You are on page 1of 23

PENGERTIAN “ADVERSITY QUOTIENT” DAN

MANFAATNYA DALAM PEMBERDAYAAN


KARYAWAN
4,835 views
Posted by Chief Editor on July 16th, 2009 4 Comments Printer-Friendly
-- Sponsored Ads

Ads by Value Media

Tidak jarang dalam dunia kerja ada sekelompok karyawan yang memiliki kecerdasan intelektual
(IQ) tinggi kalah bersaing oleh para karyawan lain yang ber-IQ relatif lebih rendah namun lebih
berani menghadapi masalah dan bertindak. Mengapa sampai seperti itu?. Dalam bukunya
berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities, Paul Stoltz memerkenalkan
bentuk kecerdasan yang disebut adversity quotient (AQ). Menurutnya, AQ adalah bentuk
kecerdasan selain IQ, SQ, dan EQ yang ditujukan untuk mengatasi kesulitan. AQ dapat
digunakan untuk menilai sejauh mana seseorang ketika menghadapi masalah rumit. Dengan kata
lain AQ dapat digunakan sebagai indikator bagaimana seseorang dapat keluar dari kondisi yang
penuh tantangan. Ada tiga kemungkinan yang terjadi yakni ada karyawan yang menjadi
kampiun, mundur di tengah jalan, dan ada yang tidak mau menerima tantangan dalam
menghadapi masalah rumit (tantangan) tersebut. Katakanlah dengan AQ dapat dianalisis
seberapa jauh para karyawannya mampu mengubah tantangan menjadi peluang.

Kembali kepada Stolz, dia mengumpamakan ada tiga golongan orang ketika dihadapkan pada
suatu tantangan pendakian gunung. Yang pertama yang mudah menyerah (quiter) yakni
dianalogikan sebaga karyawan yang sekedarnya bekerja dan hidup. Mereka tidak tahan pada
serba yang berisi tantangan. Mudah putus asa dan menarik diri di tengah jalan. Golongan
karyawan yang kedua (camper) bersifat banyak perhitungan. Walaupun punya keberanian
menghadapi tantangan namun dengan selalu memertimbangkan resiko yang bakal dihadapi.
Golongan ini tidak ngotot untuk menyelesaikan pekerjaan karena berpendapat sesuatu yang
secara terukur akan mengalami resiko. Sementara golongan ketiga (climber) adalah mereka yang
ulet dengan segala resiko yang bakal dihadapinya mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan
baik.

AQ dapat dipandang sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi
setiap tantangan sehari-harinya. Kebanyakan manusia tidak hanya belajar dari tantangan tetapi
mereka bahkan meresponnya untuk memeroleh sesuatu yang lebih baik. Dalam dunia kerja,
karyawan yang ber-AQ semakin tinggi dicirikan oleh semakin meningkatnya kapasitas,
produktivitas, dan inovasinya dengan moral yang lebih tinggi. Sebagai ilmu maka AQ dapat
ditelaah dari tiga sisi yakni dari teori, keterukuran, dan metode. Secara teori, AQ menjelaskan
mengapa beberapa orang lebih ulet ketimbang yang lain. Dengan kata lain apa, mengapa dan
bagaimana mereka berkembang dengan baik walaupun dalam keadaan yang serba sulit. Dalam
konteks pengukuran, AQ bisa digunakan untuk menentukan atau menseleksi para pelamar dan
juga untuk mengembangkan daya kegigihan karyawan. Sebagai metode, AQ dapat
dikembangkan untuk meningkatkan kinerja, kesehatan, inovasi, akuntabilitas, focus, dan
keefektifitasan karyawan.

Beberapa perusahaan di dunia seperti FedEx, HP, Procter & Gamble, Marriott, Sun
Microsystems, Deloitte & Touche, and 3M telah memanfaatkan model AQ ini. Dengan AQ
mereka mampu mengatasi permasalahan bisnis dan kinerja karyawan. Antara lain dengan solusi
AQ mereka melakukan program-program memerluas kapasitas karyawan dengan lebih efektif,
mengembangkan kepemimpinan yang ulet atau gigih, menciptakan perilaku gigih dalam suatu
tim kerja, memercepat perubahan dan menjadikan AQ sebagai salah satu komponen budaya
korporat, memerkuat moral dan mengurangi kelemahan karyawan, meningkatkan mutu modal
manusia dan mendorong inovasi, dan memerbaiki pelayan pada pelanggan dan penjualan.

Tulisan asli dari artikel ini dan berbagai sudut pandang menarik lainnya tentang MSDM dapat
juga diakses langsung melaui: “ADVERSITY QUOTIENT” DAN
PEMBERDAYAAN KARYAWAN

Kontributor:

Prof. Dr. Ir. H. Sjafri Mangkuprawira seorang blogger yang produktif,


beliau adalah Guru Besar di Institut Pertanian Bogor yang mengasuh berbagai mata kuliah di
tingkat S1 sampai S3 untuk mata kuliah, di antaranya: MSDM Strategik, Ekonomi Sumberdaya
Manusia, Teori Organisasi Lanjutan, Perencanaan SDM, Manajemen Kinerja, Manajemen
Pelatihan, Manajemen Program Komunikasi. MSDM Internasional, Manajemen Pemberdayaan
Masyarakat dan Lingkungan,

Beliau adalah salah seorang pemrakarsa berdirinya Program Doctor bidang Bisnis dan dan saat
ini masih aktif berbagi ilmu di Program Pascasarjana Manajemen dan Bisnis Institut Pertanian
Bogor (MB-IPB).
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang diri dan pemikiran-pemikiran beliau, silakan kunjungi
Blog beliau di Rona Wajah

Popularity: 16% [?]

http://indosdm.com/pengertian-%E2%80%9Cadversity-quotient%E2%80%9D-dan-
manfaatnya-dalam-pemberdayaan-karyawan
http://www.informasi-training.com/adversity-quotient-kecerdasan-
mengidentifikasikan-masalah-menanggulangi-masalah-serta-mengambil-keputusan-
secara-baik-dan-benar

Kecerdasan Mengidentifikasikan Masalah, Menanggulangi Masalah Serta Mengambil


Keputusan Secara Baik Dan Benar

Aryaduta Hotel / Grand Flora Hotel*, Jakarta |March 14 th – 15th, 2011 | Rp. 2.950.000, –

Untuk bisa sukses menjadi seorang staf di perusahaan dituntut untuk memiliki kecerdasan diatas
rata – rata kecerdasan manusia umumnya. Secara anekdot dinyatakan bahwa seorang staf di
perusahaan dituntut mempunyai kecerdasan rata – rata 200 % atau 100 % diatas kecerdasan rata
– rata manusia pada umumnya. Untuk menjadi staf pemula di perusahaan, maka test IQ – test
Kecerdasan Intelektual diperlukan agar memenuhi syarat minimum yaitu seorang yang cerdas.
Jadi seorang staf di perusahaan tidak mungkin dari kalangan idiot.

Namun seorang staf di perusahaan juga seorang yang mampu mengendalikan emosinya, yaitu
mempunyai Kecerdasan Emosional – Emotional Quotient – EQ yang baik . Emosi yang meledak
– ledak tidak saja bisa membahayalan sang staf di perusahaan itu sendiri tetapi juga dapat
membahayakan perusahaannya yang sekaligus membahayakan masa depan investasi para
pemilik modal . Tapi staf di perusahaan yang tanpa emosi, perusahaannya akan melempem, oleh
karena itu seorang staf / pejabat di perusahaan harus mempunyai emosi yang tinggi namun
mampu dikendalikan, dimanfaatkan secara cerdas .

Seorang staf di perusahaan adalah juga seorang yang mempunyai Kecerdasan Kreatifitas –
Creativity Quotient – CQ, agar mampu bersaing dengan perusahaan lainnya. Perusahaan yang
maju adalah perusahaan yang mempunyai para staf di perusahaan yang kreatif untuk bersaing
dan mampu menumbuh – kembangkan perusahaannya. Namun seorang staf di perusahaan
dituntut juga menjadi seorang penganut agama yang saleh, mempunyai RQ – Religious Quotient
– Kecerdasan Beragama yang baik.

Dan seorang staf di perusahaan juga seorang yang cerdas dalam mengamalkan Spiritual Quotient
– SQ – Kecerdasan Spiritual yang tidak sekedar dapat membedakan yang halal dan yang haram ,
yang bermudharat, yang bermanfaat dan bermartabat yang tidak saja dari segi ajaran agama –
RQ – Religious Quotient , tetapi juga kecerdasan dari tanggung jawab moral, etika dan integritas
secara lebih luas lagi. Yang kemudian berkembang lagi menjadi ESQ – Emotional Spiritual
Quotient – Kecerdasan emosi dan spiritual .

Melengkapi untuk menjadi staf di perusahaan yang pari purna yang mempunyai 200 %
kecerdasan rata – rata, maka sekarang sedang dipopulerkan kecerdasan AQ – Adversity Quotient
– Kecerdasan mengidentifikasikan masalah dan menanggulangi masalah serta mengambil
keputusan secara cerdas, dengan baik dan benar. Sekarang makin terasa bahwa seorang staf di
perusahaan bukan semata – mata mempunyai IQ yang baik, disertai EQ, CQ, RQ, SQ yang baik
saja, tetapi juga mampu menerapkan AQ secara baik dan benar, sehubungan dengan keharusan
penerapan Manajemen Risiko dan Good Corporate Governance karena risiko juga adalah sisi
lain dari masalah yang perlu diatasi. Pelatihan ini dapat membantu perusahaan dalam untuk
membentuk staf / pejabat di perusahaan yang pari – purna yang mempunyai kecerdasan 200 %
dibanding manusia dari professi lainnya .

Sasaran:

Oleh karena calon staf di perusahaan telah mempunyai IQ yang baik maka AQ dapat dilatihkan
untuk para staf pemula di perusahaan yaitu para Supervisor sampai calon Pemimpin ( Pemimpin
Cabang ataupun Pemimpin Bagian di Kantor Pusat).

Untuk para staf di perusahaan yang bukan lagi pemula, workshop ini juga akan sangat berguna
untuk revitalisasi dan atau mereview problem solving ability.

Namun manfaat utamanya pelatihan ini sudah barang tentu merupakan pelatihan kemandirian
dalam mengidentifikasikan masalah dan menangani masalah secara cerdas sejalan dengan
penerapan konsep Good Corporate Governance, prinsip kehati – hatian dan manajemen risiko.

Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang


oleh: climber_benedict Pengarang : Paul J Stlotz

• Summary rating: 3 stars (31 Tinjauan)


• Kunjungan : 2988
• kata:600

More About : adversity quotient

Adversity Quotient, merupakan suatu penilaian yang mengukur bagaimana


respon seseorang dalam menghadapai masalah untuk dapat diberdayakan menjadi peluang.
Adversity quotient dapat menjadi indikator seberapa kuatkah seseorang dapat terus bertahan
dalam suatu pergumulan, sampai pada akhirnya orang tersebut dapat keluar sebagai pemenang,
mundur di tengah jalan atau bahkan tidak mau menerima tantangan sedikit pun.
Adversity Quotient dapat juga melihat mental taftness yang dimiliki oleh seseorang.
Dalam Adversity Quotient, kelompok atau tipe orang/individu dapat dibagi menjadi tiga bagian,
dimana hal ini melihat sikap dari individu tersebut dalam menghadapi setiap masalah dan
tantangan hidupnya. Kelompok/tipe individu tersebut, antara lain adalah:

Quiters
Merupakan kelompok orang yang kurang memiliki kemauan untuk menerima tantangan dalam
hidupnya. Hal ini secara tidak langsung juga menutup segala peluang dan kesempatan yang
datang menghampirinya, karena peluang dan kesempatan tersebut banyak yang dibungkus
dengan masalah dan tantangan. Tipe quiter cenderung untuk menolak adanya tantangan serta
masalah yang membungkus peluang tersebut.

Campers
Merupakan kelompok orang yang sudah memiliki kemauan untuk berusaha menghadapai
masalah dan tantangan yang ada, namun mereka melihat bahwa perjalanannya sudah cukup
sampai disini. Berbeda dengan kelompok sebelumnya (quiter), kelompok ini sudah pernah
menima, berjuang menghadapi berbagai masalah yang ada dalam suatu pergumulan / bidang
tertentu, namun karena adanya tantangan dan masalah yang terus menerjang, mereka memilih
untuk berhenti di tengah jalan dan berkemah.

Climbers
Merupakan kelompok orang yang memilih untuk terus bertahan untuk berjuang menghadapi
berbagai macam hal yang akan terus menerjang, baik itu dapat berupa masalah, tantangan,
hambatan, serta hal - hal lain yang terus dapat setiap harinya. Kelompok ini memilih untuk terus
berjuang tanpa mempedulikan latar belakang serta kemampuan yang mereka miliki, mereka terus
mendaki dan mendaki.

Adversity Quotient memiliki 4 dimensi yang masing - masing merupakan bagian dari sikap
seseorang menghadapai masalah. Dimensi - dimensi tersebut antara lain adalah:

1. C = Control
Menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memiliki kendali dalam suatu masalah yang
muncul. Apakah seseorang memandang bahwa dirinya tak berdaya dengan adanya masalah
tersebut, atau ia dapat memengang kendali dari akibat masalah tersebut
2. Or = Origin
Menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memandang sumber masalah yang ada. Apakah
ia cenderung memandang masalah yang terjadi bersumber dari dirinya seorang atau ada faktor -
faktor lain diluar dirinya
Ow = Ownership
Menjelaskan tentang bagaimana seseorang mengakui akibat dari masalah yang timbul. Apakah
ia cenderung tak peduli dan lepas tanggung jawab, atau mau mengakui dan mencari solusi untuk
masalah tersebut
3. R = Reach
Menjelaskan tentang bagaimana suatu masalah yang muncul dapat mempengaruhi segi-segi
hidup yang lain dari orang tersebut. Apakah ia cenderung memandang masalah tesebut meluas
atau hanya terbatas pada masalah tersebut saja.
4. E = Endurance
Menjelaskan tentang bagaimana seseorang memandang jangka waktu berlangsungnya masalah
yang muncul. Apakah ia cenderung untuk memandang masalah tersebut terjadi secara permanen
dan berkelanjutan atau hanya dalam waktu yang singkat saja.

Lebih lanjut tentang: Adversity Quotient Mengubah Hambatan Menjadi Peluang

http://id.shvoong.com/books/1855052-adversity-quotient-mengubah-hambatan-
menjadi/

PERJALANAN hidup orang sukses dan orang gagal sama, yakni: menghadapi dan
mengalami berbagai kesulitan hidup, adapun perbedaannya terletak pada
kecerdasan menghadapi dan merespons kesulitan hidup yang dijalaninya. Artinya
orang sukses lebih cerdas dari pada orang gagal dalam menghadapi kesulitan
hidupnya. Paul G Stolt dalam dua bukunya berjudul; "Adversity Quotient (2000)"
dan "Adversity Quotient a Work (2003)" secara komprehensif menjelaskan apa yang
dimaksud kecerdasan menghadapi kesulitan dan bagaimana meningkatkan
kecerdasan baru tersebut. Kecerdasan baru dimaksud berawal dari hasil penelitian
yang dilakukan para ilmuan kelas atas selama 19 tahun, mengkaji lebih dari 500
referensi dari tiga cabang ilmu pengetahuan, yakni psikologi kognitif,
psikoneuroimunologi, dan neurofisiologi, dan menerapkan hasil penelitian dan
pengkajiannya selama 10 tahun di seluruh dunia dan akhirnya sampai pada suatu
kesimpulan bahwa terdapat satu kecerdasan baru yang selama ini tidak terungkap
dibutuhkan dan menentukan kesuksesan seseorang, yakni kecerdasan menghadapi
kesulitan (Adversity Quotient).

Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Thomas J Stanley (2003) yang kemudian
ditulisnya dalam sebuah buku berjudul; "The Millionaire Mind" menjelaskan hal yang
sama, bahwa mereka yang berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka
dengan prestasi akademik biasa-biasa saja (rata-rata S1), namun mereka adalah
pekerja keras, ulet, penuh dedikasi, dan bertanggung jawab, termasuk tanggung
jawab yang sangat besar terhadap keluarganya. Adversity Quotient itu sendiri
mempunyai tiga bentuk, yakni; (1) suatu kerangka kerja konseptual yang baru
untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan; (2) suatu ukuran
untuk mengetahui respons terhadap kesulitan; dan (3) serangkaian peralatan yang
memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.

Ketika menghadapi kesulitan hidup, manusia dibagi ke dalam tiga kelompok, yakni;
Quitters atau manusia yang berhenti, Campers atau manusia yang berkemah, dan
Climbers atau manusia yang pendaki. Manusia quitter adalah manusia yang sulit
dan tidak senang melakukan perubahan, sering orang menyebutnya sebagai
manusia pengecut. Manusia camper adalah manusia yang mau melakukan
perubahan, tetapi jika menghadapi satu kesulitan saja dengan sangat mudah patah
semangat dan berhenti layaknya orang yang sedang berkemah, bahkan mereka
menikmati jeda waktu istirahat tersebut untuk bersuka-ria, bersantai dan tidak
berupaya untuk mengatasi kesulitan yang sedang mereka hadapi. Manusia climber
adalah manusia pendaki yang tidak mudah lekang karena panas dan tidak mudah
lapuk karena hujan. Sebagai manusia pendaki jika ia menemukan ada hambatan
batu di atas gunung sana, ia mencari jalan lain. Baginya untuk sampai ke puncak
gunung tidak hanya ada satu jalan. Hal ini mengingatkan kita pada apa yang
pernah dikatakan oleh Alexander Graham Bell bahwa; "kalau satu pintu tertutup,
lainnya terbuka, tetapi kita sering memandang terlalu lama dan terlalu penuh
penyesalan kepada pintu yang tertutup itu, sehingga kita tidak melihat pintu yang
terbuka bagi kita".

John Gray (2001) mengatakan "semua kesulitan sesungguhnya merupakan


kesempatan bagi jiwa kita untuk tumbuh". Adapun dimensi yang terkait dengan
kecerdasan menghadapi kesulitan adalah: (1) control atau kendali
mempertanyakan berapa banyak kendali yang anda rasakan terhadap sebuah
peristiwa yang menimbulkan kesulitan?; (2) origin dan ownership mempertanyakan
dua hal, yakni: siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan, dan sampai
sejauhmanakah seseorang mengakui akibat kesulitan itu?; (3) reach atau jangkauan
mempertanyakan sejauhmana kesulitan akan menjangkau atau merembes ke
bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang?; (4) endurance atau daya tahan
mempertanyakan dua hal, yakni; berapa lamakah kesulitan berlangsung dan
lamanya penyebab kesulitan tersebut akan bertahan?

Kecerdasan menghadapi kesulitan tersebut dapat ditingkatkan atau dapat


diperbaiki dengan melakukan hal-hal sebagai berikut; (1) listen atau dengarkanlah
respons terhadap kesulitan ; (2) explore atau jajaki asal usul dan pengakuan atas
akibatnya; (3) analysis bukti-buktinya; dan (4) do atau lakukan sesuatu. Magnesen
(2000) mengatakan bahwa; "90% pemahaman belajar diperoleh dari melakukan
sesuatu. Konfusius lebih dari 2400 tahun silam menyatakan, bahwa; "yang saya
dengar saya lupa, yang saya lihat sangat ingat, dan yang saya kerjakan saya
paham." Namun sayangnya praktek pendidikan dan pembelajaran baik yang
dilakukan oleh orang tua, guru dan masyarakat belum sampai pada proses
pembelajaran yang mengajarkan kepada anak dan siswanya bagaimana
menghadapi kesulitan (adversity quotient).

Masih sering kita temukan pola asuh, pendidikan oleh orang tua terhadap anaknya
dilaksanakan dengan cara memanjakannya. Kita lupa bahwa pola asuh dan
pendidikan dengan memanjakan anak (spoiling) adalah merusak atau membuat ia
tidak berdaya, Martin Seligman menyebutnya sebagai proses ketidakberdayaan
atau pembodohan yang dipelajari. Akibatnya masih banyak anak kita yang sudah
dewasa dan bahkan sudah sarjana ketika dihadapkan pada masalah yang menurut
kita sangat sederhana tidak mampu mereka atasi dan masih meminta bantuan
orang lain terutama pada kedua orang tuanya.

Menutup opini ini penulis ingin menceritakan apa yang pernah penulis dengar dari
salah seorang dosen penulis ketika studi doctor beberapa waktu yang lalu, beliau
adalah bapak Prof. Dr. Marsetio Donosaputro. Ketika beliau menempuh pendidikan
doktor di Amerika Serikat ia sempat tinggal se rumah dengan promotornya, yakni
seorang profesor ternama karena kemampuan akademiknya dan kekayaan yang
dimilikinya. Selama sebulan dosen penulis amati kehidupan di rumah sang profesor,
ada satu hal yang sangat mengesankan tetapi malu untuk menanyakannya karena
merasa penghuni baru di rumah guru besar yang sangat terkenal itu. Namun
setelah sebulan tinggal bersamanya keinginan untuk mengetahui apa yang terasa
aneh tak dapat dibendung lagi. Dosen sayapun bertanya; "Prof, bolehkah saya
bertanya, mengapa setiap sarapan pagi saya tidak melihat anak-anak (usia SD)
profesor ikut menikmati hidangan pagi bersama kita, berbeda sekali ketika siang,
petang dan malam hari, dan kemana mereka di setiap pagi? Profesor dengan
bangga menjawab; "semua anak saya setiap paginya mencari tambahan biaya
liburan atau vakansi. Dalam fikiran saya waktu itu, orang sehebat profesor di
negara maju merasa bangga melihat anak-anaknya belajar mengatasi sulitan
hidupnya dari sejak kecil. Apakah anak kita sebelum dan setelah sekolah ikut
membantu dirinya guna mengurangi beban orang tuanya atau hanya pandai
meminta dan menuntut haknya saja?

http://semesta.multiply.com/reviews/item/7

Adversity Quotient (AQ) merupakan suatu bentuk pengukuran yang digunakan


untuk mengetahui kemampuan seseorang dalam merespons suatu tantangan atau
kesulitan dalam kehidupannya untuk mencapai suatu keberhasilan. Salah satu
tantangan bagi mahasiswa adalah mencapai prestasi belajar yang baik. Prestasi
belajar merupakan hasil proses belajar yang telah dilakukan individu dalam kurun
waktu tertentu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Adversity Quotient
(AQ) dengan prestasi belajar mahasiswa angkatan 2000 Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan menggunakan jenis
penelitian korelasional. Subyek penelitian sebanyak 120 mahasiswa yang berasal
dari program studi Bahasa Inggris, Pendidikan Teologi, serta Bimbingan dan
Konseling. Teknik sampling yang digunakan adalah Tehnik Cluster Sampling.
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala Adversity Quotient (AQ)
yang merupakan adaptasi dari Adversity Response Profile ( ARP ) Quick Take TM
untuk mengukur Adversiy Quotient (AQ), sedangkan prestasi belajar mahasiswa
didasarkan pada nilai Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) mahasiswa. Teknik statistika
yang digunakan adalah korelasi Product Moment dan dibantu pengolahannya
dengan bantuan program statistik SPSS versi 11.00. Hasil uji coba yang diberikan
kepada 60 mahasiswa Universitas Atma Jaya untuk Adversity Quotien (AQ)
diperoleh 16 butir valid dari 100 butir dengan nilai reliabilitas 0,7231. Adapun hasil
yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang
signifikan antara Adversity Quotient (AQ) dengan prestasi belajar pada mahasiswa
angkatan 2000 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Katolik Atma
Jaya. Saran dari penelitian ini adalah perbaikan dalam instrument Adversity
Quotient (AQ) agar lebih tepat untuk mengetahui daya juang seseorang di dunia
pendidikan. Selain itu, mahasiswa belajar di perguruan tinggi akan mendapatkan
sukses masa depan bukan hanya didasarkan pada prestasi belajar saja, tetapi perlu
memperhatikan faktor - faktor lain yang dapat mempengaruhi proses belajar.

Sabtu, 02 Januari 2010


Adversity Quotient (AQ)

ADVERSITY QUOTIENT (AQ)


Dalam menjalani roda kehidupan ini, manusia banyak mengalami berbagai hal
seperti kesuksesan, kegagalan, senang, susah, puas dan tidak puas, tetap
semangat atau putus asa, rasa cinta, kebencian, berlimpah materi atau serba
kekurangan dan sebagainya. Tetapi seberapa banyak dari diri kita mampu
mensikapi situasi tersebut secara benar dan baik ????
Ketika yang kita dapatkan dalam hidup adalah serba kepuasan, kesenangan,
kekayaan materi, kecintaan, keberhasilan…..kemudian kita lupa bahwa KEHIDUPAN
DI DUNIA INI TERUS BERPUTAR, bak roda berputar : kadang DI ATAS, tetapi suatu
saat pasti DI BAWAH !!! Bila kita kemudian mengalami hal yang berbalik dengan
yang kita dapatkan selama ini, maka keputus-asaan, rendah diri, kekecewaan yang
berkepanjangan melanda pikiran dan hati kita. Tanpa sadar kenikmatan tersebut
telah merampok jati diri kita sebagai manusia. Siapa perampok itu ??? Cara berfikir
negative dan sikap mental kerdil kita !!
Oleh karena itu, kita perlu memupuk energi positif dalam diri dan itu diyakini bisa
dilakukan. Marilah kita belajar dari Ulat kecil. Awalnya kepompong ulat hanya tidur
berdiam diri tidak berdaya dalam selimut balutan daun kering. Kemudian dia
menjadi kupu-kupu yang indah, menyenangkan siapa saja yang melihatnya serta
mampu dan bebas terbang kemana saja sampai jauh. Nah…bila ulat saja bisa
melakukan itu….kenapa kita yang disebut sebagai makhluk sempurna tidak mampu
melakukan ????
Transformasi berasal dari bahasa Inggris Transform yang berarti “ make a thorough
or dramatic change in the form, appearance, character, etc. Terjemahan bebasnya
adalah “segera membuat sesuatu perubahan total baik dalam bentuk, penampilan,
karakter dan seterusnya.
Langkah yang harus ditempuh adalah memperkuat AQ (Adversity Quotient), yaitu
“kemampuan seseorang untuk merubah hambatan, tantangan, halangan, masalah
menjadi sebuah potensi keberhasilan” Kita harus mampu merubah tantangan,
halangan, masalah yang kita alami/hadapi menjadi pelecut menuju keberhasilan.
Kenapa demikian, karena dalam menjalani kehidupan di dunia ini dapat dipastikan
setiap manusia akan menemui “ masalah, hambatan dan tantangan”. Mustahil kita
akan steril dari masalah, tantangan dan hambatan !!!

Berdasarkan Adversity Quotient (AQ), manusia dikelompokkan menjadi 3 (tiga)


yaitu :
1) Climbers (Pendaki) : Yakni manusia yang terus-menerus berusaha menyelesaikan
setiap masalah yang ditemui dan mereka tidak pernah menyerah terhadap
masalah, hambatan serta tantangan yang dihadapinya. Bagi mereka masalah,
tantangan dan hambatan adalah pelecut untuk menggapai keberhasilan dan
kesuksesan dalam hidup. LIngkungan sekitar merupakan “pemicu” dan bukannya
“pelemah” semangat untuk mencapai keberhasilan. Manusia demikian sering
dikelompokan sebagai PEMENANG
2) Quiters (Penunggu) : Yakni manusia yang hanya setengah-setengah dalam
menyelesaikan setiap masalah, tantangan serta hambatan yang ditemui. Belum
tuntas dia menyelesaikan masalah yang dihadapi, dia sudah menyerah dan
menunggu/mengharapkan orang lain yang menyelesaikan masalah tersebut.
Manusia demikian sering dikelompokkan sebagai PENENANG
3) Champers (Penyerah) : Yakni manusia yang begitu menerima masalah,
tantangan dan hambatan dia tidak melakukan apa-apa, kecuali hanya “menyerah”
terhadap masalah yang dihadapi. Manusia ini sering dike

lompokkan menjadi PECUNDANG


Selanjutnya, tinggal mana yang kita pilih, menjadi PEMENANG, PENENANG atau
PECUNDANG ?????

Diposkan oleh Hari Prasetyo Jember Jawa Timur di 09:32:00


http://h-prasetyo.blogspot.com/2010/01/adversity-quotient-aq.html

Adversity Quotient by Paul G Stoltz


Posted on 22 April 2010 by Nafis Mudrika

1 Votes

Masih ingat cerita Thomas Alva Edison (1847 – 1931) ??? Ia


akhirnya berhasil menemukan bohlam lampu setelah melewati sekitar 50.000 percobaan dan
bekerja selama 20 tahun. Tak heran kalau ada yang bertanya, “Mr. Edison, Anda telah gagal
50.000 kali, lalu apa yang membuat Anda yakin bahwa akhirnya Anda akan berhasil?” Secara
spontan Edison langsung menjawab, “Berhasil? Bukan hanya berhasil, saya telah mendapatkan
banyak hasil. Kini saya tahu 50.000 cara yang tidak berfungsi!” Wow, sebuah pernyataan yang
sangat luar biasa. Kegagalan menurut orang lain dianggapnya sebagai sebuah keberhasilan.

Definisi Adversity Quotient (AQ)

Setelah 19 tahun melewati penelitian yang panjang & mengkaji lebih dari 500 referensi, Paul G.
Stoltz mengemukakan satu kecerdasan baru selain IQ, EQ, SQ yakni AQ. Menurutnya, AQ
adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. Bagaimana mengubah hambatan menjadi peluang.
Atau dengan kata lain, seseorang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-
citanya dibandingkan orang yang AQ-nya rendah.

Sebagai gambaran, Stoltz memakai terminologi para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz
membagi para pendaki gunung menjadi tiga bagian:
1. quitter (yang menyerah).

Para quitter adalah mereka yang sekadar bertahan hidup. Mereka mudah putus asa dan menyerah
di tengah jalan.

2. camper (berkemah di tengah perjalanan)

Mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi risiko yang aman dan terukur. Cepat
puas, dan berhenti di tengah jalan.

3. climber (pendaki yang mencapai puncak).

Berani menghadapi risiko dan menuntaskan pekerjaannya. Merekalah yang berada di puncak.

Hubungan AQ dengan Sukses

Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan
kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy terhadap ratusan orang
sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama.

Pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankannya. Dedikasi itu bisa
berupa komitmen ,passion, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik.

Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras,
berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya.

Terakhir, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem
bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya.

Dari ciri-ciri tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dua dari tiga karakter orang sukses erat
kaitannya dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan.

Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Thomas J Stanley (2003) yang kemudian ditulisnya
dalam sebuah buku berjudul; “The Millionaire Mind” menjelaskan hal yang sama, bahwa mereka
yang berhasil menjadi millioner di dunia ini adalah mereka dengan prestasi akademik biasa-biasa
saja (rata-rata S1), namun mereka adalah pekerja keras, ulet, penuh dedikasi, dan bertanggung
jawab, termasuk tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarganya.

Implementasi AQ
Dalam dunia pendidikan, kita bisa menggunakannya untuk menganalisa perbedaan para siswa
yang manja dengan mereka yang terus berjuang. Para siswa yang malas dalam belajar dengan
mereka yang gigih belajar. Para siswa yang suka menggunakan cara-cara curang dan instant
untuk meraih nilai tinggi dan memastikan kelulusan dengan mereka yang tidak kenal lelah untuk
terus mencoba dan terus bertahan. Walaupun mungkin nilai mereka jelek dan tidak lulus namun
mereka terus mencoba dan terus mencoba lagi. Tentang bagaimana cara siswa dalam
menetapkan tujuan, mengambil resiko, perjuangan meraih cita-cita serta persaingan dalam
seleksi masuk perguruan tinggi.

Untuk dunia pekerjaan dan kehidupan sangatlah jelas. Banyak pekerja yang intelektualnya (IQ)
rendah bisa saja mengalahkan mereka yang ber IQ tinggi tetapi tidak punya semangat dan
keberanian untuk menghadapi masalah dan bertindak. Dengan AQ dapat dianalisis bagaimana
para karyawan / pekerja mampu mengubah tantangan menjadi sebuah peluang yang akan
meningkatkan produktifitas dan keuntungan perusahaan.

Itu tadi uraian singkat tentang Adversity Quotient. Bagaimana dengan Anda?

“winner never quit and quitter never win”

(Nafis Mudrika)

http://nafismudrika.wordpress.com/2010/04/22/adversity-quotient-by-paul-g-stoltz/

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya tingkah laku manusia yang disadari didorong oleh suatu kekuatan

disebut motivasi. Di antara sekian banyak motivasi yang mewarnai kehidupan


manusia,

salah satu diantaranya adalah motivasi berprestasi. Motivasi berprestasi tersebut


besar

sekali peranannya dalam mempengaruhi kehidupan manusia. Seperti dikatakan


Hermans

(Yunita, 2000) motivasi berprestasi sebagai usaha untuk meningkatkan atau


mempertahankan kemampuan pribadi setinggi mungkin dalam segala bentuk
aktivitas.

McClelland (1987) mengungkapkan bahwa manusia pada dasarnya memiliki tiga

kebutuhan utama, yaitu: Kebutuhan untuk berpresta si, kebutuhan untuk berafiliasi,
dan

kebutuhan untuk kekuasaan, karena itu wajar apabila seseorang yang bekerja pada
suatu

perusahaan dituntut untuk berprestasi. Pada motivasi berprestasi terdapat


kecenderungan

berprestasi dalam menyelesaikan suatu aktivitas atau pekerjaan dengan usaha


yang aktif

sehingga memberikan hasil yang terbaik. Kebutuhan berprestasi tercermin dari


perilaku

individu yang selalu mengarah pada suatu standar keunggulan. Di sini berarti
seseorang

yang motivasi berprestasinya tinggi apabi la memperoleh tugas atau pekerjaan


maka ia

akan mengerjakannya dengan bersungguh-sungguh dan berusaha memberikan


hasil yang

terbaik. Sebaliknya, individu yang motivasi berprestasinya rendah akan


menjalankan

tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya deng an kurang bersungguh-


sungguh dan

kurang terpacu untuk berusaha memberikan hasil yang maksimal. Berdasarkan


analisis dari McClelland (1987) tidak terlalu mengherankan apabila

dalam suatu organisasi (perusahaan) akan banyak karyawan yang begitu rajin dan
tekun

dalam bekerja, selalu berusaha mencapai prestasi yang lebih baik, dan tidak mudah
puas

dengan hasil yang telah dicapai, sementara ada pula sudah merasa puas dengan
prestasi

yang sedang-sedang saja dan tidak terdorong untuk meraih prestasi yang lebih baik
lagi.
Bahkan ada juga karyawan yang terlihat asal -asalan saja dalam bekerja, mudah
putus asa,

dan menganggap tugas yang diterima sebagai beban.

Menurut Hermans (Ratnawati dan Sinambela, 1996), tingkah laku yang

didorong oleh motivasi berprestasi selalu diarahkan pada usaha untuk


mengerjakan

sesuatu dengan sebaik mungkin. Dalam situasi yang menuntut prestasi, seseorang
yang

didominasi motivasi berprestasi senantiasa menyandarkan hasil kerjanya pada


usahanya

sendiri, bukan pada faktor keberuntungan, kesempatan, ataupun bantuan orang


lain

Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah Indonesia belum mampu

menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Padahal dengan sumber daya

manusia yang tangguh dan berkualitas itulah bangsa Indonesia bisa mengatas i
berbagai

tantangan pembangunan seperti masalah lapangan pekerjaan dan pendidikan.


Indikasi

rendahnya Sumber Daya Insani (SDI) Indonesia ialah besarnya kesenjangan


pendapatan,

besarnya pengangguran dan rendahnya pendidikan rata-rata tenaga kerja. Secara

komparatif kondisi sumber daya insani (SDI) Indonesia dibandingkan dengan SDI

mancanegara masih tergolong rendah yaitu peringkat ke-98. Sementara itu


peringkat SDI

Filipina 84, Thailand 66, Malaysia 52, Brunai 42, Singapura 37, Hongkong 25,
Australia

9, Bel anda 8, dan Jepang peringkat pertama (Hadipranata, 2000). Pada sebuah
perusahaan sudah seharusnya karyawan bekerja penuh semangat dan

bermotivasi tinggi dalam bekerja dan melakukan pekerjaannya secara efektif dan
efisien,

untuk kemudian pada akhirnya menunjukkan kedisiplinan yang tinggi dalam usaha
mewujudkan misi dan tujuan yang telah ditetapkan. Namun demikian tidak
selamanya

usaha tersebut dapat diwujudkan. Sering terjadi karyawan suatu perusahaan


menunjukkan

motivasi berprestasi yang rendah. Hal tersebu t nampak dari perilaku kerja yang

ditampakkan. Sebagai contoh, seorang tenaga marketing yang dituntut


mempromosikan

dan menjual sebuah produk mereka seringkali tidak mengoptimalkan waktu kerja

seefektif mungkin, yaitu ditandai dengan perilaku tidak adanya tanggung jawab
pada

pekerjaan seperti mangkir pada saat jam kerja, tidak tercapainya target penjualan
seperti

yang diharapkan perusahaan dan setiap diberi pekerjaan penyelesaian tugasnya


minimal.

Hal yang nampak antara lain kurang adanya motivasi karyawan mencoba membuka
atau

menjelajah wilayah pemasaran lain yang belum tercover atau belum tertangani
oleh

perusahaan.

Gagalnya karyawan meningkatkan motivasi berprestasi merupakan persoalan

penting yang perlu diperhatikan dan segera dibenahi karena jika tidak dibenahi

perusahaan akan kalah bersaing dan tidak mampu berkompetisi dengan


perusahaan lain.

Agar menghasilkan motivasi berprestasi yang tinggi karyawan harus


memaksimalkan

semua kemampuannya, baik dari segi teknis maupun dari segi psikologisnya.

Menumbuhkan motivasi bukanlah masalah yang sederhana dalam usaha

mewujudkan suatu idealisme untuk meningkatkan produktivitas dan


profesionalisme

kerja. Pandangan atau pendapat umum sering beranggapan bahwa motivasi


berprestasi
dapat ditimbulkan apabila seseorang mendapatkan imbalan yang baik sehingga
mampu meningkatkan kepuasan kerja karyawan. Namun selain itu ada hal yang
lebih penting

yang perlu dimiliki karyawan dalam meningkatkan motivasi berprestasi yaitu


memiliki

kecerdasan adversity.

Motivasi berprestasi karyawan tidak akan sama antara karyawan yang satu dengan

karyawan yang yang lain hal ini dikarenakan karyawan sebagai individu memiliki

berbagai karakteristik yang berbeda-beda, salah satu karakteristik yang perlu


dimiliki

oleh karyawan yaitu kecerdasan adversity. Belum banyak penelitian yang banyak

mengungkap tentang kecerdasan adversity. Oleh karena itu penulis tertarik untuk

menelaah lebih mendalam tentang keterkaitan antara kecerdasan adversity


dengan

motivasi berprestasi .

Menurut Kusuma (2004) kecerdasan adversity adalah kemampuan seseorang

mengubah hambatan menjadi peluang. Seseorang yang mempunyai kecerdasan


adversity

rendah dan karenanya tidak mempunyai kemampuan untuk bertahan dalam


kesulitan,

potensinya akan tetap kecil untuk meraih sukses. Sebaliknya seseorang yang
mempunyai

kecerdasan adversity tinggi akan berkembang pesat. Jika karyawan mempunyai

kecerdasan adversity tinggi, maka dimungkinkan untuk mengatasi


hambatan/kesulitan

ketika sedang melakukan proses pekerjaan sehingga diharapkan berbagai


persoalan yang

terjadi diharapkan dapat terselesaikan jika karyawan memiliki kecerdasan


adversity yang

tinggi.

Stoltz (2005) memaparkan konsep Adversity Quotient/AQ (Kecerdasan Adversity)


merupakan faktor yang paling penting dalam meraih kesuksesan. AQ adalah teori
yang

ampuh, sekaligus ukuran yang bermakna dan merupakan seperangkat instrument


yang

telah diasah untuk membantu supaya tetap gigih melalui saat-saat yang penuh
dengan tantangan. AQ akan merangsang untuk memikirkan kembali rumusan
keberhasilan yang

sekarang ini. Namun, tantangan -tantangan yang ada sekarang membutuhkan lebih
dari

sekedar gagasan-gagasan baru sehingga akan lebih merangsang pikiran-pikiran


yang

tangguh dan mampu bersaing.

Seligman (Stoltz, 2000) memperlihatkan bahwa gaya penjelasan atau atribusi,

merupakan peramal kesuksesan yang tangguh di banyak bidang. Pada sebuah studi
yang

berlangsung selama lima tahun dan melibatkan ribuan agen asuransi, ternyata
karyawan

yang memiliki gaya penjelasan yang lebih optimistis menjual jauh lebih banyak polis
dan

jauh lebih lama bertahan di perusahaannya daripada mereka yang pesimistis.


Tenaga -

tenaga penjual yang optimistis mengalahkan tenaga-tenaga pesimistis tiga kali lipat
lebih

besar meskipun mereka kurang berbakat. Pada kasus ini, intinya adalah
bagaimana

seseorang merespon kesulitan. Karyawan yang merespon kesulitan secara


destruktif

terlihat kurang produktif dibandingkan dengan orang yang tidak destruktif .

Pendekatan teoritis adversity quotient (AQ) dikembangkan pertama kali oleh

Stoltz (2005) yang menyatakan bahwa IQ dan EQ yang sedang marak dibicarakan
itu
tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan orang. Stoltz mengelompokkan
individu

menjadi tiga: quitter, camper, dan climber. Pengunaan istilah ini berdasarkan pada

sebuah kisah ketika para pendaki gunung yang hendak menaklukan puncak
Everest. Ia

melihat ada pendaki yang menyerah sebelum pendakian selesai, ada yang merasa
cukup

puas sampai pada ketinggian tertentu, dan ada pula yang benar-benar berkeinginan

menaklukan puncak tersebut. Itulah kemudian dia mengistilahkan orang yang


berhenti di

tengah jalan sebelum usai sebagai quitter, kemudian mereka yang merasa puas
berada

pada posisi tertentu sebagai camper, sedangkan yang terus ingin meraih
kesuksesan ia sebut sebagai climber .Teori ini sebenarnya tetap melihat pada
motivasi individu. Mereka

yang berjiwa quitter cenderung akan mati di tengah jalan ketika pesaingnya terus
berlari

tanpa henti. Sementara mereka yang berjiwa camper merasa cukup puas berada
atau telah

mencapai sebuah target tertentu, meskipun tujuan yang hendak dicapai masih
panjang.

Mereka yang berjiwa climber akan terus maju pantang mundur menghadapi
hambatan

yang ada di hadapannya. Ia anggap itu sebagai sebuah tantangan dan peluang
untuk

meraih hal yang lebih tinggi yang belum diraih orang lain.

Stoltz (2005) pada penelitiannya menemukan bahwa adversity quotient

meramalkan siapa yang akan mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan
hancur,

siapa yang akan mempunyai prestasi melebihi harapan kinerja mereka dan siapa
yang

akan gagal. Penelitian Stoltz dibuktikan bahwa orang yang tidak merespon kesulitan
dengan baik menjual lebih sedikit, kurang berproduksi dan kinerjanya lebih buruk

daripada mereka yang merespon kesulitan dengan baik. Penelitian di atas dapat

dianalogikan dengan motivasi berprestasi, bahwa motivasi berprestasi karyawan


yang

tinggi dapat diperoleh melalui adversity quotient.

Menurut Stolz (2005), tinggi rendahnya AQ dipengaruhi oleh beberapa aspek yang

disingkat CORE yaitu Control (kontrol), Ownership (kepemilikan), Reach


(jangkauan),

Endurance (daya tahan). Maka dari itu banyak kegagalan yang dialami oleh para

pengusaha menunjukkan hal yang mencengangkan, 1 dari 5 pebisnis pernah


mengalami

kegagalan namun yang menarik 60% yang gagal ternyata tidak menyerah, mereka

bangkit dengan mencoba bisnis yang sama. Decak kagum dari masyarakat tentang

suksesnya seorang wirausahawan diraih dengan susah payah setelah melewati


berbagai

kegagalan. Sebagai contoh yaitu Soeharti yang memulai jaringan resto ayam
goreng kremesnya berwal dari penjual ayam kaki lima. Pak Sholeh juragan soto
bangkong,

memulai usahanya dari gerobak keliling. Mereka kenyang digusur-gusur dan diusir
dari

tempat kontrakan sebalum mengkokohkan jangkar bisnisnya. Bob Sadino yang


memulai

karirnya dengan menjajakan telur ke rumah-rumah sempat mengalami berbagai

penolakan, begitupun ia mengupayakan berbagai cara untuk dapat diterima.


Mereka-

mereka tangguh mengontrol respon dengan menganggap penolakan dan


pengusiran dari

pelanggan sebagai sebuah tantangan yang harus dihadapi dengan senyuman,


buklan

sebagai hinaan atau kenistaan.

Magnesen (Martin, 2008) mengatakan 90% pemahaman belajar individu


diperoleh dari melakukan sesuatu. Begitu pula di perusahaan, kecerdasan
adversity

diharapkan dapat dimiliki karyawan sebagai potensi untuk mengembangkan


motivasi

berprestasi, serta permasalahan -permasalahan yang terjadi saat bekerja


diharapkan dapat

dipecahkan, namun kenyataannya proses pembelajaran di perusahaan umumnya


belum

pada tahap bagaimana karyawan memiliki kecerdasan adversity .

Harapannya kecerdasan adversity dimiliki karyawan dapat digunakan sebagai

potensi untuk meningkatkan motivasi berprestasi. Hal ini karena dalam kecerdasan

adversity tedapat aspek control, origin dan ownership, reach, endurance yang
dapat

dimanfaatkan karyawan untuk berpikir lebih kreatif, kritis dan menemukan jalan
keluar

dari permasalahan yang pekerjaan, selain itu pula diharapkan karyawan yang
memiliki

adversity tinggi lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang

adversity-nya rendah.

Kenyataan yang terjadi pada perusahaan adalah kurangnya perhatian manajemen

perusahaan terhadap sisi psikologis karyawan, seringkali perusahaan


memperhatikan karyawan dengan menitikberatkan pada aspek—aspek fisik yang
nampak saja, misalnya

dari kerja sama tim, absensi/kedisiplinan atau barang -barang yang terjual. Padahal

adversity memiliki banyak manfaat, seperti dikemukakan Stoltz (2005) bahwa


kecerdasan

adversity bermanfaat: 1) memberi tahu seseorang seberapa jauh seseorang


mampu

bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk mengatasinya; 2)


meramalkan
siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur; 3)
meramalkan siapa

yang akan melampaui harapan -harapan atas kinerja dan potensi mereka serta
siapa yang

akan gagal; 4) meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan
bertahan.

Berdasar ulasan tersebut maka penelitian tentang hubungan antara kecerdasan

adversity dengan motivasi berprestasi peru dilakukan, karena selain dapat


memberikan

suatu kontribusi secara teoretis bagi pengembangan ilmu psikologi industri juga
dapat

memberikan gambaran secara empiris tentang kondisi hubungan antara


kecerdasan

adversity dengan motivasi berprestasi pada Karyawan. Mengacu dari latar belakang

tersebut maka rumusan masalah yang dimuncu lkan dalam penelitian ini adalah:
apakah

ada hubungan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi?


Mengacu dari

rumusan masalah tersebut peneliti tertarik mengadakan penelitian dengan judul:

Hubungan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi.

B. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Hubungan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi

2. Sumbangan efektif kecerdasan adversity terhadap motivasi berprestasi

3. Tingkat kecerdasan adversity dan tingkat motivasi berprestasi karyawan

C. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Bagi pimpinan perusahaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi


mengenai
keterkaitan antara kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi , sehingga
dapat

dijadikan sebagai acuan membuat kebijakan -kebijakan yang berkaitan dengan

kecerdasan adversity dan motivasi berprestasi kerja karyawan.

2. Bagi karyawan

Hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai keterkaitan antara

kecerdasan adversity dengan motivasi berprestasi agar karyawan memahami

pentingnya kecerdasan adversity bagi pengembangan motivasi berprestasi.

3. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acu an dalam pengembangan


penelitian

yang sejenis, dan menambah khasanah pengetahuan ilmu psikologi industri

khususnya yang berkaitan dengan kecerdasan adversity dan motivasi berprestasi

You might also like