You are on page 1of 19

Nama :

-Bagus kusumo wijonarko


-Ayu azhari
-Nurazhlina
-Mulio utomo
-Doly rizky
-Alfiansyah hasibuhan

Kelas : Xl- ipa 1

Otobiografi Tokoh Pahlawan


Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia
Soekarno
Sang Proklamator SOEKARNO (Bung
Karno), Presiden Pertama Republik
Indonesia, 1945-1966, menganut ideologi
pembangunan berdiri di atas kaki sendiri.
Proklamator yang lahir di Blitar, Jatim, 6
Juni 1901 ini dengan gagah mengejek Amerika Serikat
dan negara kapitalis lainnya: Go to hell with your aid.
Persetan dengan bantuan mu. Ia mengajak negara-
negara sedang berkembang (baru merdeka) bersatu.
Pemimpin Besar Revolusi ini juga berhasil
menggelorakan semangat revolusi bagi bangsanya,
serta menjaga keutuhan NKRI.

Itulah Bung Karno yang berhasil menggelorakan


semangat revolusi dan mengajak berdiri di atas kaki
sendiri bagi bangsanya, walaupun belum sempat
berhasil membawa rakyatnya dalam kehidupan yang
sejahtera. Konsep berdiri di atas kaki sendiri memang
belum sampai ke tujuan tetapi setidaknya berhasil
memberikan kebanggaan pada eksistensi bangsa.
Daripada berdiri di atas utang luar negeri yang terbukti
menghadirkan ketergantungan dan ketidakberdayaan
(noekolonialisme).

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang, Bung


Karno dan Bung Hatta memproklamasikan
kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Sebelumnya, ia
juga berhasil merumuskan Pancasila yang kemudian
menjadi dasar (ideologi) Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Ia berupaya mempersatukan nusantara.
Bahkan ia berusaha menghimpun bangsa bangsa di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin dengan Konferensi Asia
Afrika di Bandung pada 1955 yang kemudian
berkembang menjadi Gerakan Non Blok.

Orator Ulung. Presiden pertama RI itu pun dikenal


sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara
amat berapi-api tentang revolusi nasional,
neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya
pada kekuatan massa, kekuatan rakyat. Aku ini bukan
apa-apa kalau tanpa rakyat. Aku besar karena rakyat,
aku berjuang karena rakyat dan aku penyambung lidah
rakyat, kata Bung Karno, dalam karyanya Menggali Api
Pancasila. Suatu ungkapan yang cukup jujur dari
seorang orator besar.

Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena


langka yang mengundang kagum banyak orang.
Kemahirannya menggunakan bahasa dengan segala
macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya.
Hal ini tercermin dalam autobiografi, karangan dan buku
sejarah yang memuat sepak terjangnya. Pada 17 Mei
1956. Bung Karno mendapat kehormatan
menyampaikan pidato di depan Kongres Amerika
Serikat. Sebagaimana dilaporkan New York Times hari
berikutnya, dalam pidato itu ia gigih menyerang
kolonialisme.

Perjuangan dan pengorbanan yang telah kami lakukan


demi pembebasan rakyat kami dari belenggu
kolonialisme, telah berlangsung dari generasi ke
generasi selama berabad-abad. Tetapi, perjuangan itu
masih belum selesai. Bagaimana perjuangan itu bisa
dikatakan selesai jika jutaan manusia di Asia maupun
Afrika masih berada di bawah dominasi kolonial, masih
belum bisa menikmati kemerdekaan? pekik Soekarno
ketika itu.

Hebatnya, meskipun pidato itu dengan keras menentang


kolonialisme dan imperialisme, serta cukup kritis
terhadap negara-negara Barat, ia mendapat sambutan
luar biasa di Amerika Serikat (AS). Pidato itu
menunjukkan konsistensi pemikiran dan sikap-sikap
Bung Karno yang sejak masa mudanya
antikolonialisme. Terutama pada periode 1926-1933,
semangat antikolonialisme dan anti-imperialisme itu
sudah jelas dikedepankannya.
DR. Soepomo
Salah satu pondasi penting dari
bangunan suatu negara adalah
perangkat hukum. Untuk
membangun negara yang kokoh
diperlukan hukum untuk mengatur
kehidupan bermasyarakat dan
bernegara agar tercipta harmonisasi
dan kerukunan antar sesama. Sesudah proklamasi
kemerdekaan, penyediaan peraturan dan perundang-
undangan bagi masyarakat Indonesia dengan beragam
suku, agama, bahasa, dan budaya memunculkan
keprihatinan para pendiri Republik Indonesia.

Salah satu tokoh yang berjasa besar dalam membangun


perangkat hukum itu adalah Prof. DR. Soepomo. Pria
kelahiran Sukoharjo, Surakarta, 22 Januari 1903 ini
menamatkan pendidikan dasarnya di ELS, kemudian
dilanjutkan ke tingkat menengah pertama di MULO.
Setamatnya dari MULO, ia memilih untuk menuntut ilmu
pada Sekolah Hukum (Rechtschool) di Jakarta, dan
berhasil menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1923
pada sekolah yang awalnya bernama Sekolah
Pendidikan untuk Ahli Hukum Bumiputera
(Opleidingschool voor Indlandsche Rechtskundige).
Kemudian ia bekerja pada Pengadilan Negeri Surakarta.
Karena prestasi akademisnya yang gemilang, ia
mendapat kesempatan untuk mengambil program
Doktor Ilmu Hukum Adat di Universitas Leiden, Belanda
berbekal beasiswa yang diperolehnya. Setelah berhasil
menyandang gelar doktor, ia kembali ke tanah air dan
bekerja sebagai pegawai yang diperbantukan pada
Ketua Pengadilan Negeri Yogyakarta. Setahun
kemudian Soepomo terpilih menjadi Ketua Luar Biasa
Pengadilan Negeri Yogyakarta selama dua tahun.
Sebagai seorang putra bangsa, ia menaruh perhatian
pada pergerakan nasional. Hal itu telah terlihat sejak ia
masih duduk di bangku sekolah, dengan
keikutsertaannya pada organisasi Jong Java (Pemuda
Jawa). Bersama-sama dengan Jong Sumatera dan Jong
Ambon, organisasi pemuda itu memprakarsai ikrar
pemuda yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda pada
tahun 1928. Dalam ikrar itu, para pemuda dari berbagai
suku menyatakan bahwa mereka adalah berbangsa,
bertanah air dan berbahasa satu, yaitu Indonesia.
Ia juga aktif melahirkan berbagai karya tulis. Salah satu
buah pemikirannya yang dibuat sebagai sumbangan
pikiran atas diselenggarakannya Kongres Perempuan
Indonesia adalah sebuah brosur yang berjudul
Perempuan Indonesia dalam Hukum. Brosur tersebut
ditulisnya bersama dengan Ali Sastroamidjoyo di tahun
1928.
Sesuai dengan latar belakang pendidikannya, kiprah
Soepomo yang paling menonjol adalah di bidang
hukum. Dari Yogyakarta, ia kemudian ditarik ke Jakarta
dan bekerja untuk membantu Direktur
Justisi/Departemen Kehakiman mengadakan penelitian
hukum Adat di Jawa Barat.
Menjelang pecahnya Perang Asia Timur Raya, ia
memasuki dunia pendidikan tinggi Ilmu Hukum
menggantikan Prof Ter haar dengan diangkat menjadi
dosen dalam hukum adat pada Sekolah Tinggi Hukum
di Jakarta. Ia kemudian diangkat menjadi Guru Besar
Hukum Adat.
Sebagai ahli hukum, ia banyak melakukan penelitian di
bidang ilmu yang menjadi keahliannya. Pada tahun
1930, ia mengadakan penelitian tentang hukum adat di
Jawa Barat. Hasil penelitian itu diterbitkan dalam bentuk
monografi dengan judul “Hukum Adat Privat Jawa
Barat”. Di samping itu hasil studi dan penelitiannya
banyak dimuat dalam majalah Indisch Tijdschrift van het
Recht (Majalah Hukum Hindia).
Ketekunannya dalam masalah hukum adat
menimbulkan kesadaran di dalam dirinya akan
pentingnya “pengindonesiaan” dan semangat gotong
royong yang diintegrasikan dalam hukum di Indonesia.
Kesadaran itu yang mendorongnya untuk giat dalam
kepengurusan Parindra (Partai Indonesia Raya). Partai
itu sering dicap sebagai partai para priyayi dan kurang
memperhatikan permasalahan-permasalahan ekonomi
dan kemasyarakatan. Keterlibatannya dalam partai itu
memberikan dampak positif perbaikan citra partai itu.
Selain pernah bekerja di pengadilan negeri, ia juga
pernah menjabat sebagai Ketua Balai Pengetahuan
Masyarakat Indonesia. Jabatan penting lain dalam
struktur pemerintahan yang pernah disandangnya
antara lain Ketua Landraad Purworejo di samping
menjadi Guru Besar Sekolah Hakim Tinggi.
Saat pemerintah Jepang berkuasa, Soepomo terpilih
menjadi anggota Panitia Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia dan kemudian sebagai
anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Salah satu tugasnya adalah mempersiapkan Undang-
Undang Dasar (UUD). Dalam persidangan kedua, 10
Juli 1945 dibahas rencana UUD, termasuk soal
pembukaan (preambule) oleh Panitia Perancang UUD
yang diketuai Ir. Soekarno. Panitia itu kemudian
membentuk sebuah “Panitia Kecil Perancang UUD’
yang diketuai oleh Soepomo dengan anggotanya Mr.
Wongsonegoro, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. A. A.
Maramis, Mr. R.P Singgih, H. Agus Salim, dan dr.
Sukiman. Sebagai seorang pakar ilmu ketatanegaraan,
ia banyak menyumbangkan pemikirannya dalam
penyusunan Undang-Undang Dasar 1945.
Rancangan UUD itu mengkompromikan antara konsepsi
Jawa tentang pemerintahan yang terpusat (tersentralisir)
dengan demokrasi Minangkabau. Hal itu disebabkan
oleh perimbangan antara kedudukan presiden yang kuat
dengan dua badan perwakilan, yaitu MPR dan DPR.
Usaha itu merupakan buah kerja keras Soepomo yang
mencita-citakan suatu negara integralistik. Artinya,
negara dengan seluruh aparat pemerintahan-nya harus
“mengatasi” semua golongan dan perbedaannya. UUD
yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu di
kemudian hari dikenal sebagai UUD 1945.
Selain jasanya dalam merancang UUD, berbagai
jabatan tinggi pernah dipercayakan padanya. Seperti
jabatan Menteri Kehakiman dalam kabinet Hatta
(Desember 1949 - Agustus 1950), guru besar Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Guru
Besar PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian) Jakarta,
Presiden (sekarang Rektor) Universitas Indonesia,
Jakarta merangkap sebagai Pimpinan Lembaga
Pembinaan Hukum Nasional serta Anggota Panitia
Negara Urusan Konstitusi. Di samping jabatan akademis
yang sesuai dengan bidang keahliannya, Soepomo juga
ditugaskan menjadi Duta Besar RI untuk kerajaan
Inggris.
Soepomo meninggal dunia pada 12 September 1958 di
Jakarta dan dikebumikan di pemakaman keluarga
Kampung Yosoroto, Solo.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Prof. DR. Mr.
Soepomo diberi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 123
Tahun 1965 tanggal 14 Mei 1965.
Mohammad Hatta
Sang Proklamator Mohammad Hatta lahir pada tanggal
12 Agustus 1902 di Bukittinggi. Di kota kecil yang indah
inilah Bung Hatta dibesarkan di lingkungan keluarga
ibunya. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal
ketika Hatta berusia delapan bulan. Dari ibunya, Hatta
memiliki enam saudara perempuan.
Ia adalah anak laki-laki satu-
satunya. Tangal 17 Agustus 1945,
kemerdekaan Indonesia
diproklamasikan oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta atas nama
bangsa Indonesia, tepat pada jam 10.00 pagi di Jalan
Pengangsaan Timur 56 Jakarta. Tanggal 18 Agustus
1945, Ir Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik
Indonesia dan Drs. Mohammad Hatta diangkat menjadi
wakilnya periode tahun 1950-1956

Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta tetap aktif


memberikan ceramah-ceramah di berbagai lembaga
pendidikan tinggi. Dia juga tetap menulis berbagai
karangan dan buku-buku ilmiah di bidang ekonomi dan
koperasi. Dia juga aktif membimbing gerakan koperasi
untuk melaksanakan cita-cita dalam konsepsi
ekonominya. Tanggal 12 Juli 1951, Bung Hatta
mengucapkan pidato radio untuk menyambut Hari
Koperasi di Indonesia. Karena besamya aktivitas Bung
Hatta dalam gerakan koperasi, maka pada tanggal 17
Juli 1953 dia diangkat sebagai Bapak Koperasi
Indonesia pada Kongres Koperasi Indonesia di
Bandung.

Pikiran-pikiran Bung Hatta mengenai koperasi antara


lain dituangkan dalam bukunya yang berjudul
Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun
(1971). Pada tangal 27 Nopember 1956, ia memperoleh
gelar kehormatan akademis yaitu Doctor Honoris Causa
dalam ilmu hukum dari Universitas Gajah Mada di
Yoyakarta. Pada kesempatan itu, Bung Hatta
mengucapkan pidato pengukuhan yang berjudul
Lampau dan Datang. Sesudah Bung Hatta meletakkan
jabatannya sebagai Wakil Presiden RI, beberapa gelar
akademis juga diperolehnya dari berbagai perguruan
tinggi.

Universitas Padjadjaran di Bandung mengukuhkan Bung


Hatta sebagai guru besar dalam ilmu politik
perekonomian. Universitas Hasanuddin di Ujung
Pandang memberikan gelar Doctor Honoris Causa
dalam bidang Ekonomi. Universitas Indonesia
memberikan gelar Doctor Honoris Causa di bidang ilmu
hukum. Pidato pengukuhan Bung Hatta berjudul Menuju
Negara Hukum. Pada Bung Hatta, Proklamator
Kemerdekaan dan Wakil Presiden Pertama Republik
Indonesia, wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah
Sakit Dr Tjipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 77
Prof. Muhammad Yamin, SH
Prof. Muhammad Yamin, SH (lahir di
Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus
1903 – wafat di Jakarta, 17 Oktober 1962
pada umur 59 tahun) adalah seorang
pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan
di Talawi, Sawahlunto. Beliau merupakan
salah satu perintis puisi modern di Indonesia, serta juga
'pencipta mitos' yang utama kepada Presiden Sukarno.

Dilahirkan di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Yamin


memulakan karir sebagai seorang penulis pada dasawarsa
1920-an semasa puisi Indonesia mengalami romantisisme
yang hebat. Karya-karya pertamanya ditulis dalam bahasa
Melayu dalam jurnal Jong Sumatera, sebuah jurnal berbahasa
Belanda, pada tahun 1920. Karya-karyanya yang awal masih
terikat kepada kata-kata basi bahasa Melayu Klasik.

Pada tahun 1922, Yamin muncul buat pertama kali sebagai


penyair dengan puisinya, Tanah Air ; maksud "tanah air"-nya
ialah Sumatera. Tanah Air merupakan himpunan puisi modern
Melayu yang pertama yang pernah diterbitkan. Sitti Nurbaya,
novel modern utama yang pertama dalam bahasa Melayu juga
muncul pada tahun yang sama, tetapi ditulis oleh Marah Rusli
yang juga merupakan seorang anak Minangkabau. Karya-karya
Rusli mengalami masa kepopuleran selama sepuluh tahun .
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada
28 Oktober 1928. Karya ini amat penting dari segi sejarah
karena pada waktu itulah, Yamin dan beberapa orang pejuang
kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air,
satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal.
Dramanya, Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan
sejarah Jawa muncul juga pada tahun yang sama. Antara akhir
dekad 1920-an sehingga tahun 1933, Roestam Effendi, Sanusi
Pane, dan Sutan Takdir Alisjahbana merupakan pembentuk-
pembentuk utama bahasa Melayu-Indonesia dan
kesusasteraannya.

Walaupun Yamin menguji kaji bahasa dalam puisi-puisinya, dia


masih lebih menepati norma-norma klasik bahasa Melayu,
berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih
muda. Ia juga menerbitkan banyak drama, esei, novel sejarah
dan puisi yang lain, serta juga menterjemahkan karya-karya
William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath
Tagore.

Pada tahun 1932, Yamin memperoleh ijazahnya dalam bidang


hukum di Jakarta. Ia kemudian bekerja dalam bidang hukum
Internasional di Jakarta sehingga tahun 1942. Karir politiknya
dimulai dan beliau giat dalam gerakan-gerakan nasionalis.
Pada tahun 1928, Kongres Pemuda II menetapkan bahasa
Indonesia, yang berasal dari bahasa Melayu, sebagai bahasa
gerakan nasionalis Indonesia. Melalui pertubuhan Indonesia
Muda, Yamin mendesak supaya bahasa Indonesia dijadikan
asas untuk sebuah bahasa kebangsaan. Oleh itu, bahasa
Indonesia menjadi bahasa resmi serta alat utama dalam
kesusasteraan inovatif.

Semasa pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945,


Yamin bertugas dengan Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA),
sebuah organisasi nasionalis yang disokong oleh pemerintah
Jepang. Pada tahun 1945, beliau mencadangkan bahwa
sebuah Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) diasaskan serta juga bahwa negara yang
baru harus merangkumi Sarawak, Sabah, Semenanjung
Malaya, Timor Portugis, serta juga kesemua wilayah Hindia
Belanda. Sukarno yang juga merupakan anggota BPUPKI
menyokong Yamin. Sukarno menjadi presiden Republik
Indonesia yang pertama pada tahun 1945, dan Yamin dilantik
untuk jabatan-jabatan yang penting dalam pemerintahannya.

Yamin meninggal dunia di Jakarta dan dikebumikan di Talawi,


sebuah kota kecamatan yang terletak 20 kilometer dari ibu kota
Kabupaten Sawahlunto, Sumatera Barat
PEMBENTUKAN PEMERINTAHAN,ALAT
KELENGKAPAN, dan KEAMANAN NEGARA
INDONESIA

Sebagai Negara yang baru merdeka Indonesia belum memiliki pemimpin dan
pemerintahan yang berdaulat, oleh karena itu diadakan sidang PPKI dalam
upaya pembentukan pemerintahan, alat kelengkapan, dan keamanan negara
Indonesia.

1. Sidang tanggal 18 Agustus1945, menghasilkan keputusan sebagai berikut:

a. Mengesahkan dan menetapkan UUD RI yang dikenal dengan nama UUD


1945.

b. Memilih dan menetapkan Sukarno sebagai Presiden dan Mohammad


Hatta sebagai wakil presiden (secara aklamasi)

c. Pembentukan Komite Nasional untuk membantu pekerjaan presiden


sebelum terbentuknya MPR dan DPR.

2. Sidang tanggal 19 Agustus 1945, menetapkan mengenai :

a. Pembagian wilayah Indonesia


Menetapkan wilayah Indonesia menjadi 8 propinsi dengan 2 daerah
istimewa beserta gubernurnya, yaitu :

a) Jawa Barat : Sutardjo Kartohadikusumo

b) Jawa Tengah : R. Panji Soeroso

c) Jawa Timur : R.A Soerjo

d) Kalimantan : Ir. Mohammad Noor

e) Sulawesi : Dr. Sam Ratulangi

f) Maluku : Mr. J. Latuharhary

g) Sunda Kecil : Mr. I Gusti Ketut Pudja

h) Sumatera : Mr. Teuku Moh. Hasan

i) Dua daerah istimewa yaitu Yogyakarta dan Surakarta

a. Pembentukan Dpartemen dan Kementrian


Pembentukan 12 Departemen dan 4 kementrian negara untuk membantu
presiden.

a) Departemen Dalam Negeri : Wiranata Kusumah

b) Departemen Luar Negeri : Ahmad Subardjo

c) Departemen Kehakiman : Dr. Soepomo

d) Departemen Keuangan : A.A Maramis

e) Departemen Kemakmuran : Ir. Surachman Tjokrodisuryo

f) Departemen Pengajaran : Ki Hajar Dewantara

g) Departemen Penerangan : Amir Syarifudin

h) Departemen Sosial : Iwa Kusumasumantri

i) Departemen Pertahanan : Supriyadi

j) Departemen Kesehatan : Boentaran Martoatmodjo

k) Departemen Perhubungan : Abikusno Tjokrosujoso

l) Departemen Pekerjaan Umum : Abikusno Tjokrosujoso

m) Menteri Negara : Wachid Hasyim

n) Menteri Negara : R.M Sartono

o) Menteri Negara : M. Amir

p) Menteri Negara : R. Otto Iskandardinata

3. Sidang tanggal 22 Agustus 1945, PPKI membentuk tiga badan yaitu :

a. Pembentukan Komite Nasional Indonesia (KNI)


Dibentuk komite nasional sebagai penjelmaan tujuan dan cita-cita
bangsa Indonesia untuk menyelenggarakan kemerdekaan yang
didasarkan kedaulaan rakyat. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
berkedudukan di Jakarta, sedangkan Komite Nasional Indonesia Daerah
(KNID) berkedudukan di ibukota propinsi. Tanggal 29 Agustus 1945,
Presiden Sukarno melantik 135 anggota KNIP di Gedung Kesenian
Jakarta dengan ketua Kasman Singodimejo.

a. Pembentukan Partai Nasional Indonesia (PNI)


Awalnya PNI dibentuk sebagai partai tunggal di Indonesia tetapi
keputusan tersebut ditunda hingga tanggal 31 Agustus 1945. Tujuan PNI
adalah mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, adil dan
makmur berdasarkan kedaulatan rakyat.
a. Pembentukan Tentara Kebangsaan
Sehubungan dengan pembentukan Tentara Kebangsaan maka dibentuk
Badan Keamanan Rakyat/ BKR (23 Agustus 1945) yang kemudian
ditetapkan sebagai bagian dari badan penolong keluarga korban perang.
Badan ini ditujukan untuk memelihara keselamatan rakyat. BKR
dibentuk sebagai pengganti Badan Penolong Korban Perang (BPKP).
BKR terdiri dari BKR pusat dan BKR daerah.

Akhirnya karena desakan para pemuda anggota BKR maka dibentuk


tentara kebangsaan yang diresmikan pada tanggal 5 Oktober 1945
dengan nama Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada 25 Januari 1946
TKR berganti nama menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) dalam
upaya untuk mendirikan tentara yang percaya pada kekuatan sendiri.
Pada 3 Juni 1947, TRI berganti nama menjadi Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dengan tujuan untuk membentuk tentara kebangsaan
yang benar-benar profesional siap untuk mengamankan NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia).

Sistem Pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan

Sistem Pemerintahan Indonesia di awal masa Kemerdekaannya adalah Sistem


PRESIDENSIIL. Sistem Pemerintahan ini sesuai dengan rumusan Undang-
undang Dasar 1945, dimana Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi
dan kedudukan mentri adalah sebagai pembantu presiden. “Menteri
merupakan pembantu presiden (pemerintah) yang diangkat dan diberhentikan
oleh presiden, sehingga menteri bertanggungjawab kepada presiden”. Oleh
karena itu, untuk melengkapi pemerintahan Indonesia dibentuklah
departemen dan kementrian. Seharusnya pembentukan kementrian
diserahkan pada presiden tetapi untuk negara Indonesia yang baru merdeka ini
pembentukan Departemen dan Susunan Kementrian Negara diserahkan pada
panitia kecil (Ahmad Subardjo, Sutardjo Kartohadikusumo,Kasman
Singodimejo). Akhirnya berdasarkan sidang PPKI tanggal 19 Agustus 1945 pada
tanggal 12 September 1946 dibentuklah Kabinet Presidensiil (Kabinet RI I)
dengan 12 departemen dengan 4 menteri negara. Sementara itu untuk
melengkapi pemerintahan maka wilayah Indonesia dibagi dalam 8 propinsi
dengan 2 daerah istimewa dimana masing-masing wilayah mempunyai
gubernur yang bertanggungjawab atas pelaksanaan dan pengambilan
keputusan di daerah.

Tetapi perkembangannya karena pengaruh dari golongan sosialis yang ada


dalam KNIP maka usia kabinet Presidensiil tidak lama yaitu sejak 12 September
1945 sampai 14 November 1945. Sejak tanggal 14 November 1945 Indonesia
menggunakan sistem Kabinet PARLEMENTER dengan Perdana Menteri
pertamanya yaitu Sutan Syahrir. Sistem Kabinet Parlementer inilah yang
katanya sesuai dengan harapan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia
mengharapkan sistem pemerintahan Demokrasi dimana cirinya adalah adanya
DPR (parlemen) yang anggota-anggotanya dipilih langsung oleh rakyat. Pola
pemerintahan ini merupakan bentuk penerapan demokrasi yang ada di negara
Belanda yang berdasarkan multipartai yaitu sistem pemerintahan
parlementer. Jika menggunakan kabinet presidentil maka presiden berperan
sebagai pemimpin kabinet dan kabinet bertanggungjawab kepada presiden.
Tetapi jika menggunakan kabinet Parlementer maka presiden
bertanggungjawab kepada parlemen (KNIP).

Kabinet Parlementer ini terbentuk karena memang sebenarnya direncanakan


oleh KNIP. Dimana “kabinet (menteri) bertanggungjawab langsung kepada
KNIP (parlemen) dengan kekuasaan legislatifnya. Selain itu tujuan dibentuk
kabinet Parlementer adalah untuk mengurangi peranan presiden yang
dianggap terlalu besar.

Untuk mewujudkan ambisi KNIP tersebut maka mulai dibentuknya Badan


Pekerja Komite Nasional Indonesia (BP-KNIP) pada 16 Oktober 1945 (Sidang
KNIP I). Langkah selanjutnya adalah mengubah fungsi KNIP dari hanya
sekedar badan penasehat menjadi badan legislatif yang sebenarnya dipegang
MPR/DPR, disetujui dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah No. X yang
ditandatangani wakil presiden. Dengan dikeluarkan maklumat tersebut maka
kekuasaan presiden berkurang yaitu hanya dalam bidang eksekutif saja.
Sementara itu KNIP sebagai badan Legislatif menggantikan MPR dan DPR
sebelum terbentuk. Selain kedua hal tersebut KNIP juga mengusulkan
pembentukan partai politik sebanyak-banyaknya sebagai sarana untuk
penyaluran aspirasi dan paham yang berkembang di masyarakat. Usulan
tersebut disetujui dengan mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. 3 tanggal 3
November 1945 tentang anjuran pembentukan partai-partai politik.

Adapun partai-partai yang berhasil dibentuk adalah Partai Nasional


Indonesia (PNI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai
Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Rakyat
Jelata (PRJ), Partai Sosialis Indonesia (Parsi/PSI), Persatuan Rakyat
Marhaen(Permai), Partai Rakyat Sosialis (Paras), Partai Kristen
Indonesia (Parkindo), Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI).

Terbentuknya kabinet Syahrir (parlementer I) merupakan suatu bentuk


penyimpangan pertama pemerintah RI terhadap ketentuan UUD 1945. Sebab
dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa “pemerintahan harus dijalankan menurut
sistem kabinet Prsesidensiil, dimana menteri sebagai pembantu presiden”
sementara itu pelaksanaannya” mentri (kabinet) bertanggungjawab langsung
pada parlemen (KNIP)”. Karena menggunakan sistem parlementer maka
kabinet dan parlemen (KNIP) selalu bersaing untuk memperebutkan pengaruh
dan kedudukan. Akibatnya sering terjadi pergantian kabinet karena dijatuhkan
oleh parlemen (KNIP).

You might also like