Professional Documents
Culture Documents
Juni Prananta
Direktur Eksekutif JINGKI institute (Making Applied Technology Work For Marginal People)
Alumnus Teknik Kimia Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
Kelapa dan sawit telah ditanam hampir di seluruh Indonesia dan luas arealnya
terus meningkat. Pada tahun 2004 luas areal perkebunan kelapa serta sawit baru
masing-masing adalah 3.334.000 Ha untuk kelapa dan 4.580.250 Ha untuk kelapa
sawit (Kompas, Juni 2007). Sejak tahun 1988 Indonesia menduduki urutan pertama
sebagai negara yang memiliki areal kebun kelapa terluas di dunia. Dari seluruh luas
areal perkebunan kelapa, sekitar 97,4 % dikelola oleh perkebunan rakyat yang
melibatkan sekitar 3,1 juta keluarga petani Sisanya sebanyak 2,1 % dikelola
perkebunan besar swasta dan 0,5 % dikelola perkebunan besar negara (Palungkun,
2001). Kabupaten Aceh Utara terkenal sebagai penghasil kelapa dan kelapa sawit
yang potensial di Provinsi NAD. Luas lahan dua hasil pertanian (kelapa dan kelapa
sawit) dari kedua kabupaten tersebut mencapai 110.000 Ha dengan total produksi
120.000 ton per tahun (BPS NAD, 2006).
Adanya potensi sumber daya alam yang sangat besar ini hendaknya dapat
dikembangkan dan dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa dan
sawit. Namun saat ini masih ada beberapa kendala yang menyebabkan pendapatan
petani masih rendah. Kendalanya adalah pengolahan lahan yang masih bersifat
tradisional dan kurangnya industri pengolahan hasil (industri hilir). Masalah di atas
menyebabkan petani tidak mempunyai alternatif lain untuk memasarkan kelapa serta
sawitnya dalam bentuk bahan baku (raw material).
Dengan adanya ilmu pengetahuan dan teknologi maka beberapa hasil samping
pertanian kelapa serta sawit seperti tempurung, sabut, serta cangkang sawit dapat
diolah menjadi produk yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, seperti arang
tempurung kelapa yang sangat potensial untuk diolah menjadi arang aktif. Dengan
2
meningkatnya produksi arang aktif yang menggunakan bahan dasar tempurung kelapa
maka akan mengakibatkan terjadinya pencemaran udara karena adanya penguraian
senyawa-senyawa kimia dari tempurung kelapa pada proses pirolisis. Pada proses
pirolisis juga dihasilkan asap cair, tar dan gas-gas yang tak terembunkan. Asap cair
yang merupakan hasil sampingan dari industri arang aktif tersebut mempunyai nilai
ekonomi yang tinggi jika dibandingkan dengan dibuang ke atmosfir. Asap cair
diperoleh dari pengembunan asap hasil penguraian senyawa-senyawa organik yang
terdapat dalam kayu sewaktu proses pirolisis.
Berbagai jenis kayu dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan asap
cair, seperti yang telah dilakukan oleh Tranggono dkk. (1996) dalam penelitiannya
yang memanfaatkan berbagai jenis kayu di Indonesia sebagai bahan dasar pembuatan
asap cair. Untuk mendapatkan asap yang baik sebaiknya menggunakan kayu keras
seperti kayu bakau, kayu rasamala, serbuk dan gergajian kayu jati serta tempurung
kelapa sehingga diperoleh produk asapan yang baik (Astuti, 2000).
Penggunaan asap cair terutama dikaitkan dengan sifat-sifat fungsional asap
cair, diantaranya adalah sebagai antioksidan, antibakteri, antijamur, dan potensinya
dalam pembentukan warna coklat pada produk. Asap cair dapat diaplikasikan pada
bahan pangan karena dapat berperan dalam pengawetan bahan pangan. Cara
pengawetan tradisional biasanya dilakukan dengan pengasapan. Beberapa teknik
pengasapan dapat dilakukan pada temperatur di atas 70 oC kemudian bahan diasap
langsung di atas sumber asap. Saat ini sedang dikembangkan metode pengawetan
yang lain yaitu menggunakan metode pengasapan asap cair dengan mencelupkan
bahan pada larutan asap atau menyemprotkan larutan asap pada bahan kemudian
produk dikeringkan (Girard, 1992)
Pengasapan telah lama dikenal sebagai salah satu tahapan dalam pengolahan
produk pangan. Tujuan semula dari pengasapan adalah menghambat laju kerusakan
produk. Namun dalam perkembangannya tujuan pengasapan tidak hanya itu, tetapi
lebih ditujukan untuk memperoleh kenampakan tertentu pada produk asapan dan
citarasa asap pada bahan makanan. Astuti (2000) mengemukakan bahwa penggunaan
asap cair lebih menguntungkan daripada menggunakan metode pengasapan lainnya
karena warna dan citarasa produk dapat dikendalikan, kemungkinan menghasilkan
3
produk karsinogen lebih kecil, proses pengasapan dapat dilakukan dengan cepat dan
bisa langsung ditambahkan pada bahan selama proses. Pengasapan diperkirakan akan
tetap bertahan pada masa yang akan datang karena efek yang unik dari citarasa dan
warna yang dihasilkan pada bahan pangan.
Tanaman kelapa (Cocos nucifera L) merupakan salah satu tanaman yang
termasuk dalam famili Palmae dan banyak tumbuh di daerah tropis, seperti di
Indonesia. Tanaman kelapa membutuhkan lingkungan hidup yang sesuai untuk
pertumbuhan dan produksinya. Faktor lingkungan itu adalah sinar matahari,
temperatur, curah hujan, kelembaban, dan tanah (Palungkun, 2001).
Kelapa
Kelapa dikenal sebagai tanaman yang serbaguna karena seluruh bagian
tanaman ini bermanfaat bagi kehidupan manusia serta mempunyai nilai ekonomis
yang cukup tinggi.
Salah satu bagian yang terpenting dari tanaman kelapa adalah buah kelapa.
Buah kelapa terdiri dari beberapa komponen yaitu kulit luar (epicarp), sabut
(mesocarp), tempurung kelapa (endocarp), daging buah (endosperm), dan air kelapa
(Palungkun, 2001). Adapun komposisi buah kelapa disajikan pada tabel 1.1 berikut.
Komponen-komponen penyusun buah kelapa disajikan pada gambar 2.1 berikut ini :
4
Keterangan Gambar :
1. Kulit luar (epicarp)
2. Sabut (mesocarp)
3. Tempurung (endocarp)
4. Daging buah (endosperm)
5. Air kelapa
Gambar 2.1 Penampang membujur buah kelapa
Tempurung Kelapa
Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang fungsinya secara
biologis adalah pelindung inti buah dan terletak di bagian sebelah dalam sabut dengan
ketebalan berkisar antara 3–6 mm. Tempurung kelapa dikategorikan sebagai kayu
keras tetapi mempunyai kadar lignin yang lebih tinggi dan kadar selulosa lebih
rendah dengan kadar air sekitar enam sampai sembilan persen (dihitung berdasarkan
berat kering) dan terutama tersusun dari lignin, selulosa dan hemiselulosa (Tilman,
1981).
Tabel 1.2 Komposisi kimia tempurung kelapa (Suhardiyono, 1988)
Komponen Persentase
Selulosa 26,6 %
Hemiselulosa 27,7 %
Lignin 29,4 %
Abu 0,6 %
Komponen ekstraktif 4,2 %
Uronat anhidrat 3,5 %
Nitrogen 0,1 %
Air 8,0 %
Apabila tempurung kelapa dibakar pada temperatur tinggi dalam ruangan
yang tidak berhubungan dengan udara maka akan terjadi rangkaian proses peruraian
penyusun tempurung kelapa tersebut dan akan menghasilkan arang selain destilat, tar
dan gas (Anonim, 1983). Destilat ini merupakan komponen yang sering disebut
sebagai asap cair.
5
Tempurung kelapa termasuk golongan kayu keras dengan kadar air sekitar
enam sampai sembilan persen (dihitung berdasar berat kering), dan terutama tersusun
dari lignin, selulosa dan hemiselulosa. Data komposisi kimia tempurung kelapa
disajikan pada tabel 1.2
Sabut kelapa
Sabut kelapa merupakan bagian yang cukup besar dari buah kelapa, yaitu 35 %
dari berat keseluruhan buah. Sabut kelapa terdiri dari serat dan gabus yang
menghubungkan satu serat dengan serat lainnya. Serat adalah bagian yang berharga
dari sabut. Setiap butir kelapa mengandung serat 525 gram (75 % dari sabut), dan
gabus 175 gram (25 % dari sabut).
Sawit
Kelapa sawit (Elleis Guinensis) merupakan salah satu sumber minyak nabati
yang penting di Indonesia. Kelapa sawit mengandung kurang lebih 80 % pericarp dan
20 % yang di lapisi dengan cangkang.
Hasil dari pada pengolahan kelapa sawit selanjutnya dapat digunakan dalam berbagai
bidang terutama industri makanan, kosmetik, sabun, cat, bahkan akhir-akhir ini
sedang di galakkan penggunaannya dari minyak kelapa sawit sebagai bahan baku
pembuatan bahan bakar alternative.
Kelapa sawit mengandung lebih kurang 67 % daging buah kelapa sawit
(brondolan), 23 % janjangan kosong (tandan), dan 10 % air (penguapan). Di dalam
daging diperoleh kadar minyak mentah (Crude Oil) sekitar 43 %, biji 11 %, dan
ampas 13 %, dalam biji mengandung inti sekitar 5 %, cangkang 5 %, dan air 1 %.
(Naibaho, 1996) Industri Kelapa sawit mulai dirintis di Indonesia oleh seorang
kebangsaan Belgia yang telah belajar banyak di afrika yang bernama Addrian Hallet
yang mengusahakan perkebunan kelapa sawit di Sungai Liput Aceh Tamiang dan di
Pulau raja (Asahan) pada tahun 1911. Dan ternyata industri kelapa sawit sangat
cocok untuk dikembangkan di Indonesia karena memiliki kawasan tropis yang luas
yang sesuai dengan kondisi alam yang cocok untuk tanaman kelapa sawit.
6
Komoditas kelapa sawit yang merupakan salah satu dari komoditas andalan
pada subsektor perkebunan yang menunjukkan perkembangan yang sangat pesat.
Sampai saat ini, kelapa sawit telah diusahakan dalam bentuk perkebunan dan pabrik
pengolahan kelapa sawit. Hasil utama dari pengolahan kelapa sawit yaitu Crude
Palm Oil (CPO), Palm Kernel Oil (PKO) dan Palm Kernel Meal (PKM).
Industri pengolahan kelapa sawit saat ini milliki prospek yang cerah untuk
masa depan seiring dengan tantangan industri masa depan yaitu penggunaan bahan
baku industri yang ramah lingkungan serta ketersediaan bahan baku dapat
diperbaharui (renewable). Hasil dari pada pengolahan kelapa sawit selanjutnya dapat
digunakan dalam berbagai bidang terutama industri makanan, kosmetik, sabun, cat,
bahkan akhir-akhir ini sedang digalakkan penggunaanya dari minyak kelapa sawit
sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar alternatif. Produksi minyak kelapa sawit
dan konsumsi minyak nabati menunjukkan peningkatan, sehingga untuk menghadapi
persaingan pasar bebas perlu dikaji dan dikembangkan kualitas dan kuantitas dari
minyak kelapa sawit.
Cangkang sawit
Cangkang merupakan bagian paling keras pada komponen yang terdapat pada
kelapa sawit. Saat ini pemanfaatan cangkang sawit di berbagai industri pengolahan
minyak CPO belum begitu maksimal. Ditinjau dari karakteristik bahan baku, jika
dibandingkan dengan tempurung kelapa, tempurung kelapa sawit memiliki banyak
kemiripan. Perbedaan yang mencolok yaitu pada kadar abu (ash content) yang
biasanya mempengaruhi kualitas produk yang dihasilkan oleh tempurung kelapa dan
tempurung kelapa sawit. Tabel 1.3
Parameter Hasil ( % )
Tempurung kelapa sawit dapat diolah menjadi beberapa produk yang bernilai
ekonomis tinggi, yaitu karbon aktif, fenol, asap cair, tepung tempurung dan briket
arang. Masing-masing produk akan dijelaskan dalam uraian berikut ini.
Asap Cair
Asap diartikan sebagai suatu suspensi partikel-partikel padat dan cair dalam
medium gas (Girard, 1992). Sedangkan asap cair menurut Darmadji (1997)
merupakan campuran larutan dari dispersi asap kayu dalam air yang dibuat dengan
mengkondensasikan asap hasil pirolisis kayu.
Cara yang paling umum digunakan untuk menghasilkan asap pada pengasapan
makanan adalah dengan membakar serbuk gergaji kayu keras dalam suatu tempat
yang disebut alat pembangkit asap (Draudt, 1963) kemudian asap tersebut dialirkan
ke rumah asap dalam kondisi sirkulasi udara dan temperatur yang terkontrol (Sink
dan Hsu, 1977). Produksi asap cair merupakan hasil pembakaran yang tidak
sempurna yang melibatkan reaksi dekomposisi karena pengaruh panas, polimerisasi,
dan kondensasi (Girard, 1992).
Penggunaan berbagai jenis kayu sebagai bahan bakar pengasapan telah
banyak dilaporkan. Pembuatan bandeng asap di daerah Sidoarjo, menggunakan
berbagai jenis kayu sebagai bahan bakar seperti kayu bakau, serbuk gergaji kayu jati,
ampas tebu dan kayu bekas kotak kemasan (Tranggono dkk, 1997).
Namun untuk menghasilkan asap yang baik pada waktu pembakaran
sebaiknya menggunakan jenis kayu keras seperti kayu bakau, rasa mala, serbuk dan
serutan kayu jati serta tempurung kelapa, sehingga diperoleh ikan asap yang baik
8
(Tranggono dkk, 1997). Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu keras akan
berbeda komposisinya dengan asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu lunak.
Pada umumnya kayu keras akan menghasilkan aroma yang lebih unggul, lebih kaya
kandungan aromatik dan lebih banyak mengandung senyawa asam dibandingkan
kayu lunak (Girard, 1992).
Asap memiliki kemampuan untuk mengawetkan bahan makanan karena
adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil. Seperti yang dilaporkan Darmadji dkk
(1996) yang menyatakan bahwa pirolisis tempurung kelapa menghasilkan asap cair
dengan kandungan senyawa fenol sebesar 4,13 %, karbonil 11,3 % dan asam 10,2 %.
Aplikasi asap cair dalam pengolahan RSS dengan skala pabrik dapat berfungsi
sebagai pembeku dan pengawet dalam pengolahan RSS. Pembekuan sempurna terjadi
dalam waktu 5 menit, dan pengeringan sit hanya memerlukan waktu selama 36 jam
dan menghemat kayu bakar sebanyak 2,45 m3 per ton karet kering dibandingkan
dengan pengolahan RSS secara normal. Hal ini akan banyak mengurangi pencemaran
udara akibat pembakaran kayu, biaya pengolahan lebih efisien dan proses pengolahan
lebih cepat dari 5-6 hari menjadi 2 hari. Mutu spesifikasi teknis, karakteristik
vulkanisasi dan sifat fisik vulkanisat dari karet RSS yang dibekukan dan diawetkan
dengan asap cair adalah setara dengan yang diproses secara konvensional.
Di Amerika serikat, pengolah daging menggunakan asap cair yang telah
mengalami pengendapan dan penyaringan untuk memisahkan senyawa tar. Pasar
internasional untuk produk asap cair ini meliputi Amerika, Eropa, Afrika, Australia,
dan Amerika Selatan. Asap cair ini telah diaplikasikan pada pengawetan daging,
termasuk daging unggas, kudapan dari daging, ikan salmon dan kudapan lainnya.
Asap cair juga digunakan untuk menambah citarasa pada saus, sup, sayuran dalam
kaleng, bumbu, rempah-rempah dan lain-lain (Tranggono dkk, 1997).
tersebut ditemukan dalam jumlah yang bervariasi tergantung jenis kayu, umur
tanaman sumber kayu, dan kondisi pertumbuhan kayu seperti iklim dan tanah.
Komponen-komponen tersebut meliputi asam yang dapat mempengaruhi citarasa, pH
dan umur simpan produk asapan; karbonil yang bereaksi dengan protein dan
membentuk pewarnaan coklat dan fenol yang merupakan pembentuk utama aroma
dan menunjukkan aktivitas antioksidan (Astuti, 2000).
Selain itu Fatimah (1998) menyatakan golongan-golongan senyawa penyusun
asap cair adalah air (11-92 %), fenol (0,2-2,9 %), asam (2,8-9,5 %), karbonil (2,6-4,0
%) dan tar (1-7 %). Kandungan senyawa-senyawa penyusun asap cair sangat
menentukan sifat organoleptik asap cair serta menentukan kualitas produk
pengasapan. Komposisi dan sifat organoleptik asap cair sangat tergantung pada sifat
kayu, temperatur pirolisis, jumlah oksigen, kelembaban kayu, ukuran partikel kayu
serta alat pembuatan asap cair (Girard, 1992).
Diketahui pula bahwa temperatur pembuatan asap merupakan faktor yang
paling menentukan kualitas asap yang dihasilkan. Darmadji dkk (1999) menyatakan
bahwa kandungan maksimum senyawa-senyawa fenol, karbonil, dan asam dicapai
pada temperatur pirolisis 600 oC. Tetapi produk yang diberikan asap cair yang
dihasilkan pada temperatur 400 oC dinilai mempunyai kualitas organoleptik yang
terbaik dibandingkan dengan asap cair yang dihasilkan pada temperatur pirolisis yang
lebih tinggi. Adapun komponen-komponen penyusun asap cair meliputi:
Senyawa-senyawa fenol
Senyawa fenol diduga berperan sebagai antioksidan sehingga dapat
memperpanjang masa simpan produk asapan.
Kandungan senyawa fenol dalam asap sangat tergantung pada temperatur
pirolisis kayu. Menurut Girard (1992), kuantitas fenol pada kayu sangat bervariasi
yaitu antara 10-200 mg/kg Beberapa jenis fenol yang biasanya terdapat dalam produk
asapan adalah guaiakol, dan siringol.
Senyawa-senyawa fenol yang terdapat dalam asap kayu umumnya
hidrokarbon aromatik yang tersusun dari cincin benzena dengan sejumlah gugus
10
hidroksil yang terikat. Senyawa-senyawa fenol ini juga dapat mengikat gugus-gugus
lain seperti aldehid, keton, asam dan ester (Maga, 1987).
OCH3
HO HO
H3CO H3CO
Guaiakol Siringol
Senyawa-senyawa karbonil
Senyawa-senyawa karbonil dalam asap memiliki peranan pada pewarnaan dan
citarasa produk asapan. Golongan senyawa ini mepunyai aroma seperti aroma
karamel yang unik. Jenis senyawa karbonil yang terdapat dalam asap cair antara lain
adalah vanilin dan siringaldehida.
OCH3
HO HO
O O
C C
H3CO H3CO
H H
Vanilin Siringaldehida
Senyawa-senyawa asam
Senyawa-senyawa asam mempunyai peranan sebagai antibakteri dan
membentuk cita rasa produk asapan. Senyawa asam ini antara lain adalah asam asetat,
propionat, butirat dan valerat.
11
Senyawa benzo(a)pirena
Benzo(a)pirena mempunyai titik didih 310 oC dan dapat menyebabkan kanker
kulit jika dioleskan langsung pada permukaan kulit. Akan tetapi proses yang terjadi
memerlukan waktu yang lama (Winaprilani, 2003).
semakin baik, tar dan fraksi minyak berat dapat dipisahkan sehingga produk asapan
yang dihasilkan mendekati bebas HPA (Pszczola dalam Astuti, 2000).
2. Aktivitas Antioksidan
Adanya senyawa fenol dalam asap cair memberikan sifat antioksidan terhadap
fraksi minyak dalam produk asapan. Dimana senyawa fenolat ini dapat berperan
sebagai donor hidrogen dan efektif dalam jumlah sangat kecil untuk menghambat
autooksidasi lemak (Astuti, 2000).
3. Aktivitas Antibakterial
Peran bakteriostatik dari asap cair semula hanya disebabkan karena adanya
formaldehid saja tetapi aktivitas dari senyawa ini saja tidak cukup sebagai penyebab
semua efek yang diamati. Kombinasi antara komponen fungsional fenol dan asam-
asam organik yang bekerja secara sinergis mencegah dan mengontrol pertumbuhan
mikrobia (Pszczola dalam Astuti, 2000). Adanya fenol dengan titik didih tinggi dalam
asap juga merupakan zat antibakteri yang tinggi (Astuti, 2000).
1. Industri pangan
Asap cair ini mempunyai kegunaan yang sangat besar sebagai pemberi rasa
dan aroma yang spesifik juga sebagai pengawet karena sifat antimikrobia dan
antioksidannya. Dengan tersedianya asap cair maka proses pengasapan tradisional
dengan menggunakan asap secara langsung yang mengandung banyak kelemahan
seperti pencemaran lingkungan, proses tidak dapat dikendalikan, kualitas yang tidak
konsisten serta timbulnya bahaya kebakaran, yang semuanya tersebut dapat dihindari.
2. Industri perkebunan
Asap cair dapt digunakan sebagai koagulan lateks dengan sifat fungsional
asap cair seperti antijamur, antibakteri dan antioksidan tersebut dapat memperbaiki
kualitas produk karet yang dihasilkan.
3. Industri kayu
Kayu yang diolesi dengan asap cair mempunyai ketahanan terhadap serangan
rayap daripada kayu yang tanpa diolesi asap cair (Darmadji, 1999)
dan tekanan. Cara kerjanya sama dengan proses pirolisis. Bedanya kalo pada proses
pirolisis sampel berupa tempurung kelapa, tapi pada proses distilasi ini sampel adalah
asap cair yang masih mengandung tar dan suhu pada distilasi sekitar 1500C. Asap
cair ini memiliki ciri yaitu berwarna coklat pekat, bau tajam. Asap cair ini
diorentasikan untuk pengawetan karet.
tanpa berhubungan langsung dengan udara luar dengan suhu 400 – 6000C. Proses
tersebut menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu padat, gas dan cairan. Komposisi
cairan di dalam proses pirolisis ini tersebut adalah asap cair.
Sampel dimasukkan ke dalam reaktor pirolisis dan ditutup rapat. Reaktor
kemudian dipanaskan selama 5 jam. Destilat yang keluar dari reaktor ditampung
15
dalam dua wadah. Wadah pertama untuk menampung fraksi berat, sedangkan wadah
kedua untuk menampung fraksi ringan. Fraksi ringan ini diperoleh setelah dilewatkan
tungku pendingin yang dilengkapi pipa berbentuk spiral. Hasil pirolisis berupa asap
cair, gas-gas seperti metan dan tempurung kelapa yang bisa dijadikan briket, bila
dilanjutkan ke tahap kerja selanjutnya bisa menjadi arang aktif. Namun, asap cair ini
belum bisa digunakan, karena dimungkinkan masih mengandung banyak tar
(senyawa hidrokarbon polisiklis aromatis (PAH) yang ada seperti benzo (a) pirena
bersifat karsinogenik). Jadi perlu pemurnian lebih lanjut. Pirolisis tempurung kelapa
menghasilkan asap cair dengan kandungan senyawa fenol 4,13 persen, karbonil 11,3
persen dan asam 10,2 persen
Pirolisis
Pirolisis adalah proses pemanasan suatu zat tanpa adanya oksigen sehingga
terjadi penguraian komponen-komponen penyusun kayu keras. Istilah lain dari
pirolisis adalah penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik yang
disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa berhubungan dengan udara luar. Hal
tersebut mengandung pengertian bahwa apabila tempurung dan cangkang dipanaskan
tanpa berhubungan dengan udara dan diberi suhu yang cukup tinggi, maka akan
terjadi reaksi penguraian dari senyawa-senyawa kompleks yang menyusun kayu keras
dan menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu padatan, cairan dan gas (Widjaya,
1982).
Pembakaran tidak sempurna pada tempurung kelapa, sabut, serta cangkang
sawit menyebabkan senyawa karbon kompleks tidak teroksidasi menjadi karbon
dioksida dan peristiwa tersebut disebut sebagai pirolisis. Pada saat pirolisis, energi
panas mendorong terjadinya oksidasi sehingga molekul karbon yang kompleks
terurai, sebagian besar menjadi karbon atau arang. Istilah lain dari pirolisis adalah
“destructive distillation” atau destilasi kering, dimana merupakan proses penguraian
yang tidak teratur dari bahan-bahan organik yang disebabkan oleh adanya pemanasan
tanpa berhubungan dengan udara luar. Hal tersebut mengandung pengertian bahwa
apabila tempurung dipanaskan tanpa berhubungan dengan udara dan diberi suhu yang
cukup tinggi maka akan terjadi rangkaian reaksi penguraian dari senyawa-senyawa
16
kompleks yang menyusun tempurung dan menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu
padatan, cairan dan gas (Anonim, 1983).
Tempurung kelapa dan kayu keras memiliki komponen-komponen yang
hampir sama. Kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin dalam kayu berbeda-beda
tergantung dari jenis kayu. Pada umumnya kayu mengandung dua bagian selulosa,
satu bagian hemiselulosa serta satu bagian lignin. Girard (1992) menyatakan bahwa
produk dekomposisi termal yang dihasilkan melalui reaksi pirolisis komponen-
komponen kayu adalah sebanding dengan jumlah komponen-komponen tersebut
dalam kayu.
Salah satu cara untuk meningkatkan efektivitas pengasapan yaitu dengan
menggunakan asap cair yang diperoleh dengan cara pirolisis kayu atau serbuk kayu
kemudian dilakukan kondensasi. Menurut Maga (1987) asap cair merupakan suatu
campuran larutan dan dispersi koloid dari asap kayu dalam air yang dapat diperoleh
dari hasil pirolisis kayu. Asap cair merupakan campuran larutan dari dispersi asap
kayu dengan mengkondensasikan asap cair hasil pirolisis kayu yang merupakan
proses dekomposisi dari komponen-komponen penyusun kayu seperti lignin, selulosa
dan hemiselulosa akibat panas tanpa adanya oksigen (Tahir, 1992).
Menurut Tahir (1992), pada proses pirolisis dihasilkan tiga macam
penggolongan produk yaitu :
1. Gas-gas yang dikeluarkan pada proses karbonisasi ini sebagian besar berupa gas
CO2 dan sebagian lagi berupa gas-gas yang mudah terbakar seperti CO, CH 4, H2
dan hidrokarbon tingkat rendah lain. Komposisi rata-rata dari total gas yang
dihasilkan pada proses karbonisasi kayu disajikan pada tabel 1.4.
17
Tabel 1.4 Komposisi rata-rata dari total gas yang dihasilkan pada proses karbonisasi
kayu
No Komponen gas Persentase (%)
Karbondioksida 50,77
Karbonmonoksida 27,88
Metana 11,36
Hidrogen 4,21
Etana 3,09
Hidrokarbon tak jenuh 2,72
(Panshin, 1950)
3. Residu (karbon).
Tempurung kelapa dan kayu mempunyai komponen-komponen yang hampir
sama. Kandungan selulosa, hemiselulosa dan lignin dalam kayu berbeda-beda
tergantung dari jenis kayu. Pada umumnya kayu mengandung dua bagian selulosa
dan satu bagian hemiselulosa, serta satu bagian lignin. Adapun pada proses pirolisis
terjadi dekomposisi senyawa-senyawa penyusunnya, yaitu :
Pirolisis selulosa
Selulosa adalah makromolekul yang dihasilkan dari kondensasi linear struktur
heterosiklis molekul glukosa. Selulosa terdiri dari 100-1000 unit glukosa (Fengel dan
Wegener, 1995). Selulosa terdekomposisi pada temperatur 280 oC dan berakhir pada
300-350 oC. Girard (1992), menyatakan bahwa pirolisis selulosa berlangsung dalam
dua tahap, yaitu :
1. Tahap pertama adalah reaksi hidrolisis menghasilkan glukosa.
2. Tahap kedua merupakan reaksi yang menghasilkan asam asetat dan homolognya,
bersama-sama air dan sejumlah kecil furan dan fenol
18
Pirolisis hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan polimer dari beberapa monosakarida seperti
pentosan (C5H8O4) dan heksosan (C6H10O5). Pirolisis pentosan menghasilkan furfural,
furan dan derivatnya beserta satu seri panjang asam-asam karboksilat. Pirolisis
heksosan terutama menghasilkan asam asetat dan homolognya. Hemiselulosa akan
terdekomposisi pada temperatur 200-250 oC.
Pirolisis lignin
Lignin merupakan sebuah polimer kompleks yang mempunyai berat molekul
tinggi dan tersusun atas unit-unit fenil propana. Senyawa-senyawa yang diperoleh
dari pirolisis struktur dasar lignin berperanan penting dalam memberikan aroma asap
produk asapan. Senyawa ini adalah fenol, eter fenol seperti guaiakol, siringol dan
homolog serta derivatnya (Girard,1992). Lignin mulai mengalami dekomposisi pada
temperatur 300-350 oC dan berakhir pada 400-450 oC.
Konduksi adalah perpindahan panas antara dua substansi dari substansi yang
bersuhu tinggi, panas berpindah ke substansi yang bersuhu rendah dengan adanya
kontak kedua substansi secara langsung. Sementara konveksi (perpindahan cairan
yang diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu) terjadi diakibatkan adanya ekspansi
termal dan konduksi. Expansi termal adalah sifat dari substansi yang bertemperatur
tinggi dimana partikel-partikel substansi tersebut volumennya meluas/membesar
akibat panas. Maka akibatnya berat jenis partikel itu berkurang.
Karena berkurangnya berat jenis partikel, maka partikel itu akan terdorong ke atas
(dalam hal ini udara panas) , sedangkan udara dingin yang ada di atasnya akan turun
menggantikannya. Pengangkatan senyawa pembentuk asap cair yang disebabkan oleh
penguraian thermal oleh peristiwa pirolisis merupakan ekspansi yang terjadi pada
proses ini, sementara perpindahan panas dilakukan secara konduksi.
19
Evaporasi
Kondensasi
udara. Kondensasi yang terjadi pada proses pembuatan asap cair adalah pengembunan
asap hasil perolisa menjadi cairan bersenyawa kompleks
Distilasi
Distilasi merupakan proses pemisahan komponen dalam campuran
berdasarkan perbedaan titik didihnya, atau pemisahan campuran berbentuk cairan atas
komponennya dengan proses penguapan dan pengembunan sehingga diperoleh
destilat dengan komponen-komponen yang hampir murni.
Distilasi adalah suatu proses pemisahan suatu komponen dari suatu campuran
dengan menggunakan dasar bahwa beberapa komponen dapat menguap lebih cepat
daripada komponen yang lainnya. Ketika uap diproduksi dari campuran, uap tersebut
lebih banyak berisi komponen-komponen yang bersifat lebih volatil, sehingga proses
pemisahan komponen-komponen dari campuran dapat terjadi (Earle dalam Astuti,
2000). Distilasi sederhana dilakukan secara bertahap, sejumlah campuran
dimasukkan ke dalam sebuah bejana, dipanaskan bertahap dan dipertahankan selalu
berada dalam tahap pendidihan kemudian uap yang terbentuk dikondensasikan dan
ditampung dalam labu erlenmeyer.
Produk distilat yang prtama kali tertampung mempunyai kadar komponen
yang lebih ringan dibandingkan destilat yang lain. Komponen-komponen dominan
yang mendukung sifat-sifat fungsional dari asap cair adalah senyawa fenolat, karbonil
dan asam. Titik didih dari komponen-komponen pendukung sifat fungsional asap cair
dapat dilihat pada tabel 1.5
Tabel 1.5 Titik didih senyawa pendukung sifat fungsional asap cair
Senyawa Titik didih (0C, 760 mmHg)
21
Fenol
Guaikol 205
4- metilguaikol 211
Eugenol 244
Siringol 267
Furfural 162
Pirokatekol 240
Hidrokuinon 285
Isoeugenol 266
Karbonil
- Glioksal 51
- Metilglioksal 72
- Glikoaldehid 97*
- Diasetil 88
- Formaldehid -21
Asam
- Asam asetat 118
- Asam butirat 162
- Asam propionat 141
- Asam Isovalerat 176
Sumber : Buckingham dalam Astuti (2000)
Keterangan : *adalah titik leleh
Adsorbsi
kimia. Penyerapan senyawa kompleks pada asap cair yang berfungsi terhadap
pengawetan merupakan peristiwa adsorbsi yang terjadi dalam penelitian ini
Tabel 1.6. Nilai rata-rata hasil pirolisis 2000 g tempurung kelapa selama + 2 jam
Suhu pirolisis (0 C) Hasil pirolisis
Variasi Arang (g) Cairan (mL) Warna
23
Tabel 4.2. Nilai rata-rata hasil pirolisis 2000 g Cangkang sawit selama + 2 jam
Suhu pirolisis (0 C) Hasil pirolisis
Variasi Arang (g) Cairan (mL) Warna
250 618,2 572 Coklat kehitaman
300 506,0 632 Coklat pekat
350 481,0 664 Coklat
400 452,8 682 Coklat muda
Tabel 4.3. Nilai rata-rata hasil pirolisis 2000 g sabut kelapa selama + 2 jam
Suhu pirolisis (0 C) Hasil pirolisis
Variasi Arang (g) Cairan (mL) Warna
250 441,0 632 Hitam
300 400,5 685 Coklat kehitaman
350 385,4 712 Coklat tua
400 366,3 755 Coklat
Berdasarkan 3 tabel diatas dapat dilihat bahwa pirolisis dengan empat tingkat
temperatur pirolisis yang berbeda menghasilkan arang, cairan dan gas dalam jumlah
yang berbeda pula.
a. Arang
Proses pembuatan asap cair ini menghasilkan arang sebagai bahan sisa
pirolisis. Grafik yang memperlihatkan hubungan temperatur pirolisis dengan
rendemen arang dapat dilihat pada gambar 4.1.
24
700
600
Hasil Rendemen Arang
500
400
(Gr)
300
tempurung kelapa
200 cangkang sawit
sabut kelapa
100
0
250 300 350 400
Suhu Perolisis
(C)
Pada gambar 4.1 terlihat penurunan rendemen arang dari temperatur 250-
400oC. Arang yang dihasilkan beratnya semakin berkurang dengan naiknya
temperatur pirolisis, ini disebabkan semakin berkurangnya komponen-komponen
organik yang terdapat dalam tempurung tersebut. Rendemen arang cangkang sawit
dinyatakan lebih tinggi dari pada rendemen arang yang dihasilkan dari perolisis
tempurung dan sabut kelapa. Ini disebabkan oleh karena kandungan lignin pada
cangkang sawit lebih tinggi dari dua sampel lainnya, sehingga pada proses
penguraian lignin pada saat peristiwa perolisa terjadi lebih kecil dibanding tempurung
dan sabut kelapa.
b. Cairan
Cairan yang dihasilkan pada pirolisis ini terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan
atas adalah asap cair sedangkan lapisan bawah adalah tar. Hasil ditampilkan dalam
grafik pada gambar 4.2.
25
Dari grafik pada gambar 4.2 terlihat bahwa hasil destilat meningkat dengan
naiknya temperatur pirolisis.
800
700
Hasil rendemen asap cair
600
Tempurung kelapa
500 Cangkang saw it
Sabut kelapa
(ml)
400
300
200
100
0
250 300 350 400
Suhu perolisis
(C)
oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linear senyawa tar dan hidrokarbon
polisiklis aromatis.
Efektivitas pengawetan
asap cair yang telah dihasilkan dan kemudian dilakukan uji pengawetan
terhadap ikan dan didapatkan hasil pengujian pengawetan sebagai berikut :
1. Pada hari 1 setelah proses perendaman ikan terlihat masih segar, namun pada
pengujian menggunakan asap cair dari sabut kelapa dengan suhu perolisis 400
0
C, bau asap cair sangat terasa. Hal ini dikarenakan tingginya kadar senyawa
hidrokarbon polisiklis aromatis (HPA) yang terbentuk pada perolisis sabut
kelapa menurut girard, 1992 senyawa hidrokarbon aromatik seperti
benzo(a)pirena merupakan senyawa yang memiliki pengaruh buruk karena
bersifat karsinogen.
2. Pada hari ke dua dan ke tiga tidak tampak perubahan pada ikan (sama seperti
pada hari 1) sehingga dapat disimpulkan bahwa hari 2 dan 3 proses
pengawetan berjalan dengan baik
3. Pada hari ke empat warna ikan mulai berubah menjadi kekuningan, hal ini
disebabkan karena sifat fungsional asap cair yaitu sebagai pembentuk warna
cokelat (Ruiter,1979)
4. Pada hari ke lima perut ikan mulai pecah (tekstur tubuh memburuk) hal ini
mungkin diakibatkan oleh aktivitas bakterial yang mulai meningkat karena
pengaruh air yang terkandung pada ikan sehingga sifat anti bakterial pada
asap cair tidak mampu lagi menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan
5. Pada hari ke enam, ikan mulai berbau busuk, warna ikan cokelat dan tekstur
tubuh (daging) ikan telah pecah
6. Perbandingan pengawetan ikan yang tanpa menggunakan asap cair, dan hanya
menggunakan es pada awal perlakuan, hanya tahan selama dua hari, pada hari
ketiga ikan tersebut telah membusuk.
Laju pembusukan pada ikan dengan perbandingan antara asap cair tempurung
kelapa, cangkang sawit, sabut kelapa serta tanpa penambahan asap cair dapat
dilihat pada gambar 4.3 dibawah ini.
27
120
laju pembusukan (%)
100
80
60
Tempurung kelapa
40 Cangkang saw it
Sabut kelapa
20
tanpa asap cair
0
1 2 3 4 5 6
w aktu pengujian (hari)
Kesimpulan
Dari penelitian mengenai asap cair hasil pirolisis tempurung kelapa dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Rendemen asap cair optimum dihasilkan pada temperatur pirolisis 400 oC yaitu
rata-rata sebesar 719 ml
2. asap cair yang dihasilkan dari sabut kelapa butuh perlakuan lanjutan karena
dinilai mengandung kadar benzo(a)pirena yang bersifat racun lebih tinggi
sehingga asap cair sabut kelapa ini disimpulkan belum layak digunakan pada
makanan
3. efektivitas pengawetan pada rata-rata asap cair adalah lima (5) hari dengan
perlakuan penambahan es sebagai penguat struktur hanya pada awal perlakuan
Saran
1. Perlu dilakukan teknik pemisahan yang lebih baik untuk memisahkan asap cair
dengan tar hasil pirolisis bahan biomassa lainnya.
1. Perlu dilakukan identifikasi senyawa yang terdapat dalam asap cair hasil destilasi.
28
2. Perlu dilakukan pemisahan asap cair dengan menggunakan metode destilasi yang
lain untuk memperoleh asap cair dengan sifat-sifat fungsional yang spesifik.
3. Perlu dilakukan penelitian pemanfaatan asap cair hasil destilasi, karena adanya
variasi warna dan aroma yang berbeda.
Daftar Pustaka
Anonim, 1980, Handbook of Phsycal Chemistry, John Willey & Sons, New York.
Anonim, 1983, Prototype Alat Pembuatan Arang Aktif dan Asap Cair Tempurung,
Badan Penelitian dan Pengembangan Industri, Departemen Perindustrian.
Daun, H., 1979, Interaction of Wood Smoke Components and foods, Foods Tech., 33
(5) : 67 – 71.
Girrard, J.P., 1992. Technology of Meat and Meat Products, Ellis Horwood, New
York.
Heyne, K., 1983, Tumbuhan berguna Indonesia, Jilid I, Yayasan Wana Jaya, Jakarta.
Hobart, H.W., 1988, Instrumental Methods of Analysis, 7th ed, Wadswort Publishing
Company, California.
Ketaren, S., 1986, Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan, UI-Press,
Jakarta.
Kopkhar, SM, 1990, Konsep Dasar Kimia Analitik, Penerbit UI Press, Jakarta.
Maga, J.A. 1987, Smoke in Food Processing, CRC Press, Inc., Boca Raton, Florida.
Palungkun, R., 2003, Aneka Produk Olahan Kelapa, Cetakan ke Sembilan, Penebar
Swadaya, Jakarta.
Panshin, A.J., 1950, Forest Product, Their Sources, Production and Utilization,
McGraw Hill Inc., 46-51, 251-253, 263-266..
Pszczola, D.E., 1995, Tour Highlight Production and Uses of Smoke Based Flavors,
Food Tech, 49 (1) : 70 – 74.
29
Ruswanto, Darmadji, P. dan Raharjo, S., 2000, Potensi Pencoklatan Asap Cair dari
Kayu Karet Hasil Reaksi dengan Beberapa Asam Amino, Seminar Nasional
Industri Pangan, Yogyakarta.
Tahir, I., 1992, Pengambilan Asap Cair secara Destilasi Kering pada Proses
pembuatan Karbon Aktif dari Tempurung Kelapa, Skripsi, FMIPA Ugm,
Yogyakata.
Vartuli,J.C., Malek, A., Roth, W.J., Kersge, C.T. and McCullen, S.B, 2001, The
Sorption of As-Synthesized and Calcined MCM-41 and MCM-48,
Microporous, Mesoporous Materials, 44, 691-694.
Vogel, A.I., 1990, Buku Teks Analisis Anorganik Kualitatif Makro dan Semimikro,
Edisi 5, Revisi oleh G. Svehla, Terjemahan Seyiono dan H. Pudjaatmaka,
Kalman Media Pusaka, Jakarta.
Wazyka, A., Darmadji, P. dan Raharjo, R., 2000, Aktivitas Antioksidan Asap Cair
Kayu Karet dan Redestilatnya Terhadap Asam Linoleat, Seminar Nasional
Industri Pangan, Yogyakarta.
Wulandari, K.R., Darmadji, P. dan Santoso, U., 1999, Sifat Antioksidatif Asap Cair
Hasil Redistilasi Selama Penyimpanan, Prosiding Seminar Nasional
Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi UGM, Yogyakarta