You are on page 1of 21

FUNGSI POLITIK PENDIDIKAN

Sejak kedatangan islam di Indonesia, Islam telah menggunakan


dakwah dan pendidikan sebagai sarana untuk mensosialisasikannya
ditengah-tengah masyarakat. Dalam proses sosialisasi Islam melalui
pendidikan tersebut, selain dilakukan oleh masyarakat sendiri, juga
dilakukan oleh pemerintah atau sekurang-kurangnya mendapat
bantuan dari pemerintah. Pada pendidikan yang mendapat bantuan
dari pemerintah ini pada akirnya terjadi proses saling mempengaruhi.
Dari satu sisi, situasi pemerintahan dipengaruhi oleh corak dari lulusan
pendidikan, dan pada sisi lain pemerintah juga mempengaruhi dunia
pendidikan. Corak arah dan tujuan pendidikan selanjutnya ditentukan
oleh corak politik yang ditentukan oleh pemerintah. Dalam kaitan ini
maka muncullah yang disebut sebagai politik pendidikan.[1]
Pemahaman terhadap politik pendidikan itu amat penting dilakukan,
baik sebagai wacana maupun sebagai bahan untuk dipertimbangkan
oleh para pengelola dalam mengambil kebijakan bidang pendidikan.
Hal yang demikian perlu dilakukan, karena dengan mengetahui politik
pendidikan akan dapat diketahui kearahmana kegiatan pendidikan
akan dibawa, dan untuk tujuan apa pendidikan itu diadakan.
1. Pengertian Politik Pendidikan
Politik pendidikan adalah segala usaha, kebijakan dan siasat yang
berkaitan dengan masalah pendidikan. Dalam perkembangan
selanjutnya politik pendidikan adalah penjelasan atau pemahaman
umum yang ditentukan oleh penguasa pendidikan tertinggi untuk
mengarahkan pemikiran dan menentukan tindakan dengan perangkat
pendidikan dalam berbagai kesamaan dan keanekaragaman beserta
tujuan dan program untuk merealisasikannya. (Ahmad Zaki Badawi,
1980:200)
Dengan demikian politik pendidikan adalah segala kebijakan
pemerintah suatu negara dalam bidang pendidikan yang berupa
peraturan perundangan atau lainnya untuk menyelenggarakan
pendidikan demi tercapainya tujuan negara.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, maka politik pendidikan
mengandung lima hal sebagai berikut. Pertama, politik pendidikan
mengandung kebijakan pemerintah suatu negara yang berkenaan
dengan pendidikan. Kedua, politik pendidikan bukan hanya berupa
peraturan perundangan yang tertulis, melainkan juga termasuk
kebijakan lainnya. Ketiga, politik pendidikan ditujukan untuk
mensukseskan penyelenggaraan pendidikan. Keempat, politik
pendidikan dijalankan demi tercapainya tujuan negara. Kelima, politik
pendidikan merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan suatu
negara.[2]
2. Lembaga Politik
Menurut Komblum bahwa lembaga politik merupakan perangkat norma
dan status yang mengkhususkan diri pada pelaksanaan kekuasaan dan
wewenang.
Lembaga politik berhubungan dengan eksekutif, yudikatif, legislatif,
keamanan nasional, dari partai politik, serta politik menentukan siapa,
kapan, dan bagaimana memiliki kekuasaan.
Ciri-ciri lembaga politik adalah adanya suatu komunitas manusia yang
hidup bersama atas dasar nilai-nilai yang disepakati bersama, adanya
asosiasi politik yang disebut pemerintahan yang aktif pemerintah
melaksanakan fungsi –fungsi untuk kepentingan bersama, pemerintah
diberi kewenangan untuk memonopoli penggunaan atau ancaman
paksaan fisik, serta pemerintah mempunyai kewenangan tersebut
hanya pada wilayah tertentu.
Fungsi lembaga politik adalah melembagakan norma melalui undang-
undang yang telah dibuat oleh lembaga legislatif, malaksanakan
undang-undang yang telah disyahkan, menyelenggarakan pelayanan
sosial.
3. Lembaga Pendidikan
Pendidikan merupakan proses membimbing manusia dari
kegelapan/kebodohan ke pencerahan pengetahuan atau dari tidak
tahu menjadi tahu. Fungsi nyata pendidikan:
a. Membantu orang mengembangkan potensi mereka agar dapat
memenuhi kebutuhannya serta kebutuhan masyarakat.
b. Melestarikan kebudayaan dengan cara mewariskan kepada generasi
berikutnya
c. Mengembangkan kemempuan berpikir dan berbicara secara rasional
d. Meningkatkan cita rasa keindahan para siswa
e. Membantu agar sanggup mencari nafkah bagi kehidupan kelak.
Adapun jenis pendidikan menurut Ki Hajar Dewantoro:
1) Pendidikan Informal (keluarga)atau biasa disebut pendidikan seumur
hidup (life long education)
2) Pendidikan formal (sekolah).
3) Pendidikan non formal (pendidikan masyarakat).
Menurut Sutari lembaga pendidikan yakni Sekolah pada hakekatnya
adalah bertujuan untuk membantu orang tua mengajar kebiasaan-
kebiasaan baik dan menambahkan budi pekerti yang baik, juga
diberikan pendidikan untuk kehidupan di dalam masyarakat yang
sukar duberikan dirumah.[3]
4. Birokrasi Lembaga Pendidikan
Birokrasi pendidikan mengacu kepada model birokrasi Indonesia yang
merupakan tatanan pelaksanaan kebijakan dan program-program
pemerintah Indonesia di bidang pendidikan. Lebih lanjut sistem
birokrasi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan bercirikan adanya
penentuan kebijakan yang terpusat, hirarki, kekuasaan yang jelas,
pengorganisasian yang terpusat, perlakuakn yang sama bagi setiap
pegawai, kontrol yang terpusat, keterbatasan bagi unit pelaksana
teknis dilembaga pendidikan untuk melaksanakan kebijakan dan
profesionalisme dalam tugas.[4]
Walaupun demikian, istilah birokrasi sering di konotasikan sebagai
suatu hambatan dalam pelaksanaan penyelenggaraan satuan dan
kegiatan pemerintah. Pengertian ini semacam pameo dalam
masyarakat untuk menyatakan ketidakpuasan dalam hal pelayanan
yang diberikan oleh aparatur pemerintah.
Bila dilihat adanya kebijakan yang terpusat (sentralisasi kebijakan)
dalam birokrasi pendidikan ini jelas merupakan suatu hambatan. Hal
ini mengakibatkan akan lambannya segala keputusan yang akan
diambil karena harus selalu menunggu persetujauan dari pemerintah
pusat.
Sekalipun kebijakan yang seharusnya dapat diputuskan di tingkat
daerah, tetapi karena adanya sentralisasi ini maka hal tersebut tidak
mungkin terjadi dan akibatnya pelayanan pendidikan pun akan
menjadi lamban dan kurang dapat mengantisipasi dan memenuhi
kebutuhan masyarakat yang ingin serba cepat.
5. Fungsi Politik Pendidikan
Paling tidak ada dua pernyataan yang turut mempengaruhi
berkembangnya pemikiran politik pendidikan. Pernyataan pertama
dikemukakan oleh David Easton dalam artikel terkenalnya The
Function of Formal Education in a Political System pada tahun 1957
dan Thomas H. Eliot dengan artikelnya American Political Science
Review ada tahun 1959. easton mengatakan bahwa institusi
pendidikan memainkan fungsi politik penting dan membuktikan secara
singkat sebagai agen sosial politik. Eliot mendemonstrasikan aspek-
aspek politik di tingkat lokal. Ia mengatakan bahwa suka atau tidak
suka, para pengelola sekolah terlibat dalam politik, karena sekolah-
sekolah lokal adalah unit-unit pemerintahan. Eliot menegaskan bahwa
politik mencakup pembuatan keputusan-keputusan pemerintah, dan
upaya atau perjuangan untuk mendapatkan atau mempertahankan
kekuasaan untuk membuat keputusan-keputusan tersebut. Sekolah-
sekolah publik adalah bagian dari pemerintah. Maka dari itu lembaga
ini merupakan entitas politik.
Dari pendekatan yang dikemukakan Eliot dan Easton, kita dapat
menyelami nilai manfaat kajian politik pendidikan. Tugas utama kajian
ini menungkapkan cara-cara yang digunakan kelompok-kelompok
kependidikan dalam upaya mereka untuk menciptakan lingkungan
kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan mereka dan untuk
memaksimalkan alokasi dana pemerintah untuk mereka. Dalam kaitan
ini, maka studi politik pendidikan mengungkapkan cara-cara yang
ditempuh pemerintah dalam menggunakan pendidikan sebagai alat
untuk memperkuat posisinya dan menutup peran-peran aktivitas
subversif terhadapnya. Contohnya, bagaimana rezim otoriter
memperkuat posisinya dengan ketat mengontrol pendidikan dan
bagaimana semua rezim menggunakan pendidikan memperkuat
sentimen kebangsaan dalam rangka memaksimalkan kekuasaan
negara. Perntanyaanya adalah bagaimana hal itu dilakukan? Tentu
dalam hal dimana institusi pendidikan memiliki ketergantungan
terhadap rejim berkuasa (pemerintah). Sekolah-sekolah dan Perguruan
Tingi memiliki kepentingan yang sangat tinggi pada pemerintah,
terutama dalam hal akses pendanaan, penempatan lulusan dan
sebagainya. Sekolah dan Perguruan Tingi tentu tidak bisa berjalan
sendiri, tanpa input dari pemerintah, dan dalam konteks itulah maka
pemerintah yang dipimpin oleh rezim berkuasa memiliki ikatan
bersama dengan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan begitu,
pendidikan menjadi alat yang dapat dimanfaatkan untuk mengungkap
persaingan kekuasaan baik secara internal maupun eksternal. Diantara
berbagai institusi dan praktek yang secara signifikan mempengaruhi
stabilitas dan transformasi sistem politik adalah pendidikan.
Melalui pendekatan filosofis, fungsi politik dalam pendidikan
mengungkap jenis-jenis penyelenggaraan pendidikan, pengembagan
kurikulum maupun pengembangan organisasi, dalam rangka
menanamkan konsep-konsep filosofis tentang masyarakat politik yang
baik atau tatanan sosial yang baik. Berkenaan dengan fungsi ini, maka
Easton kemudian mengajukan pertanyaan, apa peran yang harus
dimainkan oleh pendidikan dalam rangka membangun warga negara
yang baik? Kajian tentang hal ini telah banyak dijawab dalam beberapa
karya Reisner (1992), McCully (1959), Talmon (1952), dan Cobban
(1938). Dari mereka para pendidik mendapatkan pernyataan bahwa
sekolah atau lembaga-lembaga pendidikan mempersiapkan generasi
muda untuk menjadi warga negara yang aktif. Para insan pendidikan
telah memusatkan tugas-tugas mereka pada pengembangan program-
program pelatihan kewarganegaraan dengan mempromosikan
kesetiaan kepada gagasan pemerintahan demokrasi.
Dale dan Apple, (1989) melihat fungsi politik pendidikan dari sudut
pandang relasi negara dan pendidikan. Keduanya menemukan bahwa
sekolah menjadi salah satu objek politik modern dimana kita dapat
menyaksikan bagaimana kesadaran (consent) dan hegemoni tertentu
terbangun dan mengalami kehancuran.Perubahan kurikulum disetiap
periodesasi kepemimpinan di departemen pendidikan nasional adalah
salah satu bukti tentang kesadaran hegemoni terbangun dan hancur.
Berbagai persoalan yang muncul belakangan dalam dunia pendidikan
seperti unjuk rasa para guru, mahasiswa, depat publik tentang isu-isu
pendidikan, terutama alokasi anggaran pendidikan dalam APBN dan
APBD, otonomi lembaga pendidikan, tidak hanya membutuhkan
pemahaman superficial tentang konteks politik dimana sekolah
diselenggarakan, tetapi juga membutuhkan pemahaman tentang
proses-proses yang menghasilkan berbagai keputusan mendasar
tentang pendidikan disemua jenjang administratif. Disinilah fungsi
politik pendidikan menjadi sangat diperlukan.
6. Pendidikan Dalam Menghadapi Otonomi Daerah
Perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadidesentralisai
membawa perubahan yang mendasar etrhadap pendidikan islam.
Walaupun pendidikan islam tidak termasuk dalam bidang yang
diotonomikan, namun perlu melakukan reposisi sebagai responsif
terhadap perubahan itu.[5]
a. Lembaga pendidikan islam tidak lagi harus tampil dalam bentuk yang
uniform dan tunggal untuk seluruh wilayah di Indonesia. Ia perlu diberi
kesempatan dan berkembang senafas dengan aspirasi lingkungannya.
Kualitas hasil pendidikan akan dinilai oleh masyarakat, demikian hidup
dan matinya lembaga pendidikan islam akan ditentukan oleh
masyarakat pula.
b. Perlu adanya kerjasama anatar Departemen Agama dan Pemerintah
Daerah dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Pemerintah daerah
bertanggung jawab pada aspek pembiayaan , kelembagaan dan
manajerial, sesuai dengan kewengan yang dimiliki sedangkan
penyiapan dan pengembangan kurikulum dan materi pembelajaran
yang bersifat subtansi keagamaan dan ciri kekuasaan keislaman tetap
dikelola oleh Departemen Agama.
c. Orientasi pengorganisasian dan pengelolaan madrasah diarahkan
kepada terciptanya hubungan timbal balik antara madrasah dan
masyarakat dalam rangkan memperkuat posisi madrasah sebagai
lembaga pendidikan.
d. Organisasi pendidikan di daerah harus lebih baik dari sebelumnya,
ramping, lincah, efektif dan efesien. Sejalan dengan kebijakan tersebut
maka manajemen pendidikan yang dikembangakan adalah
manajemen sekolah dan manajemen berbasis masyarakat menjadi
prioritas, begitu juga pengembangan kemampuan organisasi dan
manajerial.
7. Kebijakan Pemerataan Pendidikan
Persoalan pemerataan pendidikan bukanlah perkara sederhana,
selama pemerintah belum mewujudkan pendidikan dasar gratis bagi
semua masyarakat maka selama itu pula kesempatan bagi kaum
miskin untuk memperbaiki kehidupannya lewat pendidikan juga tetap
terhalangi. Namun seiring dengan peningkatan anggaran pendidikan,
maka sebagaimana dinyatakan oleh sekretarsi jendral depdiknas,
pendidikan dasar sembilan tahun akan dapat diakses gratis oleh
seluruh rakyat Indonesia.
Pernyataannya, apakah ini tidak lebih dari retotika politik? Sebab
sejauh yang dapat dilihat, dari begitu banyak UU yang lahir dan
disahkan serta tidak sedikit pula kucuran dana sudah dikelurkan untuk
tujuan itu. Namun faktanya tidak bersifat menyeluruh. Jaminan negar
atas penyataan bahwa pendidikan gratis merata bagi seluruh
masyarakat tampaknya terlaksana secara parsial.[6]
[1] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan; Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008. hlm. 5
[2] Abuddin Nata, Manajemen Pendidikan, hlm. 8
[3] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan di Indonesia.
Jakarta: Prenada Kencana. 2007. hlm. 76
[4] Mukhtar dan Iskandar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, Dilengkapi dengan; UU
No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP No 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan, PP No. 41 Tahun 2009 Tentang Tunjangan Profesi Guru dan
Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, Serta Tunjangan Kehormatan Profesor,
Permendiknas No. 12 Tahun 2007 Tentang standar Pengawas Sekolah/Madrasah dan
Permendiknas No. 13 Tahun 2007 Tentang Standar Kepala Sekolah. Jakarta: Gaung
Persada Pers. 2009. hml. 24
[5] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia. 2008. hlm. 344
[6] Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi
Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. yogyakarta: Teras. 2010. hml. 56
Ideologi dan paradigma pendidikan nasional

A.Pendahuluan
Ideologi merupakan istilah yang bisa diartikan sebagai sebuah sistem berfikir (yang
diyakini oleh sekelompok orang) yang mendasari setiap langkah dan gerak mereka dalam
kehidupan sosialnya. Ideologi dapat diartikan pula sebagai sebuah pemahaman tentang
bagaimana memandang dunia (realitas). Oleh karena itu ideologi merupakan landasan
bagi pemaknaan realitas. Kata ideologi sendiri berasal dari bahasa Yunani idea
(ide/gagasan) dan logos (studi tentang/pengetahuan tentang). Secara harfiah ideologi
berarti studi tentang ide-ide/gagasan. Adapun secara istilah ideologi adalah sistem
gagasan yang mempelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal; asas haluan;
pandangan hidup. Istilah ini mengacu pada seperangkat keyakinan dalam merealisasikan
sebuah obyek. Maka tidak salah anggapan bahwa permasalahan ideologi selalu menarik
untuk dikaji karena berawal dari sanalah realitas dipersepsikan. Sistem (aturan) yang
melandasi pemaknaan kehidupan ini (baca: ideologi) akan selalu menentukan kemana
arah dan pandangan hidup para penganutnya.
Demikian halnya dengan ideologi, kata paradigma juga berasal dari bahasa Yunani para
(di sebelah, di samping) deigma (memperlihatkan; model/contoh ideal). Istilah paradigma
diartikan sebagai pedoman/teladan; cara memandang sesuatu; dasar untuk menyeleksi
suatu problem-problem dan pola untuk memecahkannya. Paradigma bisa diartikan pula
sebagai landasan berfikir dalam menentukan sikap dan tindakan. Paradigma akan sangat
menentukan bagaimana langkah dan tindakan yang diambil dalam mencapai sebuah
tujuan.
Pendidikan pada hakikatnya merupakan sebuah usaha sadar untuk menuntun umat
manusia secara bertahap dalam menjalani kehidupannya. Dalam hal ini pendidikan
sekaligus sebagai upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan peradaban umat manusia.
Maka tidak heran apabila dikatakan bahwa maju mundurnya sebuah bangsa sangatlah
ditentukan oleh pelaksanaan pendidikan yang ada didalamnya.
Dalam dunia pendidikan, landasan yang mendasari pelaksanaan pendidikan tidak bisa
dinafikan begitu saja dalam proses dinamikanya. Bahwa pendidikan tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh (inside) ideologi maupun paradigma yang dikandungnya. Ideologi dan
paradigma yang mendasari proses pendidikan akan sangat menarik untuk dikaji lebih
mendalam karena hal tersebut terkait dengan bagaimana langkah dan usaha yang
ditempuh sebagai upaya untuk mengimplementasikan landasan berfikir kedalam prosesi
pendidikan itu sendiri.
Ideologi pendidikan yang dianut sebuah bangsa akan sangat menentukan karakteristik
pendidikan yang diterapkan didalamnya. Bangsa ini sendiri, hemat penulis belum jelas
dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau paling tidak belum mampu
mengembangkan ideologi Pancasila kedalam dunia pendidikan. Tidak ubahnya dengan
ideologi pendidikan, paradigma pendidikan juga sangatlah penting dalam tubuh
pendidikan. Selama ini paradigma pendidikan di negara kita selalu mengalami perubahan
yang tidak berpengaruh signifikan dalam merealisasikan tujuan dari pendidikan itu
sendiri. Seperti dalam ungkapan Thomas Khun yang mengatakan bahwa paradigma
selalu mengalami anomali, sehingga akan berkonsekuensi melahirkan paradigma baru.
Lalu sejauh ini, pertanyaan yang muncul adalah seperti apakah ideologi dan paradigma
pendidikan yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia sehingga bisa diterapkan demi
mewujudkan cita-cita pendidikan bangsa ini sendiri?
Melihat selayang pandang penulis, tentunya masih banyak serpihan-serpihan pertanyaan
yang ingin kita tanyakan dan bahas lebih lanjut. Semoga pemaparan yang ringkas ini bisa
sedikit masukan kepada kita untuk meninjau kembali pengejawantahan ideologi dan
paradigma pendidikan di indonesia.

B.Ideologi Pendidikan Nasional


1.Macam-macam Ideologi Pendidikan di Dunia
Sejauh ini pakar-pakar pendidikan mencoba mengklasifikasikan ideologi pendidikan
kedalam beberapa aliran-aliran ideologis. Salah satu pakar pendidikan yang sering
dijadikan rujukan dalam penggolongan ideologi pendidikan ini adalah William F O’neil.
Menurutnya, secara garis besar ideologi pendidikan dapat ditarik menjadi dua golongan,
yakni ideologi konservatif dan ideologi liberal. Namun dalam kajian ini penulis mencoba
untuk memaparkan klasifikasi ideologi pendidikan berdasarkan karakter yang dikandung
oleh masing-masing ideologi tersebut, antara lain:
a.Ideologi fundamentalisme; yaitu ideologi yang ingin meminimalkan pertimbangan-
pertimbangan filosofis dan intelektual serta cenderung mendasarkan diri kepada
penerimaan relatif terhadap realitas tanpa adanya kritik terhadap kebenaran dan
konsensus sosial yang sudah mapan.
b.Ideologi intelektualisme; yaitu ideologi yang didasarkan pada sistem-sistem pemikiran
filosofis yang otoritarian. Intelektualisme pendidikan ingin mengubah praktek-praktek
politik dan pendidikan demi menyesuaikan secara lebih sempurna dengan cita-cita
intelektual yang sudah mapan.
c.Ideologi konservatisme; yaitu ideologi yang memandang bahwa ketimpangan dalam
masyarakat merupakan hukum alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah
merupakan ketentuan sejarah. Dalam bentuknya yang paling klasik, kaum konservatif
berkeyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan
sosial atau paling tidak mempengaruhinya. Secara implisit, ideologi ini mendukung
ketaatan terhadap lembaga-lembaga yang sudah teruji waktu, disertai dengan rasa hormat
yang mendalam terhadap tatanan sosial yang konstruktif.
d.Ideologi liberalisme; yaitu ideologi yang mengajarkan kebebasan individu dan berusaha
mempromosikan perwujudan potensi individu secara maksimal. Tujuan jangka panjang
pendidikan menurut kaum liberal adalah melestarikan dan memperbaiki tatanan sosial
yang ada dengan cara mengajar setiap individu bagaimana menghadapi masalah-masalah
dalam kehidupannya sendiri secara efektif. Peserta didik memiliki masalah hidup sendiri
dan memiliki pendekatan yang berbeda-beda dalam menyelesaikannya. Yang terpenting
adalah bagaimana mereka diarahkan agar dapat secara optimal menyelesaikan masalah
hidup mereka secara mandiri melalui pendidikan.
e.Ideologi anarkhisme; yaitu ideologi yang menolak pembatasan-pembatasan
kelembagaan terhadap perilaku personal. Ideologi ini bercita-cita melakukan
deinstitusionalisasi masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat bebas dari belenggu
lembaga. Pendekatan terbaik terhadap pendidikan adalah pendekatan yang mengusahakan
percepatan perombakan humanistik berskala besar dengan cara menghapus sistem
persekolahan.
f.Ideologi kritis-radikal; yakni ideologi yang berpandangan bahwa perhatian utama
pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap “the dominant ideologi” ke arah
tranformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang berfikir serta
bertindak untuk selalu kritis terhadap keadaan dan struktur yang tidak adil dan menindas.
Visi pendidikan harusnya adalah melakukan kritik terhadap sistem dan kelas dominan
sebagai perwujudan atas keberpihakan terhadap rakyat kecil yang tertindas, dalam rangka
untuk mewujudkan tatanan sosial yang lebih adil.
Melihat aliran-aliran ideologi pendidikan diatas, pertanyaan yang kemudian timbul
adalah apakah ideologi pendidikan nasional yang dianut/dimiliki bangsa Indonesia
sehingga dapat menuntun kita menuju terwujudnya tujuan pendidikan nasional?
Penulis secara pribadi beranggapan bahwa bangsa Indonesia belum jelas dalam menganut
ideologi pendidikan yang ada atau bahkan belum mampu mengembangkan ideologi
negara ini sendiri (ideologi Pancasila) ke dalam dunia pendidikan. Perbedaan arah
praktek penyelenggaraan pendidikan pada dasarnya disebabkan oleh perbedaan ideologi
pendidikan itu sendiri. Bangsa yang telah memiliki dan menganut ideologi pendidikan
tertentu akan memperoleh cara hidup dan cara pandang dalam menyelenggarakan
pendidikan secara kokoh sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan cara hidup dan cara
pandangnya. Hal tersebut selanjutnya digunakan untuk menciptakan kondisi tertentu yang
dapat membantu keberhasilan dalam menumbuhkan, membangun jaringan dan
mengorganisir segenap sumber daya pendidikan dalam rangka mewujudkan tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Sebaliknya, bangsa yang belum atau kurang memiliki
dasar ideologi pendidikan yang jelas, selanjutnya akan gamang dan mengalami kesulitan
dalam menumbuhkan, membangun dan mengorganisir segenap sumber daya
pendidikannya dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan.
Berbagai kebijakan pendidikan di Indonesia selama ini belum berakar pada pilihan
ideologi yang dianut. Akibatnya beberapa upaya pembangunan pendidikan berlangsung
tanpa akar ideologi yang jelas. Sehingga beberapa kebijakan pendidikan berakhir secara
tragis tanpa ada hasil yang signifikan bagi kemajuan bangsa.
2.Pancasila sebagai Ideologi Negara
Memperbincangkan ideologi pendidikan nasional tidak bisa dilepaskan dari dirkursus
tentang ideologi Negara Indonesia yakni ideologi Pancasila, karena ideologi negara
tentunya harus menjadi landasan bagi segala kebijakan dan keputusan bangsa (dalam hal
ini pemerintah) dalam setiap aspek kehidupan bernegara termasuk masalah pendidikan.
Segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan pemerintah haruslah berlandaskan pada
Pancasila serta harus sesuai dengan nilai-nilai luhur dan semangat yang terkandung
didalamnya. Terkait dengan hal tersebut, maka kebijakan pemerintah sangat menentukan
dalam pencapaian tujuan pendidikan nasional. Setidak-tidak ada tiga dimensi kebijakan
pemerintah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, yaitu:
a.Dimensi management pemerintah; kebijakan ini menyangkut bagaimana, sejauh mana
pendidikan nasional harus dikelola serta dikembangkan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat.
b.Dimensi prioritas pembangunan; kebijakan ini menyangkut sejauh mana pendidikan
nasional mendapat prioritas dalam sistem pembangunan nasional disamping bidang-
bidang lainnya.
c.Dimensi partisipasi masyarakat; kebijakan ini menyangkut sejauh mana masyarakat
mendapat peluang dan kesempatan untuk berkiprah mengembangkan pendidikan.
3.Problematika Penerapan Ideologi Pancasila dalam Dunia Pendidikan
Mengingat kondisi dunia pendidikan di Indonesia, pekerjaan rumah yang harus
dirumuskan adalah perwujudan dan pengembangan konsep ideologi pendidikan
Pancasila. Beberapa tokoh pendidikan sudah mulai mencoba untuk merumuskan konsep
dasar filsafat pendidikan Pancasila, antara lain: Notonagoro, Imam Barnadib dan
Subiyanto Wiroyudo. Tinggal bagaimana langkah pemerintah dalam menerapkan
ideologi pendidikan Pancasila kedalam dinamika pendidikan di Indonesia, dengan
berbagai macam keberagaman yang ada didalamnya.
Masalah pendidikan adalah salah satu masalah yang bersifat universal. Semua manusia
tanpa terkecuali sangat berkepentingan terhadap pendidikan. Masalah pendidikan
biasanya muncul ketika ada deskripansi (kesenjangan) antara dunia cita-cita (das sollen)
dengan dunia nyata (das sein) pendidikan. Sedangkan kebijakan pendidikan dilakukan
dalam rangka mengurangi kesenjangan atau paling tidak mendekatkan antara dunia cita-
cita dengan dunia nyata pendidikan. Berdasarkan dimensi kebijakan pemerintah dalam
dunia pendidikan, maka penulis mencoba untuk mengklarifikasi masalah-masalah yang
ada didalamnya, antara lain:
a.Masalah dimensi management; meskipun UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah sudah diberlakukan, namun otonomi daerah sampai saat ini terkesan masih
setengah hati. Hal yang bisa kita telisik dalam dunia pendidikan adalah bagaimana Ujian
Nasional masih dijadikan standarisasi kelulusan peserta didik oleh pemerintah. Tentunya
hal ini bertolak belakang dengan semangat program MBS (Managemen Berbasis
Sekolah) yang baru-baru ini mencuat. Kerancauan ini diperparah oleh adanya Peraturan
Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom yang mempertegas sistem pengelolaan lembaga
pendidikan, dimana pendidikan dasar sampai menengah keatas merupakan tanggung
jawab pemerintah daerah sedangkan pendidikan tinggi menjadi tanggung jawab
pemerintah pusat.
b.Masalah dimensi prioritas pembangunan; Dalam amanat UUD pasal 31 ayat 4
disebutkan bahwa Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20
persen dari anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN) untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan Nasional. Seperti halnya dalam UU No 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pemerintah diwajibkan mengalokasikan
dana pendidikan minimal 20 persen dari APBN dan anggaran ini belum termasuk untuk
gaji guru dan biaya pendidikan kedinasan. Namun dalam realitasnya praktek anggaran
penyelenggaraan pendidikan belum atau masih sangat jauh dari angka 20 persen.
Rendahnya anggaran pendidikan menjadi bukti bahwa bidang pendidikan belum
memperoleh prioritas yang memadai dalam sistem pembangunan nasional; dan hal ini
sekaligus menunjukkan demikian rendahnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan.
Hal tersebut sudah barang tentu dapat menciptakan suasana yang kurang kondusif
terhadap keberhasilan usaha pencapaian tujuan pendidikan nasional.
c.Masalah dimensi partisipasi masyarakat; masyarakat adalah bagian dari pendidikan,
dalam hal ini berarti bahwa masyarakat ikut menentukan arah dan sekaligus ikut
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan. Sebenarnya peran serta masyarakat
Indonesia dalam menyelenggarakan pendidikan nasional relatif besar. Hal ini bisa diukur
dari betapa banyaknya lembaga pendidikan swasta di Indonesia. Namun peran serta
masyarakat ini terbentur dengan pendanaan dalam penyelenggaraan pendidikan dan
mindset “favorite” yang ditanamkan oleh pemerintah. Pendanaan penyelenggaraan
pendidikan swasta seolah tidak mendapat perhatian sepenuhnya dari pemerintah, dimana
subsidi dana bagi lembaga pendidikan swasta berbanding sangat jauh dengan lembaga
pendidikan negeri. Serta mindset favorite yang “dikembang biakkan” oleh pemerintah
selama ini mematikan nilai tawar pendidikan swasta dimana mindset itu adalah sekolah
favorit adalah sekolah yang berstatus negeri. Maka tidak heran semakin banyak sekolah
swasta yang akhirnya harus gulung tikar, karena dari segi pendanaan mereka tidak
mencukupi dan dari segi kepercayaan masyarakat, orang tua peserta didik lebih merasa
bergengsi jika anak-anak mereka disekolahkan di lembaga pendidikan yang berstatus
negeri. Bahkan bertahun-tahun sebelum reformasi, yakni pada zaman orde baru, dengan
ideologi developmentalismenya pemerintah mengebiri aspirasi dan peran serta
masyarakat dalam pendidikan. Karakter pemerintah begitu otoriter dan menindas rakyat.
Rakyat difungsikan hanya sebatas obyek yang perlu “dididik”, dimobilisir, didorong
bahkan kalau perlu ditekan demi lancarnya “pembangunan” ala pemerintahan orde baru
yang sesungguhnya tidak membuat rakyat sejahtera tapi malah membuat rakyat semakin
sengsara.\

C.Paradigma Pendidikan Nasional


1.Paradigma Pendidikan Nasional dan Anomalinya
Bahwa paradigma selalu mengalami anomali adalah benar adanya. Hal tersebut tercermin
dalam perkembangan paradigma pendidikan nasional sampai detik ini. Romo Wahono
memaparkan, bahwa kesalahan pendidikan kita utamanya terletak pada kesalahan
paradigmanya. Kesalahan ini mula-mula merupakan warisan kolonial belanda. Dimasa
orde baru, kesalahan ini dipelihara dan semakin mendekatkannya pada ide kapitalisme
liberal. Kemudian, dengan sentuhan fasisme kolonial jepang, sistem pendidikan menjadi
beraroma liberalis-feodalis. Parahnya, paradigma liberalis-feodalis ini dipayungi oleh
paradigma kompetisi yang diajarkan oleh globalisasi. Paling tidak berikut akan penulis
paparkan secara singkat anomali paradigma pendidikan nasional secara singkat dari
tinjauan historis-sosiologisnya.
a.Paradigma sentralistik; paradigma ini dilaksanakan dengan ketat pada masa orde baru.
Semua serba tersentral dan terstandarisasi. Intervensi yang berlebihan dari pemerintahan
orde baru terhadap dunia pendidikan malah semakin mematikan peran masyarakat serta
menjadikan lembaga pendidikan sebagai wahana bagi penanaman ideologi penguasa
untuk melanggengkan status quo.
b.Paradigma formisme; dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang dengan sangat
distingtif. Dan satu-satunya kata kunci adalah dikotomi. Segala sesuatu hanya dilihat dari
dua sisi yang berlawanan, laki-laki – perempuan, pendidikan formal – non-formal,
pendidikan agama – pendidikan umum. Pandangan dikotomis inilah yang menyebabkan
terjadinya dualisme dalam pendidikan, sehingga muncullah istilah ilmu agama dan ilmu
umum. Keterpisahan secara diametral antara keduanya berakibat pada rendahnya mutu
pendidikan dan bertentangan dengan amanat UU pasal 1 No 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan nasional yang menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
memiliki moral dan spiritual keagamaan serta memiliki pengetahuan yang komprehensif
yang berguna bagi dirinya, masyarakat bangsa dan negara. disebutkan pula dalam pasal
diatas bahwa pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan
UUD RI 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional serta
tanggap terhadap kemajuan teknologi dan perkembangan zaman.
c.Paradigma intelektualis; dimana pendidikan lebih menekankan pada aspek kognitif
tanpa begitu memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik peserta didik. Pendidikan
adalah bagaimana siswa mampu menjawab soal-soal buatan yang jauh terlepas dari
realitas kehidupan sehari-hari mereka. Pendidikan adalah mampu menjawab soal-soal
matematika dengan rumus-rumus yang harus dihafal diluar kepala. Standarisasi kelulusan
diukur dengan seberapa besar nilai dari jawaban atas soal-soal ilmu pengetahuan.
Sehingga anak didik menjadi robot ilmu pengetahuan tanpa memiliki perasaan dan
kebebasan dalam mengeksplorasi bakat dan kompetensi dasar mereka sebagai manusia
yang pada hakikatnya berbeda-beda.
d.Paradigma kompetitif; pendidikan sudah kehilangan esensinya sebagai lahan untuk
mendidik. Lembaga pendidikan mengajarkan kepada peserta didik bahwa hidup adalah
kompetisi. Barang siapa yang unggul dia akan bisa menjadi orang yang berada diatas
melebihi orang lain. Kompetisi harus dimenangkan, tak peduli dengan berbagai cara
apapun tanpa mempertimbangkan moralitas. Sehingga banyak peserta didik tidak
memiliki moralitas dan kering hati nuraninya. Implikasinya, mereka menjadi kompetitor
yang menghalalkan segala cara untuk menjadi orang yang paling berkuasa melebihi
orang lain. Inilah mungkin yang menyebabkan dan melahirkan budaya KKN dikalangan
kaum elite dalam pemerintahan. Mereka adalah output nyata dari pendidikan
berparadigma kompetitif.
e.Paradigma mekanistik-prosedural; reformasi pendidikan yang diluncurkan oleh
Departeman Pendidikan dan dinas-dinas pendidikan lebih bertumpu pada mekanisme-
mekanisme, dan prosedur-prosedur baru, dan cenderung tanpa pemahaman dan
penghayatan yang reformasional. Selama ini kebijakan yang diberikan hanya terkait
masalah kurikulum, profesinalitas guru dalam memberikan materi pengajaran sesuai
dengan silabus yang dipatok oleh pemerintah. Bahwa materi dipisah-pisah secara parsial
dan pembagian waktu jam pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan aspek afektif
dan psikomotorik siswa. Hal ini dapat dicontohkan dengan bagaimana kemudian jam
pelajaran moral dan agama hanya diberikan 2 jam selama seminggu, tak lupa jam
kesehatan jasmani juga sama demikian. Lalu kenapa materi pelajaran ekonomi, biologi
yang diberikan 4-6 jam selama seminggu lebih berpatokan hanya pada buku diktat dari
pemerintah tanpa menyentuh substansi dari materi tersebut dengan melakukan penelitian
secara langsung baik itu dipasar, diladang ataupun ditempat-tempat yang begitu akrab
dalam kehidupan sehari-hari siswa. Paradigma mekanistik prosedural ini memandang
bahwa sekolah adalah tempat proses produksi dijalankan, dimana siswa diberlakukan
sebagai raw input.
2.Alternatif Paradigma Baru Pendidikan Nasional
Para pemikir dan pemerhati pendidikan mencoba untuk memberikan sumbangsih
pemikiran mereka dalam menawarkan alternatif paradigma baru pendidikan yang
semestinya dilakukan/diterapkan bagi masyarakat Indonesia. Diantara sekian banyak
tawaran alternatif paradigma baru pendidikan, penulis hanya mampu memberikan sedikit
dari beberapa tawaran yang ada, diantaranya adalah:
a.Paradigma baru reformasi pendidikan; sejalan dengan usulan Pestalozzi, tokoh sejarah
pendidikan Eropa dan penyantun sejumlah panti yatim piatu, yang sesuai dengan konsep
filsafat pendidikan Indonesia bahwa pendidikan ialah upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa. Namun kecerdasan di sini jangan ditafsirkan sebagai kecerdasan kognitif atau
intelektual belaka, tapi kecerdasan manusia yang seutuhnya, kecerdasan total manusia
dalam berbagai bidang kehidupannya. Berdasarkan hal ini kita dapat berkata mengenai
kehidupan ekonomi bangsa yang cerdas, kehidupan religius bangsa yang cerdas,
kehidupan politik bangsa yang cerdas, dan seterusnya. Paradigma reformasi pendidikan
berurusan langsung dengan manusia sebagai subjek dan objek reformasi. Sesuai dengan
filsafat pendidikan Indonesia yang bertujuan membangun kecerdasan manusia yang
seutuhnya, dan filsafat besar lainnya, maka dapat dikatakan bahwa suatu reformasi
dikatakan berurusan secara langsung dengan manusia ialah ketika reformasi ditujukan
untuk spiritualitas manusia. Spiritualitas adalah unsur fundamental manusia. Di abad
mutakhir ini telah muncul kekhawatiran yang amat serius tentang semakin menipisnya
rasa kemanusiaan dan hilangnya semangat religius dalam segala aktivitas kehidupan
manusia. Konsep pendidikan yang lebih humanistik, yang memandang seluruh potensi
(fitrah) manusia secara komprehensif dalam upayanya menyerap seluruh wawasan
keilmuan dan dimensi spiritual-etiknya. Pendidikan adalah seluruh proses kehidupan, dan
proses kehidupan yang terencana terletak di tangan negara. Dari segi ini negara berperan
sebagai the great educator, sebuah istilah yang dipinjam dari Gramsci. Sehubungan
dengan hal di atas, agar reformasi lebih berhasil, maka paradigma reformasi hendaknya
berlandaskan pada paradigma baru ini. Paradigmaa baru ini lebih bertumpu pada
spiritualitas manusia yang hidup dalam bentuk keyakinan, cita-cita dan jiwa setiap
individu. Spiritualitas yang lebih merupakan faktor pendorong yang pokok pada suatu
perubahan sosial, di samping faktor-faktor lainnya. Peranan yang hendaknya turut
dimainkan ketika menyelenggarakan suatu program reformasi sekurang-kurangnya ada
dua hal, yaitu sebagai figur teladan dalam cita-cita reformasi dan dinamisator interaksi
yang pedagogis (mendidik). Inilah figur pedagog sepanjang zaman. Siapa mereka itu
untuk Indonesia saat ini? Hemat penulis, mereka itu hendaknya para aparat pemerintahan
mulai dari presiden hingga ke lapisan birokrasi yang berikutnya dan elite sosial lainnya.
b.Paradigma integratif-interkonektif/paradigma pendidikan holistik-dialogis; paradigma
ini merupakan alternatif dari anomali paradigma sebelumnya, yakni paradigma dikotomis
(formisme). Dimana dalam paradigma formisme, pengembangan ilmu baik itu ilmu
agamis-spiritualis ataupun ilmu pengetahuan berbicara dengan bahasanya sendiri-sendiri
dan tidak ada komunikasi yang harmonis dan dinamis diantara keduanya. Keilmuan
apapun tidak dapat berdiri sendiri. Begitu ilmu pengetahuan tertentu mengklaim dapat
berdiri sendiri, merasa dapat menyelesaikan persoalannya sendiri, tidak memerlukan
bantuan dan sumbangan dari ilmu lain; maka self sufficiency ini cepat atau lambat akan
berubah menjadi narrowmindedness untuk tidak menyebutnya fanatisme partikuralitas
disiplin keilmuan. Kerjasama, tegur sapa, saling koreksi dan saling keterhubungan antar
disiplin ilmu akan lebih dapat membantu manusia memahami kompleksitas kehidupan
yang dijalaninya dan memecahkan persoalan yang dihadapinya. Secara epistemologis,
paradigma ini merupakan respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini,
yang diwariskan selama berabad-abad tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan
agama. Masing-masing berdiri sendiri tanpa merasa perlu adanya saling tegur sapa.
Secara aksiologis paradigma ini hendak menawarkan pandangan dunia (world view)
manusia beragama dan ilmuwan yang bermoral, yang lebih terbuka, mampu berdialog
dan bekerjasama.
c.Paradigma pendidikan demokratis; Pendidikan haruslah memberikan jawaban kepada
kebutuhan (needs) masyarakat itu sendiri. Demokrasi pendidikan berarti pendidikan dari,
untuk dan oleh rakyat. Pendidikan muncul dan berkembang dari masyarakat, bukan
sebagai proyek apalagi perintah dari penguasa yang seringkali sarat dengan kepentingan
tertentu. Pendidikan tumbuh dari masyarakat dengan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat itu sendiri. Dan masyarakat bukanlah obyek pendidikan, tetapi partisipan
aktif yang mempunyai peran dalam setiap dinamika pendidikan. Pendidikan demokratis
adalah pendidikan yang mengakui hak untuk berbeda ( right to be different). Pendidikan
tidak boleh otoriter dan mengandung unsur-unsur doktrinisasi. Proses pendidikan yang
otoriter dan doktrinatif hanya akan melahirkan manusia-manusia yang bisu yang takut
mengajukan pilihan. Pendidikan demokratis berati pendidikan yang mengembangkan
nilai-nilai kebudayaan lokal dalam kerangka kebudayaan nasional secara komprehensif.
Sehingga pendidikan mampu menunjukkan identitas bangsa Indonesia yang majemuk
tetapi tetap dalam satu kesatuan; Bhineka Tunggal Ika.
d.Paradigma pendidikan humanis; pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
Menjadi manusia bukan sekedar dapat makan untuk hidup, tetapi lebih dari itu menjadi
manusia berarti memiliki tanggung jawab terhadap dirinya sendiri, keluarga, masyarakat,
bangsa dan negaranya. Pendidikan humanis adalah proses pendidikan yang membangun
karakter kemanusiaan dalam diri manusia, yang menghargai harkat dan martabat manusia
lain, yang tidak terlepas dari moral hidup bersama atau moral sosial. Muara pendidikan
yang manusiawi adalah mewujudkan pendidikan yang bermakna, yakni suatu sistem
pendidikan yang menekankan pada watak (karakter) atau moral dalam sistem nilai dan
aktualisasi diri, pada peserta didik. Dan ini berarti meninggalkan sistem pendidikan yang
menekankan pada pemupukan pengetahuan atau ”knowledge deposit” (paradigma
pendidikan intelektualis). Pendidikan humanis ini memiliki beberapa ciri, yaitu:
memandang pendidikan sebagai sebuah sistem organik, bukan mekanik. Tidak
memisahkan antara teori dan praksis. Memperlakukan peserta didik bukan sebagai bahan
mentah, melainkan sebagai individu yang memiliki bakat dan minat tertentu. Pendidikan
adalah proses egaliterian (manusia memiliki derajat yang sama).

D.Kesimpulan
Klasifikasi ideologi pendidikan berdasarkan karakter yang dikandung oleh masing-
masing ideologi, antara lain: ideologi fundamentalisme, ideologi intelektualisme, ideologi
konservatisme, ideologi liberalisme, ideologi anarkhisme dan ideologi kritis-radikal.
Diantara beberapa karakteristik ideologi pendidikan yang disebutkan diatas, bangsa
Indonesia belum jelas dalam menganut ideologi pendidikan yang ada atau bahkan belum
mampu mengembangkan ideologi negara ini sendiri (ideologi Pancasila) ke dalam dunia
pendidikan. Maka Problem solving yang hendak ditawarkan tidak lepas dari perumuskan
ideologi Negara (Pancasila) kedalam dunia pendidikan; yakni dengan perwujudan dan
pengembangan konsep ideologi pendidikan Pancasila yang sudah dibahas oleh beberapa
pakar pendidikan maupun ketatanegaraan. Sehingga kebijakan pendidikan yang
dilakukan pemerintah dapat mencapai pada hakikat dan tujuan pendidikan nasional itu
sendiri.
Bercermin pada kegagalan paradigma pendidikan dimasa sebelumnya, maka ada
beberapa tawaran paradigma baru pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan yang di
idam-idamkan oleh rakyat Indonesia. Diantara beberapa tawaran yang ada antara lain:
paradigma baru reformasi pendidikan; dimana reformasi pendidikan harus mampu
menyentuh sisi religiuitas agar reformasi yang diterapkan bisa tepat guna dan tidak kering
dari spiritualitas, paradigma integratif-interkonektif/paradigma pendidikan holistik-
dialogis; dimana pandangan dikotomis dalam pendidikan harus dibuang jauh-jauh agar
terjadi dialog yang dinamis dalam proses pendidikan, paradigma pendidikan demokratis;
dimana pendidikan adalah dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, serta paradigma
pendidikan humanis; pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-
Interkonektif. Cet. II. Yogyakarta; Pustaka pelajar. 2010.
Arifi, Ahmad. Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan
Islam di Tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta; Teras. 2009.
Amnur, Ali Muhdi (Edt). Konfigurasi Politik Pendidikan Nasional. Yoyakarta; Pustaka
Fahima. 2007.
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Cet II. Jakarta; Gramedia. 2000.
Freire, Paulo. Politik Pendidikan; Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. (Trjm:
Agung Prihantoro & Fuad Arif F.). Cet VI. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2007.
H.A.R. Tilaar. Pendidikan Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung;
Remaja Rosdakarya. 2000.
http://saungwali.wordpress.com/2007/06/05/paradigma-baru-reformasi-pendidikan.
Diakses pada tanggal 30 Oktober 2010.
Journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/334/pdf. Didownload pada tanggal 23
Oktober 2010.
O’neil, William F. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta; Pustaka Pelajar. 2001.
Partanto, Pius A & M. Dahlan. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya; Arkola. 1994.
Rohman, Arif. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta; LaksBang Mediatama. 2009.
Susetyo, Benny. Politik Pendidikan Penguasa. Yogyakarta; LKiS. 2005.
Wahono, Francis. Kapitalisme Pendidikan; antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarata;
Pustaka Pelajar, Cinderalas dan Insist Press. 2001.
www.inherent-dikti.net.files.sisdiknas.pdf. Didownload pada tanggal 07 November 2010.
Zamroni. Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi (Prakondisi Menuju Era
Globalisasi). Jakarta; PSAP Muhammadiyah. 2007.
Urgensi Pendidikan Islam

Problem utama yang dihadapi oleh lembaga pendidikan Islam di Indonesia saat ini

adalah berkenaan dua masalah mendasar, yaitu masalah kualitas ( mutu ) pendidikan dan

kontribusi lembaga pendidikan Islam bagi pembangunan nasional, khususnya dalam

membentuk moralitas bangsa Indonesia. Masalah pertama, yakni mutu pendidikan Islam

sampai saat ini harus diakui masih jauh dari harapan. Kualitas capaian pendidikan

ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan pendidikan umum. Hal ini bisa kita amati,out

put (lulusan) dari lembaga pendidikan Islam (baik sekolah maupun madrasah) kualitasnya

di bawah lulusan dari pendidikan umum.

Sedangkan masalah kedua, peran dan kontribusi lembaga pendidikan Islam dalam

membentuk moralitas bangsa Indonesia masih mengundang pertanyaan banyak kalangan

(terutama para ahli pendidikan). Seberapa besar pengaruh pendidikan agama dalam

menanggulangi kemerosotan bangsa ini?. Pada kenyataanya moralitas bangsa telah rusak

bahkan telah mencapai titik nadir berada di ambang kehancuran. Tindak kejahatan

kriminalitas dengan berbagai bentuknya semakin meningkat,baik dari aspek kuantitas

maupun kualitasnya. Kejahatan dan perilaku menyimpang telah melanda diseluruh aspek

kehidupan, dan sedikit perilakunya adalah kalangan terpelajar (terdidik).1

Implikasi-implikasi globalisasi mencakup dimensi informasi dan komunikasi,

ekonomi, hukum, politik, ilmu pengetahuan, budaya, dan agama. Pada dimensi ilmu

pengetahuan, materealisme menggiring ilmu pengetahuan alam pada satu gagasan bahwa

materi menempati posisi sentral. Materi dijadikan penjelas awal dan akhir dalam

rangkaian panjang argumentasi ilmiah. Ilmu pengetahuan yang bersifat induktif dan
bersumber dari pengalaman empirik ini menempati posisi sentral dalam dunia keilmuan,

sementara ilmu sosial teologis yang bersifat deduktif dan bersumber dari aksioma-

aksioma kewahyuan, kurang menjadi kerangka acuan pemikiran kontlempatif.

Padahal pengembangan ilmu pengetahuan tidak cukup dirumuskan dari kebenaran

(justification) ilmu itu sendiri, melainkan harus dilihat bagaimana konteks penemuannya

(context ofdiscovery) dengan tata nilai, etika dan moral. Sehingga ilmu dapat memberikan

kesejahteraan hidup manusia lahir batin, bukan memberikan ilmu yang kering dan hanya

bersifat fisik material belaka. Ilmu pengetahuan tidak boleh dipandang dari sisi

praktisnya belaka, atau hanya untuk dapat mendapatkan kemudahan-kemudahan materi

duniawi saja, melainkan harus terbuka pada konteksnya, yakni nilai-nilai agama. Ilmu

pengetahuan harus menjadi jembatan untuk memahami hakikat ketuhanan. Perspektif

keilmuan semacam ini memberikan peluang besar bagi proses islamisasi ilmu di era

globalisasi.

Fenomena memprihatinkan yang bisa dicermati tengah melanda masyarakat

modern saat ini (termasuk Indonesia) adalah munculnya praktek-pratek perekduksian

fungsi pendidikan. Akurasi pendidikan hanya distandarkan pada upaya-upaya penyiapan

tenaga kerja (praktisi) yang berorentasi materealistik semata, dengan dalih untuk

mendukung industrialisaai modern dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kuantitas besar

produk teknologi. Dalam menuju era globalisasi, Zamroni menawarkan gagasanya,

bahwa dunia pendidikan harus melakukan reformasi dengan tekanan menciptakan sistim

pendidikan yang lebih koperhensif dan fleksibel, sehingga para lulusan dapat berfungsi

secara efektif dalam kehidupan masyarakat global demokratis. Untuk itu, pendidikan

harus dirancang sedemikian rupa sehingga memungkinkan para peserta peserta didik
mengembangkan potensi yang dimiliki secara alami dan kreatif dalam suasana penuh

kebebasan, kebersamaan, dan tanggung jawab. Disamping itu, pendidikan harus

menghasilkan lulusan yang dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang

dapat mendukung mencapai sukses. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan adalah

mengembangkan pendidikan yang berwawasan global.

Kualitas merupakan kosakata di dalam kehidupan modern. Pendidikan tidak

terlepas dari ungkapan berkualitas. Lebih-lebih lagi di dalam dunia yang mengglobal

dewasa ini dimana terjadinya persaingan dalam berbagai lapangan kehidupan, istilah

kualitas merupakan suatu pengertian sehari-hari. Di mana-mana orang mencari produk

yang berkualitas, servis berkualitas, dan pendidikan yang berkualitas. Produk dan servis

yang berkualitas mudah dimengerti. Singkatnya produk dan servis tersebut memuaskan

selera konsumen. Di dalam kaitan ini kualitas dapat diukur dalam arti memenuhi kreteria-

kreteria yang telah ditentukan terlebih dahulu. Kulitas tampaknya adalah sesuatu yang

berbentuk. Namun kalau kita berbicara mengenahi kualitas pendidikan, maka sangat sulit

diukur apa yang dimaksudnya dengan kualitas. Kualitas pendidikan merupakan suatu

yang berbentuk, yang sukar diukur kecuali dengan upaya mengkuantitaskan segala

sesuatu. Kualitas pendidikan dapat kita ukur dari berbagai segi. Kualitas pendidikan

dapat dilihat dari segi ekonomi, dari segi sosial politis, sosial budaya, dari perspektif

pendidikan itu sendiri (educational perspective) dan dari perspektif proses globalisasi.2

Pendidikan merupakan masalah urgen untuk menjadi bahan perbincangan

sepanjang masa, karena dalam pendidikan terdapat satu pembentukan pribadi manusia

sesuai dengan fungsinya, yaitu menjadi khalifah di muka bumi, sebagaimana dalam

firman Allah SWT:


‫خِلْيَفًة‬
َ ِ‫عٌل ِفى ْاَلْرض‬
ِ ‫جا‬
َ ‫ى‬
ّ ‫ك ِلْلَمَلئَكِة ِإن‬
َ ‫َوِإْذ َقاَل َرّب‬

Terjemahnya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak

menjadikan seorang khalifah di muka bumi."3

Salah satu tujuan yang jelas dalam pendidikan adalah menolong anak

mengembangkan potensinya semaksimal mungkin, dan oleh karenanya pendidikan

menjadi sorotan yang paling penting dan sangat menggantungkan pertumbuhan bagi

makhluk yang namanya manusia baik bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan agamanya.

Sebagai manusia tentulah sangat bergantung pada sejauh mana ia berpendidikan karena

orang yang terdidik dan tidak akan dibedakan dalam setiap perilaku dan kesehariannya.

Salah satu asumsi yang jelas bahwa anak didik memandang sekolah sebagai bakal atau

batu loncatan yang akan membuka dunia baru bagi pemenuhan hidupnya. Ia akan

mencoba suasana baru dan lain sebagainya.

Sedangkan pendidikan agama Islam merupakan bagian intregal dari program

pengajaran pada setiap jenjang lembaga pendidikan. Pelaksanaan lembaga pendidikan

Islam adalah usaha yang dilakukan oleh guru agama dalam membimbing dan membina

anak didik agar dapat memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama.

Dengan kata lain, konsepsi manusia yang sempurna menurut Islam sangat

membantu dalam perumusan tujuan pendidikan Islam secara khusus. Konsep islam

terhadap manusia adalah makhluk “fitrah” yang dimiliki unsur jasmani dan rohani, fisik

dan jiwa yang memungkinkan diberi pendidikan. Sebagaimana hadits Nabi yang sering

dijadikan legitimasi (acuan) oleh para ahli pendidikan

‫ساِنِه‬
َ ‫ج‬
ِ ‫صَراِنِه َاْو ُيَم‬
ّ ‫طَرِة َفَأَبّواُه ُيَهّوَداِنِه َاْو ُيَن‬
ْ ‫عَلى اْلِف‬
َ ‫ُكّل َمْوُلْوٍد ُيْوَلُد‬

Artinya: “Setiap anak yang dilahirkan (dari kandungan ibunya) terlahir dalam keadaan fitrah
(suci belum ada “nuktah” apapun). Maka orang tuanyalah (ayah dan ibunya) yang akan
menjadikan (mempengaruhi) anak itu sebagai yahudi nasrani atau majusi” (Hadits
Riwayat Bukhori dan Muslim).4
Dengan bekal inilah maanusia memiliki potensi dasar untuk menerima pendidikan.

Sehingga dengan demikian, melalui pendidikan diharapkan mampu menghasilkan

manusia yang sempurna, baik dari aspek fisik maupun kejiwaan.

1 Ahmad Arifin, Politik Pendidikan Islam Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi


Pendidikan di Tengah Arus Globalisasi (Yogyakarta: Teras Komplek Polri Gowok, t.t.),
h. 29-30.
2 H.A.R. Tilaar, Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis (Jakarta:
Rineka Cipta), h. 66.
3 Al-Qur’an, 2:30.
4 Imam Jalaludin bin Abi Bakar Assuyuti, Al Jaamiu Sohir, (Beirut-Lebanon: Dar
Kotob Al Ilmiyah, 2004), h. 396. juz. 2.

You might also like