You are on page 1of 4

Pengelompokan jenis-jenis ilmu secara umum

Jenis-jenis ilmu secara umum diklasifikasikan menjadi lima kelompok, yaitu:

 Ilmu kerohanian, ilmu yang mempelajari hal-hal yang bersifat spiritual.


 Ilmu matematika, ilmu yang mempelajari tentang hitungan, bilangan, himpunan, logaritma,
aritmetika, dan lain-lain.
 Ilmu pengetahuan alam, ilmu yang mempelajari tentang alam, yaitu makhluk hidup (hayati)
dan fisika (bukan hayati).
 Ilmu behavior, ilmu tentang perilaku hewan (animal behavior) dan perilaku manusia (human
behavior). Human behavior sering dikenal dengan ilmu sosial.
 Ilmu bahasa, ilmu yang mempelajari alat komunikasi agar memudahkan berinteraksi.

Farmasi dalam paradigma ontologis

Sudah menjadi pendapat umum bahwa filsafat adalah induk/ibu dari segala macam ilmu pengetahuan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan pada mulanya hanya ada satu yaitu
filsafat. Akan tetapi karena filsafat yang memang hanya mempersoalkan hal-hal yang umum, abstrak
dan universal, maka ia semakin tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidup yang konkret,
positif praktis dan pragmatis.

Melihat kenyataan di atas, berkembang berbagai jenis ilmu pengetahuan khusus menurut objek
studinya masing-masing, seperti ilmu pengetahuan humaniora, ilmu pengetahuan sosial, ilmu
pengetahuan agama, dan ilmu pengetahuan alam. Sedangkan secara kualitatif jenis-jenis ilmu
pengetahuan itu berkembang sifatnya mulai dari yang teoritis sampai pada yang praktis teknologis.

Farmasi ditinjau dari kelahirannya hingga perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari kelahiran dan
perkembangan ilmu pengetahuan secara universal yang pondasinya dibangun oleh dua entitas, yakni
filsafat moral dan filsafat alam.

Filsafat moral melahirkan Behavior Sciences atau ilmu-ilmu tentang prilaku manusia. Oleh karena
manusia itu memang merupakan objek istimewa bagi penyelidikannya sendiri, maka mungkin juga
diselidiki dari sudut tingkah lakunya, bukanlah tindakan yang sesuai dengan tingkah yang lain-lain
yang bukan manusia, melainkan yang khusus bagi manusia, yaitu tindakan-tindakan yang terdorong
oleh kehendaknya diterangi oleh budinya (moralnya).

Sedangkan dalam filsafat alam (cosmologia), menyelidiki alam ini, yang oleh filsafat alam dicari inti
alam itu, apakah sebenarnya alam itu, apakah sebenarnya isi alam pada umumnya, dan apa
hubungannya satu sama lain serta hubungannya dengan ada-mutlak. Alam ini merupakn ada yang
tidak mutlak, karena adanya tidak dengan niscaya. Segala isi alam dengan adanya sendiri itu mungkin
banyak tak ada. Tetapi dalam alam itu adalah sesuatu yang mempunyai kedudukan istimewa, yang
menyelidiki semua itu : Manusia (Human Being).

Penyelidikan terhadap alam melahirkan berbagai cabang ilmu ke dalam ilmu-ilmu sebagai Pure
Sciences yakni Fisika, Biologi, Kimia, dan Matematika. Keempat ilmu alam itu merupakan kerangka
dasar yang membangun ilmu-ilmu terapan yang berbasis kealaman seperti ilmu kesehatan, ilmu
teknik, ilmu pertanian, dan lain sebagainya.
Farmasi ditinjau dari objek materinya, memiliki kerangka dasar dari ilmu-ilmu alam; Kimia, Biologi,
Fisika dan Matematika. Sedangkan ilmu farmasi ditinjau dari objek formalnya merupakan ruang
lingkup dari ilmu-ilmu kesehatan. Secara historis ilmu farmasi dikembangkan dari medical sciences,
yang berdasarkan kebutuhan yang mendesak perlunya pemisahan ilmu farmasi sebagai ilmu
pengobatan dari ilmu kedokteran sebagai ilmu tentang diagnosis.

Adalah Hipocrates (460-357 SM) yang merupakan peletak dasar ilmu kedokteran mencetuskan ide
pemilahan farmasi dari kedokteran dengan mencetukan simbol farmasi dan kedokteran secara
terpisah. Namun yang sangat mengesankan, dan telah dijadikan tonggak kelahiran farmasi adalah
ketika Kaisar Frederik II pada tahun 1240 mengeluarkan undang-undang negara tentang pemisahan
farmasi dari kedokteran yang diajarkan dan dipraktekkan secara terpisah.

Ilmu farmasi pada perkembangan selanjutnya mengadopsi tidak hanya ilmu kimia, biologi, fisika, dan
matematika, melainkan termasuk pula dari ilmu-ilmu terapan seperti pertanian, teknik, ilmu
kesehatan, bahkan dari behavior science.

Farmasi dalam paradigma epistemologi

Secara umum farmasi terdiri dari farmasi teoritis dan farmasi praktis. Farmasi secara teoritis
dibangun oleh beberapa cabang ilmu pengetahuan, yang secara garis besarnya terdiri dari farmasi
fisika, kimia farmasi, farmasetika, dan farmasi sosial. Selanjutnya farmasi praktis terdiri dari dua
bagian besar yakni farmasi industri, dan farmasi pelayanan.

Pertama, Farmasi Industri adalah ruang lingkup penerapan ilmu-ilmu farmasi teoritis, dan tempat
pengabdian bagi ahli-ahli farmasi (farmasis) yang berorientasi pada produksi bahan baku obat, dan
obat jadi, dan perkembangan selanjutnya juga meliputi kosmetika dan makanan-minuman. Dalam
farmasi dikenal adanya industri farmasi yang menghasilkan produk farmasi moderen yang bahan
bakunya merupakan bahan baku sintetis, dan industri obat tradisional yang memproduksi obat-
obatan dengan menggunakan bahan alam sebagai bahan baku yang menghasilkan obat Fitofarmaka,
baik industri farmasi maupun industri obat tradisional kesemuanya berorientasi pada produk farmasi
berkualitas, yakni aman, manjur, harga terjangkau dan tidak merusak ekosistem lingkungan ekologis.

Kedua, Farmasi Pelayanan yakni pengabdian disiplin ilmu farmasi (farmasis/apoteker) pada unit-unit
pelayanan kesehatan (apotek, rumah sakit, badan pengawasan, dan unit-unit kesehatan lainnya).
Pengabdian farmasis/apoteker pada farmasi pelayanan meliputi distribusi obat-obatan dari industri
farmasi hingga ke unit-unit pelayanan kesehatan, pelayanan informasi obat terhadap masyarakat dan
tenaga-tenaga paramedis, dan monitoring penggunaan obat oleh masyarakat dan terhadap penderita
(pasien). Peranan farmasis/apoteker di unit-unit pelayanan kesehatan menjadi sangat penting, dan
berorientasi pada pemberian obat rasional empirik, yakni pemberian obat yang tepat dosis, tepat
pasien, tepat indikasi, dan harga terjangkau.

Farmasi industri dan farmasi pelayanan saling terkait, dan berinteraksi antara satu sama lain dalam
satu orientasi, yakni health orientation, untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.
Farmais/apoteker di dalam menjalankan pengabdiannya di bidang kefarmasian diikat oleh sebuah
etika yang disebut kode etik apoteker (etika farmasi).
 

Farmasi dalam paradigma etika

Pemberdayaan farmasi dalam bidang pengabdian kesehatan tidak hanya terbatas pada bagaimana
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi harus bernuansa lebih luas, yaitu bagaimana
meningkatkan kualitas SDM dan kualits kehidupan, maka peranan farmasi hendaknya bukan
hanya terbatas pada bagaimana menemukan obat, tetapi jauh lebih kedepan bagaimana
mengembangkannya dan membantu masyarakat agar mereka mau dan mampu menjaga kesehatannya
dengan baik serta menjadikan industri farmasi dan unit-unit pelayanan kefarmsian sebagai sarana
untuk meningkatkan derajat kehidupan dan penghidupan yang layak bagi sebagian besar masyarakat
dan ummat manusia seluruhnya.

Mengingat bahwa tingkat kemampuan masyarakat sangat bervariasi, selain menyebabkan


bervariasinya penyakit yang diderita dan yang paling penting adalah kemampuan mereka untuk
membayar biaya kesehatan juga sangat bervariasi. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi
farmasis/apoteker untuk pemberian alternatif obat-obatan yang dapat memenuhi tuntutan masyarakat
sehingga seluruh masyarakat dapat terlayani dengan baik, terutama masyarakat yang berpendapatan
rendah.

Untuk hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara farmasis/apoteker dengan pihak-pihak
terkait (interdisipliner), dan didukung oleh wawasan luas yang berorientasi pada kesehatan yang
paripurna dan hedonistik, produktif manusiawi, serta berwawasan lingkungan yang ekologis,
bernuansa pada kesejakteraan yang universal.

Dengan perspektif filsafat ilmu pengetahuan maka telaah farmasi sebagai sebuah cabang ilmu
pengetahuan dapat memberikan pencerahan bagi arah perkembangan farmasi kini dan masa datang.
Penyelenggara pendidikan farmasi memiliki peran yang eksklusif dalam menentukan visi pengabdian
farmasis/apoteker bagi kemaslahatan ummat manusia. Kurikulum pendidikan farmasi harus segera
direvisi yang tidak hanya melahirkan tenaga ahli dibidang kefarmasian yang berdaya intelektual, tapi
juga berdaya moral.

Farmasis/apoteker yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai
keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan profesinya. Setiap keputusan yang diambil, pilihan
yang ditentukan, penilaian yang dibuat hendaknya selalu mengandung dimensi etika. Khusus dalam
bidang pelayanan kefarmasian penulis ingin menggaris bawahi bahwa sarana pelayanan harus
mngikuti paradigma asuhan kefarmasian dimana farmasis/apoteker harus ada di tempat.

Di lain pihak patut dicermati bahwa minat penyelenggara pendidikan tinggi baik negeri maupun
swasta di Indonesia cukup tinggi. Sesuai data ISFI tahun 2006 tercatat 60 perguruan tinggi di
Indonesia yang mengelola pendidikan farmasi dengan jumlah luaran kurang lebih 20.000 Apoteker
hingga tahun 2007. Penulis berharap kiranya kecenderungan ini tidak justru karena ‘pangsa pasarnya’
yang memang cukup banyak diminati. Akan tetapi, kecenderungan ini hendaknya berangkat dari itikat
turut mendorong dalam mengembangkan kefarmasian di segala bidang.

You might also like