You are on page 1of 43

« Berbagi Dalam Kehidupan

About Me »

Lima Aliran dalam Filsafat Pendidikan


October 7, 2009 by srilinda

Ada terdapat banyak sekali pandangan-pandangan yang berbeda terhadap pendidikan dan
praktek pendidikan yang terjadi selama ini. Pendapat-pendapat dari para pakar
pendidikan itu dapat dikelompokkan dalam beberapa aliran, diantaranya terdapat lima
aliran dalam Filsafat Pendidikan menurut Wahyuddin (2008) sebagai berikut:

1. Essensialisme

Aliran filsafat ini menunjukkan pendekatan pendidikan “tradisional” atau back to basic
yang berupaya menanamkan pada peserta didik hal-hal yang esensial dari pengetahuan
akademik dan perkembangan karakter peserta didik. Aliran ini dipopulerkan oleh
William Bagley (1874-1946). Aliran ini didasarkan pada suatu filsafat konservatif di
Amerika yang menerima struktur social, politik dan ekonomi dari masyarakat dan
menuntut lebih banyak syarat pokok, hari sekolah yang lebih lama, tahun akademik yang
lebih panjang serta buku-buku teks yang lebih menantang.

Lebih lanjut para esensialis memandang bahwa ruang-ruang kelas harus diorientasikan di
sekitar guru, yang secara ideal bertindak sebagai model peran intelektual dan moral bagi
para siswa. Para guru dan administrator pendidikan memutuskan apa yang paling penting
untuk dipelajari oleh para siswa dan menempatkan sedikit penekanan pada minat siswa,
dan guru esensialis sangat berfokus pada skor-skor tes pencapaian sebagai alat untuk
mengevaluasi kemajuan peserta didik.

2. Progresivisme

Gerakan progresivis merangsang sekolah-sekolah untuk memperluas kurikulum merek,


menjadikan pendidikan lebih relevan dengan kebutuhan-kebutuhan dan minat para
siswa . Aliran ini dipopulerkan oleh John Dewey (1859-1952), beliau memberikan
penghargaan esarnya terhadap sains dan berpendapat bahwa satu kebenaran yang konstan
tentang alam semesta adalah eksistensi perubahan, perubahan bukanlah suatu kekuatan
yang tidak dapat dikendalikan, lebih tepatnya, perubahan dapat diarahkan oleh intelegensi
manusia.

Pendidikan menurut Dewey adalah rekonstruksi pengalaman yaitu suatu kesempatan


untuk menerapkan pengalaman-pengalaman sebelumnya dengan cara-cara yang baru.
Dengan bersandar pada metode ilmiah, di sekolah progesivis, para siswa didorong untuk
berinteraksi satu sama lain dengan mengembangkan nilai-nilai luhur social seperti
kerjasama dan toleransi dengan cara pandang yang berbeda, sehingga seorang guru tidak
merasakan paksaan untuk memusatkan perhatian para siswa pada suatu disiplin ilmu
tertentu dan para siswa boleh bertanggung jawab untuk mempelajari pelajaran-pelajaran
yang menggabungkan beberapa bidang studi (subyek) yang berbeda.

3. Perenialisme

Aliran ini dipopulerkan oleh Plato dan Aristoteles, perennial berarti “abadi”. Menurut
para perenialis, saat para siswa larut dalam studi tentang gagasan-gagasan yang besar dan
abadi, mereka akan mengapresiasi belajar untuk belajar itu sendiri dan menjadi kaum
intelektual sejati. Seperti halnya essensialisme, perennialisme hanya menerima sedikit
fleksibelitas dalam kurikulum, mereka mendukung suatu kurikulum yang universal
berdasarkan pandangan bahwa semua manusia memiliki “nature” (fitrah, sifat,
karakter)esensial yang sama. Tidak seperti essensialisme, perennialisme tidak berakar
pada suatu waktu atau tempat tertentu, kaum perennialis berupaya membantu para siswa
menemukan gagasan-gagasan yang paling berwawasan dan abadi dalam memahami
kondisi-kondisi manusiawi, menurut mereka pengetahuan tumbuh terutama dari temuan-
temuan empiris para ilmuwan, merendahkan nilai penting kapasitas kita untuk bernalar
sebagi individu-individu, yaitu untuk berpikir secara dalam, analitis, fleksibel dan
imajinatif.

Prinsip pertama aliran ini adalah ” man is nothing but what he makes of himself ”
(manusia adalah apa yang dia upayakan atas dirinya), dipopulerkan oleh Soren
Kierkegaard (1813-1855) dan Frederich Nietzsche (1811-1900), mereka sama-sama
menjunjung tinggi individualisme, khususnya mereka berpandangan bahwa pendekatan-
pendekatan filsafat tradisional tidak cukup menghargai pertimbangan ilmiah dari tiap-tiap
individu.

Di dalam ruang kelas eksistensialisme, mata pelajaran berada pada tempat kedua untuk
membantu para siswa memahami dan mengapresiasi diri mereka sendiri sebagai individu-
individu yang unik yang menerima tanggung jawab sepenuhnya atas pikiran-pikiran,
perasaan dan tindakan mereka sendiri. Peran guru adalah membantu siswa-siswa untuk
menentukan esensi mereka sendiri dengan menghadapkan mereka pada berbagai jalur
yang dapat mereka ambil dalam kehidupan dan menciptakan lingkungan dimana mereka
dapat bebas menentukan cara yang lebih mereka pilih.

5. Behaviorisme

Dipopulerkan oleh Ivan Pavlov(1848-1936), John Watson (1878-1958) dan B.F.


Skinner (1904-1989). Behviorisme menegaskan bahwa satu-satunya realitas adalah
dunia fisik yang kita kenali melalui observasi ilmiah yang dilakukan dengan seksama

http://srilinda.wordpress.com/2009/10/07/filsafat-pendidikan/
Ada Apa dengan Buku Teks?
Oleh Masnur Muslich

Lewat uraian ini diharapkankan Anda mempunyai pemahaman tentang:


- pengaruh buku bagi pembacanya
- buku dalam pendidikan;
- pandangan ahli pendidikan terhadap buku teks; dan
- kondisi pemakaian buku teks.

1. Pengaruh Buku bagi Pembacanya

Pada era global ini kehidupan manusia tidak bisa melepaskan diri dari buku.
Lewat buku manusia bisa bertambah wawasannya yang pada akhirnya
(langsung atau tidak langsung) akan mempengaruhi pola pikir dan pola
hidupnya. Bahkan, larena kuatnya pengaruh bagi kehidupan manusia, ada
sekelompok ”buku” yang disebut ”the great book”, yaitu Quran, Injil, Taurat,
Zabur, Weda, dan Tripitaka. Selain itu, dikenal pula ”buku-buku pengubah
dunia”, yaitu Trias Politika, Das Kapital, De Principle, dan Uncle Toms Cabin.
Secara rinci D. Waples dkk. (1990) membagi pengaruh buku bagi pembacanya
menjadi lima kategori, yaitu (1) pengaruh instrumental, (2) pengaruh prestise, (3)
pengaruh pemantapan, (4) pengaruh estetis dan apresiatif, dan (5) pengaruh
pelepasan. Buku dikatakan mempunyai pengaruh instrumental apabila lewat
membaca buku itu, pembaca memperoleh informasi atau petunjuk yang dapat
membantu pemecahan masalah yang ditemui dalam kehidupannya. Buku
dikatakan mempunyai pengaruh prestise apabila setelah membaca buku,
pembaca bisa memantapkan pola pikir, tingkah laku dan sikapnya yang pada
akhirnya dapat terangkat prestise dan martabatnya. Buku dikatakan mempunyai
pengaruh pemantapan (reinforcement) apabila setelah membaca buku, yang
bersangkutan merasa lebih mantap dalam mengambil langkah-langkah dalam
kehidupannya. Buku dikatakan dapat berpengaruh estetis dan apresiatif apabila
dengan membaca buku tersebut pembaca dapat terbina daya seni (estetika) dan
apresiasinya Terakhir, buku dikatakan mempunyai pengaruh pelepasan (respite)
apabila dengan membaca buku, yang bersangkuan bisa melepaskan diri dari
keresahan, kericuhan, dan keruwetan yang ada pada dirinya.

Pengaruh buku tersebut akan lebih terasa pada diri anak. Para ahli pendidikan
berkesimpulan bahwa lewat membaca buku, anak akan berpengaruh
perkembangan minat, sikap sosial, emosi, dan penalarannya. Konsekuensinya,
apabila buku yang dibaca berisi hal-hal yang negatif, maka perkembangan jiwa
anak juga mengarah ke negatif. Sebaliknya, apabila yang dibaca berisi hal-hal
yang positif, maka perkembangan jiwa anak pun positif. Karena yang diharapkan
oleh semua pihak (:orang tua, pemerintah, penddik) agar anak berkembang
secara positif, persediaan buku bagi anak (buku bacaan, buku teks, dan
sebagainya) haruslah buku yang memenuhi syarat positif.
Permasalahan yang segera muncul adalah buku bagaimanakah yang memenuhi
syarat positif bagi anak? Buku dikatakan mempunyai syarat positif apabila
mengandung hal-hal berikut, yaitu
(a) bisa memperluas wawasan anak;
(b) bisa menambah pengetahuan baru;
(c) bisa membimbing berpikir konstruktif;
(d) bisa mengarahkan kreativitas;
(e) bisa menumbuhkan sikap moral, sosial, dan agama yang baik; dan
(f) bisa menuntut ke arah kehidupan yang mandiri
Buku dikategorikan “bisa memperluas wawasan anak” apabila buku tersebut
berisi informasi faktual, deskriptif, atau naratif yang belum menjadi perhatian
anak. Misalnya, informasi tentang cara meminum obat, cara mandi yang betul,
makanan sehat, teman yang baik, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa
menambah pengetahuan baru” apabila buku tersebut berisi penjelasan tentang
pengetahuan dan kelimuan sederhana yang belum diketahu anak. Misalnya,
proses terjadinya gunung meletus, proses terjadinya hujan, perlunya kebersihan
lingkungan, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa membimbing berpikir
konstruktif” apabila buku tersebut berisi uraian atau eskripsi yang dapa
merangsang anak untuk berpkir secara rasional. Misalnya, cerita tentang
kerugian anak yang malas belajar, keuntungan anak yang berbaik hati, akbat
anak yang ska berbohong, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa
mengarahkan kreativitas” apabila buku tersebut berisi petunjuk atau pedoman
paktis yang dapat diterapkan oleh anak dalam kehidupannya. Misalnya, cara
membuat burung dari kertas, cara membuat lampu minyak, cara menjernihkan
air, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa menumbuhkan sikap moral, sosial,
dan agama yang baik” apabila buku tersebut berisi cerita faktual atau fiksi yang
melibatkan tokoh-tokoh idola yang dapat dipakai sebagai cermin atau dapat ditiru
dalam kehidupan anak. Misalnya, cerita pahlawan, tokoh agama, dermawan cilik,
dai cilik, dan sebagainya. Terakhir, buku dikategorikan “bisa menuntut ke arah
kehidupan yang mandiri” apabila buku tersebut berisi cerita tentang solusi atas
problema kehidupan. Misalnya, keberhasil anak desa yang sebatang kara,
kesuksesan anak cacat netra, berjuang melawan sakit menahun, dan
sebagainya.Syarat-syarat itulah yang secara ideal terdapat pada buku yang
layak sebagai bacaan anak.

2. Buku dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, buku merupakan bagian dari kelangsungan pendidikan.


Dengan buku, pelaksanaan pendidikan dapat lebih lancar. Guru dapat mengelola
kegiatan pembelajaran secara efektif dan efisien lewat sarana buku. Siswa pun
dalam mengikuti kegiatan belajar dengan maksimal dengan sarana buku.
Bahkan, administratur pendidikan dapat mengelola pendidikan dengan efektif
dan efisien dengan berpedoman ada aturan-aturan dan lebijakan yang tertuang
dalam buku, misalnya pedoman pelaksanaan pendidikan dan kurikulum. Atas
dasar itulah, bangsa-bangsa Eropa (yang termasuk bangsa maju) berpendapat
bahwa ”education without book is unthinkable”.
Sebagai bangsa yang maju, kita patut tidak berseberangan pendapat dengan
bangsa Eropa tentang buku. Buku hendaknya menjadi perhatian utama, mulai
dari pengadaan (baca: penulisan), penggandaan, sampai dengan
penyeberannya. Dari segi pengadaan, buku-buku yang ditulis hendaknya
diarahkan pada peningkatakan wawasan dan perkembangan jiwa yang positif,
tidak hanya masalah iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi juga masalah
sosial dan imtak (iman dan takwa). Dengan demikian ada keseimbangan antara
perkembangan pemikiran dan kejiwaaan. Inilah yang biasa disebut ”manusia
utuh” itu. Dari segi penggandaan, buku-buku yang telah ditulis hendaknya
diproduksi secara proporsional dan memadai. Oleh karena tu, pemerintah
hendaknya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk itu. Pihak swasta pun
sebaiknya terlibat dalam penggandaan ini walaupun dalam bentuk transaksi
bisnis. Dari segi penyebaran, buku yang telah digandakan hendaknya
disebarkan secara merata. Jangan hanya diarahkan ke kota-kota besar saja.
Daerah terpencil justru mendapatkan perhatian utama. Dengan demkian, akan
terjadi pemerataan perkembangan pola pikir dan wawasan. Terkait dengan
penyebaran buku ini, niat pemerintah untuk program buku murah perlu
mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat.
Buku-buku yang dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan bermacam-
macam. Namun demikian, apabila dilihat dari segi isi dan fungsinya, buku
pendidikan setidak-tidaknyanya dapat dibedakan menjadi tujuh jenis, yaitu
sebagai berikut.
Buku acuan, yaitu buku yang berisi informasi dasar tentang bidang atau hal
tertentu. Informasi dasar atau pokok ini bisa dipakai acuan (referensi) oleh guru
untuk memahami sebuah masalah secara teoretis.
Buku pegangan, yaitu buku berisi uraian rinci dan teknis tentang bidang tertentu.
Buku ini dipakai sebagai pegangan guru untuk memecahkan, menganalisis, dan
menyikapi permasalahan yang akan diajarkan kepada siswa.
Buku teks atau buku pelajaran, yaitu buku yang berisi uraian bahan tentang mata
pelajaan atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah
diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan
perkembangan siswa, untuk diasimilasikan. Buku ini dipakai sebagai sarana
belajar dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
Buku latihan, yaitu buku yang berisi bahan-bahan latihan untuk memperoleh
kemampuan dan keterampilan tertentu. Buku ini dipakai oleh siswa secara
periodik agar yang betrsangktan memiliki kemahiran dalam bidang tertentu.
Buku kerja atau buku kegiatan, yaitu buku yang difungsikan siswa untuk
menuliskan hasil pekerjaan atau hasil tugas yang diberikan guru. Tugas-tugas ini
bisa ditulis di buku kerja tersebut atau secara lepas.
Buku catatan, yaitu buku yang difungsikan untuk mencatat informasi atau hal-hal
yang diperlukan dalam studinya. Lewat buku catatan ini siswa dapat mendalami
dan memahami kembal dengan cara membaca ulang pada kesempatan lain.
Buku bacaan, yaitu buku yang memuat kumpulan bacaan, informasi, atau uraian
yang dapat memperluas pengetahuan siswa tentang bidang tertentu. Buku ni
dapat menunjang bidang studi tertentu dalam memberikan wawasan kepada
siswa.
3. Pandangan Ahli Pendidikan terhadap Buku Teks

Kehadiran buku teks di dunia pendidikan disikapi oleh ahli pendidikan dengan
berbagaimacam versi. Ada yang bersikap negatif, ada yang bersikap positif, dan
adapula yan bersikap moderat. Ketiga pandangan yang berbeda ini didasari oleh
alasan yang bertolak belakangsatu dengan lainnya.

Pandangan Negatif terhadap Buku Teks

Para ahli pendidikan yang bersikap negatif atau “antipati” atas kehadiran buku
teks di dunia pendidikan didasarkan oleh kenyataan berikut.
Buku teks kurang memperhatikan perbedaan individual siswa. Siswa sasaran
dianggap homgen sehingga bahan ajar yang ada pada buku teks tersaji tanpa
memperhatikan siswa yang ”uper” dan siswa yang ”lower”.
Desain buku teks sering tidak sesuai dengan desain kurikulum pendidikan.
Akibatnya, dengan menggunakan buku teks tersebut, program pendidikan yang
telah dirancang dalam kurikulum tidak tercapai.
Konteks dan bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering tidak sesuai
dengan kondisi dan lingkunna siswa sasaran. Apabila hal ini terjadi, buku teks
akan terkesan ”memaksa” siswa untuk belajar sesuatu yang ”tidak sesuai”
dengan kondisi dirinya.
Bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering bias dan basi. Ini terjadi karena
antara waktu penyusunan buku teks dan waktu pemakaiannya berselang terlalu
lama. Akibatnya, informasi dan masalah yang terdapat dalam buku teks sudah
”kadaluarsa”, bahkan tidak sesuai lagi dengan yang sedang dihadapi siswa.

Ahli pendidikan yang apriori terhadap kehadiran buku tekas ini adalah ahli
pendidikan yang mengikuti sistem pendiikan lama.

Pandangan Positif terhadap Buku Teks

Sebaliknya, ahli pendidikan yang bersikap positif atas kehadiran buku teks
didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Buku teks merupakan ”the foundation of learning in classroom”. Anggapan ini
didasarkan oleh kenyataan bahwa pengajaran yang dianggap efektif dan efisien
adalah pengajaran klasikal. Kalau toh ada yang individual, sangatlah bersifat
khusus, karena kondisi tertentu.
Buku teks memuat bahan ajar yang sebaiknya disajikan (what to teach) dan
sekuensi atau urutan cara penyajiannya. Oleh karena itu penyusunan buku teks
tentu memperhatikan bahan ajar mana yang patut dan sebaiknya disajikan,
termasuk tata cara penyajian yang sesuai dengan jenis bahan dan kondisi siswa
sasaran.
Jangkauan,jumlah, dan jenis bahan ajar yang terdapat dalam buku teks telah
relatif pasti sehingga guru memungkinkan untuk mengalokasikannya
berdasarkan jadwal sekolah. Dengan demikian, lewat pemakaian buku teks
dapat terkontrol dengan ketat program pengajarannya.
Paparan masalah atau pokok persoalan (subject matter) dalam buku teks relatif
teliti. Ketelitian ini terlihat mulai dari proses pemilihan bahan, klasifikasi bahan,
sampai dengan proses penyusunannya. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan
guru dengan bahan ajar yang disusunnya sendiri.
Bahan ajar dalam buku teks tertata cukup baik. Ini dapat dilihat dari cara
penyajian bahan ajar yang memperhatikan hierarkhi dan tataletaknya sehingga
mudah dipahami siswa. Tidak semua guru memiliki keterampilan menata bahan
seperti yang terdapat pada buku teks.
Buku teks cukup banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar peta,
dan diagram. Alat bantu ini akan dapat mempercepat pamahaman siswa atas
bahan ajar yang sedang dipelajari. Pada umumnya, alat bantu semacam itu sulit
diciptakan oleh guru dalam waktu yang relatif singkat.
Kesinambungan bahan ajar dalam buku teks telah diatur sedemikian rupa oleh
penyusunnya. Lebih-lebih, apabila buku tersebut merupakan buku berseri. Hal ini
dapat dimaklumi, sebab sebelum penyusunan buku teks dimulai, terlebih dahulu
disusun kerangka (outline) secara menyeluruh. Dengan demikian, tidak dijumpai
bahan ajar yang terlepas dari yang lain. Sebaliknya, bahan-bahan itu merupakan
rangkaian yang utuh.
Buku teks merupakan batu loncatan bagi siswa. Dengan menggunakan buku
teks, siswa terbebas dari kegiatan mencatat yang merupakan pemborosan
waktu, tenaga, dan pikiran.
Buku teks sangat membantu sekolah yang tidak memiliki perpustakaan yang
lengkap. Hal ini bisa dimaklumi karena buku teks berisi serangkaian bahan ajar
yang minimal harus dikuasai atau dipahami siswa. Jika tidak lewat kemasan
buku teks, bahan-bahan itu tentu berada di berbagai buku sumber.
Buku teks yang dipublikasikan oleh pemerintah dan pihak swasta telah
dipertimbangkan kualitasnya. Pertimbangan kualitas ini merupakan konsekuensi
logis. Sebab, kalau tidak, tentu akan merugikan pihak pemerintah dan penerbit
swasta itu sendiri. Para pemakai buku teks (terutama guru) tentu tidak akan
menggunakan secara maksimal, bahkan tidak mau menggunakannya, apabila
buku teks tersebut tidak berkualitas.

Ahli pendidikan yang mendukung sepenuhnya kehadiran buku teks ini adalah
ahli pendidikan modern.

Pandangan yang Moderat terhadap Buku Teks

Kedua pandangan tersebut sebenarnya boleh dikatakan sangatlah ekstrem, baik


eksrem kiri dan ekstrem kanan. Kedua pendapat itu masing-masing ada
kelebihan dan kekurangannya. Lalu, timbullah pandangan yang moderat
terhadap kehadiran buku teks. Pandangan ketiga ini diilhami oleh kenyataan
bahwa tidak semua buku teks menguntungkan bagi pendidikan dan tidak semua
pula buku teks merugikan bagi kelangsungan pendidikan. Beberapa argumentasi
berikut ini menjadi alasan bagi pandangan yang moderat terhadap buku teks.

a. ”No one textbook is the best for all situation” (Romero dalam ”What Textbook
Shall We Use”. Forum 2, 1975)
Argumentasi ini bisa dimaklumi sebab pada kenyataan memang tidak ada satu
pun buku teks yang ampuh untuk semua situasi dan kondisi. Namun demikian,
keterbatasan ini tidak boleh dipakai sebagai “kambing hitam” untuk tidak
menggunakan buku teks. Keterbatasan ini harus diantisipasi guru pada saat
mengasimilasikannya di kelas. Yang peru dipahami adalah buku teks merupakan
sarana untuk mencapai tujuan pengajaran dan buku teks bukanlah pengajaran.
Oleh karena itu, buku teks tidak bisa mengajar. Yang bisa mengajar adalah guru
lewat sarana antara lain buku teks.

b. Tidak ada buku teks yang betul-betul bisa memenuhi harapan kurikulum. (J. N.
Hook, 1965).
Pernyataan ini pun bisa dimaklumi. Memang tidak ada satu pun buku teks yang
bisa memenuhi kebutuhan kurikulum secara total. Buku teks hanyalah salah satu
sarana bukan satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan kurikulum.
Walaupaun Garis-garis besar Program pengajaran (GBPP) atau silabus pada
kurikulum tertentu dipakai sebagai acuan penyusunan bahan ajar pada buku
teks, tetap tidak bisa menjamin bahwa buku teks dapat memenuhi kebutuhan
kurikulum secra total. Sebab, faktor-faktor lain di luar buku teks juga ikut
menentukannya, yaitu guru pemakai buku teks, siswa sasaran, situasi dan
kondisi sekolah, dan aspek-aspek lainnya.

c. Tidak ada satu pun buku teks yang cocok untuk semua jenjang pendidikan.
Pernyataan ini tidak mengada-ada, bahkan bisa dimakluminya. Buku teks
memang disusun dengan mempertimbangkan program tertentu, jenjang
pendidikan tertentu, dan pola pikir siswa tertentu. Akibatnya, buku teks hanya
cocok untuk “sasaran” tetentu saja.

Pandangan ketiga inilah yang memandang buku teks secara lebih objektif dan
rasional. Sebab, buku teks akan berpran secara maksimal apabila memenuhi
criteria ideal dan diasimilasikan oleh guru yang professional.

4. Kondisi Pemakaian Buku Teks

Selama ini terdapat anggapan dari sebagian besar masyarakat (khususnya


komunitas pendidikan) bahwa buku teks sebagai penunjang pelaksanaan
kegiatan pembelajaran di kelas dikelompokkan menjadi dua, yaitu buku teks
wajib dan buku teks penunjang. Buku teks wajib (juga biasa disebut buku paket)
adalah buku teks yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah, dalam hal
ini Departemen Pendidikan Nasional. Sementara itu, buku teks penunjang (juga
biasa disebut buku pelengkap) adalah buku teks yang diterbitkan oleh penerbit
swasta. Pendapat seperti itu sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan
dari segi keilmuan sebab kedua ”jenis” buku teks tersebut sama-sama
berorientasi kepada kurikulum yang sedang berlaku, baik dari segi pendekatan,
isi, maupun strateginya. Karena orientasinya sama, kedua jenis buku teks itu
sebenarnya mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dalam menunjang
pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Anggapan dekotomis tersebut sebenarnya dipicu oleh kebijakan ”politis”
pemerintah (sebelum era Reformasi) bahwa bahwa buku teks wajib mempunyai
kedudukan ”utama”, sedangkan buku teks penunjang ini mempunyai kedudukan
”pelengkap”. Kebijakan pemerintah ini didasari pertimbangan bahwa apabila
buku teks wajib ini kalah pengaruhnya dengan buku teks penunjang, akan
berdampak pada keheterogenan hasil belajar siswa. Apabila keadaan ini terjadi,
tentu akan menyulitkan pemerintah dalam menentukan sandardisasi kualitas
atau keberhasilan belajar siswa. Kebijakan semacam ini sebenarnya tidak perlu
terjadi apabila buku teks yang beredar (baik yang dterbitkan oleh pemerintah
maupun swasta) telah mendapat kontrol lewat penilaian terlebih dahulu oleh
lembaga yang kompeten atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah, lewat
Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP).
Dilihat dari penyusunnya, buku teks wajib ini biasanya disusun oleh tim yang
para anggotanya tentunya mempunyai kualitas yang dipersyaratkan. Bahkan,
sebelum buku teks wajib ini diterbitkan, terlebih dahulu ditelaah kualitas atau
kevaliditasannya baik dari segi isi, strategi, dan bahasa dalam forum lokakarya.
Sementara itu, buku teks penunjang yang diterbitkan oleh swasta biasanya
ditulis oleh penulis (baik sendiri mapun kelompok) yang berminat atau yang
mempunyai pengalaman terhadap bidang pelajaran tertentu. Karena
pertimbangan pasar, buku yang ditulisnya selain disesuaikan dengan kurikulum
yang berlaku, juga disesuaiakan dengan keinginan pasar. Bahkan, hal-hal
tertentu yang dianggap lemah atau sumbeng dalam buku teks wajib akan
dibenahi atau dilengkapi dalam buku teks penunjang ini.
Sebagai konsekuensinya, buku teks wajib yang diterbitkan oleh pemerintah
disebarkan secara cuma-cuma ke sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Hanya
saja, jumlah buku yang disebarkan jauh di bawah kebutuhan siswa. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (1994), misalnya, pernah mengakui bahwa karena
keterbatasan dana, buku teks wajib yang disebarkan hanyalah 20% dari
kebutuhan real. Ini berarti masih 80% yang belum bisa terlayani buku teks wajib.
Di sinilah peran buku teks penunjang bisa berkiprah untuk ”menggantikan” posisi
buku teks wajib. Kesempatan ini rupanya dimanfaatkan baik-baik oleh penerbit
swasta untuk mengisi kekosongan tersebut.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku teks yang beredar (baik buku
teks wajib maupun penunjang) dijumpai keganjilan-keganjilan. Keganjilan yang
dimaksud terlihat sebagai berikut.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan kurikulum.
- Terdapat buku teks yang berisi pokok-pokok materi (semacam ringkasan).
- Terdapat buku teks yang uraiannya sangat teknis.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan pola pikir siswa.
- Terdapat buku teks yang kurang ”aplicable”.
Perhatian khusus terhadap keganjilan buku teks ini tidak dimaksudkan untuk
mengecilkan arti buku teks dalam dunia pendidikan, tetapi justru untuk memacu
peningkatan kualitas buku teks setelah dikaitkan dengan kedudukan dan
fungsinya yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembelajran
siswa di kelas.
Semenjak pemberlakuan kurikulum 1984 sampai dengan sekarang (Kurikulum
2006 atau KTSP) kehadiran buku teks sebagai penunjang pelaksanaan
pembelajaran cukup dominan bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini disebabkan oleh adanya perhatian serius pemerintah terhadap dunia
pendidikan dan minat dominan penerbit swasta terhadap penerbitan buku teks.
Keberagaman buku teks yang beredar haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh kalangan pendidikan, terutama guru. Sebab, dengan demikian, guru bisa
memilih dengan leluasa: mana buku teks yang mempunyai kriteria ideal baik
dilihat dari kesesuaiannya dengan kurikulum, kesesuaiannya bagi siswanya,
maupun tingkat dan daya aplikasinya.
Di sisi lain, di lapangan dijumpai adanya anggapan bahwa buku teks wajib
merupakan ”buku suci”. Anggapan yang ekstrem ini sebenarnya tidak perlu
terjadi, sebab pada dasarnya tidak ada satu pun buku teks, termasuk buku teks
wajib, yang ampuh untuk segala-galanya: kapan dan di mana saja. Sebab, pada
saat diaplikasikan, buku teks (termasuk yang wajib) masih tetap perlu disiasati
guru sebelum dipakai dalam pembelajaran. Misalnya, apakah sajian bahan
ajarnya sudah sesuai dengan GBPP atau Kompetensi Dasar yang ingin dicapai;
apakah strategi penyampaiannya sudah sesuai dengan pembelajaran yang
disarankan Kurikulum, apakah pola pengembangan bahan ajar sesuai dengan
perkembangan siswa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Selain itu, masih dijumpai juga pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi
penuh kepada buku teks, tanpa melihat kurilulum (khususnya GBPP dan silabus
yang telah dirancang) yang menjadi acuannya. Ketergantungan guru ini
dibuktikan dengan gejal-gejala berikut.
- Guru menerangkan satu per satu uraian bahan ajar yang ada pada buku teks,
tanpa melihat pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP atau silabus.
- Guru melakukan langkah-langkah pembelajaran yang tertuang dalam buku
teks, tanpa melihat kesesuaiannya dengan pembelajaran yang disarankan dalam
GBPP atau silabus.
- Guru mengembangkan rencana atau skenario pembelajaranb dari bahan ajar
yang terdapat dalam buku teks, tanpa melihat tujuan pembelajaran (kompetensi
dasar yang ingin dicapai) dan bahan ajar (pokok bahasan) yang terdapat dalam
GBPP atau silabus.
- Butir-butir evaluasi pun diambilkan dari pertanyaan atau tugas yang terdapat
dalam buku teks tanpa ada upaya menghubungkannya dengan atau
mengembangkan dari tujuan pembelajaran atau indikator dari kompetensi dasar
yang telah ditentukan.

Keadaan yang timpang ini tentunya patut dicari penyebabnya. Sehubungan


dengan itu, Mills dan Doeglass (1957:255-263) menyebutkan secara rinci faktor
penyebab ketergantungan guru terhadap buku teks sebagai berikut.
- Guru kurang dipersiapkan secara matang tehadap subjek yang diajarkan.
- Guru lebih banyak diberikan problematik bidang studi di tingkat perguruan
tinggi, tetapi sangat kurang disajikan problematik yang relevan denagn sekolah
tempat mereka mengajar.
- Guru kurang dilatih merencanakan bahan pembelajaran.
- Tradisi yang menganggap bahw buku teks sebagai sumber lengkap yang siap
disajikan masih sangat dominan.
- Pengaruh penggunaan tes baku sebagai alat pengukur prestasi belajar.
Kelima faktor penyebab itu haruslah diantisipasi oleh pihak yang bertanggung
jawab, baik oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (c. q.
Direktorat Sarana Pendidikan) maupun oleh lembaga pendidkan tenaga
kependidikan (LPTK), agar tidak terjadi ketimpangan yang berkelanjutan.
Diposkan oleh Masnur Muslich di 10:01
Label: Artikel
Hubungan Buku Teks dan Komponen Pembelajaran
Oleh Masnur Muslich

Lewat uraian ini diharapkankan Anda mempunyai pemahaman tentang


hubungan buku teks dan komponen pembelajaran, khususnya mengenai:
- hubungan buku teks dan kurikulum;
- hubungan buku teks dan tujuan pembelajaran;
- hubungan buku teks dan siswa;
- hubungan buku teks dan guru;
- hubungan buku teks dan media pembelajaran; dan
- hubungan buku teks dan strategi pembelajaran.

Mengapa buku teks dihubungkan dengan komponen pembelajaran? Ya, karena


buku teks merupakan sajian tertulis suatu pembelajaran. Oleh karena itu, semua
komponen pembelajaran layak tecermin di dalam buku teks.

1. Hubungan Buku Teks dan Kurikulum


Para guru yang setiap hari berkecimpung dalam dunia pembelajaran akan terasa
benar betapa erat hubungan antara kurikulum dan buku teks. Begitu eratnya,
terasa hubungan itu saling menunjang antara satu dengan yang lain. Ada
sebagian pendapat yang mengatakan bahwa kurikulum lebih dahulu daripada
buku teks. Buku teks dianggap sebagai sarana penunjang bagi kurikulum
tersebut. Walaupun begitu, tidaklah menutup kemungkinan bahwa kurikulum
lahir berdasarkan adanya buku teks yang dianggap relatif baik sehingga perlu
disusun programnya secara bersistem.
Pada hakikatnya, kurikulum adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sementara itu, buku teks adalah sarana belajar yang digunakan di sekolah untuk
menunjang suatu program pembelajaran. Dengan demikian, keberadaan
kurikulum dan buku teks selalu berdekatan dan berkaitan. Atau, dengan
perkataan lain, kurikulum itu ibarat resep masakan dan buku teks adalah bahan-
bahan yang dilakukan untuk mengolah masakan tersebut. Dalam hal ini
pengolah atau juru masaknya adalah guru.
Namun demikian, kurikulum itu tidak bersifat menentukan segalanya. Pada
kurikulum KTSP, misalnya, yang pengembangannya dilakukan sepenuhnya oleh
sekolah masih diperlukan penafsiran, penjelasan, perincian, dan pemaduan
terhadap kompetensi, hasil belajar, indikator, dan materi pokok yang tercantum
pada kurikulum itu. Dalam penulisan buku teks, penulis masih perlu menyusun
silabus, menentukan metode pembelajaran, mencari bahan yang sesuai dengan
kompetensi yang ingin dicapai, dan menentukan cara penyajian bahan yang
sesuai dengan perkembangan anak. Mengingat keadaan kurikulum demikian itu,
makin besarlah tanggung jawab penulis buku teks untuk menjabarkan kurikulum
dalam bentuk silabus. Di samping itu, penulis perlu memahami benar landasan-
landasan dan arah yang digunakan dalam penyusunan kurikulum agar
penafsiran dan pengembangannya dalam bentuk buku teks dapat
dipertanggungjaabkan dari berbagai segi.
Menurut Tyler, ada beberapa pertanyaan yang perlu dijawab dalam proses
pengembangan kurikulum.
1) Tujuan apa yang ingin dicapai?
2) Pengalaman belajar apa yang perlu disiapkan untuk mencapai tujuan?
3) Bagaimana pengalaman belajar itu diorganisasikan secara efektif?
4) Bagaimana menentukan keberhasilan pencapaian tujuan?
Keempat pertanyaan tersebut terlihat pada (1) Komponen tujuan, (2) Komponen
isi. (3) Komponen metode pembelajaran, dan (4) Komponen evaluasi atau
penilaian pada kurikulum.
Komponen tujuan merupakan arah atau sasaran yang hendak dituju oleh proses
penyelenggaraan pendidikan. Dalam setiap kegiatan sepatutnya mempunyai
tujuan, karena tujuan menuntun kepada apa yang hendak dicapai, atau sebagai
gambaran tentang hasil akhir dan suatu kegiatan.
Komponen isi merupakan pengalaman belajar yang diperoleh siswa dari sekolah.
Dalam hal ini siswa melakukan berbagai kegiatan dalam rangka memperoleh
pengalaman belajar tersebut. Pengalaman-pengalaman ini dirancang dan
diorganisasikan sedemikian rupa sehingga apa yang diperoleh siswa sesuai
dengan tujuan.
Komponen metode pembelajaran merupakan cara yang dilakukan siswa untuk
memperoleh pengalaman belajar untuk mencapai tujuan. Metode kurikulum
berkaitan dengan proses pencapaian tujuan sedangkan proses itu sendiri
berkaitan dengan bagaimana pengalaman belajar atau isi kurikulum
diorganisasikan.
Komponen evaluasi atau penilaian pada kurikulum merupakan cara yang
dilakukan untuk mengukur kadar ketercapaian tujuan pembelajaran, baik secara
proses maupun hasil. Hasil evaluasi ini dapat dipakai sebagai dasar untuk
melakukan perbaikan lebih lanjut agar tujuan pembelajaran yang diidealkan
dalam kurikulum dapat tercapai secara maksimal.
Pada sisi lain, setiap pilihan dan bentuk yang diterapkan dalam pengembangan
kurikulum akan membawa dampak terhadap proses memperoleh pengalaman
yang dilaksanakan. Untuk itu perlu, ada kriteria pola organisasi kurikulum yang
efektif.
Menurut Tyler, kriteria dalam merumuskan organisasi kurikulum yang efektif
adalah(1) berkesinambungan (continuity), (2) berurutan (sequence), dan (3)
keterpaduan (integration). Prinsip berkesinambungan terlihat adanya
pengulangan kembali unsur-unsur utama kurikulum secara vertikal. Sebagai
contoh, jika dalam Pelajaran Bahasa Indonesia pengembangan keterampilan
membaca dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting, maka pelatihan
membaca perlu dilakukan secara terus-menerus atau berkesinambungan.
Dengan demikian, keterampilan siswa dalam membaca dapat berkembang
secara efektif melalui pelajaran tersebut. Prinsip berurutan terlihat pada isi
kurikulum diorganisasi dengan cara mengurutkan bahan pelajaran sesuai
dengan tingkat kedalaman atau keluasannya. Sebagai contoh, pembelajaran
keterampilan membaca dimulai dari membaca permulaan sampai dengan
membaca lanjut. Dengan demikian, penguasaan siswa terhadap diperoleh
secara bertahap dari yang mudah (keterampilan dasar) menuju yang sulit atau
kompleks (keterampilan lanjut).
Sementara itu, prinsip keterpaduan menampak pada tidak adanya pemisahan
secara dikotomis antara isi yang satu dengan yang lain dalam kurikulum. Hal ini
sesuai dengan kenyataan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, siswa tidak
pernah menerapkan secara terpisah keterampilan tertentu dengan keterampilan
yang lain. Mereka selalu menerapkannya secara terpadu. Sebagai contoh,
pembelajaran membaca di sekolah sebaiknya dilakukan secara terpadu dengan
pembelajaran menulis sehingga keterampilan siswa lebih utuh, tidak terpisah-
pisah. Oleh karena itu, pembelajaran berbasis kontekstual dan tematik sangat
cocok untuk memenuhi kriteria keterpaduan ini.
Jawaban atas keempat pertanyaan yang dapat digali dari keempat komponen
kurikulum tersebut harus dipakai sebagai dasar pengembangkan silabus dan
penulisan buku teks.

2. Hubungan Buku Teks dan Tujuan Pembelajaran


Sebelum dijelaskan lebih jauh tentang hubungan buku teks dan tujuan
pembelajaran, hasil penelitian tentang ”Hubungan Ketersediaan Buku dan Cara
Mempelajarinya dengan Hasil Belajar Siswa dalam Ilmu Pengetahuan Sosial Si
Sekolah Menengah Pertama Se-Kota Administratif Palu” yang dilakukan oleh
Djamaludin Kantao berikut ini dapat dipakai sebagai ilustrasi awal.
1. Ada perbedaan hasil belajar berdasarkan ketersediaan buku teks di tangan
siswa. Kelompok siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "baik"
memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok
siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "cukup". Sedangkan
kelompok siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "cukup"
memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok
siswa yang ketersediaan buku teksnya berkategori "kurang".
2. Ada perbedaan hasil belajar siswa berdasarkan cara mempelajari buku teks.
Kelompok siswa yang selalu menerapkan cara mempelajari buku teks yang baik
memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kelompok
siswa yang kadang-kadang menerapkan cara mempelajari buku teks yang baik.
Sedangkan kelompok siswa yang kadang-kadang menerapkan cara mempelajari
buku teks yang baik memperoleh hasil belajar yang lebih tinggi bila dibandingkan
dengan kelompok siswa yang hampir tidak pernah menerapkan cara
mempelajari buku teks yang baik.
3. Tidak ada interaksi antara ketersediaan buku teks dengan cara
mempelajarinya terhadap hasil belajar siswa. Penemuan ini merupakan suatu
petunjuk bahwa mungkin ada interaksi antara cara mempelajari buku teks
dengan minat dan sikap siswa terhadap bahan pelajaran dalam buku teks.
Dari hasil-hasil di atas ditarik kesimpulan bahwa hasil belajar siswa tergantung
kepada ketersediaan buku teks dan cara mempelajarinnya. Penyediaan buku
teks yang lengkap di tangan siswa dan penerapan cara mempelajari buku teks
dengan baik akan meningkatkan hasil belajar siswa.
Untuk maningkatkan hasil belajar siswa diperlukan penyediaan buku teks yang
lengkap si tangan siswa dan penerapan cara mempelajari buku teks yang baik.
Penyediaan buku teks yang lengkap di tangan siswa dapat dilakukan dengan
cara: orang tua membelikan buku teks yang sesuai dengan kebutuhan anaknya,
perpustakaan sekolah menyediakan buku teks sesuai dengan kebutuhan siswa
dan perpustakaan sekolah memberikan pelayanan sebaik-baiknya terhadap
siswa. Peningkatan cara mempelajari buku teks yang baik dapat dilakukan
dengan cara memberikan bimbingan kepada siswa tentang bagaimana cara
mempelajari buku teks dengan baik.
Berdasarkan rangkuman hasil penelitian di atas dapat diketahui betapa
hubungan antara buku teks dan tujuan pembelajaran dengan penjelasan sebagai
berikut.
a. Buku teks berisi serangkaian uraian materi yang mendukung tujuan
pembelajaran.
b. Buku teks berisi serangkaian kegiatan yang mendukung ketercapaian
kompetensi tertentu.
Dengan demikian, dengan menggunakan buku teks diharapkan tujuan
pembelajaran atau kompetensi yang ingin dicapai dapat terwujud.
Tujuan pembelajaran atau kompetensi akan tercapai apabila penulis buku teks
mempertimbangkan hal-hal berikut.
a. Uraian materi yang tertuang dalam buku teks harus diorientasikan pada tujuan
pembelajaran dan kompetensi yang telah dirumuskan dalam silabus.
b. Tahapan-tahapan uraian materi harus diarahkan pada indikator-indikator
pencapaian tujuan pembelajaran atau pencapaian kompetensi.
c. Setiap tahapan uraian materi sebaiknya difokuskan pada satu indikator
pencapaian tujuan pembelajaran atau kompetensi sehingga memudahkan untuk
mengukur atau mengevaluasinya.

3. Hubungan Buku Teks dan Siswa


Telah dijelaskan pada bagian 2.1 bahwa buku teks akan berpengaruh terhadap
kepribadian siswa, walaupun pengaruh itu tidak sama antara siswa satu dengan
lainnya. Dengan membaca buku teks, siswa akan dapat terdorong untuk berpikir
dan berbuat yang positif, misalnya memecahkan masalah yang dilontarkan
dalam buku teks, mengadakan pengamatan yang disarankan dalam buku teks,
atau melakukan pelatihan yang diinstruksikan dalam buku teks. Dengan adanya
dorongan yang konstruktif tersebut, maka dorongan atau motif-motif yang tidak
baik atau destruktif akan terkurangi atau terhalangi. Oleh karena itu benar apa
yang dikatakan oleh Musse dkk (1963:484) bahwa pengaruh buku teks terhadap
anak bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) dapat mendorong
perkembangan yang baik dan (2) menghalangi perkembangan yang tidak baik.
Memperhatikan fungsi buku teks yang begitu penting bagi siswa, maka sajian
buku teks harus memperhatikan (1) pertumbuhan dan perkembangan anak, (2)
perbedaan individual dan jenis kebutuhan anak, dan (3) gaya belajar anak.
Ketiga hal tersebut diuraikan secara garis besar berikut ini.
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Perkembangan adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai sejak saat
pembuahan dan berlangsung terus selama siklus kehidupan (Santrok dan
Yussen,1992). Pola gerakan ini kompleks dan merupakan produk dari beberapa
proses, yaitu biologis, kognitif, dan sosial.
Terkait dengan itu, Seifert dan Haffnung membedakan tiga tipe (domain)
perkembangan anak, yaitu perkembangan fisik, perkembangan kognitif, dan
perkembangan psikososial. Perkembangan fisik mencakup pertumbuhan
biologis. Misalnya, pertumbuhan otak, otot, tulang serta penuaan dengan
berkurangnya ketajaman pandangan mata dan berkurangnya kekuatan otot-otot.
Perkembangan kognitif mencakup perubahan-perubahan dalam berpikir,
kemampuan berbahasa yang terjadi melalui proses belajar. Perkembangan
psikososial berkaitan dengan perubahan-perubahan emosi dan identitas pribadi
individu, yaitu bagaimana seseorang berhubungan dengan keluarga, teman-
teman dan guru-gurunya. Ketiga domain tersebut pada kenyataannya saling
berhubungan dan saling berpengaruh.
Setiap fase perkembangan pada dasarnya sintesis dari tugas-tugas
perkembangan dan tugas-tugas sosial. Oleh karena itu, pada usia-usia tertentu
seseorang harus mampu melakukan tugas-tugas perkembangan tersebut agar
dapat memberikan kebahagiaan serta memberi jalan bagi tugas-tugas
berikutnya. Menurut Havighurst, setiap tahap perkembangan individu harus
sejalan dengan perkembangan aspek-aspek lainnya, yaitu fisik, psikis,
emosional, moral dan sosial.
Hasil penelitian dan kajian teoretik Carol Gestwicki (1995) mengemukakan
bahwa hukum-hukum perkembangan dideskripsikan sebagai berikut.
- Dalam perkembangan terdapat urutan yang dapat diramalkan.
- Perkembangan pada suatu tahap merupakan landasan bagi perkembangan
berikutnya.
- Dalam perkembangan terdapat waktu-waktu yang optimal.
- Perkembangan itu maju berkelanjutan dan semua aspek-aspeknya merupakan
kesatuan yang saling mempengaruhi.
- Perkembangan itu maju berkelanjutan dan semua aspek-aspeknya merupakan
kesatuan yang saling mempengaruhi.
- Setiap individu berkembang sesuai dengan waktunya masing-masing.
- Perkembangan berlangsung dari yang sederhana kepada yang kompleks, dari
yang umum kepada yang khusus.
Dalam hal pertumbuhan anak, Sutterly Donnely (1973) mendeskripsikan sepuluh
prinsip dasar pertumbuhan sebagai berikut.
- Pertumbuhan adalah kompleks, semua aspek-aspeknya berhubungan sangat
erat.
- Pertumbuhan mencakup hal-hal kuantitatif dan kualitatif.
- Pertumbuhan adalah proses yang berkesinambungan dan terjadi secara
teratur.
- Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat keteraturan arah.
- Tempo pertumbuhan tiap anak tidak sama.
- Aspek-aspek berbeda dari pertumbuhan, berkembang pada waktu dan
kecepatan berbeda.
- Kecepatan dan pola pertumbuhan dapat dimodifikasikan oleh faktor intrinsik
dan ekstrinsik.
- Pada pertumbuhan dan perkembangan terdapat masa-masa krisis.
- Pada suatu organisme akan kecenderungan untuk mencapai potensi
perkembangan yang maksimum.
- Setiap individu tumbuh dengan caranya sendiri yang unik.

Perbedaan Individual dan Jenis Kebutuhan Anak


Buku teks harus memperhatikan perbedaan individual dan jenis kebutuhan anak,
naik anak usia Sekolah Dasar maupun anak usia Sekolah Menengah.
Perbedaan individual anak usia Sekolah Dasar
a. Perbedaan individual seorang anak akan terjadi pada setiap aspek
perkembangan anak itu. Aspek perkembangan tersebut di antaranya adalah
pada aspek perkembangan fisik, intelektual, moral, maupun aspek kemampuan.
b. Perbedaan pada aspek perkembangan fisik jelas terlihat dari perbedaan
bentuk, berat, dan tinggi badan. Selain itu, perbedaan fisik juga dapat
diidentifikasi dari segi kesehatan anak. Sedangkan perbedaan pada aspek
perkembangan intelektual dapat dilihat sejalan dengan tahapan usia,
kemampuan anak pun meningkat. Namun demikian, karena pengaruh berbagai
faktor, kemampuan di antara anak-anak tersebut bisa berbeda. Misalnya, si A
pada usia 7 tahun sudah bisa membuat suatu karangan yang bersifat aplikasi
dari suatu konsep, tetapi si B pada usia yang sama belum bisa melakukan hal
yang dilakukan A.
c. Perbedaan kemampuan seorang anak bisa mencakup perbedaan dalam
berkomunikasi, bersosialisasi atau perbedaan kemampuan kognitif. Faktor yang
menonjol dalam membentuk kemampuan kognitif adalah faktor pembentukan
lingkungan alamiah dan lingkungan buatan.
Jenis-Jenis Kebutuhan Anak Usia Sekolah Dasar
a. Istilah “kebutuhan”, “dorongan”, atau “motif” pada kehidupan sehari-hari sering
digunakan secara bergantian. Namun demikian, secara konsep ada perbedaan
di antaranya. Kebutuhan lebih mengacu pada keadaan di mana seseorang
terdorong melakukan sesuatu karena adanya kekurangan pada jaringan-jaringan
di dalam dirinya yang lebih bersifat fisiologis; sedangkan dorongan atau motif
merupakan kebutuhan tingkat tinggi yang bersifat psikologis.
b. Cole dan Bruce (1959) membagi kebutuhan menjadi dua golongan, yaitu
kebutuhan fisiologis dan psikologis; sedangkan A. Maslow (1954) membagi
kebutuhan menjadi tujuh tingkatan atau jenjang dari yang mendasar hingga
kebutuhan yang paling kompleks.
c. Dalam kaitannya dengan perbedaan individu pada anak usia Sekolah dasar,
digunakan penggolongan kebutuhan oleh Lindgren (1980) menjadi empat
tingkatan kebutuhan, yaitu kebutuhan jasmaniah, perhatian, dan kasih sayang,
kebutuhan untuk memiliki, dan aktualisasi diri.
d. Hurlock (197 menyatakan bahwa dalam pemenuhan beberapa kebutuhan
anak, disiplin dapat digunakan. Sedangkan DeCecco dan Grawford (1974)
mengajukan empat sikap guru dalam memberikan dan meningkatkan motivasi
siswa.
Perbedaan Individu dan Kebutuhan Anak Usia Sekolah Menengah
a. Secara garis besar, perbedaan individu dikategorikan menjadi dua, yaitu
perbedaan secara fisik dan psikis. Perbedaan secara psikis meliputi perbedaan
dalam tingkat intelektualitas, kepribadian, minat, sikap dan kebiasaan belajar.
b. Dalam pandangan yang lain, perbedaan individual siswa sekolah menengah
dibedakan berdasarkan perbedaan dalam kemampuan potensial dan
kemampuan nyata. Kemampuan nyata dapat disebut sebagai prestasi belajar.
c. Menurut Witherington, indikator perilaku intelegen antara lain:
(1) kemudahan dalam menggunakan bilangan,
(2) efisiensi dalam berbahasa,
(3) kecepatan dalam pengamatan,
(4) kemudahan dalam mengingat,
(5) kemudahan dalam memahami hubungan, dan
(6) imajinasi.
d. Gage dan Berlinier (1984:165) mempunyai pandangan tentang kepribadian
sebagai berikut. “Personality is the integration of all of persons traits abilities,
motives as well as his or her temperament, attitudes, opinios, beliefs, emotional
responses, cognitive styles, characters and morals.”
e. Menurut Murray, kebutuhan individu dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu
viscerogenic dan psychogenic. Kebutuhan psychogenic dibagi lagi menjadi dua
puluh kebutuhan. Kebutuhan yang cenderung dominan pada siswa sekolah
menengah berdasarkan dua puluh kebutuhan, menurut konsep Murray, adalah:
(1) need for affiliation
(2) need for aggression
(3) autonomy needs
(4) conteraction
(5) need for dominance
(6) exhibition
(7) sex.

Gaya belajar anak


Sama halnya dengan keunikan tiap individu, masing-masing anak ternyata
memiliki gaya belajar sendiri. Meski bersekolah di sekolah yang sama dan duduk
di kelas yang sama, gaya belajar setiap anak ternyata tidak pernah sama.
Perbedaan itu bahkan terdapat pada anak-anak dari satu keluarga, antara adik
dan kakak, bahkan anak kembar sekalipun. Perbedaan gaya belajar anak harus
terakomodasi pada buku teks.
Sekedar contoh, ada siswa yang begitu tekun menyimak meski si guru
menyampaikan materi pelajaran tak ubahnya seperti ceramah selama berjam-
jam. Ada yang terkesan hanya memperhatikan sepintas lalu, meski sebetulnya
mereka membuat catatan-catatan kecil di bukunya. Namun jangan ditanya
berapa banyak anak yang merasa bosan dengan pendekatan belajar yang
menempatkan siswa sebagai pendengar setia.
Secara keseluruhan, ada sementara anak yang lebih mudah menangkap isi
pelajaran jika disertai praktik. Siswa seperti ini lebih suka berkutat di laboratorium
mengamati dan mempelajari berbagai hal nyata dari pada mendengar
penjelasan si guru. Sementara itu, yang lain mungkin lebih tertarik mengikuti
pelajaran yang disertai berbagai aspek gerak. Contohnya, guru yang
menerangkan materi pelajaran kesenian sambil sesekali diselingi nyanyian dan
tepuk tangan.
Tidak hanya itu. Selain ada anak yang harus “bersemedi” dan tutup pintu kamar
rapat-rapat supaya bisa bekonsentrasi belajar, juga cukup banyak anak yang
mengaku justru terbuka pikirannya bila belajar sambil mendengarkan musik,
entah yang mengalun merdu atau malah ingar-bingar. Sementara sebagian
lainnya merasa perlu untuk mengubah materi pelajaran menjadi komik atau
corat-coret yang gampang “dibaca”.
Dari sekian banyak contoh gaya belajar di atas, ada tiga tipe gaya belajar yang
biasa dijumpai, yaitu visual learner, auditory learner, dan kinesthetic/tactile
learner

Visual Learner
Gaya belajar visual (visual learner) menitikberatkan ketajaman penglihatan.
Artinya, bukti-bukti konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar si anak
paham. Ciri-ciri anak yang memiliki gaya belajar visual adalah kebutuhan yang
tinggi untuk melihat dan menangkap informasi secara visual sebelum ia
memahaminya. Konkretnya, yang bersangkutan lebih mudah menangkap
pelajaran lewat materi bergambar. Selain itu, ia memiliki kepekaan yang kuat
terhadap warna, di samping mempunyai pemahaman yang cukup terhadap
masalah artistik. Hanya saja biasanya ia memiliki kendala untuk berdialog secara
langsung karena terlalu reaktif terhadap suara, sehingga sulit mengikuti anjuran
secara lisan dan sering salah menginterpretasikan kata atau ucapan.
Untuk mendukung gaya belajar ini, ada beberapa pendekatan yang bisa dipakai.
Caranya, gunakan beragam bentuk grafis untuk menyampaikan informasi/materi
pelajaran. Perangkat grafis tersebut bisa berupa film, slide, ilustrasi, coretan atau
kartu-kartu gambar berseri yang dapat dimanfaatkan untuk menjelaskan suatu
informasi secara berurutan. Perhatikan ciri lengkap visual learner pada boks
berikut

Ciri Visual Learner


- Senantiasa berusaha melihat bibir guru yang sedang mengajar.
- Saat mendapat petunjuk untuk melakukan sesuatu, biasanya anak akan
melihat teman-teman lainnya baru kemudian dia sendiri yang bertindak.
- Cenderung menggunakan gerakan tubuh (untuk mengekspresikan dan
menggantikan kata-kata) saat mengungkapkan sesuatu.
- Tak suka bicara di depan kelompok dan tak suka pula mendengarkan orang
lain.
- Biasanya kurang mampu mengingat informasi yang diberikan secara lisan.
- Lebih suka peragaan daripada penjelasan lisan.
- Biasanya dapat duduk tenang di tengah situasi yang ribut dan ramai tanpa
merasa terganggu.

Auditory Learner
Gaya belajar ini mengandalkan pendengaran untuk bisa memahami sekaligus
mengingatnya. Karakteristik model belajar ini benar-benar menempatkan
pendengaran sebagai alat utama untuk menyerap informasi atau pengetahuan.
Artinya, untuk bisa mengingat dan memahami informasi tertentu, yang
bersangkutan haruslah mendengarnya lebih dulu. Mereka yang memiliki gaya
belajar ini umumnya susah menyerap secara langsung informasi dalam bentuk
tulisan, selain memiliki kesulitan menulis ataupun membaca.
Untuk membantu anak-anak seperti ini, gunakan tape untuk merekam semua
materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Selain itu, keterlibatan anak dalam
diskusi juga sangat cocok untuk anak seperti ini. Bantuan lain yang bisa
diberikan adalah mencoba membacakan informasi, kemudian meringkasnya
dalam bentuk lisan dan direkam untuk selanjutnya diperdengarkan dan dipahami.
Langkah terakhir adalah melakukan review secara verbal dengan teman.
Perhatikan ciri lengkap auditory learner pada boks berikut

Ciri Auditory Learner


- Mampu mengingat dengan baik materi yang didiskusikan dalam kelompok atau
kelas.
- Mengenal banyak sekali lagu atau iklan TV, bahkan dapat menirukannya
secara tepat dan komplet.
- Cenderung banyak omong.
- Tak suka membaca dan umumnya memang bukan pembaca yang baik karena
kurang dapat mengingat dengan baik apa yang baru saja dibacanya.
- Kurang cakap dalam mengerjakan tugas mengarang/menulis.
- Kurang tertarik memperhatikan hal-hal baru di lingkungan sekitarnya, seperti
hadirnya anak baru, adanya papan pengumuman di pojok kelas dan sebagainya.

Kinesthetic/Tactile Learner
Gaya belajar ini mengharuskan individu yang bersangkutan menyentuh sesuatu
yang memberikan informasi tertentu agar ia bisa mengingatnya. Tentu saja ada
beberapa karakteristik model belajar seperti ini yang tak semua orang bisa
melakukannya.
Karakter pertama adalah menempatkan tangan sebagai alat penerima informasi
utama agar bisa terus mengingatnya. Hanya dengan memegangnya saja,
seseorang yang memiliki gaya belajar ini bisa menyerap informasi tanpa harus
membaca penjelasannya. Tak heran kalau individu yang memiliki gaya belajar ini
merasa bisa belajar lebih baik kalau prosesnya disertai kegiatan fisik. Perhatikan
ciri lengkap kinesthetic/tactile learner pada boks berikut

Ciri Kinesthetic/Tactile Learner


- Gemar menyentuh segala sesuatu yang dijumpainya.
- Amat sulit untuk berdiam diri/duduk manis.
- Suka mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan tangannya sedemikian
aktif.
- Memiliki koordinasi tubuh yang baik.
- Suka menggunakan objek nyata sebagai alat bantu belajar.
- Mempelajari hal-hal yang abstrak (simbol matematika, peta, dan sebagainya)
dirasa amat sulit oleh anak dengan gaya belajar ini.
- Cenderung terlihat “agak tertinggal” dibanding teman sebayanya. Padahal hal
ini disebabkan oleh tidak cocoknya gaya belajar anak dengan metode
pengajaran yang selama ini lazim diterapkan di sekolah-sekolah.

Apa pun gaya belajar yang dipilih pada dasarnya memiliki tujuan yang sama,
yaitu agar yang bersangkutan bisa menangkap materi pelajaran dengan sebaik-
baiknya dan memberi hasil optimal. Itulah sebabnya mengapa penuls buku teks
harus memahami aneka gaya belajar anak dan diterapkan pada buku teks yang
ditulisnya.

4. Hubungan Buku Teks dan Guru


Telah dijelaskan pad bahwa buku teks mempunyai nilai lebih bagi guru.
Kelebihan itu terllihat pada hal-hal berikut.
- Buku teks memuat persediaan materi bahan ajar yang memudahkan guru
merencanakan jangkauan bahan ajar yang akan disajikannya pada satuan
jadwal pengajaran (mingguan, bulanan, caturwulanan, semesteran).
- Buku teks memuat masalah-masalah terpenting dari satu bidang studi.
- Buku teks banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar, skema,
diagram, dan peta.
- Buku teks merupakan rekaman yang permanen yang memudahkan untuk
mengadakan review di kemudian hari.
- Buku teks memuat bahan ajar yang seragam, yang dibutuhkan untuk
kesamaan evaluasi, dan juga kelancaran diskusi.
- Buku teks memungkinkan siswa belajar di rumah.
- Buku teks memuat bahan ajar yang relatif telah tertata menurut sistem dan
logika tertentu.
- Buku teks membebaskan guru dari kesibukan mencari bahan ajar sendiri
sehingga sebagian waktunya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain.
Kenyataan lain juga menunjukkan bahwa masih banyak guru yang bergantung
penuh pada buku teks sehingga satu-satunya sumber dalam pembelajaran
adalah buku teks tersebut. Pada kondisi seperti ini, peran buku teks menjadi
penting dan sangat menentukan benar-tidaknya pelaksanaan pembelajaran.
Konsekuensinynya, jika sesuatu yang ada dalam buku teks tersebut salah,
misalnya, pengetahuan siswa pun akan menjadi salah. Jika kebijakan pemilihan
buku teks diberikan kepada guru mata pelajaran, perlulah memberikan bekal
yang memadai pada para guru akan kriteria buku teks yang baik dan benar.
Namun, jika kebijakan yang diambil adalah membuat buku teks sendiri, perlulah
dibuat tim yang benar-benar menguasai materi bidang studi dan tatacara
penulisan buku teks yang benar.
Guru menggunakan buku teks karena ia memiliki beberapa fungsi. Sheldon
mengajukan tiga alasan utama yang diyakininya mengenai penggunaan buku
teks oleh para guru. Pertama, karena mengembangkan materi ajar sendiri
sangat sulit dan berat bagi guru. Kedua, guru mempunyai waktu yang terbatas
untuk mengembangkan materi baru karena sifat dari profesinya itu. Ketiga,
adanya tekanan eksternal yang menekan banyak guru (Sheldon dalam Garinger
2001: 2). Ketiga alasan ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh guru dalam
memilih buku. Penggunaan buku teks merupakan cara yang paling efisien
karena waktu untuk mempersiapkan bahan ajar berkurang. Di samping itu, buku
menyediakan aktivitas yang sudah siap untuk dilaksanakan dan membekali
siswa dengan contoh konkret.
Alasan lain bagi penggunaan buku teks ialah karena buku teks merupakan
kerangka kerja yang mengatur dan menjadwalkan waktu kegiatan program
pembelajaran. Di mata siswa, tidak ada buku teks berarti tidak ada tujuan. Tanpa
buku teks, siswa mengira bahwa mereka tidak ditangani secara serius. Dalam
banyak situasi, buku teks dapat berperan sebagai silabus. Buku teks
menyediakan teks dan tugas pembelajaran yang siap pakai. Buku teks
merupakan cara yang paling mudah untuk menyediakan bahan pembelajaran.
Siswa tidak mempunyai fokus yang jelas tanpa adanya buku teks dan
ketergantungan pada guru menjadi tinggi. Bagi guru baru yang kurang
berpengalaman, buku teks berarti keamanan, petunjuk, dan bantuan. (Ansary,
2002: 2)
Alasan penggunaan buku teks seperti ini hanya berlaku jika:
(1) buku teks memenuhi kebutuhan guru dan siswa;
(2) topik-topik dalam buku teks relevan dan menarik bagi guru dan siswa;
(3) buku teks tidak membatasi kreativitas guru;
(4) buku teks disusun dengan realistik dan memperhitungkan situasi
pembelajaran di kelas;
(5) buku teks beradaptasi dengan gaya belajar siswa; dan
(6) buku teks tidak menjadikan guru sebagai budak dan pelayan.
Apabila aspek-aspek ini tidak dipenuhi, maka buku teks hanya akan menjadi
masses of rubbish skillfully marketed, seperti diungkapkan oleh Brumfit (Ansary
2002: 2), yang hanya akan menguntungkan secara materi bagi pihak-pihak yang
dengan terang-terangan atau sembunyi-sembunyi membisniskan buku teks, dan
mencemari dunia pendidikan. Dalam hal seperti ini, sebaiknya guru dibekali
dengan pengetahuan bagaimana memilih buku teks dan bagaimana
mengaplikasi-kannya secara kreatif di kelas.
Sementara itu, UNESCO menggariskan tiga fungsi pokok dari buku teks, yaitu
(1) fungsi informasi, (2) fungsi pengaturan dan pengorganisasian pembelajaran,
dan (3) fungsi pemandu pembelajaran. (Seguin 1989:18-19).
Selanjutnya berdasarkan fungsi-fungsi ini, dapat ditentukan jenis-jenis buku yang
diperlukan untuk menyertai buku teks, dalam hal ini buku pegangan untuk siswa
yang juga dipegang guru dalam KBM, yang biasanya semuanya telah menjadi
satu paket, yang terdiri atas (1) buku siswa, (2) buku guru, dan (3) sejumlah
komponen yang meliputi: buku kerja atau buku kegiatan, materi bacaan
tambahan, dan buku tes (Supriadi, 2000: 1).
Yang perlu diparhatikan adalah, ketika guru menggunakan buku teks dalam
pembelajaran, guru harus tetap menerapkan pembelajaran sebagai sosok guru
yang konstruktivis dengan ciri-ciri sebagai berikut.
1. Guru mendorong, menerima inisiatif, dan kemandirian siswa.
2. Guru menggunakan data atau fenomena aktual dan kontekstual sebagai
sumber utama pada fokus materi pembelajaran.
3. Guru memberikan tugas-tugas kepada siswa yang terarah pada pelatihan
kemampuan mengklasifikasi, menganalisis, memprediksi, dan menciptakan.
4. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguraikan isi pelajaran
dan memvariasikan strategi pembelajaran.
5. Guru melakukan penelusuran pemahaman siswa terhadap suatu konsep
sebelum memulai pembelajaran.
6. Guru mendorong terjadinya dialog dengan dan antarsiswa.
7. Guru mendorong siswa untuk berpikir, melalui pertanyaan-pertanyaan terbuka
dan mendorong siswa untuk bertanya sesama teman.
8. Guru melakukan elaborasi erhadap respons siswa, baik yang sudah benar
maupun yang belum benar.
9. Guru melibatkan siswa pada pengalaman yang menimbulkan kontradiksi
dengan hipotesis siswa dan mendiskusikannya.
10. Guru memberikan waktu berpikir yang cukup bagi siswa dalam menjawab
pertanyaan.
11. Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencoba
menghubungkan beberapa hal yang dipelajari untuk meningkatkan pemahaman.
12. Guru mengakhiri pembelajaran dengan memfasilitasi proses penyimpulan
melalui acuan yang benar.
(Diadaptasikan Brooks & Brooks, dalam Waliman, dkk. 2001)

5. Hubungan Buku Teks dan Media Pembelajaran


Sebelum mengetahui hubungan buku teks dan media pembelajaran, perlu
dipahami terlebih dahulu konsep-konsep pokok yang terkait dengan media
pembelajaran sebagai berikut.
a. Media pembelajaran pada hakikatnya merupakan penyalur pesan-pesan
pembelajaran yang disampaikan oleh sumber pesan (guru) kepada penerima
pesan (siswa) dengan maksud agar pesan-pesan tersebut dapat diserap dengan
cepat dan tepat sesuai dengan tujuannya.
b. Konsep media pembelajaran tidak terbatas hanya kepada peralatan
(hardware), tetapi yang lebih utama yaitu pesan atau informasi (software) yang
disajikan melalui peralatan tersebut. Dengan demikian konsep media
pembelajaran itu mengandung pengertian adanya peralatan dan pesan yang
disampaikannya dalam satu kesatuan yang utuh.
c. Guru dapat lebih mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran melalui
penggunaan media secara optimal, sebab media ini memiliki fungsi, nilai dan
peranan yang sangat menguntungkan, terutama sekali mengurangi terjadinya
verbalisme (salah penafsiran) terhadap bahan ajar yang disampaikan pada diri
siswa.
d. Ada tiga jenis media pembelajaran yang biasa dipakai dalam pembeljaran,
yaitu media visual, media audio, dan media audio-visual. Dari masing-masing
jenis media tersebut terdapat berbagai bentuk media yang dapat dikembangkan
dalam kegiatan belajar-mengajar. Media mana yang akan digunakan tergantung
kepada tujuan yang ingin dicapai, sifat bahan ajar, ketersediaan media tersebut,
dan juga kemampuan guru dalam menggunakannya.
e. Setiap media memiliki kelebihan dan keterbatasan. Oleh karena itu, tidak ada
media yang dapat digunakan untuk semua situasi atau tujuan pembelajaran
f. Pemilihan media pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh guru untuk menentukan jenis media
mana yang lebih tepat digunakan dan sesuai dengan tujuan pembelajaran, sifat
materi yang akan disampaikan, strategi yang digunakan, serta evaluasinya.
Adanya pemilihan media ini disebabkan sangat banyak dan bervariasinya jenis
media dengan karakteristik yang berbeda-beda.
g. Penggunaan media pembelajaran perlu memperhatikan tujuan yang ingin
dicapai, sifat dari bahan ajar, karakteristik sasaran belajar (siswa), dan kondisi
tempat/ruangan. Juga perlu dipertimbangkan kesederhanaannya, menarik
perhatian, adanya penonjolan/penekanan (misalnya dengan warna),
direncanakan dengan baik, serta memungkinkan siswa lebih aktif belajar.
Media memiliki beberapa fungsi, di antaranya sebagai berikut.
1. Media pembelajaran dapat mengatasi keterbatasan pengalaman yang dimiliki
oleh para peserta didik. Pengalaman tiap peserta didik berbeda-beda, tergantung
dari faktor-faktor yang menentukan kekayaan pengalaman anak, seperti
ketersediaan buku, kesempatan melancong, dan sebagainya. Media
pembelajaran dapat mengatasi perbedaan tersebut. Jika peserta didik tidak
mungkin dibawa ke objek langsung yang dipelajari, maka objeknyalah yang
dibawa ke peserta didik. Objek dimaksud bisa dalam bentuk nyata, miniatur,
model, maupun bentuk gambar-gambar yang dapat disajikan secara audio visual
dan audial.
2. Media pembelajaran dapat melampaui batasan ruang kelas. Banyak hal yang
tidak mungkin dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik
tentang suatu objek, yang disebabkan, karena : (a) objek terlalu besar; (b) objek
terlalu kecil; (c) objek yang bergerak terlalu lambat; (d) objek yang bergerak
terlalu cepat; (e) objek yang terlalu kompleks; (f) objek yang bunyinya terlalu
halus; (f) objek mengandung berbahaya dan resiko tinggi. Melalui penggunaan
media yang tepat, maka semua objek itu dapat disajikan kepada peserta didik.
3. Media pembelajaran memungkinkan adanya interaksi langsung antara peserta
didik dengan lingkungannya.
4. Media menghasilkan keseragaman pengamatan
5. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, konkret, dan realistis.
6. Media membangkitkan keinginan dan minat baru.
7. Media membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar.
8. Media memberikan pengalaman yang integral atau menyeluruh dari yang
konkret sampai dengan abstrak

Berdasarkan konsep-konsep pokok tentang media pembelajaran di atas jelaslah


bahwa buku teks merupakan salah satu jenis media pembelajaran. Hanya saja,
bila dibanding dengan media pembelajaran lainnya, buku teks mempunyai fungsi
“lebih” dari pada sekedar media pembelajaran. Buku teks tidak hanya sebagai
“penyalur pesan” tetapi juga sebagai sumber pesan atau sebagai pengganti
guru. Dengan membaca buku teks, siswa seolah-olah berhadapan dengan guru.
Siswa dapat memperoleh informasi lewat buku teks, siswa dapat melakukan
kegiatan sesuai dengan petunjuk yang tertuang dalam buku teks, dan siswa
dapat mengukur kadar ketercapaian pembelajaran dengan cara mengerjakan
tugas-tugas atau menjawab soal-soal yang terdapat dalam buku teks.
6. Hubungan Buku Teks dan Strategi Pembelajaran
Sebelum mengetahui hubungan buku teks dan strategi pembelajaran, perlu
dipahami terlebih dahulu konsep-konsep pokok yang terkait dengan strategi
pembelajaran sebagai berikut.
a. Belajar merupakan proses mental dan emosional atau aktivitas pikiran dan
perasaan.
b. Hasil belajar berupa perubahan perilaku, baik yang menyangkut kognitif,
psikomotorik, maupun afektif.
c. Belajar berkat mengalami, baik mengalami secara langsung maupun
mengalami secara tidak langsung (melalui media). Dengan kata lain belajar
terjadi di dalam interaksi dengan lingkungan. (lingkungan fisik dan lingkungan
sosial).
d. Keterlibatan dalam pengalaman belajar mempunyai pengaruh penting
terhadap pembelajaran.
e. Pembelajaran merupakan suatu sistem lingkungan belajar yang terdiri dari
unsur: tujuan, bahan pelajaran, strategi, alat, siswa, dan guru.Semua unsur atau
komponen tersebut saling berkaitan, saling mempengaruhi; dan semuanya
berfungsi dengan berorientasi kepada tujuan
f. Suasana yang bebas dan penuh kepercayaan akan menunjang kehendak
peserta didik untuk mau melaksanakan tugas sekalipun mengandung risiko.
g. Strategi yang mendalam dapat dipergunakan namun pengaruh penting
terhadap beberapa aspek, seperti; usia, kematangan, kepercayaan dan
penghargaan terhadap orang lain.
h. Pada umumnya pembelajaran berpengaruh kepada hal-hal khusus seperti
menghargai orang lain dan bersikap hati-hati kepada yang baru dikenal.
i. Terdapat banyak pengaruh yang dapat dipelajari melalui model (contoh)
sedang peserta didik berusaha menirunya.
j. Pada awal pembelajaran, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah
mengenali modalitas kita masing-masing yaitu bagaimana menyerap informasi
dengan mudah. Apakah modalitas kita visual, yaitu belajar melalui apa yang
dilihat, apakah auditorial yaitu belajar melalui apa yang didengar, apakah
kinestetik, yaitu belajar melalui gerak dan sentuhan.
Supaya pembelajaran terjadi secara efektif perlu diperhatikan beberapa prinsip,
yaitu motivasi, perhatian, aktivitas, umpan balik, dan perbedaan individu.
d. Motivasi adalah dorongan untuk melakukan kegiatan belajar, baik motivasi
intrinsik maupun motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik dinilai lebih baik, karena
berkaitan langsung dengan tujuan pembelajaran itu sendiri.
e. Perhatian atau pemusatan energi psikis terhadap pelajaran erat kaitannya
dengan motivasi. Untuk memusatkan perhatian siswa terhadap pelajaran bisa
didasarkan terhadap diri siswa itu sendiri dan atau terhadap situasi
pembelajarannya.
f. Aktivitas merupakan salah satu indikator belajar. Bila pikiran dan perasaan
siswa tidak terlibat aktif dalam situasi pembelajaran, pada hakikatnya siswa
tersebut tidak belajar. Penggunaan metode dan media yang bervariasi dapat
merangsang siswa lebih aktif belajar.
g. Umpan balik di dalam belajar sangat penting, agar siswa segera mengetahui
benar tidaknya pekerjaan yang ia lakukan. Umpan balik dari guru sebaiknya
yang mampu menyadarkan siswa terhadap kesalahan mereka dan
meningkatkan pemahaman siswa akan pelajaran tersebut.
h. Perbedaan individual adalah individu tersendiri yang memiliki perbedaan dari
yang lain. Guru hendaknya mampu memperhatikan dan melayani siswa sesuai
dengan hakikat mereka masing-masing. Berkaitan dengan ini catatan pribadi
setiap siswa sangat diperlukan.
Terkait dengan konsep-konsep pokok strategi pembelajaran di atas, buku teks
hendaknya mampu mengomunikasikan materi dan menyampaikan informasi
dengan menggunakan berbagai metode pembelajaran agar setiap anak dapat
menyerap dan memahaminya untuk kemudian digunakan pada saat diperlukan.
Hal ini hanya dapat dicapai bila penulis buku teks mengetahui karakteristik siswa
yang visual, yang auditorial maupun yang kinestik.
Buku teks tradisional yang mementingkan perkembangan intelektual haruslah
diubah. Buku teks modern lebih memperhatikan karakteristik kepribadian anak,
baik mengenai segi emosi, sosial, jasmani maupun segi intelektualnya. Penulis
buku teks berusaha dengan sengaja mengembangkan semua aspek pribadi
anak dengan memberikan bahan pembelajaran yang sesuai dan dengan cara
penyampaian yang bervariasi. Hal ini mengingat bahwa sebenarnya pribadi anak
itu tidak dapat dipecah-pecah menjadi beberapa bagian yang terpisah-pisah.
Dalam segala tindakannya manusia itu bersikap sebagai suatu keseluruhan yang
utuh.
Diposkan oleh Masnur Muslich di 10:12 1 komentar
Label: Artikel

Ada Apa dengan Buku Teks?


Oleh Masnur Muslich

Lewat uraian ini diharapkankan Anda mempunyai pemahaman tentang:


- pengaruh buku bagi pembacanya
- buku dalam pendidikan;
- pandangan ahli pendidikan terhadap buku teks; dan
- kondisi pemakaian buku teks.

1. Pengaruh Buku bagi Pembacanya

Pada era global ini kehidupan manusia tidak bisa melepaskan diri dari buku.
Lewat buku manusia bisa bertambah wawasannya yang pada akhirnya
(langsung atau tidak langsung) akan mempengaruhi pola pikir dan pola
hidupnya. Bahkan, larena kuatnya pengaruh bagi kehidupan manusia, ada
sekelompok ”buku” yang disebut ”the great book”, yaitu Quran, Injil, Taurat,
Zabur, Weda, dan Tripitaka. Selain itu, dikenal pula ”buku-buku pengubah
dunia”, yaitu Trias Politika, Das Kapital, De Principle, dan Uncle Toms Cabin.
Secara rinci D. Waples dkk. (1990) membagi pengaruh buku bagi pembacanya
menjadi lima kategori, yaitu (1) pengaruh instrumental, (2) pengaruh prestise, (3)
pengaruh pemantapan, (4) pengaruh estetis dan apresiatif, dan (5) pengaruh
pelepasan. Buku dikatakan mempunyai pengaruh instrumental apabila lewat
membaca buku itu, pembaca memperoleh informasi atau petunjuk yang dapat
membantu pemecahan masalah yang ditemui dalam kehidupannya. Buku
dikatakan mempunyai pengaruh prestise apabila setelah membaca buku,
pembaca bisa memantapkan pola pikir, tingkah laku dan sikapnya yang pada
akhirnya dapat terangkat prestise dan martabatnya. Buku dikatakan mempunyai
pengaruh pemantapan (reinforcement) apabila setelah membaca buku, yang
bersangkutan merasa lebih mantap dalam mengambil langkah-langkah dalam
kehidupannya. Buku dikatakan dapat berpengaruh estetis dan apresiatif apabila
dengan membaca buku tersebut pembaca dapat terbina daya seni (estetika) dan
apresiasinya Terakhir, buku dikatakan mempunyai pengaruh pelepasan (respite)
apabila dengan membaca buku, yang bersangkuan bisa melepaskan diri dari
keresahan, kericuhan, dan keruwetan yang ada pada dirinya.

Pengaruh buku tersebut akan lebih terasa pada diri anak. Para ahli pendidikan
berkesimpulan bahwa lewat membaca buku, anak akan berpengaruh
perkembangan minat, sikap sosial, emosi, dan penalarannya. Konsekuensinya,
apabila buku yang dibaca berisi hal-hal yang negatif, maka perkembangan jiwa
anak juga mengarah ke negatif. Sebaliknya, apabila yang dibaca berisi hal-hal
yang positif, maka perkembangan jiwa anak pun positif. Karena yang diharapkan
oleh semua pihak (:orang tua, pemerintah, penddik) agar anak berkembang
secara positif, persediaan buku bagi anak (buku bacaan, buku teks, dan
sebagainya) haruslah buku yang memenuhi syarat positif.
Permasalahan yang segera muncul adalah buku bagaimanakah yang memenuhi
syarat positif bagi anak? Buku dikatakan mempunyai syarat positif apabila
mengandung hal-hal berikut, yaitu
(a) bisa memperluas wawasan anak;
(b) bisa menambah pengetahuan baru;
(c) bisa membimbing berpikir konstruktif;
(d) bisa mengarahkan kreativitas;
(e) bisa menumbuhkan sikap moral, sosial, dan agama yang baik; dan
(f) bisa menuntut ke arah kehidupan yang mandiri
Buku dikategorikan “bisa memperluas wawasan anak” apabila buku tersebut
berisi informasi faktual, deskriptif, atau naratif yang belum menjadi perhatian
anak. Misalnya, informasi tentang cara meminum obat, cara mandi yang betul,
makanan sehat, teman yang baik, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa
menambah pengetahuan baru” apabila buku tersebut berisi penjelasan tentang
pengetahuan dan kelimuan sederhana yang belum diketahu anak. Misalnya,
proses terjadinya gunung meletus, proses terjadinya hujan, perlunya kebersihan
lingkungan, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa membimbing berpikir
konstruktif” apabila buku tersebut berisi uraian atau eskripsi yang dapa
merangsang anak untuk berpkir secara rasional. Misalnya, cerita tentang
kerugian anak yang malas belajar, keuntungan anak yang berbaik hati, akbat
anak yang ska berbohong, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa
mengarahkan kreativitas” apabila buku tersebut berisi petunjuk atau pedoman
paktis yang dapat diterapkan oleh anak dalam kehidupannya. Misalnya, cara
membuat burung dari kertas, cara membuat lampu minyak, cara menjernihkan
air, dan sebagainya. Buku dikategorikan “bisa menumbuhkan sikap moral, sosial,
dan agama yang baik” apabila buku tersebut berisi cerita faktual atau fiksi yang
melibatkan tokoh-tokoh idola yang dapat dipakai sebagai cermin atau dapat ditiru
dalam kehidupan anak. Misalnya, cerita pahlawan, tokoh agama, dermawan cilik,
dai cilik, dan sebagainya. Terakhir, buku dikategorikan “bisa menuntut ke arah
kehidupan yang mandiri” apabila buku tersebut berisi cerita tentang solusi atas
problema kehidupan. Misalnya, keberhasil anak desa yang sebatang kara,
kesuksesan anak cacat netra, berjuang melawan sakit menahun, dan
sebagainya.Syarat-syarat itulah yang secara ideal terdapat pada buku yang
layak sebagai bacaan anak.

2. Buku dalam Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, buku merupakan bagian dari kelangsungan pendidikan.


Dengan buku, pelaksanaan pendidikan dapat lebih lancar. Guru dapat mengelola
kegiatan pembelajaran secara efektif dan efisien lewat sarana buku. Siswa pun
dalam mengikuti kegiatan belajar dengan maksimal dengan sarana buku.
Bahkan, administratur pendidikan dapat mengelola pendidikan dengan efektif
dan efisien dengan berpedoman ada aturan-aturan dan lebijakan yang tertuang
dalam buku, misalnya pedoman pelaksanaan pendidikan dan kurikulum. Atas
dasar itulah, bangsa-bangsa Eropa (yang termasuk bangsa maju) berpendapat
bahwa ”education without book is unthinkable”.
Sebagai bangsa yang maju, kita patut tidak berseberangan pendapat dengan
bangsa Eropa tentang buku. Buku hendaknya menjadi perhatian utama, mulai
dari pengadaan (baca: penulisan), penggandaan, sampai dengan
penyeberannya. Dari segi pengadaan, buku-buku yang ditulis hendaknya
diarahkan pada peningkatakan wawasan dan perkembangan jiwa yang positif,
tidak hanya masalah iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), tetapi juga masalah
sosial dan imtak (iman dan takwa). Dengan demikian ada keseimbangan antara
perkembangan pemikiran dan kejiwaaan. Inilah yang biasa disebut ”manusia
utuh” itu. Dari segi penggandaan, buku-buku yang telah ditulis hendaknya
diproduksi secara proporsional dan memadai. Oleh karena tu, pemerintah
hendaknya mengalokasikan anggaran yang cukup untuk itu. Pihak swasta pun
sebaiknya terlibat dalam penggandaan ini walaupun dalam bentuk transaksi
bisnis. Dari segi penyebaran, buku yang telah digandakan hendaknya
disebarkan secara merata. Jangan hanya diarahkan ke kota-kota besar saja.
Daerah terpencil justru mendapatkan perhatian utama. Dengan demkian, akan
terjadi pemerataan perkembangan pola pikir dan wawasan. Terkait dengan
penyebaran buku ini, niat pemerintah untuk program buku murah perlu
mendapatkan apresiasi positif dari masyarakat.
Buku-buku yang dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan bermacam-
macam. Namun demikian, apabila dilihat dari segi isi dan fungsinya, buku
pendidikan setidak-tidaknyanya dapat dibedakan menjadi tujuh jenis, yaitu
sebagai berikut.
Buku acuan, yaitu buku yang berisi informasi dasar tentang bidang atau hal
tertentu. Informasi dasar atau pokok ini bisa dipakai acuan (referensi) oleh guru
untuk memahami sebuah masalah secara teoretis.
Buku pegangan, yaitu buku berisi uraian rinci dan teknis tentang bidang tertentu.
Buku ini dipakai sebagai pegangan guru untuk memecahkan, menganalisis, dan
menyikapi permasalahan yang akan diajarkan kepada siswa.
Buku teks atau buku pelajaran, yaitu buku yang berisi uraian bahan tentang mata
pelajaan atau bidang studi tertentu, yang disusun secara sistematis dan telah
diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi pembelajaran, dan
perkembangan siswa, untuk diasimilasikan. Buku ini dipakai sebagai sarana
belajar dalam kegiatan pembelajaran di sekolah.
Buku latihan, yaitu buku yang berisi bahan-bahan latihan untuk memperoleh
kemampuan dan keterampilan tertentu. Buku ini dipakai oleh siswa secara
periodik agar yang betrsangktan memiliki kemahiran dalam bidang tertentu.
Buku kerja atau buku kegiatan, yaitu buku yang difungsikan siswa untuk
menuliskan hasil pekerjaan atau hasil tugas yang diberikan guru. Tugas-tugas ini
bisa ditulis di buku kerja tersebut atau secara lepas.
Buku catatan, yaitu buku yang difungsikan untuk mencatat informasi atau hal-hal
yang diperlukan dalam studinya. Lewat buku catatan ini siswa dapat mendalami
dan memahami kembal dengan cara membaca ulang pada kesempatan lain.
Buku bacaan, yaitu buku yang memuat kumpulan bacaan, informasi, atau uraian
yang dapat memperluas pengetahuan siswa tentang bidang tertentu. Buku ni
dapat menunjang bidang studi tertentu dalam memberikan wawasan kepada
siswa.

3. Pandangan Ahli Pendidikan terhadap Buku Teks

Kehadiran buku teks di dunia pendidikan disikapi oleh ahli pendidikan dengan
berbagaimacam versi. Ada yang bersikap negatif, ada yang bersikap positif, dan
adapula yan bersikap moderat. Ketiga pandangan yang berbeda ini didasari oleh
alasan yang bertolak belakangsatu dengan lainnya.

Pandangan Negatif terhadap Buku Teks

Para ahli pendidikan yang bersikap negatif atau “antipati” atas kehadiran buku
teks di dunia pendidikan didasarkan oleh kenyataan berikut.
Buku teks kurang memperhatikan perbedaan individual siswa. Siswa sasaran
dianggap homgen sehingga bahan ajar yang ada pada buku teks tersaji tanpa
memperhatikan siswa yang ”uper” dan siswa yang ”lower”.
Desain buku teks sering tidak sesuai dengan desain kurikulum pendidikan.
Akibatnya, dengan menggunakan buku teks tersebut, program pendidikan yang
telah dirancang dalam kurikulum tidak tercapai.
Konteks dan bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering tidak sesuai
dengan kondisi dan lingkunna siswa sasaran. Apabila hal ini terjadi, buku teks
akan terkesan ”memaksa” siswa untuk belajar sesuatu yang ”tidak sesuai”
dengan kondisi dirinya.
Bahan ajar yang terdapat dalam buku teks sering bias dan basi. Ini terjadi karena
antara waktu penyusunan buku teks dan waktu pemakaiannya berselang terlalu
lama. Akibatnya, informasi dan masalah yang terdapat dalam buku teks sudah
”kadaluarsa”, bahkan tidak sesuai lagi dengan yang sedang dihadapi siswa.

Ahli pendidikan yang apriori terhadap kehadiran buku tekas ini adalah ahli
pendidikan yang mengikuti sistem pendiikan lama.

Pandangan Positif terhadap Buku Teks

Sebaliknya, ahli pendidikan yang bersikap positif atas kehadiran buku teks
didasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut.
Buku teks merupakan ”the foundation of learning in classroom”. Anggapan ini
didasarkan oleh kenyataan bahwa pengajaran yang dianggap efektif dan efisien
adalah pengajaran klasikal. Kalau toh ada yang individual, sangatlah bersifat
khusus, karena kondisi tertentu.
Buku teks memuat bahan ajar yang sebaiknya disajikan (what to teach) dan
sekuensi atau urutan cara penyajiannya. Oleh karena itu penyusunan buku teks
tentu memperhatikan bahan ajar mana yang patut dan sebaiknya disajikan,
termasuk tata cara penyajian yang sesuai dengan jenis bahan dan kondisi siswa
sasaran.
Jangkauan,jumlah, dan jenis bahan ajar yang terdapat dalam buku teks telah
relatif pasti sehingga guru memungkinkan untuk mengalokasikannya
berdasarkan jadwal sekolah. Dengan demikian, lewat pemakaian buku teks
dapat terkontrol dengan ketat program pengajarannya.
Paparan masalah atau pokok persoalan (subject matter) dalam buku teks relatif
teliti. Ketelitian ini terlihat mulai dari proses pemilihan bahan, klasifikasi bahan,
sampai dengan proses penyusunannya. Hal ini hampir tidak mungkin dilakukan
guru dengan bahan ajar yang disusunnya sendiri.
Bahan ajar dalam buku teks tertata cukup baik. Ini dapat dilihat dari cara
penyajian bahan ajar yang memperhatikan hierarkhi dan tataletaknya sehingga
mudah dipahami siswa. Tidak semua guru memiliki keterampilan menata bahan
seperti yang terdapat pada buku teks.
Buku teks cukup banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar peta,
dan diagram. Alat bantu ini akan dapat mempercepat pamahaman siswa atas
bahan ajar yang sedang dipelajari. Pada umumnya, alat bantu semacam itu sulit
diciptakan oleh guru dalam waktu yang relatif singkat.
Kesinambungan bahan ajar dalam buku teks telah diatur sedemikian rupa oleh
penyusunnya. Lebih-lebih, apabila buku tersebut merupakan buku berseri. Hal ini
dapat dimaklumi, sebab sebelum penyusunan buku teks dimulai, terlebih dahulu
disusun kerangka (outline) secara menyeluruh. Dengan demikian, tidak dijumpai
bahan ajar yang terlepas dari yang lain. Sebaliknya, bahan-bahan itu merupakan
rangkaian yang utuh.
Buku teks merupakan batu loncatan bagi siswa. Dengan menggunakan buku
teks, siswa terbebas dari kegiatan mencatat yang merupakan pemborosan
waktu, tenaga, dan pikiran.
Buku teks sangat membantu sekolah yang tidak memiliki perpustakaan yang
lengkap. Hal ini bisa dimaklumi karena buku teks berisi serangkaian bahan ajar
yang minimal harus dikuasai atau dipahami siswa. Jika tidak lewat kemasan
buku teks, bahan-bahan itu tentu berada di berbagai buku sumber.
Buku teks yang dipublikasikan oleh pemerintah dan pihak swasta telah
dipertimbangkan kualitasnya. Pertimbangan kualitas ini merupakan konsekuensi
logis. Sebab, kalau tidak, tentu akan merugikan pihak pemerintah dan penerbit
swasta itu sendiri. Para pemakai buku teks (terutama guru) tentu tidak akan
menggunakan secara maksimal, bahkan tidak mau menggunakannya, apabila
buku teks tersebut tidak berkualitas.

Ahli pendidikan yang mendukung sepenuhnya kehadiran buku teks ini adalah
ahli pendidikan modern.

Pandangan yang Moderat terhadap Buku Teks

Kedua pandangan tersebut sebenarnya boleh dikatakan sangatlah ekstrem, baik


eksrem kiri dan ekstrem kanan. Kedua pendapat itu masing-masing ada
kelebihan dan kekurangannya. Lalu, timbullah pandangan yang moderat
terhadap kehadiran buku teks. Pandangan ketiga ini diilhami oleh kenyataan
bahwa tidak semua buku teks menguntungkan bagi pendidikan dan tidak semua
pula buku teks merugikan bagi kelangsungan pendidikan. Beberapa argumentasi
berikut ini menjadi alasan bagi pandangan yang moderat terhadap buku teks.

a. ”No one textbook is the best for all situation” (Romero dalam ”What Textbook
Shall We Use”. Forum 2, 1975)
Argumentasi ini bisa dimaklumi sebab pada kenyataan memang tidak ada satu
pun buku teks yang ampuh untuk semua situasi dan kondisi. Namun demikian,
keterbatasan ini tidak boleh dipakai sebagai “kambing hitam” untuk tidak
menggunakan buku teks. Keterbatasan ini harus diantisipasi guru pada saat
mengasimilasikannya di kelas. Yang peru dipahami adalah buku teks merupakan
sarana untuk mencapai tujuan pengajaran dan buku teks bukanlah pengajaran.
Oleh karena itu, buku teks tidak bisa mengajar. Yang bisa mengajar adalah guru
lewat sarana antara lain buku teks.

b. Tidak ada buku teks yang betul-betul bisa memenuhi harapan kurikulum. (J. N.
Hook, 1965).
Pernyataan ini pun bisa dimaklumi. Memang tidak ada satu pun buku teks yang
bisa memenuhi kebutuhan kurikulum secara total. Buku teks hanyalah salah satu
sarana bukan satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan kurikulum.
Walaupaun Garis-garis besar Program pengajaran (GBPP) atau silabus pada
kurikulum tertentu dipakai sebagai acuan penyusunan bahan ajar pada buku
teks, tetap tidak bisa menjamin bahwa buku teks dapat memenuhi kebutuhan
kurikulum secra total. Sebab, faktor-faktor lain di luar buku teks juga ikut
menentukannya, yaitu guru pemakai buku teks, siswa sasaran, situasi dan
kondisi sekolah, dan aspek-aspek lainnya.
c. Tidak ada satu pun buku teks yang cocok untuk semua jenjang pendidikan.
Pernyataan ini tidak mengada-ada, bahkan bisa dimakluminya. Buku teks
memang disusun dengan mempertimbangkan program tertentu, jenjang
pendidikan tertentu, dan pola pikir siswa tertentu. Akibatnya, buku teks hanya
cocok untuk “sasaran” tetentu saja.

Pandangan ketiga inilah yang memandang buku teks secara lebih objektif dan
rasional. Sebab, buku teks akan berpran secara maksimal apabila memenuhi
criteria ideal dan diasimilasikan oleh guru yang professional.

4. Kondisi Pemakaian Buku Teks

Selama ini terdapat anggapan dari sebagian besar masyarakat (khususnya


komunitas pendidikan) bahwa buku teks sebagai penunjang pelaksanaan
kegiatan pembelajaran di kelas dikelompokkan menjadi dua, yaitu buku teks
wajib dan buku teks penunjang. Buku teks wajib (juga biasa disebut buku paket)
adalah buku teks yang dikeluarkan atau diterbitkan oleh pemerintah, dalam hal
ini Departemen Pendidikan Nasional. Sementara itu, buku teks penunjang (juga
biasa disebut buku pelengkap) adalah buku teks yang diterbitkan oleh penerbit
swasta. Pendapat seperti itu sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan
dari segi keilmuan sebab kedua ”jenis” buku teks tersebut sama-sama
berorientasi kepada kurikulum yang sedang berlaku, baik dari segi pendekatan,
isi, maupun strateginya. Karena orientasinya sama, kedua jenis buku teks itu
sebenarnya mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dalam menunjang
pelaksanaan pembelajaran di kelas.
Anggapan dekotomis tersebut sebenarnya dipicu oleh kebijakan ”politis”
pemerintah (sebelum era Reformasi) bahwa bahwa buku teks wajib mempunyai
kedudukan ”utama”, sedangkan buku teks penunjang ini mempunyai kedudukan
”pelengkap”. Kebijakan pemerintah ini didasari pertimbangan bahwa apabila
buku teks wajib ini kalah pengaruhnya dengan buku teks penunjang, akan
berdampak pada keheterogenan hasil belajar siswa. Apabila keadaan ini terjadi,
tentu akan menyulitkan pemerintah dalam menentukan sandardisasi kualitas
atau keberhasilan belajar siswa. Kebijakan semacam ini sebenarnya tidak perlu
terjadi apabila buku teks yang beredar (baik yang dterbitkan oleh pemerintah
maupun swasta) telah mendapat kontrol lewat penilaian terlebih dahulu oleh
lembaga yang kompeten atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah, lewat
Badan Nasional Standar Pendidikan (BSNP).
Dilihat dari penyusunnya, buku teks wajib ini biasanya disusun oleh tim yang
para anggotanya tentunya mempunyai kualitas yang dipersyaratkan. Bahkan,
sebelum buku teks wajib ini diterbitkan, terlebih dahulu ditelaah kualitas atau
kevaliditasannya baik dari segi isi, strategi, dan bahasa dalam forum lokakarya.
Sementara itu, buku teks penunjang yang diterbitkan oleh swasta biasanya
ditulis oleh penulis (baik sendiri mapun kelompok) yang berminat atau yang
mempunyai pengalaman terhadap bidang pelajaran tertentu. Karena
pertimbangan pasar, buku yang ditulisnya selain disesuaikan dengan kurikulum
yang berlaku, juga disesuaiakan dengan keinginan pasar. Bahkan, hal-hal
tertentu yang dianggap lemah atau sumbeng dalam buku teks wajib akan
dibenahi atau dilengkapi dalam buku teks penunjang ini.
Sebagai konsekuensinya, buku teks wajib yang diterbitkan oleh pemerintah
disebarkan secara cuma-cuma ke sekolah-sekolah seluruh Indonesia. Hanya
saja, jumlah buku yang disebarkan jauh di bawah kebutuhan siswa. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan (1994), misalnya, pernah mengakui bahwa karena
keterbatasan dana, buku teks wajib yang disebarkan hanyalah 20% dari
kebutuhan real. Ini berarti masih 80% yang belum bisa terlayani buku teks wajib.
Di sinilah peran buku teks penunjang bisa berkiprah untuk ”menggantikan” posisi
buku teks wajib. Kesempatan ini rupanya dimanfaatkan baik-baik oleh penerbit
swasta untuk mengisi kekosongan tersebut.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, buku teks yang beredar (baik buku
teks wajib maupun penunjang) dijumpai keganjilan-keganjilan. Keganjilan yang
dimaksud terlihat sebagai berikut.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan kurikulum.
- Terdapat buku teks yang berisi pokok-pokok materi (semacam ringkasan).
- Terdapat buku teks yang uraiannya sangat teknis.
- Terdapat buku teks yang tidak sesuai dengan pesan pola pikir siswa.
- Terdapat buku teks yang kurang ”aplicable”.
Perhatian khusus terhadap keganjilan buku teks ini tidak dimaksudkan untuk
mengecilkan arti buku teks dalam dunia pendidikan, tetapi justru untuk memacu
peningkatan kualitas buku teks setelah dikaitkan dengan kedudukan dan
fungsinya yang sangat penting dalam menunjang keberhasilan pembelajran
siswa di kelas.
Semenjak pemberlakuan kurikulum 1984 sampai dengan sekarang (Kurikulum
2006 atau KTSP) kehadiran buku teks sebagai penunjang pelaksanaan
pembelajaran cukup dominan bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya.
Hal ini disebabkan oleh adanya perhatian serius pemerintah terhadap dunia
pendidikan dan minat dominan penerbit swasta terhadap penerbitan buku teks.
Keberagaman buku teks yang beredar haruslah dimanfaatkan sebaik-baiknya
oleh kalangan pendidikan, terutama guru. Sebab, dengan demikian, guru bisa
memilih dengan leluasa: mana buku teks yang mempunyai kriteria ideal baik
dilihat dari kesesuaiannya dengan kurikulum, kesesuaiannya bagi siswanya,
maupun tingkat dan daya aplikasinya.
Di sisi lain, di lapangan dijumpai adanya anggapan bahwa buku teks wajib
merupakan ”buku suci”. Anggapan yang ekstrem ini sebenarnya tidak perlu
terjadi, sebab pada dasarnya tidak ada satu pun buku teks, termasuk buku teks
wajib, yang ampuh untuk segala-galanya: kapan dan di mana saja. Sebab, pada
saat diaplikasikan, buku teks (termasuk yang wajib) masih tetap perlu disiasati
guru sebelum dipakai dalam pembelajaran. Misalnya, apakah sajian bahan
ajarnya sudah sesuai dengan GBPP atau Kompetensi Dasar yang ingin dicapai;
apakah strategi penyampaiannya sudah sesuai dengan pembelajaran yang
disarankan Kurikulum, apakah pola pengembangan bahan ajar sesuai dengan
perkembangan siswa, dan sebagainya, dan sebagainya.
Selain itu, masih dijumpai juga pelaksanaan pembelajaran yang berorientasi
penuh kepada buku teks, tanpa melihat kurilulum (khususnya GBPP dan silabus
yang telah dirancang) yang menjadi acuannya. Ketergantungan guru ini
dibuktikan dengan gejal-gejala berikut.
- Guru menerangkan satu per satu uraian bahan ajar yang ada pada buku teks,
tanpa melihat pokok bahasan yang terdapat dalam GBPP atau silabus.
- Guru melakukan langkah-langkah pembelajaran yang tertuang dalam buku
teks, tanpa melihat kesesuaiannya dengan pembelajaran yang disarankan dalam
GBPP atau silabus.
- Guru mengembangkan rencana atau skenario pembelajaranb dari bahan ajar
yang terdapat dalam buku teks, tanpa melihat tujuan pembelajaran (kompetensi
dasar yang ingin dicapai) dan bahan ajar (pokok bahasan) yang terdapat dalam
GBPP atau silabus.
- Butir-butir evaluasi pun diambilkan dari pertanyaan atau tugas yang terdapat
dalam buku teks tanpa ada upaya menghubungkannya dengan atau
mengembangkan dari tujuan pembelajaran atau indikator dari kompetensi dasar
yang telah ditentukan.

Keadaan yang timpang ini tentunya patut dicari penyebabnya. Sehubungan


dengan itu, Mills dan Doeglass (1957:255-263) menyebutkan secara rinci faktor
penyebab ketergantungan guru terhadap buku teks sebagai berikut.
- Guru kurang dipersiapkan secara matang tehadap subjek yang diajarkan.
- Guru lebih banyak diberikan problematik bidang studi di tingkat perguruan
tinggi, tetapi sangat kurang disajikan problematik yang relevan denagn sekolah
tempat mereka mengajar.
- Guru kurang dilatih merencanakan bahan pembelajaran.
- Tradisi yang menganggap bahw buku teks sebagai sumber lengkap yang siap
disajikan masih sangat dominan.
- Pengaruh penggunaan tes baku sebagai alat pengukur prestasi belajar.
Kelima faktor penyebab itu haruslah diantisipasi oleh pihak yang bertanggung
jawab, baik oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (c. q.
Direktorat Sarana Pendidikan) maupun oleh lembaga pendidkan tenaga
kependidikan (LPTK), agar tidak terjadi ketimpangan yang berkelanjutan.
Diposkan oleh Masnur Muslich di 10:01 0 komentar
Label: Artikel

Sabtu, 04 Oktober 2008


HAKIKAT DAN FUNGSI BUKU TEKS

Sebagaimana tersebut pada bagian sebelumnya bahwa buku teks merupakan


salah satu jenis buku pendidikan. Buku teks adalah buku yang berisi uraian
bahan tentang mata pelajaran atau bidang studi tertentu, yang disusun secara
sistematis dan telah diseleksi berdasarkan tujuan tertentu, orientasi
pembelajaran, dan perkembangan siswa, untuk diasimilasikan.
Rumusan senada juga disampaikan oleh A.J. Loveridge (terjemahan Hasan
Amin) sebagai berikut.
”Buku teks adalah buku sekolah yang memuat bahan yang telah diseleksi
mengenai bidang studi tertentu, dalam bentuk tertulis yang memenuhi syarat
tertentu dalam kegiatan belajar mengajar, disusun secara sistematis untuk
diasimilasikan.”
Chambliss dan Calfee (1998) menjelaskannya secara lebih rinci. Buku teks
adalah alat bantu siswa untuk memahami dan belajar dari hal-hal yang dibaca
dan untuk memahami dunia (di luar dirinya). Buku teks memiliki kekuatan yang
luar biasa besar terhadap perubahan otak siswa. Buku teks dapat
mempengaruhi pengetahuan anak dan nilai-nilai tertentu.
Sementara itu Direktorat Pendidikan Menengah Umum (2004: 3) menyebutkan
bahwa buku teks atau buku pelajaran adalah sekumpulan tulisan yang dibuat
secara sistematis berisi tentang suatu materi pelajaran tertentu, yang disiapkan
oleh pengarangnya dengan menggunakan acuan kurikulum yang berlaku.
Substansi yang ada dalam buku diturunkan dari kompetensi yang harus dikuasai
oleh pembacanya (dalam hal ini siswa).
Pusat Perbukuan (2006: 1) menyimpulkan bahwa buku teks adalah buku yang
dijadikan pegangan siswa pada jenjang tertentu sebagai media pembelajaran
(instruksional), berkaitan dengan bidang studi tertentu. Buku teks merupakan
buku standar yang disusun oleh pakar dalam bidangnya, biasa dilengkapi sarana
pembelajaran (seperti pita rekaman), dan digunakan sebagai penunjang program
pembelajaran.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 11 Tahun 2005 menjelaskan
bahwa buku teks (buku pelajaran) adalah buku acuan wajib untuk digunakan di
sekolah yang memuat materi pembelajaran dalam rangka peningkatan keimanan
dan ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian, kemampuan penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, kepekaan dan kemampuan estetis, potensi fisik dan
kesehatan yang disusun berdasarkan standar nasional pendidikan.

Dari kelima rumusan itu kiranya dapat diketahui indikator atau ciri penanda buku
teks sebagai berikut.
Buku teks merupakan buku sekolah yang ditujukan bagis siswa pada jenjang
pendidikan tertentu.
Buku teks berisi bahan yang telah terseleksi.
Buku teks selalu berkaitan dengan bidang studi atau mata pelajaran tertentu
Buku teks biasanya disusun oleh para pakar di bidangnya
Buku teks ditulis untuk tujuan instruksional tertentu.
Buku teks biasanya dilengkapi dengan sarana pembelajaran.
Buku teks disusun secara sistematis mengikuti strategi pembelajaran tertentu.
Buku teks untuk diasmilasikan dalam pembelajaran.
Buku teks disusun untuk menunjang program pembelajaran.
Dari butir-butir indikator tesebut, buku teks mempunyai ciri tersendiri bila
dibanding dengan buku pendidikan lainnya, baik dilihat dari segi isi, tataan,
maupun fungsinya. Dilihat dari segi isinya, buku teks merupakan buku yang
berisi uraian bahan ajar bidang tertentu, untuk jenjang pendidikan tertentu, dan
pada kurun ajaran tertentu pula. Dilihat dari segi tataanya, buku teks merupakan
sajian bahan ajar yang mempertimbangkan faktor (1) tujuan pembelajaran, (2)
kurikulum dan struktur program pendidikan, (3) tingkat perkembangan siswa
sasaran, (4) kondisi dan fasilitas sekolah, dan (5) kondisi guru pemakai. Dari segi
fungsinya, selain mempunyai fungsi umum sebagai sebagai sosok buku, buku
teks memupunyai fungsi sebagai (1) sarana pengembang bahan dan program
dalam kurikulum pendidikan, (2) sarana pemerlancar tugas akademik guru, (3)
sarana pemerlancar ketercapaian tujuan pembelajaran, dan (4) sarana
pemerlancar efisiensi dan efektivitas kegiatan pembelajaran.

Secara teknis Geene dan Pety (dalam Tarigan, 1986: 21) menyodorkan sepuluh
kategori yang harus dipenuhi buku teks yang berkualitas. Sepuluh kategori
tersebut sebagai berikut.

• Buku teks haruslah menarik minat siswa yang mempergunakannya.


• Buku teks haruslah mampu memberikan motivasi kepada para siswa yang
memakainya.
• Buku teks haruslah memuat ilustrasi yang menarik siswa yang
memanfaatkannya.
• Buku teks seyogyanya mempertimbangkan aspek-aspek linguistik
sehingga sesuai dengan kemampuan para siswa yang memakainya.
• Isi buku teks haruslah berhubungan erat dengan pelajaran-pelajaran
lainnya, lebih baik lagi kalau dapat menunjangnya dengan terencana
sehingga semuanya merupakan suatu kebulatan yang utuh dan terpadu.
• Buku teks haruslah dapat menstimuli, merangsang aktivitas-aktivitas
pribadi para siswa yang mempergunaknnya.
• Buku teks haruslah dengan sadar dan tegas menghindar dari konsep-
konsep yang samar-samar dan tidak biasa, agar tidak embuat bingung
siswa yang memakainya.
• Buku teks haruslah mempunyai sudut pandang atau ”point of view” yang
jelas dan tegas sehingga ada akhirnya juga menjadi sudut pandang para
pemakainya yang setia.
• Buku teks haruslah mamu memberi pemantapan, penekanan pada nilai-
nilai anak dan orang dewasa.
• Buku teks haruslah dapat menghargai perbedaan-perbedaan pribadi para
pemakainya.

Sepuluh kategori yang disodorkan Geene dan Petty tersebut pada dasarnya
merupakan penjabaran lebih lanjut dari ketiga ciri buku teks yang disampaikan
sebelumnya. Dikatakan demikian, karena butir-butir kategori tersebut bisa
dimasukkan ke dalam tiga ciri buku teks.
Sebagai kelengkapan kategori tersebut, Schorling dan Batchelder (1956)
memberikan empat ciri buku teks yang baik, yaitu
(1) direkomendasikan oleh guru-guru yang berpengalaman sebagai buku teks
yang baik;
(2) bahan ajarnya sesuai dengan tujuan pendidikan, kebutuhan siswa, dan
kebutuhan masyarakat;
(3) cukup banyak memuat teks bacaan, bahan drill dan latihan/tugas; dan
(4) memuat ilustrasi yang membantu siswa belajar.

Sebagai buku pendidikan, buku teks memainkan peranan penting dalam


pembelajaran. Dengan buku teks, program pembelajaran bisa dilaksanakan
secara lebih teratur, sebab guru sebagai pelaksana pendidikan akan
memperoleh pedoman materi yang jelas. Terhadap pentingnya buku teks ini,
Grambs, J. D. dkk. (1959) menyatakan”The textbook is one of the teacher’s
major tools in guiding learning”.
Sementara itu, Hubert dan Harl menyoroti nilai lebih buku teks bagi guru sebagai
berikut.

• Buku teks memuat persediaan materi bahan ajar yang memudahkan guru
merencanakan jangkauan bahan ajar yang akan disajikannya pada satuan
jadwal pengajaran (mingguan, bulanan, caturwulanan, semesteran).
• Buku teks memuat masalah-masalah terpenting dari satu bidang studi.
Buku teks banyak memuat alat bantu pengajaran, misalnya gambar,
skema, diagram, dan peta.
• Buku teks merupakan rekaman yang permanen yang memudahkan untuk
mengadakan review di kemudian hari.
• Buku teks memuat bahan ajar yang seragam, yang dibutuhkan untuk
kesamaan evaluasi, dan juga kelancaran diskusi.
• Buku teks memungkinkan siswa belajar di rumah.
• Buku teks memuat bahan ajar yang relatif telah tertata menurut sistem
dan logika tertentu.
• Buku teks membebaskan guru dari kesibukan mencari bahan ajar sendiri
sehingga sebagian waktunya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain.

Bagi siswa sasaran, buku teks akan berpengaruh terhadap kepribadiannya,


walaupun pengaruh itu tidak sama antara siswa satu dengan lainnya. Dengan
membaca buku teks, siswa akan dapat terdorong untuk berpikir dan berbuat
yang positif, misalnya memecahkan masalah yang dilontarkan dalam buku teks,
mengadakan pengamatan yang disarankan dalam buku teks, atau melakukan
pelatihan yang diinstruksikan dalam buku teks. Dengan adanya dorongan yang
konstruktif tersebut, maka dorongan atau motif-motif yang tidak baik atau
destruktif akan terkurangi atau terhalangi. Oleh karena itu benar apa yang
dikatakan oleh Musse dkk (1963:484) bahwa pengaruh buku teks terhadap anak
bisa dikelompokkan menjadi dua, yaitu (1) dapat mendorong perkembangan
yang baik dan (2) menghalangi perkembangan yang tidak baik.
Sebagai pemantapan tentang fungsi buku teks, Loveridge menyatakan sebagai
berikut:
“Pelajaran dalam kelas sangat bergantung pada buku teks. Dalam keadaan guru
tidak memenuhi syarat benar, maka buku teks merupakan pembimbing dan
penunjang dalam mengajar. Bagi murid, buku teks bertugas sebagai dasar untuk
belajar sistematis, untuk memperteguh, mengulang, dan untuk mengikuti
pelajaran lanjutan.”

Bagi orang tua pun buku teks mempunyai peran tersendiri. Dengan buku teks
orang tua bisa memberikan arahan kepada anaknya apabila yang bersangkutan
kurang memahami materi yang diajarkan d sekolah. Dari keadaan ini orang tua
akhirnya bisa mengetahui daya serap anaknya terhadap materi mata pelajaran
tertentu. Apabila daya serapnya kurang, perlu dilakukan langkah-langkah
perbaikan; dan apabila daya serapnya baik, perlu juga dilakukan langkah-
langkah pemantapan atau pengayaan.

Pada sisi lain, buku teks dapat dipandang sebagai simpanan pengetahuan
tentang berbagai segi kehidupan (Pusat Perbukuan, 2005). Karena sudah
dipersiapkan dari segi kelengkapan dan penyajiannya, buku teks itu memberikan
fasilitas bagi kegiatan belajar mandiri, baik tentang substansinya maupun
tentang caranya. Dengan demikian, penggunaan buku teks merupakan bagian
dari upaya pencipataan ”budaya buku” bagi siswa, yang menjadi salah satu
indikator dari masyarakat yang maju.

Dipandang dari hasil belajar, buku teks mempunyai peran penting. Berbagai hasil
penelitian menunjukkan bahwa buku teks berperan secara maknawi dalam
prestasi belajar siswa. Laporan World Bank (1995) mengenai Indonesia,
misalnya, ditunjukkan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku dan fasilitas
lain berkorelasi positif dengan prestasi belajar siswa. Di Filipina, peningkatan
rasio kepemilikan buku siswa dari 1 : 10 menjadi 1 : 2 di kelas 1 dan 2 secara
signifikan meningkatkan hasil belajar siswa (World Bank, 1995). Pernyataan
tersebut diperkuat oleh Supriadi (2000) yang menyatakan bahwa tingkat
kepemilikan siswa akan buku berkorelasi positif dan bermakna dengan prestasi
belajar.

Dipandang dari proses pembelajaran pun demikian. Untuk mencapai kompetensi


yang ingin dicapai dalam pembelajaran, siswa perlu menempuh pengalaman dan
latihan serta mencari informasi tertentu. Salah satu alat yang efektif untuk
mencapai kompetensi tersebut adalah lewat penggunaan buku teks. Sebab,
pengalaman dan latihan yang perlu ditempuh dan informasi yang perlu dicari,
begitu pula tentang cara menempuh dan mencarinya, tersaji dalam buku teks
secara terprogram.

Walaupun buku teks diperuntukkan bagi siswa, guru pun dapat


memanfaatkannya. Pada waktu memberikan pembelajaran kepada siswa, guru
dapat mempertimbangkan pula apa yang tersaji dalam buku teks. Namuk
demikian, guru tetap memiliki kebebasan dalam memilih, mengembangkan, dan
menyajikan materi pembelajaran. Semua itu merupakan wewenang dan
tanggung jawab profesionalitas guru.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa keberadaan buku teks sangat fungsional
baik bagi kelancaran pengelolaan kelas, bagi guru, bagi siswa, maupun bagi
orang tua.

Diposkan oleh Masnur Muslich di 10:17 0 komentar


Label: Artikel

Rencana Perkuliahan Semester (RPS)


RENCANA PERKULIAHAN SEMESTER (RPS)
Matakuliah : Manulis Buku Ajar/Ilmiah
Sandi MK : INB420
SKS/JS : 3/4
Prasyarat : INB418
Pembina : Drs. Masnur Muslich, M.Si
Sandi Dosen : 802124

DESKRIPSI
Matakuliah ini berusaha menumbuhkan pengetahuan, pemahaman, dan
penguasa-an mahasiswa tentang penulisan buku ajar atau bahan ajar untuk
pembelajaran bahasa Indinesia di berbagai tingkat satuan pendidikan atau buku
ilmiah dalam bidang bahasa dan sastra Indonesia.

TUJUAN
Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa dapat menghasilkan buku ajar untuk
pembelajaran bahasa Indonesia di TK, SD, SLTP/MTs, SMA/MA/SMK atau
bahan untuk berbagai pelatihan atau buku ilmiah dalam bidang bahasa dan
sastra Indonesia.

TOPIK DAN SUBTOPIK

1. Karakteristik buku ajar/buku ilmiah: pengertian buku ajar/buku ilmiah,


perbedaan buku ajar dan buku ilmiah, perbedaan buku ajar dan bahan aja
2. Hubungan buku ajar dan komponen pembelajaran: hubungan buku ajar
dan kurikulum, hubungan buku ajar dan kompetensi yang ingin dicapai
(tujuan pembelajaran), hubungan buku ajar dan siswa, hubungan buku
ajar dan guru, hubungan buku ajar dan media pembelajaran, hubungan
buku ajar dan metode/teknik/strategi pembelajaran,
3. Landasan penyusunan buku ajar bahasa dan sastra Indonesia: Landasan
keilmuan bahasa dan sastra, landasan ilmu pendidikan dan keguruan,
landasan kebutuhan bahasa siswa, landasan keterbacaan materi dan
bahasa yang digunakan
4. Komponen buku ajar (versi BSNP): komponen isi, komponen kebahasaan,
komponen komponen penyajian, dan komponen kegrafikan
5. Teknik dan prosedur penulisan buku ajar/buku ilmiah: pengkajian
kurikulum, penyusunan silabus, pengkajian keilmuan bahasa dan sastra
Indonesia, pemahaman karakteristik siswa dan guru, pengorganisasian
buku, pemilihan bahan/materi, penyajian bahan/materi, penggunaan
bahasa dan keterbacaan
6. Problema penulisan buku ajar/buku ilmiah dan pemecahannya: identifikasi
permasalahan setiap tahapan penulisan buku ajar dan upaya
pemecahannya

EVALUASI
Nilai akhir (NA) mahasiswa ditetapkan berdasarkan:
(a) kuantitas dan kualitas pertisipasi dalam perkuliahan (bobot 2)
(b) hasil tugas harian individu (bobot 2)
(c) hasil tugas harian kelompok dan pertangungjawabannya (bobot 3)
(d) hasil tugas akhir individu dan pertanggungjawabannya (bobot 3)

NA ditetapkan berdasarkan rumus:


NA = (a X 2) + (b X 2) + (c X 3) + (d X 3): 10

SUMBER/RUJUKAN

• Brown, J.B. 1988. Textbook Evaluation Form.


http://www.timetabler.com/reading. html. (12/07/07).
• Cunningsworth, Alan. 1995. Coosing your Coursebook. Oxford:
Heinemann.
• Depdiknas. 2004. Pedoman Penulisan Bahan Ajar Berwawasan Gender.
Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
• Houtz, H.E. 1995. “Score Sheet for Selecting Textboks.” Dalam Reading
for Today’s Children. New York: Macmillan.
• Johnson, K. 2002. Selecting Coursebook.
http://www.timetabler.com/reading.html. (12/07/07).
• Muslich, Masnur. 2008. Dasar-dasar Pemahaman, Penulisan, Pemakaian
Buku Teks, dan Penilaian Buku Teks. Jakarta: Bumi Aksara.
• O’Neill, R. 1990. “Why Use Texboks?” Dalam R. Rossner and R. Bolitho
(Eds.). Currents in Langauge Teaching. Oxford University Press.
• Pusat Perbukuan. 2006. Pedoman Penulisan Buku Pelajaran: Penjelasan
Standar Mutu Buku Pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta:
Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
• Sumardi. 2003. Model Buku Pelajaran Bahasa Indonesia untuk Sekolah
Dasar Kelas 4: Panduan Pengembangan. Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional.
• World Bank. 1995. Indonesia: Book and Reading Development Project,
Staff, Appraisal, May.
• Yulaelawati, Ella. Dkk. 1994. Penulisan Bahan-bahan Pelajaran: Buku
Acuan bagi para Penulis Bahan-bahan Pelajaran dan Buku-buku Panduan
Guru. Jakarta: Pusat
• Pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan, Badan Penelitian dan
Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.

JADWAL PERTEMUAN

Minggu I
Karakteristik buku ajar: pengertian buku ajar/buku ilmiah, perbedaan buku ajar
dan buku ilmiah, perbedaan buku ajar dan bahan ajar
Minggu II
Hubungan buku ajar dan komponen pembelajaran: hubungan buku ajar dan
kurikulum, hubungan buku ajar dan kompetensi yang ingin dicapai (tujuan
pembelajaran), hubungan buku ajar dan siswa, hubungan buku ajar dan guru,
hubungan buku ajar dan media pembelajaran, hubungan buku ajar dan
metode/teknik/strategi pembelajaran,

Minggu III
Landasan penyusunan buku ajar bahasa dan sastra Indonesia: Landasan
keilmuan bahasa dan sastra, landasan ilmu pendidikan dan keguruan, landasan
kebutuhan bahasa siswa, landasan keterbacaan materi dan ba-hasa yang
digunakan

Minggu IV
Komponen buku ajar (versi BSNP):
komponen isi(: cakupan materi, akurasi mate-ri, kemutakhiran, mengandung
wawawsan produktivitas, merangsang keingintahuan, mengembangkan
kecakapan hidup, mengembangkan wawasan kebinekaan, mengandung
wawasan kontekstual); komponen kebahasa-an (: sesuai dengan perkembangan
peserta didik), komunikatif, dialogis dan interaktif, lugas, keruntutan alur pikir,
koherensi, kese-suaian dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar,
penggunaan istilah dan simbol atau lambang); komponen komponen penyajian
(:teknik penyajian, pendukung penyajian materi, penyajian pembelajaran); dan
komponen kegrafikan (: penampilan, tata letak, ilustrasi, keterbacaan huruf).

Minggu V-XV
Teknik dan prosedur penulisan buku ajar: pengkajian kurikulum, penyusunan
silabus, pengkajian keilmuan bahasa dan sastra Indonesia, pemahaman
karakter-istik siswa dan guru, pengorganisasian buku, pemilihan bahan/materi,
penyajian bahan/ materi, penggunaan bahasa dan keterbacaan

Minggu XVI
Problema penulisan buku ajar dan pemecahannya: identifikasi permasalahan
setiap tahapan penulisan buku ajar dan upaya pemecahannya
Malang, Agustus 2008
Pembinan MK
http://masnur-muslich.blogspot.com/2008_10_01_archive.html

You might also like