You are on page 1of 9

BATIK BAKARAN

Pada tahun 1975, batik bakaran nyaris hilang dari peredaran pasar tradisional. Pasalnya, Sutarsih
yang berusia 86 tahun, satu-satunya generasi keempat pembatik bakaran, tak mampu lagi
membatik. Namun, Bukhari, putra ke-12 Sutarsih, yang mewarisi kemampuan membatik,
berusaha keras menjadikan batik bakaran kembali ”bermasa depan”. Bukhari Wiryo Satmoko,
nama lengkap pria yang lahir di Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa
Tengah, ini tidak sekadar mengembalikan batik bakaran di peredaran pasar tradisional, tetapi
sampai ke pasar nasional dan internasional

Dia memang akrab dengan batik. Sejak masih duduk di kelas III Sekolah Rakyat, Bukhari kerap
dianggap suka ngrusuhi atau mengganggu ibunya yang sedang membatik.

Saat sang ibu beristirahat, Bukhari kecil mengambil canting dan melanjutkan motif batik di kain
yang dikerjakan ibunya. Bukannya menjadi rangkaian batik yang indah, motif-motif karya
Bukhari itu tidak berbentuk dan malam batiknya mblobor.

Kejadian itu terus berulang hingga sang ibu sering marah. Namun, dari waktu ke waktu sang ibu
pun bisa melihat bahwa hasil lanjutan motif Bukhari semakin baik. Bahkan, Bukhari kerap
menelurkan motif lain yang berbeda dengan pakem batik bakaran.

”Saya mulai jarang membatik bersama Ibu setelah duduk di Sekolah Teknik Juwana. Soalnya,
lebih asyik mengutak-atik mesin ketimbang canting he-he,” kenangnya.

Kondisi itu berjalan hingga Bukhari duduk di STM 2 Semarang. Namun, baru dua bulan di
sekolah itu, dia harus pulang ke rumah dan tak lagi melanjutkan sekolah. Ia harus menjaga
ibunya yang sakit keras karena seorang kakak Bukhari meninggal tertimpa paku bumi.

Sang ibu tak memperkenankan Bukhari melanjutkan sekolah teknik karena takut kejadian serupa
menimpa putra bungsunya itu. Peristiwa itulah yang kembali mendekatkan Bukhari dengan cinta
pertamanya, batik.

Mengajari istri

Tahun 1975 ia menikah dengan Tini. Untuk menghidupi keluarga, Bukhari mengerjakan tambak.
Ia mengajari istrinya membatik dan berharap Tini tak sekadar menjadi ibu rumah tangga, tetapi
turut menopang ekonomi rumah tangga.

Pada tahun-tahun itu pula Desa Bakaran Wetan krisis generasi pembatik bakaran. Sejak sakit,
ibunda Bukhari tak lagi membatik. Bukhari memanfaatkan situasi ”genting” itu dengan
mengembangkan batik bersama istrinya.

”Semula saya memproduksi dua kain batik per bulan dan menjualnya di pasar tradisional. Waktu
itu harganya masih murah, Rp 3.000-Rp 8.000 per lembar,” ujar Bukhari, generasi kelima
pembatik bakaran.

Menurut dia, meski tak selaris saat Juwana menjadi pelabuhan besar pada zaman para kakek-
buyut, masyarakat tetap meminati batik bakaran. Bahkan, sejumlah orang yang mengira batik
bakaran sudah tak lagi diproduksi mengaku kaget bisa menemukannya.

”Mereka mendatangi rumah saya untuk memesan batik. Dari waktu ke waktu pesanan bertambah
sehingga batik bakaran tenar kembali,” katanya.
Agar batik bakaran lebih dikenal luas, Bukhari memberi merek batiknya ”Tjokro”. Ia mengambil
nama kakeknya, Turiman Tjokro Satmoko. Alasannya, pada era Tjokro, batik bakaran menjadi
komoditas perdagangan di Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para pejabat Kawedanan
Juwana.

Tenaga kerja

Lonjakan permintaan pasar pada era 1980-an itu menyebabkan Bukhari menambah tenaga kerja
dari dua orang menjadi 20 pembatik. Tenaga pembatik itu berasal dari para ibu rumah tangga di
sekitar tempat tinggalnya.

Menurut Bukhari, para ibu rumah tangga itu tak mempunyai pekerjaan tetap ketika ditinggal
suaminya melaut, bertani, atau mburuh di kota-kota lain. Dengan membatik, mereka dapat
menambah penghasilan keluarga Rp 15.000-Rp 30.000 per hari.

”Sebagian kecil di antara mereka sudah bisa membatik, sedangkan yang lain harus diajari lebih
dulu,” kata penerima penghargaan Byasana Bhakti Upapradana dari Gubernur Jateng pada 1994
ini.

Pada tahun 1998 Bukhari terpaksa menutup usaha batik dan memberhentikan para pekerjanya.
Industri rumah tangga batik yang dia kembangkan mulai dari nol itu terkena imbas krisis
moneter.

Alasannya, saat itu harga bahan baku batik meningkat berlipat-lipat sehingga harga batik
menjadi sangat tinggi. Hal Ini mengakibatkan batik bakaran tak laku, sepi pembeli.

”Usaha itu saya tutup selama dua tahun. Baru pada tahun ketiga saya mulai memproduksi batik
lagi dalam skala kecil dibantu istri dan seorang pembatik,” katanya.

Tahun 2006 Bukhari mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Pati untuk melestarikan dan
meningkatkan pemasaran batik bakaran. Pemkab Pati menerima usulan itu dengan
menggalakkan program pemakaian batik bagi pegawai negeri sipil (PNS) pada hari-hari tertentu.

Program itu meningkatkan pemasaran batik bakaran di daerah Pati sekaligus juga di luar Pati.
Melalui promosi Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pati dan gethok tular para
pembeli, batik bakaran kembali bangkit.

Bukhari bisa mempunyai tenaga kerja harian dan borongan sebanyak 52 orang. Mereka mampu
memproduksi 400-600 lembar batik bakaran per bulan. Tak mengherankan jika omzet Bukhari
mencapai Rp 40 juta–Rp 60 juta per bulan. Pemasaran batik produknya tak hanya di Pati, tetapi
sampai ke Surabaya, Bandung, Jakarta, Rembang, Blora, Semarang, serta Kanada dan Amerika
Serikat.

Melestarikan legenda

Sukses Bukhari melestarikan batik bakaran dan meningkatkan perekonomian warga sekitar
berdampak pula pada kelestarian legenda tentang batik bakaran. Melalui legenda itu, tradisi
manganan atau makan bersama terus berkembang dan menjadi salah satu sarana menjalin
keguyuban warga.

Bukhari memaparkan, sejarah batik bakaran terkait erat dengan kisah Nyi Danowati atau Nyai
Ageng Siti Sabirah, penjaga pusaka dan pengurus seragam Kerajaan Majapahit akhir abad ke-14.
Ia datang ke Desa Bakaran untuk mencari tempat persembunyian karena dikejar-kejar prajurit
Kerajaan Demak.

Dalam penyamarannya di Desa Bakaran, Nyi Danowati membuat langgar tanpa mihrab yang
disebut Sigit, dan sampai kini menjadi pepunden, tempat warga menggelar tradisi manganan. Di
halaman Sigit itulah Bukhari mengajar membatik kepada warga sekitar.

Menurut dia, motif batik Nyi Danowati yang masih berkembang hingga kini adalah motif sekar
jagad, gandrung, padas gempal, magel ati, dan limaran. Motif-motif itu mirip dengan motif batik
dari Jawa Timur.

Dahulu, pewarna batik motif itu menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit pohon tingi
yang menghasilkan warna coklat, kayu tegoran untuk warna kuning, dan akar kudu sebagai
pewarna sawo matang.

”Sayangnya, bahan-bahan itu sudah sulit didapat,” kata Bukhari.

Selain motif-motif bakaran kuno, Bukhari juga mengembangkan motif kontemporer berdasarkan
kekhasan daerah dan tren yang dilihatnya berkembang di masyarakat. Misalnya, motif
gelombang cinta, juwana, begisar, kembang rowo, peksi papua, pohon druju, dan jambu alas.

AKAR BUDAYA BATIK BAKARAN

Bakaran adalah sebuah desa yang ada di kecamatan Juwana kabupaten Pati. Desa ini ada 2 yakni
Bakaran Wetan dan Bakaran Kulon. Saat ini, desa Bakaran mampu menjadi ikon Pati yaitu
dengan karya budaya masyarakat. Banyak budaya ditemukan di Juwana, terutama didaerah ini,
sehingga masyarakat  menjulikinya daerah seni budaya. Salah satu karya budaya masyarakat
yang mampu menjadi perhatian masyarakat luas adalah karya batik tulisnya.

Karya batik ini juga mampu mengangkat citra daerah. Seni batik bakaran ini berjalan sejak
zaman majapahit yaitu antara abad 14 sampai sekarang. Dan sampai saat ini corak batik bakaran
sangat khas dan unik yang motifnya sangat berbeda dengan batik-batik lain walaupun asal
mulanya dari budaya batik yang sama yaitu budaya keraton. Hal ini disebabkan karena sudah
terjadi perpaduan kebudayaan pedalaman dan pesisir yang akhirnya karya masyarakat ini sangat
unik.

MOTIF BATIK TULIS BAKARAN BERDASARKAN GEOGRAFIS DAN FILOSOFis.Motif batik


tulis Bakaran bila dilihat dari segi warna mempunyai mempunyai ciri tersendiri, yaitu warna
yang mendominasi batik Bakaran Wetan adalah hitam dan coklat. Unsur corak/motifnya
beraliran pada corak motif batik Tengahan dan bathik Pesisir. Aliran Tengahan, karena yang
memperkenalkan batik tulis pada wilayah Desa Bakaran adalah dari kalangan kerajaan
Majapahit. Dan Jenis motif tengahan ini diindikasikan pada corak batik. Padas Gempal,
Gringsing, Bregat Ireng, Sido Mukti, Sido Rukun, Namtikar, Limanan, Blebak Kopik, Merak
Ngigel, Nogo Royo, Gandrung, Rawan,Truntum, Megel Ati, Liris, Blebak Duri, Kawung
Tanjung, Kopi Pecah, Manggaran, Kedele Kecer, Puspo Baskora, ungker Cantel, blebak lung.
Dan beberapa motif tengahan yang lain.

Sedangkan beraliran batik tulis pesisir karena secara geografis letak wilayah Desa tersebut
memang terdapat dipesisir pantai dan aliran pesisir ini diindikasikan pada motif batik tulis,
blebak Urang, loek Chan. Dan beberapa motif pesisir yang lain corak tersebut pada umumnya
berbeda dengan corak batik daerah lain, baik dari segi gambar, ornament maupun warnanya.
Serta pada setiap motif mempunyai makna yang sangat filosofis.

Sejarah Masyarakat

Keterampilan membatik tulis bakaran di Desa Bakaran Wetan itu punya sejarah yang melegenda.
Keterampilan itu tak lepas dari buah didikan Nyi Banoewati, penjaga museum pusaka dan
pembuat seragam prajurit pada akhir Kerajaan Majapahit abad ke-14.
Waktu itu, Kerajaan Majapahit diambang keruntuhannya karena wilayahnya sudah hampir
dikuasahi oleh kerajaan Islam Demak Bintoro. Nyai Banoewati adalah salah seorang abdi dalem
yang sudah memeluk agama Islam. Yang saat itu warga keraton sangat melarang keras warganya
untuk beragama Islam. Akhirnya Sang abdi dalem ini ketahuan dan melarikan untuk
menyelamatkan diri dari hukuman raja dan sergapan prajurit.

Nyi Banoewati bersama tiga saudaranya, yaitu Ki Dukut, Ki Truno, dan Ki Dalang Becak,
perempuan yang konon berparas ayu itu pergi menyusuri pantai utara Jawa Timur dan Jawa
Tengah.

Di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, Nyi Banoewati dan dua saudaranya berpisah
dengan Ki Dalang Becak. Ia melanjutkan perjalanan hingga ke kawasan rawa-rawa yang penuh
pohon druju atau sejenis semak berduri, sedang Ki Dalang Becak menetap di Tuban.

Bersama Ki Dukut, Nyi Banoewati membuka lahan di daerah rawa-rawa itu sebagai tempat tiras
pandelikan atau tempat persembunyian. Lantaran Ki Dukut itu seorang lelaki, ia mampu
membuka lahan yang sangat luas, sedangkan lahan Nyi Banoewati sempit.

Tak kurang akal, Nyi Banoewati mengadakan perjanjian dengan Ki Dukut. Ia meminta sebagian
lahan Ki Dukut dengan cara menentukan batas lahan melalui debu hasil bakaran yang terjatuh di
jarak terjauh.

Ki Dukut menyetujui usulan itu. Jadilah kawasan Nyi Banoewati lebih luas sehingga sebagian
kawasan diberikan kepada Kek Truno yang tidak mau babat alas. Daerah milik Nyi Banoewati
dinamai Bakaran Wetan, sedang milik Kek Truno bernama Bakaran Kulon.

Adapun Ki Dukut yang kawasannya sangat sempit itu menamakan daerah itu Pedukuhan Alit
atau Dukutalit. Ketiga desa itu sampai sekarang tetap ada dan saling berbatasan satu dengan yang
lain. Secara lebih luas lagi, kawasan itu dikenal sebagai Drujuwana (hutan druju) atau Juwana.

Di Bakaran Wetan itulah Nyi Danowati membangun permukiman baru. Sejumlah warga yang
semula tidak mau menempati daerah berawa-rawa itu mulai tertarik membangun permukiman di
sekitar rumah Nyi Banoewati.

Nyi Banoewati / Nyai Ageng Siti Sabirah (begitu masyarakat menyebutnya) mendirikan masjid
tanpa mihrab supaya tidak diketahui prajurit Majapahit yang disebut Sigit. Di pendopo dan
pelataran Sigit itulah Nyi Danowati melaksanakan aktifitas agamanya dan mengajar warga
membatik., motif batik yang diajarkan Nyi Banoewati adalah motif batik Majapahit. Misalnya,
sekar jagat, padas gempal, magel ati, dan limaran.

”Motif khusus yang diciptakan Nyi Baneowati sendiri adalah motif gandrung. Motif itu
terinspirasi dari pertemuan dengan Joko Pakuwon, kekasihnya, di tiras pandelikan,” katanya.

Waktu itu Joko Pakuwon berhasil menemukan Nyi Banoewati. Kedatangan Joko Pakuwon
membuat Nyi Banoewati yang sedang membatik melonjak gembira sehingga secara tidak
sengaja tangan Nyi Banoewati mencoret kain batik dengan canting berisi malam, yang memang
saat itu aktifitasnya disibukkan dengan membatik.

Coretan itu membentuk motif garis-garis pendek. Di sela-sela waktunya, Nyi Banoewati
menyempurnakan garis-garis itu menjadi motif garis silang yang melambangkan kegandrungan
atau kerinduan yang tidak terobati.

motif-motif khas itu perlu mendapat perlakuan khusus dalam pewarnaan. Pewarnanya pun harus
menggunakan bahan-bahan alami. Misalnya, kulit pohon tingi yang menghasilkan warna coklat,
kayu tegoran warna kuning, dan akar kudu warna sawo matang.

Sayangnya, bahan-bahan pewarna itu sudah sulit ditemui. Waktu itu, batik bakaran menjadi
komoditas perdagangan antarpulau melalui Pelabuhan Juwana dan menjadi tren pakaian para
pejabat Kawedanan Juwana. Meskipun kesulitan bahan pewarna, batik tulis bakaran banyak
peminat. Saat ini warga Bakaran selain melestarikan motif Nyi Banoewati, mereka juga
mengembangkan aneka macam motif kontemporer, antara lain motif pohon druju (juwana),
gelombang cinta, kedele kecer, jambu alas, dan blebak urang.
Ada beberapa proses, dan teknik dalam pembuatan batik bakaran, yakni mulai dari nggirah,
nyimplong, ngering, nerusi, nembok, medel, nyolet, mbironi, nyogo, dan nglorod. Proses ini
bertahap mulai tahap pertama sampai terakhir. Bila sudah selesai maka corak batik sudah bisa
dinikmati. Tahapan-tahapan tersebut dikerjakan perajin secara manual tanpa ada alat-alat baru
seperti cap, printing, sablon dsb.

Proses Pembatikan

Menurut tutur masyarakat dulu nyai ageng Sabirah dan para perajin sekitar sebelum pembatikan
melakukan ritual dulu. Ada yang puasa 3 hari, ada yang satu minggu, ada yang satu bulan ada
yang 40 hari. Setelah melakukan puasa ini perajin melakukan pertapaan/ nyep dengan tujuan
mendapatkan inspirasi/ ilham, sehingga suatu ketika atau secara tiba-tiba tidak tersadari
mendapat gambaran/ bayangan motif batik yang akan dibuat. Biasanya motif tersebut
menggambarkan kondisi masyarakat yang ada dan memberikan pesan moral pada masyarakat.
Dan ada juga menunjukkan latar belakang si perajin itu sendiri.  Jadi setiap motif batik ada
maksud dan tujuan yang diharapkan pembatik. Atau ada pesan-pesan yang terkandung didalam
motif tersebut. Diantara prosesnya adalah;

1. Proses pendesainan. Proses ini adalah membuat gambar motif di kertas sebelum digambar
di kain.
2. Pengekuman kain. Kain sebelum digambari dan dicantingi, ini di rendam dulu dengan
lerak. Dengan tujuan agar nanti setelah diwarnai tidak akan pudar/ Penggambaran dikain.
Yakni menuangkan gambar yang sebelumnya digambar dikertas. Gambar ini sebagai
motif batik yang diinginkan.
3.  Pencantingan. Kemudian setelah digambar, kain dicantingi sesuai desain gambar kain.
4. Nerusi. Nerusi ini memberikan titik-titik pada motif.
5. Nemboki. Setelah decanting dengan malam, kain ditembok dengan malam penuh.
Penembokan kain ini untuk membuat motif retak/ motif remek pada kain. Motif remek ini
mencirikan kekhasan batik bakaran.
6. Medel. Medel ini adalah mbironi/ memberi warna biru pada kain. Medel ini adalah
nyelup (merendam kain dalam air yang sudah diberi warna sampai beberapa kali)
7. Pencoletan. Pencoletan ini merupakan pemberian warna bervariasi, ada yang setelah
diwedel ada yang langsung.
8. Nyogo. Nyogo adalah pemberian warna sogo. Warna sogo bakaran adalah warna cokelat
klassik. Warna ini merupakan warna klasikknya bakaran. Diantara warna klasiiknya
bakaran adalah warna putih, hitam dan cokelat.
9. Setelah pewarnaan selesai, kain diberi obat pengunci warna supaya tidak luntur atau
pudar warnanya.
10. Langkah terakhir adalah Ngolrod. Melorod atau menghilangkan malam pada kain yang
sudah terwarna. Pelorodan ini dengan menggodok kain di air yang mendidih yang sudah
dikasih obat pelorodan.
11. Setelah dilorod kain dikeringkan dan sudah bisa dinikmati motifnya.

BATIK YUWANA “

BATIK TULIS BAKARAN PATI

(sebuah corak budaya pesisir)

Batik bakaran ini sudah eksis sejak zaman Majapahit pada abad 14 m yang lalu. Ceritanya, seni
tangan ini dikembangkan oleh sang abdi dalem dari keraton yang bertugas merawat gedung
pusaka yang mempunyai keahlian membatik untuk keperluan gedung pusaka itu. ”Banoewati”
adalah nama dari sang abdi dalem tersebut.

Sang abdi ini bersama ketiga bersaudara (ki dalang, kidukut, ki truno) melarikan menyelamatkan
diri menyusuri pantai utara kearah barat atas desakan raja dan prajuri karena saat itu seluruh
warga keraton Majapahit dilarang memeluk Islam.  Dalam pelarian ini sampailah pada suatu
daerah, yakni Juwana tepatnaya didesa Bakaran. Didesa inilah nyii Banoewati atau nyai Sabirah
- warga setempat menyebutnya - tinggal dan mengembangkan keahlian membatiknya. Sehingga
sampai pada saat ini batik berkembang dibakaran dan sebagai ikon Pati.
 

Batik bakaran sudah terpatenkan

Batik ini merupakan wujud ekspresi masyarakat pesisir pati. Sehingga corak motifnya
memperlihatkan karakter masyarakat. Tergolong ada 2 jenis motif batik bakaran, yakni motif
klassik dan motif terkini/ modern. Motif klassik adalah batik yang motifnya abstrak dan berupa
simbol-simbol yang mempunyai cerita unik dalam pembuatannya. Batik klassiknya bakaran
adalah berwarna antara hitam, putih dan cokelat.

Yang kedua motif modern yang ciri khasnya adalah motif aktual berupa bunga, ikan,air, pohon
dsb, yang warnanya bervariasi yang merupakan hasil inovasi masyarakat. Yang menjadi khasnya
lagi batik bakaran adalah motif “retak atau remek”. Batik ini teknik perajinannya adalah sangat
tradisional sekali, diantara teknik dan prosesnya adalah nggirah, nyimplong, ngering, nerusi,
nembok, medel, mbironi, nyogo, dan nglorod.

 Sekarang ini batik bakaran sudah ada yang dipatenkan oleh Ditjen HAKI sebagi motif batik
milik pati. Terhitung semuanya berjumlah 17 motif yang terpatenkan. Ke17 motif itu semuanya
adalah motif klassik. Diantaranya adalah, motif blebak kopik, rawan, liris, kopi pecah, truntum,
gringsing, sidomukti, sidorukun, dan limaran, dan lain sebagainya.

KERAJINAN BATIK BAKARAN

90 Motif Batik Bakaran Belum Dipatenkan

PATI, KOMPAS - Sebanyak 90 motif dari 108 motif batik Bakaran, hasil produksi perajin batik
di Desa Bakaran Wetan, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, hingga kini belum dipatenkan. Hal
itu menyebabkan motif-motif Bakaran mudah ditiru dan diklaim perajin batik dari luar daerah,
bahkan dari negara lain seperti Malaysia dan China.

Motif-motif batik yang belum dipatenkan itu antara lain motif garuda, prenjak, kolibri, benalu,
kupu dadap, pring sedapur, dan merak bambu. Motif-motif itu merupakan karya baru atau
pengembangan motif-motif batik Bakaran klasik, seperti motif gandrung, sekar jagat, padas
gumpal, magel ati, dan limaran.

Perajin batik Bakaran "Tjokro", Bukhari, saat ditemui, Rabu (6/10), di Pati mengatakan, para
perajin atau pemilik motif enggan mematenkan karena tidak mempunyai dana. Banyak perajin
beranggapan lebih baik mengunakan dana untuk tambahan modal ketimbang mematenkan motif.

Selain itu, proses pematenan membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Padahal, waktu tersebut
sangat cukup bagi perajin luar daerah atau negara lain untuk meniru dan mematenkan terlebih
dahulu motif batik Bakaran yang sedang populer.

"Para perajin juga beranggapan dipatenkan atau tidak dipatenkan itu sama saja. Selama ini tak
pernah ada tindakan dari pemerintah kepada pelaku-pelaku yang meniru motif yang sudah
dipatenkan, apalagi jika itu dari negara lain," kata dia.

Di Rembang, pematenan motif batik tidak lagi menjadi perhatian utama para perajin. Bahkan,
saat ini mereka sedang berupaya mengembangkan batik kombinasi cap dan tulis untuk membuka
persaingan dengan produk tekstil batik asal China yang harganya murah.

Pakaian jadi bercorak batik asal China harga paling murah Rp 40.000 per potong. Sementara
pakaian batik tulis, harganya rata-rata di atas Rp 100.000 per potong.

Ketua Koperasi Batik Lasem, Santoso, mengemukakan, perajin kini membuat inovasi batik
kombinasi untuk memenuhi permintaan konsumen dalam jumlah banyak. Harga batik kombinasi
lebih murah dan terjangkau.

"Rencananya, produk itu akan dikembangkan tidak hanya dalam bentuk baju atau pakaian jadi,
tetapi juga tas dan sandal," ujarnya. (hen)
Batik Bakaran ialah sebuah pelarian adalah awal mula munculnya Batik Bakaran. Nyi Sabilllah
atau Nyi Danauwati adalah pemrakarsa Batik Bakaran Wetan yang telah ada sejak tahun 1471
M. Pelariannya dari prajurit Majapahit menyebabkan dia mengungsi di Desa Bakaran Wetan.

Dia dikejar-kejar prajurit Majapahit disebabkan oleh agama yang saat itu beliau peluk. Kala itu
Majapahit melarang beredarnya agama Islam di bawah pemerintahannya kerajaan yang
mengabut Hindu.

Dalam persembunyiannya, Nyi Sabillah mendirikan langgar tanpa mighraf agar terhindar dari
prajurit Majapahit. Selain itu, untuk mengisi aktivitas kesehariannya, Nyi Sabillah mengajarkan
keahliannya membatik kepada masyarakat sekitar.

Batik bakaran yang merupakan komoditas kerajinan khas Pati diharapkan mampu menjadi ikon
Pati dan menjadi bidang usaha yang menjanjikan. Batik bakaran adalah warisan sejarah dan
budaya Pati yang tidak banyak ditemukan di daerah lain. Zaman dulu, batik bakaran menjadi
simbol priayi yang banyak diburu sebagai lambang kekayaan.

Jenis dan corak batik tradisional sangat banyak. Corak dan variasi batik sesuai dengan filosofi
dan budaya setiap daerah. Ada sekitar 30 motif batik bakaran yang perlu diselamatkan dari
kepunahan. Dari segi warna, motif batik tulis bakaran berciri khas, yaitu dominan hitam dan
coklat.

Kondisi batik bakaran kini memprihatinkan. Kondisi itu kian parah seiring dengan penurunan
jumlah perajin. Jumlah perajin pada era 1990 sebanyak 400-an orang, kini tinggal 70-an orang.
Itu pun hanya sebagai pekerjaan sambilan. Jadi, perlu ada regenerasi secara konsisten.

Penerimaan batik di masyarakat belum semasif mode pakaian lain. Hal itu menyebabkan
pengembangan batik lambat. Untuk menjadikan kain batik sebagai jati diri perlu inovasi terus-
menerus terhadap mode batik. Tidak ada salahnya merancang batik agar terlihat keren dan gaul.
Busana yang luwes dan mudah dipadupa-dankan dengan busana masa kini, seperti jins.

Ada beberapa langkah melestarikan batik bakaran. Pertama, mencanangkan penggunaan seragam
batik bakaran bagi para PNS sekali sepekan. Kedua, Dinas Perdagangan dan Perindustrian
membekali para perajin dengan berbagai ilmu perbatikan.

Ketiga, Pemkab Pati mulai membina intensif dan membantu dengan jaringan sistem pemasaran
modern. Keempat, pemkab dapat memfasilitasi dan mengupayakan untuk mengajukan hak paten
atas puluhan motif batik bakaran. Jangan sampai hak paten itu diambil alih negeri lain.

Motif bakaran dapat pula diterapkan ke atas keramik dan produk kerajinan kuningan khas Pati
untuk menguatkan batik tersebut sebagai identitas Pati. Sukawi Pengajar Arsitektur, Sekretaris
Prodi D3 Desain Arsitektur Undip
Directional Sign Traffic Light: Traffic Light:
Stop Sign Traffic Light
Continue Straig... Green Red
By: OCAL By: OCAL
By: OCAL By: OCAL By: OCAL

Sweden
Passo
Traffic Light: Yellow By: OCAL Svg Road Signs Svg Road Signs
Carrabile
By: OCAL By: OCAL By: OCAL
By: OCAL

One Way Sign


No U Turn By: OCAL Traffic Likely
Road Sign Svg Road Signs
By: OCAL Sign Road Signs
By: OCAL
By: OCAL By: OCAL

Slippery Road Intersecting Road


Stop Sign Stop Sign Train Road Signs
Sign Sign
By: OCAL By: OCAL By: OCAL
By: OCAL By: OCAL

Watch For Bicycles


Yield Sign Ped Xing Traffic Lights Ahead Sign
Stop Sign Sign
By: OCAL By: OCAL By: OCAL By: OCAL
By: OCAL
KLIPINK SEJARAH
BATIK BAKARAN

Nama : Tiya Widi Astuti


Kelas : X AK.I

SMK NASIONAL PATI


TAHUN AJARAN 2010/2011

You might also like