Professional Documents
Culture Documents
About Me »
Ada terdapat banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda terhadap pendidikan dan
praktek pendidikan yang terjadi selama ini. Pendapat-pendapat dari para pakar
pendidikan itu dapat dikelompokkan dalam beberapa aliran, diantaranya terdapat lima
aliran dalam Filsafat Pendidikan menurut Wahyuddin (2008) sebagai berikut:
1. Essensialisme
Aliran filsafat ini menunjukkan pendekatan pendidikan “tradisional” atau back to basic
yang berupaya menanamkan pada peserta didik hal-hal yang esensial dari pengetahuan
akademik dan perkembangan karakter peserta didik. Aliran ini dipopulerkan oleh
William Bagley (1874-1946). Aliran ini didasarkan pada suatu filsafat konservatif di
Amerika yang menerima struktur social, politik dan ekonomi dari masyarakat dan
menuntut lebih banyak syarat pokok, hari sekolah yang lebih lama, tahun akademik yang
lebih panjang serta buku-buku teks yang lebih menantang.
Lebih lanjut para esensialis memandang bahwa ruang-ruang kelas harus diorientasikan di
sekitar guru, yang secara ideal bertindak sebagai model peran intelektual dan moral bagi
para siswa. Para guru dan administrator pendidikan memutuskan apa yang paling penting
untuk dipelajari oleh para siswa dan menempatkan sedikit penekanan pada minat siswa,
dan guru esensialis sangat berfokus pada skor-skor tes pencapaian sebagai alat untuk
mengevaluasi kemajuan peserta didik.
2. Progresivisme
3. Perenialisme
Aliran ini dipopulerkan oleh Plato dan Aristoteles, perennial berarti “abadi”. Menurut
para perenialis, saat para siswa larut dalam studi tentang gagasan-gagasan yang besar dan
abadi, mereka akan mengapresiasi belajar untuk belajar itu sendiri dan menjadi kaum
intelektual sejati. Seperti halnya essensialisme, perennialisme hanya menerima sedikit
fleksibelitas dalam kurikulum, mereka mendukung suatu kurikulum yang universal
berdasarkan pandangan bahwa semua manusia memiliki “nature” (fitrah, sifat,
karakter)esensial yang sama. Tidak seperti essensialisme, perennialisme tidak berakar
pada suatu waktu atau tempat tertentu, kaum perennialis berupaya membantu para siswa
menemukan gagasan-gagasan yang paling berwawasan dan abadi dalam memahami
kondisi-kondisi manusiawi, menurut mereka pengetahuan tumbuh terutama dari temuan-
temuan empiris para ilmuwan, merendahkan nilai penting kapasitas kita untuk bernalar
sebagi individu-individu, yaitu untuk berpikir secara dalam, analitis, fleksibel dan
imajinatif.
Prinsip pertama aliran ini adalah ” man is nothing but what he makes of himself ”
(manusia adalah apa yang dia upayakan atas dirinya), dipopulerkan oleh Soren
Kierkegaard (1813-1855) dan Frederich Nietzsche (1811-1900), mereka sama-sama
menjunjung tinggi individualisme, khususnya mereka berpandangan bahwa pendekatan-
pendekatan filsafat tradisional tidak cukup menghargai pertimbangan ilmiah dari tiap-tiap
individu.
Di dalam ruang kelas eksistensialisme, mata pelajaran berada pada tempat kedua untuk
membantu para siswa memahami dan mengapresiasi diri mereka sendiri sebagai individu-
individu yang unik yang menerima tanggung jawab sepenuhnya atas pikiran-pikiran,
perasaan dan tindakan mereka sendiri. Peran guru adalah membantu siswa-siswa untuk
menentukan esensi mereka sendiri dengan menghadapkan mereka pada berbagai jalur
yang dapat mereka ambil dalam kehidupan dan menciptakan lingkungan dimana mereka
dapat bebas menentukan cara yang lebih mereka pilih.
5. Behaviorisme
http://srilinda.wordpress.com/2009/10/07/filsafat-pendidikan/
Ada Apa dengan Buku Teks?
Oleh Masnur Muslich
Pada era global ini kehidupan manusia tidak bisa melepaskan diri dari buku.
Lewat buku manusia bisa bertambah wawasannya yang pada akhirnya
(langsung atau tidak langsung) akan mempengaruhi pola pikir dan pola
hidupnya. Bahkan, larena kuatnya pengaruh bagi kehidupan manusia, ada
sekelompok ”buku” yang disebut ”the great book”, yaitu Quran, Injil, Taurat,
Zabur, Weda, dan Tripitaka. Selain itu, dikenal pula ”buku-buku pengubah
dunia”, yaitu Trias Politika, Das Kapital, De Principle, dan Uncle Toms Cabin.
Secara rinci D. Waples dkk. (1990) membagi pengaruh buku bagi pembacanya
menjadi lima kategori, yaitu (1) pengaruh instrumental, (2) pengaruh prestise, (3)
pengaruh pemantapan, (4) pengaruh estetis dan apresiatif, dan (5) pengaruh
pelepasan. Buku dikatakan mempunyai pengaruh instrumental apabila lewat
membaca buku itu, pembaca memperoleh informasi atau petunjuk yang dapat
membantu pemecahan masalah yang ditemui dalam kehidupannya. Buku
dikatakan mempunyai pengaruh prestise apabila setelah membaca buku,
pembaca bisa memantapkan pola pikir, tingkah laku dan sikapnya yang pada
akhirnya dapat terangkat prestise dan martabatnya. Buku dikatakan mempunyai
pengaruh pemantapan (reinforcement) apabila setelah membaca buku, yang
bersangkutan merasa lebih mantap dalam mengambil langkah-langkah dalam
kehidupannya. Buku dikatakan dapat berpengaruh estetis dan apresiatif apabila
dengan membaca buku tersebut pembaca dapat terbina daya seni (estetika) dan
apresiasinya Terakhir, buku dikatakan mempunyai pengaruh pelepasan (respite)
apabila dengan membaca buku, yang bersangkuan bisa melepaskan diri dari
keresahan, kericuhan, dan keruwetan yang ada pada dirinya.
Pengaruh buku tersebut akan lebih terasa pada diri anak. Para ahli pendidikan
berkesimpulan bahwa lewat membaca buku, anak akan berpengaruh
perkembangan minat, sikap sosial, emosi, dan penalarannya. Konsekuensinya,
apabila buku yang dibaca berisi hal-hal yang negatif, maka perkembangan jiwa
anak juga mengarah ke negatif. Sebaliknya, apabila yang dibaca berisi hal-hal
yang positif, maka perkembangan jiwa anak pun positif. Karena yang diharapkan
oleh semua pihak (:orang tua, pemerintah, penddik) agar anak berkembang
secara positif, persediaan buku bagi anak (buku bacaan, buku teks, dan
sebagainya) haruslah buku yang memenuhi syarat positif.
Permasalahan yang segera muncul adalah buku bagaimanakah yang memenuhi
syarat positif bagi anak? Buku dikatakan mempunyai syarat positif apabila
mengandung hal-hal berikut, yaitu
(a) bisa memperluas wawasan anak;
(b) bisa menambah pengetahuan baru;
(c) bisa membimbing berpikir konstruktif;
(d) bisa mengarahkan kreativitas;
(e) bisa menumbuhkan sikap moral, sosial, dan agama yang baik; dan
(f) bisa menuntut ke arah kehidupan yang mandiri
Buku dikategorikan “bisa memperluas wawasan anak” apabila buku tersebut
berisi informasi faktual, deskriptif, atau naratif yang belum menjadi perhatian
anak. Misalnya, informasi tentang cara meminum obat, cara mandi yang betul,
makanan sehat, teman yang baik, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa
menambah pengetahuan baru” apabila buku tersebut berisi penjelasan tentang
pengetahuan dan kelimuan sederhana yang belum diketahu anak. Misalnya,
proses terjadinya gunung meletus, proses terjadinya hujan, perlunya kebersihan
lingkungan, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa membimbing berpikir
konstruktif” apabila buku tersebut berisi uraian atau eskripsi yang dapa
merangsang anak untuk berpkir secara rasional. Misalnya, cerita tentang
kerugian anak yang malas belajar, keuntungan anak yang berbaik hati, akbat
anak yang ska berbohong, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa
mengarahkan kreativitas” apabila buku tersebut berisi petunjuk atau pedoman
paktis yang dapat diterapkan oleh anak dalam kehidupannya. Misalnya, cara
membuat burung dari kertas, cara membuat lampu minyak, cara menjernihkan
air, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa menumbuhkan sikap moral, sosial,
dan agama yang baik” apabila buku tersebut berisi cerita faktual atau fiksi yang
melibatkan tokoh-tokoh idola yang dapat dipakai sebagai cermin atau dapat ditiru
dalam kehidupan anak. Misalnya, cerita pahlawan, tokoh agama, dermawan cilik,
dai cilik, dan sebagainya. Terakhir, buku dikategorikan “bisa menuntut ke arah
kehidupan yang mandiri” apabila buku tersebut berisi cerita tentang solusi atas
problema kehidupan. Misalnya, keberhasil anak desa yang sebatang kara,
kesuksesan anak cacat netra, berjuang melawan sakit menahun, dan
sebagainya.Syarat-syarat itulah yang secara ideal terdapat pada buku yang
layak sebagai bacaan anak.
Kehadiran buku teks di dunia pendidikan disikapi oleh ahli pendidikan dengan
berbagaimacam versi. Ada yang bersikap negatif, ada yang bersikap positif, dan
adapula yan bersikap moderat. Ketiga pandangan yang berbeda ini didasari oleh
alasan yang bertolak belakangsatu dengan lainnya.
Para ahli pendidikan yang bersikap negatif atau “antipati” atas kehadiran buku
teks di dunia pendidikan didasarkan oleh kenyataan berikut.
Buku teks kurang memperhatikan perbedaan individual siswa. Siswa sasaran
dianggap homgen sehingga bahan ajar yang ada pada buku teks tersaji tanpa
memperhatikan siswa yang ”uper” dan siswa yang ”lower”.
Desain buku teks sering tidak sesuai dengan desain kurikulum pendidikan.
Akibatnya, dengan menggunakan buku teks tersebut, program pendidikan yang
telah dirancang dalam kurikulum tidak tercapai.
Konteks dan bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering tidak sesuai
dengan kondisi dan lingkunna siswa sasaran. Apabila hal ini terjadi, buku teks
akan terkesan ”memaksa” siswa untuk belajar sesuatu yang ”tidak sesuai”
dengan kondisi dirinya.
Bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering bias dan basi. Ini terjadi karena
antara waktu penyusunan buku teks dan waktu pemakaiannya berselang terlalu
lama. Akibatnya, informasi dan masalah yang terdapat dalam buku teks sudah
”kadaluarsa”, bahkan tidak sesuai lagi dengan yang sedang dihadapi siswa.
Ahli pendidikan yang apriori terhadap kehadiran buku tekas ini adalah ahli
pendidikan yang mengikuti sistem pendiikan lama.
Sebaliknya, ahli pendidikan yang bersikap positif atas kehadiran buku teks
didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Buku teks merupakan ”the foundation of learning in classroom”. Anggapan ini
didasarkan oleh kenyataan bahwa pengajaran yang dianggap efektif dan efisien
adalah pengajaran klasikal. Kalau toh ada yang individual, sangatlah bersifat
khusus, karena kondisi tertentu.
Buku teks memuat bahan ajar yang sebaiknya disajikan (what to teach) dan
sekuensi atau urutan cara penyajiannya. Oleh karena itu penyusunan buku teks
tentu memperhatikan bahan ajar mana yang patut dan sebaiknya disajikan,
termasuk tata cara penyajian yang sesuai dengan jenis bahan dan kondisi siswa
sasaran.
Jangkauan,jumlah, dan jenis bahan ajar yang terdapat dalam buku teks telah
relatif pasti sehingga guru memungkinkan untuk mengalokasikannya
berdasarkan jadwal sekolah. Dengan demikian, lewat pemakaian buku teks
dapat terkontrol dengan ketat program pengajarannya.
Paparan masalah atau pokok persoalan (subject matter) dalam buku teks relatif
teliti. Ketelitian ini terlihat mulai dari proses pemilihan bahan, klasifikasi bahan,
sampai dengan proses penyusunannya. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan
guru dengan bahan ajar yang disusunnya sendiri.
Bahan ajar dalam buku teks tertata cukup baik. Ini dapat dilihat dari cara
penyajian bahan ajar yang memperhatikan hierarkhi dan tataletaknya sehingga
mudah dipahami siswa. Tidak semua guru memiliki keterampilan menata bahan
seperti yang terdapat pada buku teks.
Buku teks cukup banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar peta,
dan diagram. Alat bantu ini akan dapat mempercepat pamahaman siswa atas
bahan ajar yang sedang dipelajari. Pada umumnya, alat bantu semacam itu sulit
diciptakan oleh guru dalam waktu yang relatif singkat.
Kesinambungan bahan ajar dalam buku teks telah diatur sedemikian rupa oleh
penyusunnya. Lebih-lebih, apabila buku tersebut merupakan buku berseri. Hal ini
dapat dimaklumi, sebab sebelum penyusunan buku teks dimulai, terlebih dahulu
disusun kerangka (outline) secara menyeluruh. Dengan demikian, tidak dijumpai
bahan ajar yang terlepas dari yang lain. Sebaliknya, bahan-bahan itu merupakan
rangkaian yang utuh.
Buku teks merupakan batu loncatan bagi siswa. Dengan menggunakan buku
teks, siswa terbebas dari kegiatan mencatat yang merupakan pemborosan
waktu, tenaga, dan pikiran.
Buku teks sangat membantu sekolah yang tidak memiliki perpustakaan yang
lengkap. Hal ini bisa dimaklumi karena buku teks berisi serangkaian bahan ajar
yang minimal harus dikuasai atau dipahami siswa. Jika tidak lewat kemasan
buku teks, bahan-bahan itu tentu berada di berbagai buku sumber.
Buku teks yang dipublikasikan oleh pemerintah dan pihak swasta telah
dipertimbangkan kualitasnya. Pertimbangan kualitas ini merupakan konsekuensi
logis. Sebab, kalau tidak, tentu akan merugikan pihak pemerintah dan penerbit
swasta itu sendiri. Para pemakai buku teks (terutama guru) tentu tidak akan
menggunakan secara maksimal, bahkan tidak mau menggunakannya, apabila
buku teks tersebut tidak berkualitas.
Ahli pendidikan yang mendukung sepenuhnya kehadiran buku teks ini adalah
ahli pendidikan modern.
a. ”No one textbook is the best for all situation” (Romero dalam ”What Textbook
Shall We Use”. Forum 2, 1975)
Argumentasi ini bisa dimaklumi sebab pada kenyataan memang tidak ada satu
pun buku teks yang ampuh untuk semua situasi dan kondisi. Namun demikian,
keterbatasan ini tidak boleh dipakai sebagai “kambing hitam” untuk tidak
menggunakan buku teks. Keterbatasan ini harus diantisipasi guru pada saat
mengasimilasikannya di kelas. Yang peru dipahami adalah buku teks merupakan
sarana untuk mencapai tujuan pengajaran dan buku teks bukanlah pengajaran.
Oleh karena itu, buku teks tidak bisa mengajar. Yang bisa mengajar adalah guru
lewat sarana antara lain buku teks.
b. Tidak ada buku teks yang betul-betul bisa memenuhi harapan kurikulum. (J. N.
Hook, 1965).
Pernyataan ini pun bisa dimaklumi. Memang tidak ada satu pun buku teks yang
bisa memenuhi kebutuhan kurikulum secara total. Buku teks hanyalah salah satu
sarana bukan satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan kurikulum.
Walaupaun Garis-garis besar Program pengajaran (GBPP) atau silabus pada
kurikulum tertentu dipakai sebagai acuan penyusunan bahan ajar pada buku
teks, tetap tidak bisa menjamin bahwa buku teks dapat memenuhi kebutuhan
kurikulum secra total. Sebab, faktor-faktor lain di luar buku teks juga ikut
menentukannya, yaitu guru pemakai buku teks, siswa sasaran, situasi dan
kondisi sekolah, dan aspek-aspek lainnya.
c. Tidak ada satu pun buku teks yang cocok untuk semua jenjang pendidikan.
Pernyataan ini tidak mengada-ada, bahkan bisa dimakluminya. Buku teks
memang disusun dengan mempertimbangkan program tertentu, jenjang
pendidikan tertentu, dan pola pikir siswa tertentu. Akibatnya, buku teks hanya
cocok untuk “sasaran” tetentu saja.
Pandangan ketiga inilah yang memandang buku teks secara lebih objektif dan
rasional. Sebab, buku teks akan berpran secara maksimal apabila memenuhi
criteria ideal dan diasimilasikan oleh guru yang professional.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku teks yang beredar (baik buku
teks wajib maupun penunjang) dijumpai keganjilan-keganjilan. Keganjilan yang
dimaksud terlihat sebagai berikut.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan kurikulum.
- Terdapat buku teks yang berisi pokok-pokok materi (semacam ringkasan).
- Terdapat buku teks yang uraiannya sangat teknis.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan pola pikir siswa.
- Terdapat buku teks yang kurang ”aplicable”.
Perhatian khusus terhadap keganjilan buku teks ini tidak dimaksudkan untuk
mengecilkan arti buku teks dalam dunia pendidikan, tetapi justru untuk memacu
peningkatan kualitas buku teks setelah dikaitkan dengan kedudukan dan
fungsinya yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembelajran
siswa di kelas.
Semenjak pemberlakuan kurikulum 1984 sampai dengan sekarang (Kurikulum
2006 atau KTSP) kehadiran buku teks sebagai penunjang pelaksanaan
pembelajaran cukup dominan bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini disebabkan oleh adanya perhatian serius pemerintah terhadap dunia
pendidikan dan minat dominan penerbit swasta terhadap penerbitan buku teks.
Keberagaman buku teks yang beredar haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh kalangan pendidikan, terutama guru. Sebab, dengan demikian, guru bisa
memilih dengan leluasa: mana buku teks yang mempunyai kriteria ideal baik
dilihat dari kesesuaiannya dengan kurikulum, kesesuaiannya bagi siswanya,
maupun tingkat dan daya aplikasinya.
Di sisi lain, di lapangan dijumpai adanya anggapan bahwa buku teks wajib
merupakan ”buku suci”. Anggapan yang ekstrem ini sebenarnya tidak perlu
terjadi, sebab pada dasarnya tidak ada satu pun buku teks, termasuk buku teks
wajib, yang ampuh untuk segala-galanya: kapan dan di mana saja. Sebab, pada
saat diaplikasikan, buku teks (termasuk yang wajib) masih tetap perlu disiasati
guru sebelum dipakai dalam pembelajaran. Misalnya, apakah sajian bahan
ajarnya sudah sesuai dengan GBPP atau Kompetensi Dasar yang ingin dicapai;
apakah strategi penyampaiannya sudah sesuai dengan pembelajaran yang
disarankan Kurikulum, apakah pola pengembangan bahan ajar sesuai dengan
perkembangan siswa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Selain itu, masih dijumpai juga pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi
penuh kepada buku teks, tanpa melihat kurilulum (khususnya GBPP dan silabus
yang telah dirancang) yang menjadi acuannya. Ketergantungan guru ini
dibuktikan dengan gejal-gejala berikut.
- Guru menerangkan satu per satu uraian bahan ajar yang ada pada buku teks,
tanpa melihat pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP atau silabus.
- Guru melakukan langkah-langkah pembelajaran yang tertuang dalam buku
teks, tanpa melihat kesesuaiannya dengan pembelajaran yang disarankan dalam
GBPP atau silabus.
- Guru mengembangkan rencana atau skenario pembelajaranb dari bahan ajar
yang terdapat dalam buku teks, tanpa melihat tujuan pembelajaran (kompetensi
dasar yang ingin dicapai) dan bahan ajar (pokok bahasan) yang terdapat dalam
GBPP atau silabus.
- Butir-butir evaluasi pun diambilkan dari pertanyaan atau tugas yang terdapat
dalam buku teks tanpa ada upaya menghubungkannya dengan atau
mengembangkan dari tujuan pembelajaran atau indikator dari kompetensi dasar
yang telah ditentukan.
Visual Learner
Gaya belajar visual (visual learner) menitikberatkan ketajaman penglihatan.
Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar si anak
paham. Ciri-ciri anak yang memiliki gaya belajar visual adalah kebutuhan yang
tinggi untuk melihat dan menangkap informasi secara visual sebelum ia
memahaminya. Konkretnya, yang bersangkutan lebih mudah menangkap
pelajaran lewat materi bergambar. Selain itu, ia memiliki kepekaan yang kuat
terhadap warna, di samping mempunyai pemahaman yang cukup terhadap
masalah artistik. Hanya saja biasanya ia memiliki kendala untuk berdialog secara
langsung karena terlalu reaktif terhadap suara, sehingga sulit mengikuti anjuran
secara lisan dan sering salah menginterpretasikan kata atau ucapan.
Untuk mendukung gaya belajar ini, ada beberapa pendekatan yang bisa dipakai.
Caranya, gunakan beragam bentuk grafis untuk menyampaikan informasi/materi
pelajaran. Perangkat grafis tersebut bisa berupa film, slide, ilustrasi, coretan atau
kartu-kartu gambar berseri yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan suatu
informasi secara berurutan. Perhatikan ciri lengkap visual learner pada boks
berikut
Auditory Learner
Gaya belajar ini mengandalkan pendengaran untuk bisa memahami sekaligus
mengingatnya. Karakteristik model belajar ini benar-benar menempatkan
pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan.
Artinya, untuk bisa mengingat dan memahami informasi tertentu, yang
bersangkutan haruslah mendengarnya lebih dulu. Mereka yang memiliki gaya
belajar ini umumnya susah menyerap secara langsung informasi dalam bentuk
tulisan, selain memiliki kesulitan menulis ataupun membaca.
Untuk membantu anak-anak seperti ini, gunakan tape untuk merekam semua
materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Selain itu, keterlibatan anak dalam
diskusi juga sangat cocok untuk anak seperti ini. Bantuan lain yang bisa
diberikan adalah mencoba membacakan informasi, kemudian meringkasnya
dalam bentuk lisan dan direkam untuk selanjutnya diperdengarkan dan dipahami.
Langkah terakhir adalah melakukan review secara verbal dengan teman.
Perhatikan ciri lengkap auditory learner pada boks berikut
Kinesthetic/Tactile Learner
Gaya belajar ini mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu
yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. Tentu saja ada
beberapa karakteristik model belajar seperti ini yang tak semua orang bisa
melakukannya.
Karakter pertama adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi
utama agar bisa terus mengingatnya. Hanya dengan memegangnya saja,
seseorang yang memiliki gaya belajar ini bisa menyerap informasi tanpa harus
membaca penjelasannya. Tak heran kalau individu yang memiliki gaya belajar ini
merasa bisa belajar lebih baik kalau prosesnya disertai kegiatan fisik. Perhatikan
ciri lengkap kinesthetic/tactile learner pada boks berikut
Apa pun gaya belajar yang dipilih pada dasarnya memiliki tujuan yang sama,
yaitu agar yang bersangkutan bisa menangkap materi pelajaran dengan sebaik-
baiknya dan memberi hasil optimal. Itulah sebabnya mengapa penuls buku teks
harus memahami aneka gaya belajar anak dan diterapkan pada buku teks yang
ditulisnya.
Pada era global ini kehidupan manusia tidak bisa melepaskan diri dari buku.
Lewat buku manusia bisa bertambah wawasannya yang pada akhirnya
(langsung atau tidak langsung) akan mempengaruhi pola pikir dan pola
hidupnya. Bahkan, larena kuatnya pengaruh bagi kehidupan manusia, ada
sekelompok ”buku” yang disebut ”the great book”, yaitu Quran, Injil, Taurat,
Zabur, Weda, dan Tripitaka. Selain itu, dikenal pula ”buku-buku pengubah
dunia”, yaitu Trias Politika, Das Kapital, De Principle, dan Uncle Toms Cabin.
Secara rinci D. Waples dkk. (1990) membagi pengaruh buku bagi pembacanya
menjadi lima kategori, yaitu (1) pengaruh instrumental, (2) pengaruh prestise, (3)
pengaruh pemantapan, (4) pengaruh estetis dan apresiatif, dan (5) pengaruh
pelepasan. Buku dikatakan mempunyai pengaruh instrumental apabila lewat
membaca buku itu, pembaca memperoleh informasi atau petunjuk yang dapat
membantu pemecahan masalah yang ditemui dalam kehidupannya. Buku
dikatakan mempunyai pengaruh prestise apabila setelah membaca buku,
pembaca bisa memantapkan pola pikir, tingkah laku dan sikapnya yang pada
akhirnya dapat terangkat prestise dan martabatnya. Buku dikatakan mempunyai
pengaruh pemantapan (reinforcement) apabila setelah membaca buku, yang
bersangkutan merasa lebih mantap dalam mengambil langkah-langkah dalam
kehidupannya. Buku dikatakan dapat berpengaruh estetis dan apresiatif apabila
dengan membaca buku tersebut pembaca dapat terbina daya seni (estetika) dan
apresiasinya Terakhir, buku dikatakan mempunyai pengaruh pelepasan (respite)
apabila dengan membaca buku, yang bersangkuan bisa melepaskan diri dari
keresahan, kericuhan, dan keruwetan yang ada pada dirinya.
Pengaruh buku tersebut akan lebih terasa pada diri anak. Para ahli pendidikan
berkesimpulan bahwa lewat membaca buku, anak akan berpengaruh
perkembangan minat, sikap sosial, emosi, dan penalarannya. Konsekuensinya,
apabila buku yang dibaca berisi hal-hal yang negatif, maka perkembangan jiwa
anak juga mengarah ke negatif. Sebaliknya, apabila yang dibaca berisi hal-hal
yang positif, maka perkembangan jiwa anak pun positif. Karena yang diharapkan
oleh semua pihak (:orang tua, pemerintah, penddik) agar anak berkembang
secara positif, persediaan buku bagi anak (buku bacaan, buku teks, dan
sebagainya) haruslah buku yang memenuhi syarat positif.
Permasalahan yang segera muncul adalah buku bagaimanakah yang memenuhi
syarat positif bagi anak? Buku dikatakan mempunyai syarat positif apabila
mengandung hal-hal berikut, yaitu
(a) bisa memperluas wawasan anak;
(b) bisa menambah pengetahuan baru;
(c) bisa membimbing berpikir konstruktif;
(d) bisa mengarahkan kreativitas;
(e) bisa menumbuhkan sikap moral, sosial, dan agama yang baik; dan
(f) bisa menuntut ke arah kehidupan yang mandiri
Buku dikategorikan “bisa memperluas wawasan anak” apabila buku tersebut
berisi informasi faktual, deskriptif, atau naratif yang belum menjadi perhatian
anak. Misalnya, informasi tentang cara meminum obat, cara mandi yang betul,
makanan sehat, teman yang baik, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa
menambah pengetahuan baru” apabila buku tersebut berisi penjelasan tentang
pengetahuan dan kelimuan sederhana yang belum diketahu anak. Misalnya,
proses terjadinya gunung meletus, proses terjadinya hujan, perlunya kebersihan
lingkungan, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa membimbing berpikir
konstruktif” apabila buku tersebut berisi uraian atau eskripsi yang dapa
merangsang anak untuk berpkir secara rasional. Misalnya, cerita tentang
kerugian anak yang malas belajar, keuntungan anak yang berbaik hati, akbat
anak yang ska berbohong, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa
mengarahkan kreativitas” apabila buku tersebut berisi petunjuk atau pedoman
paktis yang dapat diterapkan oleh anak dalam kehidupannya. Misalnya, cara
membuat burung dari kertas, cara membuat lampu minyak, cara menjernihkan
air, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa menumbuhkan sikap moral, sosial,
dan agama yang baik” apabila buku tersebut berisi cerita faktual atau fiksi yang
melibatkan tokoh-tokoh idola yang dapat dipakai sebagai cermin atau dapat ditiru
dalam kehidupan anak. Misalnya, cerita pahlawan, tokoh agama, dermawan cilik,
dai cilik, dan sebagainya. Terakhir, buku dikategorikan “bisa menuntut ke arah
kehidupan yang mandiri” apabila buku tersebut berisi cerita tentang solusi atas
problema kehidupan. Misalnya, keberhasil anak desa yang sebatang kara,
kesuksesan anak cacat netra, berjuang melawan sakit menahun, dan
sebagainya.Syarat-syarat itulah yang secara ideal terdapat pada buku yang
layak sebagai bacaan anak.
Kehadiran buku teks di dunia pendidikan disikapi oleh ahli pendidikan dengan
berbagaimacam versi. Ada yang bersikap negatif, ada yang bersikap positif, dan
adapula yan bersikap moderat. Ketiga pandangan yang berbeda ini didasari oleh
alasan yang bertolak belakangsatu dengan lainnya.
Para ahli pendidikan yang bersikap negatif atau “antipati” atas kehadiran buku
teks di dunia pendidikan didasarkan oleh kenyataan berikut.
Buku teks kurang memperhatikan perbedaan individual siswa. Siswa sasaran
dianggap homgen sehingga bahan ajar yang ada pada buku teks tersaji tanpa
memperhatikan siswa yang ”uper” dan siswa yang ”lower”.
Desain buku teks sering tidak sesuai dengan desain kurikulum pendidikan.
Akibatnya, dengan menggunakan buku teks tersebut, program pendidikan yang
telah dirancang dalam kurikulum tidak tercapai.
Konteks dan bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering tidak sesuai
dengan kondisi dan lingkunna siswa sasaran. Apabila hal ini terjadi, buku teks
akan terkesan ”memaksa” siswa untuk belajar sesuatu yang ”tidak sesuai”
dengan kondisi dirinya.
Bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering bias dan basi. Ini terjadi karena
antara waktu penyusunan buku teks dan waktu pemakaiannya berselang terlalu
lama. Akibatnya, informasi dan masalah yang terdapat dalam buku teks sudah
”kadaluarsa”, bahkan tidak sesuai lagi dengan yang sedang dihadapi siswa.
Ahli pendidikan yang apriori terhadap kehadiran buku tekas ini adalah ahli
pendidikan yang mengikuti sistem pendiikan lama.
Sebaliknya, ahli pendidikan yang bersikap positif atas kehadiran buku teks
didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Buku teks merupakan ”the foundation of learning in classroom”. Anggapan ini
didasarkan oleh kenyataan bahwa pengajaran yang dianggap efektif dan efisien
adalah pengajaran klasikal. Kalau toh ada yang individual, sangatlah bersifat
khusus, karena kondisi tertentu.
Buku teks memuat bahan ajar yang sebaiknya disajikan (what to teach) dan
sekuensi atau urutan cara penyajiannya. Oleh karena itu penyusunan buku teks
tentu memperhatikan bahan ajar mana yang patut dan sebaiknya disajikan,
termasuk tata cara penyajian yang sesuai dengan jenis bahan dan kondisi siswa
sasaran.
Jangkauan,jumlah, dan jenis bahan ajar yang terdapat dalam buku teks telah
relatif pasti sehingga guru memungkinkan untuk mengalokasikannya
berdasarkan jadwal sekolah. Dengan demikian, lewat pemakaian buku teks
dapat terkontrol dengan ketat program pengajarannya.
Paparan masalah atau pokok persoalan (subject matter) dalam buku teks relatif
teliti. Ketelitian ini terlihat mulai dari proses pemilihan bahan, klasifikasi bahan,
sampai dengan proses penyusunannya. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan
guru dengan bahan ajar yang disusunnya sendiri.
Bahan ajar dalam buku teks tertata cukup baik. Ini dapat dilihat dari cara
penyajian bahan ajar yang memperhatikan hierarkhi dan tataletaknya sehingga
mudah dipahami siswa. Tidak semua guru memiliki keterampilan menata bahan
seperti yang terdapat pada buku teks.
Buku teks cukup banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar peta,
dan diagram. Alat bantu ini akan dapat mempercepat pamahaman siswa atas
bahan ajar yang sedang dipelajari. Pada umumnya, alat bantu semacam itu sulit
diciptakan oleh guru dalam waktu yang relatif singkat.
Kesinambungan bahan ajar dalam buku teks telah diatur sedemikian rupa oleh
penyusunnya. Lebih-lebih, apabila buku tersebut merupakan buku berseri. Hal ini
dapat dimaklumi, sebab sebelum penyusunan buku teks dimulai, terlebih dahulu
disusun kerangka (outline) secara menyeluruh. Dengan demikian, tidak dijumpai
bahan ajar yang terlepas dari yang lain. Sebaliknya, bahan-bahan itu merupakan
rangkaian yang utuh.
Buku teks merupakan batu loncatan bagi siswa. Dengan menggunakan buku
teks, siswa terbebas dari kegiatan mencatat yang merupakan pemborosan
waktu, tenaga, dan pikiran.
Buku teks sangat membantu sekolah yang tidak memiliki perpustakaan yang
lengkap. Hal ini bisa dimaklumi karena buku teks berisi serangkaian bahan ajar
yang minimal harus dikuasai atau dipahami siswa. Jika tidak lewat kemasan
buku teks, bahan-bahan itu tentu berada di berbagai buku sumber.
Buku teks yang dipublikasikan oleh pemerintah dan pihak swasta telah
dipertimbangkan kualitasnya. Pertimbangan kualitas ini merupakan konsekuensi
logis. Sebab, kalau tidak, tentu akan merugikan pihak pemerintah dan penerbit
swasta itu sendiri. Para pemakai buku teks (terutama guru) tentu tidak akan
menggunakan secara maksimal, bahkan tidak mau menggunakannya, apabila
buku teks tersebut tidak berkualitas.
Ahli pendidikan yang mendukung sepenuhnya kehadiran buku teks ini adalah
ahli pendidikan modern.
a. ”No one textbook is the best for all situation” (Romero dalam ”What Textbook
Shall We Use”. Forum 2, 1975)
Argumentasi ini bisa dimaklumi sebab pada kenyataan memang tidak ada satu
pun buku teks yang ampuh untuk semua situasi dan kondisi. Namun demikian,
keterbatasan ini tidak boleh dipakai sebagai “kambing hitam” untuk tidak
menggunakan buku teks. Keterbatasan ini harus diantisipasi guru pada saat
mengasimilasikannya di kelas. Yang peru dipahami adalah buku teks merupakan
sarana untuk mencapai tujuan pengajaran dan buku teks bukanlah pengajaran.
Oleh karena itu, buku teks tidak bisa mengajar. Yang bisa mengajar adalah guru
lewat sarana antara lain buku teks.
b. Tidak ada buku teks yang betul-betul bisa memenuhi harapan kurikulum. (J. N.
Hook, 1965).
Pernyataan ini pun bisa dimaklumi. Memang tidak ada satu pun buku teks yang
bisa memenuhi kebutuhan kurikulum secara total. Buku teks hanyalah salah satu
sarana bukan satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan kurikulum.
Walaupaun Garis-garis besar Program pengajaran (GBPP) atau silabus pada
kurikulum tertentu dipakai sebagai acuan penyusunan bahan ajar pada buku
teks, tetap tidak bisa menjamin bahwa buku teks dapat memenuhi kebutuhan
kurikulum secra total. Sebab, faktor-faktor lain di luar buku teks juga ikut
menentukannya, yaitu guru pemakai buku teks, siswa sasaran, situasi dan
kondisi sekolah, dan aspek-aspek lainnya.
c. Tidak ada satu pun buku teks yang cocok untuk semua jenjang pendidikan.
Pernyataan ini tidak mengada-ada, bahkan bisa dimakluminya. Buku teks
memang disusun dengan mempertimbangkan program tertentu, jenjang
pendidikan tertentu, dan pola pikir siswa tertentu. Akibatnya, buku teks hanya
cocok untuk “sasaran” tetentu saja.
Pandangan ketiga inilah yang memandang buku teks secara lebih objektif dan
rasional. Sebab, buku teks akan berpran secara maksimal apabila memenuhi
criteria ideal dan diasimilasikan oleh guru yang professional.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku teks yang beredar (baik buku
teks wajib maupun penunjang) dijumpai keganjilan-keganjilan. Keganjilan yang
dimaksud terlihat sebagai berikut.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan kurikulum.
- Terdapat buku teks yang berisi pokok-pokok materi (semacam ringkasan).
- Terdapat buku teks yang uraiannya sangat teknis.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan pola pikir siswa.
- Terdapat buku teks yang kurang ”aplicable”.
Perhatian khusus terhadap keganjilan buku teks ini tidak dimaksudkan untuk
mengecilkan arti buku teks dalam dunia pendidikan, tetapi justru untuk memacu
peningkatan kualitas buku teks setelah dikaitkan dengan kedudukan dan
fungsinya yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembelajran
siswa di kelas.
Semenjak pemberlakuan kurikulum 1984 sampai dengan sekarang (Kurikulum
2006 atau KTSP) kehadiran buku teks sebagai penunjang pelaksanaan
pembelajaran cukup dominan bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini disebabkan oleh adanya perhatian serius pemerintah terhadap dunia
pendidikan dan minat dominan penerbit swasta terhadap penerbitan buku teks.
Keberagaman buku teks yang beredar haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh kalangan pendidikan, terutama guru. Sebab, dengan demikian, guru bisa
memilih dengan leluasa: mana buku teks yang mempunyai kriteria ideal baik
dilihat dari kesesuaiannya dengan kurikulum, kesesuaiannya bagi siswanya,
maupun tingkat dan daya aplikasinya.
Di sisi lain, di lapangan dijumpai adanya anggapan bahwa buku teks wajib
merupakan ”buku suci”. Anggapan yang ekstrem ini sebenarnya tidak perlu
terjadi, sebab pada dasarnya tidak ada satu pun buku teks, termasuk buku teks
wajib, yang ampuh untuk segala-galanya: kapan dan di mana saja. Sebab, pada
saat diaplikasikan, buku teks (termasuk yang wajib) masih tetap perlu disiasati
guru sebelum dipakai dalam pembelajaran. Misalnya, apakah sajian bahan
ajarnya sudah sesuai dengan GBPP atau Kompetensi Dasar yang ingin dicapai;
apakah strategi penyampaiannya sudah sesuai dengan pembelajaran yang
disarankan Kurikulum, apakah pola pengembangan bahan ajar sesuai dengan
perkembangan siswa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Selain itu, masih dijumpai juga pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi
penuh kepada buku teks, tanpa melihat kurilulum (khususnya GBPP dan silabus
yang telah dirancang) yang menjadi acuannya. Ketergantungan guru ini
dibuktikan dengan gejal-gejala berikut.
- Guru menerangkan satu per satu uraian bahan ajar yang ada pada buku teks,
tanpa melihat pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP atau silabus.
- Guru melakukan langkah-langkah pembelajaran yang tertuang dalam buku
teks, tanpa melihat kesesuaiannya dengan pembelajaran yang disarankan dalam
GBPP atau silabus.
- Guru mengembangkan rencana atau skenario pembelajaranb dari bahan ajar
yang terdapat dalam buku teks, tanpa melihat tujuan pembelajaran (kompetensi
dasar yang ingin dicapai) dan bahan ajar (pokok bahasan) yang terdapat dalam
GBPP atau silabus.
- Butir-butir evaluasi pun diambilkan dari pertanyaan atau tugas yang terdapat
dalam buku teks tanpa ada upaya menghubungkannya dengan atau
mengembangkan dari tujuan pembelajaran atau indikator dari kompetensi dasar
yang telah ditentukan.
Dari kelima rumusan itu kiranya dapat diketahui indikator atau ciri penanda buku
teks sebagai berikut.
Buku teks merupakan buku sekolah yang ditujukan bagis siswa pada jenjang
pendidikan tertentu.
Buku teks berisi bahan yang telah terseleksi.
Buku teks selalu berkaitan dengan bidang studi atau mata pelajaran tertentu
Buku teks biasanya disusun oleh para pakar di bidangnya
Buku teks ditulis untuk tujuan instruksional tertentu.
Buku teks biasanya dilengkapi dengan sarana pembelajaran.
Buku teks disusun secara sistematis mengikuti strategi pembelajaran tertentu.
Buku teks untuk diasmilasikan dalam pembelajaran.
Buku teks disusun untuk menunjang program pembelajaran.
Dari butir-butir indikator tesebut, buku teks mempunyai ciri tersendiri bila
dibanding dengan buku pendidikan lainnya, baik dilihat dari segi isi, tataan,
maupun fungsinya. Dilihat dari segi isinya, buku teks merupakan buku yang
berisi uraian bahan ajar bidang tertentu, untuk jenjang pendidikan tertentu, dan
pada kurun ajaran tertentu pula. Dilihat dari segi tataanya, buku teks merupakan
sajian bahan ajar yang mempertimbangkan faktor (1) tujuan pembelajaran, (2)
kurikulum dan struktur program pendidikan, (3) tingkat perkembangan siswa
sasaran, (4) kondisi dan fasilitas sekolah, dan (5) kondisi guru pemakai. Dari segi
fungsinya, selain mempunyai fungsi umum sebagai sebagai sosok buku, buku
teks memupunyai fungsi sebagai (1) sarana pengembang bahan dan program
dalam kurikulum pendidikan, (2) sarana pemerlancar tugas akademik guru, (3)
sarana pemerlancar ketercapaian tujuan pembelajaran, dan (4) sarana
pemerlancar efisiensi dan efektivitas kegiatan pembelajaran.
Secara teknis Geene dan Pety (dalam Tarigan, 1986: 21) menyodorkan sepuluh
kategori yang harus dipenuhi buku teks yang berkualitas. Sepuluh kategori
tersebut sebagai berikut.
Sepuluh kategori yang disodorkan Geene dan Petty tersebut pada dasarnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketiga ciri buku teks yang disampaikan
sebelumnya. Dikatakan demikian, karena butir-butir kategori tersebut bisa
dimasukkan ke dalam tiga ciri buku teks.
Sebagai kelengkapan kategori tersebut, Schorling dan Batchelder (1956)
memberikan empat ciri buku teks yang baik, yaitu
(1) direkomendasikan oleh guru-guru yang berpengalaman sebagai buku teks
yang baik;
(2) bahan ajarnya sesuai dengan tujuan pendidikan, kebutuhan siswa, dan
kebutuhan masyarakat;
(3) cukup banyak memuat teks bacaan, bahan drill dan latihan/tugas; dan
(4) memuat ilustrasi yang membantu siswa belajar.
• Buku teks memuat persediaan materi bahan ajar yang memudahkan guru
merencanakan jangkauan bahan ajar yang akan disajikannya pada satuan
jadwal pengajaran (mingguan, bulanan, caturwulanan, semesteran).
• Buku teks memuat masalah-masalah terpenting dari satu bidang studi.
Buku teks banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar,
skema, diagram, dan peta.
• Buku teks merupakan rekaman yang permanen yang memudahkan untuk
mengadakan review di kemudian hari.
• Buku teks memuat bahan ajar yang seragam, yang dibutuhkan untuk
kesamaan evaluasi, dan juga kelancaran diskusi.
• Buku teks memungkinkan siswa belajar di rumah.
• Buku teks memuat bahan ajar yang relatif telah tertata menurut sistem
dan logika tertentu.
• Buku teks membebaskan guru dari kesibukan mencari bahan ajar sendiri
sehingga sebagian waktunya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain.
Bagi orang tua pun buku teks mempunyai peran tersendiri. Dengan buku teks
orang tua bisa memberikan arahan kepada anaknya apabila yang bersangkutan
kurang memahami materi yang diajarkan d sekolah. Dari keadaan ini orang tua
akhirnya bisa mengetahui daya serap anaknya terhadap materi mata pelajaran
tertentu. Apabila daya serapnya kurang, perlu dilakukan langkah-langkah
perbaikan; dan apabila daya serapnya baik, perlu juga dilakukan langkah-
langkah pemantapan atau pengayaan.
Pada sisi lain, buku teks dapat dipandang sebagai simpanan pengetahuan
tentang berbagai segi kehidupan (Pusat Perbukuan, 2005). Karena sudah
dipersiapkan dari segi kelengkapan dan penyajiannya, buku teks itu memberikan
fasilitas bagi kegiatan belajar mandiri, baik tentang substansinya maupun
tentang caranya. Dengan demikian, penggunaan buku teks merupakan bagian
dari upaya pencipataan ”budaya buku” bagi siswa, yang menjadi salah satu
indikator dari masyarakat yang maju.
Dipandang dari hasil belajar, buku teks mempunyai peran penting. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa buku teks berperan secara maknawi dalam
prestasi belajar siswa. Laporan World Bank (1995) mengenai Indonesia,
misalnya, ditunjukkan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku dan fasilitas
lain berkorelasi positif dengan prestasi belajar siswa. Di Filipina, peningkatan
rasio kepemilikan buku siswa dari 1 : 10 menjadi 1 : 2 di kelas 1 dan 2 secara
signifikan meningkatkan hasil belajar siswa (World Bank, 1995). Pernyataan
tersebut diperkuat oleh Supriadi (2000) yang menyatakan bahwa tingkat
kepemilikan siswa akan buku berkorelasi positif dan bermakna dengan prestasi
belajar.
DESKRIPSI
Matakuliah ini berusaha menumbuhkan pengetahuan, pemahaman, dan
penguasa-an mahasiswa tentang penulisan buku ajar atau bahan ajar untuk
pembelajaran bahasa Indinesia di berbagai tingkat satuan pendidikan atau buku
ilmiah dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia.
TUJUAN
Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa dapat menghasilkan buku ajar untuk
pembelajaran bahasa Indonesia di TK, SD, SLTP/MTs, SMA/MA/SMK atau
bahan untuk berbagai pelatihan atau buku ilmiah dalam bidang bahasa dan
sastra Indonesia.
EVALUASI
Nilai akhir (NA) mahasiswa ditetapkan berdasarkan:
(a) kuantitas dan kualitas pertisipasi dalam perkuliahan (bobot 2)
(b) hasil tugas harian individu (bobot 2)
(c) hasil tugas harian kelompok dan pertangungjawabannya (bobot 3)
(d) hasil tugas akhir individu dan pertanggungjawabannya (bobot 3)
SUMBER/RUJUKAN
JADWAL PERTEMUAN
Minggu I
Karakteristik buku ajar: pengertian buku ajar/buku ilmiah, perbedaan buku ajar
dan buku ilmiah, perbedaan buku ajar dan bahan ajar
Minggu II
Hubungan buku ajar dan komponen pembelajaran: hubungan buku ajar dan
kurikulum, hubungan buku ajar dan kompetensi yang ingin dicapai (tujuan
pembelajaran), hubungan buku ajar dan siswa, hubungan buku ajar dan guru,
hubungan buku ajar dan media pembelajaran, hubungan buku ajar dan
metode/teknik/strategi pembelajaran,
Minggu III
Landasan penyusunan buku ajar bahasa dan sastra Indonesia: Landasan
keilmuan bahasa dan sastra, landasan ilmu pendidikan dan keguruan, landasan
kebutuhan bahasa siswa, landasan keterbacaan materi dan ba-hasa yang
digunakan
Minggu IV
Komponen buku ajar (versi BSNP):
komponen isi(: cakupan materi, akurasi mate-ri, kemutakhiran, mengandung
wawawsan produktivitas, merangsang keingintahuan, mengembangkan
kecakapan hidup, mengembangkan wawasan kebinekaan, mengandung
wawasan kontekstual); komponen kebahasa-an (: sesuai dengan perkembangan
peserta didik), komunikatif, dialogis dan interaktif, lugas, keruntutan alur pikir,
koherensi, kese-suaian dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar,
penggunaan istilah dan simbol atau lambang); komponen komponen penyajian
(:teknik penyajian, pendukung penyajian materi, penyajian pembelajaran); dan
komponen kegrafikan (: penampilan, tata letak, ilustrasi, keterbacaan huruf).
Minggu V-XV
Teknik dan prosedur penulisan buku ajar: pengkajian kurikulum, penyusunan
silabus, pengkajian keilmuan bahasa dan sastra Indonesia, pemahaman
karakter-istik siswa dan guru, pengorganisasian buku, pemilihan bahan/materi,
penyajian bahan/ materi, penggunaan bahasa dan keterbacaan
Minggu XVI
Problema penulisan buku ajar dan pemecahannya: identifikasi permasalahan
setiap tahapan penulisan buku ajar dan upaya pemecahannya
Malang, Agustus 2008
Pembinan MK
http://masnur-muslich.blogspot.com/2008_10_01_archive.html