You are on page 1of 111

PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Hak cipta :
KATA PENGANTAR
“Seluruh tulisan pada modul ini
merupakan milik dari Pusdiklat
Pajak – BPPK, hasil tulisan dari Tujuan yang ingin dicapai
Widyaiswara Pusdiklat Pajak, dari Diklat Teknis Substantif Dasar
Fauzi Malik.” Pajak II, adalah untuk menyiapkan
“Modul ini dapat digunakan karyawan baru dilingkungan
dalam rangka proses
Direktorat Jenderal Pajak yang
pembelajaran, dengan tetap
mencantumkan penulis dan berasal dari penerimaan Sarjana Baru
pemilik sah dokumen ini. oleh Departemen Keuangan tahun
Dilarang mengunakan sebagian 2008 yang lalu, menguasai tugas
atau seluruh isi dari modul ini bidang perpajakan.
untuk kepentingan komersial. “
Salah satu kompetensinya
adalah memahami dan menguasai
secara teknis dan administratif ketentuan formal dan material yang berkaitan dengan
Pajak Penghasilan.
Guna menunjang sasaran tersebut dipandang perlu untuk memberikan
pemahaman dan pengertian Pajak Penghasilan, dalam bentuk modul kepada peserta
Diklat dimaksud. Modul ini disusun sesuai dengan perkembangan terakhir dari Pajak
Penghasilan, berupa Perubahan dan penyempurnaan Undang-Undang Pajak
Penghasilan, melalui perubahan keempat yakni Undang-undang No. 36 Tahun 2008,
dari UU No. 7 Tahun 1983. Agar peserta mengetahui anatomi dari UU PPh. yang
terkhir ini, penyajian modul ini dimulai dari sejarah keberadaan Pajak Penghasilan di
Indonesia, sampai dilakukannya Reformasi dibidang perpajakan diawal tahun 1980-an,
terakhir penyempurnaan seperti di singgung diatas, agar didapatkan gambaran yang
utuh tentang Pajak Penghasilan.
Kami menyadari mungkin penyusunan modul Pajak Penghasilan ini, masih perlu
disempurnakan salah satunya. Sampai saat penyusunan modul ini, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, Peraturan Direktorat Jederal Pajak yang
berkaitan dengan pelaksanaan UU No. 36 Tahun 2008, belum lengkap diterbitkan.
Akhirnya kepada pembaca kami ucapkan terima kasih atas perhatiannya.
Jakarta, 5 Januari 2009.
Penyusun,

Drs. Fauzi Malik

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN i


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

DAFTAR ISI

Halaman
Kata Pengantar
Daftar isi
i
Riwayat Singkat dari PPh. di Indonesia, Subjek Pajak dan
Bukan Subjek Pajak.

1. Pendahuluan 1
1.1. Deskripsi singkat. 1
1.2. Tujuan Instruksional Umum 1
1.3. Tujuan Instruksional Khusus 1
2. Kegiatan Belajar 1, Riwayat singkat PPh di Indonesia

2.1. Uraian, Contoh. 3


2.1.1. Ordonansi PPd. 1944. 3
2.1.2. Ordonansi Pajak Perseroan 1925 3
2.1.3. Undang-Undang PBDR 1970 3
2.1.4. MPS-MPO, UU No.8 Tahun 1970 4
2.1.5. Tax Reform (Reformasi Perpajakan) 1980-an 4
2.2. Latihan 5
2.3. Rangkuman 6
3. Kegiatan Belajar 2 6
Subjek Pajak dan Non Subjek Pajak.

3.1. Uraian, Contoh 7


3.1.1. Pengertian 7
3.1.2. Subjek Pajak (Dalam dan Luar Negeri) 9
3.1.3. Saat Mulai dan Berakhirnya Kewajiban
Pajak Subjektif 12
3.1.4. Tidak termasuk subjek pajak 15
3.2. Latihan 16
3.3. Rangkuman 16

4. Kegiatan Belajar 3
Objek dan Non Objek Pajak pada PPh. 18
4.1. Uraian, dan Contoh 18
4.1.1. Pengertian Penghasilan 18
4.1.2. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak 24
4.2. Latihan 30
4.3. Rangkuman 30

5. Kegiatan Belajar 4
Jenis-jenis Penghasilan yang dikenakan Pajak 33
bersifat Final junto Psl 4 ayat (2) 33
5.1. Uraian, dan penjelasan 36
5.2. Latihan 36
5.3. Rangkuman 36

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN ii


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

6. Kegiatan belajar 5
6.1. Objek Pajak Bentuk Usaha Tetap (BUT) 37
6.2. Latihan 39
6.3. Rangkuman 39
7. Test Formatif
7.1. Pilih salah satu jawaban yang paling tepat 41
7.2. Pilihan B (BETUL), atau S (Salah) 43

8. Kunci jawaban Test Formatif


8.1. Jawaban pilihan yang paling tepat 44
8.2. Jawaban Pilihan B (Betul), atau S (Salah) 44

9. Umpan Balik 44

10. Kegiatan Belajar 6


Biaya yang boleh dan tidak boleh dikurangkan dari
Penghasilan Bruto

10.1. Uraian, dan Contoh 45


10.1.1. Pengeluaran (biaya) yang boleh dikurangkan 45
10.1.2. Penghasilan Wanita Kawin 52
10.1.3. Pengeluaran biaya yang Tidak boleh 54
10.1.4. Penilain harta 61
10.1.5. Penyusutan dan Amortisasi 64
10.2. Latihan 71
10.3. Rangkuman 71
10.4. Test Formatif 73
10.5. Pertanyaan, B (Betul), atau S (Salah) 75
10.6. Kunci jawaban Test Formatif 77
10.6.1. Jawaban yang paling tepat 77
10.6.2. Jawaban B(Betul), atau S (Salah) 77
10.7. Umpan Balik. 77

11. Kegiatan Belajar 7


Norma Perhitungan, Cara Menghitung Pajak, dan Tarif. 78

11.1. Norma Penghitungan Penghasilan Neto 78


11. 2. Norma Penghitungan Khusus 80
11. 3. Cara Menghitung Pajak 81
11. 4. Tarif ( Pasal 17) 83
11. 5. Latihan 86
11. 6. Rangkuman 86
11. 7. Test Formatif 88
11. 7. 1. Pilih Jawaban yang paling benar 88
11. 7. 2. Pilihan B (Betul), atau S (Salah) 89
11. 8. Jawaban Test Formatif 90
11. 8. 1. Jawaban pilihan paling benar 90
11. 8. 2. Jawaban B (Betul), atau S (Salah) 90
11. 9. Umpan Balik. 90
12. Kegiatan Belajar 8 91
Pelunasan pajak dalam tahun berjalan, Angsuran Pasal 25,
Perhitungan pajak pada akhir tahun pajak, dan Ketentuan lainnya 91
12. 1. Pelunasan pajak tahun berjalan 91
12. 2. Angsuran PPh. Pasal 25 92

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN iii


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

12. 3. Perhitungan pajak pada akhir tahun 96


12. 3. 1. Perhitungan akhir tahun 96
12. 3. 2. Pajak yang lebih bayar (Pasal 28 A) 97
12. 3. 3. Pajak yang kekurangan bayar (Pasal 29) 97

12. 4. Ketentuan lain 98


12. 4. 1. Fasilitas Perpajakan ( Pasal 31 A) 98
12. 4. 2. Pembagian penerimaan Pajak Penghasilan 99
12. 4. 3. Keringanan tarif (Pasal 31 E) 99
12. 5. Latihan 100
12. 6. Rangkuman 101
12. 7. Test Formatif 102
12. 7. 1. Pilihlah jawaban yang paling benar 102
12. 7. 2. Pilihan B (Betul) atau S (Salah 104
12. 8. Kunci Jawaban Test Formatif 105
12. 8. 1. Jawaban Pilihan paling benar 105
12. 8. 2. Jawaban B (Betul) atau S (Salah) 105
12. 9. Umpan Balik 105

DAFTAR KEPUSTAKAAN 106

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN iv


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN v


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

RIWAYAT SINGKAT DARI PAJAK PENGHASILAN DI INDONESIA


SUBJEK PAJAK DAN BUKAN SUBJEK PAJAK

1. PENDAHULUAN.

1.1. Deskripsi singkat.

Di era tahun 1980-an, sebelum dilakukannya Tax Reform dibidang perpajakan


melalui Undang No. 6 Tahun 1983- KUP, Undang-Undang No. 7 Tahun 1983- Pajak
Penghasilan, dan Undang-Undang No.8 Tahun 1984- PPN dan PPn. BM. Untuk orang
pribadi dikenakan Pajak Pendapatan melalui Ordonansi PPd. 1944, untuk Badan-Badan
dikenakan Pajak Perseroan melalui Ordonansi PPs. 1925, sedangkan untuk jenis-jenis
penghasilan berupa Deviden, Bunga dan Royalty dikenakan Pajak atas Bunga, Devidend,
dan Royalty (PBDR), melalui UU PBDR 1970. yang sekarang ini menjadi PPh. Pasal 23,
sebagaimana diatur dalam Psl 23 UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah beberapa kali
dirubah terakhir melalui UU No. 36 Tahun 2008 Pajak Penghasilan..
Di tahun 1967, diintrodusir suatu sistem pemungutan pajak yang mengarah kepada
sistem Self-Assessment, tetapi masih tahap semi self-assessment yang disebut system
MPS-MPO (Menghitung, Menyetor, dan Melapor Pajak Sendiri-MPS, serta Menghitung,
Memungut, Menyetor dan Melaporkan Pajak Orang - MPO), melalui UU No. 8 Tahun 1967
juncto Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1967. Sistem MPS-MPO diterapkan untuk
pelaksanaan pemugutan Pajak Pendapatan (PPd ), Pajak Perseroan (PPs), serta Pajak
atas Bunga, Devidendan Royalty (PBDR), dan diharapkan sistem ini menuju sistem Self-
Assessment, tapi karena beberapa hal antara lain kondisi masyarakat WP, kesiapan
aparatur pajak, kondisi administrasi yang belum mendukung pelaksanaannya, maka
sistem MPS-MPO ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Keadaan ini berjalan sampai
dengan awal tahun 1980, dan mulai awal tahun 1980 inilah, Pemerintah secara serius dan
berketetapan hati melaksanakan pemungutan pajak melalui sistem Self-Assessment
dengan melakukan Tax-Reform sebagaimana dijelaskan diatas.
Perjalanan Tax-Reform sampai saat ini selalu mengalami penyempurnaan dan
penyesuain dalam rangka kemandirian bangsa Indonesia memenuhi tuntutan APBN yang
dari tahun ke tahun selalu meningkat, dimana penerimaan pajak memegang peranan 70
s/d 75 % dari target yang dicantumkan dalam APBN itu sendiri.

1.2. Tujuan Instruksi Umum.

Setelah mempelajari modul ini peserta Diklat diharapkan :


a. Dapat memahami riwayat singkat dari Pajak Penghasilan
b. Dapat mengetahui dan membandingkan serta membedakan Pajak Penghasilan antara
sebelum Tax-Reform dengan setelah Tax-Reform.
c. Latar belakang lahir nya sistem Self-Assessment.
d. Dapat menjelaskan Subjek Pajak dan non Subjek Pajak
e. Dapat memahami objek pajak dan bukan objek pajak.
f. Dapat memahami objek pajak yang dikenakan bersifat final.

1.3. Tujuan Instruksi Khusus.

Setelah mempelajari modul ini peserta Diklat diharapkan :


a. Dapat menjelaskan riwayat pengenaan Pajak Penghasilan, yang dahulunya terdiri dari
PPd, PPs, dan PBDR.
b. Dapat menjelaskan latar belakang dilakukannya Tax-Reform.
c. Dapat menjelaskan latar belakang lahirnya sistem self-assessment.
d. Dapat menjelaskan subjek dan bukan subjek Pajak Penghasilan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 1


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

e. Dapat menjelaskan pembagian subjek pajak berdasarkan domisili.


f. Dapat menjelaskan perbedaan perlakuan perpajakan subjek pajak berdasarkan
pembagian domisili dimaksud.
g. Dapat menjelaskan mulai dan berakhirnya kewajiban subjek pajak.
h. Dapat menjelaskan yang menjadi objek dan tidak objek pajak.
i. Dapat menjelaskan pengenaan PPh yang bersifat final.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 2


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

2. KEGIATAN BELAJAR 1.

RIWAYAT SINGKAT PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN DI INDONESIA.

2.1. Uraian, contoh.

2.1.1. UU Pajak Pendapatan 1944 (Ordonansi PPd 1944).

Pajak Pendapatan yang diberlakukan melalui Ordonansi tersebut diatas,


berlaku sampai dengan 31 Desember 1983, adalah produk buatan Belanda
yang dibuat di Australia.
Tugasnya menetapkan besarnya pajak terutang yang merupakan kontribusi
masyarakat kepada negara dalam mengisi kas APBN, berada ditangan fiskus
(petugas pajak), yang mencerminkan kurangnya partisipasi serta peran aktif
masyarakat wp dalam menentukan besarnya beban pajak yang harus
mereka pikul.
Besarnya pajak terutang yang harus dibayar ditetapkan melalui suatu
lembaga yang dinamakan Surat Ketetapan Pajak (SKP), yang untuk tahun
berjalan disebut SKP Sementara, yang kemudian pada akhir tahun
diterbitkan lagi SKP Rampung, dengan mengurangkan pajak terutangnya dari
SKP Sementara.
Subjek Pajaknya dibagi 2 (dua) yaitu :
- Subjek Pajak dalam negeri ; dan
- Subjek Pajak luar negeri
Yang dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya terdapat
perlakuan yang berbeda, antara lain bagi Subjek dalam negeri berlaku azas
domisili, sedangkan bagi Subjek Pajak luar negeri berlaku azas sumber.
Objek (sasaran) pajak pada Pajak Pendapatan 1944, menganut pengertian
sempit, dimana yang dikenakan pajak hanya pendapatan-pendapatan yang
berasal dari 4 sumber pendapatan yaitu :
- Hasil dari usaha dan tenaga.
- Hasil dari harta bergerak.
- Hasil dari harta tak gerak,
- Hak atas bayaran berkala.
Pengertian pendapatan selain berbentuk uang, juga bukan uang seperti
natura dan atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh seseorang.
Tarif pajak yang berlaku ada 2 macam, yaitu :
- Tarif umum, ada 19 lapisan tarif progresif, tarif marginal mulai dari 5%
sampai dengan 50%.
- Tarif khusus, yang berlaku bagi pendapatan tertentu sebesar 10%
Pendapatan yang dikenakan pajak adalah Pendapatan Bersih, yaitu
Pendapatan yang telah diurangi dengan Batas Pendapatan Bebas Pajak
(BPBP). Besarnya BPBP setiap tahun ditentukan menurut Keputusan Menteri
Keuangan.

2.1.2. Pajak Perseroan (PPs).

Pajak Perseroan yang diatur melalui ordonansi PPs. 1925, juga merupakan
produk hukum buatan Belanda jauh sebelum kemerdekaan berakhir
dilaksanakan 31 Desember 1983. Guna mengikuti perkembangan zaman dan
situasi, terhadap ordonansi PPs. ini sering dilakukan perubahan dan
penyempurnaan disana sini, dimana perubahan terakhir dan mendasar
adalah melalui UU No.8 Tahun 1970, Tentang Perubahan & Penyempurnaan
Ordonansi PPs. 1925, yang antara lain berisi ketentuan-ketentuan mengenai

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 3


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

perangsang penanaman dan berbagai bentuk fasilitas perpajakan dalam


rangka menampung kegiatan Penanaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun
1967, serta Penanaman Modal Dalam Negeri –UU No. 6 Tahun 1968.
Yang menjadi Subjek Pajak pada PPs. adalah Badan-Badan, baik yang
modalnya terbagi atas saham atau tidak terbagi atas saham.
Subjek Pajak juga dibedakan dan dibagi atas :
- Subjek Pajak dalam negeri ;
- Subjek Pajak luar negeri.
Pengertian laba yang menjadi objek (sasaran) pengenaan PPs, adalah
paham laba material, yaitu berdasarkan kenyataan atau keadaan sebenarnya
dari suatu penerimaan/pengeluaran, dan tidak tergantung kepada nama yang
diberikan dari suatu penerimaa/pengeluaran.
Demikian pula tidak terikat/dipengaruhi oleh sistem pembukuan, pandangan,
pendapat serta pikiran dari si wajib pajak. Kemudian dalam rangka untuk
menciptakan iklim yang kondusif dari perkembangan ekonomi, beban pajak
diintrodusir bermacam tarif khusus berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan.
Dengan demikian tarif yang berlaku ada 2 macam yaitu :
- Tarif Umum, dan
- Tarif Khusus.
Sistem pengenaan pajak juga dilakukan dengan sistem official Assessment
dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Sementara diawal tahun,
serta SKP Rampung pada akhir tahun.

2.1.3. Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalty (PBDR)-UU PBDR 1970.

Latar belakang yang melahirkan PBDR, adalah bahwa berdasarkan


Ordonansi PPd. 1944, dan Ordonansi PPs. 1925, tidak semua orang dan
badan yang bertempat tinggal di luar Indonesia dapat dikenakan pajak
walaupun mereka memperoleh/menerima pendapatan dari sumber-sumber
yang berasal atau datang dari Indonesia, maka untuk menggali potensi pajak
dari sumber-sumber tersebut, lahirlah Perpu No.12 Tahun 1959, yang
mengatur pengenaan pajak atas deviden yang dibayarkan ke luar negeri
dengan sistem ”withholding tax ”, yang kemudian lebih terkenal dengan nama
Undang-Undang Pajak Deviden 1959.
Dengan terbukanya perekonomian Indonesia terhadap pihak luar, maka
banyak investor dari luar negeri yang melakukan kegiatan baik langsung
maupun tidak langsung, membuka kegiatan/usaha/partispasi ke Indonesia
sehingga pendapatan bukan hanya dalam bentuk Deviden tapi telah
berkembang dalam bentuk lain seperti bunga, dan royalty. Oleh karena itu
UU Pajak Deviden diperluas objeknya, dan diganti dengan Undang-Undang
Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalti (UU No. 10 Tahun 1970).
Bagi WP dalam negeri, pembayaran PBDR yang dilakukan melalui
pemotongan tersebut, merupakan pembayaran pajak dimuka (cicilan) dari
Pajak yang terutang pada akhir tahun melalui perhitungan SKP Rampung.
Bagi WP luar negeri pemotongan PBDR merupakan pembayaran pajak
bersifat final.

2.1.4. Menghitung Pajak Sendiri (MPS), dan Menghitung Pajak Orang lain
(MPO)

Sistem ini diintrodusir melalui UU No. 8 Tahun 1967, juncto PP No. 11 Thn
1967. MPS-MPO merupakan tatacara (sistem) dari pelaksanaan pemenuhan

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 4


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, termasuk juga Pajak Kekayaan, dan


bukan jenis pajak baru.
Dengan sistem ini WP diberi kepercayaan untuk Menghitung, Menyetor, serta
Melaporkan kewajiban pajaknya sendiri, selama tahun berjalan, walaupun
pada akhir tahun besarnya pajak terutang kembali ditetapkan oleh Fiskus
secara jabatan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Rampung,
sehingga dapat disebut sistem semi self-assessment. Di lain pihak sistem
MPO, adalah Menghitung, Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak
Orang lain, apabila berhubungan dengan pihak yang ditunjuk oleh Kantor
Pajak sebagai pemungut. Kepada yang kena pungut oleh pemungut
diberikan bukti pungutan yang dapat digunakan oleh yang bersangkutan
sebagai pengurang pajak terutang pada akhir tahun. Sistem MPS-MPO
berjalan secara paralel selama tahun berjalan, dan sistem inilah yang
menjadi cikal bakal lahirnya sistem Self-Assessment pada saat sekarang.
Kedua tatacara pembayaran dan pemotongan akan menjadi kredit pajak
(pembayaran dimuka) pada akhir tahun pajak.
Ekses yang terjadi dari pelaksanaan sistem MPS-MPO dalam praktek,
menjelmanya MPO menjadi jenis pajak tersendiri, ini terlihat dari laporan
penerimaan pajak yang dipublikasikan Direktorat Jenderal Pajak diera
tersebut, dengan mencantumkan besarnya penerimaan MPO setiap tahun, di
samping penerimaan Pajak Pendapatan, PPs, dan Pajak Kekayaan, suatu
hal menyimpang dari tujuan MPO sebagai salah satu sistem mengangsur
pajak terutang selama tahun berjalan.

2.1.5. Pembaharuan Pajak (Tax-Reform) awal Tahun 1980-an.

Bercermin pada kegagalan pelaksanaan MPS-MPO, disamping


adanya tuntutan yang mendesak, perlunya diadakan pembaharuan secara
menyeluruh dari system perpajakan, dalam rangka memenuhi tuntutan APBN
yang makin tahun semakin meningkat, pemerintah melaksanakan Tax-
Reform secara menyeluruh dibidang perpajakan, dengan mendapat bantuan
serta pandangan secara teknis dari expert luar negeri, dengan tetap
memperhatikan landasan berpikir undang-undang perpajakan yang telah ada
seperti PPd, PPs, Pajak Kekayaan, PBDR, IPEDA (pada waktu itu), serta
sistem MPS-MPO yang masih bersifat semi Self-Assessment.
Arah dan tujuan yang hendak dicapai dari Tax –Reform, sesuai dengan
mukaddimah yang tercantum yang melatar belakangi pembaruan perpajakan
adalah :
a. Keikut sertaan serta partisipasi anggota masyarakat untuk bersama-sama
secara gotong royong memikul beban pembiayaan dan pembangunan,
dalam bentuk kontribusi membayar pajak, dalam rangka kemandirian
bangsa.
b. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat
sebagai pembayar pajak
c. Menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan pemerataan, pembangunan, dan investasi diseluruh wilayah
RI.
d. Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas,
barang hasil olahan dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan
devisa.
e. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil, untuk mengoptimalkan
pengembangan potensinya, dalam rangka pengentasan kemiskinan.
f. Menunjang pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan
teknologi, pelestarian ekosistem, sumbar daya alam dan lingkungan hidup.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 5


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

g. Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan


makin bersih, peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, termasuk
penyederhanaan, dan kemudahaan prosedur dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan
pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, termasuk peningkatan
penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku.
h. Mencegah timbulnya pengenaan pajak yang berganda, dan mencegah
terjadi penghindaran dari kewajiban membayar pajak.
i. Penyederhanaan sistem tarip pajak, serta mencegah terjadi penyeludupan
pajak yang merugikan pendapatan negara.

Dengan dilandasi serta latar belakang yang disebut diatas maka lahirlah :
1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, Tentang Ketentuan Umum dan
Tatacara Perpajakan atau disingkat KUP.
2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, Tentang Pajak Penghasilan (PPh).
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1984, Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN-
PPn.BM).

Tiga UU ini kemudian disusul dengan 2 UU lagi yaitu ;


1. Undang-Undang No.12 Thn 1985, Tentang Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB).
2. Undang –Undang No. 13 Tahun 1985, Tentang Bea Meterai (BM).
Seluruh UU yang disebut diatas, kecuali UU Bea Meterai (UU No.13), telah
mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan, yang
selanjutnya akan dibahas pada bab-bab berikutnya.

2.2. Latihan 1.

a. Jelaskan jenis pajak apa yang diatur dengan Ordonansi PPd. 1944. dan
bagaimana pengaturannya setelah dilakukannya tax-reform
b. Ordonansi PPs. 1925 mengatur jenis pajak apa ?, dan apa perbedaan objek
pajaknya dengan objek pajak menurut Undang-Undang Pajak Penghasilan.
c. Terangkan apa yang saudara ketahui dengan PBDR, dan dimana ketentuan
yang sama pengaturannya dalam Pajak Penghasilan.
d. Apa kaitannya antara sistem MPS-MPO dengan PPd, PPs, dan apa pula
sebabnya sistem MPS-MPO ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan.
e. Jelaskan yang melatar belakangi dilakukannya Tax-Reform, dan jenis pajak
apa yang mengalami pembaruan, dan bagaimana kondisi dari UU Pajak yang
diperbaharui tersebut saat ini.

2.3. Rangkuman.

a. Sebelum Reformasi perpajakan, pengenaan pajak atas orang pribadi


menggunakan Ordonansi, PPd. 1944, sedangkan untuk badan menerapkan
Ordonansi PPs. 1925,
b. Atas pendapatan berbentuk bunga, deviden, dan royalty, dikenakan Pajak atas
Bunga, Deviden, dan Royalty (PBDR- UU No. 10 Tahun 1970), yang
sebelumnya hanya dikenakan Pajak Deviden, melalui UU Pajak Deviden 1959.
c. Baik PPd. maupun PPs. membagi klassifikasi WP, atas wp dalam negeri dan wp
luar negeri.
d. Untuk kelancaran pelaksanaan pengenaan PPd, maupun PPs, diintrodusir suatu
sistem (tatacara) yang disebut MPS-MPO, melalui UU No. 8 Tahun 1967 juncto
PP No. 11 11 Tahun 1967.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 6


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

e. Seiring dengan perkembangan zaman, serta meningkatnya tuntutan APBN dari


tahun ketahun, pemerintah melakukan reformasi menyeluruh bidang perpajakan,
maka lahirlah 3 UU Perpajakan baru (KUP, PPh, serta PPN-PPn. BM), diera
tahun 1980-an awal, yang kemudian direntang waktu sekitar 2 tahun, dicetuskan
lagi 2 UU baru (PBB, dan Bea Meterai.).
f. Sampai dengan saat modul ini dibuat, kecuali UU Bea Meterai, 4 UU Perpajakan
telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan.
g. UU Perpajakan yang lahir melalui reformasi perpajakan, menerapkan sistem Self-
Assessment dalam pelaksanaannya, yang sebelumnya telah dirintis melalui
tatacara MPS-MPO.
h. Perkembangan teknologi dunia usaha, termasuk perkembangan teknologi dan
informasi, mengilhami perlunya melakukan perubahan dalam tata kelola
penerimaan pajak.

3. KEGIATAN BELAJAR 2.

SUBJEK DAN NON SUBJEK PAJAK.

3.1. Uraian, dan contoh.


3.1.1. Pengertian :

Menurut Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah dirubah dan


disempurnakan terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008- Pajak Penghasilan,
”Pajak Penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam tahun pajak”.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (1) nya dijelaskan, bahwa yang menjadi
subjek pajak dalam Pajak Penghasilan adalah :
a. Orang Pribadi (Perseorangan) ;
b. Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan.
c. Badan ;
d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).
Penjelasan selanjutnya Pasal 2 ayat (1) adalah, Orang Pribadi sebagai
Subjek Pajak dapat bertempat tinggal di Indonesia, atau pun tidak bertempat
tinggal di Indonesia. Warisan sebagai Subjek Pajak, merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak dikemudian hari, ini menjadi
dasar agar pengenaan pajak dari warisan tersebut tetap terjamin, berhubung
misalnya yang punya harta (warisan) semasa hidup tidak menetapkan siapa
yang bertanggung jawab dikemudian hari apabila yang bersangkutan
meninggal dunia. Contoh : Ahmad semasa hidup memiliki usaha bengkel
mobil yang selalu tetap memenuhi kewajiban pajaknya setiap tahun. Suatu
saat Ahmad meninggal, harta (warisan berupa bengkel mobil) belum
dibagikan kepada ahli waris, maka selama belum dibagikan harta (bengkel
mobil) tersebut, berstatus sebagai subjek pajak. Apabila harta (bengkel
mobil) dimaksud, telah dibagikan (ditetapkan) pemilik barunya, maka warisan
(harta) tersebut berakhir kedudukannya sebagai subjek pajak. Berdasarkan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-161/PJ./2001, Tgl 21 Pebruari
2001, Tentang Jangka Waktu Pendaftaran, Pelaporan Kegiatan Usaha, dan
Tatacara Penghapusan NPWP, serta Pengukuhan Dan Pencabutan PKP,
pada pasal 10 menyebutkan, bahwa dalam hal wajib pajak yang telah
memiliki NPWP meninggal dunia, dan meninggalkan warisan yang belum
terbagi, maka warisan yang belum terbagi tadi kedudukannya sebagai subjek
pajak, menggunakan NPWP dari wajib pajak yang meninggal dunia, dan ahli
warisnya wajib mengisi formulir yang ditentukan, dan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak (PKP)nya, tidak diberikan pengurangan berupa

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 7


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sebagaimana ditegaskan dalam


Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-10/PJ.41/1996, Tgl 12 Pebruari
1996.
Pengertian Badan sebagai subjek pajak, adalah sekumpulan orang dan atau
modal yang merupakan satu kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun
tidak melakukan usaha, yang meliputi Perseroan Terbatas, Perseroan
Komanditer (CV), Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara/Daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana
Pensiun, Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi masa, Orgaisasi
sosial politik, atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Bentuk Usaha Tetap,
dan bentuk badan lainnya, termasuk Reksa dana.
Dalam UU ini, Bentuk Usaha Tetap ditentukan sebagai subjek pajak
tersendiri sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, sekalipun tatacara
pengenaannya serta ketentuan administrasi perpajakannya sama dengan
wajib pajak dalam negeri.Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah, merupakan Subjek Pajak, tanpa memperhatikan nama dan
bentuknya, sehingga setiap unit dari badan pemerintah, misalnya lembaga,
badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh pemerintah pusat, maupun
pemerintah daerah, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk
memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak. Sebagai subjek pajak
perusahaan Reksadana, baik yang berbentuk perseroan terbatas, maupun
bentuk lainnya, termasuk dalam pengertian badan. Sedangkan pengertian
perkumpulan termasuk pula assosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan
dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Selanjutnya dalam Pasal 2 ayat (5), UU No. 36 Tahun 2008-PPh, dijelaskan
bahwa yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap, adalah bentuk usaha
yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia, atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegiatan di
Indonesia, yang dapat berupa:
a. Tempat kedudukan manajemen ;
b. Cabang Perusahaan ;
c. Kantor Perwakilan ;
d. Gedung Kantor ;
e. Pabrik ;
f. Bengkel ;
g. Gudang ;
h. Ruang untuk promosi dan penjualan.
i. Pertambangan dan penggalian sumber alam ;
j Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi ;
k. Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan ;
m. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu
12(dua belas) bln;
n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas ;
o. Agen atau pegawai perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima premi asuransi
atau menanggung resiko di Indonesia ; dan
p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa,
atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan usaha melalui internet.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 8


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Seterusnya menurut penjelasan pasal 2 ayat (5) UU No. 36 Tahun 2008,


menyatakan bahwa suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian
adanya suatu tempat usaha (”place of bussiness”), yaitu fasilitas yang dapat
berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang
dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated
equipment), yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara
transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.
Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau
badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk
dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau
tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, tidak dapat dianggap
mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila orang pribadi atau
badan dalam menjalankan usaha, atau melakukan kegiatan di Indonesia,
menggunakan, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas,
asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak
sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.

Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat tinggal diluar Indonesia,


dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila perusahaan
asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia, atau
menanggung resiko di Indonesia melalui pegawai atau perwakilan atau
agennya di Indonesia.
Menanggung resiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang
mengakibatkan resiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, atau berada atau
bertempat kedudukan di Indonesia.

Selanjutnya dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b, UU No. 36 Tahun


2008, unit usaha tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria
berikut, tidak termasuk sebagai subjek pajak yaitu :
a. Dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.
c. Penerimaan lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran pemerintah
pusat atau pemerintah daerah.
d. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan funfsional negara.

Apabila suatu badan/lembaga memenuhi syarat–syarat tersebut diatas, maka


ia tidak termasuk subjek pajak penghasilan. Sebalikya apabila syarat-syarat
tersebut tidak dipenuhi, maka badan/lembaga tersebut adalah subjek pajak
pada pajak penghasilan.

3.1.2. Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 36 Tahun 2008, menjelaskan bahwa
subjek pajak terdiri dari subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
Selanjutnya dalam pasal tersebut dijelaskan subjek pajak menjadi wajib pajak,
apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan subjek pajak
luar negeri menjadi wajib pajak sehubungan dengan penghasilan yang diterima

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 9


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

atau diperoleh dari sumber di Indonesia. Dengan perkataan lain wajib pajak adalah
orang pribadi atau badan, yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Terdapat perbedaan perlakuan antara subjek pajak dalam negeri dengan
subjek pajak luar negeri, antara lain seperti tertera pada tabel dibawah :

No. Uraian Subjek Pajak(WP) DN Subjek Pajak LN.


Ruang lingkup Hanya Penghasilan dari
1. Meliputi Penghasilan Seluruh dunia.
Penghasilan Indonesia.
Kewajiban memiliki Tidak Wajib memiliki
2.. Wajib memiliki NPWP.
NPWP NPWP.
Terdapat kewajiban menyampaikan
Kewajiban Tidak ada kewajiban
3. baik SPT Masa maupun SPT
menyampaikan SPT Tahunan. SPT.
a. Penghasilan Neto bagi WP Badan
Penghasilan yg
4. b. Penghasilan Kena Pajak bagi WP Penghasilan Bruto.
dikenakan Pajak . Orang Pribadi.
a. Dikenakan Tarif Pasal 17, yaitu : Dikenakan Tarif Khusus
- Tarif tunggal 28% - WP Badan.
Psl 26, Atau seseuai
5. Tarif. - 5%, 15%, 25%, dan 35% WP OP
b. Dikenakan Tarif PPh. Final (Psl 4 dengan Tarif menurut
ayat 2. P3B (Tax-Treaty).
Merupakan pembayaran
Merupakan angsuran dari PPh yang
Pembayaran Pajak yang Final
6. terutang
Tahun Berjalan. pada akhir tahun, kecuali yang Final kecuali yang berubah
status.
Subjek Pajak Orang Tidak dapat pengurang
7. Dapat pengurangan beban PTKP
Pribadi PTKP.
Tidak mempunyai hak
8. Keberatan dan Banding Mempunyai Hak dimaksud.
dimaksud
Pembukuan dan Tidak terdapat kewajiban
9. Diwajibkan menyelenggarakan.
Pencatatan tsb.

Khusus WP Luar Negeri Bentuk Usaha Tetap (BUT), perlakuan perpajakannya, dan
ketentuan yang diterapkan dipersamakan dengan WP Dalam Negeri, seakan-akan
terdapatnya pengertian yang tidak konsisten terhadap subjek pajak luar negeri.
Rumusan dari subjek pajak dalam negeri terdapat dalam Psl 2 ayat (3) UU No. 36 Tahun
2008, yaitu :
a. Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam satu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Pengertian 183 hari dalam 12 bulan tidak harus berturut- turut, tapi bisa juga
diselang seling yang penting jumlah harinya mencapai 183 hari, begitu pula bagi yang
mempunyai niat, tidak harus menunggu mencapai 183 hari, tapi niat dimaksud dibuktikan
dengan mengurus legalisasi kependudukan, semisal keterangan izin menetap, kartu
penduduk dan lain sebagainya.
Selanjutnya pengertian Badan, bukan hanya yang menerbitkan/mengeluarkan
saham, tetapi juga yang tidak menerbitkan saham, termasuk kegiatan yang dikelola lebih
dari satu orang, demikian juga organisasi-organisasi yang nirlaba semisal partai politik,
perkumpulan sosial, kemasyarakatan (LSM).
Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan menggantikan mereka berhak,
untuk menjamin penerimaan negara dari pajak, seandainya yang punya waris tidak
meninggalkan wasiat/pesan/amanah, siapa yang harus bertanggung jawab, atau kepada
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 10
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

siapa harta tersebut diberikan apabila yang punya harta ini meninggal dikemudian hari,
apalagi kalau pembagian waris berlarut-berlarut sementara kewajiban perpajakannya tidak
ada yang mau bertanggung jawab. Oleh karena keberadaan Warisan yang belum dibagi
sebagai subjek pajak, hanya sampai warisan selesai dibagi, artinya tidak bersifat
permanen, maka dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, cukup menggunakan NPWP
yang meninggal. Terhadap warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh subjek
pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia melalui Bentuk
Usaha Tetap (BUT), dengan meninggalnya yang bersangkutan gugur statusnya sebagai
subjek pajak, hal ini dikarenakan subjek pajak orang pribadi melekat pada orangnya, tidak
ada istilah subjek pengganti.
Selanjutnya Pasal 2 ayat (4), UU No. 36 Tahun 2008, menjelaskan pengertian
subjek pajak luar negeri yakni :
a. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di
Indonesia ;
b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari, dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, dan badan yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dan
tidak menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.

Pasal ini menjelaskan, bahwa subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau
badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia, yang dapat
menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik tidak melalui ataupun
melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi
berada di Indonesia kurang dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka orang
pribadi tersebut adalah subjek pajak luar negeri. Apabila penghasilan yang diterima atau
diperoleh melalui bentuk usaha tetap, maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut
dikenakan pajak melalui bentuk usaha tetap, dan orang pribadi atau badan tersebut
statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian bentuk usaha tetap
menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut
diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap, maka pengenaan pajaknya
dikenakan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut. Berkenaan dengan
pengenaan pajaknya (orang pribadi dan badan), maka perlu ditetapkan tempat tinggal
orang pribadi atau tempat kedudukan badan. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (6), UU
No. 36 Tahun 2008, hal tersebut ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan
yang sebenarnya.
Penjelasan pasal dan ayat tersebut menerangkan bahwa penentuan tempat tinggal
orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan
Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan tersebut, termasuk Kantor Pelayanan Pajak mana
yang menerbitkan NPWP nya. Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat
kedudukan badan, ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian
penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada
pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam
menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut antara lain
domisili, alamat tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok, atau hal-hal
lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban
pajak.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 11


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Keputusan tentang tempat tinggal orang pribadi dan tempat kedudukan badan dimaksud,
ditetapkan dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep 701/PJ.2001, Tgl 16
Nopember 2001, yang isinya antara lain :
1. Tempat tinggal orang pribadi menurut keadaan yang sebenarnya :
a. Rumah tetap orang pribadi berada, yaitu rumah tempat orang pribadi tinggal
beserta keluarganya bertempat tinggal sebagaimana tercantum dalam Kartu Tanda
Penduduk (KTP)
b. Rumah tetap orang pribadi tempat pusat kepentingan pribadi dan ekonominya
dilakukan, dalam hal orang pribadi mempunyai rumah tetap sebagaimana
dimaksud huruf (a), didua tempat atau lebih wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak.
c. Tempat orang pribadi lebih lama tinggal, dalam hal rumah tetap tempat tinggal
pusat kepentingan pribadi dan ekonomi dilakukan sebagaimana dimaksud dalam
huruf (b) tidak dapat ditentukan.
d. Dalam hal tempat tinggal orang pribadi berada dalam dua atau lebih wilayah kerja
Kantor Pelayanan Pajak, tetapi dalam satu wilayah kerja Kantor wilayah Direktorat
Jenderal Pajak, penentuan tempat tinggal dilaksanakan oleh Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak.
e. Dalam hal tempat tinggal orang pribadi berada dalam dua atau lebih wilayah kerja
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, penentuan tempat tinggal dilaksanakan
oleh Direktur Pajak Penghasilan atas nama Direktur Jenderal Pajak.

2. Tempat kedudukan badan menurut keadaan yang sebenarnya.


a. Tempat kantor pimpinan perusahaan dan pusat administrasi dan keuangan berada
sebagaimana tercantum dala Akte Notaris Pendirian Perusahaan yang
bersangkutan.
b. Tempat kantor pimpinan perusahaan berada dalam hal tempat kantor pimpinan
perusahaan terpisah dari tempat pusat administrasi dan keuangan perusahaan.
c. Tempat kedudukan badan menurut keadaan sebenarnya yang ditentukan oleh
Direktur Jenderal Pajak, dalam hal keadaan sebagaimana dimaksud dalam huruf
(b) berada dibeberapa tempat.
d. Dalam hal tempat kedudukan badan berada dalam dua atau lebih wilayah kerja
Kantor Pelayanan Pajak, tetapi dalam satu wilayah kerja Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak
e. Penentuan tempat tinggal dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat
Jenderal Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak.
f. Dalam hal tempat kedudukan badan berada dalam dua atau lebih wilayah kerja
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak, penentuan tempat tinggal dilaksanakan
oleh Direktur Pajak Penghasilan atas nama Direktur Jenderal Pajak.
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk
menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dan badan tersebut,
termasuk keperluan untuk penerbitan NPWP nya.

3.1.3. Saat Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif.

Penentuan saat mulai dan berkhirnya kewajiban pajak subjektif diatur dalam Psl 2A
UU No. 36 Tahun 2008. Penjelasan pasal ini menerangkan bahwa Pajak
Penghasilan merupakan jenis pajak subjektif, yang kewajiban pajaknya melekat pada
subjek pajak yang bersangkutan, artinya kewajiban pajak tersebut dimaksudkan
untuk tidak dilimpahkan kepada subjek pajak lainnya. Oleh karena itu dalam rangka
memberikan kepastian hukum, penentuan saat mulai dan berakhirnya kewajiban
pajak subjektig menjadi penting.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 12


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Pasal 2A ayat (1) mengemukakan bahwa kewajiban pajak subjektif orang


pribadi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) huruf (a), yaitu orang pribadi
yang bertempat tinggal di Indonesia, atau orang pribadi yang berada di Indonesia
lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, kewajiban pajak subjektifnya
dimulai sejak hari pertama ia berada di Indonesia, dan mempunyai niat untuk
bertempat tinggal di Indonesia, dimulai pada saat orang pribadi itu dilahirkan, berada,
atau berniat, untuk bertempat tinggal di Indonesia, dan berakhir pada saat meninggal
atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
Untuk lebih jelasnya hal tersebut, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Subjek Pajak Mulai Berakhirnya.

Dalam Negeri -Pada saat dilahirkan Pada saat meninggal


Orang Pribadi Di Indonesia. dunia,
- Bertempat tinggal di Indonesia -Sejak hari pertama atau meninggalkan Indone-
- Berada di Indonesia lebih dari berada di Indonesia. sia buat selama-lamanya.
183 hari dlm 12 bulan atau berada
dan punya niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia.
Warisan yang belum terbagi Pada saat meninggal- Pada saat warisan tersebut
nya pewaris. selesai dibagi.

Badan. Pada saat badan terse- Pada saat badan tersebut


but didirikan, atau di
bertempat kedudukan bubarkan dan dilikuidasi,
di Indonesia. atau tidak lagi bertempat ke
dudukan di Indonesia.

Subjek Pajak
Luar negeri.
Orang Pribadi yg tidak bertempat
tinggal atau berada di Indonesia tidak
lebih 183 hari, dan badan yg tidak
didirikan dan tdk bertempat kedudukan
di Indonesia.
-Yang menjalankan usaha, atau Pada saat BUT Pada saat ditiadakannya
melakukan kegiatan melalui BUT. tersebut berada BUT.
di Indonesia.

-Tidak menjalankan usaha/kegiatan Pada saat adanya Pada saat putusnya hubu
melalui BUT. hubungan ekono- ngan ekonomis dengan
mis dengan Indo- Indonesia.
nesia.

Pengertian meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya harus dikaitkan dengan hal-hal


yang nyata, pada saat orang pribadi tersebut meninggalkan Indonesia. Apabila pada saat
ia meninggalkan Indonesia terdapat bukti – bukti yang nyata mengenai niatnya untuk
meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, maka pada saat itu ia tidak lagi menjadi
Subjek Pajak dalam negeri.

Kewajiban pajak subjektif badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di


Indonesia (Psl 2 ayat (3) huruf b), diatur dalam Psl 2A ayat (2), yang mengemukakan,
bahwa kewajiban pajak subjektif dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 13


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubarkan, atau tidak lagi
bertempat kedudukan di Indonesia.

Pasal 2A ayat (3) mengatur bahwa kewajiban pajak subjektif orang pribadi atau
badan sebagaimana dimaksud dalam Psl 2 ayat (4) huruf a (yaitu orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia), dimulai
pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usahaatau melakukan kegiatan
sebagaimana diatur dalam Psl 2 ayat (5), dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.

Penjelasan ayat ini menerangkan bahwa bagi orang pribadi yangtidak bertempat
tinggal dan berada di Indonesia tidak lebih 183 hari, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, melalui suatu BUT, kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat
BUT tersebut berada di Indonesia dan berakhir pada saat BUT tersebut tidak lagi berada
di Indonesia.

Psl 2A ayat (4) mengatur tentang kewajiban pajak subjektif orang pribadi Atau
badan sebagaimana dimaksud dalam Psl 2 ayat (4) huruf b, (yaitu subjek pajak luar negeri
yang bukan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan kegiatan melalui BUTdi
Indonesia), dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau
memperoleh penghasilan.
Penjelasan Psl 2A ayat (4) ini menyatakan bahwa orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal atau berada di Indonesia, tidak lebih dari 183 hari, dan badan yang didirikan dan
tidak berkedudukan di Indonesia, dan tidak menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia,
adalah subjek pajak luar negeri sepanjang orang pribadi atau badan tersebut mempunyai
hubungan ekonomis dengan Indonesia. Hubungan ekonomis dengan Indonesia dianggap
ada, apabila orang pribadi dan badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia.
Kewajiban pajak subjektif orang atau badan tersebut dimulai pada saat orang
pribadi atau badan tadi mempunyai hubungan ekonomis dengan Indonesia, yaitu
menerima atau memperoleh penghasilan dari sumber-sumber dari Indonesia, dan berakir
pada saat orang pribadi atau badan tersebut tidak lagi mempunyai hubungan ekonomis
dengan Indonesia.

Psl 2A ayat (5) mengatur tentang kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi,
dimulai saat timbulnya warisan yang belum terbagi, dan berakir pada saat warisan
tersebut selesai dibagi.
Penjelasan ayat ini menerangkan bahwa kewajiban pajak subjektif warisan yang belum
terbagi, dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi, yaitu pada saat
meninggalnya yang punya waris, dan saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya
melekat pada warisan tersebut. Kewajiban pajak subjektif warisan berakhir pada saat
warisan tersebut dibagi kepada ahli waris.

Selanjutnya Psl 2A ayat (6) menyatakan bahwa apabila kewajiban pajaksubjektif


orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia hanya meliputi sebagian
dari tahun pajak, maka bagian tahun pajak tersebut menggantikan tahun pajak. Dalam
penjelasan ayat ini, dikemukakan bahwa dapat terjadi orang pribadi menjadi subjek pajak
tidak untuk jangka waktu satu tahun pajak penuh misalnya menjadi subjek pajak pada
pertengahan tahun pajak, atau meninggalkan Indonesia buat selama-lamanya pada
pertengahan tahun pajak, maka jangka waktu yang kurang dari satu tahun pajak tersebut
disebut bagian tahun pajak yang menggantikan tahun pajak.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 14


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

3.1.4. Tidak termasuk sebagai Subjek Pajak.

Pengecualian sebagai subjek pajak diatur dalam Psl 3 UU No. 36 Thn 2008, dimana
dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak
adalah :

a. Kantor Perwakilan Negara Asing ;


b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja
pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
- Bukan Warga Negara Indonesia;
- Tidak menerima penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya;
- Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang sama (azas timbal
balik).
c. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan (terakhir dengan Kep. MK 601/KMK.03/2005, dengan syarat :
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut; dan
2. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia, selain dari pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya
berasal dari iuran para anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan (sebagaimana dimaksud huruf c), dengan syarat
bukan WNI, dan di Indonesia tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Penjelasan Psl 3 huruf (a) dan (b) tersebut diatas, menerangkan bahwa sesuai dengan
kelaziman yang berlaku secara Internasional, bahwa badan perwakilan negara asing
beserta pejabat-pejabatnya, serta orang yang diperbantukan, serta tinggal bersama
mereka dengan syarat bukan WNI, tidak melakukan ke giatan lain, serta negara asing
tersebut memberikan perlakauan yang sama (azas timbal balik), dikecualikan sebagai
subjek pajak. Pengecualian tersebut tidak berlaku, apabila mereka memperoleh
penghasilan lain di Indonesia, diluar jabatannya atau mereka adalah WNI.
Dengan demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing, memperoleh
penghasilan lain diluar jabatannya, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenakan
pajak atas penghasilan tesebut. Namun apabila negara asal pejabat tersebut memberikan
pembebasan pajak kepada perwakilan Indonesia, atas penghasilan lain diluar tugas dan
jabatannya, maka kembali lagi berlaku azas timbal balik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Psl 3 huruf (c) dan (d), diatur lebih lanjut dalam
KMK seperti disebut diatas. Yang dimaksud dengan organisasi Internasional adalah
organisasi/badan/lembaga/asosiasi /perhimpunan/forum antar pemerintah atau non
pemerintah ygbertujuan untuk meningkatkan kerjasama Internasional dan dibentuk
dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama, sedangkan yang dimaksud dengan
pejabat perwakilan organisasi Internasional adalah pejabat yang diangkat langsung oleh
induk organisasi Internasional yang bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan
dalam organisasi tersebut di Indonsia.

Selanjutnya dikemukakan bahwa organisasi Internasional bukan merupakan subjek pajak


penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut ;
a. Indonesia menjadi anggota organisasi didalamnya dan;
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari
iuran anggota.
Organisasi Internasional yang berbentuk kerjasama tehnik dan atau kebudayaan bukan
merupakan subjek pajak, Pajak Penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 15


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

a. Kerjasama tehnik tsb memberi manfaat pada negara/Pemerintah Indonesia;


b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
Pejabat perwakilan dari organisasi Internasional tersebut diatas, bukan merupakan subjek
pajak penghasilan, apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Bukan Warga Negara Indonesia ; dan
b. Tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.

Organisasi Internasional dan pejabat perwakilan organisasi Internasional yang


tidak memenuhi syarat tersebut diatas, dikenakan Pajak Penghasilan, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Misalnya seorang pejabat perwakilan organisasi Internasional
diluar tugas pokoknya contoh menjadi pengajar bahasa asing di lembaga kursus swasta,
atau pembicara pada suatu seminar, kemudian mendapat honor, maka honor tersebut
dikenakan pemotongan PPh Psl 21, atau Psl 26, oleh penyelenggaranya.

Mengenai Organisasi Internasional yang dikecualikan sebagai subjek pajak, seperti


dimaksud diatas, tidak diperinci dalam modul ini, karena terlalu banyak dan kurang efisien,
tetapi secara garis besar dapat disebut disini yaitu :
I. Badan-Badan Internasional dari PBB (terdapat 15 organisasi)
II. Colombo Plan ( ada 8 organisasi)
III. Kerjasama Tehnik (terdapat 18 kerjasama tehnik)
IV. Kerjasama Kebudayaan (ada 4 kerjasama kebudyaan)
V. Organisasi –Organisasi Internasional lainnya (terdapat 54 badan)
VI. Organisasi Swasta Internasional ( terdapat 18 organisasi).
Apabila ada organisasi internasional, tapi tidak termasuk dalam daftar dimaksud, maka
organisasi internasional tersebut menjadi subjek pajak.

3.2. Latihan 2

1. Siapakah subjek pajak pada PPh, dan jelaskan perbedaan perlakuan perpajakan
antara subjek pajak DN dengan subjek pajak LN.
2. Mengapa warisan yang belum terbagi ditunjuk sebagai subjek pajak ?
3. Jelaskan kriteria antara subjek pajak dalam negeri subjek luar negeri.
4. Pengertian 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan sebagai subjek pajak dalam
negeri itu bagaimana, jelaskan dengan hitungan waktunya.
5. Apa pula pengertian BUT, apa beda BUT dengan subjek pajak LN lainnya.
6. Pajak Penghasilan apakah termasuk pajak subjektif, atau pajak objektif ?
7. Kapan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagai
WP dalam negeri.
8. Jelaskan pula mulai dan berakhitnya kewajiban pajak subjektif bagi BUT.
9. Siapa saja yang dikecualikan sebagai subjek pajak.
10. Dasar hukum apa untuk menentukan suatu organisasi internasional menjadi
subjek pajak atau tidak menjadi Subjek Pajak,

3.3. Rangkuman
Berdasarkan uraian –uraian terdahulu, maka yang menjadi Subjek Pajak, dan bukan
Subjek Pajak, pada Pajak Penghasilan adalah :

3.3.1. Subjek Pajak Dalam Negeri :

a. Orang pribadi yang lahir dan atau, bertempat tinggal lebih dari 183 hari dalam
12 bulan, atau berada di Indonesia dan berniat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 16
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Warisan yang belum terbagi, sebagai satu kesatuan menggantikan mereka


yang berhak.
b. Badan (PT, Firma, Kongsi dst nya )

3.3.2. Subjek Pajak Luar Negeri

a. Orang pribadi yang berada kurang dari 183 hari dalam 12 bulan, atau berada
di luar negeri tapi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia,
b. Orang pribadi yang kurang dari 183 hari berada di Indonesia, atau orang
pribadi atau badan yang berada di luar negeri yang melakukan usaha baik
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, atau bukan melalui bentuk usaha
tetap.

3.3.3. Terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara subjek dalam negeri dengan
subjek pajak luar negeri,

3.3.4. Warisan yang belum terbagi menjadi subjek pajak menggantikan kedudukan
yang akan menerima warisan tersebut dikemudian hari.

3.3.5. Untuk menentukan mulai dan berakhirnya kewajiban pajak maka dibedakan
mulai dan berakhirnya kewajiban pajak bagi subjek pajak dalam negeri dengan
mulai dan berakhirnya kewajiban pajak subjek pajak luar negeri secara jelas.

3.3.6. Sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara internasional maka Badan
Perwakilan negara asing disuatu negara, beserta pejabat-pejabatnya dengan
syarat-syarat tertentu, dan Organisasi Internasional yang ditentukan melalui
Keputusan dan Peraturan Menteri Keuangan dikecualikan sebagai subjek pajak.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 17


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

4. KEGIATAN BELAJAR 3.

OBJEK DAN NON OBJEK PADA PAJAK PENGHASILAN.

4.1. Uraian, contoh dan non contoh.

4.1.1. Pengertian Penghasilan.

Rumusan penghasilan yang termasuk objek pajak dalam Psl 4 ayat (1) UU No. 36
Tahun 2008. yang berbunyi :
” Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah
kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, baik yang berasal dari Indonesia, maupun dari
luar Indonesia, dengan nama dan dalam bentuk apapun. termasuk :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa, yang diterima atau
diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan honororarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang
pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan dalam UU ini :
b. Hadiah dari undian, atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan ;
c. Laba usaha ;
d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta termasuk :
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal ;
2) keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, dan atau
anggota yang diperoleh peseroan, persekutuan, dan badan lainnya ;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambil alihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan
dalam bantuk apapun ;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil,
yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan,
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan ;

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.dan


pembayaran tambahan pengembalian pajak.
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan dan jaminan pengembalian utang ;
g. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;
h Royalti ;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. Penerimaan dan perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena pemebebasan utang, kecuali sampai jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah ;
l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing ;
m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva ;
n. Premi asuransi ;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib
pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 18


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

q. penghasilan dari usaha yang berbasis syariah ;


r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan, dan :
s. surplus Bank Indonesia.

Penjelasan Psl 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008, lengkapnya adalah :

Huruf a

Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji,
premi asuransi jiwa, asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja atau imbalan
dalam bentuk lainnya adalah objek pajak.
Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang
pada hakekatnya merupakan penghasilan.

Huruf b

Dalam pengertian hadiah, termasuk hadiah dari undian, pekerjaan, dan kegiatan seperti
hadiah undian tabungan, hadiah dari pertandingan olah raga dll sebagainya. Yang
dimaksud dengan penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungandengan
kegiatan tertentu, misalnya imbalan yang diterima sehubungan dengan penemuan benda-
benda purbakala.

Mengenai perlakuan PPh terhadap hadiah dan penghargaan, agar tidak terdapat keraguan
dalam pelaksanaannya, telah dikeluarkan surat edaran/keputusan Direktur Jenderal Pajak
dan terakhir Surat Keputusan Direktur Jnderal Pajak No. KEP.395/PJ.2001, Tgl 13 Juni
2001, tentang Pengenaan Pajak Penghasilan atas Hadiah dan Penghargaan, yang
mengatur hal-hal sebagai berikut :
(1) Pengertian :
a. Hadiah undian adalah hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang
diberikan melaui undian ;
b. Hadiah atau penghargaan perlombaan adalah hadiah atau penghargaan yang
diberikan melalui suatu perlombaan atau adu ketangkasan.
c. Hadiah sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan lainnya, adalah
hadiah dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diberikan sehubungan
dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh penerima hadiah.
d. Penghargaan adalah imbalan yang diberikan sehubungan dengan prestasi
dalam kegiatan tertentu.
(2) Tarif dan dasar pengenaan :
a. Hadiah undian dikenakan PPh sebesar 25% dari jumlah penghasilan bruto, dan
bersifat final.
b. Hadiah atau penghargaan perlombaan, dan hadiah sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan lainnya dikenakan PPh dengan ketentuan sbb :
 Dalam hal penerima penghasilan adalah orang pribadi wajib pajak dalam
negeri, dikenakan PPh Psl 21 sebesar tarif Psl 17 UU PPh.
 Dalam hal penerima penghasilan adalah wp luar negeri, selain BUT,
dkenakan PPh Psl 26 sebesar 20% dari jumlah bruto, atau sesuai dengan
tarip P3B.
 Dalam hal penerima penghasilan adalah wp badan, termasuk BUT,
dikenakan PPh berdasarkan Psl 23 ayat (1) huruf a.4 UU PPh, yaitu
sebesar 15% dari jumlah penghasilan bruto.
(3) Tidak termasuk pengertian hadiah dan penghargaan yang dikenakan PPh, adalah
hadiah langsung dalam penjualan barang atau jasa sepanjang diberikan kepada

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 19


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

semua pembeli atau konsumen akhir tanpa diundi dan hadiah tersebut diterima
langsung oleh konsumen akhir pada saat pembelian barang atau jasa.
Huruf d.
Apabila wp menjual harta dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa bukunya,
atau lebih tinggi dari nilai perolehan, maka selisih harga tersebut merupakan keuntungan
yang dikenakan pajak, tapi cara perhitungannya adalah seluruh nilai jual atau penggantian
harta tersebut, dimasukan sebagai penghasilan, kemudian sisa bukunya dibebankan
sebagai pengurangan penghasilan pada akhir tahun pajak.
Dalam hal penjualan harta tersebut terjadi antara badan usaha dengan pemegang
sahamnya, maka nilai jual/penggantian yang digunakan, adalah harga pasar. Misalnya PT
Q, memiliki sebuah mobil dengan nilai sisa buku Rp 50.000.000.-. mobil tersebut dijual
dengan harga Rp 65.000.000.- maka selisih sebesar Rp 15.000.000. merupakan
penghasilan bagi badan usaha tersebut, dan apabila mobil dimaksud dbeli salah seorang
pemegang sahamnya dengan harga Rp 55.000.000.- maka selisih sebesar Rp15.000.000.
tetap merupakan penghasilan badan usaha tersebut, sedangkan pemegang saham
dengan selisih harga pasar Rp 10.000.000,- merupakan objek pajak bagi pemegang
saham dimaksud.
Apabila suatu badan dilikuidasi, keuntungan dari penjualan harta/aktiva badan
tersebut, yaitu harga jual dengan nilai sisa bukunya juga merupakan objek pajak. Dalam
hal terjadi pengalihan harta sebagai pengganti saham, atau penyertaan modal, maka
keuntungan berupa selisih antara harga pasar harta tersebut, dengan nilai bukunya
merupakan objek pajak.

Keuntungan berupa selisih antara harga pasar dengan nilai perolehan atau nilai
sisa buku atas pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, dianggap
sebagai penghasilan bagi pihak yang mengalihkan, kecuali harta tersebut dialihkan
kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan
keagamaan, atau badan pendidikan, atau sosial, termasuk yayasan dan pengusaha kecil
dan koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan
usaha, kegiatan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak
yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Keuangan No. 604/KMK.04/ 1994, Tgl 21
Desember 1994, Tentang Badan-Badan dan Pengusaha Kecil yang Menerima Harta
hibahan dan Yang tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan disebut bahwa :
- Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata- mata
mengurus tempat ibadah, dan/atau menyelenggarakan kegiatan dibidang keagamaan,
yang tidak mencari keuntungan ;
- Badan pendidikan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata
menyelenggarakan pendidikan formal tingkat taman kanak-kanak dan/atau tingkat
dasar, dan/atau tingkat menengah perguruan tinggi, yang tidak mencari keuntungan;
- Badan sosial adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata
menyelenggarakan :
(1) pemeliharaan kesehatan dan/atau
(2) pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo), dan/atau ;
(3) pemeliharaan anak yatim piatu, anak atau orang terlantar, dan/atau anak serta
orang cacat, dan/atau ;
(4) santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan
sejenisnya, dan/atau ;
(5) pemberian bea siswa dan/atau ;
(6) pelestarian lingkungan hidup, dan/atau
(7) kegiatan sosial lainnya;

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 20


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuantungan.


- Pengusaha kecil termasuk koperasi adalah pengusaha yang pada saat menerima
hibah jumlah nilai aktivanya tidak termasuk tanah dan/atau bangunan tidak melebihi
Rp 600.000.000.-(enam ratus juta rupiah).
- Harta hibahan yang diterima oleh badan-badan dan pengusah kecil termasuk koperasi,
tidak termasuk sebagai objek pajak penghasilan, sepanjang antara pemberi hibah
dengan penerima hibah tidak ada hubungan kegiatan, usaha, pekerjaan, dan
kepemilikan atau penguasaan.
- Pengalihan harta hibahan dibukukan sesuai dengan nilai sisa buku harta tsb.

Huruf e

Pengembalian pajak yang telah dibebankan sebagai biaya, pada saat menghitung
Penghasilan Kena Pajak, merupakan objek pajak. sebagai contoh PBB yang sudah
dibayar dan dibebankan sebagai biaya, yang karena suatu sebab dikembalikan, maka
jumlah sebesar pengembalian tersebut merupakan penghasilan.

Huruf f

Dalam pengertian bunga termasuk pula premium, diskonto, dan imbalan sehubungan
dengan jaminan pengembalian utang. premium terjadi apabila misalnya surat obligasi
dijual diatas nilai nominalnya, sedangkan diskonto terjadi apabila surat obligasi dibeli
dibawah nilai nominal.
Premium tsb merupakan penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi, dan diskonto
merupakan penghasilan bagi yang membeli obligasi.

Huruf g

Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham dan pemegang Polis
asuransi, atau pembagian SHU koperasi yang diperoleh anggota koperasi.
Termasuk dalam pengertian deviden adalah :
(1) pembagian laba baik secara langsung ataupun tidak langsung, dengan nama dan
dalam bentuk apapun.
(2) pembayaran kembali karena likuidasi yang melebihi jumlah penyetoran.
(3) pemberian saham bonus, yang dilakukan tanpa penyetoran, termasuk saham bonus
yang berasal dari kapitalisasi agio saham.
(4) pencatatan tambahn modal yang dilakukan tanpa penyetoran.
(5) jumlah yang melebihi setoran sahamnya yang diterima atau diperoleh pemegang
saham karena pembelian kembali saham-saham oleh perseroan ybs.
(6) pembayaran kembali seluruhnya atau sebagian dari modal yang disetor, jika dalam
tahun-tahun yang lalu diperoleh keuntungan, kecuali jika pembayaran kembali itu,
adalah akibat dari pengecilan modal dasar (statuter) yang dilakukan secara sah
(7) pembayaran sehubungan dengan tanda-tanda laba, termasuk yang diterima sebagai
penebusan tanda-tanda laba tersebut.
(8) bagian laba sehubungan dengan kepemilikan obligasi.
(9) bagian laba yang diterima oleh pemegang polis.
(10) pembagian sisa hasil usaha koperasi.
(11) pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham yang
dibebankan sebagai biaya perusahaan.

Dalam praktek sering dijumpai pembagian atau pembayaran deviden secara


terselubung, misalnya dalam hal pemegang saham yang telah menyetor penuh modalnya,
dan memberikan pinjaman kepada perseroan dengan imbalan bunga yang melebihi
kewajaran, Apabila hal ini, maka selisih antara bunga yang dibayarkan dengan tingkat

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 21


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

bunga yang berlaku wajar dipasaran, dianggap sebagai deviden. Bagian bunga yang
dianggap sebagai deviden tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya oleh perseroan
yang bersangkutan.

Huruf h

Royalty adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau perhitungan
apapun, baik dilakukan secara berkala, maupun tidak, sebagai imbalan atas :

(1) penggunaan atau menggunakan hak cipta dibidang kesusasteraan, kesenian, atau
karya ilmiah, paten, desain, atau model, rencana, formula atau proses rahasia,
merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa
lainnya ;
(2) penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial,
atau ilmiah ;
(3) pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau
komersial
(4) pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau
hak mengunakan hak-hak tersebut pada angka 1, penggunaan atau hak
menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian
pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa :
a. penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya,yangdisalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serta optik,
atau teknologi yang serupa;
b. penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau
keduanya, untuk siaran televisi atau radio, yang disiarkan/dipancarkan melalui
satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
c. penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio
komunikasi;

(5). penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film
atau pita Video, atau siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan

(6). pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan


penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak
lainnya sebagaimana tersebut diatas.

Huruf i

Dalam pengertian sewa termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan nama dan
dalam bentuk apapun sehubungan dengan penggunaan harta gerak, atau harta tak gerak,
misalnya sewa mobil, sewa kantor, sewa rumah, atau sewa gudang, dan penghasilan
sewa disini adalah sewa bruto.

Huruf j

Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya uang ”alimentasi” atau tunjangan yang
dibayarkan seumur hidup kepada mantan isteri berdasarkan keputusan hukum oleh suami
selama mantan isteri masih hidup.

Huruf k

Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang, dianggap sebagai penghasilan bagi pihak
yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang dapat dibeban kan sebagai

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 22


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

biaya. Namun, dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pembebasan utang
debitur kecil misalnya Kredit Usaha Keluarga Prasejatera (Kukesra), Kredit Usaha Tani
(KUT), Kredit Usaha Rakyat (KUR), kredit untuk perumahan sangat sederhana, serta
kredit kecil lainnya sampai dengan jumlah tertentu dikecualikan sebagai objek pajak.

Huruf l

Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan
sistim pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat azas, sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Huruf m

Selisih lebih karena penilain aktiva sebagaimana dimaksud Psl 19 UU- PPh, merupakan
penghasilan. Penilaian kembali aktiva tetap terakhir diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan No. 79/KMK.03/2008, Tgl 23 Mei 2008.

Huruf n

Dalam pengertian premi asuransi termasuk premi reasuransi.

Huruf o

Iuran yang dibayar oleh anggota perkumpulan yang dihitung berdasarkan volume kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas dari anggota tersebut, misalkan iuran yang besarnya menurut
jumlah (volume) ekspor. Atau satuan produksi, atau omzet penjualan barang, dan inlah
yang menjadi objek pajak pada perkumpulan.

Huruf p

Tambahan kekayaan neto pada hakikatnya merupakan akumulasi dari penghasilan, baik
yang telah dikenakan pajak maupun yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui
adanya penambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang telah
dikenakan pajak, tetapi penghasilan itu belum dikenakan pajak, maka tambahan kekayaan
neto tersebut merupakan penghasilan yang jadi objek pajak.

Huruf q.

Kegiatan usaha berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan
usaha yang bersifat konvensional. Namun penghasilan yang diterima atau diperoleh dari
kegiatan usaha berbassis syariah tersebut tetap merupakan objek pajak menurut Undang-
Undang ini.

Undang-undang PPh. menganut perinsip pemajakan yang sangat luas, yaitu


bahwa pajak dikenakan atas setiap penambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh wp dari manapun asalnya, yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
menambah kekayaan wajib pajak dimaksud.

Pengertian penghasilan dalam UU ini tidak memperhatikan adanya penghasilan


dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wp, merupakan ukuran terbaik
mengenai kemampuan wp tersebut untuk ikut andil bersama-sama memikul biaya yang
diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan pembangunan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 23


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wp, penghasilan


dapat dikelompokan menjadi :

1. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas, seperti gaji,
honororarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, aktuaris, akumtan,
pengacara, dan sebagainya.
2. penghasilan dari kegiatan usaha baik orang pribadi maupun badan.
3. penghasilan dari modal, berupa harta gerak maupun harta tak bergerak seperti
deviden, bunga, royalti, sewa, keuntungan penjualan harta atau yang tidak
digunakan dalam usaha, dll sebagainya.
4. penghasilan lain-lain, seperti hak atas bayaran berkala, pembebasan utang, dll.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan dapat pula
ditabung untuk menambah kekayaan wp. Karena UU ini menganut pengertian penghasilan
yang sangat luas, maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam
suatu tahun pajak, digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian apabila dalam suatu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian,
maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi
horizontal), kecuali kerugian yang diderita diluar negeri.
Namun demikian apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak, dengan tarif yang
bersifat final, atau dikecualikan dari objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh
digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan dengan tarif umum.
Contoh-contoh penghasilan yang disebut dalam ketentuan ini, dimaksudkan untuk
memperjelas pengertian tentang penghasilan yang luas tidak terbatas pada contoh contoh
yang disebut diatas saja.

4.1.2. Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak.

Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak
penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu :

a.1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau
lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima
oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib
bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima lembaga keagamaan
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima
sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah; dan

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat, badan keagamaan, atau badan pendidikan, atau badan sosial termasuk
yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan
antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Dalam penjelasan Psl yang bersangkutan adalah sebagai berikut :

Huruf a

Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan ojek pajak,
sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 24


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

kepemilikan atau hubungan penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat


yang diterima oleh badan amil zakat, atau lembaga amil zakat, yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta sumbangan
keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama lainnya yang diakui di Indonesia
yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah
yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak sama seperti bantuan atau
sumbangan. Yang dimaksud dengan zakat adalah zakat sebagaimana dimaksud Undang-
Undang yang mengatur mengenai zakat.
Hubungan usaha antara pihak yang memberi dengan pihak yang menerima dapat terjadi,
misalnya PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan utamanya diproduksi
oleh PT B. Apabila PT B, memberikan sumbangan bahan baku kepada PT , maka
sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A, merupakan objek pajak.

Harta hibahan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak, apabila diterima
oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat. dan badan keagamaan,
atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil
termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan , sepanjang diterima tidak
dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan..
Ditambahkan disini, mengenai hal tersebut diatas, Menteri Keuangan telah menerbitkan
peraturan pelaksanaannya, yaitu Keputusan Menteri Keuangan No. 604/KMK.04/1994, Tgl
24 Desember 1994, antara lain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan :

- Badan keagamaan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata


mengurus tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan kegiatan dibidang
keagamaan, yang tidak mencari keuntungan ;
- Badan pendidikan adalah badan termasuk yayasan yang kegiatannya semata-mata
menyelenggarakan :
a. Pemeliharaan kesehatan dan /atau;
b. Pemeliharaan orang lanjut usia (panti jompo), dan/atau
c. Pemeliharaan anak yatim piatu, anak atau orang terlantar, anak dan/atau orang
cacat, dan/atau ;
d. santunan dan/atau pertolongan kepada korban bencana alam, kecelakaan, dan
sejenisnya, dan/atau
e. pemberian bea siswa ;
f. kegiatan sosialnya.
Sepanjang badan sosial tersebut tidak mencari keuntungan.
- Pengusaha kecil termasuk koperasi adalah pengusaha yang pada saat akan
menerima hibah, jumlah nilai aktivanya tidak termasuk tanah dan/atau bangunan
tidak lebih Rp 600.000.000.-(enam ratus juta rupiah).

Dikemukakan lebih lanjut bahwa harta hibahan yang diterima badan-badan tsb
diatas, dan pengusaha kecil termasuk koperasi, tidak termasuk sebagai objek pajak,
sepanjang antara pemberi hibah dengan penerima hibah tersebut, tidak ada hubungan
usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan. Harta hibahan dimaksud dibukukan,
oleh penerima hibah sesuai dengan nilai sisa buku harta hibahan.
Selanjutnya dalam keputusan Direktur Jenderal Pajak No. 11/PJ/1995, Tgl 1 Pebruari
1995, Penetapan Dasar Nilai Bagi yang Menerima Pengalihan Harta yang diperoleh dari
Bantuan, Sumbangan, Hibahan, dan Warisan, yang memenuhi syarat bukan sebagai
objek pajak, dari WP tidak menyelenggarakan pembukuan, dikemukakan bahwa :
- Apabila nilai atau perolehan harta, bagi yang mengalihkan harta tersebut,
diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan tersebut, adalah
sama dengan nilai atau harga perolehan harta tsb, bagi yg mengalihkan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 25


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

- Apabila tidak diketahui, namun tahun perolehannya diketahui, maka nilai perolehan
bagi yang menerima pengalihan harta tersebut adalah ;
a. apabila tanah dan/atau bangunan tersebut diperoleh yang mengalihkan
dalam tahun 1986, atau sebelumnya, sama dengan besarnya NJOP, yang
tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak 1986, atau ;
b. apabila diperoleh sesudah tahun 1986, sama besarnya dengan NJOP yang
tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak diperolehnya harta tersebut, bagi
yang mengalihkan, atau ;
c. jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan surat keterangan dari Kepala
KPPBB
- Apabila nilai atau harga perolehan dan tahun perolehan bagi yg mengalihkan,
harta berupa tanah dan/atau bangunan tidakdiketahui, maka nilai perolehan bagi
yang menerima harta tersebut adalah sama besarnya, dengan NJOP yang
tercantum dalam SPPT PBB tahun pajak yang paling awal yang tertulis atas nama
yang mengalihkan harta tersebut, atau jika SPPT PBB tidak ada, berdasarkan
surat keterangan dari kepala KPPBB.

- Untuk harta selain tanah dan/atau bangunan, apabila nilai atau harga perolehan
tidak diketahui, maka nilai perolehan bagi yang menerima pengalihan harta
tersebut, adalah sama besarnya dengan 60% dari harga wajar harta tersebut pada
saat terjadinya pengalihan.
b. Warisan ;
c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan, sebagaimana dimaksud
dalam Psl 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti
penyertaan modal.;
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari wajib pajak atau Pemerintah, kecuali
diberikan oleh bukan wajib pajak, wajib pajak yang dikenakan pajak secara final atau
wajib pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus (deemed profit)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan
asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan
asuransi bea siswa.

Dalam penjelasan Psl yang bersangkutan adalah sebagai berikut :

Huruf c
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan merupakan
tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun karena harta tersebut,
diterima sebagai pengganti saham atau tanda penyertaan modal, maka berdasarkan
ketentuan ini, harta yg diterima tsb bukan merupakan objek pajak.

Huruf d

Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan, berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh bukan dalam bentuk uang. Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
seperti beras, gula, dan sebagainya, dan imbalan dalam bentuk kenikmatan, seperti
penggunaan mobil, rumah, fasilitas pengobatan, dan lain sebagainya, bukan merupakan
objek pajak.

Apabila yang memberi imbalan berupa natura atau kenikmatan tersebut, bukan wp, atau
wp yang dikenakan PPh Final, dan wp yang dikenakan berdasarkan norma

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 26


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

perhitungan/khusus/deemed profit, maka imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan,


tersebut merupakan penghasilan bagi yang menerima atau yang memperolehnya.
Misalnya seorang penduduk Indonesia menjadi pegawai pada suatu perwakilan
diplomatic asing di Jakarta. Pegawai tersebut memperoleh kenikmatan menempati rumah
yang disewa oleh perwakilan diplomatic tersebut, atau kenikmatan lainnya, kenikmatan –
kenikmatan tersebut merupakan penghasilan bagi pegawai tersebut, sebab perwakilan
diplomatic yang bersangkutan bukan merupakan wajib pajak.

Huruf e

Penggantian santunan atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan
asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa, bukan merupakan objek pajak . Hal ini
selaras dengan ketentuan dalam Psl 9 ayat (1) huruf d, yaitu bahwa premi asuransi yang
dibayar oleh wajib pajak orang pribadi untuk kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan
dalam perhitungan penghasilan kena pajak.

f. deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas, sebagai
wajib pajak dalam negeri, koperasi, BUMN dan BUMD, dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :
1) deviden berasal dari cadangan laba yang ditahain ; dan
2) bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD, yang menerima deviden
kepemilikan saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25%
(dua puluh lima persen), dari jumlah modal yang disetor.
g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja, maupun pegawai.
h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud
pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan
Menkeu.;
i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer, yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif ;
j. dihapus;
k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura, berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yg didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan
di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :
1) merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan ; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

Penjelasan dari huruh f sampai dengan huruf k adalah sbb :

Huruf f

Berdasarkan ketentuan ini, deviden yang dananya berasal dari laba setelah dikurangi
pajak dan diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wp dalam negeri, koperasi,
dan BUMN/BUMD, dari penyertaannya pada badan usaha lainnya, yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia, dengan penyertaan sekurang-kurangnya 25% (dua
puluh lima persen), dan penerima deviden tersebut memperoleh penghasilan dari usahan
riil di luar penghasilan yang berasal dari penyertaan tersebut, tidak termasuk objek pajak.
Yang dimaksud dengan BUMN/
dan BUMD dalam ayat ini, antara lain adalah perseroan (Persero), bank pemerintah bank
pembangunan daerah.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 27


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Perlu ditegaskan bahwa dalam hal penerima deviden atau bagian laba adalah wajib pajak
selain badan-badan tersebut diatas, seperti orang pribadi baik dalam negeri, maupun luar
negeri, firma, perseroan komanditer, yayasan dan orgnisasi sejenis, dan sebagainya,
maka penghasilan berupa deviden atau bagian laba tersebut tetap merupakan objek
pajak.

Huruf g

Pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan ketentuan ini, hanya berlaku bagi dana
pensiun yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri Keuangan. Yang
dikecualikan dari objek pajak adalah iuran yang diterima dari peserta pensiun, baik atas
beban sendiri maupun yang ditanggung pemberi kerja.
Pada dasarnya iuran yang diterima oleh dana pensiun tersebut merupakan dana milik dari
peserta dana pensiun, yang akan dibayarkan kembali kepada mereka pada waktunya.
Pengenaan pajak atas iuran tersebut berarti mengurangi hak para peserta pensiun, dan
oleh karena itu iuran tsb dikecualikan sebagai objek pajak.

Huruf h

Sebagaimana tersebut dalam huruf g, pengecualian sebagai objek pajak berdasarkan


ketentuan ini hanya berlaku bagi dana pensiun yang pendiriannya telah mendapat
pengesahan Menteri Keuangan. Yang dikecualikan dari objek pajak dalam hal ini adalah
penghasilan dari modal yang ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasar kan
Keputusan Menteri Keuangan.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 651/KMK.04/1994, Tgl 29 Desember
1994, Tentang Bidang Penanaman Modal tertentu yang memberikan penghasilan kepada
dana pensiun yang tidak termasuk sebagai objek PPh adalah sebagai berikut ;
 bunga dan diskonto dari deposito, sertifikat, dan tabungan, pada bank di Indonesia,
serta sertifikat Bank Indonesia.
 bunga dan obligasi yang diperdagangkan di pasar modal Indonesia;
 deviden dari saham pada perseroan terbatas yang tercatat di bursa efek di Indonesia.

Selanjutnya dalam SE- Direktur Jenderal Pajak No. SE- 16/PJ.4/1995, Tgl 23 Maret
1995, dinyatakan sebagai berikut :
Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
yang bukan merupakan objek pajak PPh adalah :
 iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun oleh pegawai.
 penghasilan dana pensiun dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Penghasilan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dari
penanaman modal yang tidak termasuk objek pajak sebagaimana dimaksud Keputusan
Menkeu seperti disebut diatas, dananya harus bersumber dari dana yang terkumpul dari
iuran pensiun yang diterima atau diperoleh dana pensiun, atau yang dibayar pemberi kerja
termasuk pengembangannya.

Apabila ada yang berasal dari pihak ketiga, atau uang pribadi pengurus dana pensiun,
maka penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun menjadi objek pajak. Jika
dana pensiun yang dimaksud, menerima atau memperoleh bunga atau diskonto, yang
berasal dari deposito, dan tabungan, atau SBI, bunga dan/atau deviden dari obligasi
dan/atau saham yang diperdagangkan di bursa efek di Indonesia, maka penghasilan
tersebut, merupakan objek pajak dan harus dipotong PPh Psl 23 UU Pajak penghasilan
oleh pemberi hasil.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 28
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Dengan demikian penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun dimaksud dapat
dikelompokan menjadi :
 Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak ;
 Penghasilan lainnya yang merupakan objek pajak
Dana pensiun yang memperoleh penghasilan seperti itu, wajib membuat pencatatan yang
terpisah dalam pembukuannya, antara penghasilan yang bukan objek pajak dengan
penghasilan yang menjadi objek pajak. Kalau tidak demikian halnya, maka perhitungan
biaya yang boleh dikurangkan/dibebankan dari penghasilan bruto, akan ditetapkan secara
perbandingan.

Huruf i

Untuk kepentingan pengenaan pajak, badan-badan sebagaimana disebut dalam ketentuan


ini, yang merupakan himpunan para anggotanya dikenakan pajak sebagai satu kesatuan,
yaitu pada tingkat badan tersebut. Oleh karena itu bagian laba yang diterima oleh para
anggota badan tersebut bukan lagi menjadi objek pajak.
Huruf k

Perusahaan modal ventura (ventura capital), adalah suatu perusahaan yang kegiatan
usahanya membiayai badan usaha (sebagai pasangan usaha ) dalam bentuk penyertaan
modal untuk jangka waktu tertentu. Berdasarkan ketentuan ini, bagian laba yang diterima
atau diperoleh dari perusahaan pasangan usaha, tidak termasuk objek pajak, dengan
syarat perusahaan pasangan usaha tersebut merupakan perusahaan kecil, menengah,
atau yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dalam sektor-sektor tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek
Indonesia.

Apabila pasangan usaha perusahaan modal ventura memenuhi ketentuan sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) huruf f, deviden yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura bukan merupakan objek pajak. Agar kegiatan perusahaan modal ventura dapat
diarahkan kepada sektor-sektor kegiatan ekonomi yang memperoleh prioritas untuk
dikembangkan, misalnya untuk meningkatkan ekspor non migas, usaha atau kegiatan
perusahaan pasangan usaha tersebut diatur oleh Menteri Keuangan.

Mengingat perusahaan modal ventura merupakan alternatif pembiayaan dalam bentuk


penyertaan modal, maka penyertaan modal tersebut diarahkan pada perusahaan-
perusahaan yang belum mempunyai akses ke bursa efek.
Sehubungan dengan perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha dari perusahaan
modal ventura, Menteri Keuangan, telah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan No.
250/KMK.04/1995, Tgl 2 Juni 1995, Tentang perusahaan kecil dan menengah pasangan
usaha dari perusahaan modal ventura dan perlakuan perpajakan atas penyertaan modal
perusahaan modal ventura, yg berisikan antara lain:

1. Perusahaan kecil dan menengah pasangan usaha perusahaan modal ventura,


adalah perusahaan yang penjualan bersihnya setahun tidak melebihi Rp
5.000.000.000. (lima miryar rupiah).
2. Penyertaaan modal perusahaan modal ventura pada setiap perusahaan pasangan
usaha, dilakukan selama perusahaan pasangan usaha tersebut belum menjual
saham di bursa efek dan/atau untuk jangka waktu tidak melebihi 10 tahun.
3. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh, perusahaan modal
ventura dari penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha, yang memenuhi
persyaratan tersebut diatas, bukan merupakan objek Pajak Penghasilan.
4. Apabila perusahaan pasangan usaha menjual sahamnya di bursa efek, perusahaan
modal ventura harus menjual sahamnya pada perusahaan pasangan usaha

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 29


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

selambat-lambatnya 36 (tiga puluh enam) bulan, sejak perusahaan pasangan usaha


tsb diizinkan oleh BAPEPAM menjual sahamnya di bursa efek.
5. Penghasilan berupa bagian laba yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura pada perusahaan pasangan usaha, setelah lewat jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada angka (2) atau angka (4), merupakan objek pajak,
kecuali apabila bagian laba tersebut memenuhi ketentuan Psl 4 ayat (3) huruf f UU-
PPh.
6. Perusahaan modal ventura wajib membukukan secara terpisah penghasilan yang
merupakan objek pajak, dan penghasilan yang bukan merupakan objek pajak.

Huruf l

Bahwa dalam rangka mendukung usaha peningkatan kualitas sumber daya manusia
melaluipendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan diperlukan sarana dan
prasarana yang memadai. Untuk itu dipandang perlu memberikan fasilitas perpajakan
berupa pengecualian pengenaan pajak atas sisa lebih yang diterima atau diperoleh,
sepanjang sisa lebih tersebut ditanamkan kembali dalam bentuk pembangunan gedung
dan pengadaan sarana dan prasarana kegiatan dimaksud. Penanaman kembali sisa lebih
dimaksud harus direalisasikan paling lama dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak sisa
lebih tersebut diterima atau diperoleh.
Untuk menjamin tercapainya tujuan pemberian fasilitas ini, maka lembaga atau badan
yang menyelenggarakan pendidikan harus bersifat nirlaba. Pendidikan serta penelitian dan
pengembangan yang diselenggarakan bersifat terbuka kepada siapa saja dan telah
mendapat pengesahan dari instansi yang membidanginya.

Huruf m

Bantuan atau santunan yang diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
kepada wajib pajak tertentu adalah bantuan sosial yang diberikan khusus kepada wajib
pajak atau anggots masyarakat yang tidak mampu atau sedang mendapat bencana alam
atau tertimpa musibah.

4.2. Latihan 3

Jawablah pertanyaan berikut ini secara singkat tetapi jelas. Jawaban didiskusikan dengan
sesama peserta Diklat.

 Jelaskan yang menjadi objek pajak pada Pajak Penghasilan.


 Hibah, dan bantuan bukan merupakan objek pajak, terangkan syarat-syarat yang
harus dipenuhi tidak menjadi objek pajak dimaksud.
 Terangkan jenis pajak apa yang pengembaliannya merupakan objek pajak mengapa
demikian halnya.
 apakah yang dimaksud tambah kekayaan neto, dan apa syaratnya untuk dikenakan
pajak.
 dalam hal apakah natura dan kenikmatan dianggap sebagai objek pajak, dan dalam
hal apa pula, natura dan kenikmatan tidak dianggap objek pajak.

4.3. Rangkuman

1. Pengertian ”penghasilan”adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis, yang


diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia, maupun dari
luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib
pajak dimaksud, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 30
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

2. Sesungguhnya pengertian penghasilan yang dianut dalam UU No. 36 Tahun 2008,


Pajak Penghasilan menganut pengertian penghasilan yang sangat luas.

3. Dilihat dari mengalirnya tambahan kemampuan ekonomis kepada wajib pajak, maka
penghasilan dapat dikelompokan menjadi :

a. Penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas,


seperti gaji, honororarium, penghasilan dari praktek dokter, notaris, akturis,
akuntan, pengacara, dan sebagainya.
b. Penghasilan dari usaha dan kegiatan ;
c. Penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, deviden, sewa, royalti, keuntungan dari penjualan atau
pengalihan harta, yang tidak digunakan dalam usaha, dan lain sebagainya.
d. Penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang, hadiah, hak atas bayaran
kala dan lain sebagainya.

4. Deviden merupakan bagian laba yang diperoleh pemegang saham dan pemegang
polis asuransi atau pembagian SHU koperasi yg diperoleh anggota koperasi ,
terdapat 12 jenis penghasilan yg termasuk dalam pengertian deviden.

5. Pada dasarnya imbalan berupa royalti terdiri dari 3 kelompok , yaitu imbalan
sehubungan dengan penggunaan hak atas harta tak berwujud, hak atas harta
berwujud, dan informasi yang belum diungkapkan secara umum, walaupun mungkin
belum dipatenkan.

6. Dalam pengertian sewa, termasuk imbalan yang diterima atau diperoleh dengan
nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan penggunaan harta gerak,
maupun harta tak gerak, misalnya sewa alat, sewa mobil, sewa kantor dll nya.

7. Penerimaan berupa pembayaran berkala, misalnya uang alimentasi atau tunjangan


seumur hidup yang dibayar secara berulang-ulang dalam waktu tertentu.

8. Pembebasan utang oleh pihak yang berpiutang dianggap sebagai penghasilan, bagi
pihak yang semula berutang, sedangkan bagi pihak yang berpiutang, dapat
dibebankan sebagai biaya.

9. Tambah kekayaan neto pada hakekatnya merupakan akumulasi penghasilan baik


yang telah dikenakan pajak maupun yang belum dikenakan pajak. Apabila diketahui
adanya penambahan kekayaan neto yang melebihi akumulasi penghasilan yang
telah dikenakan pajak, tetapi belum dikenakan PPh, maka tambahan tersebut akan
menjadi objek pajak.

10. Penghasilan yang tidak termasuk objek pajak seperti yang diatur dalam Psl 4 ayat
(3) UU NO. 36 Tahun 2008,- antara lain bantuan, sumbangan, termasuk zakat, yang
diterima oleh badan amil zakat, atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan
pemerintah, dan para penerima zakat yang berhak, serta harta hibahan yang
diterima keluarga sedarah dalam garis keturunan satu derajat, dan oleh badan
keagamaan, badan sosial, atau badan pendidikan, atau pengusaha kecil, termasuk
koperasi dan yayasan yang ditetapkan oleh pemerintah, sepanjang tidak hubungan
usaha, kegiatan dan kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 31


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Perincian dari penghasilan-penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, dapat dipelajari
dan dibaca serta dipahami, beserta penjelasannya dapat dilihat pada uraian dan
penjelasan dari penghasilan-penghasilan yang tidak termasuk objek pajak, beserta
dengan contoh-contoh yang diberikan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 32


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Kegiatan belajar 4.

JENIS-JENIS PENGHASILAN YANG PENGENAAN PAJAKNYA BERSIFAT FINAL


SEPERTI DIATUR DALAM Psl 4 ayat (2).

5.1. Uraian, dan penjelasan.

Berdasarkan Psl 4 ayat (2), UU –PPh, dikemukan :


Bahwa atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya,
penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari
pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya,
pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam penjelasan ayat tersebut dikemukakan, bahwa sesauai dengan ketentuan ayat (1),
penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi
saham dan sekuritas lainnya, di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa
tanah dan/atau bangunan, serta penghasilan tertentu lainnya, merupakan objek pajak.

Tabungan masyarakat yang disalurkan melalui perbankan dan bursa efek merupakan
sumber dana bagi pelaksanaan pembangunan, sehingga pengenaan pajak yang berasal
dari tabungan masyarakat tersebut, perlu diperlakukan tersendiri dalam pengenaan
pajaknya. Pertimbangan- per tersebut juga mendasari, diberikannya perlakuan tersendiri
terhadap pengenaan pajak atas penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
bangunan, serta jenis-jenis penghasilan tertentu lainnya. Oleh karena itu pengenaan pajak
penghasilan, termasuk sifat, besarnya, dan tatacara pelaksanaan pembayaran,
pemotongan atau pemungutan, atau pemungutan atas jenis-jenis penghasilan tersebut
diatur tersendiri Peraturan Pemerintah.

Dengan mempertimbangkan kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak


menambah beban administrasi baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak,
maka pengenaan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini dapat bersifat final.

Sehubungan dengan ketentuan Psl 4 ayat (2) ini, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah
sebagai berikut :
1. PP No. 41 Tahun 1994, juncto PP No. 14 Tahun 1997, Tgl 23 -12-1997, tentang
PPh. atas penghasilan dari transaksi penjualan saham di BE.
2. PP No. 132 Tahun 2000, Tgl 15-12-2000, PPh. Atas hadiah Undian.
3. PP No. 27 Tahun 1996, juncto PP No. 79 Tahun 1999, tentang Perubahan Peraturan
Tentang Pembayaran PPh. Atas Penghasilan dari penjualan dan Pengalihan hak
atas Tanah dan/atau Bangunan.
4. PP No. 131 Tahun 2000, Tgl 15 Desember 2000, Tentang PPh. Atas Bunga
Deposito, dan Tabungan serta Diskonto SBI.
5. PP No. 4 Tahun 1995, Tgl 8 Pebruari 1995, tentang PPh. Perusahaan Modal Ventura
dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan Penyertaan Modal pada
Perusahaan Pasangan Usahanya.
6. PP No. 29 Tahun 1996, juncto PP No. 5 Tahun 2002, Tgl 18 April 2002, Tentang
Pembayaran PPh. Penghasilan dari Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
7. PP No. 139 Tahun 2000, juncto PP No. 6 Tahun 2002, Tgl 21-12-2002, Tentang
PPh. Atas Penghasilan atas Bunga dari Obligasi yang diperdagangkan/diperjual
belikan di Pasar Modal.
8. PP No. 140 Tahun 2000, Tgl 21 Desember 2000, Tentang PPh. Usaha Jasa
Konstruksi dan Jasa Konsultan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 33


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Secara terperinci, jenis-jenis penghasilan (objek) pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan
yang bersifat Final dapat dilihat ditabel dibawah ini :

No. Jenis Penghasilan. Tarif Keterangan Dasar Hukum


1. Bunga Deposito/ 20%, Jumlah bruto bagi WP Psl 4 ayat (2)
Tabungan dan Dis- 20%, Dalam Negeri. dari jumlah PP 131/2000.
konto SBI. atau ta bruto, bagi WP Luar Kep 51/KMK
rip P3B. Negeri . 04/2001, yo
Kep-217/PJ/
2001- DJP.
2. Hadiah Undian 25% Jumlah bruto hadiah Psl 4 ayat (2),
(barang atau uang). PP-132/2000.
3. Bunga simpanan 15% Seluruh bunga diatas Psl 23 ayat (4)
anggota Koperasi Rp 240.000./sebulan. g, Kep. 522/
KMK.04/98.
SE-43/PJ./1998
4. Bunga Obligasi & 20 % Jumlah bruto bunga. Psl 4 ayat (2).
Diskonto SBI. PP No.6/2002.
5. Penjualan saham 0,5% Jumlah bruto transaksi PP 14Tahun
pendiri. penjualan saham 1997.
6. Penjualan bukan 0,1% Tambahan bagi pemilik PP No.4/1995.
saham pendiri saham pendiri. Kep.81/KMK/
04/1995.
7. Penyalur/Dealer/ 0, 25% Premium, Solar, Premix- Psl 22, yoncto
Agen Produk Per SPBU Pertamina SPBU Kep 254/kmk.
tamina, Premix 0. 30% milik Swasta. Minyak 03./2001. Kep
0,30% tanah, gas Lpg dan 392/KMK.03/
pelumas. 2001.
8. Penyalur/Agen/Dis 0,15% Harga banderol, dari Sda. No.7Kep
tributor rokok penjualan rokok DN. 529/PJ./2001.
9. Penjualan / Penga- 5% Jumlah bruto penjualan/ PP 27 /1996.
lihan hak atas Ta- pengalihan, Bagi WP Kep 392/kmk
nah /Bangunan. badan, selain Yayasan dan 04/1996. PP
sejenisnya tidak bersifat No.79/1999.
Final. KMK-566/99.
10. Penghasilan dari 10% Jumlah bruto yang di- Psl 4 ayat (2)
Persewaan tanah terima/diperoleh WP PP No.5/2002,
dan atau bangunan OP dan WP Badan. Kep.227/2002.
11. Usaha jasa konst- 2% Atas jasa pelaksana yang Peraturan Peme-
ruksi . dilakukan oleh penyedia jasa Tah No. 51
dengan kualifikasi usaha kecil Tahun 2008,
Pelaksana Konstruksi oleh Yo
4% Penyedia jasa Konstruksi
Peraturan
yang tidak memiliki
kualifikasi. Menteri
Untuk pelaksana konstruksi Keuangan
3% selain penyedia Kontruksi No.
yang disebut diatas. 187/PMK.03/2008
Untuk perencana Konstruk si Tanggal
atau pengawasan yang 20 Nopember
4% dilakukan oleh yang memiliki 2008.
kualifikasi
Usaha;
Untuk perencana Konstruksi
atau pengawasan Konstruksi
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 34
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

6% yang tidak memiliki


kualifikasi usaha.
12. Uang Pesangon, 5% Diatas 25 jt s/d 50 jt. Psl 4 ayat (2)
Uang pensiun seka 10% diatas 50 jt s/d 100 jt. PP 149/2000.
ligus, THT, JHT. 15% diatas 100 jt s/d 200 jt Kep.545/PJ/
dibayarkan sekaligus 25% diatas 200 juta. 2000.
13. Penghasilan WP 1,2% Penghasilan bruto. Psl 15 UU. Yo
yang bergerak di Kep 416/
bidang usaha pela- KMK.04/
yaran Dlm Negeri 1996.
14. Penghasilan WP 2,64% Penghasilan bruto. Psl 15 UU, yo
yang bergerak usa Kep. 417/
ha pelayaran/pe- KMK.04/
nerbangan LN 1996.-
15. Perwakilan Dagang 0.44% Nilai Ekspor Bruto Psl 15 UU, yo
Asing yang mem- Kep 634/
punyai kantor di KMK.04/
Indonesia. 1996.Kep 667
/PJ./2001.
16. Honororarium ke 15% Penghasilan Bruto. Psl 21 ayt (1)
Pada PNS Gol.lll A PP 45 Tahun
Keatas, POLRI 1994.
Ajun Inspektu ke-
Atas, TNI Peltu ke PMK 15 Ta-
Atas dari APBN/ hun 2005.
APBD.
17. Nilai bangunan 5% Nilai pasar atau NJOP Psl 15 UU,
yang diserahkan mana yang tertinggi. Kep 248/
selesai perjanjian KMK.04/95
bangun,guna,serah SE-38/PJ.4/95
18. Penjualan saham 0,1% Jumlah bruto transak Psl 4 ayat (2)
milik perusahaan si penjualan saham. PP 4/1995.
mdal ventura atau pengalihan saham Kep 250/1995
SE-33/PJ.4/95
19. Selisih penilaian 10% Dari selisih penilaian Psl 19 UU, yo
kembali aktiva te- kembali. KMK 486/02,
tap perusahaan 15% Tambahan kalau diju- PMK N0. 79/
al/dialihkan sebelum PMK.03/2008
waktunya. 23 Mei 2008.
20. Diskonto atas Surat 20% (WP Dari imbalan bunga. Peraturan
Perbendaharaan DN), dan Pemerintah
Negara (SPN), SUN 20% atau No. 11 Tahun
ORI, Sesuai dg 2006. Tgl 15
tarip P3B April 2006.
bagi WP PMK No. 63/
Luar Ne- PMK.03/2008
geri. Tgl 28-4-2008
21. Deviden yang dibagi UU PPh No. 36
kan kepada WP OP 10% Deviden Bruto Tahun 2008, Psl
Dalam Negeri 17 ayat (2c).
Terhadap penghasilan yang dikenakan PPh. Final, penghasilannya tidak digabungkan
dengan penghasilan yang pengenaan PPh nya tidak Final, akan tetapi tetap dilaporkan
wajib pajak pada SPT Orang Pribadi, atau SPT Wajib Pajak Badan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 35


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

5.2. Latihan 4.

1. Jelaskan dimana ketentuan PPh. Final diatur.


2. Apa yang dimaksud dengan PPh. Final.
3. Sebutkan beberapa jenis objek pajak yang termasuk PPh. Final
4. Jelaskan pengertian Bangun, Guna dan Serah (BOT).
5. Bagaimana pertanggungan jawab PPh. Final sehubungan dengan pengisian SPT
Tahunan, baik bagi WP Orang Pribadi, maupun Wajib Pajak Badan.

5.3. Rangkuman

Terhadap transaksi-transaksi atau objek pajak tertentu, untuk memudahkan pemenuhan


kewajiban pajaknya dalam bentuk pemotongan, pemunugtan, atau dilunaskan sendiri oleh
wajib pajak, maka diatur tatacara pelunasannya baik dari segi perhitungan, tarip dan dasar
pengenaan pajaknya, yang tidak menyulitkan wajib pajak dalam melaksanakannya.

Tatacara pembayaran pajak dimaksud, disebut PPh. Final, yang diatur dalam Psl 4 ayat
(2), Undang-Undang Pajak Penghasilan. Untuk merealisir PPh. Final, disamping
menggunakan Psl seperti disebut diatas, diterbitkan peraturan pelaksanaannya mulai dari
PP, Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan, sampai dengan Keputusan/Peraturan
Direktur Jenderal Pajak.

Jenis-jenis Pajak Penghasilan yang bersifat Final, sampai dengan saat modul ini dibuat,
terdapat 21 (dua puluh satu) jenis, yang umumnya menggunakan tarif tunggal. Sekalipun
sifatnya final, namun wajib pajak tetap melaporkannya didalam SPT Tahunan, baik SPT
Tahunan wajib pajak orang pribadi, maupun wajib pajak badan, pada lampiran-lampiran
yang telah disediakan.
Objek pajak yang dikenakan Final tidak digabungkan dengan penghasilan wajib pajak
yang PPh nya tidak bersifat final

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 36


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

5. Kegiatan Belajar 5.

6.1. OBJEK PAJAK BENTUK USAHA TETAP (BUT).

Didalam Psl 5 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2000,- PPh, diatur Objek Pajak
bentuk usaha tetap (BUT), yang menyebutkan sebagai berikut :
Yang menjadi objek pajak bentuk usaha tetap adalah :
a) penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut, dari harta yang
dimiliki atau dikuasai ;
b) penghasila kantor pusat, dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau dilakukan
oleh bentuk usaha tetap di Indonesia ;
c) penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Psl 26 yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud.
Penghasilan sebagaimana dimaksud Psl 26 yang diterima atau diperoleh kantor
pusat dimaksud dapat berupa;
 Deviden
 Bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan
dengan jamainan pengembalian utang.
 Royalty, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
 Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, atau kegiatan.
 Hadiah dan penghargaan.

Penjelasan Psl 5
Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dikenakan pajak di Indonesia melalui
Bentuk Usaha Tetap tersebut.

Ayat (1).

Huruf a
Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau
kegiatan, dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua
penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.

Huruf b
Berdasarkan ketentuan ini penghasilan kantor pusat yang berasal dari usaha atau
kegiatan, penjualan barang dan pemberian jasa yang sejenis dengan apa yang dilakukan
oleh bentuk usaha tetap, dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap, karena pada
hakekatnya usaha atau kegiatan tersebut, termasuk dalam ruang lingkup usaha atau
kegiatan yang dapat dilakukan bentuk usaha tetap. Usaha atau kegiatan yang sejenis
dangan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap misalnya, terjadi apabilansebuah bank
diluar Indonesia yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia memberikan pinjaman
secara langsung tanpa melalui bentuk usaha tetapnya di Indonesia.

Penjualan barang yang sejenis, dengan yang dijual oleh bentuk usaha tetap, misalnya
kantor pusat di luar negeri yang mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia, menjual
produk yang sama dengan produk yang dijual oleh bentuk usaha tetap tersebut, secara
angsung tanpa melalui bentuk usaha tetap nya di Indonesia.

Pemberian jasa oleh kantor pusat yang sejenis dengan jasa yang diberikan oleh bentuk
usaha tetap, misalnya kantor pusat perusahaan konsultan di Indonesia, memberikan
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 37
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

konsultasi yang sama dengan jenis jasa yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap tersebut
secara langsung, tanpa melalui bentuk usaha tetapnya kepada klien di Indonesia.

Huruf c
Penghasilan seperti dimaksud dalam Pasal 26 yang diterima atau diperoleh kantor pusat,
dianggap sebagai penghasilan bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila terdapat
hubungan efektif antara harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dengan bentuk
usaha tetap tersebut. Misalnya X Inc. menutup perjanjian lisensi dengan PT Y untuk
menggunakan merek dagang X Inc. maka atas penggunaan hak tersebut X Inc. menerima
imbalan berupa royalti dari PT Y Indonesia.
Sehubungan dengan perjanjian tersebut X Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada
PT Y, melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, dalam pemasaran produk PT Y yang
mempergunakan merek dagang tersebut.
Dalam hal demikian, penggunaan merek dagang oleh PT Y mempunyai hubungan efektif
dengan bentuk usaha tetap di Indonesia, dan oleh karena itu penghasilan X Inc. yang
berupa royalti tersebut diperlakukan sebagai penghasilan bentuk usaha tetap.

Dalam Psl 5 ayat (2) diatur tentang biaya-biaya yang diperkenankan, terutama yang
berkenaan dengan objek pajak seperti dimaksud huruf b dan c, tersebut diatas ;

Biaya-biaya yang berkenaan dengan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
huruf b, dan c, boleh dikurangkan dari bentuk usaha tetap.
Pada ayat (3) nya, dijelaskan bahwa dalam menentukan besarnya laba (penghasilan)
suatu bentuk usaha tetap :
a. biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dibebankan adalah biaya
yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap, yang besarnya
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ;
b. pembayaran kepada kantor pusat yang tidakdiperbolehkan dibebankan sebagai
biaya adalah:
1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan dengan penggunaan harta, paten,
atau hak-hak lainnya.
2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya.
3) bunga, kecuali yang berkenaan dengan usaha perbankan ;
Pembayaran sebagaimana dimaksud pada huruf b, yang diterima atau diperoleh dari
kantor pusat, tidak dianggap sebagai objek pajak, kecuali bunga yang berkenaan
dengan usaha perbankan.

Penjelasan huruf (a), adalah :

Biaya-biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat sepanjang digukan untuk
menunjang usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap di Indonesia, boleh dikurangkn dari
penghasilan bentuk usaha tetap tersebut. Jenis serta biaya yang boleh dikurangkan
tersebut ditentukan oleh Dirjend Pajak.

Sehubungan dengan ini Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. KEP-62/PJ./1995, tentang Jenis dan Besarnya biaya Administrasi
Kantor Pusat yang Dibebankan Sebagai Biaya suatu Bentuk Usaha Tetap.

Isi keputusan tersebut antara lain sebagai berikut :


1) biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari
penghasilan bruto yang diterima atau diperoleh suatu bentuk usaha tetap di
Indonesia, adalah biaya administrasi yang dikeluarkan oleh kantor pusat yang
berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha dan kegiatan BUT yang
bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 38


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

2) besarnya biaya administrasi kantor pusat yang diperbolehkan untuk dikurangkan dari
penghasilan bruto, setinggi-tingginya adalah sebanding dengan besarnya peredaran
usaha, atau kegiatan BUT terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan seluruh
dunia.
3) oleh sebab itu, BUT wajib menyampaikan laporan keuangan konsolidasi atau
kombinasi dari kantor pusat yang meliputi seluruh usaha/kegiatan perusahaan
diseluruh dunia, untuk tahun pajak yang bersangkutan sebagai lampiran SPT
Tahunan PPh.
4) laporan keuangan konsolidasi atau kombinasi, harus sudah diaudit oleh akuntan
publik dan mengungkapkan rincian peredaran usaha atau kegiatan perusahaan,
serta jenis dan besarnya biaya administrasi yang dibebankan kepada masing-masing
BUT dinegara tempat perusahaan yang bersangkutan melakukan usaha atau
kegiatan.

Huruf b dan huruf c

Pada dasarnya bentuk usaha tetap merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya,
sehingga pembayaran oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusat nya, seperti royalti
atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu
perusahaan. Oleh karena itu berdasarkan ketentuan ini pembayaran bentuk usaha tetap
kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan bentuk usaha
tetapnya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran bunga pinjaman
dapat dibebankan sebagai biaya.
Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran sejenis yang
diterima oleh bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya, tidak dianggap sebagai objek
pajak, kecuali bunga yang diterima bentuk usaha tetap dari kantor pusatnya berkenaan
dengan usaha perbankan.

6.2. Latihan 5

1. Jelaskan pengertian Sdr. mengenai bentuk usaha tetap.


2. Uraikan yang menjadi objek pajak pada BUT tersebut.
3. Biaya-biaya apa saja yang boleh dikurangkan dan tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan BUT.
4. Apa kaitannya penghasilan yang semula menjadi objek pajak PPh. Psl 26, akan
tetapi kemudian menjadi objek pengenaan pajak BUT.
5. Jelaskan kriteria penentuan besarnya biaya kantor pusat yang dapat dibebankan
sebagai beban biaya bentuk usaha tetap.
6. apakah ukuran yang dipakai dalam penentuan biaya seperti pertanyaan pada nomor
5 diatas.
7. Jelaskan Keputusan Direktur Jjenderal Pajak yang mengaturnya.
8. Pembayaran apa yang diterima kantor pusat dari BUT yang tidak merupakan objek
pajak.
9. Bagaimana kaitannya biaya dimaksud kalau dibidang usaha perbankan.
10. Kapan neraca kombinasi atau konsolidasi harus dilampirkan oleh BUT.

6.3. Rangkuman

1. Bentuk Uaha Tetap (BUT) adalah WP luar negeri yang tata cara pengenaan
pajaknya sama dengan WP dalam negeri.
2. Objek pajak BUT diatur dalam Psl 5 UU No. 36 Tahun 2000.- PPh yaitu ;
 Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari harta
yang dimiliki atau dikuasai ;

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 39


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

 Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan bentuk usaha tetap di Indonesia.
 Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Psl 26, yang diterima atau diperoleh
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap
dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
3. Bentuk usaha tetap dikenakan pajak atas penghasilan yang berasal dari usaha atau
kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasainya. Dengan demikian semua
penghasilan tersebut dikenakan pajak di Indonesia.
4. Pada dasarnya BUT merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga,
pembayaran oleh BUT kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan
harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh
karena itu berdasarkan ketentuan ini pembayaran BUT kepada kantor pusatnya
berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan
bentuk usaha tetap. Namun apabila kantor pusat dan BUT bergerak dalam usaha
perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai
biaya.
5. Besarnya biaya yang dapat diperkenankan sebagai biaya bentuk usaha tetap, untuk
kepentingan kantor pusat dari BUT, setinggi-tingginya sesuai dengan perbandingan
penghasilan BUT dengan omzet atau peredaran usaha induk beserta BUT-BUT nya
diseluruh dunia.
6. BUT, harus melampirkan neraca kombinasi/konsolidasi untuk hal dimaksud.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 40


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

7.Test Formatif.

7.1. Pilih salah satu jawaban yang Sdr. anggap paling tepat.

1. Menurut Ordonansi PPs. 1925, (Pajak Perseroan) dan Ordonansi PPd. 1944, (Pajak
Pendapatan), penentuan besarnya pajak terutang dilakukan dan ditetapkan oleh :
a. Wajib Pajak sendiri
b. Wajib Pajak dengan bantuan Konsultan Pajak ;
c. Kepala Inspeksi Pajak.
2. Menurut kedua Ordonansi tsb diatas, untuk menentukan pajak terutang, Wajib pajak
mempunyai kewajiban :
a. memasukan SPT dan lampirannya ke Kantor Inspeksi Pajak.
b. memasukan Neraca dan perhitungan R/L untuk tahun pajak ybs.
c. memasukan surat pernyataan mengenai kegiatan usahanya.

3. Pengertian laba menurut Ordonansi PPs. 1925 :


a. menganut paham laba material, yaitu berdasarkan kenyataan yang sebenarnya
dari penerimaan atau pengeluaran.
b. menganut paham laba yang terbatas seperti halnya atas pendapatan orang
pribadi.
c. berdasarkan perhitungan menurut pembukuan wajib pajak.

4. Struktur tarif Pajak Perseroan :


a. ada dua macam tarif, tarif umum dan tarif khusus.
b. hanya ada satu macam tarif, yaitu tarif umum.
c. tarif rata-rata yang dikenakan atas laba kena pajak.

5. Pengenaan pajak dengan sistim withholding :


a. satu-satunya untuk mengamankan penerimaan pajak.
b. salah satu cara untuk mengefektifkan pembayaran pajak.
c. merupakan hambatan kesadaran membayar pajak,

6. Penentuan besarnya pajak yang terutang menurut Ordonansi PPs. 1925 dan
Ordonansi PPd. 1944, pada akhir tahun :
a. ditentukan oleh wajib pajak sendiri ;
b. melalui lembaga Surat Ketetapan Pajak ;
c. ditentukan menurut laba komersial dari usaha wajib pajak.

7. Sistim MPS-MPO, yang diintodusir melalui UU No.8 Tahun 1967 :


a. merupakan jenis pajak baru disamping PPs. dan PPd.
b. suatu tatacara pembayaran pajak selama tahun berjalan.
c. suatu sistim yang menggantikan lembaga Ketetapan Pajak.

8. Dengan berlakunya sistim MPS-MPO, maka tugas pemungutan pajak ;


a. mulai diberikan kepercayaan kepada WP untuk melunaskan kewajiban
pajaknya melalui semi self-assessment.
b. memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada WP, melunasi pajaknya.
c. menambah beban petugas Direktorat Jenderal Pajak.

9. Tax Reform ditahun 1980-an dimaksudkan ;


a. merubah pola kerja fiskus dalam menetapkan pajak terutang ;
b. memperbaharui sitim pemungutan pajak dari official-asssessment, menjadi self-
assessment.
c. untuk meningkatkan penerimaan pajak.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 41


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

10. Tax Reform menyangkut perubahan atas ;


a. Pajak Perseroan, Pajak Pendapatan, dan Pajak Kekayaan.
b. Ketentuan Formal Pemungutan Pajak (KUP), PPs. dan PPd.
c. Yang tercantum pada b, ditambah PPN-PPn.BM, dan PBB.
11. Orang Pribadi sebagai wp dalam negeri apabila :
a. lahir dan bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari.
b. bertempat tinggal di Indonesia untuk jangka waktu tertentu.
c. mempunyai hubungan darah dengan penduduk Indonesia.
12. Adapun kewajiban pajak subjektif orang pribadi sebagai WP LN ;
a. dimulai saat melakukan usaha di Indonesia setelah lebih 183 hari.
b. pada saat melewati batas 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan ;
c. pada waktu berada di Indonesia dan melakukan kegiatan/usaha.
13. Tidak termasuk sebagai subjek pajak dalam negeri ;
a. dilahirkan di Indonesia kemudian pergi meninggalkan Indonesia, buat selama-
lamanya.
b. berada di Indonesia selama 4 (empat) bulan dan menjadi karyawan.
c. melakukan kunjungan wisata ke Indonesia atas undangan pemerintah.
14. Badan Usaha dianggap subjek pajak luar negeri apabila :
a. berstatus Bentuk Usaha Tetap (BUT).
b. mendirikan perusahaan di Indonesia yg pemilik/pemegang sahamnya bukan
penduduk Indonesia.
c. mendirikan badan usaha diluar negeri tetapi pemilik dan pengurusnya penduduk
Indonesia.
15. Dalam hal penjualan harta antara badan usaha dengan pemegang sahamnya, dalam
rangka pengenaan PPh. sesuai ketentuan UU, maka harga jual yang dipakai sebagai
dasar untuk perhitungan adalah :
a. harga perolehan ;
b. harga pasar ;
c. nilai sisa buku ;
16. Tidak termasuk pengertian deviden adalah :
a. pengeluaran perusahaan untuk keperluan pribadi pemegang saham
yang dibebankan sebagai biaya perusahaan.
b. pembayaran kembali karena likuidasi yang tidak melebihi jumlah
modal yang disetor.
c. pemberian saham bonus yang berasal dari revaluasi aktiva tetap.
17. Penghasilan berupa gaji, komisi, upah dan sebagainya adalah penghasilan yang
berasal dari:
a. hubungan kerja , pekerjaan, dan atau kegiatan.
b. hubungan usaha (mitra usaha).
c. hubungan keluarga atau kekeluargaan dalam usaha.
18. Termasuk pengertian bunga dalam objek pajak adalah :
a. jaminan harta yang digunakan untuk mendapatkan pinjaman;
b. piutang yang dikonversikan menjadi modal saham ;
c. jaminan pengembalian utang.

19. Tidak termasuk objek pajak dan tidak dikenakan PPh. adalah :
a. pembagian sisa laba yang ditahan.
b. terbebas dari kewajiban membayar hutang.
c. bagian laba yang diterima badan usaha berbentuk Firma, Kongsi.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 42


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

20. Penghasilan (objek pajak) dibawah ini dikenakan PPh. Final :


a. devidend yang diterima wajib pajak orang pribadi.
b. penghasilan dari penjualan/pengalihan berupa hak atas tanah dan/
atau bangunan, yang dilakukan wp orang pribadi dalam negeri.
c. royalti dari penggunaan hak paten yang diterima WP Badan DN.

7.2. Tulis B , atau S dalam tanda kurung ( ), bila pernyataan dibawah ini Benar (B),
atau Salah (S).

1. Warisan yang belum dalam rangka pengenaan pajaknya, mendapat


pengurangan PTKP, sesuai dengan PTKP ahli warisnya. (.....).
2. Orang Pribadi atau Badan di luar negeri, tidak dapat dianggap mempunyai
bentuk usaha tetap (BUT), di Indonesia, apabila dalam menjalankan usahanya
di Indonesia menggunakan agen yang kedudukannya bebas. (.....).
3. Kewajiban pajak subjektif warisan yang belum terbagi, dimulai pada saat
meninggalnya pewaris, dan berakhir pada saat warisan dibagi.(...).
4. Kewajiban subjektif pajak WP Badan, mulai saat Badan didirikan, sampai saat
Badan tersebut dibubarkan dan dilikuidasi. (.....).
5. Semua penduduk yang bertempat tinggal di Indonesia, adalah subjek pajak
tanpa kecuali (.....).
6. Yayasan terdaftar sebagai wajib pajak dan diberikan NPWP, apabila telah
memenuhi kewajiban pajak subjektif dan objektif. (….).
7. Yang menjadi objek pajak adalah setiap tambahan kekayaan yg dimiliki, wajib
pajak dalam bentuk apapun. (……).
8. Uang Alimentasi yang diterima oleh seorang mantan isteri dari mantan
suaminya setiap 6 (enam) bulan adalah objek pajak. (....)
9. Tidak termasuk Objek Pajak adalah, harta termasuk setoran tunai yang diterima
oleh badan sebagai pengganti saham atau penyertaan. (.....)
10. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota Firma, Kongsi, Persekutuan,
Perkumpulan serta, CV Tidak atas saham, adalah objek pajak. (....).
11. Perusahaan Reksadana yang membagikan keuntungan berupa bunga obligasi
kepada pemilik modal, bagi pemilik modal bukan objek pajak. (...).
12. Yang menjadi objek pajak pada bentuk usaha tetap adalah penghasilan yang
semata-mata dari penjualan barang atau jasa yang diproduksi Induk perusahaan
tersebut di luar negeri, ke Indonesia. (....).
13. Apabila Bentuk Usaha Tetap membayarkan imbalan berupa bunga, kepada
induknya di luar negeri yang berkaitan dengan usaha dibidang perbankan, maka
pembayaran bunga dimaksud, dapat dijadikan biaya bagi BUT pada waktu
menghitung penghasilan kena pajaknya. (....)
14. Penghasilan berupa sewa angkutan darat, dikenakan PPh. yang bersifat Final.
(.....).
15. Deviden yang diterima PT A, atas penyertaan sahamnya pada PT B, sebesar
24,8%, tidak merupakan objek pajak bagi PT A, dan karenya PT B, tidak perlu
melakukan pemotongan pajaknya. (.....).

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 43


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

8. Kunci jawaban (test) Formatif.


8.1. Memilih jawaban (pernyataan yang benar).
1. (C) Kepala Inspeksi Pajak.
2. (B) Memasukan Neraca dan perhitungan R/L.
3. (A) Menganut paham laba material.
4. (A) Tarif umum dan tarif khusus.
5. (A) Mengamankan penerimaan negara.
6. (B) Lembaga Surat Ketetapan Pajak.
7. (B) Tatacara pembayaran pajak selama tahun berjalan.
8. (A) Semi Self- Assessment.
9. (B) Merubah dari sistim Official Assessment ke sistim Self-Assessment.
10. (C) Menyangkut yg tercantum pada b ditambah PPN-PPn.BM,dan PBB.
11. (A) Lahir dan bertempat tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari.
12. (C) Pada saat berada di Indonesia dan melakukan usaha/kegiatan.
13. (B) Berada di Indonesia selama 4 (empat) bulan.
14. (A) Bentuk Usaha Tetap.
15. (B) Harga pasar.
16. (B) Pembayaran kembali yang tidak melebihi jumlah modal yang disetor.
17. (A) Hubungan kerja, pekerjaan dan kegiatan.
18. (C) Jaminan pengembalian utang.
19. (C) Bagian laba yang diterima dari Firma, Kongsi, Persekutuan, Perkumpulan,
serta CV, tidak atas saham.
20. (B) Penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari wajib pajak
orang pribadi dalam negeri.

8.2. Pilihan Benar (B), atau Salah (S).

1) jawabannya Salah (S). 8) jawabannya Benar (B).


2) jawabannya Benar (B). 9) jawabannya Benar (B).
3) jawabannya Benar (B). 10) jawabannya Salah (S).
4) jawabannya Salah (S). 11) jawabannya Salah (S).
5) jawabannya Salah (S) 12) jawabannya Salah (S).
6) jawabannya Benar (B). 13) jawabannya Benar (B).
7) jawabannya Salah (S). 14) jawabannya Salah (S).
15) jawabannya Salah (S).
9. Umpan Balik.

Cocokanlah jawaban Sdr. dengan kunci jawaban test Formatif, dan hitunglah jawaban
Sdr. yang benar, kemudian gunakan rumus dibawah ini untuk mengetahui
tingkat penguasaan materi kegiatan belajar.

Rumus :
Tingkat penguasaan = jumlah jawaban Sdr. yang benar dibagi dengan jumlah soal,
hasilnya dikalikan dengan 100%, artinya tingkat penguasaan yg dicapai :

90% - 100% = Baik sekali.


80% - 89% = Baik
70% - 79% = Cukup
69% atau kurang = Kurang.

Bila Sdr. mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Sdr. dapat meneruskan
dengan modul berikutnya. Tetapi bila tingkat penguasaan kurang dari 80%, Sdr.
harus mempelajari kembali kegiatan belajar tersebut.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 44
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

10. Kegiatan belajar 6

BIAYA YANG BOLEH DAN TIDAK BOLEH DIKURANGKAN DARI PENGHASILAN


BRUTO.

10.1. Uraian dan Contoh

10.1.1. Pengeluaran (biaya) yang boleh dikurangkan.

Bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, biaya yang boleh dikurangkan
diatur dalam Psl 6 ayat (1) UU Pajak Penghasilan.
Biaya yang dapat dikurangkan ini dibagi kepada 2 (dua) golongan, yaitu biaya (beban)
yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun, dan biaya (beban) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun. Terhadap biaya yang masa manfaatnya
tidak lebih dari satu tahun, dapat sekaligus dibebankan pada tahun pajak yang
bersangkutan, akan tetapi terhadap biaya yang masa manfaatnya lebih dari satu tahun,
pembebannya harus dilakukan melalui penyusutan (untuk harta yang berwujud), atau
amortisasi (untuk harta tak berwujud termasuk hak).
Sesuai dengan Psl 6 ayat (1) tersebut diatas, biaya-biaya yang boleh dikurangkan
dimaksud adalah :

a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha
antara lain

1. biaya pembelian bahan ;


2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honororarium,
bonus,gratifikasi, dan tunjangan,yang diberikan dalam bentuk uang.
3. bunga, sewa, dan royalty ;
4. biaya perjalanan ;
5. biaya pengolahan limbah ;
6. premi asuransi ;
7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri
Keuangan ;
8. biaya administrasi ; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan.
b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manf
lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A.;
c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
;
d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan da
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
e. kerugian selisih kurs mata uang asing ;
f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia ;
g. biaya bea siswa dan pelatihan ;
h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :

1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan rugi komersial ;


2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak , dan ;

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 45


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

3. telah diserahkan perkara penagihannya, kepada Pengadilan Negeri atau instansi


yang menangani piutang negara ; atau adanya perjanjian tertulis mengenai
penghapusan/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan ;
atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus; atau adanya
pengakuan dari debitur, bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang
tertentu ;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan
piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
huruf k, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan ;
i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, yang ketentuannya
diatur dengan Peraturan Pemerintah ;
j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah ;
k . biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah ;
l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah ;
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yamg ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

(2) Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didapat kerugian, maka kerugian tersebut tersebut dikompensasikan dengan
penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

(3) Kepada orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri diberikan pengurangan berupa
Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.

Penjelasan Pasal 6
Ayat (1)
Beban-beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam
2(dua) golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak
lebih dari 1 (satu) tahun dan mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1(satu) tahun merupakan
biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan
bunga, biaya rutin pengolahan limbah, dan sebagainya, sedangkan pengeluaran
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, pembebanannya
dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi. Disamping itu apabila
dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena penjualan harta atau karena
selisih kurs, maka kerugian-kerugian tersebut dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto.

Huruf a

Biaya-biaya dimaksud dalam ayat ini lazim disebut biaya sehari-hari yang
boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat dibebankan sebagai
biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut harus mempunyai hubungan
langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
Dengan demikian pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh
sebagai biaya .

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 46


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Contoh :
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Menteri
Keuangan untuk memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari :
a. penghasilan yang bukan merupakan objek pajak sesuai dengan Pasal 4
ayat (3)
huruf h ........................................................................................Rp 100.000.000.
b. penghasilan bruto lainnya......................................................... Rp 300.000.000.
. c. Jumlah penghasilan bruto........................................................ Rp 400.000.000.

Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000., maka biaya yang


boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan adalah sebesar 3/4 x Rp 200.000.000. = Rp 150.000.000.
Demikian pula bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli
saham tidak dapat dibebankan sebagai biaya, sepanjang deviden yang
diterimanya tidak merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut
dapat dikapitalisasi sebagai penambah harga perolehan saham.

Huruf b

Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak


berwujud serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari
1(satu) tahun, pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi.
Selanjutnya lihat ketentuan Pasal 9 ayat (2), Pasal 11, dan Pasal 11A beserta
penjelasannya.
Pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran dimuka, misalnya
sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus pembebannya dapat
dilakukan melalui alokasi

Huruf c.

Iuran pensiun kepada dana pensiun, yang pendiriannya telah disetujui oleh
Menteri Keuangan, baik yang dipotong dari penghasilan pegawai/karyawan,
maupun yang
ditanggung sipemberi kerja, boleh dibebankan sebagai biaya, sedangkan
kepada dana pensiun yang pembentukannya belum disahkan oleh Menteri
Keuangan, tidak boleh menjadi biaya. Jamsostek yang masih berkaitan dengan
iuran pensiun, perlakuan Pajak Penghasilannya adalah sebagai berikut :

PT. Jamsostek, menyelenggarakan 4 jenis program, yaitu :


1. Jaminan kecelakaan kerja.
2.. Jaminan eKmatian.
3. Jaminan Hari Tua ;
4. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan.
Angka (1), (2), dan (4), dalam pelaksanaannya, adalah sejenis dengan
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan, sedangkan
angka (3), dalam penyelenggaraannya, disamakan dengan perlakuan terhadap
Dana Pensiun yang telah memperoleh persetujuan Menteri Keuangan.

Huruf d

Kerugian Penjualan atau Pengalihan harta.


Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta, yang menurut tujuannya
semula

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 47


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialhkan, yang dimiliki dan dipergunakan
dalam
perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan, dapat di kurangkan dari penghasilan bruto.

Huruf e

Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat azas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Huruf f

Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di Indonesia,


dalam jumlah yang wajar untuk menemukan teknologi atau sistem baru bagi
pengembangan perusahaan boleh dibebankan sebagai biaya.
Huruf g

Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan bea siswa, magang, dan pelatihan
dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan
sebagai biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk
beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang
diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.

Huruf h

Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan sebagai biaya
sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai biaya dalam laporan laba
rugi komersial dan telah melakukan upaya – upaya penagihan yang maksimal
atau terakhir
Yang dimaksud dengan penerbitan, tidak hanya berarti penerbitan berskala
nasional, melainkan juga penerbitan internal asosiasi dan sejenisnya.
Tatacara pelaksanaan persyaratan yang ditentukan dalam ayat (1) huruf h ini,
diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Dengan demikian Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, harus
memenuhi syarat :

1. Telah dibebankan sebagai biaya dlm laporan keuangan komersial.


2. Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri, atau
Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN), atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yg bersangkutan.
3. Telah dipublikasikan dalam penerbitan/mass media umum/khusus,
4. Wajib pajak membuat daftar nominatifnya, dan menyampaikannya kepada
Direktur Jenderal Pajak; yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Peraturan Pelaksanaan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan ketentuan


Psl 6 ayat (1), huruh h, UU Pajak Penghasilan, dimaksud adalah Keputusan
Direktur Jenderal Pajak No. 238/PJ./2001, Tgl 28 Maret 2001, tentang
Penghapusan Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, antara lain berisi
penegasan :

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 48


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

a. yang dimaksud dengan penerbitan umum atau khusus, adalah penerbitan


koran/majalah atau media massa cetak yg lazim lainnya, yang berskala
nasional atau penerbitan khusus, Himpunan Bank bank Milik Negara,
atau penerbitan
khusus Bank Indonesia.
b .Daftar Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dimaksud, memuat
data dan informasi mengenai debitur, yaitu : nama, alamat, NPWP, serta
jumlah piutang yang nyata-nyata tak dapat ditagih.

Ayat (2) Kompensasi Kerugian.

Jika pengeluaran-pengeluran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan pada


ayat (1) setelah dikurangkan dari penghasilan bruto didapat kerugian, kerugian
tersebut dikompesasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama
5(lima) tahun berturut berturut dimulai sedjak tahun berikutnya sesudah tahun
didapatnya kerugian tersebut.

Contoh :
PT A. Dalam tahun 2009 menderita kerugian fiskal sebesar Rp 1.200.000.000.
Dalam 5 (lima) tahun berikutnya laba rugi fiskal PT A sebagai berikut :
2010 : laba fiskal Rp 200.000.000.
2011 : rugi fiskal (Rp 300.000.000.)
2012 : laba fiskal Rp N I H I L.
2013 : laba fiskal Rp 100.000.000.
2014 : laba fiskal Rp 800.000.000.

Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut :


Rugi fiskal tahun 2009 ( Rp 1.200.000.000)
Laba fiskal tahun 2010 Rp 200.000.000
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 1.000.000.000)
Rugi fiskal tahun 2011 ( Rp 300.000.000)
Sisa rugi fiskal tahun 2009 ( Rp 1.000.000.000)
laba fiskal tahun 2012 Rp N I H I L
Sisa rugi fiskal 2009 (Rp 1.000.000.000)
Laba fiskal tahun 2013 Rp 100.000.000
Sisa rugi fiskal tahun 2009 (Rp 900.000.000)
Laba fiskal 2014 Rp 800.000.000
Sisa rugi fiskal tahun 2009 Rp 100.000.000

Rugi fiskal tahun 2009 sebesar Rp 100.000.000. yang masih tersisa pada akhir
tahun 2014, tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2015,
sedangkan rugi fiskal tahun 2011 sebesar Rp 300.000.000. hanya boleh
dikompensasikan dengan laba fiskal tahun 2015 dan tahun 2016, karena jangka
waktu lima tahun sejak dimulainya tahun 2012 berakhir pada akhir tahun 2016.

Penjelasannya :
Pada dasarnya ada 2 (dua) bentuk kompensasi kerugian yaitu kompensasi
kerugian Vertikal dan kompensasi kerugian Horizontal. Kompensasi kerugian
Horizontal adalah kompensasi kerugian diantara sumber-sumber penghasian,
sedangkan kompensasi kerugian Vertikal adalah kerugian pada sesuatu tahun
yang akan diperhitungkan ketahun-tahun berikutnya.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 49


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Ayat (3)

Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam
negeri, kepadanya diberikan pengurangan berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak
(PTKP), berdasarkan ketentuan dimaksud dalam Pasal 7.

PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK ( Pasal 7).

(1) Penghasilan Tidak Kena Pajak per tahun diberikan paling sedkit sebesar :
a. Rp 15.840.000. (lima belas juta delapan ratur empat pulu ribu rupiah) untuk Wajib
Pajak orang pribadi ;
b. Rp 1.320.000. (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah), tambahan untuk WP
kawin ;
c. Rp 15.840.000.(lima belas juta delapan ratus empat puluh ribu rupiah), tambahan
untuk seorang isteri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1); dan
d. Rp 1.320.000. (satu juta tiga ratus dua puluh ribu rupiah), tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus
serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3(tiga)
orang untuk setiap keluarga.

(2) Penerapan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh
keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.

(3) Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah
berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Penjelasan Pasal 7
Ayat (1)

Untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib Pajak orang
pribadi dalam negeri, penghasilan netonya dikurangi dengan jumlah Penghasilan
Tidak Kena Pajak. Disamping untuk dirinya, kepada wajib pajak yang sudah kawin
diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
Bagi Wajib Pajak yang isterinya menerima atau memperoleh penghasilan yang
digabung dengan penghasilannya, Wajib Pajak tersebut mendapat tambahan
Penghasilan Tidak Kena Pajak untuk seorang isteri paling sedikit sebesar Rp
15.840.000. (lima belas juta delapan ratus empat puluh rupiah),

Wajib Pajak yang mempunyai anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis
keturunan lurus yang menjadi tanggungan sepenuhnya, misalnya orang tua, anak
kandung, mertua, atau anak angkat, diberikan tambahan Penghasilan Tidak Kena
Pajak untuk paling banyak 3(tiga) orang. Yang dimaksud dengan ”anggota
keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya”, adalah anggota keluarga yang
tidak mempunyai penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib
Pajak.

Contoh :

Wajib Pajak A mempunyai seorang isteri dengan tangungan 4 (empat) orang anak.
Apabila isterinya memperoleh penghasilan dari satu pemberi kerja yang sudah
dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dan pekerjaan tersebut tidak ada

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 50


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

hubungannya dengan usaha suami atau anggota keluarga lainnya, besarnya


Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A, adalah
sebesar Rp 21.120.000. yaitu (Rp 15.840.000. + Rp 1.320.000. + (3x Rp
1.320.000.) , sedangkan untuk isterinya, pada saat pemotongan Pajak Penghasilan
Pasal 21 oleh pemberi kerja diberikan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebesar Rp
15.840.000. Apabila penghasilan isteri harus digabung dengan penghasilan suami,
besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada Wajib Pajak A
adalah sebesar Rp 36.960.000. (Rp 21.120.000. + Rp 15.840.000.).

Pengertian anak angkat ;


Berdasarkan surat Direktur Jenderal Pajak kepada Yayasan Taruma Negara, No.
S-11/PJ.41/1995, Tgl 29 Agustus 1995, ditegaskan sebagai berikut :
 Bukan pengertian anak angkat sebagaimana dalam masyarakat sehari-hari
yaitu seorang anak yang diaku dan dan diangkat sebagai anak.
 Dan juga bukanlah pengertian anak angkat sebagaimana dimaksud dalam
hukum perdata, yang harus terlebih dahulu ada pengesahan dari Hakim
Pengadilan Negeri.
 Tetapi pengertian anak angkat dalam perundang-undangan pajak dengan
kriteria sebagai berikut :

a. Seseorang yang belum dewasa ;


b. Yang tidak tergolong keluarga sedarah atau semenda dalam garis
keturunan lurus dari Wajib Pajak;
c. Dan menjadi tanggungan sepenuhnya dari Wajib Pajak.
Pengertian dewasa, sudah berumur 18 tahun, atau belum lagi 18 tahun tapi
sudah menikah. Pengertian menjadi tanggungan sepenuhnya menurut
Undang-undang PPh berdasarkan keadaan yang terlihat dari keadaan nyata,
yaitu :

a. Tinggal bersama-sama dengan Wajib Pajak ;


b. Nampak secara nyata tidak mempunyai penghasilan ;
c. Tidak pula turut dibantu oleh lain-lain anggota keluarga atau orang tuanya
sendiri

Sedangkan kalau Wajib Pajak sekedar menyumbang, membantu, bertanggung


jawab, dan sebagainya, tidak termasuk dalam menjadi tanggungan
sepenuhnya.

Ayat (2)
Penghitungan besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditentukan menurut keadaan Wajib Pajak pada awal tahun pajak atau
pada saat awal bagian dari tahun pajak.
Misalnya pada tanggal 1 Januari 2009 Wajib Pajak B berstatus kawin dengan
tanggungan 1 (satu) orang anak. Apabila anak yang kedua lahir setelah tanggal 1
Januari 2009, besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang diberikan kepada
Wajib Pajak B untuk tahun 2009, tetap dihitung berdasarkan status kawin dengan
tanggungan 1(satu) anak.

Ayat (3)
Berdasarkan ketentuan ini Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk
mengubah besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Republik
Indonesia, dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 51
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

10.1.2. PENGHASILAN WANITA KAWIN.

Ketentuan mengenai wanita kawin diatur dalam Pasal 8 UU PPh sbb :

(1) Seluruh penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal
tahun pajak atau pada awal bagian tahun pajak, begitu pula kerugiannya yang
berasal dari tahun-tahun sebelumnya, yang belum dikompensasikan sebagaiman
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), dianggap sebagai penghasilan atau kerugian
suaminya, kecuali penghasilan tersebut semata-mata diterima atau diperoleh dari
1(satu) pemberi kerja yang telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan Pasal 21
dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha atau pekerjaan
bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

(2) Penghasilan suami-isteri dikenai pajak secara terpisah apabila :

a. suami – isteri telah hidup berpisah berdasarkan putusan hakim ;


b. dikehendaki secara tertulis oleh suami-isteri berdasarkan perjanjian
pemisahan harta dan penghasilan ; atau
c. dikehendaki oleh isteri yang memilih untuk menjalankan hak dan kewajiban
perpajakannya sendiri.

(3) Penghasilan neto suami-isteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan
huruf c, dikenai pajak berdasarkan penggabungan penghasilan neto suami-isteri
dan besarnya pajak yang harus dilunasi oleh masing-masing suami-isteri
dihitung sesuai dengan perbandingan penghasilan neto mereka.

(4) Penghasilan anak yang belum dewasa digabung dengan penghasilan orang
tuanya.

Penjelasan Pasal 8

Sistem pengenaan pajak berdasarkan Undang-Undang ini menempatkan keluarga


sebagai satu kesatuan ekonomis, artinya penghasilan atau kerugian dari seluruh anggota
keluarga digabungkan sebagai satu kesatuan yang dikenai pajak dan pemenuhan
kewajiban pajaknya dilakukan oleh kepala keluarga. Namun dalam hal-hal tertentu
pemenuhan kewajiban pajak tersebut dilakukan secara terpisah.

Ayat (1)
Penghasilan atau kerugian bagi wanita yang telah kawin pada awal tahun pajak, atau
awal bagian tahun pajak dianggap sebagai penghasilan atau kerugian suaminya, dan
dikenai pajak sebagai satu kesatuan. Penggabungan tersebut tidak dilakukan dalam
hal penghasilan isteri diperoleh dari pekerjaan sebagai pegawai yang telah dipotong
pajak oleh pemberi kerja, dengan ketentuan :

a. penghasilan isteri tersebut semata-mata diperoleh dari satu pemberi kerja , dan
b. penghasilan isteri tersebut berasal dari pekerjaan yang tidak ada huungannya
dengan usaha atau pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.

Contoh :
Wajib Pajak A yang memperoleh penghasilan neto dari usaha sebesar Rp
100.000.000. mempunyai seorang isteri yang menjadi pegawai dengan penghasilan
neto Rp 70.000.000.
Apabila penghasilan isteri tersebut diperoleh dari satu pemberi kerja dan telah
dipotong pajak oleh pemberi kerja dan pekerjaan tersebut tidak ada hubungannya

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 52


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

dengan usaha suami, atau anggota keluarga lainnya, penghasilan neto sebesar Rp
70.000.000. tidak digabung dengan penghasilan A, dan pengenaan pajak atas
penghasilan isteri tersebut bersifat final.

Apabila selain menjadi pegawai, isteri A juga menjalankan usaha, misalnya salon
kecantikan dengan penghasilan neto sebesar Rp 80.000.000, maka seluruh
penghasilan isteri sebesar Rp 150.000.000. (Rp 70.000.000. + Rp 80.000.000.)
digabungkan dengan penghasilan A. Dengan penggabungan tersebut, A dikenai
pajak atas penghasilan sebesar Rp 250.000.000. ( Rp 100.000.000. + Rp
70.000.000. + Rp 80.000.000.). Potongan pajak atas penghasilan isteri tidak bersifat
final, artinya dapat dkreditkan terhadap pajak yang terutang atas penghasilan
sebesar Rp 250.000.000. tersebut yang dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan.

Ayat (2) dan Ayat (3).

Dalam hal suami-isteri telah hidup berpisah berdasarkan keputusan hakim,


penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajaknya dilakukan sendiri-
sendiri. Apabila suami-isteri mengadakan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan secara tertulis atau jika isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri, perhitungan pajaknya dilakukan berdasarkan
penjumlahan penghasilan neto suami-isteri dan masing-masing memikul beban pajak
sebanding dengan besarnya penghasilan neto.

Contoh :
Perhitungan pajak bagi suami-isteri yang mengadakan perjanjian pemisahan
penghasilan secara tertulis atau isteri menghendaki untuk menjalankan hak dan
kewajiban perpajakannya sendiri, adalah sebagai berikut :

Dari contoh pada ayat (1), apabila isteri menjalankan usaha salon kecantikan,
pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan jumlah penghasilan sebesar Rp
250.000.000.
Misalnya pajak terutang atas jumlah penghasilan tersebut adalah sebesar Rp
27.550.000. maka untuk masing-masing suami dan isteri pengenaan pajaknya
dihitung sebagai berikut:

- suami : 100.000.000. x Rp 27.550.000. = Rp 11.020.000.


250.000.000.

- isteri : 150.000.000. x Rp 27.550.000. = Rp 16.530.000.


250.000.000.

Ayat (4)

Penghasilan anak yang belum dewasa dari manapun sumber penghasilannya dan
apapun sifat pekerjaannya digabung dengan penghasilan orang tuanya dalam tahun
pajak yang sama.
Yang dimaksud dengan ”anak yang belum dewasa ” adalah anak yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.
Apabila seorang anak belum dewasa, yang orang tuanya belum berpisah, menerima
atau memperoleh penghasilan, pengenaan pajaknya digabungkan dengan
penghasilan ayah atau ibunya berdasarkan keadaan yang sebenarnya.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 53


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

10.1.3. Pengeluaran/biaya yang tidak boleh dikurangkan.

(1) Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam
negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikuangkan :

a. pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti deviden
termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi ;

b. biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi


pemegang saham, sekutu, atau anggota ;

c. pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali :


1. Cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi,
perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang ;
2. Cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
3. Cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan.
4. Cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan ;
5. Cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan
6. Cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk pengolahan limbah industri.
Yang ketentuan dan syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan
Menteri Keuangan.

Besarnya cadangan dari masing-masing jenis usaha tersebut berdasarkan Surat


Keputusan Menteri Keuangan No. 80/KMK.04/1995, SKMK No. 235/01/1998,
SKMK No. 68/KMK.04/1999, terakhir perubahan ketiga melalui KMK No.
204/KMK.04/2000, adalah sebagai berikut ;

No. Jenis Usaha Cadangan yg Besarnya Cadangan.


diperkenankan
1. Bank Umum Cadangan Piutang tak Lihat tabel dibawah.
tertagih
2. Sewa Guna Cadangan Piutang tak Maksimum 2,5% dari rata-rata
Usaha de ngan tertagih. Saldo awal dan akhir Piutang.
Hak Opsi.
3. Asuransi kerugian Cadangan Premi 40% dari Premi tanggungan
Cadangan Klaim sendiri sama dg jumlah klaim
yang sudah disepakati tetapi
belum dibayar ditambah dg
klaim yg sedang dalam proses.
4. Asuransi Jiwa. Cadangan Premi. Sesuai dengan perhitungan
aktuaria yg disahkan oleh
Ditjen Lembaga Keuangan.
5. Pertambangan Cadangan Reklamasi Dihitung dg menggunakan
MSP atas dasar taksiran biaya
reklamasi.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 54


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Pembentukan Dana Cadangan Piutang Tak Tertagih Jenis Usaha Bank.

Penggolongan Kredit.
Periode laporan Lancar, tidak termasuk Dalam Kurang Lancar
SBI dan Surat utang Perhatian Setelah dikurangi
Pemerintah. Khusus. Nilai Agunan.
31-12-1998 s.d.31-05- 0,25% 1,25% 3.75%
1999. 0.50% 5.50%.
30-06-1999 s.d.30-11- 0.625% 1.875% 7,50%
1999. 0,75% 2,50% 10,00%
31-12-1999 s.d.31-05- 0,875% 3,00% 12,50%
2000. 1,00% 4,00% 15,00%.
30-06-2000 s.d 30-11- 5,00%
2000.
31-12-2000 s.d 31-05-
2001.
30-06-2001 dan
seterusnya.

Untuk jenis usaha Bank Umum, besarnya dana cadangan untuk kredit yg
digolongkan macet ditentukan sebagai berikut :
o 50% dari kredit yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan ;
dan
o 100% dari kredit yg digolongkan macet setelah dikurangi nilai agunan.

Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-21/PJ.42/2000, juncto


KMK No. 204/KMK.04/2000, Bank Perkreditan Rakyat dapat membentuk dana
cadangan piutang tak tertagih. Besarnya dana cadangan piutang tak tertagih
dimaksud ditentukan sbb:
o 0,5% dari kredit yang digolongkan lancar.
o 3% dari kredit yang digolongkan kurang lancar setelah dikurangi nilai agunan
yang dikuasai.
o 50% dari kredit yang digolongkan diragukan setelah dikurangi nilai agunan
yang dikuasai.
o 100% dari kredit yang digolongkan macet yang masih tercatat dalam
pembukuan bank setelah dikurangi agunan yang dikuasai.
d) Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh wajib pajak orang pribadi, kecuali yang
dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
wajib pajak yang bersangkutan.
e) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan
dalam bentuk natura dan kenikmtan, kecuali penyediaan makanan dan minuman
bagi seluruh pegawai, serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan
kenikmatan didaerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan
yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; Keputusan
Menteri Keuangan dimaksud No. 466/KMK.04/2000, Tgl 3 Nopember 2000, Tentang
Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai dan penggantian atau
imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yg diberikan dalam bentuk natura /
kenikmatan di daerah tertentu, serta yg berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan,
yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja :

1. Penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai, tanpa memandang


jabatan dan posisi karyawan yang bersangkutan, yang disediakan sipemberi
kerja (perusahaan), ditempat kerja, atau penggantian yang sepadan dengan
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 55
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

nilai pemberian makanan tersebut, apabila pegawai/karyawan ybs, ditugas


luarkan.

2. Daerah tertentu adalah daerah terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis
mempunyai potensi yang layak dikembangkan, tetapi keadaan sarana dan
prasarana ekonomi pada umumnya kurang memadai dan sulit dijangkau oleh
transportasi umum, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia
menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung resiko
yang tinggi, dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk daerah
perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 meter, yang dasar
lautnya memiliki cadangan mineral.

3. Pengeluaran untuk penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai


dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja, atau perusahaan.

4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yg


diberikan dalam bentuk natura, dan atau kenikmatan didaerah tertentu yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, adalah sarana dan fasilitas di lokasi
bekerja untuk :
 tempat tinggal, termasuk perumahan pegawai dan keluarganya.
 pelayanan kesehatan, pendidikan, bagi pegawai dan keluarganya.
 pengangkutan bagi pegawai dan keluarganya ;
 olah raga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating, dan
pacuan kuda.
sepanjang fasilitas dan sarana tersebut tidak tersedia, sehingga pemberi kerja
harus menyediakan sendiri.
Pengeluaran untuk pembangunan sarana tersebut yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1(satu) tahun, pembebannya dilakukan melalui penyusutan.

5. Pemberian kepada pegawai dalam bentuk natura dan kenikmatan, yang


merupakan keharusan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan, keamanan dan
keselamatan kerja atau yang berkaitan dengan situasi lingkungan kerja, dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi ker kerja.

f) Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang ham, atau
pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan
pekerjaan yang dilakukan.
g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m, serta
zakat yang diterima oleh badan
amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.
Atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui
di Indonesia, yang diterima, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk
dan disahkan oleh pemerintah, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah;
h) Pajak Penghasilan ;
i) Biaya yang dibebankan atau yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi wajib pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya ;
j) Gaji yg dibayarkan kepada anggota persekutuan, frma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham;
k) Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa
denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan dibidang
perpajakan.
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 56
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Dalam Peraturan Pemerintah No. 138 Thn 2000, Tgl 21 Desember 2000, Tentang
Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam
tahun berjalan, mengatur juga pengeluaran dan biaya yang boleh/ tidak boleh
dikurangkan dalam menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi WP dalam
negeri dan bentuk usaha tetap.

Pasal 3 PP 138 Tahun 2000, sebagai berikut :


a. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan Psl 9 ayat (8)
UU PPN, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, kecuali :
 Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Psl 9 ayat (8) huruf f dan g, UU
PPN, sepanjang tidak dapat dibuktikan bahwa Pajak Masukan tersebut benar-
benar telah dibayar.
 Pajak Masukan yang berkenan dengan pengeluaran yang tidak dapat
dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak
sebagaimana dimaksud dalam Psl 9 ayat (1) UU PPh.
Catatan :
Bunyi Psl 9 ayat (8) huruf f dan g UU PPN dimaksud adalah sbb :
- Psl 9 ayat (8) huruf f UU PPN-PPn.BM.
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk masa pajak
yang sama bagi pengeluaran untuk (f) perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena
Pajak yg faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Psl 13 ayat (5);
- Psl 9 ayat (8) huruf g, UU PPN ;
Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak
yang sama bagi pengeluaran untuk (g) pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar
daerah pabean yg faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Psl 13 ayat (6).

- Lengkapnya bunyi Psl 13 ayat (5) dan ayat (6) adalah sbb :

Pasal 13 ayat (5) UU PPN ;

Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena
Pajak, atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat :
a. Nama, alamat, NPWP, yang menyerahkan BKP atau JKP ;
b. Nama, alamat, dan NPWP, pembeli BKP atau JKP ;
c. Jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga ;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut ;
e. PPn. BM yang dipungut ;
f. Kode, nomor seri dan tgl pembuatan Faktur Pajak ; dan
g. Nama Jabatan, dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Pasal 13 ayat (6) UU PPN ;

Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak.
Dokumen tertentu yang diperlakukan sebagai Faktur Pajak Standar dimaksud
berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No- 312/PJ/2001, yang merupakan
penyempurnaan dari KEP-522/PJ./2000, adalah sebagai berikut :
a. Pemberitahuan Impor Barang Untuk Dipakai (PIUD) dan Surat Setoran Pajak
(SSP) untuk Impor Barang Kena Pajak.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 57


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

b. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah difiat muat oleh pejabat yang
berwenang dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan dilampiri invoice ;
c. Surat Perintah Pengiriman Barang (SPPB) dari Bulog/Dolog untuk penyaluran gula
pasir dan tepung terigu ;
d. Paktur Nota Bon Penyerahan (PNBP) yang dibuat/dikeluarkan oleh Pertamina
untuk penyerahan BBM dan/atau non BBM ;
e. Tanda Pembayaran atau kwitansi atas penyerahan jasa Telkom.
f. Ticket dan surat muatan udara (airway bill), delivery order, bill yang dibuat/
dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri ;
g. Surat Setoran Pajak untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP tidak
berwujud dan/atau JKP dari Luar Daerah Pabean ;
h. Nota Penjualan Jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan Jasa
Kepelabuhan.
i. Tanda pembayaran atau kwitansi listrik.
j. Pajak Masukan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, sehubungan
dengan pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan atau harta tak
berwujud, serta biaya lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun
sebagaimana dimaksud dalam Psl 11 dan Psl 11 A, UU Pajak Penghasilan,
terlebih dulu harus dikapitalisasi dengan pengeluaran/biaya tersebut dan
dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi.

Psl 4 Peraturan Pemerintah 138 Tahun 2000.

a. biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan bukan


merupakan objek pajak.
b. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan pengenaan
pajaknya bersifat final.
c. biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan
pajak berdasarkan norma perhitungan, sebagaimana dimaksud dalam Psl 14 UU
Pajak Penghasilan.
d. Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali pajak atas
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Psl 26 ayat (1), UU Pajak Penghasilan,
tetapi tidak termasuk deviden sepanjang PPh. tersebut ditambahkan dalam
perhitungan dasar untuk pemotongan pajak, dan ;
Kerugian dari harta atau utang yang dimiliki dan tidak dipergunakan dalam usaha
atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak.

(2) Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang


mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

Penjelasan Pasal 9

Ayat (1)
Peneluaran-pengeluaran yang dilakukan Wajib Pajak dapat dibedakan antara
pengeluaran yang boleh dan yang tidak boleh dibebankan sebagai biaya.

Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah biaya
yang mempunyai hubungan langsung dan tidak langsung dengan usaha atau
kegiatan untuk mendapatkan, menagih, atau memelihara penghasilan yang
merupakan objek pajak yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun
pengeluaran atau selama masa manfaat dari pengeluaran tersebut. Pengeluaran

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 58


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto meliputi pengeluaran yang
sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang jumlahnya melebihi kewajaran.
Huruf a.
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk pembayaran
deviden kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha koperasi kepada
anggotanya, dan pembayaran deviden oleh perusahaan asuransi kepada
pemegang polis, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan yang
membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian dari
penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan Undang-
undang ini.
Huruf b.
Tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan adalah biaya-biaya
yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu atau anggota, seperti perbaikan rumah pribadi, biaya
perjalanan, biaya premi asuransi, yang dibayar oleh perusahaan untuk
kepentingan pribadi para pemegang saham atau keluarganya.

Lihat uraian diatas pada dana cadangan.


Huruf d
Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang
pribadi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, dan pada saat orang
pribadi dimaksud menerima penggantian atau santunan asuransi, penerimaan
tersebut bukan merupakan objek pajak.
Apabila premi asuransi tersebut dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja,
maka bagi pemberi kerja pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya
bagi pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang merupakan objek
pajak.
Huruf e
Sebagaimana telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) huruf d,
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan
merupakan Objek Pajak. Selaras dengan hal tersebut maka dalam ketentuan ini,
penggantian atau imbalan dimaksud dianggap bukan merupakan pengeluaran
yang dapat dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja . Namun, dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, pemberian natura dan kenikmatan
berikut ini, dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja, dan bukan
merupakan penghasilan bagi pegawai ybs:

1. penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan yang


diberikan berkenaan dengan pelaksanaan pekerjaan didaerah tesebut
dalam rangka menunjang kebijakan pemerintah untuk mendorong
pembangunan didaerah terpencil;

2. pemberian natura dan kenikmatan yang merupakan keharusan dalam


pelaksanaan pekerjaan sebagai sarana keselamatan kerja atau karena sifat
pekerjaan tersebut mengharuskan, seperti pakaian dan peralatan untuk
keselamatan kerja, pakaian seragam petugas keamanan (satpam), antar
jemput karyawan, serta penginapan untuk awak kapal dan sejenisnya; dan

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 59


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

3. pemberian atau penyediaan makanan dan atau minuman bagi seluruh


pegawai yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan.

Huruf f

Dalam hubungan pekerjaan, kemungkinan dapat terjadi pembayaran imbalan


yang diberikan kepada pegawai yang juga pemegang saham. Karena pada
dasarnya pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai dengan kelaziman usaha,
berdasarkan ketentuan ini, jumlah yang melebihi kewajaran tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai biaya. Misalnya seorang tenaga ahli yang adalah juga
pemegang saham dari suatu badan, memberikan jasa kepada badan tersebut
dengan memperoleh imbalan sebesar Rp 50.000.000. Apabila untuk jasa yang
sama yang diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar
Rp 20.000.000. (dua puluh juta rupiah), maka jumlah sebesar Rp
30.000.000.tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang jiga
sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp 30.000.000. dimaksud
dianggap sebagai deviden.

Huruf h

Yang dimaksud dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak
Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.

Huruf i

Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya, pada hakekatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto usaha/perusahaan.

Huruf j

Anggota firma, persekutuan, dan perseroan komanditer yang modalnya tidak


terbagi atas saham diperlakukan sebagai satu kesatuan, sehingga tidak ada
imbalan sebagai gaji. Dengan demikian gaji yang diterima oleh anggota
persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi
atas saham, bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto badan tersebut.

Ayat (2)

Sesuai dengan kelaziman usaha, pengeluaran yang mempunyai peranan terhadap


penghasilan untuk beberapa tahun, pembebanannya dilakukan sesuai dengan
jumlah tahun lamanya pengeluaran tersebut berperan terhadap penghasilan. Sejalan
dengan prinsip penyelarasan antara pengeluaran dengan penghasilan, dalam
ketentuan ini pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun tidak dapat
dikurangkan sekaligus pada tahun pengeluaran, melainkan dibebankan melalui
penyusutan dan amortisasi, selama masa manfaatnya sebagaimana diatur dalam
Pasal 11 dan Pasal 11A.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 60


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

PENILAIAN HARTA.

Ketentuan tentang tata cara penilaian harta diatur dalam Pasal 10 Undang-undang
PPh.:
(1) Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang
tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18
ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima,
sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima.

(2) Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta
adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar.

(3) Nilai perolehan atau pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambil alihan
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima
berdasarkan harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.

(4) Apabila terjadi pengalihan harta :


a. yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
a dan huruf b, maka dasar penliaian bagi yang menerima pengalihan sama
dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan pengalihan atau nilai
yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak ;

b. yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf c, maka dasar penilaian bagi yang menerima pengalihan sama
dengan nilai pasar dari harta tersebut.
(5) Apabila terjadi pengalihan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3)
huruf c, maka dasar penilaian harta bagi badan yang menerima pengalihan
sama dengan nilai pasar dari harta tersebut.

(6) Persediaan dan pemakaian persediaan untuk penghitungan harga pokok dinilai
berdasarkan harga perolehan yang dilakukan secara rata-rata atau dengan
cara mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama.
Penjelasan Pasal 10

Ketentuan ini mengatur tentang cara penilaian harta, termasuk persediaan,


dalam rangka mengnghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan
harta dalam perusahaan, menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi
penjualan atau pengalihan harta, dan penghitungan penghasilan dari penjualan
barang dagangan.

Ayat (1)
Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli
adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak
penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga
perolehan adalah beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh
harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan, dan biaya
pemasangan.
Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya
adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 61


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

perolehannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan


istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan bisa
menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut
tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini
diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan bagi pihak-pihak yang
bersangkutanadalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau seharusnya
diterima.

Ayat (2)
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain,
nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.

Contoh :
PT A PT B
(Harta X) (Harta Y)
Nilai sisa buku Rp 10.000.000. Rp 12.000.000.
Harga Pasar Rp 20.000.000. Rp 20.000.000.
Antara PT A dan PT B terjadi pertukaran harta. Walaupun tidak terdapat
realisasi pembayaran antara pihak-pihak yang bersangkutan, namun karena
harga pasar harta yang dipertukarkan adalah Rp 20.000.000. maka jumlah
sebesar Rp 20.000.000. merupakan nilai perolehan yang seharusnya dikeluarkan
atau nilai penjualan yang seharusnya diterima.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan
merupakan keuntungan yang dikenakan pajak. PT A memperoleh penghasilan
sebesar Rp 10.000.000. (Rp 20.000.000. – Rp 10.000.000.) dan PT B
memperoleh keuntungan sebesar Rp 8.000.000. (Rp 20.000.000. – Rp
12.000.000.).

Ayat (3)

Pada prinsipnya apabila terjadi pengalihan harta, penilaian harta yang dialihkan,
dilakukan berdasarkan harga pasar. Pengalihan harta tersebut dapat dilakukan
dalam rangka pengembangan usaha berupa penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha. Selain itu pengalihan
tersebut dapat dilakukan pula dalam rangka likuidasi usaha atau sebab lainnya.
Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan
penghasilan yang dikenakan pajak.
Contoh :
PT A dan PT B melakukan peleburan dan membentuk badan baru, yaitu PT C,
Nilai sisa buku dan harga pasar harta dari kedua badan tersebut adalah sebagai
berikut: :
PT A PT B
Nilai sisa buku Rp 200.000.000. Rp 300.000.000.
Harga pasar Rp 300.000.000. Rp 450.000.000.
Pada dasarnya, penilaian harta yang diserahkan oleh PT A dan PT B dalam
rangka peleburan menjadi PT C. adalah harga pasar dari harta. Dengan demikian,
PT A mendapat keuntungan sebesar Rp 100.000.000. (Rp 300.000.000. – Rp
200.000.000.), dan PT B mendapat keuntungan sebesar Rp 150.000.000. (Rp
450.000.000. – Rp 300.000.000.). sedangkan PT C, membukukan semua harta
tersebut dengan jumlah Rp 750.000.000. (Rp 300.000.000. + Rp 450.000.000.).

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 62


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Namun dalam rangka menyelaraskan dengan kebijakan dibidang sosial, ekonomi,


investasi, moneter dan kebijakan lainnya, Menteri Keuangan diberi wewenang
untuk menetapkan nilai lain, selain harga pasar, yaitu atas dasar nilai sisa buku
(”pooling of interest”). Dalam hal demikian PT C membukukan penerimaan harta
dari PT A dan PT B tersebut sebesar Rp 500.000.000. (Rp 300.000.000. + Rp
200.000.000.).

Ayat (4)

Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang
memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a atau warisan, maka nilai
perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah nilai sisa buku harta dari pihak
yang melakukan penyerahan. Apabila Wajib Pajak tidak menyelenggarakan
pembukuan sehingga nilai sisa buku tidak diketahui, maka nilai perolehan atas
harta ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dalam hal terjadi penyerahan harta karena hibah, bantuan, sumbangan yang tidak
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a, maka
nilai perolehan bagi pihak yang menerima harta adalah harga pasar.

Ayat (5)

Penyertaan Wajib Pajak dalam permodalan suatu badan dapat dipenuhi dengan
setoran tunai atau pengalihan harta.
Ketentuan ini mengatur tentang penilaian harta yang diserahkan sebagai pengganti
saham atau penyertaan modaldimaksud, yaitu dinilai berdasarkan nilai pasar dari
harta yang dialihkan tersebut.
Contoh :
Wajib Pajak X menyerahkan 20 unit mesin bubut yang nilai bukunya adalah Rp
25.000.000. kepada PT Y sebagai pengganti penyertaan sahamnya dengan nilai
nominal Rp 20.000.000. Harga pasar mesin-mesin bubut tersebut adalah Rp
40.000.000. Dalam hal ini PT Y akan mencatat mesin bubut tersebut sebagai
aktiva dengan nilai Rp 40.000.000. dan sebesar nilai tersebut bukan merupakan
penghasilan bagi PT Y. Selisih antara nilai nominal saham dengan nilai pasar
harta, yaitu sebesar Rp 20.000.000. (Rp 40.000.000. – Rp 20.000.000.) dibukukan
sebagai agio. Bagi Wajib Pajak X selisih sebesar Rp 15.000.000. (Rp 40.000.000.
– Rp 25.000.000. ) merupakan objek Pajak.

Ayat (6)

Pada umumnya terdapat 3(tiga) golongan persediaan barang, yaitu barang jadi
atau barang dagangan, barang dalam proses produksi, bahan baku dan bahan
pembantu.
Ketentuan pada ayat ini mengatur bahwa penilaian persediaan barang hanya boleh
menggunakan harga perolehan. Penilaian pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok hanya boleh dilakukan dengan cara rata-rata atau
dengan cara mendahulukan persediaan yang didapat pertama (”first –in first –out”
atau disingkat FIFO). Sesuai dengan kelaziman, cara penilaian tersebut jiga
diberlakukan tehadap sekuritas.

Contoh ;
1. Persediaan 100 satuan @ Rp 9.00.
2. Pembelian 100 satuan @ Rp 12,00.
3. Pembelian 100 satuan @ Rp 11,25.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 63


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

4. Penjualan/dipakai 100 satuan


5. Penjualan/dipakai 100 satuan.
Penggunaan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan
cara rata – rata misalnya sebagai berikut :

No. Didapat Dipakai Sisa/persediaan.

1. ---- ---- 100 st @ Rp 9,00 =Rp 900.-

2. 100 st @ Rp 12.= Rp 1.200. ---- 200 st@ Rp10,50 =Rp2.100

3. 100 st @ Rp 11,25=Rp 1,125. ----- 300st@ Rp10,75= Rp 3.225.

4. ----- 100 st @ Rp 10,75 200 st@Rp 10,75=Rp 2.150.


= Rp 1.075.-

5. ----- 100 st @ Rp 10,75 100 st @ Rp10,75=Rp1.075.


= Rp 1.075.-

Penghitungan harga pokok penjualan dan nilai persediaan dengan menggunakan


cara FIFO, misalnya sebagai berikut :

No. Didapat Dipakai Sisa/persediaan.

1. --- ---- 100 st @ Rp 9,00 =Rp 900.-

2. 100 st@ Rp 12,00=Rp1.200.- ----- 100 st @ Rp 9.= Rp 900.-


100 st @ Rp12.=Rp1.200.

3. 100 st@ Rp 11,25=Rp1.125.- ----- 100 st @ Rp 9.=Rp 900.-


100 st @ Rp12=Rp1.200.-
100 st @ Rp11,25=Rp1.125.

4. ---- 100 st @ Rp 9.00 = 100 st @ Rp 12. =Rp 1.200.


Rp 900.- 100 st @ Rp11,25=Rp1,125.

5. ---- 100 st @ Rp12,00 = 100 st @ Rp11,25=Rp1.125.


Rp 1.200.-

Sekali Wajib Pajak memilih salah satu cara penilaian pemakaian persediaan untuk
penghitungan harga pokok tersebut, maka untuk tahun-tahun selanjutnya harus
digunakan cara yang sama.

10.1.5. Penyusutan dan Amortisasi. (Pasal 11 dan Pasal 11 A)

Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak


berwujud, serta pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari1
tahun, pembebannya dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi,
sebagaimana dimaksud dalam Psl 11 an 11 A Undang-Undang PPh. adalah
sebagai berikut :

Penyusutan.

(1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian, penambahan,


perbaikan, atau perubahan, harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus
hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 64
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara,


penghasilan, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun,
dilakukan dalam bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah
ditentukan bagi harta tersebut, bagi harta tersebut.
(2) Penyusutan atas pengeluaran harta tak berwujud sebagaimana tersebut
diatas, selain bangunan, dapat juga dilakukan dalam bagian-bagian yang
menurun selama masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat, nilai
sisa buku disusutkan sekaligus, dengan syarat dilakukan taat azas.

(3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk


harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada
bulan selesainya pengerjaan harta tersebut.

(4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan


melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan
harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.

(5) Apabila wajib pajak melakukan penilaian kembali aktiva, berdasarkan


ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Psl 19 UU PPh. maka dasar
penyusutan atas harta adalah nilai setelah dilakukan penilaian kembali.

(6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif penyusutan harta
berwujud ditetapkan sebagai berikut

Kelompok Harta Masa Manfaat Tarif Penyusutan.


Berwujud
Garis Lurus Saldo
Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 tahun 25 % 50 %
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25 %
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5 %
Kelompok 3 20 tahun 5% 10 %

II. Bangunan
Permanen 20 tahun 5% ---
Tidak Permanen. 10 tahun 10 % ---
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta berwujud yang
dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.

(8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta sebagaimana dimaksud


dalam Psl 4 ayat (1) d UU PPh. atau penarikan harta karena sebab lainnya,
maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian,
dan jumlah harga jual atau penggantian, termasuk penggantian asuransi
(kalau diasuransikan), yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
(9) Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima, jumlahnya baru
dapat diketahui dengan pasti dimasa kemudian, maka dengan persetujan
Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian, dibukukan sebagai
beban masa kemudian tersebut.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 65


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

(10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana


dimaksud dalam Psl 4 ayat (3) huruf a, dan huruf b, UU PPh, berupa harta
berwujud, maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut, tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud sesuai dengan
masa manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.

(12) Jenis-jenis harta termasuk dalam kelompok harta berwujud, bukan


bangunan untuk keperluan penyusutan, diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan No. 520/KMK.04/2000, Tgl 14 Desember 2000, dan
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
138/KMK.03/2002 Tgl 8 April 2002.

Penjelasan ayat (1), dan (2), adalah sebagai berikut :


Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu), tahun harus dibebankan sebagai biaya untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan, dengan cara mengalokasikan
pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut, melalui penyusutan.
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah
yang berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang
pertamakali tidak boleh disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan
dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh penghasilan, dengan syarat
nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh
penghasilan, misalnya tanah dipergunakan untuk perusahaan genteng,
perusahan keramik, atau perusahaan batu bata.

Yang dimaksud dengan pengeluaran untuk memperoleh tanah hak guna


bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali adalah biaya
perolehan hak tanah tersebut dari pihak ketiga, dana pengurusan hak-hak ter but
dari instansi yang berwenang, untuk pertama kalinya. Sedangkan biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai,
diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut.

Metode penyusutan yang dibolehkan berdasarkan ketentuan ini adalah ;


a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang
ditetapkan bagi harta tersebut (metode garis lurus atau straight line method) ;
atau
b. dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif
penyusutan atas nilai sisa buku (metode saldo menurun atau declining
balance method).
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat azas.
untuk harta berwujud berupa bangunan, hanya dapat disusutkan dengan metode
garis lurus, sedangkan harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan
metode garis lurus, atau metode saldo menurun.

Dalam hal wajib pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa
buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Sesuai dengan
pembukuan wajib pajak, alat-alat kecil (small tolols), yang sama atau sejenis,
dapat disusutkan dalam satu golongan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 66


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Contoh penggunaan metode garis lurus :


Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 1.000.000.000. dan masa
manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, bangunan permanen, tarif penyusutannya 5%
setiap tahun, maka besarnya penyusutan Gedung tersebut 5% x Rp
1.000.000.000.= Rp 50.000.000.

Contoh penggunaan metode Saldo Menurun :

Sebuah mesin kantor yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2009
dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000. dan masa manfaat dari mesin
adalah 4 (empat) tahun, Mesin kantor tersebut termasuk dalam kelompok 1, yang
tarif nyusutannya 50% (lima puluh persen) saldo menurun, maka perhitungannya
sbb ;

Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku


Harga perolehan 150.000.000.-
2009 50% 75.000.000. 75.000.000.
2010 50% 37.500.000. 37.500.000.
2011 50% 18.750.000. 18.750.000.
2012 Disusutkan 18.750.000. 0.-
sekaligus

Penjelasan ayat (3) dan ayat (4) sebagai berikut :

Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, atau pada bulan


selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan pada tahun pertama
dihitung secara pro-rata.
Namun berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya
penyutan dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, atau pada bulan harta
tersebut mulai menghasilkan. Yang dimaksud dengan mulai menghasilkan dalam
ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan
saat diterima atau diperolehnya penghasilan.

Contoh l.

Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung sebesar Rp 1.000.000.000.-


pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2009, dan selesai untuk digunakan
pada bulan Maret 2010. maka penyusutan atas Gedung dimulai pada bulan
Maret tahun pajak 2010.

Contoh 2.

Sebuah mesin kantor yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2009, dengan
harga perolehan sebesar Rp 100.000.000.- Mesin kantor tersebut berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan termasuk kelompok l, yang berarti masa manfaat
mesin ybs 4 (empat) tahun. Metode penyusutan yang digunakan Saldo Menurun,
dengan tarif penyusutan 50% (lima puluh persen) setahun, maka perhitungan
penyusutannya adalah sebagai berikut :

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 67


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku.


Harga perolehan 100.000.000.-
2009 ½ x 50% 25.000.000.- 75.000.000.-
2010 50% 37.500.000.- 37.500.000.-
2011 50% 18.750.000.- 18.750.000.-
2012 50% 9.375.000.- 9.375.000.-
2008 Disusutkan 9.375.000.- 0.-
sekaligus

Ayat (4)

Berdasarkan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, saat mulainya penyusutan


dapat dilakukan pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai
menghasilkan. Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan
saat mulai berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau
diperolehnya penghasilan.

Contoh :

PT X yang bergerak dibidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2009,


Perkebunana tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2010. Dengan
persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan
mulai pada tahun 2010.

Amortisasi
(1) Atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud, dan pengeluaran lainnya,
termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak
pakai, yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, yang dipergunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dilakukan dalam
bagian yang sama besar, atau dalam bagian-bagian yang menurun selama masa
manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan tarif Amortisasi atas pengeluaran
tersebut, atau atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa manfaat, diamortisasi
sekaligus, dg syarat dilakukan secara taat azas.

(1a)Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang


usaha tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(2) Masa manfaat dan tarif amortisasi.

Kelompok harta Masa Tarif Amortisasi


Tak berwujud. manfaat
Garis lurus Saldo menurun
Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 tahun 5% 10%

(3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan
dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran, atau amortisasi, sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 68


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

(4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain, yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dibidang penambangan
minyak dan gas bumi (migas), dilakukan dengan menggunakan metode satuan
produksi.

(5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, dan
hak pengusahaan sumber alam, serta hasil alam lainnya, yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan metode
satuan produksi, paling tinggi 20% (dua puluh persen), setahun.

(6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial, yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1(satu) tahun, dikapitalisasi, dan kemudian diamortisasi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
(7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak yang dapat
diamortisasi, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan
sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan
penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.

(8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud
dalam Psl 4 ayat (3) huruf a dan huruf b UU PPh. berupa harta tak berwujud,
maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan.

Penjelasan ayat (1)


Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya, termasuk
perpanjangan hak-hak atas tanah (seperti hak guna usaha, hak guna bangunan,
dan hak pakai ), yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun,
diamortisasi dengan metode :
a. dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama masa manfaat, atau :
b. dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun dengan cara menerapkan
tarif amortisasi atas nilai sisa buku.

Khusus untuk amortisasi harta tak berwujud yang menggunakan metode saldo
menurun, pada akhir masa manfaat nilai sisa buku harta tak berwujud atau hak-
hak tersebut diamortisasi sekaligus.

Penjelasan ayat (1a)


Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran sehingga amortisasi
pada tahun pertama dihitung secara pro-rata.
Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu
perlu diberikan pengaturan tersendiri untuk amortisasi yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Penjelasan ayat (2)


Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi atas pengeluaran harta tak
berwujud dimaksudkan untuk memberikan keseragaman bagi wajib pajak dalam
melakukan amortisasi. Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan
metode yang dipilihnya, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berdasarkan
masa yang sebenarnya, dari tiap harta tak berwujud.
Tarif amortisasi yang diterapkan didasarkan pada kelompok masa manfaat,
sebagaimana yang diatur dalam ketentuan ini. Untuk harta tidak berwujud yg
masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka
wajib pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat, misalnya harta tak

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 69


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun, dapat


menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8(delapan) tahun.
Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5(lima) tahun, maka harta tak
berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4
(empat) tahun.

Penjelasan ayat (4)


Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan persentase amortisasi
yang besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara
realisasi penambangan minyak dan gas bumi, pada tahun yang bersangkutan dg
taksiran jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang
dapat diproduksi.

Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang
diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak
atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan
sekaligus, dalam tahun pajak yang bersangkutan.

Penjelasan ayat (5).


Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi,
hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya, seperti hak pengusahaan hasil
laut, diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi (MSP), dengan jumlah
paling tinggi 20% (dua puluh persen) setahun.

Contoh :

Pengeluaran untuk memperoleh hak pengusahaan hutan, yang mempunyai


potensi 10.000.000. ton kayu, besarnya Rp 1.500.000.000. yang akan
diamortisasi sesuai dengan persentase metode satuan produksi yang
direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak,
ternyata jumlah produksi mencapai 3.000.000. ton, yang berarti 30% (tiga puluh
persen), dari jumlah potensi yang tersedia, maka amortisasi yang diperkenankan,
untuk dikurangkan dari penghasilan bruto, pada tahun pajak tersebut adalah
20%, atau 20% x Rp 1.500.000.000. = Rp 300.000.000.-

Penjelasan ayat (6)


Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial,
adalah biaya-biaya yang dikeluarkan sebelum operasi komersial, misalnya biaya
studi kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak termasuk biaya-biaya
operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik, dan
telepon, dan biaya kantor lainnya.
Untuk pengeluaran operasional yang rutin ini, tidak boleh dikapitalisasi tetapi
dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.

Ayat (7)

Contoh :
PT X. mengeluarkan biaya untuk memperoleh hak penambangan minyak dan
gas bumi di suatu lokasi sebesar Rp 500.000.000.- Taksiran jumlah kandungan
minyak dan gas bumi tersebut sebanyak 200.000.000. barrel. Setelah diproduksi
minyak dan gas bumi mencapai 100.000.000. barrel, PT X, menjual hak
penambangan tersebut ke PT Y, dengan harga Rp 300.000.000.
Perhitungan penghasilan dan kerugian dari penjualan hak penambangan sbb :

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 70


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Hak perolehan Rp 500.000.000.-


Amortisasi yg telah dilakukan 100.000.000./200.000.000.(50%)Rp 250.000.000.-
Nilai sisa buku harta Rp.250.000.000.-
Harga jual Rp 300.000.000.-

Nilai sisa buku sebesar Rp 250.000.000. dibebankan sebagai kerugian, dan


jumlah sebesar Rp 300.000.000. dibukukan sebagai penghasilan.

10.2. Latihan.

1. Jelaskan dimana diatur biaya-biaya yg dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.


2. Terangkan pengertian ”Adat pedagang yang baik”, dalam menentukan biaya 3 M.
3. Apa syarat-syarat piutang tak dapat ditagih sehingga bisa dianggap biaya.
4. Terangkan perbedaan antara penyusutan dan amortisasi.
5. Jelaskan pula beberapa biaya yg tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
6. Bagaimana pengelompokan harta guna kepentingan penyusutan.
7. Biaya pengembagan usaha yang bagaimana dapat dijadikan sebagai biaya.
8. Jelaskan pengertian Metode Satuan Produksi, dan untuk jenis usaha apa saja.
9. Kepada wajib pajak mana dapat diberlakukan PTKP, dan dimana diatur PTKP
Tersebut, dan jelaskan batasan-batasan PTKP terakhir yang diberlakukan.
10. Anggota keluarga yg mana saja yang diperbolehkan menjadi tanggungan wp.

10.3. Rangkuman.

Untuk mendapatkan penghasilan neto (bagi wajib pajak Badan), atau penghasilan
kena pajak (bagi wajib pajak Orang Pribadi), maka terhadap penghasilan brutonya
dapat dikurangkan ;
a. Biaya-biaya yang diatur dalam Psl 6 ayat (1) yang terdiri dari :
a.1. biaya mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (biaya 3 M).
yang pencatatannya diserahkan kepada wp sesuai dengan adat pedagang
baik, seperti gaji, upah, pembelian bahan dstnya.
a.2. penyusutan dan amortisasi ;
a.3. iuran kepada dana pensiun yang pendiriaannya telah disahkan Menkeu.
a.4. kerugian karena penjualan harta;
a.5. kerugian selisih kurs.
a.6. biaya penelitian dan pengembangan usaha di Indonesia.
a.7. biaya bea siswa, magang, dan pelatihan.
a.8. penghapusan piutang dengan syarat-syarat tertentu.

b. Kompensasi kerugian seperti diatur dalam Psl 6 ayat (2), dengan batasan 5
(lima) tahun, sesuai dengan urutan masa kompensasinya.
c. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), bagi wajib pajak orang pribadi DN.
besarnya penghasilan tidak kena pajak dimaksud diatas adalah :
 Rp 15.840.000. setahun bagi wp sendiri.
 Rp 1.320.000. setahun bagi wp kawin (isteri)
 Rp 15.840.000. setahun isteri yang punya penghasilan sendiri.
 Rp 1.320.000. setahun bagi setiap anggota keluarga yang diperkenankan,
maksimal 3 (tiga) orang.
d. Penentuan besarnya PTKP ditetapkan pada awal tahun pajak,
e. Besarnya PTKP dapat ditinjau berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

f. Disamping biaya yang boleh dikurangkan terdapat biaya yang tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto yakni seperti diatur dalam ;
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 71
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

a. Psl 9 ayat (1) UU Pajak Penghasilan yaitu :


 Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun.
 Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi wajib pajak.
 Pembentukan dana cadangan dengan persyaratan tertentu.
 Premi asuransi-asuransi yang bersifat pribadi wajib pajak.
 Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya.
 Jumlah yang melebihi kewajaran, yg dibayarkan ke pemegang saham.
 Harta yang dihibahkan, sumbangan, dan bantuan.
 Pajak penghasilan.
 Biaya kepentingan pribadi pemegang saham.
 Gaji yang dibayarkan kepada anggota firma, persekutuan dan sejenisnya.
 Sanksi-sanksi perpajakan.

b.Pasal 9 ayat (2), biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun,
dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi, jadi bukan tidak boleh, tetapi
tidak boleh sekaligus.

g. Penyusutan dan Amortisasi (Psl 11 dan Psl 11 A).

2. Penyusutan digunakan untuk harta berwujud, kecuali tanah.


Dalam melakukan penyusutan berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

 Harta yang boleh disusutkan, adalah harta yang terpakai dalam kegiatan
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yg menjadi objek
pajak.
 Harta dibagi atas Bukan Bangunan, dan Bangunan.
 Terhadap bukan bangunan dibagi lagi atas 4 (empat) kelompok, dengan
sistim penyusutan yang dapat dipilih antara straight line method (sistim
garis lurus), atau double declining balance ( sistim saldo menurun), serta
dilaksanakan dengan taat azas.
 Jika terjadi pengalihan harta, misalnya dijual maka nilai sisa buku menjadi
kerugian, sedangkan hasil penjualannya masuk sebagai objek pajak
 Jika harta diasuransikan mengalami musibah, penggantian asuransi tidak
terjadi pada tahun terjadinya musibah, maka dengan seizin Direktur
Jendral Pajak penghasilannya dibukukan dimasa kemudian.
 Kalau terjadi penarikan harta sebagai bantuan, sumbangan, atau
dihibahkan maka nilai bukunya tidak boleh menjadi kerugian bagi pihak
yang mengalihkan.
 Penyusutan dimulai pada bulan perolehan dari harta tersebut, kecuali
harta yang masih dalam proses pengerjaan (misalnya bangunan), maka
disusutkan setelah selesainya proses pengerjaan bangunan tersebut.
 Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan harta dapat
digeser ke tahun mendatangkan penghasilan (untuk usaha khusus
misalnya perkebunan).
 Jenis-jenis harta untuk kepentingan penyusutan daftar
pengelompokannya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan No.
520/KMK.04/2000,-yang telah diubah dengan KepMenkeu No.
138/KMK.03/2002, Tgl 8 April 2002.

3. Amortisasi.
Terhadap harta tak berwujud, seperti hak-hak, misalnya hak guna
usaha, hak milik, hak pakai, hak pengusahaan dibidang pertambangan,
kehutanan, atau biaya serta pengeluaran yang mempunyai masa manfaat
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 72
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

lebih dari 1 (satu), pembebanannya dilakukan melalui amortisasi.


Ketentuan-ketentuan yang berlaku pada amortisasi, hampir sama dengan
ketentuan yang terdapat pada penyusutan yaitu :

 Atas harta tak berwujud dibagi 4 (empat) kelompok, dengan sistim


penyusutan yang dapat dipilih antara sistim garis lurus, atau
saldo menurun.
 Persentase amortisasi dengan menggunakan sistim garis lurus dengan
masa manfaat 4 tahun (25%), 8 tahun (12,5%), 16 tahun (6,25%), dan
20 tahun (5%), sedangkan kalau menggunakan sistim saldo menurun
masa manfaat dan persentasenya, 4 tahun (50%), 8 tahun (25%), 16
tahun (12,5%), dan 20 tahun (10%).
 Atas biaya pendirian, biaya perluasan modal, jika masa manfaat diatas
1(satu) tahun, sama dengan titik point (2) diatas.
 Hak penambangan, hak pengusahaan hutan, hak pengusahaan sumber
alam lainnya, menggunakan Metode Satuan Produksi (MSP), setinggi-
tingginya 20% (dua puluh persen).
 Hak penambangan dibidang Minyak dan Gas bumi (Migas),
menggunakan metode satuan produksi tanpa batas.
 Pengeluaran lainnya yg mempunyai masa manfaat lebih dari satu
tahun, diamortisasi sesuai dengan pengelompokan poin titik (2) diatas.
 Apabila terjadi pengalihan atas harta tak berwujud, atau hak-hak
tersebut diatas, maka nilai sisa bukunya, dibebankan sebagai kerugian,
sedangkan jumlah yang diterima atau diperoleh sebagai
penggantiannya, merupakan penghasilan pada tahun terjadinya
pengalihan.
 Namun apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud, karena diberikan
sebagai bantuan atau sumbangan, dihibahkan, atau diwariskan sesuai
dengan Psl 4 ayat (3) huruf (a) dan huruf (b), maka jumlah nilai sisa
bukunya, tidak boleh dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang
mengalihkan.

10.4. Test Formatif.

Pilihlah salah satu jawaban yang Saudara anggap paling tepat :

1. Pajak Penghasilan dikenakan atas penghasilan ;


a. Penghasilan Bruto
b. Penghasilan Neto (WP Badan), PKP (Wajib Pajak Orang Pribadi).
c. penghasilan komersial menurut laporan wajib pajak.

2. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan wajib pajak dalam negeri dan
bentuk usaha tetap (BUT) :
a. biaya yang menyangkut 3 M, dan penghasilannya menjadi objek pajak
b. biaya berdasarkan laporan komersial wajib pajak.
c. biaya menurut perhitungan laporan Akuntan Publik.

3. Pajak Penghasilan yang dibayar wp baik melalui pemotongan atau pemungutan


serta yang dibayar sendiri wp :
a. dapat dijadikan pengurangan penghasilan (biaya).
b. dikapitalisasi dan dibebankan melalui penyusutan ;
c. tidak dapat dijadikan biaya yang mengurangi penghasilan bruto.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 73


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

4. Penyusutan atas harta berwujud hanya dapat dilakukan :


a. atas semua harta wajib pajak, termasuk hak-hak.
b. hanya terhadap harta yang digunakan umtuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang menjadi objek pajak.
c. atas semua harta baik yang masih mempunyai masa manfaat, maupun yang
masa manfaat (umurnya) sudah habis.

5. Kerugian selisih kurs dapat menjadi biaya yang dapat dikurangkan jika ;
a. selisih kurs tersebut dari perdagangan valuta asing;
b. selisih kurs berdasarkan kebijakan pemerintah dibidang moneter.
c. selisih kurs tersebut tidak dalam kegiatan usaha wajib pajak.

6. Piutang yang tak dapat ditagih dapat menjadi kerugian apabila :


a. piutang tersebut adalah piutang pribadi pemilik usaha ;
b. piutang macet akibat yang punya piutang failit (bangkrut) ;
c. jawaban (a) dan (b) diatas tidak ada tepat.
7. Kompensasi kerugian sebagai pengurangan penghasilan (biaya) :
a. perhitungannya hanya diperkenankan selama 5 (lima) tahun,
b. perhitungannya tanpa batas waktu ;
c. perhitungannya boleh dilakukan setiap bulan.

8. Jika terdapat kerugian berturut-turut, maka perhitungannya adalah :


a. dapat dilakukan sekaligus untuk mengurangi penghasilan ;
b. diambil kerugian yang paling besar ;
c. mendahulukan kerugian tahun sebelumnya, jika waktunya masih ada.

9. Kerugian bagi wajib pajak yang menggunakan Norma Perhitungan :


a. dapat mengurangi penghasilan netonya.
b. tidak dapat mempengaruhi penghasilan netonya.
c. jawaban diatas tidak ada yang benar

10. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diberlakukan kepada :


a. wajib pajak orang pribadi dalam negeri.
b. semua wajib pajak, baik wp dalam negeri, maupun wp luar negeri ;
c. huruf (a), dan huruf (b) diatas, ditambah wajib pajak badan dan BUT.

11. Besarnya PTKP seperti dimaksud angka (10) diatas mulai tahun 2009 :
a. Rp 15.840.000, setahun untuk seorang wp yang belum kawin.
b. Rp 14.400.000. setahun bagi wp yang kawin dengan 3 (tiga) tanggungan.
c. Rp 18.000.000. setahun bagi wajib pajak kawin dengan status K/1.

12. Penentuan besarnya PTKP ditentukan ;


a. pada akhir tahun pajak sewaktu wp mengisi SPT Tahunan.
b. awal tahun pajak.
c. pada saat bertambah atau berkurangnya anggota keluarga wajib pajak.

13. Dalam melakukan penyusutan maka aktiva/harta wajib pajak :


a. tidak dilakukan pengelompokan harta ;
b. pengelompokan diserahkan sepenuhnya kepada wajib pajak ;
c. diklasifikasi kepada, bukan bangunan (yang terdiri dari 4 kelompok), dan
bangunan (2 kelompok yaitu permanen, dan bukan permanen).

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 74


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

14. Sistim penyusutan atas harta dapat diterapkan :


a. sistim garis lurus atas semua harta ;
b. memilih sistim garis lurus, atau saldo menurun bagi bukan bangunan, sistim
garis lurus bagi bangunan ; atau
c. sistim saldo menurun bagi seluruh harta.

15. Apabila terjadi penarikan harta berwujud dari pemakaian maka ;


a. nilai sisa bukunya menjadi kerugian, sedangkan hasil penggantiannya
dimasukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penarikan.
b. penarikan harta tersebut tidak mempengaruhi penghasilan wajib pajak.
c. wajib pajak mengajukan permohonan agar dihapuskan dari pembukuan.

16. Amortisasi sebagai pengurangan penghasilan diterapkan terhadap ;


a. harta tak berwujud yang dimiliki diluar perusahaan/usaha ;
b. harta tak berwujud, termasuk hak-hak, serta biaya lainnya yang mempunyai
masa manfaatnya lebih dari satu tahun.
c. pengeluaran sebelum produksi komersial.

17. Metode Satuan Produksi (MSP), diterapkan terhadap :


a. amotisasi atas biaya memperoleh hak milik, hak guna usaha, hak pakai.
b. pengeluaran untuk perolehan harta tak berwujud ;
c. hak penambangan migas bumi, hak pengusahaan hutan, hak pengusahaan
sumber alam lainnya.

18. Pemberian natura dan kenikmatan kepada pegawai :


a. boleh dijadikan biaya sepanjang penghasilan wp memakai norma khusus.
b. tidak boleh menjadi biaya, kecuali dalam hal-hal tertentu ;
c. dapat jadi biaya sepanjang wajib pajak menyelenggarakan pembukuan.

19. Natura dan Kenikmatan didaerah terpencil dapat dibiayakan :


a. sudah ada keputusan dari Dirjend Pajak tentang status daerah terpencil
bagi wajib pajak yang bersangkutan ;
b. apabila wajib pajak sudah melaporkannya ke Ditjend Pajak.
c. jika wp sudah mendapat keterangan dari Pemda setempat.

20. Gaji yang dibayarkan oleh badan usaha berbentuk firma kepada anggota ;
a. dapat mengurangi penghasilan firma yang bersangkutan,
b. tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto firma tersebut;
c. menjadi objek pajak bagi anggota firma yang bersangkutan.

10.5. Tulis B pada tanda dalam kurung ( ), bila benar, atau S, jika salah.

1. biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto wajib pajak, apabila biaya
tersebut termasuk biaya 3 M, dan penghasilannya objek pajak (....).

2. pembukuan biaya-biaya yang boleh dikurangkan sebagai biaya yang akan


mengurangi penghasilan bruto wajib pajak, didasarkan biaya komersial (...).

3. penyusutan dan amortisasi didasarkan perhitungan menurut ketentuan UU, dan


peraturan perpajakan (....).

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 75


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

4. iuran pensiun yang boleh dikurangkan dari penghasilan wajib pajak apabila
dibayarkan kepada lembaga pensiun yang dibentuk wajib pajak (...).

5. biaya penelitian dan pengembangan usaha yang dilakukan di Indonesia, dapat


dikurangkan dari penghasilan bruto wajib pajak (....).

6. kompensasi kerugian hanya diperuntukan bagi wajib pajak badan (.....).


7. masa kompensasi kerugian hanya dibatasi jangka waktu perhitungannya 5(lima)
tahun, sejak terjadinya kerugian (.....)

8. penghasilan tidak kena pajak bagi wajib pajak orang pribadi luar negeri apabila
setelah melewati batas 183 hari dalam 12 bulan, diperkenankan (....).

9. wanita kawin, yang suaminya tidak mempunyai penghasilan dapat memasukan


PTKP suami, sebagai pengurangan penghasilan neto, jika ybs berbekerja
sebagai karyawati, dengan surat keterangan dari Camat. (....).

10. didalam perhitungan PTKP, wajib pajak diperkenankan memasukan orang tua
walaupun orang tua tersebut sudah pensiun dari pekerjaannya. (.....)

11. pemberian uang perbaikan rumah pemegang saham, dapat dikurangkan dari
penghasilan perusahaan, sebelum penghasilan badan tersebut dikenakan
pajak (.....).

12. sewa kantor untuk jangka waktu 3 tahun, tidak boleh dibebankan sekaligus, tapi
harus diamortisasi sesuai dengan masa manfaatnya. (......).

13. dalam melakukan penyusutan, maka pengelompokan harta diserahkan kepada


wajib pajak sesuai dengan fungsinya didalam perusahaan (.....).

14. terhadap aktiva/harta yang diasuransikan, apabila penggantian asuransi tidak


bersamaan tahunnya dengan terjadinya musibah, maka seizin DirJend Pajak
penghasilannya dapat dibukukan dimasa kemudian (.....).

15. sanksi-sanksi perpajakan seperti bunga, denda, kenaikan pajak, dapat


dijadikan biaya yang mengurangi penghasilan neto wajib pajak (......).

16. imbalan bunga yang diberikan kepada pemegang saham sehubungan dengan
pinjaman yang diberikannya, dapat dikurangkan sebagai biaya, walaupun
pemegang saham tersebut belum menyetor penuh modalnya. (.....).

17. Metode Satuan Produksi (MSP), dengan batasan paling tinggi 20% (dua puluh
persen), hanya berlaku bagi usaha pengusahaan hutan, dan hak penambangan
diluar migas bumi (.....).

18. tarif penyusutan untuk harta kelompok tiga dengan sistim saldo menurun
besarnya adalah 25% (dua luluh lima persen). (.......).

19. apabila terjadi penarikan harta tak berwujud dari pemakaian sesuai dengan
ketentuan Psl 4 ayat (3), huruf a, dan huruf b, maka nilai bukunya tidak
boleh menjadi kerugian bagi pihak yang mengalihkan (.......).

20. dalam melakukan penyusutan dan amortisasi, wajib pajak dapat berganti-ganti
sistim setiap tahun sesuai dengan keadaan usahanya. (.....).

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 76


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

10.6. Kunci test Formatif.

10.6.1. Memilih jawaban yang paling tepat ;

1. b 11. a
2. a 12. b
3. a 13. c
4. c 14. b
5. b 15. a
6. b 16. b
7. c 17. c
8. a 18. b
9. c 19. b
10. a 20. b

10.6.2. Memilih Benar (B), atau Salah (S).

1. Benar (B) 11. Salah (S)


2. Salah (S) 12. Benar (B)
3. Benar (B) 13. Salah (S)
4. Salah (S) 14. Benar (B)
5. Benar (B) 15. Salah (S)
6. Salah (S) 16. Salah (S)
7. Benar (S) 17. Benar (B)
8. Benar (B) 18. Salah (S)
9. Benar (B) 19. Benar (B)
10. Salah (S) 20. Salah (S)

10.7. Umpan Balik.

Cocokkanlah jawaban Saudara dengan kunci jawaban dengan Test Formatif,


(pilih salah satu jawaban yang tepat, dan pilih betul atau salah), dan hitunglah
jumlah jawaban Saudara yang benar atau yang betul. Kemudian gunakan
rumus dibawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan materi kegiatan
belajar Saudara.

Rumus :
Tingkat penguasaan = jumlah jawaban Saudara yang benar dibagi dengan jumlah
soal, hasilnya dikalikan dengan 100%.

Arti tingkat penguasaan yang dicapai :

90 % - 100 % = Baik sekali.


80 % - 89 % = Baik
70 % - 79 % = Cukup
69 % atau kurang = kurang.

Bila Saudara mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Saudara dapat
meneruskan dengan modul berikutnya, tetapi bila tingkat penguasaan Sdr. kurang
dari 80% , Saudara harus mempelajari kembali kegiatan belajar tsb.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 77


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

11. KEGIATAN BELAJAR 7

NORMA PERHITUNGAN, CARA MENGHITUNG PAJAK, DAN TARIF.

11.1. Norma Perhitungan.


Seperti dimaklumi kondisi Wajib Pajak bermacam-macam, ada Wajib Pajak
yang mampu menyelenggarakan pembukuan, disamping itu terdapat pula Wajib
Pajak yang tidak mampu menyelenggarakan pembukuan, terutama Wajib
Pajak Orang Pribadi pengusaha kecil.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri termasuk kategori tidak
mampu Menyelenggarakan pembukuan atau Wajib Pajak kecil dimaksud,
disediakan angka yang berbentuk prosentase yang akan digunakan untuk
menetapkan besarnya Penghsilan Neto dan Pajak Penghasilan terutang.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Pajak Penghasilan yaitu ;


(1) Norma Penghitungan Penghasilan Neto untuk menentukan
penghasilan neto, dibuat dan disempurnakan terus-menerus serta
diterbitkan oleh Direktorat Jendaral Pajak .
(2) Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas, yang peredaran brutonya dalam 1(satu) tahun kurang dari Rp
4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta rupiah), boleh
menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan syarat
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu
3(tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan.
(3) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang menghitung
penghasilan Netonya dengan menggunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto, wajib menyelenggarakan pencatatan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan
umum dan tatacara perpajakan.

(4) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang tidak
memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto, dianggap memilih menyelenggarakan pembukuan.
(5) Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan,
termasuk wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4),
yang ternyata tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan pencatatan
atau pembukuan atau tidak memperlihatkan pencatatan atau bukti-bukti
pendukungnya, maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dan peredaran brutonya dihitung dengan
cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(6) Dihapus.

(7) Besarnya peredaran bruto sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Penjelasan Pasal 14

Informasi yang benar dan lengkap tentang penghasilan Wajib Pajak


sangat penting untuk dapat mengenakan pajak yang adil dan wajar sesuai
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 78
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak. Untuk dapat menyajikan


informasi dimaksud, Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan.
Namun bahwa tidak semua Wajib Pajak mampu menyelenggarakan
pembukuan. Semua Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap
diwajibkan menyelenggarakan pembukuan. Wajib Pajak orang pribadi
yang menjalankan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan
jumlah peredaran tertentu, tidak diwajibkan menyelenggarakan
pembukuan.
Untuk memberikan kemudahan dalam menghitung besarnya penghasilan
neto bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran bruto tertentu, Direktur Jenderal
Pajak menerbitkan norma penghitungan.
Ayat (1)
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya
penghasilan neto yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan
disempurnakan terus-menerus. Penggunaan Norma Penghitungan
tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal-hal :
(a) terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan
yang tidak lengkap; atau
(b) pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata
diselenggarakan secara tidak benar.
Norma penghitungan disusun sedemikian rupa berdasarkan hasil
penelitian atau data lain, dan dengan memperhatikan kewajaran.
Norma penghitungan akan sangat membantu Wajib Pajak yang
belum mampu menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung
penghasilan neto.

Ayat (2).

Norma Penghitungan Penghasilan Neto hanya boleh digunakan oleh


Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas, yang peredaran brutonya kurang dari jumlah Rp
4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta rupiah). Untuk dapat
menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto tersebut, Wajib
Pajak orang pribadi harus memberitahukan kepada Direktur Jenderal
Pajak dalam jangka waktu 3(tiga) bulan pertama dari tahun pajak
yang bersangkutan.

Ayat (3)

Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan Norma Penghitungan


Penghasilan Neto tersebut wajib menyelenggarakan pencatatan
tentang peredaran brutonya sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tatacara
perpajakan. Penentuan tersebut dimaksudkan untuk memudahkan
penerapan norma dalam menghitung penghasilan neto.

Ayat (4)

Apabila Wajib Pajak orang pribadi yang berhak, bermaksud untuk


menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetapi tidak

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 79


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

memberitahukannya kepada Direktur Jenderal Pajak dalam jangka


waktu yang ditentukan, Wajib Pajak tersebut dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan.

Ayat (5)

Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan, atau wajib


menyelenggarakan pencatatan dan atau dianggap memilih
menyelenggarakan pembukuan, tetapi :

a. tidak atau tidak sepenuhnya menyelenggarakan kewajiban


pencatatan atau pembukuannya; atau

b. tidak bersedia memperlihatkan pembukuan atau pencatatan atau


bukti pendukungnya pada waktu dilakukan pemeriksaan.

Sehingga mengakibatkan peredaran bruto dan penghasilan neto yang


sebenarnya tidak diketahui maka peredaran bruto Wajib Pajak yang
bersangkutan dihitung dengan cara lain yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan dan penghasilan netonya
dihitung dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan
Neto.

Ayat (7)

Menteri Keuangan dapat menyesuaikan besarnya batas peredaran


bruot sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dengan memperhatikan
perkembangan ekonomi dan kemampuan masyarakat Wajib Pajak
untuk menyelenggarakan pembukuan.

11.2. NORMA PENGHITUNGAN KHUSUS.

Bagi Wajib Pajak tertentu terutama Wajib Pajak Badan, adakalanya diberlakukan
Norma Penghitungan Khusus yang ketetuannya daitur dalam Pasal 15, yang
berbunyi :

Norma Penghitungan Khusus untuk menghitung penghasilan neto dari Wajib Pajak
tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (1) atau
ayat (3) ditetapkan Menteri Keuangan.

Penjelasan Pasal 15

Ketentuan ini mengatur tentang Norma Penghitungan Khusus untuk golongan


Wajib Pajak tertentu antara lain perusahaan pelayaran atau penerbangan
internasional, perusahaan asuransi luar negeri, perusahaan pengeboran minyak,
gas, dan panas bumi, perusahaan dagang asing, perusahaan yang melakukan
investasi dalam bentuk bangun-guna-serah (“build, operate, and transfer”).

Beberapa contoh penerapan Norma Penghitungan Khusus :

11. 2.1. Penghasilan Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran dalam
negeri (Keputusan Menteri Keuangan No. 416/KMK.04/1996.)
dikenakan Pajak Penghasilan 1, 2% x Peredaran Bruto.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 80


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

11.2.2. Penghasilan Wajib Pajak yang bergerak dibidang usaha pelayaran dan
penerbangan luar negeri ( Keputusan Menteri Keuangan No.
417/KMK.04/1996 dikenakan Pajak Penghasilan dengan tarif 2,64% x
Peredaran Bruto.

11.2.3. Penghasilan Wajib Pajak luar negeri yang mempunyai kantor perwakilan
dagang di Indonesia, Pasal 15 jo Keputusan Menteri Keuangan No.
634/KMK.04/1994, dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 0,44% x Nilai
ekspor Bruto.

11.2.4. Nilai bangunan yang diterima dalam rangka Bangun, Guna, Serah (BOT),
berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 248/KMK.04/1995, jo SE-
38/PJ.4/1995, dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 5% x harga pasar
atau NJOP, (mana yang lebih tinggi.)

Untuk menghindari kesukaran dalam menghitung besarnya penghasilan kena


pajak (PKP) bagi golongan Wajib Pajak tertentu tersebut, berdasarkan
pertimbangan praktis atau sesuai dengan kelaziman pengenaan pajak dalam
bidang-bidang usaha tersebut, Menteri Keuangan diberi wewenang untuk
menetapkan Norma Penghitungan Khusus guna menghitung besarnya penghasilan
neto dari Wajib Pajak tertentu tersebut.

11.3. CARA MENGHITUNG PAJAK.

Menghitung pajak terutang, diperoleh dari penerapan tarif menurut Pasal 17


dikalikan Penghasilan Neto atau Penghasilan Kena Pajak. Cara menghitung
pajak diatur dalam Pasal 16, dengan berbagai cara seperti berikut :

(1) Penghasilan Kena Pajak sebagai dasar penerapan tarip bagi Wajib Pajak orang
pribadi dan badan dalam negeri dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara
mengurangkan dari penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat
(2), Pasal 7 ayat (1), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf g.

(2) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dan badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14, dihitung dengan menggunakan norma penghitungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dan untuk Wajib Pajak orang pribadi
dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (1).
(3) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu
tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5mayat (1) dengan memperhatikan ketentuan dalam
Pasal 4 ayat (1) dengan pengurangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 6 ayat (1), dan ayat (2), serta Pasal 9 ayat (1) huruf c,
huruf d, huruf e, dan huruf g.

(4) Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang
terutang pajak dalam suatu bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2A ayat (6) dihitung berdasarkan penghasilan neto yang diterima atau
diperoleh dalam bagian tahun pajak yang disetahunkan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 81


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Penjelasan Pasal 16

Penghasilan Kena Pajak merupakan dasar penghitungan untuk menentukan


besarnya Pajak Penghasilan yang terutang. Dalam Undang-undang ini dikenal
dua golongan Wajib Pajak, yaitu Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar
negeri.

Bagi Wajib Pajak dalam negeri pada dasarnya terdapat dua cara untuk
menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak, yaitu penghitungan dengan cara
biasa, dan penghitungan dengan menggunakan Norma Penghitungan.
Disamping itu terdapat cara penghitungan dengan menggunakan Norma
Penghitungan Khusus, yang diperuntukan bagi Wajib Pajak tertentu yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Bagi Wajib Pajak luar negeri penentuan besarnya Penghasilan Kena Pajak
dibedakan antara :

1. Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,.dan

2. Wajib Pajak luar negeri lainnya.

Ayat (1)

Bagi Wajib Pajak dalam negeri yang menyelenggarakan pembukuan Penghasilan


Kena Pajaknya dihitung dengan mengggunakan cara penghitungan biasa dengan
contoh sebagai berikut :

- Peredaran bruto Rp 6.000.000.000


- Biaya untuk mendapatkan, menagiah dan
memelihara penghasilan Rp 5.400.000.000
- Laba usaha (penghasilan neto usaha ) Rp 600.000.000
- Penghasilan lainnya Rp 50.000.000
- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan tsb Rp 30.000.000
- Penghasilan neto dari usaha lainnya Rp 20.000.000
- Jumlah seluruh penghasilan neto
(usaha pokok + usaha lainnya) Rp 620.000.000
- Kompensasi kerugian Rp 10.000.000
- Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak badan ) Rp 610.000.000
- Pengurangan Penghasilan Tidak Kena Pajak (bagi Wajib
Pajak Orang Pribadi dengan status K/2 (isteri + 2 anak) Rp 19.800.000
- Penghasilan Kena Pajak (bagi Wajib Pajak orang pribadi) Rp 590.200.000

Ayat (2)

Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang berhak untuk tidak menyelenggarakan
pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan menggunakan Norma
Penghitungan Neto dengan contoh sebagai berikut :
- Peredaran bruto Rp. 4.000.000.000
- Penghasilan neto menurut Norma Penghitungan
(misalnya 20%) Rp 800.000.000
- Penghasilanneto lainnya Rp 5.000.000.(+)

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 82


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

- Jumlah seluruh penghasilan neto (usaha pokok + usaha


lainnya) Rp 805.000.000
- Penghasilan Tidak Kena Pajak (isteri + 3 anak) –K/3 Rp 21.120.000.(-)
- Penghasilan Kena Pajak Rp 783.880.000

Ayat (3)

Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, cara penghitungan Penghasilan Kena
Pajaknya pada dasarnya sama dengan cara penghitungan Penghasilan Kena Pajak
bagi Wajib Pajak badan dalam negeri. Karena bentuk usaha tetap berkewajiban
menyelenggarakan pembukuan, Penghasilan Kena Pajaknya dihitung dengan cara
penghitungan biasa.
Contoh :

- Peredaranbruto Rp10.000.000.000
- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
Penghasilan Rp 8.000.000.000
- Penghasilan neto Rp 2.000.000.000
- Penghasilan Bunga Rp 50.000.000
- Penjualan langsung barang yang sejenis dengan barang
yang dijual Bentuk usaha tetap oleh Kantor Pusat Rp 2.000.000.000
- Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilannya Rp 1.500.000.000
- Penghasilan netonya Rp 500.000.000
- Deviden yang diterima atau diperoleh kantor pusat yang
mempunyai efektif dengan bentuk usaha tetap Rp 1.000.000.000
- Jumlah Rp 3.550.000.000
- Biaya – biaya menurut Pasal 5 ayat (3) Rp 450.000.000
- Penghasilan Kena Pajak Rp 3.100.000.000

Ayat (4)

Contoh :

Orang pribadi tidak kawin yang kewajiban pajak subjektifnya sebagai subjek pajak
dalam negeri adalah 3(tiga) bulan dan dalam jangka waktu tersebut
memperoleh penghasilan sebesar Rp 150.000.000. maka penghitungan
Penghasilan Kena Pajaknya adalah sbb:
Penghasilan selama 3(tiga) bulan Rp 150.000.000.
Penghasilan setahun sebesar (360 : (3 x 30)
x Rp 150.000.000 = Rp 600.000.000.
Penghasilan Tidak Kena Pajak Rp 15.840.000.
Penghasilan Kena Pajak Rp 584.160.000.

11.4. TARIF (Pasal 17).

(1) Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak bagi :

a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut ;

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 83


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp. 50.000.000. (lima puluh juta rupiah) 5% (lima persen)
Diatas Rp 50.000.000. sampai dengan Rp 250.000.000. 15 % (lima belas persen)
Diatas Rp 250.000.000 sampai dengan Rp 500.000.000.
25% (dua puluh lima %)
Diatas Rp 500.000.000. (lima ratus juta rupiah)
30% (tiga puluh persen).

b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar
28% (dua puluh delapan persen).

(2) Tarif tertinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diturunkan
menjadi paling rendah 25% (dua puluh lima persen), yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(2a) Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, menjadi 25% (dua puluh
lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.

(2b) Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang
paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang
disetor diperdagangkan dibursa di Indonesia, dan memenuhi persyaratan
tertentu lainnya, dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih
rendah daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat
(2a) yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

(2c) Tarif yang dikenakan atas penghasilan berupa deviden yang dibagikan
kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, adalah paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen) dan bersifat final.

(2d) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya tarif sebagaimana dimaksud pada
ayat (2c), diatur dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a dapat diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan.

(4) Untuk keperluan penerapan tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam ribuan
rupiah penuh.

(5) Besarnya pajak yang terutang bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
yang terutang pajak dalam bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (4), dihitung sebanyak jumlah hari dalam bagian tahun pajak
yang terutang untuk 1(satu) tahun pajak.

(6) Untuk keperluan penghitungan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (5),
tiap bulan yang penuh dihitung 30 (tiga puluh) hari.

(7) Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan tarif tersendiri atas


penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), sepanjang tidak
melebihi tarif pajak tertinggi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 84


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Penjelasan Pasal 17
Ayat (1)

Huruf a
Contoh : Penghitungan Pajak terutang untuk Wajib Pajak orang pribadi:
Jumlah Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000.
Pajak Penghasilan terutang :
5% x Rp 50.000.000. = Rp 2.500.000.
15% x Rp 200.000.000. = Rp 30.000.000.
25% x Rp 250.000.000. = Rp 62.500.000.
30% x Rp 100.000.000. = Rp 30.000.000.
Jumlah = Rp125.000.000.
Huruf b
Contoh : Penghitungan pajak terutang untuk Wajib Pajak badan dalam
negeri
dan bentuk usaha tetap:
Jumlah Penghasilan Neto Rp 1.250.000.000.
Pajak Penghasilan terutang adalah :
28% x Rp 1.250.000.000. = Rp 350.000.000.
Ayat (2)

Perubahan tarif sebagaimana dimaksud pada ayat ini akan diberlakukan


secara nasional, dimulai per 1(satu) Januari dan diumumkan selambat-
lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tarif baru ini berlaku efektif, serta
dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rajyat Republik
Indonesia, untuk dibahas dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara.
Ayat (3)
Besarnya lapisan Penghasilan Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a tersebut, akan disesuaikan dengan faktor penyesuaian,
antara lain tingkat inflasi, yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan.
Ayat (4)

Contoh : Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 5.050.900,- untuk


penerpana tarif dibulatkan kebawah menjadi Rp 5.050.000.
Ayat (5) dan ayat (6)
Contoh : Penghasilan Kena Pajak setahun (dihitung sesuai dengan
ketentuan dalam Pasal 16 ayat (4) sebesar Rp 584.160.000.
Pajak penghasilan terutang :
5% x Rp 50.000.000. = Rp 2.500.000.
15% x Rp 200.000.000. = Rp 30.000.000.
25% x Rp 250.000.000. = Rp 62.500.000.
30% x Rp 84.160.000. = Rp 25.248.000.
Jumlah = Rp120.248.000.
Pajak penghasilan yang terutang dalam bagian tahun pajak
3(tiga)
bulan = ( 3 x 30 ) x Rp 120.248.000. = Rp 30.062.000.-
360

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 85


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Ayat (7)

Ketentuan dalam ayat ini memberi wewenang kepada Pemerintah


untuk menentukan tarif pajak tersendiri yang dapat bersifat final atas
jenis penghasilan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(2), sepanjang tidak lebih tinggi dari tarif pajak tertinggi sebagaimana
diatur dalam ayat (1). Penentuan tarif pajak tersendiri tersebut
didasarkan atas pertimbangan kesederhanaan, keadilan, dan
pemerataan dalam pengenaan pajak.

11.5. LATIHAN

1. Jelas apa yang dimaksud dengan Norma Penghitungan Penghasilan neto.

2. Persyaratan apa yang harus dipenuhi Wajib Pajak untuk dapat mengunakan
Norma Penghitungan dimaksud.

3. Uraikan batasan kegiatan usaha yang diperkenankan menggunakan


NormaPenghitungan

4. Terangkan bidang-bidang usaha yang telah ditetapkan memakai Norma


Peghitungan Khusus.

5. Jelaskan tatacara pelunasan pajak dalam tahun berjalan.

6. Terangkan jenis-jenis Pajak Penghasilan baik melalui pemotongan, maupun


melalui pemungutan.

7. Bagaimana penentuan tarif Pajak Penghasilan dalam Pasal 17, jelaskan.

8. Berikan contoh menghitung PPh. terutang bagi Wajib pajak orang pribadi dalam
negeri yang memiliki penghasilan kena pajak sebesar Rp 68.230.750.

9. Jelaskan tarif yang digunakan bagi penghasilan yang dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2).

10. Terangkan tarif yang berlaku bagi Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap.

11.6. RANGKUMAN

1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak sanggup
menyelenggarakan pembukuan, Undang-undang memberi kesempatan untuk
menghitung Penghasilan Neto dengan mengunakan Norma Penghitungan
Penghasilan Neto seperti yan diatur dalam Pasal 14, dengan beberapa yang
harus dipenuhi Wajib Pajak antara lain penghasilan brutonya/omzet/peredaran
usahanya tidak lebih Rp 4.800.000.000 dalam 1(satu) tahun.

2. Disamping Norma yang sifatnya umum, terdapat pula Norma Penghitungan


Khusus, seperti diatur dalam Pasal 15, yang digunakan untuk bidang-bidang
usaha tertentu.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 86


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

3. Terdapat 2(dua) macam cara menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib
Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, yaitu melalui sistem pembukuan,
dan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, termasuk yang
menggunakan Norma Penghitungan Khusus.

4. Dalam Pasal 17 diatur ketentuan mengenai tarif bagi Wajib Pajak orang Pribadi
dalam negeri, dan badan termasuk bentuk usaha tetap, serta tarif untuk
penghasilan yang bersifat final sesuai dengan Pasal 4 ayat (2).

5. Bagi Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan dalam bagian
tahun pajak, dihitung sesuai dengan bulan banyaknya penghasilan tersebut
dikalikan dengan pajak yang terutang untuk 1(satu) tahun pajak.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 87


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

11.7. Test Formatif.

11.7.1. Pilihlah jawaban yang paling tepat.

1. Norma Penghitungan Penghasilan Neto digunakan oleh :


a. Semua Wajib Pajak.
b. Hanya bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri.
c. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang peredaran usahanya tidak
melebihi Rp 4.800.000.000. dalam satu tahun.
2. Persyaratan menggunakan Norma Penghitungan :
a. Harus memberitahukan ke Kantor Pelayanan Pajak dalam tempo 3(tiga)
bulan dari permulaan tahun pajak yang bersangkutan.
b. Tidak disyaratkan adanya pemberitahuan.
c. Wajib Pajak akan diberitahukan oleh Kantor Pelayanan Pajak setempat.

3. Bagi Wajib Pajak yang menggunakan Penghitungan Norma Penghasilan :


a. Diwajibkan menyelenggarakan pembukuan yang lengkap.
b.Wajib menyelenggarakan pencatatan mengenai peredaran
usaha/penerimaan penghasilan brutonya/omzet kegiatan usahanya
selama satu tahun tersebut.
c. Tidak ada kewajiban pembukuan maupun pencatatan apapun.

4. Norma Penghitungan Khusus (Pasal 15), antara lain diberlakukan


terhadap :
a. Jenis usaha dibidang perbankan.
b. Usaha Pelayaran dan Penerbangan Luar Negeri.
c. Kegiatan usaha dibidang perdagangan dalam negeri.

5. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri badan dan bentuk
usaha tetap diperoleh dari :
a. Penghasilan menurut Pasal 4 ayat (1), dikurangi dengan pengurangan
seperti diatur dalam Pasal 6, ayat (1), dan ayat (2), dan Pasal 9 ayat (1) huruf
c, s/d g.
b. Penghasilan bruto dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak.
c. Penghasilan bruto sama dengan Penghasilan Neto.

6. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang Pribadi dalam negeri
yang menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (Pasal 14 )
diperoleh dari
a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh menurut catatan usaha,
b. Penghasilan bruto dikurangi biaya-biaya yang diperkenankan.
c. Penghasilan bruto dikalikan Norma Penghitungan dikurangi PTKP.

7. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mengalami bagian tahun
pajak
a. Penghasilan tersebut dijadikan penghasilan satu tahun.
b. Penghasilan tersebut tidak menjadi objek pajak.
c. Jawaban a dan b tidak ada yang benar.

8. Tarif Pajak Penghasilan berdasarkan Pasal 17 menggambarkan :


a. Tarif Pajak yang progressif.
b. Tarif Degressif.
c. Tarif Tetap.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 88


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

9.Tarif Pajak Penghasilan yang tercantum dalam Pasal 17 terdiri dari :


a. 5%, 10%, 15%, 25% dan 35%, untuk Wajib Pajak orang Pribadi, serta
10%, 15%, dan 30% untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha
tetap.
b. Hanya dikenakan 28% untuk Wajib Pajak badan dan bentuk usaha
tetap,dan 5%, 15%, 25%, serta 30% untuk Wajib Pajak orang pibadi
dalam negeri.
c. Jawaban a dan b tidak ada benar.

10. Guna penerapan tarif perhitungan, maka Penghasila Kena Pajak :


a. Dihitung seperti apa adanya.
b. Dilakukan pembulatan keatas, (mis.Rp 31.376.752.menjadi Rp
31.377.000.)
c. Dilakukan pembulatan kebawah menjadi ribuan penuh.

11.7.2. Pilihan B(Betul) atau S(Salah). Tulislah (B) atau (S) pada kotak
jawaban.

1. Norma Penghitungan Penghasilan Neto, dapat digunakan bagi semua


Wajib Pajak (tanpa pembatasan peredaran usaha) . (........)

2..Wajib Pajak yang akan menggunakan Norma Penghitungan,


memberitahukannya pada waktu menyampaikan SPT Tahunan (.......)

3. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang peredaran usahanya


setahun sebesar Rp 4.850.000.000. , wajib menyelenggarakan
pembukuan (.........).

4. Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan dan bentuk usaha tetap,
ditetapkan 28%, dan akan menjadi 25% pada tahun 2010. (.........).

5. Tarif tersendiri untuk penghasilan yang bersifat final (Pasal 4 ayat (2),
diberlakukan baik untuk Wajib orang pribadi DN maupun badan. (.........)

6. Menghitung Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak bagi yang


menggunakan Norma Penghitungan Khusus berdasarkan Laporan
Rugi/Laba Fiskal. (.........).

7. Dalam perhitungan pajak bagi Wajib Pajak yang mengalami bagian tahun
pajak
satu tahun dihitung jumlah hari yang sebenarnya. (...........)

8. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang menerima atau memperoleh
deviden, dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 10%, dan final. (.........).

9. Norma Penghitungan Khusus bagi Wajib Pajak badan yang bergerak


dibidang usaha pelayaran dalam negeri dikenakan 1,2% x Penghasilan
bruto. (.........).

10. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri
yang tidak menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, tetap
dihitung berdasarkan Norma Penghitungan. (........)

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 89


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

11.8. Jawaban Test Formatif.

11.8.1. Jawaban yang paling tepat.

1. c. 6. c.
2. a. 7. c.
3. b. 8. a.
4. b. 9. b.
5. a. 10. c.

11.8.2. Jawabab B (Betul), atau S( Salah).

1. S. 6. S.
2. S. 7. S.
3. B. 8. B.
4. B. 9. B.
5. B. 10. S.

11.9. Umpan Balik.

Cocokanlah jawaban Saudara dengan Kunci jawaban Test Formatif, dan


hitungalah jumlah jawaban Sdr. yang benar. Kemudian gunakan rumus
dibawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan materi Kegiatan Belajar
Saudara.

Rumus :
Tingkat penguasaan = Jumlah jawaban Sdr. yang benar dibagi dengan
jumlah soal, hasilnya dikalikan dengan 100% (seratus persen).
Artinya tingkat penguasaan yang dicapai :

90% - 100% = Baik sekali.


80% - 89% = Baik.
70% - 79% = Cukup.
69%, atau kurang = Kurang.

Bila Saudara mencapai tingkat penguasaan 80% (delapan puluh persen),


Saudara dapat meneruskan dengan modul berikutnya. Tetapi bila tingkat
penguasaan kurang dari 80% (delapan puluh persen), Saudara harus
mempelajari kembali Kegiatan Belajar tersebut.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 90


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Kegiatan Belajar 8.

12. PELUNASAN PAJAK DALAM TAHUN BERJALAN, ANGSURAN PPh Pasal 25.
PERHITUNGAN PAJAK AKHIR TAHUN, DAN KETENTUAN LAINNYA.

12.1. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan .

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 20 yang berbunyi :


(1) Pajak yan diperkirakan akan terutang dalam suatu tahun pajak, dilunasi oleh
Wajib Pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan dan pemungutan
pajak oleh pihak lain, serta pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri.
(2) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk
setiap bulan atau masa lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3) Pelunasan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan angsuran
pajak yang boleh dikreditkan terhadap Pajak Penghasilan yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan, kecuali untuk penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final.
Penjelasannya.

Ayat (1)

Agar pelunasan pajak dalam tahun berjalan mendekati jumlah pajak yang
akan terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya
dilakukan melalui :

a. pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan


oleh Wajib Pajak dari pekerjaan, jasa atau kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21, Pemugutan pajak atas penghasilan dari usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dan pemotongan pajak atas
penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23.

b. pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimkasud dalam Pasal


25.

Ayat (2)

Pada dasarnya pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan untuk setiap
bulan, namun Menteri Keuangan dapat menentukan masa lain, seperti saat
dilakukannya transaksi atau saat diterima atau diperolehnya penghasilan,
sehinga pelunasan pajak dalam tahun berjalan dapat dilaksanakan dengan
baik.

Ayat (3)

Pelunasan pajak dalam tahun berjalan merupakan angsuran pembayaran


pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan
terhadap Pajak Penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang
bersangkutan.
Dengan pertimbangan kemudahan, kesederhanaan, kepastian, pengenaan
pajak yang tepat waktu, dan pertimbangan lainnya, maka dapat diatur
pelunasan pajak dalam tahun berjalan yang bersifat final atas jenis-jenis

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 91


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

penghasilan tertentu seperti dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 21,
Pasal 22, dan Pasal 23. Pajak Penghasilan yang bersifat final tersebut tidak
dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang.

12.2. ANGSURAN PAJAK PENGHASILAN Pasal 25.

Dengan mengambil prinsip perpajakan “Pay as you earn” , artinya bayarlah ketika
punya penghasilan, maka diberi kesempatan kepada Wajib Pajak untuk
mengansur pajak yang terutang melalui sistem pembayaran angsuran yang
dinamakan “Angsuran PPh Pasal 25, yang ketentuannya diatur dalam Pasal 25
sebagai berikut :
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan yang harus dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak Penghasilan yang
terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak yang lalu dikurangi dengan :
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21
dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dlm Psl 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang diluar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
dibagi 12(dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak .
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk
bulan
bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan, sama
dengan besarnya angsuran pajak untuk bula teakhir tahun pajak yang lalu.
(3) dihapus.
(4) Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk
tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali
baerdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, dan berlaku mulai bulan
berikutnya setelah bulan penerbitan surat ketetapan pajak.
(5) dihapus.
(6) Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan
besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu,
sebagai berikut :
a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian ;
b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur ;
c. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang lalu
disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan.
d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
e. Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari
angsuran bulanan sebelum pembetulan, dan
f. Terjadi perubahan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.
(7) Menteri Keuangan menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak bagi :
a. Wajib Pajak baru ;
b. bank, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, Wajib Pajak
masuk

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 92


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

bursa, dan Wajib Pajak lainnya berdasarkan ketentuan peraturan


perundang
undangan harus membuat laporan keuangan berkala, dan
c. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu dengan tarif paling tinggi
0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) dari peredaran bruto.

(8) Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang tidak memiliki Nomor Pokok
Wajib
Pajak dan telah berusia 21(dua puluh satu) tahun, yang bertolak keluar
negeri, Wajib membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(8a) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) berlaku sampai dengan
tanggal 31 Desember 2010.
Penjelasan Pasal 25.
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran bulanan yang
harus dibayar oleh Wajib Pajak sendiri dalam tahun berjalan.
Ayat (1).
Contoh 1 :
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan
Pajak
Penghasilan tahun 2009 Rp 50.000.000.
dikurangi dengan :
a. PPh. yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21) Rp 15.000.000.
b. PPh. yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp 10.000.000.
c. PPh. yang dipotong pihak lain (Pasal 23) Rp 2.500.000.
d. Kredit PPh. luar negeri (Pasal 24) Rp 7.500.000.
Jumlah Kredit pajak Rp 35.000.000.
Selisih (Pajak yang dibayar sendiri) Rp 15.000.000.
Besarnya pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2010,
adalah sebesar 1/12 x Rp 15.000.000. = Rp 1.250.000.
Contoh 2.
Apabila Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam contoh diatas
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh untuk bagian
tahun pajak yang meliputi masa 6(enam) bulan dalam tahun pajak 2009,
besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam
tahun 2010 adalah sebesar 1/6 x Rp 15.000.000. = Rp 2.500.000.
Ayat (2)

Mengingat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak


Penghasilan bagi Wajib Pajak orang pribadi bulan keempat tahun pajak
berikutnya, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib
Pajak untuk bulan-bulan sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan belum dapat dihitung sesuai dengan ketentuan pada ayat (1).
Berdasarkan ketentuan ini, besarnya angsuran pajak untuk bulan-bulan
sebelum waktu penyampaian SPT Tahunan PPh. tersebut adalah sama
dengan bulan terakhir dari tahun pajak yang lalu.

Contoh .
Apabila SPT Tahunan PPh. disampaikan oleh Wajib Pajak pada bulan
Pebruari 2010, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar Wajib Pajak

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 93


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

untuk bulan Januari 2010, adalah sebesar angsuran pajak bulan Desember
2009, misalnya sebesar RAP 1.000.000. (satu juta rupiah).
Apabila dalam bulan September 2009 diterbitkan keputusan pengurangan
angsuran pajak menjadi nihil, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar
Wajib Pajak untuk bulan Januari 2010, tetap sama dengan angsuran bulan
Desember 2009, yaitu nihil.
Ayat (4)

Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak, untuk tahun
pajak yang lalu, angsuran pajak dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak
tahun pajak tersbut. Perubahan angsuran pajak tersebut berlaku mulai
bulan berikutnya setelah bulan diterbitkannya surat ketetapan pajak.
Contoh :
Berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun
pajak pajak 2009, yang disampaikan Wajib Pajak dalam bulan Pebruari
2010, perhitungan besarnya angsuran pajak yang harus dibayar adalah
sebesar Rp 1.250.000. Dalam bulan Juni 2010 telah diterbitkan surat
ketetapan pajak tahun 2009 yang menghasilkan besarnya angsuran pajak
setiap bulan sebesar Rp 2.000.000.

Berdasakan ketentuan dalam ayat ini, maka besarnya angsuran pajak


mulai bulan Juli 2010 adalah sebesar Rp 2.000.000. Penetapan besarnya
angsuran pajak berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama,
lebih besar atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya berdasarkan
Surat Pemberitahuan Tahunan.

Ayat (6)

Pada dasarnya besarnya pembayaran angsuran pajak oleh Wajib Pajak


sendiri dalam tahun berjalan sedapat mungkin diupayakan mendekati
jumlah pajak yang terutang pada akhir tahun. Oleh karena itu berdasarkan
ketentuan ini, dalam hal-hal tertentu Direktur Jenderal Pajak diberikan
wewenang untuk menyesuaikan penghitungan besarnya angsuran pajak
yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam tahun berjalan, apabila
terdapat kompensasi kerugian, Wajib Pajak menerima atau memperoleh
penghasilan tidak teratur, atau terjadi perubahan keadaan usaha atau
kegiatan Wajib Pajak.
Contoh 1 :
- Penghasilan PT X tahun 2009 Rp 120.000.000.
- Sisa kerugian thn sebelumnya yg masih
dapat dikompensasikan
Rp 150.000.000.
- Sisa kerugian yang belum dikompensasikan tahun 2009 Rp 30.000.000

Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 tahun 2010 adalah :


Penghasilan yang dipakai sebagai dasar perhitungan angsuran Pajak
Penghasilan
Pasal 25 = Rp 120.000.000. – Rp 30.000.000. = Rp 90.000.000.
PPh. terutang 28 % x Rp 90.000.000. = Rp 25.200.000.
Apabila pada tahun 2009 tidak ada PPh. yang dipotong atau dipungut oleh
pihak lain dan pajak yang dibayar atau terutang diluar negeri, sesuai
dengan ketentuan Pasal 24, besarnya angsuran pajak bulanan PT X tahun
2010 = 1/12 x Rp 25.200.000. = Rp 2.100.000.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 94


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Contoh 2 :
Dalam tahun 2009, penghasilan teratur Wajib Pajak A dari usaha dagang
sebesar Rp 48.000.000. dan penghasilan tidak teratur sebesar Rp
72.000.000. Penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan Pajak
Penghasilan Pasal 25, dari Wajib Pajak A pada tahun 2010 adalah dari
penghasilan teratur tsb saja.

Contoh 3 :
Perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak dapat
terjadi karena penurunan atau peningkatan usaha. PT B. yang bergerak
dibidang produksi benang dalam tahun 2009 membayar angsuran
bulanan sebesar Rp 15.000.000. Dalam bulan Juni 2009 pabrik milik PT.B
terbakar. Oleh karena itu berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
mulai bulan Juli 2009 angsuran bulanan PT.B dapat disesuaikan menjadi
lebih kecil dari Rp 15.000.000.
Sebaliknya apabila, apabila PT.B mengalami peningkatan usaha,
misalnya adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan
Kena Pajaknya akan mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, kewajiban angsuran bulanan PT.B dapat disesuaikan oleh
Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (7)

Pada prinsipnya penghitungan besarnya angsuran bulanan dalam tahun


berjalan didasarkan pada Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun yang lalu. Namun, ketentuan ini memberi kewenangan
kepada Menteri Keuangan untuk menetapkan dasar perhitungan
besarnya angsuran bulanan selain berdasarkan prinsip tesebut diatas.
Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekati kewajaran perhitungan
besarnya angsuran pajak karena didasarkan kepada data terkini kegiatan
usaha perusahaan.

Huruf a
Bagi Wajib Pajak baru yang mulai menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan dalam tahun pajak berjalan perlu diatur
perhitungan besarnya angsuran, karena Wajib Pajak belum pernah
memasukan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan,
penentuan besarnya angsuran pajak didasarkan atas kenyataan
usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Huruf b

Bagi Wajib Pajak yang bergerak dalam bidang perbankan, badan


usaha milik negara, badan usaha milik daerah, serta Wajib Pajak
masuk bursa, dan Wajib Pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
diharuskan membuat laporan keuangan berkala perlu diatur
perhitungan besarnya angsuran tersendiri karena terdapat kewajiban
menyampaikan laporan yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan dalam suatu periode tertentu kepada instansi Pemerintah
yang dapat dipakai sebagai dasar penghitungan untuk menentukan
besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 95


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Huruf c

Bagi Wajib Pajak orang pribadi tertentu, yaitu Wajib Pajak orang
pribadi yang mempunyai 1(satu) atau lebih tempat usaha, besarnya
angsuran pajak paling tinggi sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh
lima persen) dari peredaran bruto.

12.3. PERHITUNGAN PAJAK PADA AKHIR TAHUN.


12.3.1. Perhitungan pada akhir tahun.(kurang bayar).

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 yang berbunyi sebagai berikut :


(1) Bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, pajak yang
terutang dikurangi dengan kredit pajak uantuk tahun pajak yang
bersangkutan , berupa :

a. pemotongan pajak atas penghasilan dari pekerjaan, jasa, dan


kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ;

b. pemungutan pajak atas penghasilan dari kegiatan dibidang


impor atau kegitan usaha di bidang lain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 22 ;

c. pemotongan pajak atas penghasilan berupa deviden, bunga,


royalty, sewa, hadiah dan penghargaan, imbalan jasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.

d. pajak yang dibayar atau terutang atas penghasilan dari luar


negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 24.

e. pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak sendiri


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ;

f. pemotongan pajak atas penghasilan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal (26).ayat (5).

(2) Sanksi Administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan
perundang undangan di bidang perpajakan yang berlaku tidak boleh
dikreditkan dengan pajak yang terutang sebagaimana dimkasud pada
ayat (1).

Penjelasan Pasal 28

Ayat (1)

Pajak yang telah dilunasi dalam tahun berjalan, baik yang dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak, ataupun yang dipotong serta dipungut oleh
pihak lain, dapat dkreditkan terhadap pajak yang terutang pada akhir
tahun pajak yang bersangkutan :

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 96


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Contoh :
Pajak Penghasilan yang terutang Rp 80.000.000.
Kredit pajak :
- pemotongan pajak dari pekerjaan (Pasal 21) Rp 5.000.000.
- pemungutan pajak oleh pihak lain (Pasal 22) Rp10.000.000.
- pomotongan pajak dari modal (Pasal 23) Rp 5.000.000.
- kredit pajak luar negeri (Pasal 24) Rp15.000.000.
- dibayar sendiri oleh Wajib Pajak (Pasal 25) Rp10.000.000.
Jumlah Pajak Penghasilan yang dapat dikreditkan Rp 45.000.000
Pajak Penghasilan yang masih harus dibayar (Pasal 29) Rp
35.000.000

12.3.2. PAJAK YANG LEBIH BAYAR (Pasal 28 A).

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih
kecil dari jumlah kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28
ayat (1), maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan pembayaran
pajak dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang pajak berikut
sanksi-sanksinya.

Penjelasan Pasal 28 A

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-undang


tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, Direktur Jenderal
Pajak atau pejabat yang ditunjuk berwenang untuk mengadakan
pemeriksaan sebelum dilakukan pengembalian atau perhitungan
kelebihan pajak.

Hal-hal yang harus menjadi pertimbangan sebelum dilakukan


pengembalian atau perhitungan kelebihan pajak adalah :

a. kebenaran materil tentang besarnya Pajak Penghasilan yang


terutang.
b. keabsahan bukti-bukti pungutan dan bukti-bukti potongan pajak
serta bukti pembayaran pajak oleh Wajib Pajak sendiri selama dan
untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu untuk kepentingan pemeriksaan pajak, Direktur
Jenderal Pajak atau pejabat lain yang ditunjuk diberi wewenang untuk
mengadakan pemeriksaan atas laporan keuangan, buku-buku, dan
catatan-catatan lainnya serta pemeriksaan lain yang berkaitan dengan
penentuan besarnya Pajak Penghasilan yang terutang, kebenaran
jumlah pajak dan jumlah pajak yang telah dikreditkan, dan untuk
menentukan besarnya kelebihan pajak yang harus dikembalikan.
Maksud pemeriksaan ini untuk memastikan bahwa uang yang akan
dibayar kembali kepada Wajib Pajak sebagai restitusi itu adalah benar
merupakan hak Wajib Pajak.

12.3.3. PAJAK YANG KEKURANGAN BAYAR (Pasal 29).

Apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar
dari pada kredit pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1),
kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi sebelum
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan.
Penjelasan Pasal 29
MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 97
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Ketentuan ini mewajibkan Wajib Pajak untuk melunasi kekurangan


pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan Undang-
undang ini sebelum Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan
disampaikan, dan paling lambat pada batas akhir penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan.
Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak
tersebut wajib dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret, bagi Wajib Pajak
orang pribadi Atau 30 April bagi Wajib Pajak badan, setelah tahun pajak
berakhir, sedangkan apabila tahun buku tidak sama dengan tahun
kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan 30 Juni,
kekurangan pajak wajib dilunasi paling lambat tanggal 30 September
bagi Wajib Pajak orang pribadi atau tanggal 31Oktober bagi Wajib Pajak
badan.

12.4. KETENTUAN LAIN-LAIN.

12.4.1. FASILITAS PERPAJAKAN (Pasal 31 A)

(1) Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di


bidang-bidang usaha tertentu dan atau didaerah-daerah tertentu
yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional, dapat
diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk :
a. pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga
puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan.
b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat;
c. kompensasi kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari
10 (sepuluh) tahun; dan ;
d. pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh
persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian
perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bidang-bidang usaha tertentu
dan/atau daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi
dalam skala nasional serta pemberian fasilitas perpajakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Penjelasan Pasal 31 A

Ayat (1)

Salah satu prinsip yang perlu dipegang teguh didalam


Undang-undang perpajakan adalah diterapkannya
perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang
hakikatnya sama, dengan berpegang pada ketentuan
perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap
kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar
diperlukan harus mengacu kepada kaidah diatas, dan
perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak
menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya
kemudahan tersebut.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 98


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Tujuan diberikannya kemudahan pajak ini adalah


untuk mendorong kegiatan investasi langsung di
Indonesia baik melalui penanaman modal asing maupun
penanaman modal dalam negeri di bidang-bidang usaha
tertentu, dan/atau didaerah-daerah tertentu yang
mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.
Ketentuan ini juga dapat digunakan untuk menampung
kemungkinan perjanjian dengan negara-negara lain
dalam bidang perdagangan, investasi, dan bidang
lainnya.

12.4.2. PEMBAGIAN PENERIMAAN PAJAK PENGHASILAN

Berdasarkan Pasal 31 C, ayat (1) Penerimaan negara


dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak
Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja
dibagi dengan imbangan 80% (delapan puluh persen), untuk
Pemerintah Pusat, dan 20% (dua puluh persen) untuk
Pmerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.
12.4.3. KERINGANAN TARIF. (Pasal 31 E)

(1) Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto


sampai dengan Rp 50.000.000.000. (lima puluh milyar),
mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50%
(lima puluh persen), dari tarif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang dikenakan atas
Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai
dengan Rp 4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta),

(2) Besarnya bagian peredaran bruto sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dapat dinaikan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.

Penjelasan Pasal 31 E

Ayat (1)

Contoh 1.
Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp
4.500.000.000.(empat milyar lima ratus juta rupiah), dengan
Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000.
(lima ratus juta rupiah),

Penghitungan pajak yang terutang :


Seluruh penghasilan kena pajak yang diperoleh dari
peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima
puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang
berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi
Rp 4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta
rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang = (50% x 28%) x Rp
500.000.000. = Rp 70.000.000.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 99


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

Contoh 2.

Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp


30.000.000.000. (tiga puluh milyar), dengan Penghasilan
Kena Pajak sebesar Rp 3.000.000.000.(tiga milyar rupiah).

Penghitungan Pajak Penghasilan terutang :


1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran
bruto yang memperoleh fasilitas :
Rp 4.800.000.000. x Rp 3.000.000.000.= Rp
480.000.000.
Rp 30.000.000.000

2 Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran


bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
(Rp) 3.000.000.000 - 480.000.000 = 2.520.000.000.

Pajak penghasilan terutang :


 (50% x 28%) x Rp 480.000.000.= Rp 67.200.000
 28% x Rp 2.520.000.000. = Rp 705.600.000.
Jumlah PPh. yang terutang = Rp 772.800.000.

12.5. LATIHAN.

JAWABLAH PERTANYAAN INI DENGAN SINGKAT DAN JELAS.

1. Bagaimana sistem pelunasan pajak dalam tahun berjalan.

2. Jenis-jenis pelunasan pajak mana yang :

a. Melalui Pemotongan ;
b. Melalui Pemungutan.

3. Terangkan juga kedudukan pemotongan dan pemungutan tersebut pada


perhitungan pajak akhir tahun.

4. Apa yang mendasar pemikiran adanya kewajiban pembayaran pajak dalam


tahun berjalan.

5. Jelaskan Rumus umum dalam menetapkan besarnya angsuran PPh. Pasal


25 tahun berjalan.

6. Jika Wajib Pajak mendapatkan SKP untuk tahun pajak yang lalu,
bagaimana pengaruhnya terhadap besarnya angsuran PPh. Pasal 25.

7. Besarnya angsuran PPh. Pasal 25 mempunyai ketentuan tersendiri dalam


hal-hal tertentu, apa yang dimaksud dengan hal-hal tertentu tersebut.

8. Kapan timbulnya PPh. Pasal 28 A, dan apa pula yang dimaksud PPh.
Pasal 29.

9. Kepada Wajib Pajak yang bagaimana dapat diberikan fasilitas perpajakan,


dan sebutkan jenis-jenis fasilitas tersebut.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 100


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

10. PT D, Tahun 2010 memperoleh penghasilan bruto sebesar Rp


40.000.000.000. dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp
3.600.000.000. Jelaskan besarnya Pajak Penghasilan terutang
berdasarkan aturan Pasal 31 E.

12.6. RANGKUMAN.

1. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan dapat dilakukan oleh Wajib Pajak
melalui :
a. Pemotongan, yaitu penghasilan dari hubungan kerja/pekerjaan/kegiatan,
yang disebut dengan PPh. Pasal 21, serta penghasilan dari modal dan
harta serta kegiatan jasa, dan disebut pemotongan PPh.Pasal 23.

b. Pemungutan oleh pihak lain atas kegiatan Impor dan penjualan barang
kepada pemungut (PPh, Pasal 22), serta pajak yang dibayar/dipungut
diluar negeri (PPh. Pasal 24.)

2. Seluruh pemotongan dan pemunugtan tersebut diatas, termasuk yang


dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dikreditkan dengan PPh. yang terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan.
3. Apabila dari hasil pengkreditan tersebut ternyata jumlah pajak yang
terutang lebih besar dari kredit pajak maka terdapat pajak yang kurang
bayar (PPh.Psl 29), sebaliknya kalau kredit pajak lebih besar dari pajak
terutang, Wajib Pajak mengalami kelebihan pembayaran pajak (PPh. Pasal
28A).

4. Untuk meringankan beban utang pajak pada akhir tahun, atau mendekati
jumlah pajak terutang pada akhir tahun pajak, diintrodusir pembayaran
pajak dalam tahun berjalan yang disebut angsuran PPh. Pasal 25.

5. Dalam menentukan besarnya angsuran PPh.Pasal 25 dipakai ketentuan,


jumlah pajak terutang menurut SPT Tahunan tahun pajak yang lalu,
dikurangi dengan kredit pajak (Pasal 21, 22, 23, serta pajak yang diluar
negeri-PPh.Pasal 24), hasilnya dibagi 12 (dua belas), atau sesuai dengan
masa pajaknya, kecuali apabila Wajib Pajak mendapat Surat Ketetapan
Pajak untuk tahun pajak yang lalu tersebut, maka jumlahnya disesuaikan
dengan pajak terutang menurut SKP.

6. Menyimpang dari ketentuan seperti dimaksud pada angka (5) diatas,


angsuran PPh. Pasal 25 dihitung tersendiri dalam hal-hal tertentu, seperti
Wajib Pajak yang terlambat menyampaikan SPT Tahunan, terjadi
perubahan usaha/kegiatan Wajib Pajak, WP yang masih memperhitungkan
kompensasi kerugian, adanya penghasilan tidak teratur, dan Wajib Pajak
yang melakukan pembetulan SPT Tahunan Pajak Penghasilannya.

7. Bagi Wajib Pajak BUMN.BUMD, Bank, dan Wajib Pajak yang diwajibkan
membuat laporan keuangan berkala, diatur tersendiri besarnya
pembayaran angsuran PPh. Pasal 25 untuk tahun berjalan.

8. Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu, ditetapkan besarnya


angsuran PPh. Pasal 25, sebesar 0,75 (nol koma tujuh puluh lima persen),
dari peredaran bruto tiap bulan untuk setiap tempat (out let, grey).

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 101


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

9. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri yang bepergian keluar negeri yang
tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), diwajibkan membayar
Fiskal luar negeri, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.

10..Wajib Pajak badan dalam negeri yang peredaran usahanya sampai dengan
Rp 50.000.000.000. (lima puluh milyar rupiah), mendapat pengurangan tarif
Pasal 17, sebesar 50% (lima puluh persen), untuk penghasilan kena pajak
sampai dengan Rp 4.800.000.000. (empat milyar delapan ratus juta rupiah).

12.7. Test Formatif.

12.7.1. Pilihlah jawaban yang paling tepat diantara a, b, atau c.

1. Dalam memenuhi utang pajak yang akan terutang pada akhir tahun :
a. Wajib pajak diberi kesempatan memenuhinya melalui pemtongan,
pemungutan, dan dibayar sendiri melalui angsuran bulanan.
b. Membuat perjanjian dengan Direktur Jenderal Pajak akan dilunasi
pada akhir tahun.
c. Menunggu diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak oleh Direktorat
Jenderal Pajak.

2. Pelunasan PPh. Pasal 4 ayat (2), merupakan pembayaran pajak :


a. Yang dapat dikreditkan dengan PPh. Terutang untuk tahun pajak
yang bersangkutan.
b. Bersifat final dan tidak dapat dikreditkan dengan PPh. Terutang.
c. Tidak ada kaitannya dengan pembayaran pajak tahun berjalan.

3. Besarnya angsuran PPh. Pasal 25 yang dibayar sendiri Wajib Pajak :


a. Ditentukan oleh Wajib Pajak sendiri berdasarkan prinsip self-
assessment.
b. Ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak melalui penerbitan Surat
Ketetapan Pajak (SKP).
c. Berdasarkan pajak terutang menurut SPT Tahunan tahun pajak
yang lalu, dikurangi dengan kredit pajak hasilnya dibagi 12, atau
sesuai dengan masa pajaknya.

4. Wajib Pajak yang kepadanya diterbitkan Surat Ketetapan Pajak


tahun pajak yang lalu, angsuran PPh. Pasal 25 nya :
a. Menurut besarnya pajak terutang menurut SKP tersebut dan
barlaku sejak batas terakhir penyampaian SPT Tahunan PPh.
b. Sesuai dengan besarnya pajak terutang menurut SKP, dan
berlaku bulan berikutnya setelah terbitnya SKP tersebut.
c. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas terbitnya SKP
tersebut, karena Wajib Pajak telah menyetor sesuai dengan
SPT.

5. Apabila terjadi perubahan usaha/kegiatan Wajib Pajak, kaitannya


dengan angsuran PPh. Pasal 25 adalah ;

a. Wajib Pajak tidak perlu melakukan perubahan perhitungan


Angsuran PPh. Pasal 25, karena ada pedoman pajak terutang
menurut SPT Tahunan tahun pajak yang lalu.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 102


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

b. Wajib Pajak harus menyesuaikan besarnya angsuran PPh. Pasal


25 dengan perubahan yang terjadi ;
c. Diperhitungkan saja pada akhir tahun pajak, pada waktu akan
menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan.

6. Bagi Wajib Pajak baru yang menggunakan Norma Penghitungan


Penghasilan Neto besarnya angsuran PPh.Pasal 25 ditetapkan :
a. Penghasilan neto menurut Norma Penghitungan yang
disetahunkan, dikurangi Penghasilan Tidak Kena Pajak,
kemudian ditarif dengan tarif Pasal 17, hasilnya dibagi 12 (dua
belas).
b. Penghasilan neto menurut norma penghitungan ditarif dengan
tarif Pasal 17.
c. Tidak ada kewajiban penyetoran PPh. Pasal 25 Wajib Pajak
baru
karena belum ada Surat Pemberitahuan Tahunan.

7. Pajak yang terutang pada akhir tahun setelah Wajib Pajak mengisi
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan :
a. Tidak diperhitungkan dengan pembayaran PPh. yang berkaitan
dengan penghasilan yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2).
b. Diperhitungkan dengan kredit pajak pajak, dan apabila terdapat
kelebihan bayar maka tidak dapat diminta pengembalian.
c. Apabila terdapat kekurangan bayar maka harus disetor lagi
paling lambat 31 Desember dari tahun pajak yang
bersangkutan

8. Sanksi administrasi perpajakan seperti bunga, denda dan kenaikan


pajak, yang berkaitan denga pelaksanaan Undang-undang
perjakan
a. Dapat diperhitungkan sebagai pengurangan dari pajak
terutang.
b. Dijadikan biaya usaha yang dapat mengurangkan penghasilan
kena pajak.
c. Jawaban a dan b diatas tidak ada yang benar.

9. Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang


pribadi dalam negeri dan PPh. Pasal 21 dibagi sebagai berikut :
a. Sebesar 80% (delapan puluh pesen) untuk Pemerintah
Daerah, dan sebesar 20% (dua puluh persen), untuk
Pemerintah pusat.
b. Semuanya menjadi penerimaan Pemerintah Pusat.
c. 80% (delapan puluh persen) untuk Pemerintah Pusat, dan
20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah daerah, dimana
WP bertempat tinggal.

10. Pengurangan tarif sebesar 50% Pajak Penghasilan diberikan


bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang :
a. Peredaran usaha tidak lebih Rp 50.000.000.000.
untukPenghasilan Kena Pajak diatas Rp 4.800.000.000.
b. Peredaran usaha sampai dengan Rp 50.000.000.000. untuk
Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp 4.800.000.000.
c. Untuk Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 4.800.000.000.
dengan peredaran bruto diatas Rp 50.000.000.000.

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 103


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

12.7.2. Pilih jawaban B (Betul), atau S (Salah), dengan pengisian pada


(.......).

1. Pelunasan pajak dalam tahun berjalan hanya dapat dilakukan oleh


Wajib Pajak sendiri melalui penyetoran sendiri. (.......).

2 Pajak yang dibayar atau dipungut diluar negeri (Psl 24), dapat
dikreditkan dengan PPh yang terutang dalam negeri asal
memenuhi ketentuan. (.......)

3. Apabila pajak yang terutang pada akhir tahun jumlahnya lebih


besar dari kredit pajak, maka Wajib Pajak harus menyetor
kekurangannya yang dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 28 A
(........)

4. Angsuran PPh. Pasal 25 besarnya ditentukan menurut


peredaran usaha tahun pajak yang lalu, dibagi 12 (dua belas)
atau banyaknya bulan dari bagian tahun pajak yang lalu. (........).

5. Wajib Pajak A, Pajak terutang tahun 2009, besarnya Rp


60.000.000. dengan kredit pajak (Pasal 21, Pasal 23) sebesar Rp
12.000.000., maka besarnya angsuran PPh. Pasal 25 tahun 2010
adalah Rp 5.000.000. (.....)

6. Besarnya angsuran PPh. Pasal 25 bagi Wajib Pajak orang pribadi


dalam negeri pengusaha tertentu ditetapkan 0.75% dari peredaran
bruto (.........)

7. Pajak Penghasilan Pasal 29, adalah Pajak Penghasilan yang


dibayar pada waktu mengisi Surat Pemberitahun Tahunan
apabila terjadi kekurangan bayar, sebagai akibat pajak terutang
lebih besar dari kredit pajak (.......).

8. Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal dibidang-


bidang usaha-usaha tertentu dan daerah tertentu diberikan
fasilitas perpajakan antara lain penyusutan dan amortisasi yang
dipercepat. (.......).

9. Ketentuan perpajakan dibidang usaha pertambangan minyak dan


gas bumi, diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak
(.......).

10. Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 31 E ( pengurangan tarif


sebesar 50%) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17
ayat (1) huruf b dan ayat (2a), berlaku juga bagi Wajib Pajak luar
negeri (.........)

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 104


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

12.8. KUNCI JAWABAN Test Formatif.

12.8.1. Jawaban Pilihan yang paling tepat.

1. c. 6. c.
2. a. 7. c.
3. b. 8. a.
4. b. 9. b.
5. a. 10. c.

12.8.2. Jawaban B (Betul), atau S (Salah).

1. S (Salah). 6. S (Salah).
2. S (Salah). 7. S (Salah).
3. B (Betul). 8. B (Betul).
4. B (Betul). 9. B (Betul).
5. B (Betul). 10. S (Salah).

12.9. Umpan Balik.

Cocokanlah jawaban Saudara dengan Kunci Jawaban Test Formatif, dan


hitunglah jawaban Saudara yang benar.
Kemudian gunakan rumus dibawah ini untuk mengetahui tingkat penguasaan
Materi Kegiatan Belajar.

Rumus ;
Tingkat penguasaan = Jumlah jawaban Saudara yang benar dibagi dengan
jumlah soal, hasilnya dikalikan 100% (seratus persen).

Arti tingkat penguasaan yang dicapai :

90% - 100% = Baik sekali.


80% - 89% = Baik.
70% - 79% = Cukup.
69% atau kurang = Kurang.

Bila Saudara mencapai tingkat penguasaan 80% (delapan puluh persen), atau
lebih, Saudara dapat meneruskan dengan modul berikutnya. Tetapi bila tingkat
penguasaan kurang dari 80% (delapan puluh persen), Saudara harus
mempelajari kembali Kegiatan Belajar tersebut.

------Selamat belajar dan mencoba-----


=== fm===

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 105


PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK
BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

a. Daftar Kepustakaan.

1. Ordonansi PPs. 1925, Penerbit PT. Eresco, Bandung Tahun 1984.

2. Ordonansi PPd. 1944, Penerbit PT. Eresco, Bandung Tahun 1984.

3. Undang-Undang PBDR 1970, Penerbit PT. Eresco, Bandung 1978,

4. Undang-Undang No. 8 Tahun 1967, dan PP No.11 Tahun 1967, Tatacara


pelaksanaan MPS-MPO. Direktorat Jenderal Pajak 1969.

5. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, sebagaimana telah dirubah dan


disempunakan terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2008, Tentang Pajak
Penghasilan.

6. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, sebagaimana telah dirubah dan


disempurnakan terakhir dengan UU No. 28 Thn 2007-KUP.

7. PP, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri Keuangan, PMK, dan Keputusan


Direktur Jenderal Pajak , Peraturan Dirjend Pajak, yang berkaitan dengan
pelaksanaan Pajak Penghasilan.

8. Bahan ajaran dan panduan untuk mata pelajaran Pajak Penghasilan.

------fm----

MODUL PAJAK PENGHASILAN@DTS DASAR PAJAK II HALAMAN 106

You might also like