Professional Documents
Culture Documents
Oleh Herman RN
Penulis dan penyuka sastra, alumni I Sekolah Menulis Dokarim
Pengaruh Media
Tak dapat dipungkiri bahwa media massa telah membawa
pengaruh besar terhadap bahasa masyarakat. Sisi positifnya, ada
sejumlah kosa kata yang dulunya tidak pernah kita temui, saat ini
menjadi akrab di telinga kita karena sudah sering digunakan oleh
media. Namun, tidak tertutup kemungkinan pula media massa dapat
menghancurkan bahasa dalam masyarakat. Misalkan saja jika ada
kosa kata yang salah pemakaiannya, sedangkan masyarakat
mencontoh yang salah tersebut dengan dalih sudah sering dipakai
oleh media.
Beranjak dari sini, sangat penting memahami kebahasaan
dalam menulis, meskipun bentuk tulisan jurnalistik. Penting pula
dipahami bahwa sebuah media berfungsi memberikan pendidikan
kepada masyarakat. Ia juga sebagai ruang publik dan ruang advokasi
masyarakat.
Munculnya bahasa baru dalam masyarakat dan punahnya
bahasa lama tidak terlepas dari pengaruh media. Kelihatan bahwa
bahasa dan waktu seolah seperti benang dan jarum, yang mesinnya
adalah media massa.
Mengapa Terjadi?
Pertanyaan sederhana, “mengapa hal di atas terjadi?”
Bukankah para jurnalis sudah diberikan pembekalan/pelatihan
jurnalistik? Bukankah para redaktur (editor) media orang-orang
yang dianggap handal dalam berbahasa jurnalistik?
Terhadap pertanyaan itu, pembelaan editor bisa jadi
“silap”. Maka kecenderungan kesalahan itu tetap terletak pada
wartawannya, karena dialah yang menulis berita tersebut
pertama sekali. Kesalahan tersebut biasa terjadi pada wartawan
yang “berpikiran besar” saat menulis berita. Tentunya hal ini
juga acap dialami para penulis ragam apa pun.
Kecenderunganya, sebelum menulis, orang berpikir begini
nantinya tulisan ini aku buat, seperti ini kubahasakan, kemari
kubawa anggle-nya, dan sebagainya. Pemikiran “Lagee nyoe
kucang, meudeh kutak, meunyo kusie” mesti dihindari sewaktu
menulis. Jika tidak, bahasa yang disampaikan akan amburadur
seperti amburadurnya pemikiran saat menulis. Yang terjadi
berikutnya adalah “penghamburan kata-kata berlebihan” dan
“penggunaan istilah-istilah klise”.
Penggunaan kata berlebihan sering disebut dengan gaya
bahasa pleonasme. Perlu diingat bahwa segala sesuatu yang
berlebihan itu sifatnya mubazir. Mubazir itu teman syaitan.
Karenanya, penggunaan kata mubazir mesti dihindari.
Pemubaziran kata dapat terjadi dalam bentuk gramatikal
(tata bahasa), leksikal (pemilihan kosa kata), dan ortografis
(ejaan). Berdasarkan aspek kebahasaan, kesalahan yang
terbanyak dilakukan para jurnalis terdapat pada bentuk
gramatikal, sedangkan kesalahan terendah pada ortografis.
Berdasarkan jenis berita, berita olah raga adalah yang memiliki
frekuensi kesalahan tertinggi.
Contoh:
Banyak rumah-rumah penduduk tenggelam dalam
musibah banjir di Pidie.
Menurut saksi mata, insiden kejadian itu berlangsung
sekitar dinihari.
Bermacam-macam ragam lukisan tsunami dipamerkan.
Hujan yang turun dari langit tiada henti sejak dua hari
kemarin, telah membuat Kota Banda Aceh tergenang air.
Penyimpangan Bahasa
Perlu juga diperhatikan penyimpangan makna dalam bahasa
jurnalistik. Jangan karena berpikir bahasa berita harus singkat,
padat, langsung pada pokok permasalahan, akhirnya kosa kata dan
susunan kalimatnya pun disingkat ‘seenak perut’.