Professional Documents
Culture Documents
AFRIKA
Written by Administrator
Monday, 13 July 2009 17:47
3.1 Latar Belakang
Berakhirnya Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi
permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan. Ternyata di
beberapa pelosok dunia, terutama di belahan bumi Asia Afrika, masih ada masalah dan muncul
masalah baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung, bahkan pada tingkat
perang terbuka, seperti di Jazirah Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.
Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang
bertentangan secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat
dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap blok
berusaha menarik negara-negara di Asia dan Afrika agar menjadi pendukung mereka. Hal ini
mengakibatkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan yang terselubung di
antara kedua blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan tersebut dikenal dengan sebutan
"perang dingin".
Timbulnya pergolakan dunia disebabkan pula oleh masih adanya penjajahan di bumi kita ini,
terutama di belahan Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya benua Asia
dan Afrika merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk. Tetapi sej ak tahun
1945, banyak daerah di Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang masih
berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di
wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung selatan Afrika. Beberapa negara Asia
Afrika yeng telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan
seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan Pakistan tentang Kashmir, negara-negara Arab
tentang Palestina. Sebagian bangsa Arab-Palestina terpaksa mengungsi, karena tanah air mereka
diduduki secara paksa oleh pasukan Israel yang dibantu oleh Amerika Serikat.
Sementara itu bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang dilanda
kekhawatiran akibat makin dikembangkannya pembuatan senjata nuklir yang bisa memusnahkan
umat manusia. Situasi dalam negeri dibeberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih
terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa penjajahan (politik devide et
impera) dan perang dingin antar blok dunia tersebut.
Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang berfungsi menangani masalah¬masalah dunia, namun nyatanya badan ini belum
berhasil menyelesaikan persoalan tersebut. Sedangkan kenyataannya, akibat yang ditimbulkan
oleh masalah-masalah ini, sebagaian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia Afrika. Keadaan
itulah yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilanka) Sir John Kotelawala mengundang
para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali
Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan
infor¬mal di negaranya. Undangan tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah
negara yang diundang. Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan
pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-
masalah yang menjadi kepentingan bersama.
Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pertanyaan yang diajukan oleh
Perdana Menteri Indonesia
"Where do we stand now, we the peoples ofAsia, in this world of ours to day?" ("Dimana
sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia?"),
Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia
dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua peserta konferensi, walaupun
masih dalam suasana keraguan.
Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk memenuhi urndangan Perdana Menterl
Srilanka dengan membawa bahan-bahan hasil perumusan Pemerintah Indonesia. Bahan-bahan
tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia
dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr. Sunario. Rapat dinas tersebut diadakan
di Tugu (Bogor) pada tanggal 9 sampai dengan 22 Maret 1954.
Akhirnya, dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para
Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi
negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjejaki
sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.
Pada tanggal 18 Agustus 1954, Perdana Menteri Jawaharlal Nehru dari India, melalui suratnya,
mengingatkan Perdana Menteri Indonesia tentang perkembangan situasi dunia dewasa itu yang
semakin gawat, sehubungan dengan adanya usul untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika.
Memang Perdana Menteri India dalam menerima usul itu masih disertai keraguan akan berhasil-
tidaknya usul tersebut dilaksanakan. Barulah setelah kunjungan Perdana Menteri Indonesia pada
tanggal 25 September 1954, beliau yakin benar akan pentingnya diadakan konferensi semacam
itu, seperti tercermin dalam pernyataan bersama pada akhir kunjungan Perdana Menteri Indonesia
"The prime Ministers discussed also the proposal to have a conference of representatives of Asian
and African countries and were agreed that a conference of this kind was desirable and world be
helpful in promoting the cause of peace and a common approach to these problems. It should be
held at an early date".
("Para Perdana Menteri telah membicarakan usulan untuk mengadakan sebuah konferensi yang
mewakili negara-negara Asia dan Afrika serta menyetujui konferensi seperti ini sangat diperlukan
dan akan membantu terciptanya perdamaian sekaligus pendekatan bersama ke arah masalah (yang
dihadapi). Hendaknya konferensi ini diadakan selekas mungkin").
Keyakinan serupa dinyatakan pula oleh Perdana Menteri Birma U Nu pada tanggal 28
September 1954.
Dengan demikian, maka usaha-usaha penyelidikan atas kemungkinan diselenggarakannya
Konferensi Asia Afrika dianggap selesai dan berhasil serta usaha selanjutnya ialah
mempersiapkan pelaksanaan konferensi itu.
Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo
(Birma, Srilanka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan konferensi di Bogor pada tanggal
28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi
ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.
Konferensi Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan
atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara
sponsornya.Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas
nama lima negara.
Gedung Concordia dan Gedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang
konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (dua belas) hotel lainnya serta perumahan
perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu yang
berjumlah 1300 orang. Keperluan transport dilayani oleh 143 mobil, 30 taksi, 20 bus, dengan
jumlah 230 orang sopir dan 350 ton bensin tiap hari serta cadangan 175 ton bensin.
Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April
1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung
Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur
menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan
konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.
Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada
kepala pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang
diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central
African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas
penjajahnya. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu,
meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta
konferensi tiba di Bandung lewat Jakarta pada tanggal 16 April 1955.
Dalam kesempatan tersebut Presiden RI Ir. Soekarno menyatakan bahwa kita, peserta
konferensi, berasal dari kebangsaan yang berlainan, begitu pula latar belakang sosial dan budaya,
agama, sistem politik, bahkan warna kulit pun berbeda-beda. Meskipun demikian, kita dapat
bersatu, dipersatukan oleh pengalaman pahit yang sama akibat kolonialisme, oleh ketetapan hati
yang sama dalam usaha mempertahankan dan memperkokoh perdamaian dunia. Pada bagian
akhir pidatonya beliau mengatakan
"I hope that it will give evidence of the fact that we, Asian and African leaders, understand that
Asia and Africa can prosper only when they are united, and that even the safety of the world at
large can not be safeguarded without a united Asia-Africa. I hope that it conference will give
guidance to mankind, will point out to mankind the way which it must take to attain safety and
peace. I hope that it will give evidence that Asia and Africa have been reborn, that a New Asia
and New Africa have been born !"
("Saya berharap konferensi ini akan menegaskan kenyataan, bahwa kita, pemimpin pemimpin
Asia dan Afrika, mengerti bahwa Asia dan Afrika hanya dapat menjadi sejahtera, apabila mereka
bersatu, dan bahkan keamanan seluruh dunia tanpa persatuan Asia-Afrika tidak akan terjamin.
Saya harap konferensi ini akan memberikan pedoman kepada umat manusia, akan menunjukkan
kepada umat manusia jalan yang harus ditempuhnya untuk mencapai keselamatan dan
perdamaian. Saya berharap, bahwa akan menjadi kenyataan, bahwa Asia dan Afrika telah lahir
kembali. Ya, lebih dari itu, bahwa Asia Baru dan Afrika Baru telah lahir!")
Pidato Presiden RI Ir. Soekarno berhasil menarik perhatian, mempesona, dan mempengaruhi
hadirin, terbukti dengan adanya usul Perdana Menteri India yang didukung oleh semua peserta
konferensi untuk mengirimkan pesan ucapan terimakasih kepada Presiden atas pidato
pembukaannya.
Pada pukul 10.45 WIB., Presiden RI Ir. Soekarno mengakhiri pidatonya, dan selanjutnya
bersama rombongan meninggalkan ruangan. Perdana Menteri Indonesia, sebagai pimpinan sidang
sementara, membuka sidang kembali. Atas usul Ketua Delegasi Mesir (Perdana Menteri Gamal
Abdel Nasser) yang kemudian disetujui oleh pimpinan delegasi-delegasi : Republik Rakyat Cina,
Yordania, dan Filipina, serta karena tidak ada calon lain yang diusulkan, maka secara aklamasi
Perdana Menteri Indonesia terpilih sebagai ketua konferensi. Selain itu, Ketua Sekretariat
Bersama Konferensi, Roeslan Abdulgani dipilih sebagai Sekretaris Jenderal Konferensi.
Kelancaran pemilihan pimpinan konferensi dan acara-acara sidang selanjutnya dimungkinkan
oleh adanya pertemuan informal terlebih dahulu di antara para pimpinan delegasi negara sponsor
dan negara peserta sebelum konferensi dimulai (16 dan 17 April 1955). Pertemuan tersebut
menghasilkan beberapa kesepakatan yang bertalian dengan prosedur acara, pimpinan konferensi,
dan lain-lain yang dipandang perlu. Beberapa kesepakatan itu antara lain bahwa prosedur dan
acara konferensi ditempuh dengan sesederhana mungkin.
Dalam memutuskan sesuatu akan ditempuh sistem musyawarah dan mufakat (sistem
konsensus) dan untuk menghemat waktu tidak diadakan pidato sambutan delegasi. Perdana
Menteri Indonesia akan dipilih sebagai ketua konferensi. Sidang konferensi terdiri atas sidang
terbuka untuk umum dan sidang tertutup hanya bagi peserta konferensi. Dibentuk tiga komite,
yaitu Komite Politik, Komite Ekonomi, dan Komite Kebudayaan. Semua kesepakatan tersebut
selanjutnya disetujui oleh sidang dan susunan pimpinan konferensi adalah sebagai berikut :
Ketua Konferensi : Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Politik Mr. Ali Sastroamidjojo, Perdana Menteri Indonesia
Ketua Komite Ekonomi : Prof. Ir. Roosseno,
Menteri Perekonomian Indonesia
Ketua Komite Kebudayaan : Mr. Moh. Yamin,
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Indonesia
Dalam sidang-sidang selanjutnya muncul beberapa kesulitan yang bisa diduga sebelumnya.
Kesulitan-kesulitan itu terutama terjadi dalam sidang-sidang Komite Politik. Perbedaan-
perbedaan pandangan politik dan masalah-masalah yang dihadapi antara negara-negara Asia
Afrika muncul ke permukaan, bahkan sampai pada tahap yang agak panas.
Namun berkat sikap yang bijaksana dari pimpinan sidang serta hidupnya rasa toleransi dan
kekeluargaan di antara peserta konferensi, maka jalan buntu selalu dapat dihindari dan pertemuan
yang berlarut¬larut dapat diakhiri.
Setelah melalui sidang-sidang yang menegangkan dan melelahkan selama satu minggu, maka
pada pukul 19.00 WIB. (terlambat dari yang direncanakan) tanggal 24 April 1955 Sidang Umum
terakhir Konferensi Asia Afrika dibuka. Dalam Sidang Umum itu dibacakan oleh Sekretaris
Jenderal Konferensi rumusan pemyataan dari tiap-tiap panitia sebagai hasil konferensi. Sidang
Umum menyetujui seluruh pemyataan tersebut. Kemudian sidang dilanjutkan dengan pidato
sambutan para ketua delegasi. Setelah itu, Ketua Konferensi menyampaikan pidato penutupan
dan menyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika ditutup.
Dalam komunike terakhir itu diantaranya dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika telah
meninjau soal-soal mengenai kepentingan bersama negara-negara Asia dan Afrika dan telah
merundingkan cara-cara bagaimana rakyat negara-negara ini dapat bekerja sama dengan lebih
erat di bidang ekonomi, kebudayaan, dan politik. Yang paling mashur dari hasil konferensi ini
ialah apa yang kemudian dinamakan Dasa Sila Bandung, yaitu suatu pernyataan politik berisi
prinsip-prinsip dasar dalam usaha memajukan perdamaian dan kerja sama dunia. Kesepuluh
prinsip itu ialah :
1. Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta azas-azas yang termuat dalam
piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa-bangsa.
3. Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan
semua bangsa-bangsa besar maupun kecil.
4. Tidak melakukan intervensi atau campur tangan dalam soal¬
soal dalam negeri negara lain.
5. Menghormati hak tiap-tiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara sendirian atau
secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
6. a. Tidak mempergunakan peraturan-peraturan dari pertaha¬
nan kolektif untuk bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu dari negara-
negara besar.
b. Tidak melakukan tekanan terhadap negara lain.
7. Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi ataupun penggunaan kekerasan
terhadap integritas teritorial atau kemerdekaan politik sesuatu negara.
8. Menyelesaikan segala perselisihan-perselisihan internasional dengan jalan damai, seperti
perundingan, persetujuan, arbitrase atau penyelesaian hakim atau pun lain-lain cara damai lagi
menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang sesuai dengan Piagam PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10. Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasio-nal.
3.8 Penutup
Dalam penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan
supaya kelima negara penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya
dari konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara peserta lainnya. Tetapi usaha untuk
mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua selalu mengalami hambatan yang sulit diatasi.
Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di negara tuan rumah (Aljazair) terjadi
pergantian pemerintahan, sehingga konferensi itu tidak jadi.
Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di
antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun
masalah regional. Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali
diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika,
Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.
Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang
bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah
air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di benua Asia dan Afrika.
Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin merasuk ke
dalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika.
Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan
internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau "Non-Aligned' terhadap Dunia
Pertamanya Washington dan Dunia Keduanya Moscow. Jiwa Bandung telah mengubah juga
struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Forum PBB bukan lagi forum eksklusif Barat atau
Timur.
Sebagai penutup uraian singkat ini, dikutip bagian terakhir pidato penutupan Ketua Konferensi
Asia Afrika sebagai berikut
"May we continue on the way we have taken together and may the Bandung Conference stay as a
beacon guiding the future progress of Asia and Africa".
("Semoga kita dapat meneruskan perjalanan kita di atas jalan yang telah kita pilih bersama-sama
dan semoga Konferensi Bandung ini tetap tegak sebagai sebuah mercusuar yang membimbing
kemajuan di masa depan dari Asia dan Afrika").
Sumber: Panduan Museum Konperensi Asia Afrika, Departemen Luar Negeri RI Direktorat
Jenderal Informasi, Diplomasi Publik, Dan Perjanjian Internasional Museum Konperensi Asia
Afrika, 2004
Konfrensi Asia Afrika yang pertama (KAA I) diadakan di kota Bandung pada tanggal 19 april
1955 dan dihadiri oleh 29 negara kawasan Asia dan Afrika. Konferensi ini menghasilkan 10 butir
hasil kesepakatan bersama yang bernama Dasasila Bandung atau Bandung Declaration.
Dengan adanya Dasa Sila Bandung mampu menghasilkan resolusi dalam persidangan PBB ke 15
tahun 1960 yaitu resolusi Deklarasi Pembenaran Kemerdekaan kepada negara-negara dan bangsa
yang terjajah yang lebih dikenal sebagai Deklarasi Dekolonisasi.
Sepuluh (10) inti sari / isi yang terkandung dalam Bandung Declaration / Dasasila Bandung :
1. Menghormati hak-hak dasar manusia seperti yang tercantum pada Piagam PBB.
2. Menghormati kedaulatan dan integritas semua bangsa.
3. Menghormati dan menghargai perbedaan ras serta mengakui persamaan semua ras dan bangsa
di dunia.
4. Tidak ikut campur dan intervensi persoalan negara lain.
5. Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri baik sendiri maupun kolektif
sesuai dengan piagam pbb.
6. Tidak menggunakan peraturan dari pertahanan kolektif dalam bertindak untuk kepentingan
suatu negara besar.
7. Tidak mengancam dan melakukan tindak kekerasan terhadap integritas teritorial atau
kemerdekaan politik suatu negara.
8. Mengatasi dan menyelesaikan segala bentuk perselisihan internasional secara jalan damai
dengan persetujuan PBB.
9. Memajukan kepentingan bersama dan kerjasama.
10. Menghormati hukum dan juga kewajiban internasional.
Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Artikel ini tidak memiliki referensi sumber tepercaya sehingga isinya tidak bisa diverifikasi.
Bantulah memperbaiki artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak.
Artikel yang tidak dapat diverifikasikan dapat dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.
Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika (KTT Asia-Afrika; kadang juga disebut Konferensi
Bandung) adalah sebuah konferensi tingkat tinggi antara negara-negara Asia dan Afrika, yang
kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KTT ini diselenggarakan oleh Indonesia,
Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh
Menteri Luar Negeri Indonesia Roeslan Abdulgani. Pertemuan ini berlangsung antara 18 April-
24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan
kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau
neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.
Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu
mengirimkan wakilnya. Konferensi ini merefleksikan apa yang mereka pandang sebagai
ketidakinginan kekuatan-kekuatan Barat untuk mengkonsultasikan dengan mereka tentang
keputusan-keputusan yang memengaruhi Asia pada masa Perang Dingin; kekhawatiran mereka
mengenai ketegangan antara Republik Rakyat Cina dan Amerika Serikat; keinginan mereka
untuk membentangkan fondasi bagi hubungan yang damai antara Tiongkok dengan mereka dan
pihak Barat; penentangan mereka terhadap kolonialisme, khususnya pengaruh Perancis di Afrika
Utara dan kekuasaan kolonial perancis di Aljazair; dan keinginan Indonesia untuk
mempromosikan hak mereka dalam pertentangan dengan Belanda mengenai Irian Barat.
Sepuluh poin hasil pertemuan ini kemudian tertuang dalam apa yang disebut Dasasila Bandung,
yang berisi tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia".
Dasasila Bandung ini memasukkan prinsip-prinsip dalam Piagam PBB dan prinsip-prinsip
Nehru.
Konferensi ini akhirnya membawa kepada terbentuknya Gerakan Non-Blok pada 1961.
25 April–2 Mei 1954 - Berlangsung Persidangan Kolombo di Sri Lanka. Hadir dalam pertemuan
tersebut para pemimpin dari India, Pakistan, Burma (sekarang Myanmar), dan Indonesia. Dalam
konferensi ini Indonesia memberikan usulan perlunya adanya Konferensi Asia-Afrika.
Ali Sastroamidjojo
Jawaharlal Nehru
Perdana Menteri Sri Lanka
John Kotelawala
U Nu
Untuk memperingati lima puluh tahun sejak pertemuan bersejarah tersebut, para Kepala Negara
negara-negara Asia dan Afrika telah diundang untuk mengikuti sebuah pertemuan baru di
Bandung dan Jakarta antara 19-24 April 2005. Sebagian dari pertemuan itu dilaksanakan di
Gedung Merdeka, lokasi pertemuan lama pada 50 tahun lalu. Sekjen PBB, Kofi Annan juga ikut
hadir dalam pertemuan ini.