You are on page 1of 43

A.

Krisis lingkungan hidup yang dihadapi manusia modern


merupakan akibat langsung dari pengelolaan lingkungan hidup
yang “nir-etik”. Artinya, manusia melakukan pengelolaan
sumber-sumber alam hampir tanpa peduli pada peran etika.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa krisis ekologis yang
dihadapi umat manusia berakar dalam krisis etika atau krisis
moral. Umat manusia kurang peduli pada norma-norma
kehidupan atau mengganti norma-norma yang seharusnya
dengan norma-norma ciptaan dan kepentingannya sendiri.
Manusia modern menghadapi alam hampir tanpa menggunakan
‘hati nurani. Alam begitu saja dieksploitasi dan dicemari tanpa
merasa bersalah. Akibatnya terjadi penurunan secara drastis
kualitas sumber daya alam seperti lenyapnya sebagian spesies
dari muka bumi, yang diikuti pula penurunan kualitas alam.
Pencemaran dan kerusakan alam pun akhirnya mencuat sebagai
masalah yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari manusia

Tidak bisa disangkal bahwa berbagai kasus lingkungan


hidup yang terjadi sekarang ini, baik pada lingkungan global
maupun lingkup nasionalsebagian besar bersumber dari perilaku
manusia. Berbagai kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan
bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung
jawab, tidak peduli dan hanya mementingkan diri sendiri
(egoisme)

Kasus illegal logging, illegal fishing, eksploitasi pasir, Kasus


pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT Freeport
Indonesia, PT Inti Indorayon Utama, PT Newmont, illegal logging,
okupasi lahan kawasan hutan, hingga kasus-kasus korupsi
birokrasi dan kasus lingkungan yang terkait dengan liberalisasi
perdagangan global, semuanya berkaitan dengan masalah etika.
Masalah moral. Terutama berkaitan dengan kerakusan dan
kelicikan manusia, perusahaan (korporasi) maupun negara
dalam mengeksploitasi alam.

Keraf (2002) mengatakan bahwa krisis lingkungan global


bersumber pada kesalahan fundamental-filosofis dalam
pemahaman atau cara pandang mengenai dirinya, alam, dan
tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan cara
pandang ini bersumber dari etika antroposentrisme yang
memandang manusia sebagai alam semesta. Manusia, dalam
pandangan etika yang bermula dari Aristoteles hingga filsuf-filsuf
Barat modern, dianggap berada di luar dan terpisah dengan
alam. Alam sekedar alat pemuas manusia. Cara pandang seperti
ini melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif tanpa kepedulian
sama sekali terhadap alam.

Oleh karena itu krisis lingkungan dewasa ini, menurut


Naess(1993) dalam Keraf (2002) hanya dapat diatasi dengan
melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia
terhadap alam secara fundamental dan radikal. Perubahan dari
etika antroposentrisme ke etika biosentrisme dan ekosentrisme.
Keraf (2002) menegaskan bahwa gagasan Naess ini adalah
revitalisasi cara pandang dan perilaku masyarakat adat dalam
interaksinya dengan alam. Etika lingkungan hidup yang
diperjuangkan biosentrisme dan ekosentrisme sebetulnya telah
dipraktekkan oleh masyarakat suku asli di seluruh dunia, tetapi
tenggelam di tengah dominasi cara pandang dan etika Barat
modern.
Alam sebetulnya mempunyai hak untuk eksis. Itulah hak
asasi alam. Tidak hanya manusia yang berhak untuk eksis di
bumi. Oleh karena itu perlu ada sinergi antara alam dan
manusia. Sehingga, Keraf (2002) mengharapan adanya gerakan
bersama berbagai pihak untuk mewujudkan etika lingkungan
hidup yang dapat ”merawat” bumi menjadi tempat yang nyaman
bagi semua kehidupan.

B. MEMAHAMI MAKNA ETIKA LINGKUNGAN

Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika


yang rumit. Karena meskipun pada dasarnya alam sendiri sudah
diakui sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi kenyataannya
terus terjadi pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan
banyak pertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini
atau manusia sudah kehilangan rasa cinta pada alam?
Bagaimanakah sesungguhnya manusia memahami alam dan
bagaimana cara menggunakannya?
Perhatian kita pada isu lingkungan ini juga memunculkan
pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan
generasi yang akan datang. Kita juga diajak berpikir kedepan.
Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan
datang? Kita akan menyadari bahwa relasi kita dengan generasi
akan datang, yang memang tidak bisa timbal balik. Karenanya ada
teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot
pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam
membahas isu lingkungan ini. Para penganut utilitirianisme, secara
khusus, memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh
apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kita lakukan pada
alam akan mempengaruhi mereka. Pernyataan ini turut
memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan
dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan
lingkungan.
Etika Lingkungan disebut juga Etika Ekologi. Etika Ekologi
selanjutnya dibedakan menjadi dua yaitu etika ekologi dalam dan
etika ekologi dangkal. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan
lagi sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika
pelestarian adalah etika yang menekankan pada mengusahakan
pelestarian alam untuk kepentingan manusia, sedangkan etika
pemeliharaan dimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan
lingkungan untuk kepentingan semua mahluk.
Yang dimaksud Etika ekologi dalam adalah pendekatan
terhadap lingkungan yang melihat pentingnya memahami
lingkungan sebagai keseluruhan kehidupan yang saling menopang,
sehingga semua unsur mempunyai arti dan makna yang sama.
Etika Ekologi ini memiliki prinsip yaitu bahwa semua bentuk
kehidupan memiliki nilai bawaan dan karena itu memiliki hak untuk
menuntut penghargaan karena harga diri, hak untuk hidup dan hak
untuk berkembang. Premisnya adalah bahwa lingkungan moral
harus melampaui spesies manusia dengan memasukkan komunitas
yang lebih luas. Komunitas yang lebih luas disini maksudnya adalah
komunitas yang menyertakan binatang dan tumbuhan serta alam.
Sedangkan Etika ekologi dangkal adalah pendekatan terhadap
lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana
untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris. Etika
ekologi dangkal ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme
dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian
diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para
ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan hidup manusia.
B.1 Etika Ekologi Dangkal
Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika
antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan
etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan
generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan
kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene
Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan
harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus
kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang
mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan
pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk
generasi penerus manusia.
Etika yang antroposentris ini memahami bahwa alam
merupakan sumber hidup manusia. Etika ini menekankan hal-
hal berikut ini :
1. Manusia terpisah dari alam,
2. Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi tidak
menekankan tanggung jawab manusia.
3. Mengutamakan perasaan manusia sebagai pusat
keprihatinannya
4. Kebijakan dan manajemen sunber daya alam untuk kepentingan
manusia
5. Norma utama adalah untung rugi.
6. Mengutamakan rencana jangka pendek.
7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan jumlah penduduk
khususnya dinegara miskin
8. Menerima secara positif pertumbuhan ekonomi
B. 2 Etika Ekologi Dalam
Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai
penopang kehidupan. Untuk itu lingkungan patut dihargai dan
diperlakukan dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut etika
lingkungan ekstensionisme dan etika lingkungan preservasi.
Etika ini menekankan pemeliharaan alam bukan hanya demi
manusia tetapi juga demi alam itu sendiri. Karena alam disadari
sebagai penopang kehidupan manusia dan seluruh ciptaan.
Untuk itu manusia dipanggil untuk memelihara alam demi
kepentingan bersama.
Etika lingkungan ini dibagi lagi menjadi beberapa macam
menurut fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme,
zoosentrisme, biosentrisme dan ekosentrisme. Etika lingkungan
neo-utilitarisme merupakan pengembangan etika utilitarisme
Jeremy Bentham yang menekankan kebaikan untuk semua.
Dalam konteks etika lingkungan maka kebaikan yang
dimaksudkan, ditujukan untuk seluruh mahluk. Tokoh yang
mempelopori etika ini adalah Peter Singer. Dia beranggapan
bahwa menyakiti binatang dapat dianggap sebagai perbuatan
tidak bermoral.
Etika lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang
menekankan perjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini
juga disebut etika pembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini
adalah Charles Brich. Menurut etika ini, binatang mempunyai hak
untuk menikmati kesenangan karena mereka dapat merasa
senang dan harus dicegah dari penderitaan. Sehingga bagi para
penganut etika ini, rasa senang dan penderitaan binatang
dijadikan salah satu standar moral. Menurut The Society for the
Prevention of Cruelty to Animals, perasaan senang dan
menderita mewajibkan manusia secara moral memperlakukan
binatang dengan penuh belas kasih.
Etika lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan
yang lebih menekankan kehidupan sebagai standar moral. Salah
satu tokoh penganutnya adalah Kenneth Goodpaster. Menurut
Kenneth rasa senang atau menderita bukanlah tujuan pada
dirinya sendiri. Bukan senang atau menderita, akhirnya,
melainkan kemampuan untuk hidup atau kepentingan untuk
hidup. Kepentingan untuk hidup yang harus dijadikan standar
moral. Sehingga bukan hanya manusia dan binatang saja yang
harus dihargai secara moral tetapi juga tumbuhan. Menurut Paul
Taylor, karenanya tumbuhan dan binatang secara moral dapat
dirugikan dan atau diuntungkan dalam proses perjuangan untuk
hidup mereka sendiri, seperti bertumbuh dan bereproduksi.
Etika Lingkungan Ekosentrisme adalah sebutan untuk etika
yang menekankan keterkaitan seluruh organisme dan
anorganisme dalam ekosistem. Setiap individu dalam ekosistem
diyakini terkait satu dengan yang lain secara mutual. Planet
bumi menurut pandangan etika ini adalah semacam pabrik
integral, suatu keseluruhan organisme yang saling
membutuhkan, saling menopang dan saling memerlukan.
Sehingga proses hidup-mati harus terjadi dan menjadi bagian
dalam tata kehidupan ekosistem. Kematian dan kehidupan
haruslah diterima secara seimbang. Hukum alam memungkinkan
mahluk saling memangsa diantara semua spesies. Ini menjadi
alasan mengapa manusia boleh memakan unsur-unsur yang ada
di alam, seperti binatang maupun tumbuhan. Menurut salah satu
tokohnya, John B. Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan
antara kepentingan individu dengan kepentingan keseluruhan
dalam ekosistem.
Secara umum etika ekologi dalam ini menekankan hal-hal
berikut :
1. Manusia adalah bagian dari alam
2. Menekankan hak hidup mahluk lain, walaupun dapat
dimanfaatkan oleh manusia, tidak boleh diperlakukan sewenang-
wenang
3. Prihatin akan perasaan semua mahluk dan sedih kalau alam
diperlakukan sewenang-wenang
4. Kebijakan manajemen lingkungan bagi semua mahluk
5. Alam harus dilestarikan dan tidak dikuasai
6. Pentingnya melindungi keanekaragaman hayati
7. Menghargai dan memelihara tata alam
8. Mengutamakan tujuan jangka panjang sesuai ekosistem
9. Mengkritik sistem ekonomi dan politik dan menyodorkan sistem
alternatif yaitu sistem mengambil sambil memelihara.

Demikian etika lingkungan dapat digolongkan kedalam dua


kelompok yaitu etika lingkungan dalam dan etika lingkungan
dangkal. Keduanya memiliki beberapa perbedaan – perbedaan
seperti diatas. Tetapi bukan berarti munculnya etika lingkungan
ini memberi jawab langsung atas pertanyaan mengapa terjadi
kerusakan lingkungan. Namun paling tidak dengan adanya
gambaran etika lingkungan ini dapat sedikit menguraikan norma-
norma mana yang dipakai oleh manusia dalam melakukan
pendekatan terhadap alam ini. Dengan demikian etika
lingkungan berusaha memberi sumbangan dengan beberapa
norma yang ditawarkan untuk mengungkap dan mencegah
terjadinya kerusakan lingkungan

C. PROBLEMATIKA LINGKUNGAN DAN ALTERNATIF SOLUSINYA

1. KRISIS LINGKUNGAN DAN ETIKA ANTROPOSENTRISME

Krisis lingkungan terjadi dimana-mana. Degradasi kualitas


sumberdaya alam semakin mengerikan. Celaknya, manusia modern
tidak mampu menahan laju dengadasi lingkungan ini. Hukum
lingkungan tidak berdaya dalam mencegah dan menangulangi
pencemaran dan kerusakan lingkungan, disebabkan karena cara
pandang yang salah terhadap alam. Etika antroposentrisme
menurut Keraf (2002) cenderung mangantarkan perilaku manusia
yang ekspolitatif terhadap alam dapat dilihat dari beberapa fakta
berikut :

a. Kepentingan politik dan kekuasaan masih lebih mendominasi


proses peradilan. Bencana lumpur panas Lapindo bisa menjadi
salah satu contoh. Hingga setahun lebih kasus yang
menyengsarakan masyarakat Porong, Sidoarjo ini, proses
peradilannya belum jelas. Dugaan kuat karena pemilik PT.
Lapindo Brantas adalah pejabat tinggi di negeri ini. Dalam sistem
kapitalisme, ketika pengusaha menjadi penguasa maka tidak
jarang kepentingan publik akan dikorbankan. (Mukhamadun,
Jurnal Respublika, Nopember 2006). Kondisi seperti ini
mengakibatkan belum adanya law enforcement dan law of
justice (penegakan hukum dan penegakan keadilan).
Semestinya harus ada proses hukum yang fair atas kasus seperti
ini, sehingga proses hukum dan denda dilakukan sebagaimana
UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 41 –
46. Sesuai dengan prinsip “polluters must pay” pihak-pihak yang
terbukti dalam peradilan melakukan tindakan pencemaran atau
kerusakan lingkungan harus membayar ganti rugi dan
melakukan reklamasi. Namun hinga saat ini ribuan masyarakat
Porong yang kehilangan tempat tinggal, kehilangan pekerjaan
serta anak-anak mereka tidak bisa sekolah, belum mendapatkan
keadilan.

b. Mafia Peradilan dan Tekanan Pemodal. Keraf (2002)


mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan asing multinasional
banyak sekali menerapkan standar ganda sekaligus
menggunakan superioritas ekonomi dan politik untuk melindungi
kepentingan bisnisnya di negara-negara sedang berkembang.
Hal ini menjadi salah satu penyebab utama krisis lingkungan
hidup. Kasus-kasus kejahatan lingkungan seringkali endingnya
tidak membawa rasa keadilan Contoh ketidakadilan yang
dirasakan oleh masyarakat adalah bebasnya bos PT Newmont.
Pengadilan Negeri Manado memutuskan, PT Newmont Minahasa
Raya (PT NMR), anak perusahaan dari Newmont Mining
Corporation, dan Presiden Direkturnya, Richard Ness, tidak
bersalah atas seluruh dakwaan pencemaran dan pelanggaran
atas peraturan yang berlaku. Putusan pengadilan yang
didasarkan pada bukti-bukti hukum pada selama masa
persidangan hampir 21 bulan tersebut, menyatakan Teluk Buyat
tidak tercemar. Diputuskan juga, PT NMR selama ini, perusahaan
telah mematuhi seluruh ketentuan perizinan dan memiliki
peraturan yang diperlukan selama delapan tahun masa
operasinya, dari tahun 1996 hingga 2004 (Riau Pos, 25 April
2007).
Keputusan kontroversial ini diduga akibat masih adanya
mafia peradilan dan tekanan dari asing. Padahal, Jaksa Penuntut
Umum menuduh PT NMR dan presiden direkturnya telah
mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan saat
melakukan kegiatan tambangnya, di daerah dekat Teluk Buyat di
Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Dari penelitian Tim
Terpadu antar departemen yang dikoordinir oleh Kementrian
Lingkungan Hidup (KLH) diketahui beberapa sumber pencemaran
yang dapat dicurigai sebagai jalur pencemaran (pathways)
logam berat yang mengkontaminasi warga disana. Air minum
dan konsumsi ikan merupakan jalur utama yang dicurigai.
Penelitian Tim Terpadu menemukan bahwa salah satu sampel air
sumur bor milik Newmont mengandung logam arsen melampaui
baku mutu Peraturan Menteri Kesehatan. Dari sumur bor inilah,
Newmont mensuplai air minum dengan truk tanki bagi warga
Pante Buyat hingga Desember 2003. Sejak Januari 2004, warga
Pante Buyat disuplai dengan saluran air pipa. Sampel air yang
diuji oleh Tim Terpadu menemukan bahwa air pipa mengandung
logam berat Mangan melampaui Peraturan Menteri Kesehatan.
Warga Pante Buyat kesulitan mendapatkan air bersih sejak
Newmont beroperasi tahun 1996 (www.walhi.or.id).
c. Konflik kepentingan berbagai sektor akibat kerakusan dan
kelicikan. Diijinkannya 13 perusahaan pertambangan
beroperasi di kawasan lindung melalui PP 2/2008, dengan model
pertambangan terbuka bisa menjadi contoh. Pihak
pertambangan hanya berpedoman PP 2/2008, Perpu Nomor 1
Tahun 2004 dan Keppres Nomor 41 Tahun 2004, tanpa
memperhatikan prinsip-prinsip konservasi seperti dalam UU
Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya alam dan
Ekosistemnya, juga UU Nomor 23/1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Eksploitasi tambang dalam kawasan Hutan
Lindung dipastikan akan berdampak negatif bagi lingkungan.
Kolong-kolong dengan air asam eks pertambangn timah di Dabo
Singkep, Bangka dan Belitung semestinya menjadi pelajaran.
Namun dengan alasan kepentingan ekonomi sesaat, eksploitasi
di kawasan lindung ini terus berlanjut. Kebijakan ini akan
menekan peranan hutan sebagai penyeimbang hidrologis,
ekologis, dan keragaman hayati. Fungsi hutan sebagai
pendukung perekonomian masyarakat pun akan hilang menyusul
penguasaan kawasan itu oleh pihak swasta. Disamping itu
hilangnya fungsi daerah resapan air akan terjadi seiring dengan
hilangnya hutan yang menjadi lapisan penutup tanah. Fungsi
hutan sebagai tempat hidup keragaman hayati dan
penyeimbang iklim juga akan terganggu.
Contoh konflik kepentingan berbagai sektor, yang mengakibatkan
ketidakpastian hukum hingga berakibat langsung pada
kerusakan lingkungan adalah seperti yang terjadi pada kawasan
pesisir. Konflik pengelolaan sumber daya alam di Indonesia
menurut Safitri (2005) banyak berawal dari tidak jelasnya
penguasaan. Dalam sektor perikanan misalnya, batas wilayah
tangkapan nelayan lokal, kewenangan pemda dan kewenangan
pusat tidak jarang menimbulkan masalah. Nelayan lokal merasa
semakin terhimpit karena harus bersaing dengan nelayan asing
yang dilengkapi peralatan canggih. Disamping itu akses nelayan
semakin dibatasi akibat pengaplingan wilayah pesisir dan laut
oleh berbagai badan usaha. Menurut Menteri Perikanan dan
Kelautan (2003) di Indonesia terdapat 14 sektor pembangunan
didukung 20 Undang-Undang, dan 5 konvensi internasional yang
meregulasi pemanfaatan sumberdaya pesisir. Sementara itu
banyak kewenangan instansi yang didukung perundang-
undangannya masing-masing. Undang-Undang yang sudah ada
bersifat sangat sektoral dan terpilah-pilah sehingga
pengelolaannya tidak efektif, tidak memberikan kepastian dan
perlindungan hukum kepada stakeholders dan investor. Dan
sebagaimana kita ketahui koordinasi antar sektor dan antara
pemerintahan pusat dan daerah sangat lemah sehingga acap
kali terjadi tumpang tindihnya kebijakan dan perencanaan
pengelolaan sumberdaya pesisir. Tentu hal ini dapat memicu
konflik dalam pengelolaan sumber daya pesisir (www.dkp.go.id).
Menurut Prof Dr Emil Salim, mantan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1983-1988 dan 1988-
1993), kebijakan yang terkait dengan lingkungan di Indonesia
sangat lemah, antara lain akibat lemahnya koordinasi
antarsektor. "Koordinasi antara kehutanan, prasarana wilayah,
lingkungan hidup, pertanian, pertambangan, dan kelautan
sangat memprihatinkan. Kebanyakan berpikir sektoral,
sementara lingkungan hidup memerlukan pendekatan holistis
lintas sektor. Akibatnya, kondisi lingkungan hidup menurun.
Masalah penyelundupan kayu dan illegal logging tak teratasi,
pencurian ikan dan pasir berlangsung terus. Tak masuk akal
apabila aparat pemerintah tak bisa mendobraknya," ungkap Emil
(Kompas, 9/8, 2005).
Kalau kita jujur, ternyata aktor-faktor pendorong kerusakan
lingkungan di atas sangat berkaitan dengan etika. Lebih lanjut kita
bisa melihat bahwa etika yang salah akan menjadi driving factor
kerusakan lingkungan. Misalnya :
a. Etika Developmentalisme dan Liberalisasi Ekonomi.
Pembangunan memang tidak saja menghasilkan manfaat,
melainkan juga membawa resiko. Pembangunan mempengaruhi
dan dipengaruhi oleh lingkungan. Interaksi antara pembangunan
dan lingkungan hidup membentuk system ekologi yang disebut
ekosistem (Soemarwoto, 1994). Sementara itu McNeely (1992)
menyatakan bahwa perangsang ekonomi ternyata jauh lebih
condong mengakibatkan eksploitasi sumberdaya hayati daripada
melestarikannya. Kerusakan hutan akibat eksplotasi kayu dan
barang-barang tambang terbuka seperti eksploitasi batubara
bisa menjadi contoh. Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia
memang luar biasa besar. Kekayaan alam itu jelas mengundang
investor asing terutama di sektor pertambangan. Hanya saja,
investasi besar di bisnis pertambangan juga menuai kerusakan
lingkungan yang luar biasa dahsyatnya. Oleh karena itu menurut
Sale (1996) kalau tidak ada langkah-langkah kongkrit pelestarian
alam oleh berbagai negara maka eksistensi bumi bisa terancam.
Kerusakan lingkungan akan diperparah dengan adanya
liberalisasi perdagangan. Keraf (2002) menyebutkan adanya
keterkaitan erat antara liberalisasi perdagangan dengan
kerusakan lingkungan di negara-negara berkembang. Negara-
negara dunia ketiga seperti Indonesia biasanya mengambil jalan
termudah dalam menghadapi persaingan global, dengan cara
menggadaikan kekayaan alamnya untuk dieksploitasi.
Keraf (2002) juga menegaskan bahwa etika developmentalisme
telah mengilhami ide utang luar negeri. Utang luar negeri telah
mengantarkan dunia ketiga termasuk Indonesia pada kerusakan
sumberdaya alam dan lungkungan yang sangat parah.
Eksploitasi di sektor pertambangan, bisa dijadikan contoh
buruknya pengelolaan lingkungan hidup. Dengan besarnya
potensi tambang ditambah aturan-aturan yang liberal, Indonesia
dengan mudah menarik investor asing untuk menanamkan
modalnya.Tahun 1967 PT Freeport Indonesia (FI) memulai
dengan Kontrak Karya generasi I (KK I) untuk konsesi selama 30
tahun. Pemerintah Indonesia (dalam rangka menarik investor
asing) memberikan insentif bebas pajak dan royalti yang tidak
terlalu besar, maka tercatat 16 perusahaan asing ikut dalam KK
II. Pada tahun 1988, secara tak terduga FI menemukan deposit
emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72
juta tons. Kemudian mereka mengajukan pembaharuan KK
selama 30 tahun dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun. FI
mendapat KK V bersama 6 perusahaan tambang lainnya.
Berbeda dengan KK I, produk utama FI adalah emas, bukan
hanya tembaga. Namun menurut Econit, royalti yang diberikan FI
ke pemerintah tidak berubah, hanya 1 - 3,5 %, sehingga
penerimaan pemerintah dari pajak, royalti dan deviden FI hanya
US$ 479 juta (SWA Sembada, 1997).
Padahal aktifitas PT FI telah mengakibatkan kerusakan
lingkungan yang sangat parah. Di areal per-tambangan Freeport,
kurang lebih 13 ribu
hektar hutan rusak akibat tailing, tidak terhitung jumlah
mangrove yang
dirusak untuk pelabuhan dan pembangkit tenaga listrik, hutan
yang rusak
untuk pembangunan jalan, dan kawasan ekosistem alpin yang
hilang untuk selamanya karena menjadi tempat tumpukan
batuan limbah. Belum lagi sisa-sisa lubang (pit), tumpukan
batuan limbah, dan lokasi lain yang akan rusak untuk selamanya.
Lebih dari 4 milyar ton batuan limbah yang bersifat asam
ditumpuk di lembah Cartenz dan Aghawagon. Tanda-tanda telah
terjadinya aliran air asam tambang telah ditemukan oleh Tim
Audit Lingkungan PT. Freeport (www.walhi.or.id).
Liberalisasi di sektor migas juga makin terasa sejak disahkan UU
Migas No. 22 tahun 2001. Liberalisasi akan semakin sempurna
dengan disahkannya UU Penanaman Modal Asing (UU PMA) akhir
Maret lalu. RUU ini dibuat untuk menggantikan UU Nomor 1
Tahun 1967 tentang PMA (yang diubah dengan UU Nomor 11
Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun
1970). Dalam RUU ini, investasi sebagai penopang
pembangunan dimaknai sebagai proses ekonomi dengan
pertumbuhan ekonomi semata. Tentu hal ini sangat berbahaya
bagi kelestarian lingkungan.
b. Sikap dan perilaku destruktif. Djajadiningrat (2001)
mengatakan bahwa keutuhan lingkungan banyak tergantung
pada kearifan manusia dalam mengelola sumberdaya alam.
Individu, kelompok masyarakat, pengusaha damn pemerintah
semstinya peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup dan
fungsi lingkungan hidup. Namun acapkali sikap hidup manusia
justru sangat destruktif terhadap lingkungannya. Misalnya
kebiasaan membuang sampah tidak pada tempatnya. Kebiasaan
buruk ini bisa berdampak pada lingkungan kesehatan,
pemandangan yang tidak menarik, mengakibatkan
tersumbatnya saluran air dan lain-lain. Kebiasaan pengelola HPH
(sekarang IUPHHK-HA) melakukan penebangan hutan tanpa
mengindahlkan prinsip pengelolaan hutan lestari telah
mengakibatkan laju deforestari yang luar biasa. Setidaknya 2,5
juta ha/th hutan terdegradasi (www.dephut.go.id)
Contoh lain adalah kebiasaan membakar hutan dan lahan dalam
proses penyiapan lahan perkebunan, pertanian dan hutan
tanaman industri. Kebiasaan buruk ini terbukti telah
mengakibatkan bencana kabut asap yang sangat berbahaya bagi
akifitis penerbangan, transportasi darat, kesehatan, pendidikan,
dll. Akibat kebakaran hutan tahun 1997 misalnya, telah
mengakibatkan rusaknya hidupan liar, habitat alamiah, dan
hancurnya ekosistem. Bahkan WWF, menyebut tahun 1997
sebagai tahun terperangkapnya dunia oleh kebakaran (Glover,
2002).
Kebiasaan pengusaha pertambangan terbuka (open mining)
yang tidak sungguh-sungguh melakukan reklamasi juga
mengakibatkan kerusakan lingkungan dan pencemaran yang
sangat parah. Seperti eksploitasi pasir di Kepri, pertambanagn
Timah di Dabo-Singkep, Pertambangan Batubara di Kalimantan
Selatan, Pertambangan Emas dan Tembaga di Papua.

2. ALTERNATIF SOLUSI

Menyadari berbagai problematika lingkungan di atas, Keraf (2002)


memberikan beberapa alternatif solusi sebagai berikut :

a. Perubahan cara pandang terhadap alam secara filosofis


dan radikal.

Disadari bahwa etika antroposentrisme telah menjadikan alam


hanya sekedar alat pemuas, hanya sekedar obyek eksploitasi
manusia. Dan ternyata hal ini menimbulkan kerusakan. Oleh
karena itu dalam buku Etika Lingkungan, Keraf (2002) menuntut
adanya perubahan radikal dalam masyarakat modern. Etika
Antroposentrisme harus dirubah menjadi etika biosentrisme dan
bahkan etika ekosentrisme. Namun etika baru ini tidak bisa
direalisasikan manusia modern yang masih “tercemari”
paradigma lama yang antroposentris. Sehingga perlu perubahan
mendasar dan diaktualisasikan dalam wujud gerakan bersama
membangun kultur baru yang ecosophy. Yakni gerakan bersama
merawat bumi sebagai sebuah rumah tangga untuk
menjadikannya sebagai tempat yang nyaman bagi semua
kehidupan.

b. Politik Lingkungan yang Dilandasi Etika Lingkungan.


Komitmen politik Global yang telah disepakati dalam KTT Bumi
tahun 1992 di Rio de Janeiro berupa paradigma pembangunan
berkelanjutan semestinya juga ditindaklanjuti dengan paradigma
keberlanjutan ekologi. Karena jika hanya terfokus pada
paradigma pembangunan berkelanjutan, dikhawatirkan dunia
akan kembali terjebak pada etika developmentalisme yang
terbukti sangat eksploitatif dengan alasan pembangunan.
Developmentalisme menurut Wolgang Sach dalam Keraf (2002)
telah menjebak banyak negara di dunia. Hasli yang diperoleh
adalah kehidupan yang tetap memprihatinkan di negara dunia
ketiga. Yang tercipta kemudian jurang yang menganga antara
segelintir orang yang kaya dengan mayoritas rakyat yang miskin,
kehancuran lingkungan, dan tergusurnya budaya lokal. Oleh
karena itu, disinilah urgensinya Pengelolaan Lingkungan
dilandasi atas ideologi yang benar serta paradigma
keberlanjutan ekologi yang luas sebagai alternatif dari konsep
pembangunan berkelanjutan.

c. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good


governance).

Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance)


akan menentukan sejauhmana tujuan penyelenggaraan
pemerintahan itu bisa dicapai dan diwujudkan. Konsep ini
diharapkan bisa mencegah munculnya conflict of interest antar
penyeleggara pemerintahan. Selanjutnya diharapkan juga akan
menekan korupsi birokrasi. Sehingga akan menyelamatkan
sumberdaya alam. Konsep ini mensyaratkan beberapa hal.
Pertama pemerintahan harus berjalan secara efektif. Kedua
pemerintah itu sendiri harus tunduk pada aturan yang berlaku.
Selama tidak ada kepastian hukum , selama itu pula tidak
mungkin bisa dijamin ada pemerintahan yang baik. Ketiga,
pemerintah berdiri tegak sebagai wasit dan penjaga aturan
hukum demi menjamin kepentingan bersama seluruh rakyat.
Keempat, perlu dijamin lembaga-lembaga pemerintah dan non
pemerintah berfungsi secara maksimal dan efektif. Sehingga
fungsi social kontrol bisa optimal.

d. Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan Hukum Lingkungan merupakan aspek penting yang


perlu dibahas tersendiri. Aspek ini sangat terkait dengan
penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Langkah yang harus
ditempuh adalah : pertama, reformasi legislasi. Peraturan
perundangan yang tidak pro lingkungan dan tidak pro publik
harus ditinjau ulang. Undang-undang Sumberdaya Air, Undang-
undang Penanaman Modal Asing, PP 2/2008 dll, semestinya
ditinjau kembali untuk kepentingan penyelamatan sumberdaya
alam dan lingkungan. Karena bila substansi peraturan
perundangan tidak menjamin kepentingan lingkungan hidup dan
tidak pro rakyat, maka akan terjadi pembangkangan rakyat (civil
disobedience) dalam mematuhi peraturan perundang-undangan
tersebut. Kedua, reformasi pengadilan (judical reform). Prinsip
independensi pengadilan, prinsip profesionalitas, prinsip
akuntabilitas, prinsip partisipasi, prinsip transaparansi dan
prinsip aksesibilitas harus dapat duwujudkan. Ketiga, reformasi
apartur penegak hukum (enforcement apparatur reform). Dan
keempat adalah reformasi budaya hukum (legal culture reform).

e. Kembali ke Alam, Belajar dari Etika Masyarakat Adat.

Etika lingkungan hidup yang diperjuangkan biosentrisme dan


ekosentrisme sebetulnya telah dipraktekkan oleh masyarakat
suku asli di seluruh dunia, tetapi tenggelam di tengah dominasi
cara pandang dan etika Barat modern. Menurut The World
Conservation Union (1997) dalam Keraf (2002), dari sekitar 6000
kebudayaan di dunia, 4000-5000 diantaranya adalah masyarakat
adat. Ini sebuah jumlah yang besar, yang tidak boleh dianggap
remah. Kendati dalam kerangka dominasi ekonomi dan
kemajuan IPTEK selalu termarjinalisasi dan bahkan diabaikan.
Hal yang fundamental dari perspektif etika lingkungan adalah
kesamaan pemahaman dari semua masyarakat adat di seluruh
dunia yang memandang dirinya, alam, kehidupan dan relasi
diantara keduanya dalam perspektif religius,perspektif spiritual.
Inilah kesadaran oaling berharga dan paling tinggi.

Dalam perspektif itu, agama dipahami dan dihayati oleh


masyarakat adat sebagai sebuah cara hidup, dengan tujuan
untuk menata seluruh manusia dalam relasi yang harmonis
antara manusia dan alam. Keraf (2002) kembali berharap adanya
revitalisasi cara pandang dan perilaku masyarakat adat dalam
interaksinya dengan alam.

3. OPSI

Alternatif solusi yang ditawarkan oleh Keraf (2002) untuk


menyelesaikan problematika lingkungan seakan hanya sebuah ide
utopia. Mengapa demikian? Keraf (2002) di akhir buku Etika
Lingkungan, hanya menawarkan konsep kembali pada kearifan lokal
masyarakat adat. Mampukah masyarakat adat menghadapi
globalisasi kapital? Karena tren peradaban dunia justeru makin
kapitalistik. Etika antroposentrisme makin mendominasi kehidupan
umat manusia. Ideologi developmentalisme kian menemukan
momentumnya, saat para pengusaha “hitam” menjadi penguasa.
Terjadilah konspirasi antara penguasa dan pengusaha dengan
korporasinya.

Namun demikian, konsep etika lingkungan yang ditawarkan


oleh Keraf (2002) jika dilaksanakan secara komprehensip baik pada
tataran individu, publik maupaun negara tetap memberi secercah
harapan bagi upaya penyelamatan sumberdaya alam dan
lingkungan. Oleh karena itu opsi yang harus diambil adalah pilihan
yang berlandaskan pada etika ekonomi sekaligus etika ekologi.
Konsep valuasi ekonomi sumberdaya alam, yang menilai secara
komprehensip sumber daya alam (Fauzi,2004) kiranya bisa menjadi
jalan tengah (conflict resolution) antara penganut etika
antroposentrisme versus etika ekosentrisme.

DAFTAR PUSTAKA

Djajadiningrat, S.T, 2001. Pemikiran, Tantangan, dan Permasalahan


Lingkungan. Studio Tekno Ekonomi ITB. Bandung.

Djojohadikusumo, S.1993. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan


Ekonomi Pembangunan. LP3ES. Jakarta

Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. PT


Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Glover, D, dan Timothy Jessup. 2002. Mahalnya Harga Sebuah


Bencana. Diterjemahkan oleh Ario Trenggono. Penerbit ITB.
Bandung.

Keraf, S.A. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta

McNeely, J.A. 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Yayasan


Obor Indonesia. Jakarta .Terjemahan
Mukhamadun, 2006. Lumpur Lapindo Akar Masalah dan Alternatif
Solusinya dalam Perspektif Hukum Lingkungan. Jurnal Hukum
Respublika Vol.6 No.1, Nopember 2006.hal 12-20

Sale, K.1996. Revolusi Hijau. Diterjemahkan oleh Matheos Nalle.


Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Soemarwoto, O, 2001. Atur Diri Sendiri Paradigma Baru Pengelolaan


Baru Lingkungan Hidup. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.

Syafitri, M. at al. 2005. Dibawah Satu Payung Pengelolaan Sumber


Daya Alam. Suara Bebas-Yayasan Kehati. Jakarta.

Harian Kompas, 9 Agustus 2005


Harian Ekonomi Neraca, 14 Februari 2007
Harian Riau Pos, 25 April 2007
Sigi, SCTV, Ahad 1 April 2007
Majalah Swasembada, 1997

Secara harafiah, ekologi berarti ilmu tentang makhluk hidup dalam


rumahnya atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang rumah
tangga makhluk hidup. Menurut Haeckel (1868) dalam Suarna (2003)
memberi batasan tentang ekologi sebagai hubungan yang menyeluruh
antara makhluk hidup dengan lingkungan biotik dengan abiotiknya.
Suatu konsep sentral dalam ekologi adalah ekosistem.

Dalam suatu ekosistem (satu unit sistem ekologi), selalu ada


keseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar
untuk menjaga agar ekosistem tersebut dapat terus berlangsung.
Ekosistem akan mengalami pertumbuhan apabila energi yang masuk
lebih besar dari energi yang keluar. Sebaliknya, ekosistem akan
mengalami kemunduran apabila energi yang masuk lebih kecil dari
energi yang keluar.

Menurut hukum termodinamika II menyatakan bahwa energi yang ada


itu tidak seluruhnya dapat dipakai untuk melakukan kerja, atau dengan
kata lain tidak mungkin mencapai efisiensi 100%. Dengan makna yang
sama, entropi secara universal akan selalu bertambah. Kita dapat
menurunkan entropi di suatu tempat tetapi berbarengan dengan itu
akan terjadi kenaikan entropi di suatu tempat secara lokal. Misalnya
pembuangan limbah dari rumah tangga ke sungai dapat menurunkan
entropi sehingga keteraturan di rumah tangga menjadi naik, tetapi
meningkatkan entropi atau menurunkan keteraturan di sungai.

2. Etika Lingkungan

Etika Lingkungan Hidup hadir sebagai respon atas etika moral yang
selama ini berlaku, yang dirasa lebih mementingkan hubungan antar
manusia dan mengabaikan hubungan antara manusia dan mahluk
hidup bukan manusia. Mahluk bukan manusia, kendati bukan pelaku
moral (moral agents) melainkan dipandang sebagai subyek moral
(moral subjects), sehingga pantas menjadi perhatian moral manusia.
‘Kesalahan terbesar semua etika sejauh ini adalah etika-etika
tersebut hanya berbicara mengenai hubungan antara manusia dengan
manusia’ Albert Schweitzer. Dalam perkembangan selanjutnya,
etika lingkungan hidup menuntut adnya perluasan cara pandang dan
perilaku moral manusia. Yaitu dengan memasukkan lingkungan atau
alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral.

ANTROPOSENTRISME

Antroposentrisme adalah teori etika lingkungan yang memandang


manusia sebagai pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan
kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan
ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan
alam, baik secara langsung atau tidak langung. Nilai tertinggi adalah
manusia dan kepentingannya. Hanya manusia yang mempunyai nilai
dan mendapat perhatian. Segala sesuatu yang lain di alam semesta ini
hanya akan mendapat nilai dan perhatian sejauh menunjang dan demi
kepentingan manusia. Oleh karenanya alam pun hanya dilihat sebagai
obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan
manusia. Alam hanya alat bagi pencapaian tujuan manusia. Alam tidak
mempunyai nilai pada dirinya sendiri.

BIOSENTRISME DAN EKOSENTRISME

Ekosentrisme merupakan kelanjutan dari teori etika lingkungan


biosentrisme. Oleh karenanya teori ini sering disamakan begitu saja
karena terdapat banyak kesamaan. Yaitu pada penekanannya atas
pendobrakan cara pandang antroposentrisme yang membatasi
keberlakuan etika hanya pada komunitas manusia. Keduanya
memperluas keberlakuan etika untuk mencakup komunitas yang lebih
luas. Pada biosentrisme, konsep etika dibatasi pada komunitas yang
hidup (biosentrism), seperti tumbuhan dan hewan. Sedang pada
ekosentrisme, pemakaian etika diperluas untuk mencakup komunitas
ekosistem seluruhnya (ekosentrism).

TEOSENTRISME

Teosentrisme merupakan teori etika lingkungan yang lebih


memperhatikan lingkungan secara keseluruhan, yaitu hubungan
antara manusia dengan lingkungan. Pada teosentrism, konsep etika
dibatasi oleh agama (teosentrism) dalam mengatur hubungan manusia
dengan lingkungan. Untuk di daerah Bali, konsep seperti ini sudah
ditekankan dalam suatu kearifan lokal yang dikenal dengan Tri Hita
Karana (THK), dimana dibahas hubungan manusia dengan Tuhan
(Parahyangan), hubungan manusia dengan manusia (Pawongan) dan
hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan).

3. Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Pada hakekatnya pembangunan berkelanjutan merupakan aktivitas


memanfaatkan seluruh sumberdaya, guna meningkatkan kualitas
hidup dan kesejahteraan masyarakat manusia. Pelaksanaan
pembangunan pada dasarnya juga merupakan upaya memelihara
keseimbangan antara lingkungan alami (sumberdaya alam hayati dan
non hayati) dan lingkungan binaan (sumberdaya manusia dan buatan),
sehingga sifat interaksi maupun interdependensi antar keduanya tetap
dalam keserasian yang seimbang. Dalam kaitan ini, eksplorasi maupun
eksploitasi komponen-komponen sumberdaya alam untuk
pembangunan, harus seimbang dengan hasil/produk bahan alam dan
pembuangan limbah ke alam lingkungan. Prinsip pemeliharaan
keseimbangan lingkungan harus menjadi dasar dari setiap upaya
pembangunan atau perubahan untuk mencapai kesejahteraan
manusia dan keberlanjutan fungsi alam semesta.

Sistem masukan dan keluaran dalam pembangunan yang berwawasan


lingkungan, dapat dikontrol dari segi sains dan teknologi. Penggunaan
perangkat hasil teknologi diarahkan untuk tidak merusak lingkungan
alam, serta bersifat ‘teknologi bersih’, dan mengutamakan sistem daur
ulang. Arah untuk menjadikan produk ramah lingkungan, dan menekan
beaya eksternal akibat produksi tersebut harus menjadi orientasi bagi
setiap usaha pemanfaatan sumberdaya alam untuk kesejahteraan
masyarakat. Mekanisme pengaturan keseimbangan sistem masukan
dan keluaran akan ditentukan oleh kepedulian atau komitmen
sumberdaya manusia, sistem yang berlaku, infrastruktur fisik,
sumberdaya lain yang dibutuhkan. Dengan prinsip keterlanjutan,
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan perlu disusun dalam
arah strategis untuk menyelamatkan aset lingkungan hidup bagi
generasi mendatang. Upaya peningkatan kesejahteraan manusia harus
seiring dengan kelestarian fungsi sumberdaya alam, agar
keseimbangan lingkungan tetap terjaga dan potensi keanekaragaman
hayati tidak akan menurun kualitasnya.

4. Tata Ruang dan Pengelolaan Lingkungan

Tata ruang adalah wujud struktural pola pemanfaatan ruang, baik yang
direncanakan maupun tidak, sedangkan yang dimaksud ruang meliputi
ruang daratan, ruang lautan dan ruang udara beserta sumber daya
alam yang terkandung di dalamnya bagi kehidupan dan penghidupan.
Kegiatan manusia dan makhluk hidup lainnya membutuhkan ruang
untuk berbagi lokasi pemanfaatan ruang.

Lingkungan hidup sebagai media hubungan timbal balik antara


makhluk hidup dengan unsur alam yang terdiri dari berbagai proses
ekologi merupakan satu kesatuan yang mantap. Sehingga
perencanaan dan pengelolaannya harus memperhatikan lingkungan
hidup yang sesuai dengan dasar dari pembangunan berkelanjutan.

Perencanaan dan pengelolaan lingkungan hidup harus di dasarkan


pada prinsip Pembangunan Berkelanjutan (PB) yang berwawasan
lingkungan. Komitmen untuk mempertimbangkan aspek ekologi,
ekonomi dan sosial dalam melaksanakan Pembangunan Berkelanjutan
harus dilakukan secara konsisten, melalui pendekatan holistik. Dengan
demikian, setiap usaha untuk meningkatkan kualitas hidup dan
kehidupan, perlu didasari dengan semangat kebersamaan, kemitraan,
keberlanjutan dan akuntabilitas pada semua fihak yang terkait dengan
Pembangunan Berkelanjutan. Kelestarian fungsi lingkungan hidup dan
keberlanjutannya merupakan tugas bersama dari pemerintah, swasta
dan masyarakat dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH), dan
bertumpu pada kemitraan pemerintah dan masyarakat. Upaya untuk
memperluas jangkauan kepedulian dan kesadaran lingkungan hidup
perlu terus ditumbuhkan, agar dapat mengikat komitmen semua fihak
yang terkait guna terwujudnya Pembangunan Berkelanjutan. Untuk itu
diperlukan panduan integrative untuk dapat secara nyata
memasukkan pertimbangan lingkungan ke dalam seluruh perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan di Indonesia.

Etika Lingkungan dan Persfektif Filsafat


Dirangkaikan kembali oleh Supli Effendi RahimBandara KLIA 5
Desember 2008
Bismillah. Tuhan telah menciptakan segala sesuatu di
b u m i s e c a r a seimbang dan mencukupi. Ketika nabi Adam
pertama kali diturunkank e b u m i , i a t e r p i s a h d e n g a n
i s t r i n y a . N a b i A d a m , m e n u r u t r i w a y a t terdampar di India,
istrinya Hawa di Jeddah. Mereka dipertemukan dij a b a l
Rahmah Mekkah. Pada masa itu tentu lingkungan
t i d a k a d a masalah. Semua ada dalam keadaan
seimbang.Lingkungan mulai mengalami kerusakan yang hebat
terjadi jauhsesudah nabi Adam tidak ada lagi di permukaan
bumi. Manusia yangb e r t a m b a h b a n y a k j u m l a h d a n
k e a h l i a n n y a m e n j a d i k a n b u m i a j a n g untuk berbuat kerusakan.
Kerusakan itu tentu tidak saja di darat tetapid i l a u t . T i d a k s a j a d i
d a t a r a n r e n d a h , k e r u s a k a n t e r j a d i d i b u k i t d a n gunung.
Kerusakan bahkan terjadi hingga ke dasar laut. Pendek
katakerusakan terjadi di utara, selatan, timur, barat dan
bahkan di kutub-kutub bumi. Kerusakan yang paling besar
sebetulnya adalah akhlakatau etika manusia. Manusia mulai
menyembah selain Allah. Lebih dariitu manusia menjadi rakus.B a n y a k
nabi dan rasul diutus untuk memperbaiki

akhlak manusia.T i d a k k u r a n g d a r i 2 0 0 . 0 0 0 n a b i d a n r a s u l
diturunkan dan diutus keseluruh bangsa dan kaum di
s e l u r u h d u n i a . B a n y a k a j a r a n n a b i d a n rasul itu selain
masalah akidah (tauhid) tetapi tidak kalah pentingnyaadalah
masalah akhlak/etika termasuk terhadap lingkungan. Di antaraajaran
nabi Muhammad tentang etika lingkungan adalah bahwa
semuam a k h l u k h i d u p d a n t i d a k h i d u p s e t i a p s a a t t a s b i h
k e p a d a A l l a h . J a d i menganggu atau merusaknya
sesungguhnya menganggu hubungan”mereka” kepada Allah.
Al-qur’an melarang keras berbuat kerusakandi bumi. Nabi
melarang kencing di lubang semut dan air tergenang.Tulisan ini
memaparkan serba-serbi yang berhubungan dengan
etikalingkungan dan filsafat.
Apa itu Etika Lingkungan ?
Isu-isu kerusakan lingkungan menghadirkan persoalan etika
yangr u m i t . K a r e n a m e s k i p u n p a d a d a s a r n y a a l a m s e n d i r i
s u d a h d i a k u i sungguh memiliki nilai dan berharga, tetapi
kenyataannya terus terjadi

pencemaran dan perusakan. Keadaan ini memunculkan


banyakpertanyaan. Apakah manusia sudah melupakan hal-hal ini
ataum a n u s i a s u d a h k e h i l a n g a n r a s a c i n t a p a d a a l a m ?
B a g a i m a n a k a h sesungguhnya manusia memahami alam dan
bagaimana caramenggunakannya? Perhatian kita pada isu
lingkungan ini juga memunculkan pertanyaantentang
bagaimana keterkaitan dan relasi kita dengan generasi
yanga k a n d a t a n g . K i t a j u g a d i a j a k b e r p i k i r k e d e p a n .
B a g a i m a n a s i t u a s i alam atau lingkungan di masa yang akan
datang? Kita akan menyadaribahwa relasi kita dengan generasi
akan datang, yang memang tidakbisa timbal balik. Karenanya
ada teori etika lingkungan yang secarakhusus memberi bobot
pertimbangan pada kepentingan generasimendatang dalam
membahas isu lingkungan ini. Para penganututilitirianisme, secara
khusus, memandang generasi yang akan datangdipengaruhi oleh
apa yang kita lakukan sekarang. Apapun yang kitalakukan pada
alam akan mempengaruhi mereka. Pernyataan ini
turutmemunculkan beberapa pandangan tentang etika
lingkungan dengankekhususannya dalam pendekatannya terhadap
alam dan lingkungan. Etika Lingkungan disebut juga Etika
Ekologi. Etika Ekologi selanjutnyad i b e d a k a n m e n j a d i d u a
yaitu
etika ekologi dalam
dan
etikaekologi dangkal
. Selain itu etika lingkungan juga dibedakan
l a g i sebagai etika pelestarian dan etika pemeliharaan. Etika
pelestarianadalah etika yang menekankan pada mengusahakan
pelestarian alamuntuk kepentingan manusia, sedangkan etika
pemeliharaandimaksudkan untuk mendukung usaha pemeliharaan
lingkungan untukkepentingan semua mahluk. Y a n g d i m a k s u d
Etika ekologi dalam adalah pendekatan
t e r h a d a p lingkungan yang melihat pentingnya memahami
lingkungan sebagaikeseluruhan kehidupan yang saling menopang,
sehingga semua unsurm e m p u n y a i a r t i d a n m a k n a y a n g s a m a .
E t i k a E k o l o g i i n i m e m i l i k i prinsip yaitu bahwa semua bentuk
kehidupan memiliki nilai bawaand a n k a r e n a i t u m e m i l i k i h a k
untuk menuntut penghargaan karenaharga diri, hak untuk
hidup dan hak untuk berkembang. Premisnyaadalah
bahwa lingkungan moral harus melampaui spesies
m a n u s i a dengan memasukkan komunitas yang lebih luas. Komunitas
yang lebihluas disini maksudnya adalah komunitas yang
menyertakan binatangdan tumbuhan serta alam. Sedangkan Etika
ekologi dangkal adalah pendekatan terhadaplingkungan yang
menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untukkepentingan
manusia, yang bersifat antroposentris. Etika ekologidangkal ini
biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan

humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian


diikutidan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan para
ahlilingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan
untukmemenuhi kebutuhan hidup manusia.
Etika Ekologi Dangkal
Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika
antroposentrisyang menekankan segi estetika dari alam
dan etika antroposentrisyang mengutamakan
k e p e n t i n g a n g e n e r a s i p e n e r u s . E t i k a e k o l o g i dangkal yang
berkaitan dengan kepentingan estetika didukung olehdua
tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff.
Menurutmereka etika lingkungan harus dicari pada aneka
kepentinganmanusia, secara khusus kepentingan estetika.
Sedangkan etikaantroposentris yang mementingkan
kesejahteraan generasi penerusmendasarkan pada perlindungan
atau konservasi alam yang ditujukanuntuk generasi penerus
manusia. E t i k a y a n g a n t r o p o s e n t r i s i n i m e m a h a m i
b a h w a a l a m m e r u p a k a n sumber hidup manusia. Etika ini
menekankan hal-hal berikut ini :1. Manusia terpisah dari alam,2.
Mengutamakan hak-hak manusia atas alam tetapi
tidakmenekankan tanggung jawab manusia.3. Mengutamakan
perasaan manusia sebagai pusat keprihatinannya4. Kebijakan dan
manajemen sunber daya alam untuk kepentinganmanusia5.
Norma utama adalah untung rugi.6. Mengutamakan rencana jangka
pendek.7. Pemecahan krisis ekologis melalui pengaturan
jumlah pendudukkhususnya dinegara miskin8. Menerima secara
positif pertumbuhan ekonomi
Etika Ekologi Dalam
Bagi etika ekologi dalam, alam memiliki fungsi sebagai
penopangkehidupan. Untuk itu lingkungan patut dihargai
d a n d i p e r l a k u k a n dengan cara yang baik. Etika ini juga disebut
etika lingkunganekstensionisme dan etika lingkungan preservasi.
Etika ini menekankanpemeliharaan alam bukan hanya demi manusia
tetapi juga demi alamitu sendiri. Karena alam disadari sebagai
penopang kehidupan manusiadan seluruh ciptaan. Untuk itu
manusia dipanggil untuk memeliharaalam demi kepentingan
bersama. E t i k a l i n g k u n g a n i n i d i b a g i l a g i m e n j a d i b e b e r a p a
m a c a m m e n u r u t fokus perhatiannya, yaitu neo-utilitarisme,
zoosentrisme, biosentrisme

dan ekosentrisme. Etika lingkungan neo-utilitarisme


merupakanpengembangan etika utilitarisme Jeremy Bentham
yang menekankankebaikan untuk semua. Dalam konteks etika
lingkungan makakebaikan yang dimaksudkan, ditujukan untuk
seluruh mahluk. Tokohy a n g m e m p e l o p o r i e t i k a i n i a d a l a h
P e t e r S i n g e r . D i a b e r a n g g a p a n bahwa menyakiti binatang
dapat dianggap sebagai perbuatan tidakbermoral. Etika
lingkungan Zoosentrisme adalah etika yang
menekankanperjuangan hak-hak binatang, karenanya etika ini
juga disebut etikapembebasan binatang. Tokoh bidang etika ini
adalah Charles Brich.Menurut etika ini, binatang mempunyai hak
untuk menikmatikesenangan karena mereka dapat merasa
senang dan harus dicegahdari penderitaan. Sehingga bagi para
penganut etika ini, rasa senangdan penderitaan binatang dijadikan
salah satu standar moral. Menurut
The Society for the Prevention of Cruelty to Animals
, perasaan senangd a n m e n d e r i t a m e w a j i b k a n m a n u s i a s e c a r a
m o r a l m e m p e r l a k u k a n binatang dengan penuh belas kasih.E t i k a
lingkungan Biosentrisme adalah etika lingkungan yang
lebihm e n e k a n k a n k e h i d u p a n s e b a g a i s t a n d a r m o r a l .
S a l a h s a t u t o k o h penganutnya adalah Kenneth Goodpaster.
Menurut Kenneth rasasenang atau menderita bukanlah tujuan
pada dirinya sendiri.

Bukansenang atau menderita, akhirnya, melainkan kemampuan untuk


hidupatau kepentingan untuk hidup. Kepentingan untuk hidup
yang harusdijadikan standar moral. Sehingga bukan hanya manusia
dan binatangsaja yang harus dihargai secara moral tetapi juga
tumbuhan. MenurutP a u l T a y l o r , k a r e n a n y a t u m b u h a n d a n
b i n a t a n g s e c a r a m o r a l d a p a t dirugikan dan atau diuntungkan
dalam proses perjuangan untuk hidupmereka sendiri, seperti
bertumbuh dan bereproduksi. E t i k a L i n g k u n g a n E k o s e n t r i s m e
a d a l a h s e b u t a n u n t u k e t i k a y a n g menekankan keterkaitan
seluruh organisme dan anorganisme dalamekosistem. Setiap
individu dalam ekosistem diyakini terkait satud e n g a n y a n g l a i n
s e c a r a m u t u a l . P l a n e t b u m i m e n u r u t p a n d a n g a n etika ini
adalah semacam pabrik integral, suatu keseluruhano r g a n i s m e
yang saling membutuhkan, saling menopang dan
s a l i n g memerlukan. Sehingga proses hidup-mati harus terjadi
dan menjadib a g i a n d a l a m t a t a k e h i d u p a n e k o s i s t e m .
K e m a t i a n d a n k e h i d u p a n haruslah diterima secara seimbang.
Hukum alam memungkinkanmahluk saling memangsa diantara
semua spesies. Ini menjadi alasanm e n g a p a m a n u s i a b o l e h
memakan unsur-unsur yang ada di alam,seperti binatang
m a u p u n t u m b u h a n . M e n u r u t s a l a h s a t u t o k o h n y a , John B.
Cobb, etika ini mengusahakan keseimbangan antaraSA

PEMBANGUNAN NASIONAL DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Pembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan


yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat,
bangsa dan negara untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan
nasional yang termaktub dalam Pembukaan Undangundang Dasar 1945.
Dalam melaksanakan pembangunan nasional perlu memperhatikan tiga
pilar pembangunan berkelanjutan secara seimbang, hal ini sesuai
dengan hasil Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang
diadakan di Stockholm Tahun 1972 dan suatu Deklarasi Lingkungan
Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro Tahun 1992 yang menyepakati
prinsip dalam pengambilan keputusan pembangunan harus
memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT
Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Tahun 2002 yang
membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup.
Bagi Indonesia mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan
dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta
modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam, dapat dikatakan
bahwa sumberdaya alam mempunyai peranan penting dalam
perekonomian Indonesia baik pada masa lalu, saat ini maupun masa
mendatang sehingga, dalam penerapannya harus memperhatikan apa
yang telah disepakati dunia internasional. Namun demikian, selain
sumberdaya alam mendatangkan kontribusi besar bagi pembangunan,
di lain pihak keberlanjutan atas ketersediaannya sering diabaikan dan
begitu juga aturan yang mestinya ditaati sebagai landasan
melaksanakan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung
pembangunan dari sektor ekonomi kurang diperhatikan, sehingga ada
kecenderungan terjadi penurunan daya dukung lingkungan dan
menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta penurunan
kualitas lingkungan hidup. Pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya
dapat menimbulkan adanya krisis pangan, krisis air, krisis energi dan
lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis
sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia
cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu
ke waktu.
Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan
lingkungan hidup tetap mengacu pada Undang-undang No 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan juga Undang-undang
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang
No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan
Pemerintah No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan
Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom. Dalam pengelolaan
lingkungan hidup Pemerintah Propinsi mempunyai 6 kewenangan
terutama menangani lintas Kabupaten/Kota, sehingga titik berat
penanganan pengelolaan lingkungan hidup ada di Kabupaten/ Kota.
Dalam surat edaran Menteri Dalam Negeri No 045/560 tanggal 24 Mei
2002 tentang pengakuan Kewenangan/Positif List terdapat 79
Kewenangan dalam bidang lingkungan hidup.
Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan
permasalahan lingkungan hidup yang saat ini sering dihadapi adalah
kerusakan lingkungan di sekitar areal pertambangan yang berpotensi
merusak bentang alam dan adanya tumpang tindih penggunaan lahan
untuk pertambangan di hutan lindung. Kasus-kasus pencemaran
lingkungan juga cenderung meningkat. Kemajuan transportasi dan
industrialisasi yang tidak diiringi dengan penerapan teknologi bersih
memberikan dampak negatif terutama pada lingkungan perkotaan.
Sungai-sungai di perkotaan tercemar oleh limbah industri dan rumah
tangga. Kondisi tanah semakin tercemar oleh bahan kimia baik dari
sampah padat, pupuk maupun pestisida. Masalah pencemaran ini
disebabkan masih rendahnya kesadaran para pelaku dunia usaha
ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan
kualitas lingkungan yang baik.
Dengan kata lain permasalahan lingkungan tidak semakin ringan
namun justru akan semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam
dimanfaatkan untuk melaksanakan pembangunan yang bertujuan
memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan
kondisi tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup yang berkelanjutan ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan
penegakan hukum lingkungan yang adil dan tegas, sumberdaya manusia
yang berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimilasi
sosial budaya yang semakin mantap. Perlu segera didorong terjadinya
perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan
etika lingkungan melalui internalisasi kedalam kegiatan/proses produksi
dan konsumsi, dan menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam
kehidupan sehari-hari termasuk proses pembelajaran sosial serta
pendidikan formal pada semua tingkatan.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan, sektor
Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup perlu memperhatikan
penjabaran lebih lanjut mandat yang terkandung dari Program
Pembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya untuk
mendayagunakan sumberdaya alam yang dipergunakan sebesar
besarnya untuk kemakmuran rakyat dengan memperhatikan
kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan
yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal
sertapenataan ruang.
Hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable
Development - WSSD) di Johannesburg Tahun 2002, Indonesia aktif
dalam membahas dan berupaya mengatasi kemerosotan kualitas
lingkungan hidup, maka diputuskan untuk melaksanakan pembangunan
berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan
datang dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya,
lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling
tergantung dan memperkuat satu sama lain. Pembangunan
berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan
generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna
jaminan mutu kehidupan manusia dan tidak melampaui kemampuan
ekosistem untuk mendukungnya. Dengan demikian pengertian
pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan
generasi yang akan datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan
mereka. Konsep ini mengandung dua unsur :
* Yang pertama adalah kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi
golongan
masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu mendapatkan
prioritas tinggi dari semua negara.
* Yang kedua adalah keterbatasan. Penguasaan teknologi dan organisasi
sosial harus
memperhatikan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi
kebutuhan manusia pada saat ini dan di masa depan.

Hal ini mengingat visi pembangunan berkelanjutan bertolak dari


Pembukaan Undang - Undang Dasar 1945 yaitu terlindunginya segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; tercapainya
kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa yang cerdas; dan dapat
berperannya bangsa Indonesia dalam melaksankan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dengan demikian, visi pembangunan yang kita anut adalah
pembangunan yang dapat memenuhi aspirasi dan kebutuhan
masyarakat generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan
aspirasi dan kebutuhan generasi mendatang. Oleh karena itu fungsi
lingkungan hidup perlu terlestarikan.
Kebijakan pembangunan Nasional menerapkan prinsip pembangunan
berkelanjutan yang memadukan ketiga pilar pembangunan yaitu bidang
ekonomi, sosial dan lingkungan hidup.
Dalam penerapan prinsip Pembangunan Berkelanjutan tersebut pada
Pembangunan Nasional memerlukan kesepakatan semua pihak untuk
memadukan tiga pilar pembangunan secara proposional. Sejalan dengan
itu telah diupayakan penyusunan Kesepakatan Nasional dan Rencana
Tindak Pembangunan Berkelanjutan melalui serangkaian pertemuan
yang diikuti oleh berbagai pihak.
Konsep pembangunan berkelanjutan timbul dan berkembang karena
timbulnya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak
dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan hidup.

PEMBANGUNAN NASIONAL DAN PEMBANGUNAN


BERKELANJUTANPembangunan Nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan
yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara
untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam
Pembukaan Undangundang Dasar 1945. Dalam melaksanakan pembangunan nasional
perlu memperhatikan tiga pilar pembangunan berkelanjutan secara seimbang, hal ini
sesuai dengan hasil Konperensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan di
Stockholm Tahun 1972 dan suatu Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de
Janeiro Tahun 1992 yang menyepakati prinsip dalam pengambilan keputusan
pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia serta KTT
Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg Tahun 2002 yang membahas dan
mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup.
Bagi Indonesia mengingat bahwa kontribusi yang dapat diandalkan dalam menyumbang
pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari
sumberdaya alam, dapat dikatakan bahwa sumberdaya alam mempunyai peranan penting
dalam perekonomian Indonesia baik pada masa lalu, saat ini maupun masa mendatang
sehingga, dalam penerapannya harus memperhatikan apa yang telah disepakati dunia
aazainternasional. Namun demikian, selain sumberdaya alam mendatangkan kontribusi
besar bagi pembangunan, di lain pihak keberlanjutan atas ketersediaannya sering
diabaikan dan begitu juga aturan yang mestinya ditaati sebagai landasan melaksanakan
pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung pembangunan dari sektor
ekonomi kurang diperhatikan, sehingga ada kecenderungan terjadi penurunan daya
dukung lingkungan dan menipisnya ketersediaan sumberdaya alam yang ada serta
penurunan kualitas lingkungan hidup. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan
hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan adanya
krisis pangan, krisis air, krisis energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan
bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di
Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke
waktu.
Dalam pelaksanaan pembangunan di era Otonomi Daerah, pengelolaan lingkungan hidup
tetap mengacu pada Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan juga Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta
Undang-undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
Dalam melaksanakan kewenangannya diatur dengan Peraturan Pemerintah No 25 Tahun
2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah
Otonom. Dalam pengelolaan lingkungan hidup Pemerintah Propinsi mempunyai 6
kewenangan terutama menangani lintas Kabupaten/Kota, sehingga titik berat penanganan
pengelolaan lingkungan hidup ada di Kabupaten/ Kota. Dalam surat edaran Menteri
Dalam Negeri No 045/560 tanggal 24 Mei 2002 tentang pengakuan Kewenangan/Positif
List terdapat 79 Kewenangan dalam bidang lingkungan hidup.
Sejalan dengan lajunya pembangunan nasional yang dilaksanakan permasalahan
lingkungan hidup yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan di sekitar
areal pertambangan yang berpotensi merusak bentang alam dan adanya tumpang tindih
penggunaan lahan untuk pertambangan di hutan lindung. Kasus-kasus pencemaran
lingkungan juga cenderung meningkat. Kemajuan transportasi dan industrialisasi yang
tidak diiringi dengan penerapan teknologi bersih memberikan dampak negatif terutama
pada lingkungan perkotaan.
Sungai-sungai di perkotaan tercemar oleh limbah industri dan rumah tangga. Kondisi
tanah semakin tercemar oleh bahan kimia baik dari sampah padat, pupuk maupun
pestisida. Masalah pencemaran ini disebabkan masih rendahnya kesadaran para pelaku
dunia usaha ataupun kesadaran masyarakat untuk hidup bersih dan sehat dengan kualitas
lingkungan yang baik.
Dengan kata lain permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan
semakin berat, apalagi mengingat sumberdaya alam dimanfaatkan untuk melaksanakan
pembangunan yang bertujuan memenuhi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Dengan kondisi tersebut maka pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang
berkelanjutan ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan penegakan hukum lingkungan
yang adil dan tegas, sumberdaya manusia yang berkualitas, perluasan penerapan etika
lingkungan serta asimilasi sosial budaya yang semakin mantap. Perlu segera didorong
terjadinya perubahan cara pandang terhadap lingkungan hidup yang berwawasan etika
lingkungan melalui internalisasi kedalam kegiatan/proses produksi dan konsumsi, dan
menanamkan nilai dan etika lingkungan dalam kehidupan sehari-hari termasuk proses
pembelajaran sosial serta pendidikan formal pada semua tingkatan.
Dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang berkelanjutan, sektor Sumberdaya Alam
dan Lingkungan Hidup perlu memperhatikan penjabaran lebih lanjut mandat yang
terkandung dari Program Pembangunan Nasional, yaitu pada dasarnya merupakan upaya
untuk mendayagunakan sumberdaya alam yang dipergunakan sebesar besarnya untuk
kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan
lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya
masyarakat lokal sertapenataan ruang.
Hasil KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit on Sustainable Development -
WSSD) di Johannesburg Tahun 2002, Indonesia aktif dalam membahas dan berupaya
mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup, maka diputuskan untuk melaksanakan
pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan generasi sekarang dan yang akan datang
dengan bersendikan pada pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang
berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan memperkuat satu sama lain.
Pembangunan berkelanjutan dirumuskan sebagai pembangunan yang memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi
mendatang. Pembangunan berkelanjutan mengandung makna jaminan mutu kehidupan
manusia dan tidak melampaui kemampuan ekosistem untuk mendukungnya. Dengan
demikian pengertian pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pada saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan
datang dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Konsep ini mengandung dua
unsur :

• Yang pertama adalah kebutuhan, khususnya kebutuhan dasar bagi golongan


masyarakat yang kurang beruntung, yang amat perlu mendapatkan prioritas tinggi
dari semua negara.
• Yang kedua adalah keterbatasan. Penguasaan teknologi dan organisasi sosial
harus
memperhatikan keterbatasan kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan
manusia pada saat ini dan di masa depan.

Hal ini mengingat visi pembangunan berkelanjutan bertolak dari Pembukaan Undang -
Undang Dasar 1945 yaitu terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia; tercapainya kesejahteraan umum dan kehidupan bangsa yang cerdas;
dan dapat berperannya bangsa Indonesia dalam melaksankan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian, visi
pembangunan yang kita anut adalah pembangunan yang dapat memenuhi aspirasi dan
kebutuhan masyarakat generasi saat ini tanpa mengurangi potensi pemenuhan aspirasi
dan kebutuhan generasi mendatang. Oleh karena itu fungsi lingkungan hidup perlu
terlestarikan.
Kebijakan pembangunan Nasional menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan yang
memadukan ketiga pilar pembangunan yaitu bidang ekonomi, sosial dan lingkungan
hidup.
Dalam penerapan prinsip Pembangunan Berkelanjutan tersebut pada Pembangunan
Nasional memerlukan kesepakatan semua pihak untuk memadukan tiga pilar
pembangunan secara proposional. Sejalan dengan itu telah diupayakan penyusunan
Kesepakatan Nasional dan Rencana Tindak Pembangunan Berkelanjutan melalui
serangkaian pertemuan yang diikuti oleh berbagai pihak.
Konsep pembangunan berkelanjutan timbul dan berkembang karena timbulnya kesadaran
bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan
hidup.

KEBIJAKAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DALAM OTONOMI


DAERAH

Pengelolaan lingkungan termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan


pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya
berbagai perangkat kebijaksanaan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem
pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Sistem tersebut mencakup kemantapan
kelembagaan,sumberdaya manusia dan kemitraan lingkungan, disamping perangkat
hukum dan perundangan,informasi serta pendanaan. Sifat keterkaitan (interdependensi)
dan keseluruhan (holistik) dari esensi lingkungan telah membawa konsekuensi bahwa
pengelolaan lingkungan, termasuk sistem pendukungnya tidak dapat berdiri sendiri, akan
tetapi terintegrasikan dan menjadi roh dan bersenyawa dengan seluruh pelaksanaan
pembangunan sektor dan daerah.

Kebijakan Nasional dan Daerah dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Sesuai dengan Undang-undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP No.
25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai
Daerah Otonom, dalam bidang lingkungan hidup memberikan pengakuan politis melalui
transfer otoritas dari pemerintah pusat kepada daerah:

• Meletakkan daerah pada posisi penting dalam pengelolaan lingkungan hidup.


• Memerlukan prakarsa lokal dalam mendesain kebijakan.
• Membangun hubungan interdependensi antar daerah.
• Menetapkan pendekatan kewilayahan.

Dapat dikatakan bahwa konsekuensi pelaksanaan UU No. 32 Tahun 2004 dengan PP No.
25 Tahun 2000, Pengelolaan Lingkungan Hidup titik tekannya ada di Daerah, maka
kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup secara eksplisit PROPENAS
merumuskan program yang disebut sebagai pembangunan sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. Program itu mencakup :
1. Program Pengembangaan dan Peningkatan Akses Informasi Sumber Daya Alam
dan Lingkungan Hidup.

Program ini bertujuan untuk memperoleh dan menyebarluaskan informasi yang


lengkap mengenai potensi dan produktivitas sumberdaya alam dan lingkungan
hidup melalui inventarisasi dan evaluasi, serta penguatan sistem informasi.
Sasaran yang ingin dicapai melalui program ini adalah tersedia dan teraksesnya
informasi sumberdaya alam dan lingkungan hidup, baik berupa infrastruktur data
spasial, nilai dan neraca sumberdaya alam dan lingkungan hidup oleh masyarakat
luas di setiap daerah.

2. Program Peningkatan Efektifitas Pengelolaan, Konservasi dan Rehabilitasi


Sumber Daya Alam.

Tujuan dari program ini adalah menjaga keseimbangan pemanfaatan dan


pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup hutan, laut, air udara dan
mineral. Sasaran yang akan dicapai dalam program ini adalah termanfaatkannya,
sumber daya alam untuk mendukung kebutuhan bahan baku industri secara efisien
dan berkelanjutan. Sasaran lain di program adalah terlindunginya kawasan-
kawasan konservasi dari kerusakan akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang
tidak terkendali dan eksploitatif

3. Program Pencegahan dan Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan


Hidup.

Tujuan program ini adalah meningkatkan kualitas lingkungan hidup dalam upaya
mencegah kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan dan pemulihan kualitas
lingkungan yang rusak akibat pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan,
serta kegiatan industri dan transportasi. Sasaran program ini adalah tercapainya
kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat adalah tercapainya kualitas
lingkungan hidup yang bersih dan sehat sesuai dengan baku mutu lingkungan
yang ditetapkan.

4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum, Pengelolaan Sumber


Daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup.

Program ini bertujuan untuk mengembangkan kelembagaan, menata sistem


hukum, perangkat hukum dan kebijakan, serta menegakkan hukum untuk
mewujudkan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan hidup
yang efektif dan berkeadilan. Sasaran program ini adalah tersedianya
kelembagaan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup yang kuat dengan
didukung oleh perangkat hukum dan perundangan serta terlaksannya upaya
penegakan hukum secara adil dan konsisten.

5. Progam Peningkatan Peranan Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya alam


dan Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup.
Tujuan dari program ini adalah untuk meningkatkan peranan dan kepedulian
pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sasaran program ini adalah tersediaanya
sarana bagi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian
fungsi lingkungan hidup sejak proses perumusan kebijakan dan pengambilan
keputusan, perencanaan, pelaksanaan sampai penga

http://geo.ugm.ac.id/archives/125

Akar Kerusakan Lingkungan Hidup


Seperti telah dijelaskan di depan bahwa sebagiab besar kerusakan lingkungan hidup saat
ini disebabkan oleh aktifitas manusia. Mengapa aktifitas manusia dapat menyebabkan
kerusakan lingkungan? Karena manusia merupakan pelaku dan pengelola lingkungan
yang memiliki sistem nilai dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Terjadinya
kerusakan lingkungan antara lain karena sistem nilai yang ada mendudukan manusia
bukan bagian dari alam (Yusuf, 1991). Dalam hal ini manusia berperan sebagai penakluk,
pengatur, dan superior. Timbulnya masalah lingkungan merupakan implikasi dari adanya
kesenjangan antara sisi spiritual dalam hal ini mentalitas dengan sisi pembangunan fisik
itu sendiri. Pembangunan yang sedang berlangsung memiliki resiko yang harus didukung
oleh kualitas lingkungan yang ada.
Menurut Chiras (1991), kerusakan lingkungan hidup yang terjadi disebabkan oleh suatu
siklus dari beberapa pandangan filosofis manusia yang diterapkan pada kehidupan sehari-
hari. Beberapa filsafat manusia yang dianggap sebagai akar kerusakan lingkungan hidup
antara lain;
1. Filsafat religi/agama, yang disalah kaprahkan ke dalam kehidupan sehari-hari, yang
dalam ajarannya menganjurkan makhluk hidup untuk melangsungkan generasinya
dengan cara memberikan keturunan sebanyak mungkin.
2. Filsafat imperialisme biologis, yang mengemukakan bahwa setiap makhluk hidup
termasuk manusia akan selalu berjuang untuk mempertahankan dirinya dan anak-anaknya
agar dapat tetap hidup dan berkembang biak demi kelanjutan spesiesnya. Bagi manusia
hal ini berimplikasi terhadap penimbunan harta kekayaan sebagai bekal hidup anak
cucunya kelak dikemudian hari yang artinya harus mengeksploitasi sumberdaya alam
sebanyak-banyaknya.
3. Filsafat derived self, atau menempatkan diri pada orang lain, yang berpandangan
bahwa dirinya harus memiliki kemampuan yang lebih baik dari orang lain. Usaha
tersebut dilakukan melalui eksploitasi materi untuk membentuk status buldingnya.
4. Filsafat I versus not I , yang mempertentangkan manusia dengan alam. Filsafat ini
beranggapan bahwa alam harus ditaklukkan, bahkan manusia lain perlu ditaklukkan juga.
Melihat dunia di sekelilingnya bukan merupakan bagian dari dirinya melainkan terpisah
dari dirinya, sehingga apapun yang dilakukan terhadap lingkungan dianggap biasa saja.
Dalam perwujudannya menimbulkan perang, kerusakan lingkungn hidup, harta benda
dan jiwa.
5. Filsafat ekonomi, berpandangan bahwa manusia dalam upaya pemenuhan
kebutuhannya diperlukan biaya yang minimal untuk mendapatkan keuntungan yang
maksimal.dan dalam tempo sesingkat mungkin.
6. Filsafat sumber alam yang melimpah, yakni anggapan bahwa di bumi ini telah tersedia
segala bahan kebutuhan hidup manusia yang sangat melimpah. Implikasinya dalam
memanfaatkan sumberdaya alam tersebut tidak terfikirkan untuk memulihkan kembali
atau kehabisan.
Filsafat-filsafat/pandangan-pandangan yang berkaitan dengan akar kerusakan lingkungan
hidup tersebut melahirkan suatu mental yang disebut dengan mental frontier (Gunawan,
2003). Mental frontier memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam yang
superior diantara makhluk-makhuk yang lain. Ciri utama amental frontier adalah; a).
Bumi merupakan sumber daya yang tidak terbatas, b) hidup akan lebih baik jika kita terus
menumpuk kekayaan material, c) biaya proyek hanya ditentukan oleh material, pekerja,
dan energi, d) alam selalu tersedia, e) teknologi dan peraturan baru dapat memecahkan
masalah lingkungan hidup, f) dalam lingkungan alam manusia merupakan bagian dan
yang berkuasa atas alam, dan g) setiap usaha manusia akan selalu menghasilkan limbah.
Akumulasi dari pandangan-pandangan tersebut dalam kehidupan sehari-hari dapat
menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. Uraian tersebut dapat digambarkan dalam
bagan berikut ini.
E. Pembinaan Etika Lingkungan Hidup
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa akar permasalahan kerusakan lingkungan hidup
disebabkan oleh falsafah manusia yang diterapkan dalam memanfaatkan sumberdaya
alam kurang benar. Oleh karena itu untuk mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan
tersebut perlu diubah filsafat/pandangan manusia dalam memanfatkan sumberdaya alam
yang sangat terbatas ini. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengurangi
kerusakan lingkungan hidup yaitu pembinaan etika lingkungan .bagi seluruh masyarakat.

Etika Lingkungan
Sebagaimana pengertian etimologis dari etika yaitu ”adat istiadat” atau kebiasaan” maka
lebih jauh dapat dijelaskan bahwa etika berkaitan dengan tata cara hidup yang baik, baik
pada diri seseorang maupun masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dibakukan dalam
bentuk kaidah, aturan atau norma.
Kaidah norma atau aturan ini sesungguhnya ingin mengungkapkan, menjaga dan
melestarikan nilai tertentu yang dianggap baik dan penting oleh masyarakat. Secara lebih
luas, etika dapat dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup, dan
bertindak sebagai orang yang baik. Kaidah dan norma inilah yang membuat masyarakat
primitif yang masih ada di daerah pelosok dan terpencil di Indonesia ini, seperti suku
Baduy di Banten, suku-suku di Irian Jaya dapat tetap menjaga kelestarian hutan dan
lingkungan hidup di sekiar mereka. Jauh berbeda dengan masyarakat moderen yang
kaidah dan norma dan aturannya dianggap lebih oleh masyarakat primitif, yang justru
menimbulkan permasalahan bagi kehidupan mereka sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut, seorang filsuf Norwegia Arne Naess, yang juga seorang
ahli ekologi, mengungkapkan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi
dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang
fundamental dan radikal ( Soni Keraf, 2002). Dibutuhkan pola hidup baru yang tidak
hanya menyangkut orang perorang, tetapi masyarakat secara keseluruhan.
Etika lingkungan merupakan suatu bagian untuk mengisi kekurangan sisi spiritual dari
pemanfaatan sumberdaya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurut
tahapannya, etika lingkungan dapat terwujud dalam lima tahapan (Nugroho dalam
Gunawan, 2003) sebagai berikut;
1. Egoisme; merupakan tataran etika yang paling rendah yakni yang berdasarkan pada ke-
aku-an disebut juga individualisme.
2. Humanisme; merupakan solidaritas sesama manusia. Hal ini sudah ada kepedulian
terhadap orang lain selain dirinya sendiri.
3. Sentientisme; kesetiakawanan terhadap pengada insani (berperasaan). Dalam hal ini
sudah ada solidaritas dan pengakuan terhadap makhluk lain yaitu hewan selain sesama
manusia.
4. Vitalisme; kesetiakawanan terhadap sesama pengada insani, baik yang berperasaan
maupun yang tidak berperasaan (tumbuh-tumbuhan).
5. Altruisme; merupakan etika lingkungan yang paling tinggi, yakni solidaritas kepada
semua pangada baik yang insani maupun ragawi, sebagai sesama ciptaan tuhan dii bumi
ini karena ketergantungan diri kepada semua yang ada baik makhluk hidup maupun
benda mati.
Menurut JuJun S. Suriasumantri (1990), apabila berbicara mengenai etika tentu tidak
terlepas dari filsafat seperti tampak pada diagram gambar 4.

Masalah yang sangat besar dan segera perlu ditangani oleh bangsa Indonesia saat ini
adalah masalah yang timbul sabagai akibat semakin besarnya jumlah penduduk. Jumlah
penduduk yang terus bertambah besar, semakin meningkatkan kebutuhan sandang,
pangan, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan lapangan kerja, keamanan,
dan lain sebagainya. Di seluruh dunia tekanan akibat semakin banyaknya jumlah
penduduk semakin dirasakan. Manusia sejak jaman purbakala telah memanfaatkan dan
menggunakan alam lingkungan dalam usaha untuk memenuhi kehidupannya yang lebih
enak, kecukupan, dan sejahtera. Penggunaan nalar dan akalnya telah mendudukan
manusia sebagai penakluk dan pengatur alam sekitar bagi kemudahan hidupnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad ini begitu dahsyat dan
menakjubkan, sehingga seakan-akan seluruh masalah didunia dapat dipecahkan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibarengi dengan pertumbuhan
industri secara besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang jumlahnya
cukup banyak, telah mengakibatkan semakin rusaknya lingkungan dan semakin
menurunnya kualitas lingkungan hidup. Manusia melupakan bahwa sumberdaya alam
yang ada di planet bumi ini sebagai daya dukung untuk memberikan kehidupannya sangat
terbatas.
Akhir-akhir ini malapetaka yang berupa banjir, kekeringan, pencemaran air, pencemaran
tanah, polusi udara, keracunan oleh pestisida, kenaikan suhu akibat pemanasan global
telah banyak diberitahukan oleh media massa. Hal tersebut merupakan ancaman yang
serius bagi kelangsungan kehidupan kita yang menghendaki hidup sejahtera di bumi ini.
Laporan hasil studi ”The Club of Roma” tahun 1971, memprediksi bahwa sekitar tahun
2050 sistem kehidupan di bumi akan menghadapi ”total collape” kalau kelima faktor
pendukung kehidupan manusia tetap berkembang secara eksponensial seperti sekarang
ini. Kelima faktor tersebut yaitu pertumbuhan penduduk, peningkatan produksi pangan,
peningkatan produksi industri, penggunaan sumberdaya alam dan pencemaran
lingkungan yang saling berhubungan dan mempengaruhi. Oleh karena itu kita harus
waspada dan mulai sekarang berusaha mengatasi krisis/lingkungan tersebut dengan
merencakan kehidupan yang lebih memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Timbulnya krisis lingkungan ini disebabkan oleh adanya konsep tentang, hubungan
antara manusia dengan lingkungan alam yang salah. Konsep yang datang dari Barat
adalah konsep; ”Manusia Penakluk Alam/Manusia Melawan Alam”, sedangkan konsep
yang datang dari Timur, adalah: Manusia dalam Keserasian dan Keseimbangan Alam.
Konsep tentang ”Manusia Penakluk Alamat” telah menjadi dasar pelaksanaan hubungan
antara manusia dengan lingkungannya selama berabad-abad.
1. Masalah kerusakan lingkungan pada hakekatnya adalah masalah kemanusiaan yang
erat hubungannya dengan sistem nilai, adat istiadat dan agama dalam mengendalikan
eksistensinya sebagai pengelola lingkungan hidup. Oleh karena itu cara mengatasinya
tidak hanya dengan melakukan usaha yang bersifat teknis semata, melainkan yang lebih
utama haruslah ada usaha yang bersifat educatif dan persuasif. Dengan demikian akan
dapat dilakukan usaha kearah perubahan sikap dan perilaku yang sudah lama berurat dan
berakar dalam masyarakat. Usaha atau kegiatan yang dimaksud yaitu Pembina Etika
Lingkungan pada Masyarakat. Berdasarkan uraian di atas maka pada kesempatan
Pertemuan Ilmiah Tahunan (PIT) IGI ke XI di Padang ini penulis membuat makalah
dengan judul: ”Pembinaan Etika Lingkungan sebagai Salah Satu Alternatif Menjaga
Kelestariam Lingkungan”. Secara berturut-turut makalah ini akan membahas tentang; (1).
Hubungan Manusia dengan Lingkungan Hidup, (2). Kerusakan lingkungan hidup, (3)
Akar Permasalahan Lingkungan Hidup, (4) Pembinaan Etika Lingkungan Hidup.

B. Hubungan Manusia dengan Lingkungan Hidup


1. Pengertian dan Unsur-Unsur Lingkungan Hidup.
Menurut Undang-Undang No; 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yang dimaksud dengan Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan segala benda
dan keadaan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia dan perilaku yang
melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia dan makhluk hidup lainnya.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa di dalam lingkungan hidup,
secara garis besar terdapat tiga komponen/unsur penting yaitu: (a) unsur fisik (abiotik, (b)
unsur hayati (biotik), dan (c) unsur budaya.

a. Unsur fisik (abiotik)


Unsur fisik yang terdapat dalam lingkungan hidup terdiri atas tanah, air, udara, sinar
matahari, senyawa kimia dan sebagainya. Fungsi unsur fisik dalam lingkungan hidup
adalah sebagai media untuk berlangsungnya kehidupan.
Tanah merupakan unsur fisik lingkungan hidup yang mampu mendukung pertumbuhan
tanaman. Hubungan makhluk hidup dengan tanah sangatlah erat, karena mereka berasal
dan hidup dari dan di atas tanah. Kelangsungan hidup manusia di antaranya tergantung
dari tanah dan sebaliknya tanah pun memerlukan perlindungan manusia untuk
keberlanjutannya sebagai tanah yang memiliki fungsi.
Air merupakan sumber penghidupan manusia. Secara alamiah sumber-sumber air
merupakan kekayaan alam yang dapat diperbaharui dan mempunyai daya regenerasi yaitu
selalu dalam sirkulasi dan lahir kembali mengikuti daur hidrologi. Air selalu berada
dalam daur hidrologi, sehingga jumlahnya relatif tetap. Kebutuhan manusia akan air
menjadi sangat berarti jika dihubungkan dengan: (1) pertambahan jumlah penduduk, (2)
kebutuhan pangan, (3) peningkatan industri, dan (4) kelangsungan ekosistem.
Udara nerupakan sumber kehidupan yang utama bagi semua makhluk hidup. Bumi kita
terbungkus oleh gas yang secara keseluruhan di sebut atmosfer. Atmosfer terdiri atas
berbagai macam gas, antara lain nitrogen, oksigen, karbondioksida, uap, dan lain-lain.
Nitrogen dan oksigen menempati hampir 99% dari seluruh gas yang ada.
Sinar matahari merupakan energi utama untuk menggerakkan dan mengubah segala
kehidupan yang ada di muika bumi. Jika unsur ini tidak ada, maka semua kehidupan yang
terdapat di muka bumi akan terhenti.. Jadi makhluk hidup sangat tergantung dari
keberadaan unsur fisik tersebut.

b. Unsur Hayati (biotik)


Unsur hayati dalam lingkungan hidup terdiri atas semua makhluk hidup yang terdapat di
bumi mulai dari tingkatan rendah sampai tingkatan tinggi, dari bentuk yang paling kecil
hingga yang paling besar. Sebagai contoh, adalah mnusia, hewan, tumbuhan, dan jasad
renik. Unsur hayati inilah yang saling berhubungan sehingga membentuk jalinan mulai
dari yang sederhana hingga yang sangat rumit.
Dalam jaringan makanan, unsur hayati memiliki tingkatan mulai dari produsen sampai
dengan konsumen tingkat tinggi sebagaimana yang terurai dalam susunan ekosistem
yaitu; (1) Produsen, merupakan organisme autotrofik yang mengolah makanan sendiri
melalui tumbuhan berklorofil (hijau daun) dengan bantuan sinar matahari dan bahan
anorganik. Kelompok produsen ini adalah tumbuh-tumbuhan, (2) Konsumen, merupakan
organisme yang tidak dapat mengolah makanan sendiri melainkan tergantung kepada
organisme lainnya. Konsumen tingkat selanjutnya adalah organisme yang memangsa
organisme lainnya sebagai predator dan seterusnya sampai dengan tingkat tertinggi, (3)
Pengurai, adalah organisme yang hidup dengan cara menguraikan bahan organik yang
berasal dari jasad organisme yang telah mati, contohnya yaitu bakteri dan jamur.

c. Unsur budaya
Di samping lingkungan fisik alamiah, manusia memiliki lingkungan lain sebagai corak
pelengkap dalam kehidupan yang disebut dengan lingkungan budaya. Lingkungan
budaya merupakan abstraksi yang berwujud nilai, norma, gagasan dan konsep dalam
memahami dan menginterpretasikan lingkungan. Unsur budaya dalam lingkungan hidup
adalah merupajan sistem nilai, gagasan, keyakinan yang dimiliki manusia dalam
menentukan perilakunya sebagai makhluk sosial (masyaratkat). Unsur budaya ini
dikembangkan oleh manusia dalam memenuhi kebutuhan pokok dan mempermudah
dalam kehidupannya. Sebagai contoh, untuk melawan dinginnya udara, maka manusia
menciptakan baju untuk melapisis badan dan sumber penghangat lainnya. Selain itu
untuk memepercepat produksi maka diciptakan mesin. Unsur budaya dalam lingkungan
hidup merupakan faktor yang dapat merusak lingkungan dan dapat menentukan
keseimbangan tatanan lingkungan dimana manusia sebagai pemegang kendali.
Lingkungan yang telah mendapat dominasi dari intervensi manusia biasa dikenal dengan
lingkungn binaan dan lingkungan budaya. Kehadiran lingkungan budaya ini dapat
menjadi potensi gangguan bagi keseimbangan, keselarasan, dan kelestarian yang semula
terdapat dalam lingkungan alam. Kemampuan manusia dalam berinovasi dan discoveri
menunjukkan eksistensinya pada lingkungan sabagai makhluk yang telah mampu
berprestasi dalam beradaptasi, berinteraksi, dan memanfaatkan lingkungan dan bahkan
pada tingkatan tertentu dapat memanipulasi lingkungan.

2. Hubungan Perilaku Manusia dengan Lingkungan Binaan


Di halaman depan telah dijelaskan bahwa unsur-unsur lingkungan hidup dibedakan
menjadi 3 yaitu: (1) Lingkungan abiotik, (2) Lingkungan biotic, dan (3) Lingkungan
budaya (cultural). Ketiga komponen lingkungan hidup tersebut secara skematis dapat
digambarkan sebagai suatu rangkaian yang saling berkaitan (interaksi) dan saling
ketergantungan (interdependensi). Komponen Lingkungan abiotik bersinggungan dengan
komponen lingkungan biotic membentuk lingkungan biofisik (a-b), komponen
lingkungan abiotik bersinggungan dengan komponen lingkungan cultural membentuk
lingkungan fisiko-cultural (a-c), demikian pula komponen lingkungan biotic
bersinggungan dengan komponen lingkungan cultural membentuk lingkungan bio-
cultural (b-c). Untuk memperjelas pemahaman interaksi tersebut perhatikan gambar
berikut ini.

Gambar 1 : Ketiga Komponen Lingkungan Hidup Saling Berinteraksi.


Membentuk Satu Kesatuan Utuh. (Tanjung, 1995; dalam Gunawan, 2001)

Secara garis besar ketiga komponen lingkungan hidup tersebut dapat diringkas menjadi
dua bagian, yaitu komponen bio-geofisikal (lingkungan alam) dan komponen lingkungan
sosial-budaya yang menjadi inti hubungan manusia dengan lingkungannya (hubungan
perilaku manusia dan lingkungan binaan). Hubungan perilaku manusia dan lingkungan
binaan tersebut dapat digambarkan secara skematis seperti ditunjukkan pada Gambar. 2
Pada gambar 2 tersebut, terlihat bahwa lingkungan binaan yang terwujud merupakan
hasil perpaduan (integrasi) lingkungan sosio-biogeofisikal. Hasil positif dari lingkungan
sosio-biogeofisikal dapat menciptakan kondisi keserasian lingkungan hidup. Namun
sebaliknya hasil negatif dari lingkungan sosio-biogeofisik dapat menciptakan kerusakan
lingkungan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa baik tidaknya kondisi lingkungan
hidup sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia.
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa kajian filsafat dibagi menjadi tiga bidang
yaitu; (1) logika, yang mempertanyakan apakah sesuatu benar atau salah dengan produk
sebagai ilmu yangb ersifat ilmiah, (2) etika, yangmempertanyakan apakah suatu perilaku
manusia itu baik atau buruk, (3) estetika, yang mempertanyakan apakah sesuatu indah
atau tidak indah dengan produk seni
Penilaian baik atau buruk akan menjadi norma terhadap lingkungan. Norma itu mungkin
saja berasal dari norma masyarakat dalam bentuk kebudayaan, dari norma ilmiah yang
bersumber dari keilmuan, dan dari norma wahyu yang bersumber dari kitab suci (agama).
Berikut ini contoh norma-norma yang bersumber dari beberapa agama yang dapat
menjadi pegangan dalam pemanfaatan lingkungan:secara arif.

”Kerusakan lingkungan hidup merupakan akibat dari ketidak taatan, keserakahan dan
ketidakpedulian (manusia) terhadap karunia besar kehidupan” (Budha)
”Kita harus, mendeklarasikan sikap kita untuk mengehentikan kerusakan, menghidupkan
kembali menghormati tradisi lama kita (Hindu)”

”Kami melawan segala terhadap segala bentuk eksploitasi yang menyebabkan kerusakan
alam yang kemudian mengancam kersakannya,” (Kristiani)

Manusia adalah pengemban amanah, ”berkwajiban untuk memelihara kutuhan


CiptaanNya, integritas bumi, serta flora dan faunanya, baik hidup liar maupun keadaan
alam asli” (Muslim)

Apabila norma-norma tersebut telah menjadi pegangan hidup dalam suatu masyarakat
atau penduduk, maka akan terbentuklah suatu etika lingkungan dalam kehidupan
masyarakat tersebut.
Etika lingkungan merupakan perwujudan dari kesadaran manusia terhadap makna, peran,
dan fungsi lingkungan hidup ini melalui jalur penalaran ekologis yang meletakkan
manusia sebagai komponen ekosistem (Soeriatmaja, 1990). Jadi etika lingkungan adalah
satu sistem nilai yang menjadi pedoman perilaku manusia dalam hubungannya dengan
lingkungan hidupnya. Sebagai contoh , seseorang ingin merokok, bertanya kepada diri
sendiri, ”apakah merokok itu baik atau buruk untuk diri sendiri dan untuk lingkungan”.
Jawabnya ada dalam hati nurani orang yang bersangkutan. Sesungguhnya yang diminta
pada tata nilai lingkungan adalah kepedulian yang diwujudkan dalam perilaku yang
konsisten.
Perubahan yang radikal dan fundamental di dalam mengubah cara pandang masyarakat
dunia terhadap persoalan lingkungan memang sangat dibutuhkan, emngingat persoalan
lingkungan sudah begitu mengkhawatirkan.
Perbahan yang radikal dan fundamental bisa melalui perubahan pendidikan nasional dan
pegakan hukum tanpa diskriminasi. Dengan demikian fokus perhatian etika lingkungan
terletak pada bagaiman perilaku manusia yang seharusnya terhadap lingkungan hidup.
Ada beberapa prinsip untuk menegakkan etika lingkungan ini.
Pertama, sikap hormat terhadap alam merupakan suatu prinsip dasar bagi manusia
sebagai bagian dari alam semesta secara keseluruhan. Setiap anggota komunitas sosial
mempunyai kewajiban untuk menghargai kehidupan bersama (kohesivitas sosial),
demikian pula setiap anggota komunitas ekologis harus menghargai dan menghormati
setiap kehidupan dan dalam komunitas ekologis
Kedua, prinsip tanggung jawab yang dimiliki manusia terhadap alam semesta maupun
terhadap keberadaan dan kelestarian setiap bagian dan benda di alam semesta ini.
Tanggung jawab itu tidak hanya individual melainkan kolektif berupa prakarsa, usaha,
kebijakan dan tindakan bersama secara nyata untuk menjaga alam semesta dengan segala
isinya.
Ketiga, prinsip demokrasi. Keanekaragaman dan pluralitas adalah hakikat alam, hakekat
kehidupan itu sendiri. Setiap kecenderungan reduksionistis, anti keanekaragaman dan anti
pluralitas berarti bertentangan dengan alam dan anti kehidupan.
Keempat, prinsip keadilan yang berbicara tentang akses yang sama bagi semua kelompok
dan anggota masyarakat dalam ikut menetukan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
dan pelestarian alam dan dalam ikut menikmati pemanfaatan sumberdaya alam.
Pemanfaatan yang diskriminatif dan kapitalis seperti saat ini berarti penghinaan buat
pasal 33 UUD 1945.
Pada akhirnya, etika lingkungan hidup harus dipahami sebagai refleksi kritis terhadap
norma, prinsip, dan nilai moral yang selama ini dikenal dalam komunitas manusia.
Termasuk apa yang berdampak pada lingkungan hidup. Pendekatan penyelesaiannya pun
tidak dapat parsial tetapi harus komprehensif, seperti perubahan yang mendasar terhadap
sistem pendidikan nasional yang saat ini jauh dari akar kebutuhan obyektif masyarakat.
Jelas disini bahwa masalah lingkungan bukanlah masalah teknis semata.
Dalam pemecahan masalah krisis lingkungan terutama dipusatkan pada hal-hal yang
menyangkut perubahan sikap dan nilai individu, untuk itu diperlukan;
1. Setiap individu di mana saja ia berada harus dijadikan ”Word Conscious”. Ia harus
meraba bahwa ia adalah anggota dari masyarakat dunia. Kelaparan yang menimpa suatu
daerah di Papua atau bahkan di Afrika misalnya, harus dirasakan juga kesedihannya oleh
orang Jawa atau Sumatra, seakan-akan kelaparan tersebut terjadi di daerahnya sendiri.
2. Suatu etika baru harus diajarkan dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
3. Sikap yang harmonis dengan lingkungan alam dan buka sikap untuk menaklukan alam.
Mereka harus merasa bagian dari alam.
4. Setiap orang dalam memanfaatkan lingkungan alam harus memperhatikan dan
mengingat kepentingan generasi yang akan datang.
5. Setiap orang harus mampu menghayati makna hidup di dunia ini sebagai makhluk
ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam upaya mengurangi kerusakan lingkungn hidup, khususnya yang disebabkan oleh
kegiatan manusia, perlu dikembangkan etika lingkungan dalam kehidupan masyarakat.
Adapun pengembangan etika lingkungan hidup tersebut dapat melalui pelembagaan yang
ada di masyarakat baik di pedesaan maupun perkotaan, misalnya melalui kegiatan PKK,
penyuluhan di RT/RW, karang taruna, pengajian baik bapak-bapak maupun ibu-ibu.
Disamping itu .pembinaan etika lingkungan dapat melalui pendidikan formal yaitu
menghidupkan kembali mata kuliah/mata pelajaran Pendidikan Kependudukan
Lingkungan hidup pada setiap jenjang pendidikan sekolah dari TK sampai Perguruan
Tinggi dan pendidikan luar sekolah. Khusus mengenai Pendidikan Kependudukan dan
Lingkungan Hidup (PKLH) yang diajarkan di sekolah perlu mendapatkan perhatian
khusus karena akhir-akhir ini (PKLH) dapat dikatakan dilupakan oleh semua jenjang
pendidikan.

F. Penutup
Memahami semakin meningkatmya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dikuasi oleh manusia dapat dipastikan akan semakin meningkatkan kerusakan lingkungan
hidup di bumi ini, yang akhirnya akan menurunkan tingkat kesejahteraan dan kualitas
kehidupan kita. Kerusakan lingkungan ini terjadi terjadi karena manusia dalam
menggunakan teknologi untuk memanfaatkan sumberdaya alam kurang mempunyai
kepedulian terhadap kelestarian lingkungan. Oleh karena itu kondisi ini perlu segera
diatasi apabila kita tidak menginginkan kerusakan lingkungan ini lebih parah lagi. Salah
satu cara untuk mengendalikan kerusakan lingkungan tersebut antara lain, yaitu dengan
pembinaan etika lingkungan pada masyarakat, agar dapat mengubah sikap dan perilaku
manusia yang semula kurang ramah, kurang bertanggung jawab, dan kurang peduli
terhadap lingkungan menjadi, menjadi manusia yang bertanggung jawab, peduli, ramah
dan arif terhadap lingkungan. Sehingga kita nanti dapat memberikan warisan lingkungan
yang lestari pada anak cucu kita di masa-masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

----------- 1997. Undang-Undang No. 23 tahun 1997. Tentang Pengelolaan Lingkungan


Hidup. Jakarta: Sekretariat Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup

----------- 1988. Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Jakarta: Sekretariat Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup

Chiras, Daniel D (1991) Environmental Science: Action for a Sustainable Future.


California: The Benyamin /Cummings Pub .Co. Inc

Mochamad, dkk. 1993. Lingkungan Hidup Berkeadilan (Bunga RampaiPembangunan


Berwawasan lingkungan. Jakarta: Puspitasari Indah

Otto Soemarwoto. 1989. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:


Djambatan

Ruslan, H. Prawiro. 1988. Ekologi Lingkungan Pencemaran, Semarang: Satya Wacana

Soeriatmadja. 1990. Etika Lingkungan dan Pengembangan Pemukiman. Bandung: ITB

Suriasumantri, J.S. (1990). Filsafat Ilmu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan


Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Kompas
Totok Gunawan. 2003. Lingkungan Hidup dan Pembangunan BerwawasanJakarta:
Depdiknas

http://www.terranet.or.id/goto_berita.php?id=61

You might also like