You are on page 1of 95

Laporan Penelitian

KAWIN SIRRI PADA MASYARAKAT MADURA


(Studi Kasus Tentang Faktor Penyebab dan Pengaruh Kawin Sirri
Terhadap Hubungan Dalam Keluarga di Desa Buminyar,
Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan)

H O L I L A H, S. Ag, M.Si
Nip. 197618102008012008

PUSAT STUDI GENDER (PSG)


IAIN SUNAN AMPEL SURABAYA
2009

1
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrohmaaanirrohiim

Alhamdulillaahi Robbil ‘alamiin, atas rahmat dan karunia-Nya peneliti dapat

menyelesaikan penyusunan laporan penelitian individual ini dengan judul: “Kawin Sirri pada

Masyarakat Madura (Studi Kasus tentang Faktor Penyebab dan Pengaruhnya terhadap

Hubungan dalam Keluarga di Desa Bumianyar, Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten

Bangkalan”).

Allaahumma Sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad, semoga tetap tercurahkan kepada

Nabi Muhammad SAW, Nabi paling akhir, yang telah menyampaikan risalahNya dan

membawa manusia ke jalan kesempurnaan hidup lahir dan batin, di dunia dan akhirat.

Kawin sirri merupakan perkawinan yang telah mememuhi rukun dan syarat nikah

tapi tidak dilakukan di hadapan PPN dan tidak didaftarkan di KUA. Perkawinan tersebut oleh

pemerintah dianggap tidak sah. Meskipun demikian perkawinan tersebut banyak dilakukan

bahkan menjadi mode masa kini yang timbul dan berkembang diam-diam pada sebagian

masyarakat Islam Indonesia. Mereka berusaha menghindari diri dari sistem dan pengaturan

perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 yang birokratis dan berbelit-belit serta lama

pengurusannya. Akibatnya perkawinan tersebut tidak dilindungi hukum dan tidak

mempunyai kekuatan. Demikian pula dengan anak-anak yang dilahirkan.

Banyak faktor penyebab terjadinya kawin sirri, diantaranya karena terjadinya nikah

perjodohan, keyakinan, ketidak tahuan masyarakat akan fungsi surat nikah, ekonomi,

poligami, keteledoran aparat desa atau PPN, keterbatasan-keterbatasan administratif, janda,

dan nikah yang tidak direstui orang tua.

2
Hal tersebut bertentangan dengan wacana tentang perempuan yang kini banyak

dibicarakan oleh kaum feminis. Artinya disaat mereka berbicara tentang ketidakadilan

gender justru kaum perempuan yang lain terjebak dalam ketidakadilan itu. Hal ini bisa

terlihat bagaimana berlakunya hukum agama dan hukum adat terutama dalam membuat

keputusan menikah (berkeluarga), membuat perempuan terjebak pada sistem patriarki.

Untuk mencegah semakin berkembangnya praktek kawin sirri pada masyarakat, maka
diharapkan pada pemerintah untuk meninjau kembali proses pencatatan perkawinan dan
memberikan kemudahan pada masyarakat dalam melakukan proses pencatatan perkawinan
sebagaimana diatur oleh Undang-undang. Disamping itu, pelunya penyadaran, khususnya
kepada kaum perempuan akan pentingnya surat nikah, yang dilakukan oleh berbagai
lembaga dan institusi secara massif, seperti lembaga keagamaan, pendidikan, badan
penasehat perkawinan di KUA, pusat-pusat studi gender dan lain-lainnya.
Dengan demikian, diharapkan penelitian ini dapat menjadi masukan, terutama pada
pasutri kawin sirri tentang pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga, dalam
konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara baik secara sosiologis,
psikologis maupun yuridis dengan segala akibat hukum dan konsekuensinya, sehingga dapat
menjadi pertimbangan bagi pasangan yang sudah maupun akan kawin sirri untuk segera
mendaftarkan perkawinannya di KUA.
Peneliti menyadari bahwa hasil dari penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu peneliti mengharap masukan dan saran para pembaca untuk kesempurnaan

laporan ini. Tak lupa peneliti menyampaikan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah

ikut berjasa bagi selesainya penelitian ini:

1. Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si selaku Rektor IAIN Sunan Ampel Surabaya.

2. Ibu Lilik Hamidah, M.Si selaku ketua Pusat Studi Gender (PGS) IAIN Sunan Ampel

Surabaya yang memberikan kepercayaan pada peneliti

3. Bapak Kepala Desa, Moh. Sai’id Effendi beserta staf dan Bapak Camat Tanjungbumi, Drs.

Akhmad Tumiran beserta staf, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk melakukan penelitian ini. Bapak Kepala KUA, Drs. Nasikhun beserta staf, Kak

3
Zainuri dan Mbak Maskunah yang telah membantu dalam penyediaan data serta

informasi guna kelancaran penelitian ini.

4. Suami tercinta Nurur Rohman, ST, anak tersayang Anake Bemimala yang telah

memberikan motivasi dan perhatian yang besar.

Akhirnya, pada semua pihak yang telah banyak membantu dalam penyelesaian

penulisan ini, semoga Allah SWT senantiasa memberikan imbalan yang setimpal atas segala

bantuan yang diberikan. Amin.

Surabaya, 01 Desember 2009

Penulis

Holilah, S.Ag, M.Si

4
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .............................................................................................................. i

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii

DAFTAR ISI .............................................. v


DAFTAR TABEL .................................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 7

C. Tujuan Penelitian........................................................................................... 7

D. Manfaat Penelitian........................................................................................ 8

E. Metode Penelitian................................................................................... 9

F. Sistematika Pembahasan......................................................................... 15

BAB II TINJAUAN TEORITIS ............................................................................................ 17

A. Kawin Sirri ............................................................................................ 17

1. Sejarah dan Perkembangan Kawin Sirri ...................................................... 20

2. Kawin Sirri dalam Pandangan Hukum Islam ................................................ 23

3. Kawin Sirri dalam Pandangan Hukum Negara ............................................. 24

B. Kawin Sirri dan Keluarga................................................................................... 26

1. Tipe-Tipe Keluarga ................................................................................. 26

2. Hubungan-Hubungan dalam Keluarga ................................................... 28

3. Fungsi dan Peranan Anggota Keluarga ...................................................... 30

5
4. Pengaruh Kawin Sirri Terhadap Hubungan dalam Keluarga .................... 31

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ............................................................ 33

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ............................................................................. 33

1. Sejarah Penduduk Bumianyar Merantau ................................................... 33

2. Letak dan luas Wilayah ............................................................................. 34

3. Pemukiman ............................................................................................... 35

4. Demografi ................................................................................................. 35

5. Pendidikan ................................................................................................ 37

6. Keagamaan ............................................................................................... 38

7. Sistem kekerabatan ................................................................................... 39

B. Deskripsi Perkawinan ..................................................................................... 40

1. Perkawinan .............................................................................................. 40

2. Kawin Sirri ................................................................................................. 44

a. Bentuk Kawin Sirri ................................................................................. 44

b. Tempat Pelaksanaan Kawin Sirri ........................................................... 45

c. Sejarah Kawin Sirri................................................................................. 45

d. Proses pelaksanaan Kawin Sirri ............................................................. 47

BAB IV FAKTOR PENYEBAB KAWIN SIRRI DAN PENGARUHNYA


TERHADAP HUBUNGAN DALAM KELUARGA ................................. 49
A. Faktor Penyebab Kawin Sirri .......................................................................... 49

1. Faktor penyebab kawin sirri yang dilakukan di Bumianyar ............................ 49

2. Faktor penyebab kawin sirri yang dilakukan di perantauan ..........................55

B. Pengaruh Kawin Sirri terhadap Hubungan dalam Keluarga .............................60

1. Pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga pada


pasangan kawin sirri yang bercerai ..............................................................60

6
2. Pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga pada
pasangan kawin sirri yang tidak bercerai ...........................................65

BAB V PENUTUP ................................................................................................................ 71

1. Kesimpulan .................................................................................................... 71

2. Saran .............................................................................................................. 82

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................84

7
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 : Luas Wilayah per Ha Desa Bumianyar............................................................... 33

Tabel 3.2 : Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin ........................................................ 35

Tabel 3.3 : Jumlah Penduduk menurut Jenis Pekerjaan...................................................... 35

Tabel .4 : Jumlah Penduduk berdasarkan Tingkat Pendidikan ............................................ 36

8
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebelum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan,

hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia masih beraneka ragam, yaitu sesuai

dengan hukum agama dan hukum adat yang dianut masyarakat. Perkawinan

dipandang sah apabila dilaksanakan sesuai dengan ajaran agama atau adat yang

berlaku. Setelah UU Perkawinan tersebut diberlakukan maka dalam pasal 2 ayat (1)

dijelaskan bahwa perkawinan dipandang sah apabila dilakukan menurut hukum

agama dan kepercayaannya. Selanjutnya, dalam ayat (2) perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.1

Pentingnya pencatatan nikah karena menyangkut status istri dan anak secara

obyektif. Jika suatu perkawinan telah di catat oleh PPN dengan bukti adanya buku

nikah maka akan memiliki akibat hukum, Sedangkan perkawinan yang tidak sesuai

dengan apa yang di gariskan dengan UU dan kompilasi Hukum Islam 2 atau tidak

dicatat dan tidak ada bukti buku nikah maka tidak memiliki kekuatan hukum3 hal ini

akan menimbulkan masalah bagi anggota keluarga di kemudian hari. 4

1
Lihat Peraturan Pemerintah no. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UUP no. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan pasal 2 ayat 1 dan 2.
2
Lihat Kompilasi Hukum Islam pasal 5 ayat 1, pasal 6 ayat 1 dan 2 dan pasal 7 ayat 1.
3
Marsudi, Kedudukan Nikah Sirri. Laporan Penelitian (Ponorogo: Fakultas Syariah IAIN Suanan
ampel, 1994). Ida Nurhayati, Tinjaun Hukum Islam Terhadap Nikah Sirri di Kecamatan Porwosari
Kabupaten Purwosari. Skripsi. (Surabaya:IAIN Sunan Ampel, 1995); Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat Menurut Hukum Islam,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2000); Mufassirah, Tradisi Nikah Sirri: Penyebab dan pengaruhnya bagi
masyarakat pamekasan, tesis, Malang: PPs. Universitas Muhammadiyah, 2002),
4
Lihat Lihat Wadjdi dalam Majalah Perkawinan dan Keluarga “Problema Nikah di luar prosedur” no.
320 tahun 1999, hal. 5

9
Adanya hukum negara tersebut dimaksudkan sebagai alat untuk mengatur dan

mengendalikan norma, kebiasaan, aturan atau hukum perkawinan dalam masyarakat,

akan tetapi kenyataan yang ada menunjukkan bahwa hukum yang diperkenalkan oleh

negara belum tentu selaras dengan norma, kebiasaan, aturan atau hukum perkawinan

dalam masyarakat. Aturan perkawinan dalam masyarakat antara lain tercermin

melalui perkawinan sirri. Perkawinan sirri adalah perkawinan yang memenuhi rukun

dan syarat perkawinan tapi tidak di daftarkan di PPN seperti yang diatur dan di

tentukan oleh UUP no. 1 Tahun 1974, yang oleh Ramulyo di sebut “perkawinan di

bawah tangan”5

Menurut Siong6 kawin sirri merupakan bentuk perkawinan yang timbul dan

berkembang secara diam-diam pada sebagian masyarakat Islam Indonesia. Mereka

berusaha menghindari diri dari sistem dan cara pengaturan pelaksanaan perkawinan

menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, yang birokratis dan berbelit serta lama

pengurusannya. Untuk itu menempuh cara sendiri yang tidak bertentangan dengan

hukum Islam.

Permasalahan yang hampir sama dengan kawin sirri adalah proof marriage

(kawin percobaan) yang saat ini menjadi mode di Eropa, lebih konkretnya di Swedia,

dimana para remaja (putra-puteri) melakukan observasi (menjajaki) sampai seberapa

jauh diantara mereka terdapat perselisihan paham baik ideal maupun praktis dalam

membina keluarga yang harmonis kelak. Untuk itu mereka melakukan proof marriage

(kawin percobaan), dalam jangka waktu tertentu (samen leven). Bila ternyata diantara

mereka dalam jangka waktu tertentu itu, baik dalam soal kesukaan (hobby) pribadi

5
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h. 239
6
Gouw Giok Siong, Hukum Perdata Internasional Indonesia, (Jakarta: PT. Kinta, 1964) h.20

10
maupun dalam masalah seksual, terdapat konsekuensi atau persesuaian paham maka

hubungan mereka secara formal ditingkatkan dalam ikatan perkawinan. Bila tidak,

mereka mencoba lagi dengan pasangan yang lain dan seterusnya. Peningkatan dalan

hubungan perkawinan yang formal ini, apabila dalam jangka waktu tertentu si wanita

dapat melahirkan seorang anak atau sekurang-kurangnya telah hamil.

Hal ini bisa terjadi di swedia, karena Swedia termasuk salah satu Negara yang

makmur di Eropa dengan Gross National Product (GNP) perkapita tertinggi di

Eropa.7 Mungkin juga ada faktor lain misalnya keadaan wanita yang sangat parah di

Swedia yaitu 10% (sepuluh persen) wanita Swedia meninggal dunia sebagai perawan

tua, tanpa pernah mendapat suami. 8

Dari hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Hary L. Sitterberg, atas perintah

Sweden‟s Royal Communision on Sexual Live in Swedia yang dimuat dalam majalah

Reader‟s Digest, 90% (sembilan puluh persen) penduduk Swedia melakukan

hubungan seksual sebelum nikah, 33% (tiga puluh tiga persen) pengantin wanita

sudah hamil pada waktu melakukan perkawinan formal mereka, kira-kira 1 (satu) dari

7 (tujuh) orang anak yang lahir adalah anak di luar nikah. 9

Seperti halnya di Negeria dilarang poligami, namun untuk menghindari diri dari

ketentuan undang-undang ini, mereka para gadis dan janda disana dikawin dengan

pria yang sudah beristri secara diam-diam, kemudian apabila ketahuan ditanyakan

7
Lihat TVRI, Siaran Warta Berita Minggu, 16 Mei 1982, jam 19.20 dan Berita Harian Sinar Pagi, Mei
1982
8
Lihat Majalah Tempo, Ruang Pendapat, (Jakarta : PT.Grafisi Pers, 1975, tahun No. 21
9
sismono, Aspek-Aspek Kehidupan Narkotika, Alkoholisme, Pornografi, Kehiduapan Seksual, (Jakarta;
CV. Modernis, 1971) h.71

11
kepadanya, maka menjawab saya bukan istrinya, tetapi gundiknya dan memang

disana gundik tidak dilarang.

Yang penulis maksud disini bukanlah proof marriage seperti di Swedia atau

gundik-gundik di Negeria, tetapi dalam tulisan ini mempunyai motif yang hampir

sama dengan keadaan yang digambarkan diatas, dengan beberapa variasi dari sudut

pandang masyarakat yang fanatisme Islam tetapi kurang memahami hukum Islam

dalam kaitannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dewasa ini.

Perkawinan sirri merupakan fenomena yang terkait erat dengan nilai sosial,

budaya dan agama dalam masyarakat.10 Hal tersebut tak lepas dari persepsi

masyarakat tentang perkawinan. Dalam konteks masyarakat Indonesia pada

umumnya, terutama masyarakat yang tinggal di daerah pedesaaan atau pinggiran

mempersepsikan perkawinan sebagai suatu “kewajiban sosial” daripada manifestasi

kehendak tiap individu (terutama wanita). Secara umum dapat diajukan sebuah

pandangan bahwa dalam masyarakat tradisional menganggap perkawinan sebagai

“keharusan sosial” yang merupakan tradisi yang dianggap sakral.11 Sedangkan dalam

masyarakat modern menganggap bahwa perkawinan adalah sebuah “kontrak sosial”,

karenanya perkawinan sering merupakan sebuah pilihan.

Mengatasi masalah diatas orang Madura pada umumnya menjodohkan anaknya

yang masih berumur lima tahun (balita) dan bahkan ada yang menjodohkan anak-

10
Zamroni, Sebab-Sebab Perkawinan Di Bawah Umur dan Perkawinan Liar/Sirri di Kwanyar
Kabupaten Bangkalan, Skripsi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 1996) ; Mufassirah, Tradisi Nikah
Sirri: Penyebab dan pengaruhnya bagi masyarakat pamekasan, tesis, (Malang: PPs. Universitas
Muhammadiyah, 2002); dan Sri Endang Kinasih, Perkawinan Sirri di kangan Masyarakat Kalisat,
studi Kasus di Desa Kalisat, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan Jatim, Tesis: (Depok:
Universitas Indonesia, 2002).
11
Sakral berarti suci, keramat; motif juga bisa berfungsi seremonial dan terkadang dianggap
mempunyai nilai.

12
anaknya ketika masih berada dalam kandungan ibunya atau pada saat baru dilahirkan.

Menurut pandangan mereka, seorang perempuan seharusnya sudah menikah tidak

lama setelah mengalami haid yang pertama atau pada umur antara 12-15 tahun.

Apabila melebihi umur tersebut ternyata belum juga menikah, semua orrang akan

mencemoohnya sebagai perempuan tidak laku (ta‟ paju lake). Pada saat itulah kedua

orangtuanya serta anak perempuan yang bersangkutan merasakan aib dan malu pada

semua orang dilingkungan sosialnya. Oleh karena itu inisiatif menjodohkan anak

dibawah umur hamper selalu datang dari pihak orangtua perempuan.12

Penelitian Indraswari13 di Jawa Timur, khususnya pada etnik Madura

menunjukkan bahwa mereka mengawinkan anak gadisnya di bawah umur 16 tahun

tanpa melalui KUA. Perkawinan tersebut disebut dengan kawin sirri. Penelitian Afdol

(1983) di Kabupaten Bangkalan menunjukkan bahwa alasan mempercepat

perkawinan bagi anak wanita selain alasan adat kebiasaan setempat (77,78%), juga

didasarkan pada pertimbangan ekonomi (22,32%). Mempercepat mengawinkan anak

wanita merupakan tuntutan agar anak segera “mentas” dan setelah itu orangtua

mereka merasa puas karena telah menunaikan tugas sosial sebagaimana mestinya.

Perkawinan lebih merupakan ritus kepuasan orangtua dan bukan kepentingan anak. 14

12
Latif Wiyata, Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta: LKiS, 2002)
h. 56-57
13
Indraswari, Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus Dalam menakar “Harga”
Perempuan: Eksplorasi Lanjut Atas Hak-Hak reprosuksi Perempuan Dalam Islam (Bandung: Mizan,
1999) h, 140
14
Muhammad Sobary, Perempuan Dalam Budaya: Dominasi Simbolis dan Aktual Kaum Lelaki Dalam
Menakar “Harga” Perempuan: Eksplorasi Lanjut atas Hak-Hak Reproduksi Perempuan Dalam Islam
(Bandung: Mizan, 1999), h. 95

13
Di Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan yang mayoritas penduduknya

beragama Islam, banyak didapati perkawinan yang tidak tercatat di KUA. Menurut

Kepala KUA Tanjungbumi, Nasikhun mengatakan:

“Di Kecamatan Tanjungbumi ini, di desa-desa tertentu masih banyak ditemui


perkawinan yang tidak didaftarkan di KUA.”

Hal senada juga dikatakan oleh Kepada Desa Bumianyar, Effendi:

“Kesadaran masyarakat untuk mendaftarkan perkawinannya ke KUA masih


sangat rendah, yang demikian itu dilakaukan oleh masyarakat yang
melangsungkan perkawinannnya di perantauan seperti Arab Saudi, Malaysia,
Kalimantan dan lain-lain.”

Pendapat diatas menunjukkan tentang masih rendahnya jumlah penduduk yang

melangsugkan perkawinan dan didaftarkan di KUA di beberapa desa di Kecamatan

Tanjungbumi.

Fenomena ini menarik untuk dikaji karena:

1. Kawin sirri jika dikaitkan dengan UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum

Islam, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan tidak mempunyai

kekuatan hukum sehingga berpengaruh terhadap perwalian serta status istri dan

anak guna mendapatkan segala hak yang menyangkut diri dan harta bendanya.

2. Kawin sirri jika dikaitkan dengan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin

maka wanita lebih terbebani daripada laki-laki karena ia tidak hanya sebagai ibu

rumah tangga tapi juga sebagai kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah.

Selain itu kawin sirri juga mengakibatkan hubungan kekuasaan antara laki-laki

14
(suami) tidak setara dengan wanita (istri), tercermin dalam hal menentukan calon

pengantin, perceraian dan penguasaan seksual.

3. Meskipun kawin sirri mempunyai beberapa dampak diatas, namun perkewinan

tersebut saat ini berkembang secara diam-diam dengan beragam bentuk dan

alasan, dimana hal tersebut bertentangan dengan wacana tentang perempuan yang

kini banyak dibicarakan oleh kaum feminis. Artinya disaat mereka berbicara

tentang ketidakadilan gender justru kaum perempuan yang lain terjebak dalam

ketidakadilan itu. Hal ini bisa terlihat bagaimana berlakunya hukum agama dan

hukum adat terutama dalam membuat keputusan menikah (berkeluarga), membuat

perempuan terjebak pada sistem patriarki.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat merumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Faktor apakah yang menyebabkan kawin sirri terjadi di Desa Bumianyar,

Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan?

2. Bagaimana pula pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Tujuan umum

Menganalisis dan mendeskripsikan kawin sirri yang dilakukan oleh penduduk

Bumianyar

15
2. Tujuan khusus

a. Menganalisis dan mendeskripsikan mengapa terjadi kawin sirri di Desa

Bumianyar

b. Menganalisis dan mendeskripsikan pengaruh kawin sirri terhadap

hubungan dalam keluarga.

D. Manfaat Penelitian

Sehubungan dengan tujuan penelitian yang hendak dicapai di atas, maka

penelitian ini di harapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1. Memberi kontribusi ilmiah, yaitu sumbangan data berupa khazanah keilmuan

tentang gender, khususnya dalam kajian kawin sirri dan pengaruhnya terhadap

hubungan dalam keluarga.

2. Memberi kontribusi pada masyarakat, terutama pada pasutri kawin sirri

tentang pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga, dalam

konteks kehidupan masyarakat, bangsa dan negara baik secara sosiologis,

psikologis maupun yuridis dengan segala akibat hukum dan konsekuensinya,

sehingga dapat menjadi pertimbangan bagi pasangan yang sudah maupun akan

kawin sirri untuk segera mendaftarkan perkawinannya di KUA.

3. Memberi masukan pada pemerintah, tentang masih banyaknya masyarakat

yang tidak mengetahui akan fungsi surat nikah, khususnya masyarakat

pedesaan, sehingga memotivasi pemerintah untuk meningkatkan penyuluhan

tentang pentingnya pencatatan perkawinan dengan bekerjasama dengan kyai

dan tokoh masyarakat setempat, mengingat kawin sirri merupakan salah satu

wujud fanatisme masyarakat terhadap kyai.

16
E. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (filed reseach) dengan

menggunakan pendekatan studi kasus (case study), yang dilakukan di desa

Bumianyar, Kecamatan tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan.

1. Pemilihan Lokasi Penelitian

Meskipun obyek penelitian adalah kasus kawin sirri yang dapat ditemukan

diseluruh kecamatan Tanjungbumi, akan tetapi oleh karena suatu alasan dan

pertimbangan terutama masalah dana dan waktu, maka pengamatan lapangan hanya

difokuskan pada kasus kawin sirri yang terjadi desa Bumianyar sebagai tempat

tinggal penulis. Pertimbangan memilih Desa Bumianyar ini mempunyai arti yang

signifikan dalam hal kegiatan operasional dilapangan karena:

a. Penulis adalah orang yang dilahirkan di Desa Bumianyar dan memiliki hubungan

baik dengan masyarakat dan penduduk Bumianyar, termasuk pasangan kawin

sirri, sehingga penulis dapat dengan mudah bergaul dan ikut dalam berbagai

aktivitas mereka guna mendapat data tentang kawin sirri.

b. Desa Bumianyar memiliki penduduk merantau yang tinggi dibandingkan desa

lainnya, sehingga praktek kawin sirri diperantauan lebih banyak dilakukan oleh

penduduk desa Bumianyar dibandingkan desa lainnya.

17
2. Penentuan Informan

Mengingat penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus, maka besar

kecilnya informan bukan menjadi prioritas utama dalam upaya penggalian data,

namun yang menjadi titik penting adalah kualitas informan dalam memberikan data

yang jelas dan akurat sesuai dengan kebutuhan. Spradley 15 menyebutkan bahwa

paling sedikit ada lima kreteria yang perlu diperhatikan dalam memilih informan yang

baik yaitu:

a) Enkulturasi penuh

Enkulturasi merupakan proses alami dalam mempelajari suatu budaya tertentu.

Informan yang baik mengetahui budayanya atau paling tidak harus mempunyai

keterlibatan dalam suasana budaya selama 1 tahun. Misalnya pasangan Hendra-

Vita, Latief –Rahma, Bahar-Hasna dan indra adalah pasangan yang melakukan

kawin sirri lebih dari 2 tahun dan kenal baik dengan peneliti, karena tempat

tinggalnya berdekatan dan sekarang tinggal peneliti di desa Bumianyar.

b) Keterlibatan langsung

Informan adalah orang yang terlibat langsung dengan topik yang sedang diteliti.

Dalam penelitian ini semua informan yang terpilih adalah individu atau pasangan

yang telah atau sedang melakukan kawin sirri dan saat ini berada di desa

Bumianyar.

15
James P.Sredley, Metode Etnografi. Yogyaksarta: PT. Tiara Wacana, ,1997), h. 61-70

18
c) Suasana Budaya yang tidak dikenal

Artinya peneliti tidak mengetahui suasana budaya yang diteliti sehingga

mengalami kesulitan dalam memilih informan, namun dalam penelitian ini,

peneliti mengenal baik suasana budaya yang diteliti, mengingat peneliti adalah

orang yang dilahirkan di desa Bumianyar sehingga penelitilebih obyektif dalam

memilih informan.

d) Cukup waktu

Penelitian hendaknya dilakukan dengan memilih informan yang memiliki cukup

waktu untuk dimintai informasi. Misalnya dalam melakukan wawancara

dilakukan pada saat pasangan kawin sirri sedang santai pada malam hari. Hal ini

diharapkan diperoleh banyak informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.

e) Non analitik

Informan adalah orang yang dalam memberikan informasi tidak menganalisis atau

mengolah pertanyaan terlebih dahulu, sehingga bersifat apa adanya.

Dalam penelitian ini yang termasuk informan adalah:

1. Individu-individu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang baik tentang

permasalahan yang diteliti, meliputi perangkat desa, pegawai KUA, tokoh

masyarakat dan kiai sebagai orang yang berperan dalam menikahkan orang-orang

yang melakukan kawin sirri.

2. Individu-individu atau pasangan yang telah atau sedang melakukan kawin sirri

yang terdiri dari 3 individu kawin sirri (Ninan, Indra dan Rudi) dan 5 pasangan

19
suami istri kawin sirri (Sahrul-Ulfa, Latief-Rahma, dan Hadi-Ina) kedua pasangan

tersebut melakukan kawin sirri di desa Bumianyar, kecuali pasangan Hadi-Ina

melakukan kawin sirri di luar desa Bumianyar (yaitu di Desa Katol, Kabupaten

Bangkalan). Sedangkan pasangan Anas-Titin dan Bahar-Hasna, kedua pasangan

tersebut melakukan kawin sirri di perantauan. 16

Dalam menemukan informan seperti individu atau pasangan yang telah atau

sedang kawin sirri, tidaklah sulit bagi penulis yaitu dengan cara menemui tokoh

masyarakat seperti H. Moh. Mastur dan Kiai di Kecamatan Tanjungbumi yaitu

KH. Jawahir. Sedangkan untuk menemukan informan yang melakukan kawin

siriri di perantauan peneliti menemui orasng yang sering pergi merantau yaitu

Seniwi dan Mat Solli. Pada umumnya individu atau pasangan yang telah atau

sedang melakukan kawin sirriterbuka dan tidak malu menceritakan

pengalamannya.

3. Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan melalui proses:

1. Pengamatan terlibat (observasi participant)

Suatu teknik yang mengharuskan peneliti melibatkan diri kedalam berbagai

aktivitas dan kehidupan masyarakat setempat. Dalam hal ini peneliti lakukan

ketika pulang ke desa Bumianyar. Kegiatan ini dilakukan secara intensif sejak

pertengahan Maret, dengan ikut serta dalam berbagai aktivitas, melakukan

interaksi sosial untuk menemukan pemahaman masyarakat tentang kawin sirri,

16
Semua nama informan diatas bukan nama sebenarnya (disamarkan)

20
mendengarkan pandangan-pandangan dan merasakan keadaan pasangan kawin

sirri. Misalnya, peneliti sering berkunjung ke rumah pasangan kawin sirri, bahkan

terkadang membantu pekerjaannya seperti memasak di dapur.

2. Wawancara mendalam (indepht interview)

Wawancara mendalam adalah teknik pengumpulan data yang didasarkan

pada percakapan secara intensif dengan suatu tujuan. 17 Dalam wawancara

mendalam, peneliti menyusun beberapa pertanyaan pokok sebagai pedoman untuk

membuka pertanyaan. Selanjutnya pertanyaan berikutnya didasarkan pada

jawaban atas pertanyaan pokok tersebut. Pertanyaan tersebut ditujukan kepada

informan.

Untuk menunjang wawancara mendalam peneliti menggunakan peralatan

lain berupa buku catatan harian mengenai kegiatan penelitian dan tape recorder

untuk merekam hasil wawancara. Bahasa yang dipergunakan dalam wawancara

adalah bahasa Madura. Hal ini dengan pertimbangan sebagai mekanisme adaptasi

dan agar terkesan tidak berjarak antara peneliti dan informan.

Wawancara dengan pasangan suami istri kawin sirri dilakukan secara

terpisah dalam waktu bersamaan untuk memperkecil kesempatan pasangan dalam

menyamakan ceritanya.

3. Dokumentasi dan kepustakaan

Dokumentasi dilakukan untuk memperoleh data dari desa (seperti demografi

desa), di Kecamatan (tentang keluar masuknya penduduk), dan di KUA (data

17
Bagong Suyanto, Metode Penelitian Sosial, (Surabaya: Airlangga University Press, 1995), h. 206

21
Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk / NTCR). Data kepustakaan digunakan untuk

memperoleh data tentang hasil penelitian sebelumnya, sejarah kawin sirri dalam

pandangan hokum Islam dan Negara serta konsep dan teori menganai keluarga.

4. Analisis data

Teknik analisis data dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang berasal

dari observasi participant, wawancara mendalam, studi dokumentasi dan

kepustakaan. Data yang terkumpul kemudian diklasifikasi dan diidentifikasi

berdasarkan pola, tema dan sub-sub tema.

Selanjutnya data dikelompokkan dan dikategorikan, agar dapat terlihat

hubungan suatu gejala dengan gejala yang lain, kemudian diinterpretasikan melalui

teori-teori yang relevan agar dapat dianalisis, sehingga dapat mengumpulkan hasil

yang ingin diucapai untuk menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian.

Data dipilah misalnya yang berkaitan dengan factor penyebab terjadinya kawin sirri

dan pengaruhnya terhadap hubungan dalam keluarga.

Analisis dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu:

1. Tahap penemuan. Data yang terkumpul sejak awal penelitian, selanjutnya

diidentifikasi berdasarkan tema, kemudian data tersebut diklasifikasikan, misalnya

rendahnya pemahaman masyarakat tentang fungsi surat nikah, kemudian dapat

diklasifikasikan kedalam faktor penyebab kawin sirri.

22
2. Tahap member kode. Tahap ini meliputi:

a. Mengkategorikan setiap tema, misalnya tentang faktor penyebab kawin sirri

yang dilakukan di desa Bumianyar maupun di perantauan oleh penduduk

Bumianyar. Pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga, pada

keluarga kawin sirri yang bercerai dan tidak bercerai.

b. Memilih data dengan cara memisahkan catatan lapangan dan bahan dokumen

per tema.

3. Tahap penulisan

Merupakan tahap memahami data dalam bentuk penulisan secara lebih lanjut,

artinya dengan melihat, merangkai dan menghubungkan data serta informasi agar

dapat disusun, sehingga diperoleh pengertian dan premahaman. Selanjutnya ditulis

dalam bentuk penulisan yang tujuannya untuk menjawab permasalahn mengenai

faktor penyebab terjadinya kawin sirri dan pengaruhnya terhadap hubungan dalam

keluarga.

F. Sistematika Pembahasan

Sistematika pembahasan dalan penelitian ini bibagi menjadi lima bab:

Bab pertama, menyajikan pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan

sistematika pembahasan

Bab kedua, mendiskusikan konsep-konsep yang terkait dengan kawin sirri, yang

terdiri dari: pengertian kawin sirri, sejarah dan perkembangan kawin sirri, kawin sirri

23
dalam pandangan hokum Islam dan kawin sirri dalam pandangan hokum Negara.

Selain itu juga membahad tentang konsep-konsep keluarga kaitannya dengan kawin

sirri seperti: tipe-tipe keluarga, hubungan-hubungan keluarga, fungsi dan peranan

anggota keluarga, dan pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga.

Bab ketiga, mendeskripsikan lokasi penelitian yang terdiri dari sejarah penduduk

Bumianyar merantau, letak dan luas wilayah, pemukiman, demografi, pendidikan,

keagamaan, system kekerabatan. Selain itu juga mendeskripsikan tentang perkawinan

sirri, yang meliputi: bentuk kawin sirri, tempat pelaksanaan kawin sirri, sejarah kawin

sirri dan proses pelaksanaan kawin sirri

Bab keempat, memaparkan hasil penelitian yang terdiri atas factor penyebab

kawin sirri yang dilakukan di desa Bumianyar dan dilakukan di perantauan, serta

pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga, pada keluarga kawin sirri

yang bercerai dan tidak bercerai

Bab kelima, merupakan bab terakhir yang berisi tentang kesimpulan dan saran

yang diperlukan dalam menunjang penelitian ini.

24
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Kawin Sirri

Perkawinan dalam bahasa Arab adalah “nikah”, memiliki dua arti, arti yang

sebenarnaya dan arti kiasan. Arti sebenarnya nikah adalah “dham” yang artinya

“menghimpit”, “menindih”, atau “berkumpul”. Arti kiasannya adalah sama dengan

“wathaa”, yang artinya “bersetubuh”.

Menurut hukum Islam, nikah itu pada hakekatnya ialah “aqad” antara calon

suami-istri untuk membolehkan keduanya bergaul sebagai suami iatri. “Aqad” artinya

ikatan atau perjanjian. Jadi “aqad nikah” artinya perjanjian untuk mengikatkan diri

dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki. 18

Menurut Haviland19 perkawinan adalah suatu transaksi atau kontrak yang sah

dan resmi antara seorang wanita dan seorang pria yang mengukuhkan hak mereka

yang tetap untuk berhubungan seks satu sama lain dan yang menegaskan bahwa

wanita yang bersangkutan sudah memenuhi syarat untuk melahirkan.

Menurut Koentjaningrat 20 perkawinan adalah suatu peralihan lifecycle dari

tingkat hidup remaja ketingkat berkeluarga dari semua manusia di dunia. Dengan

demikian, dipandang dari sudut kebudayaan manusia, maka perkawinan merupakan

pengatur kelakuan manusia yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya, ialah

kelakuan-kelakuan seks, terutama persetubuhan. Selain sebagai pengatur kelakuan


18
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Di Tinjau dari Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun
1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 28
19
William A. Haviland, Antopologi II, Alih Bahasa: R.G Soekardijo, (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 77
20
Koentjaraningrat.. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. (Jakarta: Dian Rakyat, 1992), h. 93-94.

25
seks, perkawinan mempunyai berbagai fungsi lain dari kehidupan kebudayaan dan

masyarakat manusia. Pertama memberi ketentuan hak dan kewajiban serta

perlindungan kepada hasil persetubuhan, yaitu anak-anak; kemudian perkawinan juga

memenuhi kebutuhan manusia akan seorang teman hidup, memenuhi kebutuhan akan

harta, akan gengsi dan kelas masyarakat dan pemeliharaan hubungan baik antara

kelompok-kelompok kerabat tertentu sering juga merupakan alasan dari perkawinan.

Menurut wawancara dengan seorang kiai di kecamatan tanjungbumi (KH.

Jawahir) mengatakan bahwa masyarakat awam memiliki pemahaman tentang

perkawiann sebagai suatu ikatan antara laki-laki ddan wanita untuk hidup bersama

dan untuk mendapatkan keturunan yang sah berdasarkan hukum agama Islam. Yang

digaris bawahi disini adalah yang penting sah menurut hukum agama Islam. Di

samping itu, masyarakat awam juga menganggap perkawinan sebagai “kewajiban

sosial” daripada manifestasi kehendak bebas tiap individu. Oleh karena itu,

perkawinan dianggap sebagai “keharusan sosial” yang merupakan tradisi yang

dianggap sakral.

Jika diklasifikasi berdasarkan tingkat pemahaman masyarakat tentang hukum

perkawinan dan usia menikah, maka di masyarakat Bumianyar terdapat tiga bentuk

perkawinan yaitu:

1. Perkawinan di KUA

Yang dimaksud dengan perkawinan di KUA disini adalah perkawinan yang

dilakukan di KUA atau perkawinan yang dilakukan dihadapan Pegawai Pencatat

Nikah (PPN) dan dicatatkan di KUA, seperti yang diatur dan ditentukan oleh UU

No.1 Tahun 1974. Bentuk perkawinan ini dilakukan oleh masyarakat yang

26
menyadari akan penting hukum Negara, selain hukum Islam. Karena perkawinan

bukan hanya dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT (hablum minallah)

tapi juga harus dipertanggungjawabakan dihadapan hukum Negara (hablum

minannas), karena menyangkut ikatan antara manusia satu dengan lainnya yaitu

suami, istri, dan anak serta keluarga besar diantara susmi dan istri.

2. Perkawinan sirri

Yang dimaksud dengan perkawinan sirri adalah perkawinan yang tidak

dilakukan dihadapan PPN dan tidak dicatatkan di KUA. Perkawinan ini oleh

Ramulyo disebut dengan istilah perkawinan dibawah tangan. Perkawinan ini

biasanya dilakukan oleh kiai atau ulama atau orang yang dipandang telah

mengetahui hukum-hukum munakahat (pernikahan).21

Kata sirri berasal dari bahasa Arab sirri, israar yang berarti rahasia. 22 Kawin

sirri menurut arti katanya adalah nikah yang dilakukan dengan sembunyi-

sembunyi atau rahasia. Sedangkan dalam prakteknya di masyarakat kawin sirri

adalah perkawinan yang tidak disaksikan oleh orang banyak dan tidak dilakukan

dihadapan PPN serta tidak dicatat di KUA setempat.

3. Perkawinan dibawah umur

Perkawinan yang dilakukan sebelum usia 16 tahun bagi wanita, dan 19 tahun

bagi laki-laki. Batasan ini mengacu pada ketentuan formal batas minimum usia

menikah yang berlaku di Indonesia, pasal 7 ayat (1). Perkawinan ini biasanya

dilakukan oleh masyarakat karena dua alasan, pertama alasan perjodohan. Dalam

21
A. Zuhdi Muhdor , Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al-Bayan 1994), h. 22
22
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-
Qur’an, 1973), h. 167

27
perjodohan biasanya yang menentukan pasangan dan waktu menikah adalah

orangtua laki-laki. Kedua, kemauan anak sendiri. Biasanya anak laki-laki ngotot

minta dinikahkan ke orangtuanya, meski ia dan pasangannya belum memenuhi

batas minimal usia menikah dan belum mempunyai pekerjaan. Kuatir anaknya

salah pergaulan dan berdosa, orangtua menikahkan anaknya dan biasanya biaya

hidup anak setelah menikah akan ditanggung oleh orangtua.

Ketiga bentuk perkawinan diatas oleh masyarakat Bumianyar dianggap sah.

Namun dari ketiga bentuk perkawinan yang terdapat di desa Bumianyar, peneliti

hanya mengkaji kawin sirri dan perkawinan dibawah umur. Perkawinan dibawah

umur dalam penelitian ini tidak dibahas dalam bahasan tersendiri tapi menjadi satu

kesatuan dalam pembahasan kawin sirri, yaitu menjadi salah satu fakctor penyebab

terjadinya kawin sirri di desa Bumianyar.

1. Sejarah Dan Perkembangan Kawin Sirri

Istilah kawin sirri, sebenarnya bukan masalah baru dalam masyarakat Islam,

sebab kitab Al-Muwatha’, mencatat bahwa istilah nikah sirri itu berasal dari ucapan

Umar bin Khattab r.a ketika diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak di

hadiri oleh saksi kecuali hanya seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka Ia

berkata yang artinya:”Ini nikah sirri, aku tidak memperbolehkannya dan sekiranya

aku datang pasti aku rajam”23

Pengertian kawin sirri dalam persepsi Umar tersebut di dasarkan adanya kasus

perkawinan yang hanya dengan menghadirkan seorang saksi laki-laki dan seorang

perempuan. Ini berarti syarat jumlah saksi belum terpenuhi, kalau jumlah saksi belum

23
Lihat Al-Muwatha’ II, Dar Al-Fikri, hal 439

28
lengkap meskipun sudah ada yang datang, maka perkawinan semacam ini menurut

Umar di pandang sebagai nikah sirri.24 Ulama-ulama besar sesudahnya pun seperti

Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa nikah sirri itu tidak boleh dan

jika terjadi maka harus di fasakh (batal).25 Namun apabila saksi telah terpenuhi tapi

para saksi di pesan oleh wali nikah untuk merahasiakan perkawinan yang mereka

saksikan, ulama besar berbeda pendapat. Imam Malik memandang perkawinan itu

termasuk nikah sirri dan harus di fasakh, karena yang menjadi syarat mutlak sahnya

perkawinan adalah pengumuman (i‟lan). Keberadaan saksi hanya pelengkap, maka

perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman adalah perkawinan yang

tidak memenuhi syarat. Namun Abu Hanifah, Syafi’i dan Ibnu Mundzir berpendapat

bahwa nikah semacam itu sah. Abu Hanifah dan Syai’i menilai nikah tersebut bukan

nikah sirri karena fungsi saksi itu sendiri adalah pengumumnan (i‟lan). Karena itu

kalau sudah disaksikan tidak perlu lagi ada pengumuman khusus. Kehadiran saksi

pada waktu melakukan akad nikah, sudah cukup mewakili pengumuman bahkan

meskipun minta dirahasiakan, sebab menurutnya tidak ada lagi rahasia kalau sudah

ada empat orang. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa kawin sirri itu

berkaitan dengan fungsi saksi. Ulama sepakat fungsi saksi adalah pengumuman (i‟lan

wa syuhr) kepada masyarakat tentang adanya perkawinan. 26 Akan tetapi Menurut

Zahrah dalam Nasution, dalam perkembangannya di masyarakat Islam, kawin sirri di

pandang sebagai perkawinan yang sah menurut agama.

24
Lihat Aziz dalam Jurnal Ilmiah Mihrab, Edisi September 2001
25
Lihat Bidayatul Mujtahid, hal 17
26
Khoirudin Nasution, ,Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim Konyemporer Di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: INIS, 2002), h.163

29
Yang dimaksud dengan perkawinan sirri adalah perkawinan yang memenuhi

rukun dan syarat perkawinan tapi tidak di daftarkan di PPN seperti yang diatur dan di

tentukan oleh UUP no. 1 Tahun 1974, yang oleh Ramulyo di sebut “perkawinan di

bawah tangan”27 Perkawinan ini biasanya dilakukan oleh kiai atau ulama atau orang

yang dipandang telah mengetahui hukum-hukum munakahat (pernikahan).28

Akan tetapi dalam perkembangannya di masyarakat Islam, kawin sirri

dipandang sebagai perkawinan yang sah menurut agama. Wirawan dalam Hariadi 29

menyatakan kawin sirri merupakan salah satu bentuk perkawinan yang dikenal oleh

masyarakat Indonesia, yaitu suatu perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Islam

dengan modin atau kiai sebagai pelaksananya (yang mengukuhkan). Sementara

Muhammad30 menyebutkan bahwa kawin sirri dalam pandangan Islam adalah

perkawinan yang dilaksanakan sekedar memenuhi ketentuan mutlak untuk sahnya

akad nikah yang ditandai dengan adanya:

1. Calon pengantin laki-laki dan perempuan

2. Wali pengantin perempuan

3. Dua orang saksi

4. Ijab dan qobul

Syarat-syarat diatas disebut sebagai rukun atau syarat wajib nikah.

27
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h.239
28
A. Zuhdi Muhdhor , Memahami Hukum Perkawinan, (Bandung: Al-Bayan, 1994), h.22
29
Hariadi, Kawin Sirri sebagai Siasat Kawin Dalam Media Studi Wanita, Vol. 1 Surabaya: PP/SW
Lembaga Penelitian UNAIR
30
Muhammad Yusuf, Islam Memandang Kawin Sirri, Makalah Seminar Sehari Kawin Sirri Ditinjau
Dari Sudut Agama, Sosiologi, Psikologi, dan Hukum Positif. (Jember: PMII Fakultas Hukum, 1991)

30
Selain itu, terdapat sunah nikah yang perlu juga dilakukan sebagai berikut:

1. Khutbah nikah

2. Pengumuman perkawinan dengan menyelenggarakan walimah/perayaan

3. Menyebutkan mahar dan kawin

Dengan demikian, dalam proses kawin sirri yang dilaksanakan hanya wajib atau

rukun nikahnya saja, sedangkan sunah nikah tidak dilakukan, khususnya mengenai

pengumuman perkawinan atau yang dusebut walimah/perayaan. Dengan demikian

orang yang mengetahui perkawinan tersebut juga terbatas pada kalangan tertentu saja.

Keadaan demikian disebut sunyi atau rahasia atau sirri. Pada perkembangan

selanjutnya, istilah sirri ini kemudian dikaitkan dengan aturan-aturan yang ditetapkan

pemerintah sehingga kawin sirri bermakna kawin yang tidak dicatatkan petugas yang

telah ditunjuk oleh pemerintah yaitu KUA. Sebagaimana dikatakan Ramulyo 31 yaitu

perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang Islam, memenuhi baik rukun maupun

syarat-syarat perkawinana tetapi tidak didaftarkan pada PPN seperti diatur dan

ditentukan UU No. 1 Tahun 1974. Demikian halnya dengan praktek kawin sirri yang

terjadi di desa Bumianyar.

2. Kawin Sirri Dalam Pandangan Hukum Islam

Merujuk pada sejarah dan perkembangannya, kawin sirri pada awalnya

merupakan perkawinan yang dilarang dalam Islam karena tidak memenuhi rukun dan

syarat perkawinan yang berupa saksi. 32 Ulama besar seperti Abu Hanifah, Malik dan

Syafi’i sepakat kalau perkawinan tersebut difasakh.33 Namun dalam

31
Idris. Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h. 239.
32
Lihat Al-Muwatha, h. 439
33
Lihat Bidayatul Mujtahid, h. 17

31
perkembangannya dalam masyarakat Islam, kawin sirri merupakan perkawinan yang

memenuhi rukun dan syarat perkawinan sehingga masyarakat memandang sah

menurut agama (Islam). Kemudian kawin sirri berkembang kembali ketika dikaitkan

dengan aturan yang ditetapkan pemerintah sehingga kawin sirri bermakna perkawinan

yang tidak dicatatkan di KUA. 34

Meskipun kawin sirri sah menurut Islam tapi hal tersebut kurang sesuai

dengan ajaran Islam, karena Nabi Muhammad SAW bersabda: “Umumkanlah

perkawinan itu”, dan firman Allah yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman,

taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan kepada pemerintah

yang sah (ulil „amri minkum).”35 Berdasarkan firman tersebut, maka orang yang

melakukan kawin sirri berarti tidak taat pada pemerintah yang telah menetapkan

untuk mencatatkan perkawinannnya di KUA.

3. Kawin Sirri Dalam Pandangan Hukum Negara

Kawin sirri jika dikaitkan dengan hukum negara sebenarnya berkaitan dengan

pencatatan perkawinan pada instansi pemerintah yang berwenang yaitu KUA,

sebagaimana diatur oleh undang-undang. UU No.1 Tahun 1974, sebenarnya bukanlah

UU pertama yang mengatur tentang pencatatan perkawinan bagi muslim Indonesia.

Sebelumnya sudah ada UU No.22 Tahun 1946, yang mengatur tentang pencatatan

Nikah, Talak dan Rujuk, disebutkan: (1) perkawinan diawasi oleh PPN; 36 (2) bagi

pasangan yang melakukan perkawinan tanpa pengawasan dari PPN dikenakan

hukuman karena merupakan suatu pelanggarn. 37 Lebih tegas tentang pencatatn dan

34
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, op.cit, h. 239
35
Lihat, QS. An-Nisa 59
36
Lihat UU No.22 Tahun 1946 pasal 1 ayat (1)
37
Lihat UU No.22 Tahun 1946 pasal 3 ayat (1)

32
tujuan pencatatan perkawinan ditemukan dalam penjelasannya, bahwa dicatatkannya

perkawinan agar mendapat kepastian hokum dan ketertiban. 38

Kemudian dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang pencatatan perkawinan

disebutkan,”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang

berlaku.”39 Sementara pada pasal lain disebutkan,”perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”40

Sedangkan dalam penjelasan UU No.1 Tahun 1974 tentang pencatatan dan sahnya

perkawinan disebutkan : (1) tidak ada perkawinan diluar hukum agama; dan (2)

maksud hukum agama termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 41

Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia disebutkan, tujuan pencatatan

perkawinan yang dilakukan dihadapan dan dibawah pengawasan PPN 42 adalah untuk

terjaminnya ketertiban perkawinan. 43 Namun ditegaskan perkawinan yang dilakukan

diluar PPN tidak mempunyai kekuatan hukum, dan perkawinan hanya dapat

dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh PPN.44

38
Lihat penjelasan pasal 1 ayat (1)
39
Lihat UU No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (2)
40
Lihat UU No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1)
41
Lihat penjelasan UU No.1 Tahun 1974 ayat (1 dan 2)
42
Lihat KHI pasal 5 ayat (2) dan pasal 6 ayat (1)
43
Lihat KHI pasal 5 ayat (1)
44
Lihat KHI pasal 6 ayat (1), pasal 7 ayat (1,2,3 dan 4)

33
B. Kawin Sirri dan Keluarga

Menurut Haviland45 yang dimaksud keluarga adalah suatu kelompok yang

terdiri atas seorang wanita, anak-anaknya yang tergantung kepadanya, dan setidak-

tidaknya seorang pria dewasa yang diikat oleh perkawinan atau hubungan darah.

Definisi yang agak lengkap diberikan oleh Borgadus dalam Suhendi46


: “…. Family is a small social group, normally compossed of a father, a mother,
and one or more of children, in which affection and responsibility are equitably
shared and in which the children are reared to become self controlled and
socially motivated persons.

Dari definisi diatas terdapat empat ciri keluarga. Pertama, keluarga adalah

kelompok sosial yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan satu atau beberapa anak.

Kedua, sekelompok orang yang tinggal bersama berdasarkan hubungan darah,

perkawinan atau adopsi. Ketiga, hubungan antar keluarga didasari atas kasih sayang

dan tanggung jawab keluarga ialah mengembangkan anak agar setelah dewasa

menjadi individu yang mampu mengendalikan dirinya sendiri dan berguna untuk

masyarakat.

1. Tipe-Tipe keluarga

Terdapat dua tipe keluarga yaitu keluarga inti dan keluarga luas.

a. Keluarga Inti

Keluarga inti (nuclear family) disebut juga keluarga batih adalah suatu

kelompok kekerabatan sebagai akibat dari perkawinan. Menurut

45
William A. Haviland, 1985. Antropologi II. Alih Bahasa R.G. Soekadijo. (Jakarta: Erlangga, 1985, h.
73.
46
Borgadus, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 233

34
Koentjaraningrat.47 Suatu keluarga inti terdiri atas seorang suami, istri dan

anak-anak mereka yang bekum kawin. Anak tiri dan anak angkat yang secara

resmi mempunyai wewenang yang kurang lebih dengan anak kandungnya,

juga dapat dianggap sebagai anggota keluarga.

Koentjaraningrat48 mengatakan bahwa fungsi pokok keluarga ada dua,

yaitu: pertama, kelurga inti merupakan kelompok dimana si individu pada

dasarnya dapat menikmati bantuan utama dari sesamanya serta keamanan

dalam hidup. Kedua, kelurga inti merupakan kelompok dimana si individu itu,

waktu ia sebagai anak-anak masih belum berdaya mendapat pengasuhan dan

permulaan dari pendidikannya.

b. Keluarga Luas

Keluarga luas (extended family) adalah kelompok kekerabatan yang

terdiri lebih dari satu keluraga inti, tetapi seluruhnya merupakan satu kesatuan

sosial yang amat erat, dan hidup tinggal bersama pada satu tempat artinya

dalam satu rumah atau pada satu pekarangan. 49

Berdasarkan komposisinya, ada tiga macam keluarga luas, yaitu:

pertama, keluarga luas utrolokal, yang berdasarkan adat utrolokal dan yang

terdiri dari satu keluarga inti senior dan keluarga-keluarga batih anak-anak laki

maupun perempuan. Kedua, keluarga luas verilokal, yang berdasarkan adat

verilokal yang terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga inti dari

anak laki-laki. Ketiga, keluarga luas uxorilokal yang berdasarkan adat

47
Koentjaraningrat, Beberapa pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1992), h. 109
48
Ibid, h. 110-111
49
Ibid, h. 117

35
uxorilokal dan yang terdiri dari satu keluarga inti senior dengan keluarga-

keluarga batih anak-anak perempuan.

2. Hubungan-Hubungan dalam Keluarga

Menurut Suleeman dalam Ihromi50 ada tiga bentuk hubungan dalam keluarga,

yaitu hubungan suami-istri, hubungan orangtua-anak dan hubungan antarsaudara

(siblings).

a. Hubungan suami-istri

Menurut Scanconi dalam Ihromi51 hubungan suami istri dapat

dibedakan menurut pola perkawinan yang ada yaitu owner property, head

complement, senior junior partner dan equal partner.

Dalam pola perkawinan owner property, istri adalah milik suami, sama

seperti uang dan barang berharga lainnya. Tugas suami adalah mencari nafkah

dan tugas istri adalah menyediakan makanan untuk suami dan anak-anak dan

menyelesaikan tugas rumah tangga yang lain karena suami telah bekerja untuk

menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Suami adalah “bos” dan istri harus

tunduk padanya. Bila terjadi ketidaksepakatan, istri harus tunduk pada suami.

Dengan demikian akan tercipta kestabilan dalam rumah tangga.

Dalam pola perkawinan head complement, istri dilihat sebagai

pelengkap suami. Suami diharapkan untuk memenuhi kebutuhan istri akan

cinta dan kasih sayang, kepuasan seksual, dukungan emosi, teman, pengertian

dan komunikasi terbuka. Suami istri memutuskan untuk mengatur kehidupan

50
T.O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), h. 100
51
Ibid, h. 100

36
bersama secara bersama-sama. Tugas suami masih sama mencari nafkah untuk

menghidupi keluarganya, dan tugas istri masih tetap mengatur rumah tangga

dan mendidik anak. Tetapi suami istri kini bisa merencanakan kegiatan

bersama untuk mengisi waktu luang.

Dalam pola perkawinan senior junior partner, posisi istri tidak lebih

sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi teman. Perubahan ini terjadi

karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomis, meskipun pencari

nafkah utama tetap suami. Dengan penghasilan yang didapat, istri tidak lagi

sepenuhnya tergantung pada suami untuk hidup. Kini istri memiliki kekuasaan

yang lebih besar dalam pengambilan keputusan.

Dalam pola perkawinan equal partner, tidak ada posisi yang lebih

tinggi atau rendah diantara suami istri. Istri mendapat hak dan kewajiban yang

sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas

rumah tangga. Pekerjaan suami sama pentingnya dengan pekerjaan istri.

Dengan demikian istri bisa menjadi pencari nafkah utama, artinya penghasilan

istri bisa lebih timggi dari suami.

b. Hubungan orangtua anak

Menurut Ihromi52 hubungan orangtua anak biasanya hanya membahas

fungsi anak terhadap orangtua dan bukan sebaliknya. Fungsi orangtua

terhadap anak dianggap sudah seharusnya berlangsung karena orangtua

bertanggungjawab atas anak-anak mereka. Menurut Adam yang dikutip oleh

52
Ibid, h. 108

37
Lewis dalam Ihromi53 mengatakan hubungan orangtua anak dipengaruhi

beberapa factor, diantaranya: kedekatan tempat tinggal tidak berpengaruh pada

bantuan keuangan, tetapi pada jasa yang diberuikan pada anak. Faktor lain

yang ikut berpengaruh adalah lamanya pernikahan anak, jenis kelamin anak,

kelas sosial, kesepakan antara ibu dan ayah, dan persamaan kebudayaan dalam

perkawinan.

c. Hubungan antarsaudara (siblings)

Menurut Schvaneveld dan Ihinger dalam Ihromi 54 mengatakan hubungan

antarsaudara dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, jumlah, jarak kelahiran,

rasio saudara laki-laki terhadap saudara perempuan, umur orangtua pada saat

mempunyai anak pertama, dan umur anak pada saat mereka keluar rumah.

3. Fungsi dan Peran Anggota Keluarga

Dalam suatu rumah tangga kedudukan dan kewajiban antra suami istri tidaklah

sama. Suami adalah pelindung bagi istri dan anak-anaknya. Sebaliknya istri adalah

pusat kedamaian bagi keluarganya, dan ia juga tema berbincang-bincang bagi

suami. Kewajiban moral seorang istri berbeda dengan kewajiban moral seorang

suami.

Suami berfungsi sebagai kepala keluarga, bertugas mencari nafkah untuk

mencukupi kebutuhan keluarga, juga sebagai wakil keluarga bila berhubungan

dengan masyarakat, melindungi keluarga, bertanggungjawab terhadap kehidupan

keluarga, dengan membimbing seluruh anggota keluarga agar berkembang sesuai

dengan keinginannya dan mengawasi pendidikan anak-anaknya.


53
Ibid, h. 109
54
Ibid, h, 110

38
Seorang istri mempunyai fungsi dan peranan mengatur dan mengelola rumah

tangga dan meyelesaikan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, dan membina

anakdalam pendidikan, mewakili suami, membina kerukunan rumah tangga,

singkatnya mengurusi kehidupan rumah tangga, kesehatan anak dan suami, dan

banyak pula yang bekerja membantu mencari nafkah bagi keluarganya, seperti

berdagang, membatik, bertani atau menjadi buruh tani.

4. Pengaruh Kawin Sirri Terhadap Hubungan Dalam Keluarga

Yang dimaksud dengan pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam

keluarga disini adalah bagaimana kawin sirri yang secara bahasa merupakan

perkawinan rahasia dan didalam prakteknya merupakan perkawinan yang tidak

diketahui oleh orang banyak dan tidak dicatatkan di KUA, sebagaimana diatur dalam

UU No.1 Tahun 1974, sehingga menyebabkan perkawinan tersebut menurut hukum

positif tidak mempunyai kekuatan hukum yang dapat menyulitkan berbagai pihak,

terutama pada status istri dan anak, pembagian harta serta perwalian anak. Selain itu

juga menyebabkan hubungan kekuasaan antara suami tidak setara dengan istri, yang

tercermin dalam menentukan calon pengantin, proses perkawinan dan perceraian serta

pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin atau peran dimana peran wanita sangat

berkaitan erat sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah keluarga.

Selain itu perkawinan sirri juga berpengaruh terhadap hubungan dalam

keluarga, yang akan diteliti di Desa Bumianyar. Apakah betul, perkawinan sirri tidak

mempengaruhi hubungan dalam keluarga, baik hubungan sebagai suami isti,

orangtua-anak, dan hubungan antarsaudara (siblings), dan bagaimana pula

pengaruhnya?. Selain itu akan dibahas pula pengaruh kawin sirri terhadap hubungan

39
dalam keluaraga pada keluarga inti kawin sirri dengan rumah tangga lainnya. Yang

termasuk dalam keluarga rumah tanggga lainnya disini adalah orangtua suami atau

istri (mertua), saudara-saudara suami atau istri, sepupu dari suami atau istri,

keponakan dari pihak suami atau istri. Kaitanya dengan penelitin ini, penulis hanya

mengambil mertua dalam membahas hubungan antara keluarga inti kawin sirri

dengan rumah tangga lainnya.

40
BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Sejarah Penduduk Bumianyar Merantau

Sebenarnya sangat sulit dipastikan kapan persisnya penduduk Bumianyar

mulai merantau. Tapi apabila dikaitkan dengan kondisi alam setempat yang tidak

begitu subur dan terletak dipinggir laut, sementara mata pencaharian penduduk adalah

bertani, maka diperkirakan penduduk bumianyar mulai banyak yang merantau sekitar

tahun 1980-an, ketika para penduduk selalu gagal dalam bertani, hasilnya selalu

merosot dan merosot bahkan hasil yang didapatkan tidak dapat mencukupi untuk

mengembalikan modal yang dikeluarkan. Menurut informan, sebenarnyamulai

sebelum tahun 1980 penduduk Bumianyar sudah ada yang merantau tapi jumlahnya

tidaklah banyak, hanya beberapa orang, itupun hanya ke Kalimantan seperti

Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya dan Samarinda. Hal tersebut hanya dilakukan

oleh orang-orang yang tidak/sedikit mempunyai lahan pertanian.

Menurut informan, tiap dusun/kampung, penduduknya memiliki kebiasaan

tempat merantau yang berbeda, misalnya kampung Prengkenek banyak merantau ke

Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya dan Samarinda). Penduduk

kampung Kwanyar dan Nangger merantau dengan menjadi TKI ke Arab Saudi.

Penduduk kampung Telagah menjadi TKI ke Malaysia. Penduduk kampung Lobuk

berdagang ke Kalimantan (Pontianak, Banjarmasin, Palangkaraya dan Samarinda).

41
Ada pemikiran, apa yang bisa diharapkan dari pertanian di desa Bumianyar ini kalau

tidak merantau, jangankan untuk memperbaiki rumah, hasinya dapat mencukupi

kebutuhan amakan sekelurga saja, itu sudah cukup. Hal tersebut menunjukkan bahwa

alas an utama penduduk Bumianyar merantau adalah karena kondisi tanah yang

kurang subur sehingga tidak mencukupi kebutuhan hidupnya.

2. Letak dan Luas Wilayah

Desa Bumianyar merupakan salah satu desa dari 14 desa yang ada di Kecamatan

tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan, yang terdiri dari lima dusun/kampong, yang

memilki luas sekitar 505,25 Ha. Hal ini dapat dilahat pada table 3.1 dibawah ini:

Tabel 3.1
Luas Wilayah per Ha Desa Bumianyar

No Dusun Luas/Ha
1. Lobuk 52
2. Kwanyar 102,10
3. Tlageh 113
4. Nangger 60
5. Prengkenek 169,15
Jumlah 505,25
Sumber: monografi desa Bumianyar 2008

Desa Bumianyar terletak paling timur diantara 14 desa di Kecamatan

Tanjungbumi. Adapun batas-batas desa meliputi:

a. Sebelah utara berbatasan dengan laut Jawa

b. Sebelah barat berbatasan dengan desa Paseseh

c. Sebelah selatan berbatasan dengan desa Tambak Pocok, desa Larangan Timur

42
d. Sebelah timur berbatasan dengan desa Trapang, kecamatan Banyuates, kabupaten

Sampang

3. Pemukiman

Dalam hal pola pemukiman, Desa Bumianyar terbagi dalam 8 kampung, yang

kemudian secara administrative dikelompokkan kedalam 5 dusun, dimana setiap

dusun secara administrative dibagi kedalam rukun tetangga (RT).

Pembagian yang lain juga dilakukanberdasarkan hubungan kekerabatan.

Dalam hal ini ada rumah-rumah penduduk mengelompok dalam satu pekarangan

karena masih ada hubungan kerabat disebut tanean lanjeng. Hal ini karena

pekarangan milik orangtua mereka cukup luas sehingga memungkinkan keturunannya

untuk membangun rumah mengelompok dalam pekarangan tersebut.

Dilihat dari fisik bangunan rumah penduduk Bumianyar (kurang lebih 60

persen) sudah permanen, yaitu rumah dindingnya terbuat dari tembok, lantainya sudah

disemen/keramik dengan atap rumah dari genting. Rumah ini biasanya dimiliki oleh

orang yang keluarganya ada diperantauan atau menjadi TKI dan sebagian kecil

dimiliki oleh orang yang punya usaha di daerahnya sendiri dan berdagang antar pulau.

Namun juga ada rumah penduduk Bumianyar (kurang lebih 40 persen masih semi

permanen yaitu rumah yang terbuat dari kayu dengan atap genting.

4. Demografi

Penduduk Bumianyar beradasarkan data monografi desa periode 2008

sebanyak 2.104 jiwa, yang terbagi dalam 771 kepala keluarga (KK), dengan

perbandingan jumlah penduduk wanita lebih banyak daripada laki-laki. Terdapat

43
perbedaan distribusi jumlah penduduk diantara dusun. Hal ini dapat dilihat pada table

dibawah ini:

Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin

No Dusun Jumlah Laki-laki Perempuan


Penduduk
1. Lobuk 350 165 185
2. Kwanyar 402 200 202
3. Tlageh 411 202 209
4. Nangger 378 150 208
5. Prengkenek 513 233 280
Jumlah 2.104 981 1.123
Sumber: Monografi desa Bumianyar 2008

Dilihat dari jumlah penduduk berdasarkan kewarganegaraan, tidak ada

satu pun orang asingyang bertempat tinggal di desa Bumianyar. Meskipun ada

beberapa orang Arab, tetapi mereka bukanlah penduduk tetap, tapi hanya

membuka usaha, yang setiap harinya dating untuk membuka usahanya.

Dilihat lihat dari mata pencaharian penduduk bumianyar sangatlah

beragam, diantaranya bertani, buruh tani, nelayan, dagang, pegawai negeri dan

pegawai swasta. Untuk lebih jelasnya, komposisi mata pencaharian penduduk

Bumianyar dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 3.3

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Pekerjaan

No Mata Pencaharian jumlah


1. Tani 525
2. Buruh tani 235
3. Nelayab 123
4. Dagang 97
5. Pegawai negeri 9

44
6 Pegawai swasta 25
Jumlah 1.104
Sumber: Monografi desa Bumianyar 2008

Selain mata pencaharian tersebut diatas, penduduk Bumianyar

terutama wanita mempunyai pekerjaan sampingan untuk tambahan

penghasilan yang berupa “membatik”. Upah yang diperoleh dari satu batik

berkisar antara Rp 20.000,- s/d Rp 80.000,-

Adapun sarana transportasi yang berupa jalan, sebagian besar desa

Bumianyar telah diaspal dan dapat dilalui oleh kendaraan roda empat. Alat

transportasi yang digunakan penduduk adalah angkutan umum yang berupa

colt, pick up, sepeda motor dan sepeda pancal (tapi sudah jarang). Adapun

sarana komunikasi yang tersedia adalah HP, telepon rumah dan wartel.

5. Pendidikan

Pendidikan yang diterapkan di masyarakat Bumianyar tidak lepas dari agama

Islam. Dalam penelitian ini, ditemukan hamper semua penduduk yang berusia

40 tahun keatas bisa membaca Al-Qur’an dan kebanyakan dari mereka tidak

sekolah sehingga buta huruf latin. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada table

dibawah ini:

Tabel 3.4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

No Tingkat Pendidikan Jumlah


1. Perguruan Tinggi 35
2. SLTA/MA 65
3. SLTP/MTs 115
4. SD/MI 1.130

45
5. Buta Huruf 550
6. Belum Sekolah 209
Jumalh 2.104
Sumber: Monografi Desa Bumianyar 2008

6. Keagamaan

Desa Bumianyar penduduknya fanatik terhadap ajaran agama Islam.

Artinya segala tingkah laku masyarakat harus disesuaikan dengan unsur-unsur

syari’ah Islam, yaitu norma-norma yang didasarkan pada ajaran agama Islam.

Dalam hal keagamaan, peranan kiai yang sekaligus menjadi tokoh

masyarakat sangat besar, karena nasehat dan pendapatnya menjadi pegangan

yang kuat dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah kata-kata kiai harus

dituruti supaya hidup selamat dan berhasil. Oleh karena itu penduduk

Bumianyar menaruh hormat pada kiai selain pada bapak, ibu, guru, dan ratu.

Dalam berbagai aktivitas maupun keseharian, wanita selalu

menggunakan pakaian yang menutupi seluruh tubuhnya yang menurut hokum

Islam merupakan kewajiban bagi wanita supaya terhindar dari “dosa” dan

“zina.”

Manifestasi lain yang berhubungan dengan ajaran Islam yaitu terlihat

dari berbagai aktivitas keagamaan seperti slawadhan.55 Dan perayaan besar

hari-hari Islam seperti Isra’ Mi’raj dan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan

mengadakan pengajian dan ceramah agama secara besar-besaran, dan di bulan

Ramadhan dengan tarawih dan tadarus sampai pagi hari jam 03.00 wib.

55
Slawadhan adalah suatu kegiatan yang didalamnya diisi dengan membaca tahlil dan sholawat (puji-
pujian kepada Nabi Muhammad SAW) secara bersama-sama.

46
7. Sistem Kekerabatan

Ikatan kekerabatan dalam masyarakat Madura terbentuk melalui

keturunan, baik dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun ibu (paternal

dan maternal relatives). Tetapi pada umumnya ikatan kekerabatan antar

sesama keluarga lebih erat dari keturunan ayah yang cenderung

mendominasi. 56 Demikian halnya dengan kekerabatan pada masyarakat

Bumianyar dalam hal perkawinan menarik garis keturunan melalui garis laki-

laki atau bapak. (patrilinial). Hal ini dapat dilihat dari akad nikah, dimana para

wali dari pihak pengantin wanita selalu dihitung dari anggota kerabat dekat

melalui garis laki-laki yang berdasarkan pada hokum Islam, sebagai berikut:

1) bapak; 2) kakek; yaitu bapak dari bapak; 3) saudara laki-laki sekandung; 4)

saudara laki-laki sebapak; 5) anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung;

6) anak laki-laki dari dari saudara laki-laki sebapak; 7) saudara bapak yang

laki-laki (paman); 8) anak laki-laki dari paman; 9) hakim. Suatu perkawinan

baru dianggap sah bila dinikahkan oleh wali yang terdekat lebih dahulu. Bila

tidak ada yang dekat, baru dilihat urutannya secara tertib. Selanjutnya bila

yang jauhpun tidak ada, maka hakimlah yang bertindak sebagai wali sebagai

syarat beragama Islam, baligh, berakal, laki-laki dan adil.

Selain didasarkan atas hubungan kekerabatan yang sering disebut

tretan, juga didasarkan atas hubungan ketetanggaaan, yang sering disebut

tetangge. Tretan dan tetangge ini berperan penting dalam kegiatan hajatan

56
Latief Wiyata, Carok : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, Yogyakarta:LkiS, 2002.),
h. 51-52.

47
yang diadakan oleh suatu keluarga, dengan member bantuan baik barupa

materi maupun tenaga. Adanya tretan dan tetangge ini dalam penyelenggaraan

hajatan atau pesta akan menjadi lebih ringan.

B. Deskripsi Perkawinan

1. Perkawinan

Penduduk Tanjungbumi, khususnya desa Bumianyar mempunyai norma dan

cara tertentu dalam melangsungkan perkawinan bagi anak gadisnya. Hal tersebut

terdiri dari beberapa tahapan, sebagai berikut:

a. Ngen-ngangen yaitu keluarga pihak laki-laki atanyah (jawa: takon) kepada

pihak wanita, apakah anak gadisnya sudah mempunyai calon suami atau

belum. Jika belum, keluarga pihak laki-laki meminta anak gadisnya dijidohkan

dengan anak gadisnya. Dalam menjodohkan anaknya, yang terpenting bagi

orangtua perempuan adalah calon laki-laki menyukai calon wanitanya, cakang

(pekerja keras) dan taat beragama meskipun belum mempunyai pekerjaan.

Pada umumnya perjodohan dilakukan antar kedua orangtua masih saudara

yaitu perkawinan antara saudara sepupu dalam hubungan misanan atau anak-

anak dari saudara sepupu (mindhoan). Perkawinan semacam ini dimaksudkan

untuk mempertahankan dan melestarikan hubungan persaudaraan yang

dirasakan mulai menjauh, Oleh orang Madura disebut mapolong tolang

(mengumpulkan tulang yang tercerai berai). Bagi keluarga kaya perjodohan ini

terselip maksud bersifat ekonomi yaitu menjaga agar supaya harta kekayaan

48
yang dimiliki tidak jatuh kepada orang luar. 57 Demikian halnya dengan

perjodohan dikeluarga kiai, yaitu agar keturunan mereka sebagai kiai tidak

hilang, karena apabila perempuan keturunan kiai tidak mendapatkan laki-laki

dari keluarga bukan kiai maka dengan sendirinya anaknya besok tidak akan

mendapat julukan sebagai kiai.

Namun perjodohan yang dilakukan atas kehendak kedua orangtua tersebut

belakangan ini mulai jarang ditemui di desa Bumianyar, karena perjodohan

yang dilakukan sering gagal dan terkadang menyebabkan terjadinya

permusuhan antar saudara apabila kehidupan kedua pasangan tidak

rukun/harmonis.

b. Nyabe‟ oca‟ menaruh pesan artinya keluarga pihak laki-laki meminta anak

gadis yang disukai pada keluarganya, dengan membawa kembang sebagai

simbol. Tahapan ini sebagai kelanjutan dari tahap ngen-ngangen. Dengan

diterimanya bunga maka secara resmi anaknya sudah bertunangan.

Selanjutnya kedua orangtua laki-laki dan perempuan berunding menentukan

hari, tanggal dan bulan yang tepat untuk mengadakan mar-lamar.

c. Mar-lamar (lamaran) yaitu meminang yang mengandung arti “meminta”.

Kegiatan yang dilakukan pada saat mar-lamar ada serah-tremah yaitu keluarga

pihak laki-laki menyerahkan barang-barang kepada keluarga pihak wanita.

Barang-barang yang diserahkan disebut peningset. Peningset ini biasanya

berupa tettel, bejit, olet, leppet, dodol, roti, buah pisang, kembeng pasar,

seperangkat pakaian, peralatan make up dan cincin.

57
Ibid, 55-56

49
Dalam acara mar-lamar, orangtua laki-laki tidak ikut karena menurut

masyarakat setempat, seandainya calon pasangan tidak jadi ke jenjang

perkawinan, maka orangtuanya tidak akan malu. Acara mar-lamar dipimpin

oleh kiai atau sesepuh desa yang diminta untuk menggantikan orangtua laki-

laki. Kiai langsung menyampaikan maksud kedatangannya untuk melamar

anak gadisnya dan menyerahkan peningset dari keluarga pihak laki-laki. Serah

taremah merupakan inti dari acara mar-lamar.

d. Kabinan yaitu pelaksanaan akad nikah. Sebelum kabinan biasanya keluarga pihak

laki-laki mengirim sesorang ke rumah mpihak wanita untuk merundingkan waktu

pelaksanaan kabinan. Setelah disepakati, kedua calon mempelai mengurus

perlengkapan surat nikah. Namun ada juga yang tidak melalukan ini, karena

pernikahannya tidak dilakukan di hadapan PPN tapi hanya dilakukan oleh kiai.

Di masyarakat Bumianyar, biasanya akad nikah dipimpin oleh wali murhakam

(kiai) yang berpengaruh, baik bagi wanita yang memilki wali maupun tidak. Wali

murhakam ini dimaksudkan supaya perkawinannya sah menurut agama dan tidak

ada keraguan lagi. Pada saat akad nikah tamu yang hadir semuanya adalah laki-

laki.

Setelah akad nikah selesai, acara selanjutnya adalah megi maskabin yaitu

penyerahan maskawin oleh pengantin laki-laki kepada pengantin wanita.

Pengantin laki-laki menuju kamar pengantin wanita dengan diantar oleh kerabat

pengantin wanita sampai didepan pintu kamar pengantin. Selanjutnya pengantin

laki-laki masuk kamar pengantin wanita sambil menyerahkan maskawin. Setelah

itu, mempelai laki-laki kembali pulang kerumahnya dan kembali lagi ke rumah

50
mempelai wanita beberapa jam kemudian dengan membawa ben-giben berupa

kasur, bantal, sprai, kalung, gelang, lemari lengkap dengan isinya seperti pakaian

yang belum dijahit, sarung, piring, sendok, dan peralatan rumah tangga lainnya.

e. Tan-mantan yaitu acara pelaksanaan resepsi perkawinan atau dalam islam disebut

walimatul „ursy. Acara ini merupakan kelanjutan dari acara kabinan. Pada acara

tan-mantan pengantin laki-laki dan wanita dilarang mandi, dimaksudkan agar

tidak hujan yang mengganggu pelaksanaan tan-mantan. Selain itu pengantin

wanita dianjurkan puasa dimaksudnya agar wajahnya aobha (berubah lebih

cantik) ketika dirias sebelum duduk dipelaminan.

f. Jeng mantoh (mengundang menantu), artinya keluarga pengantin laki-laki

mengundang pengantin wanita dan keluarganya kerumah penganten laki-laki.

Acara ini biasanya dilakukan keesokan hari setelah resepsi dirumah mempelai

wanita. Pada saat jeng mantoh, pengantin wanita beserta keluarganya membawa

makanan seperti yang dibawa pengantin laki-laki pada saat tan-mantan, tapi yang

dibawa hanya berupa makanan yang sudah dimasak seperti roti, buah-buahan dan

lain-lain.

g. En-maen (main-main), artinya kedua pengantin baru mengadakan kunjungan ke

kerabatnya suami dan tetangga dekat demgan membawa kue seperti roti, wingko,

nagasari dan lain-lain. Tujuannya adalah untuk memberitahukan kepada

masyarakat luas bahwa kedua mempelai kabecce‟an (saling mencintai dan cocok)

dan meminta doa restu supaya keluarganya tentram dan langgeng. Sebaliknya

pihak yang dikunjungi memberi balasan berupa uang minimal Rp 5.000,- atau

berupa barang seperti bahan pakaian, piring, gelas dan lain-lainnya.

51
Mengenai adat menetap bagi pasangan suami istri yang baru menikah, ada tiga

macam yaitu menetap pada keluarga suami (virilokal), menetap pada keluarga istri

(uxorilokal) dan menempati rumah sendiri terpisah dari orangtua (neolokal). Pada

masyarakat Bumianyar, pengantin baru umumnya menetap pada keluarga istri

(uxorilokal).

2. Kawin Sirri

a. Bentuk Kawin Sirri

Menurut KH. Moh Ilyas, ketua yaysan saiful Ulum, desa paseseh,

kecamatan tanjungbumi yang sekaligus anggota DPR Kabupaten Bangkalan,

kawin sirri dilihat dari arti bahasanya yaitu perkawinan rahasia atau sunyi.

Berdasarkan pengertian tersebut, di masyarakat Tanjungbumi, khususnya di desa

Bumianyar ditemukan dua jenis perkawinan sirri.

Pertama, sirri terhadap pemerintah. Artinya perkawinan tidak didaftarkan

di KUA atau tidak dilakukan dihadapan PPN. Kawin sirri ini terjadi karena factor

kemauaan kedua pasangan suami istri. Artinya sejak awal perkawinan, mereka

tidak mendaftarkan perkawinannnya di KUA. Jenis kawin sirri ini kebanyakan

dilakukan oleh wanita janda dengan lelaki duda/perjaka. Selain itu, kawin sirri

juga terjadi karena faktor bukan atas kehendak kedua pasangan suami istri.

Artinya mereka sudah mendaftarkan perkawinannnya pada modin desa dengan

membayar sejumlah uang, dan mengungumpulkan persyaratan tertentu tetapi

mereka tidak pernah menerima surat nikah, bahkan terkadang sampai mempunyai

anak. Perkawinan sirri jenis ini biasanya ditemui pada pasangan laki-laki perjaka

dan wanita yang masih perawan.

52
Kedua, sirri terhadap masyarakat, yaitu perkawinan yang disembunyikan

dari masyarakat. Artinya saksi diminta merahasiakan perkawinan pada orang

lain. Perkawinan sirri jenis ini biasanya dilakukan untuk kepentingan

poiligami.

b. Tempat Pelaksanaan Kawin sirri

Jika dilihat dari tempat pelaksanaan kawin sirri di desa Bumianyar dapat

dibagi menjadi dua: pertama, kawin sirri yang dilakukan di desa Buminyar oleh

sesama penduduk Bumianyar. Perkawinan sirri ini terjadi karena bukan kehendak

kedua pasangan suami istri dan karena kepentingan poligami. Kedua, Kawin sirri

yang dilakukan di perantau oleh pasangan yang salah satunya adalah penduduk

Bumianyar. Perkwainan sirri ini terjadi Karena kemauan kedua pasangan suami

istri dan untuk kepentiungan poligami.

c. Sejarah Kawin Sirri

Sejak kapan kawin sirri dilakukan di desa Bumianyar, tidak ada seorangpun

yang dapat memberikan informasi yang pasti. Namun hal tersebut akan didapat

kejelasan, apabila dikaitkan dengan tempat pelaksanaan kawin sirri.

Pertama, kawin sirri yang dilakukan di desa Bumianyar bukan atas kehendak

kedua pasangan suami istri. Artinya kedua pasangan ini sudah mendaftrakan

perkawinannya dengan membayar sejumlah uang dan mengumpulkan beberapa

persyarakatan kepada aparat desa, akan tetapi mereka tidak pernah menerima surat

nikah. Perkawinan sirri jenis ini diperkirakan terjadi sejak dikeluarkannya UU

Perkawinan No.1 Tahun 1974 yaitu adanya keharusan untuk mendaftarkan setiap

53
perkawinan di KUA. Perkawinan sirri jenis ini sepanjang sejarah akan tetap dapat

ditemui karena terkait dengan kesalahan yang diperbuat oleh manusia (human

error), dalam hal ini aparat desa atau PPN. Perkawian sirri jenis ini ditemui di

desa Bumianyar dalam jumlah yang sangat sedikit.

Kedua, kawin sirri yang dilakukan di desa Bumianyar untuk kepentingan

poligami. Perkawinan sirri jenis ini diperkiran ada sejak dikeluarkannya UUP

No.1 Tahun 1974 tentang keharusan perkawinan dicatatkan di KUA. Disamping

itu juga terkait dengan pasal 4 (2), pasal 3, dan pasal 5 (1) UUP no.1 Tahun 1974

mengenai poligami58, maka proses poligami sulit dilaksanakan karena salah satu

pihak yaitu istri belum tentu menghendaki suaminya menikah lagi. Suami harus

mendapatkan ijin dari pengadilan atas persetujuan istri. Oleh karena itu, jalan

keluar yang diambil yaitu dengan kawin sirri

ketiga, kawin sirri yang dilakukan penduduk Bumianyar di perantauan atas

kehendak kedua pasangan suami istri. Perkawinan sirri jenis ini diperkirakan ada

sejak awal penduduk Bumianyar merantau, namun hal tersebut marak dilakukan

sekitar tahun 1990-an. Para perantau atau TKI yang pada waktu berangkat sendiri,

58
Pasal 4 (2) dari UUP No.1 Tahun 1974menjelaskan “pengadilan hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan ketunan
Sedangkan pasal 3 menyatakan:
(1) “pada azasnya dalam suatu perkawnan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri.
Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.”
(2) “Pengadilan dapat member izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.”
Selanjutnya dalam pasal 5 (1) menyebutkan “untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan,
harus dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
b. Adanya kepastian bahwa suami dapat menjamin keperluan=keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dana anak-anak mereka

54
setelah beberapa tahun diperantauan pulang dengan membawa pasangan. Sedikit

sekali para perantau terurama laki-laki perjaka yang pulang tanpa membawa

pasangan hidup.

Keempat, kawin sirri yang dilakukan oleh penduduk Bumianyar di

perantauan yang sengaja dirahasiakan dari masyarakat. Perkawinan jenis ini

diperkirakan ada sejak awal penduduk Bumianyar merantau.

d. Proses Pelaksanaan Kawin Sirri

Proses pelaksanaan kawin sirri pada masyarakat Bumianyar dapat

dikelompokkan kedalam dua: pertama, proses kawin sirri yang dilakukan di desa

Bumianyar apabila wanitanya perawan dengan laki-laki perjaka. Proses

perkawinan sirri ini pada umumnya sama dengan proses pelaksanaan perkawinan

pada umumnya yaitu ada tahapan-tahapan tertentu seperti ngen-ngangen, nyabe‟

oca‟, mar-lamar, kabinan, tan-mantan, jeng mantoh, dan en-maen, hanya saja

dalam perkawinan ini tidak terdaftarkan di KUA (tidak memiliki surat nikah),

sekalipun mereka mendaftarkan di KUA. Dalam penelitian ini, perkawinan diatas

tetap dikelompokkan pada kawin sirri mengacu pada konsep kawin sirri yang

diberikan oleh Ramulyo. 59

Sedangkan proses pelaksanaan kawin sirri pada wanita perawan/janda dengan

laki-laki yang mempunyai istri dengan cara si laki-laki langsung melamar

wanitanya ke keluarganya. Ini biasanya dilakukan oleh kiai atau orang kaya untuk

poligami. Perkawinan seperti ini ditemukan di Bumianyar dalam jumlah yang

sedikit.

59
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h. 239

55
Kedua, kawin sirri yang dilakukan oleh penduduk Bumianyar di perantauan.

Apabila ada seorang laki-laki menyukai seorang wanita janda maka dengan segera

mendekatinya. Jika wanitanya setuju, maka si laki-laki minta bantuan kiai untuk

melamar si wanita kepada keluarganya. Setelah semuanya setuju, maka

menentukan hari, tanggal untuk melaksanakan akad nikah. Kawain sirri jenis ini

dilakukan bukan untuk poligami.

56
BAB IV

FAKTOR PENYEBAB KAWIN SIRRI DAN PENGARUHNYA


TERHADAP HUBUNGAN DALAM KELUARGA

A. Faktor Penyebab Kawin Sirri

1. Faktor Penyebab Kawin Sirri yang Dilakukan di Bumianyar

Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kawin sirri di lakukan di desa

Bumianyar akan diceritakan oleh pasangan Sahrul-Ulfa, Hadi-Ina, dan Latief-Rahma.

Sahrul :

“ pertama sengko‟akabin ariya polana terpaksa sebab oreng towa ngancam ta‟
ngakoenna sengko‟ ana‟eh. Teppa‟ ajiya sengko‟ gi‟ neng-sennengngah ajalan
ban ca-kanca, ben pole sengko‟ gi‟ terro merantaoa. Aherra sengko‟ noro‟ oca‟e
oreng towa ban Alhamdulillah bine sengko‟ orengnga becce‟ …penter ngaji ben
cakang bejenga. Teppa‟e kabinan sengko‟ ta‟ ngoros pa-apa, oreng se ngatur
kabbi oreng towa. Ya sengko‟ noro‟ bae. Sampe‟ satiya sengko‟ ta‟ andhi‟ sorat
kabin ban mattowa ta‟ perna atanya …”
(pada awalnya perkawinan ini saya lakukan karena terpaksa karena orang tua
mengancam tidak mengakui saya sebagai anaknya, waktu itu saya masih senang-
senangnya jalan bareng teman, selain itu saya masih punya keinginan untuk
merantau. Akhirnya, saya mengikuti kemauan orang tua dan alhamdulilla istri
saya baik sekali … pintar mengaji dan tekun beribadah. Waktu mau menikah saya
tidak mengurus apa-apa, wong semua yang ngatur orang tua, ya … saya nurut
saja. Sampai sekarang kami tidak mempunyai surat nikah dan mereka tidak
membahas masalah itu …)

Ulfa :

“ omor 13 taon sengko‟ e pakabin ban sabalaan, omorra 17 taon. Sengko‟


ejuduagi molae omor 5 taon. Sebenerra teppa‟e jiya sengko‟ gi‟ terro neng-
ennengnga e ponduk, tape orang towa maksa ban ngancam daddhi ana‟ dreka
se matodus keloarga mon nolak. Aherra sengko‟ pasra beih ban sengator
kabbi oreng towa. Teppa‟e jiya se makabin guru ngajina sengko‟. Ya …

57
sengko‟ ta‟ tao ne, arapah me, benne pangolo. Tentang sorat kabin … sampe‟
sateya sengko‟ gi‟ ta‟ parlo, tape gu‟-deggu‟ mon parlo ban andhi‟ pesse, ya
… sengko‟ agabayya.
(umur 13 tahun saya dinikahkan dengan suami yang masih saudara, saat itu
dia masih berumur 17 tahun. Kami dijodohkan sejak saya berumur 5 tahun,
sebenarnya saat itu saya masih ingin tetap di pondok, tapi orang tua tetap
memaksa dan mengancam menjadi anak durhaka yang akan mempermalukan
keluarga jika saya menolak perkawinan tersebut. Akhirnya saya pasrah saja
dan yang mengatur perkawina semuanya orang tua. Saat itu yang
mengawinkan adalah guru ngaji saya. Ya … saya tidak nanya mengapa bukan
bapak penghulu. Tentang surat nikah … sampai saat ini saya belum
membutuhkannya, tapi kalau besok kemudian hari membutuhkannya dan
mempunyai uang, ya … bikin)

Hal diatas menunjukkan bahwa kawin sirri yang dilakukan didesa Bumianyar

adalah kehendak orang tua. Orang tua memaksa anaknya untuk segera menikah

karena ada tuntutan bahwa anak perempuan harus segera menikah, tidak lama setelah

mengalami haid yang pertama atau pada umur antara 12-15 tahun. Apabila telah

melebihi umur tersebut dan ternyata belum menikah, semua orang akan

mencemoohnya sebagai perempuan tidak laku (ta, paju lake). Pada saat itu orang tua

dan anak perempuan yang bersangkutan merasa malu dan aib pada semua orang

dilingkungan sosialnya. Oleh karena itu para orang tua mempunyai kebiasaan

menjodohkan anak perempuannya dengan dengan anak dari anggota keluarga yang

lain, sebab sebagai suatu anggota keluarga besar merekapun akan merasakan perasaan

yang sama (aib dan malu) jika ada diantara anggota kerabatnya dicemooh sebagai

perempuan tidak laku.

Ketentuan umur diatas bertentangan dengan batas umur minimum

diperbolehkannya perempuan melakukan perkawinan di Indonesia, sebagaimana

diperbolehkan UU no.1 tahun 1974 pasal 7 ayat (1). Keadaan tersebut memaksa para

orang tua menikahkan anak perempuannya, tanpa mendaftar ke KUA, sehingga terjadi

58
perkawinan sirri. Namun ada sebagian pula orang tua yang memanipulasi umur anak

perempuannya dengan cara berkolusi dengan aparat desa untuk merubah/menaikkan

umur anak perempuannya.

Selain itu, kekhawatiran orang tua akan tidak langgengnya perkawinan anak

karena perkawinan dilakukan secara paksa (kawin paksa) menyebabkan pula para

orang tua tidak mendaftarkan perkawinan anaknya di KUA.

Adanya kawin paksa dan perjodohan antar saudara tersebut menjadi salah satu

penyebab tingginya angka perceraian di Madura, sehingga menimbulkan adanya

anggapan bahwa perempuan Madura tidak cukup kawin dengan satu laki-laki atau

kawin lebih dari sekali. Namun saat ini, kawin paksa dan perjodohan antar saudara

mulai jarang terjadi di Desa bumianyar. Hal ini dikarenakan kawin paksa dan

perjodohan sering menyebabkan perkawinan tidak langgeng sehingga terjadi

permusuhan antar saudara.

Selain itu, kawi sirri terjadi karena adanya keyakinan masyarakat, khususnya

penduduk Bumianyar bahwa perkawinan merupakan hubungan manusia dengan Allah

sehingga mereka sudah merasa “mantap” apabila perkawinannya dianggap sah

menurut hukum agama, meski tanpa dicatatkan d KUA. Keyakinan tersebut

merupakan pengaruh dari mazhab yang dianut oleh penduduk setempat yaitu mazhab

Syafi’i. Syafi’i menganggap sah perkawinan yang dirahasiakan dalam hal ini para

saksi dipesan untuk merahasiakan perkawinan yang mereka saksikan dan menilai

perkawinan tersebut bukan kawin sirri.

59
Kawin sirri sebenarnya berhubungan dengan fungsi saksi yaitu pengumuman

(i‟lan wa syuhr) kepada masyarakat tentang adanya perkawinan. 60. Oleh karena itu,

meskipun tidak mempunyai surat nikah, tapi ada saksi maka perkawinan tersebut

dianggap sah. Pendapat tersebut menyebabkan adanya anggapan bahwa pencatatan

perkawinan merupakan urusan administrative saja bukan termasuk syarat sahnya

suatu perkawinan. 61

Faktor lain, kawin sirri terjadi karena ketidaktahuan penduduk akan fungsi

pencatatan perkawinan telah menyebabkan adanya anggapan bahwa surat nikah

bukanlah suatu hal yang penting sehingga menyebabkan penduduk terjerumus pada

kawin sirri. Hal tersebut terkait rendahnya pendidikan penduduk Bumianyar,

mayoritas berada pada tingkat SD/Madrasah ibtidaiyah. Keadaan ekonomi para orang

tua tidak memungkinkan anak-anaknya untuk sekolah kejenjang yang lebih tinggi

karena tenaga anak dibutuhkan untuk membantu orang tua di sawah, terlebih lagi bagi

anak perempuan, sehingga ada pepatah “na‟-kana‟ bine‟ ta osa sekolah gi tenggi,

maggu dha‟ diya kennenganna e dapor kiya” (anak perempuan tidak perlu sekolah

terlalu tinggi, karena tempatnya pasti didapur juga/memasak).”

Selain itu, kawin sirri terjadi juga karena faktor ekonomi. Penduduk

Bumianyar yang rata-rata hidup dari bertani, tapi pertaniannya tidak pernah berhasil,

harus mengeluarkan sejumlah uang untuk mendaftarkan perkawinan. Sementara itu,

surat nikah belum tentu ia dapatkan, karena mereka menemukan orang yang sudah

60
Khoirudin Nasution, Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan
Perkawinan Muslim Konyemporer Di Indonesia dan Malaysia. (Jakarta: INIS, 2002), h. 163.
61
Ibid, h. 185-160

60
mendaftarkan perkawinan tapi sampai memiliki banyak anak surat nikah tidak

didapatkan juga.

Hadi :

“ Sengko‟ ngabin bine se nomor duwe‟, oreng dhisa Katol, Kabupaten Bangkalan,
taon 1977 e romana. Se makabin teppa‟e jiya bindereh. Bine ban keloargana ella tao
mon sengko‟ andhi‟ bine ban anak. Sehengga tak maksa agabay sorat kabin.
Keloargana bine coma menta sengko‟ adhil dalem abagi bakto ban balenje”.
(Saya menikah dengan istri kedua, orang desa Katol, Kabupaten Bangkalan tahun
1977 dirumahnya. Yang mengakadkan saat itu adalah seorang guru ngaji. Istri dan
keluarganya sudah tau kalau saya sudah punya istri dan anak, sehingga mereka tidak
menuntut saya untuk membuat surat nikah. Keluarga istri Cuma minta saya untuk
adil dalam membagi hari antara istri pertama dan istri kedua serta adil dalam hal
belanja).

Ina :

“ Sengko‟ kenal ben lakeh e kapal, teppaeh jiyah sengko‟ panompangnga. Molae jiya
lake sering maen ka roma. Sampe‟ settong bakto, ngoca‟ ngabinna sengko‟. Bi‟
sengko‟ e tarema. Teppa‟e jiya embu‟ majer pesse Rp 35.000,- dha‟ kapala disa,
koca‟e egabay sorat kabin. Tape sampe‟ sateya sengko‟ ta‟ narema. Gabaya apa ne‟,
toh … sengko‟ ella towa ban ta‟ parlo kiya”.
(Saya kenal suami dikapal, ketika saya menjadi salah satu penumpangnya, sejak saat
itu ia sering main kerumah .Sampai suatu ketika ia mengutarakan untuk memperistri
saya. Saya terima niat baiknya, pada waktu itu ibu, membayar uang sebesar Rp
35.000,- kepada dia, katanya untuk mengurus surat-surat perkawinan kami, tapi
sampai saat ini saya tidak pernah menerimanya. Buat apa nak, toh … aku sudah tua
dan tidak membutuhkannya lagi).

Hal tersebut menunjukkan bahwa kawin sirri dilakukan untuk poligami.

Poligami jika dikaitkan dengan UU No.1 Tahun 1974, tentang proses perkawinan

administrative harus didaftarkan ke KUA, Pasal 1, Pasal 4 Ayat (2) dan pasal 5 Ayat

(1), maka proses poligami sulit dilaksanakan karena istri pertama belum tentu

61
mengkehendaki suaminya menikah lagi oleh karena itu jalan keluarnya adalah kawin

sirri.

Latif :

“ Sengko‟ akabin lakar karena e juduagi tape sengko‟ endhe‟ polana sengko‟
senneng. Sengko‟ ella ngoros rat-sorat dari disa, Banyosokkah, Sampang, ban e bagi
dha‟ kepala disa. Teppa‟e malem akad, kepala disa ban pangolona dating, tape se
makabin guru ngajina bine. Malam jiya sengko‟ lakar ta‟ epentaeh tantangan atau
cap jempol. Ye … sengko‟ ta‟ atanya embak. Saellana labit ban sorat kabin ta‟ e bagi,
aherra mattowa atanya dha‟ kepala disa. Kepala disa nyoro atanya dha‟ pangolona,
sebaligga pangolona nyoro minta dha‟ kepala disa. Ruwet kan … !!”
(Perkawinan yang saya lakukan adalah memang karena perjodohan tapi saya
melakukannya dengan senang hati karena saya menyukainya. Saya telah mengurus
surat-surat perkawinan dari desa saya Banyusokkah, Kabupaten Sampang yang
kemudian diserahkan ke kepala desa, pada malam akad, Bapak kepala Desa juga
datang bersama Bapak penghulu, tapi yangmengakad nikahkan kami adalah guru
ngaji istri saya. Pada malam itu saya memang tidak dimintai tandatangan atau cap
jempol, ya … saya tidak nanya mbak waktu itu. Setelah lama surat nikah belum saya
terima, akhirnya mertua menanyakan kepada ke kepala desa. Kepala desa menyuruh
memintanya di bapak penghulu, sebaliknya bapak penghulu menyuruh memintanya di
bapak kepala desa, bingung kan … !!)

Rahma :

“ Sengko‟ Rahmawati, anak kadibi‟en. Omor 18 taon e pakabin ban ana‟eh kancana
emma‟ , e dinna‟. Sateya andhi‟ anak settong omor 4 taon. Sebelumma kabinna
sengko‟ e pentaeh foto ben KTP bi‟ emma‟, koca‟eh e taragiya dha‟ kepala disa,
agabay sorat kabin. Teppa‟e kabinan sengakad agi guru ngajina sengko‟, tape
pangolona ban kepala disa bedhe. Teppa‟e jiya sengko‟ ta‟ epentaeh tandatangan bi‟
pangolona. Ye … sengko‟ ta‟ atanya, sengko‟ ta‟ taoh, sengko‟ bedhe e kamar.
Sampe‟ sateya sengko‟ ta‟ andhi‟ sorat kabin. Pernah bi‟ emma‟ e Tanya agi dhe‟
kepala disa, koca‟eh bedhe e pangolona, Koca‟eh pangolona bedeh e kapala disa.
Daddi sengko‟ bingongf mentaah kasapa, apan pole pangolona ella mate …”
(Saya Rahmawati, anak tunggal. Umur 18 tahun saya dikawinkan dengan anak dari
temannya emma‟ (Bapak) di sini (di Bumianyar). Sekarang sudah mempunyai anak 1
berumur 4 tahun. Menjelang perkawinan dilaksanakan saya telah diminta untuk
menyerahkan foto dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) oleh emma’, katanya untuk
diserahkan ke kepala desa untuk pembuatan surat nikah. Pada perkawinan saya yang
mengakadkan memang bindereh (guru ngaji) saya, tapi saat itu memang dilaksanakan

62
didepan bapak penghulu dan kepala desa. Ketika itu, saya tidak diminta untuk
tandatangan oleh bapak penghulu. Ya saya tidak nanya mbak, karena tidak tahu, saya
berada dalam kamar. Sampai saat ini, saya tidak mendapatkan surat nikah. Emma‟
pernah menanyakannya pada kepala desa, tapi kepala desa menyuruh menanyakannya
ke bapak penghulu, sebaliknya bapak penghulu menyuruh minta ke kepala desa,
sampai akhirnya bapak penghulunya meninggal sekarang. Jadi, saya bingung harus
minta kepada siapa surat nikah tersebut).

Hal di atas menunjukkan bahwa kawin sirri terjadi karena keteledoran aparat desa

atau pegawai pencatat nikah. Faktor tersebut sepanjang sejauh akan tetap dapat di

temui karena hal ini terkait dengan kesalahan manusia (human error) dimana

penduduk Bumianyar sudah mendaftarkan perkawinannya sesuai dengan prosedur

tapi sampai memiliki beberapa anak mereka tidak pernah mendapat surat nikah.

2. Faktor Penyebab Kawin Sirri yang Dilakukan di Perantauan

Faktor penyebab kawin sirri yang dilakukan di perantauan di ceritakan oleh

pasangan Hendra-Vita, Anas-Titin, Imam-Nina dan Bahar-Hasna.

Hendra :

“ Sengko‟ akabin e Arab Saudi. Sengko‟ ben bine padha senneng. Katembeng agabay
dusa terros, mendingan akabin bai. Toh … belena bine se bedhe e dissa satuju.
Aherrah e pakabin bi‟ bindhereh, se daddi sakse settung bellena bine, settungah pole
kanca. Daftar dhe‟ kedutaan … ta‟ mungkin le‟ karena sengko‟ ta‟ andhi‟ paspor
lengkap coma theng-katheng. Ya aherra, saellana badha e dinna‟ … sengko‟
agabay”.

(Perkawinan dengan istri saya dilakukan di Arab Saudi. Kami sama-sama menyukai,
daripada berdosa lebih baik kawin saja, toh saudara istri yang saat itu berada di
Mekkah merestui. Akhirnya akad nikah dilakukan oleh bindereh dengan saksi saudara
istri 1, teman 1 orang. Daftar kekedutaan tak mungkin dikarenakan saya tidak
mempunyai paspor lengkap Cuma paspor palsu (tidak punya surat-surat
lengkap/berangkat secara illegal). Ya akhirnya, disini (Madura) … saya bikin surat
nikah)

63
Vita :

“Taon 1998, sengko‟ ban oreng malang e Mekka. Teppa‟e jiya se makabin kyai
kampongan. Saksena sala sittungnga bele dibi‟ ben ngonjeng ca-kanca. Ta‟ mungkin
le‟ oreng se akabin e Mekka olle sorat kabin, polana harusa andhi‟ rat-sorat lengkap.
Rat-soradda sengko‟ ban lake ella mate. Taon 2000, sengko‟ ben lakeh molle de‟
Madure. E Madure keluarga menta sengko‟ agabay sorat kabin. Sengko‟ abelle dhe‟
lake ban setuju. Aherra abereng ben nganyareh kabin, sengko‟ agabay. Teppa‟e jiya
semakabin guru ngaji e ada‟na pangolona. Marena akad sengko‟ e pentae tanda
tangan”.
( Saya menikah dengan orang Malang tahun 1998 di Makkah dan sekarang telah
dikaruniai seorang anak perempuan berumur 4 tahun. Saat itu, yang mengakadkan
adalah kyai kampongan (orang yang banyak memiliki ilmu agama) dan yang menjadi
saksi salah satunya adalah saudara laki-laki saya dan mengundang teman-teman
sesame perantau.Tidak mungkin le’ (sebutan untuk orang yang lebih muda) orang
yang melangsungkan perkawinan di Makkah itu mendapatkan surat nikah karena
harus mendaftar kekedutaan Indonesia di Arab Saudi, dan untuk kesana harus
mempunyai surat-surat menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang lengkap,
sementara surat-surat saya dan suami sudah mati. Tahun 2000, saya dan suami pulang
ke Madura. Di Madura semua keluarga meminta saya untuk membuat surat nikah.
Saya menceritakan kepada suami akan permintaan keluarga tersebut dan suami
menyetujuinya. Akhirnya bersamaan dengan pelaksanaan memperbaharui nikah, saya
membuat surat nikah. Saat itu, yang mengakad saya adalah guru ngaji dan dilakukan
dihadapan penghulu. Setelah akad nikah saya diminta untuk menandatangani surat
nikah).

Hal diatas menunjukkan bahwa kawin sirri dilakukan diperantauan karena

adanya keterbatasan-keterbatasan, dalam hal ini keterbatasan surat administrative

(tidak memenuhi persyaratan menjadi TKI), sehingga keadaan ini memaksa mereka

untuk melakukan kawin sirri. Mungkin hal tersebut merupakan salah satu ciri hidup

diperantauan yang semuanya serba berada dalam keterbatasan. Namun, ketika mereka

sudah hidup bebas dinegaranya sendiri, mereka mendaftarkan perkawinannya.

Pembuatan surat nikah susulan karena perkawinan semula dilakukan di perantaun,

biasanya dilakaukan oleh perawan atas peermintaan keluarganya. Namun yang

demikian tidak terjadi pada wanita janda, sebagaimana diceritakan oleh Anas dan

Titin.

64
Anas:

“sengko‟ kenal bine e Banjarmasin. Bapa‟e sa kancaan meca‟. Sengko‟ senneng ka


ana‟e. akherra sengko‟ atotoran dha‟ tang kancah je‟ sengko‟ terro ngabinah ana‟eh
ban etaremah. Aherra binderaeh se makabin, saksena orengtowana bine. Sengko‟ ta‟
pernah mekker agabay sorat kabin, katembang makalowar pesse sekitar Rp 300.000,-
Rp 500.000,- lebih baik e gabay modal akabin, soalla padha malarat. Sengko‟ ta‟
andhi‟ neat agabay en-maenan, maksodda abine pole…”
(Saya mengenal istri di Banjarmasin. Bapaknya adalah teman menarik becak. Saya
menyukai anaknya, akhirnya saya bercerita ke teman yang lain kalau saya ingin
memperistri anaknya. Niatku diterima dengan baik, akhirnya akad nikah dilakukan
oleh seorang kiai dan orangtua laki-laki istri sebagai saksi. Saya tidak berpikir
membuat surat nikah karema daripada mengeluarkan uang sekitar Rp. 300.000 – Rp
500.000, lebih baik buat modal nikah karena kita sama-sama orang miskin. Yang
penting saya tidak berniat mempermainkannya, maksudnya beristri lagi….
Titin:

“sengko‟ akabin pole ban oreng pasuruan, taon 1997 e Banjarmasin. Teppa‟eh jiya
se makabin bindereh kampongan, saksenah sala settungnga bapak, ban ngonjeng
tetangge padha parantauan. Sateya sengko‟ andhi‟ anak settung, lake‟. Sampe‟
sateya sengko‟ ta‟ pernah ngajae‟ lake agabay sorat kabin. Menurut sengko‟ sorat
kabin jiya ta‟ penting, se penting dha‟ remma lake tanggung jawab dha‟ kaluarga,
apanpole sengko‟ ella janda se andhik anak settung. Tonggel ariya bae sengko‟ ce‟
asokkorra, apanpole sengko‟ ta‟ alako, coma abathe‟, ollena coma cokop melle
jajana nak-kana‟.
(Saya menikah kedua dengan orang pasuruan tahun 1997 di Banjarmasin. Saat itu
yang mengakadnikahkan adalah bidereh/kiai setempat, bapak menjadi salah satu
saksi. Sekarang dikaruniai anak satu, laki-laki. Samapi saat ini saya tidak pernah
mengajak suami untuk membuat surat nikah. Karena menurut saya surat nikah itu
tidak penting, yang penting adalah bagaimana suami ertanggungjawab terhadap
keluarga, saya dan anak-anak, apalagi saya adalah seorang janda yang mempunyai
anak satu. Dengan keadaan sepeti sekarang ini saya sudah sangat bersyukur, apalagi
saya tidak bekerja, Cuma membatik, yang hasilnya hanya cukup untuk membeli
jajannya anak).

Hal ini menunjukkan bahwa pada wanita janda, tidak pernah menuntut

membuat surat nikah, karena mereka menganggap sudak tidak mempunyai kesucian

dan kehormatan lagi sebagaimana dimiliki oleh perawan. Yang penting suami

bertanggungjawab terhadap kehidupan keluarga.

65
Selain itu, faktor ekonomi menjadi salah satu penyebab praktek kawin sirri

terjadi diperantauan. Penduduk Bumianyar meresa biaya yang harus dikeluarkan

untuk mendaftarkan perkawinannnyadi kedutaan Indonesia sangat mahal, hamper

sama dengan gaji satu bulan, sehingga mereka mempunyai pemikiran lebih baik

dikirimkan ke Madura untuk bangun rumah atau untuk kebutuhan anak-anak yang

tinggal bersama neneknya.

Selain itu, faktor ketidaktahuan penduduk akan fungsi surat nikah telah

menyebabkan pasangan suami istri meremehkan adanya surat nikah, sehingga

menyebabkan praktek kawin sirri terjadi dari generasi ke generasi berikutnya, apalagi

jika dikaitkan dengan kehidupan meraka di perantauan yang hidup dalam keterbatasan

karena status mereka sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI) illegal.

Faktor lain yang menyebabkan kawin sirri di perantauan adalah poligami,

seorang laki-laki yang menginginkan kawin lagi diperantauan akan melakukan kawin

siriri, namun kebanyakan dari laki-laki, sebelumnya tidak pernah mengaku kalau

sudah mempunyai istri. Hal tersebut baru terungkap setelah keduanya sama-sama

kembali ke Madura. Poligami yang dilakukan sepengetahuan istri tua tidak mungkin

diijinkan. Oleh karena itu, poligami yang dilakukan diperantauan, setelah kembali ke

Madura akan mengalami masalah, apakah perkawinan tersebut berlanjut atau tidak,

tergantung dari istri muda dan keluarga seperti yang terjadi pada Nina.

Nina:

”sengko‟ akabin ben oreng Arosbaya e Malaysia tahon 1999, se daddi wali teppa‟eh
jiya hakim, polN sengko‟ ta‟ andhi‟ keluarga se merantao. Teppa‟e jiya sengko
sengaja ta‟ daftar kedutaan polana lake mangkatta lebat budhi, ban pole majarra ce‟
larangnga. Taon 2001, karna sake‟ sengko‟ mole dha‟ madure tape lake tetap e
Malaysia. Tape ta‟ labit tang lake mole kiya, tape ta‟ laju dha‟ roma, tape dha‟

66
romana arosbaya. Teppa‟e bahda e Madure lake entar dha‟ roma coma tello kale.
Tersinggung ban carana, keluarga nyoro tetangge entar dha‟ romana lake ban abale
ja‟ ekaparlo keluargana sengko‟. Saellanan badha e roma, lake bi; keluarga e
tanya‟agi tentang status kabina sengko ban lake. Lake ajawab je‟ sengko‟ tetep
binena. Kaluarga menta e patemmo ban oreng towana lake e Arosbaya, tape lake ta‟
endha‟. Aherra lake ngako je‟ andhi‟ bine ban anak. Teppa‟eh jiya binena sake‟ sara,
padahal e Malaysia ngako duda andhik anak serttung. Kaluarga menta lake andhik
bakto rutin dha‟ sengko‟ ternyata lake ta‟ bisa ngabulaki pamentaan kelaurga.
Aherra kaluarga ta‟ bisa narema ban menta sengko‟ ban lake ngahere hubungan
(apesa) ce‟-becce‟..

(saya menikah dengan orang Arosbaya di Malaysia tahun 1999. Yang menjadi wali
saat itu adalah hakim karena saya tidak emmpunyai keluarga yang merantau disana.
Pada saat itu, kami sengaja memang tidak mendaftarkan perkawinan di Kedutaan
Indonesia di Malaysia karena suami berangkatnya secara illegal selain itu juga
bayarnya mahal. Tahun 2001 karena sakit saya harus pulang ke Madura tapi suami
tetap di Madura. Namun tidak lama kemudian dia menyusul pulang tetapi tidak
langsung ke rumahku tapi kerumahnya di Arosbaya. Selama kami di Madura terlebih
saat itu saya sakit, dia hanya mengunjungi saya tiga kali. Tersinggung dengan caranya
dalam memperlakukan saya, keluarga menyuruh tetangga untuk mencari rumahnya
dan disuruh menghadap ke keluarga besar saya. Sesampainya dirumah, saya dan dia
didudukkan dihadapan keluarga dan ditanya tentamg status hubungan kami. Dia
menjawab bahwa saya adalah tetap istrinya. Saat itu, keluarga meminta saya
dikenalkan dengan keluarganya di Arosbaya tetapi dia menolak karena ternyata dia
masih mempunyai istri dan saat itu iatrinya sakit keras, padahal ketika di Malaysia
mengaku sebagai duda dengan satu anak, dan keluarga juga minta dia mempunyai
waktu khusus untuk saya bukan dating semaunya. Ternyata dia tidak bisa memenuhi
semua permintaan keluarga, dan akhirnya keluarga saya meminta kita untuk
mengakhiri hubungan (bercerai). Sejak saat itu, kami tidak pernah bertemu kembali.
Sebenarnya saya masih sangat mencintai dia, tapi mau giman lagi kalau dia tidak
mengahargai saya dan keluarga).
Bahar:

“sengko‟ akabin ban oreng banyuates tahon 1999 e Pontianak. Se daddi wali hakim
(kiai kampongan), sebab bine ta‟ andhi‟ keluarga e dissa. Sabendera, molae badha e
Madura sengko‟ ella ngabina bine, karna sengko‟ ce‟ cintana. Tape keluarga ta‟
setuju, polana janda, sementara sengko‟ gi‟ perjaka, aherra sengko‟ janjian atemmo
e Pontianak, maggu ta‟ mangkat abereng. Kabater alako dusa (zina), aherra sengko‟
akabin bai. Sampe sateya bine ban keluargana ta‟ perna da-kanda agabaya sorat
kabin…
(Saya mengawini istri, orang Banyuates, tahun 1999 di Pontianak, yang menjadi wali
pada saat itu adalah hakim/ bindereh, karena istri tidak mempunyai keluarga disana.
Sebenarnya keinginan saya untuk mengawini istri sejak di Madura, karena kami
saling mencintai. Tapi keluarga saya tidak merestui karena istri seorang janda,
sementara saya masih perjaka. Akhirnya kami janjian ketemu di Pontianak meskipun
tidak berangkat bersama. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kami

67
memutuskan untuk menikah saja. Sampai saat ini istri dan keluarganya tidak pernah
menyinggung untuk membuat surat nikah...)

Hal diatas menunjukkan bahwa kawin sirri dilakukan karena tidak mendapat

restu dari orangtua, sehingga mereka melakukan perkawinan jauh dari orangtua yaitu

diperantauan.

Selain itu kawin sirri juga dilakukan untuk menghindari dosa. Meraka yang sama-

sama mencintai sering jalan berdua, dan mereka khawatir tidak dapat mengontrol diri

mereka sehingga jalan yang diambil adalah kawin sirri. Kawin sirri adalah sah dan

jalan terbaik untuk menghindari dosa yang lebih besar berupa zina. Keyakinanan

tersebut berhubungan dengan ajaran agama yang diajarkan oleh para kiai/bindereh

meskipun tidak secara langsung, misalnya dengan dilakukan poligami oleh para kiai

melalui jalan kawin sirri.

B. Pengaruh Kawin Sirri terhadap Hubungan dalam Keluarga

1. Pengaruh Kawin Sirri terhadap Hubungan dalam Keluarga pada pasangan

Kawin Sirri yang Bercerai

Bagaimana pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga pada

pasangan kawin sirri yang telah bercerai diceritakan oleh Agus-Indra.

Indra:

“sengko‟ andhi‟ anak lake‟ duwa‟, bine‟ omor 12 taon, ban anak lake‟omor 8
taon, ben lakeh nomer duwe‟, agus, oreng Pontianak. Sengko‟ apesa, teppa‟e anak
omor 5 ben 1 taon, se lake neng-enneng ban sengko, se bine‟ noro‟ lake. Lake abali
dha‟ Pontianak. Molae jiya sengko‟ ban lake ta‟ perna a hubungan pole. Untuk gabay
biayana anak sengko‟ nyare lako da‟ Malaysia. Anak e patorok da‟ emabana.

Hubunganna sengko‟ ban anak becce‟. Coma mon sengko‟ baru dating dari
Malaysiabiasana lo-malo, ade‟ mak-semma‟ da‟ sengko‟. Tape saellana olle sabulen

68
lebbi biasana molai akrab ban ta-careta tentang sakolanan, kancana, ngajina ban en-
laen, ban sering abanto sengko, biasana datengga sakola.

Marena apesa ben sengko‟ lake ban anak jarang ahubungan, coma tello kale, coma
lebat telepon.sampe sateya lake coma akereman dukale da‟ ana‟e, aropa pesse ban
en-maenan..padana hubunganan ban lake, hubungana ban keluargana lake ta‟
pernah, pada bai ben hubunganna anak ben keluargana lake…
(saya mempunyai seorang anak laki-laki, sekarang berumur 12 dan 8 tahun, dengan
suami Agus orang Pontianak. Perceraian terjadi ketika anak saya berumur 5 dan 1
tahun, anak pertama laki-laki tinggal bersama saya, dan anak kedua perempuan
tinggal bersama suami. sementara suami kembali ke Pontianak. Sejak perceraian itu
aku dan suami tidak pernah ada komunikasi lagi. Untuk memenuhi kebutuhan anak,
saya merantau ke Malaysia, sementara anak saya tititpkan ke neneknya. Hubungan
saya dan anak cukup akrab. Hanya saja ketika saya baru dating dari Malaysia, dia
malu-malu, tidak mau dekat saya, namun setelah satu bulan dia mulai akrab dan
cerita-cerita tentang sekolah, teman, tempat ngajinya dan lain-lain. Setelah pulang
sekolah terkadang ia membantu saya di dapur. Sejak terjadi perceraian, suami dan
anakkau jarang sekali komunikasi, cuma 3 kali telepon. Selama itu pula suami
mengirimi uang anaknya 2 kali, uang dan mainan…)

Hal diatas menunjukkan bahwa hubungan antara suami-istri-anak pada kelauarga

kawin sirri yang sudah bercerai adalah terputus, artinya tidak ada komunikasi, baik

melalui telepon apalagi bertemu. Yang demikian terjadi pula pada mantan pasangan

akwin sirri yang bercerai dan tempat tinggalnyaberjauhan, salah satu pasangan

berasal dari luar daerah Madura. Biasanya perkawinan tersebut dilakukan di

perantauan.

1. Hubungan suami-isti

Hubungan suami istri pasda pasangan kawin sirri yang sudah bercerai

terputus. Kesibukan masing-masing pasangan telah membuat mereka tidak pernah

berpikir untuk menelpon atau menemui mantan suami-istri meskipun mereka

memiliki anak yang tinggal bersama masing-masing pasangan, seperti yang terjadi

pada Indra dan suaminya Agus (orang Pontianak).

69
Selain itu anggapan “tidak sopan” bagi pasangan yang telah bercerai untuk

bertemu, yang dapat mengakibatkan petengkaran antara keluarga mantan

pasangan masing-masing, apabila telah berkeluarga dan dapat menimbulkan

cemoohan masyarakat, yang dianggap dalam pepatah ”copa se epakalowar e

galunyu‟ pole” (ludah yang dibuang dujilat lagi), artinya keputusan yang telah

diuambil, dalam hal ini perceraian, dibatalakan/rujuk kembali dengan mantan istri.

Pada saat itu, semua keluarga dan yang bersangkutan merasakan aib dan malu

pada semua orang. Hal ini pulalah yang menyebabkan rujuk pada masyarakat

Madura jaang sekali terjadi.

2. Hubungan orangtua-anak

Hubungan orangtua-anak pada pasangan kawin sirri yang bercerai juga

terputus atau sangat jauh seperti yang dialami agus dan anak lakinya yang tinggal

bersama mantan istrinya (Indra). Keadaan tersebut salah satunya disebabkan

faktoe ekonomi orangtua yang pas-pasan, sehingga membuat para orang tua lebih

berpikir untuk mencari kerja, kesibukan ini membuat para orangtuasemakin jauh

dari anaknya. Berkomunikasi, baik melalui telepon terlebih bertemu langsung

harus mengeluarkan banyak uang. Selain itu, adanya keyakinan penduduk

Bumianyar tentang seorang anak, terlebih bagi anak laki-laki, akan tetap mencari

orangtuanya meskipun lama terpisah, membuat para orangtua tidak pernah kuatir

akan kehilangan anaknya meskipun tidak pernah bertemu dan anaknya tidak

memiliki akte kelahiran.

Sedangkan hubungan orangtua-anak yang tinggal bersama pada keluarga

kawin sirri yang bercerai adalah baik, meskipun anak ditinggal merantau dan anak

70
dititipkan ke neneknya, seperti yang dialami oleh Indra dengan anak laki-lakinya,

karena mereka tetap menjalin komunikasi baik melalui telepon maupun bertemu

secara langsung ketika orangtua kembali ke Madura. Disaat bertemu dan tinggal

bersama, anak-anak membantu para orangtua berdasarkan kemampuannya, seperti

memasak, membersihkan rumah, mencuci dan lain-lain.

3. Hubungan antarsaudara (siblings)

Hubungan antarsaudara pada keluarga kawin sirri yang bercerai juga terputus,

sebagaimana dialami oleh anak-anak kawin sirri Indra-Agus. Sejak terjadi

perceraian, saat itu anak pertama perempuan, berumur 5 tahun dan adiknya laki-

laki, umur 1 tahun, sampai saat ini mereka berumur 12 tahun dan 8 tahun, belum

pernah berjumpa atau berhubungan/komunikasi satu sama lain

4. Hubungan antara keluarga inti kawin sirri dengan rumah tangga lainnya

Sebagaiman hubngan dalam keluarga inti, hungan antara keluarga inti dengan

rumah tangga lainnya, khususnya mertua juga terputus. Hal tersebut nampak dari

tidak adanya komunikasi baik melalui telepon maupun bertemu secara langsung.

Salah satu penyebabnya adalah jarak tempat tinggal yang jauh, ekonomi juga

kesibukan masing-masing keluarga.

Putusnya hubungan keluarga kawin sirri yang bercerai, khususnya mengenai

hubungan orangtua anak dan hubungan antarsaudara (siblings), dikarenakan

keluarga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Adapun fungsi pokok keluarga

yaitu: tempat menikmati bantuan, mendapatkan keamanan dalam hidup, mendapat

pengasuhan, dan mendapatkan pendidikan. Artinya ayah ibu tidak lagi menjadi

71
temapt bagi anak untk mendapatkan bantuan, kemanan, pengasuhan dan

pendidikan sehingga hubungan menjadi terputus, ditambah lagi tidak adanya

komunikasi diantara mereka. Hal ini membawa dampak pada kaburnya garis

keturunan/ nasab suatu keluarga. Artinya ayah/istri tidak tahu terhadap nak-

anaknya, demikian halnya anak-anak dan antarsaudara tidak saling mengenal.

Dikhawatirkan apabila kelak diantara mereka saling menyukai dan melakukan

perkawinan karena mereka tidak saling mengenal antara satu dengan lainnya,

maka incest tidak dapat dihindari lagi.

Oleh karena itu kawin sirri bukan hal sepele yang hanya berkaitan dengan

“sah” atau “tidak sahnya” suatu perkawinan, tetapi lebih dari itu ia memiliki

pengaruh yang sangat besar terhadap perkembanga peradaban manusia, baik

dalam hubungan sesamanya maupun dalam hubungan sebagai anggota masyarakat

bahkan mempengaruhi bnetuk masyarakat.62

Sedangkan hubungan dalam keluarga, khususunya hubungan orangtua anak

dan hubungan antarsaudara (siblings) pada keluarga kawin sirri dan tempat

tinggalnya berdekatan atau perkawinannya dilakukan di desa Bumianyar adalah

cukup baik, karena antara mereka masih ada komunikasi baik melalui telepon

maupun bertemu langsung. Sedangkan hubungan suami istri terputus, terkadang

ada pula yang bermusuhan.

62
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara.2002), h. 239

72
2. Pengaruh Kawin Sirri Terhadap Hubungan dalam Keluarga pada Pasangan

Kawin Sirri yang Tidak Bercerai

Bagaimana hubungan keluarga pada pasangan kawin sirri yang tidak bercerai

akan di ceritakan oleh pasangan Latief-Rahma, Ana-Titin dan Hendra-Vita.

Pasanagan Latief-Rahma , yang melakukan kawin sirrmi di Bumianyar

Latief :

“ Bine jiya orengnga sangat ngerte da‟ kebutoenna sengko‟. Mon gi‟ laggu amassa‟,
nyeapagi gun-laggun,sebelum sengko alako. Teppa‟e bine sibuk e dapor‟ sengko‟
mandi‟I ana, deng-kadeng nolongi keya e dapor. Pesse olena alakoh bi‟ sengko‟ e
bagi kabbi da‟ bine. Bine biasana atotoran mon pessena e kabalanje‟e.

Keluarga sengko‟ andi‟ kebiasaan a kompol, marena sholat magrib sambi neggu TV.
Sebelum tedung bisana sengko‟ da-kanda masalah anak, lako ban masalah
keluaraga. Deng-kadeng sengko‟ ban bine a bug-rembu‟ ban mattowa misalla
tentang kabinanna sengko‟. Karna jiya, mattowa rencana agabay sorat kabin pole.
Taoh bileh……polana sorat kabin jiya e kabutoh mon bine noro‟a sengko‟ ngerem
bareng da‟ Pontianak. Lakar …sampe‟ sateya ta‟ pernah noro‟.
Sengko‟ ban anak akarab. Maggu mon siang jarang atemmo karma alako,tape mon
malem akompol, deng-kadeng marengngi maen. Sereng sengko‟ ngaja‟ anak ngerem
kaju mon ta‟ pate jau,bakto alako. Padha hubunganna ban anak , habunaganna
sengko‟ ban matowa ce‟ becce‟na. Sengko‟ dhang-kadhang agente mattowa ngater
dagengan dha‟ Pontianak. Salaen jiya setiap are are sengko‟ abanto ngare‟gabay
pakanna sape. Ya…sengko‟ lakar e banto mattowa gabay kabutoanna
keluarga,misalla dalem balanja tiap arenah.Sengko‟ ta‟ pernah makaloar
pesse,karma sengko‟ gi‟apolong ban mattowa,mattowa alarang sengko‟ ban bine
alaen (amassa‟ dhibi‟) ,karna bine anak kadhibi‟an. Pesse ollena alakoh esempen
ban gabay kabutoanna bine,anak ban sengko‟.
(Istriku adalah ibu rumah tanga yang baik. Dia sangat mengerti akan kebutuhan saya.
Pada waktu pagi dia sudah memasak dan menyiapkan sarapan sebelum saya
berangkat kerja. Ketika dia sibuk di dapur saya memandikan anak dan terkadang
membantu dia didapur. Uang hasil kerja saya berikan semua pada istri dan dia selalu
bermusyawarah apabila membelanjakannya. Kami mempunyai kebiasaan berkumpul
dengan keluarga setelah sholat magrib sambil nonton TV. Sebelum tidur biasanya
kami pergunakan untuk membicarakan anak,pekerjaan dan masalah keluarga.
Terkadang kami juga melibatkan keluarga lain dan mertua dalam memecahkan
masalah,contohnya ststus perkawinan kami. Oleh karena mertua merencanakan akan
mendatarkan kembali,entah kapan...karena surat itu di butuhkan apabila istri ikut
mengantarkan barang dagangan ke Pontianak. Memang...sampai sekarang dia belum

73
pernah ikut. Hubungan saya dengan anak sangat baik. Meskipun pada siang hari
jarang bertemu karena bekerja,tapi malam hari kami berkumpul dan menemani
mereka bermain. Tak jarang saya mengajaknya ketempat kerja sebagai supir truk
kayu. Sama hubungannya dengan anak,hubungan saya dengan mertua sangat baik.
Saya terkadang menggantikan mertua mengantarkan barang dagangan ke Pontianak.
Selain itu, setiap hari saya mencari rumput pakan sapi,karena beliau petani sekaligus
berdagang sapi. Ya..memang saya masih dibantu mertua dalam hal kebutuhan rumah
tangga(masak didapur sendiri) karena istriku anak tunggal. Oleh karena itu,uang hasil
kerja ditabung.
Rahma :
”Hubungan sengkok kalaban lakeh sangat bagus,lakeh bertanggung jawab. Lakeh
jiya somber ekonomi keluarga. Maggu sampe‟ sateya sengko‟ gi‟ apolong saroma
ban oreng towa sarta ta‟ amassa‟ dhibi‟, karna oreng towa alarang polana anak
kadhibi‟an. Keluarga andhi‟ kebiasaan akompol marena magrib, sambi neggu TV.
Sebelum tedung biasana de-kande masalah anak ban lakoh. Dang- kadang sengko‟
ban lakeh a beg-rembeg maso oreng towa,misalla cara lakeh se ce‟ kerrassa adidik
anak.Hubungan sengko‟ ban anak sangat baik,setiap arena apolong ban sengko‟ e
roma karna sengko Cuma ebu roma tangga biasa.Kegiatan sengko‟ e roma
amassa‟,nyassa,ajage anak ban ajage toko se ajualan jajan na‟kana‟ban kabutuan
rumah tangga. Ya..ketimbang nganggur buk,ban pole mon jefri terro jajan sengko‟
ta‟osa melleh dha‟ toko laen. Hubungan sengko‟kalaban mattowa becce‟ kiya.
Mattowa ce‟ neserra ka sengko‟ban kompoyya. Karna jiya tiap taon sengko‟ ekeremi
pesse,biasana telasan.Taon bari‟ ekeremi duwe‟ juta.Bi‟ sengko‟ ekabelli gelleng.
Mattowa badha e Pontianak maggu sabenderra oreng madura.Sengko‟ta‟ pernah
dha‟ dissah,paleng-paleng mattowa se entar dha‟ kanna‟. Sengko‟ coma entar dha‟
romana se emadura. Biasana setiap badha kalakoan misalla
mantenan,tellasan,hajjian ban laen-laen. Sengko‟ta‟ perna acareta tentang
kabinanna sengko‟ka mattowa. Tape.....ella e urus eppa‟.
(Saya Rahma,anak tunggal. Umur 18 tahun dikawinkan dengan anak teman bapak.
Sekarang sudah mempunyai anak satu orang berumur 3 tahun. Menjelang perkawinan
dilaksanakan saya telah diminta untuk menyerahkan foto dan Kartu Tanda Penduduk
(KTP) oleh bapak,katanya untuk diserahkan ke kepala desa, untuk pembuatan surat
nikah. Pada perkawinan saya memang yang mengakad nikahkan adalah bindereh(guru
ngaji) ,tapi saat itu dilaksanakan dihadapan penghulu. Ya saya tidak bertanya
mbak,karena saya berada dalam kamar.
Sampai saat ini saya tidak pernah dapat surat nikah. Bapak pernah menanyakannya
pada kepala desa, tapi kepala desa menyuruh untuk menanyakannya kepada kepala
desa, sampai akhirnya bapak penghulunya meninggal. Jadi sekarang bingung harus
minta kepada siapa surat nikah tersebu)

Misalnya cara suami mendidik anak yang terlalu keras. Hal tersebut biasanya kami
lakukan dilanggar setelah sholat magrib berjemaah.
Hubungan saya dengan anak sangat baik.Setiap hari dia tinggal di rumah bersama
saya karena saya hanya ibu rumah tangga biasa,kegiatanku Cuma memasak, menjaga

74
anak serta toko jajanan dan kebutuhan rumah tangga, ya..dari pada nganggur
mbak,dan lagi apabila Jefri ingin jajan saya tidak usah beli ke toko lain. Hubunganku
dengan merta sangat baik .Mereka sangat sayang padaku dan anakku. Oleh karena itu
setiap tahun aku dikirimi uang,biasanya mendekati lebaran . Lebaran kemarin dikirimi
2 juta dan aku belikan gelang. Mertua ada di Pontianak meskipun beliau orang
madura. Saya belum pernah kesana,paling mertua yang datang kesini. Saya cuma
berkunjung ke rumah yang di madura .Itupun apabila ada acara keluarga seperti
kawinan,naik haji dan lain- lain.

Saya tidak pernah membicarakan status perkawinan saya dengan mertua. Tapi...itu
sudah diurus bapak).
Pasangan Anas-Titin yang melakukan kawin sirri di perantauan, Banjarmasin:

Titin :

”Hubunganna sengko‟ ban lake sangat baek. Lake ce‟ ngartena dha‟ sengko‟. Moon
sengko‟ sake‟, se amssak untuk keluarga biasana lake, karna nak bine‟ sengko‟
sekolah dari pagi sampe lem-malem. Karna jiya bannya‟ oreng ngoca‟, sengko‟ bejre
olle lake tonggel jiya. Hasella lako ban arena e bagi dha‟ sengko‟ langsung, gabay
belenje.
Anak sangat akrab ban sengko‟, karena sengko‟ badha eroma teros, seteop mole
sakola sengko nyiapagi ngakan siangnga nak-kanak. Nak-kanak sering abanto
sengko‟ amassa‟, abersia ban en laen, mon sakolaenna prei.
Mon badha kalakowan sengko‟ entar dha‟ romana mattowa, misalla kabinan,
kapatean, ban en-laen. Namon re-are biasana enje‟ polana ce‟ jauna ban ongkossa
larang.
Sataretanan, keduwa‟ anak sengko‟ ce‟ akrabbah. Sering areng-bereng seperte mon
amaen, sekolah, ngajig bahkan mon abanto oreng towa abereng terros..
(Hubungan saya dengan suami sangat baik sekali. Suami sangat mengerti tentang
saya. Apabila saya sakit, dialah yang memasak untuk keluarga, karena nak kami
sekolah dari pagi hingga sore. Oleh karenanya banyak orang biulang kalau saya
beruntung mendapatkan suami seperti dia. Hasil kerjanya setiap hari langsung
diberikan kepada saya untuk keperluan rumah tangga.
Anak-anak sangat akrab dengan saya karena saya selalu dirumah. Setiap pulang
sekolah saya menyiapkana makan siangnya. Mereka juga sering membantu saya
seperti memasak, mencuci, menyapu apabila sekolahnya libur.
Apabila ada aktivitas sosial pada mertua dan sanak keluarga suami seperti
perkawinan, pertunangan, sakit, kematian maka saya mengunjunginya. Namun tidak
pada hari-hari biasanya karena sangat jauh dan ongkosnya sangat mahal.

75
Antar saudara, kedua anakku sangat akrab. Hal tersebut terlihat mereka selalu
bersama, bermain, sekolah madrasah maupun sekolah dasar, ngaji bahkan ketika
membantu kamipun mereka selalu bersama)

Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara suami-istri, orangtua-anak,

antara saudara pada keluarga kawin sirri yang tidak bercerai sangat baik. Demikian

halnya dengan hubungan anatara keluaraga inti kawin sirri dengan rumah tangga

lainnya adalah sangat baik pula, sebagaimana yang terjadi pada hubungan keluarga

pada umumnya.

1. Hubungan antara suami-istri

Hubungan suami-istri pada keluarga kawin siriri yang tidak bercerai pada

umumnya sangat baik. Hal ini karena suami istri bertanggungjawab terhadap

kewajiban masing-masing, misalnya suami sebagai kepala keluarga bertugas

mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga, bertugas sebagai wakil

keluarga bila berhubungan dengan masyarakat, bertugas melindungi keluarga

dengan membimbing seluruh anggota keluaraga agar berkembang sesuai dengan

keinginannya dan mengawasi pendidikan anak-anaknya.

Istri sebagai ibu rumah tangga bertugas mengatur dan mengelola rumah

tangga, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, mengasuh dan membina anak

dalam pendiudiakn, mewakili suami, membina kerukunan rumag tangga,

singkatnya mnegurusi kehidupan rumah tangga, kesehatan anak dan suami dan

membantu mencari nafkah bagi keluarga seperti membatik dan berjualan.

76
Disamping itu mereka mempunyai kebiasaan memusyawarahkan

permasalahan keluarga seperti masalah anak, keuangan, pekerjaan dan lain-lain

sehingga membuat hubungan mereka terjalin dengan baik.

2. Hungan antar orangtua-anak

Hubungan antara orangtua-anak juga sangat baik. Hal tersebut nampak anak

selalu membantu orangtua sesuai dengan kemampuannya masing-masing,

misalnya seperti yang dilakukan anaknya Titin yaitu membersihkan rumah,,

mencuci, memasak dan lain-lain. Kedekatan orangtua-anak juga nampak pada

kebiasaan orangtua dalam menemani anaknya yang masih kecil bermain dan

terkadang mengajak anak ke sawah.

3. Hubungan antara saudara (siblings)

Hubungan antarasaudara juga bagus. Hal tersebut nampak dari kebiasaan

anak-anak yang selalu bersama-sama baik pada waktu bermain, sekolah dan

mengaji. Selain itu, mereka juga melakukan pembagian kerja sesuai kemampuan

masing-masing, seperti yang diulakukan oleh kedua anaknya Titin-Anas

4. Hubungan antara keluarga inti kawin sirri dengan rumah tangga lainnya

Hubungan keluarga inti kawin sirri yang terdiri dari suami-istri-anak, dengan

rumah tangga lainnya, khususnya orangtua istri/susmi (mertua) adalah sangat

baik. Hal ini dari adanya bantuan dari anggota rumah tangga lainnnya, apabila

keluarga inti mengalami kesulitan misalnya ekonomi, pekerjaan dan lain-lain.

Demikian halnya apabila mertua mengalami kesulitan, maka keluarga pasangan

kawin sirri juga membantu.

77
Hubungan dalam keluarga kawin sirri yang tidak bercerai sangat baik, hal ini

disebabkan karena keluarga berfungsi sebagaimana mestinya. Adapun fungsi

pokok keluarga yaitu: tempat menikmati bantuan, mendapatkan keamanan dalam

hidup, mendapat pengasuhan, dan mendapatkan pendidikan. Artinya suami adalah

pelindung bagi istri dan anak-anaknya. Sebaliknya istri adalah pusat kedamaian

bagi keluarganya, dan ia juga teman berbincang-bincang bagi suami.

Selain tiu, suami sebagai kepala keluarga, bertugas mencari nafkah untuk

mencukupi kebutuhan keluarga, juga sebagai wakil keluarga bila berhubungan

dengan masyarakat, melindungi keluarga, bertanggungjawab terhadap kehidupan

keluarga, dengan membimbing seluruh anggota keluarga agar berkembang sesuai

keinginannya dan mengawasi pendidikan anak-anaknya.

Seorang istri mempunyai fungsi dan peranan mengatur dan mengelola rumah

tangga dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak dan membina

anak dalam pendidikan, mewakili suami, membina kerukunan rumah tangga,

singkatnya mengurusi kehidupan rumah tangga, kesehatan anak dan suami, dan

banyak pula yang bekeraj untuk membantu mencari nafkah bagi keluarganya,

seperti berdagang, membatik, bertani dan menjadi buruh tani.

78
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka

didapat kesimpulan sebagai berikut :

1. Kawin sirri telah mengalami pergeseran makna, mulai munculnya istilah yaitu

pada masa kholifah Umar bin Khattab, sampai pada pandangan para imam

mazhab yaitu imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, dan kemudian

berlanjut pada pandangan hukum positif negara setelah dikeluarkannya

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Kawin sirri,

pada awalnya merupakan suatu perkawinan yang dilakukan tanpa adanya saksi

yang lengkap, yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan. Kaitannya

dengan ini para imam mazhab sepakat kalau perkawinan tersebut harus

dibatalkan atau tidak sah. Pada perkembangan berikutnya, kawin sirri

merupakan perkawinan seperti pada umumnya yang dilakukan dengan

memenuhi semua rukun dan syarat perkawinan, tetapi saksi diminta untuk

merahasiakannya pada masyarakat. Kaitannya dengan hal tersebut, para imam

mazhab berbeda pendapat seperti Imam Malik memandang perkawinan

tersebut tetap batal atau tidak sah, karena pengumuman (i‟lan) merupakan

syarat mutlak sahnya perkawinan. Sedangkan keberadaan saksi hanya syarat

pelengkap, maka perkawinan yang ada saksi tetapi tidak ada pengumuman

adalah perkawinan yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan Imam Abu

79
Hanifah dan Asy-Syafi’i memandang perkawinan tersebut sah, karena fungsi

saksi itu sendiri adalah pengumuman (i‟lan). Oleh karena itu, kalau sudah

disaksikan tidak perlu lagi ada pengumuman khusus. Kehadiran saksi pada

waktu melakukan akad nikah, sudah cukup mewakili pengumuman, baik

meskipun di minta dirahasiakan. Sebab menurutnya, tidak ada lagi rahasia

kalau sudah ada empat orang. Perkembangan selanjutnya jika dihubungkan

dengan UU No. 1 Tahun 1974, maka kawin sirri menjadi perkawinan yang

telah memenuhi rukun dan syarat sah perkawinan tapi tidak dilakukan

dihadapan PPN dan tidak dicatatkan di KUA. Perkawinan inilah yang saat ini

menjadi mode dan berkembang secara diam-diam pada sebagian masyarakat

Islam Indonesia. Kaitannya dengan ini, hukum negara menganggap

perkawinan tersebut tidak sah.

2. Faktor Penyebab Kawin Sirri dilakukan oleh Penduduk Bumianyar

a. Faktor kawin sirri dilakukan oleh penduduk Bumianyar di Bumianyar

Adapun faktor-faktor kawin sirri dilakukan di Bumianyar oleh

penduduk Bumianyar adalah sebagai berikut :

1. Kehendak Orang tua

Orang tua memaksa anaknya untuk segera menikah karena adanya

tuntutan lingkungan sosial bahwa anak perempuan harus segera

menikah tidak lama setelah haid pertama umur 12-15 tahun. Umur

tersebut, tidak memenuhi ketentuan batas minimal diperbolehkannya

perkawinan pada wanita yaitu umur 16 tahun, sebagaimana di atur

dalam UU No. 1 tahun 1974 Pasal 7 ayat (1). Keadaan inilah

menyebabkan orang tua melakukan kawin sirri pada anaknya.

80
Selain itu kekhawatiran para orang tua akan tidak langgengnya

perkawinan anak, karena perkawinan dilakukan dengan paksaan,

menyebabkan pula para orang tua melakukan kawin sirri pada

anaknya.

2. Keyakinan

Masyarakat mempunyai keyakinan bahwa perkawinan merupakan

hubungan manusia dengan Allah sehingga masyarakat merasa sudah

“mantap” apabila perkawinannya diaggap sah menurut agama, meski

tanpa dicatat di KUA.

Keyakinan tersebut disebabkan adanya ajaran Agama yang diberikan

oleh para kyai, baik langsung berupa para kyai yang melakukan kawin

sirri, maupun tidak langsung berupa ceramah-ceramah agama tentang

perkawinan. Hal tersebut berhubungan dengan mazhab yang dianut

masyarakat setempat yaitu mashab Syaf’i dan Syaf’I menganggap

perkawinan telah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sah

nikah.

3. Ketidaktahuan Masyarakat akan Fungsi Surat Nikah

Ketidaktahuan masyarakat akan fungsi surat nikah membuat mereka

menggapap surat nikah bukanlah suatu hal yang penting. Hal tersebut

diakibatkan rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh penduduk

Bumianyar, mayoritas berada pada tingkat Sekolah Dasar/Madrasah

Ibtidaiyah.

4. Ekonomi

81
Biaya yang harus dikeluarkan untuk mendaftarkan perkawinan

dirasakan oleh sebagian penduduk Bumianyar begitu memberatkan,

melihat akan pekerjaan mereka mayoritas bertani dan pertanian yang

dimiliki selalu gagal, bahkan hasil pertanian tidak cukup untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya yang sehari-hari.

5. Poligami

Poligami jika dihubungkan dengan UU No. 1 tahun 1979, tentang

perkawinan secara administratif harus didaftar di KUA, Pasal 3, Pasal

4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1), maka proses poligami sulit

dilaksanakan karena istri pertama belum tentu menghendaki suaminya

menikah lagi. Oleh karena itu jalan keluarnya adalah dengan kawin

sirri.

6. Keteledoran Aparat desa atau Pegawai Pencatat Nikah (PPN)

Keteledoran aparat desa atau PPN menyebabkan kaein sirri terjadi di

Bumianyar. Hal ini terjadi karena sebenarnya penduduk telah

mendaftarkan perkawinan sesuai prosedur yang ditentukan tapi

penduduk tidak pernah menerima Surat Nikah, bahkan sampai

mempunyai banyak anak.

b. Faktor kawin sirri dilakukan oleh penduduk Bumianyar di Perantauan

Adapun faktor kawin sirri dilakukan oleh penduduk Bumianyar di

perantauan (Malaysia, Arab Saudi, Banjarmasin, Pontianak dan lain-lain)

adalah sebagai berikut :

82
1. Adanya keterbatasan administratif

Penduduk Bumianyar yang mayoritas berangkat merantau (menjadi

TKI) secara ilegal (tidak memiliki surat-surat lengkap sebagai TKI),

mengalami berbagai keterbatasan ruang gerak seperti dalam hal

melakukan perkawinan, karena jika ketahuan tidak memiliki surat-

surat lengkap menjadi TKI maka akan dipulangkan secara paksa ke

Indonesia. Proses pencatatan perkawinan secara administratif di

perantauan (luar negeri) dilakukan di kedutaan Indonesia di Negara

yang bersangkutan. Untuk itu persyaratan utama yang harus dilakukan

adalah harus memiliki surat lengkap sebagai TKI.

2. Janda

Wanita Bumianyar setelah menjadi janda, kebanyakan pergi merantau

dengan harapan dapat memperbaiki hidup diri dan anaknya (apabila

telah mempunyai anak). Janda, terlebih lagi janda yang telah memiliki

anak merasa tidak lagi mempunyai kesucian dan kehormatan

sebagaimana perawan, sehingga memaksa mereka kawin sirri. Janda

mempunyai anggapan bahwa surat nikah tidak penting lagi yang paling

penting adalah tanggung jawab suami terhadap diri dan anak-anaknya

baik dalam hal perhatian maupun ekonomi.

3. Keyakinan

Masyarakat mempunyai keyakinan bahwa perkawinan merupakan

hubungan manusia dengan Allah sehingga masyarakat merasa sudah

“mantap” apabila perkawinannya diaggap sah menurut agama, meski

tanpa dicatat di KUA.

83
Keyakinan tersebut disebabkan adanya ajaran Agama yang diberikan

oleh para kyai, baik langsung berupa para kyai yang melakukan kawin

sirri, maupun tidak langsung berupa ceramah-ceramah agama tentang

perkawinan. Hal tersebut berhubungan dengan mazhab yang dianut

masyarakat setempat yaitu mashab Syaf’i dan Syaf’i menganggap

perkawinan telah sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat sah

nikah.

4. Ekonomi

Besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk mendaftarkan

perkawinan di Kedutaan Indonesia pada negara yang bersangkutan

dirasakan oleh penduduk Bumianyar di perantauan sangat

memberatkan, sehingga memaksa mereka melakukan kawin sirri.

5. Ketidaktahuan Masyarakat akan fungsi Surat Nikah

Ketidaktahuan masyarakat akan fungsi surat nikah membuat mereka

menggapap surat nikah bukanlah suatu hal yang penting. Hal tersebut

diakibatkan rendahnya pendidikan yang dimiliki oleh penduduk

Bumianyar, mayoritas berada pada tingkat sekolah dasar/ madrasah

ibtidaiyah.

6. Poligami

Poligami jika dihubungkan dengan UU No. 1 tahun 1979, tentang

perkawinan secara administratif harus didaftar di KUA, Pasal 3, Pasal

4 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (1), maka proses poligami sulit

dilaksanakan karena istri pertama belum tentu menghendaki suaminya

84
menikah lagi. Oleh karena itu jalan keluarnya adalah dengan kawin

sirri.

7. Tidak direstui orang tua

Anak yang perkawinannya tidak direstuai oleh orang tua memilih

melakukan perkawinan di perantauan. Hal tersebut dilakukan secara

sirri.

3. Pengaruh Kawin Sirri Terhadap Hubungan dalam Keluarga

a. Pengaruh Kawin sirri Terhadap Hubungan dalam Keluarga pada Keluarga

kawin sirri yang Bercerai

Pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga pada

keluarga kawin sirri yang bercerai di Bumianyar adalah terputus,

artinyatidak ada komunikasi, baik melalui telepon maupun bertemu secara

langsung. Yang demikian terjadi pda mantan pasangan kawin sirri yang

tepat tinggalnya saling berjauhan, luar pulau, karena perkawinan dilakukan

di luar pulau (Perantauan).

1. Hubungan Suami-Istri

Hubungan suami-istri pada pasangan kawin sirri yang bercerai adalah

terputus. Hal tersebut diakibatkan adanya kesibukan masing-masing

pasangan. Selain itu adanya anggapan “tidak sopan” bagi pasangan

yang telah bercerai untuk bertemu, yang dapat mengakibatkan

pertengkaran antara keluarga mantan pasangan masing-masing, apabila

telah berkeluarga dan dapat menimbulkan cemoohan masyarakat,

sehingga keluarga dan mantan pasangan merasakan aib dan malu pada

semua orang.

85
2. Hubungan Orang Tua-Anak

Hubungan orang tua-anak pada keluarga kawin sirri juga terputus. Hal

tersebut diakibatkan keadaan ekonomi orang tua yang terbatas dan

jarak yang jauh antara tempat tinggal orang tua dengan anak. Selain itu

adanya keyakinan orang tua tentang seseorang anak akan tetap mencari

orang tuanya meskipun lama terpisah membuat para orang tua tidak

pernah khawatir akan kehilangan anak meski lama tidak ada

komunikasi, terlebih lagi anak laki-laki.

3. Hubungan antar Saudara (siblings)

Hubungan antara saudara (siblings) pada keluarga kawin sirri juga

terputus. Hal tersebut diakibatkan adanya jarak tempat tinggal yang

jauh antara saudara.

4. Hubungan Keluarga inti kawin sirri dengan rumah tangga lain

Hubungan keluarga inti kawin sirri dengan rumah tangga lainnya,

khususnya mertua/orang tua suami atau istri juga terputus. Hal tersebut

diakibatkan jarak tempat tinggal yang jauh antara keluarga inti kawin

sirri dengan orang tua suami dan istri, ekonomi dan kesibukan masing-

masing keluarga.

Putusnya hubungan keluarga kawin sirri yang bercerai, khususnya mengenai

hubungan antara orang tua-anak dan hubungan antara saudara (siblings),

dikarenakan keluarga tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Adapun fungsi

pokok keluarga yaitu: tempat menikmati bantuan, mendapatkan keamanan dalam

hidup, mendapat pengasuhan dan mendapatkan permulaan dari pendidikannya.

Artinya, ayah atau ibu tidak lagi menjadi tempat bagi anak untuk mendapatkan

86
bantuan, keamanan, pengasuhan dan pendidikan, sehingga hubungan menjadi

terputus, ditambah lagi tidak adanya komunikasi diantara mereka (orang tua-

anak). Hal ini membawa dampak pada kaburnya garis keturunan atau nasab suatu

keluarga. Artinya, ayah atau istri tidak tahu terhadap anak-anaknya, demikian

halnya anak-anak dan antar saudara tidak saling mengenal. Dikhawatirkan apabila

kelak diantara mereka saling menyukai dan melakukan perkawinan karena mereka

tidak saling mengenal antara satu dengan lainnya, maka incest tidak dapat

dihindari lagi. Oleh karena itu kawin sirri bukan merupakan hal sepele yang

hanya berkaitan dengan “sah” atau “tidak sah”nya suatu perkawinan, tetapi lebih

dari itu ia memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan

peradaban manusia, baik dalam hubungan Indonesia sesamanya maupun dalam

hubungan sebagai anggota masyarakat bahkan mempengaruhi bentuk suatu

masyarakat.63

Sedangkan hubungan dalam keluarga, khususnya hubungan antara orangtua-

anak dan hubungan antarsaudara (siblings) pada keluarga kawin sirri dan tempat

tinggalnya berdekatan atau perkawinannya dilakukan di Desa Bumianyar adalah

cukup baik, karena antara mereka masih ada komunikasi baik melalui telepon

ataupun bertemu langsung. Sedangkan hubungan suami-istri adalah terputus,

terkadang ada pula yang bermusuhan.

63
Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 2002), h. 239

87
b. Pengaruh kawin sirri Terhadap Hubungan Keluarga pada Keluarga yang tidak

Bercerai

Pengaruh kawin sirri terhadap hubungan dalam keluarga pada keluarga kawin

sirri yang tidak bercerai adalah sangat baik, artinya hubungan keluarga kawin sirri

terjalin sebagaimana hubungan dalam keluarga pada umumnya.

1. Hubungan Suami-Istri

Hubungan suami istri pada pasangan kawin sirri yang tidak bercerai, pada

umumnya sangat baik karena suami-istri bertanggung jawab terhadap

kewajiban masing-masing. Suami sebagai kepala keluarga bertugas mencari

nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga, sebagai wakil keluarga bila

berhubungan dengan masyarakat, melindungi dan membimbing anggota

keluarga. Istri sebagai ibu rumahtangga bertugas mengatur dan mengelola

rumah tangga, menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, mengasuh dan

membina pendidikan anak, mewakili suami, membina kerukunan rumah

tangga dan membantu mencari nafkah bagi keluarga seperti membatik dan

berjualan.

2. Hubungan Orang Tua-Anak

Hubungan orang tua-anak pada keluarga kawin sirri yang tidak bercerai, juga

sangat baik. hal tersebut nampak, anak membantu orang tua sesuai dengan

kemampuannya dalam membantu orang tuanya.

3. Hubungan Antar Saudara (Siblings)

Hubungan antara saudara (siblings) pada keluarga kawin sirri, juga sangat

baik. hal tersebut nampak anak-anak selalu bersama, baik dalam bermain,

88
berangkat sekolah dan mengaji. Selain itu anak-anak selalu berkerjasama dan

melakukan pembagian kerja sesuai dengan kemampuannya.

4. Hubungan Keluarga Inti kawin sirri dengan Rumah Tangga lainnya

Hubungan keluarga inti kawin sirri dengan rumah tangga lainnya, khususnya

mertua/ orang tua suami atau istri sangat baik pula. Hal tersebut nampak dari

adanya bantuan dari mertua, apabila mengalami berbagai kesulitan seperti

ekonomi, masalah anak, pekerjaan dan sebagainya dengan begitu sebaliknya,

keluarga inti kawin sirri membantu apabila mertua mengalami kesulitan.

Hubungan dalam keluarga pasangan kawin sirri yang tidak bercerai sangat baik,

hal ini disebabkan karena keluarga berfungsi sebagaimana mestinya. Adapun fungsi

pokok keluarga yaitu: tempat menikmati bantuan, mendapatkan keamanan dalam

hidup, mendapat pengasuhan dan mendapatkan permulaan dari pendidikannya.

Artinya, Suami adalah pelindung bagi istri dan anak-anaknya. Sebaliknya istri adalah

pusat kedamaian bagi keluarganya, dan ia juga teman berbincang-bincang bagi suami.

Selain itu, suami sebagai kepala keluarga, bertugas mencari nafkah untuk

mencukupi kebutuhan keluarga, juga sebagai wakil keluarga bila berhubungan dengan

masyarakat, melindungi keluarga, bertanggung jawab terhadap terhadap kehidupan

keluarga, dengan membimbing seluruh anggota keluarga agar berkembang sesuai

dengan keinginannya dan mengawasi pendidikan anak-anaknya.

Seorang istri mempunyai fungsi dan peranan mengatur dan mengelola

rumah tangga dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, dan

membina anak dalam pendidikan, mewakili suami, membina kerukunan rumah

tangga, singkatnya mengurusi kehidupan rumah tangga, kesehatan anak dan

89
suami, dan banyak pula yang bekerja untuk membantu mencari nafkah bagi

keluarganya, seperti berdagang, membatik, bertani atau menjadi buruh tani.

B. Saran

Dengan hasil penelitian diatas, maka ada beberapa saran yang diberikan

untuk mencegah semakin berkembangnya praktek kawin sirri pada masyarakat,

terutama oleh masyarakat perantauan, saran-saran tersebut adalah sebagai berikut :

1. Hendaknya pemerintah memberikan kemudahan dalam melakukan pencatatan

perkawinan pada orang-orang yang melaksanakan perkawinan di perantauan.

Sehingga orang perantau tidak terjerumus pada praktek kawin sirri.

Disamping itu hendaknya tokoh agama membantu pemerintah memberikan

penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya pencatatan perkawinan,

mengingat tokoh agama mempunyai peranan yang penting dalam membentuk

keyakinan masyarakat. Sebab ia merupakan panutan masyarakat, terlebih lagi

masyarakat Madura yang sangat fanatik terhadap tokoh agama/ kyai.

2. Kawin sirri berpengaruh pada putusnya hubungan dalam keluarga (hubungan

antara suami-istri, hubungan antara orangtua-anak, sehingga antara saudara

(siblnigs) dan hubungan antara keluarga inti kawin sirri dengan rumah tangga

lainnya) mengakibatkan kaburnya keturunan/nasab suatu keluarga, yang

kemudian hari dikhawatirkan dapat mengakibatkan incest. Oleh karena itu

kawin sirri bukan merupakan hal sepele yang hanya berkaitan dengan “sah”

atau “tidak sah”nya suatu perkawinan, tetapi lebih dari itu ia memiliki

pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan peradaban manusia, baik

90
dalam hubungan Individu sesamanya maupun dalam hubungan sebagai

anggota masyarakat.

91
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, SH, MH, 1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:


Akademika Pressendo.

Aziz, Abu Abdul. Dalam Mihrab (Pemikiran Hukum, Pendidikan dan Dakwah) no.1
Edisi September 2001. Surabaya:Jurnal Imiah FAI Unmuh.

Chairah, Dakwatul, 1984. Perkawinan Sirri Hubungannya Dengan UU No.1 Tahun


1974 (Kasus Poligamai di Kabupaten Sampang). Skripsi. Surabaya: IAIN
Sunan Ampel.

DEPAG, 1992. Tuntunan Pendidikan Berkeluarga. Jakarta: Bekerjasama dengan


BKKBN.

Hafsah, Siti, 1996. Nikah Sirri Bagi Eks Wanita Harapan Di Lingkungan Lokalisasi
Bangunsari Kodya Surabaya. Skripsi. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.

Holilah, 2003. Kawin Sirri Pada Masyarakat Madura (Studi Kasus Tentang Faktor
Penyebab dan Pengaruh Kawin sirri Terhadap Hubungan Dalam Keluarga di
Desa Bumianyar, Kecamatan Tanjungbumi, Kabupaten Bangkalan). Tesis.
Surabaya: UNAIR.

Ihromi, T.O.. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Kinasih, Sri Endang, 2002, Kawin Sirri Pada Masyarakat Kalisat, Tesis, Jakarta:PPs.
Universitas Indonesia.

Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.

Majalah Perkawinan dan Keluarga, No. 320/1999. Problem Nikah di Luar Prosdur,
Jakarta:Badan Penasehatan, Pembinaan dan Pelestarian Pekawinan (BP4) Pusat.

92
Malik Ibnu Abbas, Al-Muwatha‟ II, Dar Al-Fikri
Marsudi, 1994. Kedudukan Nikah Sirri. Laporan Penelitian. Ponorogo: Fakultas
Syari’ah IAIN Sunan Ampel.

Moleong, j. Lexy, 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja


RosdaKarya.

Mufassirah, 2002. Tradisi Nikah Sirri : Penyebab dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
Pamekasan, tesis, Malang:PPs. Universitas Muhammadiyah.

Muhdor, A. Zuhdi, 1994. Memahami Hukum Perkawinan, Bandung: Al-Bayan.

Muslih, Fuadie, 1993. Kawin Sirri Dan Poligami Di Kecamatan Rembang Kabupaten
Pasuruan. Laporan Penelitian. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.

Nasution, Khoirudin, 2002. Status Wanita Di Asia Tenggara: Studi Terhadap


Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Konyemporer Di Indonesia dan
Malaysia. Jakarta: INIS

Nurhayati, Ida, 1995. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Nikah Sirri di Kecamatan
Porwosari Kabupaten Purwosari. Skripsi. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.

Ramulyo, Idris, 2000. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara


Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Ramulyo, Idris.2002. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Rusy, Ibnu, 1952. Bidayatul Mujtahid. Mesir: Istiqamah Qahirah.

Siong, Gouw Giok, 1964. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jakarta:PT. Kinta.

Sredley, James P.,1997. Metode Etnografi. Yogyaksarta: PT. Tiara Wacana.

93
Suhendi, H. Hendi dkk. 2001. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. Bandung: Pustaka
Setia.

Suyanto, Bagong dkk.1995. Metode Penelitian Sosial. Surabaya: Airlangga


University Press.

Undang-Undang Perkawinan, 1999. Surabaya: Artha Perkasa Nusantara.

William A. Haviland, 1985. Antropologi II. Alih Bahasa R.G. Soekadijo. Jakarta:
Erlangga.

Wiyata, Latief, 2002. Carok : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura,
Yogyakarta:LkiS.

Yunus, Mahmud, 1973. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara


Penerjemah/Penafsir Al-Qur’an.

Zamroni, 1996. Sebab-Sebab Perkawinan di Bawah Umur dan Perkawinan Liar/Sirri


di Kwanyar Kabupaten Bangkalan, Skripsi, Surabaya:IAIN Sunan Ampel.

94
95

You might also like