You are on page 1of 36

March 8,

Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Darah Tidak Hagus


Ingatan Kami.. 'Tregedi
Tak Bai' di Narathiwat, Selatan
Thailand

25 Oktober 2004
..tanpa ada kebenaran.. tanpa ada
keadilan.. tanpa ada nafas.. hukum rimba
(mob rule).. militeristik...

Disusun Oleh:

Ben  (Sekedar Pemerhati konflik di Thailand Selatan)

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

MOTTO

Right Of Self Determination:


“hak anda untuk menentukan nasib
sendiri atas wilayah yang kini di duduki
asing.
Alasan anda benar. Keinginan anda pasti
terwujud. Insya Allah’’
 

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

PERSEMBAHAN

Ku persembahkan tulisan ini untuk kedua


orang tua ku yang selalu ku sayangi, ku
kasihi, kupuja dengan segenap jiwa dan
perasaan ku. Segala pengorbanan dan
ketulusan senantiasa terukir indah dalam
kasih mereka, tanpanya ku lelah,
tanpanya ku seakan kehilangan pelita
yang hadir berikan cahaya kehidupan atas
roh ku. Dan aku ingin ungkapkan “aku
memujai mu Ibu-ku (tanah air) dan aku
memujaimu bapak-ku (bangsa)”.

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

DAFTAR ISI
1. Pendahuluan

A.Latar Belakang Masalah

2. Tragedi Tak Bai

A. Faktor dan Peristiwa

B. Sikap Pemerintah Thailand dan Kritikan Dunia Internasional

C. Pandangan Domestik Terhadap Tragedi Tak Bai

             a. Tanggapan Pemerintah

             b. Tanggapan Para Ulama dan Aktivis Islam

             c.  Tanggapan Tokoh Akademik - Politik

             d. Tanggapan Keluarga Korban dalam Tragedi Tak Bai

3. Pasca Tragedi Tak Bai

A. Pasca Tragedi Tak Bai, 

             a. Kebijakan Pemeritah

             b. Daftar Hitam Warga Muslim

             c. Amnesty International Mendesak Pemerintah Thailand

B. Tuntut Warga Menyelidiki yang ‘dihilangkan’

C. Exodus Massal 131 Orang Penduduk Melayu Muslim di Thailand Selatan

            a. Penyebab

            b. Tuduhan Pemerintahan Bangkok Terhadap Pengungsi

            c.  Tanggapan Malaysia Terhadap Pengungsi Muslim Melayu dari Thailand
Selatan

4.Kesimpulan

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

1.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah        

Dalam reality kehidupan masyarakat muslim sebagai golongan minority, maupun


mayority baik di Barat maupun di Asia Tenggara selalu dipandang sebagai masalah.

Sekolompok mayority akan selalu menindas minority. Tampaknya telah menjadi


sebuah hukum alam. Walaupun asumsi di atas, masih harus dipertanyakan
kebenaran. Tapi, pada kenyataannya kondisi tersebut sesuai dengan reality yang
ada. Seperti yang dialami masyarakat Patani. Patani sebuah wilayah yang terletak di
Thailand Selatan. Dengan mayority penduduknya beragama Islam mengalami
tekanan-tekanan agar menerapkan beberapa kebijakan yang disodorkan
pemerintah. 

Dalam hal ini pemerintah yang ada di Thailand di dominasi oleh agama Buhda.
Sehingga tidaklah menghiraukan apabila kebijakan-kebijakan yang ambil dilandasi
dengan sentiment keagamaan Thailand yang mayority penduduk beragama Budha
berusaha merubah system atau tataran kehidupan rakyat Patani dan menjauhkan
mereka dari social cultural yang telah mereka aplikasi selama ini.

Di wilayah perbatasan Thailand Selatan sendiri tercatat pernah terjadi


pemberontakan bersenjata, beragam faksi perlawanan Patani. Setelah sempat
padam tahun 1990-an, aktivity perlawanan Patani mulai muncul kembali awal tahun
2004. Apa yang terjadi di Thailand Selatan jelas tidak lepas dari pergolakan di
Indochina sejak pertengahan tahun 1950 hingga 1980-an. Termasuk perang
Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sedangkan Myanmar hingga sekarang masih terus
bergolak.

Bahwa pada awal, Selatan Thailand merupakan Kerajaan Patani Merdeka, yang
kemudian dicaplok Kerajaan Siam tahun 1902 dan diintegrasikan sebagai bagian
dari Thailand (Maruli Tobing, Kompas, 8 Desember 2004). 

Dalam perspektif demikian, lambannya pembangunan di wilayah selatan dilihat


sebagai diskriminasi terhadap rakyat keturunan Melayu. Diskriminasi yang selalu
melekat dalam struktur penjajahan. Termasuk dalam kesempatan kerja di
pemerintahan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi. Situasi demikian jelas rawan
dan explosive. Pemerintah Thailand meresponsnya seperti halnya penjajah terhadap
rakyat jajahan. Bahwa wilayah Thailand selatan dulu merupakan kesultanan
merdeka bernama Patani sebelum Bangkok menguasainya seabad lalu. Penduduk di
perbatasan memiliki kebudayaan dan agama sama dengan Malaysia. Perang gerilya
untuk memperoleh kemerdekaan di Thailand Selatan berlangusng tahun 1970-an
dan 1980-an.

Mayority warga di tiga provinsi Patani, Yala dan Narathiwat, adalah warga Muslim
keturunan Melayu. Jumlahnya sekitar 80 persen dari sekitar 6 juta penduduk Muslim
di Thailand. Penduduk negeri Gajah Putih ini berkisar 63 juta jiwa. Tidak mudah
memang mengurai fakta-fakta tersebut. Di satu pihak rakyat di wilayah Selatan tidak
pernah merasa bagian dari Thailand. Namun, di pihak lain, mereka ikut ber
competition dalam politik nasional.

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Di Thailand Selatan terdapat minority Muslim yang pada masa yang lalu kurang
mendapat  perhatian dari pemerintah pusat (Sutopo A.R. Soesastro Hadi, 1981,
387). Seperti halnya juga rakyat Thailand Selatan selalu merasa diabaikan
pemerintah pusat dalam segala hal, termasuk dalam aktivity pembangunan, tetapi
saat pemimpin nasional Thailand berasal dari wilayah Selatan, hal ini tidak segera
dibenahi.

Thailand Selatan tetap seperti beberapa dekade silam. Dalam hal ini, persoalannya
bukanlah siapa yang berkuasa di Thailand. Sebab terbukti perception pada Thailand
Selatan sebagai daerah pembuangan tetap tidak berubah. perception inilah yang
menyebabkan daerah Selatan makin tidak terurus dan mirip daerah tidak bertuan.
Situasi demikian menyebabkan rakyat teralienation (a) dan tidak merasa bagian dari
Thailand.

Kesan bahwa tidak banyak yang berubah diperkuat oleh kenyataan bahwa agama
Buddha Thai di bagian-bagian selebihnya negeri itu masih menganggap bagian
Selatan sebagai wilayah perbatasan terpencil.  Dari perspective Bangkok hingga
saat ini wilayah itu tetap merupakan Thailand’s Deep South, provinsi terpecil di
selatan, atau Far South, selatan yang jauh, semua istilah-istilah ini banyak digunakan
dalam koran-koran dan media Thailand.

Apa yang terjadi di Thailand Selatan merupakan suatu rasa benci dan kecurigaan
yang sudah lama membubung kembali selama perang melawan terorisme yang
diumumkan setelah tanggal 11 September 2001 dan penangkapan sejumlah Muslim
Thai yang dicurigai sebagai anggota Jemaah Islamiah di Thailand. Kaum Melayu
Patani yakin bahwa pemerintah dalam kenyataan sebenarnya melancarkan perang
atas agama mereka dan sekolah-sekolah agama mereka atau yakin bahwa Bangkok
mengorbankan mereka untuk menjaga hubungan baik dengan Washington (Masri
Maris, 2005, 216).

Tak Bai adalah kota district di Provinsi Narathiwat, yang terletak sekitar 1.300
kilometer selatan Bangkok, tiba-tiba menjadi perhatian dunia internasional setelah
terjadi pembantaian pengunjuk rasa pada 25 Oktober 2004. Jalan menuju Tak Bai
hanya satu dan berakhir pula di sini, di sisi Sungai Nara, sungai yang penting bagi
lalu lintas perahu motor yang menghubungkan Tak Bai dengan Negara Bagian
Kelantan di Malaysia.

Pascatragedi kemanusiaan di Tak Bai, Narathiwat, yang menelan korban nyawa


sekitar 80-an demonstran, ada beragam pandangan terhadap kepemimpinan
Pemerintahan Thailand, baik pandangan politik domestik setempat maupun kritikan
internasional karena dianggap menempuh cara-cara repressive dalam menghadapi
demonstrasi warganya.

Tindakan repressive pemerintah Thailand terhadap demonstrasi Tak Bai di


Narathiwat Selatan Thailand merupakan bentuk pengingkaran Pemerintah Thailand
tersebut atas hak-hak masyarakat minority Muslim di Thailand Selatan. Tindakan ini
juga merupakan bentuk nyata dari upaya pemerintah untuk meminggirkan minority
Muslim Melayu Selatan Thailand dari sistem produksi mereka. Sekaligus merupakan
bentuk diskriminasi kepada komuniti masyarakat etnis Melayu yang manority Muslim.
Karena penduduk Muslim setempat tersebut merupakan bagian dari masyarakat

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

minority di Thailand, yang seharusnya mendapatkan jaminan hukum dan


perlindungan keamanan dari tindak diskriminasi apalagi pemusnahan.

Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan diproklamirkan oleh Resolusi Majlis
Umum 217 A (111) 10 Desember 1948 menerangkan pasal 9: Tidak seseorang pun
boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang. Mengikut Pasal 5:
Tidak seorang pun boleh dianianya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak
mengingat kemanusiaan, ataupun jalan perlakuan atau hukum yang menghina
(A.Rahman Zainuddin, 1994, xxviii-xxix).

Kebiadaban tentara Thailand terhadap umat Islam di Patani sebenar telah mengakar
sejak berdirinya negeri gajah putih itu. Ini tidak hanya menyangkut ketegangan
budaya tetapi soal ketegangan beragama. Bangsa Thai yang mayority beragama
Budha kelihatannya belum menerima orang Patani sebagai masyarakat sebangsa.
Secara giografis Patani di claim sebagai wilayah kerajaan Thai, tetapi sebaliknya
secara demografis dan cultural Patani selalu dilihat sebagai bangsa lain yang
kehadiran di anggap mengangu keutuhan bangsa itu, akibatnya mareka
didiskriminasi karena berbeda ras dan berebeda agama dengan demikian juga beda
kultur. Perbedaan itu yang membuat pemerintah Thai bersikap diskriminatif bahkan
cenderung diexpressionkan dengan tindakan kekerasan maupun masal.

Sikap inteleransi pemerintah Thailand dan masyarakat budha di negeri itu pada
umumnya terhadap comonity muslim terjadi karena mereka tidak bisa menerima
plurality, menghendaki hegemoni tunggal oleh Budhisme. Sikap terungkap secara
sadar atau tidak mengelola politik diprovinsi dibagian selatan yang terdiri dari ras
melayu itu kemelayuan dan keislaman rupanya belum bisa diterima oleh pemerintah
dan masyarakat disitu, ini terjadi kerana belum tuntas orientation kemanusiaan
dikalangan mereka sehingga cenderung rasialis.

Sistem demokrasi Kerajaan Thailand yang terbentuk oleh budaya dan agamanya
cenderung otoriter terhadap minority Melayu di bagian Selatan Thailand. Demokrasi
barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi bangsa Patani bagaikan negara yang
aristocracy atau sejenisnya.

Adapun awal perkembangan politik Thailand di Selatan (Patani) berdasarkan pada


mendelegitimasikan bangsa Patani dan berusaha melegitimasikan atas haknya. Jadi
jelas bahwa Kerajaan Thai bertujuan untuk menghapuskan kepemilikan hak atas
bangsa Patani, baik secara politik maupun fisik, merupakan suatu simbol yang tak
dapat dihindarkan.

Jadi, apa yang terjadi pada hari Senin, 25 Oktober 2004 di depan kantor polisi di
distrik Tak Bai, Narathiwat terhadap para pengunjuk rasa yang memprotes
penangkapan warga Patani Muslim yang oleh polisi dituduh telah menyediakan
senjata untuk gerakan geriliya Patani, sehingga 6 orang mati tewas kena tembakan,
sedangkan 78 warga Patani lainnya tewas ketika sekitar 1300 orang dijejalkan ke
dalam 6 truk polisi yang tidak cukup mendapakan oksigen untuk bernapas ketika
diangkut ketempat penjara yang memerlukan 5 jam waktu perjalanan. Bahwa

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

demontransi hanya sekadar picu, bukan sebab utamanya karena itu tanpa ada
demontransi, pasukan Thailand akan berbuat dengan alasan apapun. Bahkan
demontransi terjadi juga karena adanya kekerasan yang mereka derita selama
bertahun-tahun.

Hal-hal di atas inilah yang menjadikan ketertarikan dan keingintahuan penulis untuk
melakukan penelitian dalam bentuk penulisan dengan judul: “TRAGEDI TAK BAI DI
NARATHIWAT, THAILAND SELATAN”.

(a). Teralienasi: Keadaan merasa terasing atau terisolasi. Konsep ini di gunakan oleh Karl Marx untuk
nenunjukan keterasingan menusia yang disebabkan oleh adanya persaiangan dan sikap egoisme,
sehingga orang tidak lagi saling menghargai tetapi saling memanfaatkan. Lihat dalam Marbun, Kamus
Politik, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 2002, hlm.16.

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

2. Tragedi Tak Bai


A. Faktor dan Peristiwa

Leletaknya Thailand Selatan sangat strategis dari sisi geopolitics. Berbatasan


dengan Malaysia dan di mulut Selat Malaka. Dari perairan Thailand Selatan dapat
dimonitor kapal-kapal yang berlayar dari Laut China Selatan menuju Selat Malaka.

Tak Bai, kota district di Provinsi Narathiwat, yang terletak


sekitar 1.300 kilometer selatan Bangkok, tiba-tiba menjadi
perhatian dunia  internasional setelah terjadi pembantaian
pengunjuk rasa pada 25 Oktober 2004 bersamaan dalam
bulan puasa Ramadhon. Jalan menuju Tak Bai hanya
satu dan berakhir pula di sini, di sisi Sungai Nara, sungai
yang penting bagi lalu lintas perahu motor yang
menghubungkan Tak Bai dengan Negara Bagian
Kelantan di Malaysia. Sebagian dari sekitar 10.000
penduduk Tak Bai yang majority muslim memburuh di
Malaysia. Sebagian lagi bekerja sebagai nelayan, petani,
pengojek, dan membuka warung. Denyut kehidupan ekonomi di sini jauh dari
gemuruh sektor modern di Bangkok.

Semenjak kajatuhan Patani ketangan Kerajaan Siam (Thailand), orang-orang Melayu


di Thailand Selatan menaruh dendam kesumat berkenaan dengan apa yang mereka
anggap sebagai penggabungan secara paksa tanah air mereka dengan negara
Thailand yang Buddhis dan berbahasa Thai. Bahwa orang-orang Melayu itu telah
memberi reaction dengan berbagai cara, mulai dari protes sampai kepada
perjuangan bersenjata (Surin Pitsuwan, 1989, 170)

Ketidakadilan yang dirasakan warga muslim inilah yang kerap memicu pertikaian
dengan tentara pemerintah. Dan tindak kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan,
menjadi tantangan bagi unsur politik dan sosial sebuah negara yang hendak
menjaga kerukunan etnik warganya.

Muncul peristiwa Tak Bai sangat menjadi perhatian masyarakat internasional karena
cara pembantaian yang dilakukan militer sangat mengerikan. Kebrutalan tentara
Thailand menghadapi para demonstran Muslim bukan suatu yang salah prosedur,
tetapi lebih merupakan simtom atau suatu perubahan dengan keadaan khusus
kondisi masyarakat yang menunjukkan tanda-tanda adanya suatu penyakit dari
sebuah bawah sadar bahwa kelompok Muslim Patani adalah musuh yang harus
dibasmi. Demonstrasi hanya sekedar picu, bukan sebab utamanya, karena itu tanpa
ada demonstrasi, pasukan Thailand akan berbuat kekarasan dengan alasan apapun.
Bahkan demonstrasi terjadi juga karena adanya kekerasan yang mereka derita
selama bertahun-tahun.

Bahwa peristiwa di desa kecil ini (Tak Bai) bermula ketika 6 anggota Pertahanan
Sipil (HANSIP) diantaranya termasuk empat orang ustaz dengan tuduhan
menyerahkan senjata kepada kelompok pejuang Patani. Masyarakat yang tahu
duduk perkaranya menuntut pembebasan keenam warga. Mereka mengatakan
senjata anggota HANSIP itu memang benar-benar hilang dicuri orang. Aparat
keamanan membantah keterangan masyarakat tersebut.
Patani Fakta dan Opini
March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Menurut catatan setidaknya 10 senapan pemerintah dicuri dari para HANSIP dan
penjaga keamanan di Patani. Sebuah serangan lain yang dilancarkan ke sebuah
markas militer awal Januari 2004 yang mengakibatkan tewasnya empat tentara dan
dirampoknya 414 pucuk senjata (Kompas, 13 November 2004)

Serangan-serangan itu bisa dipandang serius dari segi keamanan pada umumnya di
wilayah Thailand Selatan yang majority penduduknya adalah muslim. Luasnya
pembakaran sekolah serta dalam serangan-serangan terhadap gudang militer
memberi kesan bahwa hal itu dilakukan oleh kelompok terorganisir. Di samping itu,
juga terdapat sejumlah bukti adanya latihan militer dalam aksi-aksi itu.  Apabila
mengamati insiden yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan, maka gelombang
serangan terakhir ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Dari sisi itu, maka
serangan terakhir ini tidaklah baru. Belum ada serangan besar lainnya di Asia
Tenggara. Sejumlah kalangan mencoba menginternasionalisasikan masalah ini
tanpa adanya bukti yang kuat. Memang serangan-serangan itu memiliki dimensi lokal
dan internasional.

Bentrokan dalam demontrasi terjadi pada 25 Oktober


2004, sekitar 2.000-3.000  Muslim di Tak Bai melakukan
aksi demonstrasi di depan

 kantor polisi setempat. Demontrasi tersebut munculnya


akibat penangkapan enam warga Muslim yang dituduh
menyuplai persenjataan kepada para gerilyawan di
wilayah selatan Thailand yang penduduknya mayoritas
Muslim. Pada awal, petugas keamanan yang terdiri atas
polisi dan tentara mencoba membubarkan para demonstran yang terus berteriak-
teriak. Namun, mereka bukannya membubarkan diri. Malah, jumlah para
demonstran bertambah banyak.

Aparat pun kehilangan kesabaran dan mulai menembaki para demonstran dengan
gas air mata, senjata api, dan senjata air. Militer Thailand juga menangkapi para
demonstran dan memasukkannya ke dalam enam truk yang sudah disiapkan untuk
dibawa ke kamp militer Inkayuth Bariharn, Pattani (www.icmi.org,
http://www.icmi.or.id/ind/content/view/83/60/)

Peristiwa Tak Bai secara jelas menunjukkan aparat militer


dan polisi menghajar  pengunjuk rasa dengan popor
senjata, pukulan, dan

 tendangan. Kemudian para pengunjuk rasa dipaksa


merangkak di jalan asphalt dengan bercelana kolor, Dan
mereka dipaksa berkumpul dengan merangkak tanpa
baju, di atas tanah berlumpur dengan kawalan ketat
tentara. Darah mengucur di mana-mana, tetapi tidak
mengurangi kebengisan aparat keamanan. Mereka juga
menganiaya ibu-ibu dan anak-anak yang ditangkap dan dikumpulkan di kantor polisi
Tak Bai. Dalam kondisi terikat dan berpuasa, tubuh-tubuh mereka dilemparkan ke
atas truk militer, usai demonstrasi yang digagalkan aparat. Lelah dan siksa
mengantarkan mereka menjemput maut.

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Saksi mata mengatakan puluhan orang tewas di tempat


setelah aparat keamanan mulai menembaki pengunjuk
rasa, dan hingga sekarang

lebih dari 60 warga belum kembali ke rumah. Mereka


lenyap dalam peristiwa tersebut. Sementara itu, di Teluk
Nangka, warga mengatakan 22 jasad pengunjuk rasa
dikubur aparat militer di desa itu dan 38 warga yang
cedera dilempar ke Sungai Nara (Maruli Tobing ,
Kompas,  20 Desember 2004).

Pada awalnya, angka korban dilaporkan hanya 6 orang,


kemudian meningkat dengan mendadak kepada 84
orang. Menurut penduduk

 tempatan jumlah korban sebenar melebihi daripada 100


orang. Statistik yang diberikan oleh seorang pemerhatian
bebas menjelaskan bahwa 6 orang mati serta merta
terkena tembakan, 78 orang mati di hospital, 35 mayat
ditemui terapung di dalam sungai dan 1298 orang
mengalami kecederaan.

Tentara dan polisi juga melontarkan tembakan dan


menyemprotkan air serta melemparkan ‘granat-granat’
gas air mata ke arah pengunjuk

 rasa (Pikiran Rakyat, 27 Oktober 2004). Kebanyakan


para korban mati lemas dan beberapa di antaranya
mengalami patah tulang leher (Pikiran Rakyat, 28
Oktober 2004).

 Sekitar 1.300 pengunjuk rasa diangkut dengan enam truk


dengan tangan terikat ke belakang. Para tawanan itu
bertindihan hingga lima lapis. Tidak cukup hanya itu, truk ditutup lagi dengan terpal
selama perjalanan 5,5 jam menuju Markas Komando Militer IV Wilayah Selatan
(Maruli Tobing , Op.Cit).

Pembataian di Tak Bai hanyalah salah satu peristiwa yang dialami masyarakat
Muslim. Sebelumnya, 28 April 2004 telah 113 pemuda dan remaja muslim tewas
dibantai aparat militer dan polisi karena mencoba menyerang pos-pos keamanan
dengan menggunakan senjata tajam.

Munurut wartwan Kompas Maruli Tobing, dari Narthiwat,


Thailand Selatan menginvestigasikan bahwa:

Dalam peristiwa yang mirip ‘amok’ tersebut, sebanyak 34


remaja dan pemuda yang berlindung di Masjid Kre Se,
Pattani, ikut terbunuh.Dalam kekerasan ini pasukan
Thailand juga diperkirakan telah bertindak berlebihan terhadap 113 pemuda Muslim

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

yang tewas. Sekelompok anak muda bersenjatakan parang dihadapi dengan


persenjataan berat karena diduga akan menyerang kantor polisi (Maruli Tobing,
Op.Cit.).

Masjid tua peninggalan abad ke-17 ini hancur karena aparat keamanan
menembakinya sejak pukul 05.00 pagi hingga 14.10 petang. Ny Sema dan warga
lain mengaku menyaksikan helikopter meraung-raung sambil melepaskan tembakan
di atas masjid seluas 20 x 25 meter itu. Sementara kendaraan lapis baja menutup
rapat jalan masuk dan keluar. Lebih dari 100 anggota militer dan polisi ikut
menembaki masjid bersejarah itu.

Peristiwa di Masjid Kre Se dan Tak Bai merupakan cermin bahwa hukum telah mati
suri di wilayah selatan. Tetapi ini bukanlah fenomena baru. sejak lama Thailand
Selatan mirip daerah tidak bertuan. Di sini yang berlaku hanyalah hukum rimba.

Seperti dikemukakan seorang warga Jerman yang ditemui Kompas di Narathiwat,


“keadaannya hampir sama seperti 35 tahun silam”. Warga Jerman ini pernah
menjadi pekerja sosial di bidang konstruksi di Thailand selatan tahun 1970-an (Ibid).

Peristiwa Tak Bai bisa dikatakan sebagai puncak kekerasan yang ditempuh
pemerintahan Thailand dan sekaligus menjadi titik balik bagi perjalanan sejarah umat
Islam di Thailand Selatan. Rentetan kekerasan sebelumnya juga sudah menewaskan
puluhan warga Muslim. Yang terbesar adalah penyerangan ke Masjid Krue Se, April
tahun 2004, yang menewaskan 113 orang Melayu Muslim.

Wali Kota Pattani Panya Kittikul, mengungkapkan, para relawan anggota regu
pengamanan desa dan Pertahanan Sipil HANSIP di provinsi itu sudah mulai
menyerahkan kembali senjata inventory yang sebelumnya dibagikan pemerintah
kepada mereka. Alasan pengembalian adalah untuk menjaga agar senjata-senjata
itu tidak sampai jatuh ke tangan kaum geriliyawan. Demi keselamatan mereka
sendiri, mereka menyatakan ingin menyimpan saja senjata itu di kantor distrik
(Kompas, 13 November 2004). Alasannya yang lain, pengembalian senjata itu
membuat mereka lebih merasa aman bagi dirinya baik dari perompakan sejata dari
geriliya maupun tuduhan pemerintahan terhadap mereka dengan mengatakan
mereka bersekongkol sama geriliyawan dengan menyerahkan senjata kepada
Pejuang Patani.

Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri Thailand mendistribusikan lebih dari 4.000


pucuk rifle dan amunisi dalam jumlah besar kepada para relawan pertahanan sipil,
kepala desa, dan para penjaga keamanan di provinsi-provinsi selatan yang dekat
dengan Malaysia. Namun, banyak di antara senjata-senjata itu yang dicuri oleh para
gerilyawan Patani.

B. Sikap Pemerintah Thailand dan Kritikan Dunia Internasional

Unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan dan tewasnya sekitar 84 warga muslim
Thailand (Siam) di Provinsi Narathiwat, Thailand Selatan, cukup memprihatinkan dan

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

setidaknya pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Amerika Serikat telah


menyampaikan duka mereka dan berharap pemerintah Thailand di bawah Perdana
Menteri Thaksin Shinawatra dapat menyelesaikan masalah ini dengan lebih bijak dan
tanpa kekerasan.

Setakat ini respons kerajaan Thai keatas dunia internasional adalah sangat bersikap
keras. Para diplomat internasional kurang memuas atas laporan Menteri Luar Negeri
Thailand daripada penjelasan itu. Adanya sesetengah diplomat Barat inginkan
penjelasan pristiwa ini lebih lanjut secara detil mengenai tragedi Tak Bai.

Pada pertemuan Forum Keamanan di Bejing, 4 November 2004, yang dihadiri oleh
wakil-wakil pertahanan dari forum Asean, delegasi dari Indonesia bertanya kepada
Menteri Luar Negeri Thailand untuk memberi keterangan mengenai situasi di
Selatan, tetapi pihak Thai mengatakan ini adalah masalah domestik
(www.malaysiatoday.net).

Indonesia meng-investigation-kan bahwa Juru Bicara Departmen Luar Negeri


(Deplu) -Thailand Sihasak Phuangketkeow yang ditemui di sela-sela pertemuan
tingkat menteri luar negeri (AMM) ASEAN di gedung International Cooperation and
Training Center (ICTC) di Vientiane, mengatakan pihaknya siap membicarakan dan
memberi informasi mengenai isu tersebut dengan rakan-rakan ASEAN namun
dengan catatan hal itu dilakukan secara bilateral.

Thaksin Shinawatra, secara mengejutkan 25 November 2004 di Bangkok


menyatakan:

“Akan memboikot KTT ASEAN jika conference tingkat tinggi itu mengungkit-ungkit
masalah di Thailand Selatan. Kalau isu kekerasan di Selatan diungkit dalam KTT
ASEAN, PM Thaksin akan segera kembali pulang (ke Bangkok)”.

 Pernyataan boikot itu keluar beberapa hari sebelum kepala negara/pemerintahan 10


negara ASEAN dan empat mitra dialognya, yaitu China, Jepang, Korea Selatan,
India, Australia dan Selandia Baru memulai pertemuan puncak mereka di Vientiane
pada 28-30 November 2004 (Media Indonesia, 28 November 2004).

Tentunya hal ehwal dalaman, tetapi di dalam hari-hari dan minggu yang akan datang
akan adanya lonjakan paradigma. Thailand mestilah berani untuk menerangkan apa
yang telah terjadi di selatan dan apakah jalan penyelesaiannya. Kerajaan Thai perlu
belajar beberapa perkara dari pihak Indonesia dan Malaysia mengenai isu-isu
sensitif. Pada beberapa kali kedua-duanya telah mengambil inisiatif untuk memberi
penerangan kepada rakan-rakan Aseannya mengenai keadaan dalaman negara
yang boleh merunsingkan jiran. Indonesia memberi penjelasan kepada kumpulan
tersebut mengenai situasi di Aceh secara rela hati dan selepas itu meminta
kerjasama.

Menteri pertahanan AS Donald Rumsfeld yang dalam kunjungan satu hari ke


Thailand ketika bertemu dengan PM Thailand Thaksin Shinawatra menerima

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

penjelasan bahwa masalah konflik di tiga provinsi selatan Thailand dengan


mengadakan pembicaraan selama sekitar 30 menit dengan PM Thailand Thaksin
Shinawatra. Bahwa Thailand merupakan sekutu lama AS dan menjalin hubungan
militer yang dekat dengan Washington.

PM Thaksin memberikan keterangan kepada Rumsfeld tentang aksi perlawanan


kelompok Islam di Selatan Thailand yang mayoritas penduduknya warga Muslim
dalam aksi kekerasan tersebut, yang menurut Thaksin, murni sebagai masalah
dalam negeri dan tidak ada kaitannya dengan terorisme internasional
(www.k)apanlagi.com.

Rasa prihatin juga diungkapkan Pemerintah Amerika Serikat. Juru bicara Deplu AS,
Edgar Vasquez, mengatakan:

“Amerika Serikat sangat menyesal berlanjutnya kekerasan berdarah di Thailand


Selatan. Dari Washington mendesak pihak berwenang Thailand bertanggung jawab
atas perlakuan yang tidak manusiawi terhadap para tawanannya dan mendesak
pemeritah Bangkok agar melakukan penyelidikan sepenuhnya atas peristiwa
penangkapan 1.300 Muslim yang menyebabkan tewasnya umat Muslim itu yang
berakhir dengan kematian 78 warga Muslim” (Pikiran Rakyat,  28 Oktober 2004).

Keprihatin Malaysia atas insiden yang terjadi di Thailand Selatan. PM Malaysia,


Abdullah Ahmad Badawi juga menawarkan bantuan apabila diperlukan untuk
meredakan konflik di Thailand Selatan antara rakyat setempat dengan pihak
penguasa daerah dan mengharapkan Pemerintah Thailand dapat segera mengatasi
krisis tersebut. Demikian juga PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi
menginstruksikan Menteri Luar Negeri Syed Hamid Albar untuk mencari informasi
mengenai hal itu (Ibid).

Pemerintah Indonesia menyatakan berduka atas kematian 78 orang setelah terjadi


unjuk rasa di Provinsi Narathiwat, Thailand dan peristiwa ini mendapat perhatian
besar di dalam negeri. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Marty Natalegawa,
mengatakan:

“Pemerintah Indonesia berharap dan percaya Pemerintah Thailand akan melakukan


investigasi atas peristiwa ini. Proses seperti itu sangat penting, karena Indonesia
tidak ingin melihat adanya lingkaran kekerasan, atau munculnya masalah baru
sebagai akibat tindakan repressive Pemerintah Thailand”.

PP Muhammadiyah mengutuk keras perlakuan aparat Thailand itu. Mantan ketua PP


Muhammadiyah, Syafii Maarif, menyatakan:

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

“Tragedi pada Ramadhan itu harus disebutkan sebagai kejahatan kemanusiaan.


Muhammadiyah mendesak Thailand agar menindak keras dan concrete aparat
keamanannya yang telah melakukan pembantaian” (Ibid).

Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad Rizieq Shihab mengutuk
terjadinya peristiwa itu. Menurutnya:

 “Thaksin harus minta maaf kepada dunia muslim. Bahwa yang terjadi di Narathiwat
itu bukan kejadian tidak sengaja. Kalau ini yang pertama kali, bisa dikatakan hanya
insiden, ini sudah yang ke berapa kali, ini berarti kesengajaan untuk membantai
umat muslim di Thailand Selatan” (Tempo, 05 November 2004).

Usman Hamid, Coordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (KontraS) mengutuk tindakan authority keamanan Thailand
terhadap warga Patani Thailand Selatan, dengan mengungkapkan bahwa:

“Kasus pembunuhan massal terjadi di Thailand Selatan yang menewaskan sekitar


78 warga Patani tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes
against humanity), dan juga bisa dilihat sebagai genocide. Kejahatan seperti ini
masuk dalam jangkauan jurisdicy universal. Oleh karena itu, kejahatan ini harus
diajukan ke Pengadilan Kejahatan Internasional (International Criminal Court-ICC)
guna menuntut pertanggung- jawaban criminal PM Thakshin” (www.kontras.org).

KontraS mengecam pernyataan authority Thailand yang menyatakan bahwa


kematian 78 warga Thailand Selatan merupakan kebrutalan aparat keamanan. Sama
sekali tidak masuk akal juga menyatakan alasan penyebab kematian adalah akibat
sesak napas. Apalagi kematian itu terjadi dalam jumlah yang besar.

Kebijakan-kebijakan Thaksin dianggap kurang adil terhadap warga dan merembet


memengaruhi kehidupan relation keagamaan antara penganut Islam dan penganut
Buddha yang selama ini cukup baik. Bahkan, ketidakmampuan Thaksin
menghentikan segera tindak kekerasan di Thailand Selatan sempat membuat
“ketegangan politik baru” dan menodai kebersamaan ASEAN dalam memerangi
terorisme yang segera diprotes Kuala Lumpur dan Jakarta, ketika menuduh bahwa
para militan Islam di Thailand Selatan mendapat latihan dan dikendalikan dari
pemimpin yang ada di Malaysia dan Indonesia (Kompas, 7 Febuari 2005).

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

C. Pandangan Domestic Terhadap Tragedi Tak Bai

            a. Tanggapan Pemerintah

Di tengah kecaman itu, PM Thailand Thaksin Shinawatra memperbaiki


pernyataannya dengan mengatakan pasukan keamanan telah membuat kesalahan
dalam mengatasi demonstrasi ribuan umat Muslim di Thailand Selatan itu. Tapi,
Thaksin tetap meyakini pernyataannya semula bahwa kematian 84 warga muslim
melakukan aksi demonstrasi di depan kantor (balai) polisi Tak Bai itu karena puasa.

Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, langsung meninjau lokasi kejadian


didampingi Menteri Pertahanan Jenderal Sumpan Boonyanun, Menteri Dalam Negeri
Bhokin Bhalakula, dan Sekretaris Perdana Menteri, Yongyut Tiyapirat. Kata PM
Thaksin kepada wartawan setibanya di Pattani:

“Ini biasa seperti ini (this is typical), ini mengenai tubuh-tubuh (orang) yang dibuat
lemah karena puasa. Tidak ada yang melukai mereka” (Pikiran Rakyat, 27 Oktober
2004).

Thaksin juga menolak minta maaf untuk tragedi ini, tapi menawarkan ganti rugi
kepada keluarga korban tewas (www.gatra.com). Hal demikian juga PM Thaksin
mengatakan kepada Muslim Thailand:

“Bahwa saya Perdana Menteri tahu semua yang terjadi di selatan, dan Saya tidak
mendukung secara absolute penyiksaan warga. Namun warga harus menuruti
aturan” (Kompas, 27 Oktober 2004).  

Sebagian dari pejabat pemerintahan Thailand juga menyatakan bahwa:

“Para korban tewas bukan akibat kekerasan karena tidak ada bukti kekerasan pada
jasad korban”.

PM Thailand meminta pembentukan sebuah commission independent untuk meneliti


sebab-sebab terjadinya tragedi Tak-Bai, dan tidak akan ada seorang pun pejabat
resmi pemerintah yang akan menjadi anggota dalam komisi tersebut. Komisi ini akan
menyerahkan hasil-hasil penelitiannya selama satu bulan setelah kejadian tragedi
tersebut.

Bahwa PM Thaksin Sinawatra hanya memenuhi ambition politik ketika menindas


minority muslim Patani, tidak berdasar semangat Budhis yang cinta damai. Thaksin

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

juga pandai bermuka manis untuk menutupi kekuasaannya yang bertangan besi.
Misalnya beberapa hari setelah peristiwa Tak Bai menyebarkan ribuan “burung
kertas” dari pesawat udara untuk mengkampanyekan perdamaian di Thailand
Selatan. Jutaan origami berterbangan dari sejumlah pesawat tempur di angkasa
provinsi-provinsi selatan Thailand, seiring tuntasnya misi perdamaian Pasukan AU
Kerajaan Thailand di wilayah tersebut. Kerajinan tangan origami berbentuk burung
Merpati, yang terbuat dari kertas-kertas yang dilipat cantik dan menarik itu
mengekspresikan harapan segera berakhirnya kekerasan di wilayah Thailand
selatan yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Pemerintah juga mengklaim-ada sekitar 120 juta burung


Merpati yang melambangkan perdamaian dan
reconciliation, dibuat dari lipatan-lipatan kertas. Perdana
Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, terkait
dilancarkannya kampanye damai itu, mengaku telah
memperoleh efek psikologis yang positif dari upayanya
untuk meyakinkan warga provinsi-provinsi selatan
Thailand bahwa:

 “Mereka adalah bagian dari masyarakat Thai dan pemerintah perduli terhadap
mereka”. Thaksin juga mengatakan: “Akan lebih mudah saat ini bagi pemerintah
untuk memulihkan perdamaian di kawasan yang diwarnai pergolakan itu”.

Dari pandangan masyarakat muslim di Selatan Thai, mungkin baik karena burung
kertas berbentuk merpati itu dimaksudkan sebagai ajakan perdamaian. Namun, bagi
warga setempat yang mayoritas Muslim, hal itu bisa dipahami lain. Ribuan burung
kertas yang dijatuhkan dari udara bisa dianggap sebagai pernyataan perang. Bisa
merujuk pada Surat Al-Fiil dalam Alquran yang bercerita soal burung Ababil yang
menjatuhkan batu dari neraka untuk memusnahkan pasukan Abrahah yang hendak
menghancurkan Ka'bah.

    

b. Tanggapan Para Ulama dan Aktivis Islam

Anggota masyarakat Islam mengutuk langkah-langkah pasukan keamanan dalam


menangani kerusuhan. Para aktivis Islam juga menuduh pasukan keamanan
Thailand menggunakan taktik penanganan yang terlalu keras di wilayah selatan,
termasuk menyerang masjid yang mengakibatkan 32 warga Muslim tewas dalam
kerusuhan 28 April 2004.

Sejumlah tokoh dan aktivis Islam yang diwawancarai Kompas (Maruli Tobing,
www.kompas.com) di Provinsi Yala dan Narathiwat berpendapat dengan
mengatakan bahwa:

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

“Keadaan demikian sudah dirasakan rakyat di wilayah selatan Thailand sejak


kerajaan Siam mencaplok kerajaan Pattani tahun 1902. Kami adalah bangsa dengan
identity Melayu yang sangat berbeda dengan bangsa Siam. Ini merupakan fakta
sosio-historis dan sudah ada jauh sebelum terbentuknya kerajaan Thailand”,
ujarAbdul Samad.

  

“Bahwa watak kolonial pemerintah pusat terhadap rakyat di wilayah selatan, tampak
kasatmata dalam penanganan unjuk rasa di Tak Bai. Manusia disusun bertindihan
hingga lima lapis. Mereka memperlakukan warga turunan Melayu melebihi binatang.
Hal yang mustahil mereka perbuat terhadap warga Siam, tutur seorang aktivis Islam
lulusan al-Azhar, Cairo.

“Namun agar hubungan tersebut tetap tampak serasi dari luar, Pemerintah Thailand
menggunakan teror terhadap warga yang mempertanyakan hak-haknya. Setiap saat
warga bisa dijemput pada malam hari. Rumahnya dikepung puluhan aparat
keamanan dengan tuduhan separatis Islam. Peristiwa seperti ini menimbulkan
ketakutan bagi warga lainnya”, tutur seorang aktivis Islam lulusan IAIN Yogyakarta.

Demikian juga ungkapan pemimpin agama dari Desa Teluk Manak, Narathiwat, Qori
Abdullah berusia 60 tahun, mengatakan:

“Permintaan maaf Thaksin tidak berarti karena beratus-ratus umat Islam telah
dibunuh dengan kejam. Bahwa pada saat ini kepercayaan umat Islam terhadap
kerajaan Thaksin semakin genting karena mereka keliru dengan tindakan kebrutalan
aparat keamanan yang tidak berperikemanusiaan” (Zukiflee Bakar, http://www.mail-
archive.com/it-kelantan@yahoogroups.com/msg00615.htm). 

       

   c.  Tanggapan Tokoh Akademik - Politik

Hari-hari ini, nama wilayah Patani menjadi bahan pemberitaan hangat di surat-surat
kabar, radio maupun televisi di banyak negara. Adalah insiden yang terjadi
menewaskan sekitar 84 penduduk Muslim Patani membuat perhatian di dalam negeri
dan macanegara sontak beralih ke kawasan di selatan Thailand tersebut.

Sebenarnya gejolak di Patani sudah berlangsung lama. Umat Muslim sebagai kaum
minority di negeri Gajah Putih--dan banyak mendiami Patani, Yala dan Narathiwa--
sejak lama mengeluhkan adanya diskriminasi dalam sektor bisnis, pendidikan, dan
lapangan pekerjaan. Kendati sudah menempati wilayah itu berabad-abad, mereka
tetap mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat.

Menurut Chayan Vaddhanaphuti, tokoh antropologi dari Universitas Chiang Mai di


Utara Thailand memberikan bukti bahwa:
Patani Fakta dan Opini
March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

“Pemerintah tidak harus memaksakan kebijakan yang berlaku untuk kelompok


minority lainnya dapat diterima oleh warga Muslim di Thailand Selatan. Mereka
mempunyai sejarah khusus dan merupakan mayority di sana. Mereka kurang
mengembangkan tolerance dalam soal ini. Bahwa pejabat pemerintah dan para
bureaucrat punya andil dalam membuat kegelisahan warga Muslim di negara itu
yang menyinggung kepekaan budaya dan agamanya” (Republika, 5 Nopember
2004).

Beberapa tokoh akademik Thailand berpendapat bahwa pemerintah perlu membuat


peraturan yang mengatur perpaduan sosial dan etnik jika Thailand ingin memelihara
citranya sebagai negara yang tolerant di antara negara tetangganya seperti
Myanmar, Indonesia, Malaysia bahkan Filipina. Memang sejauh ini tidak terjadi
kerusuhan antar etnik di Thailand, namun terjadi sejumlah kasus yang mirip
kerusahan antar suku.

Direktur Pusat Informasi Perdamaian di Universitas Thammasat di Bangkok Chaiwat


Sath-Anand, mengatakan:

“Bahwa Pemerintah Thailand harus kembali kepada karakter masyarakat Thailand


yang lentur untuk meng- accommodation perbedaan sosial dan budaya tersebut.
Bagaimana pun, Pemerintah Thailand harus memutuskan tiang utama kebijakannya
mengenai kelompok minority dalam hal assimilation dan integration untuk suatu
kebijakan dimana warga Muslim diterima sebagai warga dengan identity budaya
berbeda yang hidup di Thailand” (Ibid).

Consequence-nya, warga Muslim di Selatan merasa budaya mereka selama ini


ditekan dan mereka mengasingkan diri. Demikian menurut mantan Menteri Luar
Negeri Thailand, Surin Pitsuwan dengan mengatakan:

“Penting untuk memberikan jaminan kepada warga Muslim di Selatan bahwa budaya
mereka akan dihormati, agama dan tradisi mereka dilindungi dan partisipasi mereka
diharapkan. Mungkin itu akan menyelesaikan masalah” (Ibid).  

Menurut Direktur Eksekutif Partai Demokrat Surin Pitsuwan (Kompas, 22 Mei 2004)
menilai pembunuhan yang terjadi di Thailand selatan terhadap kaum Muslim
merupakan bentuk ketidakpekaan dari pemerintah. Sejak lama pihak oposisi sudah
mengingatkan tentang adanya kesalahan penanganan di Thailand selatan, tetapi
peringatan itu dianggap angin lalu oleh pihak PM Thaksin. Ujar Surin, yang juga
mantan Menteri Luar Negeri Thailand, mengatakan: 

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

 “Kalau kita lihat dari sejarah, Patani merupakan daerah yang sejak awal
independen. Masyarakat di sana sebenarnya tidak anti terhadap pembangunan.
Hanya saja, mereka menginginkan agar pembangunan itu dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan kemampuan mereka agar masyarakat di sana tidak hanya
menjadi penonton pada akhirnya”.

Oleh karena itu, Surin berpendapat, apa yang seharusnya dilakukan di Thailand
selatan bukanlah sekadar pembangunan, tetapi kemauan dari pemerintah untuk
mendengarkan apa yang diinginkan masyarakat di sana dan apa yang mereka
butuhkan, adalah pengertian, simpati, dan sensitivity dari pemerintah tentang apa
yang mereka butuhkan.

Surin melihat, apa yang hendak dilakukan PM Thaksin murni hanya pendekatan
seorang chief executive officer (CEO). Persoalan yang muncul ke permukaan hanya
dilihat dari kacamata bisnis, tanpa mau memerhatikan persoalan psikologis apa yang
terjadi di sana.

Menurut Surin bahwa:

“Pemerintahan Thaksin cenderung populist. Ia cenderung memberikan apa yang ia


pikir diinginkan masyarakat, tanpa memerhatikan consequence yang mungkin
ditimbulkan”.

          d. Tanggapan Keluarga Korban dalam Tragedi Tak Bai

Tindakan aparat keamanan sudah membunuh ribuan umat Muslim Melayu dengan
berkeinginan untuk menghalang masyarakat muslim dalam melakukan suatu
perlawanan atas perlakuan aparat yang jelas sudah berada jauh dari batas
kemanusiaan.

Keluarga korban yang tewas dalam tragedi Tak Bai akibatkan pambantaian antara
aparat keamanan dengan masyarakat yang berdemontrasi di depan kantor distrik,
mereka menolak permohonan maaf Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Mereka
menganggap tindakan aparat keamanan sebagai kebrutalan yang tidak bisa
dimaafkan.

Dari Email Protected menginvestigasikan bahwa rakyat muslim tidak bisa menerima
atas peristiwa dalam kejadian itu dan ini merupakan kezaliman yang pantas untuk
tidak dimaafkan, sebagaimana ungkapan-ungkapan keluarga terkorban dalam
tragedi tersebut berpandapat bahwa, Daud Tok Chu, 63, dari Desa Gajah Mati yang
kehilangan dua orang anak dalam peristiwa itu dengan tegas berkata:

“Masyarakat Muslim Melayu tidak akan percaya terhadap pernyataan Thaksin bahwa
siasat akan dilanjutkan untuk mengetahui puncak dan penyebab kematian dalam
Patani Fakta dan Opini
March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

tragedy tersebut. Apa yang perlu disiasatkan? jika semua korban yang tewas
terdapat luka-luka dipukul dan terdapat bekas luka tembakan, termasuk kedua
jenazah anak saya terdapat cedera serius dan tubuh terkena tembakan’.

Mat, 65, berkata:

“Peristiwa di Masjid Krisek sebelum ini, Thaksin pernah meminta maaf atas kejadian
itu, tetapi tidak berapa waktu berselang aparat keamanan sudah mengulangi lagi
kekerasan yang menewaskan umat Muslim. Bahwa permintaan maaf Thaksin atas
kejadian ini merupakan sandiwara semata-mata demi melindungi kesalahan oleh
aparat keamanan”.

Adapun seorang korban yang berhasil diselamatkan dalam peristiwa berdarah ini
mengatakan bahwa:

“Polis dan tentara telah bertindak brutal terhadap para demonstran dan memasukkan
mereka ‘seperti batu-bata’ ke dalam truck yang telah memakan waktu selama lima
jam dalam perjalanan. Semua orang dipaksa untuk tiarap di belakang truk. Kami
saling bertindihan antar satu sama lain tanpa ada ruang untuk bernafas”.

     

Menuurt Maudin Awae, 20, menceritakan pengalaman yang mengerikan tersebut:

     

“Bahwa dia berada di lapisan kedua antara lima lapisan tahanan demontrasi di
dalam sebuah truck yang lain. Banyak tahanan yang menjerit meminta pertolongan.
Mereka meminta kebenaran untuk berdiri tetapi pihak aparat keamanan tidak
mempedulikan sedikitpun. Mereka menginjak-injak kami,” kata Maudin (Zukiflee
Bakar, Op.Cit ). 

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

3. Pasca Tragedi Tak Bai,


           a. Kebijakan Pemeritah

Pemerintah Thaksin berhadapan dengan salah satu dari sejumlah krisis terbesar
sejak dia terpilih mewakili perdana menteri Thailand pada tahun 2001. Pada
peristiwa Tak Bai PM Thaksin menolak minta maaf untuk tragedi tersebut, tapi justru
menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban tewas. Namun Thaksin mengakui
bahwa reputation militer telah ternoda dan menjanjikan pelatihan yang lebih baik.

Komandan Tentara AD Keempat Letjen Pisarn Wattanawongkeeree, yang


menguasai Thailand selatan, dilaporkan membela operasi yang dilaksanakan
pasukannya, dengan mengatakan bahwa:

“Jika hal yang sama terjadi kembali kami akan melakukan


tindak kekerasan lagi untuk membubarkan aksi unjukrasa
semacam itu. Namun di masa mendatang kami akan
lebih hati-hati dan mengambil pendekatan lebih lunak”(
www.gatra.com).  

Pasca targedi Tak Bai, Kerajaan Thailand mengeluarkan


kebijakan yang mencakupi undang-undang baru yang
memperbolehkan penangkapan tersangka tanpa bukti-bukti awal, atau mengunakan
bukti-bukti rahsia dan persidangan secara rahsia.

Dengan hal demikian, Emengency Power Arts Policy yang disetujui oleh Raja
Bhumibol Adulyadej dengan memberikan kewenangan bagi Perdana Menteri
Thaksin memerangi kelompak geriliyawan Patani di wilayah Selatan Thailand, dan
Raja telah mengubah dektrit ini menjadi sebuah hukum. Dengan itu Pemeritah
Thaksin akan megarahkan kekuatan militer untuk memerangi kelompok geriliya
Patani. Militer juga berwenang menagkap orang yang dicurigai melakukan makar
tanpa pembuktian. Namun, kebijakan ini tak sepenuhnya disambut hangat pada
sejumlah akademisi, pakar hukum, serta media di Thailand, menilai bahwa dekrit
tidak constitutional dan cenderung melahirkan sifat dictator.

Informasi mengenai adanya persetujuan Raja atas penerbitan dekrit darurat


disampaikan juru bicara pemerintah, Chalermdej Jombunud, pada hari Minggu 17
Juli 2005. Bahwa Persetujuan Raja disampaikan Sabtu 16 Juli 2006. (Dengan
demikian), dekrit itu berlaku (mulai) hari ini (Kompas, 18 Juli 2005).

Setelah mendapat persetujuan Raja. Pejabat keamanan menggelar sebuah


pertemuan untuk membahas kawasan mana saja yang akan diumumkan sebagai
zona darurat. Zona darurat itu meliputi provinsi di selatan yang berbatasan dengan
Malaysia. Kawasan yang berpenduduk majority Muslim itu telah berada di bawah
undang-undang perang sejak Januari 2004, menyusul terjadinya pemberontakan.

Dengan dekrit ini, PM Thailand Thaksin Shinawatra mendapat kewenangan penuh


mengambil kebijakan di selatan tanpa ber-consultation dengan parlemen. Dekrit ini
juga mengizinkan penahanan tersangka tanpa surat perintah. Mereka juga bisa

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

ditahan dalam waktu 30 hari tanpa proses persidangan. Dalam pelaksanaan awal,
Pemerintah Thailand berhasil menangkap 200 orang yang diduga terlibat dalam aksi
kekerasan yang terjadi sejak 4 Januari tahun 2004. Hingga kini belum ada
keterangan apapun mengenai mereka yang ditangkap.

Dekrit darurat dianggap menginjak-injak Hak Asasi Manusia. Dengan penerapan


dekrit ini mengundang kecaman baik dari kelompok pembela HAM maupun PBB.
Kewenangan pemerintah yang dimiliki melalui dekrit itu akan melanggar HAM.
Produk hukum itu justru akan membuat conditions keamanan makin runyam. Hingga
kini, dekrit ini terus mendapat kritikan dari dalam maupun luar negeri terutama dari
kelompok HAM dengan khawatir dekrit ini disalahgunakan.

Mantan Perdana Menteri Anand Panyarachun, dengan mengatakan:

“Masyarakat setempat melihat dekrit ini sebagai license to kill”.

Terdapat juga Anggota Komisi Rekonsiliasi Nasional (NRC), Akhmad Somboon


Bualuang, mengatakan bahwa:

“Penetapan daerah darurat hanya melahirkan rasa takut. Rasa takut kini kian
menjadi dan masyarakat selatan tidak tahu lagi siapa yang harus dipercaya. Ini akan
melahirkan efek negatif dalam jangka panjang yang sulit disembuhkan” (Republika,
11 Agus 2005).

Artinya, bayang-bayang kekerasan terhadap muslim masih berlanjut. Militer Thailand


memiliki legality untuk melakukan raid terhadap umat Islam di wilayah itu seperti
yang dilakukan selama ini dan untuk memudahkan pemerintah berbuat sesuka hati
terhadap umat Islam yang dianggap sebagai geriliya Patani. Meski hal itu akan
melanggar HAM.

Bagi umat Islam ini adalah satu kezaliman dan menambahkan lagi penderitaan umat
Islam di Selatan Thailand. Dan ia juga melahirkan kemarahan umat Islam di selatan
terhadap kerajaan dan ini menjadi punca keganasan di selatan yang sukar untuk
dibendungkan. Impact-nya amat buruk sekali terhadap umat Islam. Ia melahirkan
ketakutan dan keburukan terhadap umat Islam kerana darurat militer ini dikuatkuasa
ke atas umat Islam sahaja.

Para pejabat keamanan Thailand me-recommendation-kan aturan darurat di Provinsi


Yala, Pattani dan Narathiwat, serta sebagian wilayah Songkhla. Bahwa Dekrit
memperluas kekuasaan pemerintah. Yakni berwenang me-raid, melarang rapat
massal, menyensor berita dan publication rahasia, membatasi perjalanan, menahan
tersangka tanpa pengadilan, menyita properties, dan meyadap telepon.

 
Patani Fakta dan Opini
March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Dengan demikian, aparat keamanan melakukan


penggeledahan terhadap sekolah-sekolah Islam. Ketua
Association Sekolah Islam, para siswa dan guru sekolah-
sekolah Islam merasakan kondisi yang tidak nyaman atas
penggeledahan-pengeledahan yang dilakukan oleh
pemeritahan dan aparat keamanan itu. Selama
penggeledahan itu, aparat keamanan juga melarang
media untuk mengambil gambar atau meliput kegiatan
tersebut.

Apa yang terjadi di sini, tidak terlepas tokoh-tokoh Islam dan rakyat muslim yang
tidak berdosa tersebut telah menjadi Kambing Hitam. Tindakan militer jauh lebih tak
bermoral. Mereka bertindak brutal, bahkan tanpa pandang bulu apakah sasarannya
anak-anak atau orang-orang tua. Mereka dengan semena-mena masuk ke rumah-
rumah, menangkapi orang-orang tidak berdosa secara brutal. Pemerintah melakukan
aksi-aksi penangkapan massal terhadap kaum Muslimin, pembekuan dan
penghancuran sekolah-sekolah Islam, termasuk penangkapan terhadap sejumlah
ulama dan para pemimpin Islam, menyusul terjadinya serangkaian kekerasan di
wilayah Muslim Thailand Selatan yang berkelanjutan. 

          b. Daftar Hitam Warga Muslim

Akhir-akhir ini pihak berwenang Thai menggunakan daftar hitam untuk menekan
secara sewenang-wenang warga Muslim yang tidak berdosa. Tujuannya agar
mereka menyerahkan diri kepada penguasa, setelah mereka didata oleh para
pejabat desa.  Kebijakan itu telah meningkatkan ketakutan dan ketidakpercayaan di
Thailand Selatan di mana perang antara Muslim dan militer.

Penduduk desa warga Muslim kini hidup dalam ketakutan. Mereka akan dilaporkan
ke pejabat district dan pasukan keamanan agar mereka menyerahkan diri atau
menghadapi penahanan yang lebih buruk lagi.

Jurubicara pemerintah Suraphong Suebwonglee mengatakan:

“Dia tidak melihat laporan itu dan tidak ber-comment terhadap dugaan itu. Namun
dia mengatakan pemerintah telah melakukan tugasnya sesuai dengan konstitusi dan
UU Keamanan Nasional” (Hidayatullah, 7 January 2006). 

Bagi yang dipanggil juga tidak disediakan pengacara hukum dan undang-undang itu
tidak mengenal hak untuk tetap diam, Peraturan itu juga memberikan kebal hukum
bagi para pejabat penegak hukum yang membunuh tersangka dalam menjalankan
tugasnya.

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Tentara Thai mengakui kepada Human Rights Watch


(HRW) bahwa mereka telah mengunjungi desa-desa
memakai seragam tempur penuh, mengetuk pintu rumah
para tersangka yang telah dimasukkan dalam daftar
hitam dan mengancam mereka dengan consequence
serius jika mereka menolak untuk menyerah secara
sukarela. Tidak ada surat perintah penahanan dan tidak
ada prosedur hukum bagi mereka yang terkena tindakan
itu

kira-kira 4 ribu warga Muslim telah dimasukkan dalam


daftar hitam. Diantara mereka ini telah menjadi 'Kambing
Hitam'.

Human Rights Watch mengatakan kira-kira 4 ribu warga Muslim di Provinsi Pattani,
Yala dan Narathiwat telah dimasukkan dalam daftar hitam. Daftar itu, menurut
pemerintah, ditujukan pada orang yang dikenal anggota kelompok militan, namun
para aktivis mengatakan, tindakan juga dilakukan terhadap warga sipil tak berdosa
yang ditahan dan diperintahkan agar masuk kamp pendidikan kembali
(Hidayatullah,Ibid).

         c. Amnesty International Mendesak Pemerintah Thailand

Pendekatan yang diambil authority Thailand untuk mengatasi pemberontakan di


provinsi selatan dianggap terlalu berlebihan. Amnesty

 International dalam laporannya mencatat, authority


Thailand tidak segan-segan menahan dan menyiksa
orang-orang yang diduga terlibat pemberontakan.

Kompas menginvestigasikan dari kesimpulan Amnesty


International itu termuat dalam laporan yang mereka
release, 4 januari 2006, bertepatan dengan peringatan
dua tahun pemberontakan berdarah di tiga provinsi
Thailand selatan, yakni Patani, Yala, dan Narathiwat
menerangkan bahwa:

 Kelompok pembela HAM di London mendesak


pemerintah Thailand, secara consistent meredakan
pemberontakan dengan pendekatan hukum. Pemerintah
harus mengakhiri kekerasan dan tindakan sewenang-wenang terhadap orang- orang
yang dituduh terlibat dalam pemberontakan karena pemerintah memasukkan
sejumlah laki-laki Muslim ke dalam daftar hitam dan menuduh mereka bersalah
tanpa alasan yang jelas dengan tanpa memberi akses kepada pengacara dan
penerjemah.

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

HAM di London juga menuntut Pemerintah Thailand untuk mencari orang-orang yang
dilaporkan hilang atau dihilangkan. Lembaga itu mendesak pemerintah untuk segera
mencabut kekebalan yang dimiliki tentara sehingga mereka tidak bisa dituntut secara
hukum meski melanggar HAM. Kekebalan itu dinikmati tentara setelah mengeluarkan
dekrit darurat pada Juli 2005 (Kompas, 2 Januari 2006).

 Amnesty International menyimpulkan, dampak conflict meluas hampir ke seluruh


bidang kehidupan warga local, baik di pihak Muslim maupun Buddha. conflict yang
meluas telah membatasi kemampuan warga untuk bekerja, melakukan perjalanan,
berdagang, dan mendapatkan pendidikan.

B. Tuntut Warga Menyelidiki yang ‘dihilangkan’ 

 Sebelum ini, Pemerintah Thaksin dikecam karena memberi fakta yang tidak tepat
berhubungan kejadian peristiwa Tak Bai. Bahwa jumlah kematian yang disebutkan
oleh pemerintah hanya 80-an orang.

Namun hasil investigasi Utusan Malaysia (Zukiflee Bakar, Utusan Malaysia, 10 April
2006) di selatan Thailand, oleh penduduk muslim Selatan kehilangan anggota
keluarganya setelah kejadian tragedy berdarah di Tak Bai pada bulan oktober 2004.
Masyarakat Melayu di selatan Thailand beranggapan bahwa setelah terjadi
kerususha, mereka semua diamankan oleh pihak keamanan. Ternyata jumlah
sebanyak seribu jiwa disahkan hilang secara mysterious dengan melalui
kesepakatan warga-warga desa di wilayah selatan.

Dengan hal itu pernah Pemerintah Thailand mengatakan, lebih dari 1.000 orang
ditangkap setelah terjadi bentrokan di Narathiwat. Mereka akan ditahan sampai tujuh
hari di bawah Undang-Undang Militer (Pikriran Rakyat, 27 Oktober 2004). 

Fakta membuktikan setelah berakhir tragedi berdarah itu, para orang tua menunggu
anaknya selama dua tahun tidak pernah pulang. Ada juga sebagian wali meminta
agar diberikan kesempatan bertemu dengan anaknya sekiranya anak mereka masih
dibawah tahanan oleh pihak keamanan dan menunjukkan makam jika anaknya
sudah benar meninggal. Ini sama sekali tidak ada kepedulian dari pihak pemerintah
dengan mudah mengatakan jangan khawatir kami akan membebaskannya tapi kini
sudah dua tahun juga tidak pulang.

Akta tahanan pasca tragedi Tak Bai yang ‘dihilangkan’(Adenan Berahim, Utusan
Malaysia, 10 April 2006). 

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

C. Exodus Massal 131 Orang Penduduk Melayu Muslim di Thailand Selatan

            a. Penyebab

Pada tanggal 30 Agus 2005 terdapat 131 pelarian masyarakat Muslim Selatan
Thailand menyeberangi perbatasan dan masuk ke wilayah Negara Bagian Kelantan,
Malaysia timur laut. Mereka yang masuk ke wilayah Malaysia secara illegal
menyatakan keselamatan diri mereka terancam di Thailand Selatan, bahwa wilayah
mereka sedang dilanda konflik. Dalam 131 orang terdapat lelaki, perempuan dan
kanak-kanak yang melaporkan bahwa tidak selamat meninggalkan di desa mereka,
sehingga mereka mencari perlindungan untuk menjamin keamanan mengungsi di
Negara Kelantan.

Pemerintahan Malaysia memutuskan untuk memberi


mereka tempat berlindung sementara sambil menunggu
siasatan status mereka serta alasan melarikan diri ke
negara tetangga. Malaysia juga menyatakan
kekhawatiran terkait dengan adanya kemungkinan akan
lebih banyak lagi warga Thailand yang melarikan diri
dengan menyeberangi perbatasan. Apa yang sudah jelas
adalah bahwa masalah yang ada di empat provinsi
Muslim di (Thailand) Selatan harus diselesaikan segera
sebelum persoalannya merembes ke wilayah Malaysia.

Dari investigsi kompas menjelaskan UNHCR (United


Nations High Commissioner for Refugees) juga
mendesak Malaysia agar tidak men-deportation mereka
sampai selesainya kegiatan wawancara, yang bertujuan
untuk mengetahui apakah ada risiko hidup mereka akan
terancam jika kembali ke Thailand. Apakah mereka
memang membutuhkan perlindungan bawah mandat
PBB. Jika menilai kehidupan kaum Muslim itu terancam,
mereka akan diberi kartu identiti yang menyatakan bahwa
mereka berada di bawah perlindungan UNHCR (Kompas, 7 September 2005).

Menurut Sri Setianingsih Suwardi dalam Jurnal Hukum Internasional, Universiti


Indonesia (UI), dapat menerangkan bahwa Pengungsi adalah :

Pengungsi yang meninggalkan wilayah negaranya dan menuju wilayah negara lain
yang disebabkan adanya gangguan keamanan atau karena alasan politik dalam
negeri yang merugikannya dimana mereka terpaksa mengungsi keluar wilayah
negaranya, mereka membutuhkan pertolongan (relief), bantaun (assistance) juga
perlindungan (protection).  Perlindungan yang dibutuhkan oleh pengungsi adalah:
pertama, mereka tidak akan dikembalikan kenegara asal (non-refourlement) dan
kedua, ditempat baru mereka mendapat jaminan untuk dapat menikmati hak-hak
asasinya yang tidak dapat dinikmati di tempat asalnya (Jurnal Hukum Internasional,
UI, Volume 2 No.1 Oktober 2004, 24).

Apa terjadi insiden exodus massal ini munculnya setelah seorang Imam Masjid di
Desa Lahan dalam Daerah Sungai Padi, Narathiwat terbunuh. Namun, hal tersebut
penduduk desa telah merasa dan yakin pelaku di balik peristiwa tersebut adalah

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

pihak aparat pemerintah yang bertangguang jawab dalam tragedi ini. Tragedi ini
untuk intimidation atau menakut-nakuti dengan ancaman secara tindakan yang keji
pada penduduk desa. Tektik ini biasanya dilakukan oleh kekuasaan pemerintah,
karena tanpa duka bisa apa saja aparat keamanan ingin bertindak dan lakukan.

Seperti mana peristiwa penyerangan di Tanjung Lima yang terdapat dua orang tewas
dan dua terluka berat, lalu 2 tentera ikiut tewas digebuki masaa (Saksi, No.17 tahun
VII 11 Mei 2006, hlm.14). Setiap kali ada pembataian dan penembakan di desa-
desa, pemerintah tidak ada yang bertanggung jawab. Pada fakta dalam kekerasan
dan pembataian di dua desa tersebut, penduduk desa melarang pihak keamanan
mendekati dan mesiasatkan mayat tersebut. Hal yang sama dalam tragedi ini
penduduk desa melarang wartawan pers dan media Thai mengambil keterangan,
karena penjelasan media Thailand tidak menjelaskan pada kebenaran dan fakta
setiap kali memberi keterangan oleh penduduk desa terhadap peristiwa kejadian.

Ketakutan terasa mencekam bagi warga desa Lahan. Mereka bahkan merasa
menjadi objek tindakan radical ketika pemerintah merespon kelompok separatis.
Untuk memerangi wilayah selatan, pemerintah menggeledah rumah warga dan
dilaporkan juga membunuh warga.  Dengan kematian seorang imam masjid di desa
Lahan, penduduk warga desa meyakinkan bahwa aparat pemerintah bertanggung
jawab atas penembakan ulama setempat mereka (www.).republika.com

Perlakuan discriminatory dari pemerintah memang kerap dirasakan warga selatan


Musilim. Kerusuhan demi kerusuhan masih terjadi. Thailand Selatan tidak lagi masuk
hitungan kota yang damai. Sebagian warga memilih pergi tinggal desa-desa mereka
itu.  

            b. Tuduhan Pemerintahan Bangkok Terhadap Pengungsi

Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menuduh ada pihak tengah berusaha
menginternasionalisasikan kerusuhan di Thailand Selatan. Thaksin juga
menyatakan:

“Setidaknya sebagian dari mereka yang melarikan diri ke Malaysia terlibat dalam
kegiatan pemberontakan di Thailand Selatan”.

Kompas menginvestigasikan bahwa PM Thaksin mengatakan:

“Sebagian dari mereka adalah para militan yang menyamar. Dengan berbagai cara,
mereka berusaha menginternasionalisasikan isu kerusuhan.

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Hal demikian juga, Menteri Luar Negeri Thailand Khantathi Suphamongkhon


menyatakan:

“Mereka yang lari ke Malaysia itu adalah warga tak bersalah. Mereka yang melarikan
diri ke Malaysia adalah para warga tidak berdosa. Mereka mendengar desas-desus
yang tak sesuai dengan fakta sebenarnya” (Kompas, 3 September 2005).

Menurut Menteri Hukum Chidchai Vanasathidya bahwa:

“Kelompok yang sengaja memanfaatkan peristiwa ini untuk mencapai


kepentingannya, dan menurutnya bahwa kasus ini merupakan isu domestik yang
harus pemerintahan Thai yang menyelesaikan sendiri” (Republika, 7 September
2005).

            c.  Tanggapan Malaysia Terhadap Pengungsi Dari Thailand Selatan

Malaysia menyerukan kepada Thailand agar menjamin keamanan warga Muslim di


provinsi-provinsi selatannya. Pemerintah Kuala Lumpur juga menyatakan tidak akan
segera menyerahkan kembali 131 warga Muslim Thailand yang melarikan diri ke
wilayah Malaysia. Ke-131 warga Muslim Thailand itu, termasuk di antaranya 43
anak-anak, yang ditahan polisi Malaysia di Negara Bagian Kelantan dengan tuduhan
melintas batas secara tidak sah. Mereka mengaku takut ditangkap dan disiksa
pasukan keamanan Thailand, yang telah terlibat kontak tembak dengan kaum
gerilyawan.

Kompas menginvestigasi bahwa Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar
kepada para wartawan di Kuala Lumpur dengan mengungkapkan bahwa:

“Ini bukan sekadar persoalan menangkap dan mengirim mereka pulang ke negara
asal. Pemerintah Malaysia juga perlu melakukan penyelidikan sendiri dan tidak bisa
begitu saja mengusir orang asing. Bahwa Malaysia siap memberi tempat berteduh
sementara bagi para pendatang ilegal Thailand jika situasi di Thailand Selatan belum
stabil. Namun, mereka yang tidak memiliki dokumen perjalanan tidak akan diakui
sebagai pencari suaka”( Kompas, Op.Cit). 

Menurut S.Prakash Sinha mendefinisi tentang pengungsi diatur dalam perjanjian


internasional secara umum yang meliputi elemen-elemen sebagai berikut:

1. Alasannya haruslah didasarkan pada alasan politik. 2. Permasalahan politik yang


timbul adalah permasalahan antara negara dan warga negaranya. 3. Ada keadaan

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

yang mengharuskan dia meninggalkan negaranya atau tempat tinggalnya secara


sukarela atau tidak secara tidak secara sukarela. 4. Kembali ke negaranya atau ke
tempat tinggalnya tidak mungkin dilakukan atau tidak ditoleran disebabkan karena
sangat berbahaya untuk dirinya atau miliknya. 5. Ia harus meminta status sebagai
pengungsi di lain negara dan 6. Ia tidak mendapatkan kewarganegaraan baru (Jurnal
Hukum Internasional, UI, Ibid, 27).

Hasil investigasi Republika bahwa Gabenur Negeri Kelantan, Nik Aziz Nik Mat,
menyatakan:

“Semestinya pemerintah Thailand tidak memberlakukan dekrit keadaan darurat


dengan memberikan kewenangan bagi aparat keamanan untuk melakukan
penggeledahan maupun penangkapan tanpa pembuktian jelas. Berapa ramai muslim
selatan Thailand yang datang ke Kelantan akan disambut dengan baik (Republika,
Op.Cit.).

Seharusnya Pemerintah Thailand membangun rasa saling percaya dengan kaum


minority Muslim dan tidak memanfaatkan kekuatan militer untuk menyelesaikan
masalah di Thailand Selatan yang disengsarakan berbagai aksi kekerasan.

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Kesimpulan
Akar Konflik

Kerajaan Melayu Patani pernah berjaya sebelum


ditaklukkan Kerajaan Siam. Kini nasib majority muslimin
di wilayah selatan menjadi tertindas di tanah sendiri.
Conflict terakhir ini bukanlah yang pertama kali dan
ketegangan antara warga muslim Thailand Selatan dan
pemerintah pusat Thailand telah berlangsung sejak abad
kedelapan belas. Namun, tampaknya upaya penyelesaian
conflict yang sering disebut Pejuang Pembebasan atau
“Nationalism Melayu Patani” tidak semudah yang diharapkan, tidak jauh berbeda
dengan conflict Timor Timur di Indonesia atau conflict Palestina di Timur Tengah
Arab.

Nationalism, di kalangan penduduk Melayu Muslim di Thailand Selatan muncul ketika


pemerintahan pusat Bangkok menyatukan Kerajaan Patani, sebuah negeri bawahan,
ke dalam structure negara Kerajaan Thai pada bulan September tahun 1902.

Persoalan Patani atau orang–orang Muslim di Thai Selatan telah dibahas dan latar
belakang sejarah mereka dijelaskan, yakni ketika mereka memiliki sebuah kerajaan
yang bebas dan merdeka, yang dikenal sebagai Kerajaan Patani. Ditunjukkan bahwa
dari segi agama, ras, etnik, budaya dan bahasa, mereka berbeda sama sekali dari
rakyat Thai.

Faktor yang menjelaskan mengapa conflict antara orang Melayu yang majority
muslim dan orang Thai yang majority penganut Buddha adalah kurang berhasilnya
program pembangunan bangsa (nation-building) di Thailand. Nationalism negara
yang diinginkan pemerintah pusat di Bangkok belum sepenuhnya diterima sebagian
suku Malayu di Province Patani, Yala, dan Narathiwat.

Kekecewaan dan penolakan sebagian warga di provinces Thailand Selatan itu terjadi
akibat berbagai program nation-building yang tidak berdasarkan saling memahami
perbedaan, tapi lebih pada pemaksaan kehendak pusat terhadap daerah pinggiran,
seperti dipahami orang Melayu.

Sejumlah faktor dijelaskannya sebagai latar belakang conflict. Pemerintah Thailand,


sebagaimana Kerajaan Siam, tidak menghormati identity ethnic, bahasa dan agama
yang dipeluk majority penduduk wilayah Selatan. Sementara kaum muslimin sendiri
memiliki perasaan menyatu dengan sejarah Patani lama. Kondisi makin
mengenaskan, karena pemerintah Thailand memaksakan format negara modern
dengan ideology Buddhism dan kekerasan military. Keterbelakangan ekonomi
selatan yang diakibatkan exploitation pemerintah pusat menambah parah situasi,
sedang pengaruh gejolak politik regional dan internasional turut membakarnya.
Dalam pandangan ini, maka conflict di provinces selatan bagai “gunung api yang
tertidur dan setiap saat siap meledak".

Memahami begitu complex-nya akar masalah di Thailand Selatan, adalah kurang


tepat menganggap bangkit di Patani sebagai conflict agama antara Islam dan
Buddha. Conflict di wilayah Selatan Thailand menunjukkan tidak lancarnya program

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

pembangunan nasional, termasuk pendidikan nasional, kebijakan struktur politik, dan


kebijakan ekonomi-sosial, dapat menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan.
Nationalism negara tidak selalu berhasil ketika kesenjangan struktural dan kultural
tidak ditangani secara bersama-sama dan secara serius.

Penyebab warga Muslim ini terpisah dari warga Thailand lainnya bukan hanya
kepercayaan agama mereka. Lebih dari satu abad lalu mereka tergabung dalam
kerajaan Patani yang pada tahun 1902 dikuasai oleh Siam atau Thailand termasuk
harus setia dan menghormati Raja Kerajaan Siam, berbicara bahasa Thailand, dan
bahkan menggunakan nama Thailand. Warga Muslim dipaksa untuk menerima
semua ketentuan itu.

Kekecewaan warga Melayu di wilayah Selatan Thailand terhadap pemerintah pusat


tidak berhenti. Struktur administrasi local dikuasai orang-orang pemerintah pusat,
meskipun secara theoretical posisi-posisi bureaucratic tidak pandang agama,
gender, dan kesukuan. Terlepas dari beberapa perubahan menuju semakin
banyaknya posisi local dipegang orang local sebagian besar mereka masih tidak
puas.

Bahkan sebelum itu, langkah-langkah awal Kerajaan Siam telah di ambil untuk
memasukan hukum Islam kedalam rangka hukum nasional Thailand. Tindakan ini
menyiratkan apa yang akan terjadi. Perbaikan-perbaikan administrasi setelah itu,
perilaku wakil-wakil pemerintahan pusat yang di tempatkan di walayah itu, dan
promosi system pendidikan nasional (dan cinta tanah air Thai) sehingga merugikan
pendidikan Islam menyalakan semagat pembebasan di selatan negeri itu dalam
decade-decade berikutnya. Sama merugikan bagi hubungan dengan pusat nasional
adalah upaya-upaya untuk menempatkan hukum Islam di bawah hukum nasional
untuk mengurangi jumlah urusan-urusan hukum yang dapat dikelola oleh pengadilan
Islam sehingga hanya terbatas pada kukum keluarga dan hukum waris.

Kini tentu saja ditemui, semakin banyak anak-anak muda Melayu di wilayah selatan
Thailand mengenyam pendidikan nasional Thailand, belajar bahasa Thailand, di
samping menggunakan bahasa Melayu mereka. Sebagian mereka juga menikmati
mobilization vertical karena pendidikan mereka itu. Namun, tidak semua, dan masih
sebagian besar warga Melayu Selatan, berkeberatan dengan program Siamisasi
atau Thailandisasi Melayu.

Sejarah menunjukan bahwa konflik yang berdasarkan perbedaan agama, bangsa


dan negara merupakan factor yang paling serius dan tidak gampang bisa mengatasi.
Jika lebih banyak factor perbedaan, maka lebih meningkat tahap keseriusan antar
kedua belah pihak tersebut. Dalam hal Patani, terdapatnya foktor perbedaan
kebudayaan, bahasa, agama, bangsa dan negara yang menjadi asas pada konflik.
Dengan itu, tidak perlu khawatir jika konflik yang sedang permusuhan antar kedua
belah pihak sangat serius yang sukar untuk menyelesaikan masalah ini untuk bisa
menjamin keamanan dan perdamaian.

Beberapa factor pembrontakan yang berlajut di Patani menunjukan bahwa orang-


orang Melayu Patani menolok terhadap perjanjian Bangkok (Anglo-Siam) yang
meng-claim-kan negeri itu sebagai bahgian daripada wilayah Siam.

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Reaction collective yang pertama terhadap program pembaruan di Patani terjadi


pada tahun 1903, satu tahun setelah dimulai pembaruan itu. Maka terbentuk sebuah
gerakan yang di coordination oleh Raja Patani, Abdul Kadir, yang menempuh suatu
strategi yang bercabang dua: perlawanan public untuk memancing tindakan-tindakan
penindasan penguasa Thai yang sangat keras sehingga mencentuskan
pemberontokkan untuk mempertahan diri dari system pemerintah Bangkok, dan
dengan kesempatan itu berusahakan dengan pemberian tekanan kepada front
internasional terutama dari Inggeris, yang pada waktu itu menaruh perhatian yang
sangat besar terhadap negeri-negeri Melayu itu.

Raja Patani, Abdul Kadir, oleh pemerintah Thai di anggap paling membahayakan
rencana-rencana Bangkok untuk daerah itu. Ia memimpin dan terus mendukung
kegiatan perlawanan dengan penjajah Siam.

Terbentuknya sebuah Piagam San Francisco pada 25 April 1945 sangat


mempengaruhi hak-hak masyarakat yang dijajah untuk menentukan nasib mereka
sendiri.  Piagam San Francisco menjadi suatu momentum pada pemimpin-pemimpin
Melayu Patani untuk membebaskan Patani dari cekaman kekuasaan Siam.

Tetapi sikap di kalangan pejabat Thai tidak berubah hingga sekarang. Sering kali
para pejabat pemerintah Thai pada tingkat- tingkat yang paling tinggi menyatakan
rasa frustrating mereka mengenai alotnya masalah-masalah di selatan dengan kata-
kata “jika orang-orang Melayu Muslim tidak merasa senang dengan kekuasaan Thai,
mereka pergi saja dari negeri itu, tapi mereka tidak dapat membawa serta tanahnya”.
Dua orang bekas perdana menteri di kabarkan telah mengucap kata-kata seperti itu,
ketika mereka dihadapkan kepada situasi yang penuh dengan kekerasan di daerah
Patani.

Perasaan diasingkan oleh Bangkok mendorong activity Nationalism Melayu Patani


yang mulai muncul pada 1960-an. Munculnya bentuk gerakan-gerakan yang
dimulainya setelah Tengku Mahmud Mahyidin meniggal dunia pada tahun 1953 dan
satu tahun kemudian Haji Sulong serta dua orang rekan dan anak lelakinya Ahmad
To’mina telah dibunuh oleh aparat pemerintah Thai.

Terbentuknya, Barisan Revolusi Nasional (BRN) pada tahun 1960 dibentuk oleh Haji
Karim bin Hasan, sebagai gerakan yang progressive. Antara lain Muhammad Amin,
To’guru Haji Yusuf Capakiya dan Tengku Abdul Jalaluddin bin Tengku Abdul Mutolib.
BRN adalah gerakan memperjuagkan ideology nasional dan medukung revolusi anti
capitalist dan colonialist yang berlandasan politik yang berjuang menuntut
kemerdekaan dengan pendekatan bersenjata, dan menunutut kemerdekaan total
bagi empat wilayah di Selatan Thai, termasuk bahgian barat wilayah Songkla dalam
rangka mengembalikan hak dan kemerdekaan negeri Patani.

Pada tahun 1980-an aksi kekerasan sempat padam setelah pemerintah


mengeluarkan komitmen untuk membangun keempat provinsi selatan. Termasuk
janji pemerintah untuk mengalirkan lebih banyak dana dan menjamin penduduk
Muslim terwakili secara memadai dalam politik. Awal  tahun 1980, Angkatan Darat
Markas Komando Militer IV Wilayah Selatan atau fourth Army Region (FAR) ingin
merendam conflict dengan pejuang pembebasan Patani yang berdasar pada
amandeman tahun 1980 yang disebut number rujukan 66/2523 dengan menekankan

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

langkah penyelesaian conflict di selatan yang berdasar pada concept politik oleh
pihak FAR diantaranya ialah:

a)        Pardamaian Selatan (Thai Romyen) yang dipimpin oleh Jenderal Ban Harn
Leenanund, sebagai Panglima FAR, dan

b)        Harapan Baru (Kwam Wang Mai) yang dipimpin oleh Jenderal Shauwalid
Yongjaiyud, sebagai jabatan Menteri Dalam Negeri Thai.

 Kedua program tersebut berada pada tingkat kesatuan pengertian dan kerjasama
antara penduduk Islam Melayu dengan kerajaan Thai, dan juga menekankan pada
aspects demi mencapaikan tujuan terhadap golongan pejuang kemerdekaan agar
segera menyerah diri kepada pemerintahan.

Selain itu, pada tahun 1981 Perdana Menteri membentuk Commission ad-hoc di
wilayah Yala yang dikenal Pusat Administration Wilayah Sempadan Selatan atau
Southern Border Provinces Administrative Centre (SBPAC) yang berfungsi khusus
sebagai pusat pertumbuhan penerapan gerakan-gerakan geriliya di wilayah Thailand
Selatan.

Bagi Kerajaan Thai, Kebijakan number rujukan 66/2523 bisa menunjuk langkah yang
baik. Bahwa activity gerakan geriliya telahpun lumpuh dari tahap yang dikhawatirkan,
sementara pejuangan pembebasan dianggap sudahpun tidak ada dokongan dari
masyarakat. Keadaan semakin positif pada tahun 1992 setelah pihak FAR berhasil
mengada rundingan antar kelompak pejuang supaya kembali kedalam lingkungan
pemerintah Thai dan bekerjasama untuk menbangun negara.

Dengan kebijakan demikian, menyebabkan pihak penguasa Thai bisa membuat


kesimpulan bahwa gerakan-gerakan pembebasan di empat wilayah sudah berada di
dalam ambang kehancuran. Namun meskipun demikian bagi sebagian orang Melayu
Patani mereka mengangap bahwa activity Pejuang Pembebasan merupakan hal
yang bersifat sementara dan tidak berarti perjuangan telah lumpuh. Sebaliknya
mereka berpendapat bahwa gerakan Pembebasan Melayu Patani sedang berada
dalam tingkat peralihan pada perubahan strategy di mana setiap gerakan sedang
mencari satu solusi kearah persaingan yang boleh mewujudkan daya tantangan
yang hebat terhadap Bangkok.

Tetapi janji itu tidak dipenuhi. Penyerangan tangsi militer pada awal tahun 2004 telah
mengisyaratkan kembalinya semagat Nationalism Melayu Patani di Thailand bagian
selatan. Munculnya gerakan-gerakan geriliya, yang berpadoman pada pencak
nasionalisnya. Bertahan sambil menyerang, berharap sambil mendesak, dan kalau
perlu menyerbu tanpa memikirkan akibat.

Apa pun penyebabnya, pengelolaan dengan tangan besi dalam masalah Thailand
selatan menyebabkan situasi memburuk. Apa bukan karena pihak penguasa Thai
belum berhasil mengantisipasi activity geriliya di Patani sehingga beberapa unit
geriliya bertambah dan semakin berkembang. Jika sebelum ini unit gerilaya hanya
wujud di bukit-bukit, sekarang ini telah bangkit kembali aksi-aksi geriliya yang sedang
melakukan patrol di beberapa desa-desa dan ibu-ibu kota khususnya yang
berbatasan dengan Malaysia.

Patani Fakta dan Opini


March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011

Bangkitnya gerakan gerilya atau terkenal RKK (Ronda Kumpulan Kecil) salah
satunya unit militer terkenal cermat, penuh perhitungan, rapi dan matang yang
terorganisir di bawah Barisana Revolusi Nasional- Co-ordinet. Tentara Kerajaan
Thailand jarang sekali berhasil menangkap para pelaku. Ketika melakukan serangan,
para gerilyawan selalu memperhitungkan kapan patrol kerajaan lewat di suatu
wilayah, lalu melepaskan tembakan atau melempar bom dan melarikan diri.

Sebagai pasukan gerilya yang bergerak underground, awalnya para pejuang ini
bermarkas di hutan-hutan yang terdapat di berbagai wilayah selatan. Namun setelah
tentara kerajaan Thailand melakukan serangan besar-besaran dengan
menggunakan senjata dan peralatan tempur yang lebih modern, para pejuang
akhirnya berpindah-pindah tempat. Kini, mereka tidak hanya bergerilya di bukit-bukit,
tapi juga mulai masuk kota dan perkampungan. Melakukan serangan-serangan
sporadis, meledakkan bom, melakukan penembakan, lalu menghilang. Tak heran
jika sebenarnya tentara kerajaan menderita stress dan paranoid karena berperang
dengan musuh yang tak tampak.

Para pejuang ini tak kenal menyerah dan pantang mundur dari medan laga.
Targetnya, merdeka atau mati syahid. Tak ada istilah kalah dalam perjuangan Islam.
Kalau menang berjaya, kalau mati syahid.

Sayang, di tengah menggebunya semangat membebaskan diri dari belenggu


penjajahan, masih ada saja sebagian warga Patani yang berkhianat. Mereka rela
menjadi mata-mata kerajaan demi lembaran-lembaran baht. Pihak kerajaan memberi
mereka uang sebesar 4000-5000 baht untuk mencari informasi tentang gerilyawan.
Kebanyakan mereka adalah orang-orang tak punya, yang memang sengaja dijadikan
SB (special brain) atau mata-mata. Selain orang-orang tak mampu, banyak juga para
pejabat Muslim yang ikutan-ikutan menjadi SB. Tak heran, jika orang-orang seperti
ini kerap menjadi sasaran penembakan para gerilyawan.

Patani Fakta dan Opini

You might also like