You are on page 1of 39

Dra.

Sri Endang Susetiawati 2010

AKTUALISASI SEMANGAT PERTEMPURAN LAUT ARU


DALAM MENEGAKKAN KEDAULATAN W ILAYAH NKRI
(PEMBERDAYAAN POTENSI PULAU-PULAU TERLUAR DAN W ILAYAH PERBATASAN RI)

Dra. Sri Endang Susetiawati Untuk :


Lomba Karya Tulis TNI AL 2010
Memperingati
Hari Dharma Samudera
DISPENAL

08/12/2010
KATA PENGANTAR

Assalamu „alaikum Wr. Wb.

Karya tulis yang berjudul “Aktualisasi Semangat Pertempuran Laut Aru Dalam
Menegakkan Kedaulatan Wilayah NKRI” ini dimaksudkan untuk ikut berpartisipasi
dalam Lomba Karya Tulis dalam rangka memperingati Hari Dharma Samudera
Tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Dinas Penerangan Angkatan Laut, Mabes
TNI AL, Cilangkap, Jakarta Timur.

Untuk memahami semangat Pertempuran Laut Aru (PLA) secara tepat dan
benar, maka diperlukan pemahaman sejarah dalam konteks pembebasan Irian Jaya.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimanakah aktuaisasi semangat PLA dalam
konteks kekinian ? Tulisan ini mencoba untuk menguraikan mengenai sejarah PLA
dalam konteks pembebasan Irian Jaya. Kemudian, diuraikan pula, bahwa aktualisasi
kekinian dari semangat PLA adalah pemberdayaan potensi pulau-pulau terluar dan
wilayah perbatasan RI. Keduanya memiliki semangat yang sama, yaitu
mempertahankan keutuhan wilayah dan menegakkan kedaulatan NKRI, sesuai
dengan amanat UUD 1945.

Demikian, karya tulis ini disusun, dengan harapan semoga keberadaannya dapat
bermanfaat bagi bangsa dan negara Indonesia. Akhirnya, saya ucapkan terima kasih
atas kesempatan yang saya dapatkan untuk ikut dalam Lomba ini, dan mohon maaf
atas segala kekurangan. Selamat Hari Dharma Samudera Tahun 2011, semoga jasa
dan semangat kepahlawanan Yos Soedarso dan prajurit TNI AL lainnya dapat selalu
dikenang dan diteladani oleh kita semua. Amiin.

Wassalam.

Kuningan, 08 Desember 2010

Dra. Sri Endang Susetiawati

2
DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHALUAN 1

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Maksud dan Tujuan

BAB II. PERTEMPURAN LAUT ARU DALAM KONTEKS SEJARAH 3


PEMBEBASAN IRIAN JAYA
2.1. Belanda, Ternyata Ingkari KMB 5

2.2. Trikora : Jalan Diplomasi Buntu, Operasi Militer Ditempuh 10

2.3. Misi Infiltrasi Dimulai, Sang Pahlawan Gugur 13

2.4. Akhirnya, Belanda Menyerah Juga 18

2.5. Irian Jaya, Kembali ke NKRI 20

BAB III. PEMBERDAYAAN POTENSI PULAU-PULAU TERLUAR DAN 23


WILAYAH PERBATASAN RI
3.1. Perlu Perhatian Kusus dan Serius 24

3.2. Beragam Masalah Akibat Terabaikan 25

2.3. Kejahatan Tingkat Tinggi 26

2.4. Perpres No. 78/2005 27

2.5. Peran TNI 29

BAB IV. PENUTUP 32

4.1. Kesimpulan 32

4.2. Saran 34

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.2. Latar Belakang

Pertempuran Laut Aru (PLA), setiap tahun selalu diperingati sebagai hari Dharma
Samudera oleh keluarga besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL),
termasuk para veteran, purnawirawan dan warakawuri. Peristiwa pertempuran
antara tiga KRI jenis MTB dan tiga kapal perang jenis freegat, korvet dan destroyer
milik Belanda, yang terjadi pada tanggal 15 Januari 1962 itu dinilai memiliki makna
historis yang sangat penting bagi bangsa, khususnya bagi keluarga besar TNI AL.
Sehingga, peringatan Hari Dharma Samudera dianggap bukan sekedar kegiatan
yang bersifat rutinitas dan seremonial belaka, tapi ada makna sejarah dan semangat
juang yang dapat diambil bagi generasi berikutnya.

Untuk memahami makna sejarah atau suatu peristiwa di masa lampau, menurut
Hariyono (1995), kita tidak dapat keluar dari konteks sejarah yang mengiringi atau
melatarbelakanginya. Jika tidak demikian, maka akan terjadi anakronisme sejarah,
yakni meletakkan sejarah dan menilai suatu peristiwa, baik tokoh, rangkaian
peristiwa maupun latarnya secara kurang tepat, atau bahkan salah. Akibatnya, kita
akan kehilangan perspektif waktu, jiwa dan semangat jaman yang dipelajari dari
suatu peristiwa yang terjadi di masa lampau tersebut. 1

Oleh karena itu, untuk memahami makna Pertempuran Laut Aru (PLA) secara
benar dan tepat, maka kita perlu memahami terlebih dahulu konteks sejarah atau
peristiwa masa lampau yang melatarbelakanginya. Makna dan semangat dari PLA
akan kita dapatkan secara benar dan tepat pula. Selanjutnya, agar kita tidak terjebak
pada nostalgia masa lalu semata atau terkungkung pada semangat kepahlawanan
yang beku dan statis, maka kita perlu memahami relevansinya atas kehidupan
bangsa dan negara dalam konteks kekinian. Kita perlu memahami, bagaimana

1
Hariyono, 1995, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, hal. 17.
4
aktualisasi semangat PLA dalam konteks perkembangan bangsa dan negara saat
sekarang dan di masa depan.

Berdasarkan atas latar belakang pemikiran tersebut diatas, maka beberapa


pertanyaan yang layak diajukan, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah sesungguhnya peristiwa PLA dalam konteks sejarah


pembebasan Irian Jaya ?

2. Apa makna dan semangat PLA yang dapat kita petik dan diteladani ?

3. Apa relevansi makna dan semangat PLA bagi bangsa Indonesia saat ini, dan
masa yang akan datang ?

4. Bagaimana aktualisasi semangat PLA dalam menegakkan kedaulatan wilayah


NKRI untuk saat ini dan di masa yang akan datang ?

Karya tulis ini berusaha untuk memberikan jawaban dan penjelasan atas
sejumlah pertanyaan di atas. Bab II menguraikan PLA dalam konteks sejarah
pembebasan Irian Jaya, beserta makna dan semangat yang dapat dipetik dan
diteladani. Sedangkan Bab III menguraikan tentang relevansi dan aktualisasi
semangat PLA dalam menegakkan kedaulatan wilayah NKRI dalam bentuk
pemberdayaan potensi pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud dari pembuatan karya tulis ini adalah ikut serta dalam Lomba Karya Tulis
yang dielenggarakan oleh Dispenal dalam rangka memperingati Hari Dharma
Samudera tahun 2011. Adapun tujuannya adalah ikut memberikan sumbangan
pemikiran, pendapat atau saran terkait memaknai peristiwa PLA, dan relevansinya
bagi kehidupan bangsa Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang.

5
BAB II

PERTEMPURAN LAUT ARU


DALAM KONTEKS SEJARAH PEMBEBASAN IRIAN JAYA

Pertempuran Laut Aru adalah peristiwa di masa lampau dalam konteks sejarah
pembebasan Irian Jaya2 dari kekuasaan Kerajaan Belanda. Pembebasan Irian Jaya
merupakan salah satu program pemerintahan Kabinet Kerja yang terbentuk setelah
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Program ini mengacu pada dua hal penting,
yakni hasil persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan realisasinya yang tidak
sesuai dengan isi persetujuan, dimana Kerajaan Belanda secara nyata telah
mengingkarinya. Pembebasan Irian Jaya pada hakikatnya merupakan tuntutan
nasional secara mutlak, dimana seluruh komponen bangsa menyetujui dan
mendukungnya secara penuh.

KMB yang berlangsung di Denhaag pada tanggal 23 Agustus – 2 November


1949 berhasil mencapai persetujuan dari kedua belah pihak, yakni antara pihak
Indonesia dan pihak Belanda, mengenai “penyerahan kedaulatan 3” atas Indonesia.
Pasal 1 Persetujuan KMB berbunyi “Kerajaan Belanda menyerahkan kedaulatan
sepenuhnya atas Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan tidak
bersyarat dan tidak dapat dicabut, dan karena itu mengakui Republik Indonesia
Serikat (RIS) sebagai negara yang berdaulat”.4

Namun demikian, KMB tidak berhasil menyelesaikan salah satu masalah penting
yang masih diperdebatkan, yaitu penyerahan kekuasaan oleh Kerajaan Belanda
atas Irian Jaya kepada Indonesia. Untuk mengatasi hal tersebut dicapailah suatu

2
Irian Jaya, dahulu Irian Barat, kini Provinsi Papua dan Irian Jaya Barat.
3
Naskah resmi KMB menyebut istilah penyerahan kedaulatan. Namun, Indonesia memakai istilah
pengakuan kedaulatan, karena sejak tanggal 17 Agustus 1945, RI sebagai organisasi politik bangsa
Indonesia telah memiliki kedaulatan atas seluruh Indonesia. RIS adalah penerus dari RI sebagai
pemegang kedaulatan atas seluruh Indonesia. Karena itu, Belanda pada hakikatnya mengakui kedaulatan
yang sudah ada pada pihak Indonesia saat itu. Lihat Sejarah Nasional Indonesia (SNI) Jilid VI, 1984,
Jakarta : Balai Pustaka, hal. 171.
4
Notosutardjo, Dokumen Konferensi Meja Bundar, hal. 69.
6
kompromi di antara kedua belah pihak, yang tercantum pada pasal 2 ayat f Piagam
Penyerahan Kedaulatan, yang berbunyi :

“Mengingat kebulatan hati pihak-pihak yang bersangkutan hendak


mempertahankan azas supaya semua perselisihan yang mungkin ternyata
kelak atau timbul, diselesaikan dengan jalan patut dan rukun, status-quo Irian
(Nieuw-Guinea) tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun
sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat,
masalah kedaulatan Irian akan diselesaikan dengan jalan-jalan perundingan
antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Nederland.”5

Pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan upacara penandatanganan naskah


“penyerahan” kedaulatan di dua tempat. Di Amsterdam, Ratu Juliana, Perdana
Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen dan Ketua
Delegasi RIS Drs. Moh. Hatta, yang saat itu sebagai Perdana Menteri RIS,
bersama-sama membubuhkan tandatangan pada naskah “penyerahan” kedaulatan
kepada RIS. Sedangkan di Jakarta, dalam suatu upacara juga, Sri Sultan
Hamengkubuwono IX mewakili pemerintah RIS dan Wakil Tinggi Mahkota A.H.J.
Lovink mewakili pemerintah Kerajaan Belanda, membubuhkan tandatangan pada
naskah “penyerahan” kedaulatan yang sama. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa secara formal sejak saat itu Belanda telah mengakui kemerdekaan Indonesia
dan mengakui kedaulatan penuh suatu negara Indonesia di seluruh bekas wilayah
Hinda Belanda, kecuali Irian Jaya yang pembicaraannya akan dilakukan setahun
kemudian.

Pengertian “penyerahan” kedaulatan dari pihak Belanda kepada RIS, tidak


mengurangi anggapan bahwa Republik Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus
1945 sudah memiliki kedaulatan (de jure) terhadap seluruh bekas wilayah Hindia
Belanda. Dalam perjalanan berikutnya, kedaulatan itu diserahkan oleh RI kepada
RIS sesaat menjelang pelaksanaan KMB, yang kemudian kedaulatan itu
dikembalikan lagi kepada RI setelah pembubaran RIS secara resmi pada tanggal 17
Agustus 1950. Dengan demikian, pada hakikatnya apa yang dilakukan oleh pihak

5
Ibid
7
Belanda adalah mengakui kedaulatan bangsa Indonesia atas wilayah nasionalnya
sendiri, yang dalam hal ini diwakili oleh RIS. 6

2.1. Belanda, Ternyata Ingkari KMB

Setelah satu tahun lebih berlalu, sejak penandatanganan pengakuan kedaulatan


Indonesia pada tanggal 27 Desember 1949, faktanya Kerajaan Belanda telah
mengingkari isi persetujuan KMB yang menyangkut masalah Irian Jaya. Usaha-
usaha untuk mengadakan perundingan secara bilateral telah dilakukan oleh pihak
Indonesia agar Belanda mau membicarakan masalah “penyerahan” Irian Jaya
sesuai isi persetujuan KMB. Namun, semua usaha tersebut ternyata telah menemui
kegagalan karena pihak Belanda memang tidak bersedia untuk berunding dan
membahas masalah sengketa yang belum diselesaikan.

Maka, sejak tahun 1954, pada setiap tahun secara berturut-turut, Pemerintah
Indonesia membawa masalah Irian Jaya di dalam acara Sidang Majelis Umum
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Namun, upaya Indonesia inipun selalu
menemui kegagalan, karena tidak pernah memperoleh tanggapan yang positif dari
sebagian besar anggota PBB. Bahkan, pada tahun 1957, saat Menlu RI berpidato
dalam sidang Majelis Umum PBB yang menegaskan sikap Indonesia akan
menempuh “jalan lain” (short war) untuk menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan
Belanda, PBB pun tidak berhasil untuk menyetujui sebuah resolusi. Karena, usulan
resolusi yang disponsori oleh 21 negara, termasuk Indonesia, tidak dapat
memenangkan 2/3 jumlah suara yang dipersyaratkan.

Upaya diplomasi Indonesia di forum PBB, ternyata belum mampu mengubah


pendirian negara-negara pendukung Belanda. Justru, negara-negara Barat terkesan
makin teguh pendiriannya dalam mendukung sikap Belanda, seiring dengan adanya
Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Sehingga, secara langsung telah
membuat pihak Kerajaan Belanda makin tidak memiliki niat dan kesediaan untuk

6
Untuk memperoleh pemahaman lebih lanjut mengenai pengakuan kedaulatan atas suatu negara yang baru
berdiri, lihat S. Tasrif, S.H., 1990, Hukum Internasional tentang Pengakuan Kedaulatan dalam Teori dan
Praktek, Jakarta : Abardin.
8
menyerahkan Irian Jaya kepada Indonesia, bahkan untuk sekedar
membicarakannya pun Belanda sudah tidak mau lagi.

Bagi Indonesia, pembebasan Irian Jaya merupakan suatu tuntutan nasional yang
bersifat mutlak dan didukung oleh semua partai politik dan semua golongan, tanpa
kecuali. Karena, hal ini didasarkan atas Pembukaan UUD 1945, yaitu “Untuk
membentuk suatu pemerintahan Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”.
Sedangkan, Irian Jaya adalah bagian mutlak dari tumpah darah Indonesia. Itulah
sebabnya, meski pergantian Kabinet sering terjadi, namun tidak ada satu pun
Kabinet yang pernah beranjak dari tuntutan nasional tersebut.

Mengingat jalan damai atau pendekatan diplomasi yang ditempuh selama


delapan tahun tidak membawa hasil, maka sejak tahun 1957 Pemerintah Indonesia
benar-benar mulai menempuh “jalan lain”. Aksi-aksi untuk pembebasan Irian Jaya
dilancarkan di seluruh tanah air, antara lain dengan cara menggelar demonstrasi
besar-besaran oleh berbagai lapisan masyarakat, dan pengambil-alihan aset milik
perusahaan Belanda di Indonesia oleh kaum buruh dan karyawan. Untuk mencegah
terjadinya anarkisme dan memenuhi tuntutan aspirasi dari rakyat, maka pengambil-
alihan tersebut akhirnya dilakukan dan dibawah kendali oleh Kepala Staf Angkatan
Darat (KASAD) selaku Penguasa Perang Pusat, untuk kemudian diserahkan
langsung kepada pemerintah. 7

Akibat dari aksi-aksi tersebut, berdampak pada hubungan antara Indonesia dan
Belanda yang menjadi kian tegang dan memburuk. Puncaknya adalah pada saat
pemerintah Indonesia memutuskan secara resmi hubungan diplomatik dengan
pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1960. Indonesia menganggap
Belanda sudah tidak lagi memiliki itikad baik untuk mematuhi isi persetujuan KMB
yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak. Sepertinya, kesabaran Indonesia
melalui jalan diplomasi atau pendekatan yang baik-baik antar kedua bangsa dan
negara yang berdaulat dianggap sudah tidak lagi efektif.

7
Antara, 14 Desember 1957
9
Batas kesabaran Indonesia tercermin pada saat bulan September 1960,
Presiden Soekarno berpidato di forum sidang Majelis Umum PBB. Dalam pidatonya
yang berjudul “Membangun Dunia Kembali”, Presiden Soekarno menyebut masalah
Irian Jaya dirangkaikan dengan masalah imperialisme dunia yang belum tuntas.
Selanjutnya, Bung Karno menyatakan kegeramannya :

“Kami telah berusaha untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Kami telah
berusaha dengan sungguh-sungguh dan dengan penuh kesabaran dan
penuh toleransi dan penuh harapan. Kami telah berusaha untuk mengadakan
perundingan-perundingan bilateral ...... Harapan lenyap, kesabaran hilang,
bahkan toleransi pun mencapai batasnya. Semuanya itu kini telah habis dan
Belanda tidak memberikan alternatif lainnya, kecuali memperkeras sikap
kami.”8

Untuk mendukung sikap tersebut, Indonesia melakukan berbagai persiapan


dalam menambah kekuatan militernya guna merebut Irian Barat secara paksa dari
tangan Belanda. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk mencari bantuan
peralatan senjata dari luar negeri. Pada awalnya, Indonesia berharap dapat membeli
senjata dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Namun, usaha ini tidak
berhasil, karena negara adidaya ini tidak mau menjual senjatanya untuk
kepentingan yang memerangi suatu negara yang dianggapnya sebagai salah satu
sekutunya saat itu, yaitu Belanda.

Rencana pembelian senjata kemudian dialihkan kepada negara-negara Blok


Komunis, terutama Uni Soviet. Pada bulan Desember 1960, sebuah misi pertama
dibawah pimpinan Menteri Keamanan Nasional/KASAD Jenderal A.H. Nasution
bertolak ke Moskow, dan ternyata berhasil mengadakan suatu perjanjian pembelian
senjata senilai US $ 2,5 milyar dengan persyaratan pembayaran jangka panjang.
Misi tersebut kemudian disusul dengan misi kedua dan ketiga pada tahun 1961,
sebagai bentuk penyempurnaan dan tambahan dari misi yang pertama.

8
Pidato Presiden Soekarno di PBB (1957), Membangun Dunia Kembali, Panitia Pembina Djiwa Revolusi,
Pantjawarsa Manipol, hal. 183-184. Dikutip dari SNI VI, hal. 333.
10
Dari Uni Soviet, Indonesia membeli berbagai macam peralatan militer, antara lain
41 Helikopter MI-4 (angkutan ringan), 9 Helikopter MI-6 (angkutan berat), 30
pesawat jet MiG-15, 49 pesawat buru sergap MiG-17, 10 pesawat buru sergap MiG-
19 ,20 pesawat pemburu supersonik MiG-21, 12 Kapal selam kelas Whiskey,
puluhan korvet dan 1 buah Kapal penjelajah kelas Sverdlov (yang diberi nama
sesuai dengan wilayah target operasi, yaitu KRI Irian). Dari jenis pesawat
pengebom, terdapat sejumlah 22 pesawat pembom ringan Ilyushin Il-28, 14 pesawat
pembom jarak jauh TU-16, dan 12 pesawat TU-16 versi maritim yang dilengkapi
dengan persenjataan peluru kendali anti kapal (rudal) air to surface jenis AS-1
Kennel. Sementara dari jenis pesawat angkut terdapat 26 pesawat angkut ringan
jenis IL-14 dan AQvia-14, 6 pesawat angkut berat jenis Antonov An-12B buatan Uni
Soviet dan 10 pesawat angkut berat jenis C-130 Hercules buatan Amerika Serikat.9

Selain dari Uni Soviet, Indonesia pun membeli sejumlah besar peralatan tempur
dari Jerman Barat, Italia dan Yugoslavia. Salah satu peralatan militer yang
didatangkan untuk memperkuat Jajaran Armada ALRI adalah kapal perang jenis
MTB (Motor Torpedo Boat) Klas Jaguar dari Jerman Barat. Kapal perang jenis ini
memiliki kemampuan untuk menembakkan torpedo anti kapal selam. Torpedo
merupakan senjata andalan pada kapal perang jenis MTB, yang merupakan bentuk
awal dari peluru kendali (Rudal), tapi belum menggunakan pengendali. 10

Selanjutnya, masih pada tahun 1961 juga, Jenderal A.H. Nasution melakukan
sejumlah kunjungan ke sejumlah negara, antara lain India, Pakistan, Muangthai
(Thailand), Philipina, Australia, Selandia Baru, Jerman, Perancis dan Inggris.
Misinya adalah untuk menjajagi sikap dari negara-negara tersebut, seandainya
terjadi perang antara Indonesia dan Belanda. Kesimpulan dari misi ini adalah
negara-negara yang dikunjungi tidak ada yang terkait dengan Belanda untuk
bantuan bidang militer, meskipun mereka menekankan agar sebisa mungkin perang
dapat dihindari, dan bahkan ada negara yang mendukung posisi Belanda.

9
Lihat Wikipidia, Operasi Trikora, Bahasa Indonesia.
10
Adi Patrianto, 2007, Hari Dharma Samudera Perjuangan Menegakkan Kedaulatan Negara, Artikel
Digital, Cakrawala TNI AL
11
Berbagai upaya dari pihak Indonesia seperti yang tersebut di atas, mulai
menyadarkan pihak Belanda bahwa jika masalah Irian Barat tidak diserahkan secara
damai kepada Indonesia, maka Indonesia akan berusaha untuk
memperjuangkannya dengan kekuatan militer. Artinya, Indonesia telah bertekad dan
bersiap penuh untuk melakukan perang terhadap Belanda untuk merebut wilayah
Irian Jaya. Sebagai reaksi awal, Belanda melakukan protes melalui PBB, dengan
menuduh Indonesia akan melakukan agresi militer. Selanjutnya, Belanda
memperkuat kedudukannya di Irian Barat dengan mendatangkan bantuan dan
mengirimkan sejumlah kapal perangnya ke perairan Irian, di antaranya adalah kapal
induk Karel Doorman.

Perkembangan terakhir atas sengketa Indonesia dan Belanda ini telah membuat
masalah Irian Barat akhirnya memperoleh perhatian lebih serius dalam sidang
Majelis Umum PBB tahun 1961. Atas insiatif Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, U
Thant, yang berasal dari Birma (kini Mayanmar), maka salah seorang diplomat
Amerika Serikat, bernama Ellsworth Bunker, mengajukan usul penyelesaian
masalah Irian Barat kepada kedua belah pihak yang bersengketa. Inti pokok dari
usul Bunker tersebut adalah “agar pihak Belanda menyerahkan kedaulatan Irian
Barat kepada Republik Indonesia, melalui PBB dalam waktu dua tahun”.11

Usulan Bunker ini ditanggapi secara berbeda oleh kedua belah pihak yang saling
bersengketa. Pihak Indonesia, pada prinsipnya menyetujui atas usulan tersebut
dengan catatan agar waktu penyerahan Irian Barat dapat diperpendek dari dua
tahun. Sementara itu, pihak Belanda bersikap sebaliknya, dengan menyatakan
bahwa Belanda hanya mau melepaskan Irian barat dengan terlebih dahulu
membentuk perwakilan di bawah PBB, untuk kemudian membentuk sebuah Negara
Papua di wilayah Irian Barat. Sikap keras kepala dari pihak Belanda inilah yang
kemudian disambut oleh pihak Indonesia dengan sikap dan kebulatan tekad untuk
mengadakan suatu “perjuangan bersahabat”. Suatu istilah perjuangan yang

11
Dua puluh lima tahun Dep. Luar Negeri RI, 1971, Djakarta, hal. 97. Dikutip dari SNI VI, hal. 333
12
dirumuskan oleh Presiden Soekarno sebagai “Politik konfrontasi disertai dengan
uluran tangan. Palu godam disertai dengan ajakan bersahabat”.12

3.2. Trikora : Jalan Diplomasi Buntu, Operasi Militer Ditempuh

Untuk lebih meningkatkan perjuangan, maka pada tanggal 19 Desember 1961,


Presiden Soekarno mencanangkan gerakan pembebasan Irian Barat dengan
mengucapkan Tri Komando Rakyat (Trikora) di Yogyakarta. Isi Trikora yang
sebelumnya dirumuskan oleh Dewan Pertahanan Nasional itu adalah sebagai
berikut :

1. Gagalkan pembentukan “Negara Papua”, negara boneka bentukan kolonial


Belanda.

2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Jaya, tanah air Indonesia.

3. Bersiaplah untuk mobilisasi umum dalam mempertahankan kemerdekaan


dan kesatuan tanah air dan bangsa Indonesia.13

Dengan telah diucapkannya Trikora oleh Presiden RI, maka hubungan


Indonesia – Belanda memasuki babak baru, yakni konfrontasi secara total. Hal
ini berarti Indonesia telah menyatakan kesiapannya untuk berkonfrontasi secara
militer berhadapan dengan kekuatan perang negara bekas penjajahnya. Sebuah
situasi yang kemudian menimbulkan kekhawatiran serius dari sejumlah negara
lain. Mereka menganggap situasi tersebut berpotensi akan memicu terjadinya
perang baru yang melibatkan dua blok negara besar, yaitu Blok Barat (dipelopori
oleh Amerika Serikat) dan Blok Timur (dipelopori oleh Uni Sovyet).

Selanjutnya, pada tanggal 2 Januari 1962, diadakan rapat Dewan


Pertahanan Nasional dan Gabungan Kepala Staf serta Komando Tertinggi
Pembebasan Irian Barat. Hasil dari rapat tersebut, Presiden RI/Pangti
ABRI/Panglima Besar Koti Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan
No. 1 tahun 1962, yang intinya adalah sebagai berikut :

12
Pidato Presiden Soekarno, tgl 17 Agustus 1962, Tahun Kemenangan, hal. 324. Ibid.
13
SNI VI, hal. 334.

13
1. Membentuk Provinsi Irian Barat gaya baru, dengan putra Irian sebagai
Gubernurnya, dengan ibukota Kotabaru (kini bernama Jayapura, dulu pada
zaman Belanda bernama Hollandia).

2. Membentuk Komando Mandala Pembebasan Irian Jaya, yang langsung


memimpin kesatuan-kesatuan ABRI dalam tugas merebut Irian Jaya.14

Sesuai dengan Trikora, maka kesiapsiagaan di semua bidang terus diperkuat.


Antara lain, sistem gabungan Kepala Staf diubah dan pimpinan Angkatan
Bersenjata langsung dibawah Panglima Tertinggi. Angkatan Udara RI meresmikan
pembentukan Komando Regional Udara (Korud) I – IV.

Adapun susunan Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat adalah sebagai


berikut :

1. Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat :

Presiden/Panglima Tertinggi Soekarno.

2. Wakil Panglima Besar : Jenderal A.H. Nasution

3. Kepala Staf : Letnan Jenderal Achmad Yani.

Sedangkan susunan Komando Mandala Pembebasan Irian Barat adalah sebagai


berikut :

1. Panglima Mandala : Mayor Jenderal Soeharto

2. Wakil Panglima I : Kolonel Laut Subono

3. Wakil Panglima II : Letkol Udara Leo Wattimena

4. Kepala Staf Umum : Kolonel Achmad Taher.

Panglima Komando Mandala dilantik pada tanggal 13 Januari 1962, dengan


menaikkan pangkat Brigjen Soeharto menjadi Mayjen, sekaligus merangkap sebagai
Deputy KASAD untuk wilayah Indonesia bagian timur. Komando Mandala
Pembebasan Irian Barat bermarkas di Makassar.
14
H.U. Merdeka, 3 Januari 1962

14
Pada tahap perkembangan berikutnya, Trikora diperjelas lagi dengan Instruksi
Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat No. 1 kepada
Panglima Mandala, yang isinya adalah sebagai berikut :

1. Merencanakan, mempersiapkan dan menyelenggarakan operasi-operasi


militer, dengan tujuan untuk mengembalikan wilayah provinsi Irian Barat ke
dalam kekuasaan negara RI.

2. Mengembangkan situasi di wilayah Provinsi Irian Barat :

(a) sesuai dengan taraf-taraf perjuangan di bidang diplomasi;

(b) supaya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya Provinsi Irian Barat dapat
secara de facto diciptakan daerah-daerah bebas / atau didudukkan unsur
kekuasaan / pemerintahan daerah RI.

Sebagai tindak lanjut dari Instruksi di atas, maka Panglima Mandala menyusun
suatu strategi, yang disebut dengan strategi Panglima Mandala. Untuk mencapai
strategi tersebut, setelah memperhitungkan kemampuan Angkatan Bersenjata pada
umumnya, sesuai dengan kajian staf Gabungan Kepala Staf, maka pelaksanaan
penyelesaian tugas adalah sebagai berikut :

1. Fase Infiltrasi (Sampai akhir 1962)

Infiltrasi dilakukan dengan cara menyusupkan 10 kompi di sekitar sasaran-


sasaran tertentu untuk menciptakan daerah bebas secara de facto, yang
cukup ulet sehingga tidak dapat dihancurkan secara bagian demi bagian oleh
kekuatan musuh. Justru, kesatuan-kesatuan infiltran (para penyusup) ini
harus dapat menundukkan dan mengembangkan penguasaan wilayah
dengan membawa serta rakyat Irian Jaya.

2. Fase Eksploitasi (Awal 1963)

Eksploitasi dilakukan dengan mengadakan serangan terbuka terhadap induk


militer lawan, dan menduduki semua pos-pos pertahanan musuh yang
penting.

15
3. Fase Konsolidasi (Awal 1964)

Konsolidasi dilakukan dengan mendudukkan kekuasaan RI secara mutlak di


seluruh wilayah Irian Jaya. 15

2.3. Misi Infiltrasi Dimulai, Sang Pahlawan Gugur

Pada tahap paling awal, misi infiltrasi dilakukan dengan menyusupkan pleton
tugas ke Irian Barat (Vlakte Hoek), yang personelnya kebanyakan berasal dari Irian
yang telah dilatih oleh ADRI. Sementara itu, ALRI juga mendapat tugas untuk
membawa pleton tugas ini, setelah sebelumnya AURI pun telah mengantar satgas
yang lain ke Letfuan. Saat awal infiltrasi ini, misi penyusupan lebih merupakan
sebuah task force, dan belum menjadi sebuah operasi gabungan. Karena, pada saat
itu koordinasi antar Angkatan dapat dikatakan masih kurang baik.16

Untuk melaksanakan operasi infiltrasi ini, Markas Besar Angkatan Laut (MBAL)
mengerahkan 4 (empat) kapal perang jenis MTB (Motor Torpedo Boat), yaitu KRI
Harimau, KRI Matjan Tutul, KRI Matjan Kumbang dan KRI Singa. Kolonel Laut
Soedomo, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Operasi MBAL ditunjuk sebagai
Komandan Eskader. Akan tetapi, pada saat pelaksanaan operasi, Komodor
Josaphat Soedarso, - atau Yos Soedarso, - saat itu menjabat sebagai Deputi I
Operasi KASAL ternyata juga ikut serta dalam operasi dengan menaiki KRI Matjan
Tutul.

Keikutsertaan Komodor Yos Sudarso secara langsung dalam operasi infiltrasi ini
sebenarnya merupakan suatu ketidaklaziman dalam suatu operasi militer.
Mengingat, dari segi kepangkatan Komodor Yos Soedarso memiliki pangkat
setingkat lebih tinggi di atas Kolonel Soedomo, yang menjadi Komandan Eskader
dalam operasi. Komodor adalah pangkat yang setingkat dengan Laksamana
Pertama, atau perwira tinggi AL bintang satu. Saat itu, Kolonel Soedomo
berpendapat bahwa keikutsertaan Komodor Yos Soedarso secara langsung dalam

15
Brigdjen Achmad Tahir, “Soal Mandala dan Irian Barat”, karja Wira Djati, No. 9/1963, hal. 360.
Dikutip dari SNI VI, hal. 338.
16
Budhi Achmadi, 2008, Pertempuran Laut Aru, Artikel Digital. Pernah dimuat di Majalah Intisari,
bulan Juli 2000, hasil wawancara dengan Marsekal (Purn) Saleh Basarah.
16
operasi infiltrasi dapat mengacaukan chain of command (rantai komando) dalam
sebuah operasi militer. 17

Namun, dikarenakan semangat bertempur yang sangat tinggi dimiliki oleh


Komodor Yos Soedarso, maka beliau tetap saja ikut serta secara langsung dalam
operasi infiltrasi. Saat itu, Komodor Yos Soedarso berkata kepada Kolonel
Soedomo, “Kalau kamu ikut, aku juga akan ikut”. Selanjutnya, Kolonel Soedomo
menjelaskan bahwa Komodor Yos Soedarso bertekad akan menancapkan bendera
merah putih secara langsung dengan tangannya sendiri di atas tanah Irian Jaya.
Komodor Yos Soedarso juga akan membawa segenggam tanah langsung dari
asalnya, Irian Jaya, untuk ditunjukkan kepada anggota Dewan. 18

Persiapan keempat KRI untuk melaksanakan operasi segera dimulai di


Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Karena operasi ini dipersiapkan untuk
mengangkut pasukan, maka diputuskan bahwa persenjataan utama yang
merupakan andalan kapal perang jenis MTB ini, yaitu Torpedo 12 inchi, terpaksa
harus “dikorbankan” atau dipreteli terlebih dahulu. Hal ini dimaksudkan agar kapal
memiliki ruang yang lebih besar sehingga dapat mengangkut pasukan lebih banyak
dan sejumlah perahu karet untuk melakukan pendaratan. Sebuah keputusan yang
kemudian berakibat fatal saat mereka terpaksa harus berhadapan dengan kapal
perang milik musuh di tengah lautan. 19

Misi operasi ini bersifat sangat rahasia agar tidak diketahui oleh pihak musuh,
dalam hal ini angkatan perang Kerajaan Belanda. Sehingga, untuk keperluan
pengisian bahan bakar dan tambahan logistik lainnya dalam perjalanan dari Tanjung
Priok ke Irian Jaya, keempat KRI harus melakukannya di saat tengah malam hari.
Mereka tidak diperkenankan untuk berlabuh di semua pelabuhan yang dilewati.
Bahkan, mereka pun dilarang menggunakan radio komunikasi untuk berkomunikasi

17
Wawancara Soedomo (kini Laksamana TNI AL Purn.) dengan MetroTV, Ibid.
18
Ibid
19
Loc.cit. Adi Patrianto.
17
dengan pihak lain, kecuali dengan sesama KRI MTB peserta operasi (taktik radio
silent).20

Dari keempat KRI itu, ternyata KRI Singa tidak dapat melanjutkan perjalanan
sebelum mencapai perairan Irian Barat dikarenakan adanya kerusakan mesin.
Sementara itu, sekitar pukul 17.00 waktu setempat, ketiga KRI lainnya terus
melanjutkan perjalanan dengan formasi KRI Harimau berada di depan, kemudian
KRI Matjan Tutul di tengah dan KRI Matjan Kumbang di belakang. Kol. Soedomo
bersama Kol. Mursyid dan Kapten Tondomulyo sebagai kapten kapal berada di KRI
Harimau. Sedangkan Komodor Yos Soedarso bersama kapten kapal Wiratno
berada di KRI Matjan Tutul.

Hari Senin malam, menjelang pukul 21.00 waktu setempat, tanggal 15 Januari
1962 di perairan Laut Aru, Kol. Mursyid melihat radar blips pada lintasan depan
yang akan dilewati iringan ketiga kapal KRI. Tanda blips tidak bergerak, yang berarti
kapal-kapal perang Belanda itu dalam keadaan berhenti, siap menanti. Ketiga KRI
tetap saja melaju ke depan. Lalu, dua pesawat intai maritim AL Belanda jenis
Neptune dan Firefly melintas, sambil menjatuhkan flare (merah menyala terang)
yang tergantung pada parasut. Keadaan menjadi terang benderang dalam waktu
yang cukup lama.

Tepat pada posisi 4,49 derajat Lintang Selatan dan 135,2 derajat Bujur Timur,
ketiga KRI dihadang oleh tiga kapal perang AL Kerajaan Belanda. Dua kapal perang
jenis Fregat Hr.Ms. Eversten dan Korvet Hr.Ms. Kortenaer mencegat di sebelah
kanan KRI. Sementara satu kapal perang lagi, yakni jenis Destroyer Klas Province
Hr. Ms. Utrecht berada di sebalah kiri KRI. 21

Tiba-tiba, kapal perang Belanda melepaskan tembakan peringatan yang jatuh di


samping KRI Harimau. Kol. Soedomo memerintahkan untuk memberi tembakan
balasan. KRI Matjan Tutul pun mengikuti untuk melakukan tembakan balasan,
namun tidak mengenai sasaran. Selanjutnya, kapal musuh berhasil menembakkan
tepat ke arah sasaran mengenai lambung kapal dan ruang kendali KRI Matjan Tutul.
20
Op.cit.
21
Op. Cit
18
Akibatnya, beberapa anggota pasukan, termasuk kapten kapal Wiratno mengalami
luka cukup serius. Dalam keadaan darurat inilah, komando KRI Matjan Tutul
kemudian diambil alih langsung oleh Komodor Yos Soedarso.

Untuk beberapa saat lamanya, kontak senjata masih terus berlanjut, yang
memperlihatkan suatu pertempuran antara dua kekuatan AL yang tidak seimbang.
Ketiga KRI tidak membawa senjata andalannya, yakni Torpedo yang telah dilucuti
sebelum berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok. Senjata yang ada hanya berupa
senapan mesin anti pesawat terbang, dengan senjata ukuran 12,7 mm dan meriam
ukuran 40 mm. Senjata ini tidak akan dapat menjangkau target kapal-kapal perang
Belanda, yang dilengkapi dengan persenjataan yang jauh lebih kuat, dengan
meriam berukuran 4,7 inchi (12 cm). 22

Kol. Soedomo menyadari keadaan yang semakin genting sebagai akibat dari
situasi pertempuran yang tidak seimbang. Menurutnya, bertahan dengan formasi
apapun dipastikan akan percuma dan ketiga KRI pasti akan mengalami kekalahan.
Oleh karena itu, selanjutnya ia memerintahkan ketiga KRI untuk berputar ke kanan
arah 239 derajat. Maksudnya adalah jelas untuk menghindar dari sasaran tembakan
kapal musuh yang jauh lebih kuat.

KRI Harimau dan KRI Matjan Kumbang berhasil berbalik arah, dan berusaha
segera menghindar. Namun, KRI Matjan Tutul justru melakukan manuver dengan
tetap bergerak lurus ke depan, agak sedikit ke kanan untuk berusaha mendekati
kapal Belanda Fregat HR. Ms. Eversten. Manuver ini dipandang sangat berbahaya
oleh kapal musuh, karena dianggap sebagai pertanda KRI Matjan Tutul akan
meluncurkan senjata andalannya, yakni Torpedo, yang sebenarnya sudah tidak ada
lagi. Maka, tak pelak lagi, untuk selanjutnya KRI yang kini dikomandoi oleh Komodor
Yos Soedarso itu langsung dihujani banyak tembakan oleh ketiga kapal perang
Belanda.

22
Loc. Cit
19
Dalam kondisi yang sangat genting seperti itu, Komodor Yos Soedarso terus
memerintahkan anggotanya agar terus maju.23 Akibatnya, ketiga kapal perang
Belanda makin berkonsentrasi untuk terus menembaki KRI Matjan Tutul yang telah
banyak terkena tembakan, dengan kondisi ruang kendali yang sudah rusak. Namun
demikian, melalui radio, Komodor Yos Soedarso masih tetap memerintahkan
anggotanya untuk terus bertempur. Perintahnya yang lantang “kobarkan semangat
pertempuran” terus saja beliau teriakkan hingga KRI Matjan Tutul itu kemudian telah
benar-benar tenggelam sebagai akibat terkena banyak tembakan.

Dalam peristiwa tersebut, sebanyak 25 ABK KRI Matjan Tutul dan Komodor Yos
Soedarso sendiri dinyatakan telah gugur. Sedangkan sisa ABK yang selamat,
kemudian ditawan oleh tentara Belanda. KRI Matjan Tutul telah melakukan
manuver yang membahayakan bagi dirinya sendiri hingga tenggelam, namun telah
berhasil menyelamatkan kedua KRI yang lainnya. KRI Harimau dan KRI Matjan
Kumbang berhasil menghindar dan lolos dari sergapan musuh, kemudian dapat
kembali ke pangkalannya dengan selamat.

Tenggelamnya KRI Matjan Tutul sempat menimbulkan kontroversi, baik terkait


dengan “kenekadan” KRI ini untuk terus maju bertempur, maupun mengenai
koordinasi dan dukungan dari sesama Angkatan yang lainnya. Meski sempat terjadi
kesalahpahaman antar angkatan terkait peristiwa tersebut, khususnya antar ALRI
dan AURI, namun pada akhirnya Presiden Soekarno mampu meredamnya dan
justru berhasil mengubah keadaan. Peristiwa Pertempuran Laut Aru telah dijadikan
oleh Presiden Soekarno sebagai bagian dari perjuangan dengan semangat heroik,
kepahlawanan. Teriakan Komodor Yos Soedarso “kobarkan semangat pertempuran”
kemudian dimanfaatkan secara maksimal untuk memperoleh kemenangan secara
politis dan psikologis menuju kemenangan peperangan dalam merebut kembali
kedaulatan atas Irian Jaya. 24

23
Ibid. Melalui sebuah wawancara, salah seorang kelasi bernama Soeharmadji masih sempat
mendengar teriakan tersebut. .
24
Pada tanggal 20 Januari 1962, Presiden Soeakarno memimpin rapat di Istana Bogor untuk
membahas peristiwa Pertempuran Laut Aru, yang melibatkan unsur-unsur dari ALRI dan AURI.
Ibid.
20
2.4. Akhirnya, Belanda Menyerah Juga

Pada mulanya, Belanda menganggap sepele dan bahkan terkesan


mencemoohkan atas segala usaha dan persiapan yang dilakukan oleh Komando
Mandala dalam merebut Irian Barat. Belanda beranggapan bahwa pasukan
Indonesia tidak akan mungkin dapat memasuki ke wilayah Irian. Suatu anggapan
yang jelas-jelas sangat meremehkan atas kemampuan dan kekuatan militer
Indonesia saat itu.

Namun, pada beberapa bulan kemudian fakta-fakta baru menunjukkan suatu


kenyataan yang sebaliknya. Infiltrasi makin diintensifkan, terutama melalui udara,
setelah melalui laut telah banyak diketahui oleh musuh dan terkendala oleh faktor
alam, antara lain oleh gelombang laut yang tinggi. Sementara itu, terkait dengan
perkembangan terakhir dari upaya diplomasi yang terjadi, maka jadwal penyelesaian
tugas operasi militer berdasarkan tahapannya yang telah ditetapkan, menjadi tidak
dapat diikuti lagi. Jadwal target operasi militer harus dipercepat hingga enam bulan,
yang membuat pelaksanaan operasi menjadi kian intensif lagi.

Pada tanggal 18 dan 20 Maret 1962 telah berhasil didaratkan 4 peleton


sukarelawan di pulau-pulau Gag, Waigeo dan Sansapor. Tanggal 23 Maret berhasil
mendaratkan para sukarelawan di Sungai Jera. Tanggal 24 April dilakukan Operasi
Banteng Ketaton dengan menerjunkan Tim Garuda Merah di sekitar Fak-fak dan
Garuda Putih di sekitar Kaimana. Selain itu, Operasi Serigala mendaratkan
pasukannya di sekitar Sorong dan di sekitar Teminabuan. Pada tanggal 15 Mei
Detasemen Pelopor Brimob Polisi didaratkan di Fak-fak. Operasi Naga ini
menerjunkan 214 orang.25

Selanjutnya, pada tanggal 1 Agustus 1962 dilancarkan Operasi Jatayu yang


bertugas menerjunkan pasukan-pasukan untuk memperkuat kesatuan yang lebih
dahulu didaratkan. Diantaranya adalah pasukan Elang di Sorong, pasukan Gagak di
sekitar Kaimana dan pasukan Alap-Alap di sekitar Merauke. Tanggal 7 Agustus
Detasemen Pelopor 1232 Brimob didaratkan melalui laut dengan sasaran Pulau

25
SNI VI, hal 339
21
Misool. Dengan sasaran yang sama, kemudian disusul oleh Pasukan Raiders dari
Kodam XV pada tanggal 9 dan 12 Agustus 1962. Dengan demikian, hingga tanggal
15 Agustus 1962, Indonesia telah berhasil menyusupkan sekitar 10 kompi
pasukan.26

Sementara itu, operasi penentuan yang bernama Operasi Jaya Wijaya telah
dipersiapkan pula oleh pihak Indonesia. Operasi ini direncanakan untuk
melaksanakan serangan terbuka dalam merebut daerah Irian Jaya. Operasi Jaya
Wijaya dengan target date bulan Agustus tahun itu juga, direncanakan terbagi atas :
Operasi Jaya Wijaya I untuk merebut keunggulan di udara dan di laut. Operasi Jaya
Wijaya II untuk merebut Biak, Operasi Jaya Wijaya III untuk merebut Hollandia
(Jayapura) dari laut, Operasi Jaya Wijaya IV untuk merebut Hollandia dari udara.
Untuk melaksanakan operasi tersebut, Angkatan Laut Mandala dibawah Kol. Laut
Soedomo membentuk Angkatan Tugas Amfibi 17 yang terdiri atas tujuh gugus
tugas. Sedangkan Angkatan Udara membentuk enam kesatuan tempur baru. 27

Adanya peristiwa pertempuran di Laut Aru, kemudian ditambah dengan


keberhasilan sejumlah misi infiltrasi yang telah mendaratkan banyak pasukan dan
sukrelawan di beberapa tempat di Irian Barat telah mengubah pandangan Belanda
terhadap kemampuan operasi militer Indonesia. Jatuhnya sejumlah daerah ke
tangan pasukan Indonesia, antara lain di Teminabuan, misalnya, telah berhasil
untuk memaksa Belanda agar bersedia duduk di meja perundingan guna
menyelesaikan sengketa Irian Barat. Hal ini dikarenakan oleh posisi Belanda yang
kian sulit, saat negara-negara lain yang sebelumnya selalu mendukungnya di forum
PBB, kini mulai semakin mengerti bahwa Indonesia tidak dalam posisi main-main
dalam masalah sengketa Irian Barat.

Ditambah lagi, ketika Amerika Serikat pun ternyata mulai melakukan tekanan
kepada Belanda untuk bersedia berunding dengan Indonesia. Hal ini dilakukan
untuk dapat mencegah agar Uni Soviet dan Amerika Serikat tidak terseret dalam
konfrontasi langsung di wilayah Pasifik barat daya, dengan memberikan bantuan

26
Ibid.
27
Ibid.
22
bagi pihak-pihak yang bersengketa dalam soal Irian Barat. Maka, pada tanggal 15
Agustus 1962, suatu perjanjian antara pemerintah Indonesia dan pemerintah
Belanda berhasil ditandatangani di New York, yang kemudian dikenal dengan
Perjanjian New York. Perjanjian ini didasarkan atas prinsip-prinsip yang pernah
diusulkan oleh Ellsworth Bunker, yang setahun lalu sempat ditolak oleh pihak
Belanda.28

Hal terpenting dari Perjanjian New York adalah mengenai penyerahan


pemerintahan di Irian dari pihak Kerajaan Belanda kepada PBB. Untuk kepentingan
tersebut, PBB membentuk United Nations Temporary Excecutive Authority
(UNTEA), yang pada gilirannya nanti akan menyerahkan pemerintahan di Irian Barat
itu kepada pihak Republik Indonesia, sebelum tanggal 1 Mei 1963. Sedangkan di
pihak Indonesia diwajibkan untuk mengadakan Penentuan Pendapat Rakyat
(Pepera) di Irian Barat sebelum akhir tahun 1969, dengan ketentuan bahwa kedua
belah pihak, yakni Indonesia dan Belanda, akan menerima apapun hasil dari Pepera
tersebut.

2.5. Irian Jaya, Kembali ke NKRI

Adanya Perjanjian New York telah berdampak pada rencana Operasi Jaya
Wijaya yang belum sempat terlaksana. Pada tanggal 18 Agustus 1962, pukul 09.31
waktu Irian Jaya, Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik
Indonesia/Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Jaya
mengeluarkan perintah kepada Panglima Mandala untuk menghentikan tembak-
menembak di daerah pembebasan. Selanjutnya, oleh Panglima Mandala, perintah
itu diteruskan kepada seluruh pasukan yang berada di Irian Jaya agar mentaati
perintah penghentian tembak-menembak dan mengadakan kontak dengan perwira-
perwira peninjau PBB yang disertai oleh Achmad Wiranatakusumah, Kolonel Udara
I. Dewanto dan Letkol Laut Nizam Zachman. 29

28
Ibid. hal 335.
29
Ibid. hal 336.
23
Dengan ditandatanganinya Perjanjian New York berarti perjuangan Trikora
dianggap telah berhasil berkat kerja sama segenap komponen bangsa di bidang
diplomasi dan militer. Tanpa dukungan operasi militer, maka perjuangan diplomasi
akan mengalami kebuntuan seperti yang pernah dialami oleh Indonesia sebelum
perjuangan Trikora dilaksanakan. Bagian akhir dari perjuangan Trikora adalah
pelaksanaan Operasi Wisnu Murti, yakni operasi untuk menghadapi penyerahan
Irian Jaya dari PBB (UNTEA) kepada RI pada tanggal 1 Mei 1963. Pada tanggal
penyerahan tersebut, tugas Komando Mandala dianggap telah selesai dengan
sukses, dan pada hari itu juga, Komando Mandala secara resmi dinyatakan bubar
oleh pemerintah Indonesia.

Selanjutnya, dalam memenuhi kewajiban Indonesia sesuai dengan Perjanjian


New York, maka pada tahun 1969 diadakan Pepera di Irian Jaya yang
diselenggarakan melalui tiga tahap. Tahap pertama dimulai pada tanggal 24 Maret
1969 berupa konsultasi dengan Dewan-Dewan Kabupaten di Jayapura mengenai
tata cara penyelenggaraan Pepera. Setelah tata cara disetujui, maka
diselenggarakan tahap kedua, yaitu pemilihan anggota Dewan Musyawarah Pepera
yang berakhir pada bulan Juni 1969, dengan dipilihnya 1.026 anggota dari delapan
Kabupaten, yang terdiri dari 983 pria dan 43 wanita. Tahap ketiga adalah
pelaksanaan Pepera yang dilakukan di Kabupaten-Kabupaten, mulai tanggal 14 Juli
1969 di Merauke dan berakhir pada tanggal 4 Agustus 1969 di Jayapura. Hasil
akhirnya adalah Dewan Musyawarah Pepera memutuskan dengan suara bulat
bahwa Irian Barat merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia. 30

Pelaksanaan Pepera dalam setiap tingkatannya disaksikan oleh utusan Sekjen


PBB, yakni Duta Besar Ortis Senz. Sedangkan sidang-sidang Dewan Musyawarah
Pepera dihadiri pula oleh beberapa Duta Besar asing di Jakarta, antara lain Duta
Besar Belanda dan Australia. Hasil-hasil Pepera ini, kemudian dibawa oleh Ortis
Senz ke New York untuk dilaporkan dalam Sidang Umum PBB ke-24. Tepat pada
tanggal 19 November 1969, Sidang Umum PBB menyetujui resolusi Belanda,
Malaysia, Muangthai, Belgia, Luxemburg, serta Indonesia agar menerima hasil-hasil

30
Setneg RI, 1986, 30 Tahun Indonesia Merdeka, hal. 200
24
Pepera yang telah dilaksanakan sesuai dengan jiwa dan isi Persetujuan New York.31
Dengan persetujuan dari Sidang Umum PBB ini, maka perjuangan RI untuk
memperoleh pengakuan kedaulatan atas Irian Jaya dianggap telah selesai dan
berhasil dengan tuntas, baik secara de facto maupun secara de jure.

31
Ibid.
25
BAB III

PEMBERDAYAAN POTENSI PULAU-PULAU TERLUAR


DAN WILAYAH PERBATASAN RI

Negara Republik Indonesia adalah negara kepulauan yang berwawasan


nusantara, sehingga batas wilayah di laut harus mengacu pada UNCLOS (United
Nations Convension on the Law of the Sea) 82/ HUKLA (Hukum laut) 82 yang
kemudian diratifikasi dengan UU No. 17 Tahun 1985. Indonesia memiliki sekitar
17.506 buah pulau dan dua pertiga wilayahnya berupa lautan. Dari 17.506 pulau
tersebut terdapat pulau-pulau terluar yang menjadi batas langsung Indonesia
dengan negara tetangga. Berdasarkan hasil survei Base Point atau Titik Dasar yang
telah dilakukan DISHIDROS TNI AL, untuk menetapkan batas wilayah dengan
negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya
ada di tanjung-tanjung terluar dan di wilayah pantai.

Wilayah daratan NKRI berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia,


Papua Nugini (PNG) dan Timor Leste. Kawasan perbatasan tersebut berada di
pulau Kalimantan, Irian dan Timor. Terdapat empat provinsi perbatasan dan 15
Kabupaten/Kota yang masing-masing wilayah memiliki karakteristik kawasan
perbatasan berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasan memiliki
karakteristik yang berbeda dilihat dari segi kondisi geografis, demografis, sosial,
politik, ekonomi dan budaya.

Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India,


Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, PNG, Australia dan Timor
Leste. Kawasan–kawasan perbatasan laut pada umumnya ditandai berdasarkan
keberadaan pulau-pulau terluar, dimana Indonesia memiliki 92 pulau terluar yang
berbatasan langsung dengan negara-negara tersebut. Dari 92 pulau terluar yang
tersebar di 20 Provinsi dan 36 Kabupaten, ada 12 pulau di antaranya yang terdapat
di 7 Provinsi dan 9 Kabupaten yang perlu mendapat perhatian khusus karena
memiliki potensi rawan konflik di bidang geografis, ekonomi, dan keamanan . Ke-12

26
pulau tersebut, antara lain Pulau Rondo yang berbatasan dengan Samudera Hindia,
Pulau Berhala yang berbatasan dengan Selat Malaka, dan Pulau Nipah yang
berbatasan dengan Singapura.

3.1. Perlu Perhatian Khusus dan Serius

Perlunya perhatian khusus atas masalah pulau-pulau terluar dan wilayah


perbatasan RI, terkait sekurangnya oleh tiga hal penting. Pertama, masalah tersebut
memiliki kaitan langsung dengan keutuhan wilayah NKRI. Kedua, masalah ini pun
merupakan amanat UUD 1945 dalam mempertahankan tiap jengkal tanah dan
tumpah darah Indonesia. Ketiga, masalah tersebut sangat berhubungan langsung
dengan upaya mempertahankan dan menegakkan kedaulatan atas seluruh wilayah
NKRI, sebagaimana yang tercermin pula dalam semangat Pertempuran Laut Aru.

Pengalaman selama ini menunjukkan beberapa fakta yang tak terbantahkan,


yang kian memperkuat akan perlunya perhatian dan keseriusan pemerintah dalam
menangani masalah pulau terluar dan wilayah perbatasan. Lepasnya pulau Sipadan
dan pulau Ligitan ke tangan Malaysia pada tahun 2002, melalui keputusan
Mahkamah Internasional, menunjukkan bukti kuat bahwa Indonesia dianggap telah
mengabaikan atau bahkan menelantarkan kedua pulau yang sebelumnya diklaim
sebagai wilayah miliknya. Bergesernya sejumlah tapal batas di sepanjang Provinsi
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur yang berbatasan dengan Negara Bagian
Sabah dan Serawak, Malaysia Timur, oleh sejumlah pengusaha perkebunan kelapa
sawit Malaysia yang “nakal” merupakan bukti lain mengenai ancaman serius atas
keutuhan wilayah NKRI.

Bahkan, meskipun antara pihak pemerintah Indonesia dan Malaysia telah


sepakat membentuk General Border Committee (GMB) yang sudah bekerja dengan
maksimal, namun tetap saja masih menyisakan sekurangnya sepuluh masalah
perbatasan yang berpotensi mengurangi keutuhan wilayah NKRI. Kesepuluh
masalah perbatasan tersebut adalah (1) Pulau Sebatik, masuk wilayah Kabupaten
Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur, dimana terjadi penyimpangan patok pilar
perbatasan yang berpotensi mengurangi wilayah Indonesia seluas 120 Ha; (2)
Sungai Simantipal (Nunukan, Kaltim), dimana Malaysia menuntut daerah aliran

27
sungai (DAS) sekitar 6.000 Ha; (3) Sungai Sinapad, Kabupaten Nunukan Kaltim; (4)
Sungai Buan, berpotensi menyebabkan kehilangan wilayah daratan sekitar 1.500
Ha; (5) Gunung Jagoi Pokok Payung; (6) Gunung Raya; (7) Semitau, Kabupaten
Kapuas Hulu; (8) Batu Aum, Kabupaten Bengkayang; (9) Dangkalan Niger Gosong,
Propinsi Kalimantan Barat; (10) Kesepakatan batas laut.

3.2. Beragam Masalah Akibat Terabaikan

Masalah lain akibat terabaikannya pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI


adalah munculnya beragam persoalan yang terjadi di wilayah perbatasan, mulai dari
kemerosotan nilai budaya, lunturnya nasionalisme, kualitas sumberdaya manusia
(SDM) yang rendah, gangguan keamanan, teroris, infiltrasi dan tepat pelarian orang-
orang yang termasuk daftar pencarian orang (DPO), meningkatnya jumlah pelintas
batas tanpa izin, penyelundupan (tenaga kerja, hasil bumi, dan barang) yang makin
marak, perdagangan manusia (human trafficking), dan makin banyaknya lahan
konsensi yang terlantar.

Sebagai contoh, kepulauan terluar di Sulawesi Utara, yaitu Pulau Miangas, Pulau
Marore dan Pulau Marampit. Menurut Wakil Kepala Polda (Wakapolda) Sulawesi
Utara, Kombes John Kalangi (2006),32 saat itu sempat beredar peta pariwisata
Filipina yang memasukkan ketiga pulau tersebut sebagai wilayah negara Filipina.
Ketiga pulau tersebut sebenarnya terletak di Kabupaten Sangihe dan Talaud, namun
jaraknya ke ibu kota Kabupaten lebih jauh dibandingkan dengan ke kota di Filipina
Selatan. Dampaknya, secara sosial dan budaya, masyarakat setempat merasa lebih
memiliki kedekatan sosial dengan Filipina dibandingkan dengan Indonesia. Karena,
kebutuhan sehari-hari, sarana transportasi dan telekomunikasi dipenuhi dari negara
Filipina.

John Kalangi terus menjelaskan dengan mengatakan, “Dulu, penduduk di pulau-


pulau itu terpasang foto Presiden Marcos di rumahnya, dan tebiasa berbahasa
Tagalog. Pernah satu kali ada bentrokan antara aparat dan masyarakat yang tidak
terselesaikan, lalu mereka menaikkan bendera Filipina”. Sebuah penjelasan yang

32
http ://cetak.kompas.com, tanggal 02/12/2009
28
mirip dengan kenyataan yang pernah ditampilkan oleh sebuah stasiun TV swasta
nasional33, dimana sekitar seratusan lebih penduduk di suatu dusun di Kalimantan
Timur yang perbatasan dengan Malaysia, lebih memilih berpindah kewarganegaraan
menjadi warga negara Malaysia. Alasannya, di daerah Malaysia, mereka
mendapatkan pekerjaan, atau pendidikan dan terpenuhi kebutuhan hidupnya secara
layak, jika dibandingkan dengan kampung asalnya di Indonesia.

3.3. Kejahatan Tingkat Tinggi

Akibat lain dari tidak terurusnya wilayah perbatasan adalah kawasan perbatasan
menjadi lintasan surga bagi sindikat kejahatan tingkat tinggi yang merugikan
Indonesia sendiri. Dalam Rapat Koordinasi Pengamanan Wilayah Perbatasan NKRI
yang digelar oleh National Central Bureau (NCB) Interpol Indonesia di Mabes Polri
(11/2/2009),34 terungkap sejumlah permasalahan di 14 Polda yang berbatasan
dengan negara lain. Berdasarkan data dari ke-14 Polda tersebut, terungkap bahwa
perkara kriminalitas lintas negara yang kerap ditemui di wilayah tersebut, senantiasa
bermuara pada minimnya pengamanan di kawasan perbatasan. Jenis kriminalitas
tersebut, antara lain adalah terorisme, perdagangan manusia, narkoba,
penyelundupan bahan bakar minyak, bahan pokok, senjata api, berbagai barang
konsumsi, hingga manusia. Ada juga kejahatan pembalakan liar, perambahan hasil
laut ilegal, penembangan ilegal, pengerukan pasir ilegal, hingga perompakan di
lautan.

Sekali lagi, ironisnya, justru semua bentuk kejahatan tersebut memiliki nilai
ekonomi tinggi, yang membawa dampak sosial secara signifikan dan menyebabkan
kerugian negara yang tidak sedikit. Kapolri, yang saat itu dijabat oleh Jenderal Pol.
Bambang Hendarso Danuri, melalui Irwasum Komjen Pol. Yusuf Manggabarani
menegaskan :

“Masih kurang efektifnya sistem pengamanan di wilayah perbatasan darat


dan perairan dapat menjadi peluang bagi pihak lain untuk mencari
keuntungan. .... Pelaku kejahatan lintas negara juga semakin memanfaatkan
33
Liputan khusus hari kemerdekaan RI ke-65, tanggal 17 Agustus 2010, Trans7.
34
Op.cit.
29
iptek, khususnya transportasi dan telekomunikasi. Pengorganisasian semakin
rapi, sehingga makin sulit diidentifikasi”.35

Berkaitan dengan kurang optimalnya pemerintah dalam mengurus pulau-pulau


terluar dan wilayah perbatasan, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang saat itu
masih dijabat oleh M. Ma‟ruf, mengatakan bahwa selama ini keberadaan pulau-
pulau terluar masih digarap secara sektoral dan belum menjadi prioritas bagi
pemerintah. Selain itu, infrastruktur pendukung dan anggaran untuk pengelolaannya
pun masih sangat minim. Pulau terluar juga tidak dibangun oleh pemerintah daerah
karena dianggap tidak memberikan sumbangan bagi pendapatan asli daerah (PAD)
secara langsung. “Kebijakan pembangunan masih cenderung inward looking,
sehingga pulau terluar hanya menjadi halaman belakang” ujar M. Ma‟ruf. 36

3.4. Perpres No. 78/2005

Tampaknya, kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke tangan Malaysia


pada tahun 2002, telah membuat pemerintah Indonesia mulai lebih serius dalam
memperhatikan pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI. Terbitnya Peraturan
Presiden (Perpres) No. 78/2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
pada tanggal 29 Desember 2005 setidaknya telah menunjukkan niat yang serius
dari pemerintah pusat dalam mengurus wilayahnya di perbatasan. Dengan adanya
Perpres ini, menurut Menkopolhukam saat itu, Widodo AS, 37 maka pengelolaan
pulau-pulau terluar akan dilakukan lintas sektoral, lintas lembaga, antara lain Deplu,
DKP, Bakosurtanal, Badan Oceanografi TNI AL, BPN, Depdagri, TNI, Polri, serta
melibatkan koordinasi antara pusat dan daerah. Dengan begitu, keberadaan pulau-
pulau terluar diharapkan tidak akan lagi menjadi daerah perbatasan yang rawan
sengketa dengan negara lain.

Dalam pandangan Menkopolhukam, tujuan utama pengelolaan pulau-pulau


terluar adalah mengamankan keutuhan wilayah NKRI dan menyejahterakan
masyarakat. Sebuah tujuan pengelolaan yang tidak lagi selalu mengandalkan

35
Ibid
36
Berita Nasional, Pemerintah akan Urus 92 Pulau Terluar, 20 April 2006, Bakosurtanal.
37
Ibid
30
pendekatan keamanan (security approach) dalam mengelola wilayah perbatasan
atau pulau-pulau terluar. Namun, juga menggunakan pendekatan kesejahteraan
(prosperity approach) dengan basis pendekatan lingkungan hidup (environment
approach) sebagai bagian dari upaya pemberdayaan potensi pulau-pulau terluar
dan wilayah perbatasan. Alasan Mahkamah Internasional yang memenangkan
Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan Indonesia,
didasarkan atas gabungan dari berbagai pendekatan tersebut. Yakni mengacu pada
pertimbangan “effectivitee”, bahwa pemerintah Inggris telah melakukan tindakan
administratif yang nyata sebagai wujud kedaulatannya, berupa penerbitan ordonansi
perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930-an, dan operasi mercusuar yang dilakukan sejak awal tahun 1960-
an (Wirayudha, 2002). 38

Dalam kaitan ini, maka beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah
adalah melakukan pembinaan mengenai pengelolaan dan pelestarian sumber daya
alam (SDA), membangun infrastruktur dan sarana perhubungan, serta pembinaan
wilayah dan pertahanan. Khusus untuk pulau-pulau atau kawasan yang tidak dapat
dihuni, namun sangat rawan sengketa dengan negara tetangga, seperti di kawasan
Ambalat, yang diklaim juga oleh Malaysia, pemerintah pusat perlu menetapkannya
sebagai wilayah karantina, salah satunya dengan memasang mercusuar.

Selain itu, perlu pula dikembangkan kegiatan ekonomi di di kawasan pulau-pulau


terluar atau wilayah perbatasan, terutama kawasan yang memiliki kandungan
sumber daya alam tambang dan minyak. Indonesia harus mengerahkan dana dan
upaya secara terpadu untuk mengamankan wilayahnya sendiri, antara lain untuk
membangun pos-pos pengamatan dan pembangunan mercusuar, baik di darat
maupun di laut, terutama di wilayah yang memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi.
Kehadiran kegiatan ekonomi di wilayah tersebut, menurut Juwono Soedarsono
(Menhan saat itu), merupakan salah satu bentuk pertahanan yang efektif agar
negara lain tidak mudah mengklaim wilayah RI sebagai bagian dari wilayah mereka.

38
Lihat Atep Afia Hidayat, 2010, Urgensi Pembentukan Badan Otorita Perbatasan, Netsains.Com
31
“Kehadiran kegiatan ekonomi” kata Juwono lagi “adalah bentuk pematokan
perbatasan yang paling bagus dan efektif”.39

Upaya lain dari pemerintah pusat dalam melindungi pulau-pulau terluar adalah
dengan cara melaporkan keberadaan sekitar 3.047 pulau terluar Indonesia kepada
UN Working Group of Expert on Geographical Names, sebuah badan khusus milik
PBB yang mencatat nama-nama pulau sebuah negara. Sepanjang tahun 2006 saja
pemerintah telah berhasil menamai sekurangnya 1.466 pulau kecil terluar di wilayah
RI di antara 8.168 pulau terluar yang belum bernama. Penamaan tersebut, tentu
saja berdasarkan atas Perpres No. 78 Tahun 2005. Sebuah langkah kecil, namun
memiliki makna yang sangat penting dan strategis dalam upaya mempertahankan
kedaulatan dan keutuhan wilayah NKRI.

3.5. Peran TNI

Dalam sebuah acara serah terima jabatan di Mabes TNI, Cilangkap, Panglima
TNI Laksamana TNI Agus Suhartono menegaskan bahwa TNI akan mengutamakan
peran pengawasan dan perlindungan di daerah-daerah perbatasan, dengan
penekanan perhatian pada pulau-pulau terluar. Daerah perbatasan dan pulau-pulau
terluar, kata Panglima TNI , menjadi prioritas dalam program pembangunan lima
tahun ke depan. Penjagaan dan perlindungan terhadap daerah perbatasan dan
pulau-pulau terluar dianggap sejalan dengan visi TNI dalam mempertahankan
kedaulatan negara. Untuk mendukung program tersebut, TNI akan menambah dan
memperkuat alat utama sistem persenjataan (alutsista) sebagai sarana
pengembangan kekuatan secara bertahap dan pasti.40

Secara khusus, TNI AL sebagai institusi militer, memilki keunikan tersendiri jika
dibandingkan dengan TNI AD dan TNI AU. Keunikan ini berlaku universal. Sesuai
teori Kent Both, selain peran militer, matra laut juga memiliki peran diplomasi dan
polisionil. Peran diplomasi dilaksanakan oleh TNI AL dengan dikirimnya KRI ke
negara lain untuk menjalin dan mempererat pesahabatan antarnegara. Hal ini

39
Op. Cit
40
TEMPO Interaktif, Panglima TNI Prioritaskan Lindungi Daerah Perbatasan, Sabtu, 2 Oktober
2010.
32
seringkali disebut dengan istilah “Gun Boat Diplomacy”, atau diplomasi kapal
perang. Tampilan kapal perang suatu negara akan memunculkan citra yang bisa
memperkuat pelaksanaan diplomasi negara yang bersangkutan. Sedangkan untuk
peran polisionil, TNI AL berkewajiban melaksanakan fungsi keamanan sekaligus
melaksankan penindakan terhadap kegiatan-kegiatan yang melanggar hukum.

Selain peran khusus melaksanakan diplomasi dan polisionil di lautan, TNI AL


memiliki tugas lain dalam kategori operasi militer, yaitu kegiatan Operasi Militer
Selain Perang (OMSP). Hal ini sesuai dengan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang
TNI Pasal 7 Ayat 2, yaitu antara lain membantu korban bencana alam, SAR (Search
and Rescue), dan bantuan kemanusiaan (humanitarian assistance).
Kondisi geografis wilayah Indonesia rentan terhadap bencana alam. Ini menuntut
kemampuan TNI AL untuk bisa melaksanakan OMSP tersebut sebab hingga kini
hanya sarana kapal milik TNI AL yang mampu menembus pulau-pulau terpencil
apabila terjadi bencana alam.

Pada sisi lain, mayoritas penduduk Indonesia tinggal di pesisir. Kondisi


kesejahteraan mereka tak jarang menjadi terancam ketika jalur distribusi barang dan
bahan pangan terputus akibat bencana atau ombak besar. Hanya TNI yang tetap
bisa mencapai mereka. Oleh sebab itu, tak salah jika dikatakan TNI AL dituntut bisa
membantu menyalurkan bahan pangan dan kebutuhan pokok lainnya. Inilah OMSP
lain yang sejatinya menjadi tugas TNI AL. KRI pun tidak hanya bisa membantu
menyalurkan kebutuhan yang diperlukan masyarakat di daerah kepulauan, tetapi
bisa juga membantu membawa hasil produksi penduduk untuk dipasarkan di pulau
lain atau menjadikan KRI sebagai “mobile market” bekerja sama dengan lembaga
lain demi kesejahteraan rakyat.

Untuk itu TNI AL harus bisa menjadi motivator untuk meningkatkan


kesejahteraan masyarakat.41 TNI AL berkewajiban memberdayakan wilayah pesisir
untuk bisa menopang pertahanan nasional di lautan dan pulau-pulau terdepan.
Sehingga sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat harus secara rutin

41
Lihat Agus Susilo Kaeri, Menjadikan TNI AL Sebagai Simpul Pertahanan dan Kesejahteraan,
Artikel Digital

33
dibangun di setiap pulau yang bernilai strategis, karena pada waktu krisis atau
perang sarana tersebut dapat dimanfaatkan untuk dukungan dalam peperangan
laut.

Untuk itu SBJ (Surya Baskara Jaya) yang merupakan program khusus TNI AL
dalam memberdayaan pulau-pulau terpencil dan membantu masyarakat dengan
membangun infrastruktur dan pelayanan kesehatan harus terus selalu ditingkatkan.
Sebab, program itu bermanfaat bagi masyarakat dalam meningkatkan
kesejahteraan dan juga bagi TNI AL apabila terjadi krisis atau perang.

34
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Berdasarkan atas seluruh uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan, antara
lain adalah sebagai berikut :

1. Pertempuran Laut Aru (PLA) adalah pertempuran yang terjadi di perairan Laut
Aru antara tiga KRI jenis MTB dengan kapal perang Belanda jenis fregat, korvet
dan destroyer. Pertempuran ini dianggap tidak seimbang, mengingat jenis KRI
yang kalah kuat, bahkan senjata andalannya Torpedo telah dilucuti terlebih
dahulu sebelum berangkat dari Pelabuhan Tanjung Priok. Pada perempuran ini,
KRI Matjan Tutul tenggelam, sejumlah pasukan gugur, terdiri atas 25 ABK ,
Kapten kapal Wiratno dan Komodor Yos Soedarso, serta sisanya ditawan oleh
pasukan Belanda.

2. PLA merupakan peristiwa pertempuran yang terjadi dalam kaitan misi ALRI untuk
melaksanakan tugas negara di bidang operasi militer, sebagai bagian dari misi
infiltrasi dalam Komando Mandala untuk pembebasan Irian Barat dari tangan
kekuasaan Belanda.

3. PLA merupakan sejarah perjuangan heroik dari para prajurit ALRI dalam
melaksanakan tugas negara untuk menegakkan kedaulatan, menjaga dan
mempertahankan keutuhan wilayah RI di Irian Barat. Mereka telah ikhlas
mengorbankan segenap jiwa dan raga demi kepentingan bangsa dan negara.
Secara simbolis, pada tahun 1973 pemerintah RI memberikan penghargaan atas
jasa-jasa mereka yang telah gugur dalam bentuk anugerah gelar Pahlawan bagi
Komodor Yos Soedarso sesuai dengan SK Presiden RI No. 088/TK/1973.

35
4. Makna dan semangat PLA adalah perjuangan kepahlawanan yang siap
mengorbankan jiwa dan raga dalam menegakkan kedaulatan dan menjaga
keutuhan atas seluruh wilayah NKRI demi kepentingan bangsa dan negara.

5. Relevansi PLA adalah perjuangan menegakkan kedaulatan dan menjaga


keutuhan wilayah RI merupakan kewajiban bagi setiap komponen bangsa saat ini
dan yang akan datang.

6. Aktualisasi semangat PLA saat ini adalah menegakkan kedaulatan dan menjaga
keutuhan wilayah RI, melalui pemberdayaan potensi pulau-pulau terluar dan
wilayah perbatasan RI.

7. Pulau-Pulau Terluar (PPT) dan Wilayah Perbatasan (WP) perlu diberdayakan


dan dikelola dengan baik agar kedaulatan dan keutuhan wilayah tetap terjaga.
Jika tidak, maka kedaulatan dan keutuhan wilayah akan terancam, baik oleh
klaim dan ancaman dari negara lain, maupun oleh tindak kriminal tingkat tinggi.

8. Bentuk pemberdayaan dan pengelolan PPT dan WP adalah meningkatkan


kesejahteraan warga penghuninya, dengan cara membangun infrastruktur,
meningkatkan sarana dan prasarana masyarakat, menumbuhkan kegiatan
ekonomi masyarakat. Sedangkan untuk PPT dan WP tak berpenghuni perlu
penjagaan pasukan dan pegadaan kegiatan ekonomi efektif, seperti eksplorasi,
konservasi dan pembudidayaan.

9. Dibutuhkan perencanaan yang terkoordinasi, integrasi dan sinkronisasi, dengan


anggaran dana yang cukup memadai.

10. Diperlukan peningkatan kemampuan TNI dalam menjaga dan mengawasi PPT
dan WP melalui peningkatan kapasistas personel, alutsista, operasi militer selain
perang (OMPS) seperti program Surya Baskara Jaya (SBJ) TNI AL.

36
4.2. Saran

Beberapa saran yang dapat diberikan terkait dengan pemberdayaan potensi


pulau-pulau terluar dan wilayah perbatasan RI, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Perlunya peningkatan kemampuan TNI, terutama dalam hal penyediaan alat


utama sistem senjata (alutsista) yang dikaitkan dengan beban dan luas
wilayah yang harus dijaga dan diawasi dalam menegakkan kedaulatan NKRI.

2. Perlunya koordinasi, integrasi dan sinkronisasi program pemberdayaan PPT


dan WP, antar lembaga vertikal maupun horisontal yang terkait, demi
pencapaian tujuan utama, yaitu menjaga keutuhan wilayah NKRI dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat di sekitar
PPT dan WP.

37
DAFTAR PUSTAKA

Adi Patrianto, 2007, Hari Dharma Samudera Perjuangan Menegakkan


Kedaulatan Negara, Artikel Digital, Cakrawala TNI AL.

Agus Susilo Kaeri, 2010, Menjadikan TNI AL Sebagai Simpul Pertahanan dan
Kesejahteraan, Opini Digital, Pelita, tanggal 28 September 2010.

Arya Ajisaka, 2008, Mengenal Pahlawan Indonesia, Cetakan ke-13, Jakarta :


Kawan Pustaka.

Atep Afia Hidayat, Urgensi Pembentukan Badan Otorita Perbatasan,


Netsains.Com.

Berita Nasional, 2006, Pemerintah Akan Urus 92 Pulau Terluar, Berita Digital,
tanggal 20 Aprl 2006

Budi Achmadi, 2008, Pertempuran Laut Aru, Artikel Digital, Hasil wawancara
dengan Marsekal (Purn) Saleh Basarah, pernah dimuat di Majalah Intisari, Juli 2000.

cetak.kompas.com, 2009, Perbatasan Tak Terurus, Berita Digital, tanggal 12


Februari 2009

Hariyono, 1995, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, Jakarta : Pustaka Jaya.

Juwono Soedarsono, 2008 Pertahanan dan Keamanan Negara, Makalah Digital,


tanggal 15 Juli 2008.

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Depdikbud), 1984,


Sejarah Nasional Indonesia (SNI) VI, Edisi ke-4, Jakarta : Balai Pustaka.

S. Tasrif, S.H., 1990, Hukum Internasional tentang Pengakuan Kedaulatan dalam


Teori dan Praktek, Jakarta : Abardin.

Setneg RI, 1986, 30 Tahun Indonesia Merdeka, Cetakan Ketujuh, Jakarta : Citra
Lamtoro Gung Persada.

TEMPO Interaktif, 2010, Panglima TNI Prioritaskan Lindungi Daerah Perbatasan,


tanggal 02 Oktober 2010, 11 : 25 WIB.

Wikipidia, Operasi Trikora, Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas

Wikipidia, Pertempuran Laut Aru, Bahasa Indonesia, Ensiklopedi Bebas


38
B
BIIO
ODDA
ATTA
A

SSR
RII E
ENND
DAAN
NGG SSU
USSE
ETTIIA
AWWA
ATTII

Sri Endang Susetiawati, Dra. adalah guru PNS di SMPN 1


Kalimanggis Kabupaten Kuningan Jawa Barat, sekaligus
merangkap sebagai Kepala Perpustakaan Sekolah di lembaga
yang sama. Ia adalah anak pertama dari enam bersaudara, yang
lahir di Cirebon 04 Mei 1969. Sejak kecil, ia sudah suka
membaca buku sejarah, buku cerita atau sajak yang terdapat di
sebuah koran atau majalah. Ia pun suka membaca buku novel,
terutama yang bertemakan cinta, misteri ataupun sejarah.

Pendidikan SD, SMP dan SMA ia tempuh di kota Kuningan. Kemudian, pada tahun 1988
ia melanjutkan kuliah di Jurusan Pendidikan Sejarah Strata 1 (S-1) IKIP Bandung. Saat
kuliah inilah, bakat menulisnya mulai terasah, hingga beberapa kali, tulisannya yang berupa
artikel sempat dimuat pada harian umum lokal di Bandung. Pernah menjadi Juara 1 lomba
penulisan karya ilmiah tentang lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh Balai Sejarah
Provinsi Jawa Barat pada Tahun 1995 dan Pemenang 1 Sayembara Karya Tulis Kategori
Dosen dan Umum tentang “Menuju Perpustakaan Nasional Ideal” yang diselenggarakan oleh
Perpusnas RI tahun 2010. Tulisan lainnya, khususnya berupa Artikel dan Cerpen dikirim ke
sejumlah harian atau majalah, dan di Blog pribadi : Srie, URL : blogguru-srie.blogspot.com

Pernah mengajar di SMA Angkasa Lanud Husein Sastranegara Bandung (1992-1998) dan
SMA PGII 1 Bandung (1994-2002) sebagai Guru Tetap Yayasan (GTY). Kini tinggal di Desa
Kertayasa, Sindang Agung Kab. Kuningan, Jabar. E-mail :
sriendangsusetiawati@yahoo.com.

39

You might also like