You are on page 1of 128

ISSN 2085 - 2525

AT-TA’DIB
Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam
Vol. I, No. 3, Desember 2009-Maret 2010

Eksistensi Perguruan Tinggi di Era Otonomi Daerah


Syahrizal

Pendekatan Komunikatif
Dalam Pembelajaran Bahasa Arab
Adi Kasman

Konsep Metodologi Pembelajaran


Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi
Fithriani

Diterbitkan Oleh
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
TEUNGKU DIRUNDENG, MEULABOH
ACEH BARAT
AT-TA´DIB
JURNAL ILMIAH PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
ISSN: 2085-2525
Volume I Nomor 3 Desember 2009-Maret 2010

SUSUNAN PENGURUS JURNAL AT-TA'DIB


PENANGGUNG JAWAB
Syamsuar Basyariah
REDAKTUR
Muchsinuddin MS
PENYUNTING
Muliadi Kurdi
Adi Kasman
REDAKTUR PELAKSANA
Muhammad Thalal
Hazrullah
Suharman
STAF REDAKSI
Ridwan Ali
Marhamah
Junaidi
PENYUNTING AHLI
M. Nasir Budiman
Muhibbuththabary
M. Jamil Yusuf
Eka Sri Mulyani
ADMINISTRASI DAN TATA USAHA
Andi Syahputra
Syafrun Munir
Sunarto
SETTING/LAYOUT
Khairul Umami
SIRKULASI
Fakhrurrazi
Muchtaruddin
Safrida
Zulhanli

ALAMAT REDAKSI
Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda, Meulaboh-Aceh Barat
No. 100 Telp: 0655-7551591; Fax: 0655-7551591
E-mail: prodipai_stai@yahoo.co.id
Website: www.staidirundeng.ac.id
Daftar Isi

KATA PENGANTAR

197 — EKSISTENSI PERGURUAN TINGGI DI ERA


OTONOMI DAERAH
Syahrizal

207 — PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM


PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
Adi Kasman

221 — KONSEP METODOLOGI PEMBELAJARAN


IBNU KHALDUN DAN AL-ABRASYI
Fithriani

237 — OPTIMALISASI KUALITAS PEMBELAJARAN


BAHASA ARAB PADA INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI DI BANDA ACEH
Intan Afriati

249 — PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN IPA


BERBASIS INKUIRI DI SEKOLAH DASAR/
MADRASAH IBTIDAIYAH
Wati Oviana
DAFTAR ISI

263 — PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM


PEMBERDAYAAN SOSIAL
Misnan

275 — ETIKA MAHASISWA ISLAM DALAM


MENYAMPAIKAN ASPIRASI DI DEPAN PUBLIK
Saifullah

287 — KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN


KEWARGANEGARAAN
Jasafat

iv At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


Kata Pengantar

Puji dan syukur ke hadirat Allah Swt. yang telah mengajarkan manusia melalui
firman-Nya. Selawat dan salam kita sampaikan kepangkuan alam Nabi Besar
Muhammad saw. yang telah mengubah pola pikir manusia ke arah yang benar.
Alhamdulillah, jurnal At-Ta’dib Vol. I No. 3, Desember 2009 – Maret 2010
bisa terbit sesuai waktunya. Jurnal ini menghadirkan beberapa tulisan mengenai
permasalahan yang aktual. At-Ta’dib salah satu jurnal bidang pendidikan memilih
menggunakan sistem penulisan dan referensi American Psychological Association
(APA) yang telah menjadi panduan jurnal terkemuka di dunia terutama dalam
bidang pendidikan dan ilmu-ilmu perilaku (behavioral sciences).
Edisi kali ini menampilkan berbagai tulisan ilmiah seputar pendidikan yang
diawali oleh Syahrizal dengan tulisannya yang berjudul: Eksistensi Perguruan
Tinggi di Era Otonomi Daerah. Dalam tulisannya, penulis menguraikan tentang
perubahan-perubahan yang dapat ditempuh oleh perguruan tinggi dalam
membangun paradigma baru di era otonomi daerah. Dilanjutkan dengan tulisan
Saifullah mengangkat judul: Etika Mahasiswa Islam dalam Menyampaikan Aspirasi
di Depan Publik (Suatu Analisis Nilai-nilai Pendidikan Dalam Perspektif Alquran
dan Hadis).
Model pembelajaran merupakan salah satu penentu keberhasilan suatu proses
KATA PENGANTAR

belajar mengajar di sekolah, Pada kesempatan ini Wati Oviana mencurahkan


pikiran dalam tulisannya yang berjudul: Penerapan Model Pembelajaran IPA
Berbasis Inkuiri di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah. Lain lagi dengan Fithriani
dalam tulisannya yang berjudul: Konsep Metodologi Pembelajaran Ibnu Khaldun
dan Al-Abrasyi (Suatu Pemikiran Perbandingan), menjelaskan tentang studi
komperatif berkaitan dengan konsep metodologi pembelajaran yang dikemukakan
oleh intelektual muslim yaitu Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi
Selanjutnya Adi Kasman dalam tulisannya yang berjudul: Pendekatan
Komunikatif Dalam Pembelajaran Bahasa Arab, mengulas mengenai sarana yang
paling aktual dan efektif yang harus dimiliki dan dikuasai dalam berkomunikasi
dan berinteraksi adalah bahasa, baik dalam bentuk lisan, tulisan maupun
isyarat. Sementara Misnan mengangkat judul: Peran Pendidikan Islam dalam
Pemberdayaan Sosial, memaparkan bahwa pendidikan merupakan tanggungjawab
bersama-sama antara pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Tulisan Intan yang
berjudul Optimalisasi Kualitas Pembelajaran Bahasa Arab pada IAIN di Banda
Aceh yang membahas bagaimana meningkatkan kemampuan mahasiswa IAIN
dalam berbahasa Arab.
Rangkaian topik pendidikan pada edisi ini diharapkan mampu memberikan
konstribusi dan menambah khazanah intelektual dalam pembangunan pendidikan
di Indonesia umumnya, khususnya daerah yang menjadi dambaan kita yaitu
Propinsi Aceh. Terima kasih kami ucapkan kepada rekan-rekan dari Lembaga
Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh dan semua pihak yang terlibat dalam
menyumbangkan pikiran dan lainnya sehingga jurnal At Ta’dib edisi ke-3 ini dapat
terbit sesuai yang diharapkan. Kami berharap jurnal yang telah dirintis ini selalu
mendapat dukungan dari semua pihak sehingga berkenan dihati pembaca sekalian.

Meulaboh, Desember 2009


Ketua STAI Teungku Dirundeng,

dto

Syamsuar Basyariah

vi At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


Eksistensi Perguruan
Tinggi di Era Otonomi
Daerah
Suatu Kerangka Paradigma Baru

Syahrizal
Guru Besar bidang Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah
IAIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh. Saat ini
ia bertugas sebagai Pembantu Rektor IV (Bidang
Kerjasama) IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh

Abstract

The existence of higher education institution in the era of regional autonomy


cannot be separated from the momentum of reform in Indonesia. A university
is an institution that produces competent graduates who have a competitive
advantage and strong competitiveness in the global era full with challenges. The
shift of paradigm is necessary considering the transition into the social, economic
and national politics globally. The changes that can be achieved by the university
in building a new paradigm in the era of regional autonomy needs to offer a
number of opportunities and alternatives that can be taken to survive. Therefore,
the university can provide a competitive advantage for its graduates.

Kata kunci: Eksistensi perguruan tinggi, otonomi daerah


SYAHRIZAL

Pendahuluan
Eksistensi perguruan tinggi dalam konteks ekonomi daerah di Indonesia,
tidak dapat dilepaskan dari momentum reformasi di Indonesia yang merupakan
bentuk kulminasi yang lahir akibat krisis multi dimensi seperti krisis moneter,
krisis ekonomi, politik dan sosial. Semua krisis ini tidak hanya menimbulkan
keprihatinan tentang meningkatnya drop out rate di kalangan mahasiswa,
tetapi juga semakin merosotnya efektifitas dan efisiensi perguruan tinggi dalam
menghasilkan lulusannya yang memiliki competitive advantage, memiliki daya
saing yang tangguh dalam zaman global yang penuh tantangan.
Menghadapi perubahan yang begitu cepat sebagai akibat reformasi, maka
perguruan tinggi sebagai institusi yang berkompeten menghasilkan sumber daya
manusia perlu melakukan re-interpretasi terhadap paradigma yang diacu selama
ini. Perubahan paradigma perguruan tinggi menjadi penting dilakukan mengingat
transisi sosial, ekonomi dan politik nasional secara global merupakan entitas yang
tidak dapat dihindari. Lahirnya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan kebijakan nasional yang menginginkan
daerah terlibat secara aktif mengurus dirinya demi meningkatkan taraf hidup dan
kesejahteraan rakyat daerah.
Dalam pasal 1 ayat (h) UU No. 22 Tahun 1999 dinyatakan bahwa otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan mengenai
kewenangan daerah diatur dalam pasal 7 ayat (1) yang menyatakan bahwa
kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter, fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya.
Pasal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa bidang pendidikan
merupakan salah satu bidang yang diotonomikan kepada daerah. Artinya, daerah
dapat melakukan berbagai upaya signifikan dalam rangka menjadikan dunia
pendidikan di daerah lebih independen dan akomodatif dengan kebutuhan
masyarakat daerah tanpa menafikan kemampuan menghadapi tantangan era
global. Oleh karena itu, perubahan paradigma perguruan tinggi di era otonomi

198 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


EKSISTENSI PERGURUAN TINGGI DI ERA OTONOMI DAERAH

daerah merupakan agenda mendesak yang mesti dilakukan oleh pemegang


otoritas, dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang handal.
Tulisan ini mengkaji perubahan-perubahan yang dapat ditempuh oleh
perguruan tinggi dalam membangun paradigma baru di era otonomi daerah,
serta berusaha menawarkan sejumlah peluang dan alternatif yang dapat ditempuh
untuk survive dan bahkan lebih lagi. Sehingga perguruan tinggi dapat memberikan
competitive advantage bagi lulusannya.

Paradigma baru Perguruan Tinggi


Dilihat dari perspektif daerah, nasional dan global membangun suatu
paradigma baru perguruan tinggi merupakan suatu keharusan. Sebagaimana
dikemukakan dalam World Declaration on Higher Education for the Twenty–First
Century: Vision and Action: dalam dunia yang berubah sangat cepat, terdapat
kebutuhan mendesak bagi adanya visi dan paradigma baru perguruan tinggi.
Paradigma baru itu, mau tidak mau, melibatkan reformasi besar yang mencakup
perubahan kebijakan yang lebih terbuka, transparan, dan akuntabel. Dengan
reformasi dan perubahan, perguruan tinggi dapat melayani kebutuhan yang lebih
beragam, kandungan pendidikan (contents) lebih varian, metode dan penyampaian
pendidikan berdasarkan hubungan baru dengan masyarakat lebih sinergik dan
berkesinambungan.
Paradigma perguruan tinggi sekarang ini merupakan hasil dari pembahasan
dan perumusan yang telah dilakukan sejak waktu yang lama, yang pada taraf
tertentu memerlukan upaya kaji (re-interpretasi). Upaya ini telah dilakukan oleh
beberapa sarjana diantaranya D.A. Tisna Amijaya, ia mencoba menawarkan
kerangka pengembangan perguruan tinggi jangka panjang dengan mengidentifikasi
lima masalah besar yang dihadapi perguruan tinggi pada umumnya. Lima
masalah tersebut adalah produktivitas yang rendah, keterbatasan daya tampung,
keterbatasan kemampuan berkembang, kepincangan di antara berbagai perguruan
tinggi, dan distribusi yang tidak seimbang dalam bidang ilmu yang disediakan
perguruan tinggi, khususnya antara ilmu-ilmu sosial dan humaniora dengan ilmu
eksakta.
Amijaya mengajukan lima program besar dalam rangka mengatasi lima
masalah diatas yang selalu menghantui perguruan tinggi di Indonesia. Program

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 199


SYAHRIZAL

tersebut terdiri atas: Pertama, peningkatan produktivitas perguruan tinggi. Kedua,


peningkatan daya tampung. Ketiga, peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Keempat, peningkatan bidang keilmuan. Kelima, peningkatan kemampuan
berkembang.
Harus diakui, program di atas tidak banyak berhasil, karena terdapat berbagai
kendala, khususnya di lingkungan perguruan tinggi itu sendiri dan kebijakan
pendidikan ansional yang masih sentralistik dan kaku. Sebab itu sebuah konsep
perguruan tinggi jangka panjang yang diperkenalkan oleh Sukadji Ranuwihardjo
kiranya perlu mendapat perhatian. Beberapa program besar kembali dirumuskan,
yakni; pertama, peningkatan kualitas perguruan tinggi, kedua, peningkatan
prodiktivitas dan relevansi, dan ketiga, perluasan kesempatan memperoleh
pendidikan. Berdasarkan konsep ini telah dirumuskan paradigma baru perguruan
tinggi sebagaimana yang terdapat dalam Rencana Jangka Panjang Ketiga (1999-
2005). Paradigma baru ini mencakup anatara lain; peningkatan kualitas perguruan
tinggi secara berkelanjutan melalui peningkatan kualitas manajemen yang telah
diperbaiki, dimana otonomi, akuntabilitas dan akreditasi merupakan komponen-
komponen terpenting.
Rencana jangka panjang sejak semula memang disiapkan sebagai paradigma
baru perguruan tinggi. Paradigma baru ini bertujuan untuk merumuskan kembali
peran negara dan perguruan tinggi, sehingga lebih memungkinkan bagi perguruan
tinggi untuk berkembang lebih baik. paradigma baru itu juga dimaksudkan untuk
memberi panduan bagi pengembangan mekanisme baru, guna memperkuat
perguruan tinggi seperti perencanaan atas prinsip desentralisasi dan evaluasi
berkelanjutan terhadap kualitas dan lain-lain.
Dalam paradigma baru tersebut, peranan negara mengalami perubahan yang
sangat signifikan dengan pengurangan peranan pemerintah. Pemerintah secara
konseptual dan praktikal tidak lagi merupakan lembaga sentral yang menetapkan
segala ketentuan secara rinci, atau mengontrol secara terpusat gerak dan dinamika
perguruan tinggi. Pemerintah dalam paradigma baru itu hanya memberikan
kerangka dasar, memberikan insentif agar sumber daya manusia dan sumber
daya keuangan dapat dialokasikan kepada prioritas terpenting pada perguruan
tinggi. Pemerintah akan mendorong setiap perguruan tinggi untuk meningkatkan
standar kualitasnya.

200 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


EKSISTENSI PERGURUAN TINGGI DI ERA OTONOMI DAERAH

Tantangan paradigma baru Perguruan Tinggi


Perumusan kembali (reformulation) paradigma baru perguruan tinggi telah
mendapatkan daya daya dorong dengan terjadinya krisis multi dimensi sejak
akhir 1997. krisis ini sangat mempengaruhi dunia pendidikan pada seluruh
jenjang, yang mengharuskan paradigma baru perguruan tinggi mampu mencakup
reformasi pendidikan serta menyeluruh. Reformasi sistem pendidikan dilakukan
terhadap seluruh aspek pendidikan seperti filosofi, kebijakan pendidikan, sistem
pendidikan berbasis masyarakat (community based education), pemberdayaan
guru dan tenaga kependidikan, manajemen berbasis sekolah (school based
management), dan sistem pembiayaan pendidikan.
Krisis multi dimensi dan multi level yang telah melahirkan reformasi
pendidikan, mengharuskan kita mengadopsi dua strategi defensive strategy dan
recovery strategy. Defensive strategi pada intinya bertujuan untuk mempertahankan
prestasi yang telah dicapai dimasa silam, dan sekaligus berusaha sedapat mungkin
meningkatkan segala sesuatu yang baik. recovery strategy bertujuan memulihkan
kembali pendidikan dari berbagai krisis yang masih dan akan bertahan dalam
beberapa tahun ke depan.
Daya dorong tambahan (impetus) bagi implementasi paradigma baru
perguruan tinggi muncul dengan dikeluarkannya, “World Declaration on Higher
Education for the Twenty–First Century : Vision and Action”, oleh UNESCO.
Dokumen penting ini menjadi sumber tambahan bagi konsep paradigma baru
perguruan tinggi yang memuat secara mendasar misis dan fungsi perguruan
tinggi, peranan etis, otonomi, tanggung jawab dan fungsi antisipatif, penguatan
kerja sama perguruan tinggi dengan dunia kerja, analisa dan antisipasi terhadap
kebutuhan masyarakat, pemberdayaan mahasiswa sebagai aktor utama perguruan
tinggi, dan peningkatan kerja sama perguruan tinggi dengan berbagai pihak
(stakeholders) seperti dunia industri, masyarakat luas dan lain sebagainya.
Misi, fungsi dan nilai pokok perguruan tinggi adalah memberikan kontribusi
kepada pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) dan
pengembangan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks ini, misi dan fungsi
perguruan tinggi secara spesifik adalah mendidik mahasiswa dan warga negara
untuk memenuhi kebutuhan seluruh sektor aktivitas manusia, dengan menawarkan
kualifikasi yang relevan termasuk pelatihan professional yang mengkombinasikan

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 201


SYAHRIZAL

ilmu pengetahuan dengan keahlian tingkat tinggi, melalui mata kuliah yang terus
dirancang guna memenuhi kebutuhan masyarakat dewasa ini.
Memberikan berbagai kesempatan (espace ouvert) kepada para peminat untuk
memperoleh pendidikan tinggi di sepanjang usia. Perguruan tinggi memiliki misi
dan fungsi memberikan kepada penuntut ilmu sejumlah pilihan yang optimal
dan fleksibel untuk masuk ke dalam dan keluar dari sistem pendidikan yang ada.
Perguruan tinggi harus memberikan kesempatan bagi pengembangan individu
dan mobilitas sosial bagi pendidikan kewarganegaraan (citizenship).
Perguruan tinggi harus mampu memajukan, menciptakan dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan melalui riset dan memberikan keahlian
(expert) yang relevan untuk membantu masyarakat umum dalam pengembangan
budaya, sosial dan ekonomi, mengembangkan penelitian dalam bidang sains dan
teknologi, ilmu-ilmu sosial, humaniora dan seni kreatif. Perguruan tinggi juga
berfungsi untuk membantu, memahami, menafsirkan, memelihara, memperkuat,
mengembangkan dan menyebar luaskan budaya-budaya nasional, regional dan
internasional dalam pluralisme dan keragaman budaya.
Akan tetapi yang penting dicatat disamping penekanan kuat pada fungsi-
fungsi perguruan tinggi vis-a-vis masyarakat pada umumnya, perguruan tinggi
juga dituntut menjadikan para mahasiswa sebagai aktor utama dalam seluruh
kegiatannya. Para pengambil kebijakan perguruan tinggi pada tingkat nasional
dan institusional harus menjadikan para mahasiswa sebagai pusat koncern dan
memandang mereka sebagai mitra utama dan merupakan stakeholders yang
paling penting dalam pembaharuan perguruan tinggi. Paradigma baru perguruan
tinggi dalam konteks ini adalah pelibatan mahasiswa menyangkut hal-hal tingkat
pendidikan, evaluasi, renovasi metode pengajaran dan kurikulum, bahkan dalam
perumusan kerangka kerja institusional perguruan tinggi.
Dari uraian di atas dapat dirumuskan inti paradigma perguruan tinggi di era
otonomi daerah yang tertumpu pada tiga pilar utama yaitu: Pertama, kemandirian
lebih besar (greater autonomy) dalam pengelolaan atau otonomi. Otonomi seluas-
luasnya adalah otonomi bukan dalam hal pengelolaan secara manajerial, tetapi juga
hal penentuan atau pemilihan kurikulum dalam rangka penyesuaian perguruan
tinggi dengan dunia kerja berfungsi selain meningkatkan kualitas sumber daya
manusia yang menguasai sains dan teknologi, ilmu-ilmu sosial dan humaniora,

202 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


EKSISTENSI PERGURUAN TINGGI DI ERA OTONOMI DAERAH

tetapi juga harus mengembangkan seluruh bidang tersebut melalui penelitian dan
pengembangan.
Dalam kerangka otonomisasi ini pemerintah telah mengeluarkan peraturan
pemerintah (PP) No. 60/1999 yang memberikan kewenangan yang lebih luas
kepada kepada perguruan tinggi untk mengembangkan dirinya. Pemerintah
juga menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999 tentang Penetapan
Perguruan Tinggi sebagai Badan Hukum PP No. 60 Tahun 1999 merupakan
perubahan PP No. 30 Tahun 199o tentang Perguruan Tinggi yang dalam segi
tertentu seperti kategorisasi perguruan tinggi dalam bentuk universitas, institut,
sekolah tinggi politeknik dan akademi masih belum cukup reformis sehingga
belum banyak memungkinkan terciptanya iklim kondusif bagi implementasi
paradigma baru perguruan tinggi.
Dalam persoalan otonomi ini ada baiknya ditambahkan catatan yang
dikemukakan R. Berdhal. Menurutnya, dalam membahas otonomi sangat
bermanfaat membuat sebuah distingsi antara otonomi prosedural dan otonomi
substantif pada satu pihak dan kebebasan akademik (academic freedom) pada pihak
lain. Otonomi substantif adalah kekuasaan atau kewenangan perguruan tinggi
untuk menentukan tujuan dan program-program sesuai dengan perkembangan
dan kebutuhan masyarakat. Sedangkan otonomi prosedural adalah kekuasaan dan
atau kewenangan perguruan tinggi secara kelembagaan untuk menentukan cara-
cara guna mencapai tujuan-tujuan tersebut. Pada pihak lain, kebebasan akademis
adalah kebebasan dosen dan ilmuwan secara personal dalam pengajaran dan
penelitian untuk mencapai kebenaran tanpa khawatir atau takut kepada hukuman,
pemecatan dan sebagainya.
Masalah pengembangan otonomisasi lebih luas ini tentu saja harus dikaitkan
dengan tanggungjawab (responsibility) dan akuntabilitas (accountability). Harus
diakui, dalam hal tanggungjawab ini perguruan tinggi dituntut menggunakan
otonomi secara bertanggungjawab. Tetapi, pada pihak lain pemerintah yang
memberikan otonomi seharusnya pula tidak memberikan otonomi yang
ambiguous, seperti tercermin dalam bagian tertentu PP No. 60 Tahun 1999,
misalnya tentang pengangkatan dosen, pegawai dan lain-lain. Akibatnya,
perguruan tinggi tetap menghadapi banyak kendala yang sangat menyulitkan
dalam rangka mengaktualisasikan otonomi tersebut.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 203


SYAHRIZAL

Kedua, akuntabilitas dan tanggungjawab urai (greater accountability)


bukan hanya dalam pemanfaatan sumber-sumber keuangan secara lebih
bertanggungjawab, tetapi juga dalam pengembangan keilmuan, kandungan
pendidikan dan program-progam yang diselenggarakan. Akuntabilitas ini tidak
hanya kepada pemerintah sebagai pembina pendidikan atau pemberi sumber
dana dan sumber daya lainnya, tetapi juga kepada masyarakat dan stakeholders,
yang memakai dan memanfaatkan lulusan perguruan tinggi. Di sini terkait pula
akuntabilitas terhadap dunia profesi dan masyarakat luas.
Ketiga, jaminan yang lebih besar terhdap kualitas (greater quality
assurance) melalui evaluasi internal (internal evaluation) yang dilakukan secara
berkesinambungan (kontiniue) dan evaluasi eksternal (external evaluation), yang
sekarang ini dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN). Dalam hal terakhir
ini, BAN harus meningkatkan fungsinya dengan menentukan standar-standar
yang lebih fleksibel dan dinamis, sehingga tetap memungkinkan bagi perguruan
tinggi untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan dunia
kerja. BAN juga harus melibatkan lebih banyak unsur stakeholders dalam
organisasinya, sehingga memungkinkan terjadinya penilaian dan pengakuan
yang sesungguhnya dari masyarakat, yang sangat berkepentingan dengan hasil-
hasil perguruan tinggi.
Dengan ketiga pilar paradigma baru perguruan tinggi ini, jelaslah bahwa satu
pilar dengan pilar-pilar lainnya saling berkaitan dan bahkan saling interdepedensi.
Ketiga pilar itu mesti dilaksanakan secara simultan. Sebab jika tidak demikian
perguruan tinggi tetap mengalami kesulitan dalam mewujudkan fungsi dan
perannya seperti dirumuskan dalam paradigma baru perguruan tinggi.

Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan paradigma
perguruan tinggi merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan di era otonomi
daerah. Perubahan ini dimaksudkan agar perguruan tinggi mampu memberikan
kontribusi besar dalam rangka pembangunan masyarakat secara keseluruhan dan
berkelanjutan.
Bagi Provinsi Aceh dengan otonomi khususnya, perubahan paradigma
perguruan tinggi yang selaras dengan Syariat Islam merupakan problema besar

204 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


EKSISTENSI PERGURUAN TINGGI DI ERA OTONOMI DAERAH

yang memerlukan pemikiran bersama. Paradigma perguruan tinggi berbasis


Syariat Islam harus dirumuskan secara komprehensif dan integratif antara nilai
Syariat dengan nilai yang berkembang dalam dunia pendidikan modern.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 205


SYAHRIZAL

Daftar Pustaka
A. Malik Fajar. (t.t.). Platform Reformasi Pendidikan dan Pengembangan Sumber
Daya Manusia. Jakarta, Dirjen Binbaga Islam.

Bambang Suhendro. (1996). Kerangka Pengembangan Perguruan Tinggi Jangka


Panjang. Jakarta: Dirjen Dikti.

D. A. Tisna Amijaya. (1976). Kerangka Pengembanagan Perguruan Tinggi Jangka


Panjang, 1976-1985. Jakarta: Dirjen Dikti.

R. Berdhal. (1990). Academic Freedom, Outonomy and Acountability in British


Universitas, dalam Studies in Higher Education. Vol. 15.

Santoso S Hamidjojo. (1999). Platform Reformasi Pendidikan Nasional. Jakarta:


Tim Kerja Peduli Reformasi Pendidiakn Nasional.

Sukadji Ranuwihardjo. (1985). Kerangka Pengembangan Perguruan Tinggi Jangka


Panjang 1936-1995. Jakarta: Dirjen Dikti.

UNESCO. (1988). Higher Education in the Twenty-First Century : Vision and


Action. Paris : UNESCO.

206 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


Pendekatan Komunikatif
dalam Pembelajaran
Bahasa Arab

Adi Kasman
Dosen bahasa Arab/Ketua Prodi Pendidikan Agama
Islam (PAI-Tarbiyah) pada Sekolah Tinggi Agama Islam
(STAI)Teungku Dirundeng Meulaboh.

Abstract

Language is a media of communication between one and another so that it is


essential to understand the object being discussed during a communicative
interaction to achieve its target. However, if the interaction is not communicative
due to language constraint, the communication target is addressed. Arabic language
has been an important language to be learned by Muslim in order to reach their
successes. Due to its importance, Muslim will give best efforts in learning this
language even though they have to sacrifice their time, cost and energy. One of the
approaches in learning Arabic language is the communicative approach which will
guide teachers in developing the active communication in classroom so that the
interaction to speak Arabic will occur among students.

Kata kunci: Pendekatan komunikatif, pembelajaran bahasa


ADI KASMAN

Pendahuluan
Bahasa Arab merupakan bahasa Alquran sebagaimana ditegaskan Allah swt
dalam Surat Yusuf ayat 2 yang artinya, “Sesungguhnya Kami menurunkannya
berupa Alquran dengan Bahasa Arab, agar kamu memahaminya”. Selanjutnya
dalam Surat Thaha ayat 113, “Dan demikianlah Kami menurunkan Alquran
dalam Bahasa Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali
didalamnya sebahagian dari ancaman, agar mereka bertaqwa atau agar Alquran
itu menimbulkan pengajaran bagi mereka”.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. berpasang-pasangan, terdiri dari
laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling
mengenal satu sama lain sekaligus makhluk sosial tentu tidak dapat hidup sendiri
tanpa berinteraksi dan berkomunikasi dengan sesamanya maupun lingkungan
sekitarnya. Dalam surat Al-Hujurat ayat 13, Allah Swt. Menyatakan, “Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal mengenal…”.
Sarana yang paling aktual dan efektif yang harus dimiliki dan dikuasai dalam
berkomunikasi dan berinteraksi adalah bahasa, baik dalam bentuk lisan, tulisan
maupun isyarat. Sebagai sebuah sarana, tentu bahasa dapat dipelajari, ditiru,
diajarkan bahkan diwariskan secara turun-temurun dari satu generasi kegenerasi
berikutnya. Dilandasi atas kebutuhan tersebut, tentu pengajaran dan pembelajaran
bahasa harus dilandasi dengan sikap kesadaran bahwa orang yang sedang dan akan
belajarlah yang sangat memerlukan bahasa dalam kehidupannya. Dilandasi nilai
kesadaran inilah sang pengajar, guru atau dosen dapat memilih salah satu dari
berbagai macam bentuk pendekatan (approach) yang harus disesuaikan dengan
tujuan dan kepentingan anak didik terhadap bahasa yang sedang dipelajari
termasuk bahasa Arab.
Perkembangan mahasiswa yang masuk keperguruan tinggi Islam baik negeri
maupun swasta pada umumnya menunjukkan bahwa mereka kurang memiliki
kemampuan dasar bahasa Arab baik dari MA, SMA maupun dayah. Mereka masih
minim menguasai mufradat atau vocabulary bahasa tersebut sehingga dalam proses
perkuliahan masih banyak didapati hambatan dan kesulitan dalam pembelajaran,
lebih-lebih bila ditinjau dari segi gramatikal atau kaidah nahwiyahnya (qawaid).

208 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB

Bahasa Arab sebagai tujuan adalah sesuatu yang diungkapkan dan


dikomunikasikan. Menurut Syekh Mustafa Ghalayaini (1997:7), bahasa adalah
suatu lafaz yang diungkapkan oleh suatu kaum tentang tujuan mereka, sedangkan
bahasa Arab itu adalah kata-kata yang diungkapkan oleh orang-orang Arab tentang
tujuan yang ingin mereka sampaikan. Sehubungan dengan hal tersebut, William
Moulton dari Universitas Princeton mengatakan, “Bahasa adalah ujaran. Suatu
bahasa adalah seperangkat kebiasaan. Ajarkanlah bahasa bukan sesuatu mengenai
bahasa. Bahasa adalah yang dikatakan oleh penutur asli” (Muradi, t.t.). Ungkapan
tersebut memberikan suatu isyarat bahwa berbicara dengan bahasa Arab tentu
harus memahami benar kaidah-kaidahnya sehingga tujuan yang akan dibicarakan
betul-betul dapat dipahami oleh pendengar dalam artian tata bahasanya dijelaskan
di tengah-tengah proses pembelajaran dan tidak terlalu memberikan penekanan
kepada kaidah itu, namun kalau terjadi kesalahan termasuk baris/harakahnya
sehingga dapat merobah maknanya, maka pada saat itu perlu dibetulkan sehingga
tidak terulang lagi kesalahan pada kesempatan berikutnya.
Rasulullah menyuruh umat Islam untuk belajar bahasa Arab, “Pelajarilah
oleh kalian bahasa Arab karena bahasa Arab itu adalah bahasa agamamu.”
Ini memberikan isyarat pentingnya belajar bahasa Arab, karena dengan
mempelajarinya akan dapat lebih mudah memahami Alquran dan Hadis dalam
teks aslinya serta kitab-kitab mu’tabar yang disusun oleh para ulama baik ulama
mutaqaddimin maupun ulama mutaakhirin. Di samping itu dituntut kepada umat
Islam untuk selalu mempelajari ilmu agama dari sumbernya yang asli dan alangkah
baik dan indahnya lagi apabila umat Islam khususnya dapat berkomunikasi
dengan bahasa Arab.
Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam berkomunikasi, terutama
bahasa asing termasuk bahasa Arab, sangat erat hubungannya dengan berbagai
macam faktor penunjang antara lain : (1) kompetensi dasar tenaga pengajar yang
profesional, (2) kompetensi dasar bahasa Arab mahasiswa, (3) buku referensi yang
memadai, (4) media belajar dan, (5) tujuan mempelajarinya.
Menurut Mansyur et. al. (1995: 67) pendekatan (approach) dalam mengajarkan
bahasa Arab ada empat macam, yaitu “humanistic approach”, maksudnya adalah
“pendekatan manusiawi”, “media based approach” pendekatan sarana tehnik,
“analytical approach” pendekatan “analisis” dan “non analisis” dan communicative

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 209


ADI KASMAN

approach” yaitu pendekatan komunikatif. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan
tersebut diharapkan kepada pengelola pendidikan baik sekolah, madrasah maupun
dayah harus benar-benar memperhatikan faktor-faktor tersebut.

Pembelajaran bahasa Arab


Mempelajari suatu bahasa, baik bahasa nasional maupun bahasa asing lainnya
termasuk bahasa Arab, adalah merupakan suatu proses yang berkesinambungan.
Sedangkan bagi bangsa Indonesia yang mayoritas menganut agama Islam, bahasa
Arab adalah sebagai bahasa agama dan hal ini dapat dibuktikan dengan petunjuk
dan pedoman hidup orang Muslim yaitu Alquran dan Hadis. Alquran sendiri telah
mulai diajarkan kepada anak-anak semenjak mereka masih kecil. Tetapi apabila
dilihat dan perhatikan dengan seksama pengajaran bahasa Arab dimana-mana
pada umumnya masih menitik-beratkan pada grammatical translation method.
Menurut Masduki (2000), di antara indikator-indikator pembelajaran bahasa
Arab yang masih kurang tepat untuk diterapkan: Pertama, Guru atau pengajar
dalam memberikan materi pelajaran masih terikat sekali dengan kaidah tata bahasa
dimana para siswa diharuskan untuk menghafalnya. Kedua, Siswa diperintahkan
untuk menghafal kata-kata yang sesuai dengan kaidah. Ketiga, Penerjemahan
kalimat (kata-kata) atau jumlah (kalimat) kedalam bahasa pelajar. Keempat,
Pengajaran dan pembelajarannya tidak didukung dengan alat peraga atau alat
bantu lainnya”. Sehingga pada akhirnya walaupun sudah pernah belajar bahasa
Arab sekian lama, akan tetapi kenyataannya masih sangat sulit untuk memahami
dan menguasai bahasa Arab.
Ahmad Muradi mengatakan bahwa dalam pengajaran bahasa salah satu
segi yang sering disoroti adalah segi metode. Sukses tidaknya suatu program
pengajaran bahasa seringkali dinilai dari segi metode yang digunakan. Sebab
metodelah yang menentukan isi dalam mengajarkan bahasa. Sedangkan metode-
metode pembelajaran bahasa kedua lainnya, terutama bahasa asing, masih minim
yang digunakan dan diterapkan. Di antaranya metoda Langsung “direct method”,
Metoda Alamiah, “natural method”, Metoda Psikologi, “Psychological method”,
Metoda Membaca, dan “reading method” (Masduki, 2000: 2).
Sementara itu menurut analisa Mochtar Affandi, bahwa dari segi metode
pembelajaran yang dimuat Az-Zarnuji dalam kitabnya itu meliputi dua kategori.

210 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB

Pertama, metode yang bersifat etik, dan yang kedua metode yang bersifat strategi.
Metode yang bersifat etik antara lain mencakup niat dalam belajar; sedangkan
metode yang bersifat teknik strategi meliputi cara memilih pelajaran, memilih
guru, memilih teman dan langkah-langkah dalam belajar (Nata, 2001: 109).
Oleh karena itu diharapkan kepada semua guru sedapat mungkin menggunakan
metoda-metoda tersebut dalam melaksanakan atau menginternalisasikan materi
pelajaran kepada peserta didik, menentukan materi pelajaran yang sesuai,
menganjurkan memilih teman yang selalu berusaha untuk dapat memahami dan
selalu berusaha untuk berkomunikasi aktif agar dapat lebih cepat mencapai tujuan
yang telah dirumuskan.

Pendekatan, metode dan teknik pembelajaran bahasa Arab


Dalam pembelajaran bahasa ada empat macam kemampuan dasar pokok
berbahasa, antara lain: (1) menyimak (al-istima’) atau memperhatikan (2)
komunikasi (al-muhadatsah) (3) membaca (al-qira’ah) dan, (4) menulis (al-kitabah).
Seseorang yang ingin belajar bahasa Arab dengan tujuan dapat berinteraksi dan
berkomunikasi satu sama lain, maka pendekatan, metode (at-thariqah) dan tehnik
pembelajarannya (method study) akan terdapat perbedaan dengan orang yang
belajar hanya sekedar untuk mampu membaca (al-qira’ah) dan memahami makna,
terjemah dan menulis bahasa tersebut. Oleh karena itu, untuk memperoleh hasil
dalam pembelajaran bahasa Arab yang mula-mula sekali harus diprediksikan
dan ditetapkan oleh tenaga pengajar adalah apa tujuan pembelajarannya dan
kemampuan apa pula yang ingin dicapai oleh objek pembelajaran.
Selanjutnya seorang guru, tenaga pengajar atau orang yang terlibat langsung
dengan proses pembelajaran bahasa Arab diharapkan sering mengadakan interaksi
yang komunikatif dengan sasaran supaya peserta didik dapat berkomuniksi secara
aktif dan praktis dengan kalimat yang sederhana. Lebih jauh Ibnu Taimiyah
menganjurkan agar mewajibkan penggunaan bahasa Arab dalam pengajaran
dan percakapan. Hal ini didasarkan pada pandangannya bahwa penguasaan
secara mendalam dan teliti terhadap bahasa Arab merupakan tuntutan Islam dan
sesuatu yang hukumnya fardhu ‘ain di kalangan ulama salaf. Orang-orang salaf
mewajibkan anak-anaknya agar berbahasa Arab dan memandang bahasa Arab
sebagai bahasa yang paling mulia.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 211


ADI KASMAN

Ketika Allah mewahyukan kitab-Nya dengan menggunakan bahasa Arab,


maka Rasulullah saw. juga menyampaikan wahyu tersebut kepada orang-
orang mukmin dengan menggunakan bahasa Arab dan mengajak umat agar
mengucapkan wahyu dengan bahasa Arab (Nata, 2001: 149). Ini memberikan
suatu gambaran, bahwa dalam mengajarkan bahasa Arab sedapat mungkin
membiasakan oleh guru melatih peserta didik berbahasa Arab secara aktif dan
komunikatif, sehingga akan memperoleh hasil apa yang telah dirumuskan dalam
rencana program pembelajaran.
Interaksi komunikatif ini merupakan suatu terobosan atau pembaharuan
yang sangat strategis dalam proses pengajaran bahasa lebih-lebih bahasa asing
termasuk Bahasa Arab dimana pendekatan ini sangat integral serta ciri-cirinya
cukup jelas. Diharapkan kepada tenaga pendidik jangan terlalu fokus atau
memperhatikan tentang kesalahan baris (al-harakah) bila mendengar murid
membaca, berbicara atau bertanya, apabila kesalahan-kesalahan yang dilakukan
itu tidak mempengaruhi makna atau maksudnya. Akan tetapi guru harus hati-hati
dan teliti bahkan kalau perlu dicatat kesalahan tersebut untuk diadakan perbaikan
dan pembahasan pada waktu dan kesempatan yang lain.
Untuk mencapai tujuan dan hasil yang maksimal dalam pembelajaran bahasa
asing termasuk bahasa Arab sebagai bahasa kedua second language bagi bangsa
Indonesia yang beragama Islam setelah bahasa Nasional. Ustaz dan ustazah
yang mengajar di madrasah-madrasah, baik Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan
bahkan sampai Perguruan Tinggi sekalipun harus betul-betul paham perbedaan
antara pendekatan, metoda dan teknik penyampaian dalam proses interaksi
belajar-mengajar. Menurut Ramayulis (1990:127), pendekatan itu merupakan
terjemahan dari kata approach dalam bahasa Inggris diartikan dengan come
near (menghampiri) go to (jalan ke) dan way/path dengan (berarti jalan) dalam
pengertian ini dapat dikatakan bahwa approach adalah cara menghampiri atau
mendatangi sesuatu. Pendekatan adalah cara pemrosesan subjek atas objek untuk
mencapai tujuan. Pendekatan juga bisa berarti cara pandang terhadap sebuah
objek persoalan, dimana cara pandang itu adalah cara pandang dalam konteks
yang lebih luas.
Hal ini karena ketiga faktor yang telah disebutkan itu satu sama lain
hubungannya sangat erat dan saling keterkaitan. Teknik merupakan penjabaran

212 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB

dari metoda, sementara metoda adalah penjabaran dari pendekatan, sementara


pendekatan itu merupakan penjabaran dari hakekat/tujuan belajar. Pengertian dari
pada pendekatan, metode dan teknik pengajaran bahasa: Pertama, Pendekatan
komunikatif (mudkhal-approach) yaitu “suatu pandangan secara filosofis tentang
praduga mengenai hakikat bahasa dan pengajarannya yang sesuai dengan tujuan
dan kompetensi yang ingin diperoleh dalam pembelajarannya” (Masduki,
2000:3). Pendekatan komunikatif juga dijelaskan “mengajarkan bahasa dengan
sasaran mampu berkomunikasi aktif dan praktif ” (Mansyur, 1995: 67). Seperti
mempelajari suatu bahasa umpamanya bahasa Arab sebagai sarana bantu untuk
memahami ilmu-ilmu yang ditulis dalam bahasa tersebut, metoda dan tekniknya
sungguh banyak sekali terdapat perbedaan- perbedaan dengan belajar bahasa
sebagai sarana berkomunikasi. Namun apabila belajar bahasa Arab itu untuk
mendengar, memahami dan bercakap-cakap apa yang didengar dan diucapkan
maka pendekatannya (approach) dalam pengajarannya hanya mendengar dan
memahami saja apa yang didengar dan diucapkan. Dengan demikian pendekatan
hanya terbatas pada materi (al-madah) yang diperlukan untuk mengungkapkan
dan interaksi komunikasi saja.
Kedua, metode thariqah adalah perencanaan komperehensif yang mempunyai
relasi dalam mengaplikasikan materi pelajaran secara teratur dan tidak bertolak
belakang berdasarkan atas suatu pendekatan (mudkhal-approach). Karena metode
pembelajaran ini bersifat proseduril, maka dengan demikian seseorang dalam
mengadakan proses interaksi pembelajaran dapat saja memilih berbagai macam
metode thariqah, asalkan sesuai dengan tujuan pendekatan (mudkhal-approach)–
nya itu. Bercorak ragamnya metode ini karena erat sekali hubungannya dengan
faktor-faktor yang dapat mempengruhi proses pembelajaran, antara lain adalah :
a. Latar belakang bahasa asing yang pernah dipelajari. Dalam hal ini dapat
dianalisis latar belakang pendidikan mahasiswa apakah mereka pernah
mempelajari bahasa asing, umpamanya bahasa Arab. Setelah hal ini
diketahui, maka metode pembelajarannya yang akan diterapkan jauh
berbeda dengan pembelajaran bahasa Arab untuk orang Arab sendiri atau
untuk orang asing.
b. Latar belakang kebudayaan ( sosio kultural ) (Mansyur, 1995:68).
c. Pengalaman belajar bahasa Arab atau bahasa asing lainnya.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 213


ADI KASMAN

d. Tujuan pengajaran, apakah untuk sekedar dapat membaca, berbicara,


terjemah atau hanya sebagai pengetahuan bahasa teoritis saja.

Penggunaan pendekatan komunikatif


Banyak pendekatan yang dapat dipergunakan dalam pengajaran bahasa Arab
atau bahasa asing lainnya antara lain pendekatan komunikatif (al-mudkhal al-
ittishali). Pendekatan ini dilandasi dengan tujuan agar para siswa dapat memiliki
kemampuan interaksi komunikasi dengan mewujudkan penggunaan bahasa
Arab dalam situasi dan kondisi yang berbeda. Dengan pendekatan semacam ini
diharapkan seseorang yang belajar bahasa Arab dapat menggunakan pola-pola
yang seseuai dengan tuntutan situasi dan kondisi tertentu. Disebutkan dalam Jurnal
At-Ta’dib, Vol.1 (1), 2009:43 bahwa “Pendekatan pembelajaran dengan bagaimana
(how top) membelajarkan atau bagaimana membuat siswa dapat belajar dengan
mudah dan terdorong oleh kemauannya sendiri untuk mempelajari apa yang
teraktualisasikan dalam kurikulum sebagai kebutuhan peserta didik.”
Untuk dapat berkomunikasi secara efektif dengan sebuah bahasa ada empat
macam kemampuan dasar (Basic Competence) yang perlu dikuasai oleh seseorang
yang mempelajari bahasa Arab, yaitu:
1. Kemampuan dasar tata bahasa / gramatika (al-qawa’id).
2. Kemampuan memahami konteks sosial yang melandasi dimana ia
berkomunikasi (sosio linguistik/al-lughah al-ijtima’iyah).
3. Memahami / sanggup menganalisa percakapan dan atau pernyataan
teman bicara, yaitu mampu menganalisis susunan kalimat dan hubungan
antar kalimat serta metode melafalkan suatu makna.
4. Kemampuan strategik, cekatan dalam memilih metode dan strategi agar
suatu percakapan dapat berlangsung dengan lancar. Artinya mampu
memilih gaya bahasa yang sesuai ketika memulai dan atau menutup
suatu pembicaraan serta mampu mengalihkan perhatian teman bicara.
Disamping itu guru hendaknya tidak memberlakukan peserta didiknya
sebagai penonton saja melainkan harus mengikutsertakan dan memberi
kesempatan kepada mereka untuk berpartisipasi aktif dan berkomunikasi
dengan guru. Dengan demikian, pengembangan dan pendayagunaan
berbagai macam metode dapat dioptimalisasikan. Artinya metode

214 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB

pengajaran bahasa termasuk bahasa Arab perlu diterapkan dengan


pendekatan kultural partisipatif dan kreatif.
Untuk mencapai interaksi dalam pembelajaran dibutuhkan komunikasi
antara keduanya, yang memadukan dua kegiatan, yaitu kegiatan mengajar (usaha
guru) dan kegiatan belajar (tugas peserta didik). Guru perlu mengembangkan
komunikasi yang efektif dalam proses pembelajaran karena seringkali kegagalan
pengajaran disebabkan oleh lemahnya sistem komunikasi (Ramayulis, 1990:134).
Untuk adanya suatu perobahan dan pengembangan dalam berkomunikasi
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan dicermati, antara lain :
1. Adanya informasi yang belum diketahui oleh dirinya atau lawan bicaranya
sehingga mendorongnya untuk bertanya atau membicarakan dan
membahas sesamanya sehingga memperoleh informasi yang jelas dan
sesuai dengan tujuannya.
2. Memiliki kemampuan dalam memilih kosa kata yang tepat dan sesuai
dengan kondisi dan situasi serta lawan bicaranya. Umpamanya saat terjadi
percakapan dengan sapaan kaifa haluka ia dapat memilih salah satu
jawaban yang sesuai dengan keadaan yang dialaminya, antara lain adalah
: bikhair, alhamdulillah, atau bikhair saja la ba’sa, atau alhamdulillah.
3. Adanya umpan balik (feedback, taghdziyah raji’ah) yaitu reaksi dari
lawan bicara (Mansyur, 1995:70).
Tentu saja hal itu harus dilandasi dengan aplikasi latihan yang bermuara kepada
mengubah kosa kata (taghyir kalimah bikalimah) atau menyempurnakan kalimat
(takmil jumlah mu’ayyanah), atau bentuk latihan lain yang tidak membangkitkan
reaksi lawan bicara.
Dalam proses pembelajaran bahasa Arab dengan pendekatan komunikatif ini
dapat dikemukakan beberapa prinsip, antara lain:
1. Menggunakan teks-teks Arab yang asli, seperti materi yang diambil atau
dikutip dari buku pelajaran, majalah atau koran yang berbahasa Arab.
2. Pembelajaran di dalam kelas, bahasa Arab diaplikasikannya sebagai alat/
sarana percakapan (berkomunikasi).
3. Melatih dan membiasakan peserta didik supaya secara otomatis mampu
menggunakan bahasa Arab dalam berbagai bentuk ungkapan percakapan
untuk mengungkapkan suatu maksud, seperti bertanya sesuatu,

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 215


ADI KASMAN

menyangkal dan menegur lawan bicara dalam berbagai bentuk susunan


kalimat.
4. Peserta didik diberi waktu dan kesempatan untuk mengungkapkan
kesan pesan, komentar dan ide-idenya berkenaan dengan materi yang
telah mereka baca dan dengar, meskipun dengan ungkapan yang sangat
sederhana dan masih terdapat kesalahan-kesalahan dalam aplikasinya.
Melalui penerapan seperti ini yang pada akhirnya sedapat mungkin siswa
dapat diharapkan akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi.
5. Peserta didik dilatih dan diarahkan untuk mampu berkomunikasi sesuai
dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Dalam interaksi ini, menurut
Nizar (2007:16), guru-guru berperan sebagai penggerak atau pembimbing,
sedangkan siswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing. Hal
ini karena suatu bahasa tidak terlepas dengan keadaan alam sekitarnya
pada saat mereka berinteraksi dengan sesamanya. Rasulullah saw. dalam
mengajarkan para sahabatnya menggunakan berbagai macam metode,
seperti (1) metode ceramah, (2) dialog, (3) diskusi, (4) metode demonstrasi,
misalnya hadis Rasulullah, “Sembahyanglah kamu sebagaimana kamu
melihat aku sembahyang,” (5) metode eksperimen, sosiodrama dan
bermain peran.” Disamping itu, latihan demi latihan yang dilakukan
dalam pengungkapan berbahasa mutlak harus dilakukan karena dengan
pembiasaan latihan akan memperoleh target ketercapaian tujuan.
6. Guru memberikan motivasi dan bimbingan kepada peserta didik untuk
dapat mengaplikasi bahasa yang hidup dalam berinteraksi sesamanya
sesuai dengan kebutuhan dan keperluan, maksudnya mereka jangan
hanya sekedar dilatih untuk mengulangi dan menghafal kata-kata maupun
kalimat saja, artinya guru/dosen memberikan kesempatan seluas-luasnya
kepada anak didik untuk berperan serta dalam kegiatan pembelajaran
di dalam maupun diluar ruangan, sehingga mereka terdorong memiliki
perhatian dan percaya diri yang besar dalam belajar.
7. Guru berusaha dengan berbagai macam cara dan metode untuk dapat
mengembangkan kemampuan peserta didik dalam interaksi komunikasi
melalui aktifitas yang mungkin dapat dipahami dan dihayati, seperti
sandiwara pendek, berdiskusi dan memecahkan masalah aktual.

216 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB

Prinsip-prinsip metode pembelajaran komunikatif


Metode pembelajaran yang diterapkan oleh seorang tenaga pengajar dalam
proses pembelajaran banyak jenisnya, baik secara tradisional maupun metode
modern, disini akan lebih penting diperhatikan dalam mengaplikasikan metode-
metode tersebut. Prinsip tersebut adalah bahwa individu adalah manusia orang
seorang yang memiliki pribadi/jiwa sendiri. Kekhususan jiwa itu menyebabkan
individu yang satu berbeda dengan individu yang lain. Dengan perkataan lain,
tiap-tiap manusia mempunyai jiwa sendiri (Dradjat, t.t.: 118). Dalam konteks ini
guru sebagai sumber belajar.
Memahami prinsip-prinsip mengajar yaitu dengan menanamkan pengetahuan
dan kecakapan dengan cara yang cepat dan tepat memerlukan penguasaan teori-
teori. Disamping itu, harus berorientasi pada tujuan dalam sistem pembelajaran
tujuan merupakan komponen yang utama. Segala aktivitas guru dan siswa, mestilah
diupayakan untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Sanjaya, 2006:131).
Hal ini menunjukan betapa pentingnya bagi seorang guru atau dosen utnuk betul-
betul memahami serta menguasai teori-teori mengajar dan metode-metodenya,
seperti metode hiwar Qurani. Hiwar adalah percakapan silih berganti antara dua
pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah kepada
suatu tujuan (Ramayulis, 1990:252).
Dengan demikian, peserta didik akan lebih berkesan dan mantap dalam
menerima bahan ajarnya. Jika dibandingkan antara seorang mahasiswa yang
pada dasarnya pandai dengan mahasiswa yang kurang pandai, maka akan dapat
ditemukan beberapa perbedaan antara lain: cepat menangkap isi pembelajaran,
tahan lama memusatkan perhatian pada pembelajaran dan kegiatan, dorongan
ingin tahu kuat, banyak inisiatif, cepat memahami prinsip-prinsip dan pengertian-
pengertian memiliki minat yang luas, sedangkan pada mahasiswa yang kurang
pandai berlaku keadaan sebaliknya (Dradjat, t.t.: 120).
Keadaan seperti itu memberikan suatu tafsiran dimana seorang guru
atau dosen juga harus betul-betul memahami kondisi peserta didik sehingga
dapat mensinerjikan langkah-langkah dalam memformulasikan proses belajar
mengajar, sehingga pada akhirnya dapat mengatasi kesulitan yang ditimbulkan
akibat perbedaan kompetensi dasar peserta didik dalam berbahasa Arab. Tenaga
pengajar juga harus selalu mengadakan evaluasi terhadap proses pembelajaran

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 217


ADI KASMAN

tersebut dan harus dapat dipertanggung jawabkannya kepada publik. Menurut


Daryanto (2008:17), dalam pertanggungjawaban hasil yang telah dicapai,
pihak pengembang perlu mengemukakan kekuatan dan kelemahan dari sistem
yang sedang dikembangkannya serta usaha lebih lanjut yang diperlukan untuk
mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut sehingga benar-benar dapat diketahui
secara nyata perbedaan kompetensi peserta didik tersebut
Dalam mengoptimalkan peran guru dalam proses pembelajaran, dimana guru
sebagai sumber belajar (learning resources) bagi siswa, siswa akan belajar apa yang
keluar dari mulut guru. Oleh karena itu ada pepatah mengatakan “bagaimanapun
pintarnya siswa, maka tidak mungkin dapat mengalahkan pintarnya guru.” Namun
demikian, pembelajaran itu dapat memberikan suatu pengertian membelajarkan
siswa (Sanjaya, 2006:147).
Lebih jauh Hamalik (2001:155) mengatakan bahwa guru dengan sengaja
menciptakan kondisi dan lingkungan yang menyediakan kesempatan belajar
kepada para siswa untuk mencapai tunjuan tertentu, dilakukan dengan cara
tertentu, dan diharapkan memberikan hasil tertentu pula kepada siswa. Hal ini
sesuai dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional yang di dalamnya terdapat pernyataan “bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana” dimana suatu perencanaan yang matang, profesionalitas
guru memilih metode mengajar, didukung sarana dan prasarana yang memadai
sehingga peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan keagamaan,pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya (Sanjaya, 2006:132).
Sebagaimana telah disebutkan bahwa belajar bahasa Arab adalah belajar
bahasa agama, maka nilai kekuatan keagamaan tidak terlepas dari penguasaan
bahasa Arab yang baik pula. Akan tetapi langkah-langkah yang ditempuh harus
berorientasi pada prinsip-prinsip penggunaan strategi pembelajaran. Strategi
pembelajaran tersebut dapat dikemukakan beberapa hal, antara lain berorientasi
pada tujuan karena dalam proses pembelajaran tersebut, guru harus menetapkan
suatu strategi untuk memperoleh hasil yang lebih baik yang telah direncanakan
sebelumnya. Tujuan pembelajaran dapat menentukan suatu strategi yang harus
digunakan guru. Ini dapat dilihat dalam praktek sehari-hari dimana guru/dosen
lebih banyak menggunakan bahkan senang berceramah. Guru yang senang

218 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PEMBELAJARAN BAHASA ARAB

berceramah, hampir setiap tujuan menggunakan strategi penyampaian, seakan-


akan dia berpikir bahwa segala jenis tujuan dapat dicapai dengan strategi yang
demikian (Sanjaya, 2006:131).
Penggunaan berbagai macam strategi dalam proses pembelajaran itu
merupakan langkah yang sangat tepat untuk mencapai tujuan yang telah
dirumuskan dalam rencana pembelajaran, demikian juga halnya dalam proses
pembelajaran bahasa Arab sangat dituntut kepada seorang guru/dosen untuk
menggunakan berbagai macam metode sehingga dengan demikian dapat
mengurangi kebosanan peserta didik dalam proses pembelajaran dan diharapkan
tidak selalu mengandalkan metode ceramah.

Penutup
Pendekatan komunikatif dalam proses pembelajaran, terutama bahasa asing
termasuk didalamnya bahasa Arab sangat dituntut bagi seorang guru, karena
dengan interaksi komunikasi yang aktif dapat menumbuh kembangkan semangat
pembelajaran bagi peserta didik, lebih-lebih dalam bermuhadasah, sehingga
antara guru/dosen dalam proses pembelajaran dapat terjadi komunikasi yang aktif
meskipun dalam ungkapan-ungkapan yang sederhana.
Penggunaan berbagai macam metode sangat perlu dikuasai oleh seorang
guru atau dosen dan diaplikasikan pada saat proses pembelajaran. Pengajar
yang profesional selalu berusaha untuk dapat memahami bagaimana keadaan
peserta didiknya, apakah mereka telah dapat memahami dan dapat dipraktekkan
sesamanya apa yang telah disampaikan, apakah mereka telah mengalami proses
belajar, apakah pelajaran sesuai dengan tingkat pemahaman para peserta didik.
Demikian juga dalam proses pembelajaran bahasa Arab, sejauh mana kemampuan
peserta didik dalam penguasan materi pembelajarannya. Di samping itu apakah
telah memenuhi prinsip-prinsip belajar, dimana manusia adalah orang seorang
yang memiliki pribadi/jiwa sendiri, sehingga dalam proses pembelajaran bahasa
Arab itu dapat terjadi interaksi komunikasi yang aktif dan progresif.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 219


ADI KASMAN

Daftar Pustaka
Daryanto. (2008). Evaluasi pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Dradjat, Zakiah et.al. (t.t.). Metodik khusus pengajaran agama Islam. Jakarta.

Ghalayaini, Mustafa. (1997). Jami’ud durus al-Arabiyah. Libanon, Beirut: Darul


Fikri.

Hamalik, Oemar. (2001). Perencanaan pengajaran berdasarkan pendekatan sistem.


Jakarta: Bumi Aksara.

Mansyur, Moh. et.al. (1995). Materi pokok bahasa Arab I: Modul 2. Jakarta: Dirjen
Binbaga Islam Departemen Agama RI.

Masduki, Ridlo. (2000). Makalah pengajaran bahasa Arab, disampaikan pada


acara pelatihan bahasa Arab untuk Guru MAK se-Indonesia di Ciawi,
Bogor, Jawa Barat.

Muradi, Ahmad. (t.t.). Metode drill dalam pembelajaran bahasa Arab. Jurnal
Ilmiah, IAIN Antasari Banjarmasin.

Nata, Abuddin. (2001). Pemikiran para tokoh pendidikan Islam: Seri kajian filsafat
Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nizar, Samsul. (2007). Sejarah pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Media.

Ramayulis. (1990). Metodologi pendidikan agama Islam. Jakarta: Kalam Mulia.

Sanjaya, Wina. (2006). Strategi pembelajaran berorientasi standar proses pendidikan.


Jakarta: Prenada Media Group.

At-Ta’dib. Jurnal ilmiah prodi pendidikan agama Islam, Vol. I, No.I, 2009: 43.

220 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


Konsep Metodologi
Pembelajaran Ibnu
Khaldun dan Al-Abrasyi
Suatu Perbandingan Pemikiran

Fithriani
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussalam
Banda Aceh, Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1)
dalam bidang bahasa Arab pada Fakultas Tarbiyah
IAIN Ar-Raniry, Tahun 1999. Kemudian melanjutkan
pendidikan Progam Magister (S2) Kosentrasi Pendidikan
Islam pada IAIN Ar-Raniry, selesai tahun 2006.

Abstract

Ibn Khaldun and Al-Abrasyi are the well-known scholars in Islamic education
with enormous influence in the development of Islamic education. This article is a
comparative study on concept of learning methodologies developed Ibn Khaldun
and Al-Abrasyi. This study has similar and different versions with other concept
of learning methodologies. However, in addition to some similarities, there are
also substantial differences in the rate of formative constructive. The equity of Ibn
Khaldun thought about the concept of learning methodologies is based on the as-
sumption that human ability to understand and master the thing is just running
a little by little. The deal done by Al-Abrasyi on the thought of Ibn Khaldun and
luminaries of classical Islamic education is the only good intentions and brilliant
mind that Al-Abrasyi pursued by various ways, namely to re-awake the Islamic
world to have theories of classical Islamic education which have ever been voiced
and practiced in the era of Islamic development to be implemented in the current
Islamic educational practice.

Kata kunci: Ibnu Khaldun, al-Abrasyi, metodologi pembelajaran


FITHRIANI

Pendahuluan
Metodologi pembelajaran merupakan unsur subtansial dalam proses
pendidikan Islam. Proses pembelajaran tidak dapat berjalan sebagaimana yang
diharapkan mana kala tidak ditopang oleh metodologi yang tepat dan akurat.
Adagium Usuli’yah menyatakan, Al-‘Amru bi Syai’in ‘Amru Biwasaailihi walil waaili
Hukmu Maqashidihi (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 229). Implikasi pedagogik
dari adagium ini adalah bahwa proses pembelajaran menghendaki metodologi
yang jelas dan tepat guna untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena
itu, hampir semua pakar pendidikan Islam klasik maupun modern membahas
secara mendalam unsur subtansial ini.
Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi merupakan dua pakar pendidikan Islam
yang cukup dikenal, Ibnu Khaldun melalui karya momentalnya, Muqaddimah
dikenal bukan hanya seorang sosiolog akan tetapi sebagai padagog muslim klasik
(Muhammad Jawwad Ridha, 2002: 173-195). Pemikirannya banyak dikaji oleh
para peneliti yang tidak hanya komunitas ilmuan muslim tetapi juga oleh para
komunitas ilmuan non muslim. Sedangkan Al-Abrasy merupakan pakar pada
Islam modern yang juga cukup dikenal di dunia Islam, paling tidak melalui
berbagai karyanya. Karya-karyanya terdiri lebih dari 50 judul, 13 judul di antaranya
berbicara langsung mengenai pendidikan Islam (Muhammad ’Athiyah al-abrasyi:
309-331).
Kedua pakar tersebut memberikan perhatian yang sangat besar terhadap
konsep pendidikan pada umumnya dan metodologi pembelajaran khususnya.
Perhatian Ibnu Khaldun mengenai pendidikan pada umumnya dan metodologi
pembelajaran dapat dilihat secara jelas dalam Muqadimah keenam dari bab
pertama, sepuluh pasal pada akhir bab kelima serta sebagian besar bab keenamnya
(Fathiyah Hasan Sulaiman, 1997: 2).
Pembahasan Al-Abrasyi mengenai pendidikan terdapat dalam banyak
karyanya, khususnya mengenai metodologi pembelajaran secara dominan dibahas
dalam dua karyanya yakni, al-Tarbiyah al-Islamiyah Wafalasifatuha dan Ruh al-
Tarbiyah wa al-Ta’lim.
Pembahasan Ibnu Khaldun mengenai pendidikan, menurut Prof. Dr. Warul
Walidin, dihampiri melalui pendekatan sosiologis. Warul Walidin menjelaskan
betapapun Ibnu Khaldun lebih mencurahkan perhatiannya pada sosiologi dan

222 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KONSEP METODOLOGI PEMBELAJARAN IBNU KHALDUN DAN AL-ABRASYI

sejarah, akan tetapi ia secara khusus menyelidiki dengan cermat pedagogik di bawah
sorotan metodologi ilmu sosial. Berbeda dengan Al-Abraisyi, pembahasannya
mengenai pedagogik lebih cenderung menyoroti dari sisi historis filosofis. Kedua
pakar ini menempuh jalan yang berbeda namun keduanya sama-sama merujuk
pada sumber Islam (Alquran dan Hadis). Hal ini sangat wajar karena kedua tokoh
pendidikan Islam, Ibnu Khaldun dan Al-Abraisyi hidup pada zaman yang jauh
berbeda, Ibnu Khaldun dibesarkan dalam tradisi Islam klasik, sementara Al-
Abrasyi dibesarkan dalam tradisi Islam modern. Al-Abrasyi dalam membayar
pemikiran pedagogiknya termasuk metodologi pembelajaran sedikit banyaknya
dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran pendidikan modern.

Profil Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi


1. Riwayat hidup singkat Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun lahir di Tunisia pada tahun 1332 M dan meninggal di Mesir pada
tahun 808 H/1406 M. Nama lengkap yang diberikan ayahnya adalah Waliyuddin
Abdurrahman Ibnu Muhammad Ibnu al-Hasan Ibnu al-Jabir Ibn Muhammad Ibn
Ibrahim Ibn Abdurrahman Ibn Khaldun (Warul Walidin, 2003:26). Ibnu Khaldun
berasal dari keluarga politis, intelektual, dan aristokrat, yang leluhurnya berasal dari
Hadramaut, Yaman. Mereka hijrah ke Spanyol pada abad VIII bersama gelombang
penaklukkan Islam di Semenanjung Andalusia (Abuddin Nata, 1997: 171).
Ibnu Khaldun lahir dari keluarga yang mempunyai andil besar dan
intelektualisme dan kemasyarakatan. Banyak di antara keturunannya menjadi
nama terkemuka di Magribi dan Andalusia. Di antaranya adalah Umar bin
Khaldun (wafat tiga abad sebelum lahirnya Ibnu Khaldun), penulis Muqaddimah
yang terkenal dalam ilmu matematika dan Astronomi (Lutfi Jumi’ah :19).
Pendidikan dan pengalaman yang digeluti Ibnu Khaldun seperti halnya anak-
anak muslim lainnya. Sewaktu kecil, ia menghafal Alquran dan belajar ilmu tajwid.
Tempat belajarnya di Mesjid Al-quba yang sering disebut orang-orang Tunisia
dengan mesjid El-quba (Abdul Wahid Wafi: 11). Guru pertama Ibnu Khaldun
adalah ayahnya sendiri yang sebaik mungkin mengurus pendidikan anaknya di
samping mencari guru-guru lain untuk mempelajari sejumlah bahasa.
a. Pendidikan dan pengalaman
Di antara guru-gurunya adalah Abu 'Abdillah Muhammad Ibnu Al-

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 223


FITHRIANI

'Arabi Al-Hasyayiri dan Abu 'Abbas Ahmad Ibnu al-Qassar, serta Abu 'Abdillah
Ibnu Bakar. Mempelajari Al-Hadis pada Syamsuddin Abu 'Abdillah Al-Wadiyasi.
Sedangkan ilmu Fiqh, ia belajar pada Abu 'Abdillah Muhammad Al-Jiyani dan Abu
Qahiri, sedangkan ilmu-ilmu rasional Ibnu Khaldun yang berupa teologi, logika,
ilmu-ilmu kealaman, matematika dan astronomi pada Abu 'Abdillah Muhammad
Ibn Al-Abili. Ia sempat kagum dengan gurunya yang terakhir ini (Al-Khudairi,
1997:10).
Ibnu Khaldun mendalami ilmu-ilmu formal tersebut sampai usia 18 tahun.
Ilmu-ilmu 'aqliyah ia peroleh pada usia yang relatif muda. Dalam bidang fiqh,
dia cenderung kepada mazhab Maliki, tertarik pada ilmu-ilmu sosial termasuk
ilmu pendidikan (Muhsin Mahdi, 1971: 27-29). Kemudian setelah beberapa tahun
ia memperoleh ilmu melalui pendidikan formal Ibnu Khaldun memasuki masa
belajar mandiri, melanjutkan apa yang telah diperoleh dari guru-gurunya.
Dalam pendidikan formal yang ditempuh Ibnu Khaldun banyak
mempelajari buku-buku terpenting di antaranya: Al-Lamiyyah fi al-Qiraat dan
Al-Ra 'iyah fi Rasmi al-Musaf, keduanya karya Al-Syatibi, Al-Tashil fil Umi al-
Nahwi, karya Abu Fajar al-As Fahami, Al-Mu'allaqat, Kitab Al-Hammasah li
al-'Alaiq, ontologi, puisi Abu Tamam dan Al-Mutanabbi, sebagian besar kitab
Hadis, terutama Sahih Muslim dan Muwata' Imam Malik, Al-Taqadi li Ahaditsi
Al-Muwatta', karangan Abdil Barr, 'Ulum al-Hadist karya Ibnu al-Salah, kitab
Al-Tahzib karya Al-Burada'i dan juga Mukhtasar al-Munawwarah karya Sahnun
berisikan Mazhab Maliki, Mukhtasar al-Ibni al-Hajib tentang fiqih dan usul serta
al-Sairu karangan Ibnu Ishaq.
b. Karya-karya Ibnu Khaldun
Di antara karya-karya terbesar Ibnu Khaldun adalah al-‘Ibaar. Nama
lengkap kitab ini adalah “Al-‘Ibaar wa Diwaan Al-Mubtada’ wa al-Khabar Fi
Ayyam al-‘Arab wa al-Barbar wa man ‘Atsaruhum Min Zawi al-Sulthan al-Akbar”.
Karyanya yang terkenal sampai sekarang adalah Muqaddimah atau Muqaddimah
Ibnu Khaldun. Kitab ini sebagai pengantar dari kitab al-‘Ibaar yang dianggap
penting sehingga dipisahkan dari karya induknya. Selain dari dua buku tersebut
yaitu al-‘Ibaar dan Muqaddimah, juga masih ada karya lain yaitu kitab al-Ta’rif
yang dipandang sebagai otobiografi.
Dalam kitab tersebut Ibnu Khaldun menguraikan peristiwa-peristiwa

224 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KONSEP METODOLOGI PEMBELAJARAN IBNU KHALDUN DAN AL-ABRASYI

yang dialami dalam kehidupannya, kasidah-kasidah dan surat-surat yang dia


kirim pada tokoh-tokoh penting. Dan kitab al-Ta’rif yang dia kirim pada tokoh-
tokoh penting. Dan kitab al-Ta’rif ini dirampungkan Ibnu Khaldun pada tahun
797 H dengan judul al-Ta’rif Ibnu Khaldun, Muallif Haza al-Kitab.

1. Riwayat hidup singkat Al-Abrasyi


Sumber-sumber informasi mengenai biografi Ibnu Khaldun sangat berbeda
dengan biografi Muhammad Athiyah al-Abrasyi, khususnya di Indonesia amat
terbatas. Meskipun demikian, ada beberapa indikator yang bisa dipakai untuk
melacak, paling tidak pada sebatas biografi dan pemikirannya, terutama dari
karya tulisnya sendiri (Abdurrahman, 1994: 49).
Muhammad ‘Athyah Al-Abrasyi adalah seorang sarjana yang telah lama
berkecimpung dalam dunia pendidikan di Mesir, pusat ilmu pengetahuan Islam
dan guru besar pada Fakultas Darul Ulum, Cairo University (Muhammad
‘Athiyah al-Abrasyi, 1990: 10). Al-Abrasyi secara sistematis telah menguraikan
pendidikan Islam dari zaman ke zaman, serta mengadakan perbandingan dengan
prinsip metode, kurikulum dan sistem pendidikan modern di dunia Barat pada
abad ke-20.
Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi hidup pada masa pemerintahan Gamal
Abdul Nasr. Hal ini diketahui dari pernyataannya sendiri dalam kata pengantar
bukunya: “Al-Tarbiyah al-Islamiyah”, Gamal ‘Abdul Nasr memerintah sejak tahun
1954 hingga kematiannya pada tahun 1970 yang kemudian diganti oleh Anwar
Sadat.
Al-ulum merupakan salah satu tempat beraktivitas Muhammad ‘Athiyah
Al-Abrasyi sebagai tenaga pengajar dan ia juga banyak menulis buku seperti al-
Tarbiyah al-Islamiyah wafalaasifatuhaa karya tulisnya sebanyak 52 buah yang
bervariasi tebal tipis dan tema pembahasannya sangat variatif, 13 di antaranya
secara langsung berkaitan dengan Tarbiyah-Islamiyah atau pendidikan Islam.
Selain dari itu berbentuk sejarah, akhlak, psikologi, dan lain-lain.
Di antara banyaknya buku yang dikarang oleh Al-Abrasyi, hanya buku al-
Tarbiyah al-Islamiyah yang diterbitkan oleh Dar al-Qaumiyah li al-Thiba'ah wa
an-Nasyr, atau National Printing And Publication House, Cairo pada tanggal
28 Juli 1964. Buku yang ke-95 dalam rangkaian penerbitan mereka mengenai

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 225


FITHRIANI

“Mazahib wa shakhshiyat”, menurut informasi yang telah diperoleh oleh Prof. DR.
H. Bustami A. Gani di, Cairo, merupakan penerbit kepunyaan pemerintah RPA
(Republik Pemerintah Arab), dan satu buku diterbitkan olehnya setelah terlebih
dahulu lulus dalam penilaian suatu panitia yang terdiri dari tenaga-tenaga ahli/
sarjana-sarjana dalam bidang tertentu. Norma yang ia pakai adalah bahwa suatu
buku itu diterbitkan bila buku tersebut mengandung hal-hal yang "baru", baik
dari segi isi, analisis atau teknik penyajian. Dengan demikian buku al-Tarbiyah al-
Islamiyah tersebut telah memenuhi syarat sesuai dengan kriteria dimaksud.

Konsep metodologi pembelajaran Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi


Ibnu Khaldun sebagai pendidik yang mempunyai kemampuan mengajar dan
memusatkan perhatiannya pada metode pengajaran, karena metode merupakan
sarana untuk merealisasikan pengajaran sesuai dengan langkah-langkah
ditetapkannya pemikiran Ibnu Khaldun tentang metodologi pembelajaran
didasarkan pada asumsi bahwa kesanggupan manusia dalam memahami dan
menguasai sesuatu hanyalah berjalan sedikit demi sedikit. Pandangan ini sesuai
dengan prinsip Alquran dalam membebani syari’at terlebih dahulu memperhatikan
kemampuan manusia. Sebagaimana Allah berfirman dalam surah al-Baqarah ayat
286, yang artinya sebagai berikut: “Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya” (Q.S. Al-Baqarah : 286).
Ayat di atas, jelas sebagai landasan berfikir Ibnu Khaldun untuk mengkritik
para guru di zamannya dalam menerapkan pelajaran terhadap subjek didik tidak
didasarkan pada metode yang benar, sebagai contoh subjek didik diwajibkan
menghafal Alquran pada permulaan belajar dengan alasan bahwa Alquran harus
diajarkan pada anak-anak sejak dini agar menulis dengan berbicara dengan
bahasa Arab yang benar. Disamping itu pula, Alquran juga dipandang mempunyai
kelebihan yang dapat menjaga subjek didik dari perbuatan yang rendah.
Ibnu Khaldun membantah gaya para pendidik yang demikian dengan
argumentasinya sebagai berikut: Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan
yang tidak ada pengaruhnya terhadap bahasa, sebelum memahami artinya, dan
merasakan gaya-gaya bahasanya, juga Alquran tidak punya pengaruh lughawi
dan maknawi kecuali setelah anak dapat berfikir dengan matang dan mungkin
dipahami.

226 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KONSEP METODOLOGI PEMBELAJARAN IBNU KHALDUN DAN AL-ABRASYI

Ibnu Al-‘Arabi mengungkapkan bahwa “alangkah tidak bijaksananya


penduduk negeri ini yang menyuruh anak-anak mempelajari Alquran pada masa
dini. Mereka membaca apa yang tidak dimengertinya dan berusaha keras sesuatu
yang tidak ada gunanya”.
Sesuai dengan kritikan tersebut memang tidak bisa dipungkiri bahwasannya
Ibnu Khaldun melalui pengalaman yang luas serta observasi yang diteliti terhadap
fakta empiris banyak teori yang berkenaan dengan metode pembelajaran yang ia
tuangkan dalam Muqaddimah. Berdasarkan metode-metode kependidikannya
Ibnu Khaldun benar-benar ahli menyajikan pandangan pada masanya dan
mendahului orang lain. Ini suatu keunikan pemikiran Ibnu Khaldun menentang
para ahli-ahli pendidikan pada masanya. Sesuai dengan konsep metodologi
pembelajaran, maka Ibnu Khaldun menganjurkan bahwa “kemampuan dan
pemahaman terhadap ilmu dikuasai atau dimiliki harus mencapai pada target
profesionalitas”. Demikian pula pemikiran Al-Abrasyi sebagaimana dicanangkan
bahwa sejak runtuhnya kejayaan Islam yang diikuti oleh kolonialisme dan
imperialism Eropa terhadap dunia Islam, perkembangan pendidikan Islam
beralih kedunia Barat. Hal ini suatu kenyataan yang menunjukkan bahwa
pemikiran pendidikan di Barat berkembang begitu pesat, sehingga dapat
menyebabkan munculnya berbagai teori dari aliran pemikiran pendidikan
baik yang bercorak rasionalisme maupun empirisme dengan segala variasinya
yang masih memberika pengaruh yang signifikan di berbagai Negara termasuk
Negara Islam. Kenyataan ini memberikan gambaran seolah-olah dunia Islam
tidak memiliki kontribusi apa-apa dan teori pendidikan modern tidak memiliki
hubungan historisnya dengan dunia Islam.
Al-Abrasyi dengan niat baik dan pemikiran yang cemerlang ia menempuh
berbagai cara untuk menyadarkan dunia Islam agar kembali mempelajari teori-
teori pendidikan Islam klasik yang pernah dikumandangkan dan dipraktekkan
pada era kemajuan Islam untuk diimplementasikan dalam praktek pendidikan
Islam sekarang. Upaya ini dilakukan Al-Abrasyi dengan adanya bukti-bukti
konkrit dengan pendekatan historis. Dengan pendekatan tersebut ia menunjukkan
dapat membuka pintu hati umat Islam agar menuntut ilmu di lembaga-lembaga
pendidikan, balai-balai pertemuan, perpustakaan, seminar-seminar dan gedung-
gedung pertemuan sastra dan ilmiah, dunia Islam, juga telah menyiapkan apa saja

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 227


FITHRIANI

yang diperlukan oleh mahasiswa seperti makanan, tempat tinggal, pengobatan dan
beasiswa agar mereka dapat menggunakan waktu sepenuhnya untuk belajar.
Berdasarkan latar belakang inilah Al-Abrasyi dengan komitmen yang tepat
mengungkapkan bahwa pemikiran metodologi pembelajaran mestinya sejalan
sebagaimana dikumandangkan oleh para ahli klasik, seperti Al-Ghazali, Ibnu
Khaldun dan lain-lain. Mereka menganggap bahwa cara berfikir anak-anak berbeda
dengan pikiran orang dewasa. Jika dalam pendidikan dunia modern mengenal
sistem Doulton (sistem pemberian tugas atau assignment) yang dikemukakan
dan dipraktekkan oleh Missa Hellen Parkherest di negara bagian Massachu
Settes (Amerika), maka sistem ini tidak berbeda dengan sistem yang dipakai Al-
Azhar sejak lama sekali dalam pendidikan dan pengajaran. Demikian juga idea
psychotest atau penguran kecerdasan yang merupakan kebanggaan pendidikan
abad ke XX ini. Dengan pemikiran tersebut, Al-Abrasyi menyeru kepada seluruh
para pendidik Islam lainnya untuk menggali kembali teori-teori pendidikan Islam
klasik agar dijadikan suatu kebanggaan pendidikan abad XX. Hal ini bukan upaya
yang langka, memang menjadi perhatian dan dipraktekkan sejak zaman keemasan
Islam, namun demikian Al-Abrasyi tidak terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa
filosof-filosof Islam telah menyuarakan apa yang kini dibanggakan dalam dunia
pendidikan Modern. Ibnu Khaldun merupakan tokoh pendidikan Islam Klasik
namun Al-Abrasyi menyimpulkan bahwa beberapa aspek pemikiran Ibnu
Khaldun mempunyai kesamaan dengan pandangan filosof modern.

Hakikat metodologi pembelajaran


Metode berasal dari bahasa yunani yaitu methodos yang berarti cara atau
jalan, yang dikenal dengan istilah arab adalah Thariqah yang berarti langkah-
langkah strategis untuk melakukan suatu pembelajaran. Dalam pandangan filosofis
pendidikan, metode merupakan alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan. Ibnu Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah tidak memberikan
defenisi yang konkrit mengenai metodologi pembelajaran sedangkan Al-Abrasyi
menta’rifkan metodologi pembelajaran sedangkan dalam bukunya Ruh al-Tarbiyah
wa al-ta’lim sebagai berikut: “Jalan yang kita ikuti untuk memberikan paham,
kepada murid-murid segala macam pelajaran, dalam segala mata pelajaran”.
Definisi metode tersebut berfungsi untuk mengantarkan siswa terhadap

228 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KONSEP METODOLOGI PEMBELAJARAN IBNU KHALDUN DAN AL-ABRASYI

suatu tujuan dengan cara yang sesuai menurut perkembangannya, merubah pada
tingkah laku mereka serta memperoleh maklumat-maklumat, keterampilan,
kebiasaan, sikap, minat, dan nilai-nilai yang diinginkan.
Adapun yang berkaitan dengan metodologi pembelajaran yang ditawarkan
baik Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi yaitu: Ibnu Khaldun menampilkan tiga
metodologi pembelajaran yang diberikan nama dengan metode tiga tahap, yaitu:
1. Tahap pertama (sabil al-ijmaili)
Tahap ini pendidikan mengajarkan materi pelajaran kepada subjek didik
berkaitan tentang problem-problem yang prinsipil mengenai setiap cabang
pembahasan yang diajarkan. Keterangan-keterangan yang diberikan harus bersifat
global dan sederhana, dalam setiap materi bahasa pengkajian materi itu sendiri
harus sesuai dengan kemampuan akal subjek didik dalam memahami apa yang
diberikan kepadanya dan setiap mental untuk memahami materi yang disajikan.
1. Tahap pengembangan (al-Syarh wa al-Bayan)
Pada tahap ini, pendidikan dalam menyajikan materi pelajaran pada
subjek didiknya memberikan pokok bahasan dalam taraf yang lebih tinggi. Ibnu
khaldun menganjurkan para pendidik untuk mengembangkan lebih jauh sesuai
dengan kesanggupan siswa. Para pendidik menggunakan tahap ini tidak boleh
puas dengan cara pembahasan yang bersifat umum saja tetapi harus membahas
segi-segi yang menjadi pertentangan dan berbagai pendapat yang berbeda. Seperti
dengan memberikan contoh-contoh konkrit dan alat peraga karena tahap ini
disebut dengan tahap perkembangan subjek didik.
3. Tahap penuntasan (takhallus)
Penyajian materi pelajaran pada tahap ini lebih mendalam dan rinci
dalam konteks yang universal karena pendidik di samping mempertajam aspek-
aspek materi pelajaran dan menajamkan pemahamannya, semua masalah yang
dianggap sulit perlu diselesaikan, pada tahap pemungkasan ini memungkinkan
subjek didik mencapai keahlian yang lebih sempurna.
Adapun metodologi pembelajaran yang ditawarkan Al-Abrasyi sebagaimana
dijelaskan dalam bukunya Ruhal tarbiyah terdapat sepuluh Metode ilmu
pendidikan yang dirangkum dari beberapa pendapat para ahli. Kesepuluh
metode ilmu dimaksud adalah al-qiyasiyyah, al-ikhbariyyah wa al-muhadharat,
al-hiwariyyah (al-suqrathiyyah), al-tanqibiyyah (model Dalton, Montessori, at-

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 229


FITHRIANI

tamsiliyah, al-masyru', al-la'bi Deccroly), al-'ijab, al-ibtikar, wa al-istintaj, al tadrib


wa al-Nuranah, ad-dirasah wa al-irsyddiyyah dan al-ikhtibar semua metode-
metode tersebut hasil rangkuman dari beberapa pendapat para ahli.
Metodologi pembelajaran tiga tahap yang dikemukakan Ibnu Khaldun dapat
digunakan untuk semua mata pelajaran, semua perkembangan subjek didik
kondisi dan situasi. Adapun sebaliknya metode yang ditawarkan Al-Abrasyi tidak
ada satu pun dapat digunakan untuk semua mata pelajaran, semua perkembangan
murid, kondisi dan situasi serta setiap metode memiliki keterbatasan-keterbatasan
tertentu sesuai dengan ciri-ciri khas yang dimiliki setiap metode. Oleh karena itu
banyaknya metode sebenarnya tidak menjadi persoalan penting dalam proses
pendidikan dari pengajar sebab banyaknya metode belum tentu akan membawa
hasil positif terhadap pencapaian tujuan pendidikan dan pengajaran bila
penerapan-penerapan itu tidak tepat.
Al-Abrasyi sangat menyadari hal ini, bahwa seorang pendidik perlu
memahami secara tepat keberadaan setiap metode baik kelebihan maupun
kekurangannya. Al-Abrasyi juga sependapat dengan Ibnu Khaldun dan al-Ghazali
mengenai metodologi pembelajaran terhadap anak-anak, Al-Abrasyi menjelaskan
bahwa metode pembelajaran terhadap anak-anak berbeda dengan metode
pembelajaran terhadap orang dewasa. Lebih lanjut Al-Ghazali berkata kewajiban
pertama bagi seorang pendidik adalah mengajarkan pada anak-anak yang mudah
dipahami karena kalau ada suatu mata pelajaran yang sukar akan mengakibatkan
kericuhan mental dan mengakibatkan anak-anak lari dari gurunya. Al-Abrasyi
sependapat dengan Al-Ghazali dan didukung oleh Ibnu Khaldun yang juga
berpendapat bahwa tingkat penangkapan anak-anak dalam pembelajaran haruslah
diperhatikan karena di zaman kita ini banyak guru-guru yang tidak tahu dengan
metode mengajar. Oleh karena itu, Al-Abrasyi menganggap sebagai pendapatan
yang terpenting dalam metode pendidikan modern di abad XX.
Hal yang sama diungkapkan Al- Abrasyi maju sekedar mengetahui
ketingkat sanggup mengetahui sendiri sehingga sempurnalah daya tangkap dan
kesanggupan belajar sendiri. Lebih lanjut Al-Ghazali dan Ibnu Khaldun dan lain-
lain, berpendapat bahwa pemikiran anak-anak berbeda dengan pemikiran orang
dewasa. Oleh karena itu seorang pendidik harus dapat menjadikan titik perhatian
dalam memberikan pelajaran.

230 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KONSEP METODOLOGI PEMBELAJARAN IBNU KHALDUN DAN AL-ABRASYI

Berpijak dari kenyataan tersebut, maka pemikiran Ibnu Khaldun mengenai


metodologi pembelajaran tiga tahap berbeda dengan metodologi pembelajaran
yang diterapkan Al-Abrasyi, namun demikian walaupun Ibnu Khaldun tidak
menampilkan ragam metode seperti yang diterapkan Al-Abrasyi, akan tetapi
metode tiga tahap tersebut dapat membantu para pendidik dalam proses
pengajaran, menerangkan pelajaran dan memberikan materi pelajaran secara
bertahap dimulai yang sederhana kepada yang kompleks. Ia mengharap kepada
para pendidik metode apa saja yang digunakan, baik metode pengambilan
kesimpulan atau induktif, perbandingan (qiyasiyah), kuliah (al-muhadharat),
dialog (hiwariah), latihan (tadrib), tanya jawab (al-'ijab), al-tanqibiyyah,
perumpamaan (al-tamsiliyyah) tidak membingungkan subjek didik dengan
tidak mengajarkan ilmu pengetahuan sekaligus akan tetapi mengajarkan ilmu
pengetahuan dilakukan secara berangsur-angsur, setapak demi setapak dan
sedikil demi sedikit. Semua metode-metode tersebut berdasarkan pada prinsip
bahwa kemampuan menerima ilmu pengetahuan pada anak-anak itu berproses
secara setingkat demi setingkat sejalan dengan perkembangan otak mereka. Ibnu
Khaldun memang tidak menganjurkan ragam strategi dan metode yang dapat
ditempuh sebagaimana Al-Abrasyi namun secara sepintas lintas membicarakan
alat peraga dan tidak merumuskan secara mendetail strategi penggunaan alat
peraga dan media pendidikan lainnya. Ibnu Khaldun hanya menyarankan
penggunaannya sesuai dengan materi yang diajarkan.

Manfaat metodologi pembelajaran


Metode pembelajaran mempunyai peranan penting dan sangat bermanfaat
bagi proses pendidikan sebab tanpa metode, pikiran, pengetahuan pemahaman,
keterampilan pengalaman dan sikap tidak akan berpindah dari seorang pendidik
kepada subjek didik., karena metode merupakan penghubung antara guru dan
murid. Dengan metode pembelajaran sangat memudahkan siswa menyerap
materi pelajaran. Guru sebagai profesinya mengajar, tetap menggunakan metode
dalam menyampaikan materi pelajaran. Apabila guru tampil baik dalam metode
mengajarnya, maka dapatlah dinilai baik sebagai guru, juga sebaliknya jika guru
tampil buruk dalam metode pembelajarannya maka guru tersebut tidak menguasai
metode. Banyak sekali kita saksikan bahwa kadang-kadang seorang guru adalah

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 231


FITHRIANI

seorang ahli dan profesional dalam menguasai mata pelajarannya, tetapi ia gagal
dalam pelajarannya sebab ia tidak menguasai metode.
Dengan sebab itu pendidik dalam berbagai zaman menaruh perhatian yang
sangat besar untuk mengangkat derajat metode mengajar dan alat-alatnya melalui
penentuan syarat-syarat dan prinsip-prinsip yang harus dipelihara dengan baik
oleh para pendidik-pendidik Islam baik klasik maupun modern.
Manfaat metodologi pembelajaran menurut Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi,
tidak dapat dibedakan karena setiap metode mempunyai manfaatnya masing-
masing. Pemanfaatan metode berbeda-beda, metode mengajarkan ilmu agama
dan bahasa berbeda dengan metode mengajarkan ilmu-ilmu alam dan seni.
Demikian pula metode mengajarkan tarikh, ilmu hitung dan sebagainya.

Prinsip-prinsip metodologi pembelajaran


Pandangan Ibnu Khaldun tentang prinsip-prinsip metodologi pembelajaran
antara lain nampak pada sikapnya yang menganggap bahwa manusia
berbeda dengan binatang karena kapasitas berpikirnya. Ibnu Khaldun sangat
memperhatikan potensi psikologis manusia dalam proses belajar mengajar karena
metode pendekatan terhadap anak-anak dianggap baik oleh Ibnu Khaldun adalah
bcrsifat psikologis misalnya mengajarkan Alquran terhadap anak-anak hams
diakhiri setelah belajar bahasa Arab dan sastra atau berhitung. Karena bagi anak-
anak dasar mempelajari Alquran lebih sukar dari pada bahasa Arab dan berhitung.
Meskipun kebiasaan umum pada saat itu tidak menyetujuinya namun di samping
itu ada kemungkinan anak mudah tergoda untuk mengabaikan pelajaran Alquran.
Dengan demikian, agar terlaksananya proses belajar mengajar dengan lancar dan
memperoleh tujuan yang diinginkan dalam pembelajaran, maka Ibnu Khaldun
mengungkapkan prinsip metode bagi pembelajaran atas dasar asumsi psikologis
anak didik yaitu :
1. Hendaknya tidak memberikan pelajaran tentang hal-hal yang sulit kepada
anak didik yang baru mulai belajar.
2. Anak didik diajarkan tentang masalah yang sederhana yang dapat
ditangkap oleh akal pikirannya, baru kemudian secara bertahap dibawa
pada hal-hal yang lebih sukar.
3. Jangan memberi ilmu yang melebihi kemampuan akal pikiran anak didik,

232 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KONSEP METODOLOGI PEMBELAJARAN IBNU KHALDUN DAN AL-ABRASYI

karena hal itu akan menyebabkan anak didik menjauhi ilmu itu dan
membuatnya malas mempelajarinya.
Adapun prinsip-prinsip metodologi pembelajaran yang diklasifikasikan Al-
Abrasyi adalah: 1) menjaga kemampuan dan kecenderungan siswa, 2) perhatian
penuh terhadap siswa, 3) pendidikan sambil bermain,. 4) kebebasan berfikir,
5) mendorong siswa untuk belajar sesuai dengan kecenderungan, 6) menjaga
lingkungan siswa, 7) tolong menolong, 8) mendorong siswa untuk belajar mandiri,
9) memanfaatkan semua potensi siswa.
Prinsip-prinsip metodologi yang ditawarkan Ibnu Khaldun sangat didukung
oleh Al-Abrasyi, karena maju dari tingkat sekedar mengetahui ke tingkat sanggup
mengetahui sendiri, sehingga akhirnya sempurnalah daya tangkap kesanggupan
belajar sendiri. Karena mereka menganggap kecepatan berfikir dan daya tangkap
manusia berbeda-beda.
Semua prinsip-prinsip metodologi pembelajaran Al-Abrasyi juga
memperhatikan psikologis anak didik dalam proses belajar mengajar scbagaimana
Ibnu Khaldun didasarkan pada pendekatan psikologis anak didik, meskipun
metode yang diterapkan lebih bersifat intelektualistis karena hanya menitik
beratkan pada kecerdasan akal saja. Di samping adanya persamaan juga terdapat
perbedaan dari konstruksinya yang berbeda Perbedaan itu dapat menutupi
dimana terdapat kekurangan satu sama lain dari prinsip-prinsip tersebut. Karena
prinsip-prinsip yang ditawarkan oleh Al-Abrasyi merupakan hasil rangkuman
dari beberapa pendapat pakar pendidikan Islam klasik seperti: Ibnu Sina, Al-
Ghazali, Az-Zarnuji, Al-Abdari dan Ibnu Khaldun.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi komperatif mengenai konsep metodologi
pembelajaran menurut pendapat Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi dalam kaitannya
dengan konsep metodologi pembelajaran dapatlah diambil kesimpulan bahwa
metodologi pembelajaran yang ditawarkan oleh dua tokoh pendidikan tersebut
terdapat persamaan-persamaan. Persamaan tersebut berdasarkan bukti-bukti
konkrit yang dilakukan Al-Abrasyi dengan menggunakan pendekatan historis
pendekatan tersebut dapat membuka pintu hati umat umat Islam agar menuntut
ilmu pendidikan dengan menggunakan berbagai macam metode pembelajaran

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 233


FITHRIANI

sebagaimana dikumandangkan oleh ahli pikir klasik baik Al-Ghazali, Ibnu


Khaldun dan lain-lain.
Adapun persamaan yang substantif termasuk dalam pembahasan metodologi
pembelajaran Ibnu Khaldun dan Al-Abrasyi berkenaan dengan corak pemikiran
metodologi pembelajaran sesuai dengan pemikiran para tokoh pendidikan Islam
lainnya yang menganggap bahwa cara berfikir anak-anak berbeda dengan pikiran
dewasa.
Sedangkan perbedaan-perbedaan yang bersifat formatif konstruktif termasuk
pembahasan konsep metodologi pembelajaran tampak dalam berbeda dalam
merumuskan hakikat metodologi pembelajaran Ibnu Khaldun tidak berlaku
kasar. Hal ini sesuai dengan Al-Abrasyi dapat membawa hati manusia dengan Al-
Abrasyi dapat membawa hati manusia taqarrub kepada Allah Swt.

234 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KONSEP METODOLOGI PEMBELAJARAN IBNU KHALDUN DAN AL-ABRASYI

Daftar Pustaka
Abdul Wahid Wafi. (t.t). Ibnu Khaldun Riwayat Hidup dan Karyanya, (Alih Bahasa
Ahmadie Thaha). Jakarta: Grafit Press.

Abdurrahman Assegaf. (1994). Teori Pendidikan John Dewey dan Muhammad,


Athiyah Al-Abrasyi (Suatu Alisis Komperatif), Tesis. Yogyakarta : IAIN
Sunan Kalijaga.

Abuddin Nata. (1997). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Logos-Wacana Ilmu.

Al-Khudairi. (1997). Filsafat Sejarah Ibnu Khaldun, (Alih Bahasa Rafi’I Utsman).
Bandung : Pustaka.

Fathiyah Hasan Sulaiman. (1987). Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu dan
Pendidikan, Terj. Herry Noer Ali. Bandung : Dipenogoro.

Fuad Hasan dan Koentjaningrat. (1977). Beberapa Azas Metodologi Ilmiah dalam
Koentjaningrat (ed) Metode-metode dalam Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.

Lutfi Jumi’ah. (t.t). Tarikh al-Falasifah al-Islami fi al-Masyriq wa al-Maghribi,


(Mesir : Ainsyams, tt).

Muhaimin dan Abdul Mujib. (1993). Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofik
dan Kerangka Dasar Operasionalnya. Bandung: Trigenda Karya.

Muhammad ‘Athiyah Al-Abrasyi. At-Tarbiyah wafala Sifatuha. Mesir : Isa Babi


al-Halabi, tt.

Muhammad Jawwad Ridha. (2002). Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam
(Perspektif Sosiologis Filosofis), terj. Mahmud Arif. Yogyakarta : Tiara
Wacana.

Muhsin Mahdi. (1971). Ibnu Khaldun Philosophy of History. Chicago : The


University of Chicago Press.

Oemar al-Taumy al-Syaibany. (1979). Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta : Bulan


Bintang.

Sa’ad Mursa Ahmad. (1985) Tathawwur al-Fikry al-Tarbawiyyin. al-Qahirah :


Mathabi Sajlul Arabi.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 235


FITHRIANI

Warul Walidin. (2003). Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun Perspektif


Pendidikan Modern. Batu Pahat-Lhokseumawe, NAD: Nadia Foundation.

236 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


Optimalisasi Kualitas
Pembelajaran Bahasa Arab
pada Institut Agama Islam
Negeri di Banda Aceh
Intan Afriati
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh

Abstract

Generally, the teaching and learning Arabic at the state Institute for Islamic Studies
aim to develop the skills of students to master the formal (fushha) Arabic, in order
to understand and produce quality works in Arabic literature (productive and
receptive). Productive skill is the ability to use Arabic in order to communicate
either by speaking or writing. Receptive skill is the ability to understand speeches
and texts. It is important that these two abilities being developed together with the
positive manner toward the Arabic, that accordingly, students could understand
the various resources of Islamic studies, including the Qur’an and Prophets
Tradition, which are written in Arabic. In reality, however, the abilities and skills of
students are poor or far from optimal. These are because of several factors, among
others are, lack of student’s learning motivation, are poor quality of lecturers, poor
facilities, and the absence of Arabic language environment. The improvement of
quality of the Arabic learning should be focused on these four areas. The university
should intensively train Arabic lecturers, improve Arabic learning facilities, and
enlighten the Arabic-speaking environment.

Kata kunci: Motivasi, kualitas dosen, media pembelajaran


INTAN AFRIATI

Pendahuluan
Bahasa Arab memiliki fungsi istimewa dari bahasa-bahasa lainnya. Bukan
saja bahasa Arab yang memiliki nilai sastra bermutu tinggi bagi mereka yang
mengetahui dan mendalaminya, akan tetapi bahasa Arab ditakdirkan sebagai
bahasa Alquran, yaitu bahasa yang digunakan untuk kalam Allah. Dalam Alquran
terdapat uslub bahasa yang sungguh mengagumkan dan suatu realita pula manusia
tidak mampu menandinginya.
Bahasa Arab dan Alquran bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan antara satu dan lainnya. Mempelajari bahasa Arab adalah syarat wajib
untuk menguasai isi Alquran. Mempelajari Alquran berarti mempelajari bahasa
Arab. Dengan demikian peranan bahasa Arab di samping sebagai alat komunikasi
manusia sesamanya juga sebagai alat komunikasi manusia dalam beriman kepada
Allah. Islam telah mengangkat bahasa Arab menjadi bahasa yang besar dan
berbudaya yang mempengaruhi dunia seluruhnya. Sejak abad ke 12 M, bahasa
Arab sudah dikenal bukan saja sebagai bahasa untuk memahami seluk beluk
agama Islam, akan tetapi  juga sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Hal ini telah
terlukis dalam sejarah Islam, di mana pada abad tersebut khususnya pada akhir
masa dinasti Abbasiyah berbagai buku tentang ilmu pengetahuan seperti ilmu
kedokteran, ilmu filsafat dan ilmu falak, semuanya ditulis dalam bahasa Arab.
Bahasa Arab juga telah ditetapkan sebagai salah satu bahasa resmi yang
digunakan di Majelis Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1973. Hal
ini mengandung pengertian bahwa bahasa Arab telah dijadikan sebagai salah
satu bahasa resmi internasional, maka sepatutnyalah pengajaran bahasa Arab
di Indonesia mendapat penekanan dan perhatian seksama, mulai dari tingkat
SD (Sekolah Dasar) sampai pada Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta,
umum maupun agama, untuk digerakkan dan diajarkan.
Bahasa Arab sangat penting diajarkan di institusi pendidikan Islam karena
institusi pendidikan merupakan lembaga yang dapat mencetak intelektual muslim
dan ulama. KH. Abdullah Syukri Zarkasyi menyebutkan, “Seorang ulama harus
menguasai bahasa Arab dengan baik, karena sumber utama Islam (Alquran dan
hadis) itu berbahasa Arab dan warisan tradisi keilmuan dan keruhanian Islam juga
tertulis dalam Bahasa Arab”. Persyaratan KH. Abdullah Zarkasyi ini berdasarkan
fakta yang dapat ditemukan dengan mudah, bahwa di antara persyaratan untuk

238 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


OPTIMALISASI KUALITAS PEMBELAJARAN BAHASA ARAB PADA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI DI BANDA ACEH

dapat menjadi atau disebut seorang ulama dalam agama Islam adalah memahami
bahasa Arab dengan baik, yang ditandai dengan memiliki kemampuan dalam
mengkaji ajaran Islam dari sumbernya yang asli (berbahasa Arab).
Pembelajaran bahasa Arab di suatu institusi pendidikan Islam pada umumnya
diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina
kemampuan berbahasa Arab Fushhā', baik produktif maupun reseptif, serta
menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Arab. Kemampuan bahasa Arab
produktif yaitu kemampuan menggunakan Bahasa Arab sebagai alat komunikasi
baik secara lisan maupun secara tulisan. Kemampuan berbahasa reseptif yaitu
kemampuan untuk memahami pembicaraan orang lain dan kemampuan
memahami bacaan. Kemampuan berbahasa Arab serta sikap positif terhadap
bahasa Arab tersebut sangat penting, karena dapat membantu seseorang dalam
memahami sumber ajaran Islam, yaitu Alquran dan hadis, serta buku-buku
berbahasa Arab yang berkenaan dengan Islam dan ilmu pengetahuan umum.
Realita menunjukkan bahwa keterampilan mahasiswa dalam berbahasa Arab
belum optimal. Banyak faktor yang harus ditingkatkan dalam rangka perbaikan
mutu pendidikan bahasa Arab secara optimal. Adapun uraian tentang faktor-
faktor tersebut dapat dilihat pada pembahasan berikut.

Pembahasan
Suatu perguruan tinggi harus mengukur dan meningkatkan kualitas
jasanya agar dapat berfungsi secara efisien dan efektif di lingkungan yang sangat
kompetitif. Paket jasa pengajaran yang ditawarkan harus dapat menarik bagi
(calon) mahasiswa dan juga harus dapat menciptakan dan menaikkan tingkat
kepuasan mahasiswa. Mahasiswa yang tidak puas biasanya akan menyebarkan
komentar yang negatif tentang perguruan tinggi tersebut, di samping itu juga
akan berimplikasi negatif terhadap prestasi mahasiswa. Oleh karena itu, suatu
perguruan tinggi harus mempunyai strategi yang dapat mengidentifikasi dan
mengakomodasi kebutuhan mahasiswa sebagai konsumen jasa pengajaran yang
ditawarkan. Adapun strategi yang dapat dilakukan di antaranya sebagai berikut:

Peningkatan motivasi
Motivasi bertalian dengan suatu tujuan. Motivasi dapat mempengaruhi

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 239


INTAN AFRIATI

adanya kegiatan. Motivasi sangat diperlukan untuk mencapai tujuan belajar.


Motivation is an essential condition of learning. Hasil belajar akan menjadi optimal
kalau ada motivasi. Motivasi akan senantiasa menentukan intensitas usaha belajar
bagi para mahasiswa.
Menurut Sardinam (2007: 85), ada tiga fungsi motivasi: Pertama, Motivasi
yang dapat mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor
yang melepaskan energi. Motivasi dalam hal ini merupakan motor penggerak dari
setiap kegiatan yang akan dikerjakan. Kedua, Menentukan arah perbuatan, yakni
ke arah tujuan yang hendak dicapai. Dengan demikian motivasi dapat memberikan
arah dan kegiatan yang harus dikerjakan sesuai dengan rumusan tujuannya. Ketiga,
Menyeleksi perbuatan, yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus
dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan. Seseorang mahasiswa yang akan
menghadapi ujian dengan harapan dapat lulus, tentu akan melakukan kegiatan
belajar dengan sungguh-sungguh. Demikian juga halnya bagi mahasiswa yang
ingin menguasai bahasa Arab dengan baik.
Di samping itu, ada juga fungsi-fungsi lain. Motivasi dapat berfungsi
sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Seseorang melakukan suatu
usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik dalam belajar akan
menunjukkan hasil yang baik. Dengan kata lain, dengan adanya usaha yang tekun
dan terutama didasari adanya motivasi, maka seseorang yang belajar itu akan
dapat melahirkan prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang mahasiswa akan
sangat menentukan tingkat pencapain prestasi belajarnya.
Dosen berperan sebagai motivator belajar, artinya sebagai pendorong agar
mahasiswa mau melakukan kegiatan belajar. Sebagai motivator, dosen harus
menciptakan kondisi ruang belajar yang merangsang mahasiswa melakukan
kegiatan belajar, baik kegiatan individual maupun kelompok. Stimulasi atau
rangsangan belajar mahasiswa bisa ditumbuhkan dari dalam diri mahasiswa dan
dari luar diri mereka.
Dorongan belajar yang berasal dari dalam diri mahasiswa (motivasi intrinsik)
muncul manakala kegiatan belajar itu menjadi kebutuhan para mahasiswa. Oleh
sebab itu, dosen harus mengupayakannya, misalnya dengan menumbuhkan
kesadaran mereka bahwa mengusai bahasa Arab sangat urgen di masa sekarang
dan masa yang akan datang. Bahasa Arab itu adalah kebutuhan dalam rangka

240 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


OPTIMALISASI KUALITAS PEMBELAJARAN BAHASA ARAB PADA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI DI BANDA ACEH

meningkatkan kapasitas diri mahasiswa. Adapun dorongan belajar yang tumbuh


dari luar diri mahasiswa (motivasi ekstrinsik) dapat dilakukan oleh dosen/
Perguruan Tinggi dengan memberikan penghargaan bagi mereka yang berprestasi
bahkan mungkin memberikan hukuman bagi mereka yang tidak melakukan
kegiatan belajar sebagaimana yang diharapkan.
Dalam upaya optimalisasi pembelajaran bahasa Arab di perguruan tinggi,
dosen dituntut pula untuk dapat memberikan penghargaan kepada mahasiswa
yang aktif dan konsisten dalam penggunaan Bahasa Arab pada lingkungan
kampus. Bentuk reward yang dapat diberikan bisa dalam bentuk penghargaan
sosial. Penghargaan sosial dalam bentuk imbalan material, fasilitas dan jabatan
baik strukutral maupun fungsional diberikan kepada alumni-alumni atau lulusan
Timur Tengah dan alumni pesantren yang menguasai bahasa Arab harus lebih
besar dibandingkan dengan para alumni dari Barat. Selama ini penghargaan
sebagaimana disebutkan di atas lebih banyak diberikan kepada lulusan dari Barat
yang menggunakan bahasa Inggris.

Peningkatan kualitas dosen


Suatu kegiatan perkuliahan dapat menjadi menarik atau membosankan
tergantung pada dosennya. Dosen adalah faktor penting dalam proses
pembelajaran bahasa Arab. Walaupun antara mahasiswa dan dosen sama-sama
menjadi subjek dalam aktifitas pembelajaran. Dalam bidang penguasaan materi
pembelajaran, seharusnya seorang dosen bahasa Arab mampu menguasai empat
keterampilan bahasa (al-istimâ', al-muhâdatsah, al-qirâah dan al-kitâbah) dengan
baik dan benar-benar mampu berbuat sesuai dengan peranannya sebagai seorang
dosen.
Dosen berperan sebagai pemimpin belajar, artinya merencanakan,
mengorganisasi, melaksanakan dan mengontrol kegiatan mahasiswa belajar (Mouly,
1987:40). Merencanakan kegiatan mahasiswa belajar terutama menentukan tujuan
belajar mahasiswa, apa yang harus dilakukan oleh mahasiswa, sumber-sumber
belajar mana yang harus dipersiapkannya. Mengorganisasi kegiatan belajar artinya
menentukan dan mengarahkan bagaimana cara mahasiswa melakukan kegiatan
belajar, mengatur lingkungan belajar mahasiswa dan mengoptimalkan sumber-
sumber belajar.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 241


INTAN AFRIATI

Mengontrol kegiatan belajar mahasiswa dimaksudkan dengan mengawasi,


memberi bantuan, bimbingan, petunjuk, mencatat kekurangan dan kesalahan
untuk dibahas dan diperbaiki, menilai proses belajar, dan hasil belajar yang
dicapainya. Posisi ini menuntut dosen memiliki kesanggupan-kesanggupan
mengelola kelas, melakukan hubungan sosial dengan mahasiswa, memahami
individu mahasiswa dan memberikan bimbingan belajar.
Dosen berperan sebagai fasilitator belajar, artinya memberikan kemudahan-
kemudahan kepada mahasiswa dalam melakukan kegiatan belajarnya. Kemudahan
tersebut bisa diupayakan dalam berbagai bentuk, antara lain menyediakan
sumber dan alat-alat belajar seperti buku-buku yang diperlukan, alat peraga, alat
belajar lainnya, menyediakan waktu belajar yang cukup kepada semua mahasiswa,
memberikan bantuan kepada mahasiswa yang memerlukannya, menunjukkan
jalan keluar dalam pemecahan masalah yang dihadapi mahasiswa dan menengahi
perbedaaan pendapat yang muncul dari para mahasiswa.
Dosen berperan sebagai moderator belajar, artinya sebagai pengatur arus
kegiatan belajar mahasiswa. Sebagai moderator, dosen menampung persoalan
yang diajukan oleh mahasiswa dan mengembalikan lagi persoalan tersebut kepada
mahasiswa lain untuk dijawab dan dipecahkannya. Jawaban mahasiswa tersebut
dikembalikan kepada penanya atau kepada kelas untuk dinilai bersama benar
tidaknya sebagai jawaban. Dengan demikian setiap mahasiswa dikondisikan
berperan aktif dalam merespons terhadap pertanyaan yang diajukan oleh dosen.
Dosen sebagai moderator tidak hanya mengatur arus kegiatan belajar, tetapi juga
bersama mahasiswa harus menarik kesimpulan atas jawaban masalah sebagai hasil
belajar mahasiswa, atas dasar semua pendapat yang telah dibahas dan diajukan
mahasiswa.
Dosen berperan sebagai motivator belajar, artinya sebagai pendorong agar
mahasiswa mau melakukan kegiatan belajar. Sebagai motivator, dosen harus
menciptakan kondisi kelas yang merangsang mahasiswa melakukan kegiatan
belajar baik kegiatan individual maupun kelompok. Stimulasi atau rangsangan
belajar mahasiswa bisa ditumbuhkan dari dalam diri mahasiswa itu sendiri dan
dari luar diri mahasiswa. Dorongan belajar dari dalam diri mahasiswa (motivasi
intrinsik) muncul manakala kegiatan belajar itu menjadi kebutuhan mahasiswa.
Oleh sebab itu dosen mengupayakannya, misalnya dengan menumbuhkan

242 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


OPTIMALISASI KUALITAS PEMBELAJARAN BAHASA ARAB PADA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI DI BANDA ACEH

kesadaran mahasiswa bahwa belajar hari itu untuk meraih hari esok yang lebih
baik. Adapun dorongan yang tumbuh dari luar diri mahasiswa (motivasi ekstrinsik)
dapat dilakukan oleh dosen melalui penghargaan bagi mereka yang berprestasi
dan memberikan hukuman bagi mereka yang tidak melakukan kegiatan belajar
sesuai dengan yang diharapkan.
Untuk menjadi motivator belajar, dosen hendaknya mengetahui kebutuhan
para mahasiswa serta latar belakang pribadinya sehingga upaya memberikan
motivasi kepada mahasiswa sejalan dengan kebutuhan dirinya. Menjalin
hubungan baik dan harmonis dengan mahasiswa agar kepatuhan dan kepercayaan
mahasiswa kepada dosen tertanam kepada mahasiswa. Memiliki perasaan humor
yang positif dan normatif sehingga tetap disegani dan disenangi para mahasiswa,
serta menampilkan sosok kepribadian dosen yang menjadi panutan mahasiswa,
baik dalam berperilaku di kelas maupun di luar kelas.
Dosen berperan sebagai evaluator, artinya sebagai penilai yang objektif dan
komprehensif. Sebagai evaluator, dosen berkewajiban mengawasi proses belajar
mahasiswa dan hasil belajar yang dicapainya, serta berkewajiban melakukan
upaya perbaikan proses belajar siswa dengan menunjukkan kelemahan belajar
mahasiswa dan cara memperbaikinya. Dalam menjalankan tugas sesuai dengan
peranannya, maka yang pertama yang harus diperhatikan oleh dosen adalah
tujuan pengajaran. Karena mengajar adalah peristiwa yang terikat oleh tujuan,
terarah pada tujuan dan dilaksanakan semata-mata untuk mencapai tujuan
(Surachmad, t.t.:24). Tujuan inilah yang merupakan hasil belajar bagi mahasiswa
setelah melakukan proses belajar di bawah bimbingan dosen dalam kondisi yang
kondusif.
Dosen harus mampu menggunakan metode-metode yang tepat, karena metode
cara atau jalan yang ditempuh untuk mencapai suatu tujuan dengan hasil yang
efektif dan efisien. Dalam penggunaan metode, dosen harus mempertimbangkan
dan memperhatikan dari berbagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat
mempertinggi mutu dan efektifitas suatu metode. Adapun hal-hal yang harus
diperhatikan dalam pemilihan metode pengajaran adalah 1). Tujuan yang hendak
dicapai, 2). Materi yang akan diajarkan, 3). Kemampuan guru, 4). Fasilitas yang
tersedia, 5). Situasi dan kondisi pengajaran dimana berlangsung, 6). Waktu yang
tersedia, 7). Kebaikan dan kekurangan suatu metode (Yusuf, 1997:7-10).

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 243


INTAN AFRIATI

Metode-metode yang dapat digunakan dosen dalam pembelajaran bahasa


Arab di antaranya adalah metode mubâsyarah (metode langsung), metode
thabi'iyyah (metode alami), metode muthāla'ah (metode membaca), metode al-
wājibāt (metode pemberian tugas), metode munāqasyah (metode diskusi) dan
lain-lain.
Kemampuan dosen terhadap penguasaan materi dan penggunaan metode
dapat ditingkatkan dengan memberi kesempatan kepada dosen untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan bahasa Arab secara intensif baik di dalam maupun di
luar negeri. Kesempatan ini yang sangat jarang didapati oleh dosen bahasa Arab
di Aceh.

Penggunaan media sumber belajar


Sebelum uraian ini sampai pada penggunaan media oleh dosen atau tenaga
pengajar dalam kegiatan perkuliahan, ada baiknya ditinjau kembali pengertian
media itu sebenarnya. Kata "media" berasal dari bahasa Latin dan merupakan
bentuk jamak dari kata "medium," yang secara harfiah berarti "perantara atau
pengantar". Dengan demikian, media merupakan wahana penyalur informasi
belajar atau penyalur pesan.
Dalam kegiatan perkuliahan kehadiran media mempunyai arti yang cukup
penting. Karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan materi yang disampaikan
dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Kerumitan materi
yang akan disampaikan kepada mahasiswa dapat disederhanakan dengan bantuan
media. Media dapat mewakili apa yang kurang mampu dosen ucapkan melalui
kata-kata atau kalimat tertentu. Bahkan keabstrakan materi dapat dikonkritkan
dengan kehadiran media.
Media sebagai sumber belajar diakui sebagai alat bantu auditif, visual, dan
audiovisual. Penggunaan ketiga sumber belajar ini tidak sembarangan, tetapi harus
disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, dan tentu saja dengan kompetensi dosen
itu sendiri , dan sebagainya. Media auditif adalah media yang hanya mengandalkan
kemampuan suara saja, seperti radio, cassette recorder, laboratorium bahasa
dan sejenisnya. Media Visual adalah media yang hanya mengandalkan indra
penglihatan. Media visual ini ada yang menampilkan gambar diam seperti film
strip (film rangkai), slides (film bingkai) foto, gambar atau lukisan dan cetakan.

244 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


OPTIMALISASI KUALITAS PEMBELAJARAN BAHASA ARAB PADA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI DI BANDA ACEH

Adapun media Audiovisual adalah media yang mempunyai unsur suara dan unsur
gambar. Jenis media ini mempunyai kemampuan yang lebih baik, karena meliputi
kedua jenis media di atas.

Pengaktifan lingkungan berbahasa Arab


Sarana belajar yang paling efektif dalam pembelajaran bahasa adalah adanya
lingkungan berbahasa yang mendukung dan mendorong seseorang mahasiswa
untuk mempraktekkan bahasa yang dipelajarinya secara intensif, sehingga semua
aspek ketrampilan berbahasa dapat terlatih secara otomatis. Penciptaan lingkungan
telah mulai dilakukan pada beberapa pesantren modern, yang memperlihatkan
hasil belajar yang lumayan berhasil.
Pada tahun 1998, telah dilakukan penelitian pada mahasiswa jurusan
Bahasa Arab tentang kesulitan berkomunikasi secara lisan dalam bahasa
Arab (muhādatsah). Faktor utama sebagai penyebabnya adalah karena tidak
adanya lingkungan berbahasa Arab secara kondusif (Afriati, 1998:62). Hal ini
menyebabkan kurangnya latihan secara praktis dalam menggunakan bahasa Arab
dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dan hasil belajar yang didapati oleh
para santri di pesantren yang menghidupkan lingkungan bahasanya, maka di
sini ditawarkan pada pihak Perguruan Tinggi agar mewajibkan mahasiswa prodi
Bahasa Arab untuk berkomunikasi dalam bahasa Arab baik secara lisan maupun
tulisan.
Di samping itu, untuk optimalisasi pembelajaran bahasa Arab dapat pula
dilakukan dengan mensyaratkan dan mewajibkan lulus tes bahasa Arab dengan
standar nilai tertentu atau dengan memasukkan bahasa Arab dalam mata kuliah
yang diuji dalam ujian komprehensif. Hal ini dianggap penting jika semua pihak
merasa bertanggungjawab terhadap kemajuan penggunaan bahasa Arab dalam
artian membudayakan bahasa Arab di Perguruan Tinggi Islam terutama di
Perguruan Tinggi Islam di Aceh.

Penutup
Banyak faktor yang harus ditingkatkan dalam upaya mengoptimalkan mutu
pembelajaran bahasa Arab pada Perguruan Tinggi Islam di Aceh. Di antaranya

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 245


INTAN AFRIATI

adalah faktor dosen. Dosen perlu diberi latihan yang intensif tentang kemampuan
bahasa Arab yang sempurna, peningkatan dalam menggunakan metode mengajar
yang tepat dan bervariasi. Fasilitas pembelajaran bahasa Arab harus lengkap agar
terwujudnya kemudahan dalam proses belajar mengajar. Di samping itu, perlu
adanya kewajiban menggunakan bahasa Arab secara aktif di lingkungan kampus.
Akhirnya, disarankan perlu adanya peningkatan perhatian dan dukungan
dari semua pihak dalam rangka optimalisasi mutu pembelajaran bahasa Arab pada
Perguruan Tinggi Islam di Aceh. Latihan bahasa Arab secara intensif bagi dosen
dan mahasiswa juga perlu terus dilakukan. Selain itu, dalam rangka optimalisasi
penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa Alquran, diharapkan pemerintah dan
pihak yang berkompeten lainnya dapat memberikan reward atau penghargaan yang
lebih tinggi kepada pelaksana kegiatan yang berhubungan dengan penggunaan
bahasa Arab.

246 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


OPTIMALISASI KUALITAS PEMBELAJARAN BAHASA ARAB PADA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI DI BANDA ACEH

Daftar Pustaka
Afriati, Intan. (1998). Al-Musykilātu fi mahāratu al-muhādatsah: Dirāsatun
maidāniyyatun li syu'batu al-lughatu al- Ārabiyyatu bi kulliyati al-
Tarbiyyati Jāmi'ati al-Rāniry. Skripsi (Tidak dipublikasikan). Banda Aceh:
IAIN Ar-Raniry.

Ahmad, Rusydy. (2000). Tadris al-Arabiyah al-ta'lim al 'am. Kairo: Dar al Fir al-
Arabi.

Al-Rikkabi, Jaudat. (1996). Thuruq tadris al-lughah al-Arabiyah. Beirut: Dar al-
Fikr al-Mu'ashir.

Mouly, George J. (1987). Psychology for effective teaching. New York: Holt Rinehart
dan Winston.

Muhammad, Ismail. (2007). Pembelajaran bahasa Arab di Dayah Salafi Aceh,


Thesis: Tidak dipublikasikan, UIN Jakarta.

Sardiman, A.M. (2007). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja
Grafindo.

Sumardi, Muliyanto. (1975). Pengajaran bahasa asing:Sebuah tinjauan dari segi


metodologi. Jakarta: Bulan Bintang.

Winarno, Surachmad. (t.t.). Metodologi pengajaran nasional. Bandung: Jermars.

Yusuf, Tayar. (1997). Metodologi pengajaran agama dan bahasa Arab. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 247


Penerapan Model
Pembelajaran IPA Berbasis
Inkuiri di Sekolah Dasar/
Madrasah Ibtidaiyah
Wati Oviana
Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Darussalam
Banda Aceh. Menyelesaikan pendidikan sarjana (S1)
dalam bidang pendidikan biologi pada Fakultas Tarbiyah
IAIN Ar-Raniry, Tahun 2005. Kemudian Melanjutkan
pendidikan Progam Magister (S2) bidang Pendididkan
Dasar pada Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
selesai tahun 2010.

Abstract

The process of learning IPA (natural science) should be based on the nature of
learning IPA itself. In this case, the process of learning IPA should be based on
three components, namely the scientific process, product or result of science and
scientific attitudes. Therefore, the learning of IPA should emphasize on inquiry
development activity, in detail to emphasize more on investigations and to
analyze IPA questions. Based on the curriculum, the learning objective of IPA at
the Elementary School / MI level is to enable learners in developing knowledge
and understanding of science concepts to develop curiosity, positive attitude and
awareness about the relationship of mutual influence between IPA, environment,
technology and society and develop skills to investigate the processes of
environment, to solve problems and to make decisions. Inquiry itself is a process
adopted to obtain information through the activities commonly conducted by the
scientist.

Kata kunci: Model inkuiri, pembelajaran IPA


WATI OVIANA

Pendahuluan
Pendidikan merupakan kunci bagi suatu bangsa untuk bisa menyiapkan masa
depan dan sanggup bersaing dengan bangsa lain. Pada abad informasi ini tingkat
kemampuan suatu negara diukur dari tingkat kemajuan dalam bidang IPA dan
teknologi. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah juga mengatakan dalam
kurikulum 2004 Depdiknas (2003) bahwa pengembangan kemampuan siswa dalam
bidang IPA merupakan salah satu kunci keberhasilan peningkatan kemampuan
siswa dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dan memasuki dunia teknologi.
Untuk mengembangkan kemampuan IPA siswa dengan baik maka
pengembangannya harus mulai dilakukan pada jenjang Sekolah Dasar melalui
pembelajaran yang tepat. Karena Pembelajaran IPA di sekolah dasar memegang
peranan penting bagi pembelajaran IPA di jenjang-jenjang berikutnya. Sebab
pengetahuan awal siswa sangat berpengaruh pada minat dan kecenderungan siswa
untuk belajar IPA. Dengan kata lain jika minat siswa pada saat pembelajaran IPA
di SD sudah rendah kemungkinan untuk jenjang selanjutnya hal yang sama akan
terjadi. Dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan dijelaskan tentang pentingnya
pembelajaran IPA ini Depdiknas ( 2006), salah satunya adalah mengembangkan
rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling
mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006), mengatakan bahwa
mata pelajaran IPA di SD/MI bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan
diantaranya mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep
IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif dan kesadaran tentang hubungan
yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi dan masyarakat dan
mengembangkan ketrampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan
masalah dan membuat keputusan. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dalam
BSNP (2006), disarankan pembelajaran IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri
ilmiah (scientific inquiry) untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, bekerja dan
bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan
hidup. Oleh karena itu pembelajaran IPA di SD/MI menekankan pada pemberian
pengalaman belajar secara langsung melalui penggunaan dan mengembangan
keterampilan proses dan sikap.

250 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN IPA BERBASIS INKUIRI DI SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH

Inkuiri merupakan salah satu pembelajaran yang menitikberatkan


pada aktifitas dan pemberian pengalaman belajar secara langsung pada
siswa. Pembelajaran berbasis inkuiri ini akan membawa dampak besar bagi
perkembangan mental positif siswa, sebab melalui pembelajaran ini siswa
mempunyai kesempatan yang luas untuk mencari dan menemukan sendiri
apa yang dibutuhkannya terutama dalam pembelajaran yang bersifat abstrak.
Sehubungan dengan itu Sund Hamalik (2007), mengatakan penemuan terjadi
apabila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk
menemukan beberapa konsep dan prinsip. Seorang siswa harus menggunakan
segenap kemampuannya dan bertindak sebagai ilmuan (scientist) yang melakukan
eksperimen dan mampu melakukan proses mental berinkuiri yang digambarkan
dengan tahapan-tahapan yang dilalui.
Selain itu, melalui penerapan model ini siswa dapat terlibat aktif dalam
kegiatan yang bersifat ilmiah. Dalam hal ini siswa dapat memperoleh kesempatan
untuk mengamati, menanyakan, menjelaskan, merancang, dan menguji hipotesis,
menganalisis dan menarik kesimpulan. Dengan demikian, pembelajaran IPA
yang dilakukan dapat melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa
untuk mencari dan menyelidiki sesuatu secara sistematis, kritis, logis, analitis dan
dapat merumuskan sendiri penemuannya. Untuk dapat melaksanakan model
pembelajaran ini, diperlukan guru yang profesional karena hanya guru yang
profesional yang memiliki kompetensi untuk merencanakan dan melaksanakan
pembelajaran IPA berbasis inkuiri. Menurut Uno (2008:18), guru yang profesional
harus memiliki tiga kompetensi dasar yaitu kompetensi pribadi, kompetensi sosial,
dan kompetensi profesional mengajar.
Dalam kompetensi profesional mengajar, guru harus memiliki kemampuan
dalam merencanakan pembelajaran, kemampuan ini diperlukan supaya
pembelajaran yang dilakukan terarah dan tujuan pembelajaran dapat dicapai.
Ginting (2008:14), juga menambahkan bahwa dalam kegiatan pembelajaran
salah satu peran utama guru adalah merencanakan pembelajaran, hal ini
bertujuan agar kegiatan belajar dan pembelajaran terarah dan sesuai dengan
tujuan yang akan dicapai. Menurut Suryosubroto (2002:27) pada hakekatnya bila
suatu kegiatan direncanakan terlebih dahulu, maka tujuan dari kegiatan tersebut
akan lebih terarah dan berhasil. Itulah sebabnya seorang guru harus memiliki

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 251


WATI OVIANA

kemampuan dalam merencanakan pembelajaran. perencanaan juga merupakan


suatu proyeksi tentang apa yang diperlukan dalam rangka mencapai tujuan
yang absah dan bernilai. Hampir senada dengan hal itu Sukmadinata (2003:50),
juga menambahkan bahwa kegiatan pembelajaran berkenaan dengan kegiatan
bagaimana guru mengajar dan bagaimana murid belajar. Kegiatan ini merupakan
suatu kegiatan yang disadari oleh karena itu harus direncanakan terlebih dahulu.
Oleh sebab itu kemampuan guru dalam membuat rencana pembelajaran
merupakan hal yang sangat penting karena membuat rencana pembelajaran
merupakan salah satu peran utama guru.
Menurut Mulyasa (2008:212), hakekat dari perencanaan pembelajaran adalah
perkiraan jangka pendek untuk memperkirakan atau memproyeksikan apa yang
akan dilakukan guru dalam pembelajaran, dengan demikian rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) merupakan upaya untuk memperkirakan tindakan apa yang
akan dilakukan guru dalam kegiatan pembelajaran. Bagaimana gambaran dari
kegiatan pembelajaran yang akan diterapkan dikelas sangat tergantung pada apa
yang telah dituangkan guru dalam RPP. Untuk dapat melaksanakan pembelajaran
IPA yang berbasis inkuiri guru harus mampu menyusun sebuah rencana
pembelajaran IPA yang memunculkan aspek-aspek inkuiri. Kemudian rencana
pembelajaran ini juga mampu diterapkan dalam pembelajaran di kelas.

Hakekat pembelajaran IPA berbasis inkuiri


Pada hakekatnya pembelajaran IPA dapat dipandang dari tiga dimensi
yaitu dimensi produk, proses dan pengembangan sikap. Ketiga dimensi ini
saling terkait satu sama lain, ini berarti proses belajar mengajar IPA atau IPA
seharusnya mengandung ketiga dimensi tersebut. Pertama, dimensi produk
adalah pengetahuan yang merupakan hasil dari IPA. Menurut Sulistyorini (2007),
produk IPA merupakan akumulasi hasil upaya para perintis IPA terdahulu yang
pada umumnya telah tersusun lengkap dan sistematis dalam bentuk buku teks.
Kedua, dimensi proses IPA merupakan proses bagaimana pengetahuan (produk)
IPA itu diperoleh oleh para ilmuan. Ketiga, dimensi sikap merupakan sikap ilmiah
yang seharusnya dimiliki oleh siswa terhadap alam sekitar. Menurut Wynne dalam
Sulistyorini (2007), ada sembilan sikap ilmiah yang dapat dikembangkan pada
anak usia SD antara lain: sikap ingin tahu, ingin mendapatkan sesuatu yang baru,

252 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN IPA BERBASIS INKUIRI DI SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH

sikap kerja sama, sikap tidak putus asa, sikap tidak berprasangka, sikap mawas
diri, sikap bertanggung jawab, sikap berpikir bebas dan sikap kedisiplinan diri.
Hampir sejalan dengan hal itu, George dalam Hinrichsen (1999), juga berpendapat
bahwa pendidikan IPA terdiri atas bagian produk dan proses, produk adalah
isi dari pengetahuan IPA yang biasanya dalam bentuk buku teks, jurnal, dan
ensiklopedi elektronik. Beberapa produk IPA meliputi: fakta, hukum, teori dan
model. Sedangkan proses dalam IPA merupakan cara atau teknik yang digunakan
seperti penggunaan miskroskop, proses bisa juga meliputi pertimbangan untuk
melakukan proses seperti pengungkapan hipotesis atau prediksi. Selain itu proses
IPA juga sering meliputi tingkah laku dan sikap seperti rasa ingin tahu, imaginasi,
jujur dan lain lain.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dilihat bahwa keduanya memiliki
persamaan pendapat bahwa IPA terdiri dari tiga hal yaitu produk, proses dan
sikap, untuk sikap George memasukkan dalam kategori proses. Melihat kenyataan
tersebut maka dalam mengajarkan IPA di SD guru seharusnya tidak hanya
mengajarkan IPA sebagai produk yang berupa pengetahuan saja tetapi juga
harus mengajarkan pada siswa bagaimana proses mendapatkan produk tersebut
yaitu melalui model ilmiah dan selain itu guru juga harus memperhatikan
untuk mengembangkan sikap ilmiah dalam kegiatan pembelajaran yang akan
dilakukannya pada siswa
Menurut Sulistyorini (2007), dalam proses belajar megajar IPA di SD model
ilmiah dan sikap ilmiah dikembangkan secara bertahap dan berkesinambungan
dengan harapan pada akhirnya akan terbentuk paduan yang lebih utuh sehingga
anak SD dapat melakukan penelitian sederhana. Tahapan pengembangan untuk
mengajarkan model ilmiah disesuaikan dengan tahap dari suatu penelitian yang
meliputi observasi, klasifikasi, interpretasi, prediksi, hipotesis, mengendalikan
variabel, merencanakan dan melaksanakan penelitian, inferensi, aplikasi dan
komunikasi. Sedangkan untuk sikap ilmiah dapat dikembangkan pada siswa
melalui diskusi, percobaan, simulasi dan kegiatan dilapangan.
Untuk mewujudkan pembelajaran IPA yang mengembangkan tiga dimensi
tersebut maka pembelajaran IPA seharusnya dilakukan secara inkuiri ilmiah.
Hal ini seperti yang diharapkan dalam BSNP (2006), yang mengatakan bahwa
pembelajaran IPA atau IPA sebaiknya dilaksanakan secara inkuiri ilmiah

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 253


WATI OVIANA

untuk menumbuhkan kemampuan berpikir, berkerja dan bersikap ilmiah serta


mengkomunikasikannya sebagai aspek penting kecakapan hidup. Joseph (1976),
juga berpendapat bahwa melatih siswa dengan proses inkuiri dapat membantu
mereka untuk memahami produk IPA dengan tepat.
Selanjutnya Haury (1993) juga menegaskan bahwa inkuiri merupakan
tujuan pembelajaran IPA selama 30 tahun dari tahun 1950, sesuai dengan
prinsip Department of Education and the National Science Fondation (1992) yang
mengesahkan bahwa kurikulum untuk IPA dan matematika harus memunculkan
siswa belajar aktif melalui inkuiri, problem solving, dan cooperatif learning sebagai
model pembelajarannya supaya dapat memotivasi siswa. Hampir senada dengan hal
itu, the National Committee on Science Education Standards and Assessment (1992),
juga mengatakan bahwa pembelajaran IPA di sekolah harus menggambarkan IPA
yang praktis dan tujuan pembelajaran IPA untuk menyiapkan siswa memahami
inkuiri ilmiah dan bagaimana menggunakannya.
Berdasarkan uraian di atas bahwa inkuiri merupakan model yang tepat
dalam mengajarkan IPA di SD pada semua tingkatan. Hal ini didukung oleh
pernyataan The National Science Teachers Associations (2002), bahwa inkuiri harus
menjadi dasar kurikulum IPA di SD pada setiap tingkatan siswa. Karena siswa SD
akan belajar IPA dengan baik ketika mereka diajarkan dengan inkuiri ilmiah dan
dilibatkan dengan ekplorasi dan investigasi, selain itu, siswa SD juga akan menilai
IPA dengan baik jika dalam proses pembelajaran IPA guru mereka menggunakan
model inkuiri ilmiah.
Hinrichsen (1999), berpendapat bahwa inkuiri mengandung dua makna
utama yaitu inkuiri sebagai inti dari usaha ilmiah dan inkuiri sebagai strategi untuk
belajar mengajar IPA, sebagai strategi mengajar IPA inkuiri merupakan model
yang mengharuskan siswa untuk mengkonstruksikan sendiri pengetahuannya
melalui pertanyaan mereka tentang suatu hal, kemudian merencanakan dan
melakukan investigasi untuk menjawab pertanyaan tersebut, melakukan analisis
dan mengkomunikasikan hasil penemuan mereka.
Oleh karena itu, menurut National Science Education Standard (2000),
mengajarkan IPA dengan inkuiri akan mengajak siswa untuk melakukan banyak
aktifitas dan proses berpikir yang dilakukan oleh para ilmuan sehingga mereka
dapat belajar bagaimana untuk menggunakan IPA, belajar tentang natural IPA

254 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN IPA BERBASIS INKUIRI DI SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH

dan tentang konten IPA. Untuk mempelajari hal tersebut dilakukan dengan
pembelajaran IPA berbasis inkuiri yaitu melalui penyelidikan yang memadukan
antara model, proses berpikir dan mempraktekkan aktifitas ilmiah. Hal yang
sama juga diungkapkan Kai Wu (2007), bahwa pembelajaran IPA dengan inkuiri
ilmiah akan melibatkan siswa dengan banyak aktifitas dan bentuk. Karena
pembelajaran ini mengharuskan siswa berpartisipasi dengan aktifitas untuk
menciptakan dan mengevaluasi model ilmiah, melalui kegiatan bertanya atau
merumuskan pertanyaan, mengumpulkan informasi untuk menjawab pertanyaan,
merencanakan dan mengumpulkan data penelitian, menganalisis data dan
membuat kesimpulan, serta menemukan fakta dan mengkomunikasikan hasil
penemuannya. Selain itu, inkuiri juga membantu siswa untuk lebih kreatif dan
berpikiran luas. Karena kesadaran dari perpaduan afektif dan kognitif merupakan
bentuk perwujudan dari metode inkuiri ini (Alberta, 2004).
Dalam proses pembelajaran IPA aktivitas-aktivitas penelitian tersebut
merupakan suatu hal yang penting untuk ditanamkan agar siswa memahami
bahwa konsep-konsep IPA ditemukan melalui aktivitas eksperimental yang
didasari oleh inkuiri ilmiah. Selain itu, Siswa juga harus memperoleh pengetahuan
IPA melalui serangkaian kegiatan seperti yang dilakukan ilmuan, hal ini akan
didapatkan siswa melalui kegiatan pembelajaran berbasis inkuiri karena dalam
proses pembelajaran inkuiri siswa berperan sebagai peneliti.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan
pembelajaran IPA di SD seharusnya dilakukan secara inkuiri karena inkuiri itu
merupakan tujuan pembelajaran dan IPA itu sendiri. Hakekat pembelajaran IPA
terdiri dari proses, produk dan sikap, ketiga dimensi ini harus dikembangkan
dalam pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan ketiga dimensi tersebut adalah melalui pembelajaran IPA yang
berbasis inkuiri. Pembelajaran IPA berbasis inkuiri juga membantu siswa untuk
lebih kreatif dan berpikiran luas. Supaya pembelajaran IPA berbasis inkuiri dapat
terlaksana di SD maka guru harus memiliki kemampuan untuk merencanakan
pelaksanaan pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri dengan memunculkan semua
aspek inkuiri dalam setiap rencana pembelajaran IPA yang disusun untuk dapat
mengarahkan pelaksanaan pembelajaran yang berbasis inkuiri.
Selain mengetahui tentang hakekat pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri,

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 255


WATI OVIANA

untuk dapat menerapkan pembelajaran IPA yang berinkuiri guru juga harus
mengetahui bagaimana menyusun rencana pembelajaran IPA yang memunculkan
aspek-aspek inkuiri.

Langkah-langkah guru dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran


IPA berbasis inkuiri
Agar kegiatan pembelajaran terarah sesuai dengan tujuan yang akan
dicapai, guru harus merencanakan kegiatan belajar dan pembelajaran yang akan
diselenggarakan dengan seksama. Secara administratif rencana ini tertuang dalam
RPP. Ini akan dijadikan pegangan bagi guru dalam menyiapkan, melaksanakan,
dan mengevaluasi kegiatan belajar dan pembelajaran yang diselenggarakanya bagi
siswa. Jadi RPP ini merupakan gambaran dari pelaksanaan pembelajaran yang
akan dilakukan oleh guru. Disini dapat disimpulkan bahwa untuk melaksanakan
pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri maka guru harus menyusun sebuah
rencana pembelajaran yang memunculkan aspek-aspek inkuiri
Adapun langkah-langkah guru dalam menyusun RPP berbasis inkuiri dapat
dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah penyusunan RPP. Menurut Mulyasa
(2007:224). Pertama, mengidentifikasi dan mengelompokkan kompetensi yang
ingin dicapai setelah proses pembelajaran. Kompetensi yang dikembangkan harus
mengandung materi standar, yang dapat diidentifikasi berdasarkan kebutuhan
peserta didik, kebutuhan masyarakat, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Kedua,
mengembangkan materi standar. Materi standar merupakan bahan pembelajaran
berkenaan dengan jawaban atas apa yang harus dipelajari oleh peserta untuk
membentuk kompetensi. Yang meliputi tiga hal yaitu: ilmu pengetahuan, proses dan
nilai-nilai. Ketiga, adalah menentukan model dan merumuskan langkah-langkah
pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir.
Penentuan model erat kaitannya dengan pemilihan strategi pembelajaran yang
paling efisien dan efektif dalam memberikan pengalaman belajar yang diperlukan
untuk membentuk kompetensi dasar. Keempat, merencanakan penilaian atau
evaluasi. Penilaian yang dilakukan hendaknya berdasarkan apa yang dilakukan
oleh peserta didik selama proses pembelajaran dan pembentukan kompetensi.
Dalam mengembangkan RPP berbasis inkuiri secara garis besarnya dapat
juga mengikuti langkah-langkah antara lain: mengisi kolom identitas, menentukan

256 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN IPA BERBASIS INKUIRI DI SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH

alokasi waktu yang dibutuhkan untuk pertemuan yang telah ditetapkan,


menentukan standar kompetensi dan kompetensi dasar, serta indikator yang
akan digunakan dan terdapat dalam silabus dan yang telah disusun, merumuskan
tujuan pembelajaran berdasarkan standar kompetensi dan kompetensi dasar,
mengidentifikasi materi standar berasarkan materi pokok pembelajaran yang
terdapat dalam silabus, menentukan model pembelajaran yang akan digunakan,
merumuskan langkah-langkah pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, inti
dan akhir, menentukan sumber belajar yang digunakan dan menyusun kriteria
penilaian, lembar pengamatan, contoh soal, dan teknik penskoran.
Penyusunan RPP yang berbasis inkuiri secara garis besarnya juga mengikuti
tahapan-tahapan diatas, tetapi dalam RPP yang berbasis inkuiri akan tergambar
bahwa pelaksanaan pembelajaran yang akan dilakukan akan didasarkan pada
inkuiri, ini akan terlihat pada tahap merumuskan langkah-langkah pembelajaran
yang terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan akhir. Dalam menyusun
RPP yang berbasis inkuiri maka dalam langkah-langkah kegiatan pembelajaran
mulai dari kegiatan awal, inti dan akhir yang akan dilakukan akan memunculkan
aspek inkuiri yaitu adanya pernyataan dalam RPP yang mendeskripsikan kegiatan
merumuskan masalah, adanya pernyataan dalam RPP yang mendeskripsikan
kegiatan merancang penelitian sederhana, adanya pernyataan dalam RPP
yang mendeskripsikan kegiatan pengumpulan data dan menggunakan alat
yang menunjang pengumpulan data, dan adanya pernyataan dalam RPP yang
mendeskripsikan kegiatan mengkomunkasikan hasil penelitian.

Tahap-tahap penerapan kegiatan pembelajaran IPA berbasis inkuiri


Pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri hampir sepenuhnya melibatkan siswa
secara aktif dalam pembelajaran, guru hanya bertindak sebagai fasilisator untuk
merangsang dan mengarahkan siswa. Selain itu, menurut Gulo dalam Trianto
(2007), inkuiri tidak hanya mengembangkan kemampuan intelektual siswa tetapi
seluruh potensi yang ada termasuk pengembangan emosional. Ketrampilan inkuiri
bermula dari merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data,
dan membuat kesimpulan. Sehingga, melalui pembelajaran IPA yang berbasis
inkuiri siswa dapat aktif mengembangkan pemahamannya tentang IPA dan
menggabungkan antara pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan berfikir.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 257


WATI OVIANA

Dalam penerapan pembelajaran IPA yang didasari pada inkuiri ada beberapa
tahap yang harus dilewati Menurut Joyce & Weil (1996), inkuiri terdiri dari lima
tahapan, sebagai berikut : Tahap pertama, Penyajian masalah atau menghadapkan
siswa kepada situasi teka-teki. Pada tahap ini guru menyatakan situasi masalah
dan menentukan prosedur inkuiri kepada siswa (berbentuk pertanyaan yang
hendaknya dapat dijawab “ya” atau “tidak”). Pertanyaan tentang peristiwa yang
didasarkan pada bentuk ide-ide sederhana merupakan permulaan inkuiri.
Tujuan utama ialah memberikan pengalaman kreasi pengetahuan baru kepada
siswa. Tahap kedua, Pengumpulan dan verifikasi data. Pada tahap kedua ini,
siswa mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang mereka lihat atau alami,
membuktikan hakekat objek dan kondisi, menyelidiki peristiwa situasi masalah.
Tahap ketiga, Pengumpulan data dan melaksanakan eksperimen. Pada tahap ketiga
ini siswa mengajukan unsur ke dalam suatu situasi untuk melihat perubahan yang
terjadi. Eksplorasi dan menguji secara langsung. Eksplorasi mengubah benda-
benda untuk melihat apakah yang akan terjadi, tidak memerlukan suatu teori
atau hipotesis tetapi boleh menggunakan ide-ide untuk terjadinya suatu teori.
Sedangkan tes langsung berlaku apabila siswa-siswa mencoba suatu teori atau
hipotesis. Fungsi kedua dari guru, ialah memperluas proses inkuiri siswa dengan
mengembangkan tipe informasi yang mereka peroleh. Selama tahap verifikasi,
siswa boleh mengajukan pertanyaan tentang obyek, ciri, kondisi dan peristiwa.
Tahap keempat, Meneruskan penjelasan. Pada tahap keempat, guru mengajak
siswa merumuskan penjelasan. Beberapa siswa akan menemui kesulitan dalam
mengemukakan informasi yang mereka peroleh, untuk memberikan uraian
yang jelas. Mereka dapat memberikan penjelasan yang tidak begitu mendetail.
Tahap kelima, Mengadakan analisa tentang proses inkuiri. Pada tahap kelima
siswa diminta untuk menganalisa pola-pola penemuan mereka. Mereka boleh
menentukan pertanyaan yang lebih efektif, pertanyaan yang produktif dan yang
tidak, atau tipe informasi yang mereka butuhkan dan yang tidak diperoleh.
Selanjutnya dalam Nasional Science Education Standard USA (NCR, 2000),
dikemukakan bahwa proses pembelajaran IPA terdiri atas lima tahap untuk
tingkat kelas 3 dan 4 yaitu: Tahap pertama, merumuskan masalah dimana
siswa dilibatkan dengan sebuah pertanyaan ilmiah, kejadian/fenomena. Hal ini
dihubungkan dengan pengetahuan siap siswa dan membuat ketidakseimbangan

258 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN IPA BERBASIS INKUIRI DI SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH

dengan ide-ide yang mereka miliki dan memotivasinya untuk belajar lebih. Tahap
Kedua, siswa menggali ide-ide melalui pengalaman hands on, memformulasi dan
menguji hipotesis, memecahkan masalah dan membuat penjelasan terhadap apa
yang mereka observasi. Tahap ketiga, siswa menganalisis dan menginterpretasikan
data, mensintesis ide-ide mereka, membangun model dan memperjelas konsep
melalui penjelasan dari guru atau sumber pengetahuan ilmiah lainnya. Tahap
keempat, siswa memperluas pemahaman dan kemampuan baru mereka serta
mengaplikasikan apa yang dapat mereka pelajari pada situasi baru. Tahap kelima,
siswa bersama guru mereview dan menganalisis apa yang telah mereka pelajari
dan bagaimana mereka telah mempelajarinya.
Hampir senada dengan yang diungkapkan Eggen & Kauchak dalam Trianto
(2007), bahwa tahapan pembelajaran inkuiri terdiri atas enam fase yaitu: Pertama,
menyajikan pertanyaan atau masalah, guru membimbing siswa mengidentifikasi
masalah dan masalah dituliskan dipapan tulis dan guru membagi siswa dalam
kelompok. Kedua, membuat hipotesis, guru memberikan kesempatan pada siswa
untuk curah pedapat dalam bentuk hipotesis. Guru membimbing siswa dalam
menentukan hipotesis yang relevan dengan permasalahan dan memproritaskan
hipotesis mana yang menjadi prioritas penyelidikan. Ketiga, merancang percobaan,
guru memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan langkah-langkah
yang sesuai dengan hipotesis yang akan dilakukan. Guru membimbing siswa
mengurutkan langkah-langkah percobaan. Keempat, melakukan percobaan
untuk memperoleh informasi, guru membimbing siswa mendapatkan informasi
melalui percobaan. Kelima, mengumpulkan dan menganalisis data, guru memberi
kesempatan pada tiap kelompok untuk menyampaikan hasil pengelolaan data
yang terkumpul. Keenam, membuat kesimpulan, guru membimbing siswa dalam
membuat kesimpulan.
Tahap-tahap pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri untuk tingkat kelas 5
dan 6 dalam NRC (2000), berbeda dengan tahapan pembelajaran IPA untuk kelas
3 dan 4. Pada tingkat kelas 5 dan 6 tahap-tahap pembelajaran inkuiri berkembang
menjadi delapan tahap yang meliputi: Pertama, kegiatan merumuskan masalah
dan mengajukan pertanyaan yang akan diteliti. Kedua, kegiatan merencanakan
dan melaksanakan suatu penyelidikan sederhana. Ketiga, kegiatan menggunakan
peralatan dan cara-cara yang tepat untuk mengumpulkan, menganalisis, dan

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 259


WATI OVIANA

mengintepretasi data. Keempat, kegiatan mengembangkan deskripsi, penjelasan,


dan model-model dengan menggunakan fakta yang ada. Kelima, kegiatan berpikir
kritis dan logis untuk mencari hubungan antara fakta-fakta dengan penjelasan.
Keenam, kegiatan menganalisis dan meninjau kemabali penjelasan-penjelasan
yang akan dibuat. Ketujuh, kegiatan mengkomunikasikan langkah-langkah dan
hasil penyelidikan.

Penutup
Pembelajaran IPA adalah suatu aktivitas yang kompleks dan merupakan
jantungnya pendidikan IPA. Dalam NRC (National Research Council) disebutkan
bahwa perencanaan pembelajaran IPA harus berdasarkan pada inkuiri. Demikian
juga dengan pengajarannya harus digunakan inkuiri sebagai strategi sentral
dalam pengajarannya. Untuk itu guru IPA harus menuntun dan memfasilitasi
siswa dalam memahami dan menggunakan pengetahuan dan proses ilmiah pada
setiap pembelajaran IPA. Pembelajaran IPA yang berorientasi pada inkuiri akan
bersifat aktif melibatkan siswa belajar secara “hand-on” dan eksperimen, belajar
berdasarkan aktivitas dan mengembangkan ketrampilan proses melalui model
ilmiah. Sehingga dengan menerapkan pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri
guru telah mengajarkan IPA sesuai dengan hakekat IPA sendiri. Selain itu melalui
pembelajaran IPA yang berbasis inkuiri tujuan pembelajaran IPA untuk jenjang
SD/MI yang diharapkan dalam kurikulum dengan sendirinya akan tercapai.

260 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN IPA BERBASIS INKUIRI DI SEKOLAH DASAR/MADRASAH IBTIDAIYAH

Daftar Pustaka
Alberta. (2004). Focus on Inqiry: A Teacher’s For Guide To Implementing Inquiry-
Base Learning. Edmison, AB: Alberta Learning [online]

Tersedia:http:www.Learning.gov.ab.ca/k_12/curriculum/bysubject/focusiiquiry.
pdf.

BSNP. (2006). Pedoman Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan


Sekolah Dasar: Jakarta BSNP.

Depdiknas. (2003). Kumpulan Pedoman Kurikulum. Jakarta: Depdiknas.

Ginting, A. (2008). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Humaniora

Gulo, W. (2005). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo.

Hamalik,O.(2007). Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Haury,D.L.(1993). Teaching Science Through Inkuiry. Tersedia:http:www.


Ericfacility.net/database/ERIC CSMEE Diges (march.ed) 359-480.

Hsin-kai wu. (2007). Developing Sixth Grader’s Inquiry Skill To Construct


Explanations In Inquiry-Base Learning Environments. Taiwan: wu,H-k &
Hsieh,C-E (in press).

Joyce,B.&Weill, M. with Calhoun, E. (1996). Model Of Teaching. 6 edition. Boston:


Allyn and Bacon.

Joseph, B.et. Al. (1976). Enquiry in Science A Guide for Teachers. Adelaide Australia:
The Griffin Press.

Mulyasa. (2008). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Rosdakarya.

National Research Council. (2000). National Science Educations Standards.


Washington DC: National Academy Press.

http://books.nap.edu/html/inquiryaddendum/notice.html.

National Research Council. (1996). National Science Educations Standards.


Washington DC: National Academy Press. http://books.nap.edu/html/
inquiryaddendum/notice.html.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 261


WATI OVIANA

NSTA & AETS. (1992). Standards For Teacher Preparation

Sukmadinata, N. S. (2003). Perencanaan pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Sulistyorini. (2007). Pembelajaran IPA Sekolah Dasar. Semarang: UNNES.

Subroto, S .(2002). Proses Belajar Mengajar Di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Trianto. (2007). Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktifisme,


Jakarta: Prestasi Pusataka.

The National Science Teachers Association. (2002). Elementry School Science.


Tersedia:http:www.nsta.org/about/positions/elementary.aspx.

Uno, H. (2008). Profesi Kependidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Uno, H. (2008). Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi


Aksara.

262 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


Peran Pendidikan Islam
dalam Pemberdayaan
Sosial

Misnan
Pegawai Negeri Sipil pada Kanwil Kementerian Agama
Republik Indonesia Provinsi Aceh

Abstract

A lot of sharp critiques has been addressed by various parties about the output of


Islamic Education that so far has not shown a great success in the midst of soci-
ety. Therefore, the Islamic education is not just the responsibility of educational
institutions, but also under the responsibility of the Muslim community. Then it
becomes a necessity for the society to contribute in the efforts in advancing the
Islamic education itself. One of the efforts is by empowering the appropriate po-
tential of community. Students come and return to the community, so the direc-
tion of curriculum policy should be oriented to the community. All educational
activities, in the first place, should be firmly directed to the goal of education. In
fact, learning is not for school, but learning is for life, thus education will become
more meaningful.

Kata kunci: Pemberdayaan masyarakat, pendidikan Islam, potensi masyarakat


MISNAN

Pendahuluan
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang berusaha
meningkatkan kualitas hidup individu atau sekelompok masyarakat untuk
beranjak dari kualitas kehidupan sebelumnya menuju pada kualitas hidup
selanjutnya. Oleh karena itu pemaknaan pemberdayaan masyarakat mempunyai
cakupan yang luas seperti aspek pendidikan, ekonomi, politik, maupun sosial
kebudayaan. Dalam hubungannya dengan tema di atas, maka secara kuat
dipahami bahwa proses pemberdayaan masyarakat dalam hal ini difokuskan
pada aspek pendidikan terutama pendidikan Islam. Pendidikan merupakan
perkembangan yang terorganisir dan kelengkapan dari semua potensi manusia,
moral, intelektual maupun jasmani, oleh dan untuk kepribadian individual dan
kegunanan masayarakat yang diarahkan untuk menghimpun semua aktivitas
tersebut (Hasan, 2005:95). Jika sudah demikian, maka kemajuan suatu institusi
pendidikan akan sangat terkait erat dengan potensi masyarakat.
Pendidikan Islam merupakan sub sistem Pendidikan Nasional Indonesia.
Perjalanan pendidikan Islam tidak terlepas dari pasang surutnya sistem
Pendidikan Nasional itu sendiri, sebagaimana tidak terlepasnya umat Islam ketika
membicarakan nasib bangsa Indonesia, dan bahkan pendidikan Islam mempunyai
sejarah panjang di Indonesia yang telah ikut mewarnai kehidupan bangsa baik
pada masa sebelum penjajahan bahkan setelah Indonesia merdeka.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang notabene mayoritas
masyarakatnya memeluk agama Islam, seharusnya pendidikan Islam mendasari
pendidikan-pendidikan lainnya, serta menjadi primadona bagi peserta didik,
orang tua, maupun masyarakat. Demikian juga halnya dalam upaya peningkatan
mutu pendidikan seharusnya pendidikan Islam dijadikan tolok ukur dalam
membentuk watak dan pribadi peserta didik, serta membangun moral bangsa
(Nation Character Building) (Majid, 2004:161).
Upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah, maupun para pakar
pendidikan untuk peningkatan mutu pendidikan, tak terkecuali pendidikan
Islam, sudah sejak lama, namun hasil yang dicapai belumlah maksimal. Saat
ini terdapat ketidakseimbangan antara idealita dengan realita yang ada. Upaya-
upaya peningkatan mutu pendidikan masih bersifat parsial, terkotak-kotak dan
tidak komprehensif. Sehingga wajar apabila output peserta didik yang notabene

264 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBERDAYAAN SOSIAL

pendidikan Islam kurang memberikan hasil yang maksimal baik terhadap


peserta didik, orang tua, maupun masyarakat. Pendidikan Islam di Indonesia
dewasa ini dinilai hanya mampu memenuhi aspek normatif semata dan “tidak
atau belum sanggup” mewujudkan apa yang selama ini diharapkan. Dengan kata
lain, pendidikan Islam juga memiliki kelemahan-kelemahan prinsipil untuk bisa
berperan secara pasti dalam memberdayakan komunitas Muslim di negeri ini.
Untuk saat ini, lembaga Pendidikan Islam memerlukan adanya suatu
perencanaan strategis, dengan menyusun visi, misi, tujuan, sasaran, metode,
program dan kegiatan. Hal ini dimaksudkan sebagai perencanaan jangka panjang
untuk menjawab tantangan eksternal yang semakin dinamis dan kompleks.
Disinilah diperlukan analisis kekuatan, kelemahan (faktor internal), peluang serta
ancaman (faktor eksternal). Akhirnya akan diketahui dimana posisi sekolah, mau
kemana sekolah dan apa masalah krusial yang dihadapi, lalu dibuat perencanaan
strategis untuk menjangkau masa depan yang lebih baik (Syafaruddin, 2005:131).
Proses seperti ini perlu melibatkan sejumlah orang yang tak kalah pentingnya
untuk ikut menyukseskan pendidikan Islam. Upaya mengikutsertakan masyarakat
dalam meningkatkan mutu pendidikan dengan memberikan pertimbangan,
arahan, dukungan, tenaga, sarana dan prasarana serta pengawasan pendidikan
inilah yang dimaksud penulis dengan istilah memberdayakan masyarakat.
Sehingga keberhasilan pendidikan bukan saja menjadi tugas dan tanggung jawab
institusi pendidikan saja tetapi yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat
dapat memberikan respon positif terhadap perkembangan pendidikan yang ada
saat ini, karena output pendidikan pada akhirnya akan bermuara pada satu titik
yaitu masyarakat.
Dengan latar belakang permasalahan tersebut, dalam artikel ini akan dikaji
dimanakah letak esensial dan relevansi perbincangan yang menuju pada suatu
tindakan, dan mencari pemecahan mengenai kekurangan yang masih dimiliki
dalam upaya memberdayakan komunitas Muslim di Indonesia.

Urgensi pemberdayaan masyarakat


Dalam sejarah bangsa Indonesia yang harus digaris bawahi terlebih dahulu
adalah, pertama, komunitas muslim merupakan kelompok masyarakat yang
jumlahnya sangat besar, bahkan terbesar di dunia yang terkonsentrasikan dalam

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 265


MISNAN

satu negara, dan dengan demikian mempunyai masalah-masalah yang sekaligus


sebagai hambatan dalam melaksanakan pemberdayaan masyarakat diskursus
pendidikan Islam. Kedua, ajaran Islam menyatakan bahwa manusia, disamping
harus berilmu pengetahuan juga harus beriman dan bertaqwa. Ini pula yang
menjadi salah satu aspek yang utama agar masyarakat bangsa ini dapat terjamin
dan mempertahankan diri dalam wilayah sosialistis religius.
Untuk memahami aspek pertama, maka dengan jelas dapat dimengerti bahwa
jumlahnya yang besar (komunitas muslim), telah melahirkan berbagai potensi
dalam langkah optimalisasi pemberdayaan masyarakat umat Islam di negeri ini.
Sebab, jika dunia pendidikan Islam mampu menggali dan mengatur sumber daya
manusia (SDM) yang ada pada komunitas muslim dalam peningkatan mutu
pendidikan sungguh akan memberikan nilai maksimal yang dicapai oleh institus
pendidikan Islam. Adapun pemberdayaan masyarakat pada komunitas muslim
ada pada komite sekolah atau majlis sekolah, konsultan sekolah, cendekiawan
muslim, tokoh-tokoh agama yang mempunyai komitmen pada ajaran Islam, tokoh
masyarakat yang tertarik dan peduli terhadap peningkatan mutu pendidikan,
dan lain-lain. Sedangkan yang kedua adalah, menjadi dasar pemikiran penting
selanjutnya, tentang masih perlunya pemikiran proses pemberdayaan masyarakat
yang terencana, matang, oleh umat Islam terhadap umat Islam sendiri. Sebab
pendidikan Islam pada umumnya belum bisa dinilai telah ikut serta secara
memadai dalam menanamkan atau memberdayakan masyarakat dengan nilai-
nilai moral agama. Ini nampaknya menjadi sebuah kegelisahan sosial, karena
proses yang berlangsung sangat didominasi oleh proses pemberdayaan secara
intelektual. Instutusi pendidikan yang banyak menggunakan masyarakat sebagai
sumber pelajaran memberi kesempatan yang luas untuk mengenal kehidupan
masyarakat yang sebenarnya (Nasution, 2004:153). Pada hakekatnya peserta didik
itu datang dan kembali kepada masyarakat, maka disinilah tuntutan yang harus
dilakukan oleh para pemerhati pendidikan tak terkecuali pendidikan Islam untuk
memikirkan proses pemberdayaan komunitasnya.
Selama ini muncul beberapa pendapat yang mengkritisi pendidikan Islam di
sekolah di antaranya :
1. Hasil belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) belum sesuai dengan tujuan-
tujuan pendidikan Islam itu sendiri.

266 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBERDAYAAN SOSIAL

2. Pendidikan Nasional belum sepenuhnya mampu mengembangkan


manusia Indonesia yang religius, berakhlak, berwatak ksatria dan
patriotik.
3. Kegagalan pendidikan Islam disebabkan pembelajarannya lebih
menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formal dan hafalan, bukan
pada pemaknaannya.
4. Pendidikan Islam lebih menekankan pada kemampuan verbalisme
dan kemampuan numerik (menghitung), sementara kemampuan
mengendalikan diri dan penanaman keimanan diabaikan.
5. Penyampaian materi akhlak di sekolah baru sebatas teori, padahal yang
diperlukan adalah suasana keagamaan.
6. Permasalahan pendidikan Islam di sekolah saat ini mengalami masalah
metodologi.
Terhadap realitas demikian, ada beberapa faktor yang perlu dianalisis dan
segera mendapat perhatian dari semua pihak. Menurut penulis bahwa keberhasilan
pendidikan Islam sangat memiliki ketergantungan yang sangat tinggi, yang
dipengaruhi oleh adanya proses kerjasama yang erat antara institusi pendidikan
dengan masyarakat.

Arah pemberdayaan potensi masyarakat


Masyarakat pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang apabila
kita berdayakan. Seperti dijelaskan oleh Piaget dalam bukunya Sund (1976),
kemampuan operasi berpikir manusia ditentukan oleh kemampuan manusia
itu untuk mengasimilasi atau mengadaptasikan lingkungan dalam pikirannya.
Dalam terminologi lain, maka kemampuan berpikir manusia ditentukan oleh dua
komponen pertama, kemampuannnya menangkap gejala, kedua, kemampuannya
untuk mengkonsepsikan gejala itu menjadi suatu pengertian umum (Djohar,
2003:133-134). Namun potensi itu tidak berkembang apabila orang tidak
memanfaatkan kesempatan itu.
Upaya pemberdayaan potensi masyarakat dapat diklasifikasikan pada tiga
arah :
1. Upaya pemberdayaan potensi masyarakat harus dimulai dari pemberdayaan
pendidikan keluarga. Konsep “Brain development” menjelaskan bahwa

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 267


MISNAN

sistem penserabutan otak manusia sangat ditentukan oleh kontak manusia


pada tiga tahun pertama kehidupannya di bumi. Semakin banyak gejala
alam yang dapat ditangkap anak pada tiga tahun pertama usia mereka,
maka akan merangsang pertumbuhan sistem serabut-serabut otak, yang
berarti akan berdampak tingginya kecerdasan anak di masa mendatang.
Oleh karena itu pemberdayaan potensi umat harus dilakukan sejak awal
kelahiran. Selain itu, orang tua harus bertanggungjawab terhadap perilaku
gizi yang proposional, dan juga mengkondisikan agar anak mengalami
proses perkembangan secara proporsional.
2. Institusi pendidikan merupakan arah pemberdayaan potensi masyarakat
yang selanjutnya setelah keluarga. Menjadi tanggungjawab pihak
sekolah dalam hal pertumbuhan anak selanjutnya baik fisik, kecerdasan
intelektual, kreativitas dan perkembangan kecerdasan emosional, bahkan
tumbuhnya kecerdasan spiritual secara optimal. Padahal pendidikan
kita belum mampu melaksanakan tugas ini. Untuk itulah sudah saatnya
institusi pendidikan melakukan berbagai upaya inovasi dengan landasan
bahwa pemberdayaan potensi masyarakat perlu memperkecil peran
tumbuhnya cara berpikir linier (yang masih menjadi tekanan pendidikan
sekarang). Mengapa demikian karena sesungguhnya bumi dan seisinya
selalu mengalami perubahan-perubahan yang begitu cepat yang selalu
tidak linier, begitu juga seharusnya konsep pendidikan Islam. Berarti
untuk pemberdayaan potensi masyarakat harus selalu diarahkan kepada
berkembangnya kreativitas masyarakat. Agar maksud ini bisa dicapai
maka kemampuan ketrampilan dan seni harus menjadi bagian integral
dari kurikulum pendidikan. Menurut penulis, instistusi pendidikan Islam
sudah saatnya melakukan upaya-upaya inovasi dalam bidang pendidikan,
bukan secara tambal sulam melainkan secara menyeluruh dan mendasar.
Dibutuhkan satu revolusi di bidang pendidikan, dan menggeser serta
mengubah paradigma yang keliru. Paradigma yang keliru dan mendasar
sekali adalah selama ini bahwa “belajar untuk sekolah bukan untuk hidup”,
harus dirubah dengan “belajar bukan untuk sekolah (non scholae) tetapi
belajar untuk hidup (sed vitae discimus)”. Kurikulum di sekolah harus
mempunyai hubungan yang erat dengan kehidupan di masyarakat dengan

268 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBERDAYAAN SOSIAL

demikian peserta didik akan lebih memahami kondisi masyarakat. Sekolah


janganlah terisolasi dari masyarakat, apa yang dipelajari hendaknya
berguna bagi kehidupan peserta didik dalam masyarakat dan didasarkan
atas masalah masayarakat. Dengan demikian, peserta didik akan lebih
serasi dipersiapkan sebagai warga masyarakat.
3. Arah pemberdayaan selanjutnya adalah di masyarakat dengan cara
meningkatkan rasa tanggungjawab terhadap terwujudnya bangsa yang
memiliki peradaban dan moral tinggi. Hubungannya dengan proses
pendidikan selama ini sikap masyarakat belum atau tidak kritis terhadap
kebijakan-kebijakan yang ditentukan oleh pihak sekolah. Masyarakat
mengikuti apa saja yang ditentukan sekolah, tanpa mempertanyakan
secara kritis apa manfaat dari semuanya itu, ditinjau dari pencapaian
tujuan pendidikan. Sekolah menentukan kurikulum dan silabus, sekolah
menentukan metode pembelajaran, sekolah menentukan ulangan, ujian,
kelulusan sampai dengan pakaian bahkan sepatu seragam sekolah. Ini
adalah beberapa contoh yang seharusnya masyarakat ikut andil dan
bertanggungjawab terhadap keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan.
Disinilah sebenarnya letak pemberdayaan masing-masing potensi
masyarakat (keluarga, sekolah, dan masyarakat) untuk bersama-sama
mengkompromikan bagaimana seharusnya sistem pendidikan yang akan
diterapkan.
Dalam penanganan proses pemberdayaan potensi masyarakat ini pihak
sekolah harus membutuhkan strategi yang tepat, dan memerlukan jaringan
yang luas, melibatkan banyak pihak baik kalangan birokrat, kalangan usahawan,
kalangan pemuka agama, dan tentunya kalangan pendidikan serta organisasi-
organisasi kemasyarakatan.

Upaya-upaya pemberdayaan potensi masyarakat dalam pendidikan Islam


Keberhasilan pendidikan merupakan tanggungjawab bersama-sama antara
pemerintah, keluarga, dan masyarakat. Hal ini ditegaskan dalam Undang-
undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 (pasal 5-11) tentang
hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah dalam
pendidikan.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 269


MISNAN

Menanggapi berbagai kritikan pendidikan Islam yang antara lain sudah


disebutkan terdahulu, maka penulis mencoba menawarkan sebuah sistem
pembelajaran yang disebut dengan keterpaduan pembelajaran pendidikan Islam.
Yaitu berbagai inovasi sistem pembelajaran yang melibatkan berbagai pihak
dengan memanfaatkan pemberdayaan potensi yang ada di masyarakat, karena
sudah saatnya pendidikan Islam bukan hanya milik institusi pendidikan tetapi
juga milik seluruh umat Islam.
Untuk lebih jelasnya berkenaan dengan pemberdayaan potensi masyarakat
akan penulis uraikan dalam bentuk kerjasama dalam penerapan pembelajaran
pendidikan Islam sebagai berikut:
1. Orang tua peserta didik selama ini kurang memperhatikan perkembangan
sekolah, karena pihak sekolah selalu memberikan aturan yang membatasi
gerak mereka. Sudah saatnya orang tua peserta didik menjadi salah
satu bagian dari aktivitas pemberdayaan potensi masyarakat yang harus
dibina, dengan usaha-usaha melibatkan orang tua secara intens dengan
kegiatan-kegiatan sekolah. Mereka diberikan kesempatan seluas-luasnya
untuk mengenali sekolah, bukan saja bentuk fisiknya tetapi juga program
sekolah.
2. Kurikulum pendidikan Islam selama ini hanya milik sekolah, sudah
seharusnya dirumuskan dengan melibatkan berbagai pihak (sekolah,
guru, siswa, orang tua, masyarakat, dan unsur lain yang dianggap perlu)
sehingga belajar bukan untuk sekolah tetapi belajar untuk hidup. Sifat
kurikulum tidak baku tetapi selalu mengalami pembauran sesuai dengan
apa yang menjadi kebutuhan pendidikan saat ini. Disinilah peran orang
tua, sekolah, dan masyarakat menjadi sesuatu yang sangat diharapkan.
3. Jika kurikulum sudah terbentuk, maka masyarakat melakukan kegiatan
yang dapat dikontrol benar salahnya, baik dan tidaknya, dalam bentuk
kerjasama informal individual, proses kerjasama ini lebih didasarkan pada
faktor rasa kepedulian masyarakat terhadap kebutuhan akan pentingnya
keberhasilan pendidikan. Aspek orang tua yang menjadi sasaran penting
dalam hal ini, karena keberhasilan pendidikan merupakan keberhasilan
bagi anaknya dan juga bagi orang tua tersebut.
4. Usaha institusi pendidikan dalam menumbuhkembangkan potensi

270 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBERDAYAAN SOSIAL

masyarakat dalam bentuk formal organisatoris, dalam bentuk pertemuan


rutin yang dilakukan secara berkala. tujuan yang hendak dicapai di
antaranya: Pertama, Bagaimana masyarakat menyikapi proses pendidikan
dengan kejadian-kejadian dan kebutuhan yang terjadi di masyarakat.
Kedua, Sebagai tindakan evaluasi terhadap program penerapan kurikulum
yang telah disusun secara terpadu.
5. Membangun iklim sekolah yang efektif. Iklim sekolah dapat dibina
dan dikembangkan menuju kepada situasi yang kondusif dalam upaya
mencapai sekolah efektif. Khususnya dalam penerapan pendidikan Islam
harus ada pola kerjasama (antara guru agama dengan guru mata pelajaran
lainnya) dalam pembinaan Pendidikan Agama Islam pada sekolah tersebut.
Pada bagian ini menjadi tugas manajer sekolah untuk menerapkan sistem
pembelajaran agama yang integral, dalam artian seluruh tenaga pengajar
harus mendukung dan menerapkan sistem pembelajaran yang agamis.
Dengan pemberdayaan seperti inilah pendidikan Islam akan semakin
bercahaya di tengah-tengah masyarakat.
Adapun manfaat dari adanya pemberdayaan potensi masyarakat dalam
bidang pendidikan adalah :
1. Untuk memberikan pengetahuan dan mengembangkan pemahaman
terhadap masyarakat tentang maksud-maksud dan sasaran-sasaran yang
akan dicapai oleh sekolah.
2. Untuk menilai program sekolah apakah sesuai dengan apa yang diharapkan
dan dibutuhkan oleh masyarakat.
3. Untuk mempersatukan orang tua murid dan pihak sekolah dalam rangka
memenuhi kebutuhan peserta didik.
4. Untuk membangun kesadaran kepada semua pihak akan pentingnya
pendidikan.
5. Untuk membangun dan memelihara kepercayaan yang diberikan
masyarakat terhadap sekolah.
6. Agar masyarakat mengetahui dan memahami betapa beratnya tugas
institusi pendidikan, dan ini menjadi tanggungjawab bersama.
7. Untuk mengerahkan bantuan dan dukungan dalam pemeliharaan dan
peningkatan program sekolah.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 271


MISNAN

Sehingga dengan adanya usaha pemberdayaan potensi masyarakat melalui


mekanisme yang sudah disepakati dapat meningkatkan rasa tanggungjawab
masyarakat terhadap terwujudnya pendidikan yang memberdayakan masyarakat
untuk menyikapi dan menyelesaikan masalah-masalah pendidikan secara kreatif
dan inovatif.

Penutup
Banyak orang, terutama kalangan masyarakat, yang mengkritisi bahwa
pendidikan Islam tidak atau belum menunjukan keberhasilan di tengah-tengah
masyarakat yang masih sangat membutuhkan peranannya. Dari pembahasan
dalam artikel ini dapat disimpulkan bahwa:
1. Pendidikan Islam bukan saja milik suatu lembaga institusi pendidikan
saja, akan tetapi pendidikan Islam adalah milik semua komunitas Muslim
yang ada di dunia ini.
2. Oleh karena pendidikan Islam menjadi milik semua komunitas Muslim,
maka pendidikan Islam menjadi tanggungjawab masyarakat yang harus
dibuktikan dengan usaha-usaha yang dapat menunjang keberhasilan
pendidikan dan menjawab keluhan-keluhan yang banyak dikritisi baik
peserta didik, orang tua, maupun masyarakat.
3. Selama ini hubungan antara institusi pendidikan dengan masyarakat masih
sangat minim dan masyarakat tidak difungsikan sebagai sumber pelajaran.
Oleh karena itu paradigma pembelajaran harus dirubah “belajar bukan
untuk sekolah akan tetapi belajar untuk hidup” karena pada hakekatnya
peserta didik datang dan akan bermuara juga pada masyarakat.
4. Dengan pemberdayaan potensi masyarakat melalui mekanisme tepat
guna yang dikoordinir pihak sekolah akan menjawab semua kekurangan,
kelemahan yang ada.
5. Kurikulum sebagai arah pendidikan akan sangat menentukan keberhasilan
pendidikan. Maka kurikulum harus dirumuskan melalui pemberdayaan
potensi masyarakat dengan berdasarkan pada kebutuhan masyarakat, oleh
karena itu sifat kurikulum tidaklah baku, akan tetapi selalu mengalami
perubahan seiring dengan kebutuhan masyarakat.

272 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PERAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM PEMBERDAYAAN SOSIAL

Daftar Pustaka
Nasution, S. (2004). Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.

Hasan, Muhammad Tholhah. (2005). Islam Dalam Perspektif Sosio Kultural,


Jakarta: Lantabora Press.

Hasan, Muhammad Tholhah. (2005b). Islam Dan Masalah Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Lantabora Press.

Djohar. (2003). Pendidikan Strategis Alternatif Untuk Masa Depan. Yogyakarta:


Lesfi.

Mukhtar. (2003). Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Misaka


Galiza.

Majid, Abdul et.al. (2005). Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi Konsep
dan Implementasi Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Hasan, Fuad. (2003). Dasar-Dasar Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Syafaruddin. (2005). Manajemen Lembaga Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat


Press.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 273


Etika Mahasiswa Islam
Dalam Menyampaikan
Aspirasi di Depan Publik
Suatu Analisis Nilai-nilai Pendidikan
dalam Perspektif Alquran dan Hadis
Saifullah
Dosen pada Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry
Darussalam Banda Aceh.

Abstract

Islam from the beginning has provided an ethical guidance on how people express
desires, aspirations, demands or others. Islam gives freedom to its ummah to
deliver their aspirations, desires or opinions. But all of it should be done with
certain legal and ethical rules in order to create a peace and tranquility live in a
society, nation and state. Everyone always wants to speak, however, not everyone
who speaks has and pays attention to ethics in conveying messages, opinions and
aspirations. As a Muslim student in this case, they should talk, argue, and express
the aspirations by considering some ethics that can bring good and blessing in
accordance with the values contained in Alquran and Hadis.

Kata kunci: Etika, mahasiswa Islam and aspirasi


SAIFULLAH

Pendahuluan
Islam merupakan salah satu agama samawi yang meletakan nilai-nilai
kemanusia atau hubungan personal, interpersonal dan masyarakat secara agung
dan luhur, tidak ada perbedaan satu sama lain, keadilan, relevansi, kedamaian
yang mengikat semua aspek manusia. Oleh karena Islam yang berakar pada
kata “salima” dapat diartikan sebagai sebuah kedamaian yang hadir dalam diri
manusia dan itu sifatnya fitrah. Kedamaian akan hadir, jika manuia itu sendiri
menggunakan dorongan diri (drive) ke arah bagaimana memanusiakan manusia
dan atau memposisikan dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang bukan saja
unik, tapi juga sempurna, namun jika sebaliknya manusia mengikuti nafsu dan
tidak berjalan seiring fitrah, maka janji Tuhan azab dan kehinaan akan datang.
Fitrah kemanusiaan yang merupakan pemberian Tuhan (Given) memang
tidak dapat ditawar, dia hadir seiring tiupan ruh dalam janin manusia dan
begitu manusia lahir dalam bentuk “manusia” punya mata, telinga, tangan, kaki
dan anggota tubuh lainnya sangat tergantung pada wilayah, tempat, lingkungan
dimana manusia itu dilahirkan. Anak yang dilahirkan dalam keluarga dan
lingkungan muslim sudah barang tentu secara akidah akan mempunyai persepsi
ketuhanan (iman) yang sama, begitupun nasrani dan lain sebagainya. Inilah
yang sering dikatakan sebagai sudut lahirnya keberagamaan seorang manusia
yang akan berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam wacana studi agama sering
dikatakan bahwa fenomena keberagamaan manusia tidak hanya dapat dilihat
dari berbagai sudut pandang normativitas melainkan juga dilihat dari historisitas.
(Amin Abdullah, 2002: V)
Keberagamaan dalam Islam tentu saja harus dipandang secara konprehensif
dan seyogyanya harus diposisikan sbagai sebuah perspektif tanpa menafikan yang
lain. Keberagamaan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya merupakan
salah satu nilai luhur kemanusiaan itu sendiri. Makanya Islam itu lahir dengan
pondasi keimanan, syariat,  muamalat dan ihsan, keimanan adalah inti pemahaman
manusia tehadap sang pencipta, syariat adalah jalan menuju penghambaan
manusia kepada Tuhannya, sedangkan muamalat dan Ihsan adalah keutamaan
manusia memandang dirinya dan diri orang lain sebagai sebuah hubungan
harmonis yang bermuara pada kesalehan sosial.
Keberagamaan manusia yang berbeda inilah yang perlu diangkat sebagai

276 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


ETIKA MAHASISWA ISLAM DALAM MENYAMPAIKAN ASPIRASI DI DEPAN PUBLIK

sebuah momentum guna melihat sisi keunikan manusia sebagai ciptaan Tuhan
itu sendiri. Persoalannya adalah apakah keberagamaan yang berbeda itu akan
bermuara kearah yang sama? Kalau kita melihat secara seksama bahwa pada
intinya keberagamaan manusia adalah pencarian terhadap kebenaran, baik
kebenaran sosial hubungan antar manusia atau kebenaran transenden, yaitu cara
pandang dan sikap manusia dalam menempatkan Tuhan dan makhluk ciptaan-
Nya sebagai kebenaran absolut. Maka keberagamaan itu sendiri akan mengarah
pada bagaimana kebenaran itu bisa diraih dalam rangka pendekatan diri kepada
Tuhan sebagai manifestasi dari “iman”
Dalam hubungannya dalam pencarian kebenaran dari sudut pandang
keberagamaan manusia sebagai generasi bangsa dan agama yang berbeda
(hetrogenitas-religiusitas) tentu akan didapat adalah berbedaan cara pandang
(persfektif) dan sangat tergantung dorongan dari manusia atau sebagai mahasiswa
itu sendiri yang sudah dikatakan sebagai fitrah mansia yang given   akan
mengarahkan kepada kebenaran atau sebaliknya. Dilihat dalam kontek ini
adalah bagaimana manusia atau khususnya mahasiswa memposisikan diri selain
pemahaman terhadap kebenaran transenden, juga memahamkan dirinya pada
kebenaran hubungan antar manusia lain yang dalam Islam masuk dalam kategori
“ihsan”  yang secara harfiah berarti kebaikan dan kebajikan. Dorongan ihsan itu
sendiri akan melahirkan subuah prilaku, yaitu moral atau etika.
Berdasarkan uraian diatas, penulis mencoba untuk mengkaji bagaimana
hakekat etika mahasiswa Islam dalam menyampaikan aspirasi di depan
publik/ masyarakat di tinjau dalam perspektif Alquran dan Hadis, mengingat
begitu banyak peristiwa sekarang sebagaimana kita saksikan di media massa,
media elektronik maupun lingkungan sekitar, seolah-olah mahasiswa dalam
menyampaikan pendapat, aspirasinya tidak lagi mencerminkan seorang manusia
yang berpendidikan, tetapi tampak sangat anarkhis dan brutal. Inilah problem
besar yang harus kita cari solusi yang tepat agar generasi Islam khususnya
mahasiswa benar-benar dapat memposisikan pribadinya sebagai pribadi yang
berpendidikan yakni bermoral dan beretika.

Pembahasan
1. Pengertian etika

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 277


SAIFULLAH

Dalam tradisi filsafat istilah “etika” lazim dipahami  sebagai suatu  teori 
ilmu pengetahuan yang mendiskusikan mengenai apa yang  baik dan apa yang
buruk  berkenaan  dengan  perilaku manusia apalagi mahasiswa yang merupakan
generasi berpendidikan dan bermartabat.  Dengan  kata lain, etika merupakan
usaha dengan akal budinya untuk menyusun teori  mengenai  penyelenggaraan 
hidup yang  baik.  Persoalan etika muncul ketika moralitas seseorang atau suatu
masyarakat kembali secara kritis. Moralitas   berkenaan   dengan   tingkah  laku  yang 
konkrit, sedangkan etika bekerja dalam level teori. Nilai-nilai etis yang   dipahami,  
diyakini,  dan  berusaha  diwujudkan  dalam kehidupan nyata kadangkala disebut
ethos.
Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dalam bentuk tunggal
adalah ethos yang mempunyai banyak arti, antara lain; tempat tinggal yang biasa,
padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara
berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak ta etha berarti adat kebiasaan. (Bertens
.K, 2002:4). Menurut Webster's New Collegiate Dictionary, etika adalah 1) ...the
discilpine dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation,
2). a set of moral principles and values,b. a theory or system of moral values,c.
theprinciples of conduct governing an indiviadual or a gropup". Dalam arti adat
kebiasaan inilah yang melatar belakangi terbentuknya istilah etika. Etika dimaknai
sebagai ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata etika dijelaskan dengan
membedakan tiga arti: 1) ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang hak dan kewajiban moral (akhlak), 2) kumpulan azas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, 3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu
golongan atau masyarakat.
Menurut Bertens (2002: 6-7), etika mempunyai tiga arti: Pertama, kata
etika biasa dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
Dalam arti ini etika bersifat relatif di dalam suatu wilayah/ daerah. Misal apa yang
dianggap baik oleh suatu kelompok belum tentu baik oleh kelompok lain meski
mereka berada dalam suatu daerah atau wilayah yang sarna karena beda suku atau
agama dan kepercayaan. Kedua, etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral.
Kumpulan nilai moral yang kemudian dijadikan dasar bertindak/berperilaku bagi

278 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


ETIKA MAHASISWA ISLAM DALAM MENYAMPAIKAN ASPIRASI DI DEPAN PUBLIK

anggotanya ini yang kemudian menjadi kode etik. Seperti kode etik guru, kode
etik dokter, kode etik paramedik, kode etik hakim, kode etik peneliti dan lain
sebgainya. Ketiga, etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik atau buruk yang
sama artinya dengan filsafat moral karena berkaitan dengan asas-asas dan nilai
tentang yang dianggap baik dan buruk.
Dalam kajian ini etika ditekankan pada arti nilai-nilai dan norma-norma
etis yang menjadi pegangan bagi mahasiswa sebagai generasi pendidikan yang
bermartabat untuk dapat mengatur bagaimana cara menyampaikan aspirasi,
pendapat di depan publik/ masyarakat dengan baik sesuai dengan nilai-nilai Islam.

2. Etika menyampaikan aspirasi dalam pandangan Islam


Di tengah derasnya arus keterbukaan, mahasiswa yang merupakan bagian
dari masyarakat disuguhi beragam informasi yang disajikan media cetak, media
elektronik maupun sumber-sumber lain. Di satu sisi mahasiswa mendapatkan
beragam informasi yang diinginkan. Akan tetapi di sisi lain mahasiswa kerap dibuat
bingung oleh informasi yang tidak objektif. Mahasiswa yang nota bennya idealis
kerap kali dihadapkan pada masalah ketidakpastian pemberitaan. Pada satu kasus
tertentu misalnya, sumber A memberitakan kasus tersebut menurut pandangan
(frame) A. Sementara itu sumber B, C dan D menurunkan informasi menurut
versi mereka sendiri-sendiri, di mana antara pandangan sumber satu dengan
yang lain terkesan berbeda bahkan bertolak belakang muatan informasinya. Pada
akhirnya mahasiswa justru menjadi bingung mana kiranya informasi yang layak
untuk dipercaya.
Bagi mahasiswa yang mampu memilih dan memilah informasi yang disajikan,
tidak menjadi persoalan, karena bisa memberikan penilaian yang jernih dan
wajar. Mereka cenderung tidak menuding sumber A memberikan informasi keliru
atau sebaliknya, informasi yang disajikan sumber B, sesuai kenyataan. Mereka
menyaring sehingga tidak mudah terpancing oleh suatu isu. Kondisi seperti inilah
yang diharapkan agar tidak menimbulkan anggapan yang dapat merusak citra
kemahasiswaan itu sendiri.
Namun tidak demikian bagi mahasiswa yang tidak mampu memilih dan
memilah. Mereka menyerap begitu saja informasi yang tersaji serta memberikan
penilaian atas suatu peristiwa yang bertolak dari informasi tersebut. Singkat kata,

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 279


SAIFULLAH

mahasiswa cenderung terpengaruh oleh informasi yang disajikan dengan dalih


merasa dialah yang paling is the best dan berkompeten dalam menelusuri peristiwa
tersebut.
Akibatnya kemudian yang muncul bukannya sikap arif atas peristiwa atau
berita. Akan tetapi, justru sikap curiga, menyalahkan, saling menghujat dan
memaksakan kehendak kepada orang lain. Bahkan tidak jarang sebuah informasi
berita justru menimbulkan tindak kekerasan yang brutal dan anarkhis. Peristiwa
amuk massa, perusakan, pembakaran, penganiayaan bahkan penghilangan hak
hidup orang lain, sering kali bertolak dari sebuah pemberitaan yang tidak objektif.
Penerbitan berita atau informasi yang menyajikan gambaran yang keliru atas
suatu peristiwa, justru menjadikan media/sumber tertentu identik dengan agen
provokasi. Kondisi tersebut, tampaknya tidak bisa dilepaskan dari fenomena
kebebasan pers yang disalahgunakan. Sekarang ini kebanyakan dari media justru
memihak kepada kepentingan tertentu dan mempunyai agenda yang tersembunyi
atas berita yang diterbitkannya. Bahkan tidak sedikit industri media, dalam proses
pemberitaannya hanya sekadar mengejar keuntungan materi semata.
Menjamurnya beberapa industri media cetak maupun elektronik yang
cenderung sensasional, bombastis dan tidak mendidik adalah bukti dari asumsi
tersebut. Fenomena yang demikian ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari orientasi
sebagian pers Indonesia yang cenderung komersial.
Dalam kondisi yang demikian itu media sangat rentan dan mudah
dimanfaatkan oleh kepentingan pribadi, kelompok maupun golongan. Media
yang seharusnya berperan memberikan informasi objektif justru berubah
menjadi perpanjangan tangan kelompok atau golongan tertentu dan memihak
pada kepentingan segelintir orang. Oleh karena itu tidak mustahil sebuah media
dapat memicu konflik baru dalam masyarakat. Alih-alih bermaksud menurunkan
derajat konflik, tapi justru semakin memperluas skala pertikaian lantaran berita
yang diterbitkan bersifat provokatif.
Media atau sumber yang berpihak, baik secara tertutup maupun terbuka di
situ menjadi tidak netral, karena didukung beberapa kepentingan tersebut, media
senantiasa melakukan tudingan-tudingan menurut kelompok mereka sendiri.
"Kebenaran" ala media bukan kebenaran yang bernilai objektif.
Untuk menghindari adanya penyimpangan informasi yang dipelintir perlu

280 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


ETIKA MAHASISWA ISLAM DALAM MENYAMPAIKAN ASPIRASI DI DEPAN PUBLIK

diperhatikan etika penyampaian aspirasi, informasi dan berita. Menurut Jalaluddin


Rachmat ada lima prinsip dalam Alquran berkait dengan etika komunikasi.
Pertama, qaulan sadida (Q. S. an-Nisa : 9), yang berarti isi pesan harus jujur dan
benar. Artinya informasi haruslah disampaikan dengan jujur dan benar tanpa
dibuat-buat, tidak menambah atau mengurangi isi berita.
Kedua, qaulan ma'rufa (Q.S. an-Nisa: 5), yaitu menyerukan kebenaran dan
kebaikan. Ketiga, qaulan baligha (Q. S. an-Nisa: 63), yang bermakna informasi
yang disampaikan kepada masyarakat hendaknya berupa kata-kata yang mampu
membekas pada jiwa seseorang.
Keempat, qaulan maisura (Q. S. al-A’raf: 28), maksudnya yakni informasi
yang disampaikan hendaknya berupa ucapan yang pantas untuk dibicarakan.
Adapun prinsip kelima adalah qaulan karima (Q. S. al-Isra’: 23), yang berarti
informasi haruslah berupa perkataan-perkataan yang mulia. (Jalaluddin Rachmat,
Buletin Al-Ikhtikaf, Edisi No.61 2001). Bila kelima prinsip di atas dijadikan acuan
dalam berkomunikasi niscaya tidak akan terjadi disinformasi dan penyimpangan
yang bisa mengakibatkan kesalahpahaman. Mediapun tidak lagi terjebak pada
kepentingan-kepentingan sesaat yang merugikan masyarakat.
Islam sejak awal telah memberikan tuntunan mengenai cara menyampaikan
keinginan, aspirasi, tuntutan dan lainnya. Islam memberikan kebebasan kepada
umatnya untuk menyampaikan aspirasi, keinginan atau pendapat. Akan tetapi
semua itu harus dilakukan dengan aturan hukum dan etika tertentu agar tercipta
kedamaian dan ketenteraman hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Oleh sebab itu, mahasiswa dalam hal ini tidak boleh sembarangan dalam
menyampaikan pendapat maupun aspirasi dan tuntutan tanpa memperhatikan
hak-hak orang lain.
Apabila mengadukan orang lain kepada aparat yang berwenang, jangan
sampai apa yang dituduhkan itu bersifat dusta atau fitnah belaka, karena hal itu
tentunya merugikan orang lain. Boleh jadi apa yang disampaikan itu berdasarkan
informasi yang salah atau kurang lengkap dari orang-orang yang sengaja ingin
mengadu domba atau berbuat kerusuhan dengan cara menyebarkan isu yang
tidak berdasar.
Islam telah memberikan tuntunan moral kepada umatnya agar dalam
menerima informasi atau berita haruslah dicek terlebih dahulu supaya tidak

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 281


SAIFULLAH

menimbulkan suatu kesalahpahaman: "Hai orang-orang yang beriman, jika datang


kepadamu orang fasik (provokator) membawa suatu berita maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya (Q.S: Hujurat: 6).
Pada dasarnya semua orang mempunyai hak untuk menerima informasi
atau berita (right to khow) yang benar, baik dari pemerintah, pejabat, mahasiswa,
rakyat ataupun yang lainnya. Demikian pula rakyat berhak untuk menyampaikan
informasi, kabar dan berita (right to information) untuk diketahui khalayak ramai.
Kendati demikian arus informasi tidak boleh merugikan orang lain, baik
pribadi maupun kelompok. Selanjutnya, penyampaian informasi didasarkan
pada kepentingan umum sebagai bagian dari proses membangun komunitas
masyarakat yang setara.
Dengan demikian apabila orang ingin menyampaikan aspirasi, tuntutan
maupun pengaduan, maka hendaknya semua itu dilakukan dengan cara-cara
yang baik dan mengindahkan aturan-aturan, hukum dan etika yang berlaku.
Penyampaian informasi atau berita janganlah disampaikan dengan cara-cara yang
bisa menjelek-jelekkan, mencaci maki dan menghujat orang lain. Sebab hal itu
justru bertentangan dengan etika komunikasi dan bisa menjadikan masyarakat
terlibat dalam konflik yang berkepanjangan.

3. Konsep Menyampaikan Aspirasi/ Pendapat dalam Perspektif Alquran dan


Hadis
Etika berbicara yang dianjurkan oleh Islam adalah; pertama, hendaknya
pembicaraan selalu di dalam kebaikan. Allah Swt. berfirman, ''Tidak ada kebaikan
pada kebanyakan bisik-bisikan mereka, kecuali bisik-bisikan dari orang yang
menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat ma`ruf, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia.'' (Q.S. Annisa: 114).
Kedua, sebaiknya orang berbicara dengan suara yang jelas agar dapat didengar,
tidak terlalu keras, tidak pula terlalu pelan. Selain itu, jangan membicarakan
sesuatu yang tidak berguna. Rasulullah Saw bersabda, ''Termasuk kebaikan
Islamnya seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak berguna'' (H.R.
Ahmad dan Ibnu Majah).
Ketiga, hendaknya orang yang berbicara jangan membicarakan semua apa

282 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


ETIKA MAHASISWA ISLAM DALAM MENYAMPAIKAN ASPIRASI DI DEPAN PUBLIK

yang didengar, sebab bisa jadi semua yang didengar itu menjadi dosa. Nabi
Saw bersabda, ''Cukuplah menjadi suatu dosa bagi seseorang yaitu apabila ia
membicarakan semua apa yang telah ia dengar'' (H.R. Muslim).
Keempat, menghindari perdebatan dan saling membantah, sekalipun kita
berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan dusta sekalipun bercanda.
Nabi Saw bersabda, ''Aku adalah penjamin sebuah istana di taman surga bagi siapa
saja yang menghindari pertikaian (perdebatan) sekalipun ia benar; dan (penjamin)
istana di tengah-tengah surga bagi siapa saja yang meninggalkan dusta sekalipun
bercanda.'' (HR Abu Daud dan dinilai hasan oleh Al-Albani).
Kelima, berbicara dengan tenang dan tidak tergesa-gesa. Aisyah r.a
menuturkan, ''Sesungguhnya Nabi saw. apabila membicarakan suatu pembicaraan,
sekiranya ada orang yang menghitungnya, niscaya ia dapat menghitungnya'' (H.R.
Mutta-faq'alaih).
Keenam, hindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam
berbicara. Nabi saw. bersabda, ''Dan sesungguhnya manusia yang paling aku
benci dan yang paling jauh dariku di hari Kiamat kelak adalah orang yang banyak
bicara, orang yang berpura-pura fasih, dan orang-orang yang mutafaihiqun.'' Para
shahabat bertanya, ''Wahai Rasulullah, apa arti mutafaihiqun'' Nabi menjawab,
''Orang-orang yang sombong.'' (HR At-Turmudzi, dinilai hasan oleh Al-Albani).
Terakhir, dalam berbicara sebaiknya kita menghindari perbuatan menggunjing
(ghibah) dan mengadu domba (Ahmad Mudlor: 155). Allah Swt. berfirman, ''Dan
janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain'' (Q. S. Al-Hujurat:
12). Semoga setiap pembicaraan yang kita lakukan menjadi bermanfaat dengan
memperhatikan etika berbicara.

Penutup
Kata etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yang dalam bentuk tunggal
adalah ethos yang mempunyai banyak arti, anatara lain; tempat tinggal yang
biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, akhlak, watak, perasaan, sikap,
cara berfikir. Sedangkan dalam bentuk jamak ta etha berarti adat kebiasaan.
Etika yang dimaksudkan dalam makalah ini lebih diorientasikan pada arti nilai-
nilai dan norma-norma etis yang menjadi pegangan bagi mahasiswa sebagai
generasi pendidikan yang bermartabat untuk dapat mengatur bagaimana cara

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 283


SAIFULLAH

menyampaikan aspirasi, pendapat di depan publik/ masyarakat dengan baik sesuai


dengan nilai-nilai Islam.
Untuk menghindari adanya penyimpangan informasi yang dipelintir perlu
diperhatikan etika penyampaian aspirasi, informasi dan berita. Menurut Jalaluddin
Rachmat ada lima prinsip dalam Alquran berkait dengan hal tersebut yaitu: 1).
Qaulan Sadida, 2) Qaulan Ma'rufa, 3). Qaulan Baligha, 4) Qaulan Maisura dan, 5)
Qaulan Karima.
Pada sisi lain konsep menyampaikan aspirasi dalam perspektif Alquran dan
Hadis adalah a). hendaknya pembicaraan selalu di dalam kebaikan. b), sebaiknya
orang berbicara dengan suara yang jelas agar dapat didengar. c), hendaknya orang
yang berbicara jangan membicarakan semua apa yang didengar, sebab bisa jadi
semua yang didengar itu menjadi dosa, d), menghindari perdebatan dan saling
membantah, sekalipun kita berada di pihak yang benar dan menjauhi perkataan
dusta sekalipun bercanda. e), berbicara dengan tenang dan tidak tergesa-gesa.
f), hindari sikap memaksakan diri dan banyak bicara di dalam berbicara, dan
Terakhir, diharapkan dalam berbicara sebaiknya kita menghindari perbuatan
menggunjing (ghibah) dan mengadu domba.
Etika dalam Islam adalah sebagai perangkat nilai yang tidak terhingga dan
agung yang bukan saja berisikan sikap, prilaku secara normatif, yaitu dalam bentuk
hubungan manusia dengan Tuhan (iman), melainkan wujud dari hubungan
manusia terhadap Tuhan, Manusia dan alam semesta dari sudut pangan historisitas.
Etika sebagai fitrah akan sangat tergantung pada pemahaman dan pengalaman
keberagamaan seseorang. Maka Islam menganjurkan kepada manusia untuk
menjunjung etika sebagai fitrah dengan menghadirkan kedamaian, kejujuran, dan
keadilan. Etika dalam Islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang
dan perilaku manusia dalam hubungan sosial hanya dan untuk mengabdi pada
Tuhan, bukan ada pamrih di dalamnya.

284 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


ETIKA MAHASISWA ISLAM DALAM MENYAMPAIKAN ASPIRASI DI DEPAN PUBLIK

Daftar Pustaka
Amin Abdullah. (2003). Studi Agama Normativitas dan Historitas. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.

Ahmad Mudlor. (2003). Etika Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.

Bertens .K. (2002). Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Jalaluddin Rachmad. (2001). Etika Komunikasi, Buletin Al-Ikhtikaf, Edisi No.61/27


Rabiul Akhir 1422 H.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 285


Kepanduan Sebagai
Wadah Pendidikan
Kewarganegaraan:
Analisis Terhadap Gerakan
Muhammadiyah dan Ikhwanul Muslimin
Jasafat
Dosen pada Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry Banda
Aceh, alumnus Program Doktor dari Universiti Sains
Malaysia (USM).

Abstract

Scouting is the association of young generation as the successor to the ideals of


national struggle and human resources for the national development, which is di-
rected to be successor cadre of national struggle. It’s coaching and development
program are carried out nationwide, in comprehensive and integrated manner,
starting from the beginning and covering the stages of growth of child, adoles-
cent, and youth, which share the responsibility between parents, families, society,
environment, young people and the government. It aims at improving the quality
of younger generation. Scouting also aims to establish the national unity in accor-
dance with the spirit of 2008’s Youth Pledge in the framework of nation-building
and national identity in addition to trying to successor cadres of national struggle.
Scouting is one the non-formal institution that gave birth to skilled and creative
cadres of national development.

Kata kunci: Kepanduan, civic education, hizbul watan


JASAFAT

Pendahuluan
Pendidikan kewarganegaraan di Indonesia bertujuan untuk mempersiapkan
warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia
adalah negara kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah Negara
yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau nasionalisme
yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di
bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-beda
agama, ras, etnik, atau golongannya (BPUPKI, 1998).
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan
bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang
adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Kebangkitan kesadaran kebangsaan merupakan suatu fenomena yang lahir
tidak secara tiba-tiba. Proses interaksi dan integrasi berjalan cukup panjang.
Periode pergerakan nasional hanyalah merupakan satu episode terakhir sebelum
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Periode Pergerakan
Nasional menjadi amat penting karena dalam periode Sejarah Pergerakan Nasional
itulah perjuangan semakin serius, dan semangat kebangsaan dengan mengikuti
sistem dan tatacara organisasi moden.
Peningkatan semangat dan kualitas perjuangan ini amat memerlukan
peranan pemuda, mahasiswa dan kaum terpelajar lainnya, karena baik semangat
maupun keunggulan berorganisasi, keduanya dimiliki oleh para pemuda terpelajar
itu. Kualifikasi yang dimiliki kaum pemuda dan mahasiswa, dengan ketajaman
intelegensia dan semangat juangnya sangat diperlukan untuk menjawab perubahan
dan cabaran baru di abad modern.
Semangat persatuan dan kesatuan yang dijiwai oleh Pancasila adalah nilai
normatif yang telah diperjuangkan melalui Nation and character building oleh
pendiri bangsa. Proses itu harus kita lanjutkan dan kembangkan serta tidak boleh
terhenti sejak kita memutuskan membangun negara kesatuan Republik Indonesia
merdeka dengan tonggak-tonggak sejarah Boedi Utomo (1908), Sumpah Pemuda

288 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

(1928), dan Proklamasi Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945).


Bahwa dengan perubahan tata nilai dalam masyarakat akibat dari proses
perubahan yang tidak pernah terhenti baik secara struktural sosial maupun
kultural, maka nilai-nilai kebangsaan yang telah menjadi kesepakatan nasional
dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. 17 Agustus 1945 kiranya
masih sangat relevan dalam upaya mempertahankan keutuhan bangsa dari
ancaman disitegrasi yang mengancam persatuan bangsa.
Bung Karno pernah mengajukan platform pertama dan utama yaitu :
1) Tekad untuk hidup bersama
2) Membentuk satu bangsa berdasarkan kesamaan ciri oleh sebab bersamaan
nasib
3) Secara geopolitik tanah air Indonesia adalah suatu negara bangsa (nation
state).
Untuk itu kiranya sangat perlu dan mendesak guna mencegah kerawanan ini,
maka sangat perlu diteruskan pola pembinaan kesatuan bangsa melalui kesadaran
bela negara. Alex Suseno, mengungkapkan bahwa komitmen hidup membangsa
merupakan sinyalemen yang harus dijawab dengan adanya terobosan budaya.
Suatu terobosan dengan paradigma sosial baru yang menggunakan bela negara
dalam bahasa budaya. Agar generasi Panca 45 dapat tampil dengan suatu prakarsa
yang unik tapi orisional, unik karena memberi jalan keluar, orisional karena
berakar pada budaya sendiri.
Secara konstitusional, Pasal 27 (3) dalam amandemen kedua menyebutkan
bahwa “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan
negara” dan Pasal 32 (1) amandemen keempat menyebutkan, “Negara memajukan
kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai
budayanya”.
Kedua pasal di atas disinergikan sebagai interpretasi kritis, sehingga muncul
statemen “Kebudayaan nasional Indonesia yang berintikan kesadaran hak bela
negara” yang disingkat dengan Budaya Hak Bela Negara (BBNI). Keadaan sejarah
para mahasiswa khususnya serta kaum muda terpelajar umumnya tanpa ragu diakui
telah memotivasi elite strategik untuk berpartisipasi dalam Pergerakan Nasional.
Kemampuan mereka mengidentifikasi permasalahan dan tantangan yang dihadapi

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 289


JASAFAT

bangsanya serta kerelaan menempatkan diri sebagai bagian dari bangsa terjajah
itulah yang menjadi peran dan modal utama mereka dalam perjalanan nasionalisme
Indonesia. Organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan modern yang
menjelma pada awal abad ke-20 bermula bersifat etnis dan kedaerahan, antara lain,
Budi Utomo (1908), Pasundan (1914), Sarekat Sumatra (1918), Jong Java (1918),
Jong Minahasa (1918) dan Kaum Betawi (1923).
Selain apa yang dikemukakan di atas lahir pula organisasi yang berasaskan
agama Islam. Organisasi yang tidak lagi mendasarkan diri pada etnik dan
kedaerahan dimulai oleh Sarekat Islam yang berdiri pada tahun 1911 di Surakarta.
Gerakan Islam di Indonesia juga banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir Islam
yang dikenal saat itu. Ide progresif mereka adalah menolak dominasi barat terhadap
bangsa-bangsa Muslim. Pemikir seperti Muhamad Rasyid Ridha (1865-1935) dan
Muhammad Abduh (1849-1905) sampai kepada Hasan al-Banna (1906-1949)
menciptakan suatu gerakan pembaharuan yang disebut dengan modernisme
Islam dengan pusat kajiannya di Kairo (Imarah, t.t: 9-17). Ide dasar Abduh
adalah revitalisasi kesedaran umat Islam, bahawa ilmu pengetahuan dan agama
pada prinsipnya dapat berjalan bersama. Hal ini tentu melahirkan keberanian
berijtihad di kalangan Muslim Sunni, termasuk berbicara tentang nasionalisme,
kemerdekaan, solidaritas sosial antara umat beragama melawan penindasan.
Kepanduan merupakan sistem pendidikan luar sekolah dan luar keluarga
untuk anak, remaja, pemuda, maupun dewasa untuk mencapai tujuan yang berupa
terwujudnya pribadi muslim yang sebenar-benarnya, menjadi kader bangsa,
ummat, dan persyarikatan. Sesuai dengan permasalahan yang dihadapi ataupun juga
keberadaan sarana pendukungnya maka Kepanduan juga mengadakan kegiatan
tambahan kepada anggotanya maupun mereka yang berminat untuk menambah
pengetahuan, ketrampilan, kecakapan, ataupun pengalaman yang dapat memberi
bekal kehidupannya kelak (life skill), yang  itu juga berarti akan memberikan bekal
bagi pengabdian mereka bagi bangsa, ummat, dan persyarikatan. Kegiatan ini
berupa Bina Karya Mandiri (BKM) yang  dilaksanakan dengan praktek-praktek
dan memperhatikan prinsip dasar kepanduan dan metode kepanduan untuk
memberikan hasil pendidikan yang nyata dengan biaya rendah.
Selain itu, kepanduan juga merupakan sarana penting pembinan generasi
muda untuk mempersiapkan kader andalan dimasa mendatang. Organisasi ini

290 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

dimaksudkan untuk mempermudah komunikasi sesama Kepanduan ataupun


antara masyarakat dengan Kepanduan. Dengan berkomunikasi diharapkan
pemikiran-pemikiran positif dapat ditampung dan disebarluaskan untuk
diamalkan untuk mempercepat tercapainya negara adil makmur dalam ampunan
Allah (baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur).
Hasan al-Banna mendirikan Kepanduan dalam rangka mewadahi aktivitas
olahraga. Inspirasinya adalah ide jihad dalam Islam, bersamaan dengan pendirian
cabang pertama Ikhwanul Muslimin di Ismailia pada tahun 1928 (al-Banna, t.t:
108-238). Pada tahun 1935, dalam Muktamar III, Ikhwanul Muslimin menetapkan
Kepanduan dan merekomendasikan sistemnya dalam proses pendidikan di
seluruh cabang Ikhwanul Muslimin (al-Ikhwanul Muslimun No. 42, 23 Zulhijjah
1353/28 Maret 1935: 21-22).
Mereka mendaftarkan organisasi ini pertama kalinya di Kepanduan Nasional
Mesir pada tahun 1940 (ketika itu terdiri dari 35 orang anggota). Pada tahun 1941
mereka mempopulerkan gerakan kepanduan di seluruh Mesir dengan prinsip-
prinsip seperti berikut :
1. Mereka membetuk majelis tinggi Kepanduan (terdiri dari tujuh anggota
dengan pemimpinnya Hasan al-Banna).
2. Mereka membuka membuka pusat pelatihan bagi mudarib (pelatih) untuk
menghasilkan 35 orang pelatih.
3. Mereka membentuk kelompok-kelompok jawwalah (minimal 10
kelompok di setiap cabang) di Kairo, kemudian di Iskandaria. Mereka
dibimbing oleh para pelatih. Selanjutnya mereka berkema untuk melatih
mudarib di tingkat wilayah.
4. Setiap kelompok diikuti oleh lima orang tiap dua bulan, agar mereka dapat
mengenal prinsip-prinsip jawwalah, baik yang bersifat moral maupun
spiritual dengan cara berinteraksi.
Kepanduan terus berkembang sehingga pada tahun 1942 jumlah anggotanya
mencapai 15.000 orang, 40.000 personil pada tahun 1945, 60.000 personil pada
tahun 1946, serta 75.000 personel pada tahun 1947 dan 1948 jawwalah mereka
merupakan kepanduan terbesar dan paling banyak aktivitasnydalam gerakan
kepanduan Mesir (Muhammad, 1987:147-154).
Kepanduan Ikhwan kembali melakukan aktivitasnya setelah tahun 1951, dan

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 291


JASAFAT

mulai membentuk kelompok-kelompoknya pada 26 Juli 1953. Pada penghujung


bulan April mencapai 7000 kelompok pandu. (Michel, t.t:88). Majelis Komando
Revolusi Mesir pada tahun 1953 membuat aturan tentang gerakan kepanduan
Nasional dalam rangka memenuhi permintaan Kepanduan Ikhwan. Majlis
menempatkan Kepanduan Ikhwan sebagai pengurus sementara untuk kegiatan
pembimbing kegiatan kepanduan di Mesir dan menjadi anggota tetap di Dewan
Kepanduan Nasional. Ketua umum Kepanduan Ikhwan diangkat sebagai sekretaris
Jenderal Kepanduan Nasional, sementara Sa‘duddin al-Wali (anggota Dewan
Tinggi Kepanduan Ikhwan) diangkat sebagai ketua delegasi Mesir di Jambore
Internasional yang diadakan di Swiss pada tahun 1953 (Raqiq, t.t: 346-347).
Disebut dalam manifest kumpulan rihlah bahwa “tujuan terbentuknya
kepanduan adalah mendidik semangat Islami dalam jiwa pemuda Ikhwan, mengisi
waktu mereka dengan sesuatu yang bermanfaat, baik secara medis maupun akhlak
selain untuk membiasakan mereka agar taat dan disiplin (Koran Ikhwan al-
Muslimin Tahun II No. 42:23).
Syauqi Zaki (t.t:145) menyebutkan diantara tujuan kepanduan adalah melatih
para pemuda untuk dapat memberikan pelayanan kepada masyarakat, menyiapkan
fisik yang kuat, serta mengikat hubungan antara kehidupan konkret duniawinya
dengan Allah swt. Majalah al-Ikhwanul Muslimin menyebutkan bahawa tujuan
kepanduan adalah dalam rangka melatih para kader Ikhwan secara praktis agar
memiliki kepercayaan diri dan dapat memikul tanggungjawab, membiasakan
berdisiplin, serta menunaikan tugas dan pekerjaan secara baik. Singkatnya ia
bertujuan untuk melakukan reformasi moral.
Menurut Mahmud Abdul Halim (t.t: 163), program-program latihan
kepanduan yang diterapkan oleh Ikhwanul Muslimin adalah sebagai berikut:
1. Kegiatan kepanduan (mempelajari undang-undang kepanduan, mengenal
sistem pemerintahan Mesir, menggambar peta dan sebagainya).
2. Latihan Kemeliteran (memimpin pasukan)
3. Olahraga (senam berat, gulat, menyetir mobil, renang dan sebagainya)
4. Rihlah (baik bersifat studi, ketahan fisik, maupun mendaki gunung).
5. Perkemahan (seminggu dalam perkemahan Ikhwan membiasakan hidup
gaya perkemahan, latihan mendirikan tenda, mencari jejak, memperbaiki
bacaan Alquran, menghafal sepuluh hadis, mempelajari undang-undang

292 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

dasar Ikhwan, mempelajari sejarah raja-raja Arab dan penguasa-penguasa


Muslim, mempelajari sejarah Mesir kuno sampai masuknya Islam, belajar
berdakwah).
Kurikulum kepanduan telah meletakkan metode yang komprehensif untuk
pembinaan para pemuda, yang menyentuh akal, hati dan perasaan mereka.
Program-programnya bertujuan untuk memperbaharui aktivitas pemikiran dan
fisik, menjernihkan indra, mencari ilmu dengan cara melihat secara langsung
dan rihlah, menyiapkan fisik yang kuat agar mampu memikul beban-beban jihad,
memerangi kemalasan, stagnasi dan kebencian, sekaligus membangkitkan jiwa
kejantanan dan keperkasaan mereka. Selain itu, agar setiap anggota terbentuk
dengan cara Islam sehingga ia menjadi seorang Muslim sejati dengan ibadah,
kultur, pemikiran dan perilakunya (Salabi, t.t:227:237).
Gambaran tersebut di atas menunjukkan bahwa Kepanduan merupakan
sistem pendidikan yang bertujuan untuk mendidik anggota Ikhwan, baik secara
fisik dan kemiliteran, spiritual dan moral, wawasan pengetahuan, maupun sosial
politik. Sejauh implementasi tujuan-tujuan edukatif dalam sistem Kepanduan
dengan program-program pendidikannya.

Kepanduan sejarah dan perkembangannya


Di atas telah dijelaskan serba sedikit tentang sejarah perkembangan
kepanduan pada saat Hasan al-Banna mempelopori pergerakan di Mesir, namun
untuk lebih jelasnya pada bahagian ini akan digambarkan bagaimana proses
lahirnya kepanduan di Indonesia.
Sejalan dengan lahir dan berkembangnya organisasi pemuda dalam
pergerakan nasional, maka pembinaan generasi muda melalui bentuk padvinder
atau kepanduan memiliki arti strategi perjuangan alternatif dengan pendekatan
kemanusiaan. Organisasi kepanduan ini merupakan tempat untuk mendidik
rasa cinta tanah air dan menjadi tempat persemaian bagi pemimpin – pemimpin
kebangsaan di masa depan. Berbicara tentang kepanduan tidak dapat dipisahkann
dari Bapak Pandu Sedunia, Lord Baden Powell, yang nama aslinya Robert
Stephenson Smith Baden Powell (1857-1941). Buku yang ditulis oleh Baden
Powell berjudul Scouting for Boys sangat berguna bagi kegiatan pendidikan yang
antara lain berisi pokok-pokok kegiatan sebagaimana dicatat oleh Soedarsono

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 293


JASAFAT

Mertoprawiro (1992), sebagai berikut:


1) Melatih diri yang dilaksanakan dengan permainan yang cukup sederhana
dan menyenangkan namun tetap mengandung pendidikan.
2) Menanamkan rasa percaya pada diri sendiri, rasa cinta alam dan sesama
makhluk Tuhan, serta kegemaran hidup di luar rumah dengan baik dan
teratur melalui perkhemahan.
3) Memupuk rasa persahabatan, tanpa memandang asal-usul, darjat dan
tingkatan dalam masyarakat serta agama.
4) Menanamkan rasa patriotisme dengan memupuk rasa cinta pada tanah
air dan bangsa.
5) Menanamkan disiplin dan ketrampilan.
6) Mengutamakan kewajipan daripada hak.
7) Memupuk inisiatif.
Gagasan Baden Powell yang melahirkan Boys Scout Movement di seluruh
dunia mendapat respons dari para pemuda dan pemimpin-pemimpin Indonesia
yang tampak dari kelahiran organisasi kepanduan si sekolah dan di luar sekolah.
Pada tahun 1916 muncul organisasi kepanduan pertama yang didirikan oleh Sri
Paduka Mangkunegara VII di Surakarta. Lahirlah kemudian organisasi-organisasi
yang merupakan bahagian dari organisasi sosial dan organisasi politik.
Pada tahun 1908 lahirlah perkumpulan yang diberi nama Indische Vereniging
di Negeri Belanda yang diwujudkan oleh sejumlah mahasiswa Indonesia. Organisasi
ini pada awalnya dijadikan sebagai pusat kegiatan sosial-budaya, bersilaturahim
serta tukar-menukar berita dari tanah air ke Belanda. Sejak bulan Februari
1925 perkumpulan ini telah menjadi organisasi yang mengutamakan masalah-
masalah politik. Penggantian nama dari nama Indische Vereeniging (1908)
menjadi Indonesische Vereeniging (1922) serta terakhir menjadi Perhimpunan
Indonesia (1925) secara tersirat telah menunjukkan semangat perjuangan serta
solidaritas baru. Nama Perhimpunan Indonesia (PI) sebagai sebutan organisasi
serta “Indonesia Merdeka” sebagai nama majalah yang mereka terbitkan dapat
dilihat sebagai petunjuk bahawa organisasi dan para anggota PI telah mendahului
berbagai organisasi lain dalam menegaskan keindonesiaan dan kemerdekaan
sebagai tujuan pergerakannya. Ingleson (1988:2-3) menyatakan bahawa hal ini
juga merupakan hasil pengalaman hidup dan belajar di tengah-tengah masyarakat

294 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Belanda. Para anggota PI memperoleh pengalaman yang semakin luas dan


mengalami dampak tambahan sebagai akibat perpindahan mereka dari suatu
masyarakat kolonial yang restriktif serta paternalistis ke dalam masyarakat yang
lebih terbuka, tempat mereka untuk pertama kalinya dianggap sedarjat dengan
bangsa Eropah, baik di depan hukum, mahu pun dalam masyarakat.
Peran penting dan kepeloporan yang dilancarkan oleh para pemuda anggota
organisasi Perhimpunan Indonesia dengan demikian sangat erat terkait dengan
status mereka sebagai:
1) Mahasiswa atau kelompok terpelajar
2) Generasi muda yang sangat penuh dengan idealisme
3) Bekas eskponen berbagai organisasi di tanah air
4) Elite strategis yang mendapat berbagai perhatian di lingkungan sosio-
politik dan sosio-kultural di Eropah.
Keempat status inilah yang agaknya berkolerasi dengan watak organisasi dan
perjuangan Perhimpunan Indonesia yang cenderung lebih radikal, ingin serba
cepat namun hati-hati, serta menempatkan solidaritas nasional yang pluralistik
dan inklusivistik bukan yang primordialistik dan eksklusivistik sekaligus sebagai
cara dan tujuan perjuangan. Maka dalam hal ini bukan jumlah tetapi faktor
kualitaslah yang lebih menentukan. Buktinya, Ingleson (1988) mencatat jumlah
mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1942 adalah 673 orang,
sedang pada bulan Agustus 1927 diperkirakan jumlah totalnya adalah 109 orang
mahasiswa yang di antaranya (hanya) 20 orang mahasiswa yang menjadi anggota
Perhimpunan Indonesia. Faktor kualitas dan watak perjuangan yang cenderung
semakin militan dan radikal tentu sangat didukung oleh fakta bahawa sebahagian
berumur 20 tahun. Sekadar ilustrasi: Hatta berumur 19 tahun, Subardjo 22 tahun,
Budiarto berumur 24 tahun.
Pengalaman dan kesadaran sejarah mahasiswa Indonesia di Eropah,
dengan kategori, status, serta kualifikasi seperti telah dikemukakan inilah yang
menghasilkan tipe dan watak perjuangan mahasiswa yang cenderung semakin
radikal dan militan. Akan tetapi, radikalisme dan militansi itu tidaklah tanpa
pertimbangan rasional dan realitas. Kehati-hatian masih turut serta mewarnai
perjuangan para mahasiswa. Bahawa Perhimpunan Indonesia (PI) umpamanya
menganggap perjuangan melalui jalur organisasi resmi dengan melibatkan

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 295


JASAFAT

massa yang semakin banyak dan luas menunjukkan bukti akan sikap hati-hati,
realistik dan rasionalistik Perhimpunan Indonesia (PI). Tipe dan watak yang
cenderung radikal, militansi, sikap nasionalistik yang menegaskan kemerdekaan
sebagai tujuan, serta solusi komprehensif untuk mengatasi permasalahan yang
dihadapi oleh bangsa Indonesia, tercermin dalam Pernyataan Prinsip atau lebih
popular disebut Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia pada bulan Januari
1925. Oleh karena Manifesto Politik ini sangat penting kiranya perlu disebut
lebih rinci daripada yang telah disinggung di bagian awal makalah ini. Manifesto
Perhimpunan 1925 menyatakan dengan lugas dan tegas bahwa:
1. Hanya satu kesatuan Indonesia yang mengesampingkan perbedaan-
perbedaan sempit dapat menghancurkan kekuasaan penjajah. Tujuan
bersama untuk membentuk suatu Indonesia yang merdeka menuntut
pembinaan rasa kebangsaan yang didasarkan kepada suatu aksi massa
yang sadar dan percaya diri.
2. Syarat mutlak untuk tercapainya tujuan itu ialah adanya partisipasi
seluruh lapisan rakyat Indonesia dalam suatu perjuangan yang terpadu
untuk mencapai kemerdekaan.
3. Unsur yang pokok dan dominan dalam setiap masalah politik
penjajahan ialah konflik kepentingan antara penguasa dan yang dijajah.
Kecenderungan pihak penguasa untuk mengaburkan dan menutupi
masalah ini harus dilawan dengan mempertajam dan mempertegas
adanya konflik kepentingan tersebut.
4. Melihat adanya diskolasi dan demoralisasi sebagai akibat pengaruh
pemerintahan kolonial terhadap kesehatan fisis dan psikologis dari
kehidupan orang Indonesia, diperlukan sejumlah besar usaha untuk
memulihkan kondisi rohani dan kondisi material menjadi normal kembali
(Ingleson, 1988:6).
Keempat prinsip itu secara impisit pada umumnya diakui telah memuat
prinsip-prinsip dasar nasionalisme karena antara lain merumuskan dan
menegaskan:
1) kesatuan dan persatuan atau unity
2) kebebasan dan kemerdekaan (freedom),
3) kesamaan (equality).

296 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Ingleson (1988:5) menyebut bahawa keempat prinsip dalam Manifesto Politik


PI 1925 itu dapat disarikan menjadi:
1) kesatuan nasional
2) solidaritas
3) non-koperasi
4) swadaya.
Tidak jauh berbeda dari Ingleson, Sartono Kartodirdjo (1957:210-213) yang
dalam banyak kesempatan selalu menegaskan arti penting dan menentukan
prinsip-prinsip Manifesto Politik PI 1925, iaitu telah mengandung strategi
perjuangan berupa:
1) radikalisme
2) non-koperasi
3) otonomi atau swadaya
Penting untuk dicatat bahawa kesadaran sejarah PI menghasilkan agenda
dan aktivitas politik yang semakin aktual dan luas. Propaganda dan aksi – aksi PI
tidak lagi terbatas di negeri Belanda, tetapi meluas hingga ke tanah air. PI semakin
terlibat sebagai katalisator bagi suatu gerakan nasionalis yang baru dan terpadu di
Indonesia sejak tahun 1925. Ide-ide, diskusi-diskusi, serta propaganda PI, termasuk
kritik PI terhadap pemerintah, serta terutama gagasan atau tuntutan “Indonesia
Merdeka” diteruskan ke tanah air. PI menganjurkan bekas anggota-anggotanya
yang kembali ke tanah air untuk bergabung dengan berbagai organisasi dan
partai yang ada, lalu dari dalam meyakinkan organisasi dan partai-partai itu agar
menerima gagasan PI. Memang para anggota PI yakin bahawa tugas utamanya
adalah melancarkan propaganda nasionali ke seluruh Indonesia.
Pada bulan Jun 1925 Dewan Pengurus menunjuk Budiarto, Sartono, dan
Arnold Mononutu untuk menyiapkan dan menyebarkan propaganda PI di negeri
Belanda dan Indonesia. Majalah “Indonesia Merdeka” yang terbit 6 atau 7 kali
setahun dikirim dan diseludupkan dengan berbagai cara dan disebarluaskan
di Indonesia oleh wakil-wakil, bekas anggota, serta simpatisan PI. Sudjadi
merupakan penghubung dan simpatisan PI terpenting di Indonesia. Dia diberi
tugas mencari pelanggan serta mengatur distribusi “Indonesia Merdeka”, memberi
informasi tentang situasi politik di Indonesia kepada Dewan Pengurus PI
khususnya Hatta, dan menyebarkan gagasan-gagasan PI kepada organisasi serta

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 297


JASAFAT

parti politik di Indonesia. Hubungan erat dan korespondensi Sudjadi dengan


Hatta berperan penting dalam usaha PI untuk membentuk gerakan nasionalis
yang baru. Sudjadi bersama Iskaq berhasil mendekati dan mempengaruhi Budi
Utomo, para mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshoge school), serta para
mahasiswa kedokteran (STOVIA), serta mahasiswa dan para pemuda lainnya
terutama di Bandung dan Jakarta agar kelompok-kelompok pemuda-mahasiswa
itu menyesuaikan diri dengan perkembangan politik baru seperti dikehendaki
PI, membentuk partai politik baru yang lebih nasionalis dengan antara lain
meninggalkan organisasi pemuda Jong Java yang dianggap sudah tidak sesuai
dengan perkembangan politik (Ingleson, 1988:14-16; Suhartono, 1994:60-63).
Sejarah Pergerakan Nasional membuktikan bahawa kerjasama, konsensus,
serta kesamaan-kesamaan visi dan gagasan PI dengana berbagai aliran, partai
dan organisasi yang sudah dan yang baru akan dibentuk di belakang hari yang
semuanya bernafaskan patriotisme dan berideologi nasionalisme inilah yang
menjadi penentu berdirinya negara Republik Indonesia. Patriotisme dan ideologi
nasionalisme, baik sebagai hasil propaganda PI, maupun yang muncul spontan di
kalangan pemuda, mahasiswa serta kaum intelektual lainnya semakin meningkat
frekuensi dan intensitasnya memasuki dekade 1930-an dan 1940-an. Termasuk ke
dalam organisasi ini adalah berbagai Organisasi Pemuda, Kelompok-kelompok
Studi, Organisasi Buruh, Kepanduan, Wanita dan lain sebagainya.
Pemuda Sukarno dianggap paling sesuai mewakili semangat patriotisme dan
nasionalisme generasi muda Indonesia. Baginya martabat dan identitas diri sebagai
bangsa merdeka sangat penting. Dalam bahasa proklamator Indonesia lainnya,
Bung Hatta pernah mencoba menyiratkan ke dalam sanubari hati rakyatnya yang
masih beku dan dingin akan bara semangat kebangsaan. Ia mengutip pandangan
Prof. Kranenburg dalam Het Nederlandsch Staatsrech, “Bangsa merupakan
keinsafan, sebagai suatu persekutuan yang tersusun jadi satu, yaitu keinsafan
yang terbit karena percaya atas persamaan nasib dan tujuan. Keinsafan tujuan
bertambah besar karena sama seperuntungan, malang yang sama diderita, mujur
yang sama didapat oleh karena jasa bersama. Pendeknya oleh karena peringatan
kepada riwayat (sejarah) bersama yang tertanam dalam hati dan otak” (Hatta,
1953: 63).

298 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Kepanduan Sebagai Institusi Pendidikan Kewarganegaraan


Hasrat untuk bersatu melahirkan Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober
1928 di Jakarta yang menghasilkan tekad persatuan bangsa Indonesia melalui
Sumpah Pemuda, mengaku Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Indonesia. Saat
itu bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu dipakai cukup umum dalam
pertemuan-pertemuan resmi. Pilihan ini merupakan sebuah dorongan yang cukup
revolusioner, karena berarti tidak memilih menggunakan bahasa Jawa, bahasa
dengan penutur yang paling banyak dalam wilayah Hindia Belanda sebagai bahasa
pemersatu. Pilihan ini pun dianggap cukup demokratis, karena gramatika bahasa
Jawa in extenso cukup problematis dengan struktur bahasa bertingkat. Berpikir
memakai bahasa Jawa sebagai bahasa nasional bererti menginginkan langgengnya
struktur feodalisme dan memaksa masyarakat terpecah lebih awal. Sebagai
diketahui feodalisme berkesesuaian jalan dengan politik etis penjajah, divide et
impera, “pecah dan kuasai”. Penjajah tentu berfikiran untuk tidak membiarkan
masyarakat jajahan bersatu ide, karena persatuan berarti pengumpulan energi
yang cukup besar dayanya dan sulit dikalahkan.
Bung Karno mengatakan, ”Berikan aku sepuluh pemuda, bukan seribu
generasi tua untuk menggoncangkan dunia (Adams, t.t.).” Itulah salah satu
Falsafah Bung Karno. Falsafah tersebut mengandung arti bahwa pemuda adalah
sosok individu yang kuat, gesit, tahan uji, dan memiliki semangat menggelora. Di
tangan pemuda tangguh negara pun bakal kuat. Sebaliknya, bilamana generasi
muda lemah negara pun bakal rapuh. Oleh karenanya, pendidikan dan pembinaan
generasi muda amatlah strategis. Karena di tangan generasi mudalah kelangsungan
negara dipertaruhkan.
Sarekat Islam mendirikan Sarekat Islam Afdeeling Pandu (SIAP). Pada
tahun 1918 Muhammadiyah mendirikan organisasi kepanduan yang diberi nama
Kepanduan (HW) atau Pembela Tanah Air, yang bermakna mendidik generasi
muda untuk berjuang membela tanah airnya. Budi Utomo membentuk Nationale
Padvinderij, Jong Java mendirikan Jong Java Padvinderij (JJP), Jong Islamieten
Bond membentuk Nationale Islamietische Padvinderij (Natipij), Pemuda
Indonesia mendirikan Indonesiscge Padvinders Organisatie (INPO) dan Jong
Sumatra membentuk Pandu Pemuda Sumatra (PPS).
Kepanduan Jong Java dan Jong Sumatra melakukan fusi awal pada awal tahun

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 299


JASAFAT

1931 dengan nama Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang berfaham kebangsaan
dan diekspresikan dengan kacu dan kain leher dan panji-panji berwarma merah
putih. Pada tahun 1931 dengan Partai Nasional Indonesia di Malang mendirikan
Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI), Partai Indonesia Raya mendirikan Surya
Wiratama, Nahdatul Ulama mendirikan Anshor dan Persatuan Arab Indonesia
mendirikan Al-Irsyad. Muhammadiyah mendirikan kepanduan. Istilah Pandu
diusulkan oleh H. Agus Salim sebagai ganti kata Padvinder dan kepanduan sebagai
ganti Padvinderij (Mertoprawiro, 1992:22).
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi
Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Alquran dan Sunnah, didirikan
oleh K.H.A. Dahlan pada 8 Zulhijjah 1330 Hijrah bertepatan dengan 18 November
1912 Miladiyah di Kota Yogyakarta. Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah oleh
K.H. Ahmad Dahlan dengan maksud untuk dapat mencontoh dan mempelajari
jejak perjuangan Rasulullah dalam menegakkan dan menyanjung tinggi agama
Islam, demi terwujudnya kejayaan dan kemuliaan hidup umat Islam.
Dalam menggerakkan aktivitas dan program kerjanya Muhammadiyah telah
mewujudkan beberapa badan atau organisasi yang bersifat otonomi, seperti:
1. Aisyiyah (bergerak di kalangan perempuan dan ibu-ibu)
2. Pemuda Muhammadiyah (bergerak di kalangan pemuda)
3. Nasyiatul Aisyiyah (bergerak di kalangan perempuan-perempuan muda)
4. Ikatan Remaja Muhammadiyah (bergerak di kalangan pelajar dan remaja)
5. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (bergerak di kalangan mahasiswa)
6. Tapak Suci Putra Muhammadiyah (bergerak dalam aktivitas
mempertahankan diri)
7. Hisbul Watan (bergerak dalam aktivitas kepanduan / Pengakap).
Hisbul Watan Sebagai organisasi kepanduan yang telah berdiri sejak 1918
dengan yang aktivitasnya mengutamakan semangat perjuangan. Kepanduan
merupakan organisasi autonomi Muhammadiyah sebagai kelompok pembela
tanah air dan lebih berorientasi untuk menyatukan tekad dan semangat juang
angkatan muda. Gerakan Kepanduan Kepanduan berstatus Organisasi otonomi
dari perserikatan Muhammadiyah sesuai dengan Surat Keputusan Pimpinan
Pusat Muhammadiyah No. 92/SK-PP/VI-B/I.b/1999, bertarikh 10 Sya'ban 1420 H
atau pada 18 hari bulan November 1999 M.

300 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Jalan perjuangan yang sangat konsisten pun diperlihatkan oleh Muhammadiyah


(1912) yang didirikan oleh K. H Ahmad Dahlan. Muhammadiyah dengan
motto perberdayaan umat di segala bidang untuk melakukan kegiatan intensif
memperbaiki aspek pendidikan, rumah sakit dan panti-panti sosial. Pada tahun
1925, Muhammadiyah yang hanya beranggotakan 4000 orang saja telah mampu
mendirikan lima puluh lima sekolah dengan 4000 orang pelajar, balai pengobatan
di Yogyakarta, Solo dan Surabaya sebuah panti asuhan, dan sebuah rumah miskin.
Sesaat setelah mengalami persentuhan dengan dunia Islam di Minangkabau
(Sumatera Barat) organisasi ini berkembang pesat di Sumatera.
Melihat sejarahnya sejak berdiri hingga tahun 1961 organisasi kepanduan ini
berstatus sebagai majlis yang dilindungi oleh persyarikatan. Tahun 1961 hingga
1999 peranannya menjadi ‘terkubur’ menyusul meleburnya Kepanduan bersama
sebarisan organisasi kepanduan yang lain di tanah air dalam gerakan kepanduan
nasional bernama Pramuka, sebagaimana tercantum di dalam Keputusan Presiden
No. 238 tahun 1961. Sejak itu Kepanduan tidak lagi ada, meski secara organisasi
tidak pernah bubar atau dibubarkan (Rahajendra, t.t: 38). 
Munculnya zaman reformasi pada tahun 1999 yang dipelopori oleh M Amien
Rais, bekas Ketua Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, telah melahirkan
keinginan untuk membangkitkan kembali Kepanduan. Dasar pemikirannya
adalah, sejak Kepanduan bergabung dalam gerakan Pramuka, Muhammadiyah
telah kehilangan salah satu kekuatan yang cukup handal dalam membina generasi
penerus yang kelak di kemudian hari diharapkan menjadi pemimpin umat
maupun bangsa (Kedaulatan Rakyat, 30 Desember 2005).
Seperti diketahui, dari wadah Kepanduan telah ramai melahirkan tokoh
bangsa Indonesia, mereka bukan hanya tokoh Muhammadiyah, tetapi juga
negarawan. Di antara mereka adalah Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman,
Letjen TNI Sarbini, Mulyadi Djojomartono, serta mantan Presiden Soeharto,
Daryatmo (bekas Ketua Parlemen), Faisal Tanjung (bekas Menteri Politik dan
Keamanan), dan Hari Subarno (Sukriyanto, 2000: 153).
Kepanduan, aktif dalam pendidikan kepanduan (Boy Scout) putera dan puteri.
Ia juga dijadikan sebagai gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar,
beraqidah Islam yang bersumber kepada Alquran, dan As-Sunnah. Organisasi ini
pada awal ditubuhkannya bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil makmur

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 301


JASAFAT

yang diredhai oleh Allah Swt. dengan jalan menegakkan dan menjunjung tinggi
agama Islam melalui jalur pendidikan pengakap. Dijelaskan bahwa Kepanduan
adalah suatu sistem pendidikan pengakap dan pembinaan watak bagi remaja putera
dan puteri Muhammadiyah di luar lingkungan keluarga dan diluar lingkungan
sekolah. Kepanduan berfungsi sebagai institusi pembinaan dan pengembangan
putera dan puteri Muhammadiyah dengan menetapkan prinsip dasar pengakap
dalam perwujudan ciri dan Jati diri Kepanduan, yang pelaksanaannya disesuaikan
dengan kepentingan dan perkembangan bangsa serta masyarakat Indonesia
(Sutrisno, t.t:22).
Dalam perkembangannya, Kepanduan memiliki visi dan misi yang jelas.
Visi gerakan kepanduan adalah mewujudkan anak, remaja, pemuda yang
berkualitas di lingkungan  umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah yang
selalu diperlukan, dihormati dan dicintai anak didik, orang tua/keluarga serta
masyarakat. Sedangkan yang tergabung di dalam organisasi ini adalah berbagai
organisasi pemuda, kelompok-kelompok studi, organisasi buruh, kepanduan,
wanita dan lain sebagainya (Ingleson, 1988; Suhartono, 1994).
Sedangkan misi pengakap adalah mempersiapkan generasi penerus bangsa
dan generasi penerus Muhammadiyah yang :
1. Memiliki keperibadian dan kepemimpinan Islami
2. Berdisiplin yaitu: berfikir, bersikap dan bertingkah laku tertib
3. Sihat dan kuat mental, moral dan fizikalnya
4. Berkemampuan untuk berkarya dengan semangat kemandirian, berfikir
kreatif, inovatif, dapat dipercayai, berani dan mampu menghadapi
berbagai jenis tugas
5. Memiliki rasa kebersamaan yang tinggi, dan percaya pada diri sendiri.
Untuk mencapai maksud dan tujuan kepanduan tersebut, maka dilaksanakan
usaha-usaha seperti berikut:
1. Meningkatkan pendidikan angkatan muda putera dan puteri menurut
ajaran Islam.
2. Mendidik angkatan muda agar menjadi manusia muslim yang berakhlak
mulia, berbudi luhur serta sehat jasmani dan rohaninya
3. Mendidik angkatan muda agar menjadi generasi yang taat beragama,
berorganisasi, cerdas dan kreatif.

302 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

4. Mendidik generasi muda agar senang beramal, amar ma’ruf nahi munkar
dan berlomba dalam melakukan kebaikan.
5. Meningkatkan dan memajukan pendidikan dan pengajaran, kebudayaan
serta memperluas ilmu sesuai dengan ajaran Islam.
6. Membentuk akhlak dan kepribadian sebagai penerus pimpinan dan
penerus amal usaha Muhammadiyah.
7. Memperkuat kersatuan dan persatuan, penanaman rasa demokrasi serta
ukhwah, sehingga berguna bagi agama dan bangsa.
8. Melaksanakan kegiatan lain yang sesuai dengan tujuan organisasi.
Sebagai gerakan kepanduan yang aktif, secara internal mahupun eksternal
tentunya Kepanduan menghadapi berbagai cabaran terutama dalam usaha
mengembangkan dirinya. Dapat dipastikan di antara cabaran dalaman ialah
terputusnya hubungan generasi penerus selama kurang lebih 40 tahun, sehingga
mengalami kekurangan tenaga pimpinan dan pelatih yang berpengalaman.
Sedang cabaran luaran dapat dipastikan antara lain, adanya pihak-pihak tertentu
mahupun Gerakan Pramuka (Pengakap) yang menghambat pemunculan kembali
Kepanduan dengan berselindung di balik Keputusan Presiden No 238/1961 yang
masih dan tetap berlaku.
Namun dengan mengingat Muhammadiyah memiliki ribuan sekolah mulai
sekolah rendah sampai perguruan tinggi sebagai peserta didik Kepanduan
diharapkan dalam waktu dekat akan ramai muncul generasi penerus. Keyakinan
yang demikian tentu didasarkan pada pengalaman di masa lalu, bahawa sekolah-
sekolah Muhammadiyah merupakan sarana untuk melahirkan generasi penerus
yang handal dalam persyarikatan Muhammadiyah.
Soedarsono Mertoprawiro (1992) selaku pengamat masalah kepanduan di
Indonesia mengemukakan mengenai peranan kepanduan di zaman kolonial.
Selain merupakan tempat pendidikan untuk meresapkan semua
cita-cita dan rasa luhur ke arah persaudaraan dan persahabatan,
menanamkan disiplin dan menambah kecakapan dan ketrampilan
fisik, organisasi-organisasi kepanduan tersebut juga dijadikan tempat
latihan oleh calon-calon pemimpin untuk mencapai kemerdekaan.
Beberapa prinsip yang diterapkan dalam kegiatan kepanduan, yaitu:
1. Mengandungi unsur-unsur edukatif

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 303


JASAFAT

2. Mengajarkan hidup sederhana dan sikap mandiri


3. Prinsip kehormatan dan sistem tanda kecakapan
4. Penerapan sistem among.
5. Semangat kemandirian
6. Berani, dan merasa mampu menghadapi berbagai macam tantangan
7. Optimis menghadapi masa depan.
8. Memiliki kepedulian tinggi terhadap diri sendiri, masyarakat, bangsa dan
tanah air.
Bila ditelaah secara seksama, maka kegiatan kepramukaan mempunyai
pengaruh signifikan terhadap pengembangan minat dan bakat serta pembentukan
karakter seorang individu. Selain itu kepanduan bertujuan untuk :
1) Memberikan pelajaran, permainan dan kecakapan pandu.
2) Memperluas perasaan, pikiran dan tabiat serta memajukan kesehatan
badan.
3) Olahraga yang bebas dari paksaan.
4) Mengatur kecakapan-kecakapan, menurut panggilan zaman, agar pemuda
dapat mengerti dan menerima panggilan zaman.
5) Mendidik pemuda menjadi manusia yang berbudi baik, yang sanggup
bekerja untuk rakyat dan tanah airnya dan untuk dunia pada umumnya.

Kesimpulan
Metode pendidikan kepanduan yang disesuaikan dengan kelompok umur
pada hakikatnya merupakan pola pembinaan generasi muda secara berjenjang dan
berkesinambungan untuk menghasilkan produk berkualitas. Untuk pembinaan
kelompok mulai usia siaga (7-10 tahun), unsur-unsur yang dikedepankan adalah
mendidik cara keluarga yaitu dengan kasih sayang dan penuh kegembiraan.
Pada usia dewasa (21-25 tahun), pola pembinaan diarahkan pada situasi di mana
anggotanya diperkenalkan konteks kehidupan masyarakat.
Aktivitas kepanduan turut membentuk karakter dan berkepribadian yang
tangguh, karena materi-materi latihan di lapangan memerlukan konsentrasi,
kecakapan, keuletan, dan kondisi fisik yang prima. Mereka juga dihadapkan
kepada berbagai situasi dan kondisi, medan dan cuaca berubah, halangan maupun
tantangan lainnya sebagai bentuk tempaan bersifat fisik, serta mental.

304 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Dalam aktivitas kepanduan, unsur edukatif dikembangkan. Kegiatan


mengemas dan mengikuti seminar, perkemahan, renungan suci, mengandungi
nilai-nilai positif seperti belajar berorganisasi, memupuk semangat gotong royong,
menambah wawasan, melatih kepemimpinan dan memiliki rasa tanggung jawab.
Anggotanya memiliki kelapangan dalam berkreasi, berinspirasi, dan berimajinasi
untuk dituangkan dalam kegiatan-kegiatan kepanduan yang pada dasarnya
pengembangan potensi diri anggota. Tidak sedikit pengetahuan, pengalaman, dan
keterampilan yang diperolehi dari kegiatan tersebut yang berguna saat terjun ke
dalam masyarakat kelak.
Banyak sekali manfaat positif yang dapat diraih dari kegiatan kepanduan.
Karenanya, revitalisasi terhadap gerakan kepanduan sangat penting. Bagaimanapun
gerakan kepanduan merupakan salah satu wadah persemaian tunas-tunas generasi
bangsa untuk dibina sehingga menghasilkan generasi yang berkepribadian,
berwatak dan berbudi pekerti luhur, beriman dan bertakwa, cerdas dan terampil,
serta kuat dan sehat.
Gerakan kepanduan juga menyiapkan kaum muda Indonesia untuk
mengembangkan mental, moral, spiritual, emosional, sosio-intelektual, dan fisik
yang kuat sehingga diperoleh generasi unggul yang berkonstribusi besar bagi
kemajuan bangsa ini. Jadi jelaslah siapa yang menanam, lalu merawat dengan
optimal dialah yang berhak menuai hasilnya.
Dari penjelasan tersebut di atas, maka jelas bahwa Kepanduan merupakan
kumpulan generasi muda sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan
sumber insani bagi pembangunan nasional yang pengembangannya diarahkan
manjadi kader penerus perjuangan bangsa dan manusia pembangunan. Program
pembinaan dan pengembangannya dilakukan secara nasional, menyeluruh dan
terpadu serta dimulai sejak awal dan mencakup tahap-tahap pertumbuhan sebagai
anak, remaja dan pemuda yang merupakan tanggungjawab bersama antara orang
tua, keluarga, masyarakat, lingkungan pemuda dan pemerintah serta ditujukan
untuk meningkatkan kualitas generasi muda.
Dengan demikian maka jelas bahwa Kepanduan bertujuan Memantapkan
persatuan dan kesatuan bangsa sesuai dengan jiwa dan semangat Sumpah Pemuda
tahun 1928 dalam rangka pembangunan bangsa dan keperibadian nasional selain
berusaha untuk mewujudkan kader-kader penerus perjuangan bangsa yang

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 305


JASAFAT

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.


Kepanduan merupakan salah satu lembaga non formal yang melahirkan
kader-kader pembangunan nasional dan angkatan kerja yang berbudi luhur
dinamis dan kreatif berilmu dan berketrampilan bersemangat kepeloporan dan
berjiwa kerakyatan serta menciptakan warga negara yang memiliki kreativitas
kebudayaan nasional maju tetapi tetap bercirikan dan bercorak keperibadian
bangsa di masa depan.
Untuk mencapai semua itu, baik pemerintah maupun organisasi politik dan
kemasyarakatan memberi dukungan sepenuhnya dalam pengembangan generasi
muda khasnya Kepanduan sehingga lahir generasi yang Taqwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menanamkan dan menumbuhkan kesedaran berbangsa dan bernegara,
mempertebal idealisme, patriotisme, dan harga diri, memperluas wawasan ke masa
depan, memperkukuh keperibadian dan disiplin, mempertinggi budi pekerti,
memupuk kesegaran jasmani dan daya kreasi, mengembangkan kemandiran,
kepimpinan, ilmu, ketrampilan, semangat kerja keras dan kepeloporan serta
mendorong partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta dalam
pembangunan nasional.

306 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Daftar Pustaka
Adams, Cindy. (t.t.). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (terj.). Jakarta:
Gunung Agung.

Anderson, Benedict. (2001). Imagined Community, Komunitas-komunitas


Terbayang, (terj.). Yogyakarta: Pusaka Pelajar.

Anhar Gonggong (2002, 13 April). Indonesia Baru: Perspektif Politik dan Sejarah,
makalah untuk Kongres Prodem, Jakarta.�

Castle, James. (2002). Menuju Indonesia Baru, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Hardjito. (1952). Risalah Gerakan Pemuda. Jakarta: “Pusaka Antara”.

Hasan a1-Banna, (t.t), Muzakkirât al-Da'wah wa al-Da'iyah, Cet. III. Beirut:


Maktab al-Islam.

Hatta, Muhamad. (1953). Kumpulan Karangan I. Jakarta: Bulan Bintang.

Hobsbawn, E.J. (1992). Nasionalisme Menjelang Abad XXI, (terj.) Yogyakarta:


Tiara Wacana Yogya.

Imarah, Muhammad. (t.t.). Al-A‘māl al-Kāmilah li Al-Imām Muhammad Abduh,


vol 1.

Ingleson, J. (1988). Jalan ke Pengasingan: Pergerakan Nasionalis Indonesia 1927-


1934 (terj.). Jakarta: LI3ES.

Koran Ikhwan al-Muslimin, Tahun II. No. 42

Koran Kedaulatan Rakyat, Pandu HW Meraih Kembali Eksistensinya, Jum’at


Desember 2005.

Koran, Kedaulatan Rakyat, Pandu HW Meraih Kembali Eksistensinya.

Lampiran II Keputusan Kwarnas Gerakan Pramuka No. 137 Tahun 1987


tentang Gugus Depan, gerakan Pramuka merupakan salah satu wadah
dan usaha pembinaan generasi muda yang berusia 7 sampai 25 tahun
dengan menggunakan pendidikan kepramukaan yang pelaksanaannya
sesuaikan dengan keadaan, kepentingan, dan perkembangan bangsa, serta
masyarakat Indonesia.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 307


JASAFAT

Larson, G.D. (1990). Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta, 1912 – 1942 (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Legge, J.D. (1972). Sukarno A Political Biography. Bungay, Suffolk: Penguin Books.

M. Syauqi Zaki, Al-Ikhwan wa Al-Mujtama‘ al-Misri.

Mahmud Abdul Halim, Ahdath Shana‘a al-Tarikh, Vol. I

Majlis Pemuda, Boekoe Peratoeran Hizboel Watan Dengan Diberi Tuntunan


Sekedar.

Merle C. Ricklefs, “A History of Modern Indonesia”, London and Basingstoke: The


Macmillan Press Ltd, 1928.�

Mertoprawiro, Soedarsono. (1992). Pembinaan Gerakan Pramuka dalam


Membangun Watak dan Bangsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Michel, Ricard. (t.t.). Idiulijia Jama’ah Al-Ikhwan al-Muslimin.

Moedjanto, G. (1994).“Indische Partij Berjuang untuk Kemerdekaan: Bagaimana


Menjelaskannya?”. Makalah Seminar Regional. Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma.

Mrazek, Rudolf. (1996). Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (terj.)


Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Muhsin Muhammad. (1987). Man Qatala Hasan Al-Bannā?. Cet. pertama. Kairo:
Dar Al-Syuruq

Nagazumi, Akira. (1988). Pemberontakan Indonesia di Masa Pendudukan Jepang


(terj.). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Nasikun. (1996). “Pembangunan dan Dinamika Integrasi Nasional dalam


Masyarakat Majemuk”, dalam Nasionalisme. Refleksi Kritis Kaum Ilmuwan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.�

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majlis Kepanduan, Tuntutan Hizboel Wata

Ricklefs, M.C. (1992). Sejarah Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Salabi, Rauf. (t.t.). Syeikh Hasan al-Banna wa Madrasatuh (al-Ikhwan al-Muslimun)

Sartono Kartodirdjo. (1957).“Periodisasi Sejarah Indonesia”, Makalah Seminar

308 At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


KEPANDUAN SEBAGAI WADAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Sejarah Nasional I. Yogyakarta: Panitia Seminar Sejarah.

Sartono Kartodirdjo. (1993). Pembangunan Bangsa: Tentang Nasionalisme


Indonesia dan Kesadaran dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya
Media.

Sartono Kartodirdjo. (1992). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan


Nasional, Dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, Jilid 2. Yogyakarta:
Gramedia Pustaka Utama.

Sartono Kartodirdjo. (1966). “Makna Manifesto Politik 1925 dan Sumpah Pemuda
1928 dalam Pembangunan Bangsa”, Ceramah Ilmiah: Memperingati Hari
Sumpah Pemuda Yogyakarta: Akademi Ilmu Pengetahuan Yogyakarta.

Shalih Abu Raqiq, Komentar terhadap Richard Mchell

Soejono, Martosewojo, et al. (1984). Mahasiswa ’45 Prapatan – 10: Pengabdiannya


1. Bandung: Penerbit Patma.

Sukriyanto, Profil Muhammadiyah 2000,

Surat Kabar al-Ikhwanul Muslimun. Tahun II. No. 42. 23 Zul Hijjah 1353/28 Maret
1935

Suryo, Djoko. (1998). “Masyarakat Indonesia Dalam Dinamika Sejarah:


Kesinambungan dan Perubahan”, Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Suti Rahajendra, Perkembangan dan Peranan Kepanduan, Yogyakarta

Sutrisno, Sekitar Gerakan Kepanduan Kepanduan, (tesis)

Suwarno. (1994). Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Budi Utomo sampai


Proklamasi 1908 – 1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Taufik Abdullah. (1994).“Ilmu Sejarah dan Panggilan Tugas Sejarawan”, makalah


Mukernas Sejarah XII. Medan: Panitia Mukernas Sejarah XII USU.

Taufik Abdullah. (1995).“Pengalaman Kesadaran dan Sejarah”, Pidato Pengukuhan


Guru Besar UGM. Yogyakarta: UGM.

Wertheim, W.F. (1956). Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change,


Bandung: Sumur Bandung.

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam 309


Pedoman Penulisan
Artikel Jurnal AT-TA’DIB

Jurnal At-Ta’dib merupakan sebuah berkala ilmiah dalam bidang keguruan


dan pendidikan dengan penekanan pada pendidikan Islam. Jurnal ini menerima
semua artikel yang berhubungan dengan dunia pendidikan. Editor dan pembaca
ahli jurnal ini berasal dari berbagai kalangan dengan berbagai latar belakang.
Berikut ini pedoman dan format penulisan artikel untuk Jurnal At-Ta’dib:
i. Redaksi menerima artikel yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris. Tulisan yang belum memenuhi syarat akan dikembalikan untuk
direvisi oleh penulisnya disertai dengan penjelasan dari Tim Editor.Ada dua
kategori dasar artikel yang diterima:
1) Artikel riset penuh, yang melaporkan suatu riset menarik dan relevan.
Dalam bagian diskusi supaya dilaporkan bahwa temuan-temuan riset
memiliki relevansi yang tinggi dan memberikan kontribusi yang baru
terhadap bidang pendidikan baik pada tingkat lokal, nasional, maupun
internasional.
2) Artikel non riset yang memberikan laporan rinci yang berhubungan
dengan aspek-aspek pendidikan misalnya perencanaan kurikulum atau
pendidikan dalam perspektif Islam. Diskusi yang dilakukan dalam artikel
tersebut sangat baik sehingga dianggap memberikan kontribusi orisinil
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL AT-TA’DIB

dalam bidang pendidikan. Sedang artikel yang hanya bersifat tinjauan


literatur tidak dapat diterima, kecuali artikel tersebut merupakan “suatu
karya seni” yang disusun secara komprehensif oleh seorang ahli yang
sudah berpengalaman.
ii. Ketika menyerahkan artikel supaya dinyatakan apakah merupakan artikel
riset penuh atau artikel non riset. Apabila artikel non riset, diharapkan
penulis memberikan penjelasan sekitar satu paragraf mengenai relevansi
artikel tersebut untuk para pembaca Jurnal At-Ta’dib.
iii. Para penulis artikel untuk Jurnal At-Ta’dib harus mengikuti standar
internasional dalam penulisan dengan menggunakan sistem referensi
American Psychological Association (APA) Edisi ke-6. Informasi lebih lanjut
mengenai format dan sistem APA bisa didapatkan di http://www.apastyle.
org/
iv. Artikel dapat dikirimkan ke: syamsuarzikriati@yahoo.com
v. Artikel ditulis dalam format MS Word (Microsoft Word Office) atau Rich
Text Format (rtf).
vi. Huruf menggunakan Times New Roman ukuran 12. Untuk sub-judul: Times
New Roman ukuran 12 ditebalkan. Spasi menggunakan jarak 1.5.
vii. Catatan kaki tidak dibenarkan dalam artikel tetapi diletakkan di akhir artikel.
viii. Untuk referensi menggunakan gaya APA (American Psychological
Association) dalam hal penulisan sub-judul, pengutipan, daftar pustaka dan
penulisan referensi dalam teks. Untuk kutipan dari internet harus diberikan
perhatian khusus dengan menyertakan tanggal akses.
ix. Informasi lebih lanjut mengenai format APA dapat diakses di http://www.
apastyle.org/aboutstyle.html Pengutipan APA: http://www.liu.edu/cwis/
CWP/library/workshop/citapa.htm Workshop tentang APA: http://owl.
english.purdue.edu/workshops/hypertext/apa/index.html
x. Kata kunci. Semua artikel harus menyertakan sekitar 2-4 kata kunci di bagian
awal tulisan untuk memudahkan pencarian artikel dengan menggunakan
kata kunci di masa mendatang.
xi. Grafik dan bagan dapat disisipkan pada badan tulisan atau dimasukkan di
akhir tulisan. Grafik tidak boleh melebihi margin kertas A4.
xii. Antara satu paragraf dengan paragraph selanjutnya dibuat dua spasi. Paragraf

At-Ta'dib | Volume I. No. 3, Desember 2009 - Maret 2010


PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL AT-TA’DIB

baru diberikan tiga ketukan menggunakan “space bar” kecuali paragraf


setelah sub judul, pengutipan, contoh, gambar, bagan atau tabel. Jangan
menggunakan “tab key”.
xiii. Format teks dalam bentuk italic, bold dan lain-lain dibuat seminimal mungkin.
xiv. Setiap artikel harus disertai oleh abstrak yang berisi ringkasan informasi poin-
poin penting dalam artikel, yang mencakup tujuan penulisan artikel, kerangka
teoritis, metodologi, jenis data yang dianalisis, informasi tentang subjek
penelitian, temuan utama, dan kesimpulan. Abstrak harus merefleksikan
keseluruhan artikel.
Dalam pengiriman artikel harap disertakan data berikut:
Nama
Institusi
Alamat
E-mail
Telepon
Biodata singkat mengenai riwayat keahlian professional
Kualifikasi
Pertanyaan lebih lanjut mengenai panduan penulisan dapat ditanyakan via
E-mail pada Ketua Dewan Editor: muliadikurdi@yahoo.co.id

Jurnal Ilmiah Prodi Pendidikan Agama Islam


AT-TA’DIB adalah jurnal Prodi Pendidikan Agama Islam memuat
keanekaragaman perspektif tentang pendidikan Islam. Jurnal ini diterbitkan
oleh Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Teungku Dirundeng Meulaboh
bekerjasama dengan Lembaga Kajian Agama dan Sosial (LKAS) Banda Aceh.

Redaksi mengundang para penulis, peneliti dan pemerhati pendidikan Islam


agar dapat memberikan kontribusinya dalam bentuk tulisan ilmiah.

Tulisan dapat dikirim ke alamat redaksi :


Jalan Teuku Umar Komplek Masjid Nurul Huda,
Meulaboh-Aceh Barat
No. 100 Telp: 0655-7551591;
Fax: 0655-7551591
Website: www.staidirundeng.ac.id

You might also like