You are on page 1of 4

MENJAGA DIRI DENGAN IBADAH

Mukadimah
An-naas artinya semua manusia, kata jamak dari al-insan. Dalam bahasa Arab,
kata yang di awali dengan ”alif-lam” (AL) menunjukkan arti istighag yang berarti seluruh
manusia, seperti al-hamdu, yang berarti segala pujian, al amal artinya segala amalan dst.
Semua manusia, maksudnya adalah manusia secara keseluruhan. Baik laki-laki maupun
perempuan, baik besar atau kecil, kaya atau miskin, rakyat atau pejabat, bahkan baik
yang mukmin atau yang kafir. Semua diperintah oleh Allah SWT untuk beribadah dan
taat kepada-Nya dengan seruan, ”U’budu Rabbakum!” (Sembahlah Tuhanmu).
Ayat ini termasuk ayat makiyyah, yang mempunyai ciri menggunakan kalimat nida’:
”yaa ayyuhan-naas” (wahai semua manusia). Ciri kedua, adanya perintah mentauhidkan
Allah, baik secara uluhiyyah dan pengenalan rububiyyah. Ciri ketiga, tidak
menyampaikan hukum-hukum kemasyarakatan.
Allah menciptakan langit, bumi, jin, malaikat, binatang, zat padat, cair dan gas, serta
segala jenis makhluk. Semua makhluk ciptaan-Nya diperintahkan untuk tunduk pada
perintah-Nya. Dalam ayat ini, Allah hanya menyeru khusus kepada manuisia, karena
memang kebanyakan manusia menyimpang dari tuntunan untuk menyembah-Nya.

Sembahlah Tuhanmu!
Manusia diperintah untuk menyembah dan beribadah kepada-Nya semata.
Perintah ibadah ini fardu a’in untuk semua manusia dan jin. Dengan seruan : Sembahlah
Tuhanmu! Ada pertanyaan, apakah perintah ibadah itu hanya shalat? Apakah ibadah itu
sebatas baca quran, zakat, puasa, haji, dzikir, dan sebagainya? Tentu tidak.
Bagaimana dengan amal yang tidak diperintahkan secara syar’i seperti makan, minum,
berpakaian, dan masalah-masalah keduniaan yang lain?Jumhur (mayoritas) ulama
mengatakan, tetap ada nilai ibadahnya manakala hal itu dilakukan untuk taqarrub
( mendekatkan) kepada Allah. Alhasil, arti ibadah menjadi lebih luas. Sedangkan Fudhail
bin ”Iyadh mengatakan, syarat diterimanya ibadah ada dua, yakni ikhlas dan ittiba’
(mengikuti) Rasulullah. Ikhlas ibadahnya tapi tidak mencontoh Nabi, maka tidak akan
diterima. Demikian pula sebaliknya, ibadahnya sesuai dengan contoh Nabi tapi tidak
Ikhlas, juga tidak diterima. Ikhlas dan ittiba’ semuanya harus ada. Arti ibadah secara luas
adalah hal yang mencakup ucapan, sifat dan perbuatan yang yang dicintai dan diridhai
Allah, baik secara lahir maupun batin. Demikian diterangkan Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyah. Pernyataan ikrar bahwa kita beribadah adalah ucapan kita dalam setiap rakaat
disaat membaca surat Al-Fatihah, ”Hanya kepada-Mu kami menyembah ya Allah, dan
hanya kepada-Mu pula kami mohon pertolongan”. Dengan demikian, ibadah berarti cinta
dan benci hanya karena Allah; berharap hanya kepada Allah; takut hanya kepada Allah;
berserah diri dan tawakkal hanya kepada Allah; taat dan tunduk semata kepada Allah;
menyandarkan cita-cita orientasi tertinggi hanya kepada Allah. Syaikh Yahya al-Hakami
pernah berkata, ”Tidaklah dinamakan ibadah sehingga terkumpul di dalamnya tiga hal,
yaitu takut,cinta, dan ketundukan. Tidak dinamakan ibadah jika ia hanya takut atau
hanya cinta namun tidak ada ketundukkan”. Seorang ahli ibadah tidak harus berada di
atas sajadahnya. Seorang ’abid (hamba) tidak mesti melakukan ibadah ritual terus-
menerus tiada henti-sebagaimana yang mana dilakukan oleh para pengikut tarikat
sufiyah- dan tidak memperhatikan urusan dunia, sampai menelatarkan anank-anak dan
istrinya. Tidak.
Hal seperti itu pernah terjadi pada zaman Nabi Muhammad, yakni sahabat yang bernama
Abu Darda’ Radhiyallahu’anhu .untung langsung diluruskan oleh sahabatnya, Salman al-
Farisi. Hasilnya, mereka menjadi manusia-manusia yang ahli ibadah sekaligus para
penguas dunia. Mereka diibaratkan sebagai malaikat di malam hari dan singa gurun pada
siang hari. Hati-hati mereka suci menebus akhirat sedangkan tangan-tangannya
menggenggam dunia. Jadilah sosok-sosok unggul seperti Abu Bakar, Umar, Usman,Ali,
dan sahabat-sahabat lain. Jadilah figur Abdurrahman bin Auf, sosok yang ahli ibadah
sekaligus saudagar kaya penguasa pasar Madinah. Bilal yang sebelumnya budak hina bisa
menjadi Gubernur Madinah. Umar bin Khathtab, seorang ahli ibadah sampai setan pun
takut bertemu denganya, juga menjadi khalifah penakluk daratan eropa hingga Asia.
Meraka adalah umat terbaik, generasi didikan langsung Nabi yang terbaik dalam semua
hal :aqidah, ibadah, muamalah, dakwah, manhaj, akhlaq, etos kerja, disiplin, bertanggung
jawab, dan sebagainya. Ruh Islam masih benar-benar kental dan memancar dalam jiwa-
jiwa mereka.
Kesadaran Bertuhan
Siapa Tuhanmu? Dialah yang menciptakanmu dan orang-orang sebelum kita, dari
bapak-ibu, kakek-nenek, buyut, moyang, dan seterusnya. Di sini Allah mendidik manusia
dengan tauhid rububiyyah, yaitu meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan yang
maha mencipta. Ia pula yang memelihara ciptaan-Nya, menjamin rezekinya, mengatur,
menjaga, dan Maha berkuasa kepada ciptaan-Nya. Kuasa untuk menghidupkan,
mematikan, memuliakan, meghinakan, dan sebagainya. Tiada kuasa melawan kebesaran-
Nya. Setelah manusia tahu dan sadar akan tauhid rububiyyah, maka tiada alasan lagi
untuk tidak menyembahnya. Setelah tahu siapa Tuhan, semestinya tidak mungkin
manusia sebagai makhluk yang lemah lali dalam perintah-Nya. Tidak patut manusia
sebagai hamba yang lemah tidak taat kepada Tuhan Yang Maha Besar. Dengan demikian,
manusia sadar dengan sesadar-sadarnya makna hidup ini, tentang siapa yang
menghidupkan dahulu, untuk apa hidup ini, dan kemana hidup nanti.
Agar Bertaqwa
Taqwa berasAl dari kata waqa- yaqi- wiqayatan.artinya menjaga. Kita beribadah
kepada Allah supaya diri kita terjaga. Dari apa? Terjaga dari dosa-dosa, terjaga dari
perbuatan yang tidak pantas, dan terjaga dari siksa api neraka. Bila ibadah adalah semua
ucapan ataupun perbuatan yang dicintai dan diridhai Allah, sedangkan arti taqwa adalah
menjaga diri, maka seorang ’abid hendaknya mampu menjaga dirinya dari segala hal
yang dibenci dan tidak diridhai Allah.
Ibadah seseorang dikatakan berhasil apabila mampu mengatarkan pelakunya
menjadi bertaqwa. Karenanya, semakin baik dan benar kualitas ibadah seseorang, dia
pasti semakin menjaga diri. Ia kian hati-hati agar tidak terperosok kepada hasutan hawa
nafsu, terjerumus kepada bisikan setan, maksiat, bid’ah, dan kemusyrikan. Seorang yang
kualitas ibadahnya baik, tentu semakin mampu menjaga anggota badannya dari dosa-
dosa. Ia jaga lisannya, mata, telinga, tangan, kaki, dan hatinya dari sesuatu yang Allah
benci. Jika tidak demikian, maka bisa dikatakan ada yang salah dalam ibadahnya.
Mungkin ibadahnya selama ini riya, atau hanya rutinitas pragmatis, mekanis, atau tujuan
ibadahnya hanya materi dunia, atau tercampur dengan bid’ah dan tidak sempurna sunnah-
sunnahnya.
Mudah-mudahan semua ibadah kita diterima oleh Allah, mampu mengatarkan kita
kepada taqwa. Amiin ya Mujibas-sailin.

You might also like