You are on page 1of 42

Makalah kemiskinan 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Selamat…! Pendapatan per kapita penduduk Indonesia menembus angka US $


18,000 atau sekitar Rp. 180.000.000,00 per tahun. Angka tersebut jauh di atas
beberapa negara ASEAN lainnya seperti Malaysia yang hanya memiliki pendapatan
per kapita penduduk US $ 6,220, atau Thailand dengan pendapatan per kapita
penduduknya US $ 2,990. Rekor tersebut hampir menyamai Korea yang memiliki
income per kapita penduduk US $ 20,000, meskipun masih jauh di bawah Jepang,
Australia, dan Amerika yang memiliki pendapatan per kapita penduduk di atas US $
30,000.

Itulah topik terhangat yang dicatat di halaman surat kabar nasional pada tahun
2030. Itu pun hanya prediksi beberapa ahli yang mengabaikan peningkatan
pendapatan beberapa negara lain di atas yang memang memiliki pendapatan per
kapita seperti apa yang tertulis saat ini. Dengan berat hati kita harus mengakui bahwa
pendapatan per kapita penduduk Indonesia hanya US $ 1,946 pada tahun 2008, jauh
di bawah Jepang US $ 34,189, Amerika US $ 43,444, Australia US $ 50,000, dan
Singapura US $ 29,320. Apa masyarakat Indonesia harus menunggu sampai tahun
2030? Dan apa mungkin di tahun 2030 prediksi itu benar-benar akan tercapai? Atau
itu hanyalah mimpi indah belaka bagi rakyat Indonesia? Sampai sekarang masalah
kemiskinan masih menjadi “hantu” yang menakutkan bagi sebagian besar rakyat
Indonesia.

Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan


hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Selain bersifat laten
dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya dialami oleh
Negara-negara berkembang melainkan negara maju sepeti inggris dan Amerika
Serikat. Negara inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era
kebangkitan revolusi industri di Eropa. Sedangkan Amerika Serikat bahkan
mengalami depresi dan resesi ekonomi pada tahun 1930-an dan baru setelah tiga
puluh tahun kemudian Amerika Serikat tercatat sebagai Negara Adidaya dan terkaya
di dunia.

Pada kesempatan ini penyusun mencoba memaparkan secara global


kemiskinan Negara-negara di dunia ketiga, yaitu Negara-negara berkembang yang
nota-benenya ada di belahan benua Asia. Kemudian juga pemaparan secara spesifik
mengenai kemiskinan di Negara Indonesia. Adapun yang dimaksudkan Negara
berkembang adalah Negara yang memiliki standar pendapatan rendah dengan
infrastruktur yang relatif terbelakang dan minimnya indeks perkembangan manusia
dengan norma secara global. Dalam hal ini kemiskinan tersebut meliputi sebagian
Negara-negara Timur-Tengah, Asia selatan, Asia tenggara dan Negara-negara
pinggiran benua Asia.

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu kemiskinan
alami dan kemiskinan buatan. kemiskinan alami terjadi akibat sumber daya alam
(SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam.
Kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang berkompeten
dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, sehingga
mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut. Dampaknya,
para ekonom selalu gencar mengkritik kebijakan pembangunan yang mengedepankan
pertumbuhan ketimbang dari pemerataan.

B. Perumusan Masalah

Dalam tugas terstruktur individu ini, penyusun yang membahas mengenai


masalah kemiskinan, didapatkan rumusan masalah yang akan dibahas dalam analisis
permasalahan. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

“Apa yang menjadi masalah dasar dalam pengentasan kemiskinan di


Indonesia”.
C. Tujuan

Adapun tujuan dibuatnya makalah yang membahas tentang kemiskinan di


Indonesia ini adalah sebagai berikut:

1. Menumbuhkan kesadaran masyarakat Indonesia yang mampu dalam hal materi


agar ikut berperan serta untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
2. Memberikan informasi kepada masyarakat Indonesia untuk menghadapi
kemiskinan yang merupakan tantangan global dunia ketiga.
3. Untuk mengetahui sejauh mana upaya pemerintah dalam mengentaskan
kemiskinan di Indonesia.
D. Manfaat

A. Bagi Penulis
Penulisan makalah ini disusun sebagai salah satu pemenuhan tugas terstruktur dari
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.

A. Bagi pihak lain


Makalah ini diharapkan dapat menambah referensi pustaka yang berhubungan
dengan permasalahan dan upaya penyelesaian kemiskinan di Indonesia.

E. Ruang Lingkup

Dalam penyusunan Makalah ini penyusun mengambil sampel ruang lingkup


berupa masyarakat Indonesia secara menyeluruh.

BAB II

METODE PENULISAN

A. Objek Penulisan

Objek penulisan dalam tugas terstruktur individu ini adalah pengertian dan
permasalahan utama akibat kemiskinan, aspek kebijaksanaannya dan upaya
penyelesaian yang telah dilakukan oleh pemerintah.
B. Dasar Pemilihan Objek

Kami memilih Objek Penulisan ini adalah karena Kemiskinan merupakan


permasalahan kemanusiaan yang sangat kompleks. Selain itu, kemiskinan juga
menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Sebagai warga negara Indonesia,
dalam mengentaskan kemiskinan tidak hanya bertumpu pada bantuan pemerintah saja
namun di zaman globalisasi ini warga negara Indonesia dituntut untuk mempunyai
kualitas SDM yang unggul sehingga memungkinkan munculnya keunggulan
individual yang dapat memberikan sumbangan kepada kemakmuran individu dan
masyarakat.

C. Metode Pengumpulan Data

Dalam pembuatan makalah ini, metode pengumpulan data yang digunakan


adalah kaji pustaka terhadap bahan-bahan kepustakaan yang sesuai dengan
permasalahan yang diangkat dalam makalah ini yaitu masalah mengenai
permasalahan dan upaya penuntasan kemiskinan di Indonesia. Sebagai referensi juga
diperoleh dari media berbagai media informasi baik dari televisi, koran maupun situs
web internet yang membahas mengenai permasalahan dan upaya penuntasan
kemiskinan di Indonesia.

D. Metode Analisis

Penyusunan makalah ini berdasarkan metode deskriptif analistis, yaitu


mengidentifikasi permasalahan berdasarkan fakta dan data yang ada, menganalisis
permasalahan berdasarkan pustaka dan data pendukung lainnya, serta mencari
alternatif pemecahan masalah

BAB III

ANALISIS PERMASALAHAN

A. Pembahasan

Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh
negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti
Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung
tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada
masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang
sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan
daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang
rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Berikut sedikit penjelasan mengenai kemiskinan yang sudah menjadi dilema
mengglobal yang sangat sulit dicari cara pemecahan terbaiknya.

1. Definisi
Dalam kamus ilmiah populer, kata “Miskin” mengandung arti tidak
berharta (harta yang ada tidak mencukupi kebutuhan) atau bokek. Adapun kata
“fakir” diartikan sebagai orang yang sangat miskin. Secara Etimologi makna yang
terkandung yaitu bahwa kemiskinan sarat dengan masalah konsumsi. Hal ini
bermula sejak masa neo-klasik di mana kemiskinan hanya dilihat dari interaksi
negatif (ketidakseimbangan) antara pekerja dan upah yang diperoleh.

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka


perkembangan arti definitif dari pada kemiskinan adalah sebuah keniscayaan.
Berawal dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan
memperbaiki keadaan hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan
komponen-komponen sosial dan moral. Misal, pendapat yang diutarakan oleh Ali
Khomsan bahwa kemiskinan timbul oleh karena minimnya penyediaan lapangan
kerja di berbagai sektor, baik sektor industri maupun pembangunan. Senada
dengan pendapat di atas adalah bahwasanya kemiskinan ditimbulkan oleh
ketidakadilan faktor produksi, atau kemiskinan adalah ketidakberdayaan
masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mereka
berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Arti definitif ini lebih
dikenal dengan kemiskinan struktural.

Deskripsi lain, arti definitif kemiskinan yang mulai bergeser misal pada
awal tahun 1990-an definisi kemiskinan tidak hanya berdasarkan tingkat
pendapatan, tapi juga mencakup ketidakmampuan di bidang kesehatan,
pendidikan dan perumahan. Di penghujung abad 20-an telah muncul arti definitif
terbaru, yaitu bahwa kemiskinan juga mencakup kerentanan, ketidakberdayaan
dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi.

Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami


oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju,
seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di
penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di
Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja
pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga
kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman
kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi,
kriminalitas, pengangguran.

Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan,


terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-
an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia.
Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat
telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik
keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah
penduduknya tergolong miskin.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut,


kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin
absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan,
papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah
hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan
masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap
seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki
tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya.
1. Indikator-indikator Kemiskinan
Untuk menuju solusi kemiskinan penting bagi kita untuk menelusuri
secara detail indikator-indikator kemiskinan tersebut.

Adapun indikator-indikator kemiskinan sebagaimana di kutip dari Badan


Pusat Statistika, antara lain sebagi berikut:

1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan dan


papan).

2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan,


pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).

3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan
dan keluarga).

4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massa.

5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya alam.

6. Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.

7. Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan.

8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.

9. Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar, wanita


korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan
terpencil).

1. Penyebab Kemiskinan
Di bawah ini beberapa penyebab kemiskinan menurut pendapat Karimah
Kuraiyyim. Yang antara lain adalah:

a. Merosotnya standar perkembangan pendapatan per-kapita secara global.

Yang penting digarisbawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan per-


kapita bergerak seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu sistem.
Jikalau produktivitas berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita pun
akan naik. Begitu pula sebaliknya, seandainya produktivitas menyusut maka
pendapatan per-kapita akan turun beriringan.

Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kemerosotan standar


perkembangan pendapatan per-kapita:

a) Naiknya standar perkembangan suatu daerah.

b) Politik ekonomi yang tidak sehat.

c) Faktor-faktor luar neger, diantaranya:

− Rusaknya syarat-syarat perdagangan

− Beban hutang

− Kurangnya bantuan luar negeri, dan

− Perang

b. Menurunnya etos kerja dan produktivitas masyarakat.

Terlihat jelas faktor ini sangat urgen dalam pengaruhnya terhadap kemiskinan.
Oleh karena itu, untuk menaikkan etos kerja dan produktivitas masyarakat
harus didukung dengan SDA dan SDM yang bagus, serta jaminan kesehatan
dan pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan dengan maksimal

c. Biaya kehidupan yang tinggi.

Melonjak tingginya biaya kehidupan di suatu daerah adalah sebagai


akibat dari tidak adanya keseimbangan pendapatan atau gaji masyarakat.
Tentunya kemiskinan adalah konsekuensi logis dari realita di atas. Hal ini bisa
disebabkan oleh karena kurangnya tenaga kerja ahli, lemahnya peranan wanita
di depan publik dan banyaknya pengangguran.

d. Pembagian subsidi in come pemerintah yang kurang merata.


Hal ini selain menyulitkan akan terpenuhinya kebutuhan pokok dan
jaminan keamanan untuk para warga miskin, juga secara tidak langsung
mematikan sumber pemasukan warga. Bahkan di sisi lain rakyat miskin masih
terbebani oleh pajak negara.

1. Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Indonesia


Bagaimana perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia? Program
Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan laporan tahunan
Pembangunan manusia (Human Development Report) 2006 yang bertajuk Beyord
scarcity; power, poverty dan the global water. Laporan ini menjadi rujukan
perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu Indikator kegagalan atau
keberhasilan sebuah negara menyejahterakan rakyatnya. Selama satu dekade ini
Indonesia berada pada Tier Medium Human Development peringkat ke 110,
terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja.

Jumlah kemiskinan dan persentase penduduk miskin selalu berfluktuasi


dari tahun ke tahun, meskipun ada kecenderungan menurun pada salah satu
periode (2000-2005). Pada periode 1996-1999 penduduk miskin meningkat
sebesar 13,96 juta, yaitu dari 34,01 juta(17,47%) menjadi 47,97 juta (23,43%)
pada tahun 1999. Kembali cerah ketika periode 1999-2002, penduduk miskin
menurun 9,57 juta yaitu dari 47,97 (23,43%) menurun menjadi 38,48 juta
(18,20%). Keadaan ini terulang ketika periode berikutnya (2002-2005) yaitu
penurunan penduduk miskin hingga 35,10 juta pada tahun 2005 dengan presentasi
menurun dari 18,20% menjadi 15,97 %. Sedangkan pada tahun 2006 penduduk
miskin bertambah dari 35,10 juta (15,97%) menjadi 39,05 juta (17,75%) berarti
penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (1,78%).

Adapun laporan terakhir, Badan Pusat Statistika ( BPS ) yang telah


melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) pada bulan Maret
2007 angka resmi jumlah masyarakat miskin adalah 39,1 juta orang dengan
kisaran konsumsi kalori 2100 kilo kalori (kkal) atau garis kemiskinan ketika
pendapatan kurang dari Rp 152.847 per-kapita per bulan.
1. Penjelasan Teknis dan Sumber Data
Sebagai tinjauan kevalidan dan pemahaman data di atas secara lugas,
dipaparkan penjelasan data dan sumber data yang diambil dari Berita Resmi
Statistika No.47/ IX/ 1 September 2006, yaitu sebagai berikut:

a. Untuk mengukur kemiskinan, BPS menggunakan konsep kemampuan


memenuhi kebutuhan dasar (Basic Needs Approach). Dengan pendekatan ini
kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi. Untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur dari
sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini dapat dihitung Head Count Indeks
(HCI) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

b. Metode yang digunakan menghitung Garis Kemiskinan(GK) yang terdiri dari


dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis
Kemiskinan Bukan Makanan (GKBM). Perhitungan garis kemiskinan
dilakukan secara terpisah untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Penduduk
miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pendapatan per-kapita di
bawah garis kemiskinan.

c. Sumber utama data yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah data
Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) panel Februari 2005 dan Maret
2006. Sebagai informasi tambahan,digunakan juga Survei Paket Komoditi
Kebutuhan Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan Proporsi dari
Pengeluaran masing-masing komoditi pokok bukan makanan.

1. Tantangan Kemiskinan di Indonesia


Masalah kemiskinan di Indonesia sarat sekali hubungannya dengan
rendahnya tingkat Sumber Daya Manusia (SDM). dibuktikan oleh rendahnya
mutu kehidupan masyarakat Indonesia meskipun kaya akan Sumber Daya Alam
(SDA). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh rendahnya Indeks Pembangunan
Masyarakat (IPM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,692. yang masih
menempati peringkat lebih rendah dari Malaysia dan Thailand di antara negara-
negara ASEAN. Sementara, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada
tahun yang sama sebesar 0,178. masih lebih tinggi dari Filipina dan Thailand.
Selain itu, kesenjangan gender di Indonesia masih relatif lebih besar dibanding
negara ASEAN lainnya.

Tantangan lainnya adalah kesenjangan antara desa dan kota. Proporsi


penduduk miskin di pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Data
Susenas (National Social Ekonomi Survey) 2004 menunjukkan bahwa sekitar
69,0 % penduduk Indonesia termasuk penduduk miskin yang sebagian besar
bekerja di sektor pertanian. Selain itu juga tantangan yang sangat memilukan
adalah kemiskinan di alami oleh kaum perempuan yang ditunjukkan oleh
rendahnya kualitas hidup dan peranan wanita, terjadinya tindak kekerasan
terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya angka pembangunan gender
(Gender-related Development Indeks, GDI) dan angka Indeks pemberdayaan
Gender(Gender Empowerment Measurement,GEM).

Tantangan selanjutnya adalah otonomi daerah. di mana hal ini mempunyai


peran yang sangat signifikan untuk mengentaskan atau menjerumuskan
masyarakat dari kemiskinan. Sebab ketika meningkatnya peran keikutsertaan
pemerintah daerah dalam penanggulangan kemiskinan. maka tidak mustahil
dalam jangka waktu yang relatif singkat kita akan bisa mengentaskan masyarakat
dari kemiskinan pada skala nasional terutama dalam mendekatkan pelayanan
dasar bagi masyarakat. Akan tetapi ketika pemerintah daerah kurang peka
terhadap keadaan lingkungan sekitar, hal ini sangat berpotensi sekali untuk
membawa masyarakat ke jurang kemiskinan, serta bisa menimbulkan bahaya
laten dalam skala Nasional.

1. Kebijakan dan Program Penuntasan Kemiskinan


Upaya penanggulangan kemiskinan Indonesia telah dilakukan dan
menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas utama kebijakan
pembangunan nasional. Kebijakan kemiskinan merupakan prioritas Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 dan dijabarkan lebih rinci
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun serta digunakan sebagai
acuan bagi kementrian, lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan
pembangunan tahunan.

Sebagai wujud gerakan bersama dalam mengatasi kemiskinan dan


mencapai Tujuan pembangunan Milenium, Strategi Nasional Pembangunan
Kemiskinan (SPNK) telah disusun melalui proses partisipatif dengan melibatkan
seluruh stakeholders pembangunan di Indonesia. Selain itu, sekitar 60 %
pemerintah kabupaten/ kota telah membentuk Komite penanggulangan
Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah (SPKD) sebagai dasar arus utama penanggulangan kemiskinan di daerah
dan mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan.

Adapun langkah jangka pendek yang diprioritaskan antara lain sebagai


berikut:

a) Mengurangi kesenjangan antar daerah dengan; (i) penyediaan sarana-sarana


irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama daerah-daerah langka sumber air
bersih. (ii) pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga daerah-daerah
tertinggal. (iii) redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki
pendapatan rendah dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) .

b) Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui bantuan dana


stimulan untuk modal usaha, pelatihan keterampilan kerja dan meningkatkan
investasi dan revitalisasi industri.

c) Khusus untuk pemenuhan sarana hak dasar penduduk miskin diberikan


pelayanan antara lain (i) pendidikan gratis sebagai penuntasan program belajar
9 tahun termasuk tunjangan bagi murid yang kurang mampu (ii) jaminan
pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin di puskesmas dan rumah
sakit kelas tiga.

Di bawah ini merupakan contoh dari upaya mengatasi kemiskinan di


Indonesia.

Contoh dari upaya kemiskinan adalah di propinsi Jawa Barat tepatnya di Bandung
dengan diadakannya Bandung Peduli yang dibentuk pada tanggal 23 – 25
Februari 1998. Bandung Peduli adalah gerakan kemanusiaan yang memfokuskan
kegiatannya pada upaya menolong orang kelaparan, dan mengentaskan orang-
orang yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam melakukan kegiatan,
Bandung Peduli berpegang teguh pada wawasan kemanusiaan, tanpa
mengindahkan perbedaan suku, ras, agama, kepercayaan, ataupun haluan politik.

Oleh karena sumbangan dari para dermawan tidak terlalu besar bila
dibandingkan dengan permasalahan kelaparan dan kemiskinan yang dihadapi,
maka Bandung Peduli melakukan targetting dengan sasaran bahwa orang yang
dibantu tinggal di Kabupaten/ Kotamadya Bandung, dan mereka yang tergolong
fakir. Golongan fakir yang dimaksud adalah orang yang miskin sekali dan paling
miskin bila diukur dengan “Ekuivalen Nilai Tukar Beras”.

B. Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah yang telah diuraikan di
atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Masalah dasar pengentasan kemiskinan bermula dari sikap pemaknaan
kita terhadap kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu hal yang alami dalam
kehidupan. Dalam artian bahwa semakin meningkatnya kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi maka kebutuhan pun akan semakin banyak.
Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan hanya kewajiban dari pemerintah,
melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa penyakit sosial ini adalah
tugas dan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Ketika terjalin
kerja sama yang romantis baik dari pemerintah, nonpemerintah dan semua lini
masyarakat. Dengan digalakkannya hal ini, tidak perlu sampai 2030 kemiskinan
akan mencapai hasil yang seminimal mungkin.
2. Saran
Dalam menghadapi kemiskinan di zaman global diperlukan usaha-usaha
yang lebih kreatif, inovatif, dan eksploratif. Selain itu, globalisasi membuka
peluang untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Indonesia yang unggul untuk
lebih eksploratif. Di dalam menghadapi zaman globalisasi ke depan mau tidak
mau dengan meningkatkan kualitas SDM dalam pengetahuan, wawasan, skill,
mentalitas, dan moralitas yang standarnya adalah standar global.

DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Gunarso Dwi.2006. Modul Globalisasi. Banyumas. CV. Cahaya Pustaka

Santoso Slamet, dkk. 2005. Pendidikan Kewarganegaraan. Unsoed : Purwokerto.

Santoso, Djoko. 2007. Wawasan Kebangsaan. Yogyakarta. The Indonesian Army Press

Riyadi, Slamet dkk. 2006. Kewarganegaraan Untuk SMA/ MA. Banyumas. CV. Cahaya
Pustaka.

www.pu.go.id/publik/p2kp/des/memahami99.html
www.geocities.com/rainforest/canopy/8087/miskin.html
http://fosmake.blogspot.com/20/07/08/kemiskinan-25.html

makalah kemiskinan dan cara


penganggulangannya
Dalam sebuah Negara yang Sedang Berkembang (NSB) banyak sekali permasalahan-
permasalahan yang sangat komplek untuk ditangani yang terkadang hal ini menjadi
sebuah penghambat bagi perkembangan negara untuk maju menuju tahap selanjutnya.
Salah satu permasalahan yang menjadi prioritas perhatian dari pemerintah adalah
kemiskinan, hal ini pun sangatlah berpengaruh besar terhadap perkembangan negara.
Tingkat perkembangan jumlah pendudukyang tinggi dan tingkat kemiskinan yang
mengikutinya mesti dijadikan pemicu bagi kelancaran program pembangunan yang
dilaksanakan oleh pemerintah dan bukannya menjadi faktor penghambat.
Namun mengenai masalah kemiskinan ini bukan hanya dialami oleh NSB saja, bahkan
sebuah negara yang maju pun memiliki permasalahan ini, namun tidak separah yang
dialami oleh negara yang sedang berkembang. Hal ini tercermin dari konferensi tingkat
tinggi dunia yang berhasil menggelar Deklarasi dan Program Aksi untuk Pembangunan
Sosial (World Summit in Social Development) di Compenhagen pada tahun 1995. Salah
satu fenomena sosial yang dipandang perlu penanganan segera dan menjadi agenda
Tingkat Tinggi Dunia tersebut adalah kemiskinan, pengangguran, dan pengucilan
sosialyang ada di setiap negara.
Mengenai penanganan permasalahan kemiskinan ini beberapa usaha yang dilakukan oleh
pihak pemerintah ataupun swasta menunjukan bahwa adanya kepedulian untuk
meningkatkan perekonomian masayarakat secara keseluruhan sepertiyang tertuang dalam
UUD Tahun 1945. Berbagai model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup
banyak, misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga
Muda Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejahteraan Rakyat (Takesra),
Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring
Pengaman Sosial (Social Safety NetProgram) dan lain-lain.
Pada dekade 1976-1996, persentase penduduk miskin di Indonesia pernah mengalami
penurunan yaitu dari 40,1% menjadi 11,3%, namun pada periode 1996-1998 angka ini
menjadi 24,29% atau 49,5 juta jiwa. Bahkan International Labour Organization (ILO)
memperkirakan jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 129,6 juta atau sekitar 66,3%
(BPS, 1999). Pada tahun 2002, persentase kemiskinan telah mengalami penurunan,
namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu 43% atau sekitar 15,6
juta (BPS dan Depsos 2002). Diantara angka tersebut, diduga jumlah fakir miskin relatif
banyak. Tanpa mengurangi arti pentingnya pembangunanyang sudah dilakukan, angka
kemiskinan tersebut mengindikasikan konsep model yang dibangun belum mampu
membentuk sosial ekonomi masyarakat yang tangguh.
Beberapa koreksi dari para ahli menunjuk, bahwa salah satu permasalahan yang
mendasar adalah orientasi pembangunan ekonomi yang kurang berpihak pada golongan
berpenghasilan rendah ekonomi (grass root). Kondisi ini tercermin dari konsentrasi
industrialisasi berskala menengah ke atas, sehingga sektor ekonomi yang dijalankan oleh
sebagian besar masyarakat kurang diperhitungkan.
Lalu kenapa kemiskinan tetap melanda pada sebuah negara yang memiliki tingkat
kesuburan yang tinggi. Penyebab utama dari timbulnya kemiskinan ini adalah,
(1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan,
(2) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan,
(3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan,
(4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha,
(5) lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah,
(6) terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi,
(7) terbatasnya akses terhadap air bersih,
(8) lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah,
(9) memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya
akses masyarakat terhadap sumber daya alam,
(10) lemahnya jaminan rasa aman,
(11) lemahnya partisipasi,
(12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga,
(13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas
dalam pelayanan publik, meluasnya korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap
masyarakat.
Berdasar uraian di atas dapat dikemukakan, bahwa dalam mengatasi masalah kemiskinan
diperlukan kajian yang menyeluruh (comprehensif), sehingga dapat dijadikan acuan
dalam merancang program pembangunan kesejahteraan sosial yang lebih menekankan
pada konsep pertolongan. Pada konsep pemberdayaan, pemberdayaan dapat diartikan
sebagai upaya untuk menolong yang lemah atau tidak berdaya (powerless) agar mampu
(berdaya) baik secara fisik, mental dan pikiran untuk mencapai kesejahteraan sosial
hidupnya. Dalam konteks ini, mereka dipandang sebagai aktoryang mempunyai peran
penting untuk mengatasi masalahnya. http://one.indoskripsi.com/node/727

Makalah Tentang Masalah Kemiskinan dan Upaya Pemecahan


Masalahnya
Mata Kuliah : Sosiologi dan Politik
Dosen : Muhammad Burhan Amin
Topik Tugas : Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan (Kasus Kemiskinan)
dan upaya Pemecahannya
Kelas : 1-EB17
Kami Dateline Tugas : 06 Maret 2010
Tanggal Penyerahan Tugas : 06 Maret 2010
PERNYATAAN
Dengan ingin kami menyatakan bahwa seluruh pekerjaan dalam tugas ini kami buat
sendiri tanpa meniru atau mengutip dari tim/pihak lain.
Apabila terbukti tidak benar , kami siap menerima konsekuensi untuk mendapat nilai
1/100 untuk mata kuliah ini.
penyusun
NPM Nama Lengkap Tanda Tangan
25209262 Nuky Putri Utami
Program Sarjana Akuntansi dan Manajemen
Universitas Gunadarma
2010
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan i
Daftar Isi ii
Kata Pengantar iii
BAB I 1
A. Intensitas dan Kompleksitas masalah 1
B. Latar Belakang 2
BAB II 3
C. Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat : 3
C1. Mengembangkan masalah yang berbasis responsif 3
C2. Pemanfaatan Modal Usaha 4
C3. Pemanfaatan Institusi Sosial 5
a. Organisasi Masyarakat dan Swasta 5
b. Kerjasama dan Jaringan 6
BAB III 7
D. Upaya Penanganan Masalah 7
Kesimpulan 8
Referensi 9
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Tuhan YME yang telah menolong hambanya untuk
menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat
memperluas pengetahuannya tentang masalah kemiskinan khususnya di Negara kita
Indonesia.
Pada kesempatan ini penulis berkenan mangucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Burhan Amin, selaku dosen sosiologi dan politik.
Penulis menyadari makalah ini kurang sempurna namun mudah-mudahan dapat
memberikan informasi bagi para pembaca. Dengan adanya kelebiahan dan kekurangan
penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
Bekasi, 5 Maret 2010
Penyusun
Mata Kuliah : Sosiologi dan Politik
Dosen : Muhammad Burhan Amin
Topik Tugas : Masalah Sosial Sebagai Inspirasi Perubahan (Kasus Kemiskinan)
dan upaya Pemecahannya
Kelas : 1-EB17
Kami Dateline Tugas : 06 Maret 2010
Tanggal Penyerahan Tugas : 06 Maret 2010
PERNYATAAN
Dengan ingin kami menyatakan bahwa seluruh pekerjaan dalam tugas ini kami buat
sendiri tanpa meniru atau mengutip dari tim/pihak lain.
Apabila terbukti tidak benar , kami siap menerima konsekuensi untuk mendapat nilai
1/100 untuk mata kuliah ini.
penyusun
NPM Nama Lengkap Tanda Tangan
25209262 Nuky Putri Utami
Program Sarjana Akuntansi dan Manajemen
Universitas Gunadarma
2010
DAFTAR ISI
Lembar Pernyataan i
Daftar Isi ii
Kata Pengantar iii
BAB I 1
A. Intensitas dan Kompleksitas masalah 1
B. Latar Belakang 2
BAB II 3
C. Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat : 3
C1. Mengembangkan masalah yang berbasis responsif 3
C2. Pemanfaatan Modal Usaha 4
C3. Pemanfaatan Institusi Sosial 5
a. Organisasi Masyarakat dan Swasta 5
b. Kerjasama dan Jaringan 6
BAB III 7
D. Upaya Penanganan Masalah 7
Kesimpulan 8
Referensi 9
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur bagi Tuhan YME yang telah menolong hambanya untuk
menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik. Makalah ini disusun agar pembaca dapat
memperluas pengetahuannya tentang masalah kemiskinan khususnya di Negara kita
Indonesia.
Pada kesempatan ini penulis berkenan mangucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Bapak Burhan Amin, selaku dosen sosiologi dan politik.
Penulis menyadari makalah ini kurang sempurna namun mudah-mudahan dapat
memberikan informasi bagi para pembaca. Dengan adanya kelebiahan dan kekurangan
penyusun mohon untuk saran dan kritiknya.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih.
Bekasi, 5 Maret 2010
Penyusun
Nuky Putri Utami
Nuky Putri Utami
BAB I
1.1 Intensitas dan Kompleksitas masalah
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki penduduk paling banyak setelah Cina,
India, dan Amerika Serikat. Oleh karena itu tentunya Indonesia memiliki berbagai
masalah yang lebih kompleks, salah satunya adalah kemiskinan yang sudah tidak asing
lagi. Berbicara masalah kemiskinan maka kita akan dihadapkan kepada suatu
kompleksitas permasalahan yang rumit. Pada dasarnya pemerintah dan pemerintah daerah
khususnya telah berusaha untuk menanggulangi masalah tersebut namun pada
kenyataannya belum memberikan hasil yang baik, Sebenarnya masalah kemiskinan
terkait erat dengan adanya berbagai ketimpangan social, oleh karena itu perlu strategi
khusus yang tidak bisa dilepaskan dari masalah social dan budaya, begitu juga halnya
dengan urbanisasi sebagai akibat dari bergesernya orientasi negara dari pertanian kepada
industri. Seperti prosentase yang dikemukakan oleh Houser dan Gardner menunjukan
bahwa terdapat 53,7 % penduduk asia pada tahun 2025 yang bermukim di kota 62,5%
penduduk dunia yang bermukim di kota . Fakta ini mengidentifikasikan bahwa urbanisasi
pada masa mendatang akan semakin besar pada tataran jumlah dan tentunya harus
diimbangi dengan penyediaan lapangan pekerjaan, perumahan yang layak dan sarana
prasarana yang memadai, namun apabila hal tersebut tidak dipenuhi maka tidak mustahil
akan menimbulkan kemiskinan kota yang komplikatif. Dengan adanya kemiskinan yang
semakin besar jumlahnya akan menimbulkan tindakan kualitas, oleh karena itu perlu
adanya optimalisasi kebijakan pemarintah dalam bidang tersebut dan tentu saja tanpa
partisipasi masyarakat semua itu tidak akan berjalan lancar.
1.2Latar Belakang
Masalah kemiskinan sesungguhnya telah menjadi masalah dunia sejak berabad-abad lalu.
Namun, realitasnya hingga kini kemiskinan masih menjadi bagian dari persoalan terberat
dan paling krusial di dunia ini. Teknologi boleh semakin maju, dan negara-negar merdeka
semakin banyak, dan negara-negara kaya semakin bertambah. Tetapi jumlah orang
miskin dunia di dunia tidak kunjung berkurang. Begitupun di Indonesia, kemiskinan
bahkan telah bertranformasi menjadi wajah terror yang menghantui dunia.
Kemiskinan telah menjadi salah satu masalah di Indonesia sejak dulu hingga sekarang
apalagi sejak terhempas dengan pukulan krisis ekonomi dan moneter yang terjadi sejak
tahun 1997. Kemiskinan seringkali dipahami sebagai gejala rendahnya tingkat
kesejahteraan semata padahal kemiskinan merupakan masalah yang bersifat komplek dan
multidimensi. Rendahnya tingkat kehidupan yang sering sebagai alat ukur kemiskinan,
pada hakekatnya merupakna salah satu mata rantai dari munculnya lingkatan kemiskinan.
BAB II
C. Penanganan Masalah Berbasis Masyarakat
Respon dari masyarakat terhadap masalah sosial dapat berupa :
Tindakan kolektif untuk melakukan perubahan dalam bentuk rehabilitatif
Permasalahan kesejahteraan social ke depan masih didominasi oleh permasalahan
kenvensional, terutama kemiskinan dan ketergantungan, kecacatan, keterpencilan, dan
ketertinggalan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku serta akibat bencana. Namun
demikian, permasalahan aktual yang terkait dengan kelangsungan kehidupan bernegara
seperti disintegrasi dan kesenjangan sosial, perlu memperoleh perhatian yang serius dan
berkelanjutan.
Dalam pelaksanaannya, proses pembangunan kesejahteraan sosial meilputi seluruh
lapisan masyarakat dan bangsa Indonesia termasuk warga yang mengundang masalah
kesejahteraan sosial sebagai sasaran dari pembangunan kesejahteraan sosial yang
berstatus sebagai penyandang cacat. Penyandang cacat juga memiliki kesamaan sama
dengan masyarakat lainnya dalam mendapatkan kesempatan, hak, kedudukan,
peran,partisipaasi,kewajiban,dan tanggung jawab. Untuk menanggulanginya terdapat
program Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM) yang dipunyai oleh pemerintah dan
dapat dijalankan oleh berbagai institusi sosial masyarakat secra mandiri. RBM
memberikan pelayanan rehabilitasi terhadap mereka nantinya. Sehingga merekan
memiliki hak dalam kesempatan kerja serta pekerjaan untuk penghidupan yang layak dan
bermartabat bagi dirinya.
C1. Mengembangkan Sistem Yang Berbasis yang Responsif
Ilmu sosiatri adalah salah satu cabang ilmu sosial yang khusus mempelajari hubungan
antar individu dan antar kelompok manusia dalam masyarakat dalam konteks
pembangunan masyarakat itu sendiri. Kajian utama dari ilmu sosiatri ini adalah tindakan-
tindakan manusia untuk menciptakan keseimbangan hubungan antara kebutuhan dengan
sumber daya mencapai kesejahteraan fisik, mental, dan sosial masyarakat. Kelahiran ilmu
sosiatri ini dilatarbelakangi oleh kondisi sosial yang terjadi di Indonesia setelah
kemerdekaan. Kebutuhan mesyarakat pada sumber daya ekonomi, sosial, dan politik
sebagai basis integrasi sosial sangat tinggi, tetapi ketersediaan sumberdaya tersebut
sangat terbatas. Akibatnya daya tahan masyarakat sebagai suatu komunitas menjadi
lemah untuk melindungi diri dari ancaman disintegrasi dan disorganisasi sosial. Ada
2pendekatan utama yang digunakan ilmu sosiatri di dalam kajian tentang objek ilmunya,
yaitu pendekatan Community Organization dan Community Development.
C2. Pemanfaatan Modal Usaha
Modal usaha telah berfungsi dengan baik sebagai jarring pengaman sosial bagi kaum
miskin di Indonesia. Bantuan dalam level keluarga besar, komunitas atau dal;am relasi
pertemanan telah menyelamatkan banyak kaum miskin. Namun, modal sosial dalam
bentuk-bentuk itu sedang dan akan menyurut. Sebabnya, bentuk modal sosial itu
membutuhkan hubungan personal. Padahal, spesialisasi dan pembagian kerja (division of
labor) cenderung bersifat impersonal. Ditambahkan lagi waktu dan ruang interaksi yang
tersedia semakin sempit. Hal ini terutama tampak jelas dari kota-kota besar. Akibatnya
warga kota yang berkecukupan secara ekonomi todak terdorong membantu kaum miskin
meski kemiskinan hadir begitu dekat, Contohnya dalam bentuk rumah kumuh dan
tunawisma. Kepedulian mengkin saja masih besar tetapi relasi yang bersifat impersonal
menyulitkan kepedulian itu. Tentu saja modal sosial tidak menyurut sepenuhnya. Modal
sosial tidak lagi dominan di level komunitas atau keluarga besar, tetapi berubah dalam
bentuk kelompok-kelompok professional atau hobi seperti fotogarafi, kelompok
pengajian dan lain-lain. Syang sekali kelompok-kelompok seperti itu cenderung
beranggotakan orang-orang dengan strata yang homogeny. Sulit sekali terjadi pertemuan
antara kaum miskin dan kalangan ekonomi menengah keatas. Bentuk modal sosial seperti
ini, kurang efektif untuk menjadi jarring pengaman sosial kemiskinan.
Modal sosial memiliki pengaruh yang sangat menentukan. Banyak keuntungan dari
modal sosial diantanya adalah menyelesaikan masalah kolektif, mendorong roda
perubahan yang cepat di tengah masyarakat, memperluas kessadaran bersama bahwa
banyak jalan yang dapat dilakukan untuk memperbaiki nasib pada setiap anggota
kelompok secara bersama-sama, memperbaiki mutu kehidupan seperti meningkatkan
seperti meningkatkan kesejahteraan dan perkembangan anak. Bangsa yang mempunyai
modal sosial yang tinggi akan cenderung lebih efisien dan efektif menjalankan berbagai
kebijakan untuk mensejahterakan dan memajukan rakyatnya.
C3. Pemanfaatan Intitusi Sosial
a.Organisasi swasta dan masyarakat
Mengenai penanganan masalah kemiskinan ini beberapa usaha ynag dilakukan oleh pihak
pemerintah ataupun swasta menujukan bahwa adanya kepedulian untuk meningkatkan
kesejahteraan perekonomian secara keseluruhan seperti yang tertuang pada UUD Tahun
1945. Berbagi model penanganan kemiskinan yang telah dijalankan cukup banyak,
misalnya Program Kesejahteraan Sosial Kelompok Usaha Bersama Keluarga Muda
Mandiri (Prokesos KUBE KMM), Tabungan Kesejaheraan Masyarakat (Takersa), Kredit
Usaha Kesejahteraan Masyarakat (Kukesra), Kredit Usaha Kecil Menengah, Jaring
Pengaman Sosial (Social Safety Net Program) dan lain-lain.
b. Optmalisasi Konstibusi Dalam Pelaytanan Sosial
1. Pemerintah seharusnya memberikan sosialisasi tentang bagaimana mencapai
hidup yang sejahtera secara fisik maupun rohani.
2. Adanya media untuk membuat masyarakat peduli terhadap masalah social yang
sedang terjadi.
3. Diadakannya kebijakan-kebijan, contohnya :Kebijakan birokratis
c.Kerjasama dan Jaringan
Kesjahteraan masyarkat miskin dapat diupayakan dengan cara kerja sama antara
masyarakat, dunia usaha dan pemerintahan. Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan
dengan cara-cara:
1. Perluasan kesempatan (Promoting Oportunity) yaitu secar tidak langsung
mengarah pada sasaran, tetapi menciptakn suasana dan lingkungan yang
mendukung kemiskinan.
2. Pemberdayaan masyarakat (Community Empowermwnt) sebagai strategi yang
secara langsung mengarah pada kelompok masyarakat miskin.
3. Perlindungan sosial (Sosial Protection) bagi keluarga miskin yang berada di
wilayah terpencil melalui upaya khusus .
4. Penguatan jaringan kerja daerah guna mengoptimalisasikan kemiskinan antara
pemerintah, swasta, masyarakat madani dalam membantu masyarakat miskin.
BAB III
D.Upaya Penanganan Masalah
Beberapa hal yang mempengaruhi upaya dan strategi penanggulangan kemiskinan
sehingga program yang dilakukan selama ini tidak bertahan lama, memaksakan dan tidak
dapat diakses karena hambatan stuktural :
1. Permasalahan kemiskinan merupakan problem structural dan cultural yang melibatkan
peran dan tranggungjawab negar dan masyarakat. Upayanya dengan kebijakan baik
regulasi maupun program penyelesaiannya perlu deperiksa secara mendalam.
2. Desain kelembagaan adalah instrument yang tidak bisa dipisahkan dalam skema
kebijakan yang dikeluarkan. Dalam setiap kebijakan yang dirumuskan membutuhkan
desain dan format kelembagaan yang menjamin keberhasilan dan keberlanjutan
kebijakan. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, bahwa strategi penanggulangan
kemiskinan di daerah kurang baik karena kelembagaan yang dibentuk kurang berjalan.
Upayanya adalah dengan memeriksa masalah yang muncul dalam kelembagaan ini.
3. Pemberdayaan komunitas adalah dimensi yang selalu menjadi nilai (value) sekaligus
kerangka metodologi dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Pemberdayaan selalu
membutuhkan prasyarat modal sosial yang bisa menjamin keberlanjutan program yang
dijlankan.
BAB IV
KESIMPULAN
Masalah kemiskinan bukanlah ha lasing lagi bagi kita. Namun mengapa masalah
kemiskinan sampai kini belum juga dapat diatasi. Semestinya masyarakat juga mesti
berperan aktif dalam menyelesaikan masalah yang pelik ini. Program-program yang
dikeluaarkan pemerintahpun tidak akan berjalan lancar tanpa ada kerjasama dari
masyarakatnya. Olehkarena itu seharusnya mulai dari sekareanglah masyarakat
menyadari betapa pentingnya peduli terhadap sesame dan tidak menjadi egois dalam
menjalani hidup yang sementara ini.
REFERENSI
Zaymuttaqin.wordpress.com
Communicare-santi.blogspot.com
www.damandiri.or.id

makalah ttg cara mengatasi kemiskinan


Posted by: iluvmyclass on: September 8, 2008
• In: makalah
• Comment!

Melembagakan Social Enterpreneurship Di Lingkungan Perguruan


Tinggi
(Memenangkan Hadiah Ke-2 Lomba Karya Tulis Ilmiah Dosen Unisba 2007, 18
November 2007)
ABSTRAK
Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang perlu diatasi dengan melibatkan
peran serta banyak pihak, termasuk kalangan perguruan tinggi. Dari sekian banyak
strategi mengentaskan kemiskinan, pendekatan social enterpreneurship yang bertumpu
pada semangat kewirausahaan untuk tujuan-tujuan perubahan sosial, kini semakin banyak
digunakan karena dianggap mampu memberikan hasil yang optimal. Konsep atau
pendekatan ini layak diujicobakan dalam lingkup perguruan tinggi karena gagasan
dasarnya sebenarnya sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya aspek
pengabdian masyarakat. Caranya adalah dengan menerjemahkan konsep social
enterpreneurship pada empat level: kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring
evaluasi.
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan sesungguhnya telah menjadi masalah dunia sejak berabad-abad lalu. Namun,
realitasnya, hingga kini kemiskinan masih menjadi bagian dari persoalan terberat dan
paling krusial di dunia ini. Teknologi boleh semakin maju, negara-negara merdeka
semakin banyak, dan negara-negara kaya boleh saja kian bertambah (pun semakin kaya!).
Tetapi, jumlah orang miskin di dunia tak kunjung berkurang. Kemiskinan bahkan telah
bertransformasi menjadi wajah teror yang menghantui dunia.
Bagaimana gambaran kemiskinan yang melingkupi kita saat ini? Data World Bank 2006
menunjukkan, setidaknya terdapat 1,1 milyar penduduk miskin di dunia. Jumlah
penduduk miskin di Indonesia (yang dikategorikan supermiskin[1] oleh World Bank)
pada tahun 2007 mencapai 39 juta orang atau 17,75 persen dari total populasi. Untuk
wilayah Jawa Barat, yang punya cita-cita meningkatkan poin IPM menjadi 80 pada 2008,
jumlah penduduk miskin mencapai 5,46 juta orang, atau sekitar 13,55 persen dari total
penduduk miskin di Indonesia[2]. Memprihatinkan, karena data ini memperlihatkan
adanya peningkatan penduduk miskin di Jawa Barat sebanyak 317.000 orang![3] Ini
berarti, program-program pengentasan kemiskinan yang digagas pemerintah pusat
maupun daerah telah gagal mengentaskan penduduk Jawa Barat dari cengkeraman
kemiskinan.
Seiring berkembangnya pemikiran bahwa kemiskinan adalah masalah struktural, maka
upaya untuk mengatasi kemiskinan pun kini dikaitkan dengan perbaikan sistem dan
struktur, tidak semata-mata bertumpu pada aksi sesaat berupa crash program. Sebuah
upaya yang kini populer adalah mengembangkan konsep social enterpreneurship
(selanjutnya disingkat SE—pen.), atau kewirausahaan sosial, yang bermaksud
menggandengkan kekuatan kapitalisme dengan komitmen sosial bagi komunitas di
sekitarnya.
Makalah ini tidak bermaksud membahas metode dan operasionalisasi Grameen Bank.
Sesuai dengan tema karya tulis yang difokuskan pada upaya perguruan tinggi dalam
mengentaskan kemiskinan, makalah ini menggagas alternatif-alternatif yang bisa
dilakukan oleh kalangan perguruan tinggi untuk berperan-aktif mengatasi persoalan
kemiskinan, disemangati oleh spirit SE.
1.2 Perumusan Masalah
Bertitiktolak dari latar belakang permasalahan, maka masalah dalam makalah ini dapat
dirumuskan sbb. “Bagaimana melembagakan konsep SE di lingkungan perguruan tinggi
untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan?” Permasalahan yang general ini
kemudian dibagi menjadi beberapa identifikasi permasalahan, sbb.
Bagaimana konsep SE diterjemahkan sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi?
Bagaimana rumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di lingkungan
perguruan Tinggi?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan utama penulisan adalah menggambarkan bagaimana kemiskinan dapat coba
diatasi melalui peran perguruan tinggi lewat strategi pelembagaan SE. Tujuan ini secara
spesifik terbagi menjadi:
Penerjemahan konsep SE sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Perumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di lingkungan Perguruan
Tinggi.
Manfaat yang bisa diperoleh dari karya tulis ini adalah sbb.
Pada level praktis, penelitian ini memperlihatkan sebuah skema yang applicable untuk
melembagakan konsep SE di lingkungan Perguruan Tinggi.
Pada level sosial, melalui skema SE Unisba dapat turut serta menyumbangkan alternatif
solusi mengatasi persoalan-persoalan kemiskinan, terutama di lingkungannya.
2. Kerangka Pemikiran
Ragangan, atau kerangka pemikiran, berisi uraian logis mengenai konsep-konsep yang
terkait dengan permasalahan. Dalam membincangkan kemiskinan, sebagai penghantar
menuju pada pembahasan, setidaknya ada tiga hal yang perlu dijadikan landasan diskusi.
Hal pertama berkenaan dengan pembahasan mengenai konsep-konsep kemiskinan dalam
upaya memahami kompleksitas permasalahan kemiskinan. Kedua, gambaran mengenai
kemiskinan di Jawa Barat sebagai upaya mengaitkan pembahasan makalah dengan
konteks permasalahan yang dihadapi di lapangan. Ketiga, uraian konsep SE yang
dijadikan pendekatan utama dalam makalah ini untuk memberikan solusi sesuai dengan
tema penelitian.
2.1. Mendefinisikan Kemiskinan
The poor will always be with us. Inilah idiom populer tentang kemiskinan yang dikutip
oleh sosiolog kemiskinan paling populer saat ini, Zygmunt Baumant (1998:1). Idiom
tersebut memberi makna bahwa kemiskinan—dan orang-orang miskin—adalah kondisi
inheren dalam masyarakat manapun, dulu dan sekarang, kemungkinan di masa depan jika
dunia tak berubah. Poverty, atau kemiskinan pada dasarnya adalah kondisi kekurangan.
Ada banyak cara memaknai ‘kekurangan’, karena itu, Wikipedia merinci setidaknya
terdapat 3 pendekatan dalam mendefinisikan kemiskinan.
a) Kemiskinan yang dideskripsikan sebagai kekurangan material need. Kemiskinan,
dalam hal ini, didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sebuah komunitas
kekurangan esensial untuk memenuhi standar kehidupan minimum yang terdiri dari
sandang, pangan, papan (sumberdaya material).
b) Kemiskinan yang dideskripsikan dari aspek hubungan dan kebutuhan sosial, seperti
social exclusion (pengucilan sosial), ketergantungan, dan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk pendidikan dan informasi.
c) Kemiskinan yang dideskripsikan sebagai kurangnya pendapatan dan kemakmuran—
yang ditetapkan berdasarkan indikator-indikator tertentu. Dari sinilah munculnya
pemilahan kemiskinan secara global berdasarkan pendapatan harian keluarga, yaitu
kurang dari $1 atau $2 sehari.
Konkretnya, survei data riset World Bank “Voices of the Poor”, terhadap 20.000
penduduk miskin di 23 negara (termasuk Indonesia!), faktor-faktor kemiskinan dapat
diidentifikasi sebagai kehidupan yang sulit, lokasi yang terpencil, keterbatasan fisik,
hubungan timpang gender, problem dalam hubungan sosial, kurangnya keamanan,
penyalahgunaan kekuasaan, lembaga yang tidak memberdayakan, terbatasnya kapabilitas,
dan lemahnya organisasi komunitas (Wikipedia, 2007).
Jelas, permasalahan kemiskinan bukan terletak pada ketidakmampuan memenuhi standar-
standar ekonomi yang didasarkan pada ukuran material resources. Adapula kondisi
kekurangan social resources yang menyebabkan kemiskinan. Itu sebabnya kemiskinan
begitu kompleks, mencakup berbagai bidang, hingga kemiskinan acap pula disebut
sebagai plural poverty—kemiskinan plural. Guna mengatasi kemiskinan, Wikipedia
merinci sejumlah strategi sbb.
Strategi pertumbuhan ekonomi.
Penciptaan pasar bebas.
Bantuan langsung.
Perubahan lingkungan sosial dan kapabilitas warga miskin.
Millenium Development Goals.
Pendekatan berbasis kultural.
Di Indonesia, pada tahun 1970-an, pendekatan yang digunakan untuk mengatasi
kemiskinan adalah pemenuhan kebutuhan dasar[4]. Ini meliputi pemenuhan kebutuhan
pangan senilai 2100 kalori per orang/hari, adanya fasilitas kesehatan dasar, air bersih,
sanitasi, tempat tinggal, dan akses pendidikan. Memasuki dekade 1990-an, upaya
pengentasan kemiskinan difokuskan pada pemberdayaan masyarakat, dengan cara
meningkatkan kapabilitas SDM. Ini ditempuh lewat pembangunan infrastruktur pedesaan,
distribusi aset ekonomi dan modal usaha, serta penguatan kelembagaan masyarakat
melalui program berskala nasional meliputi IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT
(Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), hingga KDP (Kecamatan
Development Program). Kini, yang coba diterapkan dalam pembangunan nasional adalah
pendekatan berbasis hak (rights based approach). Wujudnya adalah Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), yang secara pelahan diupayakan melalui
pemenuhan sepuluh hak-hak dasar, yaitu hak atas pangan, layanan kesehatan, layanan
pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, tanah, lingkungan hidup dan sumber daya
alam, rasa aman, dan hak untuk berpartisipasi. Dalam rumusannya, SNPK
memperlihatkan adanya pergeseran paradigma kemiskinan—yang kini tidak lagi terbatas
pada upaya mencukupi kebutuhan material, tetapi juga meliputi pemenuhan kebutuhan
sosial.
2.2. Gambaran Kemiskinan di Jawa Barat
Sebelum menyoal wajah kemiskinan di Jawa Barat, mari sejenak kita cermati data-data
‘kekayaan’ propinsi yang strategis ini. Pertama, Jawa Barat adalah propinsi terkaya di
Indonesia dalam kategori populasi penduduk (39 juta jiwa, yang artinya sekitar 17.80%
dari total populasi Indonesia), mengalahkan Jawa Tengah (32 juta jiwa) dan Jawa Timur
(36 juta jiwa). Jawa Barat adalah propinsi kedua terpadat setelah DKI Jakarta (1126
jiwa/km2). Nilai APBD Jawa Barat pada tahun anggaran 2007 sebesar Rp 5,2 trilyun
rupiah. Namun, sumber pemasukan sesungguhnya tidak cuma berasal dari pos APBD
propinsi. Digabungkan dengan DIPA, Dana Dekon, dan APBD-APBD Daerah Tingkat II,
angka keseluruhannya bisa mencapai Rp. 45-47 milyar! Gubernur Jawa Barat H. Danny
Setiawan bahkan berani mengasumsikan, bila dibagikan maka seorang warga Jawa Barat
kebagian setidaknya Rp. 1 juta per tahun.[5]
Dari segi sosial budaya, masyarakat Jawa Barat dikenal sebagai masyarakat agamis—
dominan Islam. Toleransi umat beragama boleh dibanggakan, dan potensi konflik
tergolong rendah. Jawa Barat juga dikenal sebagai gudangnya warga yang kreatif,
sehingga keunggulan wisatanya, misalnya, tidak perlu mengandalkan sumberdaya alam.
Wisata belanja dan lifestyle menjadi unggulan Bandung. Bahkan, awal tahun ini,
masyarakat industri kreatif Bandung memproklamirkan Jawa Barat dan Bandung sebagai
ikon industri kreatif. Sesungguhnya, ini modal sosial yang penting. Tanpa penanganan
serius dari pemerintah lokal saja, industri kreatif Jawa Barat sudah mampu unjuk gigi.
Apalagi kalau ditangani pemerintah secara serius.
Namun, Jawa Barat juga memiliki segudang permasalahan, di antaranya kebijakan
birokrasi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan industri maupun pengentasan
kemiskinan, penanganan masalah sosial yang masih bersifat sporadis dan reaksioner,
kerusakan lingkungan dan penataan wilayah yang parah, serta kegagalan pemerintah
propinsi merumuskan target dan rencana pembangunan yang visioner dan realistis.
Ambisi pemerintah propinsi yang menetapkan peningkatan poin IPM menjadi 80 pada
tahun 2008, misalnya, tidak dibarengi langkah nyata perbaikan infrastruktur maupun
kebijakan, sehingga tahun ini IPM hanya meningkat tak lebih dari 0.71.[6]
Bagaimana wajah kemiskinan di Jawa Barat? Bulan Agustus 2007, BPS melansir data
yang mengejutkan. Jumlah penduduk miskin di Jawa Barat bertambah 317.000 jiwa.
Totalnya, 5,45 juta jiwa atau 13.5% dari total penduduk Jawa Barat. Proporsi antara
warga miskin perkotaan dan pedesaan relatif berimbang—sebanyak 51% warga miskin
bermukim di pedesaan, jumlahnya mencapai 2,8 juta jiwa. Bicara soal lokasi, wilayah
Pantura menjadi kantong-kantong kemiskinan di Jawa Barat. Diperkirakan 5 juta
penduduk miskin berada di sabuk Pantura[7].
Profil kemiskinan di Jawa Barat cukup memprihatinkan. Sumbangan terbesar
kemiskinan, yaitu sebesar 73%, diakibatkan ketidakmampuan mencukupi kebutuhan
makanan. Fluktuasi harga beras dan kini, harga minyak, menjadi biang keladinya. Belum
lagi transisi konversi energi—yang tentunya punya dampak sosial-ekonomi yang cukup
signifikan. Daya beli yang rendah, dan tingginya pengangguran juga menjadi persoalan,
di samping kenaikan UMR yang tidak memadai bila dibandingkan dengan kebutuhan
fisik minimum keluarga[8].
Tahun lalu, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat sebesar 5,14 juta jiwa. Dilihat dari
data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), jumlah keluarga miskin di Jabar 1,06 juta
keluarga, kategori sangat miskin 615.875 keluarga, dan hampir miskin mencapai 1,22
juta keluarga. Kenaikan angka penduduk miskin tahun ini menunjukkan kegagalan
program-program pengentasan kemiskinan di Jawa Barat.
Sama halnya dengan propinsi Indonesia lainnya, pelbagai strategi nasional pengentasan
kemiskinan pernah menyentuh Jawa Barat. Mulai dari IDT, P2KP, JPS, hingga BLT.
Selain itu, masih terdapat pula Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS),
Program Beasiswa dan Bantuan Operasional Sekolah untuk Sekolah Dasar dan
Menengah serta Ibtidaiyah (DB-BOS), JPS Khusus Bidang Sosial, Prakarsa Khusus
untuk Penganggur Perempuan (PKPP), Padat Karya Perkotaan (PKP), Pemberdayaan
Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE). Mengingat tingginya
intensitas kemiskinan di Jawa Barat, nilai proyek yang diserap propinsi ini senantiasa
tergolong tinggi. Sebagai gambaran, untuk P2KP yang tahun ini digabungkan dengan
Program Pengembangan Kecamatan (PPK) di bawah payung Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM Mandiri), dana yang digelontorkan untuk
Propinsi Jawa Barat mencapai Rp. 276,020 milyar untuk 220 kecamatan. Sebanyak 123
kecamatan di pedesaan menerima dana sebesar Rp. 133,850 milyar. Sisanya, 97
kecamatan di perkotaan menerima Rp. 142,170 milyar[9].
Selain program pengentasan kemiskinan nasional, Propinsi Jawa Barat juga memiliki
program penanggulangan tersendiri, berupa:
Program Dakabalarea (Kepgub No. 2/Th. 1999).
Gerakan Rereongan Sarupi.
Gerakan Jumat Bersih.
Gerakan SARASA.
Program Raksa Desa.
Program Pendanaan Kompetensi IPM (PPK-IPM) (Kepgub No. 34/Th. 2005).
Program Dakabalarea yang merupakan program pemberian kredit dengan pola bagi hasil
kepada pengusaha mikro & usaha kecil hingga th. 2005 telah menggulirkan dana tak
kurang dari Rp. 93.657.109.350 dari target Rp. 66.770.000.000 untuk 3.065 kelompok
dengan jumlah anggota sebanyak 26.886 orang. Sedangkan dana yang digelontorkan
melalui PPK IPM[10] pada tahun 2006 mencapai Rp. 190 milyar, diperuntukkan bagi 9
kabupaten/kota yang proposalnya terpilih[11]. Untuk tahun 2007, 6 kabupaten/kota
terpilih berhak mendapatkan dana senilai Rp. 315 milyar. Khusus untuk kota Bandung,
dana Bantuan Langsung Mandiri (BLM) yang dikucurkan tahun 2007 mencapai Rp. 8.8
milyar[12].
Upaya pemerintah melalui inisiatif pendanaan dan penyusunan program seperti ini
sesungguhnya mencerminkan kehendak serius mengentaskan kemiskinan. Namun, dalam
pelaksanaannya ternyata masih mengandung kelemahan. Seperti diungkapkan oleh
Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, upaya selama bertahun-tahun menghabiskan dana
milyaran rupiah mudah sekali digoncangkan oleh kenaikan BBM atau fluktuasi harga
sembako[13]. Sejumlah pengamat menilai, kegagalan tersebut dikarenakan antara lain
faktor pertumbuhan jumlah angkatan kerja yang relatif tinggi, akibat jumlah penduduk
usia sekolah yang putus sekolah dan terpaksa masuk pasar kerja, serta jumlah migran
yang masuk untuk tujuan bekerja. Padahal, di sisi lain, jumlah kesempatan kerja relatif
stagnan, karena pertumbuhan ekonomi belum cukup tinggi, laju investasi asing belum
optimal, dan iklim usaha belum kondusif.[14]
Berhubung kemiskinan adalah masalah yang kompleks, tentu penanganannya tidak bisa
distrukturkan secara tersentralisir. Penanganan kemiskinan juga menuntut kepekaan
sosiokultural. Kucuran dana dan modal saja tidak cukup, pembukaan kesempatan kerja
juga belum tentu memberdayakan, malah bisa menimbulkan ketergantungan. Tetapi, di
sisi lain, penanganan kemiskinan secara sporadis, tanpa disain atau skema
penanggulangan terpadu yang jelas indikator pencapaiannya, juga dapat menggagalkan
upaya mengeluarkan orang dari lingkaran kemiskinan. Dalam konteks inilah konsep
social enterpreneurship mau pun social enterpreneurs layak diperkenalkan, karena
pendekatan ini berupaya menanggulangi kemiskinan lewat disain atau skema
pengentasan kemiskinan yang matang, didukung oleh sosok-sosok yang kompeten.
2.3. Social Enterpreneurship: Sebuah Wacana
Tri Mumpuni Wiyatno adalah orang yang selalu yakin bahwa desa merupakan sumber
kekuatan ekonomi yang belum tergarap optimal. Banyak persoalan pembangunan akan
terselesaikan, jika desa menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru yang mandiri. Ia
mewujudkan gagasannya dengan menyebarluaskan teknologi mikrohidro untuk
membangun pembangkit listrik skala kecil ke desa-desa. Maria Hartiningsih[15], seorang
jurnalis cum pejuang feminis di Indonesia melaporkan, bersama lembaganya Institut
Bisnis Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) Tri Mumpuni turun ke desa-desa, memberi
pelatihan manajemen air ramah lingkungan kepada penduduk setempat. Rakyat desa juga
kemudian dilatih memelihara alat, menghitung energi yang disalurkan, serta biaya yang
diperlukan karena umumnya mikrohidro dikelola secara swadaya. Begitu energi listrik
dialirkan dari rumah ke rumah, berbagai kegiatan ekonomi bisa dikembangkan.
Di belahan dunia lain, tepatnya di Palmares do Sul, Brazil Utara, Fabio Rosa bergelut
dengan masalah yang sama. 25 juta penduduk Brazil tidak punya akses pada listrik.
Akibatnya, standar hidup mereka rendah. Tak ada kulkas, lampu, apalagi komputer.
Biaya penyediaan listrik untuk mencahayai sebuah desa pada awal tahun 1980an,
membubung tinggi pada angka 7.000 dollar. Ini sama artinya dengan 5 kali lipat income
seorang petani miskin selama sepuluh tahun! Fabio Rosa menjadikan Palmares sebagai
model eksperimen listrik pedesaannya yang pertama. Pada 1992, ia memutuskan
mendirikan perusahaan profit—Sistemas de Tecnologia Adequada Agroelectro (STA
Agroelectro)—dan mulai menyebarkan teknologinya ke desa-desa. Lewat skema
pembiayaan yang ekonomis, ditambah dengan pola ekonomi produktif yang
diperkenalkannya, STA berhasil melistriki tak kurang dari 800.000 rumah tangga.
John Wood adalah seorang eksekutif Microsoft bergaji milyaran. Titik balik kehidupan
Wood datang dalam sebuah liburan ke Nepal. Ia bertemu dengan seorang guru, yang
mengajaknya memanjat pegunungan selama 3 jam untuk melihat sekolahnya. Sebuah
sekolah yang hanya punya satu kelebihan: murid yang banyak. Lain-lainnya persis seperti
di Indonesia: kurang guru, kurang sarana dan prasarana, termasuk perpustakaan. John
Wood tersentuh, dan tahun berikutnya ia datang membawa 3500 buku untuk sekolah itu,
dan sekolah-sekolah lain. Ia memutuskan meninggalkan Microsoft, mendirikan organisasi
Room to Read, dan saat ini telah mendirikan tak kurang dari 3600 perpustakaan di Asia.
John Wood bersama organisasinya juga melibatkan diri dalam penyusunan program-
program alternative pendidikan dasar di Asia dan Afrika.
Sebuah frase yang menyatukan Tri Mumpuni, Fabio Rosa, dan John Wood adalah restless
people (Bornstein, 2004: 1). Orang-orang yang gelisah. Inilah orang-orang yang mencoba
memecahkan masalah dalam skala besar. Mereka sadar bahwa lilitan kemiskinan baru
bisa dilepaskan jika seseorang itu berdaya: berdaya ekonominya, berdaya mentalnya,
berdaya lingkungan sosial-politiknya. Mereka adalah social innovator, atau social
entrepreneurs. Mereka punya gagasan-gagasan kuat untuk memperbaiki kehidupan orang
lain, meningkatkan kualitas masyarakat. Mereka menyusun kerangka besar perubahan
tersebut, dan berjuang mempraktikkannya di pelbagai pelosok dunia.
Lantas, apa yang dimaksud dengan SE? Pertama-tama perlu dibahas definisi
kewirausahaan atau enterpreneurship. Kewirausahaan didefinisikan sebagai individu
(kelompok) yang dapat mengidentifikasi kesempatan berdasarkan kemampuan,
keinginan, dan kepercayaan yang dimilikinya, serta membuat pertimbangan dan
keputusan yang berkaitan dengan upaya menyelaraskan sumber daya dalam pencapaian
keuntungan personal (Otuteye & Sharma, 2004 dalam Palestine, 2007)[16]. Pada intinya,
kewirausahaan adalah kemampuan untuk menangkap peluang dan dengan cara yang
inovatif menciptakan nilai tambah pada sesuatu yang tidak ada menjadi ada[17].
Di mana pun, model enterpreneurship atau kewirausahaan mengandung dua prinsip:
otonomi dan penentuan nasib sendiri (self-determination). Prinsip otonomi diterjemahkan
sebagai advokasi masyarakat, sedangkan prinsip penentuan nasib sendiri (self-
determination) diterjemahkan sebagai prinsip kewirausahaan (Palestin, 2007). Selama ini,
kewirausahaan senantiasa dikaitkan dengan upaya memberdayakan diri/lembaga dalam
konteks ekonomi untuk menunjang kehidupan. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah apa
bedanya model kewirausahaan ekonomi konvensional dengan definisi kewirausahaan
sosial.
Menurut Dave Roberts dan Christine Woods (2007), “social entrepreneurship is a
construct that bridges an important gap between business and benevolence; it is the
application of entrepreneurship in the social sphere”.[18] Sederhananya begini: social
entrepreneurship adalah penerapan prinsip kewirausahaan dalam lingkup sosial, yang
ditujukan untuk mencapai perubahan sosial tertentu.
Kewirausahaan sosial bisa dijalankan atas nama perseorangan, bisa juga secara
kelembagaan. Namun, karena skala perubahan yang diharapkan sangat besar, maka
lazimnya kewirausahaan sosial dijalankan oleh badan-badan khusus untuk itu. Bagan
berikut ini memperlihatkan rentang bentuk kelembagaan di antara dua kutub: perusahaan
bisnis tradisional di sebelah kiri, dan LSM tradisional di sebelah kanan.
Sumber: http://www.csef.ca/what_is_a_social_entrepreneur.php
Gerakan-gerakan yang murni SE berada dalam simpul hybrid social enterprise, berupa
badan yang didirikan dengan tujuan melakukan aksi sosial, sehingga segala upaya
pendanaan, kegiatan, mau pun fundraising dibingkai dalam kerangka tersebut.
Bagaimana gerakan SE menjadi bagian dari upaya pengentasan kemiskinan? Contoh
paling gamblang diberikan oleh Professor M. Yunus lewat Grameen Bank di Bangladesh.
Didirikan sebagai bagian dari action research Universitas Chittagong (1976), Grameen
Bank memberikan kredit mikro bagi komunitas miskin di Bangladesh. Jumlahnya hanya
$27, digulirkan pada 42 keluarga. Namun, uang setara dengan Rp. 243.000,- itu mampu
melepaskan keluarga-keluarga tersebut dari jeratan rentenir.
Kini, lebih dari 2100 cabang Grameen Bank didirikan di seluruh Bangladesh. Menurut
catatan Wall Street Journal, seperlima kreditnya sudah setahun ini macet. Tapi, jurnal
yang sama juga mencatat, tingkat pengembalian kredit mencatat rekor 98% untuk
nasabah-nasabah perempuan. Setengah dari peminjamnya (mendekati 50 juta nasabah),
juga dinyatakan berhasil melepaskan diri dari kemiskinan absolut. Ini terlihat dari standar
yang diukur melalui indikator anak-anak yang bersekolah sesuai tingkat umurnya,
kemampuan memberi makan keluarga tiga kali sehari, toilet dan air minum yang bersih,
rumah beratap, dan kemampuan pengembalian pinjaman sebesar 300 taka (atau senilai 4
dollar) per minggu.
Grameen Bank merupakan contoh organisasi SE yang berhasil. Agar bisa mencapai
kesuksesan yang sama, organisasi SE mesti memenuhi prinsip-prinsip inovasi dalam
praktik sbb.:
Institutionalize Listening. Komitmen kuat untuk menyimak, mendengar suara-suara di
lapangan.
Pay attention to the exceptional. Yang dimaksud adalah kepekaan mengenali informasi
yang tak diduga, khususnya keberhasilan-keberhasilan tak terduga.
Design real solutions for real people. Kelebihan social enterpreneur adalah mereka sangat
peka dan realistis dengan perilaku manusia.
Focus on human qualities.
(Bronstein, 2004: 200-211)
Adalah tantangan yang luarbiasa berat untuk bisa menemukan orang-orang seperti ini.
Pendekatan SE kini coba dipromosikan dalam makalah ini sebagai landasan bagi
perguruan tinggi untuk berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Bagaimana
konkretnya, dapat dilihat pada pembahasan berikut.
3. Pembahasan: Melembagakan SE di Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai Upaya
Mengentaskan Kemiskinan
SE, kendati bukan konsep yang relatif baru, perlu dipromosikan sebagai alternatif untuk
mengatasi permasalahan kemiskinan, yang didalamnya terkandung persoalan struktur,
sosial politik, kebudayaan. Pendekatan ini punya kelebihan: membumi, melibatkan setiap
stakeholder secara aktif, dan bertumpu pada inisiatif serta pemecahan solusi yang berasal
dari masyarakat. Bagaimana perguruan tinggi dapat berperan di sini?
Pertama-tama, mari kita ingat bahwa institusi pendidikan tinggi di Indonesia dibingkai
oleh pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi mengandung tiga
dharma, yaitu: (1) Pendidikan dan Pengajaran; (2) Penulisan Karya Ilmiah; dan (3)
Pengabdian pada Masyarakat. Sangat eksplisit terlihat bahwa pendekatan SE sebenarnya
adalah wujud dari aspek ketiga, yaitu pengabdian masyarakat. Jadi, bicara soal tempat,
SE punya tempat dan posisi yang jelas dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dengan segala keterbatasannya, sesungguhnya PT punya potensi besar untuk mengatasi
persoalan bangsa, utamanya mengentaskan kemiskinan, bertitiktolak dari pendekatan SE.
Caranya adalah dengan melembagakan konsep SE di lingkungan PT. Hal ini dapat
dicapai melalui dua langkah besar: (1) menerjemahkan konsep SE dengan pilar Tri
Dharma Perguruan Tinggi maupun visi-misi spesifik PT (dalam kasus Unisba,
menerjemahkan konsep SE pada 3M); dan (2) Menerjemahkan pendekatan SE dalam
level aksi.
3.1. Menerjemahkan Konsep SE dalam Konteks Perguruan Tinggi.
Menimbang literatur-literatur SE dalam tinjauan pustaka, maka SE dalam lingkup
perguruan tinggi harus diterjemahkan menjadi aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat,
berkesinambungan, melibatkan seluruh civitas academica, dan melembaga.
Realistis, maksudnya program-program SE disesuaikan dengan kebutuhan lapangan dan
ketersediaan resources yang dimiliki perguruan tinggi maupun komunitas.
Kreatif, maksudnya aktivitas SE mesti didesain secara kreatif guna menemukan solusi
terbaik.
Mengikat, maksudnya ada satu desain besar dan timeframe yang jelas, serta indikator-
indikator guna mengukur tingkat keberhasilan program.
Berkesinambungan, maksudnya program SE didesain bukan untuk memberikan hasil
sesaat, tetapi lebih mementingkan upaya-upaya kecil namun berkelanjutan sehingga
dampaknya lebih lama terasa.
Melibatkan seluruh civitas academica, maksudnya tidak menjadikan SE sebagai
proyeknya salah satu stakeholder universitas saja, misalnya dosen. Pihak lain seperti
mahasiswa atau tenaga-tenaga lain perlu diberi kesempatan dan pengalaman untuk
berkiprah. Sehingga, gerakan SE menjadi gerakan bersama.
Melembaga, maksudnya diinstitusionalisasikan secara resmi sehingga bisa mengikat
komitmen dan memberikan jaminan keorganisasian yang jelas.
Demikianlah prinsip-prinsip yang harus terkandung dalam setiap aksi SE. Apabila sudah
jelas prinsip-prinsip, tujuan, mau pun visi-misinya, apabila PT memang benar-benar
sudah memutuskan akan serius berkiprah dalam SE, maka langkah selanjutnya adalah
bagaimana mengoperasionalkan rencana besar ini dalam langkah-langkah konkret.
3.2. Mengoperasionalkan SE di Lingkungan Perguruan Tinggi
Langkah-langkah untuk mengoperasionalkan SE di lingkungan PT dapat dirumuskan
dengan mengacu pada level kelembagaan, level regulasi, level aksi, dan level audit.
Ketika level-level operasional ini disilangkan dengan prinsip Tri Dharma Perguruan
Tinggi, maka hasilnya adalah matriks, sbb.
Matriks Operasionalisasi Social Enterpreneurship Untuk Perguruan Tinggi
No.
Pelembagaan
SE
Tridharma Perguruan Tinggi
Pendidikan dan Pengajaran
Penelitian dan Karya Ilmiah
Pengabdian Masyarakat
1
Level Kelembagaan
Mendirikan SE Center di tingkat universitas
Melakukan konsolidasi kelembagaan
Melakukan pemetaan resources
Menjalin relasi dan melakukan lobi-lobi internal maupun eksternal, apakah itu dengan
pemerintah, lembaga legislatif, sesama perguruan tinggi, maupun kontak dengan
perusahaan-perusahaan yang memiliki program corporate social responsibility.
Fundraising: langkah dan aksi fundraising yang tidak norak dan mengandalkan pihak luar
semata, tapi elegan dan sesuai dengan semangat SE.
Mempublikasikan jurnal-jurnal program SE.
Merencanakan award-award (internal): SE Award Unisba, misalnya, untuk mahasiswa,
dosen, dan pusat kajian yang terpilih.
Berkompetisi mengikuti award-award dari dalam dan luar negeri (eksternal): dari
Pemerintah, Kementerian, organisasi funding seperti Skoll Enterprise, Schwab
Foundation, Ashoka International, dll.
Menyusun rencana jangka panjang dan jangka pendek.
Merumuskan affirmative actions untuk melembagakan SE, mis. merencanakan program-
program pelatihan berbasis SE.
2
Level Regulasi
Memberlakukan kurikulum wajib SE di tingkat fakultas
Memberlakukan ketentuan penyisihan porsi penelitian dan karya ilmiah berwajah SE
Memberlakukan ketentuan pengabdian masyarakat berbasis SE
3
Level Aksi
Mendata mata kuliah yang berpotensi dijadikan bagian kurikulum wajib SE.
Menyusun dan melaksanakan program-program penelitian berbasis SE.
Menyusun dan melaksanakan PKM berbasis SE
Menyusun atau mendampingi penyusunan silabi berbasis SE.
Melatih dosen agar berwawasan SE.
Melakukan pelatihan bagi penelitian berbasis SE.
Melakukan pelatihan bagi PKM berbasis SE.
4
Level Audit/Monev:
Mengembangkan panduan audit monev berbasis SE. Apa saja indikator-indikatornya?
Mengembangkan indikator-indikator audit monev program pendidikan dan pengajaran
berbasis SE.
Mengembangkan indikator-indikator audit monev program penelitian dan karya ilmiah
berbasis SE.
Mengembangkan indikator-indikator audit monev PKM berbasis SE.
Menyusun program-program audit monev secara teratur di bidang pendidikan pengajaran
dengan indikator berbasis SE.
Menyusun program-program audit monev secara teratur di bidang penelitian dan karya
ilmiah dengan indikator berbasis SE.
Menyusun program-program audit monev secara teratur untuk PKM dengan indikator
berbasis SE.
Melakukan audit monev dalam program pendidikan dan pengajaran berdasarkan
indikator-indikator berbasis SE.
Melakukan audit monev dalam program penelitian dan karya ilmiah berdasarkan
indikator-indikator berbasis SE.
Melakukan audit monev dalam program PKM berdasarkan indikator-indikator berbasis
SE.
Ketr. SE = Social Enterpreneurship.
Matriks yang disajikan di sini hanya sekadar stimulan untuk merumuskan langkah-
langkah konkret yang bisa dilakukan PT untuk mengentaskan kemiskinan dengan
pendekatan social enterpreneurship. Walau demikian, stimulan ini dapat dijadikan
pijakan awal apabila PT memang serius ingin berkontribusi mengentaskan kemiskinan,
sesuai dengan kapasitas dan kapabilitas yang dimiliki.
3.3. Melembagakan SE di Unisba: Studi Kasus SE di Kelas Filsafat Komunikasi
Sesungguhnya, Unisba memiliki potensi luarbiasa untuk memberi kontribusi bagi
pengentasan kemiskinan. Unisba mempunyai modal sosial dari segi kelembagaan,
sumberdaya manusia, potensi jejaring dan relasi, power, serta potensi keuangan dan
fasilitas. Modalitas brainware, hardware, software-nya jelas sudah ada. Unisba juga
bukan universitas yang terpisah dari lingkungan sosialnya secara geografis. Terletak di
Tamansari dan Ciburial, warga Unisba punya kesempatan untuk berinteraksi secara
intens dengan persoalan sosial, sehingga tidak perlu kerepotan mencari target sasaran.
Apalagi, Kelurahan Tamansari maupun kawasan Ciburial adalah wilayah urban yang
memerlukan penataan dan pembinaan serius.
Dalam lingkup kelas, penulis mencoba bereksperimen menerapkan pendekatan SE untuk
mata kuliah Filsafat Komunikasi. Kepada mahasiswa, diberikan tugas kelompok
melakukan kerja volunteer di wilayah Bandung. Lewat tugas ini, diharapkan mahasiswa
mendapatkan pengalaman bersentuhan langsung dengan permasalahan sosial, sehingga
dapat menjadi stimulan untuk menerapkan SE di masa mendatang. Tujuan lain yang
diharapkan adalah adanya kesempatan untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan, sambil
memperbaiki kualitas kepribadian.
Laporan-laporan yang dikumpulkan mau pun dipresentasikan hasilnya di luar dugaan.
Terbentuk sepuluh kelompok beranggotakan 2-5 orang, dengan kiprah meliputi:
Volunteer Food-Not-Bombs, sebuah organisasi yang menampung sayuran reject dari
supermarket maupun pasar sayur petani Lembang, namun masih layak-olah. Sayuran
dimasak untuk anak-anak jalanan di Taman Lansia, Cilaki.
Reader di Panti Wyata Guna. Membacakan dan mencarikan buku-buku yang diperlukan
pelajar penghuni Wyata Guna.
Konselor bagi siswa-siswi SMU XX yang menghadapi permasalahan keluarga dan
problematika belajar.
Volunteer di Panti Wredha dan Panti Asuhan. Kegiatannya antara lain merayakan 17
Agustusan di Panti Asuhan dan Panti Wredha sambil menyelenggarakan bursa amal.
Volunteer di Panti Asuhan Bayi Sehat Muhammadiyah.
Trainer musik untuk anak-anak jalanan. Menyelenggarakan konser anak jalanan, yang
kini laris ditanggap di pelbagai event.
Mengorganisasikan tim kebersihan di lingkungan kos-kosan. Kini tidak terbatas pada
kos-kosannya sendiri tapi juga meluas ke kosan lain di wilayahnya.
Kakak asuh bagi anak-anak SD dari keluarga tidak mampu. Kelompok ini bukan saja
secara teratur menyisihkan uang untuk membiayai SPP (Rp 25.000 s.d. Rp 75.000), tetapi
juga mengupayakan buku-buku bekas (pelajaran maupun bacaan yang sehat) dan menjadi
mentor belajar. Sasaran mereka adalah anak-anak yatim/piatu yang orangtuanya single
parent, bekerja sebagai buruh atau pembantu.
Volunteer bagi TK di wilayah ekonomi kelas bawah. Kegiatan selain di dalam kelas
adalah menyelenggarakan lomba 17 Agustusan dan jalan-jalan ke Kebun Binatang.
Volunteer untuk Harm Reduction, sebuah organisasi penanggulangan narkoba.
Dalam presentasi, anggota kelompok ini saling sharing, merefleksikan pengalaman
masing-masing. Hal yang menarik adalah mereka sama-sama tergerak untuk meneruskan
keterlibatannya. Mereka juga jadi lebih memahami realitas di lapangan, permasalahan
sosial di Bandung, serta terpicu semangatnya untuk memberi kontribusi bagi sesamanya.
Dalam konteks ini, pendekatan SE berhasil memberikan pencerahan dan pengalaman.
Pengelolaan kelas sangat low cost, karena dengan prinsip otonomi, partisipasi, serta self-
determination, mahasiswa bisa berbuat banyak dan menemukan solusi-solusi kreatif.
Pendekatan ini layak diujicobakan sebagai bagian penciptaan kurikulum berwajah SE.
Padahal, ini baru level aksi institusional, sebatas menyentuh salah satu kemungkinan
aspek SE di lingkungan perguruan tinggi, seperti tergambar dalam matriks tadi.
4. Penutup
Kemiskinan bagaikan benang kusut. Mengurai kompleksitasnya butuh waktu, motivasi,
komitmen, dan upaya setiap pihak. Konsep SE yang dipromosikan sebagai pendekatan
membuka peluang bagi perguruan tinggi untuk memanfaatkan potensinya bagi upaya
penanggulangan kemiskinan. Berikut adalah kesimpulan karya tulis ini.
1. Dari segi konsep, pendekatan SE sesungguhnya merupakan wujud prinsip Tri Dharma
Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian masyarakat. Namun, agar lebih applicable, SE perlu
dilakukan lewat aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat, berkesinambungan, melibatkan
seluruh civitas academica, dan melembaga.
2. Guna menerjemahkan pendekatan SE pada level yang operasional, PT dapat mengikuti
skema atau langkah-langkah yang telah diidentifikasi dalam matriks, meliputi level
kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring-evaluasi.
Terkait dengan kesimpulan dan tujuan penulisan makalah ini, maka saran-saran yang
dapat diberikan mencakup beberapa hal:
1. Untuk lingkup eksternal, PT perlu meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi
dengan pihak-pihak terkait seperti Pemda, sesama PT, pihak swasta, atau para pebisnis
yang punya concern terhadap perubahan sosial lewat program-program CSR.
2. Pada lingkup internal kelembagaan, PT perlu sesegera mungkin melakukan initial
assesment dan mengonsolidasikan resources-nya sebagai persiapan awal untuk berkiprah
dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Termasuk menyiapkan SDM yang bermutu
lewat pelatihan dan upgrading.
Menutup tulisan ini, penulis ingin mengutipkan sebuah hikmah dari kehidupan
Rasulullah Muhammad SAW. Terlepas dari gaya hidup sederhana (zuhud) yang
diterapkannya, Rasulullah ternyata menaruh perhatian pada masalah kemiskinan.
Rasulullah acap menyatakan bahwa kemiskinan membawa kekufuran (HR. Abu Nua’im
yang diriwayatkan oleh Anas). Oleh karena itu, mencegah mengurangi kemiskinan
merupakan salah satu tindakan sosial nan mulia. Karena, dapat mengurangi peluang
kejahatan dan penyimpangan akidah. Itu sebabnya, dalam beberapa riwayat dikisahkan
betapa bijaknya Rasulullah menyikapi kejahatan yang diakibatkan oleh kemiskinan.
Rasulullah juga mengajarkan sikap hidup dan doa-doa untuk menghindarkan manusia
terjebak dalam kemiskinan.
Riwayat Rasulullah memperlihatkan pentingnya mengupayakan penanggulangan
kemiskinan. Perguruan tinggi, dalam kasus ini, jelas mengemban tanggungjawab sosial
untuk berkiprah di sini. Sudah saatnya perguruan tinggi mendobrak status dan fungsi
ekonomi yang lebih dominan, berhenti didominasi dan diposisikan sebagai sekrup
industri, dan mulai secara serius memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan bangsa,
tanpa tergiring lagi-lagi dalam pemikiran berparadigma ‘proyek cari duit’ dan ‘cari
nama’.***
Daftar Pustaka
Buku.
Bauman, Zygmunt. 1998. Works, Consumerism, and the New Poor. Philadelphia: Open
University Press.
Bornstein, David. 2004. How to Change the World: Social Enterpreneurs and the Power
of New Ideas. Oxford: Oxford University Press.
Wood, John. 2006. Leaving Microsoft to Change The World (diterjemahkan oleh Widi
Nugroho menjadi “Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia).
Jokja: Bentang.
Koran.
Bawazier, Fuad. Super Miskin. Artikel Opini dalam HU Republika, 16 April 2007.
Hartiningsih, Maria. Energi Tri Mumpuni. Artikel Opini Kompas, 7 Oktober 2005.
Kustiman, Erwin. Kemiskinan, Bahaya Laten Jawa Barat. Artikel Opini dalam HU
Pikiran Rakyat, Agustus 2007.
Natsir, Irwan. Perencanaan Daerah. Artikel Opini dalam HU Pikiran Rakyat, 10 Januari
2007.
Jumlah Penduduk Miskin Jawa Barat Bertambah. Berita HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007.
Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan. Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember
2005.
Gatot Johanes Silalahi. Kesempatan Wirausaha Bagi Mahasiswa. Sinar Harapan, 2003.
www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0108/ukm3.html
Peranan Kewirausahaan dalam Masyarakat. Berita HU Republika, 19 Maret 2003.
Internet.
Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam
Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com.
Prabowo, Agus dan Didy Wurjanto. Tiga Pilar Pengentasan Kemiskinan.
www.kimpraswil.go.id
Roberts, Dave dan Christine Woods. Changing the World in a Shoestring: The Concept
of SE. www.businessjournal.com. Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.55
WIB.
Suara Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups.
Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB.
Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007. www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 21
September 2007, pk. 19.33 WIB.
www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 22 September 2007, pk. 01.50 WIB
Sumber lain:
Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.” Dalam Seminar Nasional
“Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21
Agustus 2007. Bandung: Pemkot Bandung.
[1] Disebut supermiskin karena memiliki penghasilan di bawah 1 dollar sehari, yang
berarti tidak bisa memenuhi basic needs. Data BPS memperlihatkan, tingkat pendapatan
kelompok ini tak lebih dari Rp. 5.095,- (Republika, 16 April 2007).
[2] Suara Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups.
Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB.
[3] Kompas, 2 Agustus 2007.
[4] Agus Prabowo dan Didy Wurjanto, Tiga Pilar Pengentasan Kemiskinan.
www.kimpraswil.go.id.
[5] Irwan Natsir, Perencanaan Daerah, HU Pikiran Rakyat 10 Januari 2007.
[6] Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) menyatakan, pembangunan Jabar pada 2006
masih menyimpan banyak persoalan yang harus dibenahi. ”Parameter makro berupa IPM
hanya meningkat 0,71 poin atau menurun dibandingkan 2005 (0,99). IPM Jabar pada
2006 hanya 70,05 dari target 75,60. Ini harus menjadi perhatian karena target IPM 80
pada 2010 tinggal menyisakan 3 tahun lagi,” ungkap juru bicara FPKS, Tate Qomarudin
(HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007)
[7] Erwin Kustiman, Kemiskinan Bahaya Laten Jawa Barat (HU Pikiran Rakyat, 2007).
[8] Data Litbang Kompas (2007) merinci, terjadi kenaikan rata-rata upah minimum
regional di Jabar hanya 4,04 persen, dari Rp 899.122 menjadi Rp 935.450 per bulan.
Namun, proporsi kenaikan ini lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan pengeluaran
masyarakat per bulan. Pengeluaran per kapita per bulan meningkat 12,79 persen. Apa
artinya naik penghasilan 4.04 persen kalau pengeluaran pun bertambah 12.79%?
[9] Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007. www.bandung.go.id.
[10] PPK IPM merupakan inisiatif Pemda Jabar untuk menanggulangi kemiskinan
dengan memberi stimulus pada kepada Pemerintah Kab/Kota untuk dapat menggalang
potensi stakeholders pembangunannya,
guna merumuskan langkah dan strategi dalam peningkatan IPM di daerah masing-masing
dan menuliskannya dalam sebuah proposal yang diajukan kepada Gubernur. Data
Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan
Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah
Jawa Barat.”
[11] Komposisi penggunaan dana meliputi 30% untuk bidang pendidikan, 25% bidang
kesehatan dan 45% untuk bidang ekonomi peningkatan daya beli. Data Seminar Nasional
“Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21
Agustus 2007. Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.”
[12] www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 22 September 2007, pk. 01.50 WIB.
[13] “Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan”. Berita HU Pikiran Rakyat, 24
Desember 2005.
[14] Erwin Kustiman, Kemiskinan, Ancaman Laten Jawa Barat. HU Pikiran Rakyat, 27
Juni 2005.
[15] Kompas, 7 Oktober 2005. Energi Tri Mumpuni.
[16] Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam
Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com.
[17] Republika, 19 Maret 2003. Peranan Kewirausahaan dalam Masyarakat.
[18] Changing The World On A Shoestring: The Concept of Social Enterpreneurship.
Journal of Business Review.

santi indra astuti


• Umur: 38
• Jenis Kelamin: Wanita
• Tanda Astrologi: Leo
• Tahun Zodiak: Anjing
• Industri : Komunikasi atau Media
• Pekerjaan: Dosen, periset, aktivis media literacy
• Lokasi: Bandung : Jawa Barat : Indonesia
http://www.blogger.com/profile/16118165090951505930

Berdasar dari data yang terhimpun melalui penelitian ini terungkap


cukup banyak strategi yang dipergunakan keluarga fakir miskin dalam
menghadapi permasalahannya. Bentuk-bentuk strategi dimaksud dapat
dikemukakan sebagai berikut:
1. Optilalisasi sumber daya manusia (SDM)

Strategi yang mengoptimalkan segala potensi keluarga untuk


peningkatan penghasilan karena tuntutan hidup yang semakin besar.
Berbagai bentuk strategi yang dibangun oleh keluarga fakir miskin
antara lain: melakukan aktivitas sendiri, memperpanjang jam kerja,
memanfaatkan atau mengerahkan anggota keluarga untuk
memperoleh penghasilan. Berdasar hasil skoring, strategi ini
memperoleh nilai 2,70. Secara numerik angka ini menunjukkan, bahwa
strategi dimaksud sering dilakukan. Bahkan dalam strategi ini,
sebagian dari mereka adalah anak yang masih duduk di bangku
sekolah. Jika rata-rata dalam keluarga mempunyai 5 orang anggota,
maka kondisi ini merupakan potensi yang relatif besar untuk
mengakses uang.

Di satu sisi, strategi pelibatan anak dalam peran


ekonomi ini akan memupuk kemampuan anak untuk
membaca peluang ekonomi. Mereka akan lebih
mampu memanfaatkan situasi dan kondisi untuk
mengakses uang. Namun di sisi lain, strategi ini akan
berdampak pada pemenuhan kebutuhan hak anak
terutama hak untuk memperoleh pendidikan. Sebagian
besar waktu yang seharusnya untuk belajar mereka
pergunakan untuk bekerja atau membantu keluarga
dalam peran ekonomi. Akibat lanjut, kualitas
pendidikan anak-anak mereka relatif rendah. Sadar
ataupun tidak, pemanfaatan strategi ini dapat
dikonotasikan sebagai suatu jebakan kemiskinan.

2. Penekanan/pengetatan pengeluaran
Penekanan/pengetatan pengeluaran merupakan
strategi yang bersifat pasif, yaitu mengurangi
pengeluaran keluarga (misalnya pengeluaran biaya
untuk sandang, pangan, biaya sosial, transportasi,
kesehatan, pendidikan, dan kebutuhan sehari-hari
lainnya. Secara kumulatif hasil skoring terhadap
strategi ini memperoleh nilai 2,76. Angka ini dapat
diterjemahkan, bahwa mereka sering menekan biaya
pengeluaran dan menghindari resiko.

Dalam kerangka penekanan/pengetatan pengeluaran,


seringkali mereka mengabaikan kebutuhan pelayanan
untuk kesehatan. Walaupun mereka telah mempunyai
kartu sehat dari Dinas Kesehatan. Pengurangan
pengeluaran biaya kesehatan lebih banyak dilakukan,
karena kesehatan tidak menjadi prioritas utama
mereka. Perhatian mereka lebih terfokus kepada
kegiatan yang berhubungan dengan pencarian nafkah.

3. Pemanfaatan jaringan.
Strategi pemanfaatan jaringan, merupakan salah satu
upaya yang ditempuh oleh keluarga fakir miskin dalam
mengatasi masalah keluarga. Jaringan yang dimaksud
adalah relasi sosial mereka, baik secara informal
maupun formal dengan lingkungan sosialnya dan
lingkungan kelembagaan. Pemanfaatan jaringan ini
terlihat jelas dalam mengatasi masalah ekonomi
dengan pinjam uang kepada tetangga, mengutang ke
warung terdekat, memanfaatkan program anti
kemiskinan, bahkan ada yang pinjam uang ke rentenir
atau bank dan sebagainya).

Secara numerik, skor yang diperoleh dari pemanfaatan


jaringan (2,57). Angka ini menunjukkan, bahwa
mereka sering meminta bantuan kepada relasi
sosialnya terutama kepada teman sekerja atau
tetangga. Kondisi ini menunjukkan, bahwa di antara
mereka mempunyai solidaritas yang kuat dan saling
percaya. Tampaknya teman merupakan tumpuan
untuk memperoleh pertolongan dan sebagai tempat
pertama yang akan dituju apabila mereka mengalami
masalah. Relasi mereka tidak hanya sebatas di bidang
ekonomi, tetapi mencakup bidang-bidang yang lain,
misalnya dalam peningkatan mental spiritual. Kegiatan
ini merupakan strategi yang bersifat aktif untuk
memperoleh dukungan emosional.
III. Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Dari segi kuantitas, jumlah keluarga miskin yang relatif banyak


merupakan potensi besar bagi pembangunan nasional. Berbagai upaya
yang telah ditempuh keluarga fakir miskin telah cukup banyak. Jumlah
anggota keluarga yang relatif besar (rata-rata 5 orang) dan setiap anggota
keluarga dapat berperan dalam kegiatan ekonomi, namun realitas
perekonomiannya masih tetap sulit berkembang (statis) dan cenderung
terkesan apatis, dan pasrah pada nasib. Solidaritas di antara mereka (baik
dalam mengatasi permasalahan sosial dan ekonomi) merupakan potensi
besar untuk pencegahan terhadap munculnya permasalahan sosial lain
yang lebih besar, sehingga mereka tetap mampu bertahan dalam
berbagai kindisi yang serba sulit.

B. Saran

Upaya penanggulangan kemiskinan hingga saat ini telah banyak dilakukan


terutama sejak Indonesia mengalami krisis ekonomi dan moneter semakin
menggema dan dikenal masyarakat luas, bahkan dicari sebagian masyarakat
untuk dapat menikmati program anti kemiskinan. Penyelesaian suatu masalah
secara lebih strategik biasanya tidak kasatmata dan memerlukan waktu. Dalam
kerangka optimalisasi program penanggulangan kemiskinan, perlu
mengakomodasikan potensi keluarga miskin yang acapkali terabaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, 1999. Penduduk Muskin (PoorPopulation). Berita Resmi


Statistik Penduduk Miskin No.04/Th.II/July, Jakarta:CBS.
Badan Pusat Statistik dan Departemen Sosial, 2002, Penduduk Fakir Miskin
Indonesia, BPS, Jakarta Indonesia
Elson, 1977, Economic Paradigms Old and New: The Case of Human
Development, in Culpeper, Roy, Albert Berry and Frances Stewart
(eds), Global Development Fifty Years after Bretton Woods: Essays
in Honour of Gerald K. Helleiner, London: Mac Millan Press

You might also like