You are on page 1of 15

Dampak Hegemoni Produk Cina Bagi Produk Domestik Indonesia Pasca

Ratifikasi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA)

Abstrak

Tahun Baru 2010 menandai diberlakukannya Perjanjian Perdagangan ASEAN-Cina


Free Trade Area, (ACFTA). Dengan kesepakatan ini, maka barang-barang antarnegara China
dan ASEAN akan saling bebas masuk dengan pembebasan tarif hingga nol persen. Sejumlah
pengusaha menilai, sektor usaha kecil dan menengah akan tergilas karena serbuan barang-
barang murah dari China. Dalam konteks ini, kita tidak punya pilihan untuk menunda, apalagi
mundur. Satu-satunya hal yang harus kita lakukan adalah berbenah, mempersiapkan diri, dan
memenangi persaingan ini.

Peningkatan daya saing produk domestik (yang menjadi harga mati untuk tidak
tergilas oleh derasnya arus masuk produk-produk China ke Indonesia) harus dilakukan, selain
itu kita juga harus memaksimalkan pengelolaan Intellectual Capital (IC) yang dimiliki oleh
masing-masing perusahaan. Strategi ini mutlak diperlukan karena ACFTA ini merupakan
pertanda dari munculnya era baru dalam ekonomi, dari old economy kepada new economy.
Dalam old economy, kesejahteraan diciptakan melalui peningkatan unit produk dan sistem
pengukurannya berdasarkan pada pendapatan (revenue), kos (cost), dan laba (profit).
Sedangkan dalam new economy, kesejahteraan diciptakan melalui peningkatan incorporated
value added dari produk dan jasa.

Setiap perusahaan memiliki pengetahuan, keterampilan, nilai dan solusi yang unik
yang dapat ditransformasikan ke dalam nilai di pasar. Jika pengelolaan sumberdaya tak
berwujud (intangible resources) dapat membantu meraih keunggulan kompetitif, maka
peningkatan produktivitas dan nilai pasar (market value) bukan lagi sebuah pilihan, tetapi
adalah sebuah kepastian (Pulic and Kolakovic, 2003). Hal inilah yang disebut sebagai
intellectual capital, yang menjadi kunci bagi perusahaan untuk memanangi kompetisi dalam
ACFTA.

IC adalah suatu istilah yang diberikan kepada kombinasi aktiva tidak berwujud dari
pasar (intangible assets of market), intellectual property, human-centred dan infrastruktur
yang memungkinkan perusahaan untuk bisa berfungsi (Brooking, 1996). IC umumnya
diidentifikasikan sebagai perbedaan antara nilai pasar perusahaan (bisnis perusahaan) dan
nilai buku dari aset perusahaan tersebut atau dari financial capitalnya. Hal ini berdasarkan
suatu observasi bahwa sejak akhir 1980-an, nilai pasar dari bisnis kebanyakan dan secara
khusus adalah bisnis yang berdasar pengetahuan telah menjadi lebih besar dari nilai yang
dilaporkan dalam laporan keuangan berdasarkan perhitungan yang dilakukan oleh akuntan
(Roslender & Fincham, 2004).

Keywords: CAFTA, intellectual capital, efficiency, competitiveness.


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tahun 2010 lalu diwarnai situasi yang menegangkan dalam kiprah perdagangan Indonesia.
Bagaimana tidak, pasca pemerintah meratifikasi Asean-Cina Free Trade Area (ACFTA) yang
mulai berlaku implementatif sejak awal tahun 2010 lalu, pasar domestik Indonesia mulai
didera oleh kompetisi yang sangat sengit dengan Cina. Siap atau tidak siap, kita tidak lagi
mempunyai pilihan dalam menghadapi situasi perdagangan internasional. Tuntutan
munculnya suatu mekanisme perdagangan yang borderless, telah memicu lahirnya berbagai
kesepakatan yang membebaskan keluar masuknya barang dan jasa dari berbagai Negara
seperti halnya barang dan jasa dari Cina. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
kemudian ACFTA ini menimbulkan polarisasi opini publik yang pecah dalam dua kubu yakni
pro dan kontra dalam menanggapi ratifikasi ACFTA oleh pemerintah.. Kalangan yang kontra
menilai bahwa kebijakan partisipasi Indonesia dalam ACFTA ini merupakan ajang bunuh
diri, karena kapabilitas pasar domestik yang masih tertinggal jauh di belakang Cina. Argumen
yang diberikan rata-rata berkisar pada anggapan bahwa industri kita, terutama industri kecil
dan menengah, belum siap dan tidak akan mampu bersaing dalam menghadapi derasnya arus
masuk produk-produk China ke Indonesia Namun sebagian publik lain yang pro terhadap
produk kebijakan ini beragumen bahwa sebenarnya kebijakan ini merupakan langkah
strategis yang harus didukung. Karena kebijakan ini mengindikasikan komitmen Kabinet
Indonesia Bersatu jilid II untuk menyukseskan proses debottlenecking arus ekspor barang
Indonesia ke pasar Cina. Sehingga sirkulasi produk Indonesia dalam kuantitas yang lebih
masif dapat lebih ekspansif ke pasar Cina, yang akhirnya akan bermuara pada meningkatnya
neraca perdagangan Indonesia. Selain itu, tidak sedikit yang dengan penuh optimisme
menyambut era ACFTA. ACFTA ditempatkan sebagai sebuah peluang besar untuk
mengembangkan diri dan meningkatkan efisiensi produksi. Tentu saja dengan setumpuk
argumentasi untuk meyakinkan diri bahwa perusahaan dan industri kita dapat memetik
keuntungan dari ACFTA. Salah satunya (menurut saya) adalah karena kita memahami betul
karakter konsumen kita, dan apa yang mereka butuhkan. Kekayaan kita atas informasi
tentang konsumen, jaringan distribusi untuk menjangkaunya, dan sebagainya adalah
merupakan sumberdaya yang luar biasa akan memberikan dampak positif kepada organisasi
ketika dikelola secara efektif. Kekayaan tersebut, yang merupakan intangible resources
adalah bagian penting dari intellectual capital yang diyakini merupakan driver bagi
penciptaan nilai (value creation) bagi perusahaan.

Namun sayangnya fakta yang terjadi malah sebaliknya. Karena kurang kompetitifnya
produk Indonesia dalam spektrum pertarungan kualitas, kuantitas, maupun harga, akhirnya
secara otomatis menyebabkan fenomena superioritas produk Cina di pasar domesik. Kuota
produk Cina dalam kuantitas super masif telah berhasil membanjiri pasar domestik Indonesia.
Bahkan lebih jauh, realita pasar membuktikan bahwa bagi konsumen lokal: produk Cina jauh
lebih “magnetis” dibanding produk lokal dimana harga produk Cina yang jauh lebih murah
telah menarik perhatian konsumen lokal yang notabene-nya memiliki daya beli rendah.
Sehingga konsumen lokal berbondong-bondong mengkonsumsi produk Cina. Jadi intinya,
produk Cina tidak hanya telah berhasil membanjiri pasar domestik secara territorial tetapi
juga telah berhasil merampas pangsa pasar domestik.

Indonesia juga menyadari kehadiran China sebagai great power yang memiliki
pengaruh yang sangat kuat di kawasan Asia Timur. Indonesia mau tidak mau akan berusaha
menerapkan berbagai strategi untuk merespon hegemoni China di kawasan Asia Timur.

Sebagai negara great power, China memiliki empat tujuan dasar yang ingin dicapai
(Mearsheimer,2001). Pertama, menjadi dan mempertahankan keberadaanya sebagai hegemon
di kawasan. China secara perlahan telah memperluas jangkauan pengaruhnya di kawasan,
baik secara militer maupun politik. Kedua, China sebagai great power memiliki tujuan untuk
memaksimalkan kekayaannya. Ketiga, mendominasi perimbangan kekuatan sekaligus
memaksimalkan kekuatan militernya di darat, laut dan udara. Tujuan ini dapat dilihat dari
jumlah anggaran pertahanannya yang besar dan mulai menggeser kekuatan lain di kawasan.
Keempat, superioritas nuklir yang ingin dimiliki untuk memastikan keunggulannya dari great
power lainnya.

Indonesia memiliki landasan visi dalam melakukan hubungan luar negeri. Visi ini
tercantum dalam UUD 45 sebagai landasan konstitusional dan UU No. 37 tentang Hubungan
Luar Negeri sebagai landasan operasional. Prinsip bebas aktif menjadi landasan prinsipil dari
kebijakan luar negeri. Untuk menyesuaikan dan bertahan dalam pergeseran konstelasi politik
internasional, Indonesia membutuhkan inovasi kebijakan luar negeri bebas aktif untuk
mengantisipasi kehadiran China sebagai hegemoni. Inovasi yang berupa cara-cara kreatif,
luwes, dan berpandangan ke depan dalam mengantisipasi hegemoni Cina. Inovasi yang
berbeda dari biasanya yang menghadirkan terobosan-terobosan baru.

Alternatif strategi yang baik untuk dikedepankan adalah dengan menciptakan proses
distribusi ide yang seimbang. Suatu proses yang melibatkan Indonesia, Cina dan negara-
negara lain dalam suatu wadah untuk membangun saling kesepahaman dalam mengatasi
tantangan global saat ini. Proses distribusi ide yang seimbang dapat meminimalisir praduga-
praduga yang keliru mengenai kebangkitan Cina. Proses ini dapat dilakukan secara aktif
melalui ASEAN dan berbagai konferensi tingkat tinggi lainnya dimana Indonesia memainkan
peran sentral di dalamnya. Usaha membangun saling kesepahaman antara Indonesia dan Cina
serta negara-negara lain di kawasan dapat membangun hubungan internasional yang solid dan
harmonis antar negara.

Kehadiran Cina sebagai great power di kawasan Asia Timur perlu dihadapi dengan
inovasi kebijakan luar negeri Indonesia. Inovasi yang dapat mengarahkan dan memanfaatkan
kekuatan Cina ke dalam wadah yang bermanfaat demi kepentingan nasional Indonesia.
Inovasi yang juga dapat memberikan stabilitas dan mendorong kesejahteraan kawasan.
Inovasi ini juga diharapkan dapat mendorong Cina sebagai great power yang menyadari
peran dan tanggung jawabnya untuk mewujudkan perkembangan positif dan perdamaian di
kawasan Asia.

1.2 Rumusan Masalah

Tulisan ini akan menyoroti tentang:

1. Sejauh mana respon pemerintah dan pengusaha lokal dalam menanggapi “hegemoni
produk Cina di pasar lokal” pasca ratifikasi ACFTA?

2. Apa saja faktor yang menghambat perkembangan produk lokal sehingga kalah saing
dengan produk Cina?

3. Apa rekomendasi solutif untuk membuat Indonesia bisa “survive” dalam arena
pertarungan dengan Cina tersebut?

1.3 Tujuan dan Kegunaan penelitian


1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menganalisa dampak dari hegemoni produk Cina di pasar domestik.

2. Untuk menganalisa dan memaparkan mengenai apa saja yang dilakukan pemerintah
Indonesia untuk melawan hegemoni produk Cina di pasar domestik pasca ratifikasi
ACFTA.

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1.3.2.1 Kegunaan Teoritis

Adapun kegunaan teoritis dari penelitian ini adalah:

1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi studi hubungan internasional mengenai


penerapan ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) di Asia tenggara, khususnya
dampak hegemoni produk Cina di pasar Indonesia.

2. Sebagai referensi dan bahan kajian tambahan bagi pihak lain yang tertarik untuk
mempelajari maupun mengetahui lebih jauh mengenai penerapan ACFTA di
Indonesia khususnya dampak hegemoni produk Cina di pangsa pasar Indonesia
serta kebijakan yang diambil oleh pemerintah Indonesia untuk siap bersaing di era
ACFTA.

1.3.2.2 Kegunaan Praktis

Kegunaan praktis penelitian ini adalah sebagai salah satu syarat dalam pembuatan
tugas akhir guna menempuh sidang sarjana strata satu (S1) pada jurusan Hubungan
Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau.

1.4 Kerangka Dasar Teori


Kerangka acuan dalam berpikir untuk memecahkan permasalah pokok yang diajukan
dalam penelitian ini, penulis memerlukan suatu kerangka teoritis yang berguna sebagai alat
untuk menganalisa. Dalam penelitian ini, penulis menetapkan tingkat analisa negara bangsa
dimana analisa ini mempercayai bahwa negara adalah aktor dominan dalam interaksi di dunia
internasional. Tingkat analisa ini berusaha menjelaskan hubungan-hubungan antar negara
bangsa. Dalam hai ini, actor yang dominan adalah pemerintah Indonesia dimana hubungan
yang terjadi antara negara Indonesia, Cina, beserta negara-negara ASEAN lainnya merupakan
kerjasama dalam bidang ekonomi, tepatnya yaitu kerjasama dalam bidang perdagangan.

Untuk membantu mengkaji permasalahan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan


pendekatan ekonomi internasional.

Menurut Mochtar Mas’oed : Ekonomi politik internasional merupakan studi tentang


saling keterkaitan dan interaksi antara fenomena politik dan ekonomi yang dilakukan oleh
beberapa aktor seperti aktor negara, aktor bukan negara, perusahaan multinasional (MNCs)
ataupun organisasi internasional.

1. Konsep “Variabel Sistemile” dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri yaitu untuk
menganalis alasan di balik kebijakan Indonesia dalam meratifikasi ACFTA walaupun
tanpa disertai oleh kesiapan pasar domestik tersebut-variabel yang paling relevan
adalah Variabel Sistemile yang diadopsi dari pemikiran James N. Rosenau dan
disempurnakan oleh Holsti. Konsep ini menyebutkan bahwa: “kebijakan suatu negara
juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang merujuk pada situasi politik-ekonomi
internasional”. Seperti diketahui bahwa fenomena integrasi pasar kini telah melanda
seluruh dunia (adanya Uni Eropa, NAFTA, dll) maka sebagai negara yang berdaulat
pasar bebas, dimulai dengan Cina karena Cina kini merupakan “The Emerging
Power” di Asia.

2. Teori “Comparative Advantage” (Keunggulan Komparatif) karya David Ricardo


yang mengatakan bahwa; “Dalam mekanisme pasar bebas, suatu negara akan
diuntungkan apabila mampu memproduksi barang dan jasa dalam kuota masif, namun
dengan biaya yang lebih murah dibandingkan negara saingannya, serta mampu
membuat spesialisasi, dengan memproduksi komoditas unggulan yang tidak bisa
diproduksi oleh negara lain. Teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa pengusaha
domestik “kewalahan” menghadapi kompetisi dengan Cina.
1.5 Hipotesa

Berdasarkan kerangka berpikir di atas, maka peneliti menari hipotesa Hegemoni


Produk Cina di Indonesia Berdampak Pada Produk Dalam Negeri Indonesia Terlebih
Lagi Setelah Ratifikasi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA).

Adapun variabel yang penulis ambil yaitu:

a. Variabel Independen: Diratifikasinya ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) oleh


pemerintah Indonesia pada awal tahun 2010 yang lalu, dengan indikator sebagai
berikut:

1. Meningkatnya penguasaan pasar domestik oleh produk Cina pasca ratifikasi


ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) oleh pemerintah Indonesia.

2. Ratifikasi

b. Variabel dependen:

1.6 Definisi Konseptual

Komunitas atau masyarakat Internasional yang terbentuk pada skala internasional,


saling berinteraksi pada sebuah pola lingkungan, termasuk ke dalam ruang lingkup hubungan
Internasional. Menurut Mc. Lelland, hubungan Internasional adalah studi atau pengkajian
tentang interaksi antara kesatuan-kesatuan sosial, termasuk studi tentang keadaan-keadaan
yang berkaitan (relevant) yang mengelilingi interaksi. Fakta-fakta hubungan internasional
dapat dipilih dan ditata dengan dua acuan yaitu pelaku (aktor) dan interaksi.

Hubungan Internasional bertkaitan erat dengan aktivitas manusia baik secara individu
maupun kelompok dari suatu negara yang berinteraksi secara resmi maupun tidak resmi
dengan individu atau kelompok lainnya yang melintasi batas-batas wilayah negara.
Hubungan internasional mempunyai cakupan diberbagai bidang kehidupan masyarakat
internasional. Salah satunya adalah kerjasama dibidang ekonomi. Kerjasama ini dilakukan
untuk memenuhi kebutuhan masing-masing negara dalam kehidupan masyarakat global.
Hubungan antar negara dibidang ekonomi ini disebut hubungan ekonomi internasional.

Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa ekonomi politik internasional memuat


berbagai aksi atau tindakan, reaksi serta interaksi keadaan ekonomi dan politik yang
dilakukan oleh beberapa aktor seperti aktor negara, aktor non-negara, perusahaan-perusahaan
internasional (MNCs) ataupun organisasi internasional.

1.7 Definisi Operasional

Untuk memperjelas dan mempermudah peneliti dalam menganalisa permasalahan


dalam penelitian ini, maka dibuat pembatasan definisi operasional sebagai berikut:

1. ASEAN - Cina Free Trade Area (ACFTA)

Penelitian ini menggunakan ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA) sebagai suatu
bentuk perjanjian perdagangan bebas antara kawasan Asia tenggara dengan negara
Cina yang berupaya untuk menjalin kerjasama di bidang ekonomi antara negara-
negara Asia Tenggara dengan Cina, termasuk Indonesia. ASEAN-Cina Free Trade
Area (ACFTA) terdiri dari indikator-indikator sebagai berikut:

a. Peluang (opportunities)

b. Ancaman (threat)

2. Produk Domestik di Indonesia

Penelitian ini membahas tentang eksistensi produk dalam negeri Indonesia


sebagai faktor utama yang diperhatikan pemerintah Indonesia pasca ratifikasi ACFTA
yang telah dilakukan sehingga tidak tergilas oleh hegemoni produk Cina. ASEAN-
Cina Free Trade Area (ACFTA) yang merupakan kerjasama ekonomi yang mulai
diterapkan di Indonesia sejak awal tahun 2010 yang lalu.

1.8 Metode dan Teknik Penelitian

1.8.1. Metode Penelitian


Metode yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif yang bersifat eksplanatif yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menjelaskan
hubungan antara variabel-variabel yang berkenaan dengan masalah dan fenomena yang
diteliti berdasarkan kerangka pemikiran yang digunakan, kemudian dilanjutkan dengan
meneliti, menelaah, dan menjelaskan dari faktor-faktor yang berhubungan dengan fenomena
yang sedang diteliti.

1.8.2. Teknik Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data Studi


Kepustakaan, dimana pengumpulan data dilakukan dengan cara mengkaji dan mempelajari
konsep-konsep serta informasi lain yang diperoleh dari berbagai sumber seperti buku-buku,
majalah, surat kabar, artikel-artikel, laporan-laporan, mmaupun sumber-sumber dari internet
yang berkaitan dengan masalah yang sedang diteliti.

1.9 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menggunakan dampak hegemoni produk Cina bagi pangsa pasar
Indonesia sebagai faktor utama yang diperhatikan pemerintah pasca ratifikasi ACFTA di
Indonesia. Dampak hegemoni produk Cina di Indonesia akan menjelaskan bahwa pasca
ratifikasi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA), produk Cina semakin menguasai pasar
domestik dengan kata lain lambat laun akan menggeser produk dalam negeri di pasaran.

1.10 Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan


masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, pendekatan, kerangka
konseptual, kerangka analisia, asumsi, hipotesis, definisi operasional, metode penelitian,
teknik pengumpulan data, analisis data, lokasi dan waktu penelitian serta sistematika
penulisan.

BAB II GAMBARAN UMUM HEGEMONI PRODUK CINA DAN ACFTA

Bab ini berisikan kondisi, latar belakang penelitian, perkembangan dan


dampak hegemoni produk Cina di Indonesia dan ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA).
BAB III TANTANGAN DAN PELUANG EKONOMI INDONESIA PASCA
RATIFIKASI ACFTA

Bab ini berisikan tentang tantangan dan peluang ekonomi yang dihadapi Indonesia
pasca ratifikasi ASEAN-Cina Free Trade Area (ACFTA).

BAB IV DAMPAK HEGEMONI PRODUK CINA BAGI PASAR DAMESTIK


PASCA RATIFIKASI ACFTA

Bab ini berisikan analisis tentang dampak hegemoni produk Cina bagi pasar domestik.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisikan kesimpulan berupa uraian secara singkat mengenai permasalahan
yang diteliti dan saran yang peneliti ajukan untuk melengkapi hasil penelitian.

Pembahasan

Menurut peta perdagangan dunia, ACFTA saat ini merupakan salah satu blok
perdagangan terbesar di dunia. Dengan didukung jumlah akumulatif penduduk ASEAN plus
Cina yang mencapai 1,9 milyar jiwa, ACFTA pantas dinobatkan sebagai blok perdagangan
dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia. Apalagi dilihat dari sisi volume perdagangan,
nilai perdagangan ACFTA yang mencapai 200 milyar dollar AS, membuat blok perdagangan
ini pantas dianugerahi kategori sebagai blok perdagangan terbesar ke-3 setelah Uni Eropa dan
NAFTA. Data ini mengindikasikan bahwa pasar ACFTA adalah blok perdagangan yang
sangat potensial dan prosfektif. Sehingga kemudian, data itulah yang menstimulasi para
kepala Negara ASEAN dan RRC untuk meratifikasi ACFTA pada tanggal 4 November 2002
yaitu dengan ditandatanginya Framework Agreement on Comprehensive Economic
Cooperation between the ASEAN and People’s Republic of China di Phnom Penh, Kamboja.
Esensialnya, dalam formulasi tujuan blok perdagangan ini, tercantumlah 4 poin elementer
yang menjadi landasan utama tujuan kerjasama negara-negara anggota ACFTA ini. Ke-4 poin
tersebut terdiri dari:

1. Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi


antara negara-negara anggota.

2. Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta
menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi
3. Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan
yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.

4. Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif bagi para anggota ASEAN baru
(Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) dan menjembatani kesenjangan
pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota. Namun tak diduga akhirnya
ACFTA malah menyebabkan Indonesia terjerat dalam tentakel Cina.

Menyadari implikasi negatif tersebut, publik domestik pun bergolak, lahirlah aksi-aksi
demonstrasi menentang ACFTA – yang marak terjadi di awal hingga pertengahan tahun
2010. Tema utama yang diangkat adalah “bahwa pelaku bisnis Indonesia, yang mayoritas
UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) belum siap bertarung dengan Cina”. Keterlibatan
Indonesia dalam ACFTA ini diyakini sebagai sebuah ajang bunuh diri bagi pasar domestik,
karena banyak pihak meragukan kapabilitas pelaku bisnis domestik untuk memenangkan
pertarungan melawan Cina tersebut. Tanpa ACFTA saja, produk Cina, baik legal maupun
selundupan, telah membanjiri pasar Indonesia. Neraca perdagangan Indonesia-Cina terbukti
defisit sejak tahun 2008. Ekspor Indonesia ke Cina sebesar US$11,6 milyar, sedangkan impor
dari Cina ke Indonesia mencapai US$ 15,2 milyar pada tahun 2008. Data Januari hingga
September 2009, defisit perdagangan Indonesia-Cina mencapai US$1,7 milyar karena ekspor
Indonesia lebih rendah daripada impor dari Cina. Ini hanya sekelumit bukti otentik bahwa
produk Indonesia terpuruk menghadapi serbuan produk Cina dengan harga murah dan jumlah
yang jauh lebih banyak.

Lebih parah lagi, jauh sebelum tahun 2010, Artikel 6 Perjanjian ACFTA
mencantumkan program penurunan tariff yang disebut Early Harvest Programme (EHP).
Program ini bertujuan untuk mempercepat implementasi penurunan bea masuk barang.
Cakupan produk yang masuk dalam EHP adalah:

• Chapter 01 s.d 08 : Binatang hidup, ikan, dairy products, tumbuhan, sayuran, dan buah-
buahan (SK Menkeu No 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 Tentang Penetapan Tarif
Bea Masuk atas Impor Barang dalam kerangka EHP ACFTA).

• Kesepakatan Bilateral (Produk Spesifik) antara lain kopi, minyak kelapa/CPO, Coklat,
Barang dari karet, dan perabotan (SK Menkeu No 356/KMK.01/2004 tanggal 21 juli 2004
Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang Dalam Kerangka EHP Bilateral
Indonesia-China FTA).
Program tersebut telah berlaku implementatif terhitung sejak 1 Januari 2004, hal ini
berarti jauh sebelum ACFTA efektif diberlakukan awal tahun 2010 lalu. Sayangnya, sebelum
meliberalisasi pasar domestik, pemerintah tidak sempat mengidentifikasi seberapa jauh
kesiapan sektor riil, UMKM, ekspor, dan industri domestik. Dengan sangat gegabah mereka
meratifikasi perjanjian ACFTA.

Kebijakan partisipasi Indonesia dalam ACFTA ini terlihat bagaikan keputusan yang
sangat prematur tanpa disertai kesiapan untuk menanggung konsekwensinya. Sehingga
akhirnya pasar domestik seolah menjadi “gudang” barang Cina. Namun semuanya sudah
terlanjur terjadi, perjanjian ACFTA tak mungkin lagi dapat diabrogasi. Namun sepanjang
tahun 2010, jika disoroti lebih dalam, pemerintah belum dapat sempat memformulasikan
kebijakan yang dapat mengeliminasi dampak negatif tersebut secara signifikan. Oleh karena
itu, pemerintah kini masih memiliki banyak 'pekerjaan rumah' yang berkaitan dengan export
chain di tahun 2011 ini.

Dari analisis di lapangan, sepanjang tahun 2010, lemahnya daya saing produk ekspor
Indonesia ternyata disebabkan oleh sejumlah faktor yang menyebabkan “ekonomi biaya
tinggi” yang belum diatasi oleh pemeintah, yaitu:

1. Biaya mengurus kontainer di pelabuhan (THC) masih tertinggi di ASEAN. Ini masih
ditambah biaya parkir dan lewat kontainer yang dinilai memberatkan.

2. Biaya pungutan liar (pungli) yang minimal 7,5% dari biaya ekspor. Pungli masih
ditemui di jembatan timbang, jalan raya, pelabuhan, dan pelayanan perijinan baik di
pusat maupun daerah. Pemerintah belum secara signifikan berhasil mengurangi
sumber-sumber ekonomi biaya tinggi ini.

3. Rendahnya lokal konten dalam proses produksi industri domestic. Karena pengusaha
domestik masih bergantung pada penggunaan bahan baku impor yang berkisar antara
28-90 persen.

4. Masih lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri domestik masih
banyak yang bertipe “tukang jahit” dan “tukang rakit”, di samping juga permasalahan
rendahnya produktivitas tenaga kerja industri, belum terintegrasinya UMKM dalam
satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri skala besar, kurang sehatnya iklim
persaingan karena banyak subsektor industri yang beroperasi dalam kondisi
mendekati “monopoli”, dan masih terkonsentrasinya lokasi industri di pulau Jawa dan
Sumatra.

5. Indonesia masih mengalami fenomena rendahnya keunggulan komparatif. Indonesia


belum mampu menetapkan produk unggulannya, bahkan sebagai negara agraris,
Indonesia belum mampu menjadi sentrum produk pertanian. Lebih jauh jika ingin
disebut negara Industri, produk industri lokal pun masih belum bisa bersaing dengan
produk Cina, sebagai contoh, kini Batik Cina pun kian menggeser eksistensi batik
lokal.

6. Kurang signifikannya bargaining position Indonesia dalam melakukan diplomasi


ekonomi dengan Cina. Sehingga menyebabkan, hubungan perdagangan Indonesia-
Cina masih diwarnai banyak hambatan. Misalnya adanya kasus-kasus sengketa
perdagangan Indonesia-Cina. Seringkali dalam penyelesaian sengketa perdagangan,
Indonesia lebih sering mengalah dengan Cina. Bahkan dalam formulasi kebijakan
perdagangan pun, Indonesia masih di bawah tekanan Cina, misalnya saja tentang
penetapan tariff 0%, atau masalah membanjirnya produk batik Cina yang menggeser
batik lokal – Indonesia seolah tak bisa berbuat banyak untuk menekan Cina. Sehingga
akhirnya Cina pun berani melakukan manuver politis yang bersifat intimidatif untuk
memaksa Indonesia membuat kebijakan yang bisa menguntungkan pengusaha Cina,
walupun harus mengorbankan industri lokal.

Kesimpulan

Singkatnya, ACFTA merupakan sentrum tantangan sekaligus peluang. Peluang


terbesar yang harus dipertimbangkan adalah bahwa Cina adalah pusat gravitasi
perekonomian di Asia, dengan realitas pasar yang sangat luas dan prosfektif, maka dapat
dibayangkan betapa besarnya profit yang mampu diraup oleh pelaku bisnis domestik
apabila dapat menguasai pasar Cina. Oleh karena itu hendaknya pemerintah lebih
mempertajam strategi untuk menyelamatkan pasar domestik dari hegemoni produk Cina.

Pemerintah harus lebih serius untuk mengeliminasi faktor-faktor yang


menyebabkan “ekonomi biaya tinggi”. Serta pemerintah juga harus lebih percaya diri
dalam kerangka diplomasi vis a vis dengan Cina. Terutama dalam penyelesaian sengketa
perdagangan serta mengupayakan terjadinya “FAIR TRADE” (Iklim pasar yang lebih adil
dan tidak bersifat predatoris terhadap pengusaha kecil lokal) sehingga eksistensi dan
performa industri lokal dapat terjamin.

Disamping itu, ACFTA ini merupakan suatu ajang “uji kapabilitas”, sebelum
nantinya Indonesia berkompetisi di arena “ASEAN ECONOMY COMMUNITY” (AEC)
2015. Indonesia harus menempa diri untuk berlaga di arena pertarungan ACFTA, agar
nantinya ketika menghadapi AEC 2015, Indonesia tidak gugup karena telah tertempa
dengan baik. Liberalisasi pasar merupakan sebuah fenomena yang tak dapat terelakkan
lagi. Sepertinya fenomena ini merupakan konsekwensi dari episode globalisasi, daripada
terus mengkritik fenomena ini, lebih baik Indonesia segera berkomitmen untuk
meningkatkan kompetensi, kapabilitas, dan daya saing sebagai strategi untuk dapat
survive dan diperhitungkan di arena kompetisi regional maupun global. Selain itu,
optimalisasi Intellectual Capital untuk dapat bersaing di era ACFTA juga harus
dilakukan dengan menempatkan ACFTA sebagai peluang untuk meraih kesempatan
bisnis secara lebih luas, bukan hanya memenangi persaingan di dalam negeri, tetapi juga
untuk bisa menguasai pasar China. Optimisme ini harus dibangun, karenanIndonesia tidak
memiliki alternatif untuk tidak optimis. Ada beberapa hal yang dapat dielaborasi untuk
bisa bersaing di era ACFTA dengan memaksimalkan pengelolaan intellectual capital
diantaranya yaitu:

Pertama, pengelolaan karyawan. Karyawan adalah aset terpenting dalam industri.


Maka karyawan harus ditempatkan sebagai kekayaan utama perusahaan dan dikelola
secara efektif. Karyawan (human capital) adalah ruh dari organisasi. Dalam diri mereka
tersimpan segala hal yang dapat mengantarkan organisasi untuk bersaing dan memenangi
persaingan. Pengelolaan karyawan yang baik, proporsional, tidak diskriminatif akan
menggerakkan roda organisasi secara maksimal. Hubungan yang ‘manusiawi’ antara
pemilik dengan karyawan akan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi.

Kedua, jalinan pelanggan dan jalur distribusi (relational/customer capital). Untuk


memenangi persaingan di dalam negeri, kita telah memiliki ‘kekayaan’ berupa jalinan
pelanggan dan jalur distribusi. Kita yang paham betul apa, siapa, dan bagaimana
pelanggan kita. Kita juga jauh lebih paham tentang jalur distribusi yang bisa jadi menjadi
sumber inefisiensi dalam organisasi lain. Pengelolaan yang lebih baik atas customer
capital ini akan meningkatkan loyalitas pelanggan dan dengan sendirinya akan
menempatkan produk kita di dalam hati para pelanggan.
Ketiga, menjual keunikan. Salah satu daya tarik utama produk-produk lokal
Indonesia adalah keunikannya. Dengan mempertahankan dan menciptakan keunikan-
keunikan baru dalam setiap produk domestik, maka produk itu akan memiliki daya saing
yang tinggi di pasar, baik pasar lokal maupun internasional.

Meskipun sepanjang tahun 2010 lalu, pemerintah belum mampu


memformulasikan upaya solutif untuk menyelamatkan pasar domestik, namun di tahun
2011 ini diharapkan pemerintah mampu bekerja lebih baik agar pasar domestik bisa terus
bertahan sepanjang ACFTA ini berlangsung.

You might also like