You are on page 1of 14

TUGAS KEWARGANEGARAAN

DEMOKRASI PANCASILA DAN DEMOKRASI BARAT


DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 1 :

ADRIANI RAHMI HIDAYATI (0607120739)


ADELIA SUCI DAMANIK (0707112594)
IMELDA JONI (0707120214)

PROGRAM STUDI TEKNIK KIMIA S1

JURUSAN TEKNIK KIMIA

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS RIAU

2010
DEMOKRASI INDONESIA
A. Demokrasi dan implementasinya
Pembahasan tentang peranan Negara dan masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari
telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alasan. Pertama , hamper semua Negara didunia
ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh hasil
studi UNESCO pada awal 1950an yang mengumpulkan lebih dari 100 sarjana barat dan
timur,sementara dinegara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada Negara dan
masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda beda ( kendati sama sama Negara demokrasi ).
Kedua, demokrasi atas asas kenegaraan secara esensial telah membrikan arah bagi peranan
masyarakat untuk meyelenggaraakan Negara sebagai organisasin tertingginya tetapi ternyata
demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda (rais,1995 : 1 ).
Dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam system pemerintahan, demokrasi
juga melahirkan system yang bermacam macam seperti : pertama, system presidensial yang
menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan member dua kedudukan kepada presiden
yakni sebagai kepala Negara dan kepala pemerintah. Kedua, system parlemenyang eletakkan
pemerintah dipimpin oleh Perdana Menteri yang hanya berkedudukan sebagai kepala Negara dan
kepala pemerintahan dan bukan kepala Negara, sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja
atau presiden yang hanya menjadi symbol kedaulatan dan persatuan. Ketiga,system referendum
yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja) dari parlemen. Di beberapa Negara
ada yang menggunakan system campuran antara presidensial dengan parlementer,yang antara lain
dapat dilihat dari system ketatanegaraan diperancis atau di Indonesia berdasar UUD 1945.
Dengan alasan tersebut menjadi jelas bahwa asa demokrasi yang hamper sepenuhnya
disepakati sebagai model terbaik bagi dasar penyelenggaraan Negara ternyata memberikan
implikasi yang berbeda di antara pemakai-pemakainya bagi peranan Negara.

B. Arti dan Perkembangan Demokrasi


Secara etimologis istilah demokrasi berasal dari bahasa yunani, “demos” berarti rakyat
demokrasi berarti “rakyat berkuasa” (government of rule by the people). Ada pula defenisi singkat
untuk istilah demokrasi diberbagai Negara didunia,memiliki cirri khas dan spesifikasi masing-
masing,yang lazimnya sangat dipengaruhi oleh ciri khas masyarakat sebagai rakyat dalam suatau
Negara.
Demokrasi mempunyai arti yang penting bagi masyarakat yang menggunakannya, sebab
dengan demokrasi hal masyarakat untuk menentukan sendiri jalannya organisasi negara dijamin.
Oleh sebab itu,hampir semua pengertian yang diberikan untuk istilah demokrasi ini selalu
memberikan posisi penting bagi rakyat kendati secara operasional implikasinya di berbagai
Negara tidak selalu sama. Sekedar untuk menunjukkan betapa rakyat diletakkan pada posisi
penting dalam asas demokrasi ini berikut akan dikutip beberapa pengertian demokrasi.

C. Bentuk bentuk demokrasi


Menurut Torres demokrasi dapat dilihat dari dua aspek yaitu :
1. Formal democrazy
2. Substantive democrazy
Formal democrazy menunjukkan pada demokrasi dalam arti system pemerintahan. Hal ini
dapat dilihat dalam berbagai pelaksanaan demokrasi diberbagai Negara. Dalam suatu Negara
misalnya dapat diterapkan demokrasi dengan menerapkan system presidensial atau system
parlementer.
Sistem presidensial : Sistem ini menekankan pentingnya pemilihan presiden secara
langsung,sehingga presiden terpilih mendapatkan mandate secara langsung dari rakyat. Dalam
system ini kekuasaan eksekutif (kekuasaan menjalankan pemerintah) sepenuhnya berada ditangan
presiden. Oleh karena itu presiden adalah merupakan kepala eksekutif (head of government) dan
sekaligus menjadi kepala Negara ( head of state). Presiden adalah penguasa dan sekaligus
sebagai symbol kepemimpinan Negara. Sistem demokrasi ini sebagaimana diterapkan di Negara
Amerika dan Negara Indonesia.
Sistem Parlemeter : Sistem ini menerapkan model hubungan yang menyatu antara kekuatan
eksekutif dan legislative. Kepala eksekutif ( head of government ) adalah berada ditangan seorang
perdana menteri. Adapun kepala Negara ( head of state) adalah berada pada seorang ratu,
misalnya di Negara inggris atau ada pula yang berada pada seorang presiden misalnya di india.
Selain bentuk demokrasi sebagaimana dipahami di atas terdapat beberapa system demokrasi
yang mendasar pada prinsip filosofi Negara.

1. Demokrasi Perwakilan Liberal


Prinsip demokrasi ini berdasarkan pada suatu filsafat kenegaraan bahwa manusia adalah
sebagai makhluk individu yang bebas. Oleh karena itu dalam system demokrasi ini kebebasan
individu sebagai dasar fundamental dalam pelaksanaan demokrasi.
Pemikiran tentang Negara demokrasi sebagaimana dikembangkan oleh Hobbes,Locke
dan Rousseau bahwa Negara terbentuk karena adanya perbenturan kepentingan hidup mereka
dalam hidup bermasyarakat itu membentuk suatu persekutuan hidup bersama yang disebut
Negara, dengan tujuan untuk melindungi kepentingan dan hak individu dalam kehidupan
masyarakat Negara. Atas dasar kepentingan ini dalam kenyataannya muncullah kekuasaan yang
kadangkala menjurus ke arah otoriterianisme.

2. Demokrasi Satu Partai dan Komunisme


Demokrasi satu partai ini lazimnya dilaksanakan di Negara-negara komunis seperti
Rusia,China,Vietnam dan lainnya. Kebebasan formal berdasarkan demokrasi liberal akan
menghasilkan kesenjangan kelas yang semakin lebar dalam masyarakat, dan akhirnya kapitalislah
yang menguasai Negara.

D. Demokrasi di Indonesia
1. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia yang telah lebih dari setengah abad,
perkembangan demokrasi telah mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia ialah bagaimana meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun
kehidupan sosial dan politik yang demokratis dalam masyarakat yang beraneka ragam pola
adat budayanya. Masalah ini berkisar pada penyusunan suatu system politik dengan
kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta character and
nation building,dengan partisipasi rakyat,sekaligus menghindarkan timbulnya diktatur
perorangan, partai ataupun militer.

Perkembangan demokrasi di Indonesia dapat dibagi dalam empat periode :


a. Periode 1945 - 1959 , masa demokrasi perlementer yang menonjolkan peranan parlemen
serta partai partai. Pada masa ini kelemahan demokrasi parlementer member peluang untuk
dominisi partai partai politik dan DPR. Akibatnya persatuan yang digalang selama
perjuangan melawan musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi
kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan.
b. Periode 1959 - 1965 , masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah
menyimpang dari demokrasi konstitusional dan lebih menampilkan beberapa aspek dari
demokrasi rakyat. Masa ini ditandai dengan domisi presiden,terbatasnya peran partai
politik,perkembangan pengaruh komunis,dan peran ABRI sebagai unsur social-
politik,semakin meluas.
c. Periode 1966 - 1988 , masa demokrasi Pancasila era Orde Baru yang merupakan demokrasi
konstitusional yang menonjolkan system presidensial. Landasan formal periode ini adalah
pancasila,UUD 1945 dan ketetapan MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali
penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin. Namun
dalam perkembangannya peran presiden semakin dominan terhadap lembaga-lembaga
Negara yang lain. Melihat praktek demokrasi pada masa ini,nama pancasila hanya digunakan
sebagai legitimasi politisi penguasa saat itu, sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidak
sesuai dengan nilai nilai pancasila.
d. Periode 1999-sekarang, masa demokrasi pancasila era reformasi dengan berakar pada
kekuatan multi partai yang berusaha mengembalikan perimbangan kekuatan anatar lembaga
Negara,antar eksekutif,legislative dan yudikatif. Pada masa ini peran partai politik kembali
menonjol,sehingga iklim demokrasi memperoleh nafas baru. Jikalau esensi demokrasi adalah
kekuasaan antara presiden dan partai politik dalam DPR. Dengan lain perkataan model
demokrasi era reformasi dewasa ini,kurang mendasarkan pada keadilan social bagi seluruh
rakyat Indonesia(walfare state).

2. Pengertian Demokrasi menurut UUD 1945


a. Seminar Angkatan Darat II (agustus 1966)
1. Bidang Politik dan Konstitusional :
Demokrasi Indonesia seperti yang dimaksud dalam undang-undang dasar 1945
berarti menegakkan kembali asas asas Negara hukum dimana kepastian hokum
dirasakan oleh segenap warga Negara, hak hak asazi manusia baik dalam aspek
kolektif maupun aspek perserorangan dijamin,dan penyalah gunaan kekuasaan belum
dapat dihindarkan secara Institusional. Dalam rangka ini perlu diusahakan supaya
lembaga-lembaga dan tata kerja orde Baru dilepaskan dari ikatan pribadi dan lebih
diperlembagakan.
2. Bidang Ekonomi :
Demokrasi ekonomi sesuai dengan asas asas yang menjiwai ketentuan-ketentuan
mengenai ekonomi dalam UUD 1945 yang pada hakikatnya berarti kehidupan yang
layak bagi semua warga Negara yang antara lain mencakup :
a. Pengawasan oleh rakyat terhadap penggunaan kekayaan dan keuangan Negara.
b. Koperasi.
c. Pengakuan atas hak milik perorangan dan kepastian hukum dalam penggunaanya.
d. Peranan pemerintah yang bersifat pembinaan,penunjuk jalan serta pelindung.
b. Munas III Persahi : The Rule of Law ( Desember 1966)
Asas Negara hukum pancasila mengandung prinsip :
1. Pengakuan dan Perlindungan hak asasi yang mengandung persamaan dalam bidang
politik,hukum,social,ekonomi,kultural dan pendidikan.
2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak,tidak terpengaruh oleh sesuatu
kekuasaan/kekuatan lain apa pun.
3. Jaminan kepastian hukum dalam semua persoalan. Yang dimaksudkan kepastian
hukum yaitu jaminan bahwa ketentuan hukumnya dapat dipahami,dapat dilaksanakan
dan aman dalam melaksanakannya.
c. Simposium hak-hak Asasi Manusia (Juni 1967)
Apa pun predikat yang akan diberikan kepada demokrasi kita,maka demokrasi
itu harus demokrasi yang bertanggung jawab,artinya demokrasi yang dijiwai oleh rasa
tanggung jawab terhadap tuhan dan sesame kita. Berhubungan dengan keharusan kita di
tahun-tahun yang akan datang untuk perkembangan “a rapidly expanding economy”
maka disamping pemerintah yang kuat dan berwibawa, diperlukan juga secara mutlak
pembebasan dinamika yang terdapat dalam masyarakat dari kekuatan-kekuatan yang
mendukung pancasila. Untuk itu diperlukan kebebasan politik yang sebesar mungkin.
Persoalan hak-hak asasi manusia dalam kehidupan kepartaian untuk tahun-tahun
mendatang harus ditinjau dalam rangka keharusan kita untuk mencapai keseimbangan
yang wajar diantara tiga hal :
1. Adanya pemerintah yang mempunyai cukup kekuasaan dan kewibawaan.
2. Adanya kebebasan yang sebesar-besarnya.
3. Perlunya untuk membina suatu “rapidly expanding economy”(pengembangan
ekonomi secara cepat)

3. Demokrasi Pasca Reformasi


Dewasa ini hampir seluruh di dunia mangklaim menjadi penganut setia paham
demokrasi. Namun demikian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan oleh Amos J.
Peaslee bahwa dalam kenyataannya demokrasi dipraktekkan di seluruh dunia secara
berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Setiap negara dan orang menerapkan
definisi demokrasi menurut criteria masing-masing, bahkan negara komunis seperti
RRC,kuba,Vietnam juga menyatakan sebagai negara demokrasi.
Berdasarkan kenyataan tersebut diatas maka perlu diambil suatu pengertian esensial
tentang demokrasi yang diterapkan didalam suatu negara termasuk negara Indonesia.
Dalam suatu negara yang menganut system demokrasi harus berdasarkan pada suatu
kedaulatan rakyat. Dengan lain perkataan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara adalah
ditangan rakyat. Kekuasaan dalam negara itu dikelola oleh rakyat, dari rakyat dan untuk
rakyat. (Asshiddiqie,2005 :141).
Berdasarkan esensi pengertian tersebut maka hakikat kekuasaan di tangan rakyat
adalah menyangkut baik penyelenggaraan negara maupun pemerintah. Oleh karena itu
kekuasaan pemerintah negara ditangan rakyat mengandung pengertian 3 hal : pertama,
pemerintah dari rakyat (government of the people): kedua, pemerintahan oleh rakyat
(government by people): ketiga,pemerintahan untuk rakyat (government for people).
Sistem demokrasi dalam penyelenggaraan Negara Indonesia juga diwujudkan dalam
penentuan kekuasaan negara, yaitu dengan menentukan dan memisahkan tentang
kekuasaan eksekutif pasal 4 sampai dengan pasal 16, legislatif pasal 19 sampai dengan
pasal 22, dan yudikatif pasal 24 UUD 1945.
DEMOKRASI BARAT
Melampaui Kosmopolitanisme Politik

Bom kembali meledak di Bali awal Oktober 2005. Beberapa bulan silam jantung kota-
kota Eropa diguncang oleh nasib serupa. Pembom datang tiba-tiba, menyerang lalu melumatkan
sekian banyak korban.Terorisme kini bukan hanya hantu yang menggerayangi Amerika dan
Eropa, tapi juga pelbagai belahan dunia, tak terkecuali Dunia Ketiga.

Kaum teroris menyebar ke berbagai penjuru, tanpa pusat yang pasti, dengan sekian motif
serta agenda. Hingga hari ini kita hanya bisa menyaksikan dampaknya yang mencekam siapa
pun, termasuk mereka yang berada di luar kategori yang menghendaki kaum teroris sebagai
musuh yang harus dihancurkan. Terhadap peristiwa yang paling mengerikan yang pernah terjadi
di kosmos ini setelah Perang Dunia II itu, berbagai tafsir dan konseptualisasi diajukan untuk
menguraikan tindakan teror dalam lanskap politik global.

Mendelegitimasi Pencerahan

Modernitas yang ditandai dengan pencapaian subyektivitas menempatkan manusia berdiri


sejajar di atas permukaan bumi atau kosmos. Sebuah kosmos, sejak Yunani Kuno, berarti
keseluruhan tatanan yang diatur dengan prinsip-prinsip dan hukum-hukum tertentu. Kant
mengapresiasi pengertian kosmos ini dalam konteks etis maupun politis: kosmopolitanisme.

Kosmopolitanisme berarti kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan


prinsip-prinsip imperatif universal. Konsep Immanuel Kant mengenai kosmopolitanisme menjadi
titik tolak Habermas dan Derrida dalam rangka kritiknya terhadap institusi maupun konstitusi
politik warisan Pencerahan yang dianggap oleh keduanya gagal menciptakan kesejahteraan bagi
umat manusia. Rangkaian tragedi kemanusiaan yang mewarnai abad XX seperti dua Perang
Dunia, Nazisme, Stalinisme, dan Rasisme mendesak kita menggagas ulang makna konsep-
konsep yang lahir dari rahim Pencerahan. Elemen traumatis yang ditinggalkan oleh semua
tragedi kemanusiaan abad ini, terutama peristiwa teror, adalah akibat negatif atau krisis
Pencerahan yang sudah klasik dan tak lagi memadai.
Derrida dan Habermas bergerak dalam lintasan wacana Pencerahan tentang toleransi,
keadilan, dan tanggung jawab, lalu mencoba menempatkan kembali wacana ini dalam konteks
demokrasi radikal, yaitu suatu politik universal melampaui kosmopolitanisme sebagaimana yang
pernah ditegaskan oleh Kant. Derrida dan Habermas sepakat bahwa toleransi memiliki asal-usul
keagamaan yang kemudian diapresiasi oleh politik sekuler sehingga tak heran bila toleransi
sering dipraktikkan dalam semangat paternalistik, bahkan berat sebelah. Toleransi diandaikan
berlangsung dalam payung otoritas politik yang dominan atas yang lain, minoritas.

Dalam pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat dinetralkan jika
toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang partisipatoris sebagaimana
disediakan oleh demokrasi deliberatif. Toleransi mengandaikan sikap warga negara terhadap
yang lainnya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama sehingga tidak ada ruang bagi otoritas
tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat ditoleransi
dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung jawab niscaya diletakkan
dalam konteks yang sama.

Habermas menekankan pentingnya toleransi dan konsensus rasional dalam masyarakat


demokratis atau global. Toleransi harus dipandang secara positif baik etis maupun politis. Ia
dipandang secara etis karena mengandaikan kebenaran dari yang lain. Ia dipandang secara politis
karena mampu membentuk konsensus rasional. Pemihakan ini adalah turunan dari gagasan
Habermas mengenai demokrasi konstitusional sebagai satu-satunya sistem yang dapat
mengakomodasi komunikasi bebas dominasi dalam rangka pembentukan konsensus rasional.

Argumentasi ini bertolak dari kekeliruan dalam mendasarkan identitas suatu negara-
bangsa pada tradisi hukum klasik. Satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas suatu
bangsa, dengan atau tanpa masa lalu, ialah patriotisme konstitusional di mana kesetiaan pada
konstitusi merupakan bentuk partisipasi seluruh warga negara berdasarkan konsensus. Kesetiaan
pada konstitusi ini mengungkapkan pula loyalitas kepada hak- hak keadilan dan tanggung jawab
universal, terutama dalam masyarakat yang kompleks dan multikultural.

Sebaliknya, Derrida menganggap toleransi masih mengandung kekuasaan dalam arti


tertentu terhadap yang lain. Karena toleransi masih mensyaratkan kesesuaian dengan hukum-
hukum yang berlaku dalam teritori tertentu, dalam arti ini toleransi merupakan metafor mengenai
kekuasaan atas yang lain. Derrida melawankan konsep toleransi dengan kesanggrahan
(hospitality), sebuah terminologi yang bertolak dari Kant, tetapi berbeda dari pemahaman Kant
yang masih menempatkan kesanggrahan sebagai tuntutan imperatif moral. Melalui
kesanggrahan, Derrida memperkenalkan pendekatan baru dalam etika dan politik, yaitu
kewajiban unik seseorang terhadap yang lain berupa kemurahan hati dan membuka diri dalam
pembentukan konsensus yang berlangsung secara terus-menerus tanpa akhir. Melalui
kesanggrahan ini keunikan dan perbedaan masing-masing dapat dihargai. Ia membagi
kesanggrahan ini dalam dua pola.

Pertama, toleransi bersyarat yaitu hak invitasi. Sebagai hak invitasi, kesanggrahan
menjadi syarat bagi kemungkinan konvensi-konvensi internasional. Toleransi bersyarat inilah
yang mendominasi sistem hukum klasik. Kedua, toleransi tak bersyarat yaitu hak visitasi.
Sebagai hak visitasi, kesanggrahan memungkinkan teritori dalam risiko maksimal sebab ia tidak
memiliki pertahanan sistematis dalam dirinya, kesanggrahan tidak memiliki status khusus secara
politis maupun hukum. Dari sudut pandang kesanggrahan tak bersyarat atau hak visitasi ini dapat
diperoleh suatu perspektif kritis atas batas-batas hak kosmopolitan dalam pengertian Kant. Hak
kosmopolitan ini mensyaratkan seluruh tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku
hingga dalam arti tertentu sangat totaliter.

Kosmopolitanisme ala Kant yang masih mengandaikan kesesuaian tindakan dengan


hukum inilah yang hendak dihindari oleh Derrida dengan mengajukan pengertian baru pada
konsep tentang keadilan sebagai sesuatu yang melampaui hukum. Sebab kalau tidak, keadilan
akan tereduksikan hanya kepada dapat dilaksanakannya hukum (positivisme). Sebagai produk
sosial dan politik, hukum bersifat terbatas, relatif, dan tidak pernah imun dari hukum sejarah.
Keadilan selalu berada di luar dan di dalam hukum sekaligus, demikian Derrida. Keadilan berada
di batas tegangan antara keduanya. Asumsi ini sekaligus menegaskan perbedaan antara hukum
dan keadilan; hukum bersifat universal, sementara keadilan bersifat khusus.

Jika wilayah hukum mengandaikan ciri-ciri umum yang terkandung dalam aturan, norma,
dan hal ihwal yang imperatif universal sehingga sering jatuh pada totalitarianisme dalam
praktiknya; sebaliknya, keadilan menyangkut individu, keunikan hidup, dan situasi khas
manusia. Hukum selalu beroperasi di dalam domain kepastian, dapat dikalkulasi dan diprediksi.
Sementara itu, keadilan memperhitungkan apa yang tidak mungkin dikalkulasi dan memutuskan
apa yang tidak mungkin dapat diputuskan. Dengan kata lain, keadilan mengandaikan
pengalaman aporia dan khas dari seseorang. Keadilan tidak semata- mata mengacu pada hukum,
tetapi juga melampaui hukum. Keadilan selalu berada dalam lingkaran negosiasi sosial dan
pertimbangan politis terus-menerus sampai menjumpai batas-batasnya sendiri.

Globalisasi dan tiga momen otoimun

Globalisasi, demikian Habermas, merupakan keniscayaan sejarah, tetapi juga telah


menginjeksikan kepalsuan dalam spiral komunikasi sehingga dalam praktiknya sering
melahirkan distorsi komunisi. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bahkan memanifestasi
dalam tindakan teror yang berasal dari distorsi komunikasi. Globalisasi secara kejam telah
membagi dunia ke dalam kelompok: pemenang dan pecundang. Analisis Habermas ini
melanjutkan proyek Sekolah Frankfurt dalam mendiagnosis patologi yang diidap masyarakat
modern. Patologi itu berupa distorsi komunikasi dalam masyarakat global. Diagnosis terhadap
patologi modernitas ini penting diajukan bukan untuk mengafirmasi globalisasi, tetapi
mengidentifikasi aspek-aspek yang berbahaya yang dikandungnya, salah satunya adalah
terorisme.

Terorisme berjalin-kelindan dengan pemahaman fundamentalisme dalam menafsirkan


doktrin-doktrin agama ketika merespons modernitas. Fundamentalisme adalah reaksi terhadap
kegagalan sekularisasi dan ekstensifikasi rasionalitas instrumental atas dunia kehidupan
(Lebenswelt), sekularisasi telah mencerabut bentuk-bentuk kehidupan tradisional mereka.
Ketercerabutan yang diikuti oleh homogenisasi budaya, juga identitas, membuat para individu di
dalam masyarakat terasing dari komunitasnya.

Fundamentalisme menemukan bentuknya yang paling ekstrem dalam terorisme.


Terorisme secara eksklusif bersifat modern. Fundamentalisme bukanlah gerak kembali yang
sederhana kepada suatu cara yang pramodern dalam memahami agama, tetapi lebih sebagai
respons panik dan gagap menghadapi modernitas dan globalisasi. Kepanikan ini ditandai dengan
resistensi diri terhadap prinsip- prinsip kehidupan global. Resistensi diri ini termanifestasi dalam
sikap religius yang berlebihan dan menutup kemungkinan komunikasi dengan dunia luar.
Keterputusan komunikasi ini melahirkan kekerasan dalam wujud tindakan teror. Dalam konteks
demokrasi global, terorisme memiliki dimensi politik yang berbeda dengan tindak kekerasan
biasa karena sifatnya yang mampu mendelegitimasi pemerintahan demokratis.

Berbeda dengan Habermas, Derrida menampik globalisasi sebagai keniscayaan sejarah


karena globalisasi tak pernah mengambil tempat di dalam sejarah. Globalisasi tak pernah terjadi,
yang terjadi adalah mondialisasi seluruh tatanan masyarakat dunia. Globalisasi tak lebih sebagai
kelicikan retoris yang bertujuan menyembunyikan ketidakadilan. Globalisasi hanya merayakan
kepentingan kelompok-kelompok tertentu dengan memanfaatkan kemajuan tekno-sains.
Globalisasi atau mondialisasi telah menciptakan penderitaan yang belum pernah ada presedennya
dalam sejarah: kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan, AIDS, dan seterusnya. Globalisasi
hanya merupakan delusi, suatu alat tipu daya untuk menyembunyikan ketidakseimbangan yang
muncul, suatu kegelapan baru, suatu kesembronoan komunikasi lewat media, suatu penguasaan
menyeluruh sarana produksi, teknologi, dan militer oleh segelintir negara atau korporasi
internasional untuk mereka kangkangi sendiri. Dengan demikian, globalisasi telah menunjukkan
kekuatan imunitas maupun otoimunitasnya sendiri.

Otoimunitas merupakan kata kunci untuk memahami gagasan Derrida mengenai


terorisme sebagai konsekuensi dari globalisasi atau mondialisasi. Otoimunitas adalah sebuah
kondisi otoimunisasi yang selanjutnya menghancurkan proteksinya sendiri. Dilihat dari konteks
lahirnya terorisme, otoimunitas ini melalui tiga momen peristiwa.

Pertama, perang dingin di kepala, yaitu perang yang berlangsung di kepala ketimbang di
daratan dan udara. Dilihat dari kontinuitasnya dengan Perang Dingin, para pembajak yang
berpaling melawan Amerika Serikat sebenarnya telah dilatih oleh dinas rahasia AS sendiri
selama invasi Uni Soviet di Afganistan. Boleh jadi, demikian Derrida, peristiwa 11 September
merupakan babak akhir dari ledakan internal Perang Dingin.

Kedua ialah apa yang disebut oleh Derrida lebih buruk daripada Perang Dingin, baik
secara historis maupun secara psikologis. Secara historis, musuh tidak dapat diidentifikasi dan
dikalkulasi serta tidak dapat dituntut pertanggungjawaban, tidak sebagaimana dalam Perang
Dingin dengan aktor-aktor yang jelas. Selanjutnya, secara psikologis ia menimbulkan
pengalaman traumatis yang mengarah ke masa depan. Pengalaman traumatis ini melukai masa
depan sebanyak ia melukai masa kini.

Ketiga, lingkaran setan penindasan. Ini menggambarkan cara bagaimana (dengan


mengumumkan perang melawan terorisme) koalisi negara-negara Barat membangkitkan perang
melawan dirinya sendiri. Ketiga teror otoimun yang didedahkan Derrida ini tidak dapat
dibedakan. Ketiganya saling mengandaikan dan menentukan satu sama lain. Derrida telah
memperlihatkan elemen-elemen destruktif globalisasi yang telah mengaburkan batas-batas
kategori: teror, teritori, dan terorisme.

Derrida dan Habermas berikhtiar memperlihatkan bahwa terorisme merupakan konsep


yang sulit ditangkap dan dipahami karena sifatnya yang sangat kompleks. Terorisme ditandai
dengan kekaburan konseptual dan tanpa referensi. Media Barat secara serampangan
menggunakan terminologi terorisme seakan-akan sudah jelas dengan sendirinya. Melalui media-
media global, Amerika Serikat dan sekutunya memaklumatkan perang melawan terorisme,
sebuah maklumat yang ditolak oleh Habermas dan Derrida. Habermas menganggap perang
melawan terorisme merupakan kekeliruan besar, baik secara normatif maupun pragmatis. Secara
normatif, maklumat itu menaikkan penjahat ke status musuh dalam perang, padahal musuh
tersebut belum teridentifikasi. Secara pragmatis, perang tidak dapat dilancarkan terhadap
jaringan yang tidak sepenuhnya memiliki identitas gamblang.

Terorisme seperti hantu yang menebar ke seluruh dunia. Seturut dengan Habermas,
Derrida melihat maklumat perang terhadap terorisme adalah ungkapan yang paling kacau dan
lucu. Maklumat itu justru membangkitkan kembali, dalam jangka pendek maupun panjang,
motif-motif kejahatan yang ingin diberantasnya. Bukan berarti keduanya sepakat terhadap
tindakan teroris, bagaimanapun tindakan tersebut tak dapat dibenarkan atas nama Tuhan
sekalipun karena telah menghilangkan hak hidup sebagian orang. Keduanya sedang melakukan
otokritik terhadap demokrasi Barat.
Menuju demokrasi radikal

Di hari-hari ini wacana demokrasi Barat, yang benih-benihnya telah disemaikan sejak
Liberalisme klasik, terbukti telah gagal mengakomodasi masyarakat yang kompleks. Dalam
masyarakat kompleks dewasa ini dibutuhkan satu demokrasi radikal dengan merevisi
kosmopolitanisme Kant, bahkan melampauinya. Habermas memodifikasi konsep Kant tentang
ruang publik secara substansial. Immanuel Kant masih menganggap komunikasi terjadi dalam
ruang publik soliter, sementara Habermas menekankan komunikasi dalam ruang publik secara
keseluruhan. Komunikasi tidak bisa dijamin berlangsung dalam ruang publik soliter ala Kant
karena praksis kehidupan sehari- hari kita bertumpu pada suatu dasar yang kukuh, yaitu
kenyataan bahwa kita memiliki latar keyakinan, kebenaran, budaya, dan harapan yang saling
mengandaikan.

Alih-alih mengafirmasi kosmopolitanisme Kant, Derrida meletakkan cita-cita demokrasi


di luar kosmopolitanisme atau kewarganegaraan dunia, melampaui kekuasaan tertinggi politik,
ekonomi, dan hukum. Derrida mengajukan suatu demokrasi radikal, yaitu demokrasi mendatang:
sebuah demokrasi yang belum eksis saat ini, tidak dapat dipresentasikan, bukan ide regulatif
dalam pengertian Kant. Namun, demokrasi ini menyambut baik kemungkinan untuk digugat,
untuk menggugat diri sendiri, mengkritik dan ikhtiar untuk terus-menerus memperbaiki diri.

Demokrasi Barat dalam arti ini merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus
sampai pada batas-batasnya sendiri. Derrida dan Habermas telah meretas jalan dengan
mengevaluasi secara menyeluruh prinsip-prinsip yang mendasari Pencerahan Barat. Keduanya
bertolak dari ikhtiar untuk menyegarkan kembali kosmopolitanisme Kant.

Habermas melihat Pencerahan sebagai masa lalu yang harus direkonstruksi pada konteks hari ini,
sementara Derrida secara radikal mendesak Pencerahan menuju perbatasannya, suatu keterarahan
kepada masa depan melalui manifestasinya yang terkini. Pencerahan itu ada di masa depan,
tetapi tidak dapat diprediksi dan diidentifikasi. Ia merupakan proses yang tak pernah sudah.

You might also like