You are on page 1of 13

KADAR KONFLIK PEMILIHAN

KEPALA DAERAH

Abstraksi

Pilkada adalah tonggak demokrasi langsung di


daerah, namun pelaksanaannya rawan konflik.
Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang
mendalam terhadap aspek dan faktor yang
potensial pemicu konflik yang
melatarbelakanginya. Dari pemahaman ini,
potensi konflik dapat dihindari dan ditekan
seminimal mungkin sehingga pilkada dapat
terselenggara dengan aman, lancar dan
demokratis. Bila konflik tidak bisa dihindari, mka
diperlukan sebuah manajemen dan resolusinya
untuk menyalurkan serta menganalisa agar
konflik tidak lepas kendali dan terjadi luar
konteks proses demokrasi.

A. Pendahuluan
Konflik merupakan realitas sosial yang terjadi dalam setiap
lapisan masyarakat, dari tingkat keluarga, RT, Desa, sampai ke tingkat
negara, dan bahkan dunia. Konflik terjadi karena adanya perbedaan
kepentingan antara satu individu dengan individu yang lain, antara

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 1


Organisasi
individu dengan masyarakat atau antara satu kelompok masyarakat
dengan masyarakat lain. Konflik merupakan fakta sosial, karena manusia
hidup dalam kelompok masyarakat yang di dalamnya terdapat norma-
norma, aturan-aturan, adat istiadat serta budaya yang berbeda-beda antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Persoalannya
adalah, bagaimana agar konflik tidak berubah menjadi ketegangan sosial
atau bahkan sampai pada kekerasan sosial.
Menjelang pemilihan pimpinan Kepala Daerah PILKADA hampir
selalu diliputi oleh ketakutan akan terjadinya kekerasan komunal antar
kelompok etnis, agama, maupun asal daerah. Di sini sengaja memakai
istilah kekerasan, karena orang seringkali mencampuradukkan antara
konflik dengan kekerasan. Menurut Simon Fisher dkk (2001), konflik
berbeda dengan kekerasan. Konflik adalah hubungan antara dua pihak
atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki
sasaran-sasaran yang tidak sejalan, sedangkan kekerasan adalah tindakan,
perkataan, sikap, berbagai struktur atau sistem yang menyebabkan
kerusakan secara fisik, sosial atau lingkungan dan /atau menghalangi
seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Pengertian tersebut
menegaskan bahwa konflik merupakan sesuatu yang tidak bisa dihindari,
dia berada diantara kita dan selalu bersama-sama kita, dan konflik
menjadikan manusia menjadi berubah, tanpa konflik kehidupan akan
statis. Lebih jauh dikatakan, jika konflik selalu ada, berarti konflik itu
sebenarnya dibutuhkan, dan manfaat konflik diantaranya adalah membuat
orang-orang menyadari adanya banyak masalah yang akan mendorong ke
arah perubahan yang diperlukan, mencari solusi, menumbuhkan
semangat, mempercepat perkembangan pribadi, menambah kepedulian
diri, mendorong kedewasaan psikologis, dan menimbulkan kesenangan.
Dalam tulisan ini yang dimaksud konflik disini adalah pertikaian
antar komunitas etnis, agama dan daerah dalam bentuk kekerasan

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 2


Organisasi
sehingga menimbulkan korban manusia, hewan maupun kerusakan sosial
lingkungan dan benda-benda lainnya.
Setiap kelompok atau golongan menginginkan (jika perlu
memaksakan) agar yang menjadi Kepala Daerah tersebut adalah berasal
dari golongan atau kelompoknya. Dari kenyataan ini seharusnya nafsu
kritis rasionalis kita sebagai bangsa yang katanya Bhinneka Tunggal Ika
itu bertanya : Mengapa kita ingin agar pemimpin daerah kita berasal dari
orang yang se Etnis, se iman jika perlu serahim dengan kita ?. Apakah
keinginan tersebut memang merupakan keinginan mayoritas atau hanya
sekedar keinginan dari orang yang kepingin DUDUK dan tim suksesnya
yang mencoba memanipulasi sentimen Etnis dan golongan dari
masyarakat lapis bawah (grassroot) ?
Untuk mengatasi benturan yang disebabkan oleh perbedaan
kelompok ini, biasanya para politikus kita lewat partai politik,
menawarkan solusi klasik yaitu membagi kue jabatan menjadi dua, yaitu;
jika Gubernur atau Bupatinya berasal dari kelompok Etnis atau agama A,
maka wakilnya dari kelompok B, begitu pula sebaliknya. Solusi seperti
inilah yang sering disebut politikus sebagai solusi terbaik.
Jika kita merenung lebih dalam, maka dibalik nafsu yang
menginginkan agar orang dari kelompoknyalah yang menjadi pemimpin
sebenarnya terdapat rasa ketakutan dan keserakahan. Rasa ketakutan
karena jika yang menang dari kelompok atau golongan atau etnis lain,
maka golongan atau kelompoknya akan di anaktirikan atau
dimarjinalkan, sedangkan keserakahan timbul dalam bentuk harapan
bahwa jika yang menjadi pemimpin berasal dari kelompoknya, maka ia
akan mendapat perhatian lebih karena ada hubungan emosional dari
kesamaan etnis, agama dan golongan, dengan demikian akan
mendapatkan kemudahan-kemudahan.

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 3


Organisasi
Sebagai suatu entitas sosial berdimensi paradoksal, Pilkada dari
satu sisi bisa menjadi wujud demokrasi dalam era otonomi daerah dan
dari sisi lain akan menjadi ajang perebutan kuasa dan money. Mereka
yang kurang mengenal realitas dan seluk beluk sosial di daerah tertentu
umumnya optimis dengan Pilkada mendatang, sedangkan mereka yang
mewarisi pemikiran kritis historis meragukan jaminan kebenaran dan
kejujuran langkah-langkah prosedural Pilkada, “Siapa yang menjamin
kebenaran pelaksanaan Pilkada?” merupakan pertanyaan hakiki Pilkada.

B. Potensi dan Peluang-Peluang Konflik


Potensi konflik dalam proses pilkada merupakan sesuatu yang
perlu diwaspadai dan diantisipasi, karena manifestasinya sesungguhnya
tidak dikehendaki. Ada beberapa daerah tertentu yang mempunyai potensi
konflik sangat besar dan ekskalatif, baik yang sifay horisontal maupun
vertikal. Beberapa daerah lainnya justru sudah terjadi atau manifest,
meskipun faktor pemicunya bukan soal pilkada.
Sebagian lainnya, konflik yang terjadi telah dapat diredam,
namun bara apinya belum dapat dipadamkan, laksana api dalam sekam.
Sementara itu, daerah-daerah lain yang dipandang masih adem ayem juga
memendam bara konflik yang besar karena faktor kesenjangan ekonomi
dan sosial misalnya.
Potensi konflik yang nyaris tersebar di semua daerah di Indonesa
itu perlu diwaspadai dan diantisipasi sejak dini. Tujuannya tidak hanya
agar pilkada dapat berjalan lancar dan sukses, tetapi juga sebagai awal
atau pintu masuk bagi upaya mengelola daerah secara adil yang pada
gilirannya dapat mengatasi akar persolan konflik atau sengketa yang
terjadi di masyarakat. Pelaksanaan pilkada bukanlah sesuatu yang berdiri
sendiri sebagai manifestasi dari prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat.
Pilkada merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari seluruh proses

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 4


Organisasi
pengelolaan daerah. Pilkada yang demokratis justru dimaksudkan untuk
mencari pemimpin yang berkualitas dan akan menjadi problem solverI
bagi setiap permasalahan di daerah, dan bukan sebaliknya menjadi
sumber atau pangkal masalah.
Secara normatif, proses pilkada sejak tahap perencanaan hingga
pasca pelaksanaannya bukan arena konflik, tetapi justru sarana
pembelajaran masyarakat agar semakin dewasa dalam berdemokrasi dan
berbeda pendapat. Tapi persoalannya pilkada adalah kegiatan politik yang
dilakukan di tempat dan lingkungan masyarakat yang sangat heterogen
kepentingannya, sehingga terjadinya konflik politik adalah sesuatu yang
sulit dihindarkan. Persoalannya adalah bagaimana mengelola konflik itu
agar tidak merusak sendi-sendi demokrasi dan bangunan masyarakat
secara keseluruhan, tetapi justru sebaliknya sebagai alat untuk
menyalurkan berbagai perbedaan dengan cara-cara yang beradab dan
tanpa kekerasan atau kerusuhan massa. Justru inilah hakekat lain dari
penyelenggaraan pilkada, dan bukan sebaliknya sebagai ajang atau
pemicu konflik betapapun besarnya potensi ke arah itu.
Persoalannya adalah pilkada langsung yang digelar mulai bulan
Juni 2005, merupakan sesuatu yang baru, sementara pengalaman
masyarakat sangat minim. Keberhasilan melaksanakan pemilu tahun 2004
merupakan pelajaran berharga, tetapi masih tidak cukup dan belum teruji
kemapanannya. Demikian juga praktik-praktik demokrasi di tingkat desa
berupa pemilihan kepala desa terjadi dalam lingkup kecil (desa) dimana
penduduk dan kepentingannya relatif homogen dibalur sistem
kemasyarakatan yang bercirikan paguyuban.
Sebaliknya pengalaman empirik yang terjadi akhir-akhir ini di
berbagai daerah memberikan contoh sebaliknya. Fenomena kekerasan
lebih sering mengemuka, baik yang dilakukan oleh massa, kelompok
masyarakat atau aparat negara. Kekerasan demi kekerasan sering

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 5


Organisasi
dipertontonkan dengan telanjang dalam kehidupan sehari-hari atau lewat
media massa.
Praktek dan realitas yang sering dipilih untuk mendesakkan
kehendak dan mengatasi persoalan adalah sesuatu yang dikhawatirkan
akan terjadi dan berlanjut dalam proses pilkada. Kekhawatiran ini telah
menjadi realitas umum di masyarakat yang sesungguhnya menghendaki
sebaiknya agar pilkada berjalan lancar dan aman. Semua pihak kawatir
jika pilkada justru menjadi penyulut atau pemicu konflik yang telah ada
dan memperluasnya dalam tingkatan yang lebih enskalatif dan mendalam.
Kekawatiran ini bukan sesuatu yang mengada-ada atau didramatisir,
tetapi jsutru lebih mengacu pada pengalaman masa lalu.
Di era orde baru konstalasi sosial politik di permukaan kelihatan
adem ayem, karena konon rezim orde baru yang berkuasa mampu
menekan konflik sosial ke tingkat yang dapat dikendalikan. Tapi asumsi
itu tidak semua benar sebab potensi konflik ternyata tidak mengecil atau
mati justru semakin berkembang di bawah permukaan. Kedahsyatan dari
manifestasi potensi konflik dapat dilihat di penghujung dan pasca
jatuhnya rezim Soeharto. Rezim Soeharto yang didukung militer dengan
mengedepankan pendekatan represif ternyata tidak mampu mematikan
potensi konflik yang ada, tetapi justru semakin mendorong
berkembangnya konflik yang kemudian meledak tak terkendali pasca
jatuhnya rezim Soeharto.
Kondisi demikian ini sering disebut sebagai bentuk euforia
reformasi, tetapi juga manifestasi dari ledakan konflik yang terpendam.
Lagi pula konflik sosial sesungguhnya senantiasa ada (omnipresent) atau
ada dimana-mana. Keberadaannya melekat pada struktur sosial dan setiap
kegiatan dan kehidupan sosial masyarakat, oleh karenanya tidak bisa
dihilangkan. Dimanapun tempatnya, sejarah mencatat bahwa kekuatan
yang dimiliki rezim otoritarian atau totalitarian tidak pernah mampu

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 6


Organisasi
membunuh potensi konflik, melainkan sekedar menekannya ke bawah
permukaan tanpa meresolusikannya secara layak. Suatu saat rezim itu
akan runtuk karena pembusukan yang terjadi di dalam (social and
political decay) sebagaimana yang dialami rezim Soeharto. Dan seiring
dengan bergulirnya demokratisasi, maka potensi konflik itu menjadi
manifest, seolah tiba-tiba saja datang.
Indonesia adalah contoh par-execelent akan hal ini, yang mana
hingga saat ini belum menemukan sistem yang melembaga untuk
mengelola konflik secara demokratis. Pemilu yang digelar tahun 1999 dan
2004 adalah salah satu upaya terpenting untuk mengkanalisasi konflik dan
mengelolanya untuk tujuan produktif.

1. Dalam proses Penyaringan Balon Kepala Daerah (konflik dalam


rekruitmen kandidat)
Ketidakjujuran dan manipulasi dalam proses pilkada, mulai dari
tahap penyaringan calon yang layak menjadi Kepala Daerah (memenuhi
dan mematuhi Undang-undang dan Peraturan Pemerintah), penentuan
jumlah pemilih (angka-angka statistik abstrak), perhitungan suara dan
permainan-permainan kotor yang menipu rakyat (pemberian suara oleh
manipulator Pilkada).
Seleksi calon Kepala Daerah yang tidak memenuhi norma-
norma obyektif –legal (profesional, kredibilitas, accountable) akan
mengundang reaksi massa di daerah pemilihan. Rakyat berharap tim
seleksi calon Kepala Daerah sungguh-sungguh bersih, berkompeten dan
terpercaya. Permainan pada tahap pencalonan akan menyengsarakan
keadaan daerah yang dipimpinnya. Yang layak dicalonkan adalah mereka
yang benar-benar berkompetensi profesional dan berdedikasi dalam
membangun daerah.

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 7


Organisasi
Proses rekruitmen kandidat calon kepala daerah sangat ditentukan
oleh parpol meskipun semua orang dapat mengajukan dirinya, tapi harus
melalui lembaga partai politik, walaupun sekarang sudah ada calon
independent namun aturan masih belum mengaturnya secara lebih rinci.
Jadi dalam pelaksanaan pemilihan langsung, kesempatan bagi calon
individu atau perseorangan terbuka luas, tapi justru hal ini telah
meningkatkan potensi konflik yang lebih besar pula. Contoh konkrit yang
telah melakukan pencalon independent adalah pencalonan Irwandy Yunus
sebagai Calon Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam.
Potensi konflik dalam rekruitmen calon dapat muncul apabila
parpol menolak calon perseorang karena memiliki calon sendiri.
Sementara calon perseorangan tidak dapat menerima penolakan tersebut.
Seperti disebutkan dalam pasal 59 ayat (6) Undang-undang Pemerintahan
Daerah bahwa parpol hanya dapat mengusulkan satu pasangan calin dan
pasangan itu tidak dapat diusulkan lagi oleh parpol atau gabungan parpol
lain. Dengan demikian, ada kecenderungan parpol atau gabungan parpol
mengusulkan pasangan calon pilihan mereka sendiri, tanpa
mengakomodasi calon perseorangan. Padahal calon perseorangan itu bisa
saja mengjukan klaim bahwa ia adalah tokoh yang berpengaruh, sehingga
mampu meraup banuk suara pendukung. Klaim itu dinilai wajar
mengingat pilkada langsung melibatkan suara rakyat sepenuhnya.
Persoalannya, seringkali semua calon yang lolos seleksi atau
gagal mengklaim bahwa mereka mendapat dukungan luas. Menjadi
persoalan jika kegagalan itu lebih disebabkan oleh keputusan parpol yang
tidak mau mencalonkannya karena menilai ada calin lain yang lebih layak
dan pas dengan kepentingan parpol yang mencalonkan. Biasanya ketika
tokok sebagai calon perseorangan tidak dipilih sebagai calon kepala
daerah atau wakil kepala daerah oleh partai politik di daerah tersebut,
maka tokoh yang bersangkutan dapat tersinggung dan marah. Hal inilah

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 8


Organisasi
yang memicu konflik di daerah, selama pelaksanaan pilkada langsung.
Oleh karena itu perlu mekanisme terbuka dalam pencalonan pasangan
kepala daerah dan wakil kepala daerah termasuk calon perseorangan.

2. Dalam proses pemilihan Calon Kepala Daerah


Para Calon Kepala Daerah dan Tim Suksesnya dalam kampanye
sangat memahami hal ini. Memang biaya yang paling murah untuk
memobilisasi massa adalah dengan membakar rasa fanatisme etnis dan
golongan. Padahal kadar fanatisme antara masyarakat bawah dan elit
politiknya berbeda. Fanatisme masyarakat bawah terhadap golongannya
biasanya murni, sedangkan fanatisme para elite politiknya umumnya
hanya semu, sekedar agar mendapat dukungan mayoritas saja.
Bahkan dalam proses kampanye tidak jarang para juru kampanye
dari Calon Kepala Daerah tertentu melakukan black campain, carracter
assassination, intimidasi dan menggelorakan sentimen golongan ataupun
kelompoknya serta yang tak dapat dielakkan lagi adalah mobilisasi massa
yang bisa menimbulkan keributan antar para pendukung.
Sedangkan dalam proses pemilihan, kondisi yang akan timbul
yaitu adanya serangan fajar, sabotase, manipulasi data. Hal inilah yang
perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait baik dari pihak
keamanan, Panwasda maupun penyelenggara (KPUD sampai petugas
TPS).
Kekecewaan dan ketidakpuasan sosial yang terkait dengan
langkah-langkah prosedural pencalonan hingga pemilihan hanya akan
mempertebal akumulasi sosial dalam masyarakat yang merasa “kalah”
dalam pilkada. Bukan mustahil, perasaan-perasaan di atas akan
memancing mereka untuk melakukan tindakan-tindakan konfliktual
dalam masyarakat.

3. Mengentalnya Gejala Primordialisme

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 9


Organisasi
Dalam proses Pilkada gejala primordialisme sangat sulit
disingkirkan, karena sikap keakuan antara inside dan outside atau ingroup
dan outgroup pasti selalu menjadi lem perekat yang paling mudah dan
murah dalam mempengaruhi emosi massa. Namun dibalik itu justru sikap
primordialisme ini cenderung lebih mudah menyulut emosi massa, dan
mudah menjadi benturan-benturan yang bisa menimbulkan tindak
kekerasan. Tanpa pencerahan politik yang lebih baik, rakyat akan
cenderung memilih calon-calon sedaerah, sesuku, sebahasa dan sebudaya.
Sedangkan calon-calon yang sebenarnya lebih layak dan cocok akan
tersingkir dari kalangan masyarakat yang belum dewasa dalam
pendidikan politik.

4. Beberapa Kendala Teknis Penyelenggaraan Pilkada


Di samping soal potensi konflik yang masih membayangin
penyelenggaraan pilkada, muncul juga persoalan-persoalan teknis yang
tidak kalah berat dan serius. Persoalan tekni sini tidak bisa dianggap
sepele dibandingkan dengan persoalan lain seperti soal demokrasi dan
potensi konflik karena jika tidak ditangani dengan baik, justru akan
mengacaukan proses demokrasi dan memicu konflik yang lebih luas.
Beberapa persoalan teknis penyelenggaraan pilkada yang masih
belum terselesaikan biasanya bervariasi antar daerah, namun ada
kesamaan diantara mereka yaitu soal mepetnya waktu yang tersedia dan
kendala dana yang minim. Kedua hal ini membawa implikasi yang luas
terhadap keseluruhan proses penyelenggaraan pilkada seperti proses
distribusi logistik dan sosialisasi pilkada.
Beberapa KPUD mengeluh soal minim dan belum turunnya
anggaran, baik dari APBD maupun APBN. Bahkan diantara KPU
kabupaten di daerah pemekaran ada belmu memiliki personel dan
sebagian diantaranya dalam proses seleksi calon-calon anggota KPU

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 10


Organisasi
padahal pelaksanaan pilkada semakin dekat. Sebelum calon-calon itu
terpilih dan diangkat KPU pusat, KPU kabupaten belum bisa melakukan
pilkada. Sambil menunggu kucuran dana yang jumlahnya tidak banyak,
KPUD harus tetap melaksanakan tugasnya, meskipun tidak optimal.
Pilkada seharusnya menjadi ajang uji coba pluralisme politik tanpa
melahirkan konflik terpola yang berbasiskan etnik, agama atau segala bentuk
kebudayaan. Demokrasi dalam dirinya mengandaikan kesatuan kultural yang
merangkul semua kelompok sosial. Suatu politik peradaban dalam
membangun suatu demokrasi diharapkan dapat lahir dari pilkada. Kesadaran
mendasar akan adanya keterkaitan antara demokratisasi dan konflik identitas
kelompok sosial perlu ditumbuhkan sejak sekarang sehingga beberapa
langkah antisipatif dapat ditempuh. Antena Early Warning System (EWS)
perlu segera dipasang.
Penegakan hukum positif secara bersih dan terpercaya dinantikan
dalam pelaksanaan Pilkada. Sanksi hukum positif yang transparan selayaknya
dikenakan pada pihak-pihak yang terbukti mempermainkan dan
memanipulasi Pilkada demi kepentingan-kepentingan terselubung golongan
atau kelompok sosial tertentu. Pemantauan dan kontrol normatif oleh
pemerintah pusat dalam kerja sama dengan masyarakat termasuk suatu
kebutuhan mendasar.
Disamping adanya wadah pengaduan masyarakat tentang langkah-
langkah non prosedural dan langkah manipulatif dalam penanganan
problematika sosial masyarakat, sebuah jembatan antar anasir sosial (etnis,
agama, kebudayaan dan politik) perlu segera dibangun menyongsong Pilkada
mendatang. Menghadapi potensial konfliktual, tampaknya nilai-nilai tradisi
lokal berupa kesetiakawanan, kerjasama, saling percaya dan tenggang rasa
antar kelompok sosial sudah waktunya dibangkitkan kembali setelah sekian
lama dipolitisasi oleh pihak-pihak yang memanipulasi perkembangan sosial
masyarakat yang begitu majemuk.

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 11


Organisasi
Untuk itu sebagai langkah antisipatif penanggulangan konflik dalam
pelaksanaan Pilkada yang perlu diperhatikan antara lain :
1. Syarat calon Kepala Daerah harus sesuai dengan aturan main (UU
maupun PP), bagi yang tidak memenuhi syarat, KPUD harus tegas untuk
mencoret, jangan sampai ada kompromi-kompromi di belakang layar.
2. Penyelenggara ( KPUD sampai petugas TPS) dan Panwasda Pilkada
harus tetap menjaga netralisasi, jangan sampai ada keberpihakan pada
calon Kada tertentu.
3. Aturan kampanye harus tegas, artinya kalau ada peserta dan tim
suksesnya yang melakukan pelanggaran terhadap aturan kampanye harus
diberi sanksi dan ditindak.
4. Membangun etika politik siap kalah, sehingga apapun hasilnya jika
dilaksanakan dengan jurdil dan transparan maka siap menerima kekalahan
itu.
5. Menghindari sikap primordialisme yang berlebihan.
6. Sosialisasi aturan main dalam Pilkada. Ini harus dilakukan semaksimal
mungkin, mengingat untuk pertama kalinya Pilkada dilaksanakan secara
langsung, sehingga masyarakat benar-benar memahami dan mengerti
aturan dan tata cara dalam Pilkada, bukan hanya sebagai formalitas politik
saja.
7. Panwasda harus bisa mengantisipasi akan adanya serangan fajar
ataupun serangan senja dalam bentuk apapun.
Masyarakat tidak bisa maju dan berkembang hanya karena
kebanggaan terhadap kelompok atau golongannya yang menjadi pemimpin,
tetapi dari kebajikan dan kebijakan pemimpin itu sendiri, serta
penghayatannya terhadap moral yang diajarkan oleh agamanya.
Sebagai saran, mari kita berpikir dengan jernih, kita pilih bersama
orang-orang yang layak untuk menjadi pemimpin tanpa melihat kelayakan

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 12


Organisasi
asal etnis atau agamanya, kemudian kita dudukkan dia bersama-sama.
Namun jika ternyata dia tidak becus, maka bersama-sama kita ingatkan dia.

DAFTAR PUSTAKA

Harahap, Abdul Asri. 2005. Manajemen dan Resolusi Konflik Pilkada.


Jakarta: Pustaka Cidesindo.
Sanit, Arbi. 1981. Sistem Politik Indonesia. Jakarta: CV. Rajawali.
Sjamsudin, Nazarudin. 1989. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta:
Gramedia.

Tugas Mata Kuliah Manajemen Sistem Aparatur dan Konflik 13


Organisasi

You might also like