Professional Documents
Culture Documents
oleh Herman RN
Di Aceh, gelar kedaerahan sangat unik dan beragam. Hal ini karena
Aceh memiliki suku dan bahasa yang berjenis-jenis. Dibandingkan
daerah lain di Indonesia bahkan di Nusantara, daerah yang memiliki
bahasa daerah terbanyak adalah Aceh (masih asumsi). Hingga saat ini
saja, diakui ada sepuluh jenis bahasa daerah yang hidup di Aceh,
dimulai dari bahasa Aceh itu sendiri, bahasa Jamee/Aneuk Jamee,
bahasa Kluet, bahasa Gayo, bahasa Alas, bahasa Devayan, bahasa
Sigulai, bahasa Haloban, bahasa Tamiang, dan bahasa Boang.
Tentu saja pelakapan ini tak selamanya benar. Boleh jadi, orang yang
bersuku Aceh, tetapi ketika itu berbahasa Gayo dengan rekannya—
kebetulan dia dapat dan lancar berbasa Gayo. Karenanya, gelar orang
Gayo, orang Jawa, orang Batak, dan sebagainya, yang dilekatkan
berdasarkan bahasa yang didengar tidak boleh diambil sebagai
kesimpulan.
Gelar kelahiran
Contohnya begini, ada orang yang mengaku tinggal di Aceh tetapi lahir
di Jawa. Ia terkadang akan digelari sebagai orang Aceh (jika memang
sudah lama menetap di Aceh) dan mungkin pula dilakapkan sebagai
orang Jawa karena lahir di Jawa. Persoalan kelahiran dan tempat
menetap ini juga belum memiliki standardisasi. Tak ada ketentuan limit
waktu menetap pada suatu daerah sehingga ia diucapkan sebagai orang
daerah tersebut. Jelasnya, kalau menghadiri acara tertentu, orang sering
memanfaatkan tempat tinggal atau tempat kelahirannya. Milsanya, saya
yang saat ini beralamat di Aceh yang suatu waktu menghadiri acara di
Jakarta, akan mengaku sebagai orang Aceh. Lebih jauh dari itu bahkan,
pernah dipraktekkan Qory Sandioriva dalam Miss Indonesia 2009 lalu.
Ia mengaku sebagai orang Aceh hanya karena ibunya dari Aceh Tengah.
Hal semacam ini tidak berlaku di Aceh, pun bagi orang Aceh di luar
Aceh. Ketika ditanyakan atau dinyatakan, “Orang Aceh ya?” langsung
mengangguk bangga, “Ya, kok tahu?” Lebih dari itu, orang Aceh bahkan
sangat senang menyebut dirinya ureueng Aceh untuk menyatakan
kebanggaannya terhadap Aceh, meskipun saat konflik dulu ini kategori
‘kebanggan berbahaya’. Di sisi lain, kadang orang Aceh juga tetap
mengaku sebagai ureueng Aceh walaupun dikonotasikan Aceh dengan
ganja, dengan sparatis, dengan pemberontak, dan lain-lain yang
menambah deretan gelar buat Aceh, setelah ungkapan Aceh sebagai
Serambi Makkah, Daerah Modal, Daerah Istimewa, Rincong/Rencong, dan
Tsunami.