You are on page 1of 8

SEJARAH, TEORI DAN KRITIK ARSITEKTUR

Membangun Pemahaman Arsitektur *)



*) Disampaiakan pada Forum Program Magister Teknik Arsitektur, Universitas Diponegoro Semarang, 1.3 Nopember 1.995

Yuswadi Saliya I Arsitektur ITB

[0]

Lazimnya, suatu telaahan mengenai teori dan kritik arsitektur diawali dengan kesibukan merumuskan batasan atau definisi. Kesibukan seperti itu bukan hanya melelahkan, tapi juga menyiksa. Itulah salah situ tantangan, kalau bukan nasib buruk, wacana arsitektur, yakni kesulitan dalam merumuskan istilah-istilahnya sendiri. Jangankan untuk sampai pada rumusan-rumusannya yang singkat dan tegas (dalil parsimoni yang diagungkan itu!), kosa katanya pun terbatas dan berantakan. Khasanah bahasa memang mencerminkan taraf kemajuan peradaban pada umumnya dan kedalaman keilmuan pada khususnya: Tingkat kecanggihan berpikir berbanding lurus dengan kekayaan kosa-kata.

Masalahnya, seperti mudah diduga, bersumber pada pengertian arsitektur itu sendiri. Definisi arsitektur dari Prof Ir. V.R. van Romondt yang terkenal itu, misalnya -arsitektur adalah ruang temp at hidup manusia dengan bahagia -- adalah definisi yang masih dapat terbang kian kemari, karena kandungan kata-katanya yang bersayap (y.i. ruang, hidup, manusia, bahaqia)', Bagaimana pengertian teori itu dapat dirumuskan apabila objek ontologisnya pun bergerak terus seperti itu? Keadaan ini dapat mengarah ke paradoks, banyak sekali sama dengan tidak ada. Tentu saja, orang dapat merumuskan arsitektur secara lebih spesifik dan tegas daripada rumusan yang lembek seperti di atas tadi. Hal yang pantas dicatat adalah bahwa semakin spesifik suatu definisi semakin sempit pula medan keberlakuannya. Definisi van Romondt tadi merupakan contoh yang cukup bagus untuk menggambarkan kesulitan penjabaran dalam telaahan atau kajian teori arsitektur.

Kerap pula orang bertanya, pada konteks mana sebaiknya teori-arsitektur itu dibicarakan : pada arsitektur (sebagai produk) atau pada kegiatan berarsitektur (sebagai proses.) Pada arsitekturnya itu sendiri (what arcbitecture is ) atau pada apa yang diperbuat seorang arsitek (what architects w? Atau pada mereka berdua? Pertanyaan ini membuka dunia buatan manusia yang kompleks, yakni praksis arsitektur. Rupa-rupanya, teori arsitektur berkaitan pula dengan praksisnya. Teori-arsitektur tidak dapat dilepaskan dari dunia industri konstruksi, dan, karena itu, juga dengan sejarahnya, sebab industri konstruksi merupakan wahana penciptaan, wahana penjelmaan, wahana yang mengubah dari ranah (realm) gagasan ke ranah perujudan.

Demikian pula dengan nasib kritik-arsitektur. Dalam kehidupan sehari-hari, arsitektur adalah bagian dari kehidupan pemakai atau penqhuninya, arsitektur itu melekat seperti kulit si pemakai atau penghuninya. Di samping itu, pemahamannya pun diperoleh melalui pengalaman atau penghayatan, suatu proses badani dan jiwami sekaligus, bukan hanya proses visual saja,misalnya. Dalam telahaan yang lebih khusus, sering dikatakan juga sebagai proses emosional dan intelektual

Ruang, dalam teori arsitektur disepakati sebagai suatu kondisi mental, suatu cita, state of mind, yang merupakan suatu konsep, fenomena ruang ditentukan juga oleh suasana hati seseorang pada suatu saat, hidup, jelas merupakan rumusan orang seorang atau paling banyak sebagai rumusan kelompok sekelompok, upaya penyederhanaannya seperti ungkapan manusia-ekonomi, misalnya, akan terlalu banyak mengabaikan ciri-ciri individu, manusia, mengacu ke pertanyaan psiko-sosial: siapa? jawabannya akan turut menentukan citra arsitekturnya sendiri, bahagia, juga merupakan konsep jiwani yang sangat sulit dan boleh jadi sangat merugikan kalau dirampatkan secara gebabah ..

SEJARAH, TEORI DAN KRITIK I HH9S1 him. ~

sekaligus (termasuk proses spiritual). Maka, kalau kritik arsitektur itu disampaikan lewat bahasa (tulisan/lisan), mungkinkah keseluruhan pengalaman itu terungkap? Tidakkah dengan begitu diperlukan pula persiapan dan kemampuan tertentu pada pihak pembaca/pendengarnya (sebagaimana juga pada pihak kritisi)? Jadi, di mana medan kritik itu bekerja, pada penulis/pembicara atau pada pembaca/ pendengar? Atau pada mereka berdua? Masalah kebahasaan inilah, masalah proses coding dan decoding inilah, yang merupakan bagian terbesar dari wacana (discourse) arsitektur. Kritik berupaya menjembatani arsitek dengan masyarakat luas, berupaya mempertemukan objek dan subjek melalui hasil-hasil pertimbangan (judgement) tertentu. Kritik juga berupaya memilah-milah satu objek dari objek lainnya, memisahkan apel yang busuk dari apel yang segar, menunjukkan tulang belulang dibalik kulit dan dagingnya. Kritik dapat pula disebut sebagai pandu nilai-nilai (guardian of values) sebab kritik akan menghardik kemubaziran praksis-arsitektur. Kritik akan mencatat, namun dapat pula menggugat berbagai bentuk kemapanan, juga kemapanan teori-arsitektur. Kritik adalahjuga dinamisator.

Begitulah, kegiatan kritik adalah bagian dari praksis-arsitektur yang selalu ditunggu-tunggu, namun tak selalu bertemu. Peran dan fungsinya tidak diragukan, namun tempat dan kedudukannya tak pernah jelas. Lagi pula, adakah pendidikan formal untuk menjadi kritikus?

Jalan terakhir guna mengatasi jalan buntu adalah meminta nasihat kepada kamus umum.

Kalau pun temuan kata istilahnya itu tidak sampai menyentuh substansi permasalahannya, paling sedikit akan dapat diperoleh kesepakatan tentang arti harfiahnya. Makna harfiah inilah yang merupakan substitusi ontologisnya. Maka, kalau teori dapat dikatakan sebagai uraian dalam upaya untuk membangun pemahaman yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk bertindak, maka kritik dapatlah dikatakan sebagai tindakan melakukan pertimbangan-pertimbangan berdasarkan suatu wawasan tertentu.

Batasan umum ini diketengahkan sekadar untuk dapat segera berangkat memasuki hutan rimba, sambil membicarakan segala sesuatu yang tersangkut selama perjalanan tanpa berpretensi untuk dapat menyelesaikan, atau menjelaskan, segala masalah yang muncul.

Teori dan kritik arsitektur, dalam berbabai pustaka, hampir selalu dikaitkan dengan sejarah arsitektur. Padahal, sejarah arsitektur tidak selalu menyertakan teori dan kritik arsitektur di dalam telaahannya. Biasanya sejarah arsitektur memusatkan perhatiannya kepada rangkaian karya arsitektur dari zaman ke zaman dan membahas berbagai bentuk langgam yang muncul sebagaimana dilihat oleh penulisnya, mengikuti pola penulisan sejarah seni seperti digariskan oleh Wofflin. Memang secara tersirat, semua sejarahwan menganut suatu teori dan kritik, betapa pun sederhana dan samar-samarnya. Tanpa teori dan kritik, mustahil mereka dapat memilih karyakarya yang akan dihimpunnya. Namun, jelaslah bahwa pumpunan perhatiannya tidak di dalam teori dan kritik itu sendiri. Kecuali, tentu saja apabila memang merupakan buku mengenai sejarah teori dan kritik. Teori dan kritik yang dianutnya itu tidak menjadi tajuk utama, sekalipun diperkenalkan dengan berbagai pertimbangannya. Uraiannya itu semata-mata merupakan dalih dan titik tolak (premises) untuk menetapkan sejumlah karya-karya yang mewakili zamannya masing-masing. Sejarah arsitektur sebagaimana dikenal secara umum, tidak mempermasalahkan premis-premis ini, tanpa bermaksud mengejek, merupakan "hak prerogatif" sejarahwan.

Di pihak lain, teori dan kritik arsitektur hampir selalu mengandalkan sejarah arsitektur sebagai acuan atau bahan rujukannya. Dengan begitu, teori dan kritik arsitektur hampir selalu bersifat historis, hampir selalu berada dalam konteks historis. Karena itu, pengertian teori, istilah atau kata teori dalam kajian arsitektur, harus dibaca dalam konteks historis. Teori dalam

SEJARAH, TEORI DAN KRITIK I HH9S1 him. 2

arsitektur, tidak dapat dibaca seperti teori dalam ilmu alam yang mencari rumusan-rumusan yang pastil menuju ke keberlakuan yang umum dan objektif, sehingga -- karena itu -- bersifat a-historis. Teori arsitektur, sejauh perkembangannya hingga dewasa ini, merupakan upaya untuk lebih mudah memahami arsitektur, bukan hanya dalam proses perancangannya saja melainkan juga dalam kajian hasil-hasilnya. Melalui teori arsitektur ini, diharapkan pemahaman dan perancangan arsitektur akan dapat lebih terarah dan teratur. Sampai batas-batas tertentu, teori itu pun dapat mempermudah proses perancangannya, dapat mengurangi tahapan coba-coba (trial and error) dengan melakukan langkah-Iangkah yang terpikir secara konseptual sejak awal. Dengan teori, proses perancangan dapat dilakukan secara lebih sistematis sehingga penggunaan waktu pun dapat lebih hemat dibandingkan dengan langkah-Iangkah yang rambang (random) dan acak (chaotic).

Suatu teori adakalanya menelurkan seperangkat kaidah atau prinsip. Arsitektur modern, misalnya, menganut teori estetika yang dirumuskan setapak demi setapak dari renungan beberapa pakar selama beberapa generasi sesudah renaisan. Pendekatan positivistik menghendaki adanya kaidah yang berlaku umum, bahkan terlepas dari substansinya sekalipun, dan akhirnya memang itulah yang terjadi di dalam gerakan modernisme. Gagasan tentang adanya struktur yang tersembunyi di balik suatu ujud, misalnya, merupakan hukum yang tak terbantahkan dalam alam modernisme. Adalah kewajiban manusia yang beradab untuk menggali dan mengenali struktur-struktur atau pola-pola itu. Manusia adalah makhluk pembentuk pola. Dan sungguh menarik bahwa yang terjadi ialah struktur atau pola itu selalu cenderung lebih sederhana daripada tampak luarnya. The law of parsimony ini, dianggap sebagai ungkapan puitik yang aqunq, kesederhanaan (simplicity) merupakan salah satu prinsip estetika yang paling mendasar. Ada suasana dan nafas religius di dalamnya. Ke-Esa-an Tuhan Seru Sekalian Alam ini menjelma ke dalam ketiadaan yang sarat dengan makna, ke dalam kesederhanaan yang menyiratkan pemadatan intisari kemurnian dan itulah keindahan.

Tulisan ini tidak bermaksud mengupas tajuk estetika. Namun, melalui kasus itu tampak bagaimana suatu teori dengan pengabsahan (legitimation) ke-Ilahi-an telah melahirkan kaidah atau prinsip-prinsip yang tahan uji, kalaulah bukan abadi. Dalam perkembangan selanjutnya, kaidah-kaidah semacam ini digugat. Kaidah itu terasa sedemikian tinggi kekuasaannya. Hukumhukum estetika yang cenderung absolut itu mulai dipertanyakan. Tatanannya pun didaulat dengan dalih-dalih yang baru sama sekali, misalnya berdasarkan gagasan demokrasi. Seperti proses sebelumnya, dalih-dalih itu pun membutuhkan pengabsahan konseptual-teoritik, kalaulah bukan pengabsahan ke-Ilahi-an. Alur pikir Kuhnian ini, sekadar sebagai contoh, memperlihatkan munculnya teori baru sesudah revolusi yang merontokkan perioda kemapanan. Teori-arsitektur, hemat saya, memperlihatkanjuga fenomena seperti itu.

Secara lebih luas/makro, teori arsitektur mempelajari juga langkah-Iangkah atau proses lahirnya arsitektur. Masyarakat dapat dipandang sebagai suatu bangun pabrik yang secara berkala akan memproduksi arsitektur. Analisis Marxis seperti ini, akan memperlihatkan pola-pola pembagian kerja dalam kaitannya dengan pembangunan arsitekturnya.

Teori itu pun dapat dipakai untuk menjelaskan berbagai perujudan suatu karya beserta makna-makna yang dikandungnya. Dalam hubungan inilah arsitektur berkaitan dengan disiplin ilmu lain, seperti politik, ekonomi, sosial, atau yang akhir-akhir ini berkembang pesat, dengan antropologi. Sesungguhnya, terdorong oleh sifat kajian antropologi yang mencakupi kesuluruhan kegiatan hidup komunitas manusia, antropologi telah banyak dan jauh lebih awal menyentuh arsitekur sebagai bagian dari pengaturan tata ruang lingkungan hidup manusia. Antropologi telah menempatkan arsitektur sebagai artefak budaya yang penting, karena di dalamnya tersimpan berbagai informasi bagaimana manusia memandang lingkungan sekitarnya, bagaimana manusia memandang sesamanya, bagaimana manusia memandang dirinya dihadapan dunia dan alam

SEJARAH, TEORI DAN KRITIK I HH9S1 him. 3

raya. Melalui karya arsitektur antropologi telah banyak memperoleh keterangan tentang sistem kekerabatan, misalnya. Atau juga sistem kepercayaan dan susunan dewa-dewi (pantheon) yang menguasai alam raya beserta isinya, di samping pemahaman tentang benda-benda dan barangbaranq; bahan, proses pengolahan beserta seluruh kompleks peralatannya (teknologi). Telaah antropologis banyak menarik perhatian para teorisi arsitektur karena berbagai ungkapan dan temuannya dapat membuka cakrawala pemahaman baru akan arsitektur melalui penokohan orang yang berperan dan bertanggung jawab atas lahirnya suatu bangunan dalam kaitannya dengan ritual kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya, antropologi pulalah yang telah memperlihatkan kaitan arsitektur dengan berbagai disiplin ilmu lainnya. Melalui kajian antropologi itu, terbuktilah bahwa arsitektur merupakan muara yang unik dan spesifik dari berbagai cabang disiplin ilmu yang selama ini menganut organon Aristotelian itu (science tree).

Dari sini, kalau disadari bahwa setiap cabang ilmu itu berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban manusia pada umumnya, maka dengan mudah dapat dipahami mengapa teori arsitektur -- dari sudut pandang ini -- hanya dapat dirumuskan dalam kaitannya dengan sejarahnya, dengan setiap taraf perkembangan yang dimilikinya pada suatu ruang dan waktu tertentu. Paling sedikit, rumusannya akan sangat banyak bersumber pada fenomena sejarah.

Diakui bahwa secara epistemologis, uraian di atas kurang memuaskan. Uraian itu seolah telah menjelaskan segalanya dengan sekali sapu, explaining away, dengan mengaku seluruh cabang ilmu yang telah turut membentuknya itu sebagai disiplinnya sendiri juga, tanpa dapat merinci lebih lanjut hingga ke perangkat keilmuan selanjutnya, seperti logika yang dapat dipakai sebagai landasan proses perancangan, misalnya, atau semacam prosedur kognitif yang sahih untuk memahami dan menghasilkan arsitektur secara lebih panggah (stabil). Masalah utamanya, saya kira, terletak pada kesulitan memperoleh kesinambungan struktur kognisi yang jelas (distinct) dalam sejumlah informasi yang tersusun berdasarkan pengamatan non-arsitektural. Jadi, dengan bantuan sejumlah informasi/data dari antropologi pun, proyek penyusunan teori arsitektur masih jauh dari selesai. Pendekatan dari sudut antropologi ini merupakan salah satu cabang pohon yang tampaknya dapat ditelusuri lebih jauh. Bahkan, kemitraan atau perkongsian/merger dengan biologi, sangat mung kin untuk mengembangkan ekologi-manusia sebagai umbi pengembangan teori arsitektur.

Kelemahan epistemologis-arsitektural semacam ini seringkali terjadi -- kalaulah bukan selalu -- pada bidang-bidang yang bersumber dari praktek dan berkaitan dengan produk peradaban manusia atau dunia hasil buatan manusia (artificial), seperti manajemen, administrasi atau organisasi. Dan, tentu saja, arsitektur. Ekonomi pun, sebenarnya adalah jenis disiplin ilmu yang disusun dan berkenaan dengan produk buatan manusia. Namun, kenyataan bahwa kini ekonomi dikenal sebagai ilmu sosial yang paling berhasil mendekati hukum-hukum ilmu-alam atau apa yang dikenal dengan ilmu/sains, tidak lain adalah berkat asumsinya bahwa manusia itu adalah makhluk-ekonomi yang rasional, sehingga dapat diramalkan perilakunya (lihat Simon ~969·)

[5]

Perbedaan mendasar di antara ilmu-alam dan ilmu-buatan sebagaimana dilihat oleh Simon adalah bahwa yang pertama berupaya menerangkan fenomena apa adanya beserta segala prosesnya (imperatif/necessity), sementara yang kedua menerangkan fenomena bagaimana seharusnya, (normatif/contingency, choice) dalam rangka untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Pola fenomena yang deterministik berpeluang untuk mengembangkan struktur kognitif tersendiri, seperti yang kemudian menghasilkan ilmu dan teknologi seperti yang dikenal sekarang.

SEJARAH, TEORI DAN KRITIK I HH9S1 him. 4

Fenomena yang terbuka dengan berbagai pilihan, seperti yang juga dikandung dunia arsitektur, tidak dapat ditangani secara deterministik tanpa suatu pengorbanan. Masalah pengaturan di dalam dunia-buatan manusia, merupakan masalah tawar-menawar antara kebutuhan (necessties) dan pili han (choices). Itulah dunia rekayasa/engineering, suatu usaha-besar manusia (human enterprise) yang mengacu kepada suatu tujuan tertentu, usaha-besar manusia yang ditentukan oleh pilillan tujuan tertentu (goal oriented/driven).

Masalah utama dalam usaha-besar semacam itu adalah optimasi, dan untuk ini sebenarnya telah tersedia perangkat matematika yang dapat dimanfaatkan (teori pengambilan-keputusan, statistik, teori organisasi, dll.) Namun, menurut Simon, belum seluruhnya dapat ditangani sekalipun secara metodologis bukan lagi masalah, terutama dalam menghadapi fenomena dengan faktor peubah/variabel yang banyak. Di sini, Simon tampak sangat optimis untuk dapat mempertemukan dua fenomena itu melalui disiplin desain. Dengan perkataan lain, Simon berkeyakinan bahwa desain adalah kegiatan yang (dapat di-) ilmiah (-kan) dan dapat diajarkan. Kegiatan desain ini menjadi kegiatan inti yang dapat mengatur dunia-buatan, yang dapat mempertemukan proses-proses deterministik dan pikiran-bebas. Fenomena tarik menarik dan tawar menawar antara keniscavaan dan pilihan ini, dalam semangatnya, sama tuanya dengan permasalahan jiwa-raga (mind & body problems). Sungguh menarik ketika Simon mengatakan bahwa di situlah letak kegiatan desain. Maka arsitektur pun dapat dipandang sebagai upaya mempertemukan manusia dengan alarn '. Cobalah kita simak apa yang dikatakannya (~969:83):

The proper study of mankind has been said to be man. But I have argued that man -or (it least the entellective component of man - may be relatively simple; that most of the complexity of his behavior may drawn from his environment, from his search for good designs. [. ... .] we can conclude that, in large part, the proper study of mankind is the science of design, not only as the professional component of a technical education but as a core discipline for every liberally educated man. [cetak tebal tambahan dari penulis.]

[6 ]

Sementara itu, beberapa upaya dalam bidang arsitektur pun pernah pula dicoba dengan melakukan reduksi (apa boleh buat!) di sana sini, dengan membatasi cakupan untuk mengurangi ketidak-pastian, yakni untuk memperkecil faktor-faktor peubah (variable). Fungsionalisme Sullivan adalah contoh yang paling jelas. Asumsinya adalah bahwa arsitektur, sebabai sesuatu yang dibuat dengan sengaja, merupakanan pengejawantahan fungsional semata-mata. Kata fungsional, kemudian, menjadi kata yang bersayap, makin lama semakin kompleks, sampai akhirnya sebagai satu titik-tolak, menjadi kabur kembali (bandingkan dengan Kompleks Fungsi Papanek, ~995:34.) Fungsi yang semula menggambarkan keterukuran kegiatan manusia (efisiensi), kemudian berkembang hingga mencakupi segala aspek yang dianggap penting, sebagai padanan perubahan perilaku manusia, sebagai pencerminan Zeitgeist, termasuk aspek yang tidak terukur. Bruno Zevi (~948, ~978) mengetengahkan ruang sebagai unsur pokok aritektur, Giedeon (~94~/~967) memandangnya sebagai ruang-dan-waktu. Dua pakar menelaah sejarah arsitektur berdasarkan titik-tolaknya masing-masing. Telaahan yang bersifat historioteoritikal ini dapat menyesatkan, kata Paul-Alan Johnson (~994:9ff), sebab arsitektur tidak semestinya direduksi menjadi seolah-seolah terdiri hanya dari unsur-unsur yang terukur saja. Christopher Alexander, memandang arsitektur sebagal pola-bahasa (~977), begitu juga dengan Bruce Allsop yang berupaya mengenali berbagai bentuk format (~977) yang berulang, atau Reyner Banham yang mengutamakan teknik (~962).

Secara metodologis, pendekatan-pendekatan reduksionis semacam itu, pada zamannya, memang merupakan kelaziman, merupakan bagian dari praksis modernitas. Pengembangan

Dengan cerdik van der Laan mencontohkan sepatu sebagai upaya manusia memperlunak permukaan bumi dan memperkuat telapak kaki; sepatu itu tidak boleh lebih keras daripada permukaan bumi dan tidak boleh pula lebih lemah daripada kulit kaki; semangat sepatu harus juga menjadi semangat arsitektur (1.983.)

SEJARAH, TEORI DAN KRITIK I HH9S1 him. 5

teori-arsitektur tampak hanyut, terpikat oleh arus kuat pendekatan ilmu-alam. Dunia arsitektur tanpa dapat dielakkan lagi, mengidap perasaan rendah-diri yang parah. Merasa hina dan ketinggalan zaman apabila tidak turut mengembangkan teori yang diakui sebagai sains ala ilmualam. Praksis modernitas seperti ini, seperti diketahui, tidak seluruhnya sia-sia. Temuantemuannya, pada beberapa bidang merupakan berkah bagi kehidupan manusia juqa, hal yang barangkali belum akan tercapai apabila semua upaya dilakukan secara holistik. Masalah dalam dunia arsitekur adalah bahwa lama kelamaan, pendekatan reduksionistik semacam itu memberikan gambaran yang salah akan arsitektur. Pendekatan reduksionistik ini berkaitan dengan gejala spesialisasi. Belum ada yang meneliti dengan cermat di mana ambang batas spesialisasi ini untuk suatu taraf perkembangan peradabannya. Namun Fuller (~982:XXVII) mengingatkan dengan tegas bahwa :

... the more specialized society becomes, the less attention does it pay to the discoveries of the mind .. Specialization tends to shut off the wide-band tuning searches and thus preclude futher discovery of the all-powerfull generalized principles .... socicty's perverse fixation on specialization leads to its extinction.

Sekarang, pantaskah perancangan/desain arsitektur itu didekati dengan cara reduksionistik yang sama? Haruskah dengan cara itu? Perlukah begitu? Ini merupakan rangkaian pertanyaan normatif yang klasik dan melelahkan. Tampaknya, antroposentrisme modernistik (individualistik) seperti ini, yakni pendekatan yang parsial-reduksionistik, justru tidak lagi disukai. Pendekatan pasca-modernjustru lebih tertarik kepada keaneka-ragaman fitrah manusia, daripada menyeragamkannya sebagai, misalnya, makhluk-ekonomi yang rasional. Narnun, sebaliknya, harus pula diakui bahwa hingga kini -- dengan adanya gerakan pasca-modernisme sekalipun -belum diperoleh suatu rumusan, pendekatan, atau sikap yang memuaskan berkenaan dengan teori arsitektur itu.

Teori arsitektur masih tetap merupakan masalah yang (terus) berkembang.

Pascamodernisme bukan jaminan untuk kemudahan perumusan teori arsitektur. Pascamodernisme, sejauh ini, belum menampakkan arah pencapaian yang pasti dan jelas; apa yang disentuh dan dibongkarnya, (dalam dunia arsitektur) baru puncak-puncak gunung es. Bahkan pascamodern itu sendiri pun masih diperdebatkan. Benarkah modernisme sudah berakhir dan mati? Benarkah modernisme itu suatu proyek yang belum selesai seperti dikatakan Habermas?

Gambaran umum mengenai kritik-arsitektur tidak jauh berbeda. Sementara ini masih berkubang di dunia akademik, kecuali di negara-negara maju dengan perangkat media massa yang perkasa dan merata. Secara epistemologis, kritik-arsitektur merupakan kegiatan yang menunjang historiografi. Tidak ada historiografi arsitektur yang bebas dari peranan kritik. Dengan demikian, pengajaran sejarah arsitektur yang tidak diiringi dengan kritik, dapat sangat berbahaya. Pemahaman sejarah tidak dapat dilakukan sambil tidur-tidur ayam kalau tidak ingin membunuh api kreatifitas. Sejarah, di samping itu, seperti terurai di atas, juga mencerminkan pemahaman konseptual-teoritik. Itulah sebabnya mengapa sejarah, teori, dan kritik arsitektur merupakan menu tunggal, three in one, dalam pengajaran dan dalam praksis arsitektur di lapangan, yang satu menentukan lainnya.

[8 ]

Ilustrasi tentang keterkaitan seperti itu dapat diambil dari keadaan di Indonesia. Atau, barangkali, juga di negera-negara sedang berkembang lainnya. Kesulitan menulis sejarah arsitektur (modern) di Indonesia adalah (antara lain) oleh lemahnya pengembangan teoritik, yang pada gilirannya tidak pula membantu tumbuhnya kritik. Barangkali ada benarnya pula kalau

SEJARAH, TEORI DAN KRITIK I HH9S1 him. 6

dikatakan bahwa dunia arsitektur di Indonesia masih berada dalam zaman pra-sejarah (!) Arsitektur (di) Indonesia belum dikenal, belum menjadi bagian arsitektur dunia. Dunia arsitektur di Indonesia tengah bergolak dalam paras pseudo-praksis. Masyarakat industri-konstruksi Indonesia berkembang dengan pola yang tidak otentik. Pola perkembangannya terbentuk justru oleh pengaruh luar yang sangat kuat, taktertahankan, dan takterelakkan, menuntut begitu banyak penyesuaian dalam waktu yang begitu singkat. Keadaan ini turut memperburuk nasib dunia arsitektur (di) Indonesia, sebab dia tidak dapat berkembang sesuai dengan "fitrah"-nya, tidak sesuai dengan derap dinamika dan kapasitas internal yang dimilikinya.

Secara tipologis, derap pembangunannya pun tidak seimbang. Ada saatnya sangat dikuasai oleh kegiatan merkantilistik yang luar biasa. Arsitektur-niaga, untuk selama dua-tiga generasi, mengisi cakrawala industri konstruksi di Indonesia. Maka, bagi generasi 7o-an, misalnya, bahan rujukan arsitekturnya adalah arsitektur-niaga itu. Tidak ada perbendaharaan lain. Pemahaman tentang rumah tinggal, misalnya, tidak bisa lain selain rumah-rumah real-estate. Atau rumah susun (pangsapuri/apartment.) Bahkan bangunan-bangunan pemerintahan yang sesungguhnya dapat bertindak sebagai tonggak-tonggak kesejarahan dalam peta perkembangan arsitektur pun (dapat berdiri lebih lama dan permanen daripada bangunan arsitektur-niaga), justru terimbas oleh idiom-idiom sesaat yang, muncul oleh tuntutan-tuntutan komersial. Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, Soedjatmoko aim. merasa sangat prihatin oleh "rendahnya" selera masyarakat Indonesia akan arsitektur; they have no taste at all! katanya tandas. Pernyataan ini dapat dibantah, kalau maul sebab memang belum ada yang meneliti tinggi rendahnya selera masyarakat Indonesia akan arsitektur.

Fenomena yang menarik (atau tidak?) adalah munculnya kecenderungan historisisme: keinginan untuk mengembalikan ciri-ciri tradisional. Tampaknya, gejala ini tidak terlepas dari gejala qlobalisasi, hal serupa juga berkembang di tempat lain di seluruh muka bumi. Dorongan yang muncul ini, tampaknya bukan semata-mata oleh tuntutan ekonomi kepariwisataan saja, melainkan juga -- barangkali malahan jauh lebih mendasar -- oleh kemiskinan budaya (atau budaya kemiskinan?). Oleh kekurang-mampuan untuk menatap masa depan yang jauh (atau tidak mempunyai masa depan?)

Kalau pengamatan ini dapat diterima, maka hal itu merupakan masalah besar yang akan berdampak pula pada semangat pengembangan arsitekturalnya. Pada kecermatan visi teoritiknya. Pada ketajaman pertimbangan kritiknya. Juga kepada kedalaman akan kesadaran sejarahnya.

[9]

Begitu pula halnya dengan dunia profesi arsitek. Semuanya tumbuh dari luar, tanpa kaitan sosio-kultural samasekali dengan kondisi Indonesia. Manusia Indonesia seperti dicucuk hidungnya untuk mengikuti berbagai perkembangan yang nota bene lahir dari pola budaya yang sangat berbeda. Rupa-rupanya, negara berkembang telah ditakdirkan untuk mengikuti hasil penjelajahan orang lain, menelan apa yang telah dikunyah orang lain. Arsitektur Indonesia seperti dibajak di tengah perkembangannya (yang memang lambat dan lemah itu) tanpa mampu membebaskan diri dari tekanan-tekanan ekonomi-politik globalisasi. Tatanan dunia dewasa ini adalah sedemikian rupa, sehingga arsitektur sangat banyak ditentukan oleh iklim dan kekuatan ekonomi dengan seluruh perangkat kepranataannya.

Begitulah, secara historis, barangkali masih diperlukan jarak-waktu tertentu agar sejarah arsitektur (di) Indonesia tampak dalam perspektif. Ini adalah alasan akademik yang paling mudah dilontarkan. Kalau begitu, semuanya berpulang kepada arsitek juga adanya. Sungguh tidak mudah membuang rasa rendah-diri yang terasa semakin parah ini. Tampak bahwa bentuk penjajahan yang akan datang, atau bahkan yang tengah berlangsung dewasa ini, adalah penjajahan budaya. Jadi juga penjajahan dalam sejarah, teori dan kritik-arsitektur.

SEJARAH, TEORI DAN KRITIK I HH9S1 him. 7

Dan penjajahan informasi yang sulit digambarkan, sebab untuk menggambarkannya pun diperlukan informasi milik orang lain. Dalam keadaan seperti itu, masih adakah orang yang dapat bersikap optimis?

Merdeka!

Bandung, a i Nopember ~995

SUMBER BACAAN

1. Fuller, R. Buckminster; 1982; Synergistics, Explorations in the Geometry of Thinking; New York: Collier Books/McMillan.

2. Johnson, Paul-Alan; 1994. The Theory of Architecture, Concepts, Themes, & Practices; New York: Van Nostrand Reinhold.

3. Papanek, Victor; 1995; The Green Imperative, Natural Design for the Real - World; New York: Thames and Hudson.

4. Simon, Herbert A.; 1969/1970; The Sciences of the Artificial; MIT Press.

5. van der Laan, Dom H; 1983; Architectonic Space; Fifteen Lessons on the Disposition of the Human Habitat; Leiden: E.J. Brill.

SEJARAH, TEORI DAN KRITIK I HH9s1 him. 8

You might also like