Professional Documents
Culture Documents
Hak cipta :
KATA PENGANTAR
“Seluruh tulisan pada modul ini
merupakan milik dari Pusdiklat
Pajak – BPPK, hasil tulisan dari Tujuan yang ingin dicapai
Widyaiswara Pusdiklat Pajak, dari Diklat Teknis Substantif Dasar
Fauzi Malik.” Pajak II, adalah untuk menyiapkan
“Modul ini dapat digunakan karyawan baru dilingkungan
dalam rangka proses
Direktorat Jenderal Pajak yang
pembelajaran, dengan tetap
mencantumkan penulis dan berasal dari penerimaan Sarjana Baru
pemilik sah dokumen ini. oleh Departemen Keuangan tahun
Dilarang mengunakan sebagian 2008 yang lalu, menguasai tugas
atau seluruh isi dari modul ini bidang perpajakan.
untuk kepentingan komersial. “
Salah satu kompetensinya
adalah memahami dan menguasai
secara teknis dan administratif ketentuan formal dan material yang berkaitan dengan
Pajak Penghasilan.
Guna menunjang sasaran tersebut dipandang perlu untuk memberikan
pemahaman dan pengertian Pajak Penghasilan, dalam bentuk modul kepada peserta
Diklat dimaksud. Modul ini disusun sesuai dengan perkembangan terakhir dari Pajak
Penghasilan, berupa Perubahan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak
Penghasilan, melalui perubahan keempat yakni Undang-undang No. 36 Tahun 2008,
dari UU No. 7 Tahun 1983. Agar peserta mengetahui anatomi dari UU PPh. yang
terkhir ini, penyajian modul ini dimulai dari sejarah keberadaan Pajak Penghasilan di
Indonesia, sampai dilakukannya Reformasi dibidang perpajakan diawal tahun 1980-an,
terakhir penyempurnaan seperti di singgung diatas, agar didapatkan gambaran yang
utuh tentang Pajak Penghasilan.
Kami menyadari mungkin penyusunan modul Pajak Penghasilan ini, masih perlu
disempurnakan salah satunya. Sampai saat penyusunan modul ini, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktorat Jederal Pajak yang
berkaitan dengan pelaksanaan UU No. 36 Tahun 2008, belum lengkap diterbitkan.
Akhirnya kepada pembaca kami ucapkan terima kasih atas perhatiannya.
Jakarta, 5 Januari 2009.
Penyusun,
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar
Daftar isi
i
Riwayat Singkat dari PPh. di Indonesia, Subjek Pajak dan
Bukan Subjek Pajak.
1. Pendahuluan 1
1.1. Deskripsi singkat. 1
1.2. Tujuan Instruksional Umum 1
1.3. Tujuan Instruksional Khusus 1
2. Kegiatan Belajar 1, Riwayat singkat PPh di Indonesia
4. Kegiatan Belajar 3
Objek dan Non Objek Pajak pada PPh. 18
4.1. Uraian, dan Contoh 18
4.1.1. Pengertian Penghasilan 18
4.1.2. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak 24
4.2. Latihan 30
4.3. Rangkuman 30
5. Kegiatan Belajar 4
Jenis-jenis Penghasilan yang dikenakan Pajak 33
bersifat Final junto Psl 4 ayat (2) 33
5.1. Uraian, dan penjelasan 36
5.2. Latihan 36
5.3. Rangkuman 36
6. Kegiatan belajar 5
6.1. Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) 37
6.2. Latihan 39
6.3. Rangkuman 39
7. Test Formatif
7.1. Pilih salah satu jawaban yang paling tepat 41
7.2. Pilihan B (BETUL), atau S (Salah) 43
9. Umpan Balik 44
1. PENDAHULUAN.
2. KEGIATAN BELAJAR 1.
Pajak Perseroan yang diatur melalui ordonansi PPs. 1925, juga merupakan
produk hukum buatan Belanda jauh sebelum kemerdekaan berakhir
dilaksanakan 31 Desember 1983. Guna mengikuti perkembangan zaman dan
situasi, terhadap ordonansi PPs. ini sering dilakukan perubahan dan
penyempurnaan disana sini, dimana perubahan terakhir dan mendasar
adalah melalui UU No.8 Tahun 1970, Tentang Perubahan & Penyempurnaan
Ordonansi PPs. 1925, yang antara lain berisi ketentuan-ketentuan mengenai
2.1.3. Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalty (PBDR)-UU PBDR 1970.
2.1.4. Menghitung Pajak Sendiri (MPS), dan Menghitung Pajak Orang lain
(MPO)
Sistem ini diintrodusir melalui UU No. 8 Tahun 1967, juncto PP No. 11 Thn
1967. MPS-MPO merupakan tatacara (sistem) dari pelaksanaan pemenuhan
Dengan dilandasi serta latar belakang yang disebut diatas maka lahirlah :
1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, Tentang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan atau disingkat KUP.
2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, Tentang Pajak Penghasilan (PPh).
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1984, Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN-
PPn.BM).
2.2. Latihan 1.
a. Jelaskan jenis pajak apa yang diatur dengan Ordonansi PPd. 1944. dan
bagaimana pengaturannya setelah dilakukannya tax-reform
b. Ordonansi PPs. 1925 mengatur jenis pajak apa ?, dan apa perbedaan objek
pajaknya dengan objek pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan.
c. Terangkan apa yang saudara ketahui dengan PBDR, dan dimana ketentuan
yang sama pengaturannya dalam Pajak Penghasilan.
d. Apa kaitannya antara sistem MPS-MPO dengan PPd, PPs, dan apa pula
sebabnya sistem MPS-MPO ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
e. Jelaskan yang melatar belakangi dilakukannya Tax-Reform, dan jenis pajak
apa yang mengalami pembaruan, dan bagaimana kondisi dari UU Pajak yang
diperbaharui tersebut saat ini.
2.3. Rangkuman.
3. KEGIATAN BELAJAR 2.
3.1.2. Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008, menjelaskan bahwa
subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Selanjutnya dalam pasal tersebut dijelaskan subjek pajak menjadi wajib pajak,
apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak
luar negeri menjadi wajib pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima
atau diperoleh dari sumber di Indonesia. Dengan perkataan lain wajib pajak adalah
orang pribadi atau badan, yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Terdapat perbedaan perlakuan antara subjek pajak dalam negeri dengan
subjek pajak luar negeri, antara lain seperti tertera pada tabel dibawah :
Khusus WP Luar Negeri Bentuk Usaha Tetap (BUT), perlakuan perpajakannya, dan
ketentuan yang diterapkan dipersamakan dengan WP Dalam Negeri, seakan-akan
terdapatnya pengertian yang tidak konsisten terhadap subjek pajak luar negeri.
Rumusan dari subjek pajak dalam negeri terdapat dalam Psl 2 ayat (3) UU No. 36 Tahun
2008, yaitu :
a. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Pengertian 183 hari dalam 12 bulan tidak harus berturut- turut, tapi bisa juga
diselang seling yang penting jumlah harinya mencapai 183 hari, begitu pula bagi yang
mempunyai niat, tidak harus menunggu mencapai 183 hari, tapi niat dimaksud dibuktikan
dengan mengurus legalisasi kependudukan, semisal keterangan izin menetap, kartu
penduduk dan lain sebagainya.
Selanjutnya pengertian Badan, bukan hanya yang menerbitkan/mengeluarkan
saham, tetapi juga yang tidak menerbitkan saham, termasuk kegiatan yang dikelola lebih
dari satu orang, demikian juga organisasi-organisasi yang nirlaba semisal partai politik,
perkumpulan sosial, kemasyarakatan (LSM).
Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan menggantikan mereka berhak,
untuk menjamin penerimaan negara dari pajak, seandainya yang punya waris tidak
meninggalkan wasiat/pesan/amanah, siapa yang harus bertanggung jawab, atau kepada
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 10
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
siapa harta tersebut diberikan apabila yang punya harta ini meninggal dikemudian hari,
apalagi kalau pembagian waris berlarut-berlarut sementara kewajiban perpajakannya tidak
ada yang mau bertanggung jawab. Oleh karena keberadaan Warisan yang belum dibagi
sebagai subjek pajak, hanya sampai warisan selesai dibagi, artinya tidak bersifat
permanen, maka dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, cukup menggunakan NPWP
yang meninggal. Terhadap warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh subjek
pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia melalui Bentuk
Usaha Tetap (BUT), dengan meninggalnya yang bersangkutan gugur statusnya sebagai
subjek pajak, hal ini dikarenakan subjek pajak orang pribadi melekat pada orangnya, tidak
ada istilah subjek pengganti.
Selanjutnya Pasal 2 ayat (4), UU No. 36 Tahun 2008, menjelaskan pengertian
subjek pajak luar negeri yakni :
a. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia ;
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dan
tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pasal ini menjelaskan, bahwa subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau
badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik tidak melalui ataupun
melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi
berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka orang
pribadi tersebut adalah subjek pajak luar negeri. Apabila penghasilan yang diterima atau
diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut
dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut
statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap
menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut
diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya
dikenakan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut. Berkenaan dengan
pengenaan pajaknya (orang pribadi dan badan), maka perlu ditetapkan tempat tinggal
orang pribadi atau tempat kedudukan badan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (6), UU
No. 36 Tahun 2008, hal tersebut ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan
yang sebenarnya.
Penjelasan pasal dan ayat tersebut menerangkan bahwa penentuan tempat tinggal
orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan
Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan tersebut, termasuk Kantor Pelayanan Pajak mana
yang menerbitkan NPWP nya. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan, ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian
penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada
pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain
domisili, alamat tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok, atau hal-hal
lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban
pajak.
Keputusan tentang tempat tinggal orang pribadi dan tempat kedudukan badan dimaksud,
ditetapkan dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep 701/PJ.2001, Tgl 16
Nopember 2001, yang isinya antara lain :
1. Tempat tinggal orang pribadi menurut keadaan yang sebenarnya :
a. Rumah tetap orang pribadi berada, yaitu rumah tempat orang pribadi tinggal
beserta keluarganya bertempat tinggal sebagaimana tercantum dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP)
b. Rumah tetap orang pribadi tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonominya
dilakukan, dalam hal orang pribadi mempunyai rumah tetap sebagaimana
dimaksud huruf (a), didua tempat atau lebih wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak.
c. Tempat orang pribadi lebih lama tinggal, dalam hal rumah tetap tempat tinggal
pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
huruf (b) tidak dapat ditentukan.
d. Dalam hal tempat tinggal orang pribadi berada dalam dua atau lebih wilayah kerja
Kantor Pelayanan Pajak, tetapi dalam satu wilayah kerja Kantor wilayah Direktorat
Jenderal Pajak, penentuan tempat tinggal dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak.
e. Dalam hal tempat tinggal orang pribadi berada dalam dua atau lebih wilayah kerja
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, penentuan tempat tinggal dilaksanakan
oleh Direktur Pajak Penghasilan atas nama Direktur Jenderal Pajak.
Penentuan saat mulai dan berkhirnya kewajiban pajak subjektif diatur dalam Psl 2A
UU No. 36 Tahun 2008. Penjelasan pasal ini menerangkan bahwa Pajak
Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif, yang kewajiban pajaknya melekat pada
subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan
untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka
memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban
pajak subjektig menjadi penting.
Subjek Pajak
Luar negeri.
Orang Pribadi yg tidak bertempat
tinggal atau berada di Indonesia tidak
lebih 183 hari, dan badan yg tidak
didirikan dan tdk bertempat kedudukan
di Indonesia.
-Yang menjalankan usaha, atau Pada saat BUT Pada saat ditiadakannya
melakukan kegiatan melalui BUT. tersebut berada BUT.
di Indonesia.
-Tidak menjalankan usaha/kegiatan Pada saat adanya Pada saat putusnya hubu
melalui BUT. hubungan ekono- ngan ekonomis dengan
mis dengan Indo- Indonesia.
nesia.
bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan, atau tidak lagi
bertempat kedudukan di Indonesia.
Pasal 2A ayat (3) mengatur bahwa kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau
badan sebagaimana dimaksud dalam Psl 2 ayat (4) huruf a (yaitu orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia), dimulai
pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usahaatau melakukan kegiatan
sebagaimana diatur dalam Psl 2 ayat (5), dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.
Penjelasan ayat ini menerangkan bahwa bagi orang pribadi yangtidak bertempat
tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih 183 hari, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, melalui suatu BUT, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat
BUT tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat BUT tersebut tidak lagi berada
di Indonesia.
Psl 2A ayat (4) mengatur tentang kewajiban pajak subjektif orang pribadi Atau
badan sebagaimana dimaksud dalam Psl 2 ayat (4) huruf b, (yaitu subjek pajak luar negeri
yang bukan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan kegiatan melalui BUTdi
Indonesia), dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan.
Penjelasan Psl 2A ayat (4) ini menyatakan bahwa orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau berada di Indonesia, tidak lebih dari 183 hari, dan badan yang didirikan dan
tidak berkedudukan di Indonesia, dan tidak menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia,
adalah subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai
hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap
ada, apabila orang pribadi dan badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang atau badan tersebut dimulai pada saat orang
pribadi atau badan tadi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu
menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber dari Indonesia, dan berakir
pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis
dengan Indonesia.
Psl 2A ayat (5) mengatur tentang kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi,
dimulai saat timbulnya warisan yang belum terbagi, dan berakir pada saat warisan
tersebut selesai dibagi.
Penjelasan ayat ini menerangkan bahwa kewajiban pajak subjektif warisan yang belum
terbagi, dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi, yaitu pada saat
meninggalnya yang punya waris, dan saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya
melekat pada warisan tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat
warisan tersebut dibagi kepada ahli waris.
Pengecualian sebagai subjek pajak diatur dalam Psl 3 UU No. 36 Thn 2008, dimana
dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak
adalah :
Penjelasan Psl 3 huruf (a) dan (b) tersebut diatas, menerangkan bahwa sesuai dengan
kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan negara asing
beserta pejabat-pejabatnya, serta orang yang diperbantukan, serta tinggal bersama
mereka dengan syarat bukan WNI, tidak melakukan ke giatan lain, serta negara asing
tersebut memberikan perlakauan yang sama (azas timbal balik), dikecualikan sebagai
subjek pajak. Pengecualian tersebut tidak berlaku, apabila mereka memperoleh
penghasilan lain di Indonesia, diluar jabatannya atau mereka adalah WNI.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing, memperoleh
penghasilan lain diluar jabatannya, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenakan
pajak atas penghasilan tesebut. Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan
pembebasan pajak kepada perwakilan Indonesia, atas penghasilan lain diluar tugas dan
jabatannya, maka kembali lagi berlaku azas timbal balik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Psl 3 huruf (c) dan (d), diatur lebih lanjut dalam
KMK seperti disebut diatas. Yang dimaksud dengan organisasi Internasional adalah
organisasi/badan/lembaga/asosiasi /perhimpunan/forum antar pemerintah atau non
pemerintah ygbertujuan untuk meningkatkan kerjasama Internasional dan dibentuk
dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama, sedangkan yang dimaksud dengan
pejabat perwakilan organisasi Internasional adalah pejabat yang diangkat langsung oleh
induk organisasi Internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan
dalam organisasi tersebut di Indonsia.
3.2. Latihan 2
1. Siapakah subjek pajak pada PPh, dan jelaskan perbedaan perlakuan perpajakan
antara subjek pajak DN dengan subjek pajak LN.
2. Mengapa warisan yang belum terbagi ditunjuk sebagai subjek pajak ?
3. Jelaskan kriteria antara subjek pajak dalam negeri subjek luar negeri.
4. Pengertian 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan sebagai subjek pajak dalam
negeri itu bagaimana, jelaskan dengan hitungan waktunya.
5. Apa pula pengertian BUT, apa beda BUT dengan subjek pajak LN lainnya.
6. Pajak Penghasilan apakah termasuk pajak subjektif, atau pajak objektif ?
7. Kapan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagai
WP dalam negeri.
8. Jelaskan pula mulai dan berakhitnya kewajiban pajak subjektif bagi BUT.
9. Siapa saja yang dikecualikan sebagai subjek pajak.
10. Dasar hukum apa untuk menentukan suatu organisasi internasional menjadi
subjek pajak atau tidak menjadi Subjek Pajak,
3.3. Rangkuman
Berdasarkan uraian –uraian terdahulu, maka yang menjadi Subjek Pajak, dan bukan
Subjek Pajak, pada Pajak Penghasilan adalah :
a. Orang pribadi yang lahir dan atau, bertempat tinggal lebih dari 183 hari dalam
12 bulan, atau berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 16
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
a. Orang pribadi yang berada kurang dari 183 hari dalam 12 bulan, atau berada
di luar negeri tapi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia,
b. Orang pribadi yang kurang dari 183 hari berada di Indonesia, atau orang
pribadi atau badan yang berada di luar negeri yang melakukan usaha baik
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, atau bukan melalui bentuk usaha
tetap.
3.3.3. Terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara subjek dalam negeri dengan
subjek pajak luar negeri,
3.3.4. Warisan yang belum terbagi menjadi subjek pajak menggantikan kedudukan
yang akan menerima warisan tersebut dikemudian hari.
3.3.5. Untuk menentukan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak maka dibedakan
mulai dan berakhirnya kewajiban pajak bagi subjek pajak dalam negeri dengan
mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjek pajak luar negeri secara jelas.
3.3.6. Sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara internasional maka Badan
Perwakilan negara asing disuatu negara, beserta pejabat-pejabatnya dengan
syarat-syarat tertentu, dan Organisasi Internasional yang ditentukan melalui
Keputusan dan Peraturan Menteri Keuangan dikecualikan sebagai subjek pajak.
4. KEGIATAN BELAJAR 3.
Rumusan penghasilan yang termasuk objek pajak dalam Psl 4 ayat (1) UU No. 36
Tahun 2008. yang berbunyi :
” Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, baik yang berasal dari Indonesia, maupun dari
luar Indonesia, dengan nama dan dalam bentuk apapun. termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan honororarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan dalam UU ini :
b. Hadiah dari undian, atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan ;
c. Laba usaha ;
d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk :
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal ;
2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, dan atau
anggota yang diperoleh peseroan, persekutuan, dan badan lainnya ;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambil alihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bantuk apapun ;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan ;
Huruf a
Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji,
premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja atau imbalan
dalam bentuk lainnya adalah objek pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang
pada hakekatnya merupakan penghasilan.
Huruf b
Dalam pengertian hadiah, termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti
hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olah raga dll sebagainya. Yang
dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungandengan
kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-
benda purbakala.
Mengenai perlakuan PPh terhadap hadiah dan penghargaan, agar tidak terdapat keraguan
dalam pelaksanaannya, telah dikeluarkan surat edaran/keputusan Direktur Jenderal Pajak
dan terakhir Surat Keputusan Direktur Jnderal Pajak No. KEP.395/PJ.2001, Tgl 13 Juni
2001, tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan, yang
mengatur hal-hal sebagai berikut :
(1) Pengertian :
a. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melaui undian ;
b. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang
diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
c. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya, adalah
hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah.
d. Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi
dalam kegiatan tertentu.
(2) Tarif dan dasar pengenaan :
a. Hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% dari jumlah penghasilan bruto, dan
bersifat final.
b. Hadiah atau penghargaan perlombaan, dan hadiah sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya dikenakan PPh dengan ketentuan sbb :
Dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi wajib pajak dalam
negeri, dikenakan PPh Psl 21 sebesar tarif Psl 17 UU PPh.
Dalam hal penerima penghasilan adalah wp luar negeri, selain BUT,
dkenakan PPh Psl 26 sebesar 20% dari jumlah bruto, atau sesuai dengan
tarip P3B.
Dalam hal penerima penghasilan adalah wp badan, termasuk BUT,
dikenakan PPh berdasarkan Psl 23 ayat (1) huruf a.4 UU PPh, yaitu
sebesar 15% dari jumlah penghasilan bruto.
(3) Tidak termasuk pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan PPh, adalah
hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada
semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima
langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
Huruf d.
Apabila wp menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa bukunya,
atau lebih tinggi dari nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan
yang dikenakan pajak, tapi cara perhitungannya adalah seluruh nilai jual atau penggantian
harta tersebut, dimasukan sebagai penghasilan, kemudian sisa bukunya dibebankan
sebagai pengurangan penghasilan pada akhir tahun pajak.
Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang
sahamnya, maka nilai jual/penggantian yang digunakan, adalah harga pasar. Misalnya PT
Q, memiliki sebuah mobil dengan nilai sisa buku Rp 50.000.000.-. mobil tersebut dijual
dengan harga Rp 65.000.000.- maka selisih sebesar Rp 15.000.000. merupakan
penghasilan bagi badan usaha tersebut, dan apabila mobil dimaksud dbeli salah seorang
pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000.- maka selisih sebesar Rp15.000.000.
tetap merupakan penghasilan badan usaha tersebut, sedangkan pemegang saham
dengan selisih harga pasar Rp 10.000.000,- merupakan objek pajak bagi pemegang
saham dimaksud.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta/aktiva badan
tersebut, yaitu harga jual dengan nilai sisa bukunya juga merupakan objek pajak. Dalam
hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham, atau penyertaan modal, maka
keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut, dengan nilai bukunya
merupakan objek pajak.
Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai
sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, dianggap
sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan
keagamaan, atau badan pendidikan, atau sosial, termasuk yayasan dan pengusaha kecil
dan koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
usaha, kegiatan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 604/KMK.04/ 1994, Tgl 21
Desember 1994, Tentang Badan-Badan dan Pengusaha Kecil yang Menerima Harta
hibahan dan Yang tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan disebut bahwa :
- Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata- mata
mengurus tempat ibadah, dan/atau menyelenggarakan kegiatan dibidang keagamaan,
yang tidak mencari keuntungan ;
- Badan pendidikan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata
menyelenggarakan pendidikan formal tingkat taman kanak-kanak dan/atau tingkat
dasar, dan/atau tingkat menengah perguruan tinggi, yang tidak mencari keuntungan;
- Badan sosial adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata
menyelenggarakan :
(1) pemeliharaan kesehatan dan/atau
(2) pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo), dan/atau ;
(3) pemeliharaan anak yatim piatu, anak atau orang terlantar, dan/atau anak serta
orang cacat, dan/atau ;
(4) santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan
sejenisnya, dan/atau ;
(5) pemberian bea siswa dan/atau ;
(6) pelestarian lingkungan hidup, dan/atau
(7) kegiatan sosial lainnya;
Huruf e
Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, pada saat menghitung
Penghasilan Kena Pajak, merupakan objek pajak. sebagai contoh PBB yang sudah
dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena suatu sebab dikembalikan, maka
jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.
Huruf f
Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang. premium terjadi apabila misalnya surat obligasi
dijual diatas nilai nominalnya, sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli
dibawah nilai nominal.
Premium tsb merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi, dan diskonto
merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.
Huruf g
Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham dan pemegang Polis
asuransi, atau pembagian SHU koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian deviden adalah :
(1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
(2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah penyetoran.
(3) pemberian saham bonus, yang dilakukan tanpa penyetoran, termasuk saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham.
(4) pencatatan tambahn modal yang dilakukan tanpa penyetoran.
(5) jumlah yang melebihi setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang
saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan ybs.
(6) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetor, jika dalam
tahun-tahun yang lalu diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu,
adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah
(7) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai
penebusan tanda-tanda laba tersebut.
(8) bagian laba sehubungan dengan kepemilikan obligasi.
(9) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.
(10) pembagian sisa hasil usaha koperasi.
(11) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.
bunga yang berlaku wajar dipasaran, dianggap sebagai deviden. Bagian bunga yang
dianggap sebagai deviden tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan
yang bersangkutan.
Huruf h
Royalty adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan
apapun, baik dilakukan secara berkala, maupun tidak, sebagai imbalan atas :
(1) penggunaan atau menggunakan hak cipta dibidang kesusasteraan, kesenian, atau
karya ilmiah, paten, desain, atau model, rencana, formula atau proses rahasia,
merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa
lainnya ;
(2) penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial,
atau ilmiah ;
(3) pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial
(4) pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau
hak mengunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa :
a. penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya,yangdisalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serta optik,
atau teknologi yang serupa;
b. penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio, yang disiarkan/dipancarkan melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
c. penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;
(5). penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film
atau pita Video, atau siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
Huruf i
Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak, atau harta tak gerak,
misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, atau sewa gudang, dan penghasilan
sewa disini adalah sewa bruto.
Huruf j
Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya uang ”alimentasi” atau tunjangan yang
dibayarkan seumur hidup kepada mantan isteri berdasarkan keputusan hukum oleh suami
selama mantan isteri masih hidup.
Huruf k
Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang, dianggap sebagai penghasilan bagi pihak
yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibeban kan sebagai
biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang
debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejatera (Kukesra), Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta
kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.
Huruf l
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan
sistim pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat azas, sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf m
Selisih lebih karena penilain aktiva sebagaimana dimaksud Psl 19 UU- PPh, merupakan
penghasilan. Penilaian kembali aktiva tetap terakhir diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan No. 79/KMK.03/2008, Tgl 23 Mei 2008.
Huruf n
Huruf o
Iuran yang dibayar oleh anggota perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalkan iuran yang besarnya menurut
jumlah (volume) ekspor. Atau satuan produksi, atau omzet penjualan barang, dan inlah
yang menjadi objek pajak pada perkumpulan.
Huruf p
Tambahan kekayaan neto pada hakikatnya merupakan akumulasi dari penghasilan, baik
yang telah dikenakan pajak maupun yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui
adanya penambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah
dikenakan pajak, tetapi penghasilan itu belum dikenakan pajak, maka tambahan kekayaan
neto tersebut merupakan penghasilan yang jadi objek pajak.
Huruf q.
Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan
usaha yang bersifat konvensional. Namun penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
kegiatan usaha berbassis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-
Undang ini.
1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji,
honororarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akumtan,
pengacara, dan sebagainya.
2. penghasilan dari kegiatan usaha baik orang pribadi maupun badan.
3. penghasilan dari modal, berupa harta gerak maupun harta tak bergerak seperti
deviden, bunga, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau yang tidak
digunakan dalam usaha, dll sebagainya.
4. penghasilan lain-lain, seperti hak atas bayaran berkala, pembebasan utang, dll.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula
ditabung untuk menambah kekayaan wp. Karena UU ini menganut pengertian penghasilan
yang sangat luas, maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam
suatu tahun pajak, digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian apabila dalam suatu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian,
maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi
horizontal), kecuali kerugian yang diderita diluar negeri.
Namun demikian apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak, dengan tarif yang
bersifat final, atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh
digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan dengan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini, dimaksudkan untuk
memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas tidak terbatas pada contoh contoh
yang disebut diatas saja.
Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak
penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu :
a.1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah; dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, atau badan pendidikan, atau badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.
Huruf a
Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan ojek pajak,
sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan
Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak, apabila diterima
oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. dan badan keagamaan,
atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan , sepanjang diterima tidak
dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan..
Ditambahkan disini, mengenai hal tersebut diatas, Menteri Keuangan telah menerbitkan
peraturan pelaksanaannya, yaitu Keputusan Menteri Keuangan No. 604/KMK.04/1994, Tgl
24 Desember 1994, antara lain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan :
Dikemukakan lebih lanjut bahwa harta hibahan yang diterima badan-badan tsb
diatas, dan pengusaha kecil termasuk koperasi, tidak termasuk sebagai objek pajak,
sepanjang antara pemberi hibah dengan penerima hibah tersebut, tidak ada hubungan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan. Harta hibahan dimaksud dibukukan,
oleh penerima hibah sesuai dengan nilai sisa buku harta hibahan.
Selanjutnya dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 11/PJ/1995, Tgl 1 Pebruari
1995, Penetapan Dasar Nilai Bagi yang Menerima Pengalihan Harta yang diperoleh dari
Bantuan, Sumbangan, Hibahan, dan Warisan, yang memenuhi syarat bukan sebagai
objek pajak, dari WP tidak menyelenggarakan pembukuan, dikemukakan bahwa :
- Apabila nilai atau perolehan harta, bagi yang mengalihkan harta tersebut,
diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan tersebut, adalah
sama dengan nilai atau harga perolehan harta tsb, bagi yg mengalihkan.
- Apabila tidak diketahui, namun tahun perolehannya diketahui, maka nilai perolehan
bagi yang menerima pengalihan harta tersebut adalah ;
a. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh yang mengalihkan
dalam tahun 1986, atau sebelumnya, sama dengan besarnya NJOP, yang
tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak 1986, atau ;
b. apabila diperoleh sesudah tahun 1986, sama besarnya dengan NJOP yang
tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak diperolehnya harta tersebut, bagi
yang mengalihkan, atau ;
c. jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari Kepala
KPPBB
- Apabila nilai atau harga perolehan dan tahun perolehan bagi yg mengalihkan,
harta berupa tanah dan/atau bangunan tidakdiketahui, maka nilai perolehan bagi
yang menerima harta tersebut adalah sama besarnya, dengan NJOP yang
tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak yang paling awal yang tertulis atas nama
yang mengalihkan harta tersebut, atau jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan
surat keterangan dari kepala KPPBB.
- Untuk harta selain tanah dan/atau bangunan, apabila nilai atau harga perolehan
tidak diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta
tersebut, adalah sama besarnya dengan 60% dari harga wajar harta tersebut pada
saat terjadinya pengalihan.
b. Warisan ;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan, sebagaimana dimaksud
dalam Psl 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal.;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah, kecuali
diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau
wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa.
Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan
tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut,
diterima sebagai pengganti saham atau tanda penyertaan modal, maka berdasarkan
ketentuan ini, harta yg diterima tsb bukan merupakan objek pajak.
Huruf d
Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan, berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti
penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan, dan lain sebagainya, bukan merupakan
objek pajak.
Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut, bukan wp, atau
wp yang dikenakan PPh Final, dan wp yang dikenakan berdasarkan norma
Huruf e
Penggantian santunan atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan
asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan objek pajak . Hal ini
selaras dengan ketentuan dalam Psl 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang
dibayar oleh wajib pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan
dalam perhitungan penghasilan kena pajak.
f. deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, sebagai
wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN dan BUMD, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1) deviden berasal dari cadangan laba yang ditahain ; dan
2) bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD, yang menerima deviden
kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25%
(dua puluh lima persen), dari jumlah modal yang disetor.
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja, maupun pegawai.
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menkeu.;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer, yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif ;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura, berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yg didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
1) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan ; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Huruf f
Berdasarkan ketentuan ini, deviden yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi
pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wp dalam negeri, koperasi,
dan BUMN/BUMD, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya, yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua
puluh lima persen), dan penerima deviden tersebut memperoleh penghasilan dari usahan
riil di luar penghasilan yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk objek pajak.
Yang dimaksud dengan BUMN/
dan BUMD dalam ayat ini, antara lain adalah perseroan (Persero), bank pemerintah bank
pembangunan daerah.
Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima deviden atau bagian laba adalah wajib pajak
selain badan-badan tersebut diatas, seperti orang pribadi baik dalam negeri, maupun luar
negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan orgnisasi sejenis, dan sebagainya,
maka penghasilan berupa deviden atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek
pajak.
Huruf g
Pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini, hanya berlaku bagi dana
pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas
beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja.
Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari
peserta dana pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya.
Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan
oleh karena itu iuran tsb dikecualikan sebagai objek pajak.
Huruf h
Selanjutnya dalam SE- Direktur Jenderal Pajak No. SE- 16/PJ.4/1995, Tgl 23 Maret
1995, dinyatakan sebagai berikut :
Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
yang bukan merupakan objek pajak PPh adalah :
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun oleh pegawai.
penghasilan dana pensiun dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dari
penanaman modal yang tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud Keputusan
Menkeu seperti disebut diatas, dananya harus bersumber dari dana yang terkumpul dari
iuran pensiun yang diterima atau diperoleh dana pensiun, atau yang dibayar pemberi kerja
termasuk pengembangannya.
Apabila ada yang berasal dari pihak ketiga, atau uang pribadi pengurus dana pensiun,
maka penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun menjadi objek pajak. Jika
dana pensiun yang dimaksud, menerima atau memperoleh bunga atau diskonto, yang
berasal dari deposito, dan tabungan, atau SBI, bunga dan/atau deviden dari obligasi
dan/atau saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, maka penghasilan
tersebut, merupakan objek pajak dan harus dipotong PPh Psl 23 UU Pajak penghasilan
oleh pemberi hasil.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 28
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
Dengan demikian penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun dimaksud dapat
dikelompokan menjadi :
Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak ;
Penghasilan lainnya yang merupakan objek pajak
Dana pensiun yang memperoleh penghasilan seperti itu, wajib membuat pencatatan yang
terpisah dalam pembukuannya, antara penghasilan yang bukan objek pajak dengan
penghasilan yang menjadi objek pajak. Kalau tidak demikian halnya, maka perhitungan
biaya yang boleh dikurangkan/dibebankan dari penghasilan bruto, akan ditetapkan secara
perbandingan.
Huruf i
Perusahaan modal ventura (ventura capital), adalah suatu perusahaan yang kegiatan
usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha ) dalam bentuk penyertaan
modal untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima
atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha, tidak termasuk objek pajak, dengan
syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah,
atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek
Indonesia.
Huruf l
Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia
melaluipendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan
prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan
berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh,
sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan gedung
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih
dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa
lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan
yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan
pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah
mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.
Huruf m
Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
kepada wajib pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada wajib
pajak atau anggots masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam
atau tertimpa musibah.
4.2. Latihan 3
Jawablah pertanyaan berikut ini secara singkat tetapi jelas. Jawaban didiskusikan dengan
sesama peserta Diklat.
4.3. Rangkuman
3. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, maka
penghasilan dapat dikelompokan menjadi :
4. Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham dan pemegang
polis asuransi atau pembagian SHU koperasi yg diperoleh anggota koperasi ,
terdapat 12 jenis penghasilan yg termasuk dalam pengertian deviden.
5. Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari 3 kelompok , yaitu imbalan
sehubungan dengan penggunaan hak atas harta tak berwujud, hak atas harta
berwujud, dan informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin
belum dipatenkan.
6. Dalam pengertian sewa, termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan
nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan penggunaan harta gerak,
maupun harta tak gerak, misalnya sewa alat, sewa mobil, sewa kantor dll nya.
8. Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan, bagi
pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang, dapat
dibebankan sebagai biaya.
10. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak seperti yang diatur dalam Psl 4 ayat
(3) UU NO. 36 Tahun 2008,- antara lain bantuan, sumbangan, termasuk zakat, yang
diterima oleh badan amil zakat, atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan
pemerintah, dan para penerima zakat yang berhak, serta harta hibahan yang
diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan satu derajat, dan oleh badan
keagamaan, badan sosial, atau badan pendidikan, atau pengusaha kecil, termasuk
koperasi dan yayasan yang ditetapkan oleh pemerintah, sepanjang tidak hubungan
usaha, kegiatan dan kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.
Perincian dari penghasilan-penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, dapat dipelajari
dan dibaca serta dipahami, beserta penjelasannya dapat dilihat pada uraian dan
penjelasan dari penghasilan-penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, beserta
dengan contoh-contoh yang diberikan.
Kegiatan belajar 4.
Dalam penjelasan ayat tersebut dikemukakan, bahwa sesauai dengan ketentuan ayat (1),
penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya, di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa
tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya, merupakan objek pajak.
Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan
sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak yang berasal
dari tabungan masyarakat tersebut, perlu diperlakukan tersendiri dalam pengenaan
pajaknya. Pertimbangan- per tersebut juga mendasari, diberikannya perlakuan tersendiri
terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena itu pengenaan pajak
penghasilan, termasuk sifat, besarnya, dan tatacara pelaksanaan pembayaran,
pemotongan atau pemungutan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut
diatur tersendiri Peraturan Pemerintah.
Sehubungan dengan ketentuan Psl 4 ayat (2) ini, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah
sebagai berikut :
1. PP No. 41 Tahun 1994, juncto PP No. 14 Tahun 1997, Tgl 23 -12-1997, tentang
PPh. atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di BE.
2. PP No. 132 Tahun 2000, Tgl 15-12-2000, PPh. Atas hadiah Undian.
3. PP No. 27 Tahun 1996, juncto PP No. 79 Tahun 1999, tentang Perubahan Peraturan
Tentang Pembayaran PPh. Atas Penghasilan dari penjualan dan Pengalihan hak
atas Tanah dan/atau Bangunan.
4. PP No. 131 Tahun 2000, Tgl 15 Desember 2000, Tentang PPh. Atas Bunga
Deposito, dan Tabungan serta Diskonto SBI.
5. PP No. 4 Tahun 1995, Tgl 8 Pebruari 1995, tentang PPh. Perusahaan Modal Ventura
dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada
Perusahaan Pasangan Usahanya.
6. PP No. 29 Tahun 1996, juncto PP No. 5 Tahun 2002, Tgl 18 April 2002, Tentang
Pembayaran PPh. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
7. PP No. 139 Tahun 2000, juncto PP No. 6 Tahun 2002, Tgl 21-12-2002, Tentang
PPh. Atas Penghasilan atas Bunga dari Obligasi yang diperdagangkan/diperjual
belikan di Pasar Modal.
8. PP No. 140 Tahun 2000, Tgl 21 Desember 2000, Tentang PPh. Usaha Jasa
Konstruksi dan Jasa Konsultan.
Secara terperinci, jenis-jenis penghasilan (objek) pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat Final dapat dilihat ditabel dibawah ini :
5.2. Latihan 4.
5.3. Rangkuman
Tatacara pembayaran pajak dimaksud, disebut PPh. Final, yang diatur dalam Psl 4 ayat
(2), Undang-Undang Pajak Penghasilan. Untuk merealisir PPh. Final, disamping
menggunakan Psl seperti disebut diatas, diterbitkan peraturan pelaksanaannya mulai dari
PP, Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, sampai dengan Keputusan/Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.
Jenis-jenis Pajak Penghasilan yang bersifat Final, sampai dengan saat modul ini dibuat,
terdapat 21 (dua puluh satu) jenis, yang umumnya menggunakan tarif tunggal. Sekalipun
sifatnya final, namun wajib pajak tetap melaporkannya didalam SPT Tahunan, baik SPT
Tahunan wajib pajak orang pribadi, maupun wajib pajak badan, pada lampiran-lampiran
yang telah disediakan.
Objek pajak yang dikenakan Final tidak digabungkan dengan penghasilan wajib pajak
yang PPh nya tidak bersifat final
5. Kegiatan Belajar 5.
Didalam Psl 5 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2000,- PPh, diatur Objek Pajak
bentuk usaha tetap (BUT), yang menyebutkan sebagai berikut :
Yang menjadi objek pajak bentuk usaha tetap adalah :
a) penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut, dari harta yang
dimiliki atau dikuasai ;
b) penghasila kantor pusat, dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan
oleh bentuk usaha tetap di Indonesia ;
c) penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Psl 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Penghasilan sebagaimana dimaksud Psl 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat dimaksud dapat berupa;
Deviden
Bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan
dengan jamainan pengembalian utang.
Royalty, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan.
Hadiah dan penghargaan.
Penjelasan Psl 5
Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui
Bentuk Usaha Tetap tersebut.
Ayat (1).
Huruf a
Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau
kegiatan, dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua
penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
Huruf b
Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau
kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa yang sejenis dengan apa yang dilakukan
oleh bentuk usaha tetap, dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada
hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut, termasuk dalam ruang lingkup usaha atau
kegiatan yang dapat dilakukan bentuk usaha tetap. Usaha atau kegiatan yang sejenis
dangan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap misalnya, terjadi apabilansebuah bank
diluar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia memberikan pinjaman
secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya di Indonesia.
Penjualan barang yang sejenis, dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya
kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, menjual
produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut, secara
angsung tanpa melalui bentuk usaha tetap nya di Indonesia.
Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk
usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di Indonesia, memberikan
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 37
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap tersebut
secara langsung, tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia.
Huruf c
Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat
hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk
usaha tetap tersebut. Misalnya X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk
menggunakan merek dagang X Inc. maka atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima
imbalan berupa royalti dari PT Y Indonesia.
Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada
PT Y, melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam pemasaran produk PT Y yang
mempergunakan merek dagang tersebut.
Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif
dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang
berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.
Dalam Psl 5 ayat (2) diatur tentang biaya-biaya yang diperkenankan, terutama yang
berkenaan dengan objek pajak seperti dimaksud huruf b dan c, tersebut diatas ;
Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
huruf b, dan c, boleh dikurangkan dari bentuk usaha tetap.
Pada ayat (3) nya, dijelaskan bahwa dalam menentukan besarnya laba (penghasilan)
suatu bentuk usaha tetap :
a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ;
b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidakdiperbolehkan dibebankan sebagai
biaya adalah:
1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten,
atau hak-hak lainnya.
2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.
3) bunga, kecuali yang berkenaan dengan usaha perbankan ;
Pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b, yang diterima atau diperoleh dari
kantor pusat, tidak dianggap sebagai objek pajak, kecuali bunga yang berkenaan
dengan usaha perbankan.
Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat sepanjang digukan untuk
menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkn dari
penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta biaya yang boleh dikurangkan
tersebut ditentukan oleh Dirjend Pajak.
Sehubungan dengan ini Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. KEP-62/PJ./1995, tentang Jenis dan Besarnya biaya Administrasi
Kantor Pusat yang Dibebankan Sebagai Biaya suatu Bentuk Usaha Tetap.
2) besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran
usaha, atau kegiatan BUT terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan seluruh
dunia.
3) oleh sebab itu, BUT wajib menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau
kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh usaha/kegiatan perusahaan
diseluruh dunia, untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagai lampiran SPT
Tahunan PPh.
4) laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi, harus sudah diaudit oleh akuntan
publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan,
serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing
BUT dinegara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha atau
kegiatan.
Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya,
sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusat nya, seperti royalti
atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu
perusahaan. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap
kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan bentuk usaha
tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran bunga pinjaman
dapat dibebankan sebagai biaya.
Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran sejenis yang
diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya, tidak dianggap sebagai objek
pajak, kecuali bunga yang diterima bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya berkenaan
dengan usaha perbankan.
6.2. Latihan 5
6.3. Rangkuman
1. Bentuk Uaha Tetap (BUT) adalah WP luar negeri yang tata cara pengenaan
pajaknya sama dengan WP dalam negeri.
2. Objek pajak BUT diatur dalam Psl 5 UU No. 36 Tahun 2000.- PPh yaitu ;
Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta
yang dimiliki atau dikuasai ;
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan bentuk usaha tetap di Indonesia.
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Psl 26, yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
3. Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau
kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua
penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
4. Pada dasarnya BUT merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga,
pembayaran oleh BUT kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan
harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh
karena itu berdasarkan ketentuan ini pembayaran BUT kepada kantor pusatnya
berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan BUT bergerak dalam usaha
perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai
biaya.
5. Besarnya biaya yang dapat diperkenankan sebagai biaya bentuk usaha tetap, untuk
kepentingan kantor pusat dari BUT, setinggi-tingginya sesuai dengan perbandingan
penghasilan BUT dengan omzet atau peredaran usaha induk beserta BUT-BUT nya
diseluruh dunia.
6. BUT, harus melampirkan neraca kombinasi/konsolidasi untuk hal dimaksud.
7.Test Formatif.
7.1. Pilih salah satu jawaban yang Sdr. anggap paling tepat.
1. Menurut Ordonansi PPs. 1925, (Pajak Perseroan) dan Ordonansi PPd. 1944, (Pajak
Pendapatan), penentuan besarnya pajak terutang dilakukan dan ditetapkan oleh :
a. Wajib Pajak sendiri
b. Wajib Pajak dengan bantuan Konsultan Pajak ;
c. Kepala Inspeksi Pajak.
2. Menurut kedua Ordonansi tsb diatas, untuk menentukan pajak terutang, Wajib pajak
mempunyai kewajiban :
a. memasukan SPT dan lampirannya ke Kantor Inspeksi Pajak.
b. memasukan Neraca dan perhitungan R/L untuk tahun pajak ybs.
c. memasukan surat pernyataan mengenai kegiatan usahanya.
6. Penentuan besarnya pajak yang terutang menurut Ordonansi PPs. 1925 dan
Ordonansi PPd. 1944, pada akhir tahun :
a. ditentukan oleh wajib pajak sendiri ;
b. melalui lembaga Surat Ketetapan Pajak ;
c. ditentukan menurut laba komersial dari usaha wajib pajak.
19. Tidak termasuk objek pajak dan tidak dikenakan PPh. adalah :
a. pembagian sisa laba yang ditahan.
b. terbebas dari kewajiban membayar hutang.
c. bagian laba yang diterima badan usaha berbentuk Firma, Kongsi.
7.2. Tulis B , atau S dalam tanda kurung ( ), bila pernyataan dibawah ini Benar (B),
atau Salah (S).
Cocokanlah jawaban Sdr. dengan kunci jawaban test Formatif, dan hitunglah jawaban
Sdr. yang benar, kemudian gunakan rumus dibawah ini untuk mengetahui
tingkat penguasaan materi kegiatan belajar.
Rumus :
Tingkat penguasaan = jumlah jawaban Sdr. yang benar dibagi dengan jumlah soal,
hasilnya dikalikan dengan 100%, artinya tingkat penguasaan yg dicapai :
Bila Sdr. mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Sdr. dapat meneruskan
dengan modul berikutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan kurang dari 80%, Sdr.
harus mempelajari kembali kegiatan belajar tersebut.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 44
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
Bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, biaya yang boleh dikurangkan
diatur dalam Psl 6 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.
Biaya yang dapat dikurangkan ini dibagi kepada 2 (dua) golongan, yaitu biaya (beban)
yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun, dan biaya (beban) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Terhadap biaya yang masa manfaatnya
tidak lebih dari satu tahun, dapat sekaligus dibebankan pada tahun pajak yang
bersangkutan, akan tetapi terhadap biaya yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun,
pembebannya harus dilakukan melalui penyusutan (untuk harta yang berwujud), atau
amortisasi (untuk harta tak berwujud termasuk hak).
Sesuai dengan Psl 6 ayat (1) tersebut diatas, biaya-biaya yang boleh dikurangkan
dimaksud adalah :
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha
antara lain
(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didapat kerugian, maka kerugian tersebut tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.
(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Penjelasan Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam
2(dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak
lebih dari 1 (satu) tahun dan mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1(satu) tahun merupakan
biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan
bunga, biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya, sedangkan pengeluaran
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, pembebanannya
dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Disamping itu apabila
dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena
selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.
Huruf a
Biaya-biaya dimaksud dalam ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang
boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai
biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan
langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh
sebagai biaya .
Contoh :
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan untuk memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari :
a. penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4
ayat (3)
huruf h ........................................................................................Rp 100.000.000.
b. penghasilan bruto lainnya......................................................... Rp 300.000.000.
. c. Jumlah penghasilan bruto........................................................ Rp 400.000.000.
Huruf b
Huruf c.
Iuran pensiun kepada dana pensiun, yang pendiriannya telah disetujui oleh
Menteri Keuangan, baik yang dipotong dari penghasilan pegawai/karyawan,
maupun yang
ditanggung sipemberi kerja, boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan
kepada dana pensiun yang pembentukannya belum disahkan oleh Menteri
Keuangan, tidak boleh menjadi biaya. Jamsostek yang masih berkaitan dengan
iuran pensiun, perlakuan Pajak Penghasilannya adalah sebagai berikut :
Huruf d
tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialhkan, yang dimiliki dan dipergunakan
dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, dapat di kurangkan dari penghasilan bruto.
Huruf e
Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat azas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Huruf f
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang, dan pelatihan
dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan
sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk
beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang
diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.
Huruf h
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya
sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba
rugi komersial dan telah melakukan upaya – upaya penagihan yang maksimal
atau terakhir
Yang dimaksud dengan penerbitan, tidak hanya berarti penerbitan berskala
nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tatacara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini,
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dengan demikian Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, harus
memenuhi syarat :
Contoh :
PT A. Dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000.
Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp 200.000.000.
2011 : rugi fiskal (Rp 300.000.000.)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L.
2013 : laba fiskal Rp 100.000.000.
2014 : laba fiskal Rp 800.000.000.
Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp 100.000.000. yang masih tersisa pada akhir
tahun 2014, tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015,
sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp 300.000.000. hanya boleh
dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka
waktu lima tahun sejak dimulainya tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.
Penjelasannya :
Pada dasarnya ada 2 (dua) bentuk kompensasi kerugian yaitu kompensasi
kerugian Vertikal dan kompensasi kerugian Horizontal. Kompensasi kerugian
Horizontal adalah kompensasi kerugian diantara sumber-sumber penghasian,
sedangkan kompensasi kerugian Vertikal adalah kerugian pada sesuatu tahun
yang akan diperhitungkan ketahun-tahun berikutnya.
Ayat (3)
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP), berdasarkan ketentuan dimaksud dalam Pasal 7.
(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedkit sebesar :
a. Rp 15.840.000. (lima belas juta delapan ratur empat pulu ribu rupiah) untuk Wajib
Pajak orang pribadi ;
b. Rp 1.320.000. (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah), tambahan untuk WP
kawin ;
c. Rp 15.840.000.(lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah), tambahan
untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp 1.320.000. (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah), tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus
serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3(tiga)
orang untuk setiap keluarga.
(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh
keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)
Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada wajib pajak yang sudah kawin
diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang
digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp
15.840.000. (lima belas juta delapan ratus empat puluh rupiah),
Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, anak
kandung, mertua, atau anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena
Pajak untuk paling banyak 3(tiga) orang. Yang dimaksud dengan ”anggota
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya”, adalah anggota keluarga yang
tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib
Pajak.
Contoh :
Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tangungan 4 (empat) orang anak.
Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada
Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau
pada saat awal bagian dari tahun pajak.
Misalnya pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan
tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1
Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada
Wajib Pajak B untuk tahun 2009, tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan
tanggungan 1(satu) anak.
Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk
mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Republik
Indonesia, dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 51
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal
tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang
berasal dari tahun-tahun sebelumnya, yang belum dikompensasikan sebagaiman
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari
1(satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21
dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan
bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf c, dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri
dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri
dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.
(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang
tuanya.
Penjelasan Pasal 8
Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak, atau
awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, dan
dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam
hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong
pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan :
a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja , dan
b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada huungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
Contoh :
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp
100.000.000. mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan
neto Rp 70.000.000.
Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah
dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya
dengan usaha suami, atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp
70.000.000. tidak digabung dengan penghasilan A, dan pengenaan pajak atas
penghasilan isteri tersebut bersifat final.
Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon
kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp 80.000.000, maka seluruh
penghasilan isteri sebesar Rp 150.000.000. (Rp 70.000.000. + Rp 80.000.000.)
digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai
pajak atas penghasilan sebesar Rp 250.000.000. ( Rp 100.000.000. + Rp
70.000.000. + Rp 80.000.000.). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat
final, artinya dapat dkreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan
sebesar Rp 250.000.000. tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh :
Perhitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan
penghasilan secara tertulis atau isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri, adalah sebagai berikut :
Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp
250.000.000.
Misalnya pajak terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp
27.550.000. maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya
dihitung sebagai berikut:
Ayat (4)
Penghasilan anak yang belum dewasa dari manapun sumber penghasilannya dan
apapun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun
pajak yang sama.
Yang dimaksud dengan ”anak yang belum dewasa ” adalah anak yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya belum berpisah, menerima
atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan
penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikuangkan :
a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden
termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
Penggolongan Kredit.
Periode laporan Lancar, tidak termasuk Dalam Kurang Lancar
SBI dan Surat utang Perhatian Setelah dikurangi
Pemerintah. Khusus. Nilai Agunan.
31-12-1998 s.d.31-05- 0,25% 1,25% 3.75%
1999. 0.50% 5.50%.
30-06-1999 s.d.30-11- 0.625% 1.875% 7,50%
1999. 0,75% 2,50% 10,00%
31-12-1999 s.d.31-05- 0,875% 3,00% 12,50%
2000. 1,00% 4,00% 15,00%.
30-06-2000 s.d 30-11- 5,00%
2000.
31-12-2000 s.d 31-05-
2001.
30-06-2001 dan
seterusnya.
Untuk jenis usaha Bank Umum, besarnya dana cadangan untuk kredit yg
digolongkan macet ditentukan sebagai berikut :
o 50% dari kredit yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan ;
dan
o 100% dari kredit yg digolongkan macet setelah dikurangi nilai agunan.
2. Daerah tertentu adalah daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis
mempunyai potensi yang layak dikembangkan, tetapi keadaan sarana dan
prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh
transportasi umum, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia
menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung resiko
yang tinggi, dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah
perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 meter, yang dasar
lautnya memiliki cadangan mineral.
f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang ham, atau
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan.
g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m, serta
zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui
di Indonesia, yang diterima, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
dan disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
h) Pajak Penghasilan ;
i) Biaya yang dibebankan atau yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya ;
j) Gaji yg dibayarkan kepada anggota persekutuan, frma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang
perpajakan.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 56
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
Dalam Peraturan Pemerintah No. 138 Thn 2000, Tgl 21 Desember 2000, Tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam
tahun berjalan, mengatur juga pengeluaran dan biaya yang boleh/ tidak boleh
dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi WP dalam
negeri dan bentuk usaha tetap.
- Lengkapnya bunyi Psl 13 ayat (5) dan ayat (6) adalah sbb :
Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena
Pajak, atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat :
a. Nama, alamat, NPWP, yang menyerahkan BKP atau JKP ;
b. Nama, alamat, dan NPWP, pembeli BKP atau JKP ;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga ;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ;
e. PPn. BM yang dipungut ;
f. Kode, nomor seri dan tgl pembuatan Faktur Pajak ; dan
g. Nama Jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak.
Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar dimaksud
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No- 312/PJ/2001, yang merupakan
penyempurnaan dari KEP-522/PJ./2000, adalah sebagai berikut :
a. Pemberitahuan Impor Barang Untuk Dipakai (PIUD) dan Surat Setoran Pajak
(SSP) untuk Impor Barang Kena Pajak.
b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang
berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri invoice ;
c. Surat Perintah Pengiriman Barang (SPPB) dari Bulog/Dolog untuk penyaluran gula
pasir dan tepung terigu ;
d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh Pertamina
untuk penyerahan BBM dan/atau non BBM ;
e. Tanda Pembayaran atau kwitansi atas penyerahan jasa Telkom.
f. Ticket dan surat muatan udara (airway bill), delivery order, bill yang dibuat/
dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri ;
g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP tidak
berwujud dan/atau JKP dari Luar Daerah Pabean ;
h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan Jasa
Kepelabuhan.
i. Tanda pembayaran atau kwitansi listrik.
j. Pajak Masukan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sehubungan
dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan atau harta tak
berwujud, serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
sebagaimana dimaksud dalam Psl 11 dan Psl 11 A, UU Pajak Penghasilan,
terlebih dulu harus dikapitalisasi dengan pengeluaran/biaya tersebut dan
dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.
Penjelasan Pasal 9
Ayat (1)
Peneluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara
pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya
yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun
pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran
yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang
sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a.
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran
deviden kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada
anggotanya, dan pembayaran deviden oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang
membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari
penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-
undang ini.
Huruf b.
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya
yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya
perjalanan, biaya premi asuransi, yang dibayar oleh perusahaan untuk
kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.
Huruf f
Huruf h
Yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak
Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.
Huruf i
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto usaha/perusahaan.
Huruf j
Ayat (2)
PENILAIAN HARTA.
Ketentuan tentang tata cara penilaian harta diatur dalam Pasal 10 Undang-undang
PPh.:
(1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang
tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima,
sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima.
(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar.
(3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambil alihan
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima
berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
b. yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf c, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama
dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan
sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai
berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan
cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.
Penjelasan Pasal 10
Ayat (1)
Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli
adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak
penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga
perolehan adalah beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh
harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan, dan biaya
pemasangan.
Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya
adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai
Ayat (2)
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain,
nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
Contoh :
PT A PT B
(Harta X) (Harta Y)
Nilai sisa buku Rp 10.000.000. Rp 12.000.000.
Harga Pasar Rp 20.000.000. Rp 20.000.000.
Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat
realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena
harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp 20.000.000. maka jumlah
sebesar Rp 20.000.000. merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan
atau nilai penjualan yang seharusnya diterima.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan
merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT A memperoleh penghasilan
sebesar Rp 10.000.000. (Rp 20.000.000. – Rp 10.000.000.) dan PT B
memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.000.000. (Rp 20.000.000. – Rp
12.000.000.).
Ayat (3)
Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan,
dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan
dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu pengalihan
tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan
penghasilan yang dikenakan pajak.
Contoh :
PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C,
Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai
berikut: :
PT A PT B
Nilai sisa buku Rp 200.000.000. Rp 300.000.000.
Harga pasar Rp 300.000.000. Rp 450.000.000.
Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam
rangka peleburan menjadi PT C. adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian,
PT A mendapat keuntungan sebesar Rp 100.000.000. (Rp 300.000.000. – Rp
200.000.000.), dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp 150.000.000. (Rp
450.000.000. – Rp 300.000.000.). sedangkan PT C, membukukan semua harta
tersebut dengan jumlah Rp 750.000.000. (Rp 300.000.000. + Rp 450.000.000.).
Ayat (4)
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang
memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a atau warisan, maka nilai
perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak
yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan
pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas
harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka
nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar.
Ayat (5)
Penyertaan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan
setoran tunai atau pengalihan harta.
Ketentuan ini mengatur tentang penilaian harta yang diserahkan sebagai pengganti
saham atau penyertaan modaldimaksud, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari
harta yang dialihkan tersebut.
Contoh :
Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp
25.000.000. kepada PT Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai
nominal Rp 20.000.000. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp
40.000.000. Dalam hal ini PT Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai
aktiva dengan nilai Rp 40.000.000. dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan
penghasilan bagi PT Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar
harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000. (Rp 40.000.000. – Rp 20.000.000.) dibukukan
sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X selisih sebesar Rp 15.000.000. (Rp 40.000.000.
– Rp 25.000.000. ) merupakan objek Pajak.
Ayat (6)
Pada umumnya terdapat 3(tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi
atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan
pembantu.
Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh
menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau
dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (”first –in first –out”
atau disingkat FIFO). Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut jiga
diberlakukan tehadap sekuritas.
Contoh ;
1. Persediaan 100 satuan @ Rp 9.00.
2. Pembelian 100 satuan @ Rp 12,00.
3. Pembelian 100 satuan @ Rp 11,25.
Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus
digunakan cara yang sama.
Penyusutan.
(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut
II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5% ---
Tidak Permanen. 10 tahun 10 % ---
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang
dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud sesuai dengan
masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam hal wajib pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa
buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Sesuai dengan
pembukuan wajib pajak, alat-alat kecil (small tolols), yang sama atau sejenis,
dapat disusutkan dalam satu golongan.
Sebuah mesin kantor yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009
dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000. dan masa manfaat dari mesin
adalah 4 (empat) tahun, Mesin kantor tersebut termasuk dalam kelompok 1, yang
tarif nyusutannya 50% (lima puluh persen) saldo menurun, maka perhitungannya
sbb ;
Contoh l.
Contoh 2.
Sebuah mesin kantor yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009, dengan
harga perolehan sebesar Rp 100.000.000.- Mesin kantor tersebut berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan termasuk kelompok l, yang berarti masa manfaat
mesin ybs 4 (empat) tahun. Metode penyusutan yang digunakan Saldo Menurun,
dengan tarif penyusutan 50% (lima puluh persen) setahun, maka perhitungan
penyusutannya adalah sebagai berikut :
Ayat (4)
Contoh :
Amortisasi
(1) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud, dan pengeluaran lainnya,
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak
pakai, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, yang dipergunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam
bagian yang sama besar, atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa
manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif Amortisasi atas pengeluaran
tersebut, atau atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat, diamortisasi
sekaligus, dg syarat dilakukan secara taat azas.
(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan
dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran, atau amortisasi, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain, yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dibidang penambangan
minyak dan gas bumi (migas), dilakukan dengan menggunakan metode satuan
produksi.
(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, dan
hak pengusahaan sumber alam, serta hasil alam lainnya, yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi, paling tinggi 20% (dua puluh persen), setahun.
(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1(satu) tahun, dikapitalisasi, dan kemudian diamortisasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak yang dapat
diamortisasi, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan
sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan
penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Psl 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh. berupa harta tak berwujud,
maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo
menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-
hak tersebut diamortisasi sekaligus.
Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang
diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak
atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan
sekaligus, dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh :
Ayat (7)
Contoh :
PT X. mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan
gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000.- Taksiran jumlah kandungan
minyak dan gas bumi tersebut sebanyak 200.000.000. barrel. Setelah diproduksi
minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000. barrel, PT X, menjual hak
penambangan tersebut ke PT Y, dengan harga Rp 300.000.000.
Perhitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak penambangan sbb :
10.2. Latihan.
10.3. Rangkuman.
Untuk mendapatkan penghasilan neto (bagi wajib pajak Badan), atau penghasilan
kena pajak (bagi wajib pajak Orang Pribadi), maka terhadap penghasilan brutonya
dapat dikurangkan ;
a. Biaya-biaya yang diatur dalam Psl 6 ayat (1) yang terdiri dari :
a.1. biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (biaya 3 M).
yang pencatatannya diserahkan kepada wp sesuai dengan adat pedagang
baik, seperti gaji, upah, pembelian bahan dstnya.
a.2. penyusutan dan amortisasi ;
a.3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriaannya telah disahkan Menkeu.
a.4. kerugian karena penjualan harta;
a.5. kerugian selisih kurs.
a.6. biaya penelitian dan pengembangan usaha di Indonesia.
a.7. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
a.8. penghapusan piutang dengan syarat-syarat tertentu.
b. Kompensasi kerugian seperti diatur dalam Psl 6 ayat (2), dengan batasan 5
(lima) tahun, sesuai dengan urutan masa kompensasinya.
c. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), bagi wajib pajak orang pribadi DN.
besarnya penghasilan tidak kena pajak dimaksud diatas adalah :
Rp 15.840.000. setahun bagi wp sendiri.
Rp 1.320.000. setahun bagi wp kawin (isteri)
Rp 15.840.000. setahun isteri yang punya penghasilan sendiri.
Rp 1.320.000. setahun bagi setiap anggota keluarga yang diperkenankan,
maksimal 3 (tiga) orang.
d. Penentuan besarnya PTKP ditetapkan pada awal tahun pajak,
e. Besarnya PTKP dapat ditinjau berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
f. Disamping biaya yang boleh dikurangkan terdapat biaya yang tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto yakni seperti diatur dalam ;
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 71
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
b.Pasal 9 ayat (2), biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun,
dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi, jadi bukan tidak boleh, tetapi
tidak boleh sekaligus.
Harta yang boleh disusutkan, adalah harta yang terpakai dalam kegiatan
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yg menjadi objek
pajak.
Harta dibagi atas Bukan Bangunan, dan Bangunan.
Terhadap bukan bangunan dibagi lagi atas 4 (empat) kelompok, dengan
sistim penyusutan yang dapat dipilih antara straight line method (sistim
garis lurus), atau double declining balance ( sistim saldo menurun), serta
dilaksanakan dengan taat azas.
Jika terjadi pengalihan harta, misalnya dijual maka nilai sisa buku menjadi
kerugian, sedangkan hasil penjualannya masuk sebagai objek pajak
Jika harta diasuransikan mengalami musibah, penggantian asuransi tidak
terjadi pada tahun terjadinya musibah, maka dengan seizin Direktur
Jendral Pajak penghasilannya dibukukan dimasa kemudian.
Kalau terjadi penarikan harta sebagai bantuan, sumbangan, atau
dihibahkan maka nilai bukunya tidak boleh menjadi kerugian bagi pihak
yang mengalihkan.
Penyusutan dimulai pada bulan perolehan dari harta tersebut, kecuali
harta yang masih dalam proses pengerjaan (misalnya bangunan), maka
disusutkan setelah selesainya proses pengerjaan bangunan tersebut.
Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan harta dapat
digeser ke tahun mendatangkan penghasilan (untuk usaha khusus
misalnya perkebunan).
Jenis-jenis harta untuk kepentingan penyusutan daftar
pengelompokannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
520/KMK.04/2000,-yang telah diubah dengan KepMenkeu No.
138/KMK.03/2002, Tgl 8 April 2002.
3. Amortisasi.
Terhadap harta tak berwujud, seperti hak-hak, misalnya hak guna
usaha, hak milik, hak pakai, hak pengusahaan dibidang pertambangan,
kehutanan, atau biaya serta pengeluaran yang mempunyai masa manfaat
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 72
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
2. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan wajib pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap (BUT) :
a. biaya yang menyangkut 3 M, dan penghasilannya menjadi objek pajak
b. biaya berdasarkan laporan komersial wajib pajak.
c. biaya menurut perhitungan laporan Akuntan Publik.
5. Kerugian selisih kurs dapat menjadi biaya yang dapat dikurangkan jika ;
a. selisih kurs tersebut dari perdagangan valuta asing;
b. selisih kurs berdasarkan kebijakan pemerintah dibidang moneter.
c. selisih kurs tersebut tidak dalam kegiatan usaha wajib pajak.
11. Besarnya PTKP seperti dimaksud angka (10) diatas mulai tahun 2009 :
a. Rp 15.840.000, setahun untuk seorang wp yang belum kawin.
b. Rp 14.400.000. setahun bagi wp yang kawin dengan 3 (tiga) tanggungan.
c. Rp 18.000.000. setahun bagi wajib pajak kawin dengan status K/1.
20. Gaji yang dibayarkan oleh badan usaha berbentuk firma kepada anggota ;
a. dapat mengurangi penghasilan firma yang bersangkutan,
b. tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto firma tersebut;
c. menjadi objek pajak bagi anggota firma yang bersangkutan.
10.5. Tulis B pada tanda dalam kurung ( ), bila benar, atau S, jika salah.
1. biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto wajib pajak, apabila biaya
tersebut termasuk biaya 3 M, dan penghasilannya objek pajak (....).
4. iuran pensiun yang boleh dikurangkan dari penghasilan wajib pajak apabila
dibayarkan kepada lembaga pensiun yang dibentuk wajib pajak (...).
8. penghasilan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi luar negeri apabila
setelah melewati batas 183 hari dalam 12 bulan, diperkenankan (....).
10. didalam perhitungan PTKP, wajib pajak diperkenankan memasukan orang tua
walaupun orang tua tersebut sudah pensiun dari pekerjaannya. (.....)
11. pemberian uang perbaikan rumah pemegang saham, dapat dikurangkan dari
penghasilan perusahaan, sebelum penghasilan badan tersebut dikenakan
pajak (.....).
12. sewa kantor untuk jangka waktu 3 tahun, tidak boleh dibebankan sekaligus, tapi
harus diamortisasi sesuai dengan masa manfaatnya. (......).
16. imbalan bunga yang diberikan kepada pemegang saham sehubungan dengan
pinjaman yang diberikannya, dapat dikurangkan sebagai biaya, walaupun
pemegang saham tersebut belum menyetor penuh modalnya. (.....).
17. Metode Satuan Produksi (MSP), dengan batasan paling tinggi 20% (dua puluh
persen), hanya berlaku bagi usaha pengusahaan hutan, dan hak penambangan
diluar migas bumi (.....).
18. tarif penyusutan untuk harta kelompok tiga dengan sistim saldo menurun
besarnya adalah 25% (dua luluh lima persen). (.......).
19. apabila terjadi penarikan harta tak berwujud dari pemakaian sesuai dengan
ketentuan Psl 4 ayat (3), huruf a, dan huruf b, maka nilai bukunya tidak
boleh menjadi kerugian bagi pihak yang mengalihkan (.......).
20. dalam melakukan penyusutan dan amortisasi, wajib pajak dapat berganti-ganti
sistim setiap tahun sesuai dengan keadaan usahanya. (.....).
1. b 11. a
2. a 12. b
3. a 13. c
4. c 14. b
5. b 15. a
6. b 16. b
7. c 17. c
8. a 18. b
9. c 19. b
10. a 20. b
Rumus :
Tingkat penguasaan = jumlah jawaban Saudara yang benar dibagi dengan jumlah
soal, hasilnya dikalikan dengan 100%.
Bila Saudara mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Saudara dapat
meneruskan dengan modul berikutnya, tetapi bila tingkat penguasaan Sdr. kurang
dari 80% , Saudara harus mempelajari kembali kegiatan belajar tsb.
(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
termasuk wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4),
yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan
atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan
cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(6) Dihapus.
(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 14
Ayat (2).
Ayat (3)
Ayat (4)
Ayat (5)
Ayat (7)
Bagi Wajib Pajak tertentu terutama Wajib Pajak Badan, adakalanya diberlakukan
Norma Penghitungan Khusus yang ketetuannya daitur dalam Pasal 15, yang
berbunyi :
Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak
tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) atau
ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 15
11. 2.1. Penghasilan Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran dalam
negeri (Keputusan Menteri Keuangan No. 416/KMK.04/1996.)
dikenakan Pajak Penghasilan 1, 2% x Peredaran Bruto.
11.2.2. Penghasilan Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran dan
penerbangan luar negeri ( Keputusan Menteri Keuangan No.
417/KMK.04/1996 dikenakan Pajak Penghasilan dengan tarif 2,64% x
Peredaran Bruto.
11.2.3. Penghasilan Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan
dagang di Indonesia, Pasal 15 jo Keputusan Menteri Keuangan No.
634/KMK.04/1994, dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 0,44% x Nilai
ekspor Bruto.
11.2.4. Nilai bangunan yang diterima dalam rangka Bangun, Guna, Serah (BOT),
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 248/KMK.04/1995, jo SE-
38/PJ.4/1995, dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 5% x harga pasar
atau NJOP, (mana yang lebih tinggi.)
(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarip bagi Wajib Pajak orang
pribadi dan badan dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.
(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, dihitung dengan menggunakan norma penghitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi
dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu
tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5mayat (1) dengan memperhatikan ketentuan dalam
Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1), dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf g.
(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau
diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.
Penjelasan Pasal 16
Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara
biasa, dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.
Disamping itu terdapat cara penghitungan dengan menggunakan Norma
Penghitungan Khusus, yang diperuntukan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak
dibedakan antara :
1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,.dan
Ayat (1)
Ayat (2)
Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Neto dengan contoh sebagai berikut :
- Peredaran bruto Rp. 4.000.000.000
- Penghasilan neto menurut Norma Penghitungan
(misalnya 20%) Rp 800.000.000
- Penghasilanneto lainnya Rp 5.000.000.(+)
Ayat (3)
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena
Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap berkewajiban
menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara
penghitungan biasa.
Contoh :
- Peredaranbruto Rp10.000.000.000
- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
Penghasilan Rp 8.000.000.000
- Penghasilan neto Rp 2.000.000.000
- Penghasilan Bunga Rp 50.000.000
- Penjualan langsung barang yang sejenis dengan barang
yang dijual Bentuk usaha tetap oleh Kantor Pusat Rp 2.000.000.000
- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilannya Rp 1.500.000.000
- Penghasilan netonya Rp 500.000.000
- Deviden yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang
mempunyai efektif dengan bentuk usaha tetap Rp 1.000.000.000
- Jumlah Rp 3.550.000.000
- Biaya – biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp 450.000.000
- Penghasilan Kena Pajak Rp 3.100.000.000
Ayat (4)
Contoh :
Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak
dalam negeri adalah 3(tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut
memperoleh penghasilan sebesar Rp 150.000.000. maka penghitungan
Penghasilan Kena Pajaknya adalah sbb:
Penghasilan selama 3(tiga) bulan Rp 150.000.000.
Penghasilan setahun sebesar (360 : (3 x 30)
x Rp 150.000.000 = Rp 600.000.000.
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 15.840.000.
Penghasilan Kena Pajak Rp 584.160.000.
(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi :
Sampai dengan Rp. 50.000.000. (lima puluh juta rupiah) 5% (lima persen)
Diatas Rp 50.000.000. sampai dengan Rp 250.000.000. 15 % (lima belas persen)
Diatas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000.
25% (dua puluh lima %)
Diatas Rp 500.000.000. (lima ratus juta rupiah)
30% (tiga puluh persen).
b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar
28% (dua puluh delapan persen).
(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan
menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen), yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, menjadi 25% (dua puluh
lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang
paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang
disetor diperdagangkan dibursa di Indonesia, dan memenuhi persyaratan
tertentu lainnya, dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih
rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat
(2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan
kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, adalah paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen) dan bersifat final.
(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2c), diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.
(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam ribuan
rupiah penuh.
(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak
yang terutang untuk 1(satu) tahun pajak.
(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5),
tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.
Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh : Penghitungan Pajak terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000.
Pajak Penghasilan terutang :
5% x Rp 50.000.000. = Rp 2.500.000.
15% x Rp 200.000.000. = Rp 30.000.000.
25% x Rp 250.000.000. = Rp 62.500.000.
30% x Rp 100.000.000. = Rp 30.000.000.
Jumlah = Rp125.000.000.
Huruf b
Contoh : Penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak badan dalam
negeri
dan bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Neto Rp 1.250.000.000.
Pajak Penghasilan terutang adalah :
28% x Rp 1.250.000.000. = Rp 350.000.000.
Ayat (2)
Ayat (7)
11.5. LATIHAN
2. Persyaratan apa yang harus dipenuhi Wajib Pajak untuk dapat mengunakan
Norma Penghitungan dimaksud.
8. Berikan contoh menghitung PPh. terutang bagi Wajib pajak orang pribadi dalam
negeri yang memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp 68.230.750.
9. Jelaskan tarif yang digunakan bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2).
10. Terangkan tarif yang berlaku bagi Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap.
11.6. RANGKUMAN
1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak sanggup
menyelenggarakan pembukuan, Undang-undang memberi kesempatan untuk
menghitung Penghasilan Neto dengan mengunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto seperti yan diatur dalam Pasal 14, dengan beberapa yang
harus dipenuhi Wajib Pajak antara lain penghasilan brutonya/omzet/peredaran
usahanya tidak lebih Rp 4.800.000.000 dalam 1(satu) tahun.
3. Terdapat 2(dua) macam cara menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu melalui sistem pembukuan,
dan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, termasuk yang
menggunakan Norma Penghitungan Khusus.
4. Dalam Pasal 17 diatur ketentuan mengenai tarif bagi Wajib Pajak orang Pribadi
dalam negeri, dan badan termasuk bentuk usaha tetap, serta tarif untuk
penghasilan yang bersifat final sesuai dengan Pasal 4 ayat (2).
5. Bagi Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam bagian
tahun pajak, dihitung sesuai dengan bulan banyaknya penghasilan tersebut
dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1(satu) tahun pajak.
5. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri badan dan bentuk
usaha tetap diperoleh dari :
a. Penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1), dikurangi dengan pengurangan
seperti diatur dalam Pasal 6, ayat (1), dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf
c, s/d g.
b. Penghasilan bruto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
c. Penghasilan bruto sama dengan Penghasilan Neto.
6. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang Pribadi dalam negeri
yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Pasal 14 )
diperoleh dari
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh menurut catatan usaha,
b. Penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya yang diperkenankan.
c. Penghasilan bruto dikalikan Norma Penghitungan dikurangi PTKP.
7. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mengalami bagian tahun
pajak
a. Penghasilan tersebut dijadikan penghasilan satu tahun.
b. Penghasilan tersebut tidak menjadi objek pajak.
c. Jawaban a dan b tidak ada yang benar.
11.7.2. Pilihan B(Betul) atau S(Salah). Tulislah (B) atau (S) pada kotak
jawaban.
4. Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap,
ditetapkan 28%, dan akan menjadi 25% pada tahun 2010. (.........).
5. Tarif tersendiri untuk penghasilan yang bersifat final (Pasal 4 ayat (2),
diberlakukan baik untuk Wajib orang pribadi DN maupun badan. (.........)
7. Dalam perhitungan pajak bagi Wajib Pajak yang mengalami bagian tahun
pajak
satu tahun dihitung jumlah hari yang sebenarnya. (...........)
8. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh
deviden, dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 10%, dan final. (.........).
10. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
yang tidak menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetap
dihitung berdasarkan Norma Penghitungan. (........)
1. c. 6. c.
2. a. 7. c.
3. b. 8. a.
4. b. 9. b.
5. a. 10. c.
1. S. 6. S.
2. S. 7. S.
3. B. 8. B.
4. B. 9. B.
5. B. 10. S.
Rumus :
Tingkat penguasaan = Jumlah jawaban Sdr. yang benar dibagi dengan
jumlah soal, hasilnya dikalikan dengan 100% (seratus persen).
Artinya tingkat penguasaan yang dicapai :
Kegiatan Belajar 8.
12. PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN, ANGSURAN PPh Pasal 25.
PERHITUNGAN PAJAK AKHIR TAHUN, DAN KETENTUAN LAINNYA.
Ayat (1)
Agar pelunasan pajak dalam tahun berjalan mendekati jumlah pajak yang
akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya
dilakukan melalui :
Ayat (2)
Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap
bulan, namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti saat
dilakukannya transaksi atau saat diterima atau diperolehnya penghasilan,
sehinga pelunasan pajak dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan
baik.
Ayat (3)
penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21,
Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak
dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.
Dengan mengambil prinsip perpajakan “Pay as you earn” , artinya bayarlah ketika
punya penghasilan, maka diberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk
mengansur pajak yang terutang melalui sistem pembayaran angsuran yang
dinamakan “Angsuran PPh Pasal 25, yang ketentuannya diatur dalam Pasal 25
sebagai berikut :
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang lalu dikurangi dengan :
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dlm Psl 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
dibagi 12(dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak .
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
bulan
bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama
dengan besarnya angsuran pajak untuk bula teakhir tahun pajak yang lalu.
(3) dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk
tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali
baerdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu,
sebagai berikut :
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian ;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur ;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan.
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan, dan
f. Terjadi perubahan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi :
a. Wajib Pajak baru ;
b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak
masuk
(8) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib
Pajak dan telah berusia 21(dua puluh satu) tahun, yang bertolak keluar
negeri, Wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(8a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai dengan
tanggal 31 Desember 2010.
Penjelasan Pasal 25.
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang
harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1).
Contoh 1 :
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak
Penghasilan tahun 2009 Rp 50.000.000.
dikurangi dengan :
a. PPh. yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000.
b. PPh. yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000.
c. PPh. yang dipotong pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000.
d. Kredit PPh. luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000.
Jumlah Kredit pajak Rp 35.000.000.
Selisih (Pajak yang dibayar sendiri) Rp 15.000.000.
Besarnya pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010,
adalah sebesar 1/12 x Rp 15.000.000. = Rp 1.250.000.
Contoh 2.
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh diatas
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian
tahun pajak yang meliputi masa 6(enam) bulan dalam tahun pajak 2009,
besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam
tahun 2010 adalah sebesar 1/6 x Rp 15.000.000. = Rp 2.500.000.
Ayat (2)
Contoh .
Apabila SPT Tahunan PPh. disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan
Pebruari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak
untuk bulan Januari 2010, adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember
2009, misalnya sebesar RAP 1.000.000. (satu juta rupiah).
Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan
angsuran pajak menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010, tetap sama dengan angsuran bulan
Desember 2009, yaitu nihil.
Ayat (4)
Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak, untuk tahun
pajak yang lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak
tahun pajak tersbut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai
bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh :
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak pajak 2009, yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Pebruari
2010, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah
sebesar Rp 1.250.000. Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat
ketetapan pajak tahun 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak
setiap bulan sebesar Rp 2.000.000.
Ayat (6)
Contoh 2 :
Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang
sebesar Rp 48.000.000. dan penghasilan tidak teratur sebesar Rp
72.000.000. Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak
Penghasilan Pasal 25, dari Wajib Pajak A pada tahun 2010 adalah dari
penghasilan teratur tsb saja.
Contoh 3 :
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat
terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B. yang bergerak
dibidang produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran
bulanan sebesar Rp 15.000.000. Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT.B
terbakar. Oleh karena itu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT.B dapat disesuaikan menjadi
lebih kecil dari Rp 15.000.000.
Sebaliknya apabila, apabila PT.B mengalami peningkatan usaha,
misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan
Kena Pajaknya akan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT.B dapat disesuaikan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
Ayat (7)
Huruf a
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan perlu diatur
perhitungan besarnya angsuran, karena Wajib Pajak belum pernah
memasukan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan
usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
Huruf b
Huruf c
Bagi Wajib Pajak orang pribadi tertentu, yaitu Wajib Pajak orang
pribadi yang mempunyai 1(satu) atau lebih tempat usaha, besarnya
angsuran pajak paling tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh
lima persen) dari peredaran bruto.
(2) Sanksi Administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan
perundang undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh
dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimkasud pada
ayat (1).
Penjelasan Pasal 28
Ayat (1)
Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak, ataupun yang dipotong serta dipungut oleh
pihak lain, dapat dkreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir
tahun pajak yang bersangkutan :
Contoh :
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000.
Kredit pajak :
- pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000.
- pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp10.000.000.
- pomotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000.
- kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp15.000.000.
- dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp10.000.000.
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar (Pasal 29) Rp
35.000.000
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran
pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut
sanksi-sanksinya.
Penjelasan Pasal 28 A
Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar
dari pada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1),
kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
Penjelasan Pasal 29
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 97
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN
Penjelasan Pasal 31 A
Ayat (1)
Penjelasan Pasal 31 E
Ayat (1)
Contoh 1.
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp
4.500.000.000.(empat milyar lima ratus juta rupiah), dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000.
(lima ratus juta rupiah),
Contoh 2.
12.5. LATIHAN.
a. Melalui Pemotongan ;
b. Melalui Pemungutan.
6. Jika Wajib Pajak mendapatkan SKP untuk tahun pajak yang lalu,
bagaimana pengaruhnya terhadap besarnya angsuran PPh. Pasal 25.
8. Kapan timbulnya PPh. Pasal 28 A, dan apa pula yang dimaksud PPh.
Pasal 29.
12.6. RANGKUMAN.
1. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan oleh Wajib Pajak
melalui :
a. Pemotongan, yaitu penghasilan dari hubungan kerja/pekerjaan/kegiatan,
yang disebut dengan PPh. Pasal 21, serta penghasilan dari modal dan
harta serta kegiatan jasa, dan disebut pemotongan PPh.Pasal 23.
b. Pemungutan oleh pihak lain atas kegiatan Impor dan penjualan barang
kepada pemungut (PPh, Pasal 22), serta pajak yang dibayar/dipungut
diluar negeri (PPh. Pasal 24.)
4. Untuk meringankan beban utang pajak pada akhir tahun, atau mendekati
jumlah pajak terutang pada akhir tahun pajak, diintrodusir pembayaran
pajak dalam tahun berjalan yang disebut angsuran PPh. Pasal 25.
7. Bagi Wajib Pajak BUMN.BUMD, Bank, dan Wajib Pajak yang diwajibkan
membuat laporan keuangan berkala, diatur tersendiri besarnya
pembayaran angsuran PPh. Pasal 25 untuk tahun berjalan.
9. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang bepergian keluar negeri yang
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), diwajibkan membayar
Fiskal luar negeri, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
10..Wajib Pajak badan dalam negeri yang peredaran usahanya sampai dengan
Rp 50.000.000.000. (lima puluh milyar rupiah), mendapat pengurangan tarif
Pasal 17, sebesar 50% (lima puluh persen), untuk penghasilan kena pajak
sampai dengan Rp 4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta rupiah).
1. Dalam memenuhi utang pajak yang akan terutang pada akhir tahun :
a. Wajib pajak diberi kesempatan memenuhinya melalui pemtongan,
pemungutan, dan dibayar sendiri melalui angsuran bulanan.
b. Membuat perjanjian dengan Direktur Jenderal Pajak akan dilunasi
pada akhir tahun.
c. Menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak oleh Direktorat
Jenderal Pajak.
7. Pajak yang terutang pada akhir tahun setelah Wajib Pajak mengisi
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan :
a. Tidak diperhitungkan dengan pembayaran PPh. yang berkaitan
dengan penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2).
b. Diperhitungkan dengan kredit pajak pajak, dan apabila terdapat
kelebihan bayar maka tidak dapat diminta pengembalian.
c. Apabila terdapat kekurangan bayar maka harus disetor lagi
paling lambat 31 Desember dari tahun pajak yang
bersangkutan
2 Pajak yang dibayar atau dipungut diluar negeri (Psl 24), dapat
dikreditkan dengan PPh yang terutang dalam negeri asal
memenuhi ketentuan. (.......)
1. c. 6. c.
2. a. 7. c.
3. b. 8. a.
4. b. 9. b.
5. a. 10. c.
1. S (Salah). 6. S (Salah).
2. S (Salah). 7. S (Salah).
3. B (Betul). 8. B (Betul).
4. B (Betul). 9. B (Betul).
5. B (Betul). 10. S (Salah).
Rumus ;
Tingkat penguasaan = Jumlah jawaban Saudara yang benar dibagi dengan
jumlah soal, hasilnya dikalikan 100% (seratus persen).
Bila Saudara mencapai tingkat penguasaan 80% (delapan puluh persen), atau
lebih, Saudara dapat meneruskan dengan modul berikutnya. Tetapi bila tingkat
penguasaan kurang dari 80% (delapan puluh persen), Saudara harus
mempelajari kembali Kegiatan Belajar tersebut.
a. Daftar Kepustakaan.
------fm----