengakuan menjadi Sunan
mangkurat/memangku di Jawa Barat tanah Sunda bersemayam di kraton
Pakungwati Cirebon dan diberi keris tombak baris upacara pula Raden
Sepat, Gedeng Trepas sebawahannya seratus orang sebaliknya Cirebon
memberikan pengakuan kepada kesultanan Demak. Sunan Giri sudah
menerima ganjaran tetap senegara dan Sunan Bonang diberi ganjaran tanah
senegara dan diangkat menjadi Susuhunan.
Adapun Pangeran Kudus diganjar tanah senegara pula dari Undung
serakyatnya tetap diwaris oleh Pangeran Kudus sebagai putranya dan
diangkat menjadi Susuhunan dan ditetapkan sebagai Senapati ngalaga
Demak. Adapun Sunan Kali diberi tanah senegara akam tetapai yang dipilih
tanah yang berawa dibangun kraton menjadi Susuhunan Kadilangu disebut
nama Sunan Kalijaga. Ada para Wali dari Daerah barat empat orang yang
menolak menerima ganjaran ialah Syekh Bentong, Syekh Lemahabang,
Syekh Magrib dan Syekh Majagung. Selain dari wali yang empat orang itu
semua para Wali mendapat ganjaran dan para bupati sentara mantri dan para
gegedeng sudah diterimanya semua ganjaran dari Sunan Demak. Ganjaran-
ganjaran itu semuanya berada dalam kawasan kesultanan Demak. Sesudah
selesai lalu para Wali pulang ke masing-masing daerahnya (ada
tembang/nyanyian Jawa yang berbunyi: “Ana timun ginotong wong
wolu/ada bonteng digotong orang delapan, tersiratnya), seumpama Demak
tidak dibantu oleh para Wali delapan (Sunan Ampel sudah wafat), terutama
oleh Cirebon yang sudah lama jadi negara beragama Islam, pasti kesultanan
Demak tidak akan ada di dunia, karena melawan Majapahit itu adalah
laksana bonteng melawan durian dan kesultanan Demak baru penuh jadi
negara merdeka dan berdaulat di seluruh bekas kawasan Majapahit setelah
direbutnya Kediri dan Singasari pada tahun 1517 M.) Sankalan tahun
dibangunnya masjid Agung Demak ialah dengan gambar bulus yang
bermakna: kepalanya = 1, tubuhnya = 1, kakinya = 4, buntutnya = 1, jadi
1411, dibalik jadi 1411 Sakakala/1489 M.

35. KRATON PAKUNGWATI DIPUGAR DAN DIBANGUNNYA


MASJID AGUNG CIREBON

Diceritakan Sunan Cirebon dan Ki Kuwu Cirebon sudah pulang ke


negaranya membawa tawanan dari Majapahit seratus orang dan keris,
tombak, baris upacara dan Raden Sepat, Gedeng Trepas seanaknya semua
mengiring ke Cirebon. Adapun Sultan Palembang Aryadila dan Pangeran
Makhdum, Pangeran Derajat, pula Pangeran Welang turut mengiring ke
Cirebon memohon berguru kepada Sunan Jati Cirebon. Adapun Sunan Jati
tidak antara hari kemudian menghendaki melebari kraton menyontoh kraton
Majapahit hanya agak kecil. Orang-orang Majapahit sudah bertindak. Raden
Sepat dan Gedeng Tepas yang mengurus, Sunan Kali yang menjadi kepala,
kemudian selesailah sudah, pada tahun 1489 M. Pada tahun itu juga tidak
antara lama para Wali pada berkumpul hendak meneruskan membangun
Masjid Agung karena tadinya fundamennya sudah dibuat, sekarang hendak
diteruskan. Mulai dibangun bakda Isya dan pada waktu Subuh selesai hanya
satu tihang yang masih kurang. Lalu Sunan Kali bertindak mengumpulkan
tatal/serpihan kayu dibikin sedemikian rupa hingga menjadi tihang untuk
melengkapi tihang yang kurang, karenanya tihang ini seterusnya disebut
Saka Tatal. Setelah selesai dan perihal kiblatnya masjid para Wali sudah
pada mufakat, oleh karena Sunan Kali bertindak seperti kalawaktu
mengepaskan kiblatnya Masjid Demak. Seluruh para Wali lalu salat Subuh,
Sunan Kali yang menjadi Imam, usholi kambing merah itu adalah kambing
hitam, fatihahnya dandang gula, semuanya yang makmum hanya Pangeran
Makdum yang syak (tidak menerimakan) hatinya, karena bertentangan
dengan hukum syara’ (kejadian ini Sunan Kali sedang menguji kemulusan
tauhidnya para Wali).

Setelah selesai salat Sunan Kali berkata: “Barangsiapa yang tadi salat
makmum kepadaku, kalau di kepalanya ada najis itu batal salatnya dan tidak
lulus kewaliannya.” Semua para Wali lalu pada membuka destarnya meraba
masing-masing kepalanya, ternyata Pangeran Makdum setelah membuka
destarnya itu ada najis atau bangkai cecak sebesar jari kelingking, karenanya
para Wali pada ketawa. Segera berkata Sunan Kali: “Pangeran Makdum tadi
olehnya makmum hatinya syak/ tidak diterima, sekarang batal salatnya dan
tidak lulus kewaliannya, cuma sedumdumane/sebagian bagiannya Wali,
sedemikian pula kalau mantap tobatnya kepada Allah, namun Rama ing
Giri/Sunan Giri yang tetap menggantikan meneruskan Rama ing Ampel
almarhum/Sunan Ampel almarhum termasuk seorang Wali Sanga.”
Pangeran Makdum semunya malu lalu mohon maaf kepada seluruh para
Wali. Kalawaktu pada salah satu salat Jum’ah Sunan Kali membaca
khotbahnya memakai istilah kambing merah ceplok-ceplok kemauan siapa,
kemauannya sendiri. Antara hari kemudian lalu Jeng Sunan Cirebon
memberi wejangan ilmu sejati. Pangeran Makdum, Pangeran Derajat,
Pangeran Welang, Aryadila hanya mendapat derajat selakaring/menuju
tingkat Wali, jadi disebut Pangeran Pelakaran. Setelah mereka selesai
diwejang lalu Pangeran Derajat hanya mencapai sederajatnya Wali,
Pangeran Welang baru welan-welan/baru beberapa bagian ia mohon izin
hendak betapa, lalu betapa tidur.

Tidak antara hari lalu Pangeran Luhung dan Pangeran Kajoran datanglah,
kedatangannya hendak mohon berguru kepada Sunan Cirebon dan diberinya
wejangan sudah. Jeng Sunan Cirebon mengumumkan pada suatu Jum’ah
bahwa Pangeran Jayalelana mau mengimami Jum’ah, akan tetapi pada
waktu itu ia gugur mengimamkannya, karena sedang cengeng kepada Allah
(penglihatannya sedang tertuju hanya kepada Allah), tidak ubah tidak gerak,
semua yang pada makmum tidak suka terima. Karenanya Pangeran
Kejaksaan memutuskan hukum mati kepadanya, akan tetapi dapat
pertimbangan dari Jeng Sunan Cirebon. Pangeran Jayalelana ditebus dengan
emas picis dunyabrana seberat timbangan tubuhnya. Sejak itukah Jeng
Sunan Cirebon lalu mengangkat Penghulu Kalamuddin, abdi Dalem dari
Mesir.

Sangkalan dibangunnya Masjid Agung Cirebon ialah: mungal = 1, mangil =


1, mungup = 1, jemblung = 2, gateling = 1, asu = 1, jadi 111211= 41 dibalik
jadi 1411 Sakakala/ 1489 M.

36. PANGERAN KUNINGAN

Diceritakan di Kuningan setelah wafatnya Dipati Awangga asal Cianjur


pejabat kepada daerah Pangeran Kuningan. Ki Gedeng Kemuning dengan
hormat hendak memberi tahu kepada Cirebon bersama dengan Pangeran
Kuningan dan empat orang putra lelaki Dipati Awangga almarhum, Segera
mereka datanglah sudah di hadapan Jeng Sunan Cirebon. Berkata Sunan
Cirebon: “Selamat datang Gedeng Kemuning, kemungkinan ada warta yang
penting.” Segera Ki Gedeng Kemuning berkata: “Semoga jadi pengetahuan
Dalem karena rayi Dalem Dipati Awangga sudah sirna sempurna
meninggalkan empat anak lelaki, dan ini menghadapkan putra Dalem
Pangeran Kuningan mudah-mudahan sudah seyogya menjadi Adipati
memangku negara.” Jeng Sunan Jati meluruskannya lalu berkata: “Sekarang
putraku Pangeran Kuningan aku angkat dengan diberi gelar Pangeran Dipati
Awangga yang memangku negara Kuningan dan anak anda yang jadi
saudara tunggal menyusu. Adapun anak rayi Dipati Awangga almarhum
diberi nama yang pertama Dipati Anom, yang kedua Dipati Cangkwang,
yang ketiga Dipati Sukawayana dan yang keempat Dipati Semanunggal
menjabat sebagai pembantu Dipati Awangga/Pangeran Dipati Kuningan,
adapun anak anda Arya Kemuning menjabat sebagai pelaksananya.”

Setelah selesai keputusan Jeng Sunan Jati, Gedeng Kemuning lalu mohon
pamit bersama Pangeran Dipati Awangga pulang kembali menuju Kuningan
pada tahun 1499 M.
37. BANTEN

Diceritakan Kanjeng Sunan Gunung Jati sedang berempug dengan sang istri
Nyi Mas Kawunganten karena tanah barat belum ada yang jadi pikuat agama
drigama. Adapun yang dikehendaki hanya sang putra Pangeran Moh.
Hasanuddin. Sang istri berkata: “Setuju sekali namun mohon bertempat di
lingkungan Kawunganten.” Jeng Sunan Jati meluluskanny. Lalu Jeng Sunan
Jati karsa/menghendaki bertolak ke Kawunganten bersama dengan sang istri
dengan sang putra Moh. Hasanuddin/Sebakingkin mengendarai kapal layar
berlayar datang sudah di pantai barat, Jeng Sunan Jati bersama sang istri
sang putra lalu datang di Kawunganten. Seluruh para murid pada kumpul
menghadap dengan bersuka ria dan para gegedeng tetangga desa sudah pada
menghadap. Berkata Jeng Sunan Jati: “Semoga kalian jadi tahu sekarang aku
membangun pikuat mengukuhkan agama drigama sebagai wakil mutlakku,
menjabat penata agama ialah putraku yang bernama Pangeran Moh.
Hasanuddin.” Jeng Sunan Jati lalu memerintahkan membangun kraton di
ibunegara/ibukota.

Seluruh para murid sudah turut, disebut dengan gelar Kanjeng Sultan Moh.
Hasanuddin sudah termasyhur bersemayam di kraton Banten. Jeng Sunan
Jati sudah selesai menobatkan sang putra menjabat sebagai Sultan Banten
dan diberi keris Kaki Naga Gede dan lain-lain pada tahun 1526 M.

Antara hari kemudian lalu Jeng Sunan Jati pulang ke Cirebon mengendarai
kapal layar. Segera berlayar dan setelah datang di tengah lautan diserang
bahaya, kapal layarnya terputar di air pusar. Seluruh para awak kapal pada
mohon pertolongan kepada Gusti Sunan Jati. Segera Jeng Sunan Jati
menyawuk/menangkap air yang mulek/ air puser itu saksana/sekonyong-
konyong air dicawuk menjadi keris berluk sembilan lalu keris diberi nama
Kaki Air Mulek. Setelah air dicawuk menjadi keris lalu air yang menjadi
bahaya tadi lenyap bisa lagi seperti semula. Segera kapal layar lalu
dipercepat perjalanannya datang sudah di pesisir/pantai Cirebon. Jeng Sunan
Jati lalu masuk ke dalam kraton Pakungwati.

38. RAJA GALUH DAN SAYAMBARA PANGURAGAN


Diceritakan di kraton Rajagaluh Sang Prabu Cakraningrat sedang diseba.
Seluruh pada Danghyang, pula Dipati, para Gegedeng dan para perwira
tentara pada berkumpul. Berkata Sang Prabu: “Hai Dipati Palimanan, mana
keterangannya Sunan Cirebon, sebab itu adalah orang ngumandi/menjadi
benalu sudah lama belum ada permohonan izinnya.” Berkata Dipati
Palimanan: “Duhai Gusti, mohon ampunan Dalem karena tidak berhasil,
betapa seringnya hamba mengurus para gegedeng dan bertindak pribadi,
akan tetapi negara Cirebon tidak terlihat, apabila sementara para gegedeng
dapat melihat Sunan Jati atau bisa memasuki negara Cirebon dan bertemu
dengan Sunan Jati mereka tidak pulang kembali, para gegedeng sudah
banyak yang pada anut.”

Berkata Sang Prabu: “Demang Rajagaluh sekarang supaya bertolak ke


Cirebon hingga sampai bertemu sendiri dengan Sunan, harap diberitahu
supaya mau seba ke Rajagaluh, dan harus mengirim upeti tiap tahun, kalau
tidak anut kepadaku niscaya Sunan Cirebon akan dirampas
rajakayane/kekayaannya dan boleh dipotong lehernya, kalau menghendaki
perang tentu aku serbu dibikin tanah hitam (Cirebon akan
dibumihanguskan).” Ki Demang mengucap sandika. Segera mohon pamit
terus perjalanannya dengan mengepalai prajurit empat puluh orang Ki
Demang perjalanannya putar-putar kembali lagi ke tempat semula, kalau ke
utara terus menerus tersesat ke utara, kalau ke selatan terus tersesat pula ke
selatan, senantiasa tersesat tidak tahu arah.

Diceritakan Ki Gedeng Selapangan diwartakan sejak dahulu tatkala bertapa


di gunung Mendang di bawah pohon pudak memuja semedi ingin
mempunyai anak yang sakti lagi punjul. Permulaan bertapa bunga pudak
baru kuncup, sekarang berjatuhan di hadapan Ki Pendeta
saksana/sekonyong-konyong dikabul oleh Rabbul ‘Alamin di antara bunga
pudak yang jatuh di tanah itu ternyata jadi bayi perempuan, lalu bayi itu
dibawa pulang.

Ki Pendeta baru usai dari tapanya lalu bayi itu diberi nama Panguragan.
Menurut kaol (riwayat) lain Panguragan adalah putra angkatnya dari Sultan
Aceh dan seorang adik kandung perempuan dari Fadhillah Khan/Faletehan.
Ki Pendeta (Pangeran Cakrabuana) lalu membangun dukuh/pemukiman
semua tanam-tanaman serba jadi, seterusnya termasyhur dukuh itu disebut
dukuh Panguragan.
Diceritakan Nyi Mas Panguragan sudah berumur limabelas tahun, bahkan ia
sudah be’at/berguru kepada Sunan Gunung Jati. Dikatakan oleh Jeng Sunan
Jati bahwa walaupun engkau adalah perempuan tetapi engkau adalah
menjadi prajurit Awliya.

Diceritakan Nyi Mas Panguragan sudah termasyhur ke lain-lain desa


keperwiraan saktinya lagi indah elok cantik rupanya seperti punjul sebuana,
bahkan sudah banyak para gegedeng para bupati dan para satria pula para
juragan, para nakhoda yang sudah melamar berduyun-duyun. Diceritakan
orang-orang dua puluh lima negara sudah membangun pemondokan
menunggu utusan Ki Pendeta membawa balasan lamarannya masing-
masing.

Diceritakan Pendeta Salapandan memanggil menghadap Sang Putra Nyi


Mas Panguragan yang disebut pula Gandasari. Berkata Ki Pendeta: “Putriku
Pengurangan aku minta engkau supaya mau bersuami, sudah cukup
waktunya engkau mempunyai suami, mana yang engkau pilih salah seorang
dari semua yang telah melamar engkau, Demang, Mantri, Satria, Bupati, dan
para Gegedeng pula para juragan, para nakhoda yang sedang menunggu di
pondokannya masing-masing, beritahulah kepada si bapak yang engkau
senangi.”

Berkata Sang Putri: “Rama, sekarang sang putra belum suka mempunyai
suami, masih enak mengolah tubuh.” Berkata Ki Pendeta: “Hai bayi, tidak
enak orang yang jadi kembang bibir, disebut-sebut namanya oleh tiap orang,
dan engkau kalau tidak mau bersuami tentu dirusak dukuh Panguragan ini.”
Berkata Ratna Gandasari: “Rama, hamba mau pula bersuami akan tetapi
kalau hamba sudah terkalahkan siapa saja yang bisa menangkap hamba,
yang melebihi kesaktian hamba, itulah orang yang hamba akan mengabdi
kepadanya, jangan lagi para pembesar, walaupun orang melarat kalau bisa
menangkap hamba itu tandanya jodoh hamba, silahkan Rama mengadakan
sayembara kepada orang-orang dua puluh lima negara, seandainya ada
seorang yang diterima lamarannya pasti yang lain tidak menerimakannya.”
Segera Ki Pendeta memanggil seorang pembantu diminta pergi ke
pemondokan orang-orang dua puluh lima negara untuk mengumumkan siapa
saja yang bisa mengungguli keperwiraannya dapat menangkap Ratna
Panguragan ia itulah menjadi tanda jodohnya dan mengabdi kepadanya.
Pembantu itu keluar sudah, segera sudah mengumumkan kepada seluruh
gegedeng, satria dan para nakhoda.
Segera mereka siap bertindak memasuki medan sayembara. Orang-orang
dua puluh lima negara bersuka ria saling berebut dulu mendahului.

Diceritakan Nyi Mas Panguragan sudah memasuki arena sayembara di


tengah-tengah balabar/batas medan sayembara berbusana putri raja indah
gemerlapan laksana bidadari dari surga. Seluruh para Aruman, para Ifrit
pada mengiringinya ke medan laga sambil menyiarkan bebauan harum sekali
memenuhi sekeliling medan laga. Orang-orang dua puluh lima negara
melihat keluarnya Sang Putri dan pengiring pada terlongong-longong
masing-masing tidak berkedip.

Segera Sang Putri menantang: “Hai orang-orang dua puluh lima negara,
rebutlah tubuhku, barangsiapa yang bisa menangkapnya sungguh jantan,
unggulilah kesaktianku niscaya aku mengabdi kepadanya.” Segera orang-
orang dua puluh lima negara maju serentak saling berebut dahulu
mendahului saling desak mendesak, Sang Putri segera siap siaga. Dengan
gugup Ki Gedeng Plered berusaha menangkapnya segera Sang Putri melesat
ke atas, Ki Plered ditendangnya jatuh terjengkang. Gedeng Plumbon
melambai-lambai: “Adik turunlah dibimbing oleh si kakak, jangan memelet
jangan menduyung, kakak cinta sendiri kembang biru di atas kuburan, si
kakak sungguh cinta lubang disusun dengan batu bata, bantu berumpun,
sepanjang umur aku gauli.” Sang Putri segera turun sambil mendupak Ki
Plumbon jatuh terjengkang berguling di tanah diinjak perutnya yang buncit.
Ki Ujung gebang menubruknya meleset karenanya jatuh tengkurap. Ki
Gedeng Kandanggaru menyandak, Sang Putri meleset. Ki Gedeng ketawa
terbahak-bahak sambil berkata: “Nini putri jangan lari, kelapa tua beriringan
seperjalanan, tangkai waru janganlah suka menghindari bokor tanah, orang
ayu janganlah suka mengecewakan, jauh-jauh dari kandanggaru akhirnya
ditinggal lari, larilah sampai akhir jagat si kakak tentu mengiringi.” Lalu
sang putri lari dikejar sampai di pedesaan. Sang Putri masuk ke dalam hutan,
seluruh dedaunan dan pepohonan yang pada tersentuh olehnya jadi berbau
harum, sebab harumnya Nyi Mas Panguragan melebihi harumnya bunga
atau minyak wangi, oleh karena tubuhnya yang harum, kalau memakai
kembang dari para Aruman, para Ifrit. Berjatuhanlah ke tanah kembang dari
Sang Putri, karenanya seluas hutan itu nantinya disebut hutan Wanasari
makanya Nyi mas Panguragan disebut pula Nyi Mas Gandasari, oleh karena
ia adalah seorang manusia yang tubuhnya berbau harum sekali.

Sang Putri terus berlari di ladang persawahan. Ki Gedeng Kandanggaru


berusaha memegangnya tetapi tidak kunjung kena bahkan ia terserempet
oleh padi merah lalu jatuh tengkurap. Sang Putri mencibirinya. Ki Gedeng
karenanya merasa malu sekali lalu pulang sambil berkata: “jangan sekali-
kali anak cucuku menanam padi merah karena aku mendapat malu itu
dikarenakan oleh padi merah.” Sang Putri lalu pulang menghadapi lagi
sayembara ramai sudah orang-orang menonton pada sorak gegap gempita
berjubel-jubel.

Diceritakan seorang putra sebrang yang baru mendarat di pantai Cirebon


dari laut, yang bernama Jaka Supetak dan Jaka Pekik dengan mengepalai
wadyabala seratus orang siluman yang beruap manusia hendak menerobos
negara menguasai se pulau Jawa, namun datangnya tersesat di pantai
Cirebon Kedua putra ini kebingungan lalu berjalan ke arah masing-masing
untuk menyelidiki daerah baru itu. Jaka Pakik berjalan ke selatan, dan Jaka
Supetak berjalan ke darat hingga datang di Panguragan berbarengan dengan
terdengarnya suara sorak-sorak gegap gempita. Segera Jaka Supetak melihat
sayembara lalu ia memasuki ke tengah balabar/batas tempat sayembara.

Diceritakan yang sedang menghadapi sayembara itu adalah putra Dalem


Indramayu yang bernama Satria Indrakusuma memegang busur panah yang
pada anak panahnya tertulis ditujukan kepada Sang Putri yang dirindui oleh
hatiku tidak lain terbayang di hitam-hitamnya mataku hanya Ratna
Pengurangan sebagai calon mustika yang senantiasa akan dipuja, lekaslah
anda menurut bersama-samaku pulang ke negara Indramayu. Segera anak
panah itu dilepaskan, Sang Putri cepat panah ditangkis, ia mengetahui
tulisan yang ada di anak panah itu. Sang Putri membalas melepaskan anak
panah yang sudah cepat terlepas laksana kilat dan mengenai tubuh Satria
Indrakusuma itu karenanya ia jatuh berguling di tanah dengan disuraki
gemuruh, karenanya orang-orang Indramayu lalu mengundurkan diri. Lalu
Jaka Supetak mendekatinya, berkata Sang Putri: “Hai satria, janganlah mati
sebelum diketahui namanya, siapa nama anda?” Berkata Jaka Supetak:
“Putra dari sebrang, negara Cempa bawah angin, Jaka Supetak namaku, Nin
Putri baiklah tunduk, jangan cari gara-gara, orang cantik ayu sayanglah
kalau tidak jadi mustikannya kratonku. Karena aku tersesat memasuki
sayembara ini niscaya musuh tidak ada yang keluar hidup-hidup.” Sang Putri
segera memegang busur panah dan anak panahnya dilepaskan, Jaka Supetak
menadahi, jatuhnya anak panah ke tubuh Jaka Supetak hanya seperti batu
yang dilemparkan. Berkata Jaka Supetak sambil ketawa: “Hai sang putri
mana panah yang paling ampuh habiskanlah prawira sakti anda kalau mau
menguji calon suami anda, jangan nanti sampai elik/menolak di belakang
hari, habiskanlah sekehendak anda terlebih dahulu.”
Sang putri memegang senjata andalannya segera ditusukkan ke tubuh Jaka
Supetak. Jaka Supetak menangkis dengan sebuah keris saling tangkis
menangkis. Keris Jaka Supetak mengeluarkan api bersemburan. Sang putri
lalu lari merasa tidak kuat, Jaka Supetak mengejarnya.

Diceritakan Kanjeng Sinuhun Jati Purba yang sedang berdiri di pinggir


sebuah sungai, tidak antara lama datanglah Nyi Mas Gandasari mohon
senjata pertolongan. Jaka Supetak sudah di hadapannya. Segera ia berkata:
“Hai Paman, engkau janganlah menghadapi buruanku, Panguragan telah
kalah dalam pertandingan karenanya ia sudah dipastikan menjadi istriku.”
Berkata Jeng Sunan Jati: “Aku belum nyata bahwa Panguragan kalah dalam
pertandingan, kalau bisa terangkat oleh engkau nyatalah ia jodoh engkau.”
Jaka Supetak segera mengangkat sang putri, tapi sang putri tidak bisa
terangkat bahkan tidak bergeming, ia berkutetan berusaha mengangkat
tubuhnya sang putri namun sang putri tidak berubah dan tidak bergerak, oleh
karena Jaka Supetak sangat dengan sekuat tenaga berusaha mengangkat sang
putri hingga terkentut. Kerannya sang putri tertawa terbahak-bahak sambil
mengejek.

Jaka Supetak malu sangat tidak bisa mengangkat mukanya diam mematung.
Jeng Sunan Jati berkata: “Itulah buahnya orang yang mendahului karsa Ilahi
jadi engkau adalah siluman beruap manusia engkau menyangka lebih
perwira sakti mau merebut negara menguasai sepulau Jawa akan tetapi
kenyataannya engkau baru oleh seorang perempuan saja sudah dikalahkan,
jangan lagi membuka merebut senusa Jawa tapi oleh seorang perempuan
saja engkau menyerah.”

Jaka Supetak lalu menyembah sujud dengan berkata: “Siapakah Tuan itu,
namanya, hamba merasa Tuan itu beribu sakti perwira, terimalah keris ini,
baiklah Tuan bunuh hamba, hamba merasa malu sekali tidak bisa bercampur
lagi dengan sesama manusia.” Keris lalu diterima, Jeng Sunan Jati berkata:
“Aku adalah Susuhunan Cirebon, Jati Purba namaku, Jaka Supetak engkau
belum waktunya mati, baiklah turut ke Cirebon, bangunlah sebuah dukuh
sekehendak engkau.” Berkata Jaka Supetak: “Oleh karena hamba lebih
sangat malu sekali hamba seterusnya tidak bisa bercampur lagi dengan
manusia, namun hamba mohon izin bermukim di dalam sungai ini.”

Segera Jaka Supetak sewadyabalanya terjun ke dalam sungai. Berkata: “Jeng


Sunan: “Jaka Supetak sewadyabalanya seperti buaya, ada manusia
bermukim di dalam air.” Ternyatalah Jaka Supetak sewadyabalanya salin
rupa menjadi buaya. Termasyhur seterusnya sungai itu disebut sungai/kali
Kapetakan. Segera Nyi Mas Gandasari pulang ke Pengurangan dan Sunan
Jati lalu pulang ke kraton Pakungwati.

Diceritakan ada satria yang baru datang di pantai Cirebon membawa kitab
dua perahu dari Negara Syam/Syria yang bernama Syarif Syam, karena
tadinya ada hawatif/suara tanpa rupa terdengar menyuruh mencari guru yang
mursyid/guru petunjuk Awliya Kutub di Cirebon, dan ia itulah yang bisa
memotong rambutnya yang seperti kawat.

Syarif Syam lalu mendarat di pantai Cirebon mau mencari Awliya Kutub
meneruskan perjalanannya, lalu datang di kebun bayam. Syarif Syam
melihat ada seorang lelaki yang sedang membentong/memukul buah gayam
untuk diambil isinya lalu memanggilnya: “Hai Kaki di mana tempatnya
Awliya Cirebon dan ke mana arahnya negara/kota?” Berkata Syekh
Bentong: “Di selatan arahnya negara Cirebon, mungkin pula Waliyullah di
situlah kediamannya dan anda dari mana, siapa namanya dan apa
keperluannya?” Syarif Syam menjawab: “Saya berasal dari negara Syam,
Syarif syam namaku mau berguru kepada Awliya Cirebon dan yang bisa
memotong rambutku sungguh aku akan mengabdi kepadanya. Pula aku
membawa kitab dua perahu untuk mufakatkan perihal ilmu.” Berkata Ki
Bentong: “Itu kitab dua perahu bagaimana membacanya, bagi orang Jawa
untuk mengerti syahadat saja itu sudah terhitung dhaif.” Berkata Syarif
Syam: “Ini waktu sudah Zhuhur, jangan ngobrol saja, marilah Kaki Kita
salat, di mana tempatnya salat.” Berkata Ki Bentong: “Di bungbung/bambu
ini yang terkait di pagar, di situlah tempatnya aku menjalankan salat,
silahkanlah anda masuk di dalam bung-bung.” Syarif Syam terheran-heran
ada percaya ada tidak, dan berkata: “Hai kaki masuklah anda terlebih dulu
nanti aku mengikuti.” Segera Ki Bentong masuk ke dalam bung-bung sambil
memanggil-manggil. Syarif Syam melihat bahwa bung-bung itu ternyata
adalah sebuah pintu besar lalu ia masuk, di dalamnya terlihatlah masjid yang
lebih besar dan banyak orang yang turut makmum. Syarif Syam lalu turut
makmum, yang jadi Imam ternyata adalah Ki Bentong.

Sebakdanya salat Syarif Syam lalu sujud menyembah sambil berkata:


“Duhai Kyai, mohon sih ampun Dalem, sungguh Paduka itu adalah Awliya
Allah hamba mohon berguru, dan semoga Paduka mau memotong rambut
hamba.” Ki Bentong lalu memberinya wejangan ilmu kezhahiran, kegunaan
perwira sakti. Setelah selesai Ki Bentong lalu berkata: “Adapun ilmu
kebatinan setauhidan Sunan Cirebon nanti yang memberi wejangan pula
yang memotong rambut anda dan anda diberi nama Pangeran Remagelung,
seyogya cepatlah datang ke Cirebon.” Remagelung mengucap sandika, lalu
mohon pamit meneruskan perjalanannya.

Antara lama kemudian Ramagelung berjumpa dengan seorang kakek tua.


Berkata Remagelung: “Hai kakek tua di mana tempatnya Sunan Cirebon.”
Berkata kakek Tua: “Wallahu a’lam tempatnya Sunan Cirebon dan anda dari
mana, siapa namanya dan apa kemauannya?” Berkata Remagelung: “Putra
Syam mau berguru kepada Sunan Cirebon yang bisa memotong rambutku
sungguh-sungguh aku akan mengabdi kepadanya.” Berkata Kakek Tua:
“Kasihan sekali orang Syam ini, rambutnya bergelantungan tidak dapat
digelung karena kerasnya seperti kawat, kalau menjadikan sukalilanya saya
akan memotongnya, namun saya minta melihatnya dari belakang.”
Remagelung berkata: “Sukalila/suka ridha kalau Kakek Tua mau
memotongnya.” Segera Remagelung membelakanginya. Kakek Tua lalu
memegang rambutnya, segera rambut itu getas/rapuh putus berjatuhan di
tanah. Kakek Tua lalu lenyap. Remagelung kehilangan Kakek Tua, sudah
gundul kepalanya lalu memakai dester hijau seterusnya disebut Pangeran
Sukalila, karena suka ridha dipotong rambutnya dan jadi masyhur tempat itu
seterusnya disebut Karanggetas, sebab mengingat tatkala getasnya/rapuhnya
rambut Remagelung. Lalu rambut itu ditanamnya di bawah pohon asem di
tempat itu pula.

Segera pangeran Sukalila meneruskan perjalanannya mencari Kakek Tua


siang malam tidak ditemukan. Lalu ia terbang ke angkasa ke utara barat
menujunya kemudian ia datang di Pengurangan, melihat orang-orang sedang
bersayembara penuh berjubel sambil sorak-sorak gegap gempita.

Diceritakan Sang Ratna Panguragan sudah keluar berada di tengah-tengah


medan laga di dalam balabar arena sayembara sambil menantang: “Hai
wong salawe negara/orang dua puluh lima negara (maksudnya kepada
orang-orang yang turut memasuki sayembara) janganlah maju seorang-
seorang, majulah semuanya. Segera orang dua puluh lima negara menyerbu
dengan serempak. Sang Putri bertindak. Ki Demang Citratanaya menubruk,
Sang Putri meleset ke atas sambil mendupak dan menampar. Ki Demang
jungkir balik mundur dengan merangkak. Mas Behi maju ke depan ditampar
lehernya bengkok. Ki Tumenggung memuluk disambut dengan patrem/
badik punggungnya sobek. Ki Dipati Rangkong hendak menangkap
disambut dengan patrem lehernya terkulai mundur ditandu. Ki Nakhoda
hendak memeluk, Sang Putri mendahaki, Nakhoda mukanya rusak mundur
dicikrak. Seluruh penonton sorak-sorak gegap gempita. Orang dua puluh
lima negara semuanya ketakutan.

Segera Pangeran Sukalila datang sudah di hadapan Ratna Panguragan.


Berkata Sang Putri: “Hai satria, siapa anda yang turut masuk sayembara,
jangan mati tanpa nama.” Berkata Pangeran Sukalila: “Putra negara Syam,
Sukalila namaku, anda perempuan siapa dikeroyok oleh orang dua puluh
lima negara, rupanya anda prajurit perwira sakti, ulahnya cekatan, pantas
lebih seyogya anda kalau diperistri olehku, jangan anda hendak membantu:
“Nyi Mas Gandasari berkata: “Aku mengadakan sayembara, siapa saja yang
bisa menangkap saya, itu tandanya jodoh saya.” Berkata Pangeran Sukalila:
“Sebaiknya anda menurut kepadaku untuk menghindari kemungkinan tewas,
sayang sekali oleh kecantikan anda yang punjul.” Berkata Sang Putri: “Hai
satria disayangkan sekali sombong perkataan anda, kalau anda sungguh
perwira sakti sediakanlah dada anda ditimpa sarotamaku/tumbakku.” Segera
Sang Putri melepas sarotama dan melepas senjata-senjata laksana hujan.
Jeng Pangeran menadahi sebuah panah pun tidak ada yang mempan. Segera
Sang Putri mencabut aptrem ditusuk-tusukannya. Jeng Pangeran hanya
berdiri tidak bergeming sambil senyum. Sang Putri segera ditangkapnya tapi
tidak tertangkap seperti menangkap bayangan, Jeng Putri masuk ke dalam
bumi, Jeng Pangeran sudah ada di belakangnya. Sang Putri meleset ke
angkasa bersembunyi di mega putih, Jeng Pangeran menyusul dantang sudah
di hadapannya. Sang Putri lenyap memasuki bunga cempaka. Jeng Pangeran
merupa jadi lebah, kembang dihisap sarinya, lalu Sang Putri lari, dikejar
olehnya dari belakang.

Diceritakan Kanjeng Sinuhun Jati sedang membangun ketemenggungan dan


masjid Jagabayan dan tempat penjagaan untuk orang-orang jaga/piket di
suatu pintu kota pada tahun 1500 M., sedang berdiri di pintu gerbang
bersama Ki Kuwu Cakrabuana. Tidak lama kemudian ada datangnya Nyi
Mas Gandasari bersembunyi di bawah telapak kaki Sunan Jati. Lalu
Pangeran Sukalila datanglah sudah di hadapan Jeng Sunan Jati. Berkata
Pangeran Sukalila: “Hai Paman, anda jangan berdiri di situ, minggirlah
dulu.” Jeng Sunan Jati lalu minggir dari situ, Gandasari sudah bersembunyi
di sabuknya: “Hai Paman, aku minta sukanya, sabuk anda aku lihat.” Jeng
Sunan Jati lalu melepaskannya. Gandasari sudah keluar dari sabuk lalu
bersembunyi di cincin kelingking yang kiri Sunan Jati. “Hai Paman, tidak
jadi melihat sabuk, tapi cincinnya aku mau lihat rupanya lebih bagus.” Jeng
Sunan Jati lalu melepas cincinnya. Gandasari segera keluar dari cincin itu
bersembunyi di belakang Jeng Sunan Jati. Pangeran Sukalila habis
kesabarannya. Jeng Sunan Jati lalu diterjangnya berusaha menangkap
Gandasari, Pangeran Sukalila saksana/sekonyong-konyong lumpuh jatuh di
hadapan Jeng Sunan Jati tidak bisa ubah dan bergerak. Pangeran Sukalila
lalu bertobat sambil berkata: “Duhai Gusti mohon perampunan. Paduka itu
siapa hamba tidak mengetahui.” Berkata Jeng Sunan Jati: “Aku adalah
Sunan Cirebon, Jati Purba namaku dan anda berasal dari mana, siapa nama
anda.” Pangeran Sukalila menjawab: “Hamba adalah putra Syam, Sukalila
namanya memang Paduka dari awal yang dimaksud/dicari karena hamba
hingga telah memasuki sayembara Panguragan, sesungguhnya Paduka yang
hamba cari, sungguh hamba bermaksud berguru kepada Paduka dan
menghadap zhahir batin, semoga Paduka suka mengaku kepada hamba dan
menerimanya kitab seperahu dan pengiring hamba dari Syam semoga
diterima dan pula hamba mohon dapat terlaksana dijodohkan dengan abdi
Dalem yang bersama Gandasari.”

Jeng Sunan Jati sudah menerima apa yang dikatakan oleh Pangeran Sukalila
lalu berkata: “Gandasari, engkau aku tari/damai kalau bersuami menuruti
permintaan Pangeran Sukalila, lebih seyogya kalau engkau jadi satu
dengannya.” Menjawab Sang Ratna Gandasari: “Hamba menurut kehendak
Paduka akan tetapi hamba mohon batin (mohon kelak nanti saya di
akhirat).” Berkata Jeng Sunan Jati: “Pangeran Sukalila dari kesediaannya
Gandasari supaya minta bersuami nanti saja di batin, oleh karena itulah anda
supaya menerimanya.” Berkata pangeran Sukalila: “Mematuhi kehendak
Dalem Gandasari di batin istri hamba, di lahir hamba persaudaraan dengan
Gandasari.” Perjanjian Nyi Mas Gandasari dengan Pangeran Sukalila
disaksikan oleh Ki Kuwu Cirebon pula oleh Sinuhun Jati Cirebon dan
Pangeran Sukalila disuruh selanjutnya membangun dukuh sekehendaknya.
Adapun Pangeran Sukalila oleh karena sudah mendapat izin untuk
membangun sebuah dukuh/pemukiman, lalu mohon pamit meneruskan
perjalanannya diiring oleh rombongannya dua puluh lima orang ke arah
utara, setelah datang di suatu tempat yang ada tumbuhan pohon kendal besar
Pangeran Sukalila dan rombongan beristirahat merasa senang lalu
membangun dukuh di sana seterusnya dukuh itu disebut dukuh
Karangkendal dan Pangeran Sukalila seterusnya disebut Pangeran
kaangkendal. Seterusnya dukuhnya itu tambah ramai turut dihuni oleh
pendatang-pendatang baru.

39. KI GEDENG PALUAMBA DAN PERANG RAJAGALUH


Diceritakan di negara Kuningan Pangeran Dipati Awangga/Pangeran Dipati
Kuningan dengan Dipati Anom, Dipati Sukawayana, Dipati Cangkeang, san
Dipati Semanunggal hendak menghadap kepada Jeng Sunan Jati Cirebon
diiring oleh Ki Gedeng Kemuning, Arta Kemuning dan para prajurit
Kemuning sebanyak limaratus orang.

Adapun Pangeran Dipati Awangga mengendarai kuda bernama Winduhaji


keturunan dari kuda sembrani meneruskan perjalanannya.

Diceritakan di tengah jalan Ki Gedeng Kemuning berjumpa dengan Ki


Gedeng Paluamba. Berkata Ki Gedeng Paluamba: “Kakak Gedeng
Kemuning, Si Kaka mau menghadap kepada Sunan Cirebon dengan
Pangeran Dipati Awangga dan adik Gedeng Paluamba mau ke mana, kalau
suka dipersilakan datang di Kuningan.” Berkata Gedeng Paluamba: “Si adik
merantau di pegunungan mau bertapa, oleh karena telah turut sayembara
putri di Penguragan berhasil tidak bahkan mendapat malu, berguru kepada
Sunan Cirebon hanya diberi wejangan syahadat selawat saja, makanya kakak
percuma saja berguru kepada Sunan Cirebon, karena syahadat itu anak
gembala juga bisa, kakak janganlah terlanjur menghadap kepada Sunan
Cirebon, pendapat si adik itu tidak ada gunanya.” Berkata Gedeng
Kemuning: “Karena si kakak sudah tuwa tidak menghendaki berpaling ke
belakang.” Ki Gedeng Paluamba dan Ki Gedeng Kemuning lalu meneruskan
tujuannya masing-masing. Gedeng Paluamba meneruskan perjalanannya ke
arah selatan terus ke Kuningan. Ki Gedeng Kemuning meneruskan
perjalanannya ke arah utara mengiring Pangeran Dipati Awangga.

Antara lama kemudian Dipati Awangga berjumpa di tengah jalan dengan


Demang Rajagaluh serombongannya, Berkata Dipati Awangga: “Hai
Ponggawa, siapa anda bertemu di jalan dan mau ke mana?” Berkata Ki
Demang: “Saya adalah utusan Rajagaluh, Demang Dipasara namanya, mau
ke Cirebon diutus supaya memberi tahu kepada Sunan Cirebon seyogya mau
menghadap seba kepada Sang Prabu Rajagaluh dan diharuskan mengirim
upeti setiap tahun, kalau tidak dipatuhi Sunan Cirebon boleh di bunuh dan
dirampas kekayaannya, kalau menghendaki perang akan digempar kotanya
dibikin tanah hitam (dibumi hanguskan), akan tetapi saya masih bingung
karena belum menemukan kenyataannya negara Cirebon.” Berkata pangeran
Dipati Awangga: “Hai Demang Rajagaluh, beritahulah kepada Gusti engkau
tidak usah engkau bertemu dengan Kanjeng Rama Sunan Cirebon, untunglah
engkau bertemu denganku, sekarang engkau lekaslah pulang. Pangeran
Dipati Awangga yang memutuskan, orang Cirebon berani digempur atau
menggempur, sebaiknya Sang Prabu Rajagaluh takluk kepada Cirebon,
kalau tidak mau mematuhi niscaya akan ku serbu negaranya.”

Segera Ki Dipasara pulang kembali dengan tergesa-gesa sambil


dibrengkolangi/dilempari oleh orang Kuningan. Orang Rajagaluh lari
terbirit-birit tunggang langgang berebut dulu mendahului, orang Kuningan
gembar gembor menantang perang. Dipati Awangga dan rombongan lalu
mempercepat perjalanannya datang sudah di hadapan Jeng Sunan Cirebon.
Adapun Demang Sing (Demang Kuningan) diperintah pulang untuk
menyiap siagakan wadyabala Kuningan dengan membawa lengkap alat-alat
perangnya. Ki Demang dengan wadyabala Kuningan seterusnya lalu
bertolak menyerbu Rajagaluh.

Diceritakan di Cirebon Kanjeng Susuhunan Jati sedang berada di gunung


Jati, sedang duduk di balai amparan dalam riungan pada Wali dan para
murid sedang memberi wejangan kitab Qur’an mengurus jalannya peraturan
serengat agama.

Sunan Bonang dengan Sunan Kali, Sunan Kudus, Syekh Maulana Magrib,
Syekh Lemahabang dan Syekh Bentong, Syekh Majagung bersama Syekh
Datuk Khafid, H. Abdullah Iman bersama Pangeran Kejaksaan,
Karangkendal, Dipati Suranenggala, Tumenggung Jagabaya. Pangeran
Rudamala, Buyut Kandang, Buyut Kresek, Ki Gendeng Jatimerta, Ki
Gedeng Babadan bersama Gedeng Bungko, Gedeng Ujung Gebang, Gedeng
Tegal Gubug, Gedeng Bayalangu, Gedeng Rawagatel, Gedeng
Sangkanuripi, Gedeng Jungjang, Gedeng Embat Embat, bersama Pangeran
Dipati Awangga sudah di hadapannya pula Dipati Sokawayana, Dipati
Cangkwang, Dipati Semanunggal, pula Ki Gedeng Kemuning dan Kanjeng
Susuhunan Demak baru saja datang diiring oleh bala tentara Demak tujuh
ratus orang banyaknya. Jeng Sunan Demak sudah duduk sejajar.

Berkata Kanjeng Sunan Cirebon: “Selamat datang Jeng rayi Sunan Demak
sebagaimana yang dikehendaki?” Berkata Kanjeng Sunan Demak: “Dengan
menghadapnya rayi di hadapan Jeng Raka seyogya ada sih berkenan mohon
diberi wejangan ilmu sejati, pula karena Jeng Raka mempunyai putra lelaki
yang belum mempunyai istri supaya berkenan dijodohkan dengan anak
perempuan si rayi karena sudah cukup waktunya seyogya dipertemukan
Pangeran Jayalelana dan Bratalelana dimohon kedua-duanya.” Berkata
Sunan Gunung Jati: “Si Raka menyetujui kehendak rayi kedua-dua anak
Raka silahkan diterima.”

Sedangnya sidang riungan itu saling berkata lalu disela oleh Pangeran Dipati
Awangga segera menghaturkan kata: “Jeng Rama dengan hormat semoga
jadi pengetahuan Dalem karena tadi sang putra sudah berjumpa utusan dari
Rajagaluh diutus oleh Sang Prabu Rajagaluh bahwa Jeng Rama diperintah
seba/menghadap pula diharuskan mengirim upeti tiap tahun, kalau Jeng
Ratna menolak dapat dirampas kekayaannya atau dipotong lehernya, kalau
sekiranya menghendaki kotanya, akan tetapi putra sudah memutuskan orang
Cirebon bersedia melurug/menyerbu dan bersedia dilurug/diserbu dan Prabu
Rajagaluh itu sekarang diminta dengan hormat takluk kepada Cirebon, kalau
menolak pasti Rajagaluh akan diserbu, maka daripada itu sang putra mohon
izin Dalem akan menyerbu untuk membawa kepala Sang Prabu Rajagaluh.

Jeng Sunan Jati diam tidak berkata, semuanya tidak memberi izin Pangeran
Dipati Awangga segera keluar. Sunan Kali berkata: “Orang Kuningan tidak
mau merendah melancangi kemauan orang tua.” Ada pun Sunan Cirebon
lalu bertolak ke gunung Sembung, untuk memberi wejangan kepada Sunan
Demak.

Diceritakan Pangeran Kuningan sudah mengumumkan kepada seluruh para


wadyabala akan berangkat menyerbu Rajagaluh lalu memanggil Demak
Singagati diutus terlebih dahulu ke Rajagaluh membawa sepucuk surat
menyatakan perang. Ki Demang segera mempercepat perjalanannya.

Diceritakan di kraton Rajagaluh Prabu Cakraningrat sedang mengadakan


sidang di dalam bungsal agung. Sang Prabu duduk di atas permadani emas
diseba oleh seluruh para Sanghyang. Para Dipati dan sentana, mantri, para
pembesar sudah menghadap semua. Sanghyang Sutem, Sanghyang Gempol,
Dipati Kiban, Prabu Wawangi, Patih Bangong Dipasara sudah di
hadapannya. Berkata Sang Prabu: “Hai Demang Dipasara, kalawaktu dulu
engkau diutus, sekarang engkau baru datang lekaslah beritahu Sunan
Cirebon tunduk atau tidak?” Segera Ki Demang hatur beritahu: “Duhai
Gusti, hamba tidak berhasil, mohon perampunan murka Dalem, hamba telah
mencari negara Cirebon sungguh belum ditemukan senantiasa tersesat ke
arah utara, di tengah jalan hamba berjumpa dengan Dipati Kuningan, hamba
ditolak disuruh pulang, dari perkataan Dipati Kuningan, Cirebon berani
dilurug dan berani melurug dan Sang Prabu Rajagaluh aku minta dengan
hormat menaklukkan kepada Cirebon supaya memeluk agama Islam, kalau
tidak mau takluk inilah Senapati Cirebon yang bernama Pangeran Dipati
Awangga yang menanggung memotong lehernya orang Rajagaluh.”

40. RAJAGALUH KALAH PERANG DAN DIGABUNGKAN KEPADA


CIREBON PADA TAHUN 1528 M.

Diceritakan Sang Prabu dengan Pangeran Karangkendal sedang berkelahi,


saling banting membanting saling lempar melempar karenanya tidak
terdengar datang Ki Kuwu menangkap Sang Prabu dari belakang. Sang
Prabu segera menghindar mencari medan yang lebar, berkata Sang Prabu:
“Siapa orangnya yang berani mencampuri perkelahian orang lain?” Berkata
Ki Kuwu: “Aku adalah Kuwu Cirebon, Cakrabuanna namaku, bermaksud
mengislamkan, sebaiknya anda turut.” Berkata Sang Prabu: “Aku merasa
terhina perang tanding dengan engkau, karena engkau adalah bukan
tandinganku sebagai Ratu/Raja bertanding dengan orang yang menjual
terasi, mana Sunan Cirebon, tidak penasaran perang tanding denganku.”
Berkata Ki Kuwu: “Tidak usah Sunan Jati, ini walaupun orang kampung
pesisir penjaul terasi namun aku sudah memelu agama Islam, masih untung
bermusuhan denganku ketimbang dengan engkau walaupun engkau adalah
Ratu akan tetapi masih jahiliyah hukumnya.”

Berkata Sang Prabu: “Hai pabela (orang kampung pesisir) kalau engkau
sungguh perwira sediakanlah dada engkau ditimpa trisula, hati-hati
hanya/cuma hari inilah engkau tahu kepada terang (akan segera terbunuh).”
Segera trisula dilepaskan. Ki Kuwu menadahi, karena berkahnya badong
batok dan cincin Ampal pula berderajat prajurit Aeliya senjata itu tidak
mempan. Lalu Sang Prabu melepaskan senjata capa (pedang pendek). Ki
Kuwu menadahnya dengan tenang. Lalu Sang Prabu merapatkan Aji Wisesa,
keluarlah anak panah laksana hujan. Ki Kuwu menadahi dengan cincin
Ampal, seluruh anak-anak panah Aji Wisesa terhisap masuk ke dalam cincin
Ampal. Sang Prabu lalu menghunus keris, segera keris dituding oleh Ki
Kuwu menjadi melengkung. Sang Prabu sangat heran sekali lalu mau
ditangkap, Sang Prabu menghindar lalu merupa diri jadi kodok putih. Ki
Kuwu lalu cepat merupa diri jadi ular putih. Kodok mau disambar cepat
menghilang masuk ke dalam bumi. Ki Kuwu sudah berada di belakangnya
Sang Prabu cepat meleset ke angkasa bersembunyi di mega hitam. Ki Kuwu
berjumpa di hadapannya. Sang Prabu lalu turun ditangkap tidak tertangkap
Sang Prabu lalu melenyapkan diri secepatnya, hanya tinggal suaranya saja:
“Hai Cakrabuana, kelak di akhir jaman pembalasanku kepada keturunan
engkau dijajah orang, pada waktu itulah harus berhati-hati.” Ki Kuwu
mendengar suara itu lalu menjawab: “Kelak berani, nanti berani, sekarang
berani, kapan saja berani.” Pangeran Cakrabuana lalu pulang.

Diceritakan Ki Arya Mangkabumi menghunus kerisnya mau mengamuk


karena kepergok, wadyabala bawahan tidak berani mendekat, para
Gegedeng tidak ada yang berani menangkapnya. Segera Pangeran
Karangkendal maju, Ki Arya Mangkabumi menusuknya cepat ditangkap
kerisnya putus, Ki Arya mau lari, segera tertangkap lalu dibelenggu sudah.
Pangeran Karangkendal lalu merampasi seluruh kekayaan kraton Rajagaluh,
emas picis, dunya berhala, berikut kerbau sapinya dan para putri, jand
kembang dan perawan-perawannya dirampas semua menjadi tawanan.
Seluruh para wadyabala dan rakyat, dari pedesaan dan sindangkasih
bawahan Rajagaluh sudah pada menakluk. Lalu pada pulang selesailah
sudah perang Bratayuda itu.

Orang Cirebon sambil sorak-sorai mengiringkan para tawanan. Gedeng


Bungko menari-nari sambil menyanyi-nyanyi sepanjang jalan sebagian
mereka berbimbingan dan saling bergembira bergurau.

Diceritakan Yang Sinuhun Cirebon sedang duduk di Dalem Agung


Gandasari telah datang si hdapannya sambil menghaturkan kandaga/guci
emas yang berisi patung naga emas, kandaga sudah diterimanya. Segera
kandaga dibuka lalu terlihatlah patung ular emas itu. Berkata Jeng Sunan
Cirebon: “Jadi jimat pusaka Rajagaluh itu ternyata adalah bentuk ulat seperti
keris.” Saksana/sekonyogn-konyong jadi keris seterusnya disebut Kaki
Kanta Naga. Jeng Sunan Cirebon lalu keluar dari Dalem Agung duduk di
Sitiinggil, mengadakan sidang para Wali dan Sultan Demak. Tidak antara
lama kemudian datanglah Ki Kuwu Cirebon dan Seluruh para wadyabala
mengiringkan tawanan perang dan pembesar-pembesar Rajagaluh yang
terbelenggu sudah berada di hadapannya. Ki Kuwu lalu menerangkan
kejadian perang Rajagaluh dari awal hingga akhirnya dan menyerahkan
tawanan dan mereka yang terbelenggu. Adapun Sang Prabu Rajagaluh tidak
tertangkap sudah mereka yang seperti siluman.

Karangkendal segera unjuk beritahu: “Bagaimana kehendak Dalem


mengenai seluruh boyongan dan mereka yang sibelenggu dan para barisan
dan rakyat Rajagaluh, Limunding dan Palimanan sudak tunduk.” Berkata
yang Sinuhun: “Seluruh mereka yang dibelenggu supaya sisuruh memeluk
agama Islam setelah mereka dibebaskan, dan seluruh tawanan Rama Kuwu
yang membagikannya.” Ki Kuwu segera membagikan sebagai pemberian
ganjaran kepada seluruh wadyabala Cirebon dan wadyabala Demak, emas
picis dunya berhala, kerbau sapi sudah dibagikan semua, segera seluruh para
putri dan janda kembang berikut para perawannya yang dibagikan kepada
para Pinangeran dan para Gegedeng selesailah sudah Ki Kuwu memberi
ganjaran kepada seluruh wadyabala yang turut berperang. Jeng Sunan lalu
memanggil Pangeran Karangkendal sambil memutuskan: “Anda hai
karangkendal sekarang aku angkat kedudukan putra, diberi nama Oangeran
Arya.” Seterusnya ia disebut dengan nama Oangeran Arya Karangkendal.

Segera Ki Kuwu berkata: “Si Rama mohon izin hendak mencari putra
dalem, Pangeran Kuningan, hingga sekarang belum ada akhirnya.” Ki Kuwu
lalu mohon pamit terus berangkat.

Diceritakan yang sedang berkelahi Dipati Kiban dengan Pangeran Dipati


Kuningan, sedangnya dorong mendorong banting membanting lempar
melempar, naik gunung turun gunung, Pangeran Kuningan terserimpet oleh
pohon menjalar yang bernama Oyong karenanya ia jatuh ke tanah, dan cepat
Sang Kiban menubruknya. Jeng Pangeran tidak berdaya namun segera
datanglah Ki Kuwu sambil menghunus Golok Cabang, disabetkan kepada
lehernya Sang Kiban, untuk ia masih dapat tahan. Sang Kiban lalu
merekayangan masuk ke dalam gunung Gundul sambil meninggalkan suara:
“Hai Kuwu, kelak pada jaman akhir keturunan engkau negaranya ada yang
menjajah paa waktu itu adalah pembalasanku.” Ki Kuwu segera menjawab:
“Kelak berani, nanti berani, sekarang berani, kapan saja berani.”

Lalu Ki Kuwu pulang beserta Pangeran Kuningan datang sudah di hadapan


Jeng Sunan Jati.

41. PRABU INDRAWIJAYA/ARYA WIRALODRA MEMELUK


AGAMA ISLAM SAMBIL MENYERAHKAN DAERAHNYA,
INDRAMAYU, KEPADA CIREBON (KEPADA SUNAN JATI
CIREBON) PADA TAHUN 1528 MASEHI

Pada suatu hari Sinuhun Jati sedang berada di gunung Jati. Berkata Jeng
Sinuhun senyum: “Dipati Kuningan, kepalanya orang Rajagaluh sudah
dibawa atau belum?” Mana belengguannya Sang Prabu Rajagaluh?” Berkata
Pangeran Kuningan: “Duhai Rama, berkah Dalem sambil semuanya malu,
kalau tidak ada Eyang Kuwu pasti Sang Putra menemui sengsara besar,
tetapi putra Dalem masih sanggup jadi Senapati (hulubalang, perwira),
karena negara Dermayu belum menakluk, sekarang putra Dalem mohon
izin.” Lalu berkata Jeng Sunan: “Walaupun orang Dermayu itu jelek rupanya
namun baik itikadnya.” Pangeran Kuningan tidak mematuhi, segera mohon
pamit meninggalkan tempat itu. Berkata Sunan Kali: “Orang Kuningan
tanah tinggi, tidak mau merendah, tidak patuh kepada orang tua.”

Pangeran Kuningan sudah berada di luar mengumumkan kepada seluruh


wadyabala Kuningan maju jalan ke Dermayu dengan berkendaraan kuda si
Winduhaji.

Sunan Kali mempersiapkan hidangan menanak nasi di periuk besi asapnya


memasuki gua. Jeng Sunan Jati menamengkan tangannya dari asap itu
sambil menoleh. Berkata Sunan Kali: “Bagaimana sampeyan Dalem berlaku
demikian, apakah tidak sedang kepada baunya nasi, nasi ini adalah untuk
menjamu tamu Dalem, pasti periuk ini harus sering diisi.” Ternyata periuk
itu nasinya habis. Lalu periuk itu kosong berkelontangan. Berkata Ki Kuwu:
“Ya nantinya harus banyak berasnya cuma piring panjang berkaki harus
jangan diisi lagi, kalau diisi pasti selamanya harus diisi.”

Diceritakan San gPrabu Dermayu bernama Prabu Indrawijaya sedang


diseba/mengadakan sidang, seluruh para pembesar dan Patih Danujaya
sudah berada di hadapannya. Berkata Sang Prabu: “Menurut kabar negara
Indramayu akan diserbu oleh musuh, ialah Dipati Kuningan dengan
barisannya akan datang sekarang, siap siagakanlah penjaga keamanan praja
Indramayu, aku akan mencoba Pangeran Kuningan, akan tetapi itu sudah
condong/berhasrat untuk menakluk pada Sunan Cirebon.”

Segera Sang Prabu sendirian bertolak menuju kali Kamal memasang jimat
Oyod Mingmang dan memasang jimat Lembu Tirta di dalam kali/sungai.
Sang Prabu lalu merupa diri jadi kidang/rusa kuning. Antara lama kemudian
datanglah Pangeran Kuningan berkendaraan kuda si Winduhaji diiring oleh
seluruh para wadyabala Kuningan datang sudah di kali Kamal.

Tidak lama lalu ada datangnya seekor kidang (kijang, rusa) kuning di
hadapan Sang Dipati. Lalu kidang hendak ditangkapnya tetapi menghindar,
orang Kuningan ramai-ramai mengepungnya, kidang lalu mencebur ke
dalam sungai. Segera Pangeran Kuningan terjun ke dalam sungai,
sekonyong-konyong kidang lenyap. Jeng Pangeran ditimpa oleh banjir besar
hanyut terbawa air banjir hingga ke laut lepas datang di pulau Menyawak.
Tak lama lalu datang seorang kakek tua menolong Jeng Pangeran sudah
didaratkan di pulau Menyawak. Berkata kakek tua: “Hai engkau siap dan
apa maksud engkau hingga timbul tenggelam di laut.”

Berkata Pangeran Kuningan: “Dipati Awangga namanya putra Nata/Raja


Cirebon, bermaksud menaklukkan orang Indramayu agar memeluk agama
Islam, maka daripada itu mohon sih pertolongannya Kyai.” Berkata kakek
tua: “Terimalah jimat cupu (botol kecil, kotak kecil) yang berisi Tirta Bata,
kalau ada karya usapkanlah berjuta-juta, lekaslah engkau pulang, pakailah
ini jukung/perahu kecil datanglah lagi tempat engkau semula.”

Segera Sang Pageran mohon pamit meneruskan perjalanan mengendarai


jukung datang sudah di kali Kamal. Orang Kuningan pada bingung, mereka
mau pulang putar-putar balik lagi di tempat semula lalu Jeng Pangeran
datang. Barisan Kuningan lekas dipanggil siap untuk terus maju jalan
menuju praja Indramayu, wadyabala Kuningan mematuhi. Jeng Pangeran
sudah merasa telah datang di alun-alun (lapangan, alup) Indramayu, berkat
wataknya jimat Oyod Mingmang mereka tidak datang di alun-alun
Indramayu, akan tetapi sebentulnya mereka telah datang di alun-alun
Cirebon karenanya Jeng Pangeran Kuningan jadi terheran-heran, lalu masuk
ke dalam kraton Pakungwati.

Diceritakan Yang Sinuhun Cirebon sedang bersidang di Sittinggil. Para Wali


dan Sultan Demak dan para Pinangeran, para pembesat dan Dalem
Indramayu sudah sudah dihadapannya sedang menyatakan memeluk agama
Islam dan menyerahkan praja Indramayu kepada Sunan Jati Purba Cirebon.
Tidak lama lalu Dipati Kuningan datang. Berkata Jeng Sunan Jati sambil
senyum: “Dipati Kuningan, mana tawanan orang Indramayu dan mana
belengguannya?”

Jeng Pangeran Kuningan semuanya mali, segera hatur beritahu: “Berkah


Dalem selamat sehat, kalau tidak ada kakek tua di pulau Menyawak pasti
putra Dalem mati di dalam laut.” Berkata Jeng Sunan Jati: “Dalem
Indramayu sudah berada memeluk agama Islam, sebaiknya engkau
bertobatlah.”

Dipati Awangga sangat malu sekali, karena sudah dua kali tidak berhasil
mendapat karya. Berkata pengeran Kuningan: “Akan tetapi putra Dalem
masih sanggup jadi Senapati, mohon izin untuk menaklukkan para Raja di
lain pulau atau para Dipati dan para pembesar yang belum Islam.” Berkata
Jeng Sunan Jati: “Tidak usah ditaklukkan lagi, para Dipati dan para
pembesar insya Allah di kawasan tanah Pasundan akan pada takluk sendiri
dan engkau apakah yang masih khawatir.”

Menjawab Pangeran Kuningan sambil menyembah: “ Hamba mempunyai


jimat cupu tirta bala dari pulau Menyawak, wataknya kalau diteteskan
kepada kerikil atau merang sekonyong-konyong akan menjadi wadyabala
berpuluh ribu berjuta-juta, kalau sampeyan Dalem kurang percaya marilah
melihatnya abdi Dalem mencobanya.”

Segera Pangeran Kuningan mengumpulkan sebanyak-banyaknya kerikil dan


merang lalu merang dipotong-potong lalu ditetesinya dengan jimat cupu tirta
itu, ternyata sekonyong-konyong ada kejadian berupa wadyabala berpuluh-
puluh ribu berjuta-juta hingga penuh berjejal di laun-alun dan di kota
Cirebon, menjadikan geger orang Cirebon ada wadyabala datangnya
sekonyong-konyong. Jeng Sunan Jati lalu membaca du’a tolah bala
karenanya sekonyong-konyong wadyabala ciptaan itu lenyap, kembali
kepada asalnya. Berkata Jeng Sunan Cirebon: “Dipati Awangga, telah aku
bacakan du’a tolak bala karenanya wadyabala ciptaan itu lenyap, jadi tidak
ada gunanya yang demikian itu bagi prajurit Awliya.” Dipati Awangga
Dipati Kuningan bungkam seribu basa semuanya sedih. Tidak lama
kemudian datanglah para pembesar dan para Dipati dari tanah Pasundan,
Sukapura dan Krawang bermaksud menakluk dan memeluk agama Islam.
Lalu Ki Kuwu dipersilahkan setelah mereka membaca syahadat memberi
wejangan agama Islam sarengat Jeng Rasulullah s.a.w. segera mereka diberi
wejangan sudah.

42. TELAGA MENYERAH KEPADA CIREBON PADA TAHUN 1529


MASEHI

Lalu berkata Sultan Demak: “Raka Sunan Jati si rayi/adik mohon izin
pulang dan bulan depan nikahnya putra Dalem kedua-duanya. Pangeran
Jayalelana, Bratelelana bertemu dengan putra si rayi bernama Ratu Pulung,
Ratu Nyawa, dimohon raka datangnya di Demak, pula seluruh para Wali dan
Rama Sri Mangana semoga mau merubung (mengelilingi, mengerumuni).”
Jeng Sunan Jati menyanggupinya Sultan Demak lalu pamit. Segera pulang
dengan bala tentaranya pula diiring oleh Sunan Kalijaga. Orang Kuningan
pada pulang, para murid bubar, kecuali Pangeran Dipati Awangga tertinggal
dan tidak pulang. Diceritakan Gedeng Kemuning setelah datang dari
Cirebon lalu jatuh sakit tidak lama kemudian lalu wafat. Orang Kuningan
pada siap memandikan jenazahnya. Gedeng Plumbon turut memandikan
sambil berkata: “Hai orang Kuningan, jenazahnya kakak Gedeng Kemuning
membengkak seperti bangkai, baunya busuk ke mana-mana, ini tandanya
murid Cirebon kebanyakan syahadat selawat.”

Tidak lama lalu ada datangnya seorang santri turut memandikan jenazah lalu
jenazah mengecil. Baunya hilang pula bau yang anyir busuk lalu gemilang
cahayanya jenazah itu lagi berbau harum mewangi. Karenanya Gedeng
Plumbon terheran-heran, segera jenazah disalatkan, sebakdanya lalu
dikubur, ternyata jenazah lenyap tinggal bau harumnya saja Gedeng
Plumbon lebih sangat menyesal sekali, tak lama lalu datanglah Sunan Jati
Purba, Gedeng Plumbon bertobat sujud merengek-rengek. Berkata Jeng
Sunan: “Gedeng Plumbon dipastikan gugur ilmunya, sebab mencari Guru
Wallahu a’lam kehendak Allah, mantaplah tobat engkau.” Jeng Sunan lalu
pulang. Ki Gedeng Plumbon segera menekuni puja tobat kepada Allah, jadi
seterusnya disebut nama Ki Gedeng Cigugur karena sudah gugur ilmunya.

Diceritakan Sunan Jati pada sekali waktu mengadakan riungan di Sittinggil


bersama sang putra Jayalelana, Bratalelana dan Syekh Magrib, Syekh
Bentong, Syekh Lemahabang, Syekh Majagung pula Ki Kuwu Cirebon dan
Gedeng Bungko dan Gedeng Jatimerta, Patih Suranenggala, Dipati
Awangga. Berkata Sunan Jati: “Rama Sri Mangana, karena sudah waktunya
bertolak ke Demak untuk pernikahannya sang cucu Jayalelana dan
Bratalelana, hair ini dipersilahkan berangkat kecuali Pangeran Kuningan dan
Dipati Suranenggala untuk tunggu kraton.” Kanjeng Sunan berkata pula:
“Putraku Jayalelana, Bratalelana, aku memberi ingat, peganglah sebagai
peringatan untuk selama-lamanya, nanti kalau engkau sudah berada di
Demak, hormatilah sang mertua, mengabdilah yang patuh, yang mengerti
berhati-hati, yang benar laku lampah (jalan, cara) (laku palampahan =
hadiah seorang jajaka kepada kekasihnya) engkau dan hati-hati janganlah
engkau meringankan ibadah beramallah kebajikan dan pada berbaiklah
dengan kawan-kawan engkau semua dan hati-hati janganlah engkau
mambanyakkan makan tidur, kurang baik orang yang senantiasa bangun
siang dan tidur pada waktu Subuh itu apes/sial wataknya, kalau masih ingin
tidur diperboleh tidur lagi pada waktu bakda Zhuhur, tapi jangan melewati
waktu Ashar itu kurang baik pribawanya, janganlah oleh karena
beranggapan engkau adalah berkedudukan sebagai putra mertua jadi Ratu,
yang ingat selamanya orang tua.” Sang Purba berdua sudah menerima
dawuhnya (nasehat) Sang Rama, berhatur akan mematuhinya.

Segera Jeng Sunan bertolak ke Demak bersama sang putra berdua diiring
oleh Ki Kuwu Cirebon dan Syekh Magrib, Syekh Bentong, Syekh
Majagung, Syekh Lenahabang, pula Gedeng Jatimerta, Gedeng Bungko dan
yang membawa lamaran meron yang layak sebagai lamarannya raja.

Diceritakan Yang Sinuhun Kanjeng Sultan Demak, sedang mengadakan


riungan di Sittinggil bersama patih Danureja dan Tumenggung Kertanegara.
Berkata Sultan Demak: “Patih Danureja karena aku pekan depan akan
menikahkan putraku, Ratu Pulung dan Ratu Nyawa dapat jodoh dengan
putra Cirebon, sekarang umumkanlah kepada para abdi Dalem untuk
membikin riasan dan menyediakan penginapan yang layak dan semua
tetabuhan dan riasan yang indah dan mengadakan baris upacara yang
lengkap dan kendaraan yang sentosa perjalanannya orang yang mempunyai
karya, hati-hati jangalah ada kekurangan.”

Kiyan Patih berhatur sandika, segera bertindak. Ki Tumenggung lalu


mengumumkan kepada semua para abdi Dalem, Ki Panghulu sekaumnya,
pengobengnya sudak siap bekerja, blandongan, warna-warni riasan sudah
diselenggarakan semua tetabuhan sekati, lokananra dan polog selendro dan
blangbang Susuhanan Cirebon, kedua penganten diiring oleh Syekh
Lemahabang dan Syekh Magribi, Syekh Majagung, Syekh Bentong dan
Pangeran Cakrabuana dan Gedeng Jatimerta, Gedeng Bungko pula seluruh
lamaran sudah diterimakan dan setelah datang pada malam Juma;ah kedua
penganten lalu nikah. Berkata Sunan Kali: “Oleh karena berbesan Ratu
Awliya apakah mas kawinnya.” Sunan Cirebon dan Sultan Demak
menyerahkan perihal mas kawinnya sebagaimana yang jadi layaknya.
Berkata Sunan Kali: “Mas kawinnya Pangeran Jayalelana adalah potong
dakar, adapun mas kawinnya Pangeran Bratalelana adalah perang sabil.”

Jeng Sunan mufakati lalu penganten nikah. Sultan Demak pribadi yang
menukahkan. Sebakdanya nikah penganten lalu diarak berkeliling di alun-
alun Demak. Dengan keramatnya Sunan Jati arak-arakan penganten tidak
terasa berkeliling hingga datang di praja Telaga, namun seluruh orang yang
mengiring masih merasa berada di alun-alun Demak.”
Diceritakan orang praja Telaga geger panik Ki Demang Telaga menghadapi
sambil mengucap: “Hai penganten siapa berkeliling di alun-alun Telaga,
pengiringnya tidak wajar memakai upacaranya Ratu membikin kaget kepada
pembesar Telaga, menjadikan onar, dapat izin dari siapa?” Orang Demak
menjadi heran sekali pada bingung hatinya karena berada di tanah Pasundan.
Ki Demang berkata tetapi seorang pun tidak ada yang menjawab (oleh
karena tidak mengerti bahasa Sunda), Ki Demang segera mengamuk. Orang
Demak jadi geger. Segera Tumenggung Kertanegara maju. Ki Demang
Telaga ditusuk lambungnya robek. Pangeran Arya Salingsingan (putra
mahkota Telaga) keluar dari kraton Telaga sambil memegang tumbak kaki
Cuntangbarang karena Ki Demang digegerkan mati, lalu Jeng Pangeran
mengamuk. Orang Demak pada bubar. Ki Tumenggung Kertanegara lari
jatuh bangun kena pribawanya tumbak menyala-nyala bagaikan api, panas
yang pribawa, seorangpun tidaj ada yang berani dekat. Tidak lama lalu
datanglah Sunan Jati Purba, Arya Salingsingan segera jatuh lumpuh di
hadapan Jeng Sunan, menghaturkan tobat, memohon ampun seribu ampun.
Berkata Jeng Sunan: “Rama anda di mana, Prabu Pucukumun, sekarang mau
aku Islamkannya.” Menjawab Sang Salingsingan: “Adapun Jeng Rama
Prabu ada si dalam pura/kraton semoga berkenan sampeyang Dalem datang
ke dalam pura.” Jeng Sunan segera memasuki kraton. Prabu Pucukumun
segera bersembunyi di dalam bumi. Berkata Jeng Sunan: “Arya
Sulingsingan, Rama anda menghilang sekarang ada di mana?” Menajwab
Arya Salingsinga: “Abdi Dalem tidak mengetahui persembunyiannya Rama
Prabu.” Segera Sunan Jati menangkap Sunan Telaga dari dalam bumi, lalu
berkata: “Hai Arya Salingsingan, ini bukan Rama anda Sunan Pucukumun
yang aku tangkap dan mau memeluk agama Islam atau tidak.” Lalu
menjawab Sang Prabu Telaga: “Hamba mau masuk Islam, menghadap lahir
batin dan hamba menghaturkan keris pusaka yang bernama Kaki Naga Dawa
dan anak perempuan hamba Nhay Candi.” Arya Salingsingan berkata: “Juga
abdi Dalem menghadap lahir batin, semoga diterima tumbak Kaki
Cuntangbarang.” Jeng Sunan segera menerima tumbak dan keris (lambang
negara Telaga) dan putri itu. Segera Sang Putri Cayadi dinikahkan dengan
Pangeran Jayalelana, masyarakat Telaga lalu masuk Islam.

Jeng Sunan Jati bersama Pangeran Jayalelana dan arak-arakan penganten


lalu pulang kembali ke Demak, Arya Salingsingan turut mengiring.

Adapun Ratu Mendapa saudari muda Sunan Telaga melolos dari kraton mau
bertapa, seterusnya disebut Indang Leuwih Panas (Tanduran gagang) di Batu
Ruyuk, oleh karena Ratu Mendapa tidak mau memeluk agama Islam, yang
nantinya nafsu pembalasan dendamnya menjelma jadi penjajah Belanda.

43. MEMBICARAKAN ILMU TANPA TEDENG ALING-ALING

Diceritakan di Demak kedua pasang penganten sudah dijejerkan di


pelamina, kemudian tamu-tamu undangan berturut-turut sudah bubar, sambil
membawa berkatnya masing-masing. Adapun para Wali sedang mengadakan
riungan di dalam masjid Demak, Sunan Cirebon, dan Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Kali, Sunan Kudus, dan Syekh Majagung, Syekh Bentong,
Syekh Lemahabang, Syekh Magribi, seluruh para Wali sanga berembug
untuk bermusyawarah ilmu membuka yang tersembunyi, tapi tidak dengan
tedeng aling-aling, para Wali mufakat karena di antara kawan. Lalu berkata
Sunan Jati: “Adapun Allah itu adalah Yang Wujud Hak.” Berkata Sunan
Giri: “Allah itu adalah jauhnya tanpa batas, dekatnya tanpa rabaan.” Berkata
Sunan Bonang: “Allah itu adalah tidak warna tidak rupa tidak arah tidak
tempat tidak bahasa tidak suara wajib adanya muhal (tidak mungkin)
tiadanya.” Berkata Sunan Kali: “Allah itu adalah umpamanya Dalang
melakinkan wayang.” Syekh Magribi berkata: “Allah itu adalah meliputi
kepada segala sesuatu.” Berkata Syekh Majagung: “Allah itu adalah bukan
di sana bukan itu tetapi ini.” Berkata Syekh Bentong: “Allah itu adalah
bukan di sana sini ya inilah.” Berkata Syekh Lemahabang: “Allah itu adalah
keadaanku, kenapa kawan pada memakai tedeng.” Berkata Sunan Kudus:
“Jangan suka terlanjur bahasa menurut pendapat hamba adalah Allah itu
tidak bersekutu dengan sesama baharu.”

Tidak lama lalu datanglah Sultan Demak dan Ki Patih beserta Ki Penghulu.
Lalu para Wali segera pada bubar. Segera para Wali meneruskan
mengadakan riungan di gunung Ceremai datang sudah dan berkumpul.
Berkata Syekh Lemahabang: “Marilah kawan pada kita selesaikan
membicarakan ilmu yang samapi terang, tapi janganlah memakai
kedok/topeng.” Disetujui oleh seluruh para Wali. Lalu berkata Sunan Purba:
“Tidak ada lain Pangeran/Ilahi melainkan Allah.” Berkata Sunan Giri:
“Tidak ada lainnya yang wujud melainkan Allah.” Berkata Sunan Bonang:
“Allah itu adalah sirna pada ada.” Berkata Sunan Kali: “Barangsiapa
mencari Pangeran maka lain dari tubuhnya jadi yang lebih jauh.” Berkata
Sunan Kudus: “Barangsiapa tahu kepada tubuhnya, maka tahu kepada
Pangerannya. Berkata Syekh Magribi: “Allah itu adalah tidak sebadan tidak
senyawa, tunggal tan tunggal.” Berkata Syekh Majagung: “Allah itu adalah
Asma nyatanya yang ada.” Berkata Syekh Lemahabang;
“Anna/Sesungguhnya aku Hak illallah pun tiada wujud dua, nanti Allah
sekarang Allah, tetap zhahir batin Allah kenapa kawan masih memakai
gegedong/tedeng aling-aling, tidaklah membicarakan ilmu telah saling
berjanji membuka yang tersembunyi.” Berkata Sunan Kudus: “Memang
benar, tetapi Sang rama janganlah terlanjur bahasa kurang seyogya menurut
hukum.” Berkata Syekh Lemahabang: “Hukum siapa yang punya kenapa
kawan tadinya pada berjanji.” Lalu Jeng Sunan Jati menghendaki
mengadakan riungan di dalam masjid Agung Cirebon, para Wali
menyetujuinya.

44. PENGADILAN WALI SANGA JAWADWIPA DI DALAM MASJID


AGUNG CIREBON

Segera para Wali bubar seterusnya dating sudah di dalam masjid Agung
Cirebon, hanya seorang Wali yang tidak mau turut berkumpul di dalam
masjid, ialah Syekh Lemahabang yang berdiam di rumahnya. Berkata Sunan
Jati, “Kawan kita kurang seorang, Syekh Lemahabang yang berselisih
paham munkin menjadi hati, baik kawan kita undangnya.”

Berkata Sunan Jati, “Syekh Khatim, anda aku utus untuk mengaundang raka
Syekh Lemahabang supaya lekas dating bersama anda.” Ki Khatim berhatur
sandika, lalu pamit dating sudah di hadapan Syekh Lemahabang. Segera Ki
Khatim berhatur tahu. “Hamba diutus oleh rayi/adik Paduka Sunan Kali,
supaya paduka berkenan datang di masjid Agung, sudah ditunggu oleh para
saudara Dalem.” Berkata Syekh Lemahabang, “Tidak ada Syekh
Lemahabang tapi Allah yagn ada, lekaslah pulang anda Khatim,” Ki Khatim
segera pamit, datang sudah di hadapan para Wali, segera ia hatur bertahu,
“Adapun raka dalem Syekh Lamahabang tidak mau dating, karena ucapanya,
tidak ada Syekh Lemahabang tapi Allah yang ada. “Berkata Sunan Kali,
“Anda kembalilah lagi undanglah Allah. Syekh Lemahabang seyogya
teriring.” Ki Khatim lalu pamit, datang sudah di hadapan Syekh
Lemahabang. Segera Ki Khatim hatur bertahu, “Ya Allah, semoga berkenan
datang sudah ditunggu oleh para Wali, semoga lekas sekarang juga.
“Berkata Syekh Lamahabang, “Tidak ada Allah, tetapi Syekh Lemahabang
yang ada, dan masakah Allah kena diungang oleh anda.”
Ki Khatim segera pamit datang sudah di hadapan para Wali, ia segera hatur
bertahu, “Menurut perkataan raka dalem, tidak ada Allah tetapi Syekh
Lemahabang yagn ada, dan masakah Allah kena diundang oleh anda.”
Berkata Sunan Jati, “Para saudaraempat orang seyogya mau menjemput
Syekh Lemahabang supaya bias teriring, ialah Syekh Magribi, Syekh
Majagung, Syekh Bentong dan Sunan Kudus.” Segera mereka pamit datang
sudah di hadapan . Berkata Syekh Lemahabang sambil ketawa, “Selamat
datang para saudara, tergesa-gesa kedatanganya seperti ada perlu yang
penting.” Berkata Syekh Magribi, “Sang Raka diutus oleh Sunan Purba, rayi
diundang berkumpul di dalam masjid Agung selekasnya sekarang jura
bersama-sama dengan kami Wali empat orang.”

Syekh Lemahabang lalu turut bersama para Wali yang empat itu datang
sudah di hadapan Sunan Purba di dalam masjid Agung. Berkata Syekh
Lemahabang, “Bagaimana kehendak Paduka karena bertubi-tubi datangnya
undangan itu. “Berkata Sunan Purba, “Adapun sang raka berkali-kali
diundang karena kosong kurang seorang untuk membicarakan ilmu
membuka yang tersembunyi.” Dijawab, “Dari tadi juga sang raka mohon
antar kawan untuk membuka i’tikad sejatinya, kawan masih memakai
gegedeng.” Berkata Sunan Kudus: “Memang benar perkataan sang rama,
tetapi janganlah terlanjur bahasa.” Berkata Syekh Lemahabang: “Tidak
merasa terlanjur bahasa, sekecap pun tidak.”

Berkata Sunan Bonang: “Sekarang kawan pada kita mulai lagi


membicarakan membuka i’tikad sejati, tetapi janganlah pada memakai
hijab.” Para Wali mufakat.

Segera Sunan Jati berkata: “Allah itu adalah sah Dzat ShifatNya.” Berkata
Sunan Giri: “Allah itu adalah bingung karena mudahnya.” Berkata Sunan
Bonang: “Allah itu adalah tidak bersama tidak di luar tidak di dalam, bersih
tidak kecampuran.” Berkata Sunan Kali: “Allah itu adalah mengganti tidak
mengganti tapi menggati kepadaNya.” Berkata Syekh Magribi: “Allah itu
adalah tauhid tan tunggal.” Berkata Syekh Majagung: “Allah itu adalah lebih
ketimbang hitamnya mata.” Berkata Syekh Bentong: “Allah itu tidak dekat
tidak jauh.” Segera Syekh Lemahabang: “Allah itu adalah nyatanya aku
yang sempurna yang tetap di dalam zhahir batin.” Berkata Sunan Kudus:
“Sang Rama senantiasa mengumbar bahasa, apakah tidak takut kepada
hukum?” Syekh Lemahabang menjawab: “Hukum apa yang aku takuti,
walaupun sibunuh sang Rama tameng dada i’tikad yang abadi tidak boleh
berubah, sebab menyatakan adanya Allah nanti Allah sekarang Allah.”
Sunan Kudus segera berkata: “Kanjeng Rama Sunan Jati, bagaimana
hukumnya orang yang mengaku Allah. Syekh Lemahabang hingga utama
mengaku Rabbil a’lamin.” Sunan Jati segera memberikan keris Kaki Kanta
Naga lalu Sunan Kudus menerima sasmitanya. Segera Syekh Lemahabang
ditusuk bergenjrang tidak mempan, para Wali pada ketawa: “Ada Allah
keras seperti batu.” Lalu berkata Syekh Lemahabang: “Ayolah Sunan Kudus
tusuklah aku lagi.” Lalu Syekh Lemahabang ditusuk lagi hingga dalam karis
memasuki tubuhnya karenanya keluar darah merah. Para Wali berkata
sambil bersorak: “Ada Allah keluar darah merah seperti kambing.” Lalu
berkata Syekh Lemahabang: “Sunan Kudus, ayo tusuklah aku lagi.” Lalu
ditusuk lagi Syekh Lemahabang mengeluarkan darah putih. Para Wali
berkata sambil ketawa: “Ada Allah keluar darah putih seperti cacing.” Lalu
berkata Syekh Lemahabang: “Ayolah SunanKudus tusuklah aku lagi.” Lalu
ia ditusuk lagi segera Syekh Lemahabang menghilang tidak terlihat
wujudnya. Para Wali berkata dambil ketawa: Ada Allah wujudlah hilang
seperti setan.” Syekh Lemahabang lalu memperlihatkan diri terlentang
seperti orang mati. Berkata Para Wali sambil bersorak-sorak: “Ada Allah
matinya seperti kayu.” Segera Syekh lemahabang menjadi kecil sekuncup
kembang melati, dan ada suara yang terdengar mengawang: “Sunan Jati dan
para Wali, kelak pada akhir jaman ada kebau bule mata kucing yang
mendarat dari laut itulah yang akan menumpas/menjajah turunannya.”

Berkata Sunan Jati: “Ini ada suara yang tidak enak akan menjadi kenyataan
pada akhitnya,” lalu membaca du’a supaya anak cucunya (rakyat Cirebon,
pulau Jawa, Indonesia pada umumnya) seterusnya selamat sehat walunya
mulya terhindar daripanca bahaya. Lalu diperintahkan selekasnya jenazah
(????? Sekuncup kembang melati itu?) Syekh Lemahabang disucikan,
sebakdanya disucikan lalu disalatkan lalu jenazahnya dibawa untuk
dikuburkan, tapi di tengah jalan digubed/dihalangi dua orang penakawan
Syekh Lemahabang sambil berkata: “Hamba Allah besar, yang seorangnya
lagi hamba Allah kecil.” Segera kedua penakawan itu dibunuh pula, lalu
dikubur di samping jalan sebelah kanan dari arah Cirebon seterusnya disebut
Astana gobed karena mengubed/menghalang halangi lajunya usungan
jenazah. Segera usungan jenazah dibawa menyebrang sebuah sungai ke
sebelah kiri jalan ke arah utara, lalu di suatu tempat usungan jenazah itu
berhenti, seteursnya jenazah itu dikubur cuma sebesar kuncup kembang
melati baunya harum mewangi, seterusnya jadi disebut Astana Pamlaten
karena jenazah Syekh Lemahabang cuma sebasar kuncup kembang melati
(sekarang kuburannya masih ada).
Seluruh para Wali pengiring setelah menguburkannya lalu pada pulang ke
rumahnya masing-masing pada hari Rabu pertama bulan Sapar tahun 1529
M. kalawaktu wafatnya Syekh Lemahabang (menurut satu kaol (riwayat)
lain kejadian ini adalah pada tahun 1506 M.)

Berkata Penghulu Kalamuddin: “Biarpun Wali kalau salah i’tikadnya pasti


dihukum mati.” Menjawab Ki Khatim: “Apakah Syekh Lemahabang itu
salah i’tikadnya hingga sampai dihukum mati?” Ki Kuwu Cakrabuana lalu
menoleh ke belakang sambil membegis (memperingatkan dengan keras):
“Hai Penghulu dan engkau Khatim, janganlah kalian berani menyalahkan
i’tikadnya para Wali mungkin kalian terkena sesiku, walaupun aku tidak
berani, sebab belum datang kepada derajatnya Awliya, hati-hati kalian
janganlah usil, sebab yang bisa menyalahkan salah seorang Wali itu bukan
bersengketa akan tetapi mengadakan kesenangan.” Lalu seluruh yang
bercakap-cakap itu pada bungkam.

45. SUNAN JATI PURBA SALAT HAJAT MENDU’AKAN ANAK


CUCU/RAKYAT INDONESIA

Adapun Sunan Cirebon sudah bersemayam di dalam kraton Pakungwati


akan tetapi tidak merasa wnak hatinya, merasa perkataan Syekh
Lemahabang itu sidik (benar), karena teringat kepada suaranya kendi pertula
kalawaktu diminum airnya, ialah kelak di akhir zaman anak cucu Paduka
ada yang menjajah hingga negaranya terjajah. Segera Jeng Sunan salat hajat
memohon kelak anak cucunya/rakyat Indinesia semoga merdeka kembali
jangan sampai ditimpa sengsara besar. Sebakdanya salat lalu ada sebuah
keris terletak di pangkuan Jeng Sunan, lalu beliau keluar sambil membawa
keris itu dan siberi nama Kaki Jimat Pasalatan, keirs dapur jalak, besinya
Malela Gagak, Jeng Sunan lalu memerintahkan kepada para Mpu tujuh
disuruh membikin keris tujuh buah. Segera para Mpu pada melaksanakan.

Antara satu tahun kemudian selesailah sudah, jadi tujuh buah keris, masing-
masing diberi nama Kaki Panuding, Kaki Langlang Kewu, Kaki Kunci, Kaki
Kalabrama, Kumendung, Samber Nyawa dan Panuwek. (Para Mpu
setelahnya diperintah lagi untuk membikin beberapa duplikatnya keris-keris
itu).
Diceritakan dua puluh satu orang anak-anak gembala kerbau panakawan Ki
Syekh Lemahabang yang telah dihukum mati berikut dua panakawan kepada
anak-anak gembala kerbau itu, karenanya anak-anak gembala kerbau itu
tidak ada yang mengurus menangis siang malam menjerit-jerit gelasahan.
Segera Sunan Kali memberi makan kepada anak-anak gembala itu,
sebakdanya lalu caos/menghadap kepada Sunan Cirebon, datang sudah di
hadapannya. Sunan Kali lalu berhatur kata: “Harap menjadi tahu Dalem
karena anak-anak gembala kerbau dua puluh satu orang banyaknya
penakawan Syekh Lemahabang sekarang menangis siang malam menjerit-
jerit karena tidak ada yang mengurus mungkin lama kelamaan bisa menjadi
gara-gara kurang baik kepada negara Dalem, akan tetapi kalau mereka
dibaiki dan diberi pangan bisa menjadikan kesejahteraan para rakyat dan
pada pembesar karenanya menjadikan sentosanya negara, sebab lekas kabul
du’anya anak-anak itu.”

Berkata Sunan jati: “Rayi, itu anak-anak gembala seyogya diurus sandang
pangangnya, dan tiap Juma’ah suruh datang di mesjid Agung dan tiap bulan
Sapar hari Rabu keliling di dalam kota sambil memuji selamat panjang
umur, oleh karena kalawaktu meninggal Syekh Lemahabang itu pada hari
Rabu pertama bulan Sapar.”

Jeng Sunan Kali lalu keluar mengumumkan kepada anak-anak gembala


kerbau itu. Yang Sinuhun Jati segera memanggil Ki Penghulu dan Ki Patih
datang sudah di hadapannya. Berkata Jeng Sunan: ‘Umumkanlah kepada
masyarakat, apabila pada hari Rabu bulan Sapar ada anak-anak gembala
berkeliling memuji selamat panjang umur itu pada bertawurlah uang
sekuasanya atau nasi atau spem, sungguh bahaya terlaksana sepemujinya
anak-anak dan anda penghulu umumkanlah kepada kaum, para modin, para
jemaah, apabila pada hari Jum’ah ada anak-anak gembala datang supaya
seluruh kalau kuasa jangan menolak, sebab jadi pengruating bala/penangkal
yang berada dimesjid itu pada sukalah semua jangan menolak kepada
permintaannya kalau pada punya.” Ki Penghulu dan Ki Patih segera
mengumumkan sebagaimana diperintahkannya oleh Kanjeng Gusti. Segera
mereka pada melakukannya.

46. PANGERAN PASEH MLEBU/MASUK GURU KEPADA SUNAN


JATI PURBA, PANGERAN SEDANGLAUTAN DIBUNUH OLEH
BAJAK LAUT.
Diceritakan seorang putra Paseh yang bernama Fadhilah pula di sebut orang
agung Paseh, pula disebut Maulana Fadhilah Khan, pula disebut Faletehan
yang baru datang menghendaki berguru kepada Jeng Maulana Hidayatullah,
membawa penganut enam puluh orang, hartanya sekapal beramal membagi-
bagikan sedekah kepada fakir miskin menuju ke dalam masjid Agung
Cirebon pada tahun 1524 M. Jeng Sunan sudah menemuinya. Pangeran
Paseh sudah diberi wejangan sejatinya syahadat. Sang Pangeran Paseh lebih
setia tahu menginap di dalam masjid Agung sementara waktu Jeng Sunan
Jati berkenan menikahkannya dengan seorang putrinya bernama Ratu Ayu,
segera pernikahannya telah dilaksanakan.

Diceritakan di praja Demak menantu Dalem Pangeran Bratalelana sedang


berada di taman bersama dua orang panakawan, karena sang raka Pangeran
Jayalelana sudah memenuhi mas kawinnya ialah potong dakar, sebakdanya
lalu pergi bertapa, menjadikan Jeng Pangeran Bratalelana tidak kerasan
menetap dalam kraton, segera kelaur ingin pulang ke Cirebon, lalu
berkendaraan perahu bersama kedua panakawannya berangkat terus
perjalananannya menelusuri pinggir pantai sambil berdayung antara tujuh
hari tujuh malam di tengah perjalanan dibanding oleh bajak laut dua kapal,
perahu digandeng sudah dan hendak dirampas barang-barang seisinya
perahu dan pakaian yang sedang dipakai sang Pangeran, ia lalu ingat kepada
mas kawin istrinya yang belum dibayar, karena mas kawinnya itu perang
sabil. Jeng Pangeran bertekad mengamuk, kerisnya dihunus akhirnya bajak-
bajak yang sekapal sudah tertumpas, yang sekapal lagi pada bubar, sebagian
bersembunyi di dalam air dan yang sebagian lagi di dalam kapal masing-
masing mencari hidup. Jeng Pangeran dan panakawan sudah menduduki
kapal bajak laut. Oleh karena kelelahan Jeng Pageran dan kedua
panakawannya pada malam harinya tertidur.

Diceritakan seorang bajak yang bersembunyi di dalam kapal lalu keluar


karena sudah larut malam, ia melihat Sang Satria sedang lelap tidur lalu
pedangnya dicabut segera disabetkan kepada Sang Pangeran. Sang Pangeran
lalu wafat, kedua panakawannya lalu terjun ke air membawa duyung. Tidak
lama bajak-bajak yang pada bubar datang lagi, lalu jenazahnya Sang
Pangeran sibelenggu lalu dibuang ke laut, timbul tenggelam jenazahnya itu
bercahaya teja anguwang (bersinar seperti pelangi). Segera kedua
panakawan itu mendekatinya dan dimabilnya sudah, tidak lama lalu Ki
GedengMundu yang kebetulan sedang menebar jalan melihat ada teja
anguwung segera didekatinya. Segera panakawan pada berteriak, minta
tolong, cepat Ki Gedeng lalu mengangkat jenazah Sang Pageran dibawa
bersama panakawannya terus pulang mendarat sudah di pantai Mundu lalu
dibawa caos/menghadap ke Cirebon datang sudah di hadapan Sunan
Cirebon. Adapun Ki Kuwu Cirebon, Pangeran Carbon yang meneruskan
jabatannya sebagai Kuwu Cirebon dan Senapati Cirebon.

Jeng Sunan Jati dan Sunan Kali saling merangkul. Segera jenazah disucikan
lalu disalatkan. Pada waktu menyalatkannya Jeng Sunan berfikir, ini anak
masih muda, belum mengetahui ilmu sejati, sekonyong-konyong jenazah
yang sedang disalatkan itu hidup kembali, walunya seperti semula. Segera
Sunan kali berkata: “Bagaimana jenazah putra Dalem hidup kembali
mungkin rasa kurang rela?” Berakta Jeng Sunan : “Iya betul dari terharunya
dalam hati dan anak ini belum menerima ilmu sejati, saya merasa ia kurang
sempurna matinya.” Jeng Sunan segera mewangsitkan sejatinya ilmu
kesempurnaan, sang putra sudah menerima ilham dengan izin Allah. Lalu
berkata Sunan Kali: “Bratalelana utama hidup di akhirat jadi Ratudi
Kasuwargan memangku sebanyak para bidadari dan sudah sempurna untuk
mas kawin anda yang tadi sudah mati, sekarang baik mati kembali.” Jeng
Pangeran lalu mati kembali. Sunan Kali lalu menyucikannya, para kaum,
ketib, modin, dan Ki Penghulu sudah menjalankan tugas dan sebakdanya
lalu disalatkan. Jeng Sunan tidak mau menyalakannya hanya mewakilkan
kepada Sunan Kali.

Setelah diisalatkannya Gedeng Mundu segera memohon: “Duhai Gusti,


hamba mohon ampunan Dalem, semoga putra Paduka jenazahnya dimohon
dikubur di daerah Dalem di Mundu, dimohon sebagai pusaka bagi
masyarakat Mundu.”

Jeng Sunan Jatilalu memberi izin. Segera jenazah Pangeran Bratalelana


dibawa ke Mundu, lalu dikuburkannya sudah, seterusnya disebut Pangeran
Sedanglautan. Setelah usai Sunan Jati berkata: “Raka Pangeran Carbon dan
Rayi Kadilangu sekarang lekas berangkat ke Demak memberi tahu kepada
Rayi Sunan Benara bahwa sang putra Bratalelana sudah meninggal dan
jandanya ialah Ratu Nyawa semoga dinikahkan dengan Dipati Moh.
Arifin/Pangeran Pasarean.” Sunan Kali dan Pangeran Carbon sudah
menerima perintah, segera pamit meneruskan perjalanan lalu datang sudah
di Demak.

Diceritakan Kanjeng Sultan Demak yang sedang geger karena kedua


menantu Dalem itu hilang dan seluruh pada pembesar dan masyarakat
Demak sedang geger resah. Tidak lama kemudian datanglah Sunan Kali dan
Pangeran Carbon, datang sudah di hadapan Sunan Bentara yang sedang
kehilangan kedua menantunya. Segera Sunan Kali hatur beritahu: “Semoga
jadi pengetahuan Dalem, Si rayi diutus oleh Sunan Cirebon karena mantu
Dalem Sang Bratalelana sudah meninggal sempurna, Sang Sedanglautan
terbunuh oleh bajak laut, maka daripada itu harap raka tidaklah menjadi
sedih, karena mantu Dalem sudah memenuhi mas kawinnya ialah perang
sabil dan permintaan raka Dalem, Sunan Jati, Sang Putri Ratu Nyawa
semoga dinikahkan dengan Pangeran Dipati Moh. Arifin, agar jangan
menjadikan kecewa dalam hati dimohon untuk keturunan sebagai pertalian
persaudaraan antara Cirebon dan Demak.” Sunan Demak lalu menyetujui,
Ratu Nyawa siperintah caos ke Cirebon sibarengi dengan putra Pangeran
Dipati Sebarng Lor dan Arya Kenduruan dengan dibekali keris Kaki
Embilang tabuhan sekati dan selendro, dan wayang kulit sekotak, emas picis
empat meron/wadah, baju kain dan sebagainya dua dondang dan upacara
wadyanya seratus orang. Sunan Demak sudah wakil kepada Sunan Kali
untuk menikahkannya. Sunan Kali dan Pangeran Carbon lalu mohon pamit.
Ratu Nyawa dan Dipati Sebrang Lor sudah diiring oleh wadya Demak terus
bertolak ke Cirebon.

Antara pertengahan bukan Sunan Kali dan Ratu Nyawa dan rombongan
sudah datang di Cirebon. Sunan Purba bersuka cita. Berkata Sunan Kali: “Si
rayi diutus berkah Dalem sudah terlaksana dan menghaturkan permintaan
Dalem, Ratu Nyawa semoga diterima, rayi Dalem Sunan Demak
menyerahkan dan menghaturkan keris, gamelan sekati, wayng kulit berikut
gamelannya dan emas picis beserta kain-kain dan upacara dengan
karyawannya seratus orang semoga diterima sebagai pembawaan Ratu
Nyawa dan sebagai wakil rayi Sultan Demak untuk menikahkannya adalah
si rayi dan Pangeran Dipati Sebrang Lor dan Arya Kenduruan yang
diperintahkan caos/menghadap karena rayi Dalem Sunan Demak tidak bisa
datang.” Sunan Jati sudah menerimanya, antara hari lalu Pangeran Dipati
Moh. Arifin menikah. Sunan Kali yang menikhkan pada tahun 1531 M.
Pangeran Dipati Moh. Arifin sudah jadi satu dengan Ratu Nyawa. Setelah
selesai Sunan Cirebon mempunyai karya Pangeran Dipati Sebrang Lor
dipanggil oleh Jeng Sunan Jati menerimakan sepucuk surat untuk rayi Sunan
Bentara. Pangeran Dipati Sebrang Lor, Arya Kenduruan telah menerima
surat itu segera mohon pamit kemudian bertolak pulang ke praja Demak
dengan diiring wadya Demak.
47. CATATAN

1. Mubaligh-mubaligh Besar Islam pionir yang pertama-tama mendarat di


Jawa Barat, ialah:

a. Syekh Hasanuddin dari Mekah membangun Pengguron/Perguruan


Islamiyah di Krawang pada tahun 1418 M., yang seterusnya disebut Syekh
Kuro, makamnya hingga sekarang masih ada di Krawang. Beliau adalah
Rama Guru dari permaisuri Nay Subanglarang, ibunda dari Raden
Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana dan adiknya, Nay Rarasantang
(ibunda Sunan Gunung Jati Cirebon), putra putri mahkota dari negara
Pejajaran.

b. Syekh Idhofi/Syekh Datuk Kahfi dari Baghdad berasal dari Mekah


membangun Pengguron Islamiyah di Gunung Jati Cirebon pada tahun 1420
M., yang seterusnya disebut Syekh Nurjati, makamnya hingga sekarang
masih ada di gunung Jati Cirebon bersama makam seorang muridnya
bernama Syekh Datuk Khafid. Beliau adalah Rama Guru dari Pangeran
Cakrabuana, Nay Indanggeulis (istri Pangeran Cakrabuana), Nay
Rarasantang dan Sunan Gunung Jati.

2. Silsilah Sunan Ampel Dhenta, Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah


dan Maulana Fadhilah Khan/Faletehan.

Nabi Muhammad s.a.w.

1. Siti Fatimah binti Muhammad s.a.w. + Sayidina Ali bin Abi Thalib r.a.
2. Husain as-Sabti
3. Zainal Abidin
4. Muhammad al-Baqir
5. Jafar Shadiq
6. Kasim al-Kamil (Ali al-Uraidi)
7. Muhammad an-Naqib (Idris)
8. Isa al-Basri (al-Baqir)
9. Ahmad al-Muhajir
10. Ubaidillah
11. Muhammad
12. Alwi
13. Ali al-Gazam
14. Muhammad
15. Alwi Amir Faqih
16. Abdul Malik
17. Abdullah Khan Nudin (Amir)
18. Al-Amir Ahmad Syekh Jalaluddin
19. Jamaluddin al-Husein: a.
b.
c.
a. 20. Ali Nurul Alim
21. Syarif Abdullah (Sulatan Mesir)
22. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati/Sunan Cirebon)
23-1. Pangeran Pesarean (Putra mahkota Cirebon)
23-2. Pangeran Sebakingkin (Sultan Banten Hasanuddin)
b. 20. Berkat Zainal Alim
21-1. Abdul Gafur
21-2. Ahmad Zainal Alim
22-1. Mahdar Ibrahim
22-2. Abdurrahim Rumi
23-1. Fadhilah Khanal Paseh al-Gujerat/Falatehan
23-2. Syarif Syam/Syekh Magelung
24. Ratu Gandasari/Nyi Mas Panguragan
c. 20. Ibrahim Zainal Akbar
21-1. Ali Rahmatullah (Sunan Ampel)
21-2. Ali Musada
22-1. Sunan Bonang
22-2. Maulana Ishak
23-1. Sunan Drajat
23-2. Sunan Giri

3. Silsilah Syekh Lemahabang (Syekh Siti Jenar)

Nabi Muhammad s.a.w.

1. Fatimah az-Zahra + Sayidina Ali r.a.


2. Sayid Husain as-Sabti
3. Zainal Abidin
4. Muhammadal-Baqir
5. Jafar Sadiq
6. Kasim al Kamil (Ali al-Uraidi)
7. Muhammad an-Naqib (Idris)
8. Isa al-Basri (al-Baqir)
9. Ahmad al-Muhajir
10. Ubaidillah
11. Muhammad
12. Alwi
13. Ali al-Gazam
14. Muhammad
15. Alwi Amir Faqih
16. Abdul Malik
17. Abdullah Khan Nudin (Amir)
18-1. Al-Amir Ahmad Syekh Jalaluddin
18-2. Syekh Qadir Kaelani
19-2. Syekh Datuk Isa menetap di Malaka
20-2. Syekh Datu Soleh
21-2. Syekh Datuk Abdul Jalil/Syekh Lemahabang/Syekh Jabaranta/Syekh
Siti Jenar.

4. Identitas Pengguron Caruhan Krapyak Kaprabonan Cirebon Sunan


Gunung Jati:

1. Pangeran Pasarean
2. Pangeran Dipati Carbon
3. Panembahan Ratu
4. Panembahan Dipati Anom Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Anom Muhammad Badridin Kanoman
7. Pangeran Raja Adipati Kaprabon Kanoman
8. Pangeran Kusumawaningyun
9. Pangeran Brataningrat
10. Pangeran Raja Sulaiman Sulendraningrat
11. Pangeran Aripudin Kusumabratawirja
12. Pangeran Adikusuma
13. Pangeran Moh. Apiah Adikusuma (adik Pangeran Angkawijaya dari lain
Ibu)
14. Pangeran Sulaiman Sulendraningrat
5. Berdirinya Kesultanan Banten dan Perang dengan Portugis di
Sundakelapa

Pada kalawaktu Susuhunan Jati Purba mengadakan sidang di dalam


balairung kraton Pakungwati Cirebon pada tahun 1526 M., dihadiri oleh para
pembesar negara, para Wali dan para Senapati negara Caruban/Cirebon,
datanglah balatentara Demak yang dipimpin oleh Panglima Besar
Fadhilah/Falatehan. Susuhunan Jati bersuka cita kedatangan seorang
menantinya orang agung Pasai yang “otot kawat balung wasi” (orang kuat
gagah perkasa). Lalu Jeng Susuhunan berkata kepada Ki Fadhilah: “Anakku,
nanti setelah istirahat pergilah anda memimpin tentara Muslim anda semua,
rebutlah negara Banten san Sundakelapa bawahan Pakwan Pajajaran itu,
anda adalah Panglima pertama daripada Senapati-Senapati Demak, kita telah
mendengar warta dari hal akan kedatangannya tentara Portugis ke
Sundakelapa.” Lalu Susuhunan Jati berkata pula kepada Pangeran Carbon
(Panglima Besar Cirebon) dan Dipati Keling: “Kakak dan Dipati Keling,
diutus olehku perglah kalian memimpin balatentara Cirebon berperang ke
Banten dan Sundakelapa bersama Senapati Fadhilah yang menjabat Senapati
pertama dari tentara Islam Demak dan Carbon. Telah lama ada perjanjian
persahabatan antara Pejajaran dan Ki Fadhilah/Falatehan menjawab dengan
horamt: “Sesungguhnya betul perintah Paduka itu, hamba akan mendatangi
negara Banten dan Sundakelapa, perintah ini adalah sama benar dengan
perintah yang hamba telah terima dari kakanda Sultan Demak (Sultan
Trenggono), tidak lain mohon restu Sinuhun agar hamba sekalian rahayu
lulus, Bismillah.”

Setelah itu Panglima dan balatentara mohon pamit dari Susuhunan Carbon.
Sidang lalu bubar, pada hadiran keluar dari balairung kraton Pakungwati
untuk mensiap siagakan tentara perang tentara Carbon dan menggabung
kepada balatentara Demak Gabungan balatentara Demak dan Carbon ini
berjumlah 1,967 orang, kemudian maju jalan menuju Banten. Kalawaktu itu
di Banten sedang ada huru hara perebutan kekuasaan oleh Pangeran
Sebakingkin memimpin para santri militannya dengan pemerintahan Banten
Pejajaran, bertepatan waktunya dengan huru-hara itu berlabuhlah di
pelabuhan Banten tentara gabungan Islam Demak dan Cirebon. Segera
tentara gabungan Islam Demak dan Cirebon itu menggabungkan diri dengan
barisan santri Pangeran Sebakingkin dan menggempur tentara Banten yang
belum Islam. Akhirnya tentara Banten itu menyerah, Bupati Banten dan
panglima-panglimanya lari memasuki hutan ke arah selatan timur menuju
ibukota Pakwan Pejajaran, yang tertinggal di Banten, para pembesar dan
seluruh rakyatnya menakluk kepada Ki Fadhilah dan Pangeran Sebakingkin.
Sedang Sundakelapa ditangguhkan sementara setelah Banten, akan tetapi
masyarakat di sana sebelumnya sudah banyak yang telah diIslamkan oleh
Syekh Amrullah/Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah kalawaktu baru
datang di Jawadwipa. Setelah itu dinobatkanlah Sebakingkin sebagai Sultan
Banten, bergelar Sultan Hasanuddin, oleh ayahanda Susuhunan Jati Purba
yang kedudukannya sebagai Raja Pendeta atau sang Wali seluruh Sunda,
yang bersemayam di Puser Bumi, ialah Cirebon yang seterusnya ibukotanya
disebut Gerage, yaitu berasal dari negara gede di Sunda dengan pengakuan
dari Wali Sanga Jawadwipa.

Setahun kemudian pada tahun 1527 M. tentara gabungan Islam Demak dan
Cirebon sebanyak 1,452 orang dengan panglima-panglimanya. Ki
Fadhilah/Falatehan, Pangeran Carbon, Dipati Keling dan Dipati Cangkuang
(contingen Kuningan) berperang di Sundakelapa. Setelah Sundakelapa
menyerah, kemudian Pangeran Pasai/Ki Fadhilah/ Falatehan diangkat
menjadi Bupati di Sundakelapa oleh Susuhunan Jati.

Tidak lama kemudian berlabuhlah sebuah armada Portugis yang


berperlengkapan alat-alat perang di pelabuhan Sundakelapa yang berasal
dari Pasai yang telah menjadi jajahan mereka. Mereka menyangka masih
pelabuhan Sundakelapa Pejajaran. Beberapa hari kemudian mereka
digempur oleh tentara Islam di bawah komando Panglima Fadhilah dan
Pangeran Carbon. Yang menjadi Panglima dari tentara Portugis adalah yang
disebut bernama Prangka Bule (Fransisco De Sa). Pertempuran berkobar
dahsyat sekali. Dipati Cangkuang mundur ke garis belakang setelah melihat
tentara Portugis membawa alat-alat besar seperti guntur menggelegar
(meriam). Bumi bergoyang seperti kena gempa. Akan tetapi tentara Islam
tidak gentar, bahkan terus menyerbu dan menggempur tentara Portugis.
Akhirnya mereka dikalahkan dan lari tunggang langgang menuju kapal-
kapal layar perangnya. Mereka tercenggang; gemetar ketakutan sangat,
bahkan banyak yang mati. Si Bule tidak berani meneruskan perang. Karena
kalah perang tentara Portugis lalu lari kembali ke Pasai. Sejak itu orang-
orang Portugis kalau melewati pulau Jawa tidak berani dekat ke pantai. Dan
sejak itulah Sundakelapa dialih nama dengan Jayakarta, yang berarti jaya
dan aman sentosa.

Telah dicetak dengan aslinya


Rama Guru
(P.S. SULENDRANINGRAT).

Riwayat Hidup

P.S. Sulendraningrat dilahirkan di Kaprabonan Cirebon tanggal 3 Juni 1914.


Pendidikan yang pernah ia capai HIS Taman Siswa dan HIS Negeri diploma
tahun 1930, ia juga mendapat diploma KAE tahnu 1929.

Kemudian tahun 1933 ia capai tanpa diploma Mulo negeri. Namun rupanya
ia lebih banyak memperdalam perihal keagamaan berkenaan ia hidup di
tengah-tengah lingkungan Pengguron Islam Kaprabonan, ayahandanya
seorang ramaguru besar Tarekat Satariyah, tetapi juga ia pernah memasuki
Pesantren Buntet bidang fikih, nahwu, gramatika, bahasa Arab, dan tafsir al-
Qur’an selama 3 tahun. Ia juga pernah memasuki Pesantren al-Azhar selama
1 tahun untuk memperdalam tafsir al-Qur’an.

Selama 15 tahun ia mendapat gemblengan dan pembinaan ayahanda nya


yang ahli Tarekat dan Tasawuf itu, ia mengkaji dan mendalami ajaran
Tarekat Satariyah, sehingga ia dapat lestari sebagai pelanjut pewaris
leluhurnya. Sampai sekarang ia dikenal sebagai ramaguru Tarikat Satariyah
di Pengguron Caruban Krapyak Kaprabonan Cirebon di samping ia pernah
menjabat pimpinan MU di desanya sambil ia isi pula waktunya dengan
mengikuti kursus bahasa Arab Belanda “Republica” Bandung diploma tahun
1940.

Selanjut usianya ini ia masih dibebani tugas. Ia sebagai Ketua Umum


Lembaga Kebudayaan Wilayah III Cirebon. Ia pula sebagai pemegang
penangungjawab sejarah Cirebon dan ia juga sebagai Pembina aktif GUPPI
Wilayah III Cirebon.

Karya naskahnya yang telah diterbitkan antara lain Nukilan Sejarah Cirebon
Asli, Sejarah Cirebon, Purwaka Caruban Nagari, Timbangan (tasawuf).

Cirebon , 22 Pebruari 1984.

You might also like