Professional Documents
Culture Documents
25 Oktober 2004
..tanpa ada kebenaran.. tanpa ada
keadilan.. tanpa ada nafas.. hukum rimba
(mob rule).. militeristik...
Disusun Oleh:
MOTTO
PERSEMBAHAN
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan
a. Penyebab
c. Tanggapan Malaysia Terhadap Pengungsi Muslim Melayu dari Thailand
Selatan
4.Kesimpulan
1.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Dalam hal ini pemerintah yang ada di Thailand di dominasi oleh agama Buhda.
Sehingga tidaklah menghiraukan apabila kebijakan-kebijakan yang ambil dilandasi
dengan sentiment keagamaan Thailand yang mayority penduduk beragama Budha
berusaha merubah system atau tataran kehidupan rakyat Patani dan menjauhkan
mereka dari social cultural yang telah mereka aplikasi selama ini.
Bahwa pada awal, Selatan Thailand merupakan Kerajaan Patani Merdeka, yang
kemudian dicaplok Kerajaan Siam tahun 1902 dan diintegrasikan sebagai bagian
dari Thailand (Maruli Tobing, Kompas, 8 Desember 2004).
Mayority warga di tiga provinsi Patani, Yala dan Narathiwat, adalah warga Muslim
keturunan Melayu. Jumlahnya sekitar 80 persen dari sekitar 6 juta penduduk Muslim
di Thailand. Penduduk negeri Gajah Putih ini berkisar 63 juta jiwa. Tidak mudah
memang mengurai fakta-fakta tersebut. Di satu pihak rakyat di wilayah Selatan tidak
pernah merasa bagian dari Thailand. Namun, di pihak lain, mereka ikut ber
competition dalam politik nasional.
Di Thailand Selatan terdapat minority Muslim yang pada masa yang lalu kurang
mendapat perhatian dari pemerintah pusat (Sutopo A.R. Soesastro Hadi, 1981,
387). Seperti halnya juga rakyat Thailand Selatan selalu merasa diabaikan
pemerintah pusat dalam segala hal, termasuk dalam aktivity pembangunan, tetapi
saat pemimpin nasional Thailand berasal dari wilayah Selatan, hal ini tidak segera
dibenahi.
Thailand Selatan tetap seperti beberapa dekade silam. Dalam hal ini, persoalannya
bukanlah siapa yang berkuasa di Thailand. Sebab terbukti perception pada Thailand
Selatan sebagai daerah pembuangan tetap tidak berubah. perception inilah yang
menyebabkan daerah Selatan makin tidak terurus dan mirip daerah tidak bertuan.
Situasi demikian menyebabkan rakyat teralienation (a) dan tidak merasa bagian dari
Thailand.
Kesan bahwa tidak banyak yang berubah diperkuat oleh kenyataan bahwa agama
Buddha Thai di bagian-bagian selebihnya negeri itu masih menganggap bagian
Selatan sebagai wilayah perbatasan terpencil. Dari perspective Bangkok hingga
saat ini wilayah itu tetap merupakan Thailand’s Deep South, provinsi terpecil di
selatan, atau Far South, selatan yang jauh, semua istilah-istilah ini banyak digunakan
dalam koran-koran dan media Thailand.
Apa yang terjadi di Thailand Selatan merupakan suatu rasa benci dan kecurigaan
yang sudah lama membubung kembali selama perang melawan terorisme yang
diumumkan setelah tanggal 11 September 2001 dan penangkapan sejumlah Muslim
Thai yang dicurigai sebagai anggota Jemaah Islamiah di Thailand. Kaum Melayu
Patani yakin bahwa pemerintah dalam kenyataan sebenarnya melancarkan perang
atas agama mereka dan sekolah-sekolah agama mereka atau yakin bahwa Bangkok
mengorbankan mereka untuk menjaga hubungan baik dengan Washington (Masri
Maris, 2005, 216).
Tak Bai adalah kota district di Provinsi Narathiwat, yang terletak sekitar 1.300
kilometer selatan Bangkok, tiba-tiba menjadi perhatian dunia internasional setelah
terjadi pembantaian pengunjuk rasa pada 25 Oktober 2004. Jalan menuju Tak Bai
hanya satu dan berakhir pula di sini, di sisi Sungai Nara, sungai yang penting bagi
lalu lintas perahu motor yang menghubungkan Tak Bai dengan Negara Bagian
Kelantan di Malaysia.
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan diproklamirkan oleh Resolusi Majlis
Umum 217 A (111) 10 Desember 1948 menerangkan pasal 9: Tidak seseorang pun
boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang. Mengikut Pasal 5:
Tidak seorang pun boleh dianianya atau diperlakukan secara kejam, dengan tidak
mengingat kemanusiaan, ataupun jalan perlakuan atau hukum yang menghina
(A.Rahman Zainuddin, 1994, xxviii-xxix).
Kebiadaban tentara Thailand terhadap umat Islam di Patani sebenar telah mengakar
sejak berdirinya negeri gajah putih itu. Ini tidak hanya menyangkut ketegangan
budaya tetapi soal ketegangan beragama. Bangsa Thai yang mayority beragama
Budha kelihatannya belum menerima orang Patani sebagai masyarakat sebangsa.
Secara giografis Patani di claim sebagai wilayah kerajaan Thai, tetapi sebaliknya
secara demografis dan cultural Patani selalu dilihat sebagai bangsa lain yang
kehadiran di anggap mengangu keutuhan bangsa itu, akibatnya mareka
didiskriminasi karena berbeda ras dan berebeda agama dengan demikian juga beda
kultur. Perbedaan itu yang membuat pemerintah Thai bersikap diskriminatif bahkan
cenderung diexpressionkan dengan tindakan kekerasan maupun masal.
Sikap inteleransi pemerintah Thailand dan masyarakat budha di negeri itu pada
umumnya terhadap comonity muslim terjadi karena mereka tidak bisa menerima
plurality, menghendaki hegemoni tunggal oleh Budhisme. Sikap terungkap secara
sadar atau tidak mengelola politik diprovinsi dibagian selatan yang terdiri dari ras
melayu itu kemelayuan dan keislaman rupanya belum bisa diterima oleh pemerintah
dan masyarakat disitu, ini terjadi kerana belum tuntas orientation kemanusiaan
dikalangan mereka sehingga cenderung rasialis.
Sistem demokrasi Kerajaan Thailand yang terbentuk oleh budaya dan agamanya
cenderung otoriter terhadap minority Melayu di bagian Selatan Thailand. Demokrasi
barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi bangsa Patani bagaikan negara yang
aristocracy atau sejenisnya.
Jadi, apa yang terjadi pada hari Senin, 25 Oktober 2004 di depan kantor polisi di
distrik Tak Bai, Narathiwat terhadap para pengunjuk rasa yang memprotes
penangkapan warga Patani Muslim yang oleh polisi dituduh telah menyediakan
senjata untuk gerakan geriliya Patani, sehingga 6 orang mati tewas kena tembakan,
sedangkan 78 warga Patani lainnya tewas ketika sekitar 1300 orang dijejalkan ke
dalam 6 truk polisi yang tidak cukup mendapakan oksigen untuk bernapas ketika
diangkut ketempat penjara yang memerlukan 5 jam waktu perjalanan. Bahwa
demontransi hanya sekadar picu, bukan sebab utamanya karena itu tanpa ada
demontransi, pasukan Thailand akan berbuat dengan alasan apapun. Bahkan
demontransi terjadi juga karena adanya kekerasan yang mereka derita selama
bertahun-tahun.
Hal-hal di atas inilah yang menjadikan ketertarikan dan keingintahuan penulis untuk
melakukan penelitian dalam bentuk penulisan dengan judul: “TRAGEDI TAK BAI DI
NARATHIWAT, THAILAND SELATAN”.
(a). Teralienasi: Keadaan merasa terasing atau terisolasi. Konsep ini di gunakan oleh Karl Marx untuk
nenunjukan keterasingan menusia yang disebabkan oleh adanya persaiangan dan sikap egoisme,
sehingga orang tidak lagi saling menghargai tetapi saling memanfaatkan. Lihat dalam Marbun, Kamus
Politik, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 2002, hlm.16.
Ketidakadilan yang dirasakan warga muslim inilah yang kerap memicu pertikaian
dengan tentara pemerintah. Dan tindak kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan,
menjadi tantangan bagi unsur politik dan sosial sebuah negara yang hendak
menjaga kerukunan etnik warganya.
Muncul peristiwa Tak Bai sangat menjadi perhatian masyarakat internasional karena
cara pembantaian yang dilakukan militer sangat mengerikan. Kebrutalan tentara
Thailand menghadapi para demonstran Muslim bukan suatu yang salah prosedur,
tetapi lebih merupakan simtom atau suatu perubahan dengan keadaan khusus
kondisi masyarakat yang menunjukkan tanda-tanda adanya suatu penyakit dari
sebuah bawah sadar bahwa kelompok Muslim Patani adalah musuh yang harus
dibasmi. Demonstrasi hanya sekedar picu, bukan sebab utamanya, karena itu tanpa
ada demonstrasi, pasukan Thailand akan berbuat kekarasan dengan alasan apapun.
Bahkan demonstrasi terjadi juga karena adanya kekerasan yang mereka derita
selama bertahun-tahun.
Bahwa peristiwa di desa kecil ini (Tak Bai) bermula ketika 6 anggota Pertahanan
Sipil (HANSIP) diantaranya termasuk empat orang ustaz dengan tuduhan
menyerahkan senjata kepada kelompok pejuang Patani. Masyarakat yang tahu
duduk perkaranya menuntut pembebasan keenam warga. Mereka mengatakan
senjata anggota HANSIP itu memang benar-benar hilang dicuri orang. Aparat
keamanan membantah keterangan masyarakat tersebut.
Patani Fakta dan Opini
March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011
Menurut catatan setidaknya 10 senapan pemerintah dicuri dari para HANSIP dan
penjaga keamanan di Patani. Sebuah serangan lain yang dilancarkan ke sebuah
markas militer awal Januari 2004 yang mengakibatkan tewasnya empat tentara dan
dirampoknya 414 pucuk senjata (Kompas, 13 November 2004)
Serangan-serangan itu bisa dipandang serius dari segi keamanan pada umumnya di
wilayah Thailand Selatan yang majority penduduknya adalah muslim. Luasnya
pembakaran sekolah serta dalam serangan-serangan terhadap gudang militer
memberi kesan bahwa hal itu dilakukan oleh kelompok terorganisir. Di samping itu,
juga terdapat sejumlah bukti adanya latihan militer dalam aksi-aksi itu. Apabila
mengamati insiden yang terjadi dalam tahun-tahun belakangan, maka gelombang
serangan terakhir ini bukanlah sesuatu yang benar-benar baru. Dari sisi itu, maka
serangan terakhir ini tidaklah baru. Belum ada serangan besar lainnya di Asia
Tenggara. Sejumlah kalangan mencoba menginternasionalisasikan masalah ini
tanpa adanya bukti yang kuat. Memang serangan-serangan itu memiliki dimensi lokal
dan internasional.
Aparat pun kehilangan kesabaran dan mulai menembaki para demonstran dengan
gas air mata, senjata api, dan senjata air. Militer Thailand juga menangkapi para
demonstran dan memasukkannya ke dalam enam truk yang sudah disiapkan untuk
dibawa ke kamp militer Inkayuth Bariharn, Pattani (www.icmi.org,
http://www.icmi.or.id/ind/content/view/83/60/)
Pembataian di Tak Bai hanyalah salah satu peristiwa yang dialami masyarakat
Muslim. Sebelumnya, 28 April 2004 telah 113 pemuda dan remaja muslim tewas
dibantai aparat militer dan polisi karena mencoba menyerang pos-pos keamanan
dengan menggunakan senjata tajam.
Masjid tua peninggalan abad ke-17 ini hancur karena aparat keamanan
menembakinya sejak pukul 05.00 pagi hingga 14.10 petang. Ny Sema dan warga
lain mengaku menyaksikan helikopter meraung-raung sambil melepaskan tembakan
di atas masjid seluas 20 x 25 meter itu. Sementara kendaraan lapis baja menutup
rapat jalan masuk dan keluar. Lebih dari 100 anggota militer dan polisi ikut
menembaki masjid bersejarah itu.
Peristiwa di Masjid Kre Se dan Tak Bai merupakan cermin bahwa hukum telah mati
suri di wilayah selatan. Tetapi ini bukanlah fenomena baru. sejak lama Thailand
Selatan mirip daerah tidak bertuan. Di sini yang berlaku hanyalah hukum rimba.
Peristiwa Tak Bai bisa dikatakan sebagai puncak kekerasan yang ditempuh
pemerintahan Thailand dan sekaligus menjadi titik balik bagi perjalanan sejarah umat
Islam di Thailand Selatan. Rentetan kekerasan sebelumnya juga sudah menewaskan
puluhan warga Muslim. Yang terbesar adalah penyerangan ke Masjid Krue Se, April
tahun 2004, yang menewaskan 113 orang Melayu Muslim.
Wali Kota Pattani Panya Kittikul, mengungkapkan, para relawan anggota regu
pengamanan desa dan Pertahanan Sipil HANSIP di provinsi itu sudah mulai
menyerahkan kembali senjata inventory yang sebelumnya dibagikan pemerintah
kepada mereka. Alasan pengembalian adalah untuk menjaga agar senjata-senjata
itu tidak sampai jatuh ke tangan kaum geriliyawan. Demi keselamatan mereka
sendiri, mereka menyatakan ingin menyimpan saja senjata itu di kantor distrik
(Kompas, 13 November 2004). Alasannya yang lain, pengembalian senjata itu
membuat mereka lebih merasa aman bagi dirinya baik dari perompakan sejata dari
geriliya maupun tuduhan pemerintahan terhadap mereka dengan mengatakan
mereka bersekongkol sama geriliyawan dengan menyerahkan senjata kepada
Pejuang Patani.
Unjuk rasa yang berakhir dengan kekerasan dan tewasnya sekitar 84 warga muslim
Thailand (Siam) di Provinsi Narathiwat, Thailand Selatan, cukup memprihatinkan dan
Setakat ini respons kerajaan Thai keatas dunia internasional adalah sangat bersikap
keras. Para diplomat internasional kurang memuas atas laporan Menteri Luar Negeri
Thailand daripada penjelasan itu. Adanya sesetengah diplomat Barat inginkan
penjelasan pristiwa ini lebih lanjut secara detil mengenai tragedi Tak Bai.
Pada pertemuan Forum Keamanan di Bejing, 4 November 2004, yang dihadiri oleh
wakil-wakil pertahanan dari forum Asean, delegasi dari Indonesia bertanya kepada
Menteri Luar Negeri Thailand untuk memberi keterangan mengenai situasi di
Selatan, tetapi pihak Thai mengatakan ini adalah masalah domestik
(www.malaysiatoday.net).
“Akan memboikot KTT ASEAN jika conference tingkat tinggi itu mengungkit-ungkit
masalah di Thailand Selatan. Kalau isu kekerasan di Selatan diungkit dalam KTT
ASEAN, PM Thaksin akan segera kembali pulang (ke Bangkok)”.
Tentunya hal ehwal dalaman, tetapi di dalam hari-hari dan minggu yang akan datang
akan adanya lonjakan paradigma. Thailand mestilah berani untuk menerangkan apa
yang telah terjadi di selatan dan apakah jalan penyelesaiannya. Kerajaan Thai perlu
belajar beberapa perkara dari pihak Indonesia dan Malaysia mengenai isu-isu
sensitif. Pada beberapa kali kedua-duanya telah mengambil inisiatif untuk memberi
penerangan kepada rakan-rakan Aseannya mengenai keadaan dalaman negara
yang boleh merunsingkan jiran. Indonesia memberi penjelasan kepada kumpulan
tersebut mengenai situasi di Aceh secara rela hati dan selepas itu meminta
kerjasama.
Rasa prihatin juga diungkapkan Pemerintah Amerika Serikat. Juru bicara Deplu AS,
Edgar Vasquez, mengatakan:
Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI), Habib Muhammad Rizieq Shihab mengutuk
terjadinya peristiwa itu. Menurutnya:
“Thaksin harus minta maaf kepada dunia muslim. Bahwa yang terjadi di Narathiwat
itu bukan kejadian tidak sengaja. Kalau ini yang pertama kali, bisa dikatakan hanya
insiden, ini sudah yang ke berapa kali, ini berarti kesengajaan untuk membantai
umat muslim di Thailand Selatan” (Tempo, 05 November 2004).
Usman Hamid, Coordinator Badan Pekerja Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan (KontraS) mengutuk tindakan authority keamanan Thailand
terhadap warga Patani Thailand Selatan, dengan mengungkapkan bahwa:
“Ini biasa seperti ini (this is typical), ini mengenai tubuh-tubuh (orang) yang dibuat
lemah karena puasa. Tidak ada yang melukai mereka” (Pikiran Rakyat, 27 Oktober
2004).
Thaksin juga menolak minta maaf untuk tragedi ini, tapi menawarkan ganti rugi
kepada keluarga korban tewas (www.gatra.com). Hal demikian juga PM Thaksin
mengatakan kepada Muslim Thailand:
“Bahwa saya Perdana Menteri tahu semua yang terjadi di selatan, dan Saya tidak
mendukung secara absolute penyiksaan warga. Namun warga harus menuruti
aturan” (Kompas, 27 Oktober 2004).
“Para korban tewas bukan akibat kekerasan karena tidak ada bukti kekerasan pada
jasad korban”.
juga pandai bermuka manis untuk menutupi kekuasaannya yang bertangan besi.
Misalnya beberapa hari setelah peristiwa Tak Bai menyebarkan ribuan “burung
kertas” dari pesawat udara untuk mengkampanyekan perdamaian di Thailand
Selatan. Jutaan origami berterbangan dari sejumlah pesawat tempur di angkasa
provinsi-provinsi selatan Thailand, seiring tuntasnya misi perdamaian Pasukan AU
Kerajaan Thailand di wilayah tersebut. Kerajinan tangan origami berbentuk burung
Merpati, yang terbuat dari kertas-kertas yang dilipat cantik dan menarik itu
mengekspresikan harapan segera berakhirnya kekerasan di wilayah Thailand
selatan yang mayoritas berpenduduk Muslim.
“Mereka adalah bagian dari masyarakat Thai dan pemerintah perduli terhadap
mereka”. Thaksin juga mengatakan: “Akan lebih mudah saat ini bagi pemerintah
untuk memulihkan perdamaian di kawasan yang diwarnai pergolakan itu”.
Dari pandangan masyarakat muslim di Selatan Thai, mungkin baik karena burung
kertas berbentuk merpati itu dimaksudkan sebagai ajakan perdamaian. Namun, bagi
warga setempat yang mayoritas Muslim, hal itu bisa dipahami lain. Ribuan burung
kertas yang dijatuhkan dari udara bisa dianggap sebagai pernyataan perang. Bisa
merujuk pada Surat Al-Fiil dalam Alquran yang bercerita soal burung Ababil yang
menjatuhkan batu dari neraka untuk memusnahkan pasukan Abrahah yang hendak
menghancurkan Ka'bah.
Sejumlah tokoh dan aktivis Islam yang diwawancarai Kompas (Maruli Tobing,
www.kompas.com) di Provinsi Yala dan Narathiwat berpendapat dengan
mengatakan bahwa:
“Bahwa watak kolonial pemerintah pusat terhadap rakyat di wilayah selatan, tampak
kasatmata dalam penanganan unjuk rasa di Tak Bai. Manusia disusun bertindihan
hingga lima lapis. Mereka memperlakukan warga turunan Melayu melebihi binatang.
Hal yang mustahil mereka perbuat terhadap warga Siam, tutur seorang aktivis Islam
lulusan al-Azhar, Cairo.
“Namun agar hubungan tersebut tetap tampak serasi dari luar, Pemerintah Thailand
menggunakan teror terhadap warga yang mempertanyakan hak-haknya. Setiap saat
warga bisa dijemput pada malam hari. Rumahnya dikepung puluhan aparat
keamanan dengan tuduhan separatis Islam. Peristiwa seperti ini menimbulkan
ketakutan bagi warga lainnya”, tutur seorang aktivis Islam lulusan IAIN Yogyakarta.
Demikian juga ungkapan pemimpin agama dari Desa Teluk Manak, Narathiwat, Qori
Abdullah berusia 60 tahun, mengatakan:
“Permintaan maaf Thaksin tidak berarti karena beratus-ratus umat Islam telah
dibunuh dengan kejam. Bahwa pada saat ini kepercayaan umat Islam terhadap
kerajaan Thaksin semakin genting karena mereka keliru dengan tindakan kebrutalan
aparat keamanan yang tidak berperikemanusiaan” (Zukiflee Bakar, http://www.mail-
archive.com/it-kelantan@yahoogroups.com/msg00615.htm).
Hari-hari ini, nama wilayah Patani menjadi bahan pemberitaan hangat di surat-surat
kabar, radio maupun televisi di banyak negara. Adalah insiden yang terjadi
menewaskan sekitar 84 penduduk Muslim Patani membuat perhatian di dalam negeri
dan macanegara sontak beralih ke kawasan di selatan Thailand tersebut.
Sebenarnya gejolak di Patani sudah berlangsung lama. Umat Muslim sebagai kaum
minority di negeri Gajah Putih--dan banyak mendiami Patani, Yala dan Narathiwa--
sejak lama mengeluhkan adanya diskriminasi dalam sektor bisnis, pendidikan, dan
lapangan pekerjaan. Kendati sudah menempati wilayah itu berabad-abad, mereka
tetap mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah pusat.
“Penting untuk memberikan jaminan kepada warga Muslim di Selatan bahwa budaya
mereka akan dihormati, agama dan tradisi mereka dilindungi dan partisipasi mereka
diharapkan. Mungkin itu akan menyelesaikan masalah” (Ibid).
Menurut Direktur Eksekutif Partai Demokrat Surin Pitsuwan (Kompas, 22 Mei 2004)
menilai pembunuhan yang terjadi di Thailand selatan terhadap kaum Muslim
merupakan bentuk ketidakpekaan dari pemerintah. Sejak lama pihak oposisi sudah
mengingatkan tentang adanya kesalahan penanganan di Thailand selatan, tetapi
peringatan itu dianggap angin lalu oleh pihak PM Thaksin. Ujar Surin, yang juga
mantan Menteri Luar Negeri Thailand, mengatakan:
“Kalau kita lihat dari sejarah, Patani merupakan daerah yang sejak awal
independen. Masyarakat di sana sebenarnya tidak anti terhadap pembangunan.
Hanya saja, mereka menginginkan agar pembangunan itu dilakukan secara
bertahap, sesuai dengan kemampuan mereka agar masyarakat di sana tidak hanya
menjadi penonton pada akhirnya”.
Oleh karena itu, Surin berpendapat, apa yang seharusnya dilakukan di Thailand
selatan bukanlah sekadar pembangunan, tetapi kemauan dari pemerintah untuk
mendengarkan apa yang diinginkan masyarakat di sana dan apa yang mereka
butuhkan, adalah pengertian, simpati, dan sensitivity dari pemerintah tentang apa
yang mereka butuhkan.
Surin melihat, apa yang hendak dilakukan PM Thaksin murni hanya pendekatan
seorang chief executive officer (CEO). Persoalan yang muncul ke permukaan hanya
dilihat dari kacamata bisnis, tanpa mau memerhatikan persoalan psikologis apa yang
terjadi di sana.
Tindakan aparat keamanan sudah membunuh ribuan umat Muslim Melayu dengan
berkeinginan untuk menghalang masyarakat muslim dalam melakukan suatu
perlawanan atas perlakuan aparat yang jelas sudah berada jauh dari batas
kemanusiaan.
Keluarga korban yang tewas dalam tragedi Tak Bai akibatkan pambantaian antara
aparat keamanan dengan masyarakat yang berdemontrasi di depan kantor distrik,
mereka menolak permohonan maaf Perdana Menteri Thaksin Shinawatra. Mereka
menganggap tindakan aparat keamanan sebagai kebrutalan yang tidak bisa
dimaafkan.
Dari Email Protected menginvestigasikan bahwa rakyat muslim tidak bisa menerima
atas peristiwa dalam kejadian itu dan ini merupakan kezaliman yang pantas untuk
tidak dimaafkan, sebagaimana ungkapan-ungkapan keluarga terkorban dalam
tragedi tersebut berpandapat bahwa, Daud Tok Chu, 63, dari Desa Gajah Mati yang
kehilangan dua orang anak dalam peristiwa itu dengan tegas berkata:
“Masyarakat Muslim Melayu tidak akan percaya terhadap pernyataan Thaksin bahwa
siasat akan dilanjutkan untuk mengetahui puncak dan penyebab kematian dalam
Patani Fakta dan Opini
March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011
tragedy tersebut. Apa yang perlu disiasatkan? jika semua korban yang tewas
terdapat luka-luka dipukul dan terdapat bekas luka tembakan, termasuk kedua
jenazah anak saya terdapat cedera serius dan tubuh terkena tembakan’.
“Peristiwa di Masjid Krisek sebelum ini, Thaksin pernah meminta maaf atas kejadian
itu, tetapi tidak berapa waktu berselang aparat keamanan sudah mengulangi lagi
kekerasan yang menewaskan umat Muslim. Bahwa permintaan maaf Thaksin atas
kejadian ini merupakan sandiwara semata-mata demi melindungi kesalahan oleh
aparat keamanan”.
Adapun seorang korban yang berhasil diselamatkan dalam peristiwa berdarah ini
mengatakan bahwa:
“Polis dan tentara telah bertindak brutal terhadap para demonstran dan memasukkan
mereka ‘seperti batu-bata’ ke dalam truck yang telah memakan waktu selama lima
jam dalam perjalanan. Semua orang dipaksa untuk tiarap di belakang truk. Kami
saling bertindihan antar satu sama lain tanpa ada ruang untuk bernafas”.
“Bahwa dia berada di lapisan kedua antara lima lapisan tahanan demontrasi di
dalam sebuah truck yang lain. Banyak tahanan yang menjerit meminta pertolongan.
Mereka meminta kebenaran untuk berdiri tetapi pihak aparat keamanan tidak
mempedulikan sedikitpun. Mereka menginjak-injak kami,” kata Maudin (Zukiflee
Bakar, Op.Cit ).
Pemerintah Thaksin berhadapan dengan salah satu dari sejumlah krisis terbesar
sejak dia terpilih mewakili perdana menteri Thailand pada tahun 2001. Pada
peristiwa Tak Bai PM Thaksin menolak minta maaf untuk tragedi tersebut, tapi justru
menawarkan ganti rugi kepada keluarga korban tewas. Namun Thaksin mengakui
bahwa reputation militer telah ternoda dan menjanjikan pelatihan yang lebih baik.
Dengan hal demikian, Emengency Power Arts Policy yang disetujui oleh Raja
Bhumibol Adulyadej dengan memberikan kewenangan bagi Perdana Menteri
Thaksin memerangi kelompak geriliyawan Patani di wilayah Selatan Thailand, dan
Raja telah mengubah dektrit ini menjadi sebuah hukum. Dengan itu Pemeritah
Thaksin akan megarahkan kekuatan militer untuk memerangi kelompok geriliya
Patani. Militer juga berwenang menagkap orang yang dicurigai melakukan makar
tanpa pembuktian. Namun, kebijakan ini tak sepenuhnya disambut hangat pada
sejumlah akademisi, pakar hukum, serta media di Thailand, menilai bahwa dekrit
tidak constitutional dan cenderung melahirkan sifat dictator.
ditahan dalam waktu 30 hari tanpa proses persidangan. Dalam pelaksanaan awal,
Pemerintah Thailand berhasil menangkap 200 orang yang diduga terlibat dalam aksi
kekerasan yang terjadi sejak 4 Januari tahun 2004. Hingga kini belum ada
keterangan apapun mengenai mereka yang ditangkap.
“Penetapan daerah darurat hanya melahirkan rasa takut. Rasa takut kini kian
menjadi dan masyarakat selatan tidak tahu lagi siapa yang harus dipercaya. Ini akan
melahirkan efek negatif dalam jangka panjang yang sulit disembuhkan” (Republika,
11 Agus 2005).
Bagi umat Islam ini adalah satu kezaliman dan menambahkan lagi penderitaan umat
Islam di Selatan Thailand. Dan ia juga melahirkan kemarahan umat Islam di selatan
terhadap kerajaan dan ini menjadi punca keganasan di selatan yang sukar untuk
dibendungkan. Impact-nya amat buruk sekali terhadap umat Islam. Ia melahirkan
ketakutan dan keburukan terhadap umat Islam kerana darurat militer ini dikuatkuasa
ke atas umat Islam sahaja.
Patani Fakta dan Opini
March 8,
Darah Tidak Hagus Ingatan Kami.. 2011
Apa yang terjadi di sini, tidak terlepas tokoh-tokoh Islam dan rakyat muslim yang
tidak berdosa tersebut telah menjadi Kambing Hitam. Tindakan militer jauh lebih tak
bermoral. Mereka bertindak brutal, bahkan tanpa pandang bulu apakah sasarannya
anak-anak atau orang-orang tua. Mereka dengan semena-mena masuk ke rumah-
rumah, menangkapi orang-orang tidak berdosa secara brutal. Pemerintah melakukan
aksi-aksi penangkapan massal terhadap kaum Muslimin, pembekuan dan
penghancuran sekolah-sekolah Islam, termasuk penangkapan terhadap sejumlah
ulama dan para pemimpin Islam, menyusul terjadinya serangkaian kekerasan di
wilayah Muslim Thailand Selatan yang berkelanjutan.
Akhir-akhir ini pihak berwenang Thai menggunakan daftar hitam untuk menekan
secara sewenang-wenang warga Muslim yang tidak berdosa. Tujuannya agar
mereka menyerahkan diri kepada penguasa, setelah mereka didata oleh para
pejabat desa. Kebijakan itu telah meningkatkan ketakutan dan ketidakpercayaan di
Thailand Selatan di mana perang antara Muslim dan militer.
Penduduk desa warga Muslim kini hidup dalam ketakutan. Mereka akan dilaporkan
ke pejabat district dan pasukan keamanan agar mereka menyerahkan diri atau
menghadapi penahanan yang lebih buruk lagi.
“Dia tidak melihat laporan itu dan tidak ber-comment terhadap dugaan itu. Namun
dia mengatakan pemerintah telah melakukan tugasnya sesuai dengan konstitusi dan
UU Keamanan Nasional” (Hidayatullah, 7 January 2006).
Bagi yang dipanggil juga tidak disediakan pengacara hukum dan undang-undang itu
tidak mengenal hak untuk tetap diam, Peraturan itu juga memberikan kebal hukum
bagi para pejabat penegak hukum yang membunuh tersangka dalam menjalankan
tugasnya.
Human Rights Watch mengatakan kira-kira 4 ribu warga Muslim di Provinsi Pattani,
Yala dan Narathiwat telah dimasukkan dalam daftar hitam. Daftar itu, menurut
pemerintah, ditujukan pada orang yang dikenal anggota kelompok militan, namun
para aktivis mengatakan, tindakan juga dilakukan terhadap warga sipil tak berdosa
yang ditahan dan diperintahkan agar masuk kamp pendidikan kembali
(Hidayatullah,Ibid).
HAM di London juga menuntut Pemerintah Thailand untuk mencari orang-orang yang
dilaporkan hilang atau dihilangkan. Lembaga itu mendesak pemerintah untuk segera
mencabut kekebalan yang dimiliki tentara sehingga mereka tidak bisa dituntut secara
hukum meski melanggar HAM. Kekebalan itu dinikmati tentara setelah mengeluarkan
dekrit darurat pada Juli 2005 (Kompas, 2 Januari 2006).
Sebelum ini, Pemerintah Thaksin dikecam karena memberi fakta yang tidak tepat
berhubungan kejadian peristiwa Tak Bai. Bahwa jumlah kematian yang disebutkan
oleh pemerintah hanya 80-an orang.
Namun hasil investigasi Utusan Malaysia (Zukiflee Bakar, Utusan Malaysia, 10 April
2006) di selatan Thailand, oleh penduduk muslim Selatan kehilangan anggota
keluarganya setelah kejadian tragedy berdarah di Tak Bai pada bulan oktober 2004.
Masyarakat Melayu di selatan Thailand beranggapan bahwa setelah terjadi
kerususha, mereka semua diamankan oleh pihak keamanan. Ternyata jumlah
sebanyak seribu jiwa disahkan hilang secara mysterious dengan melalui
kesepakatan warga-warga desa di wilayah selatan.
Dengan hal itu pernah Pemerintah Thailand mengatakan, lebih dari 1.000 orang
ditangkap setelah terjadi bentrokan di Narathiwat. Mereka akan ditahan sampai tujuh
hari di bawah Undang-Undang Militer (Pikriran Rakyat, 27 Oktober 2004).
Fakta membuktikan setelah berakhir tragedi berdarah itu, para orang tua menunggu
anaknya selama dua tahun tidak pernah pulang. Ada juga sebagian wali meminta
agar diberikan kesempatan bertemu dengan anaknya sekiranya anak mereka masih
dibawah tahanan oleh pihak keamanan dan menunjukkan makam jika anaknya
sudah benar meninggal. Ini sama sekali tidak ada kepedulian dari pihak pemerintah
dengan mudah mengatakan jangan khawatir kami akan membebaskannya tapi kini
sudah dua tahun juga tidak pulang.
Akta tahanan pasca tragedi Tak Bai yang ‘dihilangkan’(Adenan Berahim, Utusan
Malaysia, 10 April 2006).
a. Penyebab
Pada tanggal 30 Agus 2005 terdapat 131 pelarian masyarakat Muslim Selatan
Thailand menyeberangi perbatasan dan masuk ke wilayah Negara Bagian Kelantan,
Malaysia timur laut. Mereka yang masuk ke wilayah Malaysia secara illegal
menyatakan keselamatan diri mereka terancam di Thailand Selatan, bahwa wilayah
mereka sedang dilanda konflik. Dalam 131 orang terdapat lelaki, perempuan dan
kanak-kanak yang melaporkan bahwa tidak selamat meninggalkan di desa mereka,
sehingga mereka mencari perlindungan untuk menjamin keamanan mengungsi di
Negara Kelantan.
Pengungsi yang meninggalkan wilayah negaranya dan menuju wilayah negara lain
yang disebabkan adanya gangguan keamanan atau karena alasan politik dalam
negeri yang merugikannya dimana mereka terpaksa mengungsi keluar wilayah
negaranya, mereka membutuhkan pertolongan (relief), bantaun (assistance) juga
perlindungan (protection). Perlindungan yang dibutuhkan oleh pengungsi adalah:
pertama, mereka tidak akan dikembalikan kenegara asal (non-refourlement) dan
kedua, ditempat baru mereka mendapat jaminan untuk dapat menikmati hak-hak
asasinya yang tidak dapat dinikmati di tempat asalnya (Jurnal Hukum Internasional,
UI, Volume 2 No.1 Oktober 2004, 24).
Apa terjadi insiden exodus massal ini munculnya setelah seorang Imam Masjid di
Desa Lahan dalam Daerah Sungai Padi, Narathiwat terbunuh. Namun, hal tersebut
penduduk desa telah merasa dan yakin pelaku di balik peristiwa tersebut adalah
pihak aparat pemerintah yang bertangguang jawab dalam tragedi ini. Tragedi ini
untuk intimidation atau menakut-nakuti dengan ancaman secara tindakan yang keji
pada penduduk desa. Tektik ini biasanya dilakukan oleh kekuasaan pemerintah,
karena tanpa duka bisa apa saja aparat keamanan ingin bertindak dan lakukan.
Seperti mana peristiwa penyerangan di Tanjung Lima yang terdapat dua orang tewas
dan dua terluka berat, lalu 2 tentera ikiut tewas digebuki masaa (Saksi, No.17 tahun
VII 11 Mei 2006, hlm.14). Setiap kali ada pembataian dan penembakan di desa-
desa, pemerintah tidak ada yang bertanggung jawab. Pada fakta dalam kekerasan
dan pembataian di dua desa tersebut, penduduk desa melarang pihak keamanan
mendekati dan mesiasatkan mayat tersebut. Hal yang sama dalam tragedi ini
penduduk desa melarang wartawan pers dan media Thai mengambil keterangan,
karena penjelasan media Thailand tidak menjelaskan pada kebenaran dan fakta
setiap kali memberi keterangan oleh penduduk desa terhadap peristiwa kejadian.
Ketakutan terasa mencekam bagi warga desa Lahan. Mereka bahkan merasa
menjadi objek tindakan radical ketika pemerintah merespon kelompok separatis.
Untuk memerangi wilayah selatan, pemerintah menggeledah rumah warga dan
dilaporkan juga membunuh warga. Dengan kematian seorang imam masjid di desa
Lahan, penduduk warga desa meyakinkan bahwa aparat pemerintah bertanggung
jawab atas penembakan ulama setempat mereka (www.).republika.com
Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menuduh ada pihak tengah berusaha
menginternasionalisasikan kerusuhan di Thailand Selatan. Thaksin juga
menyatakan:
“Setidaknya sebagian dari mereka yang melarikan diri ke Malaysia terlibat dalam
kegiatan pemberontakan di Thailand Selatan”.
“Sebagian dari mereka adalah para militan yang menyamar. Dengan berbagai cara,
mereka berusaha menginternasionalisasikan isu kerusuhan.
“Mereka yang lari ke Malaysia itu adalah warga tak bersalah. Mereka yang melarikan
diri ke Malaysia adalah para warga tidak berdosa. Mereka mendengar desas-desus
yang tak sesuai dengan fakta sebenarnya” (Kompas, 3 September 2005).
Kompas menginvestigasi bahwa Menteri Luar Negeri Malaysia Syed Hamid Albar
kepada para wartawan di Kuala Lumpur dengan mengungkapkan bahwa:
“Ini bukan sekadar persoalan menangkap dan mengirim mereka pulang ke negara
asal. Pemerintah Malaysia juga perlu melakukan penyelidikan sendiri dan tidak bisa
begitu saja mengusir orang asing. Bahwa Malaysia siap memberi tempat berteduh
sementara bagi para pendatang ilegal Thailand jika situasi di Thailand Selatan belum
stabil. Namun, mereka yang tidak memiliki dokumen perjalanan tidak akan diakui
sebagai pencari suaka”( Kompas, Op.Cit).
Hasil investigasi Republika bahwa Gabenur Negeri Kelantan, Nik Aziz Nik Mat,
menyatakan:
Kesimpulan
Akar Konflik
Persoalan Patani atau orang–orang Muslim di Thai Selatan telah dibahas dan latar
belakang sejarah mereka dijelaskan, yakni ketika mereka memiliki sebuah kerajaan
yang bebas dan merdeka, yang dikenal sebagai Kerajaan Patani. Ditunjukkan bahwa
dari segi agama, ras, etnik, budaya dan bahasa, mereka berbeda sama sekali dari
rakyat Thai.
Faktor yang menjelaskan mengapa conflict antara orang Melayu yang majority
muslim dan orang Thai yang majority penganut Buddha adalah kurang berhasilnya
program pembangunan bangsa (nation-building) di Thailand. Nationalism negara
yang diinginkan pemerintah pusat di Bangkok belum sepenuhnya diterima sebagian
suku Malayu di Province Patani, Yala, dan Narathiwat.
Kekecewaan dan penolakan sebagian warga di provinces Thailand Selatan itu terjadi
akibat berbagai program nation-building yang tidak berdasarkan saling memahami
perbedaan, tapi lebih pada pemaksaan kehendak pusat terhadap daerah pinggiran,
seperti dipahami orang Melayu.
Penyebab warga Muslim ini terpisah dari warga Thailand lainnya bukan hanya
kepercayaan agama mereka. Lebih dari satu abad lalu mereka tergabung dalam
kerajaan Patani yang pada tahun 1902 dikuasai oleh Siam atau Thailand termasuk
harus setia dan menghormati Raja Kerajaan Siam, berbicara bahasa Thailand, dan
bahkan menggunakan nama Thailand. Warga Muslim dipaksa untuk menerima
semua ketentuan itu.
Bahkan sebelum itu, langkah-langkah awal Kerajaan Siam telah di ambil untuk
memasukan hukum Islam kedalam rangka hukum nasional Thailand. Tindakan ini
menyiratkan apa yang akan terjadi. Perbaikan-perbaikan administrasi setelah itu,
perilaku wakil-wakil pemerintahan pusat yang di tempatkan di walayah itu, dan
promosi system pendidikan nasional (dan cinta tanah air Thai) sehingga merugikan
pendidikan Islam menyalakan semagat pembebasan di selatan negeri itu dalam
decade-decade berikutnya. Sama merugikan bagi hubungan dengan pusat nasional
adalah upaya-upaya untuk menempatkan hukum Islam di bawah hukum nasional
untuk mengurangi jumlah urusan-urusan hukum yang dapat dikelola oleh pengadilan
Islam sehingga hanya terbatas pada kukum keluarga dan hukum waris.
Kini tentu saja ditemui, semakin banyak anak-anak muda Melayu di wilayah selatan
Thailand mengenyam pendidikan nasional Thailand, belajar bahasa Thailand, di
samping menggunakan bahasa Melayu mereka. Sebagian mereka juga menikmati
mobilization vertical karena pendidikan mereka itu. Namun, tidak semua, dan masih
sebagian besar warga Melayu Selatan, berkeberatan dengan program Siamisasi
atau Thailandisasi Melayu.
Raja Patani, Abdul Kadir, oleh pemerintah Thai di anggap paling membahayakan
rencana-rencana Bangkok untuk daerah itu. Ia memimpin dan terus mendukung
kegiatan perlawanan dengan penjajah Siam.
Tetapi sikap di kalangan pejabat Thai tidak berubah hingga sekarang. Sering kali
para pejabat pemerintah Thai pada tingkat- tingkat yang paling tinggi menyatakan
rasa frustrating mereka mengenai alotnya masalah-masalah di selatan dengan kata-
kata “jika orang-orang Melayu Muslim tidak merasa senang dengan kekuasaan Thai,
mereka pergi saja dari negeri itu, tapi mereka tidak dapat membawa serta tanahnya”.
Dua orang bekas perdana menteri di kabarkan telah mengucap kata-kata seperti itu,
ketika mereka dihadapkan kepada situasi yang penuh dengan kekerasan di daerah
Patani.
Terbentuknya, Barisan Revolusi Nasional (BRN) pada tahun 1960 dibentuk oleh Haji
Karim bin Hasan, sebagai gerakan yang progressive. Antara lain Muhammad Amin,
To’guru Haji Yusuf Capakiya dan Tengku Abdul Jalaluddin bin Tengku Abdul Mutolib.
BRN adalah gerakan memperjuagkan ideology nasional dan medukung revolusi anti
capitalist dan colonialist yang berlandasan politik yang berjuang menuntut
kemerdekaan dengan pendekatan bersenjata, dan menunutut kemerdekaan total
bagi empat wilayah di Selatan Thai, termasuk bahgian barat wilayah Songkla dalam
rangka mengembalikan hak dan kemerdekaan negeri Patani.
langkah penyelesaian conflict di selatan yang berdasar pada concept politik oleh
pihak FAR diantaranya ialah:
a) Pardamaian Selatan (Thai Romyen) yang dipimpin oleh Jenderal Ban Harn
Leenanund, sebagai Panglima FAR, dan
b) Harapan Baru (Kwam Wang Mai) yang dipimpin oleh Jenderal Shauwalid
Yongjaiyud, sebagai jabatan Menteri Dalam Negeri Thai.
Kedua program tersebut berada pada tingkat kesatuan pengertian dan kerjasama
antara penduduk Islam Melayu dengan kerajaan Thai, dan juga menekankan pada
aspects demi mencapaikan tujuan terhadap golongan pejuang kemerdekaan agar
segera menyerah diri kepada pemerintahan.
Selain itu, pada tahun 1981 Perdana Menteri membentuk Commission ad-hoc di
wilayah Yala yang dikenal Pusat Administration Wilayah Sempadan Selatan atau
Southern Border Provinces Administrative Centre (SBPAC) yang berfungsi khusus
sebagai pusat pertumbuhan penerapan gerakan-gerakan geriliya di wilayah Thailand
Selatan.
Bagi Kerajaan Thai, Kebijakan number rujukan 66/2523 bisa menunjuk langkah yang
baik. Bahwa activity gerakan geriliya telahpun lumpuh dari tahap yang dikhawatirkan,
sementara pejuangan pembebasan dianggap sudahpun tidak ada dokongan dari
masyarakat. Keadaan semakin positif pada tahun 1992 setelah pihak FAR berhasil
mengada rundingan antar kelompak pejuang supaya kembali kedalam lingkungan
pemerintah Thai dan bekerjasama untuk menbangun negara.
Tetapi janji itu tidak dipenuhi. Penyerangan tangsi militer pada awal tahun 2004 telah
mengisyaratkan kembalinya semagat Nationalism Melayu Patani di Thailand bagian
selatan. Munculnya gerakan-gerakan geriliya, yang berpadoman pada pencak
nasionalisnya. Bertahan sambil menyerang, berharap sambil mendesak, dan kalau
perlu menyerbu tanpa memikirkan akibat.
Apa pun penyebabnya, pengelolaan dengan tangan besi dalam masalah Thailand
selatan menyebabkan situasi memburuk. Apa bukan karena pihak penguasa Thai
belum berhasil mengantisipasi activity geriliya di Patani sehingga beberapa unit
geriliya bertambah dan semakin berkembang. Jika sebelum ini unit gerilaya hanya
wujud di bukit-bukit, sekarang ini telah bangkit kembali aksi-aksi geriliya yang sedang
melakukan patrol di beberapa desa-desa dan ibu-ibu kota khususnya yang
berbatasan dengan Malaysia.
Bangkitnya gerakan gerilya atau terkenal RKK (Ronda Kumpulan Kecil) salah
satunya unit militer terkenal cermat, penuh perhitungan, rapi dan matang yang
terorganisir di bawah Barisana Revolusi Nasional- Co-ordinet. Tentara Kerajaan
Thailand jarang sekali berhasil menangkap para pelaku. Ketika melakukan serangan,
para gerilyawan selalu memperhitungkan kapan patrol kerajaan lewat di suatu
wilayah, lalu melepaskan tembakan atau melempar bom dan melarikan diri.
Sebagai pasukan gerilya yang bergerak underground, awalnya para pejuang ini
bermarkas di hutan-hutan yang terdapat di berbagai wilayah selatan. Namun setelah
tentara kerajaan Thailand melakukan serangan besar-besaran dengan
menggunakan senjata dan peralatan tempur yang lebih modern, para pejuang
akhirnya berpindah-pindah tempat. Kini, mereka tidak hanya bergerilya di bukit-bukit,
tapi juga mulai masuk kota dan perkampungan. Melakukan serangan-serangan
sporadis, meledakkan bom, melakukan penembakan, lalu menghilang. Tak heran
jika sebenarnya tentara kerajaan menderita stress dan paranoid karena berperang
dengan musuh yang tak tampak.
Para pejuang ini tak kenal menyerah dan pantang mundur dari medan laga.
Targetnya, merdeka atau mati syahid. Tak ada istilah kalah dalam perjuangan Islam.
Kalau menang berjaya, kalau mati syahid.