Professional Documents
Culture Documents
KELOMPOK 1 :
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS RIAU
2010
DEMOKRASI INDONESIA
A. Demokrasi dan implementasinya
Pembahasan tentang peranan Negara dan masyarakat yang tidak dapat dilepaskan dari
telaah tentang demokrasi dan hal ini karena dua alasan. Pertama , hamper semua Negara didunia
ini telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya fundamental sebagai telah ditunjukkan oleh hasil
studi UNESCO pada awal 1950an yang mengumpulkan lebih dari 100 sarjana barat dan
timur,sementara dinegara-negara demokrasi itu pemberian peranan kepada Negara dan
masyarakat hidup dalam porsi yang berbeda beda ( kendati sama sama Negara demokrasi ).
Kedua, demokrasi atas asas kenegaraan secara esensial telah membrikan arah bagi peranan
masyarakat untuk meyelenggaraakan Negara sebagai organisasin tertingginya tetapi ternyata
demokrasi itu berjalan dalam jalur yang berbeda-beda (rais,1995 : 1 ).
Dalam hubungannya dengan implementasi ke dalam system pemerintahan, demokrasi
juga melahirkan system yang bermacam macam seperti : pertama, system presidensial yang
menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan member dua kedudukan kepada presiden
yakni sebagai kepala Negara dan kepala pemerintah. Kedua, system parlemenyang eletakkan
pemerintah dipimpin oleh Perdana Menteri yang hanya berkedudukan sebagai kepala Negara dan
kepala pemerintahan dan bukan kepala Negara, sebab kepala negaranya bisa diduduki oleh raja
atau presiden yang hanya menjadi symbol kedaulatan dan persatuan. Ketiga,system referendum
yang meletakkan pemerintah sebagai bagian (badan pekerja) dari parlemen. Di beberapa Negara
ada yang menggunakan system campuran antara presidensial dengan parlementer,yang antara lain
dapat dilihat dari system ketatanegaraan diperancis atau di Indonesia berdasar UUD 1945.
Dengan alasan tersebut menjadi jelas bahwa asa demokrasi yang hamper sepenuhnya
disepakati sebagai model terbaik bagi dasar penyelenggaraan Negara ternyata memberikan
implikasi yang berbeda di antara pemakai-pemakainya bagi peranan Negara.
D. Demokrasi di Indonesia
1. Perkembangan Demokrasi di Indonesia
Dalam sejarah Negara Republik Indonesia yang telah lebih dari setengah abad,
perkembangan demokrasi telah mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi oleh
bangsa Indonesia ialah bagaimana meningkatkan kehidupan ekonomi dan membangun
kehidupan sosial dan politik yang demokratis dalam masyarakat yang beraneka ragam pola
adat budayanya. Masalah ini berkisar pada penyusunan suatu system politik dengan
kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta character and
nation building,dengan partisipasi rakyat,sekaligus menghindarkan timbulnya diktatur
perorangan, partai ataupun militer.
Bom kembali meledak di Bali awal Oktober 2005. Beberapa bulan silam jantung kota-
kota Eropa diguncang oleh nasib serupa. Pembom datang tiba-tiba, menyerang lalu melumatkan
sekian banyak korban.Terorisme kini bukan hanya hantu yang menggerayangi Amerika dan
Eropa, tapi juga pelbagai belahan dunia, tak terkecuali Dunia Ketiga.
Kaum teroris menyebar ke berbagai penjuru, tanpa pusat yang pasti, dengan sekian motif
serta agenda. Hingga hari ini kita hanya bisa menyaksikan dampaknya yang mencekam siapa
pun, termasuk mereka yang berada di luar kategori yang menghendaki kaum teroris sebagai
musuh yang harus dihancurkan. Terhadap peristiwa yang paling mengerikan yang pernah terjadi
di kosmos ini setelah Perang Dunia II itu, berbagai tafsir dan konseptualisasi diajukan untuk
menguraikan tindakan teror dalam lanskap politik global.
Mendelegitimasi Pencerahan
Dalam pandangan Habermas, pola toleransi yang berat sebelah dapat dinetralkan jika
toleransi dipraktikkan dalam konteks sebuah sistem politik yang partisipatoris sebagaimana
disediakan oleh demokrasi deliberatif. Toleransi mengandaikan sikap warga negara terhadap
yang lainnya berdasarkan hak dan kewajiban yang sama sehingga tidak ada ruang bagi otoritas
tertentu yang diperbolehkan secara sepihak menentukan batas-batas, apa yang dapat ditoleransi
dan apa yang tidak. Sebagai konsekuensinya, keadilan dan tanggung jawab niscaya diletakkan
dalam konteks yang sama.
Argumentasi ini bertolak dari kekeliruan dalam mendasarkan identitas suatu negara-
bangsa pada tradisi hukum klasik. Satu-satunya artikulasi yang sah tentang identitas suatu
bangsa, dengan atau tanpa masa lalu, ialah patriotisme konstitusional di mana kesetiaan pada
konstitusi merupakan bentuk partisipasi seluruh warga negara berdasarkan konsensus. Kesetiaan
pada konstitusi ini mengungkapkan pula loyalitas kepada hak- hak keadilan dan tanggung jawab
universal, terutama dalam masyarakat yang kompleks dan multikultural.
Pertama, toleransi bersyarat yaitu hak invitasi. Sebagai hak invitasi, kesanggrahan
menjadi syarat bagi kemungkinan konvensi-konvensi internasional. Toleransi bersyarat inilah
yang mendominasi sistem hukum klasik. Kedua, toleransi tak bersyarat yaitu hak visitasi.
Sebagai hak visitasi, kesanggrahan memungkinkan teritori dalam risiko maksimal sebab ia tidak
memiliki pertahanan sistematis dalam dirinya, kesanggrahan tidak memiliki status khusus secara
politis maupun hukum. Dari sudut pandang kesanggrahan tak bersyarat atau hak visitasi ini dapat
diperoleh suatu perspektif kritis atas batas-batas hak kosmopolitan dalam pengertian Kant. Hak
kosmopolitan ini mensyaratkan seluruh tindakan harus sesuai dengan hukum yang berlaku
hingga dalam arti tertentu sangat totaliter.
Jika wilayah hukum mengandaikan ciri-ciri umum yang terkandung dalam aturan, norma,
dan hal ihwal yang imperatif universal sehingga sering jatuh pada totalitarianisme dalam
praktiknya; sebaliknya, keadilan menyangkut individu, keunikan hidup, dan situasi khas
manusia. Hukum selalu beroperasi di dalam domain kepastian, dapat dikalkulasi dan diprediksi.
Sementara itu, keadilan memperhitungkan apa yang tidak mungkin dikalkulasi dan memutuskan
apa yang tidak mungkin dapat diputuskan. Dengan kata lain, keadilan mengandaikan
pengalaman aporia dan khas dari seseorang. Keadilan tidak semata- mata mengacu pada hukum,
tetapi juga melampaui hukum. Keadilan selalu berada dalam lingkaran negosiasi sosial dan
pertimbangan politis terus-menerus sampai menjumpai batas-batasnya sendiri.
Pertama, perang dingin di kepala, yaitu perang yang berlangsung di kepala ketimbang di
daratan dan udara. Dilihat dari kontinuitasnya dengan Perang Dingin, para pembajak yang
berpaling melawan Amerika Serikat sebenarnya telah dilatih oleh dinas rahasia AS sendiri
selama invasi Uni Soviet di Afganistan. Boleh jadi, demikian Derrida, peristiwa 11 September
merupakan babak akhir dari ledakan internal Perang Dingin.
Kedua ialah apa yang disebut oleh Derrida lebih buruk daripada Perang Dingin, baik
secara historis maupun secara psikologis. Secara historis, musuh tidak dapat diidentifikasi dan
dikalkulasi serta tidak dapat dituntut pertanggungjawaban, tidak sebagaimana dalam Perang
Dingin dengan aktor-aktor yang jelas. Selanjutnya, secara psikologis ia menimbulkan
pengalaman traumatis yang mengarah ke masa depan. Pengalaman traumatis ini melukai masa
depan sebanyak ia melukai masa kini.
Terorisme seperti hantu yang menebar ke seluruh dunia. Seturut dengan Habermas,
Derrida melihat maklumat perang terhadap terorisme adalah ungkapan yang paling kacau dan
lucu. Maklumat itu justru membangkitkan kembali, dalam jangka pendek maupun panjang,
motif-motif kejahatan yang ingin diberantasnya. Bukan berarti keduanya sepakat terhadap
tindakan teroris, bagaimanapun tindakan tersebut tak dapat dibenarkan atas nama Tuhan
sekalipun karena telah menghilangkan hak hidup sebagian orang. Keduanya sedang melakukan
otokritik terhadap demokrasi Barat.
Menuju demokrasi radikal
Di hari-hari ini wacana demokrasi Barat, yang benih-benihnya telah disemaikan sejak
Liberalisme klasik, terbukti telah gagal mengakomodasi masyarakat yang kompleks. Dalam
masyarakat kompleks dewasa ini dibutuhkan satu demokrasi radikal dengan merevisi
kosmopolitanisme Kant, bahkan melampauinya. Habermas memodifikasi konsep Kant tentang
ruang publik secara substansial. Immanuel Kant masih menganggap komunikasi terjadi dalam
ruang publik soliter, sementara Habermas menekankan komunikasi dalam ruang publik secara
keseluruhan. Komunikasi tidak bisa dijamin berlangsung dalam ruang publik soliter ala Kant
karena praksis kehidupan sehari- hari kita bertumpu pada suatu dasar yang kukuh, yaitu
kenyataan bahwa kita memiliki latar keyakinan, kebenaran, budaya, dan harapan yang saling
mengandaikan.
Demokrasi Barat dalam arti ini merupakan proses yang berlangsung secara terus-menerus
sampai pada batas-batasnya sendiri. Derrida dan Habermas telah meretas jalan dengan
mengevaluasi secara menyeluruh prinsip-prinsip yang mendasari Pencerahan Barat. Keduanya
bertolak dari ikhtiar untuk menyegarkan kembali kosmopolitanisme Kant.
Habermas melihat Pencerahan sebagai masa lalu yang harus direkonstruksi pada konteks hari ini,
sementara Derrida secara radikal mendesak Pencerahan menuju perbatasannya, suatu keterarahan
kepada masa depan melalui manifestasinya yang terkini. Pencerahan itu ada di masa depan,
tetapi tidak dapat diprediksi dan diidentifikasi. Ia merupakan proses yang tak pernah sudah.