You are on page 1of 51

eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's
BAB 13

Pertemuan Tak Terduga

B ANGUN, Digory, bangun, Fledge," ter-


dengar suara Polly. "Permen yang kita
tanam semalam sudah menjadi pohon toffee.
Pagi ini juga indah sekali."
Sinar rendah matahari pagi mengalir mem-
banjiri hutan, rerumputan tampak kelabu ka-
rena embun, dan sarang labah-labah seperti
perak. Tepat di sebelah mereka, berdiri pohon
kecil berbatang cokelat tua sekali, kira-kira
seukuran pohon apel. Dedaunannya keputihan
dan seperti kertas, seperti tanaman bernama
honesty. Pohon itu dipenuhi buah-buah cokelat
kecil yang kelihatan seperti kurma.
"Hore!" kata Digory. "Tapi aku akan bere-
nang dulu." Dia bergegas melewati satu atau
dua semak berbunga menuju tepi sungai. Apa-
kah kau pernah berenang di sungai gunung

228
yang mengalir deras seperti air terjun rendah
di atas bebatuan merah, biru, dan kuning
yang disinari matahari? Di laut rasanya juga
sama nyamannya, dalam beberapa hal malah
nyaris lebih baik. Tentu saja, dia harus ber-
pakaian lagi tanpa mengeringkan tubuh dulu,
tapi itu bukan masalah. Ketika dia kembali,
gantian Polly yang turun ke sungai dan bere-
nang. Setidaknya itulah yang dia bilang dia
lakukan, tapi kita tahu dia bukanlah perenang
yang baik dan mungkin lebih baik tidak terlalu
banyak bertanya. Fledge mengunjungi sungai
juga, tapi dia hanya berdiri di tengah aliran
air, menunduk cukup lama untuk meminum
air, kemudian mengibaskan surainya dan me-
ringkik beberapa kali.
Polly dan Digory kemudian sibuk dengan
pohon toffee. Buahnya lezat, tidak benar-benar
seperti toffee—yang pasti lebih lembut dan
berair—tapi seperti buah yang mengingatkan
kita akan toffee. Fledge juga mendapatkan
sarapan yang menyenangkan. Dia mencoba sa-
lah satu buah toffee dan menyukainya, tapi
berkata dia lebih ingin makan rumput pada
jam sepagi itu. Lalu dengan sedikit enggan
kedua anak itu naik kembali ke punggungnya
dan perjalanan hari kedua pun dimulai.

229
Perjalanan kali ini lebih ringan daripada
kemarin, sebagian karena semua orang merasa
begitu segar, dan sebagian karena matahari yang
telah terbit berada di belakang mereka, sebab
tentu saja, semua kelihatan lebih indah ketika
cahaya berada di belakangmu. Perjalanan itu
menyenangkan sekali. Gunung-gunung besar ber-
salju berdiri di atas mereka di setiap arah.
Lembah-lembahnya, jauh di bawah mereka,
tampak begitu hijau, dan semua aliran air yang
tercurah dari sungai es menuju sungai utama
tampak begitu biru, seolah mereka sedang terbang
di atas perhiasan raksasa. Mereka sebenarnya
ingin bagian petualangan ini berlangsung lebih
lama. Tapi tak lama kemudian mereka semua
mengendus-endus udara dan berkata, "Apa ini?"
dan "Apakah kau mencium sesuatu?" dan "Dari
mana asalnya?" Karena saat itu tercium wangi
surgawi, begitu hangat dan keemasan, yang
seolah berasal dari buah-buah paling lezat dan
bunga-bunga paling indah di dunia, mendatangi
mereka dari suatu tempat di depan.
"Wangi ini datang dari lembah dengan danau
itu," kata Fledge.
"Kau benar," kata Digory. "Dan lihat! Ada
bukit hijau di sisi jauh danau itu. Lihat, betapa
biru airnya."

230
"Pasti itu tempatnya," kata mereka bertiga.
Fledge terbang kian rendah dalam putaran
besar. Puncak-puncak berlapiskan es berdiri
semakin tinggi di atas mereka. Udara kian
terasa hangat dan manis setiap detiknya, begitu
manis sehingga hampir bisa membawa air mata
ke matamu. Fledge kini melayang dengan kedua
sayapnya terbentang diam di setiap sisi, kaki-
kakinya bersiap mencengkeram tanah. Bukit
hijau yang terjal berkelebat di sekeliling mereka.
Sedetik kemudian dia mendarat pada salah
satu tanjakannya, dengan agak canggung. Ke-

231
dua anak itu terjatuh dari pundak Fledge,
mendarat tanpa terluka pada rumput hangat
dan tebal, lalu berdiri sambil sedikit terengah.
Mereka berada di tiga perempat jalan menuju
puncak bukit, langsung memutuskan untuk me-
manjat ke sana. (Kurasa Fledge tidak akan
bisa melakukan ini tanpa kedua sayapnya untuk
menyeimbangkan tubuh dan memberinya ban-
tuan gerakan terbang sekali-sekali.) Di sekeliling
bagian paling atas bukit ada dinding tumbuhan
hijau yang tinggi. Di dalam dinding itu, pe-
pohonan tumbuh. Cabang-cabang pepohonan
itu bergantungan di atas dinding, dedaunan
yang terlihat di cabang-cabang tersebut tidak
hanya hijau, tapi juga biru dan keperakan saat
angin mengembus. Ketika para pengelana men-
capai puncak, mereka nyaris berjalan menge-
lilingi dinding hijau itu sebelum akhirnya me-
nemukan pintu gerbang: gerbangnya tinggi dan
terbuat dari emas, tertutup rapat, dan meng-
hadap ke arah timur.
Hingga saat ini kurasa Fledge dan Polly
berpikir mereka akan masuk ke sana bersama
Digory. Tapi pikiran mereka itu berubah. Kau
tidak akan pernah melihat tempat yang tampak
begitu tertutup. Hanya secara sekilas, kau akan
langsung bisa melihat tempat itu milik sese-

232
orang. Hanya orang bodoh yang bermimpi
masuk kecuali dia telah dikirim ke sana untuk
urusan yang sangat khusus. Digory sendiri lang-
sung mengerti teman-temannya tidak akan dan
tidak bisa masuk bersamanya. Dia melanjutkan
berjalan menghampiri gerbang sendirian.
Ketika dia sampai di sana dia melihat kata-
kata ditulis di emas dengan huruf-huruf perak.
Kata-katanya kira-kira seperti ini:

Masuklah melalui gerbang emas


atau tidak sama sekali,
Ambil buahku untuk orang lain
atau dirimu sendiri,
Karena bagi mereka yang mencuri
atau memanjat dindingku
Akan mengetahui isi hati mereka
dan menemukan pilu.

Ambil buahku untuk orang lain, kata Digory


kepada dirinya sendiri. Yah, itulah yang ingin
kulakukan. Kurasa itu berarti aku sama sekali
tidak boleh memakannya untuk diriku sendiri.
Aku tidak mengerti kata-kata di barisan ter-
akhir. Masuklah melalui gerbang emas. Yah,
siapa yang mau memanjat dinding kalau kita
bisa masuk lewat gerbang? Tapi bagaimana

233
cara membuka gerbang ini? Dia meletakkan
tangannya ke pintu gerbang dan daun pintunya
langsung berayun terbuka, menyajikan jalan
masuk, bergerak dengan engselnya tanpa suara
sedikit pun.
Kini begitu dia bisa melihat tempat di dalam-
nya, taman itu tampak semakin eksklusif dari-
pada apa pun yang pernah dilihatnya. Dia
berjalan masuk tanpa suara sambil melihat ke
sekelilingnya. Segalanya begitu senyap di dalam.
Bahkan air mancur yang berdiri di tengah
taman hanya menimbulkan suara samar. Wangi
yang menyenangkan mengelilinginya, tempat itu
begitu bahagia tapi juga sangat serius.
Dia langsung tahu yang mana pohon yang
benar, sebagian karena pohon itu berdiri tepat
di tengah-tengah taman, dan sebagian karena
apel-apel besar keperakan yang tumbuh di sana
begitu berkilauan serta menebarkan cahaya ter-
sendiri pada tempat-tempat berbayang yang
tidak tercapai sinar matahari. Dia berjalan
lurus menghampiri pohon tersebut, memetik
apel, kemudian memasukkannya ke saku dada
jaket Norfolk-nya. Tapi dia tidak bisa mencegah
dirinya memandangi buah itu dan mengendus-
nya sebelum memasukkannya ke saku.
Seharusnya dia tidak melakukan itu. Rasa

234
haus dan lapar yang mengerikan langsung me-
nguasainya dan dia jadi ingin sekali merasakan
buah tersebut. Cepat-cepat dia menyimpannya
ke saku, tapi masih banyak buah yang lain.
Apakah salah untuk mencicipi salah satunya?
Lagi pula, pikirnya, peringatan di gerbang itu
mungkin saja bukan benar-benar perintah, bisa
jadi itu hanya nasihat—dan siapa yang peduli
pada nasihat? Atau bahkan kalaupun itu me-
mang perintah, apakah memakan sebuah apel
bakal berarti melanggarnya? Dia telah me-
matuhi bagian tentang mengambil satu untuk
"orang lain".
Sementara berpikir tentang semua ini, ke-
betulan dia mendongak dan melihat ke antara
cabang-cabang yang menjulang hingga bagian
atas pohon itu. Di sana, pada cabang di atas
kepalanya, burung menakjubkan bersarang. Aku
menggunakan kata "bersarang" karena dia tam-
pak nyaris tertidur, tapi tidak juga. Segaris
tipis pada kelopak salah satu matanya terbuka.
Burung itu lebih besar daripada elang, dadanya
jingga, kepalanya dimahkotai bulu-bulu merah,
dan ekornya ungu.
"Dan ini jelas-jelas menunjukkan," kata
Digory setelahnya ketika dia menceritakan kisah
ini kepada orang lain, "bahwa kau tidak bisa

235
236
tidak terlalu berhati-hati di tempat-tempat ajaib
ini. Kau tidak akan pernah tahu apa yang
sedang memerhatikanmu." Tapi kurasa apa pun
yang terjadi Digory tidak akan mengambil apel
itu untuk dirinya sendiri. Hal-hal seperti Ja-
nganlah Kau Mencuri, menurutku tertanam
jauh lebih dalam di kepala anak-anak lelaki di
masa-masa itu daripada sekarang. Tetap saja,
kita tidak pernah bisa yakin.
Digory baru saja hendak berbalik menuju
gerbang masuk ketika dia berhenti dan melihat
ke sekeliling untuk yang terakhir kalinya. Dia
terkejut luar biasa. Dia tidaklah sendirian. Di
sana, hanya beberapa meter dari dirinya, berdiri
sang penyihir. Dia baru saja melempar sisa
bagian tengah apel yang dimakannya. Air buah
itu ternyata lebih gelap daripada dugaanmu
dan meninggalkan noda mengerikan di sekeli-
ling mulutnya. Digory langsung menebak dia
telah memanjat dinding tumbuhan. Dan dia
mulai melihat mungkin kalimat terakhir pada
gerbang tadi ternyata ada artinya, tentang men-
dapatkail keinginan hatimu dan mendapatkan
kepiluan di saat yang sama. Karena sang penyi-
hir tampak lebih kuat dan bangga daripada
sebelumnya, dan bahkan entah bagaimana, pe-
nuh kemenangan. Tapi wajahnya pucat seperti
mayat, seputih garam.

237
Semua hal itu berkelebat sekaligus dalam
kepala Digory, kemudian dia beranjak dan
berlari menuju gerbang secepat yang bisa di-
lakukannya. Sang penyihir mengikutinya. Segera
setelah dia berada di luar, gerbang tertutup
sendiri di belakangnya. "Cepat, naik ke kuda,
Polly! Ayo, Fledge." Sang penyihir telah me-
manjat dinding, atau melompatinya, dan sudah
berada dekat di belakangnya lagi.
"Tetap di situ," teriak Digory, berbalik untuk
bertatapan dengannya, "atau kami semua akan
menghilang. Jangan mendekat barang satu senti-
meter pun."
"Anak bodoh," kata sang penyihir. "Kenapa
kau lari dariku? Aku tidak bermaksud menya-
kitimu. Kalau kau tidak berhenti dan mende-
ngarkanku sekarang, kau akan kehilangan pe-
ngetahuan yang bisa membuatmu bahagia se-
umur hidup."
"Yah, aku tidak mau mendengarnya, trims,"
kata Digory. Padahal itu tidak benar.
"Aku tahu kesulitan apa yang membawamu
ke sini," sang penyihir melanjutkan. "Karena
akulah yang berada di dekatmu semalam di
hutan dan mendengar semua kegalauanmu. Kau
telah memetik buah di taman tadi. Kini kau
membawanya di sakumu. Dan kau akan mem-

238
bawanya kembali, tanpa merasakannya, kepada
si singa. Untuk dimakan olehnya, untuk diguna-
kan olehnya. Kau begitu polos! Apakah kau
tahu buah apa itu? Aku akan memberitahumu.
Buah itu apel kebeliaan, apel kehidupan. Aku
tahu, karena aku telah mencicipinya, dan aku
sudah merasakan begitu banyak perubahan
pada diriku sehingga aku tahu aku tidak akan
menua atau mati. Makan buah itu, Nak,
makanlah. Lalu kau dan aku akan bersama-
sama hidup selamanya, menjadi raja dan ratu
untuk seluruh dunia ini—atau duniamu, kalau
kita memutuskan kembali ke sana."
"Tidak, terima kasih," kata Digory, "aku
tidak tahu apakah aku akan sangat peduli
untuk hidup terus sementara semua orang yang
kukenal meninggal. Lebih baik aku hidup de-
ngan jangka waktu normal, mati, dan pergi ke
surga."
"Tapi bagaimana dengan ibumu, kau selalu
bersikap seolah sangat menyayanginya?"
"Apa hubungannya dia dengan semua ini?"
tanya Digory.
"Tidakkah kaulihat, bodoh, bahwa satu gi-
gitan apel itu saja bakal bisa menyembuhkan-
nya? Kau telah memilikinya di sakumu. Hanya
ada kita di sini dan sang singa jauh di tempat

239
lain. Gunakan sihirmu dan kembalilah ke
duniamu sendiri. Semenit kemudian kau bisa
berada di samping tempat tidur ibumu, mem-
berinya buah itu. Lima menit kemudian kau
akan melihat rona wajahnya kembali. Dia akan
berkata kepadamu rasa sakit yang dideritanya
telah hilang. Tak lama kemudian dia akan
bilang kepadamu dia merasa lebih kuat. Lalu
dia akan tertidur—pikirkan itu: berjam-jam ti-
dur nyenyak yang alami, tanpa rasa sakit,
tanpa obat-obatan. Hari berikutnya semua
orang akan berkata betapa luar biasa kesem-
buhannya. Tak lama setelah itu dia akan cukup
sehat kembali. Semua akan baik-baik lagi. Ru-
mahmu akan bahagia lagi. Kau akan kembali
menjadi seperti anak laki-laki lain."
"Oh!" Digory terperangah seolah dia telah
dilukai, dan meletakkan tangan di kepala. Ka-
rena kini dia tahu pilihan paling buruk ada di
hadapannya.
"Apa yang telah dilakukan sang singa
untukmu sehingga kau rela menjadi budaknya?"
tanya sang penyihir. "Apa yang bisa dilakukan-
nya padamu setelah kau kembali ke duniamu
sendiri? Dan apa yang akan ibumu pikir kalau
saja dia tahu kau bisa saja menghilangkan
rasa sakitnya, mengembalikan hidupnya, dan

240
menyelamatkan hati ayahmu dari rasa sedih,
tapi kau tidak melakukan itu—bahwa kau lebih
memilih memenuhi permintaan seekor binatang
liar di dunia asing yang bahkan tidak ada
hubungannya denganmu?"
"Me-menurutku dia bukan binatang liar,"
kata Digory dengan suara yang seolah tertahan.
"Dia—entahlah—"
"Kalau begitu dia sesuatu yang lebih buruk,"
kata sang penyihir. "Lihatlah apa yang belum-
belum sudah dilakukannya kepadamu, lihatlah
betapa dia telah membuatmu tidak berhati.
Itulah ulahnya kepada semua orang yang rnen-
dengarkannya. Kau menjadi anak lelaki yang
kejam dan tak berbelas kasih! Kau lebih me-
milih membiarkan ibumu sendiri mati dari-
pada—"
"Oh, diamlah," kata Digory sebal, masih
dengan suara yang sama. "Kaupikir aku tidak
menyadari itu? Tapi aku—aku sudah berjanji."
"Ah, tapi kau tidak tahu apa yang kaujanji-
kan. Dan tidak ada seorang pun di sini yang
bisa mencegahmu."
"Justru ibuku sendiri," kata Digory, agak
sulit baginya untuk mengucapkan kata-kata
itu, "tidak akan menyukainya—dia amat tegas
soal menepati janji—juga soal mencuri—dan

241
hal-hal seperti itu. Dia akan melarangku me-
lakukannya—langsung tanpa ragu-ragu—kalau
saja dia ada di sini."
"Tapi dia tidak akan pernah tahu," kata si
penyihir, berbicara dengan nada yang begitu
manis sehingga kau bakal terkejut seseorang
dengan wajah begitu kejam bisa berbicara se-
perti itu. "Kau tidak akan memberitahunya
bagaimana cara kau mendapatkan apel itu.
Ayahmu juga tidak perlu tahu. Tidak seorang
pun di duniamu perlu tahu apa pun tentang
seluruh cerita ini. Kau tidak perlu membawa
pulang gadis kecil itu pulang, ya kan?"
Di situlah sang penyihir membuat kesalahan
fatal. Tentu saja Digory tahu Polly bisa dengan
mudah pergi dengan cincinnya sendiri seperti
dirinya. Tapi tampaknya sang penyihir tidak
tahu soal itu. Dan kekejaman saran meninggal-
kan Polly di dunia itu mendadak membuat
segala hal yang sudah dikatakan sang penyihir
kepadanya terdengar begitu salah dan hampa.
Dan bahkan dalam selimut kabut kesedihan,
kepala Digory mendadak menjadi begitu jernih,
dan dia berkata (dengan nada suara yang
berbeda dan lebih keras):
"Tunggu dulu, sebenarnya apa pedulimu de-
ngan semua ini? Kenapa mendadak kau begitu

242
memerhatikan ibuku? Apa untungnya buatmu?
Apa permainanmu?"
"Bagus, Digory," bisik Polly di telinganya.
"Cepat! Kita harus pergi sekarang." Polly tidak
berani berkata apa-apa sepanjang argumen itu
karena, kau harus mengerti, bukan ibunya yang
sedang sekarat.
"Ayo naik kalau begitu," kata Digory, meng-
angkat Polly ke punggung Fledge kemudian
ikut naik ke sana secepat yang dia biasa. Sang
kuda terbang membentangkan sayapnya.
"Pergilah kalau begitu, dasar bodoh," teriak
sang penyihir. "Ingatlah aku, Nak, saat kau
berbaring tua, lemah, dan sekarat. Ingatlah
bagaimana kau membuang begitu saja kesem-
patan mendapatkan kemudaan abadi! Tidak
akan ada lagi tawaran itu untukmu."
Mereka sudah terlalu tinggi sehingga mereka
hanya bisa mendengar suara sang penyihir.
Namun sang penyihir pun tidak membuat wak-
tu untuk mendongak dan menatap kepergian
mereka. Mereka melihatnya berjalan ke arah
utara, menuruni turunan bukit.
Mereka memulai perjalanan itu pagi-pagi
sekali dan kejadian di taman tidaklah memakan
waktu lama, sehingga Fledge dan Polly sama-
sama berkata mereka dapat dengan mudah

243
tiba di Narnia sebelum malam menjelang.
Digory tidak mengucapkan apa-apa sepanjang
perjalanan pulang, Fledge dan Polly pun tidak
berani mengajaknya bicara. Digory merasa sa-
ngat sedih dan tidak selalu yakin dia telah
melakukan hal yang benar. Tapi setiap kali dia
mengingat air mata berkilau pada mata Aslan,
keraguan hilang dari hatinya.
Sepanjang hari Fledge terbang mantap dengan
sayap-sayap yang tidak lelah, menuju timur
dengan mengikuti aliran sungai, melalui pe-
gunungan dan melewati perbukitan yang di-
tutupi hutan liar, kemudian melintasi air terjun
besar, lalu turun, dan turun, menuju hutan-
hutan Narnia yang ditutupi bayangan tebing
raksasa, hingga akhirnya, ketika langit memerah
karena matahari terbenam di belakang mereka,
dia melihat tempat banyak makhluk berkumpul
di pinggir sungai. Dan tak lama kemudian dia
bisa melihat Aslan di antara makhluk-makhluk
itu. Fledge melayang turun, merentangkan ke-
empat kakinya, merapatkan sayap-sayap, dan
mendarat sambil berderap perlahan. Kemudian
dia berhenti. Digory dan Polly turun dari pung-
gungnya. Digory melihat semua hewan, dwarf,
satyr, nymph (=peri alam yang cantik), dan
makhluk-makhluk lain menyingkir ke kiri dan

244
kanan, mempersilakannya lewat. Dia berjalan
menghampiri Aslan, menyerahkan apel di saku-
nya kepada singa itu, lalu berkata:
"Aku membawakanmu apel yang kauminta,
Sir."

245
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's
BAB 14
Penanaman Pohon

B AGUS sekali," kata Aslan dengan suara


yang menggetarkan bumi. Kemudian
Digory tahu semua penghuni Narnia telah men-
dengar kata-kata itu dan kisah tentang mereka
akan diceritakan dari orangtua ke anak di
dunia baru ini selama ratusan tahun dan mung-
kin selamanya. Tapi dia tidak terancam merasa
tinggi hati karena dia sama sekali tidak me-
mikirkannya kini, ketika berhadapan dengan
Aslan. Kali ini dia mendapati dirinya mampu
bertatapan langsung dengan sang singa. Dia
telah melupakan segala masalahnya dan merasa
sangat puas.
"Bagus sekali, Putra Adam," kata sang singa
lagi. "Karena buah ini kau telah merasa ke-
laparan, kehausan, dan kesedihan. Tiada tangan
lain selain tanganmu yang akan menumbuhkan

246
bibit pohon bakal pelindung Narnia. Lempar-
kan apel itu ke arah tepi sungai, di sana
tanahnya lembut."
Digory mematuhi perintah itu. Keadaan men-
jadi begitu sunyi sehingga kau bisa mendengar
suara jatuhnya yang pelan ketika apel itu men-
darat di lumpur.
"Lemparan yang bagus," kata Aslan. "Mari-
lah kita melanjutkan kepada penobatan Raja
Frank penguasa Narnia dan Helen ratunya."
Digory dan Polly kini menyadari kehadiran
pasangan suami-istri itu untuk pertama kalinya.
Mereka mengenakan baju yang unik dan indah,
dari bahu mereka jubah menggantung hingga
ke belakang mereka tempat empat dwarf me-
megangi ekor jubah sang raja, sementara empat
nymph sungai memegangi ekor jubah sang
ratu. Kepala mereka telanjang, tapi Helen telah
menggeraikan rambutnya dan ini benar-benar
membuat penampilannya jauh lebih cantik. Tapi
bukanlah tataan rambut maupun pakaian yang
membuat mereka begitu berbeda dengan diri
mereka yang dulu. Wajah mereka memiliki
ekspresi baru, terutama sang raja. Segala ke-
tajaman, kelicikan, dan aura menyebalkan yang
didapatnya selama menjadi kusir kereta sewaan
tampaknya telah lenyap. Keberanian dan ke-

247
baikan hati yang selalu dimilikinya kini lebih
mudah dilihat. Mungkin udara dunia muda
itu, atau bercakap-cakap dengan Aslan, atau
keduanya yang menyebabkan perubahan ini.
"Astaga," bisik Fledge ke Polly. "Majikan
lamaku telah berubah nyaris sebanyak diriku!
Wah, sekarang dia telah menjadi penguasa
sungguhan."
"Ya, tapi jangan berbisik begitu ke telinga-
ku," kata Polly. "Geli sekali."
"Sekarang," kata Aslan, "beberapa di antara
kalian bukalah jalinan yang telah kalian buat
dengan pepohonan itu dan marilah kita lihat
apa yang akan kita temukan di dalamnya."
Digory kini melihat empat pohon tumbuh
begitu dekat sehingga cabang-cabang keempat-
nya terpilin atau terikat satu sama lain dengan
simpul-simpul, membentuk semacam sangkar.
Dua gajah dengan belalai mereka dan beberapa
dwarf dengan kapak kecil mereka segera mem-
bukanya. Ada tiga benda di dalamnya. Salah
satunya pohon muda yang tampaknya terbuat
dari emas, dan yang kedua adalah pohon yang
sepertinya terbuat dari perak, tapi benda ketiga
adalah sesuatu yang menyedihkan dengan pa-
kaian berlumpur, duduk membungkuk di antara
kedua pohon itu.

248
"Ya ampun!" bisik Digory. "Paman Andrew!"
Untuk menjelaskan semuanya kita harus
mundur sedikit. Para hewan, kalau kau ingat,
telah berusaha menanam dan menyirami Pa-
man Andrew. Ketika siraman itu menyadar-
kannya, dia mendapati dirinya basah kuyup,
terkubur hingga pahanya di dalam tanah (yang
dengan cepat berubah menjadi lumpur) dan
dikelilingi lebih banyak hewan liar daripada
yang pernah diimpikannya seumur hidup.
Mungkin tidaklah mengejutkan bila dia mulai
berteriak dan menjerit. Kejadian ini bila dilihat
dari satu sisi adalah hal baik, karena ini akhir-
nya meyakinkan semua makhluk (bahkan Babi
Hutan) bahwa dia memang makhluk hidup.
Jadi mereka menggalinya lagi (keadaan celana
panjangnya kini sangat buruk). Segera setelah
kakinya bebas, dia mencoba melarikan diri
tapi satu libatan cepat belalai Gajah di se-
keliling pinggangnya langsung menggagalkan
usaha itu. Semua makhluk kini berpikir dia
harus ditahan di suatu tempat sampai Aslan
punya waktu untuk datang, melihatnya, dan
memberitahu mereka apa yang harus dilakukan
kepadanya. Jadi mereka membuat semacam
sangkar atau kurungan di sekelilingnya. Mereka

249
kemudian menawarkan apa pun yang ada di
benak mereka untuk makanannya.
Keledai mengumpulkan setumpuk tinggi per-
du berduri kemudian melemparkannya ke da-
lam sangkar, tapi Paman Andrew tidak tampak
peduli. Para tupai memborbardirnya dengan
hujan kacang-kacangan, tapi dia hanya me-
nutupi kepala dengan kedua tangannya dan
berusaha menghindar. Beberapa burung terbang
bolak-balik dengan rajin, menjatuhinya dengan
cacing-cacing. Beruang telah bersikap luar biasa
baik hati. Sore itu dia menemukan sarang
lebah liar dan bukannya memakannya sendirian
(padahal dia ingin sekali melakukan itu),

250
makhluk murah hati ini membawanya ke
Paman Andrew. Tapi tindakan ini ternyata
menjadi kegagalan yang paling parah. Beruang
menjatuhkan seluruh gumpalan lengket itu ke
lubang di atas sangkar dan sayangnya mengenai
Paman Andrew langsung di wajahnya (tidak
semua lebah di dalamnya sudah mati). Si
beruang, yang sama sekali tidak akan keberatan
bila wajahnya terbentur sarang lebah, tidak
bisa mengerti kenapa Paman Andrew langsung
tergopoh-gopoh mundur, terjatuh, kemudian ter-
duduk. Dan benar-benar nasib buruk ketika
dia menduduki tumpukan perdu berduri. "Yah,
lagi pula," seperti kata Babi Hutan, "sudah
cukup banyak madu masuk ke mulutnya dan
itu pasti ada gunanya." Mereka benar-benar
mulai menyukai piaraan aneh mereka dan ber-
harap Aslan akan mengizinkan mereka me-
meliharanya. Makhluk-makhluk yang lebih cer-
das kini cukup yakin bahwa setidaknya se-
bagian dari suara yang keluar dari mulut
piaraan mereka itu punya arti. Mereka me-
namakan dia Brendi karena dia sering sekali
menyuarakan itu.
Namun akhirnya mereka harus membiar-
kannya di dalam sangkar selama semalam.
Aslan sibuk sepanjang hari memberi pengarahan

251
kepada raja dan ratu baru, juga melakukan
hal-hal penting lain, dan tidak bisa mengurusi
"Brendi yang malang". Dengan segala kacang-
kacangan, buah pir, apel, dan pisang yang
dilemparkan kepadanya, Paman Andrew men-
dapatkan makan malam yang lumayan, tapi
tidak bisa dibilang dia melalui malam itu de-
ngan cukup nyaman.
"Bawa kemari makhluk itu," kata Aslan.
Salah satu gajah mengangkat Paman Andrew
dengan belalainya dan meletakkannya di depan
kaki sang singa. Paman Andrew terlalu ke-
takutan untuk bergerak.
"Aku mohon, Aslan," kata Polly, "bisakah
kau mengatakan sesuatu untuk—untuk mem-
buatnya lebih tenang? Kemudian bisakah kau
mengatakan sesuatu untuk mencegahnya datang
ke sini lagi?"
"Apakah menurutmu dia akan mau datang
ke sini lagi?" tanya Aslan.
"Yah, Aslan," kata Polly, "mungkin saja dia
mengirimkan orang lain. Dia begitu senang
melihat batang besi dari lampu tiang tumbuh
menjadi pohon lampu tiang, dan dia pikir—"
"Dia membuang tenaga memikirkan hal yang
percuma, Nak," kata Aslan. "Dunia ini berlim-
pah kehidupan selama beberapa hari ini karena

252
lagu yang kugunakan untuk membangunkannya
masih mengalun di udara dan bergemuruh di
tanah. Lagu itu akan berakhir tidak lama lagi.
Tapi aku tidak mengatakan itu pada pendosa
tua ini, aku juga tidak bisa menenangkannya,
dia telah membuat dirinya sendiri tak mampu
mendengar suaraku. Kalau aku berbicara pada-
nya, dia hanya akan mendengar auman dan
geraman. Oh, para putra Adam betapa pintar-
nya kalian mempertahankan diri kalian dari
segala yang mungkin berguna untuk kalian!
Tapi aku akan memberi satu-satunya hadiah
yang masih mampu diterimanya."
Aslan menundukkan kepala besarnya dengan
agak sedih, dan mengembuskan napasnya ke
wajah ketakutan si penyihir. "Tidurlah," kata-
nya. "Tidur dan terpisahlah selama beberapa
jam dari segala siksaan yang telah kautimpakan
pada dirimu sendiri." Paman Andrew langsung
berguling dengan mata terpejam dan mulai
bernapas teratur.
"Bawa dia ke sisi dan baringkan dia," kata
Aslan. "Sekarang, para dwarf! Tunjukkan ke-
ahlian pandai besi kalian. Perlihatkan kepadaku
dua mahkota untuk raja dan ratu kalian."
Sekelompok besar dwarf yang jumlahnya
bahkan tidak bisa kaubayangkan bergegas men-

253
dekati Pohon Emas. Mereka mencabuti seluruh
daunnya, bahkan beberapa cabangnya juga di-
patahkan, dengan kecepatan yang luar biasa.
Dan kini Digory dan Polly bisa melihat bahwa
bagian-bagian pohon itu tidak hanya tampak
seperti emas tapi memang emas lunak sung-
guhan. Pohon itu tentu saja tumbuh dari se-
tengah sovereign yang terjatuh dari saku Paman
Andrew ketika tubuhnya dibalikkan, seperti
juga pohon perak tumbuh dari setengah crown.
Seolah entah dari mana, tumpukan kayu kering
untuk bahan bakar, paron kecil, palu-palu,
tang penjepit besi, dan pengembus angin untuk
menjaga api tetap menyala muncul. Detik
berikutnya (betapa para dwarf itu menyukai
pekerjaan mereka!) api berkobar, pengembus
angin berembus, emas meleleh, dan palu

254
mengentak. Dua tikus tanah, yang diperintah
Aslan untuk menggali (pekerjaan yang paling
mereka sukai) sebelumnya di hari itu, menuang-
kan setumpuk batu berharga di kaki para
dwarf.
Di bawah jemari terampil para ahli besi
kecil itu, dua mahkota mulai terbentuk—bukan
benda-benda jelek dan berat seperti mahkota
Eropa, tapi ringan, halus, dan lingkaran ber-
bentuk indah yang benar-benar bisa kaukenakan
dan tampak lebih bagus saat dikenakan. Mah-
kota raja dihiasi batu-batu rubi, sedangkan
mahkota ratu dengan zamrud.
Ketika kedua mahkota itu telah didinginkan
di sungai, Aslan menyuruh Frank dan Helen
berlutut di depannya dan dia meletakkan mah-
kota di masing-masing kepala mereka. Kemu-
dian dia berkata, "Berdirilah, Raja dan Ratu
Narnia, ayah dan ibu banyak raja yang akan
ada di Narnia, Isles, dan Archenland. Bertindak-
lah adil, penuh ampun, dan berani. Doa-doa
ada bersama kalian."
Kemudian semua bersorak, menggongong,
meringkik, meniupkan belalai, atau mengepak-
ngepakkan sayap. Pasangan raja-ratu itu pun
berdiri tampak hikmat juga sedikit malu, tapi
kian tampak mulia dengan rasa malu mereka

255
itu. Dan sementara masih bersorak, Digory
mendengar suara dalam Aslan di sampingnya,
berkata:
"Lihat!"
Semua makhluk dalam kerumunan itu me-
noleh, kemudian semua menarik napas panjang
karena rasa takjub dan bahagia. Tak jauh dari
sana, berdiri menjulang hingga di atas kepala,
mereka melihat pohon yang pastinya tidak ada
di sana sebelumnya. Pohon itu pasti telah
tumbuh tanpa suara, namun semulus gerakan
bendera jika kau menariknya naik di tiang
bendera, sementara mereka semua disibukkan
acara penobatan. Cabang-cabangnya yang teren-
tang seolah menyebarkan cahaya dan bukannya
bayangan. Apel-apel perak mengintip keluar
seperti bintang di antara setiap daun. Tapi
wangi yang keluar dari pohon itulah, jauh
melebihi pemandangan yang ditampilkannya,
yang membuat semua makhluk menarik napas.
Selama beberapa saat tidak ada yang bisa
memikirkan hal lain.
"Putra Adam," kata Aslan, "kau telah ber-
tanam dengan baik. Dan kalian, para penghuni
Narnia, jadikanlah perhatian pertama kalian
untuk menjaga pohon ini, karena pohon ini
pelindung kalian. Penyihir yang telah kucerita-

256
257
kan kepada kalian telah pergi ke utara dunia,
dia akan terus tinggal di sana, semakin kuat
dengan sihir hitamnya. Tapi selama pohon itu
hidup, dia tidak akan pernah datang ke Narnia.
Dia tidak akan berani mendekat dalam jarak
seratus mil dari pohon itu, karena wanginya
yang tercium bagai kebahagiaan, kehidupan,
dan kesehatan bagi kalian, terasa seperti ke-
matian, ketakutan, dan kesedihan baginya."
Semua makhluk menatap lekat-lekat dalam
diam ke arah pohon itu ketika Aslan tiba-tiba
memutar kepalanya (menyebarkan berkas-berkas
cahaya keemasan dari surainya saat melakukan
itu) dan memaku mata besarnya pada Digory
dan Polly. "Ada apa, anak-anak?" tanyanya,
karena dia melihat mereka sedang berbisik-
bisik dan saling menyikut.
"Oh—Aslan, Sir," kata Digory, wajahnya
memerah, "Aku lupa memberitahumu. Sang
penyihir telah memakan salah satu apel itu,
apel yang sama dengan yang tumbuh dari
pohon itu." Dia tidak benar-benar mengatakan
semua yang ada dalam pikirannya, tapi Polly
langsung mengungkapkannya untuknya. (Digory
selalu lebih takut bersikap konyol daripada
Polly.)
"Jadi kami pikir, Aslan," kata Polly, "pasti

258
ada beberapa kesalahan dan dia tidak bisa
benar-benar terganggu dengan wangi apel-apel
itu."
"Kenapa kau berpikir begitu, Putri Hawa?"
tanya sang singa.
"Yah, dia sudah memakan sebuah."
"Nak," dia menjawab, "itulah sebabnya se-
gala hal lain kini menjadi sesuatu yang me-
nakutkan baginya. Itulah yang terjadi pada
orang-orang yang memetik dan memakan buah
pada saat yang salah dan dengan cara yang
salah. Buahnya berguna, tapi mereka membenci-
nya selamanya."
"Oh, begitu," kata Polly. "Dan kurasa karena
dia mengambilnya dengan cara yang salah buah
itu tidak akan berguna baginya. Maksudku
buah itu tidak akan membuatnya terus muda
dan semacamnya?"
"Sayang sekali," kata Aslan, menggeleng-
geleng. "Buahnya tetap akan berguna. Segala
hal selalu bekerja sesuai kodratnya. Dia telah
mendapatkan keinginan hatinya, dia memper-
oleh kekuatan tanpa kelemahan dan hari-hari
tak berakhir seperti dewi. Tapi perpanjangan
hari dengan hati yang jahat hanyalah perpan-
jangan penderitaan dan dia sudah mulai menge-
tahui itu. Setelah mendapatkan segala yang

259
mereka inginkan, mereka tidak selalu menyukai-
nya."
"Aku—aku hampir memakan buah itu juga,
Aslan," kata Digory. "Apakah aku akan—"
"Benar, Nak," kata Aslan. "Karena buah itu
selalu berfungsi—harus berfungsi—tapi buah itu
tidak akan berguna dengan baik bagi siapa pun
yang memetiknya karena keinginan sendiri. Kalau
ada penghuni Narnia yang tanpa diminta mencuri
apel dan menanamnya di sini untuk melindungi
Narnia, pohon yang tumbuh akan melindungi
Narnia. Tapi pohon itu akan melakukannya
dengan menjadikan Narnia kerajaan kuat dan
kejam seperti Charn, bukan tanah ramah yang
kuinginan. Dan sang penyihir membujukmu
untuk melakukan hal lain, anakku, benar kan?"
"Ya, Aslan. Dia membujukku membawa pu-
lang apel untuk ibuku."
"Mengertilah kalau begitu, apel itu memang
akan menyembuhkannya, tapi bukan demi ke-
bahagiaanmu ataupun kebahagiaannya. Akan
datang suatu hari ketika kalian berdua bakal
melihat ke belakang dan berkata lebih baik
mati karena penyakit itu."
Dan Digory tidak bisa mengatakan apa pun,
karena air mata telah membuatnya tersedak
dan dia telah melepaskan semua harapan me-

260
nyelamatkan nyawa ibunya. Namun di saat
yang sama dia tahu sang singa tahu apa yang
bakal terjadi, dan bahwa mungkin ada hal-hal
yang lebih buruk bahkan daripada kehilangan
seseorang yang kaucintai karena dijemput ke-
matian. Tapi kini Aslan berkata lagi, hampir
dengan bisikan:
"Itulah yang akan terjadi, Nak, dengan apel
curian. Bukan itu yang akan terjadi sekarang.
Yang akan kuberikan kepadamu sekarang akan
membawa kebahagiaan. Apel ini tidak akan
membawa kehidupan abadi di duniamu, tapi
akan menyembuhkan. Pergilah. Petikkan ibumu
sebuah apel dari pohon itu."
Selama beberapa saat Digory nyaris tidak
bisa mengerti. Seolah seluruh dunia telah jung-
kir balik dan tercampur baur. Kemudian, seperti
seseorang dalam mimpi, dia berjalan meng-
hampiri pohon itu. Raja dan Ratu Narnia
bersorak untuknya, para makhluk lain juga
berteriak menyemangati. Dia memetik apel dan
memasukkannya ke saku. Kemudian dia kem-
bali ke Aslan.
"Aku mohon," katanya, "bolehkah kami pu-
lang sekarang?" Dia lupa mengucapkan "terima
kasih", tapi dia merasakannya dan Aslan tahu
itu.

261
eBook oleh Nurul Huda Kariem MR.

MR. Collection's
BAB 15

Akhir Kisah Ini


dan Awal Kisah-kisah Lain

K ALIAN tidak membutuhkan cincin saat


aku bersama kalian," kata suara Aslan.
Kedua anak itu mengejap-ngejapkan mata dan
mendongak. Mereka sekali lagi berada di Hutan
di Antara Dunia-dunia, Paman Andrew ber-
baring di rerumputan, masih terlelap. Aslan
berdiri di samping mereka.
"Mari," kata Aslan, "sudah tiba saatnya
bagi kalian untuk pulang. Tapi ada dua hal
yang terlebih dahulu harus diurus, peringatan
dan perintah. Lihat kemari, anak-anak."
Mereka mengikuti petunjuk Aslan dan melihat
lubang kecil di rerumputan dengan dasar yang
juga ditumbuhi rumput, hangat dan kering.
"Terakhir kali kalian ke sini," kata Aslan,
"lubang itu mata air, dan ketika kalian me-
lompat ke dalamnya kalian tiba di dunia tem-

262
pat matahari yang sekarat bersinar di atas
reruntuhan Charn. Tidak ada mata air seka-
rang. Dunia itu telah berakhir, seolah tidak
pernah ada. Biarlah ras Adam dan Hawa men-
dapat peringatan."
"Ya, Aslan," kata kedua anak itu bersama-
sama. Tapi Polly menambahkan, "Tapi kami
tidaklah separah dunia itu ya kan, Aslan?
"Belum, Putri Hawa," jawabnya. "Belum.
Tapi kalian akan menjadi seperti itu. Tidaklah
pasti apakah orang-orang jahat pada rasmu
tidak akan menemukan rahasia sedahsyat Kata
Kemalangan dan menggunakannya untuk meng-
hancurkan semua makhluk hidup. Dan tak
lama lagi, amat sebentar lagi, sebelum kalian
menjadi pria tua dan wanita tua, negara-negara
besar di dunia kalian akan dikuasai para tiran
yang tidak lebih peduli pada kebahagiaan, ke-
adilan, dan belas kasihan daripada Maharani
Jadis. Biarkan duniamu waspada. Itulah
peringatanku. Sekarang untuk perintahku. Se-
gera mungkin, ambillah cincin-cincin ajaib milik
pamanmu ini dan kuburkan supaya tidak ada
yang bisa menggunakannya lagi."
Digory dan Polly mendongak dan menatap
wajah sang singa saat dia mengucapkan kata-
kata ini. Dan mendadak (mereka tidak pernah

263
tahu pasti bagaimana semua itu bisa terjadi)
wajah itu menjelma menjadi lautan emas cair
dan mereka mengapung di dalamnya. Rasa
manis dan kekuatan yang begitu besar berputar-
putar di sekeliling mereka, di atas mereka,
dan memasuki mereka sehingga mereka merasa
tidak pernah benar-benar bahagia, bijaksana,
atau baik, atau bahkan hidup dan terjaga
sebelumnya. Dan kenangan momen itu selalu
tersimpan di dalam diri mereka, selamanya
sepanjang hidup keduanya. Kalau mereka me-
rasa sedih, takut, atau marah, kenangan akan
segala kebaikan keemasan itu dan perasaan
bahwa semua itu masih ada di sana, cukup
dekat, hanya di suatu belokan, atau di bela-
kang suatu pintu, akan kembali dan membuat
mereka merasa yakin, jauh di dalam hati,
bahwa segalanya baik-baik saja. Menit berikut-
nya mereka bertiga (Paman Andrew kini sudah
terbangun) datang terlontar ke dalam ke-
bisingan, panasnya, dan bau-bau pekat Lon-
don.
Mereka berada di trotoar di luar pintu depan
rumah Ketterley, dan kecuali sang penyihir, si
kuda, dan kusir kereta, segalanya masih persis
seperti saat mereka meninggalkannya. Ada 1am-
pu tiang yang salah satu tangannya menghilang,

264
ada puing kereta kuda sewaan, begitu juga
kerumunan orang. Semua orang masih ber-
bicara dan ada beberapa orang berlutut di
samping para petugas polisi yang terluka, me-
ngatakan hal-hal seperti, "Dia mulai siuman"
atau "Bagaimana perasaanmu sekarang, te-
man?" atau "Ambulans akan segera sampai di
sini."
Wow! pikir Digory. Sepertinya seluruh pe-
tualangan itu sama sekali tidak memakan
waktu.
Banyak orang di antara kerumunan itu me-
nengok kiri-kanan untuk mencari Jadis dan
kudanya. Tidak ada yang memerhatikan ke-
hadiran kedua anak itu karena tidak ada yang
melihat mereka pergi ataupun menyadari ke-
pulangan mereka. Sedangkan Paman Andrew,
dengan keadaan pakaiannya sekarang dan madu
yang berlepotan di wajahnya, tidak akan bisa
dikenali siapa pun. Untungnya pintu depan
terbuka dan sang pelayan wanita sedang berdiri
di depan pintu mengawasi yang terjadi (hari
ini benar-benar hari yang seru bagi gadis itu!)
jadi Digory dan Polly tidak mendapatkan ke-
sulitan mendorong paksa Paman Andrew se-
belum ada yang bertanya-tanya.
Paman Andrew berlari menaiki tangga men-

265
dahului Digory dan Polly dan awalnya kedua
anak itu khawatir dia akan langsung menuju
lotengnya dan berniat menyembunyikan sisa
cincin yang dia miliki. Tapi mereka tidak perlu
cemas. Yang sedang dia pikirkan adalah botol
di dalam lemari pakaiannya. Kemudian dia
langsung menghilang di dalam kamar tidurnya
dan mengunci pintu. Ketika keluar lagi (tidak
terlalu lama setelah itu), dia mengenakan
mantel mandi dan langsung menuju kamar
mandi.
"Bisakah kau mengambil cincin-cincin lain-
nya, Poll?" tanya Digory. "Aku mau menengok
ibuku."
"Oke. Sampai ketemu nanti," kata Polly,
kemudian dia berlari dengan langkah-langkah
berisik saat menaiki lantai loteng.
Digory diam sesaat untuk mengatur napas,
lalu dia berjalan pelan ke kamar ibunya. Dan
di sanalah ibunya berbaring, seperti yang sering
dia lihat sebelumnya, bersandar pada bantal.
Wajahnya kurus dan pucat yang bisa membuat-
mu menangis bila melihatnya. Digory menge-
luarkan apel kehidupan dari sakunya.
Dan seperti sang penyihir Jadis yang tampak
berbeda ketika kau melihatnya di dunia kita
dengan ketika kau melihatnya di dunianya

266
sendiri, buah dari taman gunung itu pun tam-
pak berbeda. Tentu saja ada berbagai macam
warna di kamar tidur itu, kain penutup tempat
tidur di ranjang, kertas dinding, sinar matahari
dari jendela, dan mantel tidur biru pucat yang
cantik milik Ibu. Tapi begitu Digory mengeluar-
kan apel yang dibawanya dari saku, semua
benda itu seolah nyaris tidak memiliki warna.
Semuanya, bahkan sinar matahari, tampak pu-
dar dan suram. (Kau harus ingat saat itu
musim panas sehingga walaupun hari sudah
malam, matahari belumlah terbenam.) Kilau
terang apel itu menebarkan cahaya-cahaya aneh
di langit-langit. Tidak ada hal lain yang lebih
menarik untuk dilihat, kau tidak akan mampu
melihat yang lain. Dan harum apel kebeliaan
membuatmu berpikir ada jendela di ruangan
itu yang membuka ke Surga.
"Oh, Sayang, cantik sekali," kata ibu Digory.
"Ibu mau memakannya, kan? Aku mohon,"
kata Digory.
"Aku tidak tahu apa kata dokter nanti,"
dia menjawab. "Tapi sungguh—aku hampir
merasa mampu memakannya."
Digory mengupas, memotong-motong, dan
memberikan apel itu kepada ibunya seiris demi
seiris. Dan tak lama setelah selesai memakan-

267
nya, ibu Digory tersenyum dan kepalanya kem-
bali terbenam ke bantal. Dia pun tertidur:
tidur sungguhan, yang alami dan lembut, tanpa
obat-obatan memuakkan itu, sesuatu yang
Digory sudah tahu, hal yang paling diinginkan-
nya di dunia ini. Digory pun kini yakin wajah
ibunya tampak agak berbeda. Dia membungkuk
dan mencium ibunya dengan sangat lembut,
kemudian pelan-pelan keluar dari kamar itu
dengan hati berdebar sambil membawa bagian
tengah apel tadi. Sepanjang hari itu, setiap
kali dia melihat benda-benda di sekitarnya dan
melihat betapa biasa dan tidak ajaibnya benda-
benda itu, dia nyaris tidak berani berharap.

268
Tapi ketika dia mengingat wajah Aslan, ha-
rapan pun muncul.
Malam itu dia mengubur bagian tengah apel
kehidupan di halaman belakang.
Pagi berikutnya ketika sang dokter melaku-
kan kunjungan rutin, Digory mencondongkan
tubuh di atas pagar tangga dan mendengarkan.
Dia mendengar sang dokter keluar bersama
Bibi Letty dan berkata:
"Miss Ketterley, ini kasus paling luar biasa
yang pernah kuketahui sepanjang karier ke-
dokteranku. Ini—ini seperti keajaiban. Aku ti-
dak akan memberitahu anak lelakinya apa
pun saat ini, kita tidak mau menimbulkan
harapan-harapan kosong. Tapi menurut pen-
dapatku—" Kemudian suaranya menjadi terlalu
pelan untuk didengar.
Siang itu dia turun ke taman dan menyiulkan
sinyal rahasia yang sudah disepakatinya ber-
sama Polly (gadis kecil itu belum bisa kembali
ke sana sejak kemarin).
"Bagaimana?" tanya Polly, melihat dari atas
dinding. "Maksudku, tentang ibumu?"
"Kurasa—kurasa semua akan baik-baik saja,"
kata Digory. "Tapi kalau kau tidak keberatan
aku belum terlalu ingin membicarakannya. Ba-
gaimana dengan cincin-cincinnya?"

269
"Aku sudah mendapatkan semuanya," kata
Polly. "Lihat, tenang saja, aku memakai sarung
tangan. Ayo kita kubur."
"Ya, ayo. Aku menandai tempat aku mengu-
bur sisa apel kemarin."
Kemudian Polly memanjat dinding dan me-
reka pergi ke tempat itu bersama-sama. Tapi
ternyata Digory tidak perlu menandai tempat
itu. Sesuatu sudah muncul dari dalamnya. Se-
suatu itu tidaklah tumbuh seperti pohon-pohon
baru di Narnia, di mana kau bisa melihatnya
benar-benar bertambah besar, tapi ada pucuk
yang tampak muncul di permukaan. Mereka
mengambil sekop dan mengubur semua cincin
ajaib, termasuk cincin milik mereka, mengeli-
lingi pucuk tersebut.
Sekitar seminggu setelah kejadian ini sudah
bisa dipastikan keadaan ibu Digory membaik.
Dua minggu kemudian dia sudah bisa duduk
di luar rumah di taman. Dan sebulan kemudian
seluruh rumah itu telah menjadi tempat yang
sama sekali berbeda. Bibi Letty melakukan
segalanya yang diinginkan ibu Digory. Jendela-
jendela dibuka, gorden-gorden lusuh disingkap-
kan untuk membuat ruangan lebih terang. Kini
juga ada bunga-bunga baru di mana pun, dan
lebih banyak makanan yang bisa disantap,

270
piano tua sudah diperbaiki, ibu Digory mulai
bernyanyi lagi juga melakukan permainan-
permainan bersama Digory dan Polly sehingga
Bibi Letty akan berkata, "Sungguh, Mabel,
kaulah bayi terbesar di antara kalian bertiga."
Ketika hal-hal memburuk, biasanya kau akan
mendapati hal-hal itu bertambah buruk selama
beberapa lama. Tapi sekalinya hal-hal membaik,
sering kali keadaan kian membaik dan mem-
baik. Setelah sekitar enam minggu kehidupan
indah ini berjalan, datanglah surat panjang
dari ayah Digory di India, yang mengabarkan
berita gembira. Paman buyut Ayah, Paman
Kirke, telah meninggal dan tampaknya ini ber-
arti ayah Digory menjadi kaya raya. Dia akan
pensiun dan pulang dari India untuk tinggal
terus. Lalu rumah besar di pedesaan, yang
telah didengar Digory sepanjang hidupnya na-
mun belum pernah dia lihat, akan menjadi
rumah mereka. Rumah besar dengan deretan
baju zirah, istal, rumah anjing, sungai, taman,
rumah kaca, kebun anggur, hutan, dan pegu-
nungan di belakangnya. Jadi Digory merasa
seyakin dirimu bahwa mereka semua akan
hidup bahagia selama-lamanya. Tapi mungkin
kau ingin tahu satu atau dua hal lagi.
Polly dan Digory seterusnya menjadi teman

271
baik dan hampir setiap liburan Polly akan
tinggal bersama keluarga Digory di rumah pe-
desaan mereka yang indah. Di sanalah dua
anak itu belajar berkuda, berenang, memerah
susu, memasak, dan mendaki gunung.
Di Narnia, para hewan hidup dalam ke-
damaian dan kebahagiaan. Sang penyihir atau-
pun musuh lain tidak datang mengacaukan
daratan tenteram itu selama ratusan tahun.
Raja Frank dan Ratu Helen juga anak-anak
mereka hidup bahagia di Narnia. Anak kedua
mereka menjadi Raja Archenland. Anak-anak
laki-laki menikahi nymph dan para anak perem-
puan menikahi dewa hutan dan dewa sungai.
Lampu tiang yang ditanam sang penyihir (se-
cara tak sengaja) bersinar siang dan malam di
hutan Narnia sehingga tempat lampu itu tum-
buh dinamakan Area Lentera. Dan ketika, ber-
tahun-tahun kemudian, anak lain dari dunia
kita datang ke Narnia pada suatu malam ber-
salju, dia mendapati cahaya lampu itu masih
menyala. Dan petualangan itu, dengan suatu
cara, berhubungan dengan petualangan-pe-
tualangan yang baru saja kuceritakan kepada-
mu.
Jadi begini. Pohon yang tumbuh dari bagian
tengah apel yang ditanam Digory di halaman

272
belakang, terus tumbuh dan berkembang men-
jadi pohon yang kokoh. Karena tumbuh di
tanah dunia kita, jauh dari suara nyanyian
Aslan dan udara bersih Narnia, pohon itu
tidak berbuah apel yang bisa menyembuhkan
wanita sekarat seperti ibu Digory. Tapi pohon
itu tetap menghasilkan apel-apel yang lebih
cantik daripada pohon apel mana pun di
Inggris, buah-buahnya pun sangat baik untuk
tubuhmu, walaupun tidak sepenuhnya ajaib.
Tapi di dalam dirinya, dalam sarinya, pohon
itu (bisa dibilang) tidak pernah melupakan
pohon lain di Narnia dari mana dirinya berasal.
Terkadang pohon itu akan bergerak secara
misterius walau tidak ada angin bertiup: kurasa
ketika ini terjadi ada angin kencang di Narnia
dan pohon di Inggris itu bergetar karena pada
saat itu pohon di Narnia sedang terguncang-
guncang dan berayun-ayun dalam tiupan angin
kencang barat daya. Apa pun yang sebenarnya
terjadi, akan dibuktikan kemudian bahwa masih
ada sihir di dalam batangnya. Karena ketika
Digory sudah berusia paro baya (dan dia telah
menjadi pria terpelajar yang terkenal, seorang
profesor dan petualang besar pada masa itu)
dan rumah tua Ketterley telah menjadi milik-
nya, ada badai besar di seluruh selatan Inggris

273
yang menumbangkan pohon tersebut. Dia tidak
tega sekadar memotong-motongnya dan men-
jadikannya kayu bakar, jadi dia menyuruh
orang membuat lemari pakaian dari kayu po-
hon itu, kemudian menaruhnya di rumah pe-
desaannya yang besar. Dan walaupun dia sen-
diri tidak menemukan kemampuan sihir pada
lemari pakaian tersebut, orang lain lebih berun-
tung. Itulah awalnya segala kedatangan dan
kepergian antara Narnia dan dunia kita, kisah
yang bisa karubaca di buku-buku lain dalam
seri ini.
Ketika Digory dan keluarganya datang untuk
tinggal di rumah besar di pedesaan, mereka
membawa Paman Andrew untuk tinggal ber-
sama mereka, karena ayah Digory berkata,
"Kita harus berusaha menjauhkan orang tua
itu dari masalah, lagi pula tidak adil Letty
yang malang harus selalu kerepotan menjaga-
nya." Paman Andrew tidak pernah mencoba
sihir apa pun lagi sepanjang hidupnya. Dia
telah mendapatkan pelajaran, dan sejalan de-
ngan bertambahnya usia, dia menjadi pria tua
yang lebih ramah dan tidak egois daripada
sebelumnya. Tapi dia selalu gemar menjamu
tamu di ruang biliar dan memberitahu mereka
cerita-cerita tentang wanita misterius, bang-

274
sawan dari bangsa asing, dengan siapa dia
berkeliling London. "Emosi wanita itu terlalu
meledak-ledak," dia akan berkata. "Tapi dia
wanita yang cantik sekali, Sir, cantik luar
biasa."

"Dukung Penulis dan Penerbit


dengan membeli buku versi cetaknya"

Nurul Huda Kariem MR.

a
MR. Collection's

275
Ikuti kelanjutan petualangan di
Narnia!

The Chronicles of Narnia #2


SANG SINGA, SANG PENYIHIR,
DAN LEMARI

"Itu lemari ajaib. Ada hutan di dalamnya, dan


di sana sedang hujan salju! Ayo, mari lihat,"
kata Lucy memohon.

Empat anak, Peter, Edmund, Susan, dan Lucy,


dievakuasi ke desa saat perang. Tapi, tak lama
kemudian mereka menemukan diri mereka
menghadapi bahaya yang sesungguhnya ketika
Lucy masuk ke dunia ajaib Narnia. Musim
salju dan Penyihir Putih adalah ancaman ter-
besar dan hanya keempat anak serta singa
agung, Aslan, yang bisa mematahkan kutukan
jahat itu.
CLIVE STAPLES LEWIS lahir di Belfast tahun 1898.
Dia pengajar Sastra Inggris di Magdalen
College, Oxford, kemudian menjadi Profesor
Sastra Abad Pertengahan dan Masa Renaisans
di Cambrige University. Dia tinggal di Cambrige
sampai wafat di tahun 1963. Dia menulis
berbagai buku kritik sastra, yang paling ter-
kenal adalah The Screwtape Letters, juga empat
novel dewasa. Ketujuh buku Chronicles of
Narnia adalah satu-satunya karya C.S. Lewis
untuk anak-anak.

PAULINE BAYNES membuat ilustrasi untuk seluruh


buku dalam seri The Chronicles of Narnia.
Diawali dengan Sang Singa, sang Penyihir, dan
Lemari di tahun 1949, kariernya sebagai ilustra-
tor pun kian berkembang.

You might also like