Professional Documents
Culture Documents
Tidak jarang dalam dunia kerja ada sekelompok karyawan yang memiliki kecerdasan intelektual
(IQ) tinggi kalah bersaing oleh para karyawan lain yang ber-IQ relatif lebih rendah namun lebih
berani menghadapi masalah dan bertindak. Mengapa sampai seperti itu?. Dalam bukunya
berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities, Paul Stoltz memerkenalkan
bentuk kecerdasan yang disebut adversity quotient (AQ). Menurutnya, AQ adalah bentuk
kecerdasan selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan. AQ dapat
digunakan untuk menilai sejauh mana seseorang ketika menghadapi masalah rumit. Dengan kata
lain AQ dapat digunakan sebagai indikator bagaimana seseorang dapat keluar dari kondisi yang
penuh tantangan. Ada tiga kemungkinan yang terjadi yakni ada karyawan yang menjadi
kampiun, mundur di tengah jalan, dan ada yang tidak mau menerima tantangan dalam
menghadapi masalah rumit (tantangan) tersebut. Katakanlah dengan AQ dapat dianalisis
seberapa jauh para karyawannya mampu mengubah tantangan menjadi peluang.
Kembali kepada Stolz, dia mengumpamakan ada tiga golongan orang ketika dihadapkan pada
suatu tantangan pendakian gunung. Yang pertama yang mudah menyerah (quiter) yakni
dianalogikan sebaga karyawan yang sekedarnya bekerja dan hidup. Mereka tidak tahan pada
serba yang berisi tantangan. Mudah putus asa dan menarik diri di tengah jalan. Golongan
karyawan yang kedua (camper) bersifat banyak perhitungan. Walaupun punya keberanian
menghadapi tantangan namun dengan selalu memertimbangkan resiko yang bakal dihadapi.
Golongan ini tidak ngotot untuk menyelesaikan pekerjaan karena berpendapat sesuatu yang
secara terukur akan mengalami resiko. Sementara golongan ketiga (climber) adalah mereka yang
ulet dengan segala resiko yang bakal dihadapinya mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan
baik.
AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi
setiap tantangan sehari-harinya. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari tantangan tetapi
mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik. Dalam dunia kerja,
karyawan yang ber-AQ semakin tinggi dicirikan oleh semakin meningkatnya kapasitas,
produktivitas, dan inovasinya dengan moral yang lebih tinggi. Sebagai ilmu maka AQ dapat
ditelaah dari tiga sisi yakni dari teori, keterukuran, dan metode. Secara teori, AQ menjelaskan
mengapa beberapa orang lebih ulet ketimbang yang lain. Dengan kata lain apa, mengapa dan
bagaimana mereka berkembang dengan baik walaupun dalam keadaan yang serba sulit. Dalam
konteks pengukuran, AQ bisa digunakan untuk menentukan atau menseleksi para pelamar dan
juga untuk mengembangkan daya kegigihan karyawan. Sebagai metode, AQ dapat
dikembangkan untuk meningkatkan kinerja, kesehatan, inovasi, akuntabilitas, focus, dan
keefektifitasan karyawan.
Beberapa perusahaan di dunia seperti FedEx, HP, Procter & Gamble, Marriott, Sun
Microsystems, Deloitte & Touche, and 3M telah memanfaatkan model AQ ini. Dengan AQ
mereka mampu mengatasi permasalahan bisnis dan kinerja karyawan. Antara lain dengan solusi
AQ mereka melakukan program-program memerluas kapasitas karyawan dengan lebih efektif,
mengembangkan kepemimpinan yang ulet atau gigih, menciptakan perilaku gigih dalam suatu
tim kerja, memercepat perubahan dan menjadikan AQ sebagai salah satu komponen budaya
korporat, memerkuat moral dan mengurangi kelemahan karyawan, meningkatkan mutu modal
manusia dan mendorong inovasi, dan memerbaiki pelayan pada pelanggan dan penjualan.
Tulisan asli dari artikel ini dan berbagai sudut pandang menarik lainnya tentang MSDM dapat
juga diakses langsung melaui: “ADVERSITY QUOTIENT” DAN
PEMBERDAYAAN KARYAWAN
Kontributor:
Beliau adalah salah seorang pemrakarsa berdirinya Program Doctor bidang Bisnis dan dan saat
ini masih aktif berbagi ilmu di Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian
Bogor (MB-IPB).
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang diri dan pemikiran-pemikiran beliau, silakan kunjungi
Blog beliau di Rona Wajah
http://indosdm.com/pengertian-%E2%80%9Cadversity-quotient%E2%80%9D-dan-
manfaatnya-dalam-pemberdayaan-karyawan
http://www.informasi-training.com/adversity-quotient-kecerdasan-
mengidentifikasikan-masalah-menanggulangi-masalah-serta-mengambil-keputusan-
secara-baik-dan-benar
Aryaduta Hotel / Grand Flora Hotel*, Jakarta |March 14 th – 15th, 2011 | Rp. 2.950.000, –
Untuk bisa sukses menjadi seorang staf di perusahaan dituntut untuk memiliki kecerdasan diatas
rata – rata kecerdasan manusia umumnya. Secara anekdot dinyatakan bahwa seorang staf di
perusahaan dituntut mempunyai kecerdasan rata – rata 200 % atau 100 % diatas kecerdasan rata
– rata manusia pada umumnya. Untuk menjadi staf pemula di perusahaan, maka test IQ – test
Kecerdasan Intelektual diperlukan agar memenuhi syarat minimum yaitu seorang yang cerdas.
Jadi seorang staf di perusahaan tidak mungkin dari kalangan idiot.
Namun seorang staf di perusahaan juga seorang yang mampu mengendalikan emosinya, yaitu
mempunyai Kecerdasan Emosional – Emotional Quotient – EQ yang baik . Emosi yang meledak
– ledak tidak saja bisa membahayalan sang staf di perusahaan itu sendiri tetapi juga dapat
membahayakan perusahaannya yang sekaligus membahayakan masa depan investasi para
pemilik modal . Tapi staf di perusahaan yang tanpa emosi, perusahaannya akan melempem, oleh
karena itu seorang staf / pejabat di perusahaan harus mempunyai emosi yang tinggi namun
mampu dikendalikan, dimanfaatkan secara cerdas .
Seorang staf di perusahaan adalah juga seorang yang mempunyai Kecerdasan Kreatifitas –
Creativity Quotient – CQ, agar mampu bersaing dengan perusahaan lainnya. Perusahaan yang
maju adalah perusahaan yang mempunyai para staf di perusahaan yang kreatif untuk bersaing
dan mampu menumbuh – kembangkan perusahaannya. Namun seorang staf di perusahaan
dituntut juga menjadi seorang penganut agama yang saleh, mempunyai RQ – Religious Quotient
– Kecerdasan Beragama yang baik.
Dan seorang staf di perusahaan juga seorang yang cerdas dalam mengamalkan Spiritual Quotient
– SQ – Kecerdasan Spiritual yang tidak sekedar dapat membedakan yang halal dan yang haram ,
yang bermudharat, yang bermanfaat dan bermartabat yang tidak saja dari segi ajaran agama –
RQ – Religious Quotient , tetapi juga kecerdasan dari tanggung jawab moral, etika dan integritas
secara lebih luas lagi. Yang kemudian berkembang lagi menjadi ESQ – Emotional Spiritual
Quotient – Kecerdasan emosi dan spiritual .
Melengkapi untuk menjadi staf di perusahaan yang pari purna yang mempunyai 200 %
kecerdasan rata – rata, maka sekarang sedang dipopulerkan kecerdasan AQ – Adversity Quotient
– Kecerdasan mengidentifikasikan masalah dan menanggulangi masalah serta mengambil
keputusan secara cerdas, dengan baik dan benar. Sekarang makin terasa bahwa seorang staf di
perusahaan bukan semata – mata mempunyai IQ yang baik, disertai EQ, CQ, RQ, SQ yang baik
saja, tetapi juga mampu menerapkan AQ secara baik dan benar, sehubungan dengan keharusan
penerapan Manajemen Risiko dan Good Corporate Governance karena risiko juga adalah sisi
lain dari masalah yang perlu diatasi. Pelatihan ini dapat membantu perusahaan dalam untuk
membentuk staf / pejabat di perusahaan yang pari – purna yang mempunyai kecerdasan 200 %
dibanding manusia dari professi lainnya .
Sasaran:
Oleh karena calon staf di perusahaan telah mempunyai IQ yang baik maka AQ dapat dilatihkan
untuk para staf pemula di perusahaan yaitu para Supervisor sampai calon Pemimpin ( Pemimpin
Cabang ataupun Pemimpin Bagian di Kantor Pusat).
Untuk para staf di perusahaan yang bukan lagi pemula, workshop ini juga akan sangat berguna
untuk revitalisasi dan atau mereview problem solving ability.
Namun manfaat utamanya pelatihan ini sudah barang tentu merupakan pelatihan kemandirian
dalam mengidentifikasikan masalah dan menangani masalah secara cerdas sejalan dengan
penerapan konsep Good Corporate Governance, prinsip kehati – hatian dan manajemen risiko.
Quiters
Merupakan kelompok orang yang kurang memiliki kemauan untuk menerima tantangan dalam
hidupnya. Hal ini secara tidak langsung juga menutup segala peluang dan kesempatan yang
datang menghampirinya, karena peluang dan kesempatan tersebut banyak yang dibungkus
dengan masalah dan tantangan. Tipe quiter cenderung untuk menolak adanya tantangan serta
masalah yang membungkus peluang tersebut.
Campers
Merupakan kelompok orang yang sudah memiliki kemauan untuk berusaha menghadapai
masalah dan tantangan yang ada, namun mereka melihat bahwa perjalanannya sudah cukup
sampai disini. Berbeda dengan kelompok sebelumnya (quiter), kelompok ini sudah pernah
menima, berjuang menghadapi berbagai masalah yang ada dalam suatu pergumulan / bidang
tertentu, namun karena adanya tantangan dan masalah yang terus menerjang, mereka memilih
untuk berhenti di tengah jalan dan berkemah.
Climbers
Merupakan kelompok orang yang memilih untuk terus bertahan untuk berjuang menghadapi
berbagai macam hal yang akan terus menerjang, baik itu dapat berupa masalah, tantangan,
hambatan, serta hal - hal lain yang terus dapat setiap harinya. Kelompok ini memilih untuk terus
berjuang tanpa mempedulikan latar belakang serta kemampuan yang mereka miliki, mereka terus
mendaki dan mendaki.
Adversity Quotient memiliki 4 dimensi yang masing - masing merupakan bagian dari sikap
seseorang menghadapai masalah. Dimensi - dimensi tersebut antara lain adalah:
1. C = Control
Menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memiliki kendali dalam suatu masalah yang
muncul. Apakah seseorang memandang bahwa dirinya tak berdaya dengan adanya masalah
tersebut, atau ia dapat memengang kendali dari akibat masalah tersebut
2. Or = Origin
Menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memandang sumber masalah yang ada. Apakah
ia cenderung memandang masalah yang terjadi bersumber dari dirinya seorang atau ada faktor -
faktor lain diluar dirinya
Ow = Ownership
Menjelaskan tentang bagaimana seseorang mengakui akibat dari masalah yang timbul. Apakah
ia cenderung tak peduli dan lepas tanggung jawab, atau mau mengakui dan mencari solusi untuk
masalah tersebut
3. R = Reach
Menjelaskan tentang bagaimana suatu masalah yang muncul dapat mempengaruhi segi-segi
hidup yang lain dari orang tersebut. Apakah ia cenderung memandang masalah tesebut meluas
atau hanya terbatas pada masalah tersebut saja.
4. E = Endurance
Menjelaskan tentang bagaimana seseorang memandang jangka waktu berlangsungnya masalah
yang muncul. Apakah ia cenderung untuk memandang masalah tersebut terjadi secara permanen
dan berkelanjutan atau hanya dalam waktu yang singkat saja.
http://id.shvoong.com/books/1855052-adversity-quotient-mengubah-hambatan-
menjadi/
PERJALANAN hidup orang sukses dan orang gagal sama, yakni: menghadapi dan
mengalami berbagai kesulitan hidup, adapun perbedaannya terletak pada
kecerdasan menghadapi dan merespons kesulitan hidup yang dijalaninya. Artinya
orang sukses lebih cerdas dari pada orang gagal dalam menghadapi kesulitan
hidupnya. Paul G Stolt dalam dua bukunya berjudul; "Adversity Quotient (2000)"
dan "Adversity Quotient a Work (2003)" secara komprehensif menjelaskan apa yang
dimaksud kecerdasan menghadapi kesulitan dan bagaimana meningkatkan
kecerdasan baru tersebut. Kecerdasan baru dimaksud berawal dari hasil penelitian
yang dilakukan para ilmuan kelas atas selama 19 tahun, mengkaji lebih dari 500
referensi dari tiga cabang ilmu pengetahuan, yakni psikologi kognitif,
psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi, dan menerapkan hasil penelitian dan
pengkajiannya selama 10 tahun di seluruh dunia dan akhirnya sampai pada suatu
kesimpulan bahwa terdapat satu kecerdasan baru yang selama ini tidak terungkap
dibutuhkan dan menentukan kesuksesan seseorang, yakni kecerdasan menghadapi
kesulitan (Adversity Quotient).
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Thomas J Stanley (2003) yang kemudian
ditulisnya dalam sebuah buku berjudul; "The Millionaire Mind" menjelaskan hal yang
sama, bahwa mereka yang berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka
dengan prestasi akademik biasa-biasa saja (rata-rata S1), namun mereka adalah
pekerja keras, ulet, penuh dedikasi, dan bertanggung jawab, termasuk tanggung
jawab yang sangat besar terhadap keluarganya. Adversity Quotient itu sendiri
mempunyai tiga bentuk, yakni; (1) suatu kerangka kerja konseptual yang baru
untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan; (2) suatu ukuran
untuk mengetahui respons terhadap kesulitan; dan (3) serangkaian peralatan yang
memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.
Ketika menghadapi kesulitan hidup, manusia dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni;
Quitters atau manusia yang berhenti, Campers atau manusia yang berkemah, dan
Climbers atau manusia yang pendaki. Manusia quitter adalah manusia yang sulit
dan tidak senang melakukan perubahan, sering orang menyebutnya sebagai
manusia pengecut. Manusia camper adalah manusia yang mau melakukan
perubahan, tetapi jika menghadapi satu kesulitan saja dengan sangat mudah patah
semangat dan berhenti layaknya orang yang sedang berkemah, bahkan mereka
menikmati jeda waktu istirahat tersebut untuk bersuka-ria, bersantai dan tidak
berupaya untuk mengatasi kesulitan yang sedang mereka hadapi. Manusia climber
adalah manusia pendaki yang tidak mudah lekang karena panas dan tidak mudah
lapuk karena hujan. Sebagai manusia pendaki jika ia menemukan ada hambatan
batu di atas gunung sana, ia mencari jalan lain. Baginya untuk sampai ke puncak
gunung tidak hanya ada satu jalan. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang
pernah dikatakan oleh Alexander Graham Bell bahwa; "kalau satu pintu tertutup,
lainnya terbuka, tetapi kita sering memandang terlalu lama dan terlalu penuh
penyesalan kepada pintu yang tertutup itu, sehingga kita tidak melihat pintu yang
terbuka bagi kita".
Masih sering kita temukan pola asuh, pendidikan oleh orang tua terhadap anaknya
dilaksanakan dengan cara memanjakannya. Kita lupa bahwa pola asuh dan
pendidikan dengan memanjakan anak (spoiling) adalah merusak atau membuat ia
tidak berdaya, Martin Seligman menyebutnya sebagai proses ketidakberdayaan
atau pembodohan yang dipelajari. Akibatnya masih banyak anak kita yang sudah
dewasa dan bahkan sudah sarjana ketika dihadapkan pada masalah yang menurut
kita sangat sederhana tidak mampu mereka atasi dan masih meminta bantuan
orang lain terutama pada kedua orang tuanya.
Menutup opini ini penulis ingin menceritakan apa yang pernah penulis dengar dari
salah seorang dosen penulis ketika studi doctor beberapa waktu yang lalu, beliau
adalah bapak Prof. Dr. Marsetio Donosaputro. Ketika beliau menempuh pendidikan
doktor di Amerika Serikat ia sempat tinggal se rumah dengan promotornya, yakni
seorang profesor ternama karena kemampuan akademiknya dan kekayaan yang
dimilikinya. Selama sebulan dosen penulis amati kehidupan di rumah sang profesor,
ada satu hal yang sangat mengesankan tetapi malu untuk menanyakannya karena
merasa penghuni baru di rumah guru besar yang sangat terkenal itu. Namun
setelah sebulan tinggal bersamanya keinginan untuk mengetahui apa yang terasa
aneh tak dapat dibendung lagi. Dosen sayapun bertanya; "Prof, bolehkah saya
bertanya, mengapa setiap sarapan pagi saya tidak melihat anak-anak (usia SD)
profesor ikut menikmati hidangan pagi bersama kita, berbeda sekali ketika siang,
petang dan malam hari, dan kemana mereka di setiap pagi? Profesor dengan
bangga menjawab; "semua anak saya setiap paginya mencari tambahan biaya
liburan atau vakansi. Dalam fikiran saya waktu itu, orang sehebat profesor di
negara maju merasa bangga melihat anak-anaknya belajar mengatasi sulitan
hidupnya dari sejak kecil. Apakah anak kita sebelum dan setelah sekolah ikut
membantu dirinya guna mengurangi beban orang tuanya atau hanya pandai
meminta dan menuntut haknya saja?
http://semesta.multiply.com/reviews/item/7
1 Votes
Setelah 19 tahun melewati penelitian yang panjang & mengkaji lebih dari 500 referensi, Paul G.
Stoltz mengemukakan satu kecerdasan baru selain IQ, EQ, SQ yakni AQ. Menurutnya, AQ
adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. Bagaimana mengubah hambatan menjadi peluang.
Atau dengan kata lain, seseorang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-
citanya dibandingkan orang yang AQ-nya rendah.
Sebagai gambaran, Stoltz memakai terminologi para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz
membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:
1. quitter (yang menyerah).
Para quitter adalah mereka yang sekadar bertahan hidup. Mereka mudah putus asa dan menyerah
di tengah jalan.
Mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi risiko yang aman dan terukur. Cepat
puas, dan berhenti di tengah jalan.
Berani menghadapi risiko dan menuntaskan pekerjaannya. Merekalah yang berada di puncak.
Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan
kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy terhadap ratusan orang
sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama.
Pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa
berupa komitmen ,passion, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik.
Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras,
berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.
Terakhir, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem
bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya.
Dari ciri-ciri tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dua dari tiga karakter orang sukses erat
kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan.
Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Thomas J Stanley (2003) yang kemudian ditulisnya
dalam sebuah buku berjudul; “The Millionaire Mind” menjelaskan hal yang sama, bahwa mereka
yang berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka dengan prestasi akademik biasa-biasa
saja (rata-rata S1), namun mereka adalah pekerja keras, ulet, penuh dedikasi, dan bertanggung
jawab, termasuk tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarganya.
Implementasi AQ
Dalam dunia pendidikan, kita bisa menggunakannya untuk menganalisa perbedaan para siswa
yang manja dengan mereka yang terus berjuang. Para siswa yang malas dalam belajar dengan
mereka yang gigih belajar. Para siswa yang suka menggunakan cara-cara curang dan instant
untuk meraih nilai tinggi dan memastikan kelulusan dengan mereka yang tidak kenal lelah untuk
terus mencoba dan terus bertahan. Walaupun mungkin nilai mereka jelek dan tidak lulus namun
mereka terus mencoba dan terus mencoba lagi. Tentang bagaimana cara siswa dalam
menetapkan tujuan, mengambil resiko, perjuangan meraih cita-cita serta persaingan dalam
seleksi masuk perguruan tinggi.
Untuk dunia pekerjaan dan kehidupan sangatlah jelas. Banyak pekerja yang intelektualnya (IQ)
rendah bisa saja mengalahkan mereka yang ber IQ tinggi tetapi tidak punya semangat dan
keberanian untuk menghadapi masalah dan bertindak. Dengan AQ dapat dianalisis bagaimana
para karyawan / pekerja mampu mengubah tantangan menjadi sebuah peluang yang akan
meningkatkan produktifitas dan keuntungan perusahaan.
Itu tadi uraian singkat tentang Adversity Quotient. Bagaimana dengan Anda?
(Nafis Mudrika)
http://nafismudrika.wordpress.com/2010/04/22/adversity-quotient-by-paul-g-stoltz/
BAB I
PENDAHULUAN
Pada dasarnya tingkah laku manusia yang disadari didorong oleh suatu kekuatan
kebutuhan utama, yaitu: Kebutuhan untuk berpresta si, kebutuhan untuk berafiliasi,
dan
kebutuhan untuk kekuasaan, karena itu wajar apabila seseorang yang bekerja pada
suatu
individu yang selalu mengarah pada suatu standar keunggulan. Di sini berarti
seseorang
dalam suatu organisasi (perusahaan) akan banyak karyawan yang begitu rajin dan
tekun
dalam bekerja, selalu berusaha mencapai prestasi yang lebih baik, dan tidak mudah
puas
dengan hasil yang telah dicapai, sementara ada pula sudah merasa puas dengan
prestasi
yang sedang-sedang saja dan tidak terdorong untuk meraih prestasi yang lebih baik
lagi.
Bahkan ada juga karyawan yang terlihat asal -asalan saja dalam bekerja, mudah
putus asa,
sesuatu dengan sebaik mungkin. Dalam situasi yang menuntut prestasi, seseorang
yang
menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal dengan sumber daya
manusia yang tangguh dan berkualitas itulah bangsa Indonesia bisa mengatas i
berbagai
komparatif kondisi sumber daya insani (SDI) Indonesia dibandingkan dengan SDI
Filipina 84, Thailand 66, Malaysia 52, Brunai 42, Singapura 37, Hongkong 25,
Australia
9, Bel anda 8, dan Jepang peringkat pertama (Hadipranata, 2000). Pada sebuah
perusahaan sudah seharusnya karyawan bekerja penuh semangat dan
bermotivasi tinggi dalam bekerja dan melakukan pekerjaannya secara efektif dan
efisien,
untuk kemudian pada akhirnya menunjukkan kedisiplinan yang tinggi dalam usaha
mewujudkan misi dan tujuan yang telah ditetapkan. Namun demikian tidak
selamanya
motivasi berprestasi yang rendah. Hal tersebu t nampak dari perilaku kerja yang
dan menjual sebuah produk mereka seringkali tidak mengoptimalkan waktu kerja
seefektif mungkin, yaitu ditandai dengan perilaku tidak adanya tanggung jawab
pada
pekerjaan seperti mangkir pada saat jam kerja, tidak tercapainya target penjualan
seperti
Hal yang nampak antara lain kurang adanya motivasi karyawan mencoba membuka
atau
menjelajah wilayah pemasaran lain yang belum tercover atau belum tertangani
oleh
perusahaan.
penting yang perlu diperhatikan dan segera dibenahi karena jika tidak dibenahi
semua kemampuannya, baik dari segi teknis maupun dari segi psikologisnya.
kecerdasan adversity.
Motivasi berprestasi karyawan tidak akan sama antara karyawan yang satu dengan
karyawan yang yang lain hal ini dikarenakan karyawan sebagai individu memiliki
oleh karyawan yaitu kecerdasan adversity. Belum banyak penelitian yang banyak
mengungkap tentang kecerdasan adversity. Oleh karena itu penulis tertarik untuk
motivasi berprestasi .
potensinya akan tetap kecil untuk meraih sukses. Sebaliknya seseorang yang
mempunyai
tinggi.
telah diasah untuk membantu supaya tetap gigih melalui saat-saat yang penuh
dengan tantangan. AQ akan merangsang untuk memikirkan kembali rumusan
keberhasilan yang
sekarang ini. Namun, tantangan -tantangan yang ada sekarang membutuhkan lebih
dari
merupakan peramal kesuksesan yang tangguh di banyak bidang. Pada sebuah studi
yang
berlangsung selama lima tahun dan melibatkan ribuan agen asuransi, ternyata
karyawan
yang memiliki gaya penjelasan yang lebih optimistis menjual jauh lebih banyak polis
dan
tenaga penjual yang optimistis mengalahkan tenaga-tenaga pesimistis tiga kali lipat
lebih
besar meskipun mereka kurang berbakat. Pada kasus ini, intinya adalah
bagaimana
Stoltz (2005) yang menyatakan bahwa IQ dan EQ yang sedang marak dibicarakan
itu
tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan orang. Stoltz mengelompokkan
individu
menjadi tiga: quitter, camper, dan climber. Pengunaan istilah ini berdasarkan pada
sebuah kisah ketika para pendaki gunung yang hendak menaklukan puncak
Everest. Ia
melihat ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa
cukup
puas sampai pada ketinggian tertentu, dan ada pula yang benar-benar berkeinginan
tengah jalan sebelum usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas
berada
pada posisi tertentu sebagai camper, sedangkan yang terus ingin meraih
kesuksesan ia sebut sebagai climber .Teori ini sebenarnya tetap melihat pada
motivasi individu. Mereka
yang berjiwa quitter cenderung akan mati di tengah jalan ketika pesaingnya terus
berlari
tanpa henti. Sementara mereka yang berjiwa camper merasa cukup puas berada
atau telah
mencapai sebuah target tertentu, meskipun tujuan yang hendak dicapai masih
panjang.
Mereka yang berjiwa climber akan terus maju pantang mundur menghadapi
hambatan
yang ada di hadapannya. Ia anggap itu sebagai sebuah tantangan dan peluang
untuk
meraih hal yang lebih tinggi yang belum diraih orang lain.
meramalkan siapa yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan
hancur,
siapa yang akan mempunyai prestasi melebihi harapan kinerja mereka dan siapa
yang
akan gagal. Penelitian Stoltz dibuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan
dengan baik menjual lebih sedikit, kurang berproduksi dan kinerjanya lebih buruk
daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik. Penelitian di atas dapat
Menurut Stolz (2005), tinggi rendahnya AQ dipengaruhi oleh beberapa aspek yang
Endurance (daya tahan). Maka dari itu banyak kegagalan yang dialami oleh para
kegagalan namun yang menarik 60% yang gagal ternyata tidak menyerah, mereka
bangkit dengan mencoba bisnis yang sama. Decak kagum dari masyarakat tentang
kegagalan. Sebagai contoh yaitu Soeharti yang memulai jaringan resto ayam
goreng kremesnya berwal dari penjual ayam kaki lima. Pak Sholeh juragan soto
bangkong,
memulai usahanya dari gerobak keliling. Mereka kenyang digusur-gusur dan diusir
dari
potensi untuk meningkatkan motivasi berprestasi. Hal ini karena dalam kecerdasan
adversity tedapat aspek control, origin dan ownership, reach, endurance yang
dapat
dimanfaatkan karyawan untuk berpikir lebih kreatif, kritis dan menemukan jalan
keluar
dari permasalahan yang pekerjaan, selain itu pula diharapkan karyawan yang
memiliki
adversity-nya rendah.
dari kerja sama tim, absensi/kedisiplinan atau barang -barang yang terjual. Padahal
yang akan melampaui harapan -harapan atas kinerja dan potensi mereka serta
siapa yang
akan gagal; 4) meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan
bertahan.
suatu kontribusi secara teoretis bagi pengembangan ilmu psikologi industri juga
dapat
adversity dengan motivasi berprestasi pada Karyawan. Mengacu dari latar belakang
tersebut maka rumusan masalah yang dimuncu lkan dalam penelitian ini adalah:
apakah
B. Tujuan Penelitian
C. Manfaat Penelitian
2. Bagi karyawan