You are on page 1of 11

Teknologi Pengolahan Limbah B3

Definisi limbah B3 berdasarkan BAPEDAL (1995) ialah setiap bahan sisa (limbah) suatu kegiatan proses
produksi yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3) karena sifat (toxicity, flammability,
reactivity, dan corrosivity) serta konsentrasi atau jumlahnya yang baik secara langsung maupun tidak
langsung dapat merusak, mencemarkan lingkungan, atau membahayakan kesehatan manusia.

Berdasarkan sumbernya, limbah B3 dapat diklasifikasikan menjadi:


* Primary sludge, yaitu limbah yang berasal dari tangki sedimentasi pada pemisahan awal dan banyak
mengandung biomassa senyawa organik yang stabil dan mudah menguap
* Chemical sludge, yaitu limbah yang dihasilkan dari proses koagulasi dan flokulasi
* Excess activated sludge, yaitu limbah yang berasal dari proses pengolahan dengn lumpur aktif
sehingga banyak mengandung padatan organik berupa lumpur dari hasil proses tersebut
* Digested sludge, yaitu limbah yang berasal dari pengolahan biologi dengan digested aerobic
maupun anaerobic di mana padatan/lumpur yang dihasilkan cukup stabil dan banyak mengandung
padatan organik.

Limbah B3 dikarakterisasikan berdasarkan beberapa parameter yaitu total solids residue (TSR),
kandungan fixed residue (FR), kandungan volatile solids (VR), kadar air (sludge moisture content),
volume padatan, serta karakter atau sifat B3 (toksisitas, sifat korosif, sifat mudah terbakar, sifat
mudah meledak, beracun, serta sifat kimia dan kandungan senyawa kimia).

Contoh limbah B3 ialah logam berat seperti Al, Cr, Cd, Cu, Fe, Pb, Mn, Hg, dan Zn serta zat kimia
seperti pestisida, sianida, sulfida, fenol dan sebagainya. Cd dihasilkan dari lumpur dan limbah industri
kimia tertentu sedangkan Hg dihasilkan dari industri klor-alkali, industri cat, kegiatan pertambangan,
industri kertas, serta pembakaran bahan bakar fosil. Pb dihasilkan dari peleburan timah hitam dan
accu. Logam-logam berat pada umumnya bersifat racun sekalipun dalam konsentrasi rendah. Daftar
lengkap limbah B3 dapat dilihat di PP No. 85 Tahun 1999: Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan
Beracun (B3). Silakan klik link tersebut untuk daftar lengkap yang juga mencakup peraturan resmi dari
Pemerintah Indonesia.

Penanganan atau pengolahan limbah padat atau lumpur B3 pada dasarnya dapat dilaksanakan di
dalam unit kegiatan industri (on-site treatment) maupun oleh pihak ketiga (off-site treatment) di
pusat pengolahan limbah industri. Apabila pengolahan dilaksanakan secara on-site treatment, perlu
dipertimbangkan hal-hal berikut:
* jenis dan karakteristik limbah padat yang harus diketahui secara pasti agar teknologi pengolahan
dapat ditentukan dengan tepat; selain itu, antisipasi terhadap jenis limbah di masa mendatang
juga perlu dipertimbangkan
* jumlah limbah yang dihasilkan harus cukup memadai sehingga dapat menjustifikasi biaya yang akan
dikeluarkan dan perlu dipertimbangkan pula berapa jumlah limbah dalam waktu mendatang (1
hingga 2 tahun ke depan)
* pengolahan on-site memerlukan tenaga tetap (in-house staff) yang menangani proses pengolahan
sehingga perlu dipertimbangkan manajemen sumber daya manusianya
* peraturan yang berlaku dan antisipasi peraturan yang akan dikeluarkan Pemerintah di masa
mendatang agar teknologi yang dipilih tetap dapat memenuhi standar

Teknologi Pengolahan
Terdapat banyak metode pengolahan limbah B3 di industri, tiga metode yang paling populer di
antaranya ialah chemical conditioning, solidification/Stabilization, dan incineration.
1. Chemical Conditioning
Salah satu teknologi pengolahan limbah B3 ialah chemical conditioning. TUjuan utama dari
chemical conditioning ialah:
* menstabilkan senyawa-senyawa organik yang terkandung di dalam lumpur
* mereduksi volume dengan mengurangi kandungan air dalam lumpur
* mendestruksi organisme patogen
* memanfaatkan hasil samping proses chemical conditioning yang masih memiliki nilai ekonomi
seperti gas methane yang dihasilkan pada proses digestion
* mengkondisikan agar lumpur yang dilepas ke lingkungan dalam keadaan aman dan dapat
diterima lingkungan

Chemical conditioning terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut:

6. Concentration thickening
Tahapan ini bertujuan untuk mengurangi volume lumpur yang akan diolah dengan cara meningkatkan
kandungan padatan. Alat yang umumnya digunakan pada tahapan ini ialah gravity thickener dan solid
bowl centrifuge. Tahapan ini pada dasarnya merupakan tahapan awal sebelum limbah dikurangi
kadar airnya pada tahapan de-watering selanjutnya. Walaupun tidak sepopuler gravity thickener dan
centrifuge, beberapa unit pengolahan limbah menggunakan proses flotation pada tahapan awal ini.

7. Treatment, stabilization, and conditioning


Tahapan kedua ini bertujuan untuk menstabilkan senyawa organik dan menghancurkan patogen.
Proses stabilisasi dapat dilakukan melalui proses pengkondisian secara kimia, fisika, dan biologi.
Pengkondisian secara kimia berlangsung dengan adanya proses pembentukan ikatan bahan-bahan
kimia dengan partikel koloid. Pengkondisian secara fisika berlangsung dengan jalan memisahkan
bahan-bahan kimia dan koloid dengan cara pencucian dan destruksi. Pengkondisian secara biologi
berlangsung dengan adanya proses destruksi dengan bantuan enzim dan reaksi oksidasi. Proses-
proses yang terlibat pada tahapan ini ialah lagooning, anaerobic digestion, aerobic digestion, heat
treatment, polyelectrolite flocculation, chemical conditioning, dan elutriation.

8. De-watering and drying


De-watering and drying bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi kandungan air dan
sekaligus mengurangi volume lumpur. Proses yang terlibat pada tahapan ini umumnya ialah
pengeringan dan filtrasi. Alat yang biasa digunakan adalah drying bed, filter press, centrifuge, vacuum
filter, dan belt press.

9. Disposal
Disposal ialah proses pembuangan akhir limbah B3. Beberapa proses yang terjadi sebelum limbah B3
dibuang ialah pyrolysis, wet air oxidation, dan composting. Tempat pembuangan akhir limbah B3
umumnya ialah sanitary landfill, crop land, atau injection well.

1. Solidification/Stabilization
Di samping chemical conditiong, teknologi solidification/stabilization juga dapat diterapkan untuk
mengolah limbah B3. Secara umum stabilisasi dapat didefinisikan sebagai proses pencapuran limbah
dengan bahan tambahan (aditif) dengan tujuan menurunkan laju migrasi bahan pencemar dari limbah
serta untuk mengurangi toksisitas limbah tersebut. Sedangkan solidifikasi didefinisikan sebagai proses
pemadatan suatu bahan berbahaya dengan penambahan aditif. Kedua proses tersebut seringkali
terkait sehingga sering dianggap mempunyai arti yang sama. Proses solidifikasi/stabilisasi
berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 6 golongan, yaitu:

0. Macroencapsulation, yaitu proses dimana bahan berbahaya dalam limbah dibungkus dalam matriks
struktur yang besar

1. Microencapsulation, yaitu proses yang mirip macroencapsulation tetapi bahan pencemar


terbungkus secara fisik dalam struktur kristal pada tingkat mikroskopik

2. Precipitation

3. Adsorpsi, yaitu proses dimana bahan pencemar diikat secara elektrokimia pada bahan pemadat
melalui mekanisme adsorpsi.

4. Absorbsi, yaitu proses solidifikasi bahan pencemar dengan menyerapkannya ke bahan padat
5. Detoxification, yaitu proses mengubah suatu senyawa beracun menjadi senyawa lain yang tingkat
toksisitasnya lebih rendah atau bahkan hilang sama sekali

Teknologi solidikasi/stabilisasi umumnya menggunakan semen, kapur (CaOH2), dan bahan


termoplastik. Metoda yang diterapkan di lapangan ialah metoda in-drum mixing, in-situ mixing, dan
plant mixing. Peraturan mengenai solidifikasi/stabilitasi diatur oleh BAPEDAL berdasarkan Kep-
03/BAPEDAL/09/1995 dan Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

1. Incineration
Teknologi pembakaran (incineration ) adalah alternatif yang menarik dalam teknologi pengolahan
limbah. Insinerasi mengurangi volume dan massa limbah hingga sekitar 90% (volume) dan 75%
(berat). Teknologi ini sebenarnya bukan solusi final dari sistem pengolahan limbah padat karena pada
dasarnya hanya memindahkan limbah dari bentuk padat yang kasat mata ke bentuk gas yang tidak
kasat mata. Proses insinerasi menghasilkan energi dalam bentuk panas. Namun, insinerasi memiliki
beberapa kelebihan di mana sebagian besar dari komponen limbah B3 dapat dihancurkan dan limbah
berkurang dengan cepat. Selain itu, insinerasi memerlukan lahan yang relatif kecil.

Aspek penting dalam sistem insinerasi adalah nilai kandungan energi (heating value) limbah. Selain
menentukan kemampuan dalam mempertahankan berlangsungnya proses pembakaran, heating
value juga menentukan banyaknya energi yang dapat diperoleh dari sistem insinerasi. Jenis
insinerator yang paling umum diterapkan untuk membakar limbah padat B3 ialah rotary kiln, multiple
hearth, fluidized bed, open pit, single chamber, multiple chamber, aqueous waste injection, dan
starved air unit. Dari semua jenis insinerator tersebut, rotary kiln mempunyai kelebihan karena alat
tersebut dapat mengolah limbah padat, cair, dan gas secara simultan.

Penanganan Limbah B3

Hazardous Material Container

Limbah B3 harus ditangani dengan perlakuan khusus mengingat bahaya dan resiko yang mungkin
ditimbulkan apabila limbah ini menyebar ke lingkungan. Hal tersebut termasuk proses pengemasan,
penyimpanan, dan pengangkutannya. Pengemasan limbah B3 dilakukan sesuai dengan karakteristik
limbah yang bersangkutan. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa kemasan limbah B3 harus
memiliki kondisi yang baik, bebas dari karat dan kebocoran, serta harus dibuat dari bahan yang tidak
bereaksi dengan limbah yang disimpan di dalamnya. Untuk limbah yang mudah meledak, kemasan
harus dibuat rangkap di mana kemasan bagian dalam harus dapat menahan agar zat tidak bergerak
dan mampu menahan kenaikan tekanan dari dalam atau dari luar kemasan. Limbah yang bersifat self-
reactive dan peroksida organik juga memiliki persyaratan khusus dalam pengemasannya.
Pembantalan kemasan limbah jenis tersebut harus dibuat dari bahan yang tidak mudah terbakar dan
tidak mengalami penguraian (dekomposisi) saat berhubungan dengan limbah. Jumlah yang dikemas
pun terbatas sebesar maksimum 50 kg per kemasan sedangkan limbah yang memiliki aktivitas rendah
biasanya dapat dikemas hingga 400 kg per kemasan.

Limbah B3 yang diproduksi dari sebuah unit produksi dalam sebuah pabrik harus disimpan dengan
perlakuan khusus sebelum akhirnya diolah di unit pengolahan limbah. Penyimpanan harus dilakukan
dengan sistem blok dan tiap blok terdiri atas 2×2 kemasan. Limbah-limbah harus diletakkan dan harus
dihindari adanya kontak antara limbah yang tidak kompatibel. Bangunan penyimpan limbah harus
dibuat dengan lantai kedap air, tidak bergelombang, dan melandai ke arah bak penampung dengan
kemiringan maksimal 1%. Bangunan juga harus memiliki ventilasi yang baik, terlindung dari masuknya
air hujan, dibuat tanpa plafon, dan dilengkapi dengan sistem penangkal petir. Limbah yang bersifat
reaktif atau korosif memerlukan bangunan penyimpan yang memiliki konstruksi dinding yang mudah
dilepas untuk memudahkan keadaan darurat dan dibuat dari bahan konstruksi yang tahan api dan
korosi.

Mengenai pengangkutan limbah B3, Pemerintah Indonesia belum memiliki peraturan pengangkutan
limbah B3 hingga tahun 2002. Namun, kita dapat merujuk peraturan pengangkutan yang diterapkan
di Amerika Serikat. Peraturan tersebut terkait dengan hal pemberian label, analisa karakter limbah,
pengemasan khusus, dan sebagainya. Persyaratan yang harus dipenuhi kemasan di antaranya ialah
apabila terjadi kecelakaan dalam kondisi pengangkutan yang normal, tidak terjadi kebocoran limbah
ke lingkungan dalam jumlah yang berarti. Selain itu, kemasan harus memiliki kualitas yang cukup agar
efektivitas kemasan tidak berkurang selama pengangkutan. Limbah gas yang mudah terbagak harus
dilengkapi dengan head shields pada kemasannya sebagai pelindung dan tambahan pelindung panas
untuk mencegah kenaikan suhu yang cepat. Di Amerika juga diperlakukan rute pengangkutan khusus
selain juga adanya kewajiban kelengkapan Material Safety Data Sheets (MSDS) yang ada di setiap truk
dan di dinas pemadam kebarakan.

Secured Landfill. Faktor hidrogeologi, geologi lingkungan, topografi, dan faktor-faktor lainnya harus
diperhatikan agar secured landfill tidak merusak lingkungan. Pemantauan pasca-operasi harus terus
dilakukan untuk menjamin bahwa badan air tidak terkontaminasi oleh limbah B3.

Pembuangan Limbah B3 (Disposal)

Sebagian dari limbah B3 yang telah diolah atau tidak dapat diolah dengan teknologi yang tersedia
harus berakhir pada pembuangan (disposal). Tempat pembuangan akhir yang banyak digunakan
untuk limbah B3 ialah landfill (lahan urug) dan disposal well (sumur pembuangan). Di Indonesia,
peraturan secara rinci mengenai pembangunan lahan urug telah diatur oleh Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan (BAPEDAL) melalui Kep-04/BAPEDAL/09/1995.

Landfill untuk penimbunan limbah B3 diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: (1) secured landfill
double liner, (2) secured landfill single liner, dan (3) landfill clay liner dan masing-masing memiliki
ketentuan khusus sesuai dengan limbah B3 yang ditimbun.

Dimulai dari bawah, bagian dasar secured landfill terdiri atas tanah setempat, lapisan dasar, sistem
deteksi kebocoran, lapisan tanah penghalang, sistem pengumpulan dan pemindahan lindi (leachate),
dan lapisan pelindung. Untuk kasus tertentu, di atas dan/atau di bawah sistem pengumpulan dan
pemindahan lindi harus dilapisi geomembran. Sedangkan bagian penutup terdiri dari tanah penutup,
tanah tudung penghalang, tudung geomembran, pelapis tudung drainase, dan pelapis tanah untuk
tumbuhan dan vegetasi penutup. Secured landfill harus dilapisi sistem pemantauan kualitas air tanah
dan air pemukiman di sekitar lokasi agar mengetahui apakah secured landfill bocor atau tidak. Selain
itu, lokasi secured landfill tidak boleh dimanfaatkan agar tidak beresiko bagi manusia dan habitat di
sekitarnya.
Deep Injection Well. Pembuangan limbah B3 melalui metode ini masih mejadi kontroversi dan masih
diperlukan pengkajian yang komprehensif terhadap efek yang mungkin ditimbulkan. Data
menunjukkan bahwa pembuatan sumur injeksi di Amerika Serikat paling banyak dilakukan pada tahun
1965-1974 dan hampir tidak ada sumur baru yang dibangun setelah tahun 1980.

Sumur injeksi atau sumur dalam (deep well injection) digunakan di Amerika Serikat sebagai salah satu
tempat pembuangan limbah B3 cair (liquid hazardous wastes). Pembuangan limbah ke sumur dalam
merupakan suatu usaha membuang limbah B3 ke dalam formasi geologi yang berada jauh di bawah
permukaan bumi yang memiliki kemampuan mengikat limbah, sama halnya formasi tersebut memiliki
kemampuan menyimpan cadangan minyak dan gas bumi. Hal yang penting untuk diperhatikan dalam
pemilihan tempat ialah strktur dan kestabilan geologi serta hidrogeologi wilayah setempat.

Limbah B3 diinjeksikan se dalam suatu formasi berpori yang berada jauh di bawah lapisan yang
mengandung air tanah. Di antara lapisan tersebut harus terdapat lapisan impermeable seperti shale
atau tanah liat yang cukup tebal sehingga cairan limbah tidak dapat bermigrasi. Kedalaman sumur ini
sekitar 0,5 hingga 2 mil dari permukaan tanah.

Tidak semua jenis limbah B3 dapat dibuang dalam sumur injeksi karena beberapa jenis limbah dapat
mengakibatkan gangguan dan kerusakan pada sumur dan formasi penerima limbah. Hal tersebut
dapat dihindari dengan tidak memasukkan limbah yang dapat mengalami presipitasi, memiliki partikel
padatan, dapat membentuk emulsi, bersifat asam kuat atau basa kuat, bersifat aktif secara kimia, dan
memiliki densitas dan viskositas yang lebih rendah daripada cairan alami dalam formasi geologi.

Hingga saat ini di Indonesia belum ada ketentuan mengenai pembuangan limbah B3 ke sumur dalam
(deep injection well). Ketentuan yang ada mengenai hal ini ditetapkan oleh Amerika Serikat dan
dalam ketentuan itu disebutkah bahwa:
1. Dalam kurun waktu 10.000 tahun, limbah B3 tidak boleh bermigrasi secara vertikal keluar dari zona
injeksi atau secara lateral ke titik temu dengan sumber air tanah.
2. Sebelum limbah yang diinjeksikan bermigrasi dalam arah seperti disebutkan di atas, limbah telah
mengalami perubahan higga tidak lagi bersifat berbahaya dan beracun.

Referensi: Pengelolaan Limbah Industri – Prof. Tjandra Setiadi, Wikipedia, US EPA


Teknologi Pengolahan Air Limbah
By Wahyu Hidayat on 1 January 2008

Pembuangan air limbah baik yang bersumber dari kegiatan domestik (rumah tangga) maupun industri
ke badan air dapat menyebabkan pencemaran lingkungan apabila kualitas air limbah tidak memenuhi
baku mutu limbah. Sebagai contoh, mari kita lihat Kota Jakarta. Jakarta merupakan sebuah ibukota
yang amat padat sehingga letak septic tank, cubluk (balong), dan pembuangan sampah berdekatan
dengan sumber air tanah. Terdapat sebuah penelitian yang mengemukakan bahwa 285 sampel dari
636 titik sampel sumber air tanah telah tercemar oleh bakteri coli. Secara kimiawi, 75% dari sumber
tersebut tidak memenuhi baku mutu air minum yang parameternya dinilai dari unsur nitrat, nitrit,
besi, dan mangan.

Trickling filter. Sebuah trickling filter bed yang menggunakan plastic media.

Bagaimana dengan air limbah industri? Dalam kegiatan industri, air limbah akan mengandung zat-
zat/kontaminan yang dihasilkan dari sisa bahan baku, sisa pelarut atau bahan aditif, produk terbuang
atau gagal, pencucian dan pembilasan peralatan, blowdown beberapa peralatan seperti kettle boiler
dan sistem air pendingin, serta sanitary wastes. Agar dapat memenuhi baku mutu, industri harus
menerapkan prinsip pengendalin limbah secara cermat dan terpadu baik di dalam proses produksi (in-
pipe pollution prevention) dan setelah proses produksi (end-pipe pollution prevention). Pengendalian
dalam proses produksi bertujuan untuk meminimalkan volume limbah yang ditimbulkan, juga
konsentrasi dan toksisitas kontaminannya. Sedangkan pengendalian setelah proses produksi
dimaksudkan untuk menurunkan kadar bahan peencemar sehingga pada akhirnya air tersebut
memenuhi baku mutu yang sudah ditetapkan.

Parameter Konsentrasi (mg/L)


COD 100 – 300
BOD 50 – 150
Minyak nabati 5 – 10
Minyak mineral 10 – 50
Zat padat tersuspensi (TSS) 200 – 400
pH 6.0 – 9.0
Temperatur 38 – 40 [oC]
Ammonia bebas (NH3) 1.0 – 5.0
Nitrat (NO3-N) 20 – 30
Senyawa aktif biru metilen 5.0 – 10
Sulfida (H2S) 0.05 – 0.1
Fenol 0.5 – 1.0
Sianida (CN) 0.05 – 0.5

Batasan Air Limbah untuk Industri


Kepmen LH No. KEP-51/MENLH/10/1995
Namun walaupun begitu, masalah air limbah tidak sesederhana yang dibayangkan karena pengolahan
air limbah memerlukan biaya investasi yang besar dan biaya operasi yang tidak sedikit. Untuk itu,
pengolahan air limbah harus dilakukan dengan cermat, dimulai dari perencanaan yang teliti,
pelaksanaan pembangunan fasilitas instalasi pengolahan air limbah (IPAL) atau unit pengolahan
limbah (UPL) yang benar, serta pengoperasian yang cermat.

Dalam pengolahan air limbah itu sendiri, terdapat beberapa parameter kualitas yang digunakan.
Parameter kualitas air limbah dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu parameter organik,
karakteristik fisik, dan kontaminan spesifik. Parameter organik merupakan ukuran jumlah zat organik
yang terdapat dalam limbah. Parameter ini terdiri dari total organic carbon (TOC), chemical oxygen
demand (COD), biochemical oxygen demand (BOD), minyak dan lemak (O&G), dan total petrolum
hydrocarbons (TPH). Karakteristik fisik dalam air limbah dapat dilihat dari parameter total suspended
solids (TSS), pH, temperatur, warna, bau, dan potensial reduksi. Sedangkan kontaminan spesifik
dalam air limbah dapat berupa senyawa organik atau inorganik.
Teknologi Pengolahan Air Limbah

Tujuan utama pengolahan air limbah ialah untuk mengurai kandungan bahan pencemar di dalam air
terutama senyawa organik, padatan tersuspensi, mikroba patogen, dan senyawa organik yang tidak
dapat diuraikan oleh mikroorganisme yang terdapat di alam. Pengolahan air limbah tersebut dapat
dibagi menjadi 5 (lima) tahap:

1. Pengolahan Awal (Pretreatment)


Tahap pengolahan ini melibatkan proses fisik yang bertujuan untuk menghilangkan padatan
tersuspensi dan minyak dalam aliran air limbah. Beberapa proses pengolahan yang berlangsung pada
tahap ini ialah screen and grit removal, equalization and storage, serta oil separation.
2. Pengolahan Tahap Pertama (Primary Treatment)
Pada dasarnya, pengolahan tahap pertama ini masih memiliki tujuan yang sama dengan
pengolahan awal. Letak perbedaannya ialah pada proses yang berlangsung. Proses yang terjadi pada
pengolahan tahap pertama ialah neutralization, chemical addition and coagulation, flotation,
sedimentation, dan filtration.
3. Pengolahan Tahap Kedua (Secondary Treatment)
Pengolahan tahap kedua dirancang untuk menghilangkan zat-zat terlarut dari air limbah yang tidak
dapat dihilangkan dengan proses fisik biasa. Peralatan pengolahan yang umum digunakan pada
pengolahan tahap ini ialah activated sludge, anaerobic lagoon, tricking filter, aerated lagoon,
stabilization basin, rotating biological contactor, serta anaerobic contactor and filter.
4. Pengolahan Tahap Ketiga (Tertiary Treatment)
Proses-proses yang terlibat dalam pengolahan air limbah tahap ketiga ialah coagulation and
sedimentation, filtration, carbon adsorption, ion exchange, membrane separation, serta thickening
gravity or flotation.
5. Pengolahan Lumpur (Sludge Treatment)
Lumpur yang terbentuk sebagai hasil keempat tahap pengolahan sebelumnya kemudian diolah
kembali melalui proses digestion or wet combustion, pressure filtration, vacuum filtration,
centrifugation, lagooning or drying bed, incineration, atau landfill.

Pemilihan Teknologi
Pemilihan proses yang tepat didahului dengan mengelompokkan karakteristik kontaminan dalam air
limbah dengan menggunakan indikator parameter yang sudah ditampilkan di tabel di atas. Setelah
kontaminan dikarakterisasikan, diadakan pertimbangan secara detail mengenai aspek ekonomi, aspek
teknis, keamanan, kehandalan, dan kemudahan peoperasian. Pada akhirnya, teknologi yang dipilih
haruslah teknologi yang tepat guna sesuai dengan karakteristik limbah yang akan diolah. Setelah
pertimbangan-pertimbangan detail, perlu juga dilakukan studi kelayakan atau bahkan percobaan
skala laboratorium yang bertujuan untuk:

1. Memastikan bahwa teknologi yang dipilih terdiri dari proses-proses yang sesuai dengan
karakteristik limbah yang akan diolah.
2. Mengembangkan dan mengumpulkan data yang diperlukan untuk menentukan efisiensi
pengolahan yang diharapkan.
3. Menyediakan informasi teknik dan ekonomi yang diperlukan untuk penerapan skala sebenarnya.

Sedimentation. Sebuah primary sedimentation tank di sebuah unit pengolahan limbah domestik.
Sedimentation tank merupakan salah satu unit pengolahan limbah yang sangat umum digunakan.

Bottomline, perlu kita semua sadari bahwa limbah tetaplah limbah. Solusi terbaik dari pengolahan
limbah pada dasarnya ialah menghilangkan limbah itu sendiri. Produksi bersih (cleaner production)
yang bertujuan untuk mencegah, mengurangi, dan menghilangkan terbentuknya limbah langsung
pada sumbernya di seluruh bagian-bagian proses dapat dicapai dengan penerapan kebijaksanaan
pencegahan, penguasaan teknologi bersih, serta perubahan mendasar pada sikap dan perilaku
manajemen. Treatment versus Prevention? Mana yang menurut teman-teman lebih baik?? Saya yakin
kita semua tahu jawabannya. Reduce, recyle, and reuse.
Teknologi Pengolahan Sampah
By Michael Hutagalung on 30 December 2007 19 Comments Print this article Email this article

Pernah mendengaR PLTSa? Pembangkit Listrik Tenaga Sampah? Suatu isu yang sedang hangat
dibicarakan di Kota Bandung, sebuah kota besar di Indonesa yang beberapa waktu yang lalu pernah
heboh karena keberadaan sampah yang merayap bahkan hingga badan jalan-jalan utamanya.
Jangankan jalan utama, saat Anda memasuki Bandung menuju flyover Pasupati, Anda pasti akan
disambut dengan segunduk besar sampah yang hampir menutupi setengah badan jalan. Itu dulu.
Sekarang, Kota Bandung sudah kembali menjadi sedia kala dan solusi PLTSa-lah yang sedang
diperdebatkan.

Tujuan akhir dari sebuah PLTSa ialah untuk mengkonversi sampah menjadi energi. Pada dasarnya ada
dua alternatif proses pengolahan sampah menjadi energi, yaitu proses biologis yang menghasilkan
gas-bio dan proses thermal yang menghasilkan panas. PLTSa yang sedang diperdebatkan untuk
dibangun di Bandung menggunakan proses thermal sebagai proses konversinya. Pada kedua proses
tersebut, hasil proses dapat langsung dimanfaatkan untuk menggerakkan generator listrik. Perbedaan
mendasar di antara keduanya ialah proses biologis menghasilkan gas-bio yang kemudian dibarak
untuk menghasilkan tenaga yang akan menggerakkan motor yang dihubungkan dengan generator
listrik sedangkan proses thermal menghasilkan panas yang dapat digunakan untuk membangkitkan
steam yang kemudian digunakan untuk menggerakkan turbin uap yang dihubungkan dengan
generator listrik.

Proses Konversi Thermal

Proses konversi thermal dapat dicapai melalui beberapa cara, yaitu insinerasi, pirolisa, dan gasifikasi.
Insinerasi pada dasarnya ialah proses oksidasi bahan-bahan organik menjadi bahan anorganik.
Prosesnya sendiri merupakan reaksi oksidasi cepat antara bahan organik dengan oksigen. Apabila
berlangsung secara sempurna, kandungan bahan organik (H dan C) dalam sampah akan dikonversi
menjadi gas karbondioksida (CO2) dan uap air (H2O). Unsur-unsur penyusun sampah lainnya seperti
belerang (S) dan nitrogen (N) akan dioksidasi menjadi oksida-oksida dalam fasa gas (SOx, NOx) yang
terbawa di gas produk. Beberapa contoh insinerator ialah open burning, single chamber, open pit,
multiple chamber, starved air unit, rotary kiln, dan fluidized bed incinerator.

Incinerator. Sebuah ilustrasi bagian-bagian dalam sebuah incinerator.

Pirolisa merupakan proses konversi bahan organik padat melalui pemanasan tanpa kehadiran
oksigen. Dengan adanya proses pemanasan dengan temperatur tinggi, molekul-molekul organik yang
berukuran besar akan terurai menjadi molekul organik yang kecil dan lebih sederhana. Hasil pirolisa
dapat berupa tar, larutan asam asetat, methanol, padatan char, dan produk gas.

Gasifikasi merupakan proses konversi termokimia padatan organik menjadi gas. Gasifikasi melibatkan
proses perengkahan dan pembakaran tidak sempurna pada temperatur yang relatif tinggi (sekitar
900-1100 C). Seperti halnya pirolisa, proses gasifikasi menghasilkan gas yang dapat dibakar dengan
nilai kalor sekitar 4000 kJ/Nm3.
Incinerator

Proses Konversi Biologis

Proses konversi biologis dapat dicapai dengan cara digestion secara anaerobik (biogas) atau tanah
urug (landfill). Biogas adalah teknologi konversi biomassa (sampah) menjadi gas dengan bantuan
mikroba anaerob. Proses biogas menghasilkan gas yang kaya akan methane dan slurry. Gas methane
dapat digunakan untuk berbagai sistem pembangkitan energi sedangkan slurry dapat digunakan
sebagai kompos. Produk dari digester tersebut berupa gas methane yang dapat dibakar dengan nilai
kalor sekitar 6500 kJ/Nm3.

Modern Landfill

Modern Landfill. Konsep landfill seperti di atas ialah sebuah konsep landfill modern yang di dalamnya
terdapat suatu sistem pengolahan produk buangan yang baik.

Landfill ialah pengelolaan sampah dengan cara menimbunnya di dalam tanah. Di dalam lahan landfill,
limbah organik akan didekomposisi oleh mikroba dalam tanah menjadi senyawa-senyawa gas dan
cair. Senyawa-senyawa ini berinteraksi dengan air yang dikandung oleh limbah dan air hujan yang
masuk ke dalam tanah dan membentuk bahan cair yang disebut lindi (leachate). Jika landfill tidak
didesain dengan baik, leachate akan mencemari tanah dan masuk ke dalam badan-badan air di dalam
tanah. Karena itu, tanah di landfill harus mempunya permeabilitas yang rendah. Aktifias mikroba
dalam landfill menghasilkan gas CH4 dan CO2 (pada tahap awal – proses aerobik) dan menghasilkan
gas methane (pada proses anaerobiknya). Gas landfill tersebut mempunyai nilai kalor sekitar 450-540
Btu/scf. Sistem pengambilan gas hasil biasanya terdiri dari sejumlah sumur-sumur dalam pipa-pipa
yang dipasang lateral dan dihubungkan dengan pompa vakum sentral. Selain itu terdapat juga sistem
pengambilan gas dengan pompa desentralisasi.
Pemilihan Teknologi
Tujuan suatu sitem pemanfaatan sampah ialah dengan mengkonversi sampah tersebut menjadi
bahan yang berguna secara efisien dan ekonomis dengan dampak lingkungan yang minimal. Untuk
melakukan pemilihan alur konversi sampah diperlukan adanya informasi tentang karakter sampah,
karakter teknis teknologi konversi yang ada, karakter pasar dari produk pengolahan, implikasi
lingkungan dan sistem, persyaratan lingkungan, dan yang pasti: keekonomian.

Kembali ke Bandung. Kira-kira teknologi mana yang tepat sebagai solusi pengolahan sampah menjadi
bahan berguna? Apakah PLTSa sudah merupakan teknologi yang tepat??

You might also like