You are on page 1of 5

STUDI PENANGANAN ABRASI DI PANTURA JAWA TENGAH

Irwani dkk
Balitbang Prov. Jateng bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Perikanan UNDIP
Jl. Imam Bonjol 190 Semarang

RINGKASAN

Pendahuluan
Abrasi adalah hilangnya daratan di wilayah pesisir dan akresi adalah timbulnya
daratan baru di wilayah pesisir. Fenomena abrasi maupun akresi disebabkan oleh faktor alami
dan manusia. Faktor alami diantaranya adalah arus laut, gelombang, kondisi morfologi/
litologi dan vegetasi yang tumbuh dipantai. Sedangkan faktor yang disebabkan oleh aktivitas
manusia adalah adanya bangunan baru di pantai, perusakan terumbu karang, penebangan atau
penggunaan wilayah sabuk pantai (mangrove) untuk kepentingan lain seperti lokasi budidaya
atau fasilitas lainnya.
Misalnya Kota Semarang tercatat memiliki wilayah yang pantainya telah hilang
terabrasi seluas 154,5 Ha, meliputi daerah sekitar sungai Plumbon, pesisir kelurahan
Randugarut, kawasan Marina dan Tanjung Mas dan kawasan TPI Tambak Lorok. Luas
wilayah pantai yang terabrasi di Kabupaten Demak seluas 746 Ha, meliputi wilayah desa
Sriwulan, desa Bedono, tambak Babalan, Purworejo, Berahan Wetan dan babalan. Sedangkan
Kabupaten Kendal, wilayah pantai yang terabrasi seluas 357,87 Ha meliputi wilayah
Larangan, Sendang Sikucing – Kali Blukar, kawasan wisata Jomblong, sisi timur sungai
Bodri, Tanjung Jaya dan Wonorejo (LPPSP, 2003). Beberapa penelitian telah dilakukan di
wilayah pantura yang menyebutkan Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Jepara, Rembang, dan
Brebes juga telah mengalami kerugian akibat adanya abrasi dan akresi ini.
Aktivitas abrasi ini salah satunya disebabkan karena hilangnya sabuk hijau pantai.
Pada akhir tahun 1980-an, luas hutan mangrove tercatat 4,25 juta ha, dengan sebaran
terbanyak di sepanjang pantai Irian Jaya (69%), Sumatera (16%) dan Kalimantan (9%)

1
(Dahuri, 2002). Di lain pihak di wilayah pantai di Pulau Jawa kawasan mangrove sudah
sangat terbatas.
Penebangan bakau telah membawa dampak negatif, antara lain keanekaragaman jenis
fauna berkurang, hilangnya tempat-tempat berpijah dan pemeliharaan ikan seperti udang dan
kepiting serta pengikisan pantai (abrasi). Dampak ini sangat dirasakan oleh masyarakat pantai
yaitu rendahnya pendapatan akibat berkurangnya hasil tangkapan yang disebabkan oleh
rusaknya wilayah pantai.
Pemerintah daerah Propinsi Jawa Tengah mengeluarkan peraturan daerah (Perda)
nomor 9 tahun 1999 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Propinsi Daerah Jawa Tengah,
diperbaharui dengan Perda No 22 tahun 2003 diantaranya mengatur kawasan perlindungan
setempat yaitu sempadan pantai. Bahkan perda ini telah mengatur wilayah-wilayah di
kabupaten/kota yang harus dilindungi. Sayangnya banyak kabupaten/kota yang belum
melaksanakan perda ini dan beberapa program penyelamatan lingkungan belum mengarah
pada kelestarian.
Keppres Nomor 32 tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung khususnya pasal
27 dan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian dan Menteri Kehutanan Nomor
KB 550/264/Kpts/4/1984 dan nomor 082/Kpts-II/1984, tentang Kawasan Sabuk Hijau dan
Surat Edaran Departemen Kehutanan Nomor 507/IV-BPH/1990, tentang lebar sabuk hijau
pada hutan mangrove sepanjang 200 m di areal sepanjang pantai. Selama ini hampir semua
kabupaten/kota yang memiliki garis pantai belum terlintas untuk memulai pembuatan sabuk
hijau kawasan pantai kecuali Kota Tegal yang sejak tahun 1999 telah mulai melakukan
perintisan dan penelitian di wilayahnya dilanjutkan menyusun rencana pengembangan
kawasan sabuk hijau pada tahun 2001.
Melihat fenomena sebagaimana dipaparkan diatas, untuk menentukan kebijakan
pengendalian abrasi dan pengembangan kawasan sabuk hijau diperlukan studi/kajian yang
akan memberikan masukan bagi pemerintah daerah Propinsi Jawa Tengah tentang peta
wilayah-wilayah yang terancam abrasi, kawasan penutupan dan membukaan mangrove serta
permasalahan lain yang memungkinkan muncul dari kerusakan pantai dan pesisir.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat abrasi dan akresi di
wilayah Kabupaten Batang, Kota Pekalongan, dan Kabupaten Pekalongan, melakukan

2
pemetaan wilayah mangrove, menyusun rencana pengembangan kawasan sabuk hijau dan
penanganan abrasi serta membuat prototipe demplot tanaman mangrove.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah teridentifikasi wilayah pantai yang
mengalami abrasi dan akresi, teridentifikasi/terpetakan kawasan mangrove, tersusunnya
rencana pengembangan kawasan sabuk hijau dan penanganan abrasi dan terwujudnya demplot
tanaman mangrove.

Metode Penelitian
Pemetaan daerah pantai yang mengalami abrasi, akresi dan wilayah mangrove
dilakukan dengan melakukan observasi garis pantai melalui menelusuri sepanjang daerah
pantai Kabupaten Batang, Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan (tracking). Posisi
garis pantai pada saat survei ditentukan koordinatnya dengan GPS. Pada titik-titik yang
terlihat jelas mengalami abrasi atau akresi atau terdapat tanaman mangrove diberi catatan
khusus untuk dilakukan pengukuran parameter oseanografi yang berpengaruh terhadap proses
tersebut, pengambilan sampel sedimen untuk dianalisa ukuran butirnya di laboratorium dan
pengukuran kemiringan pantai. Parameter tersebut akan digunakan dalam perencanaan
penanganan abrasi / akresi daerah yang bersangkutan.
Hasil pencatatan koordinat peta garis pantai tersebut diatas selanjutnya diplotkan pada
Peta Dasar yang merupakan hasil digitasi peta rupa bumi tahun. Digitasi peta tersebut
dilakukan dengan menggunakan digitizer dan dengan sistem koordinat UTM berdasarkan
datum WGS 84. Overlay antara peta hasil digitasi dengan ploting hasil tracking menggunakan
perangkat lunak MapInfo / ArcInfo akan memberikan gambaran daerah-daerah yang
mengalami abrasi atau akresi berikut perhitungan luas penambahan / pengurangan lahan telah
terjadi.
Untuk mengetahui perubahan garis pantai dalam beberapa kurun waktu (time series)
maka dilakukan tumpah susun (overlay) peta topografi tahun 1963, citra landsat tahun 1991,
dan citra landsat tahun 2003 serta hasil ground check berdasarkan tracking sebagaimana
diuraikan diatas.

3
Hasil dan Pembahasan
Hasil Kajian menunjukkan pada periode tahun 1963 sampai dengan 1991, daerah yang
paling besar mendapatkan tekanan abrasi adalah Kabupaten Pekalongan sebesar 62,168 Ha
dengan laju 2,220 Ha/tahun. Disusul oleh Kota Pekalongan sebesar 42,001 Ha dengan laju
1,500 Ha/tahun. Tidak nampak adanya abrasi di Kabupaten Batang pada periode tahun
tersebut. Aktivitas akresi terbesar terjadi di Kabupaten Batang sebesar 313,615 Ha dengan
laju 11,200 Ha/tahun, kemudian Kabupaten Pekalongan sebesar 25,915 Ha dengan laju 0,925
Ha/tahun dan Kota Pekalongan sebesar 7,005 Ha dengan laju 0,250 Ha/tahun.
Sedangkan periode tahun 1991 sampai dengan 2003 daerah yang paling besar
mendapatkan tekanan abrasi adalah Kabupaten Batang sebesar 36,079 Ha dengan laju 3,007
Ha/tahun, disusul oleh Kabupaten Pekalongan sebesar 24,145 Ha dengan laju 2,012 Ha/tahun,
kemudian Kota Pekalongan sebesar 5,150 Ha dengan laju 0,49 Ha/tahun. Akresi masih
dominan terjadi di Kabupaten Batang sebesar 53,251 Ha dengan laju 4,437 Ha/tahun,
kemudian Kota Pekalongan sebesar 6,855 Ha dengan laju 0,571 Ha/tahun dan Kabupaten
Pekalongan sebesar 6,517 Ha dengan laju 0,543 Ha/tahun.
Hasil pengamatan dan cek lapangan menunjukkan bahwa Kabupaten Batang, Kota
Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan sudah tidak mempunyai Sabuk Hijau, namun masih
banyak ditemui tumbuhan mangrove (Rhizophora sp dan Nypa sp) yang tumbuh secara
sporadis di sempadan pantai dan bantaran sungai.

Kesimpulan dan Saran


Berdasarkan analisis dasar aspek hidro-oseanografi dan potensi serta
kondisi/karakteristik daerah pantai Kabupaten Pekalongan, alternatif penanganan yang
diusulkan adalah menangkap laju angkutan sedimen sepanjang pantai dengan membuat
sistem groin khususnya untuk pantai Depok dan Semut.
Untuk permasalahan di Pantaisari/ Pantai Pasir Kencana Pantai Kota Pekalongan,
alternatif yang diusulkan adalah memperkuat seawall eksisting dengan tumpukan batu di
depan bangunan yang dipadu dengan drainase untuk mengatasi erosi pantai dan scouring di
kaki bangunan. Sedangkan untuk mengatasi banjir rob, bangunan seawall tersebut elevasinya

4
ditinggikan sehingga jika terjadi pasang dan gelombang besar, air laut dan sedimen pasir tidak
melimpas ke areal permukiman.
Pada areal wisata ditambah bangunan groin yang berfungsi untuk menangkap laju
angkutan sedimen sejajar pantai. Sedangkan untuk pantai Slamaran, jika terjadi permasalahan
erosi pasca pembangunan Jetty di sudetan kali Banger, alternatif penanganannya adalah
dengan membangun sistem groin pendek di sebelah Barat bangunan Jetty (pada daerah yang
tererosi)
Secara umum permasalahan pantai di Kabupaten Batang relatif tidak ada
permasalahan, dikarenakan kondisi pantai yang relatif stabil (dinamis- stabil). Usulan
penanganan lebih ditujukan utamanya untuk mengatasi erosi pantai pasca pembangunan jetty
di muara kali Gabus, kali Boyo, kali Sambong, dan kali Anyar adalah dengan membangun
sistem groin pendek di sebelah Barat bangunan Jetty (pada daerah yang tererosi).
Bangunan fisik mempunyai keterbatasan yaitu dibatasi oleh umur pemakaian,
sehingga tumbuhan mangrove sebagai penyusun sabuk hijau masih mutlak diperlukan sebagai
lapis kedua pelindung pantai dan habitat vital bagi organisme perairan. Kombinasi yang tepat
antara bangunan fisik dan sabuk hijau mangrove akan memberikan keuntungan. Hal ini
dikarenakan setelah umur bangunan fisik habis atau rusak, sabuk hijau siap untuk mengambil
alih fungsi perlindungan pantai.

Hak Cipta © 2004 Balitbang Prov. Jateng


Jl. Imam Bonjol No. 190 Semarang 50132
Telp : (024) 3540025
Fax : (024) 3560505
Email : sekretariat@balitbangjateng.go.id

You might also like