You are on page 1of 5

Latar Belakang

1. Sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju (barat)


dan negara berkembang memang sangat diametral. Di barat koperasi
lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar, oleh karena itu
tumbuh dan berkembang dalam suasana persaingan pasar. Bahkan dengan
kekuatannya itu koperasi meraih posisi tawar dan kedudukan penting
dalam konstelasi kebijakan ekonomi termasuk dalam perundingan
internasional. Peraturan perundangan yang mengatur koperasi tumbuh
kemudian sebagai tuntutan masyarakat koperasi dalam rangka
melindungi dirinya.

2. Di negara berkembang koperasi dirasa perlu dihadirkan dalam kerangka


membangun institusi yang dapat menjadi mitra negara dalam
menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu kesadaran antara kesamaan dan kemuliaan tujuan negara
dan gerakan koperasi dalam memperjuangkan peningkatan kesejahteraan
masyarakat ditonjolkan di negara berkembang, baik oleh pemerintah
kolonial maupun pemerintahan bangsa sendiri setelah kemerdekaan,
berbagai peraturan perundangan yang mengatur koperasi dilahirkan
dengan maksud mempercepat pengenalan koperasi dan memberikan arah
bagi pengembangan koperasi serta dukungan/perlindungan yang
diperlukan.

3. Pengalaman di tanah air kita lebih unik karena koperasi yang pernah lahir
dan telah tumbuh secara alami di jaman penjajahan, kemudian setelah
kemerdekaan diperbaharui dan diberikan kedudukan yang sangat tinggi
dalam penjelasan undangundang dasar. Dan atas dasar itulah kemudian
melahirkan berbagai penafsiran bagaimana harus mengembangkan
koperasi. Paling tidak dengan dasar yang kuat tersebut sejarah
perkembangan koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola
pengembangan koperasi. Secara khusus pemerintah memerankan fungsi
“regulatory” dan “development” secara sekaligus (Shankar 2002). Ciri
utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan pola penitipan
kepada program yaitu : (i) Program pembangunan secara sektoral; (ii)
Lembaga-lembaga pemerintah; dan (iii) Perusahaan baik milik negara
maupun swasta. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang
berkembang dan kalau ada tidak diberikan tempat semestinya.
4. Swasono dalam Nasution (1999) menyatakan “Hubungan perekonomian
sejak zaman kolonial sampai hingga sekarang tercatat penuh dengan
ketimpangan stuktural, antara lain berwujud Economic slavery,
berlakunya Poenale sanctie, Cultuur stelsel, berlakunya hubungan
Toeanhamba, Hubungan Taouke-kuli sampai kehubungan kerja inti
plasma.

5. Selama ini “koperasi” dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan


basis sektor-sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar
bagi penduduk Indonesia. KUD sebagai koperasi program yang didukung
dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Di sisi lain
pemerintah memanfaatkan KUD untuk mendukung program pembangunan
seperti yang selama PJP I, menjadi ciri yang menonjol dalam politik
pembangunan koperasi. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi
melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh
pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola
pengadaan bea pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan
monopoli baru (cengkeh).

POTRET KOPERASI DAN UKM SAAT INI

1. Rendahnya tingkat pendidikan para pengusaha kita, khususnya UKM


membawa dampak pada berbagai masalah yang dihadapi oleh UKM.
Masalah-masalah tersebut adalah: (a) kekurangmampuan akses dan
perluasan pangsa pasar; (b) kekurangmampuan akses pada sumber-
sumber pendanaan, khususnya bank; (c) keterbatasan akses pada
informasi; (d) kurang mampu memanfaatkan teknologi dan melakukan alih
teknologi; dan (e) kelemahan dalam pengelolaan organisasi dan
manajemen.
2. Definisi Usaha Kecil di Indonesia dikaitkan dengan ketentuan dalam UU
No 9/1995 tentang usaha kecil, di mana usaha kecil adalah unit usaha
yang tidak merupakan cabang usaha besar dan memiliki penjualan di
bawah Rp. 1 milyar setahaun dan aset di luar tanah dan bangunan
dibawah Rp. 200 juta,-. Sedangkan defininsi usaha menengah baru
kemudian dikeluarkan melalui suatu Instruksi Presiden No 11/1999, yang
menggolongkan usaha menengah hanya atas dasar kriteria aset di luar
tanah dan bangunan antara Rp. 200 juta,- hingga Rp. 10 milyar.
Disamping itu kita juga memiliki definisi industri sedang dan besar yang
ditetapkan atas dasar jumlah tenaga kerja. Sementara perbankan
menggunakan pengelompokan tersendiri sesuai dengan besaran kredit
yang diberikan.

PENUTUP
Koperasi dan UMKM saat ini belum berjalan sesuai dengan misi visi dan
prinsipnya. Bahkan pengangguran dan krisis ekonomi melanda dan
menjadikan beban ekonomi rakyat.

Untuk usaha mikro pendekatan pembinaannya adalah welfare approach


yang bobotnya lebih pada pendekatan sosial. Sedangkan usaha kecil dan
menengah diberdayakan dengan business approach.

Untuk itu, ada beberapa sasaran focus yang dapat dilakukan:


1) Fokus dalam sector, dapat dikatakan kalau kita lihat sektor-sektor
dominan dalam UKMK maka kita perlu bedakan antara sektor
pertanian dan nonpertanian. Sektor pertanian membutuhkan
penanganan tertentu yang berbeda dengan sektor non-pertanian.
2) Perlu dipilih kelompok UMKM yang kiranya dapat menjadi penghela
bagi yang lain. Fokuskan pada UMKM kecil/menengah yang
mempunyai potensi ekspor.
3) Dari fokus ini maka pembinaan diarahkan kepada pembinaan
kompetensi melalui mekanisme ekspor. Hal ini penting karena dengan
segera kita dapat menumbuhkan berbagai kompetensi sekaligus dan
terarah kepada persayaratan usaha yang mantap dalam era pasar
bebas.

Disamping menghadapi tantangan tersebut, Indonesia sendiri juga dipandang


sebagai negara yang memiliki daya saing sangat rendah. Pada tahun 2002 posisi
daya saing Indonesia menduduki urutan ke 47 dari 49 negara yang disurvei. Posisi
ini sangat jauh sekali dibandingkan negara 4 tetangga kita, Malaysia yang
menduduki urutan ke 26, dan Filipina yang menempati urutan ke 40. Bukan saja
dalam daya saing pemerintahan kita kalah, dari tingkat efisiensi pemerintah, posisi
Indonesia juga menduduki urutan ke 45. Bandingkan dengan Malaysia diposisi ke
19, Thailand ke 27, dan Filipina ke 37.
Demikian juga halnya, kalau kita bandingkan tingkat efisiensi usaha di
Indonesia, yakni menduduki tempat ke 49 (terbawah) dari 49 negara yang disurvei.
Hal ini menunjukkan bahwa daya saing usaha Indonesia paling rendah didunia.

Beberapa peluang yang ada diantara tantangan tersebut adalah adanya blok
atau kawasan/wilayah perdagangan dan investasi yang bebas. Di kawasan ASEAN
ada AFTA yang dimulai tahun 2003. Di kawasan Asia dan Pasifik ada APEC, yang
bagi anggota ekonomi sedang berkembang seperti Indonesia akan kita masuki pada
tahun 2020. Kawasan perdagangan dan investasi regional ini dapat kita manfaatkan
untuk mengembangkan potensi bisnis yang kita miliki. Tentu hal ini sangat
tergantung pada kelihaian kita memanfaatkan potensi yang ada tersebut.
Di samping peluang pasar domestik dan regional tersebut, belakangan
beberapa negara baik di Asia dan kawasan Asia dan Pasifik menyadari pentingnya
pembentukan kawasan-kawasan baru. Untuk kawasan ASEAN, misalnya, ada
ASEAN plus three, yaitu ASEAN, China, Korea Selatan dan Jepang. Pada kawasan
ini telah disepakati untuk melakukan liberalisasi pada tahun 2005.

Kecenderungan yang terjadi dalam “New Economy” adalah:


1) Karakteristik pasar yang dinamis, kompetisi global, dan bentuk organisasi yang
cenderung membentuk jejaring (network).
Tingkat industri yang pengorganisasian produksinya fleksibel dengan pertumbuhan
yang didorong oleh inovasi/pengetahuan; didukung teknologi digital, sumber
kompetisi pada inovasi, kualitas, waktu, dan biaya, mengutamakan research and
development; serta mengembangkan aliansi dan kolaborasi dengan bisnis lainnya.

Pada Pertemuan Tingkat Menteri (PTM) yang membidangi UKM di APEC


tanggal 24-25 Agustus 2002 di Acapulco, Mexico ada kajian yang sangat menarik
disampaikan oleh Dr. Chris Hall dari Pacific Economic Cooperation Council (PECC).
Dalam presentasinya disampaikan bahwa untuk mengurangi kesenjangan ekonomi
maju dan yang sedang berkembang, maka dibutuhkan antara 50 sampai dengan 70
juta orang pengusaha baru di kawasan APEC. Diantaranya 20 juta orang harus
ditumbuhkan di Indonesia. Oleh karena itu peranan pelatihan kewirausahaan sangat
penting artinya guna dapat menghasilkan pengusaha-pengusaha baru yang memiliki
daya saing tinggi ke depan.

Keadaan yang telah dilakukan pada masa lalu secara sederhana :


1) Ada kecenderungan membatasi pada pendanaan, kredit dan semacamnya. Dan
kurang pada pembinaan kemampuan/kompetensi yang akan mengarahkan
berbagai sumber daya kepada keberhasilan. Apalagi efektivitas penyaluran kredit
kurang dikendalikan. Lapangan dimana UMKM berkiprah masih “informal” dan
belum banyak dapat diterapkan pendekatan formal legal tanpa memberikan
komplikasi pada penyaluran kredit tersebut. Pendanaan jelas penting tetapi dalam
kondisi motivasi bersifat nrabas dan kemampuan sumber daya terbatas, orientasi
dana ini menjadi sumber permasalahan karena tujuan yang hendak dicapai
menjadi berantakan.
2) Terutama dalam hal koperasi kita lihat masalah kelembagaan menjadi
dipentingkan. Pada masa itu lembaga ini menjadi landasan dari pemberian
fasilitas sehingga serta merta bermunculan berbagai lembaga dan ormas yang
mengatas namakan UMKM untuk mendapatkan fasilitas tersebut.
3) Struktur kelembagaan yang dibebani tanggung jawab membina ini sebagian besar
ditimpakan kepada pemerintah. Dan dalam konstelasi masa lalu pengendalian
dari pengembangan UMKM ini terpecah dalam berbagai badan yang
koordinasinya kurang jelas.

You might also like