You are on page 1of 20

NILAI KEGUNAAN ILMU:

Nuklir dan Pilihan Moral

Revolusi Genetika

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Ilmu dan moral, tanggung jawab sosial, serta revolusi genetika adalah hal yang

saling berhubungan. Terdapat beberapa pertanyaan yang menggelitik, pertama benarkah

makin cerdas, maka makin pandai kita menemukan kebenaran, makin benar maka makin

baik pula perbuatan kita? Apakah manusia dengan penalaran tinggi lalu makin berbudi

atau sebaliknya makin cerdas maka makin pandai pula kita berdusta? Melalui makalah ini

akan diuraikan mengenai ilmu dan moral, netralitas seorang ilmuwan terhadap hasil

penemuannya, khususnya dalam kasus atom (nuklir) dan uraian tentang revolusi genetika.

2. Rumusan Masalah

Pada makalah ini terdapat empat rumusan masalah yaitu :

1. Apa yang dimaksud nilai kegunaan ilmu?

2. Bagaimana hubungan antara ilmu dan moral ?

3. Bagaimana nuklir sebagai produk sains ditinjau dari pilihan moral ?

4. Bagaimana pengaruh revolusi genetika terhadap tanggung jawab moral dan sosial

ilmuwan.

1|Ni lai Keg un aan Ilmu


B. PEMBAHASAN

1. Aksiologi Ilmu

Ilmu merupakan sesuatu yang paling penting bagi manusia, karena dengan ilmu

semua keperluan dan kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara cepat dan mudah. Dan

merupakan kenyataan yang tak dapat dimungkiri bahwa peradaban manusia sangat

berhutang pada ilmu. Ilmu telah banyak mengubah wajah dunia seperti hal memberantas

penyakit, kelaparan, kemiskinan, dan berbagai wajah kehidupan yang sulit lainnya.

Dengan kemajuan ilmu juga manusia bisa merasakan kemudahan lainnya seperti

transportasi, pemukiman, pendidikan, komunikasi, dan lain sebagainya. Singkatnya ilmu

merupakan sarana untuk membantu manusia dalam mencapai tujuan hidupnya.

Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan

penyelamat manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan,

manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang

pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk

hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi umat manusia itu

sendiri. Di sinilah ilmu harus diletakkan proporsional dan memihak pada nilai- nilai

kebaikan dan kemanusian. Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang

terjadi adalah bencana dan malapetaka.

Setiap ilmu pengetahuan akan menghasilkan teknologi yang kemudian akan

diterapkan pada masyarakat. Proses ilmu pengetahuan menjadi sebuah teknologi yang

benar-benar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat tentu tidak terlepas dari si ilmuwannya.

Seorang ilmuwan akan dihadapkan pada kepentingan-kepentingan pribadi ataukah

kepentingan masyarakat akan membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah

2|Ni lai Keg un aan Ilmu


bebas nilai. Untuk itulah tanggung jawab seorang ilmuwan haruslah “dipupuk” dan

berada pada tempat yang tepat, tanggung jawab akademis, dan tanggung jawab moral.

Pernyataan di sekitar batas wewenang penjelajahan sains, kaitan ilmu dengan moral, nilai

yang menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuan telah

menempatkan aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting. Karena itu, salah satu

aspek pembahasan integrasi keilmuan ialah aksiologi ilmu.

Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos

artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Berikut ini dijelaskan

beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri aksiologi adalah teori nilai yang

berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. 1

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan

bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika.2

Menurut Wibisono, dalam Surajiyo, 3 aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur

kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian, serta

penerapan ilmu.

Menurut Bramel, dalam Amsal, 4 aksiologi terbagi tiga bagian :

1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu

etika.

2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan.

3. Socio-political life, yaitu kehidupan social politik, yang akan melahirkan filsafat social

politik.

1
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakata 1996,
hlm. 234
2
Wihadi Admojo, et.al. Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta 1990 hlm. 19
3
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Bumi Aksara, Jakarta 2007 hlm. 152
4
Bakhtiar Amsal, Filsafat Ilmu. Rajawali Pers, Jakarta 2009 hlm. 163

3|Ni lai Keg un aan Ilmu


Dalam Encyclopedia of Philosophy, dalam Amsal 1 dijelaskan aksiologi disamakan

dengan value and valuation :

1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit

seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup

sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.

2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-

nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau

nilai dia.

3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau

dinilai.

Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama

adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk

melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.Teori tentang nilai yang

dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.

2. Nilai Kegunaan Ilmu

Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika

dimana makna etika memiliki dua arti yaitu merupakan suatu kumpulan pengetahuan

mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk

membedakan perbuatan, tingkah laku, atau yang lainnaya.

Merupakan kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa peradaban manusia

sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi, sain dan teknologi dikembangkan untuk

memudahkan hidup manusia agar lebih mudah dan nyaman. Peradaban manusia
1
Op.cit, hlm. 164

4|Ni lai Keg un aan Ilmu


berkembang sejalan dengan perkembangan sain dan teknologi karena itu kita tidak bisa

dipungkiri peradaban manusia berhutang budi pada sains dan teknologi. Berkat sains dan

teknologi pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan dengan lebih cepat dan mudah.

Perkembangan ini baik dibidang kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan dan

komunikasi telah mempermudah kehidupan manusia.

Sejak dalam tahap- tahap pertama ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang, di

samping lain ilmu sering dikaitkan dengan faktor kemanusiaan, dimana bukan lagi

tekhnologi yang berkembang seiring dengan perkembangan dan kebutuhan manusia,

namun sebaliknya manusialah yang akhirnya yang harus menyesuaikan diri dengan

teknologi. Menghadapi kenyataan ini ilmu yang pada hakikatnya mempelajari alam

sebagai mana adanya mulai mempertanyakan hal yang bersifat seharusnya, untuk apa

sebenarnya ilmu itu harus digunakan? Dimana batasnya? Kearah mana ilmu akan

berkembang?

Dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan tekhnologi

yang bersifat merusak ini para ilmuan terbagi ke dalam golongan pendapat yaitu

golongan pertama yang menginginkan bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-

nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Sebaliknya golongan kedua bahwa

netralisasi terhadap nilai- nilai hanyalah terbatas pada metavisis keilmuan sedangkan

dalam penggunaanya ilmu berlandaskan pada moral. Golongan kedua mendasarkan

pendapatnya pada beberapa hal yakni:

 Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang telah

dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi

keilmuan.

5|Ni lai Keg un aan Ilmu


 Ilmu telah berkembang pesat dan makin eksetoris sehingga ilmuwan telah

mengetahui apa yang mungkin terjadi apabila adanya penyalahgunaan.

 Ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada

kasus revolusi genetika dan tehnik perubahan sosial.

3. Hubungan Ilmu dan Moral

Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji

secara terbuka oleh masyarakat.1 Jikalau hasil penemuan perseorangan tersebut

memenuhi syarat-syarat keilmuan maka ia akan diterima sebagai bagian dari kumpulan

ilmu pengetahuan dan dapat digunakan dalam masyarakat.

Moral merupakan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk

menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran,

diperlukan keberanian moral. Moral berkaitan dengan metafisika keilmuan maka masalah

moral berkaitan dengan cara penggunaan pengetahuan ilmiah. 2 Pada kenyataan sekarang

tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat tergantung kepada ilmu dan

teknologi. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan maka pemenuhan kebutuhan hidup

manusia dapat dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah. Dengan diciptakannya

peralatan teknologi dibidang kesehatan, transportasi, pendidikan dan komunikasi, maka

mempermudah manusia dalam menyelesaikan pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhan

hidupnya. Namun dalam kenyataan apakah ilmu selalu merupakan berkah, terbebas dari

hal-hal negatif yang membawa malapetaka dan kesengsaraan?

1
Jujun, op.cit, hal. 237.
2
Ibid, hlm. 234-235

6|Ni lai Keg un aan Ilmu


Sejak dalam tahap pertumbuhannya ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang.

Ilmu bukan saja digunakan untuk mengusai alam melainkan juga untuk memerangi

sesama manusia dan mengusai mereka. Teknologi tidak lagi berfungsi sebagai sarana

yang memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia melainkan dia berada untuk

tujuan eksistensinya sendiri.

Dewasa ini ilmu bahkan sudah berada di ambang kemajuan yang mempengaruhi

reproduksi dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi bukan saja menimbulkan gejala

dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri,

atau dengan perkataan lain, ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia

mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan

itu sendiri, atau dengan perkataan lain ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu

manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri.

Sejak saat pertumbuhannya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral

namun dalam perspektif. Ketika Copernicus (1473-1543) mengajukan teorinya tentang

kesemestaan alam dan menemukan bahwa “bumi yang mengelilingi matahari” dan bukan

sebaliknya seperti yang dinyatakan oleh ajaran agama, maka timbullah interaksi antara

ilmu dan moral (yang bersumber pada ajaran agama). Dari hal tersebut timbullah konflik

yang bersumber pada penafsiran metafisik ini yang berkulminasi pada pengadilan

inkuisisi Galileo pada tahun 1633. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih

dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berfikir di Eropa, pada dasarnya

mencerminkan pertarungan antara ilmu yang terbebas dari nilai-nilai diluar bidang

keilmuan dan ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan yang ingin menjadikan nilai-nilainya

sebagai penafsiran metafisik keilmuan.

7|Ni lai Keg un aan Ilmu


Dalam kurun ini para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu yang

berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan: Ilmu yang Bebas

Nilai! Setelah pertarungan kurang lebih dua ratus lima puluh tahun maka para ilmuwan

mendapatkan kemenangan. Setelah saat itu ilmu memperoleh otonomi dalam melakukan

penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya.

Dalam perkembangan selanjutnya ilmu dan teknologi tidak selamanya berjalan

sesuai dengan yang diharapkan yaitu dalam rangka mensejahterakan kehidupan manusia.

Masalah teknologi telah mengakibatkan proses dehumanisasi. Dari perkembangan ilmu

dan teknologi dihadapkan dengan moral, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan

pendapat. Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total seperti

pada era Galileo sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu

secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua

mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal yakni: (1) Ilmu secara faktual telah

dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua perang

dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan; (2) Ilmu telah berkembang

dengan pesat dan makin esoterik sehingga kaum ilmuwan lebih mengatahui tentang

ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalagunaan; dan (3) Ilmu telah

berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat

mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi

genetika dan teknik perubahan sosial (social engineering). Berdasarkan ketiga hal ini

maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk

kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.

8|Ni lai Keg un aan Ilmu


4. Nuklir dan Pilihan Moral

Ilmu atau yang dikenal pula dengan pengetahuan bersumber dari otak. Ilmu

memberi keterangan bagaimana kedudukan suatu masalah dalam hubungan sebab akibat.

Ilmu mempelajari hubungan kausal di antara sejenis masalah. Kebenaran yang didapat

dengan keterangan ilmu hanya benar atas syarat yang diumpamakan dalam suatu

keterangan. Oleh karena itu, keterangan ilmu bersifat relatif. Orang yang berilmu akan

menerima setiap kebenaran yang didapat dalam penyelidikan ilmu dengan kritis. Tiap-

tiap pendapat yang dikemukakan diuji kebenarannya, itulah yang membawa kemajuan

ilmu. Kelanggengannya dapat diganti dengan penemuan yang baru. 1 Kemudian di mana

letak kenetralan ilmu?

Untuk melacak kenetralan ilmu, maka apllied-science atau ilmu terapan atau

teknologi di dunia modern tidak dapat dijadikan sebagai indikator ilmu dalam kategori

netral atau tidak netral. Kenetralan ilmu terletak pada pengetahuan yang carteis, asli,

murni, tanpa pamrih, tanpa motif atau guna. Artinya, ilmu akan netral bila bebas nilai

secara moral dan sosial.

Namun demikian, dalam perkembangan ilmu tidak sedikit yang semestinya netral

dan bertujuan baik karena dipraktikkan oleh ilrnuwan yang disebabkan banyak faktor

seperti sosial-politik sehingga eksperimen dan penelitian yang dilakukan berkembang

sesuai dengan kepentingannya, bukan berdasarkan pada kepentingan ilmu. Kemudian

ilmu berkembang sebagai sesuatu yang tidak netral, bahkan seringkali menciptakan

traumatik terhadap lingkungan.2

1
A. Mukti Ali, Iman dan Ilmu Pengetahuan, Yayasan Nida, Yogyakarta 1972, hal. 14-15.
2
Pranjoto Suijoatmodjo, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Depdikbud, Jakarta, 1988 hal. 146-148

9|Ni lai Keg un aan Ilmu


Dalam konteks kenetralan ilmu yang kemudian menjadi tidak netral, bahkan

menjadi sesuatu yang traumatik, siapa yang mesti bertanggung jawab? Ilmu atau

ilmuwan? Misalnya dalam kasus nuklir sebagai pengembangan atom, apakah Albert

Einstein harus bertanggung jawab atas bom-bom yang sebenarnya merupakan

perwujudan secara praktis dari pandangan teori murninya mengenai “interconvertablitas”

dari zat dan energi?

Pada tanggal 02 Agustus 1939, Albert Einstein menulis surat kepada presiden

Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt yang memberikan rekomendasi mengenai

serangkaian kegiatan yang mengarah pada pembuatan bom atom. Apakah yang

mendorong Einstein berkewajiban memberikan saran pada presiden AS tersebut untuk

membuat bom atom? Apakah karena alasan dia anti Hitler? Enstein adalah penemu rumus

E = MC2 yang menjadi dasar bagi pembuatan bom atom. Einstein dalam suratnya yang

dikirimkan kepada presiden Rooselvelt secara eksplisit juga mengemukakan

kekhawatiran mengenai kemungkinan pembuatan bom atom oleh Nazi. Dan apabila

sekiranya waktu itu Jerman tidak memperlihatkan tanda-tanda untuk membuat bom atom,

apakah Einstein akan bersedia menulis surat tersebut?1

Secara faktual ilmu digunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan

dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi- teknologi keilmuan,

ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi

sesama manusia dan menguasai mereka. Disamping berbagai senjata modern juga

dikembangkan berbagai tehnik penyiksaan. Tehnologi yang seharusnya menerapkan

konsep- konsep sains untuk membantu memecahkan masalah manusia baik perangkat

keras maupun yang lunak cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan


1
Jujun, op.cit, hlm.

10 | N i l a i K e g u n a a n I l m u
(dehumanisme), bahkan kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri,

terutama akibat perkembangan sain dan teknologi. Sains bukan lagi sarana yang

membantu manusia mencapai tujuan melainkan menciptakan tujuan hidup itu sendiri.

Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penemuannya

dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang mempergunakan itu adalah

bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat bahwa para ilmuwan bangkit dan bersikap

terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan mereka melanggar asas-asas

kemanusiaan. Ternyata bahwa dalam soal-soal yang menyangkut kemanusiaan para

ilmuwan tidak pernah bersifat netral. Mereka tegak dan bersuara sekiranya kemanusiaan

memerlukan mereka. Suara mereka bersifat universal mengatasi golongan, ras, sistem

kekuasaan, agama, dan rintangan-rintangan lainnya yang bersifat sosial.

Permasalahan netralitas seorang ilmuwan bisa diselesaikan dengan memahami

hubungan antara etika atau moral dengan ilmu itu sendiri. Etika sebagai kelompok filsafat

merupakan sikap kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan

moral. Etika sangat berkaitan dengan pelbagai masalah-masalah nilai (values) karena

pokok kajian etika terletak pada ragam masalah nilai “susila” dan “tidak susila”, baik”

dan “buruk”.

Etika dalam konteks ilmu adalah nilai (value). Dalam perkembangan ilmu sering

digunakan metode trial and error, dan dari sinilah kemudian sering menimbulkan

permasalahan eksistensi ilmu ketika eksperimentasi ternyata seringkali menimbulkan

fatal error sehingga tuntutan etika sangat dibutuhkan sebagai acuan moral bagi

11 | N i l a i K e g u n a a n I l m u
pengembangan ilmu.1 Dalam konteks ini, eksistensi etika dapat diwjudkan dalam visi,

misi, keputusan, pedoman perilaku, dan kebijakan moral.

Ada empat klaster domain etika yang sangat dibutuhkan dalam eksperimen dan

pengembangan ilmu, yaitu berupa (1) temuan basic research, (2) rekayasa teknologi, (3)

dampak sosial pengembangan teknologi, serta (4) rekayasa sosial. 2 Dari empat klaster

tersebut akan melahirkan integritas profesionalitas, tanggungjawab ilmuwan,

tanggungjawab terhadap kebenaran, hak azasi manusia, hak masyarakat, dan sebagainya.

Temuan basic research; beberapa contoh yang berkaitan dengan basic research

adalah penemuan DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup. Ketika ditemukan

tentang DNA unggul dan DNA cacat, dan pada saat dikembangkan pada wilayah

kehidupan alam seperti DNA pohon jati unggul dipergunakan untuk memperluas dan

meningkatkan reboisasi, maka hal ini tidak menemukan masalah. Demikian juga

penemuan ilmu tentang kloning, ilmu tidak mengalami kendali etika ketika hanya

merambah eksperimen pada hewan, semisal rekayasa domba masa depan agar dapat

memberi protein hewani pada manusia yang semakin bertambah dengan cepat juga belum

bermasalah. Namun demikian, ilmu tentang pengembangan DNA dan kloning kelas akan

tidak mempunyai nilai etika, jika masuk domain manusia.

Temuan Rekayasa Teknologik; thalidomide, suatu temuan obat tidur yang telah

diadakan uji klinis pada binatang, tetapi tidak untuk manusia. Posisi ilmu tidak

mengalami masalah etik. Dalam per-kembangan selanjutnya, apabila thalidomide

digunakan oleh ibu mengandung memasuki bulan kedua dan terbukti dapat

1
Noeng Muhadjir, Filsafal llmu, Rake Sarasin, Yogyakarta 1998, hal. 148-150
2
Ibid, hal. 148

12 | N i l a i K e g u n a a n I l m u
mengakibatkan bentuk janin bayi menjadi tidak normal, maka uji klinis pun mesti

diperketat.

Dampak Sosial Pengembangan Teknologi; ada dua dampak sosial yang

kemungkinan dihadapi dalam pengembangan teknologi, individual atau sosial secara

keseluruhan. Misalnya DNA sebagai konstitusi genetik makhluk hidup maka dapat

memberi dampak pada martabat manusia, khususnya nilai-nilai perkawinan yang dapat

melahirkan keturunan yang diakui oleh agama. Demikian juga dengan ilmu kloning, jika

hanya dengan maksud untuk meningkatkan kualitas manusia, justru akan menghancurkan

martabat manusia.

Bom atom nuklir yang menjadi ancaman seluruh manusia merupakan akibat

penemuan energi partikel alpha radioaktif yang dipergunakan secara destruktif yang

semestinya untuk keperluan medis dan alternatif energi listrik. Sebagai contoh ketika

terjadi di Nagasaki dan Hirosima Jepang yang luluh lantak akibat dibom atom oleh

Amerika Serikat pada Akhir Perang Dunia II tahun 1945.

Rekayasa Sosial; salah satu dari rekayasa sosial adalah pemupukan kepercayaan

terhadap pemikiran yang monolitik, seperti sistem monarkhi demi pelanggengan

kekuasaan, sistem kapitalisme dan sosialisme, sistem kasta yang mentabukan perkawinan

antarkasta, dan lain sebagainya.

Dari empat klaster berikut contoh-contoh yang dikemukakan menunjukkan bahwa

etika dalam pendekatan filsafat ilmu belum muncul kalau hanya pada wilayah

epistemologik, namun mem-bicarakan aksiologik keilmuan, mau tidak mau etika harus

terlibat.

13 | N i l a i K e g u n a a n I l m u
Etika akan membawa pada perkembangan ilmu untuk menciptakan suatu

peradaban yang baik, bukan menciptakan malapetaka dan kehancuran. Misi ilmu tidak

sejalan dengan yang dikatakan Bacon bahwa “knowledge is power”,31 pengetahuan

sebagai kekuatan. Siapa yang ingin menguasai alam semesta maka harus menguasai ilmu.

Akan tetapi, yang kurang bijaksana adalah jika manusia menguasai alam dan

memperlakukannya tanpa memperhitungkan norma-norma etis dalam hubungannya

dengan alam. Apa yang terjadi? Banyak sekali terjadi kerusakan lingkungan hidup yang

pada gilirannya akan mengancam kelangsungan hidup manusia juga. Oleh karena

hubungan manusia dan alam tidak bersifat instrinsik kosmologis, tetapi juga etis-

epistemologis.1

Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai untuk

kemaslahatan kemanusiaan, atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan. Pengetahuan

pada dasarnya ditujukan untuk kemaslahatan kemanusiaan. Masalahnya adalah sekiranya

seorang ilmuwan menemukan sesuatu yang menurut dia berbahaya bagi kemanusiaan

maka apakah yang harus dia lakukan? Apakah dia menyernbunyikan penemuan tersebut

sebab dia merasa bahwa penemuan itu lebih banyak menimbulkan kejahatan

dibandingkan dengan kebaikan? Ataukah dia akan bersifat netral dan menyerahkannya

kepada moral kemanusiaan untuk menentukan penggunaannya?

Kenetralan seorang ilmuwan dalam hal ini disebabkan anggapannya bahwa ilmu

pengetahuan merupakan rangkaian penemuan yang mengarah kepada penemuan

selanjutnya. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak melalui loncatan-loncatan yang tidak

berketentuan melainkan melalui proses kumulatif secara teratur. Penyembuhan penyakit

kanker harus didahului dengan penemuan dasar di bidang biologi molekuler. Penemuan
1
Ahmad Dahlan, Ilmu, Etika dan Agama, Jurnal Ibda`, Purwokerto 2008, hlm. 71-90

14 | N i l a i K e g u n a a n I l m u
laser memungkinkan penggunaannya sebagai terapi medis daiam berbagai penyakit.

Demikian selanjutnya di mana usaha menyembunyikan kebenaran dalam proses kegiatan

ilmiah merupakan kerugian bagi kemajuan ilmu pengetahuan seterusnya. Dalam

penemuan ini maka ilmu pengetahuan itu bersifat netral.

Dalam aspek inilah ilmu pengetahuan diyakini terbebas dari nilai-nilai yang

mengikat. Dalam aspek-aspek lainnya seperti apa yang ditelaah oleh ilmu pengetahuan

dan bagaimana pengetahuan itu dipergunakan mau tidak mau seorang ilmuwan terikat

secara moral dalam artian mempunyai preferensi dan memilih pihak. Dalam menentukan

masalah apa yang akan ditelaahnya maka seorang ilmuwan secara sadar atau tidak sudah

menentukan pilihan moral. 1

5. Revolusi Genetika

Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan dalam bidang kimi dan fisika membawa

menfaat yang banyak bagi kehidupan manusia. Namun disamping menfaat positif muncul

pula penyalagunaan kemajuan ilmu kimia dan fisika sehingga menimbulkan malapetaka.

Perang Dunia I yang menghadirkan bom biologis dan Perang Dunia II memunculkan bom

atom merupakan dampak negatif penyalagunaan ilmu dan teknologi.

Ilmu dalam persfektif sejarah kemanusiaan mempunyai puncak kecemerlangan

masing- masing, namun seperti kotak Pandora yang terbuka kecemerlangan itu membawa

malapetaka. Perang Dunia I menghadiahkan bom kuman yang menjadi kutukan ilmu

kimia dan Perang Dunia II muncul bom atom produk fisika, dan kutukan apa yang akan

dibawa oleh revolusi genetika.

1
Jujun, op.cit. hlm.

15 | N i l a i K e g u n a a n I l m u
Revolusi genetika merupakan babakan baru dalam sejarah keilmuan manusia

sebab sebelum ini ilmu tidak pernah menyentuh manusia sebagai objek penelaahan itu

sendiri. Hal ini bukan berarti bahwa sebelumnya tidak pernah ada penelaahan ilmiah

yang berkaitan dengan jasad manusia, tentu sudah banyak sekali, namun penelaahan-

penelaahan ini dimaksudkan untuk mengembangkan ilmu dan teknologi, dan tidak

membidik secara langsung manusia sebagai obyek penelaahan. 1 Artinya, jika kita

mengadakan penelaahan mengenai jantung manusia, maka hal ini dimaksudkan untuk

mengembangkan ilmu dan teknologi yang berkaitan dengan penyakit jantung. Atau

dengan perkataan lain, upaya kita diarahkan dalam mengembangkan pengetahuan yang

memungkinkan kita dapat mengetahui segenap proses yang berkaitan dengan jantung,

dan di atas pengetahuan itu dikembangkan teknologi yang berupa alat yang memberi

kemudahan bagi kita untuk menghadapi gangguan-gangguan jantung.

Dengan penelitian genetika ini menjadi sangat lain kita tidak lagi menelaah organ-

organ manusia melainkan manusia itu sendiri yang menjadi objek penelitian yang

menghasilkan bukan lagi tekhnologi yang memberikan kemudahan melainkan teknologi

yang mengubah manusia itu sendiri, apakah perubahan itu akan dibenarkan dengan

moral, yaitu sikap yang sudah dimiliki seorang ilmuan?

Jawabannya yaitu tinggal dikembalikan lagi kepada hakikat manusia itu sendiri,

karena sudah kita ketahui bahwa ilmu itu berfungsi sebagai pengetahuan yang membantu

dalam mencapai tujuan hidupnya, tujuan hidup ini berkaitan erat dengan hakikat

kemanusiaan itu sendiri, bersifat otonom dan terlepas dari kajian dan pengaruh ilmiah.

Penemuan dan riset genetika akan digunakan dengan itikad yang baik untuk

keluhuran manusia, dan bagaimana sekiranaya riset tersebut jatuh pada tangan yang tidak
1
Ibid, hlm.

16 | N i l a i K e g u n a a n I l m u
bertanggung jawab dan mempergunakan penemuan ilmiah ini untuk kepentingannya

sendiriyang bersifat destruktif? Apa yang akan diberikan bahwa pengetahuan ini tidak

akan dipergunakan untuk tujuan- tujuan seperti itu? Dari pertanyaan itu kita melihat dari

sudut ini makin meyakinkan kita bahwa akan lebih banyak keburukannya dibandingkan

dengan kebaikannya sekiranya hakikat kemanusiaan itu sendiri mulai dijamah.

Dalam penelitian genetika, kita tidak lagi melaah organ-organ manusia dalam

upaya menciptakan teknologi yang bermaksud memberikan kemudahan bagi kita,

misalnya untuk memudahkan pengobatan. Dalam rekayasa genetika, yang dilakukan itu

sendiri menjadi objek penelaahan, yang menghasilkan bukan lagi teknologi yang akan

memberikan kemudahan, melainkan teknologi untuk mengubah manusia itu sendiri.

Pertanyaannya adalah, bagaimana dengan berbagai informasi penting yang didapat dari

penelaahan ini dimanfaatkan? Bayangan kekhawatiran selalu menyertai penelitian seperti

ini bahwa manusia akan tergoda untuk memanipulasi gen-gennya sendiri, dan akhirnya

berusaha menciptakan keturunan yang serba super, dan yang lainnya. 1

Melanjutkan kajian dari pembahasan revolusi genetika ini, kita dapat

mengaitkannya dengan masalah kebahagiaan dan kedamaian, yang merupakan hal yang

mendasar bagi kemanusiaan. Misalnya, dengan kemampuan rekayasa genetika, kita

mampu menciptakan manusia yang IQ-nya 160 ke atas. Dengan tingkat IQ setinggi itu

pastilah dia memiliki kecerdasan yang luar biasa sekali, sehingga mampu mengetahui dan

melakukan hal-hal yang selama ini tidak mampu dilakukan oleh manusia lain. Tetapi

pertanyaannya adalah, apakah dengan tingkat IQ setinggi itu, ilmu bisa memberikan

jaminan bahwa dia akan bahagia. Dalam hal ini ilmu tentu tidak bisa memberikan

jawaban sebelum hal itu bisa dibuktikan melalui pengalaman nyata sesudahnya. Itu
1
Antonius Atoshoki, dkk, Relasi dengan Dunia, PT. Gramedia, Jakarta 2005 hlm. 171

17 | N i l a i K e g u n a a n I l m u
berarti ilmu harus melakukan percobaan dulu, lalu baru kemudian mengamati hasil-

hasilnya. Hal ini tentu sudah memasuki wilayah moral, yakni sejauh mana manusia boleh

diperlakukan sebagai kelinci percobaan? Sampai seberapa banyak dan seberapa jauh

percobaan harus dilakukan untuk memperoleh hasil yang dinginkan, dalam arti ilmu

dapat memberikan pembuktian yang meyakinkan? Ini hanya salah satu hal saja dari

sekian banyak masalah moral yang terkait dengan penggunaan manusia sebagai kelinci

percobaan. Dan kalaupun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian itu dimaksudkan demi

kebaikan bagi manusia, namun bagaimana sekerinya penemuan itu jatuh ke tangan pihak-

pihak yang tidak bertanggungjawab lalu menyalahgunakannya.

Rekayasa yang cenderung menimbulkan gejala anti kemanusiaan (dehumanisme)

dan mengubah hakikat kemanusiaan menimbulkan pertanyaan disekitar batas dan

wewenag penjelajahan sains, disamping tanggung jawab dan moral ilmuan. Jika sains

melakukan telaahan terhadap organ tubuh manusia, seperti jantung dan ginjal barangkali

hal itu tidak menjadi masalah terutama jika kajian itu bermuara pada penciptaan

teknologi yang dapat merawat atau membantu fungsi- fungsi organ tubuh manusia. Tapi

jika sains mencoba mengkaji hakikat manusia dan cenderung mengubah proses

penciptaan manusia seperti kasus dalam kloning hal inilah yang menimbulkan pertanyaan

disekitar batas dan wewenag penjelajahan sains. yang jadi pertanyaan sekarang sejauh

mana penjelajahan sains dan teknologi?

Berkaitan dengan pertanyaan di atas dimana kaitan ilmu dengan moral, nilai yang

menjadi acuan seorang ilmuan, dan tanggung jawab sosial ilmuwan telah menempatkan

aksiologi ilmu pada posisi yang sangat penting karena itu salah satu aspek pembahasan

mendasar dalam integrasi keilmuan adalah aksiologi yang sebelumnya telah dibahas.

18 | N i l a i K e g u n a a n I l m u
Kesimpulan yang dapat ditarik dari pembahasan di atas menyatakan sikap

menolak terhadap dijadikannya manusia sebagai obyek penelitian genetika. Secara moral

kita lakukan evaluasi etis terhadap suatu obyek yang tercakup dalam obyek formal

(ontologis) ilmu. Menghadapi nuklir yang sudah merupakan kenyataan maka moral

hanya mampu memberikan penilaian yang bersifat aksiologis, bagaimana sebaiknya kita

mempergunakan tenaga nuklir untuk keluhuran martabat manusia. Menghadapa revolusi

genetika yang baru di ambang pintu, kita belum terlambat menerapkan pilihan ontologis.

C. PENUTUP

Dari penyajian makalah tentang ilmu dan moral, tanggung jawab sosial ilmuwan

dan revolusi genetika dapat kami tarik kesimpulan bahwa :

1. Dalam pengembang ilmu, para ilmuwan senantiasa memandang bahwa ilmu

dikembangkan sebagai objek yang terikat oleh nilai-nilai moral, sehingga dalam

pengembangan ilmu tersebut tidak merendahkan martabat manusia.

2. Ilmu pengetahuan diyakini terbebas dari nilai-nilai yang mengikat. Dalam aspek-

aspek lainnya seperti apa yang ditelaah oleh ilmu pengetahuan dan bagaimana

pengetahuan itu dipergunakan mau tidak mau seorang ilmuwan terikat secara

moral dalam artian mempunyai preferensi dan memilih pihak.

3. Revolusi genetika merupakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan yang tidak

bebas nilai, aspek penerapan ontologis ilmu pengetahuan harus dikedepankan

sehingga tidak merendahkan martabat manusia yang merupakan pengembang

ilmu pengetahuan.

19 | N i l a i K e g u n a a n I l m u
DAFTAR PUSTAKA

Admojo,Wihadi, et.al. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1998

Ali, A. Mukti, Iman dan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Yayasan Nida, 1972

Amsal, Bakhtiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. 2009

Atoshoki, Antonius, dkk, Relasi dengan Dunia, Jakarta : PT. Gramedia, 2005

Dahlan, Ahmad, Ilmu, Etika dan Agama, Purwokerto : Jurnal Ibda`, 2008

Muhadjir, Noeng, Filsafal llmu, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1998

Suijoatmodjo, Pranjoto, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Depdikbud, 1988

Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. 2007

Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:

Pustaka Sinar Harapan. 1990

20 | N i l a i K e g u n a a n I l m u

You might also like