You are on page 1of 3

Gelar Kedaerahan

“Orang Jawa ya, Mas?”


“Bukan, saya Sunda!”

oleh Herman RN

BERSERABUT gelar bagi manusia di muka bumi ini. Kadang, gelar


tersebut dilekatkan berdasarkan asal daerah atau suku kedaerahan
yang ‘dipaksa’ tersangkut-paut. Misalnya, orang Sunda, orang Jawa,
orang Bali, orang Batak, dan sebagainya, yang belum jelas gelar tersebut
dilekatkan berdasarkan kelahiran, tempat tinggal, atau bahasa sehari-
hari.

Di Aceh, gelar kedaerahan sangat unik dan beragam. Hal ini karena
Aceh memiliki suku dan bahasa yang berjenis-jenis. Dibandingkan
daerah lain di Indonesia bahkan di Nusantara, daerah yang memiliki
bahasa daerah terbanyak adalah Aceh (masih asumsi). Hingga saat ini
saja, diakui ada sepuluh jenis bahasa daerah yang hidup di Aceh,
dimulai dari bahasa Aceh itu sendiri, bahasa Jamee/Aneuk Jamee,
bahasa Kluet, bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Devayan, bahasa
Sigulai, bahasa Haloban, bahasa Tamiang, dan bahasa Boang.

Bahasa-bahasa itu hidup dan berkembang di berbagai daerah/wilayah


Aceh. Jumlah ini baru yang terbicarakan dalam Kongres Bahasa Daerah
tahun 2007 lalu, yang diadakan di Anjong Monmata. Pengakuan
terhadap jumlah bahasa yang hidup di Aceh--sebanyak sepuluh jenis
ini--sebenarnya sudah pernah pula ditulis seorang linguis, Dr. Abdul
Djunaidi, MS. (almarhum), dalam diktat kuliahnya pada PBSI FKIP
Unsyiah. Selain itu, hidup pula beberapa bahasa lain di negeri yang
dijuluki Serambi Makkah ini, seperti bahasa Melayu di Aceh Tamiang;
bahasa Batak di sebagian Kutacane dan Subulussalam; bahasa Jawa di
sebagian Aceh Tengah.

Oleh karena itu, tatkala mendengar orang berbahasa Jawa di Aceh,


kadang kepada orang itu dinyatakan atau ditanyakan, “Orang Jawa
ya?”. Ketika mendengar orang berbahasa Batak, timbul pula pernyataan,
“Abang ini orang Batak kan.” Demikian terus terjadi pada bahasa-
bahasa lainnya, termasuk dalam bahasa daerah sendiri semisal “Orang
Gayo ya?” atau “Orang Kluet ya?” yang mengesankan orang Gayo atau
orang Kluet itu bukan orang Aceh. Padahal, ini sekadar menegaskan
bahwa orang tersebut bersuku Gayo atau bersuku Kluet.

Tentu saja pelakapan ini tak selamanya benar. Boleh jadi, orang yang
bersuku Aceh, tetapi ketika itu berbahasa Gayo dengan rekannya—
kebetulan dia dapat dan lancar berbasa Gayo. Karenanya, gelar orang
Gayo, orang Jawa, orang Batak, dan sebagainya, yang dilekatkan
berdasarkan bahasa yang didengar tidak boleh diambil sebagai
kesimpulan.
Gelar kelahiran

Di samping gelar yang diberikan berdasarkan bahasa yang digunakan


oleh seseorang, kadang gelar atau lakab tersebut juga dilakukan
berdasarkan tempat kelahiran dan seakan kultus pula. Gelar ini
merupakan gelar kedaerah secara umum. Hal tersebut boleh jadi
berdasarkan keterangan asal atau alamat atau tempat kelahiran.

Contohnya begini, ada orang yang mengaku tinggal di Aceh tetapi lahir
di Jawa. Ia terkadang akan digelari sebagai orang Aceh (jika memang
sudah lama menetap di Aceh) dan mungkin pula dilakapkan sebagai
orang Jawa karena lahir di Jawa. Persoalan kelahiran dan tempat
menetap ini juga belum memiliki standardisasi. Tak ada ketentuan limit
waktu menetap pada suatu daerah sehingga ia diucapkan sebagai orang
daerah tersebut. Jelasnya, kalau menghadiri acara tertentu, orang sering
memanfaatkan tempat tinggal atau tempat kelahirannya. Milsanya, saya
yang saat ini beralamat di Aceh yang suatu waktu menghadiri acara di
Jakarta, akan mengaku sebagai orang Aceh. Lebih jauh dari itu bahkan,
pernah dipraktekkan Qory Sandioriva dalam Miss Indonesia 2009 lalu.
Ia mengaku sebagai orang Aceh hanya karena ibunya dari Aceh Tengah.

Manakala lakap dan gelar berdasarkan kedaerahan ini dicermati lebih


lanjut, keunikan terjadi. Tidak semua orang bangga dengan gelar
kedaerahan yang dilekatkan pada dirinya. Di antara sebabnya adalah
“ketakutan” semisal takutnya orang mengakui bahwa dirinya orang
Jawa saat dia di Aceh tatkala suasana konflik dulu.

Selain sebab ketakutan, berlaku pula sebab “malu” mengakui


kedaerahan, misal mendengar pertanyaan, “Orang Batak ya?” atau
“Orang Jawa ya?”, sekaan ada konotasi negatif dalam pertanyaan
tersebut. Bahkan, bagi sebagian orang Bandung yang secara geografis
adalah Jawa, masih ada yang “enggan” mengakui dirinya sebagai “orang
Jawa. Alasannya, sekadar hendak menonjolkan “kesundaan” sehingga
kadang muncul bantahan, “Saya bukan Jawa, tapi Sunda!”

Hal semacam ini tidak berlaku di Aceh, pun bagi orang Aceh di luar
Aceh. Ketika ditanyakan atau dinyatakan, “Orang Aceh ya?” langsung
mengangguk bangga, “Ya, kok tahu?” Lebih dari itu, orang Aceh bahkan
sangat senang menyebut dirinya ureueng Aceh untuk menyatakan
kebanggaannya terhadap Aceh, meskipun saat konflik dulu ini kategori
‘kebanggan berbahaya’. Di sisi lain, kadang orang Aceh juga tetap
mengaku sebagai ureueng Aceh walaupun dikonotasikan Aceh dengan
ganja, dengan sparatis, dengan pemberontak, dan lain-lain yang
menambah deretan gelar buat Aceh, setelah ungkapan Aceh sebagai
Serambi Makkah, Daerah Modal, Daerah Istimewa, Rincong/Rencong, dan
Tsunami.

Penulis, Mahasiswa Pascasarjana Unsyiah


Nama : Herman RN
Pekerjaan : Mahasiswa Pascasarjana Unsyiah, Program Studi
Bahasa dan Sastra Indonesi
Alamat : Jl. Mesjid Lr. Beringin II No.1
Jeulingke, Kec. Syiah Kuala, Banda Aceh

You might also like