You are on page 1of 5

Bahasa dalam Jurnalistik

Oleh Herman RN
Penulis dan penyuka sastra, alumni I Sekolah Menulis Dokarim

TENTU sudah banyak buku tentang jurnalistik yang diterbitkan. Di


antara buku-buku itu ditulis langsung oleh mereka yang terlibat
secara praktis di dunia pers. Sebut saja di antaranya Rosihan Anwar
(1991), Asegaf (1982), Jacop Oetama (1987). Namun demikian, bukan
mustahil pula masih terdapat kesalahan penulisan berita di media
massa, terutama cetak, oleh para wartawan. Oleh karena itu, melihat
dan menyimak kembali kebahasaan dalam berita bukan tidak
mungkin dilakukan secara kontinyu.
Hal ini tentunya sangat penting bagi wartawan pemula maupun
calon wartawan—termasuk orang-orang yang berminat jadi jurnalis.
Membatasi kajian dalam warkah ini, saya hanya mengemukan
beberapa hal yang acap terjadi dalam bahasa tulis jurnalistik.
Bahasa jurnalistik disebut juga dengan bahasa pers.
Pembicaraan bahasa jurnalistik tentunya berkait dengan bahasa tulis
(teks). Akan tetapi, bukan berarti ini hanya berguna bagi jurnalis
media cetak, sebab berita telivisi dan radio juga mulanya ditulis, baru
kemudian dibacakan oleh pembawa acara.

Pengaruh Media
Tak dapat dipungkiri bahwa media massa telah membawa
pengaruh besar terhadap bahasa masyarakat. Sisi positifnya, ada
sejumlah kosa kata yang dulunya tidak pernah kita temui, saat ini
menjadi akrab di telinga kita karena sudah sering digunakan oleh
media. Namun, tidak tertutup kemungkinan pula media massa dapat
menghancurkan bahasa dalam masyarakat. Misalkan saja jika ada
kosa kata yang salah pemakaiannya, sedangkan masyarakat
mencontoh yang salah tersebut dengan dalih sudah sering dipakai
oleh media.
Beranjak dari sini, sangat penting memahami kebahasaan
dalam menulis, meskipun bentuk tulisan jurnalistik. Penting pula
dipahami bahwa sebuah media berfungsi memberikan pendidikan
kepada masyarakat. Ia juga sebagai ruang publik dan ruang advokasi
masyarakat.
Munculnya bahasa baru dalam masyarakat dan punahnya
bahasa lama tidak terlepas dari pengaruh media. Kelihatan bahwa
bahasa dan waktu seolah seperti benang dan jarum, yang mesinnya
adalah media massa.

Makalah ini disampaikan pada pelatihan jurnalistik mahasiswa se-Aceh, 28-30


Desember 2009, di Wisma Kompas, Banda Aceh.
RN Page 1
Ironis, perjalanan waktu telah membuat bahasa mengalami tiga
kejadian yang sangat menjebak, yakni manipulasi, feodalisme, dan
eufemisme.
Manipulasi bahasa maksudnya berusaha mempengaruh
seseorang dengan bahasa. Hal ini sering kita dapatkan pada judul-
judul berita di surat kabar agar pembaca tertarik membeli surat
kabar tersebut. Menarik pembaca dengan judul berita sangat
diperbolehkan. Namun, jangan sampai hanya menarik pada
judulnya, sedangkan isinya tidak ada apa-apa, bahkan tidak
nyambung sama sekali dengan judul. Tak urung orang berpendapat
“Ah, isinya kosong,” setelah selesai membaca berita tersebut. Jika ini
terjadi, berarti bahasa surat kabar tersebut telah memanipulasi
pembaca. Memanipulasi sederhana “membohongi”. Jika ada sepuluh
orang yang membaca berita yang Anda tulis akibat judul yang
memanipulasi tersebut, sejatinya sudah sepuluh orang Anda tipu.
Feodalisme sering disandingkan dengan kekuasaan tuan tanah,
yang sederhananya bisa juga dikatakan dengan “lintah darat”. Akan
tetapi, dalam konteks ini, yang dimaksud dengan feodalisme adalah
gaya bahasa kebangsawanan. Lebih jelasnya dapat kita katakan
bahasa yang terlalu baku dan ilmiah. Bukan berarti bahasa media
tidak boleh ilmiah, tetapi penggunaan bahasa terlalu ilmiah dapat
mengganggu pembaca, kecuali memang media yang ditujukan kepada
kaum ilmiah. Perlu diingat bahwa kita menulis berita untuk
masyarakat, bukan kalangan tertentu. Yang namanya masyarakat
boleh diasumsikan mulai dari “penanam tomat hingga pembuat
pesawat”. Maka akan menjadi tak bersinergi berita yang disajikan
apabila bahasanya tidak mampu dijangkau oleh masyarakat luas.
Mengutip pendapat para ahli linguistik, “Bahasa adalah alat
komunikasi”. Oleh karena itu, bahasa jurnalistik seyogianya adalah
bahasa komunikatif, mudah dipahami oleh masyarakat luas, dalam
artian tidak terlalu pasaran dan tidak terlalu ilmiah. Penggunaan
istilah yang berlebihan dapat dikategorikan sebagai bahasa ilmiah
yang masyarakat tani belum tentu dapat memahami istilah tersebut.
Intinya, “kalau ada bahasa yang lebih mudah dimengerti, mengapa
harus bermain istilah sulit.”
Eufemisme dapat dipahami gaya bahasa yang sengaja dihalus-
haluskan. Sayangnya, pada taraf penghalusan, sering orang lupa
bahwa makna yang hendak disampaikan sudah lenyap. Akibatnya,
muncul ungkapan ‘bahasa gelap’.
Mulanya, bahasa eufemisme dalam pers (jurnalistik) marak
digunakan masa Orde Baru (Orba). Maksudnya adalah menghindari
pengungkapan yang kasar. Misalnya bui, sel, (LP, Lembaga
Pemasyarakatan), ditahan polisi (diamankan), harga BBM naik (harga
BBM disesuaikan), dll. Gaya eufemisme ini akan berakibat fatal jika

Makalah ini disampaikan pada pelatihan jurnalistik mahasiswa se-Aceh, 28-30


Desember 2009, di Wisma Kompas, Banda Aceh.
RN Page 2
peletakannya tidak sesuai seperti ungkapan harga BBM disesuaikan.
Inilah yang sedang ‘gila’ dalam bahasa pers kita sekarang.

Mengapa Terjadi?
Pertanyaan sederhana, “mengapa hal di atas terjadi?”
Bukankah para jurnalis sudah diberikan pembekalan/pelatihan
jurnalistik? Bukankah para redaktur (editor) media orang-orang
yang dianggap handal dalam berbahasa jurnalistik?
Terhadap pertanyaan itu, pembelaan editor bisa jadi
“silap”. Maka kecenderungan kesalahan itu tetap terletak pada
wartawannya, karena dialah yang menulis berita tersebut
pertama sekali. Kesalahan tersebut biasa terjadi pada wartawan
yang “berpikiran besar” saat menulis berita. Tentunya hal ini
juga acap dialami para penulis ragam apa pun.
Kecenderunganya, sebelum menulis, orang berpikir begini
nantinya tulisan ini aku buat, seperti ini kubahasakan, kemari
kubawa anggle-nya, dan sebagainya. Pemikiran “Lagee nyoe
kucang, meudeh kutak, meunyo kusie” mesti dihindari sewaktu
menulis. Jika tidak, bahasa yang disampaikan akan amburadur
seperti amburadurnya pemikiran saat menulis. Yang terjadi
berikutnya adalah “penghamburan kata-kata berlebihan” dan
“penggunaan istilah-istilah klise”.
Penggunaan kata berlebihan sering disebut dengan gaya
bahasa pleonasme. Perlu diingat bahwa segala sesuatu yang
berlebihan itu sifatnya mubazir. Mubazir itu teman syaitan.
Karenanya, penggunaan kata mubazir mesti dihindari.
Pemubaziran kata dapat terjadi dalam bentuk gramatikal
(tata bahasa), leksikal (pemilihan kosa kata), dan ortografis
(ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan yang
terbanyak dilakukan para jurnalis terdapat pada bentuk
gramatikal, sedangkan kesalahan terendah pada ortografis.
Berdasarkan jenis berita, berita olah raga adalah yang memiliki
frekuensi kesalahan tertinggi.
Contoh:
 Banyak rumah-rumah penduduk tenggelam dalam
musibah banjir di Pidie.
 Menurut saksi mata, insiden kejadian itu berlangsung
sekitar dinihari.
 Bermacam-macam ragam lukisan tsunami dipamerkan.
 Hujan yang turun dari langit tiada henti sejak dua hari
kemarin, telah membuat Kota Banda Aceh tergenang air.

Makalah ini disampaikan pada pelatihan jurnalistik mahasiswa se-Aceh, 28-30


Desember 2009, di Wisma Kompas, Banda Aceh.
RN Page 3
Kata yang bercetak tebal dalam contoh di atas jelas sekali
memiliki makna sama sehingga dianggap mubazir. Kembali
mesti diingat bahwa berita yang disampaikan dalam media
massa tidak perlu menggunakan bahasa yang bertele-tele
sehingga penggunaan kata mubazir mesti dihindari.
Selanjutnya, jurnalis harus hati-hati dengan penggunaan
istilah baru yang belum akrab dengan telinga pembaca. Oleh
karena itu, memang ada istilah klise yang mesti dipopulerkan
terus untuk membuat tulisan semakin berwarna. Istilah-istilah
klise dimaksud seperti pemakaian kata ganti.
 Nanggroe Aceh Darussalam, boleh digantikan dengan Serambi
Mekah, Negeri Syariat, Bumi Iskandar Muda, tanoh rencong, dan
lain-lain.
 Misalkan dalam berita yang ditulis terdapat nama Gubernur
Irwandi. Ini boleh saja diganti sesekali dalam paragraf
berikutnya dengan Dokter Hewan itu, Dosen FKH Unsyiah itu,
suami Darwati A. Gani itu, dan lain-lain.

Prinsip Dasar Bahasa Jurnalisti


Ada beberapa prinsip dasar bahasa jurnalistik yang mesti diketahui
oleh para calon dan wartawan.
1. Singkat, artinya harus menghindari penjelasan yang panjang dan
bertele-tele.
2. Padat, artinya bahasa yang singkat itu sudah mampu
menyampaikan informasi yang lengkap. Ingat, penyampaian berita
hanya membutuhkan prinsip 5W+1H.
3. Sederhana, artinya sedapat-dapatnya memilih kalimat tunggal dan
sederhana, bukan kalimat majemuk yang panjang, rumit, dan
kompleks.
4. Lugas, artinya mampu menyampaikan pengertian atau makna
informasi secara langsung dengan menghindari bahasa yang
berbunga-bunga.
5. Menarik, artinya menggunakan pilihan kata yang masih hidup,
tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat.
6. Jelas, artinya informasi yang disampaikan mudah dipahami
khalayak umum (pembaca). Oleh karena itu, seyogyanya bahasa
jurnalistik menggunakan kata-kata yang bermakna denotatif.

Penyimpangan Bahasa
Perlu juga diperhatikan penyimpangan makna dalam bahasa
jurnalistik. Jangan karena berpikir bahasa berita harus singkat,
padat, langsung pada pokok permasalahan, akhirnya kosa kata dan
susunan kalimatnya pun disingkat ‘seenak perut’.

Makalah ini disampaikan pada pelatihan jurnalistik mahasiswa se-Aceh, 28-30


Desember 2009, di Wisma Kompas, Banda Aceh.
RN Page 4
1. Peyimpangan morfologis. Peyimpangan ini sering terjadi pada
judul berita surat kabar yang memakai kalimat aktif. Namun,
dapat juga terjadi pada penggunaan kalimat pasif. Ini akibat kata
kerja tidak baku dengan penghilangan afiks. Misalnya, Polisi
Tembak Perampok Mati atau Perampok Mati Ditembak Polisi.
2. Kesalahan sintaksis. Kesalahan berupa pemakaian tatabahasa
atau struktur kalimat yang kurang benar sehingga sering
mengacaukan pengertian. Contoh, Kerajinan Adat Simeulue
Banyak Diekspor Hasilnya ke Luar Negeri. Seharusnya Kerajinan
Adat Masyarakat Simeulu Diekspor. Kasus ini sering dijumpai baik
di koran lokal maupun koran nasional. Padahal, judul berita mesi
dibuat semenarik mungkin dengan tidak menimbulkan makna
ambigu (ganda).
3. Kesalahan kosakata. Kesalahan ini sering dilakukan dengan
alasan kesopanan (eufemisme) atau meminimalkan dampak buruk
pemberitaan. Contoh: Perampokan yang dilakukan oknum TNI di
SPBU Keutapang itu merupakan pil pahit bagi TNI. Pil pahit boleh
diganti dengan kata semisal memalukan. Kalau sudah diketahui
pasti yang melakukan adalah anggota TNI, tidak perlu memakai
kata “oknum”.
4. Kesalahan ejaan. Kesalahan ini hampir setiap kali dijumpai
dalam surat kabar. Kesalahan itu boleh jadi karena stile surat
kabar tertentu, seperti Harian Waspada yang mempertahankan
huruf kapital pada setiap awal kata di penulisan judul meskipun
preposisi atau konjungsi. Kesalahan ini juga kerap terjadi di
Harian Serambi Indonesia. Contoh: Gubernur tak Akui Terlibat
Kasus Jembatan Besi.
5. Kesalahan pemenggalan. Terkesan setiap ganti garis pada setiap
kolom surat kabar asal penggal saja. Kesalahan ini boleh jadi
disebabkan pemenggalan bahasa Indonesia masih menggunakan
program komputer berbahasa Inggris. Boleh juga disebabkan
layouternya yang tidak paham cara pemenggalan kata dalam ejaan
bahasa Indonesia.

Sebagai bahan tambahan, seorang jurnalis mesti membekali


diri dengan pemahaman penggunaan/penempaan huruf kapital dan
penggunaan tanda baca. Hal ini boleh dilihat di sejumlah literatur
(buku) Bahasa Indonesia untuk sekolah-sekolah atau perguruan
tinggi.
Pesan saya, “Jadilah wartawan yang bahasawan.
Sesungguhnya wartawan adalah pencatat sejarah hari ini, sedangkan
sejarawan adalah pencatat sejarah masa silam”. Wallahualam.

Makalah ini disampaikan pada pelatihan jurnalistik mahasiswa se-Aceh, 28-30


Desember 2009, di Wisma Kompas, Banda Aceh.
RN Page 5

You might also like