You are on page 1of 21

PEMBELAJARAN PARTISIPATIF

PEMBELAJARAN PARTISIPATIF
PENDAHULUAN
Dengan diberlakukannya Kurikulum 2006, yang juga dikenal dengan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (baca: kurikulum sekolah), guru diberi kebebasan
mendesain pembelajaran sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kondisi sekolah. Oleh
karena itu, sudah bukan saatnya lagi guru memaksakan pengetahuan kepada siswa.
Model pembelajaran seperti itu menempatkan siswa hanya sebagai obyek. Siswa
tidak dihargai sebagai individu yang sedang belajar dan membutuhkan bimbingan
untuk mengembangkan potensinya, baik potensi intelektual maupun kepribadiannya.
Sudah saatnya guru meninggalkan model pembelajaran yang menggunakan cara-
cara instan. Model pembelajaran dengan sistem dril, yang mengharapkan hasil
bagus dengan cepat tanpa mengindahkan prosedur pembelajaran yang semestinya,
sesungguhnya bersifat intimidatif. Bagaimana tidak meng-’intimidasi’ bila siswa
senantiasa dihadapkan pada keharusan meraih minimal ’nilai tertentu’ yang menjadi
standar kelulusan atau kenaikan kelas? Akibatnya, siswa mengikuti pembelajaran di
bawah bayang-bayang ancaman dan ketakutan ’tidak naik kelas atau tidak lulus
ujian’ jika tidak dapat menyerap atau menguasai materi pelajaran (lebih tepatnya:
menghafal), yang akan dibuktikan dengan ulangan/tes/ujian.
Apabila dengan pembelajaran intimidatif tadi siswa merasa terpaksa mengikuti
kegiatan pembelajaran, sudah saatnya guru memikirkan dan menerapkan model
pembelajaran lain yang lebih memahami kondisi siswa. Salah satu alternatifnya
adalah model pembelajaran yang bersifat partisipatif. Di sini siswa dilibatkan dan
diikutsertakan dalam menentukan dan mencari bahan/materi (dari berbagai sumber)
yang akan dipelajari.

PEMBAHASAN

A. Konsep Pembelajaran Partisipatif


Pembelajaran partisipatif pada intinya dapat diartikan sebagai upaya pendidik untuk
mengikut sertakan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap
perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program. Partisipasi pada
tahap perencanaan adalah keterlibatan peserta didik dalam kegiatan
mengidentifikasi kebutuhan belajar, permasalahan, sumber-sumber atau potensi
yang tersedia dan kemungkinan hambatan dalam pembelajaran. Partisipasi dalam
tahap pelaksanaan program kegiatan pembelajaran adalah keterlibatan peserta didik
dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk belajar. Dimana salah satu iklim yang
kondusif untuk kegiatan belajar adalah pembinaan hubungan antara peserta didik,
dan antara peserta didik dengan pendidik sehingga tercipta hubungan kemanusiaan
yang terbuka, akrab, terarah, saling menghargai, saling membantu dan saling
belajar. Partisipasi dalam tahap penilaian program pembelajaran adalah keterlibatan
peserta didik dalam penilaian pelaksanaan pembelajaran maupun untuk penilaian
program pembelajaran. Penilaian pelaksanaan pembelajaran mencakup penilaian
terhadap proses, hasil dan dampak pembelajaran.

Prinsip-prisip utama kegiatan pembelajaran partisipatif meliputi: 1) berdasarkan


kebutuhan belajar 2) berorientasi pada tujuan kegiatan belajar, 3) berpusat pada
warga belajar, 4) belajar berdasarkan pengalaman, 5) kegiatan belajar dilakukan
bersama oleh warga belajar dengan sumber belajar dalam kelompok yang
terorganisasi, 6) kegiatan pembelajaran merupakan proses kegiatan saling
membelajarkan, 7) kegiatan pembelajaran diarahkan pada tujuan belajar yang
hasilnya dapat langsung dimanfaatkan oleh warga belajar, 8) kegiatan pembelajaran
menitik beratkan pada sumber-sumber pembelajaran yang tersedia dalam
masyarakat dan 9) kegiatan pembelajaran amat memperhatikan potensi-potensi
manusiawi warga belajar.
Selain itu, pembelajaran partisipatif sebagai kegiatan pembelajaran juga
memperhatikan prinsip proses stimulus dan respons yang di dalamnya mengandung
unsur-unsur kesiapan belajar, latihan, dan munculnya pengaruh pada terjadinya
perubahan tingkah laku. Pembelajaran partisipatif sebagai kegiatan belajar lebih
memperhatikan kegiatan-kegiatan individual dan mengutamakan kemampuan
pendidik, menekankan pentingnya pengalaman dan pemecahan masalah, dan
memfokuskan pada manfaat belajar bagi peserta didik
Dengan meminjam pemikiran Knowles, (E.Mulyasa,2003) menyebutkan indikator
pembelajaran partisipatif, yaitu : (1) adanya keterlibatan emosional dan mental
peserta didik; (2) adanya kesediaan peserta didik untuk memberikan kontribusi
dalam pencapaian tujuan; (3) dalam kegiatan belajar terdapat hal yang
menguntungkan peserta didik.

B. Ciri-ciri kegiatan pembelajaran partisipatif


Kegiatan pembelajaran partisipatif memilikii ciri-ciri pokok yang meliputi:
1. Sumber belajar menenpatkann diri pada posisi yang tidak serba mengetahui
terhadap semua bahan belajar. Memandang warga belajar sebagai sumber yang
mempunyai nilai dan manfaat dalam kegiatan belajar.
2. Sumber belajar memainkan peranan membantu warga belajar dalam melakukan
kegiatan belajar. Kegiatan belajar ini didasarkan atas kebutuhan belajar warga
belajar.
3. Sumber belajar memotovasi warga belajar agar berpartisipasi dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan dalam mengevaluasi program pembelajaran yang dijalaninya.
4. Sumber belajar bersama warga belajar melakukan kegiatan saling membelajarkan
dalam bentuk bertukar fikiran mengenai isi,proses, dan hasil belajar serta
pengembangannya.
5. Sumber belajar berperan membantu warga belajar dalam menciptakan situasi
pembelajaran yang kondusif, sehingga warga belajar dapat melibatkan diri secara
aktif dan bertanggungjawab dalam proses kegiatan pembelajaran.
6. Sumber belajar mengembangkan kegiatan belajar kelompok.
7. Sumber belajar mendorong warga be;lajar untuk meningkatkan semangat
berprestasi, semangat berkompetisi menghadapi tantangan yang berorientasi pada
perbaikan kehidupan yang lebih baik.
8. Sumber belajar mendorong dan membantu warga belajar untuk mengembangkan
kemampuan memecahkan masalah di dalam dan terhadap kehidupan yang
dihadapinya sehari-hari.
9. Sumber belajar dan warga belajar secara bersama-sama mengembangkan
kemampuan antisipasi dan partisipasi.
10. Pembelajaran mencapai otonomi dan integrasi dalam kegiatan individual dan
kehidupan sosialnya.
C. Teori pendukung pembelajaran partisipasi
Menurut Sudjana, kegiatan belajar partisipasif didukung oleh beberapa teori
pembelajaran, di antaranya adalah teori connectionism Thorndike, teori aliran
tingkah laku yang dikembangkan oleh Guthrie, Skinner, Crowder dan Hull, teori
Gestal dan teori medan. Dalam Kaitan ini, Trisnamansyah mengatakan bahwa
kegiatan pembelajaran dalam pendidikandi luar sekolah termasuk di da;lamnya
kegiatan pembelajaran partisipasi mendapat dukungan dari teori-teori perubahan
sosial dan psikologi sosial yang dapat diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran
seperti teori perubahan sikap sosial, teori dinamika kelompok, teori komunikasi
inovasi dan teori manajemen perubahan dalam pendidikan.
Teori yang relevan dibahas dalam hubungannya dengan kebutuhan pengkajian ini
adalah teori Asosiasi dan teori medan. Teori asosiasi dikembangkan oleh Thorndike
dan dilanjutkan Witson dan William James. Toeri asosiasi berpandangan bahwa
mutu kegiatan belajar akan efektif apabila interaksi antara sumber belajar dan
warga belajar dilakukan melalui stimulus dan respon (S-R). Oleh karena itu makin
giat dan makin tinggi kemampuan warga belajar dalam mengembangkan stimulus
dan respon, maka makin efektif kegiatan belajarnya. Teori asosiasi mengandung
prinsip-prinsip dalam kegiatan belajar-membelajarkan, yaitu prinsip kesiapan
(readness), latihan (exercise), dan pengaruh (effect). Prinsip kegiatan menekankan
perlunya motovasi yang tinggi pada diri warga belajar atau peserta didik untuk
menghubungkan stimulus dan respon. Prinsip latihan menekankan pentingya
kegiatan latihan secara berulang oleh warga belajar atau peserta didik dalam
melakukan kegiatan belajar. Prinsip pengaruh menekankan pada pentingnya hasil
dan manfaat langsung dari kegiatan belajar yang dijalani oleh warga belajar atau
peserta didik. Dalam hubungannya dengan kegiatan pembelajaran partisipasi, teori
asosiasi semakin mempertegas pentingnya peserta didik untuk melakukan respon
terhadap setiap stimullus oleh warga belajar atau peserta didik itu sendiri serta
menekankan pentingnya kegiatan belajar perorangan.
Sementara itu teori medan yang dikembangkan oleh Kurt Lewin, menekankan
pentingnya pengalaman warga belajar yang berorientasi pada pemecahan masalah
serta didasari oleh motivasi belajar yang kuat. Teori medan beranggapan bahwa
setiap kegiatan akan efektif apabila warga belajar merasakan kebutuhan untuk
belajar serta memiliki kesadaran diri bahwa belajar adalah sesuatu yang penting
dalam meningkatkan kualitas dan martabat kehuidupannya. Oleh karena itu,
kegiatan belajar bersama dalam kelompok belajar menjadi penting dan utama bagi
warga belajar.

D. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif


Pendidikan partisipatif, atau teknik partisipatif, dilandasi oleh suatu pandangan
bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya – untuk
bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pendidikan partisipatif, tentu bukan
sekedar teknik, melainkan statu pendekatan atau bahkan paradigma baru yang
meninggalkan paradigma lama yang bersifat sistem bank.
Metode pembelajaran atau dalam istilah Knowels, “format pembelajaran” diartikan
sebagai patokan umum oleh karena itu bisa dikatakan bahwa metode pembelajaran
partisipatif adalah suatu patokan umum pembelajaran partisipatif. Ahli lain seperti
Vemer mengklasifikasikan metode pembelajaran ke dalam tiga kategori, yaitu:
metode pembelajaran perorangan (Individual Methods), metode pembelajaran
kelompok (Group Methods) dan metode pembelajaran pembangunan masyarakat
(Community Methods).
Selanjutnya teknik pembelajaran diartikan sebagai penggunaan patokan-patokan
khusus dalam melaksanakan suatu methode pembelajaran tertentu yang meliputi
langkah-langakah, sarana dan alat bantu dalam ruang lingkup metode pembelajaran
yang digunakan. Knowleds menggolongkan teknik-teknik pembelajaran ke dalam
jenis-jenis teknik pembelajaran berikut: 1) teknik penyajian, meliputi ceramah,
siaran, televisi dan video tape, dialog, tanya jawab dan lain-lain, 2) teknik partisipasi
dalam kelompok besar mencakup tanya jawab, forum, kelompok guru dan panel
berangkai, 3) teknik diskusi berupa diskusi terbimbing, pemecahan masalah dan
diskusi kasus, 4) teknik simulasi terdiri dari beermain peran, pemecahan masalah
dan studi kasus, 5) teknik latihan kelompok, 6) teknik latihan tanpa bicara, dan 7)
teknik latihan keterampilan dan latihan.

E. Peran Pendidik Dalam Pembelajaran


Peran pendidik dalam pembelajaran partisipatif lebih banyak berperan sebagai
pembimbing dan pendorong bagi peserta didik untuk melakukan kegiatan
pembelajaran sehingga mempengaruhi terhadap intensitas peranan pendidik dalam
pembelajaran. Menurut Knowles dan Cronne, peranan sumber belajar mencakup: 1)
menciptakan dan mengembangkan situasi kegiatan belajar partisipatif, 2)
menekankan peranan warga belajar yang melaksanakan kegiatan belajar, dan 3)
sumber belajar dituntut agar mampu menyusun dan mengembangkan strategi
pembelajaran partisipatif.
Pada awal pembelajaran, intensitas peran pendidik sangat tinggi yaitu untuk
menyajikan berbagai informasi bahan belajar, memberikan motivasi serta
memberikan bimbingan kepada peserta dalam melakukan pembelajaran, tetapi
makin lama makin menurun intensitas perannya digantikan oleh peran yang sangat
tinggi dari peserta didik untuk berpartisipasi dalam pembelajaran secara maksimal.
Langkah-langkah yang harus ditempuh pendidik dalam membantu peserta didik
untuk mengembangkan kegiatan pembelajaran adalah:
1. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
2. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan
membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan
belajarnya.
4. Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
7. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar

F. Proses Pembelajaran Partisipatif


Proses pembelajaran partisipatif dibentuk oleh unsur-unsur atau faktor pembentuk
proses pembelajaran. Unsur pembentuk proses pembelajaran tersebut adalah: 1)
tujuan, 2) materi, 3) metode, 4) warga belajar, 5) fasilitator, 6) iklim dan 7)
evaluasi. Kegiatan proses pembelajaran partisipatif mencakup enam tahapan
kegiatan yang berorientasi. Keenam langkah kegiatan tersebut adalah: pembinaan
keakraban, identifikasi keutuhan, sumber dan kemungkinan hambatan, perumusan
tujuan belajar, penyusunan program kegiatan belajar, pelaksanaan kegiatan belajar
dan penilaian terhadap proses, hasil, dan dampak kegiatan pembelajarn yang
dilaksanakan.
Pembelajaran partisipatif menghargai pengetahuan dan pengalaman para pendidik
untuk terampil dalam menggunakan semua metode yang berbeda. Suatu situasi
pembelajaran yang berhubungan dengan pengalaman seharusnya selalu diikuti oleh
suatu sesi tanya jawab. Sesi tanya jawab membantu melakukan kontekstualisasi
pengelaman individu dan kelompok ke dalam suatu kerangka verja yang lebih luas.
Kerangka kerja tanya jawab mengikuti siklus pembelajaran sebagai berikut:
1. Publikasi Data: Berbagi pengalaman dan pengamatan.
Pertanyaan-pertanyaan spesifik seharusnya dituliskan di papan/bagan. Guru sebagai
fasilitator harus bekerja mengenai bagaimana data akan dituliskan pada bagan.
Pertanyaan seharusnya diajukan atas masing-masing peserta dan respon dicatat
pada bagan. Perasaan yang seharusnya diungkapkan hanya yang berhubungan
dengan isu-isu kunci untuk analisis.
2. Pemrosesan Data: Membahas pola dan dinamika.
Respon-respon ini seharusnya dicatat dan saling hubungan perasaan, interaksi, dan
peristiwa dibangun di dalam proses. Sementara para peserta berbagi pengalaman
mereka, fasilitator harus mendengarkan dengan penuh perhatian dan tidak
mempertanyakan atau membalas perasaan yang diungkapkan. Sebaliknya ia harus
menuliskannya pada bagan
3. Penyamarataan dan Penerapan Data: Mengemukakan prinsip-prinsip.
Respon-respon ini harus juga dicatat dan dikonsolidasikan di dalam proses. Prinsip-
prinsip kunci harus diturunkan atas dasar data dan analisisnya. Prinsip-prinsip ini
harus dihubungkan dengan konsep-konsep teoritis yang ada.
4. Penutup pengalaman.
Suatu penutupan formal atas latihan harus dilakukan ádalah meninggalkan pada
para peserta dengan rasa puas dan berani melakukan eksplorasi ke depan.

PENUTUP
Pendidikan partisipatif, atau teknik partisipatif, ádalah sebuah upaya pendidik untuk
mengikut sertakan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran yaitu dalam tahap
perencanaan program, pelaksanaan program dan penilaian program. Pembelajaran
partisipatif dilandasi oleh suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya
memiliki pengalaman yang cukup kaya – untuk bisa diolah menjadi bahan
pembelajaran. Pendidikan partisipatif, tentu bukan sekedar teknik, melainkan statu
pendekatan atau bahkan paradigma baru yang meninggalkan paradigma lama yang
bersifat sistem bank.
Mengubah paradigma tentu bukan sebuah pekerjaan yang mudah. Masalah ini tentu
tidak bisa diselesaikan dalam waktu yang singkat. Kita membutuhkan suatu langkah
yang sistematis, massal dan terus menerus. Pendidikan partisipatif memiliki maksud
dasar untuk mengubah pola hubungan yang ada antara peserta didik dengan
pendidik (sumber relajar). Para guru harus bersedia mengakui bahwa pihaknya juga
memerlukan belajar dari muridnya (warga relajar) dan demikian pula sebaliknya.
Kebutuhan ini, sudah tentu sangat sulit bisa diharapkan berkembang dalam waktu
dekat. Guru sebagai fasilitator dituntut untuk mengubah diri, demikian juga peserta
didik. Inilah yang dikatakan bahwa perubahan paradigma tidak bisa dilakukan dalam
jangka dekat. Salah satu proses penting yang layak dilalui ádalah adanya
pembaharuan model-model pendidikan. Pembaharuan dalam model ini tidak hanya
hendak mengoreksi cara mengajar, tetapi juga mengoreksi keseluruhan proses
pembelajaran. Kesemuanya ini menuntut adanya kesediaan semua pihak untuk
bersedia mengubah atau mentrasformasi pandangannya mengenai pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

D. Sudjana. 1993. Metode dan Teknik Pembelajaran Partisipatif Dalam Pendidikan


Luar Sekolah, Bandung: Nusantara Press.
E.A Locke & Associates. 2002. Essensi Kepemimpinan : Empat Kunci Untk Memimpin
Dengan Penuh Keberhasilan, Jakarta: Spektrum.
Knowles, M. 1975. Self Directed Learning. Chicago : Follet Publishing Company.
M. Knowles, Informal Adult Education, New York: Association Publishing Company.
Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan
Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Robert K. Cooper dan Sawaf. 2002. Kecerdasan Emosional Dalam Kepemimpinan
dan Organisasi, Jakarta: Gramedia, 2002.
S. Trisnamansyah. 1993. Perkembangan Pendidikan luar Sekolah dan Upaya
Mempersiapkan Pelaksanaan Wajib Belajar Dasar Sembilan Tahun, Bandung: IKIP.
Sudjana. 2000. Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Luar Sekolah dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Penerbit Falah Production.
http://anakciremai.blogspot.com/2008/09/makalah-ilmu-pendidikan-tentang-
model.html
http://www.sampoernafoundation.org/content/view/567/48/1/1/lang,id/
http://blog.uny.ac.id/yoyonsuryono/makalah/

Pembelajaran Berbasis Proyek: Model Potensial untuk Peningkatan


Mutu Pembelajaran

{ September 23, 2007 @ 2:50 pm } · { Blogroll }

Pembelajaran Berbasis Proyek:


Model Potensial untuk Peningkatan Mutu Pembelajaran

Waras Khamdi

Abstract: The aim of this paper is to highlight some of attempts at integrating


Project-Based Learning approach into the practice of teaching and learning in
engineering and vocational education. There are at least five criteria to capture the
uniqueness of Project-Based Learning, in attempting to describe the difference
between Project-Based Learning and prior models that involved projects. The five
criteria are centrality, driving question or problem, constructive investigations,
autonomy, and realism. Benefits attributed to Project-Based Learning include:
increased motivation, problem-solving ability, decision-making skills, collaboration,
and resource-management skills.

Kata kunci: belajar berbasis proyek, otentik, konstruktivistik, kontekstual, kolaboratif

Dalam konteks peradaban makro, sekarang umat manusia sedang memasuki Abad
Pengetahuan dan perlahan meninggalkan Abad Industrial. Atas dasar analisisnya
terhadap empat program pendidikan yang berhasil mengembangkan keterampilan
yang dibutuhkan pada Abad Pengetahuan, Trilling dan Hood (1999) membuat daftar
perbandingan karakteristik umum model pembelajaran Abad Pengetahuan yang
dijelang umat manusia dan Abad Industrial yang telah ditinggalkan umat manusia
(Tabel 1). Perbandingan ini merefleksikan pandangan filosofis tentang teknologi
(pendidikan), terutama antara pandangan moderen dan pandangan transformatif.

Tabel 1. Pembelajaran Abad Pengetahuan versus Abad Industrial

ABAD INDUSTRIAL ABAD PENGETAHUAN


Teacher-as-Director Teacher-as-Facilitator, Guide, Consultant
Teacher-as-Knowledge Source Teacher-as-Co-learner
Curriculum-directed Learning Student-directed Learning
Time-slotted, Rigidly Scheduled Learning Open, Flexible, On-demand Learning
Primarily Fact-based Primarily Project-& Problem-based
Theoretical, Abstract Real-world, concrete
Principles & Survey Actions & Reflections
Drill & Practice Inquiry & Design
Rules & Procedures Discovery & Invention
Competitive Collaborative
Classroom-focused Community-focused
Prescribed Results Open-ended Results
Conform to Norm Creative Diversity
Computers-as-Subject of Study Computers-as-Tool for all Learning
Static Media Presentations Dynamic Multimedia Interactions
Classroom-bounded Communication Worldwide-unbounded Communication
Test-assessed by Norms Performance-assessed by Expert, Mentors, Peers & Self

Berdasarkan Tabel 1 tersebut setidak-tidaknya dapat diambil kesimpulan sebagai


berikut. Pertama, terlihat jelas bahwa pergeseran paradigma pembelajaran telah
terjadi dalam praktik kependidikan. Banyak praktik pendidikan yang dianggap
mengutungkan pada abad industrial, seperti belajar fakta, tubian (drill) dan praktik,
hukum dan prosedur digantikan belajar dalam konteks dunia nyata, otentik melalui
problem dan proyek, inkuiri, penemuan, dan invensi dalam praktik abad
pengetahuan. Kedua, kita akan membayangkan betapa sulitnya mencapai
perubahan yang sistematik ketika di lingkungan pendidikan kita masih teramat
kental dengan kebiasaan praktik pendidikan di abad industrial, seperti belajar masih
dikonsepsikan sebagai penyerapan fakta, belajar efektif dilakukan dengan drill, dst.
Ketiga, semakin jelas bahwa teknologi komunikasi dan informasi adalah katalis
penting untuk gerakan kita menuju metode belajar di Abad Pengetahuan. Keempat,
paradigma baru dalam belajar ini menggelar tantangan yang luar biasa besar dan
peluang untuk pengembangan professional, baik preservice maupun inservice, bagi
guru-guru kita. Dalam banyak hal, redifinisi profesi pengajaran/pembelajaran dan
peranan guru memainkan peranan penting dalam proses belajar.
Kini, para peneliti pembelajaran berargumen tentang lingkungan belajar dalam
konteks yang kaya (rich environment). Pengetahuan dan keterampilan yang kokoh
dan bermakna-guna (meaningful-use) dapat dikonstruk melalui tugas-tugas dan
pekerjaan yang otentik (CORD, 2001, Hung & Wong, 2000; Myers & Botti, 2000, ED,
1995; Marzano, 1992). Keotentikan kegiatan kurikuler terdukung oleh proses
kegiatan perencanaan (designing) atau investigasi yang open-ended, dengan hasil
atau jawaban yang tidak ditetapkan sebelumnya oleh perspektif tertentu. Pebelajar
dapat didorong dalam proses membangun pengetahuan melalui pengalaman dunia
nyata dan negosiasi kognitif antarpersonal yang berlangsung di dalam suasana kerja
kolaboratif.
Kerja proyek dapat dilihat sebagai bentuk open-ended contextual activity-based
learning, dan merupakan bagian dari proses pembelajaran yang memberikan
penekanan kuat pada pemecahan masalah sebagai suatu usaha kolaboratif
(Richmond & Striley, 1996), yang dilakukan dalam proses pembelajaran dalam
periode tertentu (Hung & Wong, 2000). Blumenfeld et.al. (1991) mendiskripsikan
model belajar berbasis proyek (project-based learning) berpusat pada proses relatif
berjangka waktu, berfokus pada masalah, unit pembelajaran bermakna dengan
mengitegrasikan konsep-konsep dari sejumlah komponen pengetahuan, atau
disiplin, atau lapangan studi.
Ketika siswa bekerja di dalam tim, mereka menemukan keterampilan merencanakan,
mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu tugas yang
akan dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan bagaimana
informasi akan dikumpulkan dan disajikan. Keterampilan-keterampilan yang telah
diidentifikasi oleh siswa ini merupakan keterampilan yang amat penting untuk
keberhasilan hidupnya, dan sebagai tenaga kerja merupakan keterampilan yang
amat penting di tempat kerja kelak. Karena hakikat kerja proyek adalah kolaboratif,
maka pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di antara siswa. Di dalam
kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar yang diacu
memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan.

MENGAPA PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK?


Herchbach (1999) menegaskan, sekurang-kurangnya terdapat tiga tantangan yang
harus dihadapi agar pendidikan teknologi terus memainkan peran pendidikan yang
signifikan di abad akan datang. Pertama, dan paling penting, pendidikan teknologi
harus berfokus pada bagaimana yang terbaik dapat melayani pebelajar. Sedikit
waktu harus disisihkan untuk memikirkan tentang teknologi itu sendiri, dan lebih
memperhatikan harapan atau kebutuhan orangtua dan pebelajar dari lapangan dan
bagaimana kita dapat menerjemahkan harapan ini ke dalam program pendidikan
teknologi yang konkret dan dekat dengan kehidupan mereka.
Kedua, lingkungan juga harus memberi peluang pendidikan yang terbaik. Pendidikan
teknologi yang terbaik dapat disusun secara interdisipliner, lingkungan belajar
berbasis aktivitas yang memberi peluang pebelajar menerapkan pengetahuan untuk
memecahkan masalah-masalah praktis dan teknologis. Kata-kata interdisipliner dan
aktivitas perlu ditekankan. Barangkali di dalam lapangan atau subject matter yang
lain tidak menjadi tekanan, akan tetapi dalam pendidikan teknologi, interdisipliner
dan berbasis aktivitas itu memberi peluang bagi pebelajar untuk mengintegrasikan
pengetahuan dari lapangan studi lain yang berhubungan. Hal ini juga berarti
menempatkan kegiatan belajar pebelajar di dalam konteks dunia nyata.
Ketiga, penting membangun dukungan di dalam komunitas kependidikan yang lebih
besar tentang pentingnya pendidikan teknologi sebagai bagian bangunan
kependidikan. Pendidikan teknologi adalah komponen integral yang penting di dalam
dunia kependidikan secara menyeluruh.
Oleh karena itu, Householder (1999) menegaskan pendidikan teknologi harus: (1)
memperluas landasan intelektual yang melatarbelakangi desain, manufaktur,
konstruksi, komunikasi, transportasi, engineering, dan arsitektur yang memenuhi
ruang teknik-teknik pengendalian alam dan dunia buatan manusia; (2) menjelaskan
secara detail praktik dan body of technological knowledge agar mudah dikenali dan
sebagai basis sumber perencanaan pembelajaran; (3) menyusun strategi
pengembangan kurikulum yang komprehensif dan unik mengintegrasikan praktik
dan pengetahuan dengan pemahaman kontemporer cara-cara pebelajar
memperoleh pengetahuan dan keterampilan; (4) mengekplorasi perbedaan
individual dan kelompok, sehingga program yang tepat mungkin didesain secara
integral dengan kerangka kultural dan individual mereka; dan (5) mengkaji
kontribusi studi di bidang teknologi di dalam dan di atas masyarakat kontemporer
dengan visi yang jelas dan kritis untuk mencapai kualitas hidup generasi masadepan.
Berdasarkan penekanan-penekanan Herchbach, dan Householder di atas, maka
prospek masa depan pendidikan teknologi ini memunculkan orientasi yang makin
kuat pada banyaknya tujuan pendidikan berfokus pada pengembangan untuk hidup
orang dewasa khususnya penyiapan salah satu aktivitas universisal orang dewasa,
yaitu kerja. Kerja, baik digaji maupun tidak digaji, terjadi di tempat kerja, rumah,
dan masyarakat umum. Banyak kurikulum sekolah didesain untuk menyiapkan
orang-orang muda untuk bekerja, dan seringkali dengan justifikasi subject matter
ekonomi.
Di sisi lain, sekarang mulai banyak tempat kerja yang memberlakukan pekerja
temporer atau pekerja kontrak, dan akan lebih banyak pengalaman berhenti dari
pekerjaan yang satu dan ganti pekerjaan lain sebagai bagian dari karier pekerja.
Majikan tidak lagi diikat dengan tuntutan peningkatan karier pekerja, dan tidak akan
menanggung jaminan hari tua, pensiun, dan tunjangan kesehatan (Bjorkquist,
1999). Hal ini menggambarkan mobilitas pasar kerja yang makin tinggi. Kemampuan
diskoveri, eksplorasi, dan pengembangan kecerdasan menjadi realistis di dalam
kelas di mana teknologi berbasis mesin dan peralatan diajarkan. Banyak pelajaran
teknologi akan penting secara ekonomik dan memperluas kepiawaian individu dalam
kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran Berbasis Proyek dipandang tepat sebagai satu model untuk pendidikan
teknologi untuk merespon isu-isu peningkatan kualitas pendidikan teknologi dan
perubahan-perubahan besar yang terjadi di dunia kerja. Project-Based Learning
adalah model pembelajaran yang berfokus pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip
utama (central) dari suatu disiplin, melibatkan siswa dalam kegiatan pemecahan
masalah dan tugas-tugas bermakna lainya, memberi peluang siswa bekerja secara
otonom mengkonstruk belajar mereka sendiri, dan puncaknya menghasilkan produk
karya siswa bernilai, dan realistik (BIE, 2001). Berbeda dengan model-model
pembelajaran tradisional yang umumnya bercirikan praktik kelas yang berdurasi
pendek, terisolasi/lepas-lepas, dan aktivitas pembelajaran berpusat pada guru;
model Project-Based Learning menekankan kegiatan belajar yang relatif berdurasi
panjang, holistik-interdisipliner, perpusat pada siswa, dan terintegrasi dengan praktik
dan isu-isu dunia nyata.

ADAPTASI MODEL PROBLEM-BASED LEARNING DALAM PENDIDIKAN MEDIS


Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek (project-based learning) ini merupakan
adaptasi dari pendekatan pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning)
yang awalnya berakar pada pendidikan medis (kedokteran). Pendidikan medis
menaruh perhatian besar terhadap fenomena praktisi medis muda yang memiliki
pengetahuan faktual cukup tetapi gagal menggunakan pengetahuannya saat
menangani pasien sungguhan (Maxwell, Bellisimo, & Mergendoller, 1999). Setelah
melakukan pengkajian bagaimana tenaga medis dididik, pendidikan medis
mengembangkan program pembelajaran yang men-cemplung-kan siswa ke dalam
skenario penanganan pasien baik simulatif ataupun sungguhan. Proses ini kemudian
dikenal sebagai pendekatan problem-based learning. Kini, problem-based learning
diterapkan secara luas pada pendidikan medis di negara-negara maju.
Karakteristik permasalahan pada pendidikan medis tersebut mirip dengan
permasalahan pada pendidikan teknologi dan kejuruan. Tamatan pendidikan
teknologi (dan kejuruan) belum siap memasuki lapangan kerja atau bahkan gagal di
tempat kerja, meskipun pengetahuan faktual telah cukup diperoleh di sekolah.
Berdasarkan pengalaman pada pendidikan medis, pendekatan problem-based
learning diadaptasi menjadi model project-based learning untuk pendidikan teknologi
dan kejuruan, terutama program kompetensi produktif. Keduanya menekankan
lingkungan belajar siswa aktif, kerja kelompok (kolaboratif), dan teknik evaluasi
otentik (authentic assessment). Perbedaannya terletak pada perbedaan objek. Kalau
dalam problem-based learning pebelajar lebih didorong dalam kegiatan yang
memerlukan perumusan masalah, pengumpulan data, dan analisis data
(berhubungan dengan proses diagnosis pasien); maka dalam project-based learning
pebelajar lebih didorong pada kegiatan desain: merumuskan job, merancang
(designing), mengkalkulasi, melaksanakan pekerjaan, dan mengevaluasi hasil.
Seperti didefinisikan oleh Buck Institute fo Education (1999), bahwa belajar berbasis
proyek memiliki karakteristik: (a) pebelajar membuat keputusan, dan membuat
kerangka kerja, (b) terdapat masalah yang pemecahannya tidak ditentukan
sebelumnya, (c) pebelajar merancang proses untuk mencapai hasil, (d) pebelajar
bertanggungjawab untuk mendapatkan dan mengelola informasi yang dikumpulkan,
(e) melakukan evaluasi secara kontinu, (f) pebelajar secara teratur melihat kembali
apa yang mereka kerjakan, (g) hasil akhir berupa produk dan dievaluasi kualitasnya,
dan (i) kelas memiliki atmosfer yang memberi toleransi kesalahan dan perubahan.
Kebalikan dari pendekatan tradisional yang umumnya bercirikan apprenticeship, ciri
khas strategi Pembelajaran Berbasis Proyek bersifat kolaboratif (Hung & Chen, 2000;
Hung & Wong, 2000). Kegiatan pembelajaran seperti tersebut mendukung proses
konstruksi pengetahuan dan pengembangan kompetensi produktif pebelajar yang
secara aktual muncul dalam bentuk-bentuk keterampilan okupasional/teknikal
(technical skills), dan keterampilan emploiabiliti sebagai pekerja yang baik
(employability skills). Kegiatan ini berbasis pada konteks kehidupan sehari-hari
pebelajar, baik fisik maupun sosial.
DUKUNGAN TEORETIS PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK
Secara teoretik dan konseptual, pendekatan belajar berbasis proyek ini juga
didukung oleh teori aktivitas (Hung dan Wong, 2000; Activity Theory, [Online]) yang
menyatakan bahwa struktur dasar suatu kegiatan terdiri atas: (a) tujuan yang ingin
dicapai dengan (b) subjek yang berada di dalam konteks (c) suatu masyarakat di
mana pekerjaan itu dilakukan dengan perantaraan (d) alat-alat, (e) peraturan kerja,
dan (f) pembagian tugas (periksa, Gambar 1). Dalam penerapannya di kelas
bertumpu pada kegiatan belajar yang lebih menekankan pada kegiatan aktif dalam
bentuk melakukan sesuatu (doing) daripada kegiatan pasif “menerima” transfer
pengetahuan dari pengajar.

Alat

Subjek Objek Hasil

Aturan Masyarakat Pembagian Tugas

Gambar 1. Proses dalam Teori Aktivitas

Pendekatan pembelajaran berbasis proyek juga didukung teori belajar


konstruktivistik. Konstruktivisme adalah teori belajar yang mendapat dukungan luas
yang bersandar pada ide bahwa siswa membangun pengetahuannya sendiri di
dalam konteks pengalamannya sendiri (Murphy, 1997, [Online]). Pendekatan
Pembelajaran Berbasis Proyek dapat dipandang sebagai salah satu pendekatan
penciptaan lingkungan belajar yang dapat mendorong siswa mengkonstruk
pengetahuan dan keterampilan secara personal. Tatkala pendekatan proyek ini
dilakukan dalam modus belajar kolaboratif dalam kelompok kecil siswa, pendekatan
ini juga mendapat dukungan teoretik yang bersumber dari konstruktivisme sosial
Vygotsky yang memberikan landasan pengembangan kognitif melalui peningkatan
intensitas interaksi antarpersonal (Vygotsky, 1978; Davydov, 1995, Moore, 1999).
Adanya peluang untuk menyampaikan ide, mendengarkan ide-ide orang lain, dan
merefleksikan ide sendiri pada ide-ide orang lain, adalah suatu bentuk pengalaman
pemberdayaan individu. Proses interaktif dengan kawan sejawat itu membantu
proses konstruksi pengetahuan (meaning-making process). Dalam pandangan ini
transaksi sosial memainkan peranan sangat penting dalam pembentukan kognisi
(Richmond & Striley, 1996). Proses negosiasi kognitif interpersonal sebagai bentuk
dari pengajuan gagasan, debat, dan menerima atau menolak selama proses interaksi
dengan kawan sejawat memungkinkan perluasan dan penghalusan pengetahuan
dan keterampilan. Dari perspektif teoretik ini, pendekatan belajar berbasis proyek ini
memberikan alternatif lingkungan belajar otentik di mana pembelajar dapat
membantu memudahkan siswa meningkatkan keterampilan mereka di dalam bekerja
dan pemecahan masalah secara kolaboratif. Sebagai pendekatan pembelajaran baru,
Pembelajaran Berbasis Proyek potensial berhasil memperbaiki praktik pembelajaran
pada pendidikan teknologi (dan kejuruan).
Pendekatan belajar berbasis proyek (project-based learning) memiliki potensi yang
besar untuk membuat pengalaman belajar yang menarik dan bermakna bagi
pebelajar dewasa untuk memasuki lapangan kerja. Menurut pengalaman Gaer
(1998), di dalam project-based learning yang diterapkan untuk mengembangkan
kompetensi para pekerja perusahaan, peserta pelatihan menjadi lebih aktif di dalam
belajar mereka, dan banyak keterampilan tempatkerja yang berhasil dibangun dari
proyek di dalam kelasnya, seperti keterampilan membangun tim, membuat
keputusan kooperatif, pemecahan masalah kelompok, dan pengelolaan tim.
Keterampilan-keterampilan tersebut besar nilainya di tempat kerja dan merupakan
keterampilan yang sukar diajarkan melalui pembelajaran tradisional. Hasil penelitian
Departemen Pendidikan Amerika Serikat (ED) menunjukkan hal yang sama. Hasil
kajian lintas daerah yang dilakukannya menunjukkan bahwa tugas-tugas yang
dijalankan dalam bentuk kegiatan yang menantang dan mengesankan pada diri
pebelajar memiliki pengaruh positif terhadap motivasi, pemahaman, dan unjuk kerja
pebelajar (ED, 1995). Potensi keefektifan belajar berbasis proyek ini juga didukung
oleh temuan-temuan penelitian belajar kolaboratif yang terbukti dapat meningkatkan
pencapaian prestasi akademik, berpikir tingkat tinggi dan keterampilan berpikir kritis
yang lebih baik, kemampuan memandang situasi dari perspektif lain yang lebih baik,
pemahaman yang mendalam terhadap bahan belajar, lebih bersikap positif terhadap
bidang studi, hubungan yang lebih positif dan suportif dengan kawan sejawat, dan
meningkatkan motivasi belajar (Thomas, 2000; Johnson, Johnson, & Stanne, 2000;
Kaufman, Felder & Fuller, 2000; Haller, Gallagher, Weldon, & Felder, 2000; Shia,
Howard & McGee, 1998; Felder & Brent, 1996).

KONSEP DAN KARAKTERISTIK PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK


Pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) adalah sebuah model atau
pendekatan pembelajaran yang inovatif, yang menekankan belajar kontekstual
melalui kegiatan-kegiatan yang kompleks (CORD, 2001; Thomas, Mergendoller, &
Michaelson, 1999; Moss, Van-Duzer, Carol, 1998). Fokus pembelajaran terletak pada
konsep-konsep dan prinsip-prinsip inti dari suatu disiplin studi, melibatkan pebelajar
dalam investigasi pemecahan masalah dan kegiatan tugas-tugas bermakna yang
lain, memberi kesempatan pebelajar bekerja secara otonom mengkonstruk
pengetahuan mereka sendiri, dan mencapai puncaknya menghasilkan produk nyata
(Thomas, 2000).
Biasanya memerlukan beberapa tahapan dan beberapa durasi — tidak sekedar
merupakan rangkaian pertemuan kelas— serta belajar kelompok kolaboratif. Proyek
memfokuskan pada pengembangan produk atau unjuk kerja (performance), yang
secara umum pebelajar melakukan kegiatan: mengorganisasi kegiatan belajar
kelompok mereka, melakukan pengkajian atau penelitian, memecahkan masalah,
dan mensintesis informasi. Proyek seringkali bersifat interdisipliner. Misalnya, suatu
proyek merancang draft untuk bangunan struktur (konstruksi bangunan tertentu)
melibatkan pebelajar dalam kegiatan investigasi pengaruh lingkungan, pembuatan
dokumen proses pembangunan, dan mengembangkan lembar kerja, yang akan
meliputi penggunaan konsep dan keterampilan yang digambarkan dari matakuliah
matematika, drafting dan/atau desain, lingkungan dan kesehatan kerja, dan
mungkin perdagangan bahan dan bangunan. Menurut Alamaki (1999, Online),
proyek selain dilakukan secara kolaboratif juga harus bersifat inovatif, unik, dan
berfokus pada pemecahan masalah yang berhubungan dengan kehidupan pebelajar
atau kebutuhan masyarakat atau industri lokal.
Pembelajaran Berbasis Proyek memiliki potensi yang amat besar untuk membuat
pengalaman belajar yang lebih menarik dan bermakna untuk pebelajar usia dewasa,
seperti siswa, apakah mereka sedang belajar di perguruan tinggi maupun pelatihan
transisional untuk memasuki lapangan kerja (Gaer, 1998). Di dalam Pembelajaran
Berbasis Proyek, pebelajar menjadi terdorong lebih aktif di dalam belajar mereka,
instruktur berposisi di belakang dan pebelajar berinisiatif, instruktur memberi
kemudahan dan mengevaluasi proyek baik kebermaknaannya maupun
penerapannya untuk kehidupan mereka sehari-hari. Produk yang dibuat pebelajar
selama proyek memberikan hasil yang secara otentik dapat diukur oleh guru atau
instruktur di dalam pembelajarannya. Oleh karena itu, di dalam Pembelajaran
Berbasis Proyek, guru atau instruktur tidak lebih aktif dan melatih secara langsung,
akan tetapi instruktur menjadi pendamping, fasilitator, dan memahami pikiran
pebelajar.
Proyek pebelajar dapat disiapkan dalam kolaborasi dengan instruktur tunggal atau
instruktur ganda, sedangkan pebelajar belajar di dalam kelompok kolaboratif antara
4—5 orang. Ketika pebelajar bekerja di dalam tim, mereka menemukan keterampilan
merencanakan, mengorganisasi, negosiasi, dan membuat konsensus tentang isu-isu
tugas yang akan dikerjakan, siapa yang bertanggungjawab untuk setiap tugas, dan
bagaimana informasi akan dikumpulkan dan disajikan. Keterampilan-keterampilan
yang telah diidentifikasi oleh pebelajar ini merupakan keterampilan yang amat
penting untuk keberhasilan hidupnya, dan sebagai tenaga kerja merupakan
keterampilan yang amat penting di tempat kerja. Karena hakikat kerja proyek adalah
kolaboratif, maka pengembangan keterampilan tersebut berlangsung di antara
pebelajar. Di dalam kerja kelompok suatu proyek, kekuatan individu dan cara belajar
yang diacu memperkuat kerja tim sebagai suatu keseluruhan.
Oakey (1998) mempertegas konsep dan karakteristik project-based learning dengan
membedakannya dengan problem based learning yang seringkali saling
dipertukarkan dalam penggunaan istilah ini. Istilah project-based learning dan
problem-based larning masing-masing digunakan untuk menyatakan strategi
pembelajaran. Kemiripan konsep kedua pendekatan pembelajaran itu, dan
penggunaan singkatan yang sama, PBL, menghasilkan kerancuan di dalam leteratur
dan penelitian (lihat juga Thomas, 2000), meskipun sebenarnya di antara keduanya
berbeda.
Project-based learning dan problem-based learning memiliki beberapa kesamaan
karakteristik. Keduanya adalah strategi pembelajaran yang dimaksudkan untuk
melibatkan pebelajar di dalam tugas-tugas otentik dan dunia nyata agar dapat
memperluas belajar mereka. Pebelajar diberi tugas proyek atau problem yang open-
ended dengan lebih dari satu pendekatan atau jawaban, yang mensimulasikan
situasi profesional. Kedua pendekatan ini juga didefinisikan sebagai student-
centered, dan menempatkan peranan guru sebagai fasilitator. Pebelajar dilibatkan
dalam project- atau problem- based learning yang secara umum bekerja di dalam
kelompok secara kolaboratif, dan didorong mencari berbagai sumber informasi yang
berhubungan dengan proyek atau problem yang dikerjakan. Pendekatan ini
menekankan pengukuran hasil belajar otentik dan dengan basis unjuk kerja
(performance-based assessment).
Meskipun banyak kemiripan, project- dan problem-based learning bukan pendekatan
yang identik. Project-based learning secara khusus dimulai dengan produk akhir atau
“artifact”di dalam pikiran, produksi tentang sesuatu yang memerlukan keterampilan
atau pengetahuan isi tertentu yang secara khusus mengajukan satu atau lebih
problem yang harus dipecahkan oleh pebelajar. Pendekatan pembelajaran berbasis
proyek menggunakan model produksi: Pertama, pebelajar menetapkan tujuan untuk
pembuatan produk akhir dan mengidentifikasi audien mereka. Mereka mengkaji
topik mereka, mendesain produk, dan membuat perencanaan manajemen proyek.
Pebelajar kemudian memulai proyek, memecahkan masalah dan isu-isu yang timbul
dalam produksi, dan menyelesaikan produk mereka. Pebelajar mungkin
menggunakan atau menyajikan produk yang mereka buat, dan idealnya mereka
diberi waktu untuk mengevaluasi hasil kerja mereka (Moursund, Bielefeldt, &
Underwood, 1997; Oakey, 1998). Proses belajarnya berlangsung otentik,
mencerminkan kegiatan produksi dunia nyata, dan konstruktivistik, menggunakan
pendekatan dan ide-ide pebelajar untuk menyelesaikan tugas yang mereka tangani.
Tidak semua kegiatan belajar aktif dan melibatkan proyek dapat disebut
Pembelajaran Berbasis Proyek. Berangkat dari pertanyaan “apa yang harus dimiliki
proyek agar dapat digolongkan sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek,” dan
keunikan Pembelajaran Berbasis Proyek yang ditemukan dari sejumlah leteratur dan
hasil penelitian, Thomas (2000) menetapkan lima kriteria apakah suatu
pembelajaran berproyek termasuk sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Lima
kriteria itu adalah keterpusatan (centrality), berfokus pada pertanyaan atau masalah,
investigasi konstruktif atau desain, otonomi pebelajar, dan realisme.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah pusat atau inti kurikulum, bukan
pelengkap kurikulum. Di dalam Pembelajaran Berbasis Proyek, proyek adalah
strategi pembelajaran; pebelajar mengalami dan belajar konsep-konsep inti suatu
disiplin ilmu melalui proyek. Ada kerja proyek yang mengikuti pembelajaran
tradisional dengan cara proyek tersebut memberi ilustrasi, contoh, praktik
tambahan, atau aplikasi praktik yang diajarkan sebelumnya dengan maksud lain.
Akan tetapi, menurut kriteria di atas, aplikasi proyek tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai Pembelajaran Berbasis Proyek. Kegiatan proyek yang
dimaksudkan untuk pengayaan di luar kurikulum juga tidak termasuk Pembelajaran
Berbasis Proyek.
Proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek adalah terfokus pada pertanyaan atau
masalah, yang mendorong pebelajar menjalani (dengan kerja keras) konsep-konsep
dan prinsip-prinsip inti atau pokok dari disiplin. Kriteria ini sangat halus dan agak
susah diraba. Difinisi proyek (bagi pebelajar) harus dibuat sedemikian rupa agar
terjalin hubungan antara aktivitas dan pengetahuan konseptual yang melatarinya
yang diharapkan dapat berkembang menjadi lebih luas dan mendalam (Baron,
Schwartz, Vye, Moore, Petrosino, Zech, Bransford, & The Cognition and Technology
Group at Vanderbilt, 1998). Biasanya dilakukan dengan pengajuan pertanyaan-
pertanyaan atau ill-defined problem (Thomas, 2000). Proyek dalam Pembelajaran
Berbasis Proyek mungkin dibangun di sekitar unit tematik, atau gabungan
(intersection) topik-topik dari dua atau lebih disiplin, tetapi itu belum sepenuhnya
dapat dikatakan sebuah proyek. Pertanyaan-pertanyaan yang mengejar pebelajar,
sepadan dengan aktivitas, produk, dan unjuk kerja yang mengisi waktu mereka,
harus digubah (orchestrated) dalam tugas yang bertujuan intelektual (Blumenfeld, et
al., 1991).
Proyek melibatkan pebelajar dalam investigasi konstruktif. Investigasi mungkin
berupa proses desain, pengambilan keputusan, penemuan masalah, pemecahan
masalah, diskoveri, atau proses pembangunan model. Akan tetapi, agar dapat
disebut proyek memenuhi kriteria Pembelajaran Berbasis Proyek, aktivitas inti dari
proyek itu harus meliputi transformasi dan konstruksi pengetahuan (dengan
pengertian: pemahaman baru, atau keterampilan baru) pada pihak pebelajar
(Bereiter & Scardamalia, 1999). Jika pusat atau inti kegiatan proyek tidak
menyajikan “tingkat kesulitan” bagi anak, atau dapat dilakukan dengan penerapan
informasi atau keterampilan yang siap dipelajari, proyek yang dimaksud adalah tak
lebih dari sebuah latihan, dan bukan proyek Pembelajaran Berbasis Proyek yang
dimaksud. Membersihkan peralatan laboratorium mungkin sebuah proyek, akan
tetapi mungkin bukan proyek dalam Pembelajaran Berbasis Proyek.
Proyek mendorong pebelajar sampai pada tingkat yang signifikan. Proyek dalam
Pembelajaran Berbasis Proyek bukanlah ciptaan guru, tertuliskan dalam naskah, atau
terpaketkan. Latihan laboratorium bukanlah contoh Pembelajaran Berbasis Proyek,
kecuali jika berfokus pada masalah dan merupakan inti pada kurikulum. Proyek
dalam Pembelajaran Berbasis Proyek tidak berakhir pada hasil yang telah ditetapkan
sebelumnya atau mengambil jalur (prosedur) yang telah ditetapkan sebelumnya.
Proyek Pembelajaran Berbasis Proyek lebih mengutamakan otonomi, pilihan, waktu
kerja yang tidak bersifat rigid, dan tanggung jawab pebelajar daripada proyek
trandisional dan pembelajaran tradisoonal.
Proyek adalah realistik. Karakteristik proyek memberikan keontentikan pada
pebelajar. Karakteristik ini boleh jadi meliputi topik, tugas, peranan yang dimainkan
pebelajar, konteks dimana kerja proyek dilakukan, kolaborator yang bekerja dengan
pebelajar dalam proyek, produk yang dihasilkan, audien bagi produk-produk proyek,
atau kriteria di mana produk-produk atau unjuk kerja dinilai. Pembelajaran Berbasis
Proyek melibatkan tantangan-tantangan kehidupan nyata, berfokus pada pertanyaan
atau masalah otentik (bukan simulatif), dan pemecahannya berpotensi untuk
diterapkan di lapangan yang sesungguhnya.
Pembelajaran berbasis proyek bisa menjadi bersifat revolusioner di dalam isu
pembaruan pembelajaran. Proyek dapat mengubah hakikat hubungan antara guru
dan pebelajar. Proyek dapat mereduksi kompetisi di dalam kelas dan mengarahkan
pebelajar lebih kolaboratif daripada kerja sendiri-sendiri. Proyek juga dapat
menggeser fokus pembelajaran dari mengingat fakta ke eksplorasi ide. Beberapa
aspek yang membedakan pembelajaran Berbasis Proyek dengan pembelajaran
tradisional dideskripsikan oleh Thomas, Mergendoller, & Michaelson (1999)
sebagaimana dalam Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Perbedaan Pembelajaran Berbasis Proyek dan Pembelajaran Tradisional


ASPEK PENDIDIKAN PENEKANAN TRADISIONAL PENEKANAN BERBASIS PROYEK
Fokus kurikulum Cakupan isi Kedalaan pemahaman
Pengetahuan tentang fakta-fakta Penguasaan konsep-konsep dan prinsip-prinsip
Belajar keterampilan “building-block” dalam isolasi Pengembangan keterampilan
pemecahan masalah kompleks
Lingkup dan Urutan Mengikuti urutan kurikulum secara ketat Mengikuti minat
pebelajar
Berjalan dari blok ke blok atau unit ke unit Unit-unit besar terbentuk dari problem
Dan isu yang kompleks
Memusat, fokus berbasis disiplin Meluas, fokus interdisipliner
Peranan guru Penceramah dan direktur pembelajaran Penyedia sumber belajar dan
partisipan di dalam kegiatan belajar
Ahli Pembimbing/partner
Fokus pengukuran Produk Proses dan produk
Skor tes Pencapaian yang nyata
Membandingkan dengan yang lain Unjuk kerja standard dan kemajuan dari waktu ke
waktu
Reproduksi informasi Demonstrasi pemahaman
Bahan-bahan Pembelajaran Teks, ceramah, Dan presentasi Langsung sumber-
sumber asli: bahan-bahan tersectak, interviu, dokumen, dll.
Kegiatan dan lembar latihan dikembangkan guru Data dan bahan dikembangkan
oleh pebelajar
Penggunaan teknologi Penyokong, periferal Utama, integral
Dijalankan guru Diarahkan pebelajar
Kegunaan untuk perluasan presentasi guru Kegunaan untuk memperluas presentasi
pebelajar atau penguatan kemampuan pebelajar
Konteks kelas Pebelajar bekerja sendiri Pebelajar bekerja dalam kelompok
Pebelajar kompetisi satu dengan lainnya Pebelajar kolaboratif satu dengan lainnya
Pebelajar menerima informasi dari guru Pebelajar mengkonstruksi, berkontribusi,
dan melakukan sintesis informasi
Peranan pebelajar Menjalankan perintah guru Melakukan kegiatan belajar yang
diarahkan oleh diri sendiri
Pengingat dan pengulang fakta Pengkaji, integrator, dan penyaji ide
Pembelajar menerima dan menyelesaikan tugas-tugas laporan pendek Pebelajar
menentukan tugas mereka sendiri Dan bekerja secara independen dalam waktu
yang besar
Tujuan jangka pendek Pengetahuan tentang fakta, istilah, dan isi Pemahaman dan
aplikasi ide dan proses yang kompleks
Tujuan jangka panjang Luas pengetahuan Dalam pengetahuan
Lulusan yang memiliki pengetahuan yang berhasil pada tes standard pencapaian
belajar Lulusan yang berwatak dan terampil mengembangkan diri, mandiri, dan
belajar sepanjang hanyat.

KEUNTUNGAN PEMBELAJARAN BERBASIS PROYEK


Moursund, Bielefeldt, & Underwood (1997) meneliti sejumlah artikel tentang proyek
di kelas yang dapat dipertimbangkan sebagai bahan testimonial terhadap guru,
terutama bagaimana guru menggunakan proyek dan persepsi mereka tentang
bagaimana keberhasilannya. Atribut keuntungan dari Belajar Berbasis Proyek adalah
sebagai berikut:
1. Meningkatkan motivasi. Laporan-laporan tertulis tentang proyek itu banyak yang
mengatakan bahwa siswa suka tekun sampai kelewat batas waktu, berusaha keras
dalam mencapai proyek. Guru juga melaporkan pengembangan dalam kehadiran
dan berkurangnya keterlambatan. Siswa melaporkan bahwa belajar dalam proyek
lebih fun daripada komponen kurikulum yang lain.
2. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Penelitian pada pengembangan
keterampilan kognitif tingkat tinggi siswa menekankan perlunya bagi siswa untuk
terlibat di dalam tugas-tugas pemecahan masalah dan perlunya untuk pembelajaran
khusus pada bagaimana menemukan dan memecahkan masalah. Banyak sumber
yang mendiskripsikan lingkungan belajar berbasis proyek membuat siswa menjadi
lebih aktif dan berhasil memecahkan problem-problem yang kompleks.
3. Meningkatkan kolaborasi. Pentingnya kerja kelompok dalam proyek memerlukan
siswa mengembangkan dan mempraktikkan keterampilan komunikasi ( Johnson &
Johnson, 1989). Kelompok kerja kooperatif, evaluasi siswa, pertukaran informasi
online adalah aspek-aspek kolaboratif dari sebuah proyek. Teori-teori kognitif yang
baru dan konstruktivistik menegaskan bahwa belajar adalah fenomena sosial, dan
bahwa siswa akan belajar lebih di dalam lingkungan kolaboratif (Vygotsky, 1978;
Davidov, 1995).
4. Meningkatkan keterampilan mengelola sumber. Bagian dari menjadi siswa yang
independen adalah bertanggungjawab untuk menyelesaikan tugas yang kompleks.
Pembelajaran Berbais Proyek yang diimplementasikan secara baik memberikan
kepada siswa pembelajaran dan praktik dalam mengorganisasi proyek, dan
membuat alokasi waktu dan sumber-sumber lain seperti perlengkapan untuk
menyelesaikan tugas.

SIMPULAN
Memperhatikan karaktristik Pembelajaran Berbasis Proyek, dukungan teoretik, dan
reviu testimonial, maka model ini bisa menjadi komponen yang well-established
dalam sistem pendidikan kita. Model Pembelajaran Berbasis Proyek adalah
penggerak yang unggul untuk membatu siswa belajar melakukan tugas-tugas
otentik dan multidisipliner, mengelola bujet, menggunakan sumber-sumber yang
terbatas secara efektif, dan bekerja dengan orang lain. Ada bukti langsung maupun
tidak langsung, baik dari guru maupun siswa, bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek
menguntungkan dan efektif sebagai metode pembelajaran. Yang lebih penting, ada
beberapa bukti bahwa Pembelajaran Berbasis Proyek, dibandingkan dengan metode
pembelajaran yang lain, memiliki nilai tinggi dalam peningkata kualitas belajar siswa.

DAFTAR RUJUKAN
Alamaki, A. 1999. Current Trends in Technology Education in Finland. The Journal of
Technology Studies. Available on: Digital Library and Archives.
Barron, B.J., Schwartz, D.L., Vey, N.J., Moore, A., Petrosino, A., Zech, L., Bransford,
J. D., & The Cognition and Technology Group at Vanderbilt. 1998. Doing with
Understnading: Lessons from Research on Problem- and Project-Based Learning.
The Journal of the Learning Science, 7, 271—311.
Bereiter, C., & Scardamalia, M. 1999. Process and Product in PBL Research. Toronto:
University of Toronto.
Bjorkquist, D. 1999. Learner-Centered Education in Technology. Dalam Technology
Education in Prospect: Perceptions, Change, and the Survival of the Profession. The
Journal of Technology Studies. Digital Library and Archives.
Blumenfeld, P.C., E. Soloway, R.W. Marx, J.S. Krajcik, M. Guzdial, and A. Palincsar.
1991. Motivating Project-Based Learning: Sustaining the Doing, Supporting the
Learning. Educational Psychologist, 26(3&4), 369—398.
Buck Institutute for Education. 1999. Project-Based Learning.
http://www.bgsu.edu/organizations/etl/proj.html.
CORD, 2001. Contextual Learning Resource. http://www.cord.org/lev2.cfm/65.
Davydov, V.V. 1995. The Influence of L.S. Vygotsky on Education Theory, Research,
and Practice. Educational Researcher, 24(3), 12—21.
ED (U.S. Departmen of Education) 1995. Technology and Education Reform:
Technical Research Report, Volume 1: Findings and Conclusions. Capter 1.
http:www.ed.gov/pubs/SER/Technology/ch1.html.
Felder , R.M. & Brent, R. 1996. Navigating the Bumpy Road to Student-Centered
Instruction. College Teaching, 44, 43—47.
Gaer, S. 1998. What is Project-Based Learning?
http://members.aol.com/CulebraMom/pblprt.html.
Haller, C.R., Gallagher, V.J., & Weldon, T.L., Felder, R.M. 2000. Dynamics of Peer
Education in Cooperative Learning Workgroups. Journal of Engineering Education,
89(3), 285—293.
http://www2.ncsu.edu/unity/lochers/users/f/felder/public/Papers/Hallerpap.pdf.
Herschbach, D.R.1999. Looking Past 2000. Dalam Technology Education in Prospect:
Perceptions, Change, and the Survival of the Profession. The Journal of Technology
Studies. Digital Library and Archives.
Householder, D.L. 1999. View in Technology Education in Prospect: Perceptions,
Change, and the Survival of the Profession. The Journal of Technology Studies.
Digital Library and Archives.
Hung, D.W., & Chen, D.T. 2000. Appropriating and Negotiating Knowledge.
Educational Technology, 40(3), 29—32.
Hung, D.W., & Wong, A.F.L. 2000. Activity Theory as a Framework fo Project Work
in Learning Environments. Educational Technology, 40(2), 33—37.
Johnson, D.W., & Johnson, R.T. 1989. Social Skills for Successful Gorup Work.
Educational Leadership, 47(4), 29—33.
Johnson, D.W., Johnson, R.T. & Stanne, 2000. Cooperative Learning Methods: A
Meta-Analysis. http://www.clcrc.com/pages/cl-methods.html.
Kaufman, D.B., Felder, R.M. & Fuller, H. 2000. Accounting for Individual Effort in
Cooperative Learning Teams. Journal of Engineering Education, 89(2), 133—140.
Available on: http://www.ncsu.edu/unity/lochers/users/f/felder/public/RMF.html.
Marzano, R.J. 1992. A Different Kind of Classroom: Teaching with Dimensions of
Learning. Verginia: ASCD.
Maxwell, N.L., Bellisimo, Y. & Mergendoller, J. 1999. Problem-Based Learning:
Modifying the Medical School Model for Teaching High School Economics.
http://www.bie.org/pbl/overview/diffstraditional.html.
Mergendoller, J.R., & Thomas, J.W. 2000. Managing Project Based Learning:
Principles from the Field. Novato, CA: Buck Institute for Education.
Moore, D. 1999. Toward a Theory of Work-Based Learning. IEE Brief, 23 (January)
[Online].
Moss, D, & Van Duzer, C. 1998. Project-Based Learning for Adult English Language
Learners. ERIC Digest, ED427556. http://www.ed.gov/database/ERIC-
Digests/ed427556/html.
Moursund, D., Bielefeldt, T., Ricketts, R., & Underwood, S. 1995. Effect Practice:
Computer Technology in Education. Eugene, OR: ISTE.
Myers, R.J., & Botti, J.A. 2000. Exploring the Environment: Problem-Based Learning
in Action. http: www.cet.edu/research/conference.html.
Oakey, J. 1998. Project-Based and Problem-Based: The Same or Different?
http://pblmm.k12.us/PBLGuide/PBL&PBL.html
Richmond, G., & Striley, J. 1996. Making Meaning in Classrooms: Social Processes in
Small-Group Discourse and Scientific Knowledge Building. Journal of Research in
Science Teaching, 33(8), 839—858.
Rodriguez, H. 1998. Activity Theory and Cognitive Science. http://www.acm.org.
Shia, R.M., Howard, B.C., & McGee, S. 1998. Metacognition, Multiple Intelligence
and Cooperative Learning. http://www.cet.edu/research/student.html.
Thomas, J.W. 2000. A Review od Research on Project-Based Learning. California:
The Autodesk Foundation. Available on: http://www.autodesk.com/foundation.
Thomas, J.W., Margendoller, J.R., & Michaelson, A. 1999. Project-Based Learning: A.
Handbook for Middle and High School Teachers.
http://www.bgsu.edu/organizations/ctl/proj.html.
Trilling, B., & Hood, P. 1999. Learning, Technology, and Education Reform in the
Knowledge Age, or “We’re Wired, Webbed, and Windowed, Now What?”.
Educational Technology, Mey-Juni, 5—18.
Vygotsky, L.S. 1978. Mind in Scciety. Cambridge, MA: Harvard University Press.

PEMBELAJARAN APRESIASI PUISI DENGAN MENGGUNAKAN MEDIA FILM


SISWA KELAS X.1 SMA NEGERI .... TAHUN AJARAN....

BAB I
PENDAHULUAN

Proses pembelajaran bukan hanya sebagai sarana untuk memberikan pengetahuan


dan membina keterampilan tetapi meliputi pengembangan pengetahuan dan
keterampilan siswa yang menjadi subjek dalam pembelajaran. Dalam proses
pembelajaran guru menjadi faktor penting dalam memberikan keberhasilan
siswanya. Seorang guru harus mempunyai kemampuan untuk mengelola proses
pembelajaran agar lebih menarik, menyenangkan, dan bermanfaat bagi siswanya.
Agar proses pembelajaran dapat berhasil, seorang guru harus mampu menentukan
metode, strategi, dan media yang tepat dan sesuai untuk mencapai hasil belajar
mengajar yang maksimal. Hal itu merupakan bagian tugas keprofesionalan seorang
guru dalam melaksanakan tugasnya.

Dalam Undang-Undang nomor 14 tahun 2005, bab I pasal 1 ayat 1, menyatakan


guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Melalui peningkatan keprofesionalan, maka seorang guru diharapkan
mempunyai kualitas dalam melaksanakan tugasnya, sehingga mutu pendidikan
nasional dapat meningkat. Undang-undang Republik Indonesia tentang Guru dan
Dosen ditetapkan oleh pemerintah memiliki tujuan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan nasional, memberikan perlindungan dan
kesejahteraan, mengangkat citra, martabat, dan status sosial guru dan dosen
ditengah-tengah masyarakat di era global (Supratno, 2006:10).

Kurikulum Berbasis Kompetensi 2004 (Depdiknas, 2003:5) menyatakan bahwa


kemampuan bersastra mempunyai fungsi utama yaitu untuk penghalus budi,
peningkatan rasa kemanusiaan dan kepedulian sosial, penumbuhan apresiasi budaya
dan penyalur gagasan, imajinasi dan ekspresi secara kreatif dan konstruktif, baik
secara lisan maupun tertulis. Pembelajaran sastra terutama pada pembelajaran
apresiasi puisi ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis
puisi.
Tjahjono (2002:35) menyatakan bahwa menulis puisi merupakan kegiatan produksi
dalam apresiasi puisi. Mengajarkan puisi, dijumpai hambatan yaitu adanya anggapan
bahwa puisi sudah tidak ada gunanya lagi, dan adanya pandangan bahwa
mempelajari puisi sering tersandung pada ‘pengalaman pahit’. Pandangan semacam
ini yang menjadikan pembelajaran apresiasi puisi dianggap sebagai sesuatu yang
sulit terutama dalam keterampilan menulis puisi. Hal yang utama seseorang dalam
menulis puisi adalah menentukan tema kemudian mengembangkan dalam bentuk
puisi dengan menggunakan diksi dan amanat dalam puisi tersebut. Penggunaan diksi
yang ada dalam puisi merupakan salah satu bentuk ekspresi dari diri pengarang.
Hernowo (2003:51) menyatakan menulis dapat kita lihat dalam puisi, bagaimana
pengarang mengungkapkan perasaannya melalui kata-kata yang digunakan. Untuk
itu, guru hendaknya memberikan variasi dalam menyampaikan pengajaran apresiasi
puisi, sehingga siswa tidak jenuh dan selalu siap menanggapi berbagai rangsangan.

Proses belajar mengajar, khususnya keterampilan bersastra dalam Kurikulum


Berbasis Kompetensi (KBK) menyebutkan peranan media menjadi sangat penting
untuk menumbuhkan semangat siswa menerima pengajaran bahasa dan sastra
Indonesia. Guru harus memiliki tingkat penyesuaian yang cocok dengan siswanya,
penyesuaian tersebut dirancang secara terpadu dengan tujuan utama adalah
mempersiapkan siswa untuk melakukan interaksi yang bermakna dengan bahasa
yang alamiah (Suyatno, 2004:10). Sebagai upaya meningkatkan apresiasi sastra
terutama pada pembelajaran apresiasi puisi, pemanfaatan teknologi yang berupa
media audio visual turut berperan dalam upaya meningkatkan keberhasilan siswa.

Sonneman (2002:109) menyatakan bahwa cara orang memproses dan menyimpan


informasi sering merupakan campuran antara cara visual (penglihatan), auditori
(pendengaran), dan kinestetik (gerakan). Melalui media audio visual yang berupa
film diharapkan pembelajaran apresiasi puisi dapat memotivasi siswa dan
menjadikan siswa mengenal puisi dengan mudah. Salah satu media audio visual
yang digunakan dalam penelitian ini adalah film remaja ‘Ada Apa dengan Cinta’
(Miles Production, 2002). Selain itu ada beberapa contoh film yang bisa digunakan
untuk pembelajaran sastra seperti film ‘Pasir Berbisik’, ‘Daun di Atas Bantal’, ‘GIE’,
dan beberapa film yang lainnya. Kelebihan dari media audio visual yang berupa film
yaitu siswa dapat memadukan indera penglihatan (visual) dan pendengaran
(auditori) secara seimbang dan film ‘Ada Apa dengan Cinta’ merupakan film sastra
yang di dalamnya terdapat pembelajaran puisi yang dikemas dalam kehidupan
remaja. Hal ini diperkuat oleh Hernowo (2004:237) yang menyatakan bahwa film ini
sesungguhnya bersumbukan beberapa potongan puisi. Dalam film ‘Ada Apa dengan
Cinta’ terdapat tiga puisi yang digunakan, sehingga bacaan wajib sastra untuk siswa
kelas X sudah berkurang menjadi dua belas.

Berdasarkan fenomena tersebut penelitian ini dilakukan di SMA Negeri ...... pada
kelas X.1 dengan pertimbangan bahwa pembelajaran sastra dalam bidang studi
bahasa Indonesia kurang mendapat perhatian siswa terutama hal yang berkaitan
dengan puisi. Selain itu penggunaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada
SMA Negeri ..... masih dianggap hal baru, sehingga penggunaan media sangat
berperan sekali terutama dalam proses belajar mengajar agar berhasil dengan
sangat memuaskan. Proses belajar mengajar khususnya pengajaran keterampilan
bersastra, peran dan keberadaan guru sangat penting. Untuk itu seorang guru
dituntut untuk menunjang tercapainya pengajaran keterampilan bersastra tersebut
melalui penggunaan media yang dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan hasil
belajar secara maksimal.

You might also like